goenawan mohamad

12
GOENAWAN MOHAMAD: PENA PENYAIR PENA JURNALIS 1. Pengantar Sebuah sajak ditulis dengan berbagai alasan, terutama karena dengan sajak seseorang bisa mengungkapkan sesuatu yang ada dalam hati dan kepalanya sekaligus juga menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Sajak adalah sesuatu yang ambigu, yang penuh simbol, yang dalam dirinya terdapat kehendak menyampaikan sesuatu sekaligus menyembunyikan sesuatu. Menulis sajak merupakan sebuah perjuangan yang berat sekaligus menyenangkan bagi penulisnya sebab di situ terjadi pergolakan, pertentangan, kerja keras intelektual, dan tentu saja bukan merupakan hal main-main. Conrad Aiken lewat Damono mengatakan bahwa sajak adalah potret manusia dengan peluh di kening, darah di tangan, siksa neraha di hati, dengan gayanya, dengan absurditasnya, dengan kejalangannya, keyakinan-keyakinannya dan keragu- raguannya. 1 Jika memang seperti yang ditulis Conrad Aiken, maka dalam sajak akan ditemukan kemuraman, ketegangan yang terus-menerus, kegelisahn yang tak henti-henti, dan perjuangan yang sungguh berat. Menulis puisi dengan demikian bukanlah kerja sembarangan, bukanlah pekerjaan yang tanpa pekerjaan sebab menulis puisi adalah menciptakan dunia seperti yang pernah dilontarkan Chairil Anwar, “ Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia”. 2 Artinya, sebuah sajak adalah sebuah dunia tersendiri yang merupakan hasil kreativitas penyair dengan segala kekuatan dan kerja kerasnya yang tidak tanggung-tanggung. Menulis memang dunia yang penuh dengan perjuangan, seperti halnya petani yang mandi peluh ketika mengayunkan cangkulnya, nelayan yang berjuang dengan gigih di keluasan laut melawan badai, pedagang yang penuh beban di punggungnya yang berkeliling menawarkan dagangannya, juga seperti nabi yang menjajakan cahaya ke setiap ruang gelap hati manusia. Menulis mempunyai karakterisasi yang berbeda-beda. Menulis novel berbeda dengan menulis sajak, menulis esai berbeda dengan menulis drama, menulis sastra berbeda dengan menulis karya ilmiah, dll. Sungguh jarang yang bisa sekaligus melakukan dua hal dengan kualitas yang sama-sama penuh terjaga, misalnya menulis puisi sama bagusnya dengan menulis novel. Ada dua nuansa yang berbeda dari sebuah kesamaan, dan ini rumit juga penuh godaan. Dalam dunia sastra Indonesia siapa yang tidak mengenal penyair Goenawan Mohamad. Tidak itu saja, dalam dunia jurnalistik nama Goenawan Mohamad tercatat tercatat sebagai tokoh papan atas kewartawanan Indonesia, Goenawan tercatat sebagai penulis esai terbaik Indonesia bahkan nama Goenawan tercatat sebagai tokoh yang mendunia, baik di bidang kepenyairan maupun di bidang kewartawanan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang diterimanya baik di dalam maupun luar negeri. Nyatalah dari hal tersebut bahwa Goenawan Mohamad sebagai penyair dan sebagai intelektual adalah dua pekerjaan yang sama-sama melambungkan namanya karena kualitas karyanya. Sampai sekarang dirinya masih aktif sebagai penulis kolom di majalah Tempo (Catatan Pinggir), aktif sebagai redaksi jurnal Kalam, aktif sebagai penyair, dan segala aktivitas lainnya terutama yang berhubungan dengan sastra dan budaya. 1 Puisi dan Pikiran Manusia sebuah esai Conrad Aiken yang diterjemahkan Sapardi Djoko Damono 2 Dalam sebuah Sajak yang Menjadi, pengantar untuk antologi sajak Radhar Panca Dahana oleh Goenawan Mohamad, tahun 1994.

Upload: sanjayaxens9880

Post on 26-Dec-2015

171 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

mengenal karya goenawan mohammad

TRANSCRIPT

Page 1: Goenawan Mohamad

GOENAWAN MOHAMAD: PENA PENYAIR PENA JURNALIS

1. Pengantar Sebuah sajak ditulis dengan berbagai alasan, terutama karena dengan sajak seseorang bisa

mengungkapkan sesuatu yang ada dalam hati dan kepalanya sekaligus juga menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Sajak adalah sesuatu yang ambigu, yang penuh simbol, yang dalam dirinya terdapat kehendak menyampaikan sesuatu sekaligus menyembunyikan sesuatu. Menulis sajak merupakan sebuah perjuangan yang berat sekaligus menyenangkan bagi penulisnya sebab di situ terjadi pergolakan, pertentangan, kerja keras intelektual, dan tentu saja bukan merupakan hal main-main. Conrad Aiken lewat Damono mengatakan bahwa sajak adalah potret manusia dengan peluh di kening, darah di tangan, siksa neraha di hati, dengan gayanya, dengan absurditasnya, dengan kejalangannya, keyakinan-keyakinannya dan keragu-raguannya.1 Jika memang seperti yang ditulis Conrad Aiken, maka dalam sajak akan ditemukan kemuraman, ketegangan yang terus-menerus, kegelisahn yang tak henti-henti, dan perjuangan yang sungguh berat. Menulis puisi dengan demikian bukanlah kerja sembarangan, bukanlah pekerjaan yang tanpa pekerjaan sebab menulis puisi adalah menciptakan dunia seperti yang pernah dilontarkan Chairil Anwar, “ Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia”.2 Artinya, sebuah sajak adalah sebuah dunia tersendiri yang merupakan hasil kreativitas penyair dengan segala kekuatan dan kerja kerasnya yang tidak tanggung-tanggung. Menulis memang dunia yang penuh dengan perjuangan, seperti halnya petani yang mandi peluh ketika mengayunkan cangkulnya, nelayan yang berjuang dengan gigih di keluasan laut melawan badai, pedagang yang penuh beban di punggungnya yang berkeliling menawarkan dagangannya, juga seperti nabi yang menjajakan cahaya ke setiap ruang gelap hati manusia. Menulis mempunyai karakterisasi yang berbeda-beda. Menulis novel berbeda dengan menulis sajak, menulis esai berbeda dengan menulis drama, menulis sastra berbeda dengan menulis karya ilmiah, dll. Sungguh jarang yang bisa sekaligus melakukan dua hal dengan kualitas yang sama-sama penuh terjaga, misalnya menulis puisi sama bagusnya dengan menulis novel. Ada dua nuansa yang berbeda dari sebuah kesamaan, dan ini rumit juga penuh godaan. Dalam dunia sastra Indonesia siapa yang tidak mengenal penyair Goenawan Mohamad. Tidak itu saja, dalam dunia jurnalistik nama Goenawan Mohamad tercatat tercatat sebagai tokoh papan atas kewartawanan Indonesia, Goenawan tercatat sebagai penulis esai terbaik Indonesia bahkan nama Goenawan tercatat sebagai tokoh yang mendunia, baik di bidang kepenyairan maupun di bidang kewartawanan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang diterimanya baik di dalam maupun luar negeri. Nyatalah dari hal tersebut bahwa Goenawan Mohamad sebagai penyair dan sebagai intelektual adalah dua pekerjaan yang sama-sama melambungkan namanya karena kualitas karyanya. Sampai sekarang dirinya masih aktif sebagai penulis kolom di majalah Tempo (Catatan Pinggir), aktif sebagai redaksi jurnal Kalam, aktif sebagai penyair, dan segala aktivitas lainnya terutama yang berhubungan dengan sastra dan budaya.

