hakekat dan misi islam.doc
TRANSCRIPT
HAKEKAT DAN MISI ISLAMOleh :
Drs. Tagor Muda Lubis, MA
HAKEKAT ISLAM
A. Pengertian Tentang Hakekat Islam:
1. Agama adalah apa yang disyari’atkan Allah dengan perantara Nabi-nabi-Nya berupa perntah-
perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia didunia dan akherat
(HPT hal 276).
2. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Qur’an
yang disebut dalam sunnah shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta kebaikan-
kebaikan manusia di dunia dan akherat (HPT 276).
3. Secara umum Islam adalah agama Allah (dinullah) yang diwahyukan kepada Rosul-Nya sejak nabi
Adam AS sampai kepada nabi Muhammad Saw (3:19, 83-85, 2:132) secara khusus Islam adalah nama
diri dari agama yang dibawa nabi Muhammad SAW yang merupakan mata rantai terkahir dari rantai
dinullah. Atau dengan kata lain Islam secara khusus adalah dinullah yang telah disempurnakan dan
dinyatakan sebagai agama yang diridhoi-Nya untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman nanti
(5:3).
4. Beberapa Ciri Khusus Agama Islam (Khashaisul Islam)
a. Agama Allah bersumber dari Allah SWT baik berupa wahyu langsung (Al-Qur’an) maupun tidak
langsung (sunah Nabawiyah) (39:2, 32:2)
b. Mencakup seluruh aspek kehidupan (asy syumul)
c. Berlaku untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman (al-umum) (ushulud Dakwah (43:65)
d. Sesuai dengan fitrah manusia (30:30)
e. Menempatkan akal manusia pada tempat yang sebaik-baiknya (7:179, 31:20) (pendidikan Agama
Islam 1: Aqidah hal 9)
f. Menjadi rahmat alam semesta (21:107)
g. Berorientasi ke masa depan (akherat) tanpa melupakan masa kini (dunia) (28:77)
h. Menjajanjikan al-jaza’ (surga bagi yang beriman dan neraka bagi yang kufur) (98:6-8)
B. Memandang Islam Secara Menyeluruh:
1. Seorang muslim harus memahami Islam secara utuh dan menyuluruh, tidak secara parsial (juz 1)
karena pemahaman yang parsial menyebabkan Islam tidak fungsional secara kaffah dalam
kehidupannya.
2. Islam adalah suatu sistem yang menyeluruh (Nizham syamil) mencakup seluruh aspek kehidupan;
rohaniah dan jasmaniah, diniawiyah dan ukhrowiyah.
3. Secara garis besar ajaran Islam mencakup aspek:
a. Aqidah: aspek keyakinan tentang Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para rosul, hari Akhir dan
Takdir.
b. Ibadah: segala cara dan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan dan diatur
1
cara-cara pelaksanaanya dalam alqur’an dan sunnah rosul seperti sholat, puasa, zakat, haji, dlsb.
c. Akhlaq: Nilai dan perilaku baik dan buruk seperti sabar, syukur, tawakkal, birrul walidain, syaja’ah
dsb (akhlak al-mahmudah) dan sombong, dengki, takabbur, riya’, uququl walidain, dlsb (akhlaq Al
mazmumah).
d. Mu’amalah: aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia diatas bumi baik
tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain sebagainya.
C. Mengamalkan Islam secra Menyeluruh
1. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk masuk Islam secara kaffah (2:208)
2. Dari segi waktu seseorang harus menjadi muslim 24 jam sehari semalam. Dengan arti kata dia harus
mengislamkan seluruh kehidupan sampai akhir hayat (3:102)
3. Dari segi ruang lingkup dia harus mengislamakan seluruh aspek kehidupannya seperti aspek
ekonomi, politik, budaya, seni, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.
4. Atau dengan bahasa lain seseorang harus menjadi muslim dalam akidah, ibadah, akhlaq dan
mua’malah
Dalam Al-Quran kalimat al-Islam paling tidak menggambarkan 4 pemahaman yang dapat
dipetik:
1. Islam kontradiktif sebuah kesyirikan. Allah swt berfirman :
Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintah supaya Aku menjadi orang yang pertama kali menyerah
diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang musyrik." (Qs. Al-An’am:14)
2. Islam kontradiktif sebuah kekufuran. Allah swt berfirman:
Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?
