ggkronik dira

37
PENGATURAN PROTEIN PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS Pembimbing: Prof. Dr. dr. Harun Al Rasjid, Sp.PD, Sp.GK Oleh: Alfina Rahmina R.D. 080100052 Sheila Nabila Asepty 080100116 Ardiana Annisa 080100171 Dira Wahyuni Siregar 080100174 Shalini Shanmugalingam 080100402 DEPARTEMEN ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN ii

Upload: shalini-shanmugalingam

Post on 25-Jul-2015

146 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ggkronik Dira

PENGATURAN PROTEIN PADA PASIEN

GAGAL GINJAL KRONIS

Pembimbing:

Prof. Dr. dr. Harun Al Rasjid, Sp.PD, Sp.GK

Oleh:

Alfina Rahmina R.D. 080100052

Sheila Nabila Asepty 080100116

Ardiana Annisa 080100171

Dira Wahyuni Siregar 080100174

Shalini Shanmugalingam 080100402

DEPARTEMEN ILMU GIZI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2012

KATA PENGANTAR

ii

Page 2: Ggkronik Dira

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia

dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada

waktunya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang

pengertian gagal ginjal kronis, cara mendiagnosa, serta tatalaksana pasien dengan

gagal ginjal terutamanya pengaturan diet protein yang optimal bagi para

penderita.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff pengajar Departemen

Ilmu Gizi terutama Prof. Dr. dr. Harun Al Rasjid, Sp.PD, Sp.GK atas segala

bantuan yang telah diterima selama penyusunan makalah ini. Penulis menyadari

bahwa penulisan makalah ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari

kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karenanya,

penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan

makalah ini.

Medan, 13 Juni 2012

Penulis

DAFTAR ISI

iii

Page 3: Ggkronik Dira

KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................6

1.1. Latar Belakang......................................................................................6

1.2. Tujuan Penulisan...................................................................................7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................8

2.1. Gagal ginjal kronis................................................................................8

2.1.1. Definisi................................................................................................8

2.1.3. Klasifikasi...........................................................................................8

2.1.4. Etiologi.....…………………………………………………......9

2.1.5. Patogenesis.........................................................................................9

2.1.6. Gejala Klinis.......................................................................................11

2.1.7. Patofisiologi.....................................................................................11

2.1.8. Diagnosa …………………………………………....................13

2.1.9. Terapi Diet Rendah Protein...........................................................16

2.1.10. Prognosis........................................................................................19

BAB 3 KESIMPULAN & SARAN.................................................................................20

3.1. Kesimpulan.........................................................................................20

3.2. Saran....................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22

iv

Page 4: Ggkronik Dira

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi

yang progresif dan irreversible karena kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit

(Siregar, 2011 ). Penyakit ini merupakan sindrom klinis yang terjadi pada stadium

gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan terapi

pengganti (Soeparman, 2003). Meningkatnya angka kegemukan, diabetes dan

tekanan darah tinggi sangat mempengaruhi peningkatan resiko gagal ginjal.

Pasien didiagnosa gagal ginjal kronis di seluruh dunia diestimasi sebanyak 1,1

juta setiap tahun dan jumlah ini meningkat sebanyak 7% setiap tahun (Mahon A.,

2006). Jika angka kejadian gagal ginjal kronis berterusan seperti ini, angka

kejadian gagal ginjal kronis akan melebihi 3 juta sebelum tahun 2015 (Xue J.,

2001) dan (Kua H.W., 2007). Penyebab paling sering gagal ginjal kronis adalah

diabetik nefropati (Mahon A., 2006). Menurut data National Kidney Foundation

yang dirilis pada tahun 2008 menyatakan insidensi dan pervalansi gagal ginjal

kronis di seluruh dunia dan Amerika semakin meningkat dan pasien gagal ginjal

kronis sangat membutuhkan terapi diet protein berbanding terapi farmakologi

karena terapi farmakologi hanya dapat menterapi simptomatik pasien gagal ginjal

kronis.