1 Puisi dan Pikiran Manusia sebuah esai Conrad Aiken yang diterjemahkan Sapardi Djoko Damono 2 Dalam sebuah Sajak yang Menjadi, pengantar untuk antologi sajak Radhar Panca Dahana oleh Goenawan Mohamad, tahun 1994.

Page 2: Goenawan Mohamad

Kedua pekerjaan di atas, yakni sebagai penyair dan jurnalis adalah sama-sama bergelut dengan aksara. Di sini aksara menjadi sarana untuk tujuan yang berbeda-beda, seperti juga perbedaan antara aksara seorang penyair dan aksara seorang wartawan. Ignas Kleiden merumuskan perbedaan ini dengan sangat cemerlang namun cukup sederhana, menurutnya penyair bergelut dengan dunia dalam, sementara wartawan bergelut dengan dunia luar. Yang pertama menggarap makna, yang kedua memperjuangkan fakta.3 Dengan demikian, kapasitas wartawan adalah membuat pembacanya mengetahui lebih banyak, sedangkan penyair sanggup membuat pembacanya mengetahui lebih banyak, sedangkan penyair sanggup membuat pembacanya menghayati lebih intens. Wartawan pada dasarnya bukanlah penjual gagasan, tetapi harus menyajikan fakta. Penyair pada dasarnya tidak bekerja dengan ide, tetapi dengan pengalaman. Hasil akhir analisis keduanya sama-sama bergulat dengan fakta; pada yang satu fakta itu bersifat sosial pada yang lain fakta itu bersifat eksistensial. Kecenderungan ini kemudian membawa akibat lain. Sejumlah besar pengetahuan tentang informasi itu akan menghasilkan apa. Wartawan adalah penyampai informasi dan tidak boleh berkehendak untuk mengolahnya dalam suatu analisis. Penyair bukanlah seorang pengamat kehidupan, tetapi seorang yang berhadapan dengannya, menerima atau menolaknya. Kehidupan bukanlah suatu objek tetapi suatu alter ego. Melihat latar belakang di atas, dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi seseorang yang kuat latar belakang kepenyairannya ketika harus menerima dan mengerjakan tugas kewartawanan. Dua hal yang sama namun mempunyai hakikat yang berbeda. Bagi Goenawan Mohamad sendiri hal ini tampaknya bukan hal yang sulit. Dari tangannya lahir tulisan jurnalistik yang cemerlang juga sajak-sajak yang hebat. Lalu bagaimana pengaruh pekerjaan atau aktivitas Goenawan terhadap proses kreatif dalam melahirkan sajak-sajaknya. Dalam penelitian ini kurang lebih akan dibahas tentang hubungan kedua hal tersebut, yakni kewartawanan dan kepenyairan. 2. Pendekatan Ekspresif Terhadap Sajak-sajak Goenawan Mohamad

Abrams membagi kritik sastra ke dalam empat tipe4, yakni kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif. Kritik mimetik adalah kritik yang menganggap sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Kritik pragmatik cenderung memandang karya sastra menurut berhasil tidaknya mencapai audiens. Kritik objektif mendekati sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas, kritik ini dijalankan berdasarkan intrinsiknya. Dan kritik ekspresif akan diterangkan agak panjang seperti di bawah ini.

Kritik yang memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulisnya sendiri. Dalam hal ini sastra dianggapnya sebagai kisah atau kejadian yang menimpa pengarang. Kritik ini mendefinisikan sastra sebagai sebuah ekspresi atau curahan perasaan pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya. Kritik ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian atau kecocokannya dengan visium (penglihatan batin) individual penyair/pengarang atau keadaan pikirannya. Sering kritik itu melihat ke dalam karya sastra untuk menerangkan tabiat khusus dan pengalaman-penaglaman pengarang, yang secara sadar atau tidak ia telah membukakan dirinya di dalam karyanya. Pandangan semacam ini diperkembangkan terutama oleh kritikus romantik, dan secara luas berlaku di masa kini. (Pradopo, 2003:27)

3 Lihat buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Kleiden 2004. 4 Lihat Pradopo dalam prinsip-prinsip kritik sastra, 2003

Page 3: Goenawan Mohamad

Dengan demikian kritik ekspresif berupaya untuk mengupas karya sastra dengan

memperhatikan pengarangnya. Misalnya latar belakang sosial pengarang, latar belakang pendidikannya, aktivitas yang dijalaninya, agama, kisah-kisah pribadinya, pandangan-pandangannya, visi dan misinya dalam hidup, dll. Semua yang menyangkut diri pengarang berusaha dihubungkan dengan karya yang dibuatnya. Tetapi dalam hal ini tetap diutamakan adalah karya itu sendiri. Jadi, dalam merebut isi atau makna karya sastra itu disangkutpautkan dengan keberadaan pengarangnya. Si pengarang seolah dijadiakn teks lain yang mendukung penganalisisan karya. Artinya, bahwa setiap makna yang ada dalam karya adalah tentang pengarang itu sendiri, pikiran pengarang itu sendiri, atau visi misi pengarang.