(Qs. Al-Imran:80)
3. Islam bermakna ikhlas kepada Allah swt . Allah swt berfirman :
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah (Qs. An-Nisaa’:125)
4. Islam bermakna al-Khudu’(ketundukan) dan al-Inqiyadh (kepatuhan). Allah swt berfirman :
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya(Qs. azZumar : 54)
Jika dlihat dari asal maknanya, baik menurut bahasa maupun menurut apa yang dipahami di dalam Al-
Quran, maka Islam –sebagaimana yang dinayatkan oleh Dr. Shalah ash-Shawy- adalah :
الله اإلستسلم الهدى مطلق من رسله على أنزله لما واإلنقياد
Menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah serta tunduk dan patuh dengan hidayat yang diturunkan
kepada para Rasul-Nya[1]
Makna Islam tersebut berarti mengandung 2 asas utama, yaitu:
1. Penyerahan diri secara mutlak kepada Allah swt serta
2. Tunduk dan patuh kepada syariat yang dibawa oleh para rasul-Nya.
Muhammad bin Abdul Wahhab menambahkan asas makna Islam ini menjadi tiga yang diistilahkannya
dengan tauhid, taat, dan bara’ah dari syirik. Dia berkata :
2
منالشرك بالطاعةوالبراءة واإلنقيادله )وحيد باالت الله هواإلستسالم اإلسالم
Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk, dan patuh kepada-Nya dengan
keta’atan serta membebaskan diri (bara’ah) dari syirik[2]
Asas ketiga yang menjadi tambahan dari dua asas sebelumnya ialah:
3. Membebaskan diri dari berbagai bentuk kesyirikan (al-Bara’ah miin asy-Syrik)
Dari uraian makna-makna ini dapat kita simpulkan bahwa Islam adalah suatu ajaran yang
mengajarkan sikap pasrah kepada Allah swt (Tuhan semesta alam). Program pokok Islam ini adalah
membebaskan manusia dari belenggu faham Tuhan banyak dengan mencanangkan dasar kepercayaan
dan ketundukkan yang diungkapkan dalam kalimat al-Nafy wa’i Itsbat (negasi-konfirmasi) yaitu
kalimat "tidak ada Tuhan selain Allah”. Kalimat itu dimulai dengan proses pembebasan dari belenggu
kepercayaan dan ketundukkan kepada hal-hal yang palsu dan diakhiri dengan peneguhan bahwa
manusia harus mempunyai kepercayaan dan ketundukkan pada sesuatu yang benar. Pelaksanaan
program ini bagi suatu masyarakat manusia yang telah memiliki kepercayaan pada Tuhan secara
tercampur, proses pembebasannya harus dilakukan dengan pemurnian kepercayaan dan ketundukkan
kepada Allah swt . caranya, pertama dengan melepaskan diri dari kepercayaan dan ketundukkan yang
palsu dan kedua dengan pemusatan pada kepercayaan dan ketundukkan yang benar.
Pemusatan pada kepercayaan dan ketundukkan yang benar berarti menjadikan Allah sebagai satu-
satunya arah dan tujuan hidup yang didapat melalui hidup sesuai dengan syariat Allah yang diajarkan
oleh para utusan-Nya setulus hati nurani. Ketulusan itu dibuktikan melalui tiga hal :
1. Meyakini secara kokoh bahwa Allah swt Maha Esa pada dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, nama-nama-
Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya serta tidak ada sekutu bagi-Nya.
