hak sebagai imbalan kewajiban (studi kritis penafsiran al...
TRANSCRIPT
HAK SEBAGAI IMBALAN KEWAJIBAN
(Studi Kritis Penafsiran al-Sya‘râwi dan Wahbah al-Zuhaili)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ag.)
Oleh
Tresna Tulus Hadi
NIM 1112034000141
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
i
HAK SEBAGAI IMBALAN KEWAJIBAN
(Studi Kritis Penafsiran al-Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili)
Skripsi
DiajukanUntuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ag.)
Oleh
TresnaTulusHadi
NIM. 1112034000141
Pembimbing
Dr.Faizah Ali Syibromalisi, M.A.
NIP. 195560821199031001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul “HAK SEBAGAI IMBALAN KEWAJIBAN (Studi Kritis
Penafsiran al-Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili) telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 24 Oktober 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana agama (S.Ag.) pada program studi Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir.
Jakarta, 24 Oktober 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Dr.Lilik Ummi Kaltsum, M.A.
NIP. 19711003 199903 2 001
Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.
NIP. 19680618 199903 2 001
Anggota
Penguji I
Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A.
NIP. 19530107 198703 1 002
Penguji II
Dr. Hasani Ahmad Said, M.A.
NIP. 19820221 200901 1 024
Pembimbing
Dr.Faizah Ali Syibromalisi, M.A.
NIP. 19556082 119903 1 001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Tresna Tulus Hadi
Nim : 1112034000141
Program Studi : Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul HAK SEBAGAI IMBALAN
KEWAJIBAN (Studi Kritis Penafsiran al-Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili)
adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat
dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini
telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan
proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika
ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang
lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Jakarta, 24 September 2018
Tresna Tulus Hadi
iv
ABSTRAK
Tresna Tulus Hadi
“Hak Sebagai Imbalan Kewajiban (Studi kritis penafsiran al-Sya„râwi dan
Wahbah al-Zuhaili)”
Al-Qur‟an sebagai petunjuk untuk umat manusia, selalu dikaji sejak zaman
klasik sampai modern sekarang ini dalam berbagai aspeknya. Mulai dari aspek
sejarah turunnya, sejarah pembukuannya, penafsirannya, aspek kandungan
maknanya, aspek gramatikanya sampai pada aspek cara membacanya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ayat-ayat yang membahas kewajiban
yang didahulukan dari pada hak. Dalam meneliti ayat-ayat tersebut penulis
mengambil dari sudut pandang tafsir al-Sya„râwi dan tafsir Wahbah al-Zuhaili.
Tafsir al-Sya„râwi yang bercorak sastra dan sosial, sedangkan Wahbah yang
bercorak hukum fiqh. Maka akan ada perbedaan sudut pandang dari dua
penafsiran tersebut dalam meneliti penelitian ini. Penelitian ini menggunakan
metode deskritif-analisis, yaitu suatu pendekatan masalah dengan
menguraikannya terlebih dahulu sebagai gambaran awal dan setelah itu baru
dianalisis. Metode deskritif dimaksudkan untuk menggambarkan objek apa
adanya, sedangkan metode analisis dianggap perlu guna menganalisis objek yang
telah digambarkan sebelumnya. Sehingga diharapkan tersingkapnya penafsiran al-
Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili atas ayat-ayat tentang kewajiban yang
didahulukan dari pada hak.
Hasil penelitian mengenai ayat-ayat yang mendahulukan kewajiban dari pada
hak. Menunjukkan bahwaseseorang harus menjalankan terlebih dahulu
kewajibannya sebelum ia menerima haknya. Sebagai contoh seorang suami yang
harus memenuhi kewajibannya seperti menjaga, menafkahi, dan membimbing
istrinya. Maka setelah itu ia mempunyai hak atas istrinya.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhâna Wa
Ta„âlâ, yang senantiasa melimpahkan nikmat, rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-
Nya kepada penulis. Sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Hak Sebagai Imbalan Kewajiban (Telaah kritis tafsir al-
Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili)”. Salawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi MuhammadSalallahu`AlaihiWaSallam, beserta
keluarganya, para sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa patuh dan ta‟at
menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya.
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Ushuluddin (S.Ag.). Dalam penyusunan ini menyadari sepenuhnya bahwa
skripsi ini masih terdapat banyak kekhilafan, kekurangan dan keterbatasan ilmu
pengetahuan yang penulis miliki. Namun, berkat bimbingan, arahan, dan motivasi
dari berbagai pihak, dan alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin mengucapkan banyak
terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Umi Kultsum, M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur‟an
dan Tafsir dan Ibu Banun Binaningrum, M.P.d., selaku Sekretaris Progam
Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir.
vi
4. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A. selaku dosen pembimbing, yang telah
begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada penulis di tengah kesibukan
yang padat, serta membimbing penulis dengan sabar agar penulis ini
selesai dengan baik dan juga bermanfaat.
5. Bapak/Ibu dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu dan pendidikan yang
tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ayahanda tercinta Afendi dan ibunda tercinta Hodijah atas doa, cinta dan
kasih sayang yang selalu dicurahkan. Serta dukungan, semangat dan
motivasi.
7. Dan semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi terhadap
penyelesain skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, namun
tidak mengurangi rasa hormat penulis. Mungkin hanya ucapan terimakasih
yang dapat penulis sampaikan semoga amal baiknya mendapatkan pahala
dan balasan dari Allah Subhâna Wa Ta„âlâ, Amin.
Jakarta, 24 September 2018
Hormat saya,
Tresna Tulus Hadi
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman Akademik
Program Strata I tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengangaris di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
z zet dengan garis di bawah ظ
„ ع
koma terbalik ke atas, menghadap ke
kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
viii
h ha ه
apostrof „ ء
y ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a fathah
i kasrah
u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ȃ a dengantopi di atas ـا
ȋ I dengantopi di atas ـي
û u dengantopi di atas ـو
ix
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkang dengan huruf,
yaitu, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-nisa bukan an-nisa, al-rijal bukan ar-rijal.
e. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
menggandakan huruf yang diberitanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang telah diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis ad-
darurah melainkan al-darurah, demikian seterusnya.
f. Ta Marbutah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/(lihat
contoh di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti
pada sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti
kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/(lihat
contoh 3).
No Tulisan Arab Keterangan
Tariqah طريقة .1
x
al-Jami’ah al-Islamiyyah اجلامعة اإلسالمية .2
Wahdat al-wujud الوجودوحدة .3
g. Huruf Kapital
Meskipun dalam system penulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam
alihaksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal atau kata
sandanngya. (Contoh: Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali, al-
Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
teball (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alihaksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, bukan Abdu
al-Salam al-Palimbani; Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………… ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………iii
ABSTRAK…………………………………………………………………iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………….v
PEDOMAN TRANSLITERAS ………………………………………….vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................... 6
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ............. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 8
E. Tinjaun Pustaka............................................................... 9
F. Metode Penelitian ........................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 11
BAB II DEFINISI HAK DAN KEWAJIBAN
A. Definisi Hak .................................................................... 14
B. Definisi Kewajiban ......................................................... 19
C. Derivasi Kata Hak dan Kewajiban .................................. 22
BAB III MENGENAL AL-SYA„RÂWI DAN WAHBAH AL-ZUHAILI
SERTA TAFSIR MEREKA
xii
A. Mengenalal-Sya„râwi…………………………………..23
1. Riwayat Hidup ..........................................................23
2. Pendidikan dan Karir al-Sya„râwi ............................24
3. Profil Tafsir al-Sya„râwi ...........................................28
B. Mengenal Wahbah al-Zuhaili.........................................35
1. Riwayat Hidup……………………………………. 35
2. Pendidikan dan Karir Wahbah al-Zuhaili …………36
3. Profil Tafsir Wahbah al-Zuhaili …………………. 38
BAB IV AYAT-AYAT YANG MENDAHULUKAN KEWAJIBAN DARI
HAK YANG SEHARUSNYA DIPEROLEH
A. Beribadah Kepada Allah Sebelum Meminta
Pertolongannya ……………………………………….45
B. Hak Suami Terhadap Istri …………………………….51
C. Ganjaran Amal Saleh ………………………………....60
D. Pernikahan Nabi Musa Sebagai Imbalan Haknya Selama 8
Tahun ………………………………………………….71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................83
B. Saran...............................................................................83
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an adalah mu„jizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu
pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhâna Wa
Ta‟âlâ menurunkannya kepada Nabi Muhammad Salallahu „Alaihi wa Sallam,
demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya ilahi,
dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.1
Al-Qur‟an mempunyai fungsi sebagai petunjuk yang pertama kali Allah
perkenalkan kepada kita dalam ayat ke-2 surrah al-Baqarah. Sekaligus menjawab
permohonan yang kita baca minimal 17 kali sehari semalam pada setiap rakaat
shalat, tercantum pada dua ayat terakhir surrah al-Fâtihah. Selayaknya sebuah
petunjuk, sesungguhnya tidak perlu didiskusikan apalagi diperdebatkan karena
petunjuk adalah cara yang harus dilaksanakan. Meskipun begitu, al-Qur‟an tidak
pernah mengabaikan peran pemikiran dan akal yang Allah anugerahkan. Bahkan
orang yang berakal adalah syarat seseorang mendapat beban tanggung jawab
dalam setiap titah dan perintah Allah „Azza wa Jalla.2
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga
berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Manusia pada
hakikatnya adalah mahluk yang bertanggung jawab. Disebut demikian karena
manusia, selain merupakan mahluk individual dan mahluk sosial, juga merupakan
1Syaikh Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013) h. 3 2Amang Syafrudin, Hidup Dengan Al-Fatihah (Jakarta: Gema Insani, 2009) h.xix
2
mahluk Tuhan. Manusia memiliki tuntutan yang besar untuk bertanggung jawab
mengingat ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks social, indivisual
atupun teologis.3
Dalam konteks sosial manusia merupakan mahluk sosial. Ia tidak dapat hidup
sendirian dengan perangkat nilai-nilai selera sendiri. Nilai-nilai yang diperankan
seseorang dalam jalinan sosial harus dipertanggungjawabkan sehingga tidak
mengganggu consensus nilai yang telah disetujui bersama. Masalah tanggung
jawab dalam konteks individual berkaitan dengan konteks teologis. Manusia
sebagai mahluk individual artinya manusia harus bertanggung jawab terhadap
dirinya (keseimbangan jasmani dan rohani) dan harus bertanggung jawab terhadap
Tuhannya (sebagai penciptanya). Tanggung jawab manusia terhadap dirinya juga
muncul sebagai akibat keyakinannya terhadap suatu nilai.4
Demikian pula tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya timbul karena
manusia sadar akan keyakinannya terhadap nilai-nilai. Dalam hal ini terutama
keyakinannya terhadap nilai yang bersumber dari ajaran agama. Manusia
bertanggung jawab terhadap kewajibannya menurut keyakinan agamanya.5
Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. Orang
yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas segala
yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap
orang lain, tidak pengecut dan mandiri. Dengan rasa tanggung jawab, orang yang
bersangkutan akan berusah mealalui seluruh poensi dirinya. Orang yang
3M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Pustaka Satya, 2001) h. 53
4M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, h. 53
5M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, h. 53
3
bertanggung jawab adalah orang yang mau berkorban demi kepentinga orang
lain.6
Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu
yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap
hak, dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Maka tanggung jawab dalam hal
ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya. Orang yang bertanggung
jawab akan memperoleh kebahagiaan, sebab dapat menunaikan kewajibannya.
Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya dan orang lain. Sebaliknya,
orang yang tidak bertanggung jawab akan menghadapi kesulitan, sebab ia tidak
mengikuti aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku.7
Sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk individu, mahluk sosial, dan
mahluk ciptaan Tuhan, tanggung jawab manusia dapat dibedakan atas tanggung
jawab terhadap diri sendiri, tanggung jawab terhadap masyarakat, dan tanggung
jawab terhadap Tuhan. Tuhan telah menciptakan manusia lengkap dengan segala
peralatannya, diberi hidup, akal dan budi. Semua pemberian ini harus dipelihara.
Terhadap hidup manusia dituntut tanggung jawabnya. Di samping menggunakan
akal budinya sebagai mana mestinya, juga dituntut menanggung resiko akibat dari
perbuatan akal dan budinya. Bila akal budi berbuat jahat, manusia bersangkutan
harus berani menanggung resiko, baik di dunia maupun di akhirat nanti.8
Allah satu-satunya raja pembalasan di hari yang tiada balasan berarti dari
siapapun yang selama ini kita harapkan. Balasan, imbalan atau kompesensi adalah
faktor yang sangat kuat mempengaruhi terbentuknya motivasi kita dalam
6M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, h. 54
7M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, h. 54
8M. Arifin Hakim, Ilmu Budaya Dasar, h. 54
4
bertindak dan berbuat.9 Karena setiapapa yang kita lakukan baik atau buruk akan
mendapatkan balasan. Sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur‟an Surat al-
Zalzalah ayat 7-8:
ۥشرا ي ره مل مثقال ذرة ي ع ومن .ۥا ي ره فمن يعمل مثقال ذرة خير
Allah berfirman: Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan
kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.10
(Qs. al-
Zalzalah ayat 7-8)
Untuk itu kita harus beriman kepada Allah sebagai sumber informasi tentang
apa sebenarnya tujuan kita diciptakan dan hidup di planet Bumi ini. Hal ini akan
mengantarkan kita kepada sebuah niat yang memotivasi setiap amal perbuatan dan
aktivitas kita. Tujuan dengan kompensasinya yang jelas dan terjamin juga sangat
memengaruhi tingkat ke-ikhlas-an kita dalam beramal.11
Dan kita harus sadar
bahwa seluruh tindakanakan mendapat balasan baik atau buruk membuat kita
selalu memilki pertimbangan yang matang dalam mengambil keputusan.
Kesadaran ini demikian signifikan untuk mengontrol kualitas diri kita. Suatu
pengawasan melekat sesungguhnya dan kendali yang luar biasa dalam menata
kepribadian seseorang. Saat itulah ia memohon bantuan Allah dalam beribadah
dan mengatasi berbagai problematikanya.12
Dewasa ini banyak orang yang hanya menuntut pertolongan Allah tanpa
menjalankan kewajibannya sebagai seorang hamba. Sebagai manusia yang
berakal, maka kita dibebani akan kewajiban-kewajiban yang harus kita jalankan.
9Amang Syafrudin, Hidup Dengan Al-Fatihah, h. 48
10Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid dan Terjemahannya (Bogor: Wisma Haji
Tugu, 2007), h. 559 11
Amang Syafrudin, Hidup Dengan Al-Fatihah, h. 50 12
Amang Syafrudin, Hidup Dengan Al-Fatihah, h. 51
5
Misalnya, kewajiban kita untuk menyembah Allah dan menjalankan semua syariat
yang telah diperintahkan dan juga kewajiban sebagai warga Negara Indonesia
dengan mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah serta
kewajiban-kewajiban lain sesuai fungsi dan tanggung jawab kita. Setelah kita
menjalankan kewajiban kita dengan baik maka barulah kita berhak mendapatkan
hak kita.
Hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling berkaitan.
Maka apabila kita ingin mendapatkan hak, kita harus terlebih dahulu menjalankan
kewajiban kita. Sebagai contoh apabila kita ingin mendapatkan gelar sarjana maka
kita harus menjalankan kewajiban kita sebagai mahasiswa. Begitupun apabila kita
ingin dikabulkan doa kita oleh Allah, maka kita harus menjalankan kewajiban kita
sebagai hamba sebelum kita meminta pertolangan-Nya.
Al-Qur‟an telah membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah hak dan
kewajiban. Di mana di dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa kita seharusnya
menjalankan kewajiban terlebih dahulu sebelum mendapatkan hak kita. Terdapat
ayat-ayat dalam Al-Qur‟an yang membahas bahwa hak akan diperoleh setelah kita
menjalankan kewajiban.
Dalam pembahasan mengenai hak dan kewajiban, banyak masyarakat yang
salah memposisikan kata hak dan kewajiban. Mereka lebih mendahulukan hak
dari padakewajiban, padahal di dalam al-Qur‟an sudah jelas bahwa kita harus
menjalankan kewajiban terlebih dahulu sebelum mendapatkan hak. Salah satu
contoh dalam surat al-Fâtihah ayat 5:
إياك نعبد وإياك نستعني
6
Allah berfirman: Hanya kepadaMu lah kami menyembah dan hanya
kepadaMu lah kami memohon pertolongan.13
(Qs. Al-Fâtihah ayat 5)
Dari ayat di atas jelas bahwa kita diperintahkan untuk menyembah dan
beribadah terlebih dahulu sebelum meminta pertolongan dan bantuan dari Allah.
Di dalam permasalahan hak dan kewajiban penulis menemukan ayat-ayat yang
membahas bahwa kewajiban harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum
mendapatkan haknya.
Dalam pembahasan mengenai hak dan kewajiban, penulis meneliti pendapat
dua orang mufasir terkenal yaitu Syaikh Mutawalli al-Sya„râwi dalam karya tafsir
yang berjudul Khawatir Haul al-Qur‟ân al-Karîm dan Syaikh Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili dalam karya tafsirnya yang berjudul al-Munîr.
Untuk menjawab permasalahan mengenai hak dan kewajiban, di mana
kewajiban seharusnya didahulukan dari pada hak, maka penulis tertarik
membahas hal tersebut dengan judul “Hak Sebagai Imbalan Kewajiban (Studi
Kritis Penafsiran al-Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili).”
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas penulis mendapatkan identifikasi masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian kewajiban dan hak?
2. Apa pandangan masyarakat terhadap hak dan kewajiban?
3. Bagaimana kewajiban dan hak dalam Islam?
13
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid dan Terjemahannya, h. 1
7
4. Ayat-ayat apa saja yang mendahulukan kewajiban dari pada
hak yang dipenuhi?
5. Bagaimana pendapat al-Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili
mengenai kewajiban yang didahulukan dari pada hak dalam
tafsirnya?
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari pembahasan latar belakang masalah di atas, maka dapat dibatasi
pembahasan mengenai hak dan kewajiban. Pembatasan masalah ini, dibatasi pada
pembahasan mengenai definisi dari hak dan kewajiban, serta pembahasan
mengenai ayat-ayat yang mendahulukan kewajiban dari pada hak. Karena
keterbatasan waktu dalam penulisan skripsi ini, serta untuk menghindari
pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah kepada maksud dan tujuan
dari penulisan skripsi ini, maka penulis menitikberatkan pada penafsiran tafsir al-
Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili. Karena tafsir al-Syar„râwi bercorak sastra dan
sosial, sementra tafsir Wahbah bercorak hukum fiqh. Penulis ingin membahas
masalah ini dari dua sudut pandang tafsir tersebut. Adapun ayat-ayat yang akan
dibahas, penulis membatasinya dalam beberapa ayat dengan surat yang berbeda,
yaitu:
1. Surat al-Fâtihah (1) ayat 5
2. Surat al-Baqarah (2) ayat 40
3. Surat al-Nisâ (4) ayat 34
4. Surat al-Nahl (16) ayat 39
5. Surat al-Kahfi (18) ayat 30, 88, dan 107
8
6. Surat al-Qasas (28) ayat 22-28
Ayat-ayat ini dipilih karena menurut hemat penulis ayat-ayat tersebut dapat
mewakili penelitian yang akan dibahas dalam skripsi ini.
