globalisasi: pudarnya' bangsa-negara? · konsep & persoalan dasar ... apa yang selama ini...

2
JAWA POS, JUMAT WAGE 24 AGUSTUS 1990 -- -- Tanggapan atas Tanggapan Tulisan Saya (1) Globalisasi: Pudarnya' Dua seri artikel yang diturun- kan hari ini dan besok adalah hilk Drs Ariel Heryanto MSc dalam polemik Nasionalisme Kebudaya- an. Pada hari lain para penanggap yang ikut berpolemik akan kem- bali menanggapinya. Redaksi. Sejumlah persoalan mendasar masih belum terbongkar dari se- rangkaian artikel tentang kebu- dayaan nasional di harian ini (30 Juli -4 Agustus 1990). Tulisan berikut meneoba meneatat hal- hal itu dalam dua bagian. Pada bagian pertama ini, perkenankan saya mempertegas sejumlah pe- ngertian dan persoalan dasaryang menjadi titik berangkat untuk pembahasan kita selama ini. Pada bagi,an kedua, saya akan meneo- ba menguraikan secara rinei tang- gapan balik saya terhadap tang- gapan para penulis lain. Biarlah polemik ini berakhir dengan se- jumlah pertanyaan dan masalah. Konsep & Persoalan Dasar Ungkapan kunei "kebudayaan nasional" dalam polemik ini terdi- ri atas dua kata yang seeara sen- diri-sendiri mengidap benih pole- mik besar dan rumit. Apakah ka- pan dan di mana benih itu tum- buh dan berkembangmenjadi sua- tu polemik bergantung pada se- jumlah perihal lain. Dalam pole- mik ini saya lebih banyak membe- rikan perhatian pada problema- tika kata kedua dari ungkapan- ungkapan kunei itu: "nasion(al)". Pada pokoknya, saya berpanda- ngan bahwa kebudayaan nasio- nal itu tidak pernah dan ada. Setidak-ti- daknya, begitulah pandangan sa- ya tentang "kebudayaan nasional" dalam pengertian yang beraneka dan selama ini dipakai dalam per- bincangan kebanyakan orang. De- ngan demikian, pandangan ini berbeda dari pendapat bahwa ke- budayaan nasional itu keberada- annya masih tidaklbelum jelas atau belum bisa dirumuskan sec a- ra tegas. Pandangan saya di atas berkait- an dent£an pandangan tentang "nasion.,;-'atau "bangsa" yang saya ambil dari orang-orang lain: apa yang selama ini banyak disebut orang sebagai nasion atau bangsa pada hakikatnya merupakan fik- si, suatu realita imajinatif yang kemudian diperbincangkan dan Bangsa-Negara? dihayati seakan-akan lebih kon- kret dan objektif daripada haki- katnya sebagai fiksi itu. Kita telanjurterlalu seringmem- biearakan suatu "nasion" atau "bangs a" seakan-akan sebagai su- atu kenyataan objektif yang kebe- radaanya di luar angan-angan atau imajinasi manusia. Bahkan, secara ekstrem tidak beranggapan bahwa kebangsaan seseorang, misalnya "Indonesia" atau "Malaysia", me- rupakan takdir atau anugerah Ila- hi. Suatu kenyataan yang harus atau patutditerima tanpadiperta- nyakan. Bahkan dibela mati-ma- tian. Seperti takdir mengapa di antarakitaadayangbersukuBali, Batak, Sunda, atau Jawa. Atau takdir meng{l;mi!l:ita dilahirkan abad 20 abad yang lalu atau yang akan datang. Me- ngapa kita dilahirkan dengan pe- nis atau vagina. Dalam hal ini saya gembira se- kali menjumpai pandangan Romo Mangunwijaya yang menekankan bahwa adanya nasion(alitasl itu merupakan produk sejarah, da- lam suatu tahapanyangtidak aba- di. Kalau boleh saya rumuskan dalam bahasa sendiri, ada zaman munculnya bangsa-bangsa di du- nia, ada pula zaman pudarnya bangsa-bangsa itu pada tahap se- jarah yang lain. Bahkan, menu- rut Romo, tahap yang btlakangan ini sudah tiba. Yang mungkin berbeda di anta- ra pandangan kami ialah ten tang hakikat dan keberadaan nasion itu sendiri. Bagi Romo Mangunwi- jayakebudayaan nasional itu "ada dan sekaligus mengada-ada". Bagi saya nasion dan kebudayaan na- sional pada hakikatnya hanya da- pat dikatakan ada KARENA (bu- kan "dan"l diada-adakan dan di- angankan ada. Yang ada ialah su- atu (mis-)representasi untuk re- alitas yang diangankan sebagai realitas objektif dan mandiri dari benak man usia. Saya ingin. menambahkan con- toh lain yang mungkin tidak lang- sung berkaitan pokok polemik di sini.Apa yang disebut sebagai "kebudayaanJ awa", atau berbagai "kebudayaan daerah" lain pada masa kini saya pahami sebagai· realitas yang hakikatnya sarna