2. Mempersembahkan pengabdian / peribadatan kepada Allah Maha Esa Yang tidak ada sekutu bagi-
Nya dan
3. Berhukum kepada syariat-Nya semata dan bukan kepada undang-undang atau hukum-hukum
lainnya[3]
Islam adalah Hukum Alam dan Thabi’at setiap Mahluk
Allah swt berfirman :
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya
kepada Allahlah mereka dikembalikan. (Qs. Al-Imran:83)
Segala apa yang dilangit adalah para malaikat dan segala apa yang dibumi adalah setiap mahluk yang
ada di dalamnya Ulama tafsir mengatakan :
Sesungguhnya segala sesuatu yang ada dilangit dan di bumi, sampai-sampai hewan dan benda padat
dalam keadaan berserah diri (Islam) kepada Allah swt serta sampai-sampai orang kafir pun berserah
diri (Islam) kepada Allah dengan terpaksa sekalipun hati dan lisannya kufur[4]
Muhammad Mahmud Hijazi dalam menafsirkan ayat ini berkata,
Hanya kepada Allah swt segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi ber-Islam, tunduk dan patuh
3
pada aturan-Nya dalam pembentukan dan kejadian. Dialah Dzat yang mengatur mereka sedangkan
mereka tunduk/patuh kepada-Nya[5]
Makna ke-Islaman ini –menurut ‘Afif Abdul Fattah Thabbarah –adalah dikarenakan mereka tunduk dan
patuh kepada Allah swt dalam hukum penciptaan mereka, senang atau tidak senang hukum-hukum
alam tetap berlaku bagi mereka[6]
Islam –yang sebenarnya direalisasikan dalam penegakkan manhaj Allah di muka bumi, mengikutinya
dan murni karenanya –adalah undang-undang eksistensi dan agama segala sesuatu yang hidup dalam
eksistensi tersebut. Ke-Islaman mekanik adalah ke-Islaman tunduk/patuh pada perintah, mengikuti
management dan menaati undang-undang Tuhan terhadap alam[7]
Islam adalah Fithrah Seluruh Manusia
Allah swt berfirman :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Qs. Ar-Rum;30)
Ibnu Zaid berkata: (Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu) adalah Islam di
mana sejak Allah menciptakan mereka dari Adam, mereka mengakuinya. Sedangkan Mujahid berkata:
(fitrah Allah) adalah dien Islam[8]
Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar dalam tafsirnya mengatakan Allah telah memfitrahkan
mereka dalam Islam[9]
Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat inipun berkata:
Sesungguhnya Allah swt telah memfitrahkan mahluk-Nya di atas Islam. Kemudian, pada sebagian
mereka muncul berbagai agama yang rusak seperti Yahudi, Nashrani dan Majusi... Agama dan fitrah
adalah Islam[10]
Para ulama menyebutkan bahwa Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Ibrahim, adh-Dhahhak dan Qatadah
berkata:
Firman Allah swt : fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu adalah Dien Allah,
Islam[11])
Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud fitrah dalam ayat ini adalah Islam[12]
Rasulullah saw bersabda :
ترى هل البهيمة تنتج البهيمة كمثل أويمجسانه أوينصرانه يهودانه فأبواه مولوديولدعلىالفطرة كل
فيهاجدعاء
Setiap anak Adam dilahirkan berada di atas fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan di
Yahudi, Nashrani dan Majusi seperti perumpamaan binatang ternak bertanduk yang melahirkan
binatang ternak bertanduk, apakah engkau melihatnya ia melahirkan yang tidak bertanduk. Kemudian
Abu Hurairah periwayat hadits ini berkata : bacalah oleh kalian jika mau (Qs. Ar-Ruum:30[13])
Di dalam riwayat lain disebutkan :
4
المل)ة )وهوعلي مولوديولدإّال مامن
Tidak ada satu anakpun yang dilahirkan kecuali dia berada diatas Millah ini.