2. Perumusan Masalah
Selanjutnya untuk mempermudah pembahasan, maka hal tersebut dapat di
rumuskan permasalahannya sebagai berikut :
Bagaimana pendapat al-Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili mengenai
kewajiban yang didahulukan dari pada hak dalam tafsirnya?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Disesuaikan dengan rumusan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini yaitu,
untuk mengetahui bagaimana pendapat al-Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili
mengenai ayat-ayat kewajiban yang didahulukan dari pada hak.
2. Manfaat
Adapun manfaat dalam penelitian ini dapat digunakan untuk beberapa hal :
1. Sebagai input atau referensi bagi mahasiswa Fakultas
Ushuluddin untuk mengetahui kewajiban dan hak dalam Islam
serta ayat-ayat Al-Qur‟an yang membahas bahwa kewajiban
didahulukan sebelum mendapatkan hak.
2. Bagi kalangan civitas akademisi, diharapkan penelitian akan
menambah khazanah keilmuan yang ada di Fakultas
9
Ushuluddin dan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bagi masyarakat pada umunya, penelitian ini dapat menjadi
wawasan baru dan ilmu pengetahuan baru tentang hak dan
kewajiban dalam Islam dan bahwa kewajiban didahulukan
sebelum mendapatkan hak.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga merujuk kepada skripsi-skripsiyang
sudah terdahulu dengan subtansi pembahasan yang tentu berbeda, diantaranya
sebagi berikut:
1. Skripsi, Hak Dan Kewajiban Suami Istri, ditulis oleh Mohammad
Hamdan Asyrofi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
pada tahun 2014, pembahasan dalam skripsi ini untuk
mengetahuipemikiran Sayyid Muhammad bin Alawy tentang hak
dan kewajiban suami istri.
2. Skripsi, Hak dan Kewajiban Istri Bagi Wanita Karir, ditulis oleh
Nabila Alhalabi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015, pembahasan dalam skripsi
ini untuk mengetahui hak dan kewajiban istri yang berprofesi
sebagai wanita karir dalam pandangan hukum Islam dan hukum
positif.
3. Makalah, Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Menurut
Wahbah al-Zuhaili, ditulis oleh Lilik Ummi kaltsum diterbitkan di
jurnal Studi General Gender Palastren STAIN Kudus 2012,
10
pembahasan dalam makalah ini untuk mengetahui ayat-ayat al-
Qur‟an yang membahas hak-hak perempuan dalam
pernikahan.Makalah tersebut tidak menitikberatkan pada
permasalahan kewajiban istri ataupun suami sebelum ia
mendapatkan haknya.
4. Buku, Ensiklopedi Hak dan Kewajiban dalam Islam, ditu;is oleh
Syaikh Sa‟ad Yusuf Mahmud Abu Aziz diterbitkan oleh Pustaka
al-Kautsar, Februari 2018. Dalam buku tersebut Syaikh Sa‟ad
Yusuf Abu Aziz menguraikan hak-hak dan kewajiban manusia
sebagai hamba Allah, di antaranya; apa hak Allah bagi hamba dan
apa hak seorang hamba kepada Allah, hak orangtua kepada anak
dan apa hak anak terhadap orangtua, demikian juga hak suami-istri,
hak muslim, hak bertetangga, hak anak yatim, dan lain-lain. Dalam
buku tersebut tidak menitikberatkan kepada sebuah penafsiran
seorang tokoh.
Dari tinjauan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa skripsi yang penulis
teliti ini berbeda, karena penulis akan membahas seputar penafsiran tentang hak
sebagai imbalan kewajiban. Dalam hal ini penulis meneliti dari kitab tafsir al-
Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kulitatif, karena data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa dokumentasi kepustakaan. Oleh
karena itu, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian Library research
11
(Penelitian Kepustakaan). Data-data yang digunakan sebagai bahan dan
materi diperoleh dari buku-buku, artikel, skripsi, dan sebagainya yang
terkait dengan tema yang dimaksud.
2. Sumber data
penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam
mengumpulkan data, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Adapun
rinci masing-masing sumber adalah :
a. Data primer berupa kitab tafsir Khawatir Haul al-Qur‟ân al-Karîm
karya Syekh Mutawali al-Sya„râwi dan Tafsir al-Munîr karya
Prof.Dr Wahbah al-Zuhaili.
b. Data skunder merupakan data pendukung dan sumber primer, yang
berasal dari kepustakaan, buku-buku, tulisan-tulisan, artikel-artikel,
makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Terdapat dua cara dalam mengumpulkan data dalam sebuah penelitian
yaitu, melalui penelitian kualitatif dan melalaui penelitian kuantitatif.
Adapun teknik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Teknik ini dipilih karena dalam pengumpulan data
penelitian ini lebih banyak bergantung kepada diri peneliti sendiri sebagai
alat penggumpul data.14
4. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam skripsi ini, adalah deskritif-analisis, yaitu
suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya terlebih dahulu sebagai
14
Daswandi,“Implikasi Nasikh Mansukh dalam Menafsirkan Al-qur‟an”,Tesis S2
Fakultas Ushuluddin Uin Jakarta, 2017, h. 20
12
gambaran awal dan setelah itu baru dianalisis. Metode deskritif
dimaksudkan untuk menggambarkan objek apa adanya, sedangkan metode
analisis dianggap perlu guna menganalisis objek yang telah digambarkan
sebelumnya.15
Sehingga diharapkan tersingkapnya penafsiran al-Sya‟rawi
dan Wahbah al-Zuhaili atas ayat-ayat tentang kewajiban yang didahulukan
dari pada hak.
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku
“Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013”.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang kerangka dan alur
penulisan skripsi ini, serta apa saja yang nanti akan dibahas dalam skripsi ini,
maka penulis akan mengurai sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut :
Pada bab pendahuluan akan diuraikan latar belakang penulisan skripsi ini yang
merupakan pijakan awal berpikir, disusul kemudian secara berurutan penjelasan
serta pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, dan teknik penulisan serta ditutup dengan sistematika
penulisan ini.
Bab kedua dibahas tentang biografi Wahbah al-Zuhaili dan al-Sya„râwi. Yang
akan dibahas dalam biografi keduanya adalah riwayat hidup, profil tafsir dan
metode tafsirnya.
Sedangkan di bab ketiga ini akan dibahas definisi kewajiban dan hak serta
kewajiban dan hak dalam Islam.
15
Putri Ajeng Fatimah, “Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili”,Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin Uin Jakarta, 2011, h. 13
13
Dalam bab keempat ini berisi tentang pandangan tafsir al-Sya„râwi dan
Wahbah Zuhaili mengenai ayat-ayat Al-Qur‟an yang mendahulukan kewajiban
dari pada hak yang seharusnya diperoleh.
Pada bab terkahir akan disampaikan beberapa kesimpulan guna menjawab
beberapa pertanyaan yang mendasar dari permasalahan yang adadi dalam skripsis
ini.Tidak lupa pula penulis akan memberikanbeberapa saran-saran yang
diperlukan sebagai catatan atas permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
14
BAB II
DEFINISI HAK DAN KEWAJIBAN
A. Definisi Hak
Kata al-Haqq (احك) berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar
dari kata يحك -حك yang secara etimologi mempunyai makna lawan dari kata
kebatilan yakni kebenaran; keadilan; kepemilikan; dan bagian.1Al-Haqq di dalam
kamus al-muhît merupakan salah satu nama dari nama-nama Allah atau dari sifat-
sifat-Nya, dan salah satu nama dari al-Qur‟an.2 Sedangkan di dalam kamus besar
bahasa Indonesia hak mempunyai arti benar; milik; kewenangan; kekuasaan; dan
derajat atau martabat.3
Mengenai kata “al-haqq” sebenarnya dalam wacana Arab kontemporer
merupakan terjemahan dari kata droit (Prancis) dan right (inggris). Al-Haqq
dalam bahasa Arab merupakan kata yang bermakna ganda karena ia dapat berarti
“benar” (vrai/true) sebagai lawan dari “salah” (batil/faux/wrong). Kata al-haqq
juga berarti “keyakinan setelah keraguan”, dan kata al-haqq juga dipakai untuk
menyebut Allah.4
Kata al-haqq di dalam al-Qur‟an mempunyai beberapa makna di antaranya:5
1Fr.Louis Ma‟luf al- Yassu‟i, Fr. Bernard Tottel al-Yassu‟i, al-Munjîd Fî al-Lughah wa
al-A‟lam (Dar al-Masyriq: Beirut Libanaon) 2017, h. 144 2Majdudin Muhammad bin Ya‟qub al-Fairuz Abadi, Al-Qamus al-Muhît (Dar al-Hadits)
2008, h. 385 3Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama) edisi IV 2015, h. 474 4Robby Habiba Abror, “Paradoks Universalitas HAM Barat di Muka Cermin Islam
Perspektif Filsafat Hukum dan HAM”, Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan,
Vol 12, No.2, Desember 2012: 217-235, h. 220 5Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat (Jakarta:
Kencana Prenada Group) 2010h. 45
15
1. Al-Haqq diartikan kebenaran sebagai lawan dari kebatilan tercantum
dalam surat Yûnus ayat 35:
ي تبع ق أققأ أنإل ٱحل أفمن يهدي حق للدي ئكم من يهدي إل ٱحلق قل ٱللو يهقل ىل من شركا
أمن ل .كمون فما لكم كيف ت يهدي إل أن يهد
Allah berfirman: Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada
yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki
kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada
kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi
petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)?
Bagaimanakah kamu mengambil keputusan.6 (Qs. Yûnus ayat 35)
2. Al-Haqq diartikan dengan ketetapan dan kepastian terdapat dalam surat
Yâsîn ayat 7:
.منون قق ٱلقول على أكثرىم ف هم ل يؤ لقد
Allah berfirman: Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan
Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman.7 (Qs.
Yasin ayat 7)
3. Al-Haqq diartikan dengan menetapkan dan menjelaskan tercantum
dalam surat al-Anfâl ayat 8:
جطل ولو كره ٱدل .رمون ليحق ٱحلق ويبطل ٱلب
Allah berfirman: agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan
membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa
(musyrik) itu tidak menyukainya.8 (Qs. Al-Anfâl ayat 8)
4. Al-Haqq diartikan dengan bagian (kewajiban) yang terbatas tercantum
pada surat al-Baqarah ayat 241:
6Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid dan Terjemahannya, h. 213
7Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid dan Terjemahannya, h. 440
8Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid dan Terjemahannya, h. 177
16
ت مت ع و للمطلق ر عبٱدل
.تقني وف ققا على ٱدل
Allah berfirman: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut´ah menurut yang ma´ruf, sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.9 (Qs. Al-Baqarah ayat 241)
Secara terminologis, al-haqq mempunyai beberapa pegertian, di antaranya:10
ث ي ق ن اس م ق الن ئ ل ع ام ز ل ال ل ي ب ى س ل ع م ظ ت ن ت ة ال ي ع ر ش وص الت ص الن د و اع و ة الق ع و م رل و ى قأ احل
ال و م ال و اص خ س ال
“Al-Haqq adalah himpunan kaidah dan nash-nash syari‟at yang harus
dipatuhi untuk menertibkan pergaulan manusia baik yang berkaitan
perorangan maupun yang berkaitan dengan kata benda”
.ه ي ى غ ل ع د ق ل ب ا ي م و أ ئ ي ى الش ل ع ة ط ل الس و ه قأ احل ”Al-Haqq adalah kewenangan atas sesuatu, atau sesuatu yang wajib atas
seseorang untuk orang lain”.
Al-Haqq juga merupakan suatu kekhususan yang ditetapkan oleh syara‟
dalam bentuk kekuasaan atau tanggung jawab. Dengan demikian, kata al-haqq
tidak hanya bermakna sesuatu yang bisa diambil, tetapi juga mengandung arti
sesuatu yang harus diberikan.11
Dalam terminologi fiqh terdapat beberapa pengertian al-haqqyang
dikemukakan oleh para ulama fiqh, di antaranya:12
Menurut Wahbah al-Zuhaili:
9Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid dan Terjemahannya, h. 39
10Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002) h. 32 11
Ikhwan Matondang, “Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitasi Hak Asasi
Manusia”, Ilmu Ushuluddin, Vol 2, No. 3, Januari –Juni 2015, h. 346. 12
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, h. 46
17
ا.رعر ش ت اب الث م ك احل
“Suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara”
Menurut Syaikh Ali al-Kaff:
ة مستحقة شرعراح ل مص
“Kemaslahatan yang diperoleh secara syara”
Mutafâ Ahmad al-Zarqa mendefinisaknnya dengan:
الشرع سلطةر إختصاص ي قرر بو
“Kekhususan yang ditetapkan syara‟ atas suatu kekuasaan”
Ibnu Nujaim‟ mendefinisikannya lebih singkat dengan:
ختصاص قائز إ
“Suatu kekhususan yang terlindung”
Menurut Wahbah al-Zuhaili, yang dikutip oleh Nasrun Haroen, definisi yang
komprehensif ialah definisi yang dikemukakan Ibn Nujaim dan Mustafâ Ahmad
al-Zarqa di atas, karena kedua definisi itu mencakup berbagai macam hak, seperti
hak Allah terhadap hamba-Nya (shalat, puasa, dan lain-lain), hak-hak yang
18
menyangkut perkawinan, hak-hak umum, seperti hak-hak Negara,
kehartabendaan, dan non materi seperti hak perwalian atas seseorang.13
Dalam teks-teks ilmu ushul fiqh dan fiqh, terdapat perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan kata “al-haqq”. Di antaranya, ada yang mengartikan al-haqq
sebagai sebuah kepemilikan (milikiyah), kepenguasaan (sultaniyyah), sesuatu
yang bersifat abstrak, dan sebagian lainnya mengartikan sebagai kebebasan
(ikhtiyar) dalam berindak. Namun, dapat dikatakan definisi hak yang terbaik
adalah bahwa hak merupakan sebuah penguasaan (sultaniyah), bukan suatu
kepemilikan (milikiyah). Kita dapat mencermati hal ini dari definisi hak yang
terdapat dalam fiqh yang memiliki makna kepenguasaan “al-Haqqu sultanatun
fi‟liyatun lâ yu‟qal tarafaiha bi al-syakhsyin wahidin, lâ yajra li ahadin illâ jarâ
alaihi wa lâ yajra alaihi illâ jarâ lahu” (hak adalah penguasaan realitis yang
kedua sisinya tidak dapat diterima jika terdapat dalam satu pribadi. Tidak akan
terlaksana pada satu pribadi, kecuali telah dilaksanakan atasnya. Dan tidak akan
dilaksanakan atasnya, kecuali telah terlaksana baginya).14
Jadi hak merupakan kekuasaan atas sesuatau yang tidak mungkin dapat
diterapkan kedua sisinya pada satu orang. Akan tetapi, ia harus berdiri tegak pada
dua orang: orang pertama sebagai pemilik hak yang dapat mengambil manfaat dan
orang kedua sebagai pemenuh hak orang lain. Oleh karena itu, secara fiqh, hak
tidak bisa dimasukan pada kategori pemilikan. Karena ada tiga perbedaan
mendasar antara hak dan kepemilikan. Pertama, selain pemilik hak dapat memakai
13
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, h. 46 14
Euis Daryati, Menjawab Mis-Understanding antara Anjuran dan Kewajiban; pandangan
Imam Khaemeini ra, diakses dari https://islamfeminis.wordpress.com/2007/04/19/menjawab-mis-
understanding-antara-anjuran-dan-kewajiban-versi-imam-khumaini-ra-1-relasi-hak-dan-
kewajiban/
19
dan meninggalkan haknya tersebut, iapun dapat pula menggugurkan haknya
tersebut. Atas dasar tersebut, maka dikatakan; “li kuli haqqin
yusqâthaqqahu”(setiap pemilik hak dapat mengugurkan haknya). Perbedaan
kedua, obyek hak selalu berupa pekerjaan, sedang kepemilikan bisa juga
berbentuk selain pekerjaan, termasuk kepemilikan atas benda. Perbedaan ketiga
adalah, kepemilikan masuk dalam kategori kekuasaan secara penuh dan bersifat
kuat, tidak seperti hak. Maksudnya, pemilik sesuatu dapat membelanjakan apapun
yang dimilikiya selama tidak bertentangan dengan syariat, sedang hak hanya
dapat dilaksanakan pada hal-hal tertentu yang berkaitan dengannya saja.15
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan di atas, kata hak memiliki banyak
arti tergantung dengan konteks penggunaan kata tersebut. Tetapi yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa semua orang itu memiliki hak dan ia akan
mendapatkan haknya apabila ia memenuhi hak-hak yang lain, seperti memenuhi
hak Allah, hak tetangga, dan yang lainnya.
B. Definisi Kewajiban
Kewajiban secara bahasa di ambil dari bahasa Arab yaitu ( واجت) atau ( وجىة),
يجت -وجت adalah masdar dari kataوجىةmerupakan fâ„il dan واجت . Di dalam kamus
al-munjîd mempunyai arti ثجذ (dipastikan/ditetapkan) dan .(menetap)ز16
Dan di
dalam kamus besar bahasa Indonesia kewajiban adalah sesuatu yang diwajibkan;
15
Euis Daryati, Menjawab Mis-Understanding antara Anjuran dan Kewajiban; pandangan
Imam Khaemeini ra, diakses dari https://islamfeminis.wordpress.com/2007/04/19/menjawab-mis-
understanding-antara-anjuran-dan-kewajiban-versi-imam-khumaini-ra-1-relasi-hak-dan-
kewajiban/ 16
Fr.Louis Ma‟luf al- Yassu‟i, Fr. Bernard Tottel al-Yassu‟i, al-Munjid Fi al-Lughah wa
al-A‟lam, h. 887
20
yang harus dilaksanakan; keharusan.17
Kata واجت di dalam kitab al-Ta‟rîfât secara
bahasa dibaratkan suatu kejatuhan. Maksudnya adalah suatu keharusan yang telah
jatuh kepadanya dan harus dikerjakan. Adanya kewajiban karena adanya dalil,
maka tida ada keraguan di dalamnya.18
Sedangkan secara istilah kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang
bersifat kontraktual. Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya
diberikan. Salah satu sifat khas utama manusia adalah manusia mampu
mengemban kewajiban utuk mengikuti ajaran agama. Manusia saja yang dapat
hidup dalam kerangka hukum. Mahluk lain hanya dapat megikuti hukum alam
yang sifatnya memaksa.19
Menurut ulama fiqh, kewajiban adalah sesuatu yang
apabila dikerjakan mendapat pahala dan akan mendapat siksa bagi yang
meninggalkanya tanpa ada udzuratau alasan.20
Di dalam ajaran Islam, kewajiban
ditempatkan sebagai salah satu hukum syara‟, yaitu suatu perbuatan yang apabila
dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditingalkan mendapat siksa. Dengan
kata lain bahwa kewajiban dalam agama berkaitan dengan pelaksanaa hak yang
diwajibkan oleh Allah. Melaksanakan shalat lima waktu membayar zakat bagi
orang yang memiliki harta tertentu dan sampai batas nisab, dan berpuasa di bulan
Ramadhan misalnya adaah merupakan kewajiban.