Goenawan Mohamad seperti yang saya tulis di atas adalah seorang penyair hebat, jurnalis papan atas, juga esais nomer satu di Indonesia. Bebrapa penghargaan atas prestasinya telah diraihnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Semua tulisan Goenawan Mohamad menurut Kleiden (2005: 212) baik puisi, esai, studi kebudayaan yang lebih panjang, sebaik-baiknya dipahami dan diapresiasi dari posisinya sebagai penyair, dan khususnya sebagai penyair lirik. Artinya kata-kata bagi penyair mempunyai peranan yang berbeda jika dibandingkan dengan pengguna lainnya. Dan Goenawan Mohamad dalam menggunakan kata-kata di tulisannya nyaris seperti ketika menyusun sajak. Kata-kata bukanlah tanda atau penanda, melainkan simbol. Ciri tanda adalah ketunggalan makna (denotasi) sedangkan ciri simbol adalah kebergandaannya yang berupa polisemi atau ambivalensi.

Di antara kaum intelektual, Goenawan Mohamad sering disebut sebagai orang Barat yang lahir di Batang5. Dikatakan demikian karena dirinya begitu akrab dengan wacana-wacana barat seperti Brect, Derrida, Adorno, Habernas, Nietszhe, Camus, Benjamin dan banyak lagi nama-nama penting di jagat pemikiran Barat bagai berbincang akrab dengan teman dekat. Dia dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, pada 1941, dan sejak awal 1960-an menetap di Jakarta. Setelah meninggalkan Fakultas Psikologi karena kekecewaannya, ia belajar ke Belgia, ikut mendirikan berita mingguan Tempo (1971) dan dibredel tahun 1994, lalu terbit lagi setelah reformasi tahun 1998. ia menerima World Press Review’s International Editor of the Year Award (1999). Karyanya, Sajak-sajak Lengkap 19661-2001, mendapat Hadiah Sastra Khatulistiwa (2001). Kumpulan esainya antara lain Potret Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1969), Seks Sastra Kita(1981), eksotopi(2003), Kata, Waktu(2001), Catatan Pinggir telah mencapai 5 jilid, Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2005), kumpulan puisinya, Pariksit (1971), Asmarandana (1993), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Naskah libretonya, Kali, dipentaskan di Lincoln Center, AS. Ia menerima berbagai penghargaan, antara lain Hadiah Sastra A Teeuw (Belanda), dan Penghargaan Ahmad Bakri Award untuk kesusastraan (2004). Selain terlibat dalam banyak organisasi di dalam dan luar negeri, ia membangun Komunitas Utan Kayu, yang menjadi semacam pusat kegiatan kesenian alternatif di Jakarta.

Sampai usia 19 tahun Goenawan tinggal di kota kecil Jawa Tengah dan kota di sekitarnya karena sering berpindah-pindah sekolah. Karena itu ia akrab dengan budaya dan bentuk-bentuk kesenian Jawa. Tradisi intelektualnya ditanamkan oleh ayahnya yang dokter juga saudara-saudara lainnya yang lebih dulu bergaul dengan teks-teks barat, hal inilah yang membuatnya semakin akrab dengan budaya Barat.

5 Lihat pengantar untuk tulisan Goenawan Mohamad dalam Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, 2005

Page 4: Goenawan Mohamad

Tahun 1960 Goenawan sekolah di UI Jakarta, tetapi tidak betah dengan alasan para dosennya tidak becus. Semasa kuliah dia mulai menulis dan dimuat di majalah sastra yang diasuh oleh H.B. Jassin. Dalam tahun 60-an inio Goenawan Mohamad bergaul akrab dengan para seniman dan intelektual lainnya, and bersama-sama mereka mencetuskan Manifes Kebudayaan. Sejak tahun 1971 sampai sekarang Goenawan Mohamad bergaul akrab dengan para seniman dan intelektual lainnya, dan bersama-sama mereka mencetuskan Manifes Kebudayaan. Sejak tahun 1971 sampai sekarang Goenawan mohamad masih aktif menulis di majalah Tempo yang didirikannya. Seperti diketahui, namanya kemudian menjadi sinonim majalah yang menjelma tonggak penting jurnalisme Indonesia, menjadikannya salah seorang wartawan yang paling berpengaruh, dan barangkali pejuang kebebasan pers yang paling dikenal di kancah internasional terutama sejak pembredelan Tempo.

Sekitar tahun 1993 bersama kawan-kawannya mendirikan jurnal kebudayaan Kalam, ia mengembangkan kompleks Teater Utan kayu (TUK). Di sana, dalam masa perjuangan untuk menggugat pemerintah yang telah membredel Tempo dia aktif dalam berbagai macam aktifitas kebudayaan dan politik banyak berlangsung, mulai dari diskusi sastra, film, pemutaran film, teater, puisi, seni alternatif, dll. Ia seolah mewujudkan apa yang kerap disarankan kepada para wartawannya yang sering merasa pengap dengan pelbagai tekanan atas kemerdekaan jurnalistik mereka: “kita boleh tunduk, tapi tak boleh takluk”. Sampai sekarang ia menulis “Catatan Pinggir” sebuah sajian jurnalistik yang unik: muncul rutin layaknya editorial, tapi isinya esai renungan pribadi penulisnya atas pelbagai peristiwa dan masalah, terutama yang aktual. Catatan Pinggir adalah esai tetap tertua di Indonesia.

Hamid Basyaib (2005), memandang Goenawan Mohamad sebagai orang yang berpikir dan cara pandang ala Barat karena bacaan yang luas dari Goenawan Mohamad yang menonjol. Ketika Goenawan Mohamad harus menengok kembali khazanah budaya yang melingkupinya di masa kecil, juga terhadap bacaan-bacaan tambahan atas budaya itu, belakangan ia melihatnya dengan kaca mata barat. Ia akan berbeda dalam menafsirkan wayang dengan para dalang yang kukuh dalam pakem. Ia akan berbeda menafsirkan sebuah serat, sebuah sejarah, sebuah mitos dengan kebakuan yang telah ada di masyarakat. Semuanya ditafsirkan dalam kerangka Barat yang dipadukan dalam sajak yang bernas.

