Download - Handout Diskusi Wahabi
WAHABI
A. Sejarah kemunculan wahabi
Kalangan wahabi mengklaim bahwa latar belakang kemunculan wahabiyah tidak dapat
dilepaskan dari tiga kondisi umat Islam waktu itu; Pertama, politik. Secara politik umat
Islam di seluruh kawasan kekuasaan Islam berada dalam keadaan lemah. Turki Usmani
(kerajaan Ottoman) yang menjadi penguasa tunggal Islam pada saat itu sedang mengalami
kemunduran dalam segala bidang. Banyak daerah kekuasaannya yang melepaskan diri,
terutama di daratan Eropa. Kedua, perilaku keagamaan. Di samping kelemahan politik,
perilaku keagamaan umat di masa itu merupakan faktor yang paling mendorong munculnya
gerakan ini. Pada umumnya, terutama di Semenanjung Arabia, telah terjadi distrosi
pemahaman Alquran. Ketiga, sosial ekonomi. Tumbuh suburnya perilaku keagamaan
semacam ini sesuai dengan tingkat kesejahteraan kebanyakan umat. Kekacauan politik telah
menyebabkan kejahatan timbul di segala tempat. Sistem kabilah merupakan tradisi lama
bagi mayoritas penduduk Nejd dan mayoritas penduduk Semenanjung Arabia. Kabilah-
kabilah yang kuat dapat menguasai jalur perdagangan, sedangkan peduduk pada umumnya
berada dalam kekurangan.
Menurut Hamid (2010/101), munculnya gerakan wahabi tidak bisa dipisahkan dari
gerakan politik, perilaku keagamaan, pemikiran dan social ekonomi umat islam. Mulanya
Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali,
bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab bin Sulaiman adalah seorang sunni yang baik, begitu
pula guru-gurunya. Muhammad bin Abdul wahab memang dikenal orang yang haus ilmu. Ia
berguru pada Syeikh Abdullah bin Ibrahim an-N ajdy, Syeikh Efendi ad Daghastany, Ismail
al-Ajlawy, syeikh Abdul lathief al-‘Afalaqy dan Syeikh Muhammad al-‘afalaqy. Di antara
mereka yang paling lama menjadi guru adalah Muhammad hayat Sindhi dan Syeikh
Abdullah al-Najdy. Tidak puas dengan itu ia pergi ke syiria untuk belajar sambil berdagang.
Disana ia menemukan buku-buku karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang sangat ia
idolakan. Akhirnya ia semakin jauh terpengaruh terhadap dua aliran reformis itu. Tak lama
kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru pada Syeikh Muhammad al-majmuu’iyah. Di kota
ini ia menghabiskan mencari ilmu selama empat tahun, sebelum akhirnya ia ditolak
masyarakat karena pandangannya dirasa meresahkan dan bertentangan dengan pandangan
umum yang berlaku di masyarakat setempat. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab
diusir dari tempat tersebut dan menuju ke subuah tempat yang bernama Najd. Di situlah
Abdul Wahab bertemu dengan Abdul Aziz Al Sa’ud yang sedang memerintah Dir’iyyah.
Beliau pun mendapat angin segar, karana Abdul Aziz Al Sa’ud menaungi kehidupannya,
bahkan menjadi pelindung.
Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang tak
terpisahkan sejak kelahiran keduanya. Wahabisme-lah yang telah menciptakan kerajaan
Saudi, dan sebaliknya keluarga Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi
ke seluruh penjuru dunia. Mereka menyerang Madinah dan merusak kubah dan hiasan-
hiasan yang ada di kuburan Nabi SAW. Dari Madinah mereka teruskan penyerangan ke
Mekah, disini kiswah sutra yang menutup Ka’bah juga dirusak. Semua itu di anggap bid’ah.