Hamka mencatat dalam bukunya, bahwa kata “kewajiban” di dalam agama
Islam ada tiga macam. Pertama dalam bidang “ilmu kalam” atau semacam teologi,
ilmu tentang ketuhanan; kedua “ilmu fiqh” atau “ushul fiqh” dan yang ketiga
17
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1553 18
Ali Muhammad al-Jurjani, al-Ta‟rîfât (al-Haromain, 1421 H), h. 244 19
Rahman Moenir, Makalah Hak, Kewajiban, dan Keadilan, diakses dari
http://www.acamedia.edu/7169737/Makalah-Hak-Kewajiban-dan-Keadilan 20
Ali Muhammad al-Jurjani, al-Ta‟rîfât (al-Haromain, 1421 H) h. 88
21
dalam bidang “ilmu akhlak” atau etika Islam.21
Kewajiban dalam ilmu kalam
adalah kewajiban bagi manusia bahwa dia harus mengetahui adanya Allah.
Kewajiban dalam ilmu fiqh adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh
seseorang yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat
dosa, ini sebagai bentuk pengabdiannya kepada Allah.
Wajib yang ketiga adalah kewajiban menurut akhlak. Ini lebih dalam dari pada
wajib fiqh. Apabila iman seseorang bertambah, takwanya bertambah,
keinsyafannya bertambah dalam hal agama; bukan saja yang wajib menurut fiqh
yang ia kerjakan, yang sunnah juga ia kerjakan. ia tidak lagi membedakan antar
yang sunnah dan yang yang wajib karena ia ingin menambah amal sebanyak-
banyaknya. Apa sebabnya? Ia merasa keinsafan budi (akhlak). Sebab Nabi
Muhammad Saw, diutus bukan semata-mata mengerjakan ilmu fiqh, tapi budi,
“Innamâ bu‟itstu liutammima makârimaal-akhlaq” (tidak lain tidak bukan aku
diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, sikap hidup manusia). Bertambah
dalam rasa keinsafan, yang disebut orang Belanda dahulu gewetan, perasaan
halus, sanubari, hati kecil, akan bertambah banyaklah atas kewajibannya.22
Berdasarkan penjelasan di atas, kewajiban adalah sesuatu ketetapan atau
keharusan seseorang yang mesti dia kerjakan dan lakukan untuk memenuhi
tanggung jawabnya. Karena, apabila sesorang tidak menjalankan kewajibannya
maka dia akan mendapatkan konsekuensinya berupa hukuman, sangsi, dan
sebagainya. Sedangkan bagi yang melaksanakan kewajibannya maka ia akan
mendapatkan ganjaran atau balasan.
21
Hamka, Renungan Tasawuf (Jakarta: Republika Penerbit, 2016), h. 22 22
Hamka, Renungan Tasawuf, h. 25
22
C. Derivasi Kata Hak dan Kewajiban
Derivasi kata al-haqq di dalam bahasa Arab mempunyai banyak bentuk di
antaranya: 1) huqûq ( حمىق) merupakan bentuk jamak dari haqq ( حك). 2) Haqqaqa
.mempunyai arti menguatkan, menegaskan, mewajibkan (حم ك )23
3) haqîqah (حميمخ)
secara bahasa adalah lawan dari kata majaz yaitu yang berarti sebenarnya,
sesungguhnya, pada kenyataanya, atau pada hakikatnya.24
Secara istilah adalah
nama sesuatu yang berdiri pada tempatnya, maksudnya menyebutkan dzat sesuatu
pada asalnya, seperti singa untuk hewan buas.25
4) haqîq ( حميك) mempunyai arti
cocok, pantas, layak, atau mampu. وذايمبي: هى حميك ثىذا وحميك يفع أ (dikatakan: “dia
pantas dengan ini, dia mampu untuk mengerjakan ini”).26
Derivasi kata kewajiban ( واجت) di dalam bahasa Arab juga mempunyai
beberapa bentuk di antaranya: 1) Wujûb ( وجىة) secara bahasamerupakan bentuk
masdar dari kata يجت -وجت mempunyai arti kewajiban, keperluan,dan kebutuhan.
Sedangkan secara istilah adalah keperluan atau permintaan pelaksanaan sesuatu
dan merealisasikanya.27
2) Wajîbah ( وجيجخ) bermakna tugas, pekerjaan, posisi, atau
fungsi. 3) Mûjibah ( ىججخ ) secara bahasa adalah kebajikan atau kejahatan yang
besar.28
Secara istilah adalah suatu dosa atau kebaikan yang besar yang
menyebabkan masuk neraka dan surga.29
23
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Ciputat: Mahmud Yunus wa Dzuriyyah,
2007), h. 106 24
Majdudin Muhammad bin Ya‟qub a-Fairuz Abadi, Al-Qomus al-Muhit, h. 385 25
Ali Muhammad al-Jurjani, al-Ta‟rîfât, h. 88 26
Fr.Louis Ma‟luf al- Yassu‟i, Fr. Bernard Tottel al-Yassu‟i, al-Munjîd Fî al-Lughah wa
al-A‟lam (Dar al-Masyriq: Beirut Libanaon) 2017, h. 144 27
Ali Muhammad al-Jurjani, al-Ta‟rîfât, h. 245 28
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Ciputat: Mahmud Yunus wa Dzuriyyah,
2007), h. 492 29
Majdudin Muhammad bin Ya‟qub a-Fairuz Abadi, Al-Qomus al-Muhit, h.1731
23
BAB III
MENGENAL AL-SYA„RÂWI DAN WAHBAH AL-ZUHAILI SERTA
TAFSIR MEREKA
A. Mengenalal-Sya„râwi
1. Riwayat Hidup
Nama lengkap al-Sya„râwi adalah Muhammad bin Mutawalli al-Sya„râwial-
Husainia. Al-Sya„râwi lahir pada hari Ahad tanggal 17 Rabiut Tsani 1329 H
bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa Daqadus, Mait Ghamair,
Dakhaliyyah.1Wafat pada 22 Safar 1419 H bertepatan dengan 17 Juni 1998 M,
dimakamkan di desa Daqadus. Ayahnya membeli gelar “Amîn” dan gelar ini
dikenal masyarakat di daerahnya. Beliau ayah dari tiga anak laki-laki dan dua
anak perempuan yang bernama Sami, Abdurrahim, Ahmad, Fatimah dan Salihah.2
Terbilang lahir dari keluarga yang sederhana, ayahnya merupakan seorang
petani yang menyewa sebidang tanah di kampungnya untuk digarap sendiri.
Namun ayahnya memiliki perangai yang sangat terpuji, seorang „alim dalam
beribadah. Pada lingkungan yang demikian itu memberi pengaruh yang sangata
signifikan pada perkembangan keilmuan ke-Islaman beliau, sebab ayahnya
memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakater al-Sya„râwi.3
1Riesti Yuni Mentari,Penafsiran al-Sya‟rawi Terhadap al-Qur‟an Tentang Wanita
Karir(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, tahun 2011) h. 27 2Nasrul Hidayat, Konsep Wasatiyah dalam Tafsir al-Sya„râwi”,(Tesis S2 Pascasarjana
UIN Makasar, tahun 2016), h.21 3Hikmatiar Pasya, “Studi Metodologi Tafsir al-Sya„râwi”. Studia Quranika. Vol. 1, No.2,
Januari 2017, h. 45
24
Al-Sya„râwi seorang muballigh yang karismatik, disegani dan dikagumi di
Mesir, baik lapisan masyarakat bawah maupun masyarakat akademik. Selain di
Mesir, ia juga sering tampil di berbagai media, baik di media elektronik maupun
di media massa, antara lain di Sudan, Saudi Arabia dan negara Arab lainnya
dengan penampilan dan gaya khas ia miliki. Ia sering menggunakan peci dalam
setiap penampilan dengan gaya bicara yang amat memukau dan dengan bahasa
yang indah, popular dan amat mudah dimengerti, terutama ketika membahas ayat-
ayat al-Qur‟an.4
2. Pendidikan dan Karir al-Sya„râwi
Sejak kecil al-Sya„râwi gemar menuntut ilmu. Hal ini tidak terlepas dari
dorongan orang tuanya yang sangat cinta akan ilmu. Al-Sya„râwi mengaku,
sebagaimana yang dikutip oleh Nasrul Hidayat:
“Ayahku sangat gandrung akan ilmu dan senantiasa berteman dengan ulama.
Beliau suka menolong penuntut ilmu, ayahku juga berkeinginana memasukanku
ke al-Azhar karena mimpi yang dilihat pamanya ketika aku dilahirkan ke dunia.
Kakekku berkata: di malam ini aku diberi kabar gembira, aku melihatnya dalam
mimpiku seraya menunjuk kea rah mimbar masjid, ia pun berkata: Aku
melihatnya di atas mimbar, dengan wajah “katkut” (anak ayam) berkhutbah di
hadapan manusia.”5
Mendengar apa yang diucapkan kakeknya, ayahnya pun berkomentar: “Anak
ini harus menjadi orang yang berilmu”. Sejak saat itu ayahnya berkeinginan
memasukkannya ke sekolah al-Azhar, walaupun al-Sya„râwi tidak berhasrat untuk
memasukinya.
4Achmad, “Mutawalli al-Sya„râwidan Metode Penafsirannya: Studi atas Surah al-
Maidah ayat 27-34”. Al-Daulah. Vol.1 No 2, Juni 2013, h. 121 5Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyah dalam Tafsir al-Sya„râwi”, h. 23
25
Pendidikan al-Sya„râwi dimulai dengan menghafal al-Qur‟an dari ulama di
daerahnya yang bernama, Syaikh „Abd al-Majid Pasha, dan ia mampu
menyelesaikan pada usia 11 tahun. Adapun pendidikan formalnya, diawali dengan
menuntut ilmu di sekolah dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. Kemudian
melanjutkan studinya ke jenjang sekolah menengah di daerah yang sama dan
meraih ijazah pad atahun 1936 M. Al-Sya„râwi terbilang sangat cerdas, hal
demikian yang memaksanya untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas al-
Azhar Fakultas Bahasa Arab pada tahun 1937 M.6
Selanjutnya ia masuk ke Dirasah „Ulya. Di sini ia mempelajari berbagai ilmu
kependidikan, antara lain ilmu jiwa, menajemen pendidikan, dasar-dasar
pendidikan, sejarah pendidikan, pendidikan terapan/praktis, metode pendidikan,
pendidikan kesehatan jasmani, dan lain-lain. Pada tahun 1943 M ia memperoleh
gelar Alamiyyat dalam bidang kependidikan, kemudian menerima surat
pengangkatan menjadi guru.7
Al-Sya„râwi semasa hidupnya memangku berbagai jabatan. Adapun awal karir
yang ia tekuni adalah guru di sekolah al-Azhar Tanta, kemudian ia dimutasi ke
sekolah al-Azhar di Iskandariyah, kemudian di Zaqaziq. Lambat laun karir al-
Sya„râwi semakin menanjak. Ia kemudian diangkat menjadi dosen jurusan Tafsir-
Hadis di Fakultas Syariah Universitas al-Malik „Abd al-„Azîz di Makkah pada
tahun 1951 M. Di Universitas ini ia mengajar selama sembilan tahun.
Pada tahun 1960 M, ia diangkat menjadi wakil sekolah al-Azhar di Tanta dan
memangku jabatan direktur dalam bidang pengembangan dakwah Islam pada
6Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„râwi, h. 45
7Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyah dalam Tafsiral-Sya„râwi”, h. 24
26
Departemen Wakaf pada tahun 1961 M. Pada tahun 1962 M, al-Sya„râwi diangkat
menjadi pengawas pengembangan bahasa Arab di al-Azhar dan ditunjuk sebagai
asisten pribadi Grand Syekh Hasan Makmûn pada tahun 1964 M.
Pada tahun 1964 M, ia mengikuti progam ekspedisi di al-Azhar ke Aljazair
pasca kemerdekaan negri ini. Pemerintah Aljazair juga berjasa kepada al-Sya„râwi
dalam menghulangkan sisa-sisa imprealisme Perancis, dengan meletakan kaidah-
kaidah baru dalam bahasa Arab.
Pada tahun 1967 M beliau kembali ke Kairo da bekerja sebagai Direktur
Kantor Grand Syekh Hasan Makmûn. Pada tahun 1970 M, ia menjadi tenaga
pengajar tamu di Universitas al-Malik „Abd al-„Azîz Makkah dan diangkat oleh
Universitas al-Malik „Abd al-„Azîz sebagai rector pada program pascasarjana.
Selajutnya Mesir mulai mengenal namaal-Sya„râwi semua masyarakat
melihatnya dan mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya terhadap
al-Qur‟an selama kurang lebih 25 tahun.8
Pada tahun 1976 M, al-Sya„râwi dipilih oleh pimpinan Kabinet Mamduh
Salim sebagai Mentri Wakaf dan pada tanggal 26 Oktober 1977 M, ia ditunjuk
kembali menjadi Mentri Wakaf dan Mentri Negara yang berkaitan erat dengan al-
Azhar dalam kaninet yang dibentuk oleh Mamduh Salim.
Pada tanggal 15 Oktober 1978 M, ia diturunkan dengan hormat dalam
formatur cabinet yang dibentuk oleh Mustafâ Khalil. Kemudian ia ditunjuk
menjadi salah satu pemrakasa berdirinya universitas “al-Syu‟ub al-Islamiyah al-
„Arabiyyah”, namun al-Syarawi menolaknya. Pada tahun 1980 M al-Syarawi
8Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyah dalam Tafsir al-Sya„râwi”, h. 27
27
diangkat sebagai anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), akan tetapi ia
menolah jabatan strategis ini.
Atas jasa-jasa tersebut, al-Sya„râwi mendapat penghargaan dan lencana dari
Presiden Husni Mubarak dalam bidang pengembangan ilmu dan budaya di tahun
1983 M pada acara peringatan hari lahir al-Azhar yang ke-1000.
Al-Sya„râwi ditunjuk sebagai anggota litbang (penelitian dan pengembangan)
bahasa Arab oleh lembaga “Mujamma‟ al-Khalidin”, perkumpulan yang
menangani perkembangan bahasa Arab di Kairo pada tahun 1987 M. tahun 1988
M memperoleh medali kenegaraan dari Presiden Husni Mubarak di acara
peringatan hari da‟i dan di tahun ini ia mendapatkan penghargaan kenegaraan.9
Pada tahun 1990 M, al-Sya„râwi mendapat gelar “guru besar” dari Universitas
al-Mansurah dalam bidang adab dan pada tahun 1419 H/1998 M ia memperoleh
gelar kehormatan sebagai شخصيخ اإلساليخ األو profil Islami pertama di dunia Islam
di Dubai serta mendapatkan penghargaan dalam bentuk uang dari putera mahkota
al-Nahyan, namun ia menyerahkan penghargaan ini kepada al-Azhar dan pelajar
al-Bu‟us al-Islamiyyah (pelajar-pelajar yang berasal dari negara-negara Islam di
seluruh dunia).10
Di usia 87 tahun, pada hari rabu 17 juni 1998 M, Mutawalli al-Sya„râwi
menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya dimakamkan di Mesir.11
9Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyah dalam Tafsir al-Sya„râwi”, h. 27
10Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyah dalam Tafsir al-Sya„râwi”, h. 28
11Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyah dalam Tafsir al-Sya„râwi”, h. 28
28
3. Profil Tafsir al-Sya„râwi
a. Nama Tafsir
Nama kitab tafsir al-Sya„râwi lebih populer dengan nama Tafsîr al-
Sya„râwi. Pada dasarnya penamaan ini bukan dari al-Sya„râwi, karena dia sendiri
menyatakan bahwa al-Qur‟an tidak mungkin ditafsirkan. Oleh karena itu kitab
tafsirnya disebut Khawâtir al-Sya„râwi Haul al-Qur‟an al-Karîm.12
Yang
dimaksudkan sebagai sebuah perenungan (Khawâtir)dari diri al-Sya„râwi terhadap
ayat-ayat al-Qur‟an yang tentunya bisa saja salah atau benar. Sebagaimana yang
diungkapkan al-Sya„râwi, dikutip oleh Riesti Yuni Mentari:
“Hasil renunan saya terhadap al-Qur‟an bukan berarti tafsiran al-Qur‟an,
melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang
mukmin saat membaca al-Qur‟an. Kalau memang al-Qur‟an dapat
ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkan hanya Rasulullah
saw, karena kepada Rasulullah ia ditirunkan. Dia banyak menjelaskan
kepada manusia ajaran al-Qur‟an dan dimensi ibadah, karena hal itulah
yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al-Qur‟an tentang alam
semesta, tidak ia sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual saat itu tidak
memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika ha itu disampaikan akan
menimbulkan polemic yang pada gilirannya akan merusak puing-puing
agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah swt.”13
Kitab ini merupakan hasil kreasi yang dibuat oleh murid al-Sya„râwi yakni
Muhammadal-Sinrawi, „Abd al-Waris al-Dasuqi dari kumpula pidato-pidato atau
ceramah-ceramah yang dilakukan al-Sya„râwi. Sementara itu, hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab Tafsir al-Sya„râwiditakhrij oleh Ahmad „Umar Hasyim.
Kitab ini diterbitkan oleh Akhbar al-Yawm Idarah al-Kutub wa al-Maktabah pada
tahun 1991 M (tujuh tahun sebelum al-Sya„râwi meninggal dunia). Dengan
12
Achmad, “Mutawalli al-Sya„râwidan Metode Penafsirannya: Studi atas Surah al-
Maidah ayat 27-34”, h. 122 13
Riesti Yuni Mentari, “Penafsiran al-Syarawi Terhadap al-Qur‟an Tentang Wanita
Karir”, h.36
29
demikian, Tafsir al-Sya„râwiini merupakan kumpulan hasil-hasil pidato atau
ceramah al-Sya‟rawi yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku oleh murid-
muridnya.14
Tafsir al-Sya„râwi tidak seperti karya tafsir lainnya karena maksud dan
tujuannya adalah mengungkapkan kemu‟jizatan dal-Qur‟an dan menyampaikan
ide-ide keimanan kepada pemirsa, pendengar, dan pembaca. Oleh karena itu kitab
ini tidak ditulis dengan gaya bahasa pidato dan tidak ditulis juga dengan gaya
bahasa karya tulis ilmiah melainkan ditulis dengan gaya bahasa ceramah dari
seorang guru dihadapan para murid dan pendengarnya yang beragam tingkat
pendidikan maupun status. Maka penafsiran yang disampaikan al-Sya„râwi isinya
tidak lepas dari kemu‟jizatan al-Qur‟an dan nilai-nilai ajaran Islam. Di sinilah
letak perbedaan al-Qur‟an dan kitab suci sebelumnya. Bahwa al-Qur‟an bukan
sekedar ajarn namun juga sebuah mu‟jizat yang Allah turunkan kepada Nabi
Muhammad.15
b. Metode dan Corak Tafsir
Pada umumnya paramufasir menggunakan metode yang tidak terlepas dari
empat metode penafsiran, yaitu tahlili,ijmâli, muqaran danmaudû‟î.Metode
tahlili (analitis) yang dimaksud dengan metode ini ialah menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya.
Dan juga berusaha untuk menerangkanarti ayat-ayat al-Qur‟an dari berbagai
seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dari mushaf, dengan
14
Riesti Yuni Mentari, Penafsiran al-Syarawi Terhadap al-Qur‟an Tentang Wanita Karir,
h. 37 15
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyah dalam Tafsir al-Syarawi”, h. 35
30
menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayat-nya, surah-surah-
nya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-
pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar
belakang pendidikan dan keahliannya.16
Metode ijmâlî yaitu menafsirkan al-Qur‟an secara singkat dan global tanpa
uraian panjang lebar. Metode ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an secara ringkas
tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf.
Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur‟an.17
Metode muqaran (komparatif) ialah penafsiran sekelompok ayat al-Qur‟an
yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat
dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau
antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi
perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.18
Metode maudû‟î (tematik) ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur‟an
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat berkaitan
dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti sebab-sebab turunnya ayat, kosakata dan lain
sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-
16
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikut Warna
atau Corak Mufassirin)”, Al-Mawarid Edisi XVII, Tahun 2008, h. 274 17
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikut Warna
atau Corak Mufassirin)”, h. 272 18
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikut Warna
atau Corak Mufassirin)”, h. 278
31
dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik
argumen yang berasal dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.19
Selanjutnya di dalam tafsir al-Qur‟an juga terdapat beberapa corak penafsiran
di antarannya adalah corak tafsir fiqh, falsafî,„ilmî, tarbawî, akhlaqî, „itiqadî, sufî,
adabî„ijtimaî. Untuk metode tafsir, langkah-langkah yang dilakukan al-Sya„râwi
telah sesuai dengan ciri-ciri kitab tafsir yang menggunakan metode tahlili yaitu
menjelaskan kosa kata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang
dituju dan kandungan ayat yaitu unsur i‟jaz, balâghah dan keindahan susunan
kalimat, menjelaskan istinbât dari ayat, serta mengemukakan kaitan antara ayat-
ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya (munâsabah al-ayah
wa al-suwar), dengan merujuk kepada asbâb al-nuzul, hadis-hadis Rasulullah
saw., riwayat sahabat dan juga riwayat tabi‟in.20
Corak penafsiran yang menonjol dalam penafsiran al-Sya„râwi adalah adabî
ijtima„î yang fokus pembahasannya adalah mengemukakan ungkapan-ungkapan
al-Qur‟an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud
oleh al-Qur‟an dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha
menghubungkan nas-nas al-Qur‟an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial
dan sistem budaya yang ada.21
Berikut adalah contoh bahwa al-Sya„râwi
menggunakan metode tahlili dan bercorak adabî ijtima„î dalam penafsirannya.
Sebagai contoh, ketika menjelaskan surah al-Baqarah ayat 258:
19
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikut Warna
atau Corak Mufassirin)”, h. 279 20
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyah dalam al-Sya„râwi”,h. 41 21
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir al-Qur‟an”, El-Furqonia. Vol. 01, No. 01,
Agustus 2015, h. 99
32
اه آ ن أ و ب ر ف م ي ى ر ب إ اج ي ق ذ ال ل إ ر ل أ ي و ي ي ي ذ ال ب ر م ي اى ر ب إ ال ق ذ إ ك ل اهلل ادل
.يت م أ ي و ي ق ا أ ن أ ال ق يت ي
Allah berfirman: Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat
Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang
itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku adalah yang
menhidupkan dan mematikan.”
Pada ayat ini al-Sya„râwi menjelaskan dari segi kebahasaan. Ayat di atas
didahului dengan ungkapan )أ رز(. Kalimat ini terdiri dari hamzah (أ) yang
merupakan bentuk tanda tanya (adât istifhâm), dan huruf lam () merupakan
huruf yang digunkan untuk menafikan sesuatu. Sedangkan pada kata setelahnya,
yaitu tara (رز) dari bentuk fi„il mudâri„, berarti kamu melihat. Kalimat ini
menambah keindahan sekaligus memberikan nuansa makna yang begitu
mendalam.
Huruf hamzah yang datng sebelum huruf lam merubahnya menjadi bentuk
pengingkaran terhadap pekerjaan yang dinafikkan (في). Sehingga membawa kita
pada makna sebenarnya, yaitu anta raaita (أذ رأيذ), yang berarti kamu telah
melihatnya. Begitu kurang lebih dari segi kebahasaan yang dijelaskan olehal-
Sya„râwi.22
Penjelasan penafsiran dari segi kebahasaan di atas, selain menjelaskan
kedudukan kata (kaidah granatikal), ia juga menjelaskan bagaimana ketika
penggunaan kaidah kebahasaan pada al-Qur‟an memiliki makna yang ingin
dimaksudkan, sehingga memudahkan pemahaman dari kalimat yang tersusun
22
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„râwi, h. 50
33
dalam al-Qur‟an. Sebagai bukti, al-Sya„râwi menjelaskan secara mendalam
tentang kedudukan bahasa, dan kemudian menjelaskan tujuan dari susunan
kalimat yang digunakan al-Qur‟an.
Selanjutnya al-Sya„râwi juga di dalam tafsirnya, menafsirkan dengan
mengkontruksi ayat dengan menggunakan ayat lain yang dianggap memiliki
korelasi pada kajian yang sedang dibahas guna memberikan pemahaman yang
lebih baik. Sebagai contoh, ketika menjelaskan surah al-An„am ayat 75:
وقنني. ير ن ك ذل ك و إب راىيم ملكوت السماوات والرض وليكون من ادل
Allah berfirman: Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-
tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi dan (Kami
memperlihatkannya) agar dia termasuk orang-orang yang yakin.
Di sini al-Sya„râwi ingin menjelaskan kata, al-malakût merupakan kata yang
diambil dari bentuk kata kerja, malaka (ه) yang berarti menguasai, sehingga
menunjukan makna ism fa„il (pelaku). Demikian itu, kata ini merupakan bentuk
format intensitas, yang menunjukkan pelaku melakukan sesuatu dalam kadar yang
besar. Maka pada kata malakût menunjukan makna kekuasaan.
Dengan demikian, kata malakût mengantarkan kita pada pemahaman atas
hakikat sesuatu yang tidak terbatas (hakikat pelaku), sehingga berkaitan dengan
yang nonfisik dan metafisik. Maka demikian, jika dikatakan, “Kekuasaan-Nya
meliputi segenap langit dan bumi,” kalimat ini menunjukkan bahwa otoritas-Nya
tidak terjangkau. Sebaliknya pada kata malaka, itu ditujukan kepada sesuatu yang
34
terbatas, sehingga menyangkut dengan pengetahuan yang tampak. Sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur‟an surah al-Syu‟ara ayat 77-81, dalam tafsir al-Sya„râwi.23
Mengenai corak penafsiran al-Sya„râwi yaitu adabî ijtima„î dapat dilihat
ketika ia menafsirkan surah al-Maidah ayat 33:
ا جزاء الذين يارب ون اهلل ورسولو ويسعون ف الرض فسادرا أن ي قت لوا أو يصلبوا أو قطع إن
ن يا وذلم ف اآلخر فوا من الرض ذلك ذلم خزي ف الدأ ة عذاب أيديهم وأرجلهم من خلف أو ي ن
عظيم.
Allah berfirman: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan rasul-Nya dan memebuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan atau kaki mereka
dengan cara menyilang atau dibuang dari negri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat
mereka peroleh siksaan yang besar.
Dalam tafsirnya al-Sya„râwi berpendapat bahwa orang-orang yang memerangi
Allah dan rasul-Nya, adalah termasuk orang-orang yang keluar dari pada
mestinya, sehingga ia menjadi perusak. Dengan demikian, lanjut al-Sya„râwi,
maka balasannya adalah berupa dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan
kaki secara menyilang atau diasingkan dari negrinya.
Adapun makna األرض فىا oleh al-Sya„râwi dipahami sebagai upaya ي
mengasingkan pelaku di sebuah lokasi yang jauh dan terpencil lagi tidak mudah
meninggalkannya. Hal ini bertujuan menghalangi pelaku kejahatan untuk
23
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„râwi, h. 53
35
mengganggu masyarakat. Dari sini sangat jelas bahwa al-Sya„râwi sangat
memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan sosial.24
B. Mengenal Wahbah al-Zuhaili
1. Riwayat Hidup
Wahbah al-Zuhaili lahir di Dayr „Atiyah, sebuah daerah di Damaskus pada
tahun 1351 H/1932 M. ia lahir dan besar di lingkungan keluarga ulama. Ayahnya,
Mustafâ al-Zuhaili, adalaj seorang ulama besar di daerahnya, hafal al-Qur‟an, dan
di kenal oleh masyarakat luas sebagai seorang yang wara‟, sangat ketat dengan
halal-haram, tekun beribadah dan berpuasa.25
Syekh Wahbah al-Zuhaili dikenal sebagai pakar fiqih kontemporer di abad ke-
20. Pada tahun 2014 beliau masuk daftar 500 tokoh muslim berpengaruh di dunia.
Tokoh berpengaruh kebanyakan melakukan sesuatu yang luar biasa dalam
hidupnya. Menurut kesaksian murid-muridnya, Wahbah meluangkan waktu
sekitar 15 jam per hari untuk menulis dan membaca. Sehinnga beliau mampu
membuahkan karya-karya yang monumental setingkat ensiklopedi. Karya
monumentalnya adalah al-Fiqh al-Islâm wa „Adilatuh dan Tafsîr al-Munîr.26
24
Achmad, “Mutawalli al-Sya„râwidan Metode Penafsirannya: Studi atas Surah al-
Maidah ayat 27-34”, h. 131 25
Lilik Ummi Kaltsum, “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Menurut Wahbah al-
Zuhaili”(Makalah diterbitkan di Jurnal Studi Gender Palastren, STAIN Kudus, vol.5, no.1, Juni
2012) h. 3 26
Fadh Ahmad Arifan, Dr.Wahbah Zuhaili, Riwayat hidup dan karyanya, diakses
darihttps://www.dakwatuna.com/2015/09/04/74702/dr-wahbah-al-zuhaili-riwayat-hidup-dan-
karyanya/amp/
36
2. Pendidikan dan Karir
Sebelum menginjak usia sekolah, Wahbah belajar agama kepada orang
tuanya, terutama kepada ayahnya. Setamat dari Madrasah Ibtidaiyah, Wahbah
melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah di Damaskus. Pendidikan S1-nya lulus
pada tahun 1953 M. Pendidikannya di Program Pascasarjana Fakultas Syariah
Universitas al-Azhar, Mesir, diselesaikan dalam tiga tahun. Di Universitas inilah
beliau memperoleh gelar doctor dalam bidang syariah.27
Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, pada tahun 1946 M, pada
tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun
hingga pada tahun 1952 M mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal
awal masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di al-Azhar dan Fakultas
Syari‟ah di Universitas „Ain Syam dalam waktu yang bersamaan.28
Ketika itu
Wahbah memperoleh tiga ijazah antara lain:
1. Ijazah B.A dari Fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956 M
2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-
Azhar pada tahun 1957 M
3. Ijazah B.A dari Fakultas Syariah Universitas „Ain Syam pada tahun 1957
M
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian
diteruskan ke tingkat pascasarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua
tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis yang berjudul “al-Zira‟i fî al-
27
Lilik Ummi Kaltsum, “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Menurut Wahbah al-
Zuhaili”, h. 3 28
Putri Ajeng Fatimah,“Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili” (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, tahun 2011), h. 15
37
Siyasah al-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Islamî”, dan merasa belum puas dengan
pendidikannya beliau melanjutkan ke program doctoral yang diselesaikannya pada
tahun 1963 M dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fî al-Fiqh al-Islamî” di
bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.29
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di Fakultas Syari‟ah
Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan, kemudian
Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzhabi di fakultas yang sama. Ia
mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang fiqh, tafsir
dan dirasah islamiyyah. Adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hasim al-
Khatib al-Syafi‟î (w. 1958 M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar
darinya fiqh al-Syafi‟î; mempeajari ilmu fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasî (w.
1969 M); ilmu hadis dari Mahmud Yassin (w. 1948 M); ilmu faraid dan wakaf
dari Judat al-Mardinî (w. 1957 M); ilmu tafsir dari Hassan Habnakah al-Midanî
(w. 1978 M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986 M); ilmu
ushul fiqh dan mustalah hadis dari Muhammad Lutfi al-Fayumî (w. 1990 M); ilmu
akidah dan kalam dari Mahmûd al-Rankûsî.30
Wahbah juga dilantik sebagai guru besar dalam disiplin hukum Islam pada
salah satu universitas di Suriah. Sebagai guru besar, ia menjadi dosen tamu pada
sejumlah universitas di negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syariah dan
Hukum serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi, Libya; pada
Universitas Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang
29
Putri Ajeng Fatimah, “Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili”, h. 16 30
Putri Ajeng Fatimah, “Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili”, h. 17
38
ketiganya ada di Sudan. Dia juga pernah mengajar pada Universitas Emirat
Arab.31
3. Profil Tafsir Wahbah Zuhaili
a. Nama tafsir
Tafsir Wahbah Zuhaili diberi nama al-Munir yang merupakan isim fâ„il dari
kata anara (dari kata nûr: cahaya) yang berarti yang menerangi atau yang
menyinari. Sesuai namanya, mungkin Wahbah Zuhaili bermaksud menamai kitab
kitab tafsir ini dengan nama Tafsîr al-Munîr adalah ia berkeingninan supaya kitab
tafsirnya ini, dapat menyinari orang yang mempelajarinya, dapat menerangi orang
yang membacanya, dan dapat memberikan pencerahan bagi siapa saja yang ingin
mendapatkan pencerahan dalam memahami makna kandungan ayat-ayat al-
Qur‟an dalam kitab tafsirnya ini.32
Tafsîr al-Munîr bisa dibilang sebagai karya monumental ia dalam bidang
tafsir. Tafsir ini ditulis kurang lebih selama 16 tahun (mulai dari tahun 1975
sampai tahun 1991 M). Tafsir ini menjelaskan seuruh ayat al-Qur‟an, mulai dari
surah al-Fâtihah samapai surah al-Nâs, yang terdiri dari 16 jilid, masing-masing
jilid memuat 2 juz (bagian) dan seluruhnya terdiri dari 32 juz, dan dua juz terakhir
berisi al-fihris al-syâmil, semacam indeks yang disusun secara alfabetis.
Tujuan utama tafsir ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah al-
Zuhaili pada bagian pengantar, dikutip oleh Baihaki adalah sebagai berikut:
31
Putri Ajeng Fatimah, “Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili”, h. 18 32
Baihaki,“Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili Dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”. Analisis. Vol XVI No. 1, Juni 2016, h. 133
39
“Tujuan utama dalam penyusunan kitab tafsir ini adalah mempererat
hubungan antara seorang muslim dengan al-Qur‟an berdasarkan ikatan
akademik yang kuat, karena al-Qur‟an merupakan hukum dasar bagi
kehidupan umat manusia secara umum dan umat Islam secara khusus.
Oleh karan itu, saya tidak hanya menerangkan hukum-hukum fiqih dalam
berbagai permasalaha yang ada, dalam pengertiannya yang sempit dan
dikenal dikalangan fuqaha, tetapi saya bermaksud menjelaskan hukum-
hukum yang diistibatkan dari ayat-ayat al-Qur‟an dengan makna yang
lebih luas, yang lebih dalam dari sekedar pemahaman umum, yang
meliputi akidah dan akhlak, manhaj dan perilaku, konstitusi umum, dan
faedah-faedah yang diambil dari ayat-ayt al-Qur‟an, baik yang eksplisit
maupun yang implsit, baik dalam struktur sosial untuk setiap komunitas
masyarakat maju dan berkembang maupun dalam kehidupan pribadi bagi
setiap manusia.”33
Kitab Tafsir al-Munîr ini ditulis setelah pengarangnya menyelesaikan
penuisan dua kitab yang komprehensif dalam temanya masing-masing, yaitu
Ushul Fiqh al-Islâmî (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islâmî wa „Adillatuhu (11 jilid).
Ketika itu, ia telah menjalani masa mengajar di perguruan tinggi selama lebih dari
30 tahun dan melakukan riset dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk fiqih dan
hadis. Ketika itu, ia telah menghasilkan buku dan artikel yang berjumlah lebih
dari tiga puluh buah. Setelah itu, ia mulai menulis kitab Tafsir al-Munîr, yang
pertama kalinya diterbitkan oleh Dar al-Fikr Beirut Libanon dan Dar al-Fikr
Damaskus, Syiria yang berjumlah 16 jilid bertepatan pada tahun 1991 M/1411 H.
Dengan demikian, tafsir ini ditulis ketika ia telah mencapai puncak karir
intelektualnya. Kitab ini telah diterjemahkan di berbagai negara, di antaranya
Turki, Malaysia, dan Indonesia.34
33
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”, h. 134 34
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”, h. 135
40
b. Metode dan Corak Tafsir
Setelah mengamati tafsirnya dapat disimpulkan bahwa metode penafsirannya
adalah metode tahlili karena penafsirannya dimulai dari surah al-Fatihah secara
runtut dan berakhir pada surah al-Nisâ. Wahbah mengemas metode tahlili ini
denganmemberikan beberapa tema perkelompokan ayat untuk mempermudah
pemahaman.35
Adapun kerangka pembahasan atau sistematika pembahasan dalam tafsirnya
ini, al-Zuhaili menjelaskan dalam pengantarnya, sebagai berikut:36
1. Mengklasifikasikan ayat al-Qur‟an ke dalam satu topik pembahasan
dan memberikan judul yang cocok
2. Menjelaskan kandungan setiap surat secara global
3. Menjelaskan aspek kebahasaan
4. Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat dalam riwayat yang paling
sahih dan mengesampingkan riwayat yang lemah jika ada, serta
menjelaskan kisah-kisah sahih yang berkaitan dengan ayat yang
hendak ditafsirkan
5. Menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan rinci
6. Mengeluarkan hukum-hukum yag berkaitan dengan ayat yang sudah
ditafsirkan
7. Membahas balâghah (retorika) dan i„râb (sintaksis) ayat-ayat yang
hendak ditafsirkan
35
Lilik Ummi Kaltsum, “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Menurut Wahbah al-
Zuhaili”, h. 5 36
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”, h. 136
41
Jika dilihat dari penafsiran Wahbah al-Zuhaili dari kitab tafsirnya, corak tafsir
beliau yang lebih menonjol adalah corak fiqh, yaitucorak tafsir yang
kecenderungannya mencari hukum-hukum fiqh di dalam ayat-ayat al-Qur‟an.
Corak ini memiliki kekhususan dalam mencari ayat-ayat yang secara tersurat
maupun tersirat mengandung hukum-hukum fiqh.37
Berikut salah satu contoh bahwa Wahbah menggunakan metode tahlili dan
bercorak fiqh dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an. Penafsiran Wahbah dalam surat
al-Baqarah ayat 63-66:
. ث ن و ق ت م ك ل ع ل و ي ا ف ا م و ر ك اذ و ة و ق ب م نك ي ا مآ آو ذ خ ر و الطأ م ك ق و ا ف ن ع ف ر و م ك اق ث ي ا م ن ذ خ أ ذ إ و
ا و د ت اع ن ي ذ ال م ت م ل ع د ق ل . و ن ي ر اخلس ن م م ت ن ك ل و ت ح ر و م ك ي ل اهلل ع ل ض ف ل و ل ف ك ذل د ع ب ن م م ت ي ل و
ةر ظ ع و م ا و ه ف ل ا خ م ا و ه ي د ي ني ا ب م ل الر ك ا ن ى ان ل ع ج . ف ني ئ اس خ ةر د ر وا ق وان ك م ا ذل ن ل ق ف ت ب الس ف م ك ن م
.ني ق ت م ل ل
Allah berfirman: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan
Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman):
Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa
yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa. Kemudian kamu berpaling setelah
(adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya
atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi. Dan sesungguhnya telah
kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari sabtu, lalu Kami
berfirman kepada mereka, Jadilah kamu kera yang hina. Maka kami jadikan yang
demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang
datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Qs.
