gerakan politik islam.doc
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Sebagai bangsa yang berdaulat Indonesia memiliki untaian sejarah yang
cukup memprihatinkan yaitu pada masa kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa. Lebih
dari tiga ratus lima puluh tahun Indonesia berada dalam pemerintahan Hindia
Belanda dan hampir tiga setengah tahun berada dalam otoritas Jepang. Kurun
waktu itu rakyat berada dalam kondisi sengsara, miskin dan tersiksa akibat
kebijakan pemerintahan kolonial yang ekploitatif dan menindas seperti ditunjukan
dengan kebijakan kerja paksa.
Konstalasi politik global akhirnya membuka tabir penindasan di Indonesia
ini, runtuhnya grejaisme di Eropa Barat dan ambruknya feodalisme di beberapa
negara di dunia sebagai akibat dari perubahan zaman dan struktur sosial yang
ditandai dengan pergeseran status sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat
indistri, turut memberikan kontribusi terhadap bangkitnya gerakan-gerakan di
belahan dunia yang lainnya. Kemunculan gerakan-gerakan ini tentunya dengan
latar belakang yang beraneka ragam ada yang berlatar belakang agama sehingga
melahirkan Kristen Protestan yang dipimpin oleh Martin Luther sedangkan dalam
bidang politik ditandai dengan bangkitnya kaum terjajah melakukan perlawanan
untuk menjadi negara merdeka dari sikap tirani dan ekploitatif kaum imperial
yaitu rasa nasionalisme. Fenomena seperti ini menyebar ke seluruh belahan dunia
termasuk di Indonesia yang ditandai oleh munculnya gerakan Islam dan
nasionalisme di Indonesia.
Gerakan Islam sejak zaman penjajahan memang telah terlibat dalam
aktivitas yang bersifat politis. Kondisi seperti ini lebih diakibatkan oleh peranan
Islam yang begitu menentukan dalam meraih kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Gerakan dan peperangan yang di pelopori oleh Imam
Bonjol dalam Perang Paderi, Pangeran Diponegoro, Perang Aceh dan serentetan
aksi-aksi perjuangan Islam lainnya dapat dijadikan indikator. Dengan meminjam
1
adagium yang cukup populer bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang
pandai menghargai jasa para pahlawannya”. Namun, tentunya bukti nyata dari
apresiasi ini adalah terus berkarya dan berkreativitas dalam mengisi
pembangunaan bangsa, meneruskan perjuangannya yang belum tercapai serta
tetap memiliki rasa nasionalisme yang tinggi disertai dengan nilai-nilai religiositas
yang cukup militan. Apabila kedua unsur tersebut berintegrasi pada seorang warga
bangsa maka hampir bisa dipastikan negara tesebut memiliki harkat dan martabat
yang cukup tinggi di mata dunia internasional.
Dalam konteks Indonesia, Islam telah menjadi identitas masyarakat
Indonesia yang membedakan dari bangsa penjajah, bahkan Islam sudah
merupakan simbol pemersatu masyarakat dunia internasional khususnya di
kawasan Asia Tenggara. Eksistensi Islam di kawasan ini terlihat sangat dominan
terutama sebelum kemerdekaan Republik Indonesia tangggal 17 Agustus 1945.
Menurut para pengkaji sejarah, pada dasawarsa inilah banyak masyarakat
Indonesia yang menjadi pengajar keagamaan di negara-negara tetangga seperti di
Malaysia dan Brunai Darussalam, kondisi yang sedikit berbeda dengan
perkembangan kekinian.
Gerakan Islam dan nasionalisme adalah dua unsur yang bahu-membahu
dalam memformulasikan sebuah negara-bangsa (nation state) yang pada
perkembangan selanjutnya disebut Indonesia. Kedua unsur inilah yang
membuahkan hasil yang teramat besar yaitu Kemerdekaan Indonesia. Kendati
demikian elemen bangsa lain tidak sedikit kontribusinya. Pergulatan politik pada
masa kemerdekaan Indonesia adalah manuver-manuver politik yang masih murni
sebagai gerakan nasional yang melakukan resistensi terhadap penjajah dalam hal
ini adalah Hindia Belanda dan Jepang. Gerakan politik pada masa ini ditandai
dengan sikap yang masih menjunjung tinggi kebersamaan dan meminimalisasi
aspek-aspek yang justru akan menimbulkan perpecahan dan pada ujungnya
menyebabkan sulitnya mewujudkan kemerdekan Indonesia.