Tetapi pada tahun 1813 ekspedisi yang diutus Muhammad Ali (penguasa wilayah taklukan
Kerajaan Usmani di Mesir) atas perintah dari Sultan Mahmud II (Kerajaan Usmani/Ottoman
di Istanbul) berhasil membebaskan kembali Mekah dan Madinah. Pada saat itu gerakan
Wahabi menjadi sangat lemah bahkan hampir pudar. Gerakan Wahabi mulai bangkit
kembali pada permulaan abad ke-20 di Arab Saudi. Penyokongnya adalah Abdul Aziz ibn
Sa’ud, yang menduduki Mekah pada tahun 1924, serta Jedah dan Madinah setahun
berikutnya. Sejak saat itu aliran dan kekuatan politik Wahabi mempunyai kedudukan yang
kuat di Arab.
Mereka tak segan-segan melakukan tindakan keras dalam menyebarkan pahamnya itu.
Ketika memasuki kota Tha’if pada 1924, kaum wahabi melakukan penjaharan dan menyeret
para qadi (hakim agama) yang menolak paham wahabiyah, dan bahkan membunuh mereka.
Mereka juga meratakan kuburan rasulullah saw dan menghancurkan kuburan para sahabat
serta bangunan kuburan tokoh-tokoh sufi yang sering di kunjungi masyarakat. Perbuatan
yang tidak terpuji ini dilakukan setelah kerjaan Arab Saudi berdiri dan mengambil paham
Wahabiyah sebagai mahdzab resmi Negara.
Merka tidak hanya menolak praktik dan ajaran sufi, bahkan menganggapnya sebagai
bid’ah dan syirik. Memang ini konsekuensi dari sikap teologis Muhammad bin Abdul
Wahab yang tegas dengan prinsip tuhid (pengesaan allah). Begitu juga dengan sikap taqlid
di kalangan umat islam, dianggapnya sebagai penyebab kemunduran islam. Sikap radikal
dalam memurnikan ajaran islam Muhammad bin Abdul Wahab ini oleh sebagai peneliti
islam di sebut gerakan pembaruan islam. Namun, dalam perkembangannya, sikap kritis itu
tidak menular kepada pengikutnya. Mereka malah menjadi fanatic dan terjebak dalam taqlid
kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Ajaran pemurnian akidah islam ini dikritik oleh
Sulaiman bin Abdul wahab kakak Muhammad bin Abdul Wahab dalam buku Al-Shawa’iq
Al-IIahiyah. Aliran wahabiyah ini jika diruntut secara historis berasal dari pemikiran dan
fatwa yang di kembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ahmad bin Hanbal. Dengan dukungan
pemerintah Arab Saudi, ajaran wahabiyah cepat menyebar dan menginspirasi lahirnya
gerakan pembaruan islam Indonesia yang di tandai berdirinya Muhammadiyah dan
persatuan islam.
B. Tokoh-tokoh penting wahabi
1. Muhammad bin Abdul Wahhab (Pendiri Wahabi)
2. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
3. Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
4. Muhammad Nashiruddin Al-Albani
5. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
6. Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin
C. Corak Pemikiran Wahabi
Pemikiran yang dicetuskan oleh Ibn Abdul Wahhab untuk memperbaiki kedudukan umat
Islam timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam
waktu itu. Gerakan Ibn Abdul Wahhab didorong oleh keinginan untuk memurnikan ajaran
Islam, khususnya dibidang tauhid, yang merupakan pokok ajaran Islam. Ia tidak berhasrat
untuk mengubah ajaran Islam atau mengadakan penafsiran baru tentang wahyu, melainkan
membawa misi pemberantasan unsur-unsur luar (bid’ah dan khurafat) yang masuk ke dalam
ajaran Islam serta mengajak umat Islam untuk kembali kepada bentuk ajaran Islam yang
murni. Yang di maksud dengan ajaran Islam yang murni itu ialah Islam yang dianut dan di
praktikkan pda zaman Nabi Muhammad saw, para sahabat serta tabiin (sampai abad ke-3 H).
Sejalan dengan misi yang di bawanya, pemikiran Ibn Abdul Wahhab hampir seluruhnya
bertemakan pemurnian tauhid.