Al-Baqarah ayat 63-66)
37
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir al-Qur‟an”, El-Furqonia. Vol. 01, No. 01,
Agustus 2015, h. 99
42
Di dalam tafsirnya tersebut Wahbah mengelompokan ayat-ayat tersebut dan
memberi tema “Sebagian Kejahatan Kaum Yahudi dan Hukuman Mereka”.
Wahbah menjelaskan dari segi balâghah ( لزدح )وىاىا perintah ini bukan perintah
dalam arti yang sebenarnya, melainkan yang dimaksud adalah makna penghinaan
dan penistaan. Lalu dari segi i„râb ( لزدح خبسئي اىا)وى ini adalah perintan takwîn
(penciptaan), bukan perintah taklîf (pembebasan tugas). Maksud perintah ini
adalah menjadikan mereka kera. (لزدح) adalah khabar kâna, sedang (خبسئي) sifah
bagi (لزدح), atau khabar sesudah khabar, atau hâl dari damîr dalam (وىاىا). Dari
segi kebahasaan (خبسئي) maksudnya dalam keadaan jauh dari rahmat Allah,
mereka binasa tiga hari kemudian.38
Wahbah juga menjelaskan kaitan ayat-ayat ini dengan ayat yang sebelumnya,
bahwa ayat yang sebelumnya mengingatkan Bani Israil akan nikmat-nikmat yang
luar biasa. Adapun ayat-ayat ini mengecam pelanggaran-pelanggaran dan maksiat-
maksiat yang mereka perbuat. Wahbah menjelaskan secara rinci ayat-ayat ini,
beliau memberikan gambaran terhadap orang-orang Yahudi yang melanggar
perintah Allah dengan pergi menangkap ikan pada hari sabtu, padahal telah
dilarang bekerja pada hari itu oleh Mûsâ. Sehingga mereka mendapatkan
hukuman berupa perubahan mereka menjadi kera. Beliau juga mencantumkan
pendapat-pendapat para ulama tentang pandangan mereka mengenai penafsiran
ayat-ayat ini.
Selanjutnya Wahbah memberi penjelasan tentang fiqh kehidupan dan
hukuman-hukuman yang terdapat pada ayat-ayat ini. Wahbah berpendapat ayat-
38
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj Terj: Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2013), Jilid I, h. 138
43
ayat ini menunjukan tiga hal:39
diangkatnya gunung Thur, diubahnya mereka
menjad kera, dan nasihat bagi para pendurhaka yang melanggar perintah-perintah
dan larangan-larangan Allah. Tentang pengangkatan gunung Thur di atas kaum
Yahudi seperti payung, itu menjadi peringatan untuk menakut-nakuti mereka,
karena mereka enggan mengamalkan Taurat mereka melupakannya dan menyia-
nyiakannya. Ini menunjukkan bahwa maksud dari kitab-kitab samawi adalah
mengamalkan kandungannya, buka sekedar membacanya dengan lidah sebab
perbuatan ini termasuk kategori membuang ajaran kitab-kitab itu.40
39
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, Jilid I, h. 140 40
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, Jilid I, h. 142
44
BAB IV
AYAT-AYAT YANG MENDAHULUKAN KEWAJIBAN DARI
HAK YANG SEHARUSNYA DIPEROLEH
Metode tafsir yang digunakan untuk mengungkap ayat-ayat yang
mendahulukan kewajiban dari hak yang seharusnya diperoleh adalah metode
maudû‟î (tematik). Dalam perkembangannya, terdapat dua bentuk penyajian
metode maudû‟î. Pertama, disajikan dalam bentuk kotak yang berisi pesan-pesan
al-Qur‟an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja.
Bentuk kedua dari metode maudû‟î adalah menghimpun pesan-pesan al-Qur‟an
yang berkaitan dengan suatu tema yang terdapat pada banyak surat dalam al-
Qur‟an.1
Dalam penelitian ini penulis mengambil langkah yang kedua. Lebih spesifik
langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah:
1. Menggunakan metode maudû‟î dengan mengelompokan ayat-ayat sesuai
dengan topik kajian.
2. Mendeskripsikan pemikiran-pemikiran mufassir tentang ayat-ayat yang
telah dikelompokan.
3. Melacak hadis-hadis yang berhubungan dengan yang dibahas guna
memperkuat yang dikaji.
4. Membuat kesimpulan dengan analistis kritis.
1M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudû‟î atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 1996) h.xii
45
Di bawah ini, penulis akan menyajikan tipologi ayat-ayat yang mendahulukan
kewajiban dari hak yang seharusnya diperoleh. Dan dibagi pada empat
pembahasan utama: (a) beribadah kepada Allah sebelum meminta pertolongan-
Nya, (b) hak suami terhadap istri, (c) ganjaran amal saleh, dan (d) ganjaran Nabi
Mûsâ atas imbalan haknya selama 8 tahun.
A. Beribadah Kepada Allah Sebelum meminta Pertolongan-Nya
Beribadah kepada Allah merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Karena
Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada Allah. Allah
berfirman di dalam al-Qur‟an:
وما خلقت اجلن والنس إل لي عبدون.
Allah berfirman: Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku.2 (Qs. Al-Dzâriyât ayat 56)
Allah bukan hanya sebagai dzat yang harus disembah, melainkan Allah juga
tempat kita untuk meminta pertolongan. Tetapi kita hanya dibolehkan meminta
kepada Allah karena apabila kita meminta kepada selain-Nya maka kita telah
berbuat musyrik. Allah berfirman di dalam surat al-Fâtihah:
ني ع ت س ن اك ي إ و د ب ع ن اك ي إ
Allah berfirman: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”.3 (Qs. Al-Fâtihah ayat 5)
2Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya,h. 523
3Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 1
46
Di sinilah puncak pengakuan kita kepada Allah sebagai Tuhan yang Maha
berhak disembah. Dalam cara pandang Islam, seluruh perbuatan dan aktivitas
manusia adalah ibadah. Perkataan dan perbuatan, baik akal dengan berpikirnya,
hati dengan perasaan dan keyakinannya, dan fisik (jasad) dengan perilakunya,
adalah ibadah manakala dilakukan dalam kerangka taat kepada Allah.4
Demikian besar dan luasnya aspek-aspek ibadah ini mengharuskan kita untuk
selalu memohon pertolongan kepada Allah. Dialah satu-satunya Yang Maha
berkemampuan mewujudkan apa saja yang diminta manusia. Dia juga satu-
satunya Yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat dan merusak dari setiap
rahasia dibalik hal yang kita minta. Maka, logis dan rasionallah jika kita
menyerahkan keputusan akhir pada kehendak-Nya. Kita dituntut sadar dan
seimbang dalam memahami seluruh sifat-sifat Allah yang terbaik. Benar bahwa
Dia Mahaberkuasa dan berkemampuan, namun kita juga harus sadar akan ke-
Mahatahu-an Allah dalam mengambil keputusan yang terbaik bagi manusia
terutama hamba-Nya. Saat-saat seperti inilah selanjutnya Allah mendidik kita agar
selalu bermohon kepada-Nya. Terutama petunjuk atas segala keputusan yang kita
buat dan aktivitas yang kita lakukan.5
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan )إيبن عجذ( artinya Kami mengkhususkan ibadah
hanya kepada-Mu, kami tidak menyembah selain Engkau. Makna na‟budu adalah
nuthii‟u (kami taat). Ibadah artinya ketaatan dan ketundukan. (وإيبن سزعي) artinya
Kami memohon pertolongan, dukungan, dan keberhasilan kepada-Mu, hanya
kepada-Mu kami memohon pertolongan, karunia, dan limpahan budi. Selain
4Amang Syafrudin, Hidup Dengan Al-Fatihah, h. 51
5Amang Syafrudin, Hidup Dengan Al-Fatihah, h. 52
47
Engkau, tidak ada yang memilki kemampuan untuk menolong kami. Dua kata
kerja (عجذ) dan (سزعي) ini disebutkan dalam bentuk jamak, bukan dalam bentuk
tunggal-yakni tidak (إيبن أعجذ وإيبن أسزعي) untuk mengakui keterbatasan seorang
hamba sehingga dia tidak dapat berdiri sendirian di hadapan Allah. Seolah-olah
dia berucap, “Tidak layak bagiku berdiri sendirian dalam bermunajah kepada-Mu,
aku merasa malu dengan kelalaian dan dosa-dosaku. Karena itu, aku bergabung
dengan kaum Mukminin yang lain dan aku bersembunyi di antara mereka.
Terimalah doaku bersama mereka sebab kami semua beribadah kepada-Mu dan
memohon pertolongan-Mu.”6
sesunguhnya kita hanya menyembah Allah yang satu. Jadi di sini kita )إيبن عجذ(
mengetahui apa yang Allah perintahkan kepada kita itu adalah “ibadah”. Al-
Sya„râwi memberi pengibaratan dalam tafsirnya:
“Jika anakmu menginginkan kesuksesan dalam ujian, maka dia harus belajar.
Dan akibat dari belajar itu berupa kesuksesan. Jadi pertimbangan ada sebelum
adanya kejadian. Sesungguhnya kamu menghadirkan keberhasilan dari
pemikiranmu lalu kamu berusaha untuk menjadikan keberhasilan itu menjadi
nyata. Seperti kamu ingin pergi ke suatu tempat, maka mobil merupakan salah
satu sebab yang mewujudkan keinginanmu dan melalui jalan merupakan sebab
yang lainnya. Akan tetapi pertimbanganlah yang telah membuat kamu keluar
rumah, mengendarai mobil, dan melalui jalan.”7
Al-Sya„râwi juga menjelaskan bahwa mahluk diciptakan untuk menyembah
dan beribadah kepada Allah. Akan tetapi sebab dan akibat dari ibadah itu bukan
untuk Allah. Maksudnya, ibadah yang dikerjakan oleh mahluk tidaklah
bermanfaat bagi Allah. Karena Allah maha kaya di seluruh alam semesta. Dan
6Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, &Manhaj Terj: Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2013) Jilid 1, h. 34 7Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi (Al-Azhar Islamic Research Academy, Mesir
1991) Jilid. 1, h. 77
48
sesunguhnya ibadah yang kita lakukanakan kembali menjadi kebaikan untuk kita
di dunia dan di akhirat.8
Sesungguhnya Allah bisa saja memaksa siapapun yang Dia kehendaki untuk
taat kepada-Nya. Dan tidak ada satu mahlukpun yang dapat menolak-Nya. Seperti
kejadian yang kita alami, kita tidak akan mampu menolak sesuatu yang terjadi
kepada kita. Contohnya kita tidak akan bisa menahan mobil yang akan menabrak
kita, begitupun burung yang akan hinggap di atas bahu kita. Karena kita tidak bisa
menolak sesuatu yang Allah sudah takdirkan kepada kita. Al-Sya„râwi berkata:
“Ketetapan dalam hidupku terbatas, aku tidak bisa memutuskan hari kelahiranku
siapa bapak dan ibuku dan juga aku tidak bisa menentukan apakah aku tinggi atau
pendek, tampan atau jelek, dan lain-lain.9
Tetapi sesungguhnya ibadah yang Allah inginkan dari mahluknya muncul
karena kecintaannya kepada Allah bukan karena paksaan. Karena apabila kita
mencintai Allah maka kita akan melakukan apapun yang Allah perintahkan tanpa
menghiraukan sebab dan akibatnya.
permohonan pertolongan kepada Allah akan mengeluarkan kita (إيبن سزعي)
dari kehinaan dunia. Maka ketika kita memohon pertolongan kepada selain Allah
atau kita memohon pertolongan kepada manusia, manusia tidak akan mampu.
Karena mau bagaimanapun manusia tidak mempunyai kekuasaan dan kekuatan.
Semuanya itu karena keterbatasan manusia. Manusia hidup di dunia yang selalu
berubah. Orang yang kuat bisa menjadi lemah, dan bisa saja orang yang memiliki
kemuliaan terusir tanpa kemuliaan. Walaupun hal itu belum terjadi tetapi telah
8Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid 1, h. 78
9Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid 1, h. 79
49
matilah hal yang kamu mintai pertolongan itu dan kamu tidak menemukan
seorang pun yang menolongmu.10
Allah berkehendak untuk membebaskan orang-orang mu‟min dari kehinaan
dunia, maka Allah memerintahkan mereka untuk memohon pertolongan kepada
yang maha hidup lagi tidak pernah mati, yang maha kuat lagi tidak pernah lemah,
yang maha memaksa dan tak ada satupun yang luput dari pengawasan-Nya. Dan
jika kamu meminta pertolongan kepada Allah yang maha esa, Dia mampu
mengubah lemahnya dirimu menjadi kuat dan hinanya dirimu menjadi mulia.11
Dari penjelasan ayat di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Allah
adalah satu-satunya yang harus kita sembah dan pintai pertolongan. Dan hanya
Allah yang mampu mengabulkan permintaan kita. Allah juga menjanjikan bagi
siapapun yang beribadah kepada-Nya akan mendapatkan kebaikan di dunia dan di
akhirat serta dikeluarkan dari kehinaan dunia. Yang perlu kita ingat hanyalah kita
harus terlebih dahulu menjalankan kewajiban kita terhadap Allah dengan
beribadah kepada-Nya lalu selanjutnya kita hanya meminta kepada-Nya sebagai
bentuk penghambaan kita kepada-Nya. Di dalam ayat lain juga dijelaskan yaitu
kita harus memenuhi terlebih dahulu kewajiban kita terhadap Allah, maka Allah
akan memenuhi janji-Nya kepada kita. Di dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat
40 Allah berfirman:
ىبون ليكم وأوفوا بعهدي أوف بعهدكم وإي ي فٱر يل ٱذكروا نعمت ٱلت أنعمت ع ئ ي بن إسر
10
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid 1, h. 81 11
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid 1, h. 81
50
Allah berfirman: Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku
anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku
penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut
(tunduk).12
(Qs. Al-Baqarah ayat 40)
Allah memilih kisah Bani Israil sebagai perumpamaan karena kisah Bani Israil
lebih banyak, dan nabi yang diturunkan kepada Bani Israil lebih banyak tetapi
bukanlah kaum tersebut menjadi kaum yang palin mulia, melainkan mereka kaum
yang paling banyak menentang dan berbuat dosa padahal banyak nabi yang diutus
untuk mereka. Ketika mujizat dan petunjuk datang kepada mereka, mereka malah
berpaling. Maka datanglah petunjuk lainnya tetapi tetap saja mereka berpaling.
Maka Allah menghukum mereka atas kezaliman, kemaksiatan dan kekafiran
mereka.13
Ia adalah Ya‟qûb bin Ishaq bin Ibrahîm al-Khalil a.s. Bani Israil إسزائي
berarti anak cucu Israel, yaitu kaum Yahudi. Makna إسزائي adalah pilihan Allah.
Menurut pendapat yang lain, Israel artinya sang pemimpin dan pejuang.14
Ayat ini khusus ditunjukan kepada Bani Israil, dijelaskan dalam Tafsîr al-
Munîr bahwa mereka diperintahkan untuk mengingat nikmat-nikmat Allah yang
telah dianugerahkan kepada leluhur mereka (di antaranya diselamatkan dari
penindasan Fir‟aun dan diberi naungan berupa awan). Mereka juga diperintahkan
untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menaati-Nya. Allah juga memerintahkan mereka untuk
memenuhi janjinya terlebih dahulu yaitu bahwa mereka akan beriman kepada
Allah dan rasul-rasul-Nya tanpa pembedaan, khususnya Muhammad sang penutup
para nabi, niscaya Allah akan memenuhi janji-Nya di dunia dan di akhirat, yaitu
12Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 7
13Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid 1, h. 291
14Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj., jilid 1, h. 111
51
dengan mengukuhkan mereka di tanah suci, melapangkan penghidupan mereka,
memenagkan mereka atas musuh-musuh mereka, dan memberi mereka
kebahagiaan di akhirat.15
Ayat di atas merupakan peringatan kepada kaum Bani Israil agar memenuhi
janjinya kepada Allah, maka Allah akan memenuhi janji-Nya kepada mereka.
Ayat ini juga memberi peringatan kepada kita agar kita memenuhi terlebih dahulu
kewajiban kita kepada Allah, maka Allah akan memenuhi hak kita.
B. Hak Suami Terhadap Istri
Menikah merupakan bentuk pengabdian seorang istri kepada suami. Ketaatan
kepada suami merupakan kewajiban mutlak bagi seorang istri, selama ketaatan itu
bukan dalam kemaksiatan.16
Berbagai hadits mengisyaratkan perihal kedudukan
suami dan besarnya hak dirinya atas istrinya. Salah satu contohnya:
Dari „Âisyah ra., dia berkata, “Ada seorang pemudi datang kepada Nabi
Muhammad sambil bertanya, “Wahai rasulullah, aku adalah seorang gadis yang
dipinang kemudian aku tidak kawin. Apa hak suami terhadap istri?” nabi
menjawab, “Seandainya dari belahan rambut suami sampai kakinya ada nanah
kemudian engkau jilati, maka hal itu tidak dapat menunaikan syukurmu
kepadanya.”17
Namun bagi seorang suami sebelum ia mendapatkan haknya dia mempunyai
kewajiban untuk melindungi istri dan keluarganya. Dan bukan hanya melindungi,
15
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj., jilid 1, h. 113 16
Imam al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub: al-Muqarib Ila Hadrah „Allam al-Guyub Fi
„Ilm al-Tasawwuf Terj: Irwan Kurniawan (Pustaka Hidayah: cet. I, 2006) h. 195 17
Syaikh Sa‟ad Yusuf Mahmud Abu Aziz, Ensiklopedi Hak dan Kewajiban Dalam Islam,
Terj. Ali Nurdin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2017) h. 213
52
termasuk di dalamnya menafkahi serta bertanggung jawab untuk mengajarinya
dalam urusan agama. Allah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 34:
مون على ٱلنساء ب ٱلرج ذلم ض ا فضل ٱللو بعضهم على بعال ق و ت ف وبا أنفقوا من أم و لح ٱلص
فظ ىن جرونشوزىن فعظوىن وٱى تافون ٱللو وٱل ت باقفظ ب للغي ت ق نت ت ق ضاجع ف ٱدل
.اكبير ا إن ٱللو كان علي بغوا عليهن سبيلر فل مربوىن فإن أطعنك وٱض
Allah berfirman: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.18
(Qs. Al-Nisa ayat 34)
Laki-laki adalah pemimpin perempuan. Laki-laki pemimpin rumah tangga
ditugasi mengingatkan perempuan jika sikap dan perilakunya melenceng. Laki-
laki juga bertugas melindungi, menjaga, dan merawat perempuan sehingga jihad
diwajibkan untuk kaum laki-laki bukan bagi kaum perempuan. Bagian warisan
yang diperoleh kaum laki-laki juga lebih banyak dibanding yang diperoleh kaum
perempuan karena kaum laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada
perempuan.19
Al-Sya„râwi menjelaskan bahwa ayat ini bukan hanya sebatas untuk
18
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 84 19
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj., jilid 3, h. 78
53
seorang laki-laki dan istrinya, tetapi juga ayah terhadap anak-anaknya, saudara
laki-laki (kakak)atas saudara perempuannya (adik).20
Makna لىا dalam ayat di atas adalah pelindung. Maksudnya, laki-laki sebagai
pelindung perempuan dan pemimpin baginya. Di dalam memimpin sudah pasti
disertai dengan rasa lelah, bahkan biasanya seorang pemimpin sampai tidak
beristirahat karena memikirkan untuk melindungi dan memberi kesejahteraan
untuk rakyatnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan kenapa seorang laki-laki
harus melindungi perempuan? Karena Allah telah memberikan keutamaan bagi
laki-laki. Sesungguhnya keutamaan laki-laki ia memiliki kekuatan dan kerja
keras, serta ia memiliki kemampuan untuk berusaha dalam mencari
penghidupan.21
Kaum laki-laki juga berkewajiban memberi infak kepada istri dan keluarga.
