habermas dan sains.3
DESCRIPTION
Jurgen Habermas: sains tidak bebas nilaiTRANSCRIPT
Pemikiran Filsafat “Teori Kritis ” Jürgen Habermas
Pendahuluan
Jurgen Habermas adalah sosok filsuf pewaris pemikiran Madzhab Frankfrut.
Pemikiran-pemikirannya cukup rumit dan sarat dengan rujukan metafora tapi sangat
filosofis. Narasi besar pemikirannya bertumpu pada usaha pencarian sebuah teori yang
secara memadai merumuskan syarat-syarat nyata perwujudan sebuah masyarakat yang
bebas dari penindasan. Ia mencoba mengembangkan sebuah teori kritis. Madzhab
Habermas ini terkenal dengan “Teori Kritis” atau “Teori Kritis Masyarakat” yang
melemparkan sebuah kritikan serius terhadap konsep teori Positivisme dan menyebut
positivisme itu sebagai saintisme karena mengadopsi metode ilmu-ilmu alam untuk
menggagas unified science. Dikatakan bahwa positivisme hanya berpura-pura bertindak
objektif dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, padahal ia
menyembunyikan kekuasaan dengan mempertahankan status Quo masyarakat dan tidak
mendorong perubahan.1
Jika dirunut ke awal sejarahnya, memang titik tolak teori kritis sejak Horkheimer
adalah berasal dari persoalan paham positivisme yang salah dalam memandang
keberadaan ilmu-ilmu sosial, positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bebas
nilai (value-free), terlepas dari praktek sosial dan moralitas, yang dapat dipakai untuk
prediksi, bersifat objektif dan sebagainya. Anggapan semacam itu mengkristal menjadi
suatu kepercayaan umum bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan ilmiah dan pengetahuan semacam itu hanya dapat diperoleh dengan
menerapkan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial. Anggapan seperti itu disebut
saintisme (scientism) yang berarti “Science’s belief in it self. That is the convicton that
we can no longer understand science as one form of possible knowledge, but rather
must be identify knowledge with science”.2
1
? F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 102 Wartono, Menuju Penekatan Kritis Dalam Stusi Akutansi, dikutip dari http://akuntan-publik-wartono.com/menuju-penekatan-kritis-dalam-studi-akuntansi/, diakses pada 4 maret 2010, pukul 17.57 WIB
1
Menanggapi kenyataan itu, madzhab Frankfrut memberi alternative dengan
“teori kritis” nya sebagai teori yang memihak praxis emansipatoris masyarakat. Di
kemudian hari kemudian Habermas merumuskan teori itu sebagai dasar
epistemologisnya dengan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sangat berhubungan
dengan kepentingan kognitif, sehingga posisi ilmu pengetahuan tidak pernah bebas
nilai, ilmu pengetahuan akan sangat dipengaruhi oleh sosial politik (ideologi),
kekuasaan, dan kepentingan, termasuk juga oleh kelompok teori kritis yang didorong
oleh kepentingan emansipatoris.3
Teori kritis juga mampu membongkar kedok rasionalitas pencerahaan yang
disebut rasionalitas instrumental itu telah gagal mencapai tujuan emansipatifnya yaitu
membebaskan manusia dari perbudakan serta membangun kehidupan masyarakat
independent yang bebas untuk mengatur kehidupan sosialnya sendiri. Kegagalan teori
kritis generasi pertama lebih disebabkan terperangkap atas teori filosofis Karl Marx
yang mereduksi manusia hanya sebagai makhluk pekerja.
Kemudian Jurgen Habermas muncul sebagai pembaharu Teori Kritis dengan
memperbaharui konsep paradigma komunikasi. Hal ini begitu nampak dengan langkah-
langkah Habermas yang melakukan dialog-dialog Habermas dengan Foucoult tentang
kekuasaan, dengan Parson tentang krisis sosial, dengan Popper mengenai falsifikasi dan
yang terakhir bagaimana Habermas merumuskan hermeneutika kritis yang mengadopsi
psikoanalisa untuk menggabungkan explanation dan understanding yang mengarah
pada metode refleksi diri.4
Sejarah Intelektual
Jurgen Habermas dilahirkan pada tahun 1929 di Dusseldorf Jerman. Ia
mempelajari filsafat di Universitas Got tingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam
Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu
didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia 27 tahun dan
mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman
terkemuka di Institute for social Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D,
3 F. Budi Hardiman, Ibid, hlm. 121 4
Sindung Tjahyadi, Teori Kritis Jurgen Habermas; Asumsi-Asumsi Dasar Menuju Metodologi Sosial, dikutip dari http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/25/21, diakses pada 1 Maret 2010, pukul 15.14 WIB
2
didapatkannya setelah berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang
berjudul Das Absolut und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian
diterbitkan menjadi buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang
Mutlak dan Sejarah dalam pemikiran Schelling.5
Sementara ia melibatkan diri di dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia
mempersiapkan sebuah Habilitations-schrift yang berjudul Strukturwandel der
Oeffentlichkeit (perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah
satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut.
Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga
memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah
mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan
kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat.6
Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir marxis
adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut. Seperti halnya Adorno dan
Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman
(new left) , meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia
terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya
Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Dalam
hal ini ia mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan
tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse. Namun sejak tahun 1970-an,
hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan
aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya,
Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya
sebagai gerakan “revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”,
“Picik” dan kontraproduktif.7
Namun Konfontrasi itu agaknya membuka tahapan baru dalam posisi Habermas
sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970 ia mengajukan pengunduran diri dari
Frankfrut dan bergabung pada Institut lain, yaitu Max Planck Institute zur Erfoschung
der Lebensbedingungen Wissenshaftlich-technischen Welt (Institut Max Planck Untuk
Penelitian Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama
5 E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 876 Ibid, hlm. 887 Ibid, hlm. 89
3
dengan C.F.von Weizsacker, bahkan Jurgen Habermas pada tahun 1972 sempat
menjabat sebagai direkturnya. Di tempat inilah ia diangkat sebagai professor filsafat dan
pensiun tahun 1994. Di tempat ini, ia juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan
dasar-dasar teori kritisnya yang berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahu-
pendahulunya, seperti Adorno, Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna
dengan pemikir marxis pada umumnya. Hal itu nampak dari karya-karya terpenting
Habermas,8 seperti :
a. The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of
Bourgeois Society (1962) diterjemahkan oleh Thomas Burger bersama dengan
Frederick Lawrence, Cambridge, Polity Press, 1989
b. Theorie und Praxis / Theory and Practice (1963), diterjemahkan oleh John Viertel,
Boston, Beacon Press, 1973
c. Erkenntnis und Interesse / Knowledge and Human Interest, (1968), diterjemahkan
oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1971
d. Toward a Rational Society: Student Protest, Science and Politics (1968-9),
diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1970
e. On the Logic of the Social Sciences (1970), diterjemahkan oleh Shierry W. Nicholsen
dan Jerry Stark, Cambridge, Mass, MIT Press, 1988
f. Legitimation Crisis (1973), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon
Press, 1975
g. Communication and thr Evolution of Society (1976), diterjemahkan oleh Thomas
McCarthy, London, Heinemann, 1979
h. Theorie des Kommunikativen Handelns /The Theory of Communication Action.
Volume 1 Reason and Rationalization on Society (1981), diterjemahkan oleh Thomas
McCarthy, Boston, Beacon Press, 1984
i. Theorie des Kommunikativen Handelns / The Theory of Communication Action.
Volume 2 Lifeworld and System : a Ctitique of Functionalist Reason (1981),
diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, B: aoston, Beacon Press, 1987
8 F. Budi Hardiman, Ibid, hlm. 82-83
4
j. Der Philosophische Diskurs der Moderne / The Philosophical Discourse of Modernity
(1985), diterjemahkan oleh Frederick Lawrence, Cambridge, Polite Press, 1987.
Fragmen Pemikiran Habermas
Untuk memahami pemikiran Jurgen Habermas terlebih dahulu harus dipahami
latar belakang yang mempengaruhi teori-teori pemikirannya. Bisa dipastikan bahwa
Habermas sangat dipengaruhi oleh warisan intelektual Mazhab Frankfurt yang terkenal
dengan Teori Kritisnya, sejak tahun 30-an Habermas sudah tertarik dan mengkaji gaya
karya-karya Hokheimer dan Adorno. Ternyata dikemudian hari teori Mazhab Frankfrut
ini tidak saja menentukan gaya pikir dan isi teori-teorinya namun lebih jauh Habermas
juga melakukan semacam pembaharuan atas kelemahan teori kritis itu terutama dengan
melihat pesimisnya pendahulunya dalam memandang dunia modern. Disebut Teori
Kritis karena mazhab pemikiran ini dikenal sangat getol mensosialisasikan suatu gaya
berpikir analisis.
Kritik adalah konsep kunci untuk memahami Teori Kritis. Kritik juga
merupakan suatu program bagi Mazhab Frankfrut untuk merumuskan suatu teori yang
bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka
diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masayarakat modern, seperti seni, ilmu
pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah
menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak
tertentu sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya.
Habermas dikenal sebagai pembaharu tradisi intelektual yang dirintis oleh Max
Horkheimer, sepanjang yang dirumuskan habermas ada enam tema dalam program teori
mereka :a) bentuk-bentuk integrasi sosial, b) Masyarakat postliberal c) Sosialisasi dan
perkembangan ego, d) media massa dan kebudayaan massa, e) psikologi sosial protes
dan f) Teori seni dan kritik atas positivisme.
Habermas dan Para Pendahulunya
Jauh sebelum menggabungkan diri di dalam Institut, Habermas telah membaca
karya-karya Hokheimer dan Adorno di tahun 30-an, antara lain Traditionelle und
Kritische Theorie, tetapi juga karya mereka yang diterbitkan sertelah perang, Dialektik
5
der Aufklarung. Buku-buku tersebut sangat mempengaruhi gaya dan alur pemikiran-
pemikiran Habermas selanjutnya.