dengan kebudayaan nasional itu. Lewat berbagai proses sosial yang rumit, berbagai "kebudayaan dae- Oleh Ariel Heryanto rah" itu pada awalnya, atau pada hakikatnya atau pada umumnya, merupakanprodukdarikaum"ori- entalis" kolonial maupun "pribu- mi". Kononkabarnya, di Madurakita tak akan menemui apa yang di lu- ar Madura (misalnya di Jawa)ter- kenaI sebagai "Soto Madura". Di beberapa universitas dan ruang seminar di Kota Leiden, Ithaca, Sydney, atau bahkan Yogyakarta dan Solo orang memperbineang- kan, dengan atau tanpa seilgaja jugaMENGADA( -ADA-)KAN "ke- budayaan Jawa", sesuatu yang mungkin sulit dijumpai di dalam kehidupan nyata sehari-hari di Pulau Jawa atau mana pun di bumi ini. Taman £bini Indonesia Indah dan TVRI hanyalah seba- gian kecil dari banyak pusat pro- duksi "pengada-adaan" berbagai kebudayaan daerah itu. Sebagai- mana halnya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa men- jadi salah satu pusat pengada- adaan sebuah "bahasa nasional" yang sulitOjda'lttllr pereakapan orang sehari-hari di mana pun di dunia. Dengan resep dan metode yang inirip (tidak persis), kita menge- nal adanya "kepribadian Timur": KONONNYA sopan, ramah, ber- jiwa gotong-royong, suka senyum dan mengalah biar pun diinjak- injak, toleran, taat kepada Tu- han, selalu menahan nafsu seks, tahan penderitaan dsb. Atau "ke- budayaan Barat" yang sebaliknya dari "Timur" tadi. Dengan cara ti- dak terlalu berbeda kitakenal per- bedaan yang tajam antara (kelpria(-an) dan (ke-)wanita( -an). Juga beda antara pribumi dan non-pribumi. Mengulangi yang telah saya se- butkan dalam artikel terdahulu: perilaku mengada-ada dan fiksi yang dihasilkannya bukanlah se- suatu yang secara prinsip di da- lam dirinya sendiri dapat dikata- kan jelek, tereela, atau merugi- kan. Tidak. Hal-hal itulah yang membedakan manusia dari bina- tang, tumbuhan atau tembok. Per- soalan serius muneul perbuatan mengada-ada. ' -' kata. disadari atau diingkari seba- gai fakta, walau pe,rbedaan dan t'<t< .. t:'!";.d·l r,J",\.' ·\.2 pertentangan "fiksi versus fakta" itu sendiri dapat dipahami seba- gai suatu fiksi yang real dan fak- tual. Pemalsuan itu sendiri merupa- kan salah satu kemahiran khas dari makhluk berbudaya dari za- man ke zaman. Nasion merupa- kan salah satu wujud hasil karya budaya manusia modern. Dalam bahasa yang super-na- sionalis, Suripanmembantahper- nyataan bahwa nasion itu seke- dar fiksi. Dikatakannnya, pera- yaan HUT Proklamasi sebagai bukti empirik konkretnya. Gatot- kaea, Superman, dan Tarzan bagi saya tetap kokoh fiksi walau ada pertunjukan wayang, bukukomik dan filem yang konkret tentang sepak teIjang para tokoh fiksi itu. Tulis Suripan: "bagi bangsa In- donesia, nasionalisme dan kebu- dayaan nasional bukan masalah fiksi dan bukan fiksi, tetapi meru- pakan cita-cita yang luhur." Per- soalan keluhuran saya tak akan berbantah. Tapisesungguhnyaitu pendapat siapa?Benarkah penda- pat "bangsa Indonesia" (seandai- nya benar ada pihak yang dapat disebut demikianl? Atau peridapat Suripan sendiri yang di-fiksi-kan mengatasnamakan pendapatnya sebagai pendapat bangs a Indone- sia? Kita tak perlu menguji hal ini pada 180 juta warga negara Indo- nesia. Sedangkan di antara 6 penulis yang terlibat dalam pole- mik ini (yang tak "kurang Indone- sia" daripadanyal, Suripan ada- lah satu-satunya yang berpendi- rian seekstrem itu. Kehadiran dan pendirian Suripan sekaligus men- jadi simbol yangmembantah opti- misme Romo Mangunwijaya pada ekstrem lain. Ataukah Romo Ma- ngunwijaya akan mengeeap Suri- pan sebagai sisa-sisa generasi 45/ 66 yang dinilainya ketinggalan zaman? Lingkup Budaya Nasional Pada tulisan yang lalu saya se- butkan beberapa definisi yang do- minan untuk "kebudayaan nasio- nal", sambil menyadari betapa ba- nyaknya ragam definisi yang lain dan betapa mubazir untuk me- ngulanginya kembali di sini. Terlepas dari berbagai aneka ra- gam definisi itu, satu pengertian pokok tak bisa dilepaskan dari konsep "kebudayaan nasional": lingkupnya! Lingkup kebudayaan Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: dinhkien