Menurut Annual Data Report United States Renal Data System yang dirilis pada

tahun 2009, memperkirakan prevalensi gagal ginjal kronis mengalami

peningkatan hampir dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1998-2008. Hal

5

Page 5: Ggkronik Dira

tersebut juga terjadi di Indonesia yaitu diperkirakan mengalami peningkatan

sebesar 8 % tiap tahun. Data yang diterima dari RSU dr. Soetomo Jakarta pada

tahun 2004-2006, diperkirakan tiap tahun ada 2.000 pasien baru dengan kasus

gagal ginjal. Dari data tersebut didapat bahwa sekitar 60-70% dari pasien tersebut

berobat dalam kondisi sudah masuk tahap gagal ginjal terminal sehingga pasien

harus bergantung pada mesin cuci darah (hemodialisis) seumur hidup (Winata,

2007).

Berdasarkan hasil survei Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI)

tahun 1990 sampai 1992 menunjukkan bahwa 13% dari sekitar 50.000 orang

pasien rawat inap di rumah sakit di seluruh Indonesia menderita gagal ginjal.

Penderita gagal ginjal akhir/terminal di Indonesia bertambah sekitar 100 orang

pasien setiap 1 juta penduduk/tahun dan hanya 3000 orang yang menjalani terapi

dialisis dari 150 ribu orang penderita gagal ginjal di Indonesia saat ini (Sapri,

2004).

Penyakit ginjal tahap akhir biasanya ditandai dengan test klirens kreatinin rendah.

Penderita dengan test klirens kreatini <15 ml/menit dianjurkan untuk menjalani

terapi pengganti, salah satunya adalah dengan dialisis. Tindakan dialisis

merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien

bertujuan menurunkan kadar ureum, kreatinin dan zat toksik lainnya dalam darah

(Siagian, 2010).

Penanganan penyakit gagal ginjal seperti sebuah tindakan dalam fungsinya, yang

umumnya tidak hanya satu, tetapi banyak komponen nutrisi yang perlu dikontrol

(Siagian, 2010).Salah satunya pengaturan pola makan atau diet pada penderita

gagal ginjal. Pengobatan ini merupakan anjuran yang harus dipatuhi oleh setiap

penderita gagal ginjal selain terapi dialisis/cuci darah atau transplantasi ginjal.

Pentingnya pengaturan pola konsumsi pangan penderita gagal ginjal dilakukan

6

Page 6: Ggkronik Dira

untuk membantu mengurangi kerja ginjal yang tidak dipatuhi dapat meningkatkan

angka mortalitas pasien gagal ginjal (Lumenta, 1992).

Terapi nutrisi pada penderita gagal ginjal dapat digunakan sebagai terapi

pendamping (komplementer) utama dengan tujuan mengatasi racun tubuh,

mencegah terjadinya infeksi dan peradangan, dan memperbaiki jaringan ginjal

yang rusak. Caranya adalah diet ketat rendah protein dengan kalori yang cukup

untuk mencegah infeksi atau berkelanjutannya kerusakan ginjal. Kalori yang

cukup agar tercapainya asupan energi yang cukup umtuk mendukung kegiatan

sehari-hari, dan berat badan normal tetap terjaga (Siagian, 2010).

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat

kelulusan di dalam Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara, Medan.

Selain itu, makalah ini juga dapat digunakan sebagai panduan klinisi dalam

mengidentifikasi, mendiagnosa terutamanya terapi diet protein pada pasien

dengan gangguan ginjal kronis.

7

Page 7: Ggkronik Dira

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali

dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan

cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau

produksi urin ( Siregar, 2010).

Menurut Brunner & Suddath (2001), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap

akhir merupakan gangguan funggsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan

cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain

dalam tubuh).

Klasifikasi

The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) mengklasifikasikan

gagal ginjal kronis sebagai berikut :

Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR >90 mL/min/1.73 m)

Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 mL/min/1.73 m)

Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m)

Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m)

Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 mL/min/1.73 m)

Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan

ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal

(Arora, 2009).

8

Page 8: Ggkronik Dira

Etiologi

Angka perjalanan ESRD hingga tahap terminal dapat bervariasi dari 2-3 bulan

hingga 30-40 tahun. Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi

menjadi tujuh kelas seperti table berikut ini ( Brunner & Suddarth, 2001).