Dialektik merupakan kritikan terhadap pemikiran positivisme yang (menurut
Marcus, 1964) dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
setelah penemuan metode empiris-eksperimental sebagaimana dituntut oleh positivisme,
telah berubah menjadi ideologi dan menimbulkan model berpikir satu dimensi. Dari
penelusuran dan analisis terhadap pemikiran modern (pencerahan) itu, mereka
menyimpulkan bahwa pencerahan telah menghasilkan “rasionalitas bertujuan”
(Zweckrasionalitat) yang ujung-ujungnya menimbulkan bentuk positivisme, saintisme
serta teknokratisme. Buku dialektik tidak hanya memikat hatinya, melainkan juga
menggugah minatnya untuk memperdalam permasalahan pokok yang dibahas di
dalamnya, yaitu masalah rasionalitas dan pencerahan, yang oleh Adorno dan
Horkheimer dihadapi secara pesimistis. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Habermas, yang
oleh Bertens dinyatakan9:
“ Buku itu (Dialektik) membuat saya berani untuk membaca Marx secara
sistematis dan tidak hanya secara historis. Teori Kritik Mazhab
Frankfrut- tak ada tandingannya waktu itu. Membaca Adorno membuat
saya berani membahas secara sistematis apa yang secara historis
dipaparkan oleh Lukacs dan Korsch : Teori reifikasi sebagai teori
rasionalisasi menurut Weber. Sudah sejak saat itu, masalah saya adalah
teori tentang modernitas, suatu teori mengenai patologi modernitas dari
sudut pandang realisasi-realisasi yang bercatat –dari rasio dalam
sejarah”
Dialektik der Aufklarung, bertendensi pada keinginan untuk mencerahkan,
memberikan cahaya dan pengertian, atau ingin membebaskan manusia dari prasangka,
kepercayaan-kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, takhayul, penipuan
dan kebohongan , yang berujung menjadi jembatan keprihatinan antara Habermas dan
para pendahulunya dalam menyusun Teori Kritisnya. Seperti kita ketahui, para
pendahulunya memandang pencerahan telah membuahkan Zweckrationalitat
9 Ibid, hlm. 84
6
(Rasionalitas Tujuan), sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme,
teknokratisme dan barbarisme gaya baru.10
Pandangan mereka mengenai rasionalitas modern itu tak lain merupakan
radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori
rasionalisasi versi Teori Kritis setelah banyak mendapat inspirasi dari Lukacs. Seperti
yang kita ketahui dari kritik-kritik mereka teori rasionalisai tidak hanya menyangkut
analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga
perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial,
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Habermas juga meminati masalah rasionalisasi ini
sebagai masalah kemanusiaan pada umumnya. Keprihatinannya terhadap masalah ini
mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan rasionalitas dan proses
rasionalisasi itu dengan membuat analisis baik atas rasio manusia maupun
perwujudannya di dalam praxis hidup sosial.
Satu hal yang membedakannya dari para pendahulunya menghadapi rasionalisasi
adalah sikapnya terhadap masalah ini. Jika para pendahulunya menghadapi rasionalisasi
secara pesimistis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru, Habermas
menemukan aspek-aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada
harapan real yang dapat ditempatkan dalam konteks rasionalisasi. Meskipun demikian,
tidak seperti Adorno dan Horkheimer, Habermas menolak teori Marx sebagai teori,
seperti juga pesimisme kultural yang ada pada generasi pertama dari Mazhab ini.
Habermas yakin bahwa generasi pertama mazhab ini keliru saat mengacaukan
“rasionalitas sistem” dengan “rasionalitas aksi”. Memang Jurgen Habermas sangat
menekankan signifikansi rasionalitas dalam pemikiran filsafatnya. Hal ini menjadi
sumbangannya yang paling berharga bagi perkembangan teori sosial kontemporer. Ia
disebut-sebut sebagai teoritikus sosial anggota Mazhab Pemikiran Frankfurt paling
representative. Habermas merupakan generasi terkini dari para pengikut Mazhab ini. .
Sama seperti para pendahulunya, Habermas hendak membangun sebuah “teori
dengan maksud praxis”, maka dalam banyak hal Habermas tidak dapat meninggalkan
teori warisan dari Mazhab Frankfrut pendahulunya. Disini Habermas menghadapi
masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai
teknologi sosial. Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern
10 Ibid, hlm. 85
7
tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti
teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berpikir, merupakan
faktor yang penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia, yaitu kerja.
Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. Meskipun
Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, ia
bersikap tegas terhadapnya apabila diterapkan dalam konteks interaksi sosial. Di sini
seperti para pendahulunya, ia mengecam positivisme sebagai “ideologis” dan saintisme
karena positivisme mengkalim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala
bidang, termasuk kehidupan sosial manusia.11
Dari segi isi dan latar belakang pemikiran-pemikirannya, Habermas tetap
berakar pada tradisi idealisme Jerman seperti para pendahulunya, khususnya
transendentalisme Kant, Idealisme Fiche dan Hegel, dan materialisme Marx.