Post on 02-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

JAWA POS, JUMAT WAGE 24 AGUSTUS 1990

-- --

Tanggapan atas Tanggapan Tulisan Saya (1)

Globalisasi: Pudarnya'

Dua seri artikel yang diturun­kan hari ini dan besok adalah hilk Drs Ariel Heryanto MSc dalam polemik Nasionalisme Kebudaya­an. Pada hari lain para penanggap yang ikut berpolemik akan kem­bali menanggapinya. Redaksi.

Sejumlah persoalan mendasar masih belum terbongkar dari se­rangkaian artikel tentang kebu­dayaan nasional di harian ini (30 Juli - 4 Agustus 1990). Tulisan berikut meneoba meneatat hal­hal itu dalam dua bagian. Pada bagian pertama ini, perkenankan saya mempertegas sejumlah pe­ngertian dan persoalan dasaryang menjadi titik berangkat untuk pembahasan kita selama ini. Pada bagi,an kedua, saya akan meneo­ba menguraikan secara rinei tang­gapan balik saya terhadap tang­gapan para penulis lain. Biarlah polemik ini berakhir dengan se­jumlah pertanyaan dan masalah. Konsep & Persoalan Dasar

Ungkapan kunei "kebudayaan nasional" dalam polemik ini terdi­ri atas dua kata yang seeara sen­diri-sendiri mengidap benih pole­mik besar dan rumit. Apakah ka­pan dan di mana benih itu tum­buh dan berkembangmenjadi sua­tu polemik bergantung pada se­jumlah perihal lain. Dalam pole­mik ini saya lebih banyak membe­rikan perhatian pada problema­tika kata kedua dari ungkapan­ungkapan kunei itu: "nasion(al)".

Pada pokoknya, saya berpanda­ngan bahwa kebudayaan nasio­nal itu ti4~~da, tidak pernah dan tida~'effiah ada. Setidak-ti­daknya, begitulah pandangan sa­ya tentang "kebudayaan nasional" dalam pengertian yang beraneka dan selama ini dipakai dalam per­bincangan kebanyakan orang. De­ngan demikian, pandangan ini berbeda dari pendapat bahwa ke­budayaan nasional itu keberada­annya masih tidaklbelum jelas atau belum bisa dirumuskan sec a­ra tegas.

Pandangan saya di atas berkait­an dent£an pandangan tentang "nasion.,;-'atau "bangsa" yang saya ambil dari orang-orang lain: apa yang selama ini banyak disebut orang sebagai nasion atau bangsa pada hakikatnya merupakan fik­si, suatu realita imajinatif yang kemudian diperbincangkan dan

Bangsa-Negara?

dihayati seakan-akan lebih kon­kret dan objektif daripada haki­katnya sebagai fiksi itu.