Dalam menulis, Goenawan Mohamad sering kali mencampurkan antara yang fakta dengan fiksional. Tokoh-tokoh fiksional diberlakukan sebagai simbol atau kacamata untuk mengamati dan mengidentifikasi manusia-manusia faktual; peristiwa fiksional dijadikan contoh kasus yang kadang diuniversalkan. Begitu juga sebaliknya ketika dirinya menulis sastra, peristiwa faktual menjadi tenaga dorong yang begitu kuat dalam tulisannya, terutama peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Dalam sajaknya pun seringkali Goenawan Mohamad menuliskan peristiwa fiksional. Fiksi dalam fiksi untuk mengungkapkan realitas kekinian yang sedang berlangsung.

Demikianlah Goenawan Mohamad, dari sekitar seribu tulisannya bisa dilihat beragamnya tema yang disentuhnya dengan topangan bacaan luas yang beragam pula. Ia menggelisahi Marxisme, Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Modernisme, Nazi, Stalin, Mao, Pembangunan, Birokrasi, P4, Tradisi, pendeknya segala bentuk perekayasaan sosial, karena semuanya menekan menggilas pada keindividuan, eksistensi manusia. Dirinya sangat anti terhadap individu lainnya. Tema-tema tersebut digarap dalam karya sastra juga dalam tulisan

Page 5: Goenawan Mohamad

jurnalistiknya. Sebagai penyair dan sebagai jurnalis tema-tema itu digarap sesuai dengan kapasitas genrenya.

Bagaimana sebanarnya Goenawan Mohamad menyikapi puisi? Ketika membahas puisi Subagio Sastrowardoyo dia menulis: “puisi datang pertama kali kepada kita lewat nadanya…Sajak-sajak Subagio adalah sajak nada rendah. Puisinya seolah dicatat dari gumam. Ia ditulis oleh seorang yang tek memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras serta kesibukan di luar dirinya6. Mari kita perhatikan sajak Goenawan Mohamad berikut ini,

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakan bimasakti, yang jauh. Tapi diantara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata. (dari “ASMARANDANA”)

Potongan sajak diatas adalah imajinasi himpunan nada-nada yang mengantar kita pada sebuah situasi bunyi yang penuh ragam. Mula-mula kepak sayap kelelawar. Seperti apakah kepak sayap kelelawar bunyinya? Di kesunyian senja atau malam kepak sayap begitu halus bahkan kita akan kesulitan mendapati suara-suara itu karena saking halusnya. Juga nada guyur sisa hujan dari daun betapa lembut dan halusnya suara itu. Mungkinkah kita bisa mendengar sesuatu jejak yang telah pergi. Suara resah kuda dan langkah pedati adalah juga imajinasi bunyi yang dalam kenyataan betapa susah ditemui. Dan nada-nada itu lembut belaka bahkan seperti kesunyian itu sendiri yang menambah sunyi sebuah situasi, semacam ketegasan dari sebuah situasi. Dalam sunyi, suara-suara dari kesunyian bisa terdengar dengan jelas, hal ini karena betapa situasi mempertegas situasi-situasi lain. Di sini Goenawan memperlihatkan kepada kita bahwa sebuah sajak adalah sebuah nada-nada, suatu pilihan kata yang memperhitungkan efek-efek bunyi.

Dengan demikian Goenawan mengabarkan kepada kita bahwa kedatangan sajak yang pertama-tama adalah bunyinya, nadanya bukan pada ide atau gagasan. Jikapun ide atau gagasan itu ada, hal itu diaktualisasikan lewat nada, imaji, sentuhan dengan benda-benda, keterpesonaan pada warna dan cahaya atau impresi yang dirangsang oleh bunyi dan suara7. Maka tidak mengherankan apabila sajak-sajak Goenawan Mohamad begitu sarat dengan nada-nada, terutama nada itu kebanyakan lembut, halus, mengalun seperti ombak atau angin gunung yang kecil saja, dengan bunyi-bunyi merdu. Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu, Tapi//Tutupkan matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu…Sebuah contoh dari bait yang mengandung pilihan kata halus dan lembut dan penuh nada sendu. Pilihan nada ini sangat terasa dan sesuai dengan situasi yang dibangun oleh sajak itu. Situasi perpisahan, entah perpisahan dengan kematian atau perpisahan yang hanyasekedar raga, tetapi perpisahan tetap perpisahan yang didalamnya terkandung sekian kesedihan dan kehilangan yang sangat.

Ketika Goenawan Mohamad membuat Interpretasi terhadap sajak-sajak Saini K.M dikatakannya dengan nada setengah miring bahwa Saini sangat tertib dan lengkap sikap platonisnya. Menurutnya Chairil atau Rendra tak akan diterima di Republik Plato, tetapi Saini

6 Goenawan Mohamad, dalam “Subagio Sastrowardoyo: sebuah Interpretasi” dimuat dalam “setelah Revolusi Tak Ada Lagi” tahun 2001 7 Kleiden, Sastra indonesia dalam Enam Pertanyaan, 2005

Page 6: Goenawan Mohamad

pasti diterima sebab saini tidak ada kejalangan dan sensualitas. Sajak-sajaknya teduh di dunia yang tentram dengan dirinya sendiri. Sebuah Mahameru yang dihuni ide-ide8.

Sikap atau pendapat di atas sesungguhnya sebuah ketidaksukaan Goenawan pada bentuk dan isi sajak-sajak yang dibuat Saini. Bagi Goenawan sajak itu bukanlah sebuah keteduhan dan ketentraman bagi dirinya sendiri, tetapi sajak harus liar, jalang dalam memaknai dunia. Tuhan yang meresap di ruang kayu,//di gereja dusun,// di lembah yang kosong itu,// kusisipkan namamu. Sajak, seperti kutipan tadi, harus mempunyai keberpihakan yang bukan untuk menentramkan bagi tapi mengabarkan peristiwa dengan kedalaman dan masih menyisakan gelisah. Harus mempunyai kebaruan, tafsir yang melingkupi perbedaan dalam persamaan, juga metafor yang tidak lagi biasa ada dalam keseharian. Seperti dalam Tuhan yang meresap di ruang kayu, adalah suatu penciptaan kembali dengan roh yang berbeda dengan tubuh yang sama tapi bentuk tubuh yang berbeda. Inilah mungkin sebuah tabiat seorang jurnalis, adanya proses pengabaran sebuah peristiwa, meski dalam cara yang berbeda. Dan tetap mempertahankan kedalaman sebagaimana tabiat para penyair yang hendak masuk menyelam ke palung peristiwa yang paling dalam.