Sebagaimana lazimnya Mazhab Frankfrut, Habermas juga mengintegrasikan
psikoanalisis Freud ke dalam teori kritisnya. Bahkan perhatiannya terhadap
psikoanalisis nampak mencolok bila dibandingkan dengan para pendahulunya. Dengan
Habermas, teori Kritis mendapat wawasan baru yang diperoleh dari tradisi Anglo
Amerika, yaitu Lingustic-analysis dari Wettgenstein, Searle dan Austin. Jadi melampaui
para pendahulunya, ia mencoba mengintegrasikan pemikiran analitis ini ke dalam
pemikiran dialektis Teori Kritisnya. Perhatiannya terhadap aspek linguistis manusia
dapat dijumpai pula sejak karya-karya awalnya, sekurang-kurangnya dalam bentuk
rencana untuk mengarahkan pemikirannya kepada tradisi analitis itu. Beberapa kalangan
menilai bahwa telah terjadi “linguistic Turn” dalam pemikiran Habermas Apapun mau
disebut, minatnya terhadap analisis bahasa dapat dimengerti dalam konteks pemahaman
baru Teori Kritisnya mengenai komunikasi sebagai salah satu dimensi dari praxis.12
Selain filsafat analistis, Habermas juga dipengaruhi oleh para pemikir pragmatis
Amerika, seperti Pierce, Mead, dan Dewey. Dari aneka tradisi filsafat yang
melatarbelakangi ini, ia mencoba mengintegrasikannya sebagai suatu teori yang integral
dan sistematis. Watak sistematis dari teori-teorinya itulah yang secara tajam
membedakannya dari para pendahulunya yang terkenal sebagai antisistem.
11 Ibid, hlm. 3312 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm, 15-18
8
Bidang-bidang yang menjadi pusat pengolahan Teori Kritisnya tidak terbatas
hanya pada psikologi sosial ataupun ilmu-ilmu social seperti para pendahulunya.
Pemahamannya mengenai praxis memungkinkannya untuk menyentuh wilayah-wilayah
pengetahuan yang sebelumnya tidak disinggung oleh para pendahulunya. Tentang
luasnya kemungkinannya mempelajari bidang-bidang itu, B. Thompson memujinya:
“Sebagai pemikir social terkemuka di Jerman dewasa ini, Habermas
mengolah orientasi teoritis yang relevan bagi wilayah disiplin-disiplin
yang luas, dari politik dan sosiologi ke filsafat, psikologi dan linguistic.
Karnyanya menyatakan pemahaman yang menakjubkan atas berbagai
tradisi intelektual dan kaya akan gagasan-gagasan orisinil….Habermas
menonjol sebagai pemikir dengan bidang dan pandangan yang luas
sekali”
Habermas juga tidak menutup mata terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial
dewasa ini meskipun teori-teori itu berkembang dari tradisi pemikiran yang bagi
intelektual Marxis kerap dicap sebagai “Ilmu-Ilmu Borjuis”. Misalnya, dengan minat
yang cukup besar sebelum melontarkan kritiknya, ia mencoba menelaah teori
fungsionalisme structural dan teori sistem Parsons. Perkembangan metodologi lainnya
juga tidak ia lewatkan, misalnya diikutinya perkembangan dalam lapangan
etnometodologi dan berbagai ilmu social fenomenologis dan hermeneutis. Dalam
beberapa kesempatan ia terlibat dalam diskusi hangat dengan beberapa filsuf lain, antara
lain dengan Gadamer.13
Akhirnya melalui pengetahuan ensiklopedisnya, Habermas mengerjakan suatu
Teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi Teori Kritis. Pihak-pihak kiri
yang memegang teguh “jalan konfliknya” pernah menuduhnya sebagai seorang Marxis
yang “sesat” dan “bekerja” demi ilmu-ilmu borjuis. Tuduhan seperti ini dapat dipahami
karena Habermas memberi tempat sentral bagi konsensus di dalam kritik ideologinya.
Dari sudut generasi pertama, Teori Komunikasi itu justru menjadi alasan yang
selayaknya untuk menempatkan Habermas sebagai pembaharu. Bersama para
sahabatnya (Clauss Offe, Alberch Wellmer, Klaus Eder, dan Rainer Dobert), pada
13 Ibid, hlm. 87
9
tempatnyalah Habermas dipandang sebagai Generasi Baru Teori Kritis atau Generasi
Kedua Teori Kritis.
Kritik terhadap Sains
Teori ini berkembang tahun 30-an di Jerman yakni di Institut Sosial forschung di
Frankfurt, sehingga sering juga disebut aliran Frankfurt. Tokoh-tokoh terkemuka dari
teori ini adalah Horkheimer, Adorno, dan Marcuse. Sebenarnya teori ini berasal
dari―Teori Kritik Masyarakat yang intinya adalah bermaksud membebaskan
masyarakat dari manipulasi ilmuwan moderen. Teori tersebut mengambil inspirasi dari
pemikiran Karl Marx, namun tidak mengikuti Marx yang dianggap radikal-revolusioner.
Salah satu unsur utama dari teori kritis adalah keyakinan bahwa di balik
selubung objektivitas sains tersembunyi kepentingan kekuasaan. Kepentingan ini
diyakini bersifat ekonomis, kapitalis, dan dehumanis. Karena itu, penganut teori kritis
ingin membuat semacam pencerahan (enlightenment/aufklarung) dengan mengungkap
tabir yang menutupi maksud yang tidak manusiawai dari perkembangan sains. Perihal
selubung kepentingan dalam sains sebenarnya sudah dikemukakan sejak lama oleh
filsuf Yunani Francis Bacon.14
Teori kritis mencapai kejayaan pada tahun 60-an di Eropa dan menjadi inspirasi
sebuah gerakan masyarakat dan mahasiswa. Sayangnya, gerakan ini berkembang
menjadi gerakan anti masyarakat industri dan kapitalis, sehingga sering disebut ―Neo
Marxisme. Sejalan dengan gagalnya Marxisme paham teori kritis juga memudar.