Kita telanjurterlalu seringmem­biearakan suatu "nasion" atau "bangs a" seakan-akan sebagai su­atu kenyataan objektif yang kebe­radaanya di luar angan-angan atau imajinasi manusia.

Bahkan, secara ekstrem tidak sediki~yang beranggapan bahwa kebangsaan seseorang, misalnya "Indonesia" atau "Malaysia", me­rupakan takdir atau anugerah Ila­hi. Suatu kenyataan yang harus atau patutditerima tanpadiperta­nyakan. Bahkan dibela mati-ma­tian. Seperti takdir mengapa di antarakitaadayangbersukuBali, Batak, Sunda, atau Jawa. Atau takdir meng{l;mi!l:ita dilahirkan abad 20 dan~s'f)1fuluh abad yang lalu atau yang akan datang. Me­ngapa kita dilahirkan dengan pe­nis atau vagina.

Dalam hal ini saya gembira se­kali menjumpai pandangan Romo Mangunwijaya yang menekankan bahwa adanya nasion(alitasl itu merupakan produk sejarah, da­lam suatu tahapanyangtidak aba­di. Kalau boleh saya rumuskan dalam bahasa sendiri, ada zaman munculnya bangsa-bangsa di du­nia, ada pula zaman pudarnya bangsa-bangsa itu pada tahap se­jarah yang lain. Bahkan, menu­rut Romo, tahap yang btlakangan ini sudah tiba.

Yang mungkin berbeda di anta­ra pandangan kami ialah ten tang hakikat dan keberadaan nasion itu sendiri. Bagi Romo Mangunwi­jayakebudayaan nasional itu "ada dan sekaligus mengada-ada". Bagi saya nasion dan kebudayaan na­sional pada hakikatnya hanya da­pat dikatakan ada KARENA (bu­kan "dan"l diada-adakan dan di­angankan ada. Yang ada ialah su­atu (mis-)representasi untuk re­alitas yang diangankan sebagai realitas objektif dan mandiri dari benak man usia.

Saya ingin. menambahkan con­toh lain yang mungkin tidak lang­sung berkaitan pokok polemik di sini.Apa yang disebut sebagai "kebudayaanJ awa", atau berbagai "kebudayaan daerah" lain pada masa kini saya pahami sebagai· realitas yang hakikatnya sarna dengan kebudayaan nasional itu. Lewat berbagai proses sosial yang rumit, berbagai "kebudayaan dae-

Oleh Ariel Heryanto

rah" itu pada awalnya, atau pada hakikatnya atau pada umumnya, merupakanprodukdarikaum"ori­entalis" kolonial maupun "pribu­mi".

Kononkabarnya, di Madurakita tak akan menemui apa yang di lu­ar Madura (misalnya di Jawa)ter­kenaI sebagai "Soto Madura". Di beberapa universitas dan ruang seminar di Kota Leiden, Ithaca, Sydney, atau bahkan Yogyakarta dan Solo orang memperbineang­kan, dengan atau tanpa seilgaja jugaMENGADA( -ADA-)KAN "ke­budayaan Jawa", sesuatu yang mungkin sulit dijumpai di dalam kehidupan nyata sehari-hari di Pulau Jawa atau d~ mana pun di bumi ini. Taman £bini Indonesia Indah dan TVRI hanyalah seba­gian kecil dari banyak pusat pro­duksi "pengada-adaan" berbagai kebudayaan daerah itu. Sebagai­mana halnya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa men­jadi salah satu pusat pengada­adaan sebuah "bahasa nasional" yang sulitOjda'lttllr pereakapan orang sehari-hari di mana pun di dunia.

Dengan resep dan metode yang inirip (tidak persis), kita menge­nal adanya "kepribadian Timur": KONONNYA sopan, ramah, ber­jiwa gotong-royong, suka senyum dan mengalah biar pun diinjak­injak, toleran, taat kepada Tu­han, selalu menahan nafsu seks, tahan penderitaan dsb. Atau "ke­budayaan Barat" yang sebaliknya dari "Timur" tadi. Dengan cara ti­dak terlalu berbeda kitakenal per­bedaan yang tajam antara (kelpria( -an) dan (ke-)wanita( -an). Juga beda antara pribumi dan non-pribumi.