Kekuatan Gerakan Islam dan nasionalis merupakan kekuatan determinan
dalam kancah politik Indonesia pada masa kemerdekaan, sungguhpun demikian
kedua kekuataan ini di topang pula oleh komitmen Indonesia merdeka tanpa
2
penjajahan. Pendapat yang cukup analitis diungkapkan tokoh intelektual muda
Bachtiar Effendy, pengamat politik terkemuka ini menandaskan bahwa tidak bisa
diragukan lagi bahwa Islam sangat menentukan dalam upaya nasionalis bangsa
Indonesia. Hal ini didukung pula oleh berbagai pengkaji nasionlisme bahwa Islam
Indonesia berfungsi sebagai mata rantai yang menyatukan rasa persatuan nasional
dalam menentang kolonialisme.
Secara psykologis nasionalisme berfungsi sebagai pondasi utama
timbulnya suatu negara kesatuan yang terdiri dari pulau-pulau. Nasionalime
merupakan perasaan subyektif sekelompok orang manusia bahwa mereka satu
bangsa dan cita-cita mereka serta aspirasinya dapat tercapai jika mereka
bergabung dalam sutu negara atau nation.
Dalam hal ini patut dikemukakan pendapat seorang filosuf Perancis Ernest
Renan-sebagaimana dikutip oleh Soekarno, bahwa “pemersatu bangsa bukanlah
kesamaan bahasa atau kesamaan suku bangsa, tetapi tercapainya kembali ke masa
depan”.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, terdapat silang pendapat yang bersifat
teoritis antara dua tokoh nasional Indonesia yaitu Ahmad Hassan dan Soekarno.
Bagi proklamator kemerdekaan Indonesia ini nasionalisme Indonesia bukanlah
nasionalisme sempit yang timbul dari kearogansian (kesombongan) bangsa
semata-mata tetapi nasionalisme kosmopolitan (luas) yang timbul dari
pengetahuan tentang sejarah atau gubahan riwayat jiwa.
Sementara itu menurut A. Hassan yang juga tokoh Persatuan Islam
(PERSIS) ini, ia mengatakan bahwa nasionalisme sama dengan ‘ashabiyyah,
berpegang teguh pada ‘ashabiyyah dan berjuang dengan ‘ashabiyyah maupun
menggunakan dasar atau landasan ‘ashabiyyah adalah tidak termasuk golongan
Nabi Muhammad SAW maka, atas dasar ini bisa disimpulkan bahwa nasionalime
atau paham kebangsaan bertentangan dengan ajaran Islam. Perseteruan pendapat
ini nampaknya dapat termediasi oleh pernyataan M. Natsir yang juga aktivis
PERSIS ini dengan paparannya bahwa “ pergerakan Islam yang membuka jalan
medan politik tanah air ini, yang menanamkan bibit persatuan Indonesia, yang
3
menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian dan menanamkan persaudaraan
dengan kaum senasib di luar batas Indonesia dengan tali keislaman yang lebih
kokoh dan permanen.
Dari sekilas perdebatan teoritis di atas, nampaklah bahwa kebhinekaan di
Indonesia telah memberikan inspirasi yang beraneka ragam pula dalam
menuangkan gagasan tentang kenegaraan. Hal ini pula yang menjadi sebuah
indikator penyebab terbentuknya ideologi negara Republik Indonesia yang
memayungi pluralisme. Unsur yang cukup dominan dalam pembentukan ideologi
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah gerakan Islam dan Nasionalis,
dimana gerakan nasionalis di motori oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
dikomandani Soekarno sedangkan gerakan Islam dimotoroti oleh H. O. S Tjokro
Aminoto melalui Sarekat Islam-nya pada tahun yang bersamaan yaitu pada tahun
1927. Dengan dilatar belakangi oleh pemikiran di atas, penulis termotivasi untuk
membedah lebih lanjut dan lebih luas tentang persaingan gerakan Islam dan
nasionalis dalam membentuk ideologi negara yang pada gilirannya menghasilkan
Pancasila sebagai falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.2 rumusan masalah
