bab v premis ruang publik jurgen habermas dalam … · 2019. 8. 13. · hal ini juga terjelaskan...
TRANSCRIPT
36
BAB V
PREMIS RUANG PUBLIK JURGEN HABERMAS DALAM
PRAKTIK WHEATPASTE DI SALATIGA
4.1 Analisis Ruang Publik
Penelitian ini berupaya menjawab rumusan masalah dengan menguji
dapatkah jenis street art berupa wheatpaste dapat dikategorikan sebagai ruang
pubik konsep Jurgen Habermas, berdasarkan pandangan penggiat, pemerintah dan
masyarakat mengenai praktik wheatpaste. Demi menjaga validitas data, maka
penelitian ini akan bertumpu pada pendapat penggiat wheatpaste sebagai
pengguna tembok umum atau ruang terbuka di Salatiga, disertai tambahan sudut
pandang dari pemerintah dan masyarakat Salatiga. Selain itu observasi yang
dilakukan peneliti ditujukan sebagai data penunjang hasil penelitian lapangan
bersama para penggiat wheatpaste yaitu Dosa Movement, Toxic Urban dan
Anorganik Attack. Dalam upaya menjawab rumusan masalah tentang pemaknaan
wheatpaste sebagai bentuk ruang publik Jurgen Habermas, berikut hasil analisis
dari penelitian lapangan (field research) yang telah dilakukan menurut premis
ruang publik Hardiman1 :
1. Bebas
Ruang publik merupakan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan
dominasi. Adanya jaminan bagi mereka untuk berkumpul dan
mengekspresikan ide serta gagasan secara bebas tanpa adanya rasa takut atau
tekanan dari pihak manapun. Bebas sendiri menjadi premis pertama dalam
konsep ruang publik Habermas. Dalam KBBI, kata bebas2 merujuk pada arti
tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara,
berbuat, dan sebagainya dengan leluasa.
Habermas dalam “Contemporary Political Philosophy: An Anthology’,
menyebutkan ruang publik sebagai “first all a domain in our social life in
which such a thing as public opinion can be formed... ;without being a subject
1 Ibid (128,129)
2 https://kbbi.web.id/bebas
37
of coertion… ;thus with guarantee that they may assemble or unite freely,
express, publize their opinion freely” (Goodin dan Pettit, 1997: 105). Secara
singkat, Habermas menekankan bahwa ruang publik prinsipnya sebagai tempat
pembentukan opini publik yang bebas dan tanpa paksaan. Para partisipan ruang
publik harus dilindungi haknya untuk berkumpul maupun mengungkapkan
gagasannya. Dalam konteks Habermas, kata kunci premis bebas adalah
perlindungan hukum yang menjamin kebebasan warganya menggunakan ruang
publik, oleh pemerintah yang didaulat sebagai pemilik ruang tersebut.
Dalam konteks di Salatiga, aktivitas street art maupun wheatpaste
biasanya dilakukan pada malam hari, hal ini hampir serupa dengan fenomena
sebelum munculnya salon sebagai ruang publik di Perancis. “Before the
Revolution, strict censorship had made a clandestine press” Goode (2005: 11).
Kebebasan pers yang kala itu sebagai representasi opini publik dipenuhi
dengan terror penguasa, sehingga muncul terbitan pers diam-diam. Namun,
motif pemilihan waktu aktivitas wheatpaste di Salatiga cukup berbeda dengan
terbitan berita rahasia (clandestine press) di Perancis. Rio dan Doni
memaparkan pemilihan waktu aktivitas wheatpastenya sebagai berikut :
“Karena aku meyakini di budaya street art itu ada istilah bombing.
Maksudnya aktivitasnya ketika malam hari karena sepi, tapi tujuan
sebenarnya adalah efek yang terjadi ketika itu dilihat keesokan
harinya, boom gitulah”, Kutip Rio.
“Biasanya malam sih karena sepi. Hal ini juga dilatar belakangi
oleh konten yang kita bawakan… ;Selain itu persepsi orang
macam-macam kan, tujuane siange mereka nemuin gambar
wheatpaste kita, kalau nggak terima isi kontennya bebas sih mau
dicopot atau bagaimana”, Kutip Doni.
Dari paparan kedua penggiat wheatpaste di ruang terbuka Salatiga ini,
muncul motif dari aktivitas kesenian malam hari mereka. Dalam paparan Rio,
tujuan aktivitas malam adalah lebih ke efek kejutan atau ledakan ‘boom’
informasi yang ditimbulkan setelah karya dibuat, mereka tidak secara
38
gamblang menjelaskan takut akan intervensi orang lain. Namun, mereka lebih
membatasi kontak fisik untuk mewujudkan efek kejutan seperti paparan Rio
tersebut. Sukma memberikan argumentasi serupa, lebih lanjut ia menambahkan
“Kalo di event beda lagi, disitu aku pengen banyak interaksi sama masyarakat
yang nonton, aku tentunya harus dapat menjelaskan kepada masyarakat
tentang apa yang kubuat, karena itu tanggung jawabku”. Sehingga dari
tambahan penjelasan Sukma dapat dikatakan jadwal aktivitas wheatpaste
sesuai dengan konteks dan tujuannya.
Keterkaitan antara premis bebas ruang publik dan praktik street art
maupun wheatpaste dapat terjelaskan melalui tesis Barry mengenai Seni
Jalanan Yogyakarta. Dalam tesisnya Barry menyatakan “kata ‘jalanan’ dalam
street art bukan sekedar menunjukan tempat tapi lebih menekankan pada
kebebasan, sebab jalanan memiliki sifat longgar yang memungkinkan
kebebasan berekspresi berlangsung” (Barry, 2008: 17). Merunut KBBI diatas,
kata bebas adalah tidak adanya halangan untuk suatu tindakan, namun hal ini
tentu ada batasnya. Habermas merujuk pada Hegel (Dalam Hardiman, 2010:
129) yang menjelaskan bahwa “hukum dan kebebasan adalah entitas yang
saling terikat, menurutnya kebebasan hanya dapat diraih dalam kerangka
hukum, tanpanya kebebasan menjadi tidak mungkin”.
Indonesia sendiri, secara konstitusional memiliki undang-undang yang
menjamin kebebasan setiap warga negaranya. Hal ini terangkum dalam
“Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 19713.