Goenawan Mohamad yang oirang Jawa, yang masa kecil hingga awal dewasanya tinggal di kota kecil yang kental kejawaannya, ternyata tidak melupakan tanah budaya asalnya, bahkan demikian lekat dan terdapat jejak yang dalam pada karya-karyanya. Tidak saja dalam pilihan tema, tetapi yang terasa dan demikian menguasainya adalah nada sajak-sajaknya yang lembut menghanyutkan, seperti sebuah pupuh yang tidak mendayu atau merengek-rengek. Di satu sisi nadanya adalah keriuhan kota-0kota dan ingar dan menusuk. Mperpaduan antara kelambanan, kelembutan Jawa denagn keriuhan kota-kota besar adalah seperti yang terasa dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. Kita bisa merasakan betapa kuat suasana Jawa yang tenang dan kelembutannya pada potongan sajak ini.

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi. Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari. Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba. Kudengar angin mendesak ke arah kita. (Di Beranda Ini Angin tak Kedengaran Lagi: Goenawan Mohamad)

Berikut adalah tema-tema yang diambil dari “sejarah” atau mitos Jawa. Ada enam sajak penting yang saya catat disini: Pariksit, Dongeng Sebelum Tidur, Asmarandana, Gatoloco, Menjelang Pembakaran Sita, dan Persetubuhan Kunthi. Keenam sajak itu mengabarkan sebuah kisah yang diambil dari kisah-kisah lain yang mungkin fiksional atau faktual. Di sini terjadi transformasi yang digarap ke dalam bentuk sajak yang selain indah juga menyimpan kedalaman yang menyentuh hati. Di tangan Goenawan Mohamad peristiwa itu tidak saja sebagai sebuah berita tetapi telah pula dibentuk ke dalam rangkaian yang sanggup mengoyak-ngoyak perasaan selain tentunya suatu pengetahuan. Inilah perpaduan kerja Jurnalistik dan sastra; berita dan kedalaman.

Sajak Pariksit adalah sajak yang prosais, yang menceritakan kisah raja terakhir negeri Amarta yakni Pariksit anaknya Arjuna. Raja ini mati atas kutukan Crenggi melalui tangan Aswatama yang penuh dendam kepada pihak Pandawa karena ayahnya (Dorna) terbunuh oleh pihak Pandawa daalm peperangan dengan Korawa. Dalam transformasinya, Goenawan

8 Goenawan Mohamad dalam Saini dan Puisi Platonis, dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi,

Page 7: Goenawan Mohamad

seperti berposisi sebagai seorang jurnalis yang memberikan sebuah realitas kepada pembacanya. Namun realitas yang ada dalam sajak Goenawan adalah realitas yang telah mengalami pendalaman, dalam arti dia telah memilih salah satu sudut pandang tertentu yang lebih menukik ke sasaran tema yang dikehendakinya. Di sini, berita sudah menjadi tidak sekedar berita yang hanya mengabarkan permukaan tetapi lebih mengajak ke sebuah perenungan yang dalam tentang sebuah nasib yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Meskipun dalam kapasitas raja sekalipun, Pariksit yang penuh pengawalan ketat prajurit dan rakyatnya, jika nasib telah menggariskan dirinya harus mati maka pembunuh itu bisa lolos dari pengawalan dengan leluasa dan mencabut nyawa sang raja. Dalam sajak ini Goenawan mengungkapkan pandangannya tentang raja yang tak pernah berdoa padahal rakyatnya berdoa mati-matian juga tentang rakyat yang sebenarnya selalu sendiri dan tak dipengaruhi oleh kekuatan pembimbingan raja. Mereka yang mendoa, sementara// aku tiada berdoa. Mereka yang kini mempunyai angin-angin// sendiri, hujan-hujan sendiri, dan duka cita yang//sendiri. Mereka tak tahu kita tak bisa berbagi. Bagi Goenawan raja adalah sebuah kelengkapan kesombongan dan ajaibnya rakyat selalau memuja dan mengharapkan keselamatannya. Seperti juga ketika datang sebuah penderitaan atau siksa terhadap raja, Goenawan menganggapnya sebagai siksa yang dirasakan rakyat sedangkan raja adalah sebuah kelemahan yang tersembunyi dari rakyat. Seperti yang diucapkan Pariksit bahwa siksa ini adalah siksa mereka diatas kelemahan tangan kekuasaannya. Bentuk tafsir ini tentu saja berbeda dengan para dalang yang biasa memainkan cerita sesuai pakem. Goenawan telah memandang kejawaan dengan keluasan intelektualnya yang barat. Kisah Pariksit tidak sekedar sebuah cerita yang mengungkapkan matinya raja terakhir kaum Pandawa, tetapi Goenawan berhasil mengungkapkan sisi lain yang jauh dan dalam, yang menukik ke dasar kalbu kemanusiaan. Goenawan tampak mempunyai keberpihakan kepada rakyat dan ketidaksukaannya pada kekuasaan sebab baginya kekuasaan adalah kesombongan yang selalu membuat rakyat menderita. Hal ini akan ditemui juga dalam esai-esainya bahwa kekuasaan seringkali membuat manusia menjadi tidak sadar akan kemanusiaannya. Dalam sajak-sajak yang lebih kini Goenawan banyak menyoroti sebuah situasi politik tertentu, misalnya dia membuat sajak Aungsang Suuky. Sajak ini berisi sebuah kisah perjuangan kebebasan dari kesemena-menaan penguasa. Sajak ini memang sangat berbau politik tetapi di tangan Goenawan bau politiknya menjadi seolah-olah lenyap sebab terbungkus oleh unsur musikal yang ditimbulkan metafor ciptaannya. Tetapi bahwa Goenawan sangat menghitung unsur musikal tidak sekalipun meninggalkan keberpihakannya pada seseorang yang kemanusiaannya di injak-injak, kebebasannya dipatok di ruang yang sempit dan gelap. Pada sajak ini beratnya jalan ke kebebasan ditumbuhkan melalui korespondensi yang tak gampang, penuh warna dan peristiwa genting yang nyaris muskil untuk diraba konsekuensinya, antara kemungkinan “Seseorang akan bebas” dan ujung yang akan “Sehijau kemarau, sehitam asam musim hujan, lari atau letih dan langit akan sedikit dan bintang berdalih”. Di sini kebebasan tampak mahal sekali harganya, sampai-sampai langit pun akan sedikit dan bintang beralih ketika kebebasan itu diperjuangkan dan mungkin tercapai. Dalam pencapaian kebebasan itu Goenawan membuat logika pensejajaran “seseorang akan bebas dan sorga akan tak ada”. Jadi sesungguhnya ketika dalam keterhimpitan, dalam ruang yang serba dibatasi kebebasan adalah surga, semacam harapan yang terus menerus akan terbayangkan. Jadi, ketika kebebasan itu ada dan konkrit maka sorga seolah lenyap, tak ada lagi sebab harapan akan surga itu telah hilang dari angan-angan. Namun bila kebebasan itu kelak benar-benar datang (barangkali), puisi ini dengan bijak mengingatkan bahwa buah yang sangat