1. Bagaimana konsep hubungan negara dengan agama?
2. Bagaimana Politik Keagamaan Masa penjajahan?
3. Bagaimana Politik Keagamaan Masa Kemerdekaan?
1.3 tujuan masalah
1. Memahami konsep hubungan negara dengan agama.
2. Mengetahui Politik Keagamaan Masa Penjajahan.
3. Mengetahui Politik Keagamaan Masa Kemerdekaan.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep hubungan negara dengan agama
Pada banyak buku atau tulisan-tulisan, ada yang menyatakan bahwa agama
dan negara menjadi satu. Adapula yang menyatakan agama dan negara tidak dapat
bersama dan harus dipisahkan dengan tegas. Tetapi ada juga yang mengambil
jalan tengah dengan memberikan porsi tertentu dalam negara untuk ditempati
aspek-sapek agama (Wardi, 2007). Di Eropa pernah terjadi sebuah kondisi dimana
agama dan negara menjadi satu, yaitu pada masa sebelum abad tengah. Namun
pada zaman abad tengah sampai sekarang, agama dan negara di Eropa dipisahkan
kembali (Mas’udi, 2008).
Menurut pandangan Jibran (2000) pada ideologi sosialis atau komunis agama
jelas tidak mendapat tempat karena berbeda dalam melihat kebenaran. Pada
ideologi kapitalis atau liberalis agama diakui sebagai ranah pribadi dan bukan
ranah publik. Konsep ini disebut sekularisasi. Adanya pernyataan bahwa
Indonesia adalah negara sekuler adalah contradictio in conception, bertentangan
dengan makna pembukaan UUD 1945. Dalam NKRI hubungan agama dan negara
tidak bersifat dikotomis akan tetapi komprehensif integral yang didasar budaya
religius bangsa Indonesia (Armawi, 2009). Jadi lebih bersifat substansif yang
berarti nilai-nilai agama (Islam khususnya) menjadi dasar, acuan, dan pedoman
dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan negara.
2.2 Politik Keagamaan Masa Penjajahan
2.2.1 Zaman Penjajahan Belanda
Belanda datang ke Indonesia dengan motif utama perdagangan
(Steenbrink, 1995). VOC yang dibentuk untuk keperluan dagang juga dipakai
untuk bergerak di bidang politik. Para tokoh lokal berusaha mencari cara untuk
menggelorakan semangat untuk melawan Belanda, yaitu dengan memberi
5
semangat sentiment anti agama yang berbeda. Belanda dipandang sebagai orang
kafir yang harus diperangi, dan jika mati tergolong mati sahid. Motif ini mendapat
sambutan antusias dari masyarakat sehingga perlawanan terhadap Belanda
semakin kuat.
Kelompok masyarakat yang menggunakan sentiment agama terlihat pada
perang Jawa (perang Diponegoro). Kyai Mojo merupakan salah satu panglima
perang yang memperkuat motif agama dalam peperangan. Perang yang
berlangsung selama lima tahun memiliki dampak sebagai berikut.
1. Menyangkut ekonomi Belanda,
2. Menyebarkan gerakan anti Belanda yang dilandasi sentimen agama,
3. Meluasnya pesantren di Jawa Timur dan pedalaman Jawa Tengah.
Selain Perang Diponegoro, juga terdapat Perang Imam Bonjol yang
menggunakan motif agama. Walaupun kalah, tapi semangat untuk melawan
kolonial yang dianggap sebagai pemerintahan kafir menjadi memori kuat dalam
masyarakat.
Sedangkan pergerakan yang dipelopori oleh ulama’dalam ruang lingkup
yang lebih kecil sebagaimana peristiwa Haji Hasan di Jabar, peristiwa Gedangan,
peristiwa Cilegon, dan peristiwa Cebolek. Dalam pertiwa tersebut ulama menjadi
sentral penggerak pemberontakan yang menegaskan pentingnya sentimen
antiagama sebagai modal dalam melawan kolonial Belanda dan penguasa pribumi
(Suminto, 1985).