Setelah dirunut, UUD Indonesia tahun 1971 banyak diadaptasi dari “La
Déclaration des droits de l'Homme et du citoyen”. Ditetapkan pada 26 Agustus
1789, oleh Majelis Konstituen Nasional (Assemblée nationale constituante4),
deklarasi ini lahir dari peristiwa Revolusi Perancis sebagai yang mengatur
ketentuan atas hak-hak individu dan hak-hak kolektif manusia. Selanjutnya
dalam UU REPUBLIK INDONESIA Tahun 1998, dijelaskan secara detail 3 Gilang, Jaduk. “Rekonstruksi Pemikiran Habermas di Era Digital”, JURNAL KOMUNIKASI DAN
KAJIAN MEDIA Vol. 01 Tahun 2017. Diakses dari http://jurnal.untidar.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/381 Pada 31 Agustus 2018 pada pukul 21.52 4 “Declaration of the Rights of the Man and of the Citizen of 1789”
https://en.wikipedia.org/wiki/Declaration_of_the_Rights_of_the_Man_and_of_the_Citizen_of_1789 Pada 11 September 2018 pada pukul 23.37
39
mengenai “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga
negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya
secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku5. Tujuannya, tiap warga negara mendapatkan hak dan kewajibannya,
yaitu dapat mengeluarkan pikirannya secara bebas dan memperoleh
perlindungan hukum untuk hal tersebut6.
Dalam konteks penelitian ini, Salatiga sendiri memiliki peraturan
mengenai kebebasan aktivitas wheatpaste yang dirangkum dalam Peraturan
Daerah (Perda) Tahun 20167. Secara menyeluruh Perda ini berisi mengenai
Penyelenggaranaan Kebersihan, Kesehatan dan Ketertiban Umum (K3) yang
meliputi regulasi penggunaan ruang terbuka dalam hal ini tembok kota di
Salatiga. Dalam pasal 25 poin (h), perda ini dengan tegas melarang setiap
orang maupun badan untuk menempelkan selebaran, poster, slogan, pamflet,
kain bendera atau kain bergambar, spanduk dan sejenisnya pada fasilitas umum
(tidak disebutkan tembok bangunan). Serta poin (i) melarang untuk mencoret
atau menggambar pada dinding bangunan pemerintah, bangunan milik orang
lain, swasta, tempat ibadah, pasar, jalan raya, dan pagar. Dari kedua poin ini,
pemerintah melalui Perda tidak memberikan perlindungan terhadap aktivitas
street art maupun wheatpaste di Salatiga karena aktivitas ini dirasa
mengganggu ketertiban dan kebersihan fasilitas umum.
Dalam hasil observasi peneliti, permasalahan ini juga dikeluhkan para
penggiat street art maupun wheatpaste di tempat lain. Misalnya dalam liputan
Tempo.co8, Digie Sigit, stencil artist kawakan dari Yogyakarta yang menyebut
bahwa Pemerintah membatasi kreativitas pelaku seni mural yang sebenarnya
bermanfaat menyuarakan aspirasi publik. Andrew Lumban Gaol, selaku
penggiat wheatpaste bernama Anti-Tank Project juga memberikan kesaksian
bahwa dirinya harus mencuri waktu pada malam hari saat membuat karya
5 UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 9 Pasal 1 Tahun 1998. Diakses dari
http://radenfatah.ac.id/tampung/hukum/20161123113545uu-09_1998_tth_kemerdekaan-menyampaikan-pendapat-di-muka-umum.pdf Pada 12 September 2018 pada pukul 10.33 6 Ibid BAB 3 Pasal 5 tentang Hak dan Kewajiban
7 Perda K3 Salatiga, Sumber data dari Staff Dinas Tata Kota Salatiga
8 “Seniman Street Art Keluhkan Cap Vandalisme dari Pemerintah”
https://seleb.tempo.co/read/696537/seniman-street-art-keluhkan-cap-vandalisme-dari-pemerintah/full&view=ok Pada 12 September 2018 pada pukul 13.18
40
poster mural untuk menghindari penangkapan Satpol PP. Hal yang terjadi di
Yogyakarta hampir sama dengan yang terjadi di Salatiga, mengingat street art
maupun wheatpaste hanya dianggap sebagai gangguan kebersihan berupa
sampah visual. Walaupun dalam praktik sesama penggiat sttreet art atau
wheatpaste di Salatiga merasa bebas akan aktivitasnya, namun kembali lagi
premis bebas ruang publik konteksnya adalah jaminan keamanan bagi
masyarakat, oleh pemerintah. Dengan adanya larangan berupa Perda K3
Salatiga Pasal 25 poin (h) dan (i), dapat dikatakan premis bebas ruang publik
berupa keamanan dari pemerintah tidak terpenuhi.
2. Terbuka
Informasi merupakan bagian penting dalam ruang publik. Dalam ruang
publik orang dapat menjelaskan secara eksplisit tentang posisinya melalui
argumen atau pandangan mereka kepada publik luas. Selain dituntut dapat
merangkul semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan
opini publik, ruang publik juga harus terbuka bagi siapapun untuk menjelaskan
posisinya sebagai warga negara. Habermas (Dalam Goodin dan Pettit, 1997:
105) menekankan “Access to the public sphere is open in principle to all
citizens. a portion of the public sphere is constituted in every conversation in
which private person come together to form a public”. Hal ini juga terjelaskan
dalam buku Ruang Publik Habermas (2007: 56) yang menjelaskan bahwa isu
yang didiskusikan menjadi ‘umum’ bukan karena mereka penting namun juga
karena harus mudah diakses: setiap orang harus sanggup berpartisipasi
didalamnya.
Dalam konteks wheatpaste di Salatiga, Sukma menjelaskan latar
belakang munculnya praktik street art termasuk wheatpaste. Dalam
paparannya ia menjelaskan :
“awal mula street art dan variannya muncul dari pemerintahan
yang buruk, bagaimana orang (masyarakat) ingin
merepresentasikan apa yang mereka rasakan”, kutip Sukma
41
Dari keterangan Sukma, praktik street art maupun wheatpaste sendiri
berawal dari ketidakpuasan masyarakat atas situasi yang terjadi, sehingga
diekspresikan melalui karya seni di ruang terbuka. Senada dengan Sukma,
Barry (2008: 123) menegaskan bahwa seni ini lahir dari kekritisan sebagian
masyarakat pada persoalan-persoalan krusial tetapi tidak mampu atau pekiwuh
untuk menyatakan secara terbuka. Fenomena street art maupun wheatpaste ini
berkembang dan kian subur di berbagai tempat, termasuk Salatiga yang peneliti
rangkum dalam observasi “Wajah Ruang terbuka Kota Salatiga”. Suburnya
aktivitas ini tentunya berkaitan erat dengan seberapa terbukanya akses untuk
menggunakan ruang terbuka di Salatiga bagi para penggiat street art maupun
wheatpaste itu sendiri. Premis terbuka ini akan sangat berkaitan erat dengan
premis bebas, dalam analisis bebas sebelumnya telah dijelaskan bebas berfokus
akan perlindungan hak partisipasi masyarakat oleh pemerintah. Sedangkan
dalam premis terbuka ini, lebih merujuk kepada aksesibilitas masyarakat
terhadap ruang publik.