Perkembangan dunia ternyata tidak sesuai dengan pengandaian (presumsi) Marx bahwa
manusia adalah makhluk berkebutuhan, dan hal ini merupakan peluang untuk
dimanipulasi oleh kapitalisme dengan kedok perkembangan sains.15
Salah satu pandangan penting dari hasil penelitian Habermas adalah bahwa
tidak masuk akal untuk menyimpulkan secara umum tentang kepentingan di belakang
setiap ilmu (sains). Hal inilah yang membedakan Habermas dengan tokoh-tokoh teori
kritis. Habermas membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga kelompok dengan masing-
14 John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas, terjemahan A. Gunawan Admiranto, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 53
15 Akhyar Yusuf Lubis, Teori Kritis dan Psikologi Kritis, dalam Diktat Ajar mata kulaih Filsafat Ilmu Pengetahuan, Semester 2007/2008 Program Pascasarjana Psikologi UI, hlm. 107
10
masing kelompok kepentingan, objek, dan ciri yang khas. Dari sini terlihat bahwa
Habermas juga meninggalkan teori tradisional yang menganggap bahwa sains bebas
dari semua kepentingan.16
Kelompok ilmu pertama adalah ilmu –ilmu empiris-analitis seperti ilmu alam.
Tujuan ilmu-ilmu ini adalah penguasaan alam untuk pemenuhan kebutuhan manusia,
jadi tetap memiliki kepentingan. Kelompok kedua adalah ilmu-ilmu historis-
hermeneutis seperti ilmu sejarah. Tujuan kelompok ilmu ini adalah pengungkapan
makna, pengorganisasian objek untuk kepentingan perluasan intersebjektivitas sehingga
diperoleh peningkatan saling pengertian untuk tujuan tindakan bersama. Kelompok
ketiga adalah ilmu-ilmu tindakan seperti ilmu ekonomi, sosiologi, politik, serta ilmu-
ilmu reflektif seperti ideologi, psikoanalitik dan filsafat. Tujuan kelompok ilmu ini
adalah untuk membantu manusia dalam bertindak. Lingkungan kelompok ilmu ini
adalah kekuasaan.
Perbedaannya dengan Marx. Seperti dikatakan Habermas, tujuannya selama
bertahun-tahun adalah ―mengembangkan program teori yang dipahami sebagai
rekonstruksi materialisme historis. Habermas mengambil titik tolak Marx (potensi
manusia, spesies makhluk, ―aktivitas manusia yang berperasaan ) sebagai titik awal
sendiri. Akan tetapi, Habermas mengatakan bahwa Marx telah gagal untuk
membedakan antara dua komponen analitik yang berbeda—kerja (atau tenaga kerja,
tindakan rasional purposif) dan interaksi (atau aksi komunikatif) sosial (atau simbolik).
Menurut pandangan Habermas, Marx cenderung mengabaikan yang disebut belakangan
dan hanya membahas pada kerja.17
Seperti dikatakan Habermas, problem dalam Karya Marx adalah―reduksi
tindakan spesies manusia yang dimunculkannya sendiri (self-generated) menjadi
sekedar usaha (labor). Jadi, Habermas mengatakan, ―saya mengambil perbedaan
antara kerja dan interaksi sebagai titik awal saya. Disepanjang tulisannya, karya
habermas memuat perbedaan ini, meski ia cenderung menggunakan istilah tindakan
(kerja) rasional-purposif dan tindakan komunikatif (interaksi).
Dibawah nama ―tindakan rasional-purposif Habermas membedakan antara
tindakan instrumental dengan tindakan strategis. Keduanyamelibatkan pencarian
kepentingan diri yang diperhitungkan. Tindakan instrumental melibatkan satu aktor
16 F. Budi Hardiman, Ibid, hlm. 3217 Akhyar Yusuf Lubis, Ibid, hlm. 112
11
tunggal yang secara rasional memperhitungkan cara terbaik untuk mencapai tujuan.
Tindakan strategis melibatkan dua dan atau lebih individu yang mengoordinasikan
tindakan rasional purposif dalam mencapai tujuan.Tujuan dari kedua tindakan itu adalah
penguasaan instrumental.18
Habermas paling tertarik pada tindakan komunikatif, dimana :
”Tindakan agen-agen yang terlibat dikoordinasikan bukan melalui perhitungan
egosentris untuk mencapai keberhasilan, tetapi melalui tindakan untuk mencapai
pemahaman. Dalam tindakan komunikatif, partisipan terutama tidak berorienta
pada keberhasilan mereka sendiri; mereka mengejar tujuan individual mereka
bahwa kondisi di mana mereka bisa mengharmoniskan rencara tindakan mereka
berdasarkan definisi situasi bersama (Habermas, 1984)
Tujuan tindakan rasional purposif adalah untuk mencapai tujuan, sedangkan
tujuan dari tindakan komunikatif adalah mencapai pemahaman komunikatif . Jelas ada
komponen pembicaraan (speech) yang penting dalam tindakan komunikatif. Akan
tetapi, tindakan itu lebih luas ketimbang ―tindakan berbicara atau ekspresi nonverbal
yang ekuivalen.