Deliar Noer menjelaskan bahwa kaum nasionalis Islam yang eksis pada
masa pergerakan nasional hingga lahirnya kemerdekaan mempunyai benang
merah dengan apa yang terjadi dan yang telah dilakukan oleh kaum ulama. Kaum
nasionalis Islam dikatakan dari kalangan pemuda yang berkenalan dengan
pendidikan pesabtren atau mempunyai hubungan pemikiran dengan kalangan
ulama. Pendapat ini perlu dikaji karena lahirnya SDI (1911) bukan karena motif
agama, tapi karena motif ekonomi. Kemudian SDI berubah menjadi SI (1912)
dengan kekuatan politiknya yang cukup kuat untuk memperjuangkan keberadaan
Islam. SI kemudian berubah menjadi PSI, yang kemudian berhubungan dengan
6
gerakan Islam dunia yang disebut sebagaikongres kilafah dunia. Gerakan yang
dikenal sebagai PanIslamisne berusaha membebaskan Islam dari keterbelakangan
dan mengangkat umat Islam sejajar dengan kaum penjajah. Dan yang terakhir PSI
berubah menjadi PSII.
Selain PSII, gerakan Islam yang lainnya adalah PERTI, Muhammadiyah,
dan NU. Organisasi tersebut pada masa penjajahan Belanda diidentiikan dengan
golongan nasionalis Islam yang menginginkan berdirinya sebuah negara yang
berdasarkan ajaran Islam (Suhelmi, 2002). Pada dasawarsa kedua mulai terjadi
pertentangan terbuka antara kelompok masionalis Islam dengan kaum nasionalis
sekuler. Kolonial Belanda tampaknya menikmati kejadian tersebut, namun tetap
memberlakukan politik garis keras terhadap kaum pergerakan. Menjelang akhir
kekuasaan Belanda, kaum nasionalis Islam bergabung dalam satu wadah bernama
Majlis Ala Hindis Sarqiyah (MAIHIS) dan kaum nasional sekuler bergabung
dalam Perhimpunan Partai-Partai Politik Kebangsaan Indonesia. Namun keduanya
dibubarkan ketika Belnda angkat kaki dari Indonesia.
Reaksi pemerintah kolonial Belanda terhadap pergerakan politik Islam
antara lain dengan menjalankan pemikiran Snouck Hurgronye (musuh kolonial
Belanda bukan Islam sebagai agama, namun Islam sebagai doktrin politik).
Hurgronye membagi Islam menjadi tiga aspek, yaitu Islam murni untuk ibadah,
Islam untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, dan Islam politik. Pada aspek
pertamakolonial Belanda cenderung netral. Pada aspek keduakolonial Belanda
menerapkan politik asosiasi kebudayaan. Dan pada aspek ketiga kolonial Belanda
berusaha untuk menekan dan mencegah berkembangnya politik Islam, terutama
Pan Islamisme. Kolonial Belanda memberlakukan politik Islam tidak selalu
konsisten, hanya pada aspek ketiga kolonial Belanda memberlakukan dengan
tegas.
2.2.2 Zaman Penjajahan Jepang
Keberhasilan menyingkirkan Belanda dari Indonesia disambut dengan
tangan terbuka oleh bangsa Indonesia.namun penjajah Jepang cukup cerdik
melihat potensi kekuatan polits yang ada saat itu, yaitu adanya golongan yang
berlatar nasionalis sekuler dan golongan nasionalis Islam. Golongan nasionalis
7
diewadahi dalam PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dengan organisasi militer
PETA (Pembela Tanah Air). Golongan Islam diwadahi dalam Masyumi (Majlis
Syuara Muslimin Indonesia). Dengan organisasi militer Hisbullah atau Sabilillah.
Dua kekuatan politis yang dibina Jepang ternyata menjadi kekuatan politis
utama berdirinya Republik Indonesia. BPUPKI sebagai lembagaperumus dasar
negara berhasil mempertemukan titik-titik perbedaan antara nasionalis sekuler dan
nasionalis Islam, sehingga lahirlah kompromi ideologis sebagaimana yang
tertuang dalam piagam Jakarta. Ketika BPUPKI diubah menjadi PPKI,
terjadilahsebuah peristiwa sejarah yang oleh beberapa kalangan Islam dianggap
mencederai kompromi yang telah disepakati. Berubahnya piagam Jakarta menjadi
Pancasila dalam waktu sekejap menjadikan ganjalan hubungan kalangan nasinalis
sekuler dengan kaum nasionalis Islam.