Habermas sendiri menggambarkan ruang publik melalui analisis sejarah
ruang publik berupa salon (Perancis) dan kedai kopi di Inggris yang bersifat
inklusif. Walaupun pada masa itu kedai dan salon hanya sebagai pusat kritik –
awalnya bersifat kesusastraan, namun kemudian menjadi politis juga –yang
didalamnya mulai lahir kelompok sebuah kelompok terdidik baru di antara
masyarakat aristokrat dan para intelektual borjuis (Habermas, 2007: 49).
Sedangkan dalam praktik street art maupun wheatpaste di Salatiga, kriteria
ruang publik keterbukaan akses cukup tercermin melalui pendapat Rio dan
Sukma, yang menjelaskan:
“Siapapun bisa pakai. Kalo masalah kriteria tempat tergantung
sih, kalo aku sendiri masang nggak nasar (ngawur)...; dan nggak
ada yang memang memiliki media (tempat itu) karena kan milik
orang lain dan kita menumpang”, Kutip Rio.
“Bebas sih, siapapun dapat membuat karyanya disini. Di street art
maupun wheatpaste tidak ada peraturan formal untuk
42
penggunaannya, yang ada paling etika yang baik dan benar untuk
para penggiat street art begitupun weatpaste”, kutip Sukma
Dalam paparan keduanya, poin keterbukaan akses sangat berlaku dalam
praktik wheatpaste di Salatiga. Disini tidak ada peraturan tertulis untuk sesama
penggiat wheatpaste, selain itu dari Rio menjelaskan bahwa penggiiat hanya
sebagai penumpang didepan tembok. Yang menjadi pembeda antara ruang
publik salon dan kedai kopi analisis Habermas adalah, keterbukaan dalam
praktik wheatpaste tidak benar-benar terbuka, mengingat dalam aktivitas
wheatpaste maupun street art (bukan event) cenderung dilakukan secara diam-
diam. Habermas mencontohkan bentuk salon yang begitu terbuka di Perancis,
salah satunya yaitu salon d’Alembert. Dalam paparannya “disini para borjuis
kelas atas, putra putri para raja dan pangeran, tidak malu bertemu dengan putra
putri pembuat arloji dan pegawai pertokoan9”.
Jika dalam sejarah ruang publik salon, keterbukaan berupa masyarakat
dapat masuk ke salon dan saling berkomunikasi secara langsung antar peserta
ruang publik. Maka dalam praktik wheatpaste, keterbukaan berwujud bebasnya
akses ke tembok kota Salatiga dalam diam dan pesertanya-pun tidak mengenal
satu sama lain sehingga komunikasi hanya terjadi melalui karya. Anonimitas
dalam praktik wheatpaste maupun street art peneliti temukan dalam penelitian
serupa, berjudul “Reading Revolution on the Walls: Cairo Graffiti as an
Emerging Public Sphere (2014)” yang membahas tentang penggunaan tembok
kota Kairo sebagai ruang publik menjelang Revolusi Mesir 2011. Ieva selaku
peneliti menjelaskan “Graffiti in principle, can be considered as a discussion
between anonymous agents... ;acting anonymously or under an alias the
graffiti artist becomes an individual agent of collective attitude” (Ieva, 2014:
17). Secara singkat Ieva memaparkan bahwa menjelang revolusi Mesir,
aktivitas street art berupa grafitti sebagai bentuk komunikasi individu anonim
yang mewakili gagasan mayoritas masyarakat Mesir.
Keterbukaan akses ruang terbuka Salatiga ini juga sangat tergambarkan
melalui alasan para pemilihan wheatpaste sebagai metode yang digunakan para
9 Ibid 51
43
penggiat dalam menyampaikan gagasan. Wheatpaste merupakan varian
penciptaan street art yang begitu praktis dalam pengerjaan dan murah.
Selengkapnya Doni memaparkan :
“wheatpaste menjadi pilihan karena beberapa pertimbangan seperti jenis
wheatpaste yang awalnya masih asing di Salatiga, akses
perlengkapan yang mudah didapat dan tentunya murah,
pemasangan yang cukup praktis dan penggandaan yang bisa
dijangkau sama kertas”, kutip Doni
Premis keterbukaan akses kembali peneliti temukan melalui observasi
di Ruang terbuka Salatiga mengenai fenomena wheatpaste “Kembalikan PSISa
Salatiga” yang beredar pada tahun 2017. Dalam fenomena ini. Terlihat bahwa
ada juga masyarakat yang menggunakannya tembok kota dan wheatpaste
sebagai media menjelaskan gagasannya. Sehingga berdasarkan hasil analisis
diatas, poin keterbukaan akses sangat terpenuhi dalam praktik wheatpaste di
Salatiga.
3. Opini Publik
Ruang publik merupakan ruang penciptaan opini non-pemerintah atau
opini publik, sebuah ruang abstrak maupun fisik yang menjadi ajang
pembentukan pendapat anggota-anggota masyarakat dari luar kendali
pemerintah. Secara etimologi opini publik berasal dari kata, ‘opinio’ yang
dalam bahasa latin berarti penilaian yang tidak pasti kebenarannya (Habermas,
2007: 128). Berikutnya adalah kata publik atau ‘pubicus’ yang berarti: pertama,
milik rakyat atau negara sebagai satuan politis dan kedua, sesuai dengan
seluruh penduduk (rakyat) atau umum (Hardiman, 2010:3). Habermas dalam
menjelaskan opini publik merunut beberapa tokoh seperti Hobbes yang
mengidentifikasikan opini sebagai ‘suara hati’ (conscience) yang mengacu
kesadaran dan hati nurani subyek. Dalam konteks penelitian ini, ternyata opini
menjadi salah satu dasar bermulanya praktik wheatpaste di Salatiga, seperti
paparan Sukma berikut:
44
“Awal mulanya Dosa Movement, aku berfikir tentang keresahan-
keresahanku sendiri seperti kenapa perang? Kenapa manusia
cenderung suka menghakimi? Kenapa toleransi kita terhadap
orang bersalah sangat berlebihan? Dan pertanyaan-pertanyaan
personal lainnya dan ingin kuwujudkan dalam bentuk karya.