No Klasifikasi Penyakit Penyakit

1 Penyakit infeksi tubule interstitial Pielonefritis kronis dan refluks nefropati

2 Penyakit peradangan Glomerulonefritis

3 Penyakit vascular hipertensi Nefrosklerosis benign, Nefrosklerosis maligna

dan stenosis arteri renalis

4 Gangguan congenital dan

herediter

Penyakit ginjal polikistik dan asidosis tumulus

ginjal

5 Penyakit metabolic Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme dan

amiloidosis

6 Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesic dan nefropati timah

7 Nefropati obstruktif Batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal,

hipertropi prostat, striktur urethra

Patogenesis

Gagal ginjal kronis adalah kehilangan progresif diassosiasi dengan penyakit

sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit ginjal intrinsik

termasuk glomerulonefritis, pielonefritis kronik, uropati obstruksi atau

gangguan vaskuler (Hueter S.E., 2010) dan ( Bargman J.M., 2008).

National Kidney Foundation mendefinisikan gagal ginjal apabila filtrasi

glomerulus sudah kurang dari 60ml/min/1.73 m2 untuk 3 bulan atau lebih

(Alpers. C. E., 2010) dan (Yaqoob M., 2005). Gagal ginjal kronis penurunan

filtrasi glomerulus dan fungsi tubular dengan perubahan dimanifestasi

seluruh sistem organ (Bargman J.M., 2008).

9

Page 9: Ggkronik Dira

Hipertensi dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis dimana kondisi

hipertensi dapat merusak langsung nefron karena kondisi hipertensi akan

menyebabkan perfusi ke ginjal berkurang sehingga menyebabkan iskemia

(Hueter S.E., 2010), (Yaqoob M., 2005) dan (Bargman J.M., 2008).

Kehilangan nefron akan menyebabkan peningkatan angiotensin II akibat

kurang perfusi akan menyebabkan sel juxtaglomerulus untuk mengeluarin

renin yang akan mengaktifkan angiontensin II (Hueter S.E., 2010) dan

(Bargman J.M., 2008). Semua ini akan menyebabkan hipertensi kapilari

glomerulus dan menyebabkan peningkan filtrasi dan permeabilitas di

glomerulus sehingga dapat menyebabkan proteinuria (Hueter S.E., 2010) dan

(Bargman J.M., 2008). Kondisi proteinuria akan meningkatkan reabsorpsi

protein di tubular yang akan menyebabkan inflammasi dan fibrosis

tubulointerstitial (Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008). Semua ini

akan menyebabkan jaringan parut di ginjal dan jika kondisi ini tidak dirawat

akan menyebabkan filtrasi glomerulus menurun (Hueter S.E., 2010) dan

(Bargman J.M., 2008).

Diabetes mellitus adalah kondisi hiperglikemia dimana tubuh akan

menggantikan jalur metabolisme glukosa karena kadar glukosa yang tinggi

dalam darah dan ketidakmampuan untuk metabolisme glukosa mengikut jalur

glikolisis (Alpers. C. E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008). Glukosa

dimetabolisme melalui beberapa jalur, namun metabolisme melalui beberapa

jalur ini akan menyebabkan peningkatan radikel bebas sehingga menyebabkan

terjadi arterioskelerosis di pembuluh darah terutamanya pembuluh darah kecil

di mata dan di ginjal sehingga dapat menyebabkan hipertensi kapilari

glomerulus juga ( Hueter S.E., 2010) dan (Alpers. C. E., 2010).

Penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis, pielonefritis kronik,

uropati obstruksi atau gangguan vaskuler dapat menyebabkan gagal ginjal

10

Page 10: Ggkronik Dira

kronik karena semua ini dapat menyebabkan hipertensi kapilari glomerulus

(Hueter S.E., 2010), (Ortega L.M., 2010) dan (Bargman J.M., 2008).