Mereka juga wajib membayar mahar yang merupakan symbol penghormatan
kepada perempuan. Kaum laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan
kewajiban yang sama, dan ini adalah salah satu ciri keistimewaan Islam. Allah
berfirman,
عروف .ٱللو عزيز قكيم و هن درجة وللرجال عليوذلن مثل ٱلذي عليهن بٱدل
Allah berfirman:„Dan mereka(para perempuan) mempunyai hak seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai
kelebihandi atas mereka.22
(Qs. Al-Baqarah ayat 228)
Maksudnya adalah kaum laki-laki mempunyai peranan lebih dalam mengatur
dan mengarahkan urusan-urusan keluarga dan rumah tangga. Mereka juga
20
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid 4, h. 2200 21
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid 4, h. 2201 22
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 36
54
mempunyai tugas mendidik dan mengawasi keluarga. Semua tugas itu sesuai
dengan kemampuan kaum laki-laki untuk menerima tanggung jawab dan
menghadapi tantangan hidup. Sementara itu, kaum perempuan mempunyai
kebebasan penuh untuk mengelola harta kekayaannya sendiri.23
Tugas serta tanggung jawab yang diberikan kepada laki-laki memerlukan
perjuangan dan kesulitan. Dan ini menunjukan bahwa melindungi itu
mendatangkan keletihan, kerja keras, dan usaha. Maka ayat al-Qur‟an mengatakan
laki-laki itu pemimpin (lebih (ازجبي لىاى ع اسبء ثب فض هللا ثعضه ع ثعط)
utama) dari apa yang Allah utamakan atas sebagian yang lain (perempuan). Allah
juga mengingatkan kepada perempuan bahwa mereka mampu untuk menjadi
pelindung untuk urusan anak-anak, saudara perempuan, dan ibu-ibu mereka. Dan
Perempuan tidak bisa mengambil perlindungan (kepemimpinan) atau
mendominasi atas laki-laki. Karena itu akan menyulitkan bagi laki-laki, dalam
melakukan tugasnya yang seharusnya melindungi perempuan karena telah
didominasi oleh perempuan.24
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa فبصبحبد لبزبد حبفظبد غيت ثب حفظ هللا
perempuan-perempuan yang taat kepada Tuhannya dan suaminya. Jika suaminya
sedang tidak ada di rumah, mereka mampu menjaga kehormatan dirinya, harta
suaminya dan anak-anaknya. Apabila bersama-sama dengan suaminya, mereka
akan lebih menjaga kehormatan dirinya.Maksud kalimat (ثب حفظ هللا) adalah karena
Allah telah memerintahkan (kaum laki-laki) untuk menjaga (hak-haknya). Allah
swt. memerintahkan kaum perempuan untuk taat kepada suaminya dan menjaga
23
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 3, h. 79 24
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid IV, h. 2202
55
hak-hak suaminya. Sikap sepeti ini wajib dilakukan kaum perempuan karena
Allah telah mewajibkan kaum laki-laki untuk membayar mahar, memberikan
nafkah dan menggaulinya, dan semua ketetapan Allah adalah untuk menjaga hak-
hak kaum perempuan.25
Berkaitan dengan hak yang didapatkan suami dari istrinya, sebenarnya tugas
suami sebagai pemimpin keluarga sangatlah berat. Alah berfirman,
شداد ئكة غلظ ٱلناس وٱحلجارة عليها مل وقودىا انارر ي أها ٱلذين ءامنوا قوا أنفسكم وأىليكمأ ي
يع .مرون ٱللو ما أمرىم ويفعلون ما يؤ صون ل
Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.26
(Qs. Al-Tahrîm ayat 6)
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, ayat ini memerintahkan kepada laki-laki
(kepala keluarga) yang percaya dan beriman kepada Allah dan rasul-Nya untuk
mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang
Allah. Perintah ini sebagai pendidikan baginya, dan sebagai perisai untuk
memproteksi dirinya dari api neraka. Allah juga memerintahkannya untuk
mendidik, menggembleng, dan mengajari keluarganya. Perintah tersebut adalah
untuk taat kepada Allah dan melarang mereka dari melakukan kemaksiatan
terhadap-Nya.
25
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 3, h. 79 26
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 560
56
Selanjutnya laki-laki juga ditugasi untuk menasehati dan mendidik
keluarganya, agar tidak terjerumus bersama-sama ke dalam api neraka yang
berkobar-kobar dan mengerikan yang apinya menyala dengan bahan bakar
manusia dan batu sebagaimana api yang lain menyala dengan kayu bakar.27
Di antara ayat-ayat yang memiliki makna serupa, firman Allah swt,
ة وٱصطب عليها ل نس ن نرزقك لك رزقر وأمر أىلك بٱلصلو ق ٱلو ا ن بة للتقع .و
Allah berfirman: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat
dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa.28
(Qs. Tâhâ ayat 132)
.ربني وأنذر عشيك ٱلق
Allah berfirman: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat.29
(Qs. Al-Syu‟arâ ayat 214)
Al-Dahhak dan Muqatil menuturkan, merupakan sebuah hak dan kewajiban
yang harus ditunaikan seorang muslim untuk mengajari dan mendidik
keluarganya, kerabatnya, dan budak budak miliknya tentang apa yang diwajibkan
Allah atas mereka dan apa yang Dia larang bagi mereka. Ibnu Jarir mengatakan,
menjadi kewajiban kita (laki-laki) mengajarkan agama dan kebaikan adab, etika,
dan tata kerama yang mutlak diperlukan untuk anak-anak kita.30
Wahbah al-Zuhaili menegaskan, bahwa ayat-ayat di atas merupakan perintah
bagi kaum mukminin agar memelihara diri mereka dari neraka dengan amal
27
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 14, h. 691 28
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 321 29
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 376 30
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 14, h. 692
57
perbuatan mereka, dan memelihara keluarga mereka dari neraka dengan nasihat,
didikan, bimbingan, tuntunan, dan pengajaran. Hal ini menuntut konsitensi dan
komitmen total kepada hukum-hukum syara‟ baik yang berupa perintah maupun
laranagan, meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan, mengerjakan amal-amal
ketaatan dalam menjalankan amal-amal saleh, mendorong dan menyuruh istri dan
anak-anak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-
larangan, serta terus memantau , memonitor, dan mengawasi mereka.31
Secara umum kewajiban suami terhadap istri sebagai berikut:32
1. Maskawin
Wajib bagi suami untuk memberikan maskawin kepada istri, karena
maskawin dapat membuat istri ridha terhadap kepemimpinan laki-laki
atasnya.
2. Nafkah
Yang dimaksud dengan nakah ialah menyiapkan apa yang dibutuhkan istri
berupa makanan, tempat tinggal dan pelayanan serta obat meskipun istri
tersebut kaya.
3. Mempergaulinya dengan baik
Hal pertama yang wajib dilakukan oleh suami untuk istrinya ialah
menghormatinya, menggaulinya dengan baik, memperlakukannya dengan
cara yang baik, memberikan apa yang bisa diberikan kepadanya yang
dapat mengakrabkan hatinya, lebih-lebih menanggung apa-apa yang keluar
darinya atau bersabar atasnya.
31
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 14, h. 695 32
Syaikh Sa‟ad Yusuf Mahmud Abu Aziz, Ensiklopedi Hak dan Kewajiban Dalam Islam,
Terj. Ali Nurdin,h. 222-231
58
4. Mengajarinya urusan agama
Seorang suami harus mengajarinya hukum-hukum syariat dan apa-apa
yang harus dilakukannya. Sebab hal ini yang akan memelihara dirinya dari
api neraka.
5. Adil
Jika seorang suami mempunyai banyak istri, hendaknya ia berlaku adil di
antara mereka dan tidak condong kepada salah satunya.
6. Menggauli istrinya
Ibnu Hazm berkata, “Diwajibkan bagi seorang suami untuk menggauli
wanita yang menjadi istrinya. Minimal sekali setiap suci dari haid jika
mampu melakukannya. Allah berfirman: “Apabila mereka telah suci,
campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah
kepadamu.” (al-Baqarah: 22). Mayoritas ulama berpendapat sebagaimana
pandangan Ibnu Hazm mengenai kewajiban suami jika tidak ada halangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa seorang kepala keluarga
(suami) harus memelihara, mendidik, dan membimbing keluarganya serta orang-
orang yang bersamanya untuk taat kepada Allah. Dan dia juga wajib mengetahui
apa yang diperintahkan dan dilarang Allah, agar dia dan keluarganya terhindar
dari api neraka. Maka dari itu, sudah seyogyanya bagi seorang muslim untuk
menjadi pemimpin keluarga yang baik, yang mampu membimbing dan
mengarahkan keluarganya kepada jalan yang diridhoi Allah.
Setelah suami menjalankan kewajiban kepada istrinya, maka sudah
seharusnya istri menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak suaminya. Salah
59
satu hak yang didapatkan oleh suami atas istrinya adalah bersedia digauli, sesuai
dengan firman Allah:
موا لن فسكم وا قوا اهلل واعلموا أنكم ملقواه نسآؤكم قرث لكم فأ وا قرثكم أن شئتم وقد
ؤمنني. وبشر ادل
Allah berfirman: Istri-istrimu lading bagimu, maka datangilah ladangmu itu
kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk
dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan
menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.
(Qs. Al-Baqarah ayat 223)
Lalu seorang Istri juga harus taat kepada suaminya, tidak keluar rumah tanpa
izin dari suaminya, Allah berfirman:
ني الزكاة وأطعن اهلل والرسولو وق رن ف ب يوكن ول ب رجن ب رج اجلهلية الول وأقمن الصلة وءا
يريد اهلل ليذىب عنكم الرجس أىل الب يت ويطهركم طهي ررا. إنا
Allah berfirman: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan
laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan rasul-Nya.
Sesunguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai
ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzâb ayat 33)
Istri harus senantiasa malu kepada suaminya, menundukan mata di
hadapannya, patuh kepada perintahnya, diam saat dia bicara, berdiri saat
kedatangannya, menjauhi segala yang membuatnya marah, berdiri bersamanya
saat keluar, menawarkan diri kepadanya saat tidur, tidak mengkhianatinya saat
tidak ada, selalau berhias di hadapannya, dan tidak berhias saat tidak ada,
60
menghoramati keluarga dan kerabatnya dan memandang banyak sesuatu yang
sedikit darinya.33
Sesungguhnya hak-hak suami atas istri sangat banyak dan yang terpenting dari
keseluruhannya ada dua macam, salah satunya adalah menjaga kehormatan dan
menutupi rahasia, sedangkan yang kedua adalah tidak menuntut sesuatu yang
tidak dibutuhkan dan menjaga diri dari usaha suami yang haram. Begitulah sifat
perempuan pada generasi salaf.34
Dari apa yang telah dijelaskan, seorang suami berhak dan pantas mendapatkan
haknya dari istrinya setelah ia menunaikan segala kewajibannya terhadap istri dan
keluarganya. Dan sebuah rumah tangga yang baik, yaitu apabila suami-istri
menjalankan kewajiban dan memenuhi hak-hak dari setiap pasangannya. Mereka
akan mendapatkan kebahagian di dunia dan di akhirat.
C. Ganjaran Amal Saleh
Amal saleh berasal dari bahasa Arab: „amal yang berarti pekerjaan atau
perbuatan, dan sâlih(jamak sâlihât) yang berarti bisa membawa kebaikan atau
sesuai dengan petunjuk dan contoh rasul-Nya. Kata amal seperti yang dijelaskan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti amal dengan perbuatan (baik atau
buruk). Akan tetapi di tempat yang sama, di dalam kamus ini juga menjelaskan
33
Syaikh Sa‟ad Yusuf Mahmud Abu Aziz, Ensiklopedi Hak dan Kewajiban Dalam Islam,
Terj. Ali Nurdin, h. 222 34
Sa‟id Hawwa, Takiyatun Nafs Intisari Ihya Ulumuddin (Pena Pundi Askara: Jakarta,
2005), h. 643
61
dengan perbuatan baik yang mendatangkan pahala (menurut ketentuan agama
Islam).35
Amal saleh juga bisa diartikan suatu perbuatan baik yang bermuara kepada
kebaikan dalam kehidupan manusia secara luas. Menurut Muhammad Abduh
amal saleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, kelompok, dan
masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan menurut Zamakhsyari amal saleh
adalah perbuatan yang sesuai dengan dalil aqal al-Qur‟an dan sunnah.36
Dengan pengertian seperti ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa amal
saleh adalah perbuatan yang membawa kemaslahatan bagi sesama, yang
dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan rasul-Nya. Sedang amal yang tidak
demikian, dapat disebut dengan amal yang buruk. Karena itu, salah satu tanda
bahwa suatu amal bisa disebut saleh ialah jika amal tersebut membawa
kemaslahatan bagi manusia dan sesuai dengan petunjuk Allah dan rasul-Nya.
Beberapa kriteria amal saleh dan keuntungan beramal saleh:37
1. Kriteria amal saleh
a. Ikhas dan sesuai dengan ajaran Isam.
b. Dikerjakan berkesinambungan dan terus menerus.
c. Dilakukan sebaik-baiknya.
d. Beramal dengan ilmu pengetahuan.
35
Moch. Sya‟roni Hasan, Implementasi Kegiatan Amal Saleh Dalam Peningkatan
Kecerdasan Spiritual: Studi Kasus di Pondok Pesantren al-Urwatul Wutsqo Bulurejo Diwek
Jombang, Didaktika Religia Vol.2, No.1 tahun 2014, h. 72 36
Yusran, Amal Saleh: Doktrin Teologi dan Sikap Sosial, Jurnal al-Adyan, Vol.1, No.2,
Desember 2015, h. 127 37
Moch. Sya‟roni Hasan, Implementasi Kegiatan Amal Saleh Dalam Peningkatan
Kecerdasan Spiritual: Studi Kasus di Pondok Pesantren al-Urwatul Wutsqo Bulurejo Diwek
Jombang, Didaktika Religia Vol.2, No.1 tahun 2014, h. 73
62
e. Mempunyai manfaat sosial.
2. Keuntungan beramal saleh
a. Memiliki rasa kasih sayang.
b. Kehidupan yang baik.
c. Pahala yang besar.
Beberapa contoh perbuatan baik (amal saleh) yang disebutkan dalam al-Qur‟an:38
1. Saling menasehati tentang kebenaran dan kesabaran, tidak bekerja sama
untuk keburukan (QS. 5:2)
2. Kerjasama antara manusia untuk mencapai kebaikan (QS. 2:177)
3. Pekerjaan-pekerjaan yang menciptakan taqwa (QS. 3:134-135 dan QS.
39:33)
4. Menyejahterakan dan mengangkat derajat manusia (QS. 2:22) (QS. 11:61)
(QS. 20:53) (QS. 67:15) (QS. 78:7) (QS. 82:7)
5. Berbuat adil karena Allah (QS. 5:8)
6. Berbuat baik dan makan yang bersih (QS. 23:51)
7. Membelanjakan harta kepada jalan Allah (QS 2:265)
8. Berjihad dan berbuat baik kepada orang tua (QS. 29:6-9)
Allah berjanji di dalam al-Qur‟an bahwa bagi siapapun yang mengerjakan
amal saleh maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah swt. Salah satu ayat
yang menjelaskan hal tersebut terdapat di dalam surat al-Nahl ayat 97 yang
berbunyi:
38
Yusran, Amal Saleh: Doktrin Teologi dan Sikap Sosial, Jurnal al-Adyan, Vol.1, No.2,
Desember 2015, h. 128
63
لحر من وىو أو امنذكر عمل ص ةر ۥيي نو فلنحمن مؤ أنثى .ملون يعسنماكانوا بأقره ولنجي ن همأجةر طيب قي و
Allah berfirman: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.39
(Qs. Al-Nahl ayat 97)
Al-Sya„râwi menjelaskan sesungguhnya Allah memberikan hukum yang sama
terhadap laki-laki dan perempuan. Tetapi ini di luar dari keutamaan seorang laki-
laki yang diberikan wewenang oleh Allah untuk menjadi pemimpin. Maksudnya
seorang laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama untuk
mendapatkan ganjaran dari Allah swt. dalam proporsi dan funginya masing-
masing. Jadi laki-laki dan perempuan akan mendapatkan ganjaran dari Allah
apabila melakukan amal saleh dengan bersyaratkan Iman.40
Namun bagi orang-orang yang melakukan amal saleh seperti membangun
sekolah, mengobati orang sakit dan lain sebagainya. Tetapi mereka tidak beriman
kepada Allah maka baginya ganjaran di dunia sedangkan di akhirat mereka tidak
mendapat apa-apa. Karena Allah tidak akan mengurangi hak mereka di dunia
bahkan Allah mensegerakan hak mereka. Allah swt. berfirman:
ها وما لو ف رث اآلخرة من كان يريد ق ريد قرث الدن يا ن ؤو من نزد لو ف قرثو ومن كان
اآلخرة من نصيب.
Allah berfirman: Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan
Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barang siapa menghendaki
39
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 278 40
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XIII, h. 8195
64
keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan
dunia), tetapi dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.41
(Qs. Al-Syûrâ
ayat 20)
ررا ي ره. ومن ي عمل مث قال ذرة شرا ي ره. فمن ي عمل مث قال ذرة خي
Allah berfirman: Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah,
niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan
kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya.42
(Qs. Al-
Zalzalah ayat 7-8)
Al-Sya„râwi menjelaskan mengenai ayat di atas bahwa itu khusus perkara di
dunia, maka bagi siapa yang berbuat baik terhadapa sesuatu, ia akan mendapatkan
hasilnya. Akan tetapi dalam urusan balasan di akhirat mereka tidak akan
mendapatkan apa-apa. Maka pintalah balasan dari siapa yang kalian bekerja
untuknya, karena kalian telah berbuat kebaikan kepada seseorang supaya terkenal
dan dikenang. Itu merupakan balasan bagi kalian di dunia karena kalian akan
menjadi panutan, contoh, idola. Dan mereka tidak akan mengurangi hak-hak
kalian dalam ketenaran dan kemuliaan.43
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan di dalam tafsirnya mengenai surat al-Nahl
ayat 97. Beliau menjelaskan bahwa itu adalah janji Allah SWT bagi orang yang
beramal saleh. Barangsiapa mengerjakan ama-amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan, yaitu amal-amal yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw., ia pun menunaikan kewajiban-kewajiban, sedang hatinya
beriman kepada Allah swt.danrasul-Nya, ia memperoleh kehidupan yang baik di
dunia dan memperoeh ganjaran di akhirat atas amal-amal baiknya.44
41
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 485 42
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h.599 43
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XIII, h. 8196 44
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 7, h. 471
65
Kehidupan yang baik mencakup berbagai bentuk kesenangan yang beragam,
Ibnu Abbas dan sejumlah ulama lain menasfirkan dengan rezeki yang halal lagi
baik, atau kebahagiaan, atau mengamalkan ketaatan dan hati merasa senang atau
qana‟ah. Yang shahih, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Kehidupan yang
baik mencakup semua itu.” Hal ini sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Amr ra., rasulullah saw.