Pertanyaan-pertanyaanku tadi tidak menemukan jawaban, dan
kucoba lemparkan kepada orang orang melalui gambar visual dan
quote”
Habermas menjelaskan bahwa opini publik yang terbentuk harus
bersifat publik atau menyangkut pada publik luas10
. Karena dalam ruang publik
ini bukan permasalahan pribadi orang privat, namun permasalahan atau
kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Disini opini bukan hanya
mencakup kebiasaan yang terekspresikan di dalam konsep-konsep tertentu -
misalnya dibentuk oleh agama, kebiasaan, adat istiadat atau hanya sekedar
‘prasangka’11
. Dalam praktik wheatpaste di Salatiga, ketiga penggiat memiliki
kecenderungan untuk melihat kembali opini atau ‘prasangka’ yang terbentuk
dari agama, adat dan kebiasaan yang terjadi di sekitar mereka. Hal ini
tercerminkan dalam kutipan Rio juga menjelaskan tujuan dari penggiat
wheatpaste Anorganik Attack
Yang jelas tujuan dari Anorganic Attack ingin jadi pemantik
mengenai hal-hal maupun fenomena yang terjadi di sekitar, karena
kini banyak hal yang diketahui namun tidak diperdulikan orang-
orang. Aku pengen membagikan hal-hal tersebut, untuk membentuk
kesadaran kolektif tentang banyak hal, termasuk kedamaian.
Karena aku hanya warga negara biasa yang tidak bisa membentuk
kebijakan dalam sekejap, jadi ya ini salah satu hal yang bisa
dilakukan” (Wawancara tanggal 1 Juli 2018)
10
Ibid (129) 11
Ibid 334
45
Selain Rio peneliti juga menemukan pendapat serupa dari Doni,
baginya wheatpaste merupakan sarana mempertanyakan kembali opini yang
berkembang di masyarakat. Doni pada wawancara tanggal 2 Juli 2018,
menjelaskan:
“Kembali lagi, dapat dikatain konten visual kita berangkat dari kritik,
oleh kita anak-anak yang nggak umum. Karena ya kita banyak
ngomongin tentang hal umum, keyakinan, stigma umum, yang coba
kita lihat dari perspektif lain”
Secara garis besar peneliti melihat opini menjadi dasar dari baik
munculnya maupun berjalannya praktik wheatpaste di Salatiga. Setelah
mendengar pemaparan para penggiat wheatpaste diatas, peneliti mencoba
menganalisis singkat salah satu karya dari whetapaste Toxic Urban berjudul
“Vox Netizen Vox Dei” yang terpajang di ruang terbuka di Salatiga. Karya ini
digambarkan berupa potret empat orang berjajar dengan tatapan muka
menghadap depan. Kedua tangan dari ketiga potret memegang benda yang
berbeda, tangan kanan memegang obyek berupa palu dan tangan kiri
memegang bentuk ponsel, hal ini ditandai dengan adanya lensa kamera ponsel
di belakang. Kombinasi warna yang dipakai adalah hitam putih dan warna
merah untuk masing-masing obyek yang digenggap tangan. Pada bagian bawah
bertuliskan “Vox Netizen Vox Dei” beserta pada kiri atas bergambar logo
Toxic Urban.
Kata “Vox Netizen Vox Dei”sendiri, jika di alih bahasakan berarti
“Suara Netizen Suara Tuhan”. Jika dilihat secara lebih dalam, kata diatas
merupakan pelesetan dari kutipan “Vox Populi Vox Dei12
” yang secara bahasa
kata Vox=Suara, Populi=populasi, rakyat, masyarakat, umum dan Dei=Tuhan.
Sehingga secara bahasa, kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai Suara Rakyat
Suara Tuhan. Dalam konteks karya ini, kata populi dirubah menjadi netizen
12
https://id.wikipedia.org/wiki/Vox_populi,_vox_dei
46
yang dapat diartikan sebagai masyarakat pengguna internet13
, disertai empat
potret yang menggenggam palu dan layar ponsel.
Secara singkat peneliti memaknai bahwa karya wheatpaste Toxic Urban
ini membahas mengenai penyimpangan yang muncul beriringan dengan
cepatnya arus informasi saat ini. Salah satunya yang marak adalah persekusi
berbasis online yang mana merupakan bentuk penghakiman sewenang-wenang
terhadap individu atau kelompok yang lemah14
. Riset serupa peneliti temukan
dalam artikel Qureta.com yang menyebut bahwa hingga 2017 setidaknya 50,4
persen dari seluruh masyarakat Indonesia merupakan pengguna internet aktif.
Yang menghawatirkan adalah konten media sosial yang menarik perhatian
publik adalah ujaran kebencian dan persekusi15
. Disebutkan pula melalui Data
Southeast Asia Freedom of Expression Network, angka persekusi berbasis
online naik antara bulan Januari 2017 hingga Mei 2017. Sehingga kini,
permasalahan ujaran kebencian dan persekusi oleh netizen yang marak terjadi
di berbagai tempat menjadi isu yang perlu diseriusi oleh pemerintah maupun
masyarakat maupun netizen itu sendiri.
Relevansi gambar visual dan tulisan dalam karya wheatpaste ini, palu
yang digenggam dapat diartikan sebagai bentuk kekerasan atau juga sebagai
ketukan keadilan yang biasanya dilakukan oleh hakim. Selain itu, warna merah
hanya muncul pada obyek palu dan tangan, dalam hirarki desain poin ini
namakan sebagai Vokal poin16
yang mana digambarkan dengan warna merah
menyala dan sebagai pembeda dari keseluruhan visual yang berwarna hitam
dan putih. Menurut hemat peneliti, tujuannya sebagai obyek visual yang
penting atau dipertimbangkan dalam keseluruhan desain. Dengan sorot mata
gelap menghadap ke layar ponsel, peneliti memaknai bahwa kini konten
13
Secara sederhana netizen merupakan akronim dari kata internet dan citizen (warga). Kata lain untuk netizen adalah warganet yang mana berarti warga internet atau masyarakat yang menggunakan internet” Estu Suryowati. "Warganet" dan "Netizen" Kini Sudah Masuk KBBI V Daring. Diakses pada: https://nasional.kompas.com/read/2017/08/23/19441601/warganet-dan-netizen-kini-sudah-masuk-kbbi-v-daring pada 01 Desember 2018 pukul 12.07 14
https://kbbi.web.id/persekusi 15
Media Sosial: Hate Speech dan Persekusi. Diakses pada: https://www.qureta.com/post/media-sosial-hate-speech-dan-persekusi-2 pada 01 Desember 2018 pukul 12.29 16
Design Principles: Dominance, Focal Point and Hierarchy. Diakses pada: https://www.smashingmagazine.com/2015/02/design-principles-dominance-focal-points-hierarchy/ pada 01 Desember 2018 pukul 14.07
47
internet seperti media sosial yang awalnya sebagai wadah berjejaring menjadi
ruang yang serius bagi sebagian netizen. Serta potret yang sama atau bentuk
repetisi menggambarkan kuantitas jenis netizen seperti ini cukup atau semakin
banyak ditemukan dengan semakin cepatnya arus informasi saat ini.