Page 8: Goenawan Mohamad

mahal hanya senilai dengan bebas “memandangi tandan yang terjulai di pohon saputangan, di tebing jalan Mandalay”. Jelas, sajak Goenawan mengungkapkan keberpihakan pada penderitaan seseorang yang digerus kebebasan berpolitiknya. Seperti juga sajak-sajak lain yang mempunyai keberpihakan bahkan bernada kritis terhadap kesewenangan penguasa juga rasa ikut sependeritaan dengan orang yang dijatuhi nasib jelek yang dilecehkan dan dihinakan kekuasaan. Hal ini terlihat pada Cerita Buat Yap Thiam Hien, Perempuan Itu Menggerus Garam, Doa Persembunyian ( di Sebuah Gereja Rumania, Zagreb, dll. Sajak-sajak itu seperti dalam Aungsang Suu Ky memperlihatkan nada musikal yang menyentuh dan kisah itu bukan saja membuat pembaca tahu tetapi menjadi seolah ikut merasakannya. Sebagai seorang jurnalis dia berhasil dan sebagai penyair dia lebih berhasil lagi telah mengoyak-ngoyak hati pembaca.

Sajak Aungsang Suu Ky sangat bagus untuk menggambarkan betapa makna, hubungan kausalitas antar makna dan unsur-unsur musikal bersinergi dengan efektif mewujudkan keindahan paripurna sebuah sajak. Dengan adanya semacam takrif yang membatasi ruang gerak permainan imajinasi, efek psikis yang ditimbulkan oleh bunyi reppetitifnya bukan hipnose, melainkan justru sebaliknya: kesadaran, Pembebasan.

Unsur bunyi atau efek musikal yang berhasil dihidupkan oleh Goenawan selalu membanguyn mutu estetik yang bukan hanya menyentuh, tapi juga menggugah. Teeuw pernah menyebutkan bahwa kecenderungan Goenawan memanfaatkan sebanyak mungkin kata dasar dan menghindari kata panjang dengan berbagai imbuhan kompleks yang demikian populer dalam bahasa surat kabar dan birokrasi9. Jadinya sajak-sajak Goenawan seperti kalimat-kalimat yang mengandung pengertian akan menjadi kurang lancar, bahkan terasa terbata-bata (barangkali Goenawan akan menyebutnya sebagai elemen ‘kebisuan’10. Masih ada potensi lain ketika sajak disangkutkan dalam komposisi bunyi: potensi mengaburnya makna, konstruksi ide-ide, sesuatu yang justru dalam sajak Goenawan menjadi kekuatannya yang terbesar. Bahkan apa yang pernah diperjuangkan Goenawan dalam sastra Pasemon menjadi mrah kepada sajak suasana. Misalnya kita baca dalam “Pada Sebuah Pulau”.

Badai hanya pulau gema, di sini, seperti ratap pulau

Dari karang-karang kambria

Yang gelap

Pantai mengengekan rahang, menelan waktu

Yang datang bertubuhkan

Gelombang

9 Dalam sebauh tinjauannya terhadap Asmarandana 10 Lihat Prasetyo dalam Epifenomenon. Telaah Sastra Terpilih.

Page 9: Goenawan Mohamad

Membaca sajak di atas mungkin pembaca akan merasakan sebuah haru biru oleh perasaan takjub pada lanskap. Perasaan mabuk yang berarak-arak ketika mendengar gema badai, ratapan pulau karang purba, menyaksikan kegelapan, bentuk pantai yang serupa rahang menganag, gelombang laut yang berdatangan. Semuanya serba konkrit. Kata ‘waktu’ yang sebenarnya abstrak itupun, karena diberi tubuh, bukan hadir sebagai konsep melainkan materi, sehingga fungsinya tidak lebih daripada sekedar properti yang memberi aksen pada panorama lanskap keseluruhan.

Dalam Dongeng Sebelum Tidur, Asmarandana, Gatoloco, Menjelang Pembakaran Sita cerita yang telah berkembang luas di masyarakat itu di tangan Goenawan tidak sekedar menjadi cerita, tetapi telah mengalami pengayaan yang lain, yang menurut Chairil Anwar telah menjadi dunianya sendiri, dan yang menarik kisah kisah itu dijungkir balikan dari pakemnya, sehingga misalnya dalam kisah Shita telah rela ditiduri lelaki yang bukan Rama, yang adalah tipuan dari Rahwana yang menjelma lelaki lain. Tentu saja ini sebuah kontroversi, perlawanan terhadap pakem yang telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun di masyarakat.