2.3 Politik keagamaan masa kemerdekaan
2.3.1 Masa perang kemerdekaan
Kecewa dan sakit hati golongan nasionalis islam sementara terendam
dengan hiruk pikuk kondisi sosiopolitik dan kultural pasca proklamasi. Golongan
nasionalis sekuler dengan cerdik menyatakan bahwa dasar negara dan
konstitusinya ( Pancasila dan UUD 1945 ) masih bersifat sementara, nanti setelah
terbentuk lembaga sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 akan ditetapkan
dasar Negara dan konstitusinya. Beberapa golongan islam dapat menerima
penjelasan ini dengan baik. Mereka memberikan penjelasan pada masyarakat
tentang perlunya sistem negara islam atau pemrintah islam melalui penerbitan-
penerbitan (Boaland, 1985). Tapia da beberapa yang diam-diam tidak merima dan
menganggap hal tersebut sebagai strategi golongan nasionalis sekuler untuk
menguasai Indonesia. Masa- masa yang sangat disibukkan untuk mempertahankan
kemerdekaan dari usaha kembalinya Belanda, dikejutkan dengan tindakan
Kartosuwiryo, salah seorang tokoh PSII dengan berani memproklamirkan
berdirinya Neagara Islam dengan nama Darul Islam Indonesia (DII) dijawa barat
pada tahun 1949 (Sartono, dkk,. 1875). Nasionalis sekuler yang kemudian
menguasai Republik Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali menumpas DII.
8
Setelah berlangsung 15 tahun DII berhasil ditumpas dan Kartosuwiryo dihukum
mati.
Ide untuk mendirikan Negara islam bukanlah hal baru. Pada tahun 1920an
pernyataan tersebut telah muncul. Tapi untuk merealisasikannya pada masa-masa
awal terbentuknya Indonesia merupakan persoalan yang rumik dan kompelks.
Perdebatan-perdebatan tentang dasa Negara di BPUPKI berhasil diselesaikan
dengan kompromi yang baik. Akan tetapi,kekecewaan golongan nasionalis islam
karena merasa dikhianati membentuk perilaku politik yang cenderung radikal.
Tindaka kartosuwiryo dengan mendirikan NII pada masa-masa perang
kemerdekaan juga menyakiti sebagian nasionalis sekuler ( terutama angkatan
bersenjata Indonesia ) yang menganggap kartusuwiryo menusuk dari belakang.
Pemerintah dengan resmi menyebut tindakan katusuwiryo dengan DII dan
tentaranya ( TII ) sebagai pemberontakan. Kartosuwiryo dengan DII/TII berhasil
melewati masa mempertahankan kemerdekaan, tetapi karena dianggap
pemberontak dia tidak dapat berjuang melalui partai politik. Sebenarnya seruan
untuk kembali kepangkuan ibu pertiwi terus diupayakan, tetapi kartosuwiryo telah
memilih jalan politiknya.
Pada masa perang kemerdekaan sebenarnya ada tokoh nasionalis Islam yang
berhasil mengisi pimpinan pemerintahan Indonesia yakni Moh.Roem. Dia berhasil
melakukan perundingan dengan pihak Belanda yang diwakili oleh van Royen,
sehingga perundingan tersebut dikenal sebagi perundingan Roem-Royen.
Moh.Roem adalah tokoh jong Islamiaten Bond dan seseorang anak didik Haji
Agus Salim tokoh PSII yang kemudian mendirikan gerakan penyadar. Moh.Roem
menjadi pimpinan pemerintahan tidak lama karena kemudian jatuh.
2.3.2 Masa Demokrasi Parlementer
Diakui RIS pada tahun 1949 dan kemudian kembali menjadi NKRI pada
Agustus 1950 berlaku system pemerintahan parlementer. Gerakan politik
Keagamaan menjelma menjadi kekuatan partai politik yang cukup kuat.