Gambar 14
“Vox Netizen Vox Dei, Karya Wheatpaste Toxic Urban”
Lokasi Lampu Merah Kauman, Jalan Diponegoro Salatiga
Foto : Toxic Urban
Namun opini dari para penggiat wheatpaste belum dapat dikatakan
sebagai bentuk opini publik, Habermas menjelaskan tahap opini baru dapat
menjadi publik dalam masyarakat yang ketat apabila dilahirkan di suatu tatanan
di mana dua wilayah komunikasi di atas dijembatani oleh pihak ketiga, yaitu
publisitas kritis17
. Selain itu Habermas secara lengkap menjelaskan opini
publik sebagai (1) opini yang diungkapkan oleh masyarakat sekaligus banyak
diterima di masyarakat sendiri. (2) Komunikasi publik begitu tertata, sehingga
jawaban terhadap opini dapat diungkapkan secara cepat dan efektif. (3) Sudah
memiliki landasannya didalam tindakan efektif, yang bila diperlukan dapat
menentang (halusnya mendikte) sistem yang ada. (4) institusi-institusi otoritatif
17
Habermas (1989: 342)
48
tidak menginfiltrasi publik, sehingga publik kurang lebih menjadi otonom
dalam mengoperasikan opini mereka18
.
Dalam upaya untuk menguji salah satu karya wheatpaste sebagai
representasi opini publik, peneliti menggali pendapat masyarakat mengenai
karya wheatpaste berjudul Vox Netizen Vox Dei diatas. Vicky (19), seorang
mahasiswa jurusan Teknik Informatika, FTI, Universitas Kristen Satya
Wacana, sehari-hari melihat karya wheatpaste di lampu merah jalan
Diponegoro. Ketika ditanyai pendapatnya mengenai karya diatas dia menjawab
bahwa cukup paham atas apa yang dibicarakan karya tersebut. “Kalo menurut
saya, dalam artian vox netizen vox dei itu artinya bahwa kini netizen berasa
seperti tuhan. Aku pernah baca, kalau dahulu ada kutipan vox populi vox dei,
kan itu artinya suara rakyat suara tuhan. Kao di gambar ini menurutku rakyat
kini digantikan oleh masyarakat internet”, kutip mahasiswa angkatan 2018 ini.
Ketika ditanyai lebih lanjut, karya wheatpaste ini tidak terlalu mewakili
aspirasinya karena beberapa pertimbangan. Ia menjelaskan “karena belum
semua orang memakai internet, apaya, gaptek (gagap teknologi) itu sih.
Mungkin masyarakat yang generasi X atau Y, dalam artian belum semuanya
menggunakan internet. Selain itu saya melihat netizen kalau menggunakan
internet untuk hal yang baik juga”, kutip Vicky.
Pendapat lain muncul dari Kriswanto (24), berkeseharian sebagai
pengemudi layanan Go-Jek yang mangkal di trotoar sekitar lampu merah jalan
Diponegoro. Ketika ditanyai pendapatnya mengenai karya wheatpaste “vox
netizen vox dei” ia menjawab “oh gambar yang samping lampu bangjo (lampu
merah)? itu orang kurang kerjaan itu, aku lebih sering nonton gambar-gambar
yang berisi informasi lowongan pekerjaan atau spanduk-spanduk produk”,
Kutip Kris yang sesekali mengecek layar ponselnya untuk menunggu pesanan.
Ketika ditanya lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kurang tertarik mencari tahu
mengenai arti dari karya wheatpaste tersebut.
Kembali ke konteks penggiat wheatpaste Salatiga, dari hasil penelitian
lapangan, sejauh ini para penggiat wheatpaste di Salatiga juga belum
18
Ibid 343 Habermas merujuk pada kriteria C.W. Mills dalam menjelaskan bentuk Opini publiknya
49
menemukan kritik atau timbal balik (feedback) setelah karya dipublikasikan.
Hal ini dijelaskan Doni dan Rio yang menyatakan :
“enggak, sejauh ini kita juga belum menemukan kritik secara
langsung atau menggunakan karya di Salatiga, dan itu kayaknya
menarik banget. ... ;Sebenarnya kita sangat butuh sih masukan
atau kritik baik untuk konten yang kita bawakan maupun aktivitas
wheatpaste kita”, ungkap Doni.
“Sejauh ini belum ada orang yang kontra sih terhadap aktivitasku,
aku malah sangat ingin ada orang yang mengkritisi karyaku entah
secara langsung atau lewat karya. Untuk masalah sampai tidak
kepada audiensku, aku belum tau sih, belum dipastikan lewat riset”,
ungkap Rio.
Yang menjadi celah adalah opini yang dibawakan para penggiat
wheatpaste ini adalah masih sangat kurangnya timbal balik (feedback) dari
masyarakat Salatiga. Singkatnya tidak adanya respon dari masyarakat maupun
sesama penggiat street art maupun wheatpaste membuat karya wheatpaste
ketiga kelompok hanya sebatas menjadi opini dan belum terjadi perdebatan
kritis atas opini melalui wheatpaste. Selain itu menurut pendapat masyarakat,
ada yang memahami isi pesan serta ada yang tidak peduli dengan konten yang
dibawakan melalui konten wheatpaste, dalam hal ini contoh karya Toxic
Urban. Dari pendapat masyarakat dapat disimpulkan bahwa opini yang
dibawakan mealui wheatpaste belum dapat mewakili aspirasi mereka.
Habermas (2007: 144). menjelaskan mengenai kriteria opini publik: (1)
opini yang banyak diterima masyarakat, belum diketahui efektifitasnya bahkan
oleh para penggiat wheatpaste itu sendiri. (2) Komunikasi publik sebagai
wadah diskusi kritis secara cepat dan efektif, tidak dapat terpenuhi karena
penggunaan tembok kota dan wheatpaste akan cenderung akan memakan
waktu lama, karena bukan bentuk komunikasi secara langsung. Dari
rangkuman beberapa wawancara diatas, poin opini publik yang sangat
ditekankan dalam kriteria ruang publik Habermas tidak (belum sepenuhnya
50
terpenuhi) dalam praktik wheatpaste dan penggunaan tembok nyata di Salatiga.