Kritik atas Rasionalitas
Menurut Habermas, rasionalitas-yakni, kemampuan berpikir logis dan analitis-
lebih dari sekedar kalkulasi strategis bagaimana mencapai beberapa tujuan yang telah
dipilih. Alih-alih, rasionalitas merupakan sebentuk “tindakan komunikatif” yang
diorientasikan untuk mencapai kesepakatan atau konsensus dengan orang lain. Jadi
menurutnya,adalah suatu hal yang sangat penting bahwa dalam menggunakan bahasa
berarti kita berpartisipasi di dalam apa yang menurut Habermas disebut “Situasi
pembicaraan yang ideal” atau “komunikasi dialogis-emansipatoris bebas kekuasaan”.
Dalam situasi seperti ini masyarakat akan mampu menghindari penggunaan klaim-klaim
politik dan moral dan mendasarkan diri semata pada rasionalitas.19
Dalam pandangannya Habermas mengukur rasionalitas itu dengan mengajukan
kriteria tentang pandangan dunia terhadap dinamika sebuah masyarakat dan
menjelaskan proses-proses belajar mana yang mengembangkannya. Jika Karl Marx
menemukan adanya hubungan lurus antara perkembangan alat-alat produksi, terhadap
18 Ibid, hlm. 94-9519 Ibid, hlm. 116
12
masyarakat, namun bagi Habermas tak ada garis lurus antara perkembangan teknologi
dengan pemahaman diri masyarakat, melainkan sebaliknya, yaitu perkembangan alat-
alat produksi itu datang belakangan. Magnis-Suseno mencontohkan dengan keberadaan
agama islam, bahwa agama islam itu tidak lahir karena adanya cara produksi
masyarakat Arab waktu itu, melainkan karena terjadi perubahan politik dan ekonomi
masayarakat Arab dalam abad ke-7 masehi.20
Di dalam karya-karya selanjutnya Habermas mengalihkan teori tindakan
komunikatifnya pada domain politik dan hukum. Ia membela “demokrasi deliberatif”,
dimana suatu hukum dan institusi pemerintah akan lebih menjadi sebuah refleksi dari
diskusi publik terbuka dan bebas. Habermas mengasumsikan bahwa banyak
kepercayaan barat,misalnya, legitimasi hak milik pribadi-mau tidak mau harus direvisi
jika mereka terus menerus mempersoalkan diskusi yang tidak dipaksakan dan tidak
dibatasi oleh persamaan dan kebebasan manusia. Dalam demokrasi, Habermas
mengandaikan bahwa setiap orang, baik laki-laki dan perempuan, akan semakin
menyadari perwujudan kepentingan mereka yang harus disertai dengan otonomi (self-
governance) dan tanggung jawab, dan mereka hanya akan bersedia menyepakati sesuatu
hanya jika argumen-argumennya bisa dinalar secara lebih baik.
Seperti anggota mazhab Frankurt lainnya, Habermas mengkritik bahwa
masyarakat barat kontemporer nyata-nyata mempromosikan sebuah konsepsi
rasionalitas terdistorsi yang mengandung impuls-impuls destruktif yang hanya berujung
pada dominasi-sebagai contoh, dominasi sains dan teknologi atas alam. Teori Marx
tidak relevan lagi untuk menganalisis situasi kapitalisme lanjut dimana ada peralihan
dari kapitalisme privat ke kapitalisme Negara, dimana Negara yang ditopang oleh
teknologi memeainkan peran yang signifikan untuk memperkuat dan mempertahankan
industri-industri besar. Hal ini melemahkan otonomi dan kemampuan kritis masyarakat.
Impuls ini, menurut mazhab Frankfurt, telah diepitomkan dalam cita-cita agung sejak
zaman pencerahan abad ke-18.21
20 Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernism, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 22
21 Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfrut: Imajinasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori Kritis. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 57
13
Namun Habermas juga merintis sebuah upaya untuk mempertahankan apa yang
yang ia lihat sebagai aspek-aspek yang lebih konstruktif dan emansipatoris dari jaman
pencerahan itu. Walaupun atas pikiran-pikirannya itu Habermas banyak mendapatkan
kritik. Sebagian dari kritik-kritik itu mengklaim bahwa “situasi pembicaraan idealnya’
itu tidak dapat divalidasi oleh pengalaman praktis. Dengan begitu tetap tidak akan ada
sebuah standar yang pas untuk menilai legitimasi hukum dan institusi. Ada juga yang
mencermati bahwa teori demokrasi deliberatifnya muncul lebih menyerupai sebuah
aturan bagi rasionalitas daripada aturan bagi manusia. Lebih dari filsuf pasca periode
perang Jerman lainnya, bagaimanapun Habermas telah berhasil memposisikan gagasan-
gagasan Mazhab Frankfurt ke tengah-tengah kancah arus utama perbincangan
pemikiran kontemporer mutakhir.