Hal tersebut tidak berarti bahwa ketika seseorang lahir dari perut ibunya, langsung mengetahui dan
menghendaki agama ini. Akan tetapi, fitrahnya itu mengharuskan dan menuntut untuk berdien Islam
dan mencintai-Nya. Jiwa fitrah mengharuskan pengikraran pada Maha Pencipta, mencintai-Nya dan
mengikhlaskan pengabdian hanya kepada-Nya. Berbagai konsekuensi dan tuntutan fitrah akan tercapai
sedikit demi sedkit sesuai kesempurnaan dan kesiapan fitrah serta bebasnya dari dari berbagai
penghalang. Karena, seandainya dia tetap bersih dan tidak ada penghalang-penghalang, niscaya dia
tidak akan berpaling dari Islam kepada agama yang lainnya[14]
Maka, setiap anak yang dilahirkan pada awal penciptaanya berada di atas fitrah yaitu jiwa yang bersih
dan tabi’at yang siap menerima agama (Islam). Seandainya dia dibiarkan di atas fitrahnya itu, niscaya
dia akan terus konsekuen terhadap hal tersebut. Karena, kebaikan agama (Islam) ini telah tertanam di
dalam rasio. Berpalingnya orang dari fitrah tersebut disebabkan bencana-bencana yang muncul dan
taklid. Jika, dia selamat dari bencana-bencana tersebut niscaya dia tidak akan meyakini agama yang
lain[15]
Islam adalah Agama yang Dianut dan Dibawa oleh Seluruh Utusan (Rasul) Allah
Islam adalah agama seluruh Nabi dan Rasul. Penamaan agama para rasul dengan Islam telah diberikan
langsung oleh Allah swt . Allah swt berfirman :
Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu[9:71] dan Aku adalah
Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.
Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’ied bin Jubair, Qatadah dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata
(Sesungguhnya ummat kalian adalah ummat yang satu) agama kalian adalah agama yang satu[16]
Sayyid Quthb berkata : Sesungguhnya agama Allah adalah satu. Dibawa oleh seluruh rasul dan saling
diperjanjikan oleh mereka[17]
Syeikh Shafwat asy-Syawadify berkata : seluruh Nabi dan Rasul dari Adam dan Nuh hingga
Muhammad -untuknya dan untuk mereka seluruhnya shalawat serta salam –adalah orang-orang
muslim, mukmin dan muwahhid. Tidak ada di antara para Nabi yang didapati menjadi Nabi Yahudi,
Nabi Nashrani dan nabi-nabi lainnya selain Islam[18]
Nabi Nuh as berkata :
Dan aku diperintahkan untuk menjadi orang-orang yang muslim. (Qs. Yusuf : 72)
Allah swt menceritakan seorang Nabi-nya yaitu Ibrahim as dengan frman-Nya :
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh
kepada Tuhan semesta alam". (Qs. Al-Baqarah : 131)
Musa berkata kepada kaumnya :
5
Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, Maka bertawakkAllah kepada-Nya saja,
jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (qs. Yunus : 84)
Al-Quran menceritakan tentang Isa as :
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" para hawariyyin (sahabat-sahabat
setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan
saksikanlah bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. (Qs. Al-Imran : 52)
Dengan demikian kita dapat memahami bahwa alam ini tidak berjalan tanpa aturan dan tidak berputar
secara serampangan. Melainkan semuanya mengikuti takdir Allah swt dan perputarannya sesuai dengan
hukum Allah. Inilah yang disebut dalam Al-Quran sebagai sunatullah[19]. Itulah makna ke-Islaman
alam kepada Rabbul’alamin sebagai penciptanya.
Tanggung jawab manusia dalam kehidupan di bumi adalah menjalankan fungsi kekhilafahan,
membangun, mendayagunakan dan menjaga seluruh mahluk. Hal tersebut dilakukan dengan beriman,
tunduk, patuh dengan Rabbul’alamin –dimana mereka sendiri adalah bagian alam yang diciptakan-
Nya- melalui hidup sesuai dengan syariat yang diamanahkan dan dicontohkan oleh para rasul-Nya.
Dengan ke-Islaman seperti itu alam dan seluruh manusia akan mendapatkan jaminan keberhasilan,
kemenangan, kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan. Karena kehidupan mereka (alam dengan
manusia) tertata melalui undang-undang yang sama dari Allah swt melalui hidup yang sesuai dengan
sunnatullah dan syari’atullah[20]
Demikianlah gambaran lengkap yang mendalam tentang Islam dan ke-Islaman, gambaran alamiah yang
menyentuh rasa dan menggetarkan jiwa. Satu gambaran Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana yang mengembalikan segala sesuatu dan mahluk hidup kepada satu undang-undang dan satu
syariat serta satu tempat kembali. Islam dan ke-Islaman yang menjadi tabiat alamiah seluruh mahluk,
yang menjadi fitrah jati diri manusia serta yang menjadi agama dan sikap para nabi dan rasul.