Yang perlu ditekankan bahwa materi yang dibawakan tiap pembuat wheatpaste
dapat berpotensi menjadi pematik atas materi diskusi publik yang pada
akhirnya dinamakan sebagai opini publik.
4. Setara
Ruang publik merupakan jembatan yang menghubungkan kepentingan
pribadi dan individu dalam kelompok sosial dan publik yang muncul dalam
konteks kekuasaan negara. Tidak ada perlakuan istimewa (privilege) terhadap
peserta diskusi (partisipant). Tidak ada kelompok yang lebih dominan atas
kelompok lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata setara
dapat dimaknai sebagai sejajar atau sama kedudukannya19
. Kesetaraan
merupakan hak yang begitu mendasar bagi manusia, kita dapat berkaca dari
Revolusi Perancis yang melahirkan slogan liberte, egalite et fraternite
(kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan). Masa revolusi Perancis tersebut
adalah salah satu titik dimana manusia sebagai makhluk bebas dan rasional
memiliki otonomi untuk membuatnya setara dengan manusia lain (Hardiman,
2010: 354).
Kesetaraan menjadi salah satu poin penting dari konsep Habermas.
Dalam ‘Modern European Thinker (Goode, 2005: 9), Habermas menegaskan
bahwa “the borgeous public sphere was, in principle, shaped by the values of
egalitarian dialogue”. Singkatnya ruang publik yang ideal lahir dari dialog
setara dari para partisipannya. Sehingga dapat dikatakan buku ‘The Structural
Transformation of the Public Sphere”. berisi artefak sejarah serta utopia
Habermas dalam menggambarkan masyarakat ideal, berupa masyarakat yang
setara dengan kesadaran komunikatif.
Dalam konteks penelitian ini, premis kesetaraan saling mendukung
dengan poin keterbukaan akses pada tembok kota Salatiga. Selengkapnya Doni
memaparkan :
“Kalau peraturannya sih nggak ada, seumpama kita nggak kenal
aja juga bebas nimpa karya atau ditimpa karya lain. Misal malam
19
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/setara
51
ini ditempel besok hilang, disobek atau ditimpa ya biasa sih, emang
seperti itu konsekuensinya. Tapi kembali ke masalah etika tadi, kita
harus pinter-pinter milih dan berbagi tempat sama temen-temen
lainnya”, kutip Doni.
Poin kesetaraan dalam praktik wheatpaste maupun street art
digambarkan melalui sirkulasi penggunaan tembok kota bagi sesama
penggiatnya. Selain itu street art maupun wheatpaste tidak memililiki
peraturan tetap yang mana semakin membuka peluang terbuka dan kesetaraan
diantara penggunannya. Senada dengan penelitian, berjudul “Reading
Revolution on the Walls: Cairo Graffiti as an Emerging Public Sphere (2014)”
juga menjelaskan bahwa terdapat praktik kesetaraan dalam penggunaan tembok
kota Kairo, oleh para pelaku street art khususnya grafitti. Penelitian ini
dilakukan oleh Ieva Zakareviciute yang menganalisis praktik penggunaan
tembok kota Kairo sebagai wujud ruang publik menjelang revolusi Mesir
2011. Ieva menuturkan :
“Any graffiti may be removed, erased or painted over. None of
them come with any exceptional predetermined status of
admiration or preservation.... ;They enter the public sphere on
equal terms and in principle have a sense of equality between
them.”, Kutip Ieva.
Dalam paparannya Ieva menjelaskan bagaimana bahwa menjelang
revolusi Mesir, setiap pembuat karya dapat datang dan menampilkan opininya
kepada publik melalui medium tembok. Yang menjadi poin adalah tidak
adanya perlakuan istimewa (privilege) antar pengguna tembok, karya sewaktu-
waktu dapat dihapus maupun ditimpa dengan karya lain. Ieva kemudian
menjelaskan bahwa tidak semua warga dapat berpartisipasi dalam penggunaan
tembok ini, karena beberapa aspek seperti keadaan geografis, keamanan
maupun biaya untuk membuat karya, sehingga kekurangan ini dikatakannya
sebagai filtrasi pengguna ruang publik. Selengkapnya kutip Ieva “But
participation from all levels of societal strata in terms of the graffiti sender’s
52
role does not seem to be entirely... ;Not only can physical restrictions
(geographical restraints, financial costs, etc) be seen as filters of
participation”. Kembali pada konteks street art khususnya wheatpaste di
Salatiga, Rio menjelaskan memang terdapat semacam filtrasi atau penyaringan
dalam pembuatan karya. Hal ini ia ketahui dari pergerakan Hip-hop Amerika
yang meliputi praktik kesenian street art. Selengkapnya Rio Menjelaskan :
“Setahuku, kalo kita kembali ke budaya street art (kultur hip-hop)
di zaman 80-90’an, jadi kalo kamu menimpa karya orang maka
kamu harus bertanggung jawab dengan membuat karya yang lebih
baik daripada sebelumnya, mereka mengamini itu”
Peraturan informal yang diyakini Rio ini pada dasarnya tidak
membatasi kesetaraan antar pengguna tembok, melainkan malah sebagai acuan
untuk terciptanya kualitas karya. Kita dapat berkaca melalui pemikiran Hegel
(Dalam Hardiman 133: 2010) yang menjelaskan bahwa “setiap individu selalu
terikat pada komunitas tertentu, dengan segala tradisi, sejarah, nilai nilai dan
norma yang berlaku. Lebih lengkap ia menjelaskan20
, namun individu tidak
merasa bahwa berbagai aturan, norma dan nilai sebagai penghambat
perealisasian dirinya, melainkan justru sebagai sarana menunjang perealisasian
tersebut. Sukma melihat peraturan ini sebagai proses bagi penggiat street art
maupun wheatpaste, kutipnya “akhir-akhir ini ada karya asing, mungkin ada
orang baru karena gambare masih cukup berantakan. Tapi buat kita yang
sudah lama harus harus memberi tempat untuk dia berproses”, kutip Sukma.
Selanjutnya ia banyak memberikan langkah atau cara mempertahankan
kesetaraan diantara para pengguna tembok kota Salatiga.
“Sirkulasi yang menurutku cukup benar adalah pertama, biasanya
tanda tanggal yang ditampilkan di pojok karya, hal ini dapat
digunakan untuk identifikasi karya. Kedua, saranku mending di
block penuh dulu seakan gambar itu sudah waktune hilang.