Kritik atas Paham Positivisme
Konsep ilmu pengetahuan dan kepentingan adalah konsep sentral yang
dikemukakan Habermas dalam melakukan kritikan terhadap paradigma psoitivisme,
akibat klaim teori positivisme yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas
nilai, seperti halnya yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Para pendukung positivisme
menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat kontemplatif dan affirmatif, oleh karena
itu metode yang dipakai ilmu-ilmu alam tidak berbeda dan dapat diterapkan dalam ilmu-
ilmu sosial. Artinya jika ilmu-ilmu sosial ingin diterima sebagai ilmu pengetahuan harus
dapat menghasilkan hukum-hukum umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti didalam
ilmu-ilmu alam.22
Bagi positivisme sebuah riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan
penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian
apapun. Seorang ilmuwan dan peneliti harus mampu meninggalkan rasa perasaannya,
harapan-harapannya, keinginan-keinginannya dan penilaian-penilaian moralnya atau
singkatnya segala kepentingannya itu untuk mendekati objek penelitian sosialnya
sehingga diperoleh “pengetahuan Objektif” tentang kenyataan sosial atau fakta sosial.
Hokhiemer dan Adorno telah mengembangkan pendekatan kritis dan
materialistik itu menjadi kritik menyeluruh terhadap masyarakat industri barat, semakin
maju masyarakat industri modern menjadi masyarakat konsumsi berlimpah serta
22 Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 89
14
berhasil melarutkan pertentangan-pertentangan antar kelas sosial mengakibatkan
masyarakat itu semakin bersifat total. Hal ini dalam pandangan teori kritis masyarakat
sebagai akibat dari dominasi prinsip dasar kapitalisme yaitu prinsip tukar.
Akan tetapi kekuasaan halus prinsip tukar itu juga semakin total sehingga setiap
usaha-usaha untuk pembebasannyapun justru semakin memperkuatnya. Akibatnya
Horkheimer dan Adorno bersikap semakin pesimistik. Berbeda dengan gaya berfilsafat
Habermas yang tidak mengikuti gaya berfilsafat kedua gurunya yang pesimistik itu,
habermas tidak pesimistik, ia tidak mencurigai teknologi dan ilmu pengetahuan modern.
Sebaliknya Habermas menganggap teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai “aktor
produktif terpenting” dalam bagian kedua abad ke-20.23
Dan untuk mengembangkan serta memantapkan teori kritis masyarakat secara
teoritis justru memakai teori-teori ilmu pengetahuan yang paling canggih. Refleksinya
atas salah satu unsur terpenting teori kritis masyarakat klasik ialah hubungan antara
perumusan teori dengan kepentingan ideologis yang berhasil membawa Habermas
untuk membedakan antara ilmu-ilmu empiris di satu pihak dengan ilmu-ilmu historis
hermeneutis di lain pihak. Menurutnya distorsi ideologis terjadi apabila kepentingan
yang memberikan arah dasar kepada ilmu-ilmu empiris analitis yaitu kepentingan akan
penguasaan alam, melimpah ke dalam wilayah ilmu-ilmu historis hermeneutis. Ilmu-
ilmu historis hermeneutis sebenarnya didasari kepentingan akan komunikasi yang
berhasil dan bukan penguasaan alam. Penemuan ini membawa keuntungan yang amat
penting bagi Habermas, karena dengan temuan itu ia mampu membuktikan dimana letak
kekurangnan fundamental dalam perspektif dasar Karl Marx.24
Dalam Pandangan Karl Marx komunikasi antara manusia harus dipahami
menurut model pekerjaan atau hubungan produksi, oleh karenanya Habermas berhasil
menyumbangkan salah satu kritik fundamental pada pemikiran Karl Marx sekaligus
keluar dari lingkaran pesimisme teori kritis masyarakat klasik. Sebab dalam pandangan
Habermas setiap komunikasi menuntut kebebasan, maka di dalam kepentingan akan
keberhasilan komunikasi ada kepentingan yang lebih fundamental lagi yaitu
kepentingan-kepentingan dasar manusia akan emansipasi menyatakan diri. Oleh karena
itu pendekatan monokausal sebagaimana diyakini oleh Karl Marx bahwa masyarakat
23 Ibrahim Fauzi, Seri Tokoh Filsafat: Jurgen Habermas. (Jakarta: Teraju, 2003)
24 Ibid, hlm. 121
15
yang sungguh-sungguh manusia adalah dapat dihasilkan dengan mengubah hubungan
produksi menjadi gugur dan tidak dapat dipertahankan lagi. Begitu pula kekuasaan
ideologis prinsip tukar atas masyarakat industri kapitalis tua yang membuat horkheimer
dan adorno begitu pesimistik menjadi terkuak totalitasnya.
Dengan demikian pemikiran Habermas menjadi begitu multi dimensional,
meskipun pendekatannya kritis dan materialistik, dan sekalipun ia masih berbicara
tentang materialisme historis, akan tetap dalam kenyataannya ia telah meninggalkan
kubu pemikiran marxisme. Orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu
sosial di barat tidaklah terkejut jika mendengar bahwa secara intelektual, marxisme
dalam bentuk ortodoksnya sudah lebih dari setengah abad silam ditanggapi dengan
sikap kritis.