Ibn Abdul Wahhab memandang tauhid sebagai agama Islam itu sendiri. Dia
berpendapat, keesaan Allah diwahyukan dalam tiga bentuk. Pertama, tauhid ar-rububiyyah,
penegasan keesaan Allah dan tindakan-Nya: Allah sendiri adalah Pencipta, Penyedia dan
Penentu alam semesta. Kedua, tauhid al-asma’ wa al-sifat (keesaan nama dan sifat-sifat-
Nya), yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di
langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara keduanya, dan semua yang ada
di bawah tanah(Q.s. Thaha [20]: 6). Aspek ketiga, tauhid al-ilahiyah, menjelaskan hanya
Allah yang berhak di sembah. Penegasan “tidak ada Allah kecuali Allah dan Muhamad
sebagai utusan-Nya” berarti semua bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata
kepada Allah; Muhamad tidak untuk disembah, tetapi sebagai Nabi, dia seharusnya dipatuti
dan diikuti.
Gerakan ini sangat tidak sepakat dengan lawan-lawannya mengenai
masalah tawassul (perantara). Bagi Muhamad ibn Abdul Wahhab, ibadah merujuk pada
seluruh ucapan dan tindakan lahir dan batin yang dikendaki dan diperintahkan oleh Allah.
Ibn Abdul Wahhab menulis bahwa peminta perlindungan kepada pohon, batu, dan
semacamnya adalah syirik. Dengan kata lain, tidak ada bantuan, perlindungan, ataupun
tempat berlindung kecuali Allah. Perantara oleh pihak lain tidak dapat dilakukan kecuali
siizin Allah atas orang yang diminta menjadi perantara, seseorang yang benar-benar
mengesakan Allah. Kebiasaan mencari perantara dari orang suci yang telah meninggal
adalah terlarang, seperti halnya kesetiaan yang berlebihan tatkala mengunjungi makam
mereka. Memohon Nabi menjadi penghubung kepada Allah juga tidak dapat diterima sebab
Nabi tidak bisa memberi petunjuk kepada orang-orang yang dia inginkan untuk memeluk
Islam tanpa kehendak Allah; dia pun tidak diperbolehkan memintakan ampun dari Allah
bagi mereka yang syirik.
Doktrin tawasul mendorong Wahhabiyah untuk mengecam keras praktik-praktik
ziarah ke kuburan dan bangunan kubah di dekatnya, sesuatu yang sudah umum dilakukan.
Awalnya, Ibn Abdul Wahhab membolehkan berziarah ke kuburan, dengan syarat dilakukan
sesuai dengan semangat Islam yang sebenarnya, dan ini termasuk tindakan kebajikan serta
patut dipuji. Akan tetapi, Wahhabiyah percaya bahwa banyak orang telah mengubah doa
bagi yang dikubur menjadi memanjatkan doa kepada yang dikubur; kuburan telah berubah
menjadi tempat orang berkumpul untuk menyembah. Pemuja yang berlebihan terhadap jasad
mereka yang memiliki reputasi suci merupakan langkah pertama yang akan membawa
orang-orang untuk kembali menyembah berhala seperti pada masa lampau. Untuk
menghindari perbuatan syirik seperti ini, menurut Wahhabiyah, seluruh makam yang
disucikan itu harus dihancurkan. Kaum Wahhabiyah berpendapat, kuburan harus dibangun
sama rata dengan tanah, dan bahwa tulisan-tulisan, prasasti, serta hiasan-hiasan, ataupun
penerangan di pekuburan tersebut harus dihindari. Kaum Wahabiyyah juga percaya bahwa
mengaku sebagai muslim saja tidak cukup menjadi benteng agar terhindar dari menjadi
musyrik. Seseorang yang telah mengucapkan syahadat, tetapi masih tetap mempraktikan
syirik (seperti yang didefinisikan oleh kaum Wahhabiyah) seharusnya dicela sebagai kafir
dan seharusnya dibunuh.
Konflik antara ijtihad dan taklid adalah perinsip keenam yang menjadi perhatian
Wahhabiyah. Menurut Ibn Abdul Wahhab dan pengikutnya, Allah memerintahkan orang
untuk hanya mematuhi-Nya dan mengikuti ajaran Nabi. Tuntutan Wahhabiyah untuk
mengikuti sepenuhnya Al-Quran dan Sunnah bagi semua muslim adalah juga sebagai
penolakan Wahhabiyah terhadap semua penafsiran imam mazhab empat –termasuk
pandangan- mazhab Wahhabiyah sendiri, Hanbali, yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan
Sunnah Nabi. Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara khusus Ibnu Abdul Wahhab
menyusun kitab at-Tauhid yang memuat pandangan-pandangannya sekitar tauhid, syirik,
dan lain-lain yang menyangkut masalah akidah Islam. Menurutnya kalimat la ilaha illa
Allah (tidak ada Allah selain Allah) tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus di
manifestasikan dengan la ma’bud illa Allah (tidak ada yang di sembah kecuali Allah).