Setidaknya sampai pemilu tahun 1955 tercatat dua partai politik Islam yakni
Masyumi dan NU menduduki 4 besar pemenang pemilu. Sementara itu masih ada
9
partai politik lain seperti PSII dan perti. Tetapi sebagaimana yang terjadi bahwa
partai partai Islam merumuskan dan menyatukan cita-cita politik Islam yang dapat
diterima seluruh bangsa Indonesia ( Suryanegara dalam Wahid,dkk.,1993 ),
sehingga kembali terjadi pertentangan ideology dengan kelomopk nasionalis
sekuler bahkan dalam sidang konstitusi juga dengan kelompok komunis.
Kegagalan merumuskan cita-cita politikpada siding konstitusi dalam
menetukan dasar Negara,sehingga presiden mengambil langkah dengan
mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959. Salah satu isinya adalah kembali pada
pancasila dan UUD 1945.
Di Luar parlementer gerakan politik keagamaan berjuang melalui senjata
terus berlangsung. Kartosuwirjo dengan DI/TII masih eksis, dan bahkan mendapat
dukungan dari berbagai daerah diluar jawa, antara lain Aceh, dan Sulawesi
Selatan. Di Jawa dukungan terhadap DI/TII muncul di Jawa Tengah, tepatnya
dikudus dan yang menarik dukungan ini berasal dari kalangan tentara karena
dilakukan oleh battalion 426. Cia-cita pokok untuk mendirikan Negara Islam telah
mengkristal menjadi sebuah ideology perjuangan.
2.3.3 Masa Demokrasi Terpimpin
Pola pergerakan Politik Keagamaan pada masa demokrasi terpimpin sedikit
berbeda dengan masa demokrasi liberal. Golongan nasionalis muslim yang
radilkal tetap berada di luar
System pemerintahan, artinya tetap bergerak sebagi perlawanan atau
pemberontakan terhadap NKRI dengan pancasila dan UUD 1945. Sementara
golongan nasionalis muslim yang berjuang dalam system, terpecah menjadi dua.
Satu kelompok memilih di luar pemerintah bersikap kritis terhadap pemerintahan
Soekarno sehingga ditekan. Kelompok ini diwakili oleh partai Masyumi.
Kelompok lain bergabung dengan pemerintahan Soekarno dalam kompromi
ideology yang merupakan gabungan tiga kekuatan politik (baca:ideologi)yakni
nasionalis,agama, dan komunis(Nasakom). Kelompok ini diwkili oleh partai NU
yang mewadahi politik ulama pesantren. NU dikenal melakukan politik Islam
akomodatif.
10
Pada masa demokrasi terpimpin gerakan politik keagamaan yang berada
diluar system(Pemberontak) yakni DI/TII berhasil ditumpas, setelah kartusuwirjo
ditangkap. Namun pengikut ideology yang dikembangkan oleh Kartusuwirjo
melakukan pergerakan yakani Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Daud
Beureuh di Aceh (Shaleh, 2003).
2.3.4 Masa Orde Baru
Lahinya orde baru dengan slogan menjalankan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen tidak menyurutkan niat untuk memperjuangkan
berdirinya pemerintahan Islam di Indonesia.sebagian golongan nasionalis muslim
berjuang didalam system melalui partai politik.
Kebijakan orde baru menempatkan domain hubungan agama dan Negara
sebagi sesuatu yang harus dipisahkan yang disebut sekulerisasi politik
pemerintahan. Dan pergerakan poltik islam diluar system harus ditumpas
sementara yang berjuang didalam system dikondisikan agar tidak berkembang.
Setelah Pemilu tahun 1971 parati-partai politik islam dipaksa bergabung dengan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Gerakan yang dianggap ekstrim ditumpas
habis, seperti peristiwa Tanjung Priok Jakarta dan Wai jepara di Lampung. Dan
peristiwa perlawanan yang lain: Komando jihad,peristiwa Cicendo, dan
pembjakan pesawat Woila.
Tahun 1970 muncul pemikiran tentang sekulerisasi politik islam.
Muncul tokoh - tokoh akademis yang mendukung skulerisasi yaitu nurcholish
madjid, djohan effendi, dan dawam rahardjo. Mereka memperkenalkan “islam
yes, partai no”. Ujung akhir sekulerisasi politik islam adalah menentang
munculnnya Negara Islam Indonesia, karena pancasila sudah dianggapsesuai
dengan prinsip etika politik islam. Pendapatitu akhirnnya digunakan sebagai
reasoning pemerintah orde baru untuk melakukan depolitisasi politik islam. Orde
baru membuat stigma bahwa siapapun yang memperjuangkan islam berarti
berlawanan dengan pancasila.