Habermas dan Ilmu Pengetahuan
Titik tolak kritikan Habermas terhadap ilmu pengetahuan berawal dari
pandangan jika ilmu pengetahuan telah mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan
bahwa dalam kesulitan hidup dewasa ini, ternyata ilmu pengetahuan tidak memberikan
nasehat apa-apa kepada masyarakat, artinya ilmu pengetahuan sepanjang dari praktek
hidup sehari-hari.
Posisi teori dalam ilmu pengetahuan menduduki tempat penting untuk
menjelaskan realitas karena pengetahuan dirumuskan ke dalam dan diperoleh lewat
teori. Dalam ilmu pengetahuan modern kata teori sudah kehilangan makna, oleh karena
itu Habermas mengadakan penelitian genetik tentang konsep teori. Lalu ia kemudian
mengembalikan konsep teori itu pada asal katanya “theoria” yang artinya kata ini sudah
sangat tua dan berakar pada kosmologi dan tradisi religius yunani purba dengan
melakukan kontemplasi seorang filsuf lalu memandang atau menatap kosmos yang
bergerak teratur dan membuat lukisan-lukisan didalam dirinya. Dia meniru kosmos atau
melakukan mimesis (meniru), dengan cara itu teori atau kontemplasinya itu
mengarahkan tingkah lakunya .sampai pada tahap teori dalam pengertian kuno itu
terkait dengan praxis.25 Dalam filsafat Yunani Bios Theoritikos menunjukkan bahwa
teori adalah salah satu cara hidup (way of life). Menurut habermas, konsep kuno itu
25 Josef Niznik dan John T. Sanders, Memperdebatkan Status Filsafat Kontemporer Habermas, Rorty dan Kolakowsky. Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. 99
16
menjadi dasar ontologi, dan dengan kontemplasi seorang filosof dapat memisahkan
unsur-unsur yang tetap dan unsur-unsur yang selalu berubah. Usaha untuk menemukan
yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi. Apa yang ingin
dicapai ontologi adalah penjelasan objektif tentang seluruh realitas atau dengan kata lain
teori murni. Dan satu hal yang menarik adalah bahwa Habermas mengaitkan usaha
untuk memperoleh teori murni itu dengan proses emansipasi. (Husserl mengatakan
bahwa krisis disebabkan ilmu pengetahuan tidak lagi menganut konsep klasik tentang
teori itu, sebaliknya Habermas mengatakan sebaliknya bahwa krisis itu terjadi karena
ilmu pengetahuan menganut konsep yang klasik itu.26
Kesimpulan
Jurgen Habermas dengan Teori Kritisnya menawarkan pemahaman baru yang
dikembangkan lewat masyarakat kritis emansipatoris. Semua pemikiran-pemikirannya
sangat terlihat mengerucut pada keinginannya untuk menempatkan modernitas sebagai
realitas empiris yang harusnya dapat memberdayakan kehidupan masyarakat, dan bukan
sebaliknya. Untuk mencapai tujuannya membentuk masyarakat yang merdeka,
independent, dan bebas dalam menentukan tujuan hidupnya sendiri, masyarakat harus
melakukan komunikasi-komunikasi baik verbal maupun non-verbal (communication
action) agar dicapai apa yang sebenarnya disebut kesadaran kolektif, yaitu dalam bentuk
kesepakatan atau konsensus. Dengan demikian masyarakat tersadar bahwa sebenarnya
mereka hidup diatas dunia yang penuh kepalsuan dengan menerima segala bentuk
situasi sebagai keadaan yang tidak bias diubah, padahal jika masyarakat menyadarinya
maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi entitas yang bebas untuk
memperjuangkan emansipasinya sendiri seperti yang diinginkannya serta tidak terjebak
dalam kepura-puraan modernisasi yang hanya berpihak pada satu sisi ansich.
Daftar Pustaka
Bertens,
26 Ibid, hlm 22-24
17
1983, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Fauzi, Ibrahim
2003, Seri Tokoh Filsafat: Jurgen Habermas. Jakarta: Teraju.
Hardiman, Francisco Budi,
2009, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme
Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, Francisco Budi,
2009, Kririk Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen
Habermas, Yogyakarta: Kanisius.
Jay, Martin,
2005, Sejarah Mazhab Frankfrut: Imajinasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori
Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Lechte, John,
2001, 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas,
terjemahan A. Gunawan Admiranto. Dari Fifty Key Contemporary Thinkers,
Routledge (1994).Yogyakarta: Kanisius.
Lubis, Akhyar Yusuf,
Teori Kritis dan Psikologi Kritis, Diktat Ajar mata kulaih Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Semester 2007/2008 Program Pascasarjana Psikologi UI.
Lubis, Akhyar Yusuf,
2004, Setelah Kebenaran dan Kepastian dihancurkan Masih adakah Tempat
Berpijak Bagi Ilmuwan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum
Posmodernis. Bogor: AkaDemia.
Magnis-Suseno, Franz,
2005, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam
Muller ke Postmodernism. Yogyakarta: Kanisius.
Niznik, Josef dan John T. Sanders,
2002, Memperdebatkan Status Filsafat Kontemporer Habermas, Rorty dan
Kolakowsky. Yogyakarta: Qalam.
Sumaryono, E.
1999, Hermeneutik; Sebuah Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
18
19