Jika berbicara tentang perempuan, yang ada dalam sajak-sajak Goenawan adalah perempuan yang selalu kehilangan kebahagiaan. Ini adalah sebentuk sikap, sebuah pemikahan kepada seseorang yang dilindas dan ditindas kekuasaan. Memang muncul berbagai kenikmatan yang dirasakan perempuan atas hubungannya dengan laki-laki, tetapi kenikmatan itu hanyalah awal dari penderitaan, dari kehilangan. Misalnya dalam kisah Shita, Kunti, Anjasmara, perempuan penggerus garam, dll. Perempuan dilihat sebagai manusia yang posisinya dibawah kekuasaan laki-laki. Perempuan oleh Goenawan diungkapkan pula sebagai suatu perlawanan terhadap kekuasaan, baik kekuasaan laki-laki atau kekuasaan pada umumnya. Karena itu tidak heran jika Shita ditangannya menjadi Shita yang berani menerima telah disetubuhi oleh lelaki selain Rama. Juga ketika seorang ibu dalam Perempuan yang Menggerus Garam, memperlihatkan rasa pedihnya karena ditinggal anak lelaki terkasihnya yang dibantai semena-mena oleh penguasa yang zalim. Di sini Goenawan memunculkan penderitaan sekaligus mengabarkan atau mengobarkan perlawanan terhadap kesemenaan itu. Dengan demikian dalam sajak Goenawan terjadi transposisi pikiran menjadi pengalaman dan suasanan, rindu menjadi getar dan perasaan, proposisi menjadi intuisi, dan intuisi menjadi visiun tentang warna langit dan bau hutan, dan argumentasi yang tersusun rapi menjadi imaji liar yang berkejar-kejaran.

Tentang kekuasaan, pembantaian, propaganda, pembungkaman sistematis, teror, paranoia. Pembantaian penyembelihan dengan bedil atau parang atau pedang. Semuanya dalam skala besar-besaran. Atas nama yang Maha Dasar. Dasar yang Tuhan pun bukan Tuhan. Demi apa yang bernama kepatuhan, kestabilan. Goenawan menulis “Nuh” sebagai berikut:

Nuh

Pada hari ahad kedua, kota tua itu tumpas. Curah hujan tak lagi deras, meskipun angkasa masih ungu, dan hari gusar. Rumah-rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang, dan tamasya mati bunyi, kecuali gemuruh air. Memang ada jerit terakhir, yakni teriak seorang anak.

Page 10: Goenawan Mohamad

“ia jatuh” kata laporan yang disampaikan Nakhoda,” dari sebuah atap bongkah. Air bah menyeretnya. Kakinya memang lumpuh sebelah. Dengan cepat ia pun tenggelam, seperti yang lain-lain: neneknya , ibu bapaknya, saudar-saudaranya sekandung. Juga seluruh kota.”

Nakhoda itu tersenyum. Segera diberitakannya kabar terakhir itu kepada Nuh yang sedang berdoa di kamarnya dalam bahtera. Orang alim itu terdiam sebentar, lalu bangun dan berjalan ke buritan. Ia ingin menyaksikan sendiri benarkah gelombang telah selesai membunuh.

Memang: banjir itu takl lagi ganas, seakan-akan naga yang kenyang bangkai.

Dan di sisa kota itu ia lihat mayat, terapung, menggelembung, hampir hitam, beribu-ribu, seperti menantikan sesuatu. Ia lihat gagak dan burung-burung marabu, bertengger di atas perempuan-perempuan tua yang terserak busuk. Di permukaan air itu bahkan hutan-hutan takluk dan senja seakan terbalik, seperti pagi. Nuh pun berbisik, “Kota dalam najis…” Ia menghela napas, kembali ke anjungan. Bau bacin menyusup dari cuaca, bahkan sampai ke ruang doa, dan ia merasa kota itu akan segera jadi payau. Maka tatkala langit teduh, Nuh segera meminta agar bahtera diarahkan ke dataran tinggi yang masih utuh di utara. Ia berkata, “Keadilan, perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan.” Dan ia mendarat lepas dari air, ia merunduk di tepian itu dan diucapkannya Syukur. Lalu segera disuruhnya persiapan korban hewan di kaki Bukit. Harum daging bakar pun sampai ke langit, dan membuat surga berabahagia. “Ya, Maha Dasar, tak ada lagi yang bisa keluar,” begitulah sembah yang diucapkan, ketika hari jadi terang dan jemaat berdoa untuk kota-kota yang akan datang, yang kukuh, patuh.

Kota-kota Nuh.

1998

Goenawan pernah berkata,” makna itu seakan-akan sesuatu yang hanya bisa muncul dalam suatu onteks, dalam suatu perbandingan dengan suatu keadaan, termasuk keadaan diri kita, atau dengan suatu ekspresi yang lain yang pernah ada.” Atau dengan kata lain sebuah Allusion yang dalam istilah Goenawan Pasemon. Dan berhubungan dengan sajak di atas bisa dilihat bahwa sajak itu bukan semata-mata atau memang bukan sebuah kisah keagamaan. Ini adalah sebuah kisah kekuasaan, sebuah pemaksaan atas nama Tuhan. Bahkan sejak lama, nama Tuhan sering dijadikan alibi untuk penaklukan terhadap yang lain, yang bukan sealirannya, yang bukan anggota jemaatnya, dll yang berbeda dengan dirinya. Seperti dulu pernah dilakukan orang-orang kulit putih yang memburu emas, tahta dan Tuhan merupakan sebuah paket yang mensyahkan setiap pembunuhan terhadap manusia lain yang mempunyai kulit berwarna. Mereka mengajak untuk hidup dalam agamanya dalam Tuhannya yang mereka anggap itu syah. Seperti juga ketika di negeri kita tahun-tahun pasca 1965, sermua yang tidak seirama dianggap berdosa dan harus dilenyapkan, dan bergununglah bangkai-bangkai manusia itu mati dalam kematian yang mengenaskan.

Sajak Nuh adalah sebuah kias yang diambil dari akhir sebuah kisah keagamaan yang sudah demikian akrab di telinga orang kebanyakan di Indonesia atau di negara-negara Islam.