Gejala klinis

Gejala klinis gagal ginjal kronis (GGK), dari bagian otak gagal ginjal kronis

dapat menyebabkan letargi, kejang, koma (Hueter S.E., 2010), (Bargman

J.M., 2008), (Sakai N, 2010) dan (Ortega L.M., 2010). Manakala pada mata

akan muncul gejala mata merah pada pasien GGK (Hueter S.E., 2010) dan

(Bargman J.M., 2008). Gejala dari hidung dapat timbul pada pasien GGK

adalah epistaksis (Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008). Manakala

pada kulit pasien GGK biasa kelihatan pigmentasi sallow, petekie dan

eksoriasi akibat gatal-gatal di kulit(Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M.,

2008) . Pasien GGK juga akan terjadi pernafasan Kussmaul (Hueter S.E.,

2010) dan (Bargman J.M., 2008). Pasien GGK juga akan mengeluhkan

kelemahan otot serta bengkak pada ekstremitas (Hueter S.E., 2010). Pasien

juga akan kelihatan pucat dan lelah (Robinson B.E., 2006) dan (Hueter S.E.,

2010).

Patofisiologi

Letargi, kejang dan koma terjadi pasien GGK karena uremik ensefalopati

dimana terjadi gangguan filtarsi ureum sehingga ureum yang tinggi didalam

darah yang melewati sawar otak karena ureum (Hueter S.E., 2010), (Bargman

J.M., 2008), (Sakai N, 2010) dan (Ortega L.M., 2010) .

Gejala mata merah dan epistaksis adalah akibat kegagalan aggregasi platelet

di endothelium vasuler karena kadar uremia dalam daerah (Hueter S.E.,

2010), (Filiopoulos V., 2009), (Bargman J.M., 2008) dan (Robinson B.E,

2006)

11

Page 11: Ggkronik Dira

Penurunan filtrasi glomerulus ginjal 25 % atau lebih akan menyebabkan

gangguan metabolisme kalsium dan fosfat (Hueter S.E., 2010), (Chonchol

M.B., 2006) dan (Bargman J.M., 2008). Sintesa 1,25-vitamin D3 (calcitriol)

yang meurun akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di intestinal

serta terjadi peningkatan serum fosfat yang akan berikatan kalsium akibat

penurunan filtrasi glomerulus ginjal (Hueter S.E., 2010) dan (Choncol M.B.,

2006). Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia dimana terjadi

peningkatkan stimulasi sekresi hormon paratirioid untuk memobilisasi

kalsium dari tulang (Hueter S.E., 2010), (Chonchol M.B., 2006) dan

(Bargman J.M., 2008). Kondisi hiperparatirioid dan defisiensi vitamin D

dapat menyebabkan osteomalascia dan fibrosa osteitis dimana terjadi

peningkatan faktor resiko terjadinya fraktur (Hueter S.E., 2010) dan

(Chonchol M.B., 2006). Kondisi ini juga dapat menyebabkan nyeri tulang

karena osteomalascia yaitu perlunakkan tulang sehingga dapat menyebabkan

kelemahan otot (Hueter S.E., 2010) dan (Chonchol M.B., 2006) Residue

hiperparatirioid dan ureum yang disebut sebagai uremic frost akan

menyebabkan iritasi pada nociceptor sehingga impuls dihantar ke talamus

melewati syaraf C dan diinterpretasi di somatosensensori sebagai rasa gatal

(Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008). Ureum juga akan

berakumulasi di kulit membentuk urokrom sehingga menyebabkan pigmentasi

sallow pada kulit pasien GGK (Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008).

Pada pasien GGK terjadi asidosis metabolik karena kadar ureum yang tinggi

sehingga ini akan dikompensasi oleh tubuh dengan menurunkan kadar CO2 di

dalam darah maka pusat pernafasan akan merangsang otot pernafasan untuk

meningkatkan kontraksi sehingga terjadi pernafasaan cepat dan dangkal yaitu

pernafasan Kussmaul (Hueter S.E., 2010) dan (Bargman J.M., 2008) .

Bengkak atau edema pada ekstremitas terjadi akibat penurunan filtrasi

glomerulus sehingga ekskresi natrium juga menurun ini akan menyebabkan

12

Page 12: Ggkronik Dira

tekanan osmotik meningkat sehingga menyebabkan cairan dari pembuluh

darah keluar ke interstitial dan edema ini lebih parah pada ekstremitas bawah

karena dipengaruhi tekanan gravitas (Hueter S.E., 2010), (Filiopoulos V.,

2009) dan (Bragman J.M., 2008).