(Lihat, Kitab tauhid alladzi huwa Haqqullah ‘alal ‘ibad, hal. 1-90; al-Syekh Muhamad bin
Abdul Wahhab, ‘Aqidatuhu al-Salafiyyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah, hal. 1-90; Aqidah
al-syekh Muhamad bin Abdul Wahhab al-Salafiyyah wa Atsaruha fi al-‘Alam al-Islami, I:1-
970, II:1-588; al-Rasail al-Syakhshiyah li al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab, hal 1-146)
Dari konsep pemikiran di atas tampak jelas bahwa pada hakikatnya Wahhabiyyah
tidak membawa konsepsi pemikiran baru tentang Islam dan umat, khususnya tentang aqidah.
Mereka melakukan reaktualisasi konsepsi pemikiran Taqiyuddin Ibn Taimiyah (1263-1328
M) dalam bentuk yang berbeda. Cara persuasif yang dilakukan Ibn Taimiyah dalam
mencetuskan pemikirannya dirasakan oleh Ibnu Abdul Wahab tidak efektif. Maka ia
mengambil sikap keras dalam menggunakan kekuatan. Wahhabiyah, sebagaimana Ibn
Taimiyyah, menggunakan prosedur-prosedur yang ketat untuk mengarahkan pembahasan
mengenai masalah-masalah doktrinal. Untuk menjawab pertanyaan yang berhubungan
dengan persoalan agama, mereka pertama-tama mencari jawabannya pada ayat-ayat Al-
Quran dan Hadis, dan menetapkan jawaban sesuai dengan kedua sumber tersebut. Apabila
rujukan tidak ditemujan pada ayat-ayat tersebut, mereka mencari konsensus di kalangan
“kaum terdahulu yang saleh”, khususnya para sahabat dan tabi’in, seta ijma para ulama.
Namun, ijma dibatasi hanya yang sejalan dengan Al-Quran dan Hadis. Meskipun
Wahhabiyah mengikuti Madzhab Hanbali, mereka tidak menerima pandangan-
pandangannya sebagai jawaban yang final. Apabila terdapat tafsiran Hanbali terbukti salah,
pendapat itu harus ditinggalkan. Untuk mendukung pendapat mereka, kaum Wahhabiyah
mengutip ayat-ayat Al-Quran yang menunjukan bahwa Al-Quran dan Hadis sebagai satu-
satunya dasar penetapan fiqih (hukum Islam). (Lihat, Bahtsun Haula al-Syekh Muhamad bin
Abdul Wahhab wa Harakatuh al-Mujaddiduh, hal. 1-31; Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-
Adyan wa al-Madzahib, I:164-172)
D. Wahabi dan Ahlussunnah wal jama’ah
Para ulama sunni pun memberikan kritik terhadap aliran wahabiyah ini. Diantaranya
Abdullah bin Lathif Syafii menulis kitab “tajrid syaiful al-jihad lil mudda’I al-ijtihad”,
Afiffudin Abdullah bin dawud hanbali menulis kitab “as-awa’iq wa al-ruduud”, Muhammad
bin Adurahman bin Afalik Hanbali menulis kitab “tahkamu al-muqalladin biman ad’I
tajdidi ad-diin”, Ahmad bin Ali bin Luqbaani Basri dan Syaikh Atha’ allah Makki yang
menulis kitab “al-aarimul al-hindi fi unuqil najdi”.
Mungkin orang-orang yang awam tidak begitu menyadari perbedaan besar antara
akidah yang dijalani Ahlusunnah wal jamaah dengan Akidah Ala Wahabi. Sehingga
sebagian diantarnya ada yang berhujah dengan keduanya karna tidak bisa membedakannya
dan akibatnya terjadi kerancuan bahkan menimbulkan kesalah pahaman yang makin besar.