Bersabda,45
اه ا آ ب اهلل و ع ن ق ا، و فر اف ك ق ز ر ، و م ل س أ ن م ح ل ف أ د ق
“Sungguh, benar-benar beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang
cukup (tidak berlebih dan tidak pula kurang), dan Allah SWT menjadikannya
memilki sifat qana‟ah dengan apa yang Dia berikan padanya.”
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abdullah bin Yazid a-
Muqri.
Tirmidzi dan al-Nasâ‟I meriwayatkan dari Fadhalah bin Ubaid, ia mendengar
Rasulullah saw. bersabda,46
ع ن ق ا و فر اف ك و ش ي ع ان ك و م ل س ال ل إ ي د ى ن م ل ب و ط
“Beruntunglah orang yang ditunjuki kepada Islam, kehidupannya cukup (tidak
kekurangan dan tidak berlebihan) dan ia qana‟ah (puas dengan apa yang dimiliki).
Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata
Rasulullah saw. bersabda,47
45
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 7, h. 471 46
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 7, h. 471 47
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 7, h. 472
66
م ل ظ ي اهلل ل ن إ ر اف ا الك م أ . و ة ر اآلخ ا ف ه ي ل ع اب ث ي ا، و ي ن الدأ ا ف ه ي ل ى ع ط ع ي ةر ن س ق ن م ؤ ادل
ارر ي ا خ ى ب ط ع ي ة ن س ا ق ب و ل ن ك ي ل ة ر اآلخ ل ى إ ض ف ا أ ذ إ ت ا ق ي ن الدأ ف و ا ن س ق و ي ط ع ي ف
“Sesungguhnya Allah SWT tidak menzalimi suatu kebaikan seorang mukmin
pun (tidak akan mengurangi dan menyia-nyiakan satu amal kebaikan seorang
mukmin pun). Di dunia, ia diberi ganjaran atas amal baiknya, dan di akhirat ia
mendapatkan pahala atas amal baiknya. Adapun orang kafir, ia diberi ganjaran di
dunia atas amal-amal kebaikannya, hingga ketika ia dating ke akhirat, ia sudah
tidak lagi memilki suatu kebaikan apa pun yang ia diberi pahala karenanya.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. memanjatkan
doa seperti berikut,48
ي ل ة ب ائ غ ل ك ي ل ع ف ل اخ ، و و ي ف ل ك ار ب ، و ن ت ق ز ا ر ب ن ع ن ق م ه الل
“Ya Allah, jadikanlah hamba puas dengan rezeki yang Engkau berikan dan
berkahilah rezeki itu untuk hamba, dan berilah hamba kebaikan sebagai ganti atas
setiap yang hiang.”
Dari penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bagi siapapun
baik laki-laki atau perempuan yang mengerjakan amal baik maka dia akan
mendapatkan balasan di dunia. Sedangkan bagi yang mendapatkan balasan di
dunia dan di akhirat yaitu orang yang mengerjakan amal saleh disertai dengan
iman kepada Allah.
Janji Allah untuk memenuhi balasan bagi orang yang beramal saleh selain di
dalam surat al-Nahl terdapat juga di dalam surat al-Kahfi ayat 30, 88, dan
107.Pada surat al-Kahfi ayat 30 Allah mendeskripsikan janji-Nya kepada orang-
orang yang beriman dan beramal saleh yang berbahagia. Allah berfirman:
48
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 7, h. 472
67
ت إن لح سن عملر أق ر من أج ا ل نضيع إن ٱلذين ءامنوا وعملوا ٱلص
Allah berfirman: Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh,
tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.49
(Qs. Al-Kahfi ayat 30)
Huruf athaf (konjungsi) yang terdapat di antara iman dan amal saleh pada
ayat آىا وعىا اصبحبد menunjukan bahwa amal saleh berbeda dengan keimanan
karena huruf athaf tersebut menunjukan adanya perbedaan.50
Ada pun balasan
yang diberikan Allah berupa kenikmatan surga berikut isinya merupakan pahala
yang terbaik atas kebajikan mereka.
Al-Sya„râwi menjelaskan sesungguhnya Allah swt. mengasihi kepada orang
yang beriman dan beramal saleh. Karena iman adalah aqidah (kepercayaan) yang
memancar dari perilaku seseorang. Tidak bermanfaat dari iman apabila tidak ada
amal yang menunujukan atas imannya. Dan manfaat iman adalah menghubungkan
antara perintah dan larangan Allah dengan apa yang diyakini. Maka di dalam al-
Qur‟an Allah banyak menggabungkan antara iman dan amal saleh.51
Di antaranya
Allah berfirman:
ت و واصو إل ٱلذين ءامنوا وعملوا ٱ لح و واصوا بٱلصب ق بٱحل لص
Allah berfirman: kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran(Qs. al-„Asr ayat 3)
Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan ganjaran bagi setiap perbuatan baik
orang yang beriman. Hal ini membutikan bahwa landasan utama keselamatan
49
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 297 50
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 8, h. 241 51
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XIV, h. 8889
68
ialah keimanan yang diiringi amal saleh. Sedangkan, perbuatan baik yang
dilakukan oleh orang yang tidak beriman, maka perbuatannya tersebut sia-sia
belaka. Sebaliknya, ganjaran bagi orang yang beriman berupa surga-surga Adn,
yaitu surga yang berada di tengah-tengah dan dikelilingi oleh surga-surga
lainnya.52
Al-Sya„râwi menambahkan dalam tafsirnya bahwa bagi orang-orang kafir
yang berusaha dan berkerja keras dalam melakukan amal saleh tidak ada hak
baginya di akhirat. Mereka hanya akan mendapatkan kebaikan di dunia berupa
kebaikan, kenikmatan, pujian, dan lain sebagainya. Maka ketika mereka di akhirat
mereka hanya akan mendapatkan kerugian dan penyesalan.53
Selanjutnya surat al-Kahfi ayat 88, ayat ini berkaitan pada kisah Dzulqarnain.
Dimana pada ayat sebelumnya (ayat: 86-87) Allah berfirman:
ب وإما أن تخذ فيهم قسن قل بو قال أما من ظلم فسو .انر ا ي ذا ٱلقرنني إما أن عذ ث ي ردأ إل ۥف ن عذ
بو ۦربو .ارر نأكاعذابر ۥف ي عذ
Allah berfirman: “Wahai Dzulqarnain! Engkau boleh menghukum atau
berbuat kebaikan (mengajak beriman) kepada mereka.” Dia Dzulqarnain
berkata, “Barangsiapa berbuat zalim, kami akan menghukumnya, lalu dia
akan dikembalikan kepada Tuhannya, kemudian Tuhan mengadzabnya
dengan adzab yang sangat keras.”54
(Qs. Al-Kahfi ayat 86-87)
Pada ayat 88 ini Allah berfirman, yang berbunyi:
لحر وأما من .ارر من أمرنا يس ۥجزاءر ٱحلسن وسن قول لو ۥاف لو ءامن وعمل ص
52
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 8, h. 243 53
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XIV, h. 8890 54
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 303
69
Allah berfirman:“Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan,
maka dia mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami
sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah.”55
(Qs. Al-Kahfi ayat
88)
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan dakwah serta
melakukan amal saleh sebagai konsekuensi dari keimanan, maka balasannya
adalah surga. Maka Allah akan memintnya perkara yang mudah, tidak sulit, dan
tidak berat agar membuatnya senang dengan agama Allah dan agar dia senang
mengerjakan perintah Allah berupa shalat, puasa, zakat, pajak, dan sejenisnya.
Jadi, Allah tidak memerintahkannya untuk melakukan perkara yang sulit lagi
berat, namun memintanya melakukan perkara yang mudah.56
Al-Sya„râwi menjelaskan bahwa ayat ini sebagai landasan untuk balasan atas
amal baik serta menjadi pertimbangan masyarakat dan sebab mereka untuk mau
bergerak. Karena dalam sebuah masyarakat apabila di dalamnya tidak ada balasan
atas perbuatan baik serta tidak ada hukuman bagi yang melanggar, maka mereka
akhirnya akan meremehkan dan hidup tanpa peraturan. Dan manusia apabila
sudah merasa aman dari hukuman, maka mereka akan menjadi malas dan tidak
mau berkembang.57
Pada ayat di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa bagi orang-orang yang
mengerjakan amal saleh serta beriman kepada Allah, maka akan mendapatkan
balasan surga dari-Nya. Dan bagi orang-orang yang ikhlas dalam mengerjakan
amal saleh tersebut hanya semata-mata menceri ridha Allah, maka dia akan
mendapatkan kemudahan tanpa merasakan kesulitan dalam mengerjakan amal
55
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 303 56
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 8, h. 314 57
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XIV, h. 8985
70
tersebut. Ayat tersebut juga mengajarkan kepada masyarakat agar berusaha untuk
berbuat kebaikan dan meningggalkan keburukan.
Selanjutnya pada ayat 107 surat al-Kahfi, balasan surga firdaus bagi orang-
orang yang beriman dan beramal saleh. Allah berfirman:
ت كاإن ٱلذين ءامنوا وعملوا ٱلص .س ن زلر نت ذلم جن ت ٱلفردو لح
Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.58
(Qs. Al-
Kahfi ayat 107)
Sesungguhnya orang-orang yangberbahagia adalah mereka yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan para rasul dengan apa yang mereka
bawa, melakukan amal saleh berupa ibadah-ibadah fardhu dan ibdah sunah demi
mencari ridha Allah. Mereka akan mendapatkan surga Firdaus yang merupakan
surga tertinggi, terluas, dan terbaik. Surga Firdaus ini adalah tempat tinggal yang
disianpkan untuk mereka karena sangat memuliakan mereka. Firdaus dalam
bahasa Arab artinya pohon yang merambat, dan menurut perkiraan yang paling
benar adalah anggur. Dalam bahasa Romawi, firdaus artinya adalah kebun. Di
dalam sahîh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a., dia berkata,
“Rasulullah saw. bersabda,59
فإنو أعلى اجلنة، وأوسط اجلنة، ومنو فجر أن هار اجلنة ذا سألتم اهلل اجلنة، فاسألواه الفردوس، إ
“Jika kalian meminta surga kepada Allah maka mintalah Firdaus karena
sesungguhnya ia adalah tempat tertinggi di surga dan berada di tengahnya
dan dari sanalah terpancar sungai-sungai surga.”
58
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 304 59
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 8, h. 328
71
adalah surga (افزدوس) Al-Sya‟rawi mengatakan bahwa (وبذ ه جبد افزدوس زال)
yang paling tinggi, dan (ازي) adalah apa yang disiapkan oleh Allah kepada
manusia untuk menghormatinya sebagai tamu Allah berupa tempat tinggal, unsur-
unsur kehidupan, dan kemewahan. Dan manusia ketika ia kedatangan tamu maka
ia akan menyiapkannya segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Maka
bagaimana jika Allah yang menyiapkan untuk tamu-Nya?60
Berdasarkan keterangan di atas maka orang-orang yang beriman kepada Allah
dan para rasul-Nya serta beramal saleh, maka berhak baginya untuk mendapatkan
surga tertinggi (Firdaus). Dan mereka akan kekal di dalamnya.
D. Pernikahan Nabi Musa Sebagai Imbalan Haknya Selama 8 Tahun
Kisah ini bermula ketika Nabi Mûsâ as pergi meninggalkan Mesir dan pergi
menuju Madyan karena Nabi Mûsâ ingin dibunuh oleh Fir‟aun dan kaumnya.
Musa keluar menuju Madyan dalam keadaan berjalan dengan penjagaan dan
petunjuk Allah untuk meniti jalan karena ada hubungan nasab antara orang-orang
Isra‟il dan penduduk Madyan. Sebab penduduk Madyan adalah anak keturunan
Ibrahim sedangkan orang-orang Isra‟il adalah anak keturunan Ya‟qûb bin
Ishâqbin Ibrahim. Di sana Nabi Mûsâ menikahi putri Nabi Syu‟aib, kemudian
kembali ke Mesir setelah dianugerahkan kenabian di tengan perjalanan.61
Kisah ini terangkum dalam surat al-Qasas ayat 22-28 yaitu:
60
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XV, h. 9008 61
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 368
72
و ولما ورد ماء مدين وجد علي .ء ٱلسبيل ن قال عسى رب أن يهدين سواي ولما وجو لقاء مد
كما قالتا ل نسقي قت يصدر ب رأني ذودان قال ما خطٱلناس يسقون ووجد من دونم ٱم من أمةر
.فقي ل ف قال رب إن لما أنزلت إل من خي لظ إل ٱ ى ذلما ث ول فسق .كبي خ ٱلرعاء وأبونا شي
هما تشي على ٱستحيا ۥءه قالت إن أب يدعوك ليجزيك أجر ما سقيت لنا ف لما جا ء فجاءو إقدى
هما ي أبت ٱست قالت إق .قوم ٱلظ لمني وقص عليو ٱلقصص قال ل تف نوت من ٱل جره إن خي دى
تني على أن أن د ٱبقال إن أريد أن أنكحك إق .مني جرت ٱلقويأ ٱل من ٱست جرن ث ن ت ى
لحني أ أن أريد وما عندك فمن راعش ت أتم فإن قجج .شق عليك ستجدن إن شاء ٱللو من ٱلص
لك بين وبينك ق ا ٱ ال ذ .وٱللو على ما ن قول وكيل ن علي و لجلني قضيت فل عدأي
Allah berfirman:
22. Dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi):
"Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar"
23. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana
sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di
belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat
(ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?"
Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),
sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak
kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya"
24. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya,
kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku
sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku"
25. Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu
73
agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak)
kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu´aib) dan menceritakan
kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu´aib berkata: "Janganlah kamu takut.
Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu"
26. Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya"
27. Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu
Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
28. Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja
dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan
tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan".62
(Qs. Al-Qasas ayat 22-28)
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan,(ayat) ketika Mûsâ menuju
ke arah Madyan meninggalkan kota Fir‟aun, ia tidak tahu mengetahui jalan,
sehingga ia mengandalkan anugerah Allah, sembari berkata “Wahai Tuhanku,
tunjukkanlah aku jalan yang lurus”. Allah menganugerahinya dan
menunnjukannya kepada jalan yang lurus. Dia memilih jalan yang tengah di
antara tiga jalan. Dia bertanya kepada orang-orang sesuai kebiasaan. Ibnu Ishâq
mengatakan Mûsâ keluar dari Mesir menuju Madyan tanpa membawa bekal atau
tunggangan. Antara Mesir dan Madyan sepanjang perjalanan delapan hari. Dia
tidak makan kecuali dedaunan. Madyan terletak di sebelah Teluk Aqabah,
Palestina.63
Menurut al-Sya„râwiMûsâ pergi keluar meninggalkan Mesir dia merasa takut,
ia hanya ingin kabur dan belum berpikir ke mana ia akan pergi. Yang hanya ia
62
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, h. 388 63
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 368
74
inginkan adalah pergi meninggalkan Mesir, dan akhirnya ia berhasil pergi ke
Madyan dengan pertolongan Allah.64
Peristiwa-peristiwa Madyan yang dijelaskan Wahbah al-Zuhaili sebagai
berikut:
Pertama, keadaan para pengembala terhadap air. Ketika Nabi Mûsâ sampai
ke Madyan, tiba di sumber air di Madyan, di sana ada sumur yang didatangi oleh
para pengembala ternak, Nabi Mûsâ mendapati sekelompok orang sedang
memberi minum ternak mereka dan mendapati di tempat yang lebih rendah dari
tempat mereka ada dua orang perempuan yang mencegah air bersama para
pengembala yang lain, supaya tidak terganggu dan kambing-kambing mereka
tidak bercampur dengan yang lain. Ketika Musa melihat keduanya, hatinya
tersentuh dan kasihan lalu bertanya, “kenapa kalian tidak mendatangi air bersama
dengan mereka?” dua orang perempuan itu berkata, “kami tidak bisa memberi
minum kambing-kambing kami.” Yakni kami tidak mungkin memberi minum
kambing-kambing kami kecuali setelah mereka selesai memberi minum,
sementara Bapak kami orang tua lagi pikun yang tidak mampu mengembala dan
memeberi minum kambing sendirian. Ini yang menyebabkan kami ada pada
kondisi seperti yang kamu lihat. Ini adalah kondisi orang yang lemah bersama
dengan orang yang kuat. Orang kuat minum terlebih dahulu air yang jerninh,
sementara orang lemah minum sisa air. Di sini ada alasan untuk Musa mengapa
mereka tidak memberi minum kambing sendirian juga penjelasan bahwa bapak
64
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XVII, h. 10903
75
mereka tidak mampu memberi minum karena kerentaanya. Demikian juha ada
harapan belah kasih Mûsâ agar mau menolongnya.65
Kedua, memeberi minum kambing dua orang perempuan lalu bermunajat.
(ayat) lalu Musa memberi minum kambing dua orang perempuan itu dari sumur
yang ditutup batu besar, yang tidak bisa diangkat kecuali oleh sepuluh orang laki-
laki. Sebagaimana riwayat Ibnu Abî Syaibah dari „Umar bin Khatab, kemudian
Mûsâ mengembalikan batu besar itu ke atas sumur, lalu beranjak pergi ke
naungan phon untuk beristirahat kemudian bermunjat kepada Tuhannya,
“sungguh aku membutuhkan makanan sedikit atau banyak untuk menghilangkan
rasa laparku.”Al-Qur‟an menjadikan kata فميز() muta‟addi dengan hruf lam karena
ia mengandung makna meminta dan mengharap. Di sini ada petunjuk bahwa
Mûsâ memberi minum kambing keduanya dalam keadaan terik panas matahari,
juga memberi petunjuk mengenai kesempurnaan kekuatan Mûsâ, juga
bahwasanya meskipun dia tinggal di istana Fir‟aun tetapi dia tergembleng
keteguhan dan kesabaran.66
Ibnu „Abbâs mengatakan Mûsâ berjalan dari Mesir ke Madyan tidak
mempunyai makanan kecuali kacang dan dedaunan. Dia tidak memakai alas kaki.
Ketika dia sampai ke Madyan kedua telapak kakinya terluka dan duduk di
naungan, sementara dia adalah pilihan Allah dari mahluk-mahluk-Nya. Perutnya
menempel pada punggungnya karena lapar, warna hijau kacang kelihatan dari
dalam perutnya. Dia membutuhkan sepotong kurma.67
65
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 368 66
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 369 67
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 369
76
Ketiga, kelapangan setelah kesusahan. (ayat) ketika kedua perempuan itu
kembali kepada bapak mereka dengan cepat membawa kambing-kambing, dia
heran dan menanyakan keadaan mereka. Lalu mereka menceritakan apa yang
dialkukan Mûsâ. Kemudian Nabi Syu‟aib mengutus salah seorang dari keduanya
untuk mengundang Mûsâ menemuinya. Salah seorang dari mereka berjalan
sebagaimana orang-orang merdeka, malu, mengenakan kerudungnya, menutupi
wajahnya dengan pakaian. Dia bukan perempuan yang berani kepada laki-laki.
Lalu dia berkata dengan penuh adab dan sangant malu, “Bapakku meminta dating
untuk memberi balasan atas kebaikanmu kepada kami. Dia akan memberikan
upah kamu memberi minum kambing-kambing kami.”68
Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa bapak kedua perempuan itu.