Gagal ginjal kronik akan menyebabkan kegagalan produksi hormon

eritropoetin sehingga sum-sum tulang tidak dirangsang untuk produksi

eritrosit dan kondisi ini dapat menyebabkan anemia (Bragman J.M., 2008) dan

(Robinson B.E., 2006).

Diagnosa

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan

fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus

(Fritiwi, 2010).

Anamnesis

Anamnesis dimulai dengan menanyakan keluhan pasien, biasanya pasien

GGK mengeluhkan nafsu makan menurun, sesak sepanjang hari dan tidak

dipengaruhi oleh cuaca atau aktivitas (Bragman J.M., 2008). Pada anamnesis

juga perlu ditelurusi riwayat hipertensi, diabetes mellitus, preeclampsia serta

riawayat penggunaan obat-obatan harus ditelerusi (Hueter S.E., 2010). Obatan

yang dapat menyebabkan gangguan ginjal adalah seperti golongan NSAID,

antimikroba, antiviral, PPI, lithium, penicillamine (Bragman J.M., 2008).

Evaluasi sindroma uremik harus ditelerusi tentang nafsu makan, penurunan

berat badan, mual, edema perifer, spasme otot, gatal-gatal di kulit (Bragman

J.M., 2008).

13

Page 13: Ggkronik Dira

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus fokus pada tekanan darah dan organ target yang rusak

akibat hipertensi (Bragman J.M., 2008). Pemeriksaan fisik dimulai dengan

inspeksi, palpasi dan perkusi (Bragman J.M., 2008). Pada inspeksi pasien

GGK, akan didapati mata merah, pasien kelihatan pucat, pasien kelihatan

lemah, adanya pigmentasi sallow di kulit, ada petekie, pernafasaan cuping

hidung, retraksi dada, bengkak pada ekstremitas bawah (Bragman J.M., 2008).

Pada palpasi pasien GGK dapat ditemukan adanya pitting edema (Bragman

J.M., 2008). Pada perkusi pasien GGK akan didapati hasil yang normal

(Bragman J.M., 2008).

Tanda Karakteristik :

-Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) selama periode mulai dari jam

hingga hari.

-Kegagalan mengekskresikan produk limbah nitrogen

-Kegagalan untuk menjaga cairan dan elektrolit homeostasis

(Dursun, Edlestein, 2005)

Penilaian dimulai dari anmnesis lengkap baik auto maupun allo-anamnesis,

ditanyakan bukan hanya keluhan utama penyakit tetai juga riwayat penyakit

yang pernah diderita, riwayat obat-obatan yang digunakan, riwayat

perjalanannya atau lingkungannya, riwayat makan atau minum sebelumnya

dan riwayat kenapa sampai terjadi adanya infeksi ini. Yang tak kalah penting

juga perlu ditanyakan pemakaian prothese seperti katup jantung, kapsul sendi,

lensa tanam, pacu jantung, graft pembuluh darah dan lain-lain. Hal ini karena

sering terjadi interaksi antara benda asing tersebut dengan bakteri maupun

antibodi usila yang menimbulkan infeksi misalnya pada endokarditis

bakterial, artritis terinfeksi. (Sudoyo, 2009).

14

Page 14: Ggkronik Dira

Pemeriksaan fisis lengkap perlu dilakukan organ-perorgan secara teliti,

termasuk keadaan gigi, hidung, telinga dan tenggorokan sampai colok dubur

atau vagina pada wanita. (Sudoyo, 2009).

Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat

penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan

penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup

memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).

2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK).

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan

imunodiagnosis.

3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit.

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin,

dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk

faal ginjal (LFG).

Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,

yaitu:

1) Diagnosis etiologi GGK

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut,

ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi

antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).

15

Page 15: Ggkronik Dira

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal.

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan

ultrasonografi (USG). (Fritiwi, 2010).