Page 11: Goenawan Mohamad

Hal ini berbeda dengan apa yang didengar dari guru-guru ngaji di surau atau di madrasah. Orang yang terakhir kedapatan mati dalam banjir bukanlah anak lelaki Nuh. Hal ini jelas dari laporan yang disampaikan kepada Nakhoda dalam puisi, bahwa nenek, ibu, bapak, dan saudara-saudara kandung anak ini mati semua tenggelam. Dalam sajak ini tak pernah ada terdengar sebuah teriakan dari seorang bapak yang meminta anaknya untuk bertaubat dan turun dari atap ke bahtera. Segala emosional telah terpisah, tak ada lagi bapak, anak, saudara. Yang ada adalah kami dan mereka yang berbeda dalam keyakinan.

Adegan-adegan dalam sajak ini digambarkan dalam suasana yang dramatis, mencekam, dan tentunya mengerikan, justru ketika bencana itu hampir berakhir, ketika curah hujan tak lagi deras, meskipun angkasa masih ungu dan hari ngusar. Tumpasnya seluruh kota oleh air bah kiriman Tuhan dilukiskan dengan begitu detail dan realistis menyerbu indera. Rumah-rumah runtuh, seluruh permukaan rumpang, dan Tamsya mati bunyi, kecuali gemuruh air dengan beribu-ribu mayat yang terapung, menggelembung, hampir hitam, dan burung-burung gagak dan marabu bertengger di atas para perempuan tua yang terserak busuk, juga hutan-hutan takluk bahkan senja seakan terbalik seperti pagi dan bau bacin menyusup dari cuaca sampai ke ruang doa dalam bahtera. Sebuah kengerian yang sungguh berbeda dengan penggambaran yang ada dalam terjemahan-terjemahan kitab suci Alquran.

Goenawan seperti yang pernah saya singgung di atas adalah seseorang yang alergi terhadap kekuasaan yang semena-mena. Dalam sajak ini pun, bahkan untuk sebuah kisah keagamaan Goenawan telah menjungkirbalikannya, telah mentransformasinya ke dalam bentuk dan dunia yang berbeda. Namun perbedaan itu masih merupakan sebuah kesamaan atau tidak meninggalkan hakikat dari kisah itu. Dalam sajak ini, Nuh tampak tidak terbersit sedikit pun padahal kengerian yang terhampar begitu dahsyat. Bahkan Nuh seperti belum puas, dia masih sempat menyumpahi onggokan bangkai yang ada di depannya: “Kaum yang musyrik, yang tak dikehendaki…”. Sebagai nabi sebenarnya Nuh tampak gagal. Bukankah bangkai-bangkai itu adalah bukti yang tak tersangkalkan! Jika Tuhan telah memutuskan untuk menenggelamkan kota dan orang-orang yang tidak mengikuti jalan Nuh, setidaknya sebagai yang berhati nabi, Nuh bisa menunjukan rasa iba dan bukan malah mensyukurinya, bikin pesta daging bakar, dan berkoar bahwa “Keadilan, perkara besar itu, telah dibereskan Tuhan.”

Sajak ini jelas, sebuah pasemon yang dikiaskan untuk sebuah situasi yang ada lebih kini. Pembantaian yang terus-menerus dengan mengatasnamakan kebaikan, keagamaan, kemanusiaan yang ntah dari sisi mananya. Sebab pembantaian tetap sebagai pembantaian yang banyak menghilangkan nyawa orang juga masa depan sekian banyak orang yang mungkin tak punya atau tak tahu apa-apa tentang sebuah kehendak kekuasaan.

Penghilangan nyawa orang yang patut dipertanyakan muasalnya ini senantiasa dipertanyakan Goenawan, baik dalam sajak maupun dalam esai-esainya. Ada sebuah kisah dalam Catatan Pinggir, yakni matinya Sukardal yang bunuh diri dengan menggantung diri di sebuah dahan pohon. Sukardal adalah orang kecil yang miskin, becaknya disita dan sejak itu dia tak mampu memberi penghidupan kepada keluarganya, karena itu dia menggantung diri sebagai sikap protes terhadap penguasa. Dan sekaligus menunjukkan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan sebuah persoalan yang berhubungan dengan penguasa yang zalim, yang tak melihat rakyatnya begitu kecil dan miskin. Bagi negara yang penting adalah

Page 12: Goenawan Mohamad

membereskan kesemrawutan dan tidak menyodorkan solusi yang bermartabat kemanusiaan. Inilah yang seringkali ditentang oleh Goenawan, yakni kesemenaan kekuasaan.

3. Simpulan

Hampir semuasajak Goenawan adalah perpaduan antara faktual dan fiksional, sejarah dan dongeng, berita dan kedalaman, susunan nada-nada yang menurut Prasetyo11 seperti sebuah jazz. Dalam kapasiatsnya sebagai jurnalis, intelektual, dan penyair, Kleiden mengungkapkan tentang Goenawan terutama tentang sajak-sajaknya sebagai berikut: “maka sajak merupakan penerobosan makna kata-kata, sedangkan intelektual publik menerobos peran dan tanggung jawab. Sajak menjaditempat konfrontasi antara kata yang terbatas dan makna yang tak terbatas, sedangkan intelektual publik menghadapkan peran dan tanggung jawab yang terbatas kepada moralitas yang tak terbatas”.

Dengan demikian sajak-sajak Goenawan adalah sebuah ungkapan intelektual yang mempunyai keberpihakan pada sesuatu yang dilindas dan ditindas kekuasaan. Sajak-sajak Goenawan merupakan bebunyian yang betul-betul mempunyai makna yang dalam, sehingga bukan saja berita yang didapat pembaca tetapi juga sebuah sentuhan terhadap kalbu yang ujung-ujungnya melahirkan pula semacam keikutsertaan pembaca terhadap derita atau realitas yang dikabarkan sajak-sajak itu.

***

DAFTAR PUSTAKA

1. Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Indonesia Tera. Magelang

2. Kleiden, Ignas. 2005. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Esai-esai Sastra dan Budaya. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta

3. Mohamad, Goenawan. 2005. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Pustaka Alfabet. Jakarta

4. Mohamad, Goenawan. 2004. Goenawan Mohamad: Selected Poems. Ikrar Mandriabadi. Jakarta

5. Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

6. Prasetyo, Arif Bagus. 2005. Epifenomenon. Grasindo. Jakarta

11 Lihat Efinomenon. Telaah Sastra Terpilih,2005