Orang-orang semacam ini hanya mengikuti saja pendapat sebagian orang tanpa berfikir jauh
jika ada hal yang salah dalam pemahamnnya.Lucunya lagi ada yang mengaku Ahlusunnah
wal jama`ah, namun apa yang ia sampaikan, justru paham Wahabi. Ada pula wahabi
wahabian alias pengikut taqlid yang sebenarnya tidak banyak paham akidah wahabi namun
kemudian malah apa yang ia utarakan justru paham paham Ahlususnnah wal jama`ah yang
dia anggap itu ajaran wahabi.dan celakanya lagi ia ngotot mempertahankannya degan
mengatakan “ Inilah akidah wahabi yang benar”.
Untuk memahami apa sebenarnya yang menjadi pokok persoalan antara Ahlusunnah
wal Jam`ah dengan Wahabi, berikut ini penjelasan beberapa dari permasalahan itu.
1. Maha Suci Allah daripada bersifat duduk atau bersemayam
Aswaja Menganggap atau mengatakan bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas arasy
atau di atas kursi Adalah suatu hal yang keliru karna yang demikian itu adalah sifat
makhluk Allah bukan sipat Allah. Aswaja berlandaskan pada Firman Allah Ta’ala: "Dia
(Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya,baik dari satu segi maupun
dari semua segi, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya" (Asyura ayat:11).
Adapun Wahabi menyamakan Allah dengan manusia dan juga binatang. Mereka
berkata:“Allah duduk di atas kursi”.
2. Maha suci Allah daripada anggota dan jisim
Allah Ta’ala tidak sama dengan makhlukNya, Dia tidak mempunyai anggota dan jisim
sebagaimana Yang dimiliki oleh makhluk. Hal ini didasari dengan Firman Allah Ta’ala
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun dari makhlukNya baik dari satu segi maupun
dari semua segi, dan tidakada sesuatu pun yang menyerupaiNya", (Asyura ayat:11).
Sedangkan Ibnu Baz yang merupakan tokoh/ulama besar wahabi mengatakan bahwa
“penafian jisim dan anggota bagi Allah adalah suatu yang dicela”.
3. Tentang Abu jahal dan Abu lahab
Kalangan Aswaja berpendapat bahwa Abu jahal dan Abu lahab bukanlah dari kalangan
orang Islam sebagaimana di jelaskan dalam Al-qur’anul kariim dan tidak bisa
terbantahkan. Adapun Wahabi mengatakan bahwa Abu jahal lebih mulia dan
mengamalkan serta peng-ESA-an tauhid mereka kepada Allah daripada orang Islam
umumnya yang mengucap dua kalimah syahadah. (yang dimaksudkan dengan orang
Islam di sini ialah mereka yang bertawassul dengan wali-wali dan para solihin dimana
pengertian tawasul menurut wahabi seperti menyembah berhala, batu, orang mati atau
sejenisnya ).
4. Madzhab
Aswaja berpendapat bahwa 4 madzab adalah generasi penerus akidah Ulama Salaf
sebagaimana penjelasn sunnah Rasullullah yang menjadi pembimbing umat islam kearah
yang benar menurut sunnah Rasulullah dan bukan syirik. Hal ini berdasarkan pada ijma’
kebanyakan ulama (jumhur ulama’). Sedangkan Wahabi tidak mengakui terhadap
keberadaan mazhab dan mengatakan bahwa yang demikian adalah bagian dari taqlid yang
berpotensi pada kesyirikan.
Ada banyak sekali perbedaan antara keduanya..terutama memahami perkara Bid`ah walaupun
keduanya sama sama sepakat mengakui adanya Bid`ah dan pada uraian ini hanya sekedar
bahan renungan kita atas hujah hujah para Ulama Ahlsuunnah wal jama`ah dan Wahabi.
Beberapa ulama menulis secara khusus tentang gerakan wahabi, diantaranya:
1. Penolakan pada paham Wahabiyah ( الوهابية علي ditulis oleh Sulaiman bin Abdul ( الرد
Wahab yang merupakan saudara kandung Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.