Pencitraan

Pencitraan yang penting untuk pasien GGK adalah ultrasound (USG)

ginjal, dengan menentukan apakah kedua ginjal simetris, saiz ginjal,

apakah ada massa di ginjal dan apakah adanya obstruksi (Bragman

J.E., 2008). Pada pasien GGK, akan terjadi atropi ginjal dan jika saiz

masih normal berarti masih penyakit gagal ginjal akut (Bragman J.E.,

2008). Namun pada pasien GGK yang disebabkan oleh diabetik

nefropati, terjadi pembesaran ginjal sebelum terjadi GGK dan

kemudian terjadi penurunan filtrasi glomerulus dan pada kondisi GGK

saiz ginjal adalah normal (Alpers C.E., 2010). Pemeriksaan CT Scan,

MRI dapat dilakukan jika dicurigai adanya massa di ginjal namun

harus dielakkan pemakaian kontras karena ini dapat memperburukan

kondisi gagal ginjalnya (Alpers C.E., 2010).

Biopsi ginjal

Biopsi ginjal ini dilakukan biasanya dengan bantuan USG dan indikasi

biopsi ginjal apabila nefritis interstitial, penurunan filtrasi glomerulus

secara cepat serta jika adanya massa di ginjal (Alpers C.E., 2010).

Terapi diet rendah protein

Diet rendah protein ditujukan untuk mencapai imbangan nitrogen yang

positip. Metabolisme protein dapat disokong dengan pemberian protein yang

mengandung asam amino essensial secara cukup. Pemberian asam amino

essensial dapat dilakukan dengan diet protein nilai biologik tinggi atau

pemberian substitusi semi sintetik. Di samping itu harus diberi kalori yang

16

Page 16: Ggkronik Dira

cukup, yang pada umumnya dapat diberi dalam bentuk glukosa cair (Sidabutar

R.P., 2002).

Asupan protein disesuaikan dengan derajat ganguan fungsi ginjal/ laju filtrasi

glomerulus kurang dari 25%, berdasarkan berbagai hasil- hasil penelitian di

dapatkan bahwa pada GGK di perlukan peranan asupan protein sampai 0,5-

0,6 gr/kg BB/hari, rata- rata 0,5 gr / kg BB/ hari agar tercapai keseimbangan

metabolisme protein yang optimal. Dari protein 0,5 gr/kg BB/hari ini

hendaknya diusahakan sekurang-kurangnya 60% atau 0,35 gr/kg BB/ hari

berupa protein dengan nilai biologik tinggi. Protein dengan nilai biologik

tinggi adalah protein dengan susunan asam amino yang menyerupai aturan

amino essensial dan pada umumnya berasal dari protein hewani (susu, telur,

ikan, unggas, daging tidak berlemak) (Sunita A., 2004).

Pada stadium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi

belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre dialisis.

Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan

medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara

perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang

masih banyak dialami pasien GGK. Faktor penyebab gizi kurang antara lain

adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan,

mual dan muntah (Kresnawan T., 2008).

Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian

melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh

tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri

dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar

terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care)

betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi

optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan

17

Page 17: Ggkronik Dira

elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik

(Kresnawan T., 2008).

Protein dibuat dari 20 asam amino penyusun protein, 11 diantaranya dapat

disintesis oleh tubuh, dan 9 sisanya disebut asam amino esensial yang

diperoleh dari bahan makanan, yaitu Leusin, Isoleusin, Valin, Triptofan,

Fenilalanin, Metionin, Treonin, Lisin dan Histidin. Dari asam amino, 8

diantaranya dibutuhkan oleh orang dewasa, sedangkan Histidin dibutuhkan

oleh anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bahan makanan yang

mengandung semua asam amino disebut lengkap protein, seperti telur, daging,

ikan, susu, unggas, keju. Oleh karena itu, protein hewani biasa disebut sebagai

protein bernilai biologi tinggi. Bahan makanan nabati, misalnya beras dan

kacang-kacangan, mengandung asam amino esensial yang terbatas atau tidak

lengkap. Oleh karena itu, dikatakan mengandung protein bernilai biologi

rendah (Kresnawan T., 2008).