Mayoritas ulama atau yang masyhur menurut sebagian besar ulama bahwa orang
yang mengundang, bapak mereka Nabi Syu‟aib yang diutus untuk penduduk
Madyan, sementara kedua perempuan itu adalah putrinya. Di sini tidak ada hal
yang dianggap tabu oleh agama, sebagaimana ucapan al-Razi.
Mûsâ menerima undangan itu demi mendapatkan berkah dari orang tua itu,
bukan karena mencari upah. Diriwayatkan bahwa perempuan itu ketika berkata,
“Agar dia memeberikan balasan terhadap (kebaikan)mu.” Mûsâ tidak mau. Ketika
disuguhi makanan dia juga menolak dan berkata, “Kami keluarga yang tidak
menjual agama kami dengan dunia. Kami tidak mengambil harga (imbalan) atas
kebaikan yang kami lakukan.” Sampai Syu‟aib berkata, “Ini adat kebiasaan kami
dengan setiap orang yang berkunjung kepada kami.” Demikian ini, apalagi
keadaan darurat adalah membolehkan hal-hal yang diharamkan.
68
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 369
77
Nabi Mûsâ mengikuti perempuan itu ke rumah bapaknya dan meminta agar
dia berjalan di belakang Mûsâ supaya tidak melihatnya. Juga agar perempuan itu
menunjukkan jalan sementara dia ada di belakangnya. Ini adalah adab laki-laki
yang disiapkan Allah menjadi nabi.69
Keempat, perbincangan keamanan dengan orang tua renta. (ayat) ketika Musa
mendatangi orang tua itu dan mengabari kisahnya dengan Fir‟aun dan kaumnya
mengenai kekufuran, kesewenang-wenangan dan kezaliman mereka kepada Bani
Isra‟il, juga persengkokolan mereka untuk membunuhnya dan menjadi sebab dia
keluar dari negrinya, Mesir, Nabi Syu‟aib berkata kepadanya, “Janganlah kamu
takut, tenagnlah dan jangan sedih. Kamu telah selamat dari kekuasaan orang-
orang yang zalim. Kamu telah keluar dari kerajaan mereka. Mereka tidak
mempunya kekuasaan di negri kami.” Musa tenang dan reda dari kegelisahan.70
Kelima, anak perempuan Nabi Syu‟aib meminta kepada ayahnya agar
mempekerjakan orang yang kuat lagi terpercaya.(ayat) salah seorang dari dua
putri, yang mengundang Mûsâ berkata, “Wahai bapakku, upahlah dia untuk
menggembala kambing-kambing ini. Sungguh, sebaik-baik orang yang diberi
upah adalah dia, sebab dia orang yang kuat untuk menjaga ternak dan melakukan
urusan pertenakan. Dia juga orang terpercaya yang mana engkau tidak khawatir
dikhianati.”
Perempuan itu menyifati Mûsâ dengan sifat buruh yang paling utama: kuat
melaksanakan perintah dan amanah dalam menjaga sesuatu. Sumber dari dua sifat
ini adalah yang dia saksikan dari keadaan Mûsâ. Bapaknya berkata, “Bagaiman
69
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 369 70
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 369
78
kamu tahu tentang itu?” Perempuan itu menjawab, “Dia mengangkat batu besar
yang tidak bisa dibawa kecuali oleh sepuluh orang. Dan aku ketika datang
bersamanya, aku ada di depannya, lalu dia berkata kepadaku, “Kamu di
belakangku. Jika jalanku salah, lemparkanlah kerikil supaya aku tahu jalan yang
aku tuju.”
Abdullah bin Mas‟ud mengatakan orang yang paling bagus firasatnya ada
tiga. Abû Bakar ketika berfirasat memberi kekuasaan pada „Umar, orang dalam
cerita Nabi Yûsuf ketika berkata, “Muliakanlah kedudukannya” dan perempuan
itu dalam kisah Mûsâ ketika berkata, “Muliakanlah Bapakku, ambilah dia sebagai
orang yang berkerja kepada kita. Karena sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.”71
Keenam, hubungan semenda Mûsâ dan Syu‟aib. (ayat) Syu‟aib menerima
bahwa Mûsâ adalah laki-laki yang kuat lagi terpercaya. Lalu dia berkata kepada
Mûsâ, “Aku ingin menjadikanmu menantu, menikahkanmu dengan salah seorang
dari kedua putriku. Pilihlah siapa yang kamu sukai. Mereka adalah Shafuriya dan
Layya sedangkan maharnya, kamu menggembalakan kambing-kambingku selama
delapan tahun. Jika kamu mau menambah dua tahun itu hakmu. Jika tidak,
delapan tahun sudah cukup. Aku tidak memberatimu setelah itu dengan apa pun
mengenai perdebatan maslah waktu atau lainnya. Kamu akan mendapatiku
sebagai orang saleh secara umum.” Di antaranya adalah perlakuan yang bagus,
71
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 370
79
lemah lembut. Nabi Syu‟aib mengatakan in sya Allah adalah untuk mendapatkan
berkah dan tawakkal kepada taufik dan pertolongan Allah.72
Nabi Mûsâ kemudian menjawab (ayat) Nabi Mûsâ berkata kepada mertuanya,
“Perkaranya adalah seperti yang kamu ucapkan. Aku mempunyai hak memilih
salah satu dari dua putrimu dan salah satu dari dua masa, delapan atau sepuluh
tahun. Masing-masing sesuai yang disyaratkan. Jika aku telah menyelesaikan
delapan tahun, aku telah bebas dari perjanjian ini dan aku sudah keluar dari syarat.
Tidak ada kesulitan bagiku untuk memilih dua masa itu. Kamu juga tidak punya
hak untuk menuntutku menambah masa itu. Jika dia disiapkan untuk menjadi
nabi, dia akan memeilih yang paling sempurna. Meskipun itu mubah, bukan
keharusan. Nabi Mûsâ telah melakukan masa yang paling sempurna dari dua
masa.73
Ibnu Jarîr dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu „Abbâs bahwa Rasulullah saw.
bersabda,
يأ ل، أ ي ب ج ت ل أ : س ال ق م ل س و و ي ل ى اهلل ع ل اهلل ص ل و س ر ن أ اس ب ب ع ن اب ن ع ه ر ي غ ر و ي ر ج ن ب إ و ر ا.م ه ل م ك أ ا و م ه تأ : أ ال ى؟ ق س و ى م ض ق ني ل ج ال
“Aku bertanya kepada Jibrîl, masa yang mana yang dilaksanakan oleh
Musa?” Jibrîl menjawab, “Yang paling sempurna dan yang paling genap.”
itulah perjanjian yang terjadi antara Nabi Mûsâ dan Syu‟aib.74
Al-Sya„râwi menjelaskan dalam tafsirnya ada tiga hukum yang bisa kita
ambil dalam masalah terkait pekerjaan perempuan. Dan apa yang menjadi
kewajiban bagi kita ketika seorang perempuan mengalami kesulitan dalam
pekerjaannya. Yang pertama kita mengetahui bahwa memberi minum kambing-
72
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 370 73
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 370 74
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 371
80
kambing yang digembala adalah tugas laki-laki. Yang kedua perempuan tidak
akan keluar bekerja kecuali dalam keadaan darurat. Dan perempuan tidak boleh
mengerjakan pekerjaan laki-laki kecuali laki-laki tersebut lemah untuk melakukan
pekerjaannya. Dan yang ketiga masyarakat muslim harus membantu wanita yang
keluar untuk bekerja apabila dia membutuhkan bantuan atau untuk mempermudah
dalam pekerjaannya.75
Mengenai peristiwa dinikahkannya Nabi Mûsâ oleh anak Nabi Syu‟aib al-
Sya„râwi memberi perumpamaan. Al-Sya„râwi berpendapat bahwa ada seorang
bapak yang melarang anaknya menikah dengan laki-laki yang salih, walaupun
sedikit yang melakukannya. Dan dalam peristiwa ini sebagai hikmah kepada
seorang bapak dalam memilih laki-laki yang salih untuk dinikahkan dengan
putrinya. Tetapi kita banyak menemukan laki-laki yang agama dan ahlaknya
buruk, tetapi mempunyai kedudukan yang baik di masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini seorang bapak harus memilih dan memperhatikan
dengan baik laki-laki yang kelak akan menikahkan putrinya. Dan menanyakan
kepada laki-laki tersebut kenapa ia belum menikah? Ini sebagai motivasi untuk
laki-laki. Karena banyak anak muda sekarang yang mengharapkan dukungan dan
motivasi dari wali perempuan yang akan dinikahinya. Ini pelajaran yang dapat
kita ambil dari sikap Nabi Syu‟aib kepada Nabi Mûsâ.76
Menurut wahbah al-Zuhaili mengenai potongan ayat (أىحه) adalah dalil
bahwa nikah adalah nikah kepada wali. Bukan hak perempuan, sebab orang saleh
Madyan bertanggung jawab atas pernikahan itu. Ini adalah pendapat mayoritas
75
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XVII, h. 10905 76
Mutawalli al-Sya„râwi, Tafsir al-Sya„râwi, Jilid XVII, h. 10910
81
ulama. Ayat ini juga menunjukan bahwa seorang bapak mempunyai hak untuk
menikahkan putrinya yang perawan yang sudah baligh tanpa musyawarah. Ini
juga merupakan pendapat mayoritas ulama.77
Selanjutnya mengeni hukum dalam ayat (إي أريذ أ أىحه) Wahbah al-Zuhaili
menjelaskan ayat ini sebagai dalil bahwa nikah terbatas pada kata nikahkan saja,
menurut kalangan al-Syafi‟iyyah. Al-Malikiyyah mengatakan nikah bisa terjadi
dengan lafaz apa pun. Abu Hanifah mengatakan nikah terjadi dengan lafaz apa
pun yang menunjukkan makna kepemilikan selamanya, baik dengan lafaz hibah
atau lainnya, jika itu disaksikan. Sebab talak terjadi dengan perkataan sarih (jelas)
dan kinyah (sindiran). Demikian juga nikah. Yang khusus mengenai Nabi Musa
adalah pernikahan dengan tanpa mahar, bukan pernikahan dengan lafaz hibah
(memberi). Potongan ayat (إحذي اثزي هبري) adalah tawaran untuk menikah, bukan
akad nikah. Sebab kalau itu akad, perempuan yang masuk dalam akad untuk Nabi
Mûsâ, harus diperjelas.78
Makki mengatakan dalam masalah ini. Di antaranya tidak dijelaskan istri,
tidak ditentukan awal masa pernikahan, menjadikan ijarah sebagai mahar. Nabi
Mûsâ sudah menggauli isterinya, tetapi mahar belum dibayar sama sekali. Ada
pun penegasan siapa istri Nabi Mûsâ, realitasnya itu terjadi dalam kesepakatan
lain. Masalah ini disampaikan secara global dan setelah itu ditentukan siapa
perempuannya. Ada pun penyebutan awal mulanya pernikahan, di ayat ini tidak
ada yang menghendaki gugurnya pernikahan, tapi didiamkan, tidak dibicarakan.
Barangkali mereka telah menyepakatikan. Kalau tidak ada kesepakatan,
77
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 372 78
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 372
82
pernikahan dimulai pada awal waktu akad. Adapun nikah dengan mahar upah
pekerjaan, ini jelas dari ayat. Ini juga hal yang diakui oleh syari‟at kita dengan
dalilapa yang diriwayatkan oleh imam-imam mengenai pernikahan dengan mahar
sesuatu dari al-Qur‟an. Di antara jalan riwayat itu berbunyi ( فعهب عشزي آيخ وهي
.maka ajarilah dua puluh ayat, dia adalah istrimu (ازأره79
Para ulama mempunyai tiga pendapat mengenai hal ini. Imam Malik
memakruhkan. Ibnu al-Qâsim dan Hanafiyah melarang. Ibnu Hubaib, al-
Syafi‟iyyah dan Hanabilah membolehkan dengan dalil ayat ini. Adapun ucapan
Makki bahwa Nabi Mûsâ sudah menggauli istrinya sementara mahar belum
dibayar, di sini ada perbedaan pendapat. Ibnu Qâsim melarangnya. Suami tidak
boleh menggauli sampai dia membayar mahar, meskipun seperempat dinar.
Ulama-ulama mutaakhir Malikiyyah membolehkan sebab menyegerakan mahar
atau sebagian dari mahar adalah disunnahkan.80
Terlepas dari perbedaan para ulama dalam terkait hukum yang ada dalam
ayat ini, bahwa perjanjian Nabi Mûsâ kepada Nabi Syu‟aib untuk mengembala
kambing selama 8 tahun merupakan kewajiban yang harus didahulukannya.
Sementara itu ia mendapatkan haknya dengan menikahi puttri Nabi Syu‟aib.
Dari kisah ini kita banyak mendapatkan pelajaran salah satunya adalah
pelajaran untuk seorang bapak agar benar-benar dalam memilih laki-laki yang
akan dinikahkan dengan putrinya.
79
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 372 80
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj, jilid. 10, h. 373
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tentang ayat-ayat yang mendahulukan kewajiban dari
pada hak dalam tafsir al-Sya„râwi dan Wahbah al-Zuhaili, secara garis besar
menunjukkan bahwa kewajiban harus didahulukan dari pada hak yang diperoleh..
Dan ada pun perbedaan yang ada pada kedua tafsir tersebut adalah sudut pandang
mengenai ayat-ayat yang dibahas. Bahwa al-Sya„râwi dalam tafsirnya sangat
menonjolkan aspek sosial sedangkan Wahbah al-Zuhaili menonjolkan aspek
hukum.
Namun, Keduanya sepakat bahwa seseorang harus terlebih dahulu
menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya sebelum ia berhak memperoleh
haknya. Di dalam masalah ini, penulis juga mengakui masih ada sebagian orang
yang keliru bahwa mereka banyak menuntut haknya sebelum menjalankan
kewajibannya.
B. Saran
Setelah penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari
bahwa sebuah penelitian tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Maka dari
itu, penulisan ini tidak dapat dikatakan telah selesai, tapi masih bisa dikaji ulang.
84
DAFTAR PUSTAKA
Abror,Robby Habiba. “Paradoks Universalitas HAM Barat di Muka Cermin
Islam Perspektif Filsafat Hukum dan HAM”, Ijtihad, Jurnal Wacana
Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol 12, No.2, Desember 2012: 217-235.
Abu Aziz,Syaikh Sa‟ad Yusuf Mahmud.Ensiklopedi Hak dan Kewajiban Dalam
Islam, Terj. Ali Nurdin Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2017.
Achmad. “Mutawalli al-Syarawi Dan Metode Penafsirannya: Studi atas Surah al-
Maidah ayat 27-34. Al-Daulah. Vol.1 No 2, Juni 2013.
Baihaki.“Studi Kitab Tafsîr al-Munîr Karya Wahbah al-Zuhaili Dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama”. Analisis. Vol XVI No.
1, Juni 2016.
Daswandi.“Implikasi Nasikh Mansukh Dalam Menafsirkan Al-qur‟an”,Tesis S2
Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2017.
Departemen Agama RI.Al-Qur‟an Tajwid Dan Terjemahannya, Wisma Haji
Tugu, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:PT
Gramedia Pustaka Utama, edisi IV 2015.
al-Fairuz Abadi,Majdudin Muhammad bin Ya‟qub.Al-Qamus al-Muhit Dar a-
Hadits, 2008.
Fatimah,Putri Ajeng.“Waris Kalalah Dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2011.
Ghazaly,Abdul Rahman. Ihsan,Ghufron. Shidiq,Sapiudin.Fiqh Muamalat,
Jakarta:Kencana Prenada Group, 2010.
al-Ghazali,Imam.Mukasyafah al-Qulub: al-Muqarib Ila Hadrah „Allam al-Guyub
Fi „Ilm al-Tasawwuf Terj: Irwan Kurniawan Pustaka Hidayah: cet. I, 2006
Hakim,M. Arifin.Ilmu Budaya Dasar, Jakarta:Pustaka Satya, 2001.
85
Hamka.Renungan Tasawuf Jakarta: Republika Penerbit, 2016.
Hasan,Moch. Sya‟roni.Implementasi Kegiatan Amal Saleh Dalam Peningkatan
Kecerdasan Spiritual: Studi Kasus di Pondok Pesantren al-Urwatul
Wutsqo Bulurejo Diwek Jombang, Didaktika Religia Vol.2, No.1 tahun
2014
Hawwa,Sa‟id.Takiyatun Nafs Intisari Ihya Ulumuddin Jakarta: Pena Pundi
Askara, 2005.
Hidayat,Nasrul. ”Konsep Wasatiyah Dalam Tafsir al-Sya„râwi”, Tesis S2
Pascasarjana, UIN Alaudin Makasar, 2016.
al-Jurjani,Ali Muhammad.al-Ta‟rifat al-Haromain, 1421 H.
Kaltsum,Lilik Ummi. “Hak-Hak Perempuan Dalam Pernikahan Menurut Wahbah
al-Zuhaili”Makalah diterbitkan di Jurnal Studi Gender Palastren, STAIN
Kudus, vol.5, no.1, Juni 2012.
Mas‟adi, Ghufron A. Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Matondang,Ikhwan.“Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitasi Hak
Asasi Manusia”, Ilmu Ushuluddin, Vol 2, No. 3, Januari –Juni 2015.
Mentari,Riesti Yuni.“Penafsiran al-Sya„râwi Terhadap al-Qur‟an Tentang Wanita
Karir”, Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2011.
al-Qattan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Alquran, Jakarta:Pustaka Al-
Kautsar, 2004.
Pasya,Hikmatiar.“Studi Metodologi Tafsir al-Sya„râwi”. Studia Quranika. Vol. 1,
No.2, Januari 2017.
Sanaky, Hujair A. H. “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikut
Warna atau Corak Mufassirin)”, Al-Mawarid Edisi XVII, Tahun 2008.
Shihab,M. Quraish.Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudû‟î atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996.
86
Syafrudin,Amang.Hidup Dengan Al-Fâtihah, Jakarta: Gema Insani, 2009.
al-Sya„râwi,Mutawalli.Tafsir al-Sya„râwi, Mesir:Al-Azhar Islamic Research
Academy, 1991.
Syukur, Abdul.“Mengenal Corak Tafsir al-Qur‟an”, El-Furqonia. Vol. 01, No.
01, Agustus 2015.
al-Yassu‟I, Fr.Louis Ma‟luf. al-Yassu‟I,Fr. Bernard Tottel.al-Munjid Fi al-
Lughah wa al-A‟lam, Beirut Libanaon:Dar al-Masyriq, 2017.
Yunus,Mahmud.Kamus Arab Indonesia,Ciputat: Mahmud Yunus wa Dzuriyyah,
2007.
Yusran.Amal Saleh: Doktrin Teologi dan Sikap Sosial, Jurnal al-Adyan, Vol.1,
No.2, Desember 2015.
al-Zuhaili,Wahbah.Tafsir al-Munîr: Aqidah, Syariah, & Manhaj Terj: Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Referensi Web:
http://www.acamedia.edu/7169737/Makalah-Hak-Kewajiban-dan-Keadilan
https://www.dakwatuna.com/2015/09/04/74702/dr-wahbah-al-zuhaili-riwayat-
hidup-dan-karyanya/amp/
https://islamfeminis.wordpress.com/2007/04/19/menjawab-mis-understanding-
antara-anjuran-dan-kewajiban-versi-imam-khumaini-ra-1-relasi-hak-dan-
kewajiban/