Memasuki Islam dan bersikap Islam berarti menyatukan diri dengan gerak atur alam semesta yang
tunduk pada undang-undang Tuhan yang sama, meleburkan diri dengan fitrah dan jati diri kemanusiaan
kita yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa serta menyambungkan diri pada rantai seluruh utusan
Tuhan yang diutus dengan saling melengkapi. Maka
وّاليشقي ّاليضل يحزنون وّالهم عليهم ّالحوف
Tidak ada rasa takut dan tidak bersedih, tidak sesat dan tidak celaka pasti akan dicapai oleh manusia
dan alam semesta. Adakah satu agama yang menamakan dan dinamakan Islam saat ini selain risalah
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw ? jika tidak ada mengapa kita harus menolaknya, acuh tak
acuh dan bahkan memeranginya? Jika, itu kita lakukan berarti kita memorak porandakan susunan dan
aturan alam semesta, menghancur luluhkan jati diri fitrah kemanusiaan kita dan memutus mata rantai
kebenaran ajaran Tuhan yang dibawa oleh para nabi dan rasul Allah swt
6
Misi Ajaran Islam
a. Misi Aqidah
Kata aqidah bersala dari bahasa aqada- ya’qidu- aqdan artinya mengikat tali, mengkokohkan janji, dan
menyatakan ikatan jual beli. Juga bendingkan ‘aqida- ya’qodu- ‘aqadan artinya cara bicara terpatah-
patah (gagap), terikat, hasil kesepakatan, berjanji setia, menyerahkan urusan pada orang lain karena ia
dipercaya dipercaya, persetujuan, dalil, alas an, ikatan nikah, kalung leher, sukar, sulit, dan teka-teki.
[21]
Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan
segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang
berarti kepercayaan atau keyakinan.[22]
Sekiranya disinergiskan antara makna lughawi dan istilah dari kata aqidah di atas dapat digambarkan
bahwa aqidah adalah suatu bentuk keterikatan atau keterkaitan antara seorang hamba dengan
Tuhannya, sehingga kondisi ini selalu mempengaruhi hamba dalam seluruh perilaku, aktivitas dan
pekerjaan yang ia lakukan. Dengan kata lain keterikatan tersebut akan mempengaruhi dan mengontrol
dan mengarahkan semua tindak-tanduknya kepada nilai-nilai ketuhanan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap Allah, Rasul dan hal-hal yang
ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah
eskatologi, yaitu masalah akhirat dan kehidupan setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan
keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada Allah, Malaikat, Kitab,
Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.[23]
Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman, sehingga menimbulkan
kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok memiliki metode dan keyakinan masing-
masing dalam pemahamannya. Di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah,
Mathuridiyah, Khawarij dan Murjiah.
Menurut Harun Nasution timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah atau teologi berawal
ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika menyelesaikan sengketa antara kelompok
Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan
dengan QS al-Maidah/ 5: 44 yang berbunyi;
…. الكافرون هم فألئك الله أنزل بما يحكم لم ومن
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir (QS al-Maidah/ 5:
44).
Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka mendirikan kelompok
tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah
melenceng dari ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga
memicu berdirinya kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki
pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidaklah sampai
menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman tersebut tidak sampai menjurus untuk lari
dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.
Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing golongan tersebut antara lain adalah
7
masalah kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa
kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah memiliki pilihan lain dalam berbuat
dan berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan
memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam mengatur kebebasan manusia,
sehingga manusia memiliki alternatif dan pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah
yang telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini
diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara
kedua kelompok tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa terhadap seluruh
tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini diwakili oleh Mathuridiyah.