Metode penilaian kualitas protein dahulu menggunakan Protein Efficiency

Ratio (PER) yang berdasarkan respon pertumbuhan pada pemberian sejumlah

protein. Saat ini, penilaian mutu protein digunakan Protein Digestibility

Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) yang menggambarkan jumlah asam

amino dari protein dan tingkat daya cernanya pada manusia. Sumber protein

dari kacang-kacangan dan produk kedelai, seperti tempe, tahu, susu acang

juga mengandung kalium dan fosfor yang cukup tinggi, sehingga untuk

mencegah hiperkalemia dan hiperfosfatemia tetap dibutuhkan pengikat fosfor

dan kalium yang adekuat. Produk kedelai cukup aman untuk selingan

pengganti protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran.

Akan tetapi tidak untuk suplemen atau tambahan sehingga melebihi

kebutuhan. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu

sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah mengandung

18

Page 18: Ggkronik Dira

phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan banyak keuntungan

pada GGK (Sunita A., 2004).

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapati protein dari kedelai dapat

menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamato cytokines yang

diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal lebuh lanjut.

Penelitian lain mengenai diet dengan protein nabati pada pasien GGK adalah

dapat menurunkan ekresi urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai

pencegah kelainan pada jantung yang sering dialami pada pasien GGK

(Kresnawan T., 2008).

Prognosis

Angka kematian gagal ginjal kronis setiap tahun di seluruh dunia 100,000 dari

1 juta penderita gagal ginjal kronis (Bragman J.M., 2008). Prognosis gagal

ginjal kronis tergantung pada penyakit penyerta namun kematian pasein gagal

ginjal kronis bukan karena filtrasi ginjal yang menurun karena pasien fungsi

filtrasi ginjal dapat diganti oleh dialysis (Yaqoob M., 2005). Prognosis gagal

ginjal kronis juga bergantung pada usia pasien serta kondisi ginjalnya sendiri

(Levey A.S., 2010). Kebanyakkan pasien gagal ginjal kronis mati disebabkan

imun tubuh rendah dan pasien mendapat infeksi nasokomial sehingga menjadi

sepsis (Levey A.S., 2010). Semua pasien gagal ginjal kronis tidak dapat

kembalikan fungsi ginjalnya seperti normal dan hanya bisa melakukan

dialysis untuk menggantikan fungsi ginjalnya (Bragman J.M., 2008).

BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

19

Page 19: Ggkronik Dira

Kesimpulan

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali

dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan

cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau

produksi urin ( Siregar, 2010). Gagal ginjal kronis adalah kehilangan progresif

diassosiasi dengan penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi,

penyakit ginjal intrinsik termasuk glomerulonefritis, pielonefritis kronik, uropati

obstruksi atau gangguan vaskuler (Hueter S.E., 2010) dan ( Bargman J.M.,

2008). The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)

mengklasifikasikan gagal ginjal kronis 5 stadium yaitu; stadium 1 : kerusakan

masih normal (GFR >90 mL/min/1.73 m), stadium 2 : ringan (GFR 60-89

mL/min/1.73 m), stadium 3 : sedang (GFR 30-59 mL/min/1.73 m), stadium 4 :

gagal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73 m), stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR

<15 mL/min/1.73 m). Gejala klinis pada pasien GGK adalah letargi, kejang,

penurunan kesadaran, mata merah, epistaksis, gatal-gatal di kulit, pigmentasi

sallow di kulit, nafas yang berbau, pucat, mudah lelah, pernafasaan Kussmaul,

kelemahan otot, dan bengkak pada ekstremitas (Bragman J.M., 2008). Diagnosis

GGK yang dilakukan adalah anamesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium, pencitraan dan biopsi ginjal dan yang penting menegakkan

diagnosis GGK adah tes kliren kreatinin (TKK) itu seharusnya kurang dari 25

ml/menit (Hueter S.E., 2010). Terapi konservatif diberikan pada pasien gagal

ginjal kronis yaitu diet dan obat diberikan jika TKK < 25 ml/menit (stadium IV)

(Kresnawan T., 2008). Diet yang diberikan adalah rendah protein dan cairan

serta elektrolit harus disesuaikan dengan pasien (Kresnawan T., 2008) . Diet

rendah protein , sumber protein sebagai lauk pauk tidak hanya bersumber dari

protein hewani, dapat digunakan hasil olahan kedelai untuk pengganti sumber

protein hewani sebagai variasi menu (Kresnawan T., 2008). Asupan protein yang

20

Page 20: Ggkronik Dira

konsisten dan terkendali adalah penting untuk meningkatkan kualitas hidup

pasien (Kresnawan T., 2008).