Mengulangi yang telah saya se­butkan dalam artikel terdahulu: perilaku mengada-ada dan fiksi yang dihasilkannya bukanlah se­suatu yang secara prinsip di da­lam dirinya sendiri dapat dikata­kan jelek, tereela, atau merugi­kan. Tidak. Hal-hal itulah yang membedakan manusia dari bina­tang, tumbuhan atau tembok. Per­soalan serius muneul ma~~<), perbuatan mengada-ada. ' -' kata. disadari atau diingkari seba­gai fakta, walau pe,rbedaan dan t'<t< .. t:'!";.d·l 1'r,~:~"JlVj=, r,J",\.' ·\.2

pertentangan "fiksi versus fakta" itu sendiri dapat dipahami seba­gai suatu fiksi yang real dan fak­tual.

Pemalsuan itu sendiri merupa­kan salah satu kemahiran khas dari makhluk berbudaya dari za­man ke zaman. Nasion merupa­kan salah satu wujud hasil karya budaya manusia modern.

Dalam bahasa yang super-na­sionalis, Suripanmembantahper­nyataan bahwa nasion itu seke­dar fiksi. Dikatakannnya, pera­yaan HUT Proklamasi sebagai bukti empirik konkretnya. Gatot­kaea, Superman, dan Tarzan bagi saya tetap kokoh fiksi walau ada pertunjukan wayang, bukukomik dan filem yang konkret tentang sepak teIjang para tokoh fiksi itu.

Tulis Suripan: "bagi bangsa In­donesia, nasionalisme dan kebu­dayaan nasional bukan masalah fiksi dan bukan fiksi, tetapi meru­pakan cita-cita yang luhur." Per­soalan keluhuran saya tak akan berbantah. Tapisesungguhnyaitu pendapat siapa?Benarkah penda­pat "bangsa Indonesia" (seandai­nya benar ada pihak yang dapat disebut demikianl? Atau peridapat Suripan sendiri yang di-fiksi-kan mengatasnamakan pendapatnya sebagai pendapat bangs a Indone­sia?

Kita tak perlu menguji hal ini pada 180 juta warga negara Indo­nesia. Sedangkan di antara 6 penulis yang terlibat dalam pole­mik ini (yang tak "kurang Indone­sia" daripadanyal, Suripan ada­lah satu-satunya yang berpendi­rian seekstrem itu. Kehadiran dan pendirian Suripan sekaligus men­jadi simbol yangmembantah opti­misme Romo Mangunwijaya pada ekstrem lain. Ataukah Romo Ma­ngunwijaya akan mengeeap Suri­pan sebagai sisa-sisa generasi 45/ 66 yang dinilainya ketinggalan zaman? Lingkup Budaya Nasional

Pada tulisan yang lalu saya se­butkan beberapa definisi yang do­minan untuk "kebudayaan nasio­nal", sambil menyadari betapa ba­nyaknya ragam definisi yang lain dan betapa mubazir untuk me­ngulanginya kembali di sini.

Terlepas dari berbagai aneka ra­gam definisi itu, satu pengertian pokok tak bisa dilepaskan dari konsep "kebudayaan nasional": lingkupnya! Lingkup kebudayaan

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

nasional berada di antara dua ba­tasan: "Kebudayaan daerah" dan "kebudayaan asing".

Ia tak bisa terpusat pada salah satu bagian saja dari komunitas yang disebut bangsa atau nasion. Ia harus tersebar, walau tidak se­cara menyeluruh atau merata, ke baijian-bagian lain dari bangsa itu: Tapi penyebarannya ini ha­rusjuga terbatas, walau tidak se­cara mutlak, pada wilayah bangsa itu sendiri. Bukan sesuatu yang 0

tersebar ke seluruh bangsa-bang­sa di bumi ini. Dalam istilah Romo Mangunwijaya; kebudayaan na­sional semestinya berlingkup "pas­ca-suku" atau lintas-suku tapi se­kalig1.is tidak sampai meluber menjadi global atau internasiona!.