Itulah sekilas tentang permasalahan aqidah serta pemikiran masing-masing kelompoknya, di mana
semua itu beranjak dari pemahaman mereka terhadap kekuasaan Allah dan kebebasan manusia.[24]
b. Misi Ibadah
Ibadah berasal dari kata العبد yang berarti hamba. Kemudian dari kata ini muncul kata العبادة yang
berarti التذلل Secara [25].(memperlihatkan/ mendemonstrasikan ketundukan dan kehinaan) إظهار
istilah ibadah berarti usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan
yang disembah.[26]
Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan ketundukan dan kerendahan
diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau
dipersembahkan untuk memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat
kelak.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antara
hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi
kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat
menjadi kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya membuat
cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai bersedia melakukan apa saja demi yang
dicintai. Oleh karena itu, betapapun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan
demikian tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya.
Dari segi manfaatnya ibadah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; pertama, ibadah perorangan
(fardhiyah/mahdhah), yakni ibadah yang menyangkut diri pelakunya sendiri serta tidak ada
hubungannya dengan orang lain seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah kemasyarakatan
(ijtimâiyah/ghaira mahdhah), yakni ibadah yang memiliki keterkaitan dengan orang lain, terutama dari
segi sasarannya seperti sedekah, zakat dan sebagainya. Berkaitan dengan ini, Dalam Putusan Majelis
Tarjih Muhammadiyah dijelaskan bahwa ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah,
dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya dan mengamalkan
segala yang diizinkannya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah umum ialah segala
amalan yang dizinkan Allah sedangkan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan
perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.[27]
Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan, terdapat lima pokok ibadah, yakni:
8
shalat, zakat, puasa dan naik haji serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan
kewajiban yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.[28]
c. Misi Akhlak
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari الخلق (al-khuluq) yang berarti بالبصيرة المدركة والسجايا القوى
(kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui pengasahan mata bathin).[29] Dari
pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh
seseorang terhadap hal yang baik-baik. Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa
pemahaman akhlaq lebih menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa
perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan
telah menjadi kebiasaan.[30] Sedangkan Nazaruddin Razak, mengungkapkan akhlak dengan makna
akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan
Zat Yang Maha Kuasa dan juga merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan,
yaitu produk dari jiwa tauhid.[31]
Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang berarti penciptaan di
mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan demikian pengertian ini
menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia yang sudah dibiasakan dan bukan datang
dengan spontan begitu saja, sebab ini ada kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka
akhlaq adalah sifat, karakter dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk bertingkah laku baik atau berbuat buruk sesuai
dengan kehendaknya. Atas dasar kehendak dan pilihannya itulah manusia akan dimintai
pertanggungjawabannya di akhirat atas segala tingkah lakunya. Di samping itu, akhlaq seorang muslim
harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup dan
kehidupan.
d. Misi Mu’amalah
Secara etimologi muamalah semakna dengan مفاعلة yang berarti saling berbuat. Kata ini
menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau beberapa orang
dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata ini lebih dikenal dengan istilah
fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan tindak-tanduk manusia dalam persoalan-
persoalan keduniaan. Misalnya dalam persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang,
persyarikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.[32]
Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tidak boleh ada sesuatupun dari tindak-tanduk manusia
yang lari dari prinsip-prisip ketuhanan, termasuk dalam masalah muamalah atau yang lebih dikenal
dengan tindak-tanduk manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya untuk memenuhi kehidupannya
masing-masing. Walau semua itu diatur hanya secara global, namun Allah telah memberikan konsep
dan prinsip-prinsip umum bagi manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dengan demikian,
maka seluruh aktivitas dan tindak-tanduk manusia harus sesuai, menjurus dan sinergis dengan apa yang
telah ditetapkan di dalam nash, baik dari nash al-Qur’an maupun dari hadits.
9
Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang bersumber dari al-Qur’an
dan sunnah, antara lain yaitu:
1) Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia,
dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia
itu sendiri. Dari prinsip pertama ini terlihat perbedaan muamalah dengan persoalan aqidah, akhlaq dan
ibadah. Dalam persoalan aqidah, syariat Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-
hal yang menyangkut masalah aqidah tersebut dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia untuk
melakukan suatu kreasi. Dalam bidang akhlaq juga demikian, yaitu dengan menetapkan sifat-sifat
terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam serta sifat-sifat tercela yang harus dihindari. Selanjutnya di
bidang ibadah dan bahkan prinsip dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap
muslim jika tidak ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan.
2) Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai ditemukan dalil yang
melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka
muamalah itu dibolehkan. Namun demikian, walau pada prinsipnya muamalah dibolehkan selama tidak
ada dalil yang melarangnya, tetapi semua itu tidak boleh lepas dari sikap pengabdian kepada Allah
SWT, di mana terdapat kaidah-kaidah umum yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu;
Tidak boleh terlepas dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip kesamaan hak dan kewajiban sesame
manusia; Seluruh perbuatan kotor adalah haram dan seluruh tindakan yang baik adalah halal, dan lain-
lain.[33]
Secara umum mu’amalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan hal
lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang berkaitan dengan harta seperti hibah, sedekah dan
sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, khiyâr, ihtikâr, syirkah,
mudhârabah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian amanah kepada orang lain
seperti hiwâlah, ijârah, ariyah, al-rahn dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian
seperti muzâra’ah, musâqah, dan lain-lain.
Foot Note
[1] Tahkiim asy-Syari’at wa Da’aawi al-‘Ilmaaniyah, Dr. Shalah ash-Shawi, Daar ath-Thayyibah
Riyaadh, cet. I tahun 1412, hal. 23
[2] Al-Ushul ats-Tsalatsah, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 46
[3] Ru’yah Islamiyah fii Ahwaal al-‘Aalam al-Mu’aashir, Muhammad Quthb, hal. 123
[4] Zubdat at-Tafsiir min Fath al-Qadiir, Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar, Muassasah
Risalah. Cet. VI, tahun 1419, hal. 76
[5]At-Tafsir al-Wadhiih, I/66
[6] Ruuh ad-Dien al-Islaamy, hal. 14
[7] Fii Dzilaal al-Qur’an, Sayyid Quthb, 3/423
10
[8] Syifa al-‘Aliil, Ibnul Qayyim, hal. 305
[9] Zubdat at-Tafsiir Min Fath al-Qadiir, hal. 534
[10] Tafsiir Al-Qur’an al-Adziim, 3/423
[11] Syifaa al-Aliil, hal. 302
[12] Tajriid at-Tahmiid, Ibnu Abdil Barr, hal. 297
[13] HR. Muslim, No. 2658
[14] Syifaa al-Aliil, hal. 318
[15] Tafsiir al-Baghaway, 6/270
[16] Tafsiir al-Qur’an al-Adzim, Ibnu Katsir, 3/194
[17] Fii Dzilaal al-Qur’an, 3/421
[18] Al-Islaam Diin al-Haq wa Maa Siwaahu Baathil, at-Tauhid, edisi No. 1 tahun 28. Hal. 6
[19] As-Sunnah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, Dr. Yusuf Qardhawy, hal. 249
[20] Baca: Krisis Pemikiran Islam, Dr. Abdul Hamid Abu Sulayman, hal. 165
[21] Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996) hlm. 274- 275
[22]Abdul Aziz Dahlan (ed.), Eksiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhope, 2000), jilid I, hlm. 78
[23] Nazaruddin Razak, Dinul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 119-176
[24] Harun Nasution,op.Cit, hlm. 31
[25] Mahmud yunus, op. cit, hlm. 354
[26] Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid II, hlm. 592
[27] Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, op.cit., hlm. 276-277
[28] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 177-240
[29] Abdul Aziz Dahlan (ed), op.cit., hlm. 593 – 594
[30] Mahmud yunus, op.cit, hlm. 460
[31] Abdul Aziz Dahlan (ed.), op.cit, jilid I, hlm. 75
[32] Nazaruddin Razak, op.cit., hlm. 39
[33]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. ke-1, h. vii; Lihat juga
Rozalinda, Fiqh Muamalah, dan Aplikasinya pada Perbankan Syari’ah, (Padang: Hayva Pres, 2005),
cet. ke-1, hlm. 3
11