Pada tahun 1980 ada faktor external yang membangkitkan kembali
asa tentang perlunnya sistem pemerintahan islam , yaitu keberhasilan revolusi Iran
11
yang digerakkan oleh para tokoh – tokoh agama Oslam Syiah. Pengaruh revolusi
Iran masuk ke indonesia melalui kajian – kajian bagaimana aliran syiah dapat
berkuasa di Iran. Muncul kelompok-kelompok kajian seperti (halaqoh) yang
kembali merumuskan perjuangan untuk mendirikan pemerintahan islam. Tetapi
ada kelompok – kelompok lain yang bergerak melalui kursus – kursus singkat
penanaman nilai dasar keislaman (PNDI). Kegiatan dua kelompok ini
menyemangati lahirnnya aktivitas masjid kampus yang sering dikenal dengan
BDM(Badan Dakwah Masjid) dan BDI(Badan Dakwah Islam)
2.3.5 Masa orde Reformasi
Lengsernnya soeharto sebagai presiden RI pada tahun 1998 menandai
berakhirnnya masa orde baru dan lahirnnya orde Reformasi, yang memiliki
agenda menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat madani. Untuk itu
langkah awal yang dilakukan adalah memperbaiki masalah demokrasi, pengakuan
HAM, dan penegakan hukum. Masa peralihan kekuasaan dari orde baru ke orde
reformasi terjadi ke carut marutan di bidang politik dan istilah jihad muncul lagi
dengan diartikan secara sempit sebagai siap perang dengan siapapun yang
dianggap berseberangan, merendahkan atau melecehkan islam.
Disisi lain dengan dasar HAM mereka memperjuangkan aspirasi politik,
muncul gerakan politik yang terang – terangan memperjuangkan berlakunnya
syariat islam di Indonesia baikmelaluipartai politik maupun diluar partai politik.
Partai politik diwakili oleh Partai Bulan Bintang (PBB), dan non politik diwakili
oleh Hisbut Tahrir Indonesia ( HTI).
12
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Dalam NKRI hubungan agama dan negara tidak bersifat dikotomis
akan tetapi komprehensif integral yang didasar budaya religius
bangsa Indonesia (Armawi, 2009). Jadi lebih bersifat substansif
yang berarti nilai-nilai agama (Islam khususnya) menjadi dasar,
acuan, dan pedoman dalam melaksanakan kehidupan berbangsa
dan negara.
Pada politik keagamaa Masa Penjajahan difokuskan sebagai cara
untuk mengusir penjajah yang diutamakan dengan membuat
organisasi – organisasi intra ataupun Extra yang kental dengan
budaya Agama.
Politik keagamaan di masa Kemerdekaan sudah menjadi sangatluas
mereka mulai membentuk organisasi yang dapat masuk sebagai
politik yang berbasis syariat dan mengajakpara masyarakat
membentuk negara – negara yang berbasis Islam
Saran
Kita dapat mengerti tentang perkembangan politik Islam di
indonesia, kita sebagai anakmuda yang membangun masyarakat di
kemudian hari kita diharapkan tau apa yang baik untuk diri kita
dan untuk orang –orang di sekitar kita.
Kita juga tidak asal percaya dengan organisasi –organisasi
Islamyang ada diluar sana, kita harus tau maksud dan tujuan
didirikannya organisasi itu.
13
Daftar Pustaka
Armawi,A.2009.”Pemikiran Filosofis Hubungan Negara dan Agama di
Indonesia”.disertasi. FakultasFilsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Sarbini.2005.Islam ditepian Revolusi:ideologi ,pemikiran, dan
gerakan.Yogyakarta:pilar media
Suhelmi,A.2002.Politik Negara Islam :sukarno versus natsir .Jakarta :TERAJU
Shaleh,A.Q.2003.”agama” kekerasan. Yogyakarta:Prismasophie Press
http://www.slideshare.net/karepku/perkembangan-peradaban-islam-di-indonesia-pada-masa-penjajahan-barat-dan-penjajahan-jepang
14