2. Ini dia Gerakan Wahabi ( �ة الوه�ابي هي .oleh Muhammad Jawad Mugniyah (هذه
3. Para Wahabi dan Tugas Membajak ( القرصنة فريضة و (الوهابيون
4. Petir Ilahi dalam Menolak Paham Wahabi ( الوهابية علي الرد في اإللهية (الصواعق
5. Bahaya Wahabi pada Umat Islam ( ( عبد ( أحمد للدكتور اإلسالمية األمة على الوهابية خطر
السايح .oleh Muhammad Abdurrahim (الرحيم
Buku-buku tersebut hanyalah sebagian kecil dari buku-buku yang ditulis oleh para ulama
semasanya sebagai upaya untuk membendung paham wahabi yang merusak umat.
E. Wahabi di Indonesia
Gerakan wahabi masuk ke indonesia, menurut beberapa sejarawan, dimulai pada masa
munculnya gerakan padri sumatera barat pada awal abad xix. Beberapa tokoh minangkabau
yang tengah melaksanakan ibadah haji melihat kaum wahabi menaklukkan mekah dan
madinah yang pertama pada tahun 1803-1804. Abna. (2012). mereka sangat terkesan dengan
ajaran tauhid dan syariat wahabiyah dan bertekat menerapkannya apabila mereka kembali ke
sumatera. Tiga di antara mereka adalah haji miskin, haji sumanik, dan haji piobang.
Jejak gerakan Wahabi (Salafi) di Indonesia sebenarnya sudah ada pada abad ke 18
dengan corak ragam yang berbeda-beda dalam cara dan bentuknya sesuai dengan perbedaan
kemampuan tokoh-tokohnya serta lingkungan dimana mereka berada, namun demikian
gerakan-gerakan tersebut menuju satu sasaran yang sama dan berjuang dibawah satu
semboyan yaitu kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kembali ke jalan kaum
Salaf. Karena itu, sebagian orang menamakan gerakan-gerakan tersebut dengan nama
gerakan Salafiah. Hisyam (2013)
Gerakan Wahabi (Salafi) di Indonesia dimulai dengan kelahirannya di Sumatera, salah
satu lima pulau terbesar di Indonesia, pada tahun 1802 atas inisiatif beberapa orang Haji dari
umat Islam di pulau Sumatera tersebut yang kembali dari Mekkah yang setelah mereka
disana mengadakan hubungan dengan tokoh-tokoh Wahabi (ini nama yang diberikan oleh
para penentangnya), merekapun merasa puas akan kebenaran Dakwah Wahabi (Salafi) dan
mengikutinya. Pada tahun 1905, penyebaran ajaran Wahabi diperkuat oleh datangnya
Ahmad Surkati, ulama Wahabi keturunan Arab-Sudan. Melihat perlawanan yang cukup
keras dari mayoritas penganut Ahlussunnah Wal Jamaah, terlebih setelah berdirinya
Nahdlatul Ulama pada 1926 yang diprakarsai Hasyim Asy’ari, penyebaran ajaran
Wahabiyah lebih condong dilakukan melalui jalur pendidikan, dengan mendirikan sekolah-
sekolah semi modern.
Menurut Ensiklopedi Islam, meski sempat melemah di Arab Saudi, ajaran Wahabi
justru telah tersebar luas ke berbagai negara seperti India, Sudan, Libya serta ke Indonesia.
Penyebaran aliran Wahabi ke wilayah Nusantara dibawa oleh para haji yang baru pulang
menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci. Salah satunya melalui kaum Padri di
Minangkabau yang dikembangkan tiga tokoh. Ketiga tokoh yang tertarik dengan ajaran
Wahabi itu adalah Haji Miskin dari Lu(h)ak Agam, Haji Abdur Rahman dari Piobang,
bagian dari Lu(h)ak Limah Puluh Kota, dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik,
Batusangkar.
Daftar Bacaan:
1. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid-3, Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1997.
2. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid-5, Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1997.
3. Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Ke-3,
1984
4. Aboebakar Aceh, Prof. DR. H., Sejarah Filsafat Islam, CV. Ramadhani, Cet. ke-4, 1991.
5. Buku-buku Hasan Hanafi