Terakhir, izin sama pemilik tempat (untuk tembok pribadi) atau
sama orang yang akan ditimpa gambarnya”, kutip Sukma.
20
Ibid 135
53
Dari rangkuman beberapa wawancara diatas, poin setara dapat
terpenuhi dalam praktik street art khususnya wheatpaste di Salatiga. Dari
beberapa sumber, sejarah street art beserta variannya memungkinkan diakses
banyak orang setara dalam aktivitasnya. Yang menarik dari contoh kesetaraan
salon dan kedai kopi dahulu dan praktik street art maupun wheatpaste di
Salatiga maupun Kairo saat ini adalah wujudnya yang berbeda. Awalnya salon
dan kedai kopi sebatas wadah publikasi dan kritik sastra (Habermas 2007: 49),
disana wujud kesetaraan berlangsung secara tatap muka antara partisipan ruang
publik. Kini dalam praktik wheatpaste, kesetaraan terjadi tidak melalui
perjumpaan antar partisipannya. Bahkan tidak mengenali antar partisipan
karena pelaku wheatpaste maupun street art sering kali menggunakan nama
samaran untuk aktivitas jalanannya. Sehingga dari perbandingan kedua pola
ini, terdapat pergeseran bentuk kesetaran dalam ruang komunikasi masyarakat.
5. Independen
Ruang publik berfungsi sebagai tempat independen dari pemerintah dan
otonom partisan kekuatan ekonomi tertentu, didedikasikan untuk debat rasional
dan tidak diarahkan kepada kepentingan tertentu serta terbuka bagi siapa saja
untuk inspeksi masyarakat. Konsep ruang publik Habermas ini sangat erat
kaitannya dengan isu demokrasi, karena menurutnya demokrasi sebagai sarana
yang paling memungkinkan untuk rasionalisasi kekuasaan. Dalam esainya, The
Scientization of Politics and Public Opinion, Habermas menekankan bentuk
kekuasaan yang paling rasional adalah kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi
publik (masyarakat dan semua elemen) secara kritis (Hardiman, 1993: 122).
Oleh karenanya, konsep ruang publik diperkenalkan sebagai sebuah medium
penerapan teknis dari demokrasi, yang memposisikan masyarakat sebagai salah
satu bagian penting proses demokrasi.
Motif berkembangnya praktik wheatpaste sendiri telah dijelaskan pada
observasi subyek penelitian yaitu ketiga penggiat wheatpaste di Salatiga.
Secara garis besar, mereka mempergunakan wheatpaste sebagai bentuk
ekspresi mereka mengenai kondisi sosial masyarakat khususnya di Salatiga.
54
Selama observasi, peneliti juga menemukan bahwa mereka tidak mendapatkan
keuntungan finansial atas aktivitasnya. Dalam paparan lengkap, Doni
menjelaskan nilai apa yang ia dapatkan selama melakoni aktivitas wheatpaste :
“pertama kepuasan, melalui ini (wheatpaste) kita dapat ngomongin
apa yang kita pikirkan tentang fenomena yang berkembang, dan
kita seneng sih dengan aktivitas ini. Selebihnya pengalaman, selagi
kita muda ya kan. Berikutnya mungkin relasi, perkenalan sama
orang-orang baru yang melakukan aktivitas serupa di Salatiga”,
kutip Doni.
Melihat paparan Doni diatas, hal ini menjadi pembuka premis
independensi dalam praktik wheatpaste di Salatiga. Independen merupakan
premis terakhir dalam konsep ruang publik ideal Jurgen Habermas. Pada
penjelasan sebelumnya, secara singkat ruang publik ditujukan sebagai ruang
berkumpul masyarakat yang memberikan peluang terciptanya opini publik.
Keterbukaan dan kesetaraan ruang ini begitu penting, namun Habermas
menekankan bahwa ruang ini harus dapat menjaga posisinya sebagai bagian
dari wilayah privat (Habermas, 2007: 199). Singkatnya Habermas
mengharapkan ruang ini dapat menjaga netralitasnya sebagai ruang
pembentukan opini publik oleh masyarakat atau dalam kata lain sebagai ruang
yang independen.
Dalam kbbi, kata independen memiliki arti sebagai berdiri sendiri dan
bersifat bebas dari intervensi21
. Bentuk intervensi dalam ruang publik dapat
tercontohkan dalam terbitan pers rahasia menjelang revolusi Perancis yang
sebelumnya terjelaskan dalam analisis premis bebas. Kebebasan pers yang kala
itu sebagai representasi opini publik dipenuhi dengan terror penguasa, sehingga
muncul terbitan pers diam-diam. Dalam praktik wheatpaste di Salatiga,
independensi tercermin melalui pemaparan Sukma dan Rio menjelaskan :
“Nggak ada, nggak ada intervensi. Mungkin beberapa temen
nyaranin untuk aku bikin gini-gini, paling aku iyakan. Masalah
21
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/independen
55
eksekusi belum tentu. Tapi aku malah sangat menerima masukan
atau temen saling bertukar fikiran”, kutip Sukma.
“Sejauh ini pembuatan konsep karya belum ada, makanya aku
sangat mempertimbangkan dengan mateng isi konten tersebut agar
tetap sesuai target kontenku”, kutip Rio.
Dari paparan keduannya, penggiat wheatpaste di Salatiga tidak pernah
sekalipun mendapatkan intervensi dalam pembuatan konsep karyannya.
Habermas sendiri (dalam Hardiman, 2010: 194), menjelaskan ideal ruang
publik tercermin dalam praktik salon dan kedai kopi pada abad 18, selanjutnya
terjadi refeodalisasi dalam ruang publik. Refeodalisasi dikatakannya sebagai
tahap dimana negara dan pasar melakukan intervensi hegemonis ke dalam
ruang publik sehingga ruang publik yang sebelumnya otonom dan kritis
menjadi arena kepentingan pasar dan birokrasi. Bentuk intervensi dalam
konsep pembuatan karya tidak terjadi, namun Sukma memberikan tanggapan
berupa pengalamannya mendapatkan intervensi fisik oleh penjaga lokasi
setempat saat menjalankan aktivitas wheatpastenya. Dalam paparannya Sukma
menceritakan :
“Ditanyai pihak 411 tentang perijinan,”mas menggambar disini
ada ijinnya? Wah nggak ada pak, jawabku. Lha kok terus
nggambar kaya gin., Terus ya kujawab kalo disini saya bermaksud
menutupi gambar tagging dan throwup dengan karya wheatpaste
saya. Apa salah pak saya menutupi gambar ini? apa poster rokok
gitu juga ada ijinnya pak? Dan lebih baiknya seperti apa sih pak
sedangkan saya atau kami, bermaksud memberikan nilai seni di
tembok yang penuh coretan yang kurang jelas, istilahnya
memperindah suatu hal yang sudah buruk. Pada akhirnya petugas
tersebut memaklumi dan mengakui kalau lebih memilih pelaku
yang seperti ini. Setelah panjang lebar tanya tentang ide yang saya
kerjakan, petugas itu meminta agar rumah dinasnya digambari
56
(ditempeli poster), namun ya cuman saya iyakan”, kutip Sukma
sambil terkekeh menceritakan pengalamannya.