Dapatlah dimaklumi bila kebu­dayaan nasional akibatnya telan­jur sering dipertentangkan de­ngan dua kategori pengapitnya: "kebudayaan daerah" dan "kebu­dayaan asing". Reaksi terhadap pertentangan ini sudah banyak dan seringkali keras.

Upacara tradisional di sekitar puri Bali atau kraton Yogyakarta, misalnya, tidak dikatakan, diakui, atau diharapkan banyak pihak sebagai kebudayaan nasiona!. Ba­nyak yang menyebutnya kebuda­yaan daerah. Tidak semua pahla­wan yang memberontakmelawan pemerintah Hindia Belanda dapat dikatakan sebagai "pahlawan na­sional".

Dengan batas pengertian yang tegas demikian, sulit dipahami kaitan nasionalisme dengan peIju­angan petani Kedungombo atas hak atas tanah dan nama baik mereka, sebagaimana yang diurai­kan Romo Mangunwijaya. Sarna anehnya dengan para pejabat yangmenghubung-hubungkan rendahnya kadar "nasionalisme" seseorang dengan pembangkang­nya sebagai korban penggusuran tanah. Tuduhan serupa dilakukan Suripan terhadap makelar tanah. Adakahhal-hal ini berkaitan seca­ra mendasar dengan "nasionalis­me"?

Karena kesal terhadap meluas­nya sikap antikebudayaan asing yang berlebihan, banyak orang membenarkan rumusan kebuda­yaan nasional Indonesia dalam bentukanekacampuran unsurke­budayaan. Jaya Suprana, juga Darmanto Jatmart, adalah con­

o (Bersamb. keoHal. VI koll)

Globalisasi: ..... tohnya. mat atau struktur dan wujud a-

Untuk saya pribadi, memang khir dari percampuran itu. Per­tidak penting dari mana sumber mintaan ini tidak berlebihan. asli suatuunsurbudaya. Didunia Unsur budaya Islam yang ma­ini tidak ada satu pun kebu- suk ke Indonesia bisa mencip­dayaan yang "murni", bebas dari takan campuran budaya yang pengaruh kebudayaan lain. Tapi berbeda dari yang masuk ke Ma­apakah semua macam campur- laysia, Pakistan, atau Iran. Apa anbudayayangdiimporl<mgsung yang disebut "demokrasi" di In­dapat dikatakan sebagai ke- donesia bisa berbeda dari apa budayaan Indonesia? Apakah cu- yang disebut democracy oleh kup jelas dan meyakinkan jika bangsa Australia atau Amerika dikatakan bahwa kebudayaan Serikat. Sebagaimana halnya "so­nasional kita adalah "gado-gado sialisme" dan "komunisme" da­kebudayaan" dari berbagai sum- lam percakapan sehari-hari 0-ber? Jelas tidak! rang Indonesia mas a kini mung-

Untuk kejelasan konseptual,ji- kin bisa sangat berbeda dari apa ka ada yang dapat disebut "ke- yang disebut socialism dan com­bu~ayaaI.1 nasiona!" Indonesia munism oleh bangsa-bangsa E­setIdak-tId~knya kIta berharap ropa atau juga bahkan bisa ber-' campuran ItU tetap punya ke-· bedadariyangdimaksudkanoleh khas-an. Bukan unsur-unsurnya para pendiri Replublik Indone­yang harus "asli" atau "khas" sia ini sendiri. Indonesia, tapi resep atau for- Merica, garam, dan bilwang bisa

(Sambungan dari Hal IV) menjadi bumbu aneka masakan dari berbagai bangsa. Namun kita toh tetap bisa membedaka~ rendang, dari gado-gado, capjay, kebab, martabak atau pizza wa­lau unsur-unsur merica-garam­bawang itu bisa ada pada semua masakan itu. Persoalannya, a­dakah yang dapat disebut ke­budayaan nasional (khas) Indo­nesia. Tak peduli apa dan dari mana unsur-unsur campuran di dalamnya?

Paradoks Saya cenderung menjawab per­

tanyaan di atas "sulit sekali" atau "kemungkinan besar tidak". Per-soalannya kemudian, mengapa hal itu tidak atau sulit ada? Da­patkah itu dijelaskan, minimal secara teoretik atau hipotetik?

~ersambung)

0_--"

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>