Doni menjelaskan praktik independensi melalui sirkulasi keuangan
Toxic Urban. Ia menjeaskan, salah satu misi utama dari Toxic Urban sebagai
project wheatpaste non-profit adalah pengkaryaan yang terus berjalan dengan
pengeluaran material minimum dari pelakunya. Hal ini ditanggulangi Doni dan
temannya dengan mengeluarkan produk berdasarkan karya visual yang
dibuatnya. Lebih lengkap Doni menjelaskan :
“Beberapa contohnya ya stickerpack berisi gambar poster kita,
totebag, kaos yang sebisa mungkin kita bikin sendiri. Do It
Yourfriend-lah pokoknya, Hahaha”, Kutip Doni yang
memplesetkan etos kerja D.I.Y (Do It Yourself) dalam subkultur
punk.
Secara garis besar, praktik wheatpaste di Salatiga merupakan aktivitas
yang independen, tidak sekalipun mendapat intervensi yang berarti, baik dari
pemerintah maupun kekuatan ekonomi tertentu. Motif aktivitas wheatpaste
yang mereka dilakukan para penggiat wheatpaste di Salatiga ini murni dari
inisiatif dan ekspresi para pelakunya. Dengan paparan Doni mengenai sirkulasi
keuangan project wheatpaste Toxic Urban, dapat dilihat bahwa independensi
begitu dijaga dan sangat terpenuhi dalam praktik wheatpaste di Salatiga.
4.2 Refleksi praktik wheatpaste di Salatiga sebagai proses komunikasi
Komunikasi secara garis besar merupakan sebuah proses penyampaian
pesan yang ditujukan untuk menyamakan suatu makna antara dua orang atau
lebih. Harold Laswell Dalam Fiske, 2012: 49-50), menjelaskan bahwa
komunikasi memiliki beberapa tahapan utama yaitu Komunikator (Siapa), Pesan
(Berkata apa atau pesan), Media (Melalui saluran atau chanel apa), Komunikan
(Untuk siapa), dan Efek atau Feedback (apa dampak yang ditimbulkan serta
umpan balik sebagai respon kepada komunikator). Proses ini saling terkait satu
sama lainnya, sehingga kesemua tahapan dalam proses komunikasi harus
terpenuhi untuk keberhasilan dalam penyampaian pesan atau dikatakan sebagai
57
komunikasi yang efektif. Kekurangan definisi Laswell ini adalah ketidaksesuaian
isi pesan dari komunikator dengan komunikan dapat dikategorikan sebagai
kegagalan komunikasi atau komunikasi yang terbentuk tidak berjalan secara
efektif. Berikut skema proses komunikasi Laswell untuk mempermudah
pembacaan :
Gambar 15
Ideal Proses Komunikasi Laswell
Dalam konteks penelitian ini, praktik wheatpaste di Salatiga dapat dilihat
sebagai sebuah proses komunikasi. Jika dilihat dari kaca mata Laswell, penggiat
wheatpaste berperan sebagai komunikator, keresahan atau opini maupun kritik
yang dikemas dalam wheatpaste sebagai pesan, penggunaan tembok kota sebagai
media penempatan karya dan ditujukan kepada komunikan yaitu masyarakat
sebagai target audiens penggiat wheatpaste. Seperti paparan sebelumnya, tahapan
dalam komunikasi ini harus berjalan berurutan, ketika ada satu aspek saja tidak
sejalan maka isi pesan yang dipertukarkan tidak efektif sepenuhnya.
Dari temuan analisis ruang publik dapat dikatakan komunikasi yang
disampaikan penggiat wheatpaste tidak efektif sepenuhnya, hal ini ditandai dari
tidak adanya respon timbal balik dalam praktik wheatpaste di Salatiga. Selain itu
dalam analisis singkat karya wheatpaste berjudul “Vox Netixen Vox Dei”,
beberapa masyarakat berpendapat bahwa kurang memahami maksud yang
disampaikan melalui karya wheatpaste Toxic Urban. Sehingga karya wheatpaste
yang dipresentasikan di ruang terbuka Salatiga belum dapat memenuhi premis
opini publik. Dalam temuan lain, peneliti melihat bahwa muncul perdebatan
dalam masyarakat mengenai aktivitas street art maupun wheatpaste, sebagian
58
menganggap hal ini merusak estetika22
dan sebagian menganggap sebagai
ekspresi seni para pelakunya23
. Jika dilihat lagi melalui kacamata Laswell,
terdapat salah satu aspek yang mengakibatkan komunikasi penggiat wheatpaste di
Salatiga menjadi tidak efektif. Dalam analisis sebelumnya, tembok kota di
Salatiga sendiri tidak dapat dikategorikan sebagai ruang publik ideal Jurgen
Habermas karena tidak terpenuhinya premis bebas dan opini publik. Sehingga,
media atau tembok kota dalam tahapan komunikasi yang efektif menurut Laswell
tidak terpenuhi. Hal ini mengakibatkan pesan yang diterima komunikan
cenderung tidak akan sama dengan maksud dari komunikator itu sendiri. Demi
mempermudah pemaknaan refleksi praktik wheatpaste sebagai proses
komunikasi, peneliti membuat skema ilustrasi proses komunikasi wheatpaste di
Salatiga, berikut:
Gambar 16
Praktik Wheatpaste Salatiga sebagai Proses Komunikasi Laswell
22
Bonita Ika, “Pelaku Vandalisme Diberi Sanksi” Diakses dari: http://radarsemarang.com/2017/11/10/pelaku-vandalisme-diberi-sanksi/ pada 05 Februari 2018 pukul 17.21 23
Bayu Adi, “Cakep! Pertokoan di Solo Disulap Jadi Galeri Mural Nasionalisme”, Diakses dari:https://news.detik.com/berita/d-3702436/cakep-pertokoan-di-solo-disulap-jadi-galeri-mural-nasionalisme pada 05 Februari 2018 pukul 16.57