Saran

Pasien harus segera melakukan pemeriksaan jika pengeluran urin sudah mulai

kurang walaupun intake banyak. Pasien gagal ginjal kronik yang diterapi

dengan diet protein rendah harus mengikutin diet tersebut supaya kualitas

hidup pasien dapat tingkatkan. Pasien gagal ginjal kronis juga harus

membatasi garam dan air supaya tidak menyebabkan komplikasi gagal

ginjalnya. Pasien gagal ginjal kronis juga harus mengambil suplemen

piridoksin, asam folat, vitamin C dan vitamin D supaya dapat memperbaiki

kualitas hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 21: Ggkronik Dira

Alpers. C. E., 2010. The Kidney. In: Kumar V., Abbas A.K., Fausto N., Aster J.C.,

Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease 8th edition.

Philadelphia:Elsevier Saunders, 904-935.

Arora, P., 2009. Chronic Renal Failure. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview [10 Juni 2012].

Bargman J.M., Skorecki K., 2008. Chronic Kidney Disease. In: Fauci A.S., Braunwal

E., Kasper D.L., Hauser S.L., Longo D.L., Jameson J.L., Loscalzo J.,

Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition. New York: Mc Graw-

Hill, 1761-1781.

Brunner & Suddarth., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (terjemahan,

volume II). Jakarta : ECG.

Chonchol M.B., 2006. Secondary Hyperparathyroidism in Chronic Kidney Disease.

US Renal & Genito-urinary Disease. 3(1): 11-15.

Dursun, B., Edelstein, C.L. Acute Renal Failure. Core Curicullum in Nephrology.

Available from:

http://www.uphs.upenn.edu/renal/renal%20curr%20pdfs/ARF.pdf [Accessed

on 10 juni 2012].

Filiopoulos V., Vlassopoulos D., 2009. Inflammatory Syndrome in Chronic Kidney

Disease: Pathogenesis and Influence on Outcomes. Journal Inflammation &

Allergy-Drug Targets. 8(1): 369-382.

Fritiwi., 2010. Hubungan Kepatuhan Pasiaen Hemodialisa dengan Perilaku

Terhadap Penyakit Gagal Ginjal. Universitas Sumatera Utara. Available

22

Page 22: Ggkronik Dira

from: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16742/.../Chapter%20II.pdf

[Accessed on 05 Juni 2012].

Huether S.E., Forshee B.A., 2010. Alterations of renal and urinary tract function. In:

McCance K.L., Huether S.E., Brashers V.L., Rote N.S., Pathophysiology the

biologic basis for disease in Adults and Children 6th Edition. Philadelphia:

Elsevier Mosby, 1389-1396.

K/DOQI., 2009. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the

National Kidney Foundation (NKF). Diunduh dari:

http://www.kdigo.org/guidelinescompare/kdoqi.html [10 Juni 2012].

Kuo W.H., Tsai S.S., Tiao M.M., Yang C.Y., 2007. Epidemiological Features of

CKD in Taiwan. American Journal of Kidney Disease. 49(1): 46-55.

Levey A.S., Jong P.E., Coresh J., Nahas M.E., Astor B.C., Matsushita K., et.al.,

2010.The definition, classification and prognosis of chronic kidney disease: a

KDIGO Controversies Conference report. Journal International Society of

Nephrology. 7(1): 1-12.

Lumenta., Nico., et al. 1992. Penyakit Ginjal. Penerbit PT. BPK Gunung Mulia.

Mahon A., 2006. Epidemiology and Classification of Chronic Kidney Disease and

Management of Diabetic Nephropathy. Journal European Endocrine Review.

3(2): 33-36.

Ortega L.M., Fornoni A., 2010. Role of cytokines in the pathogenesis of acute and

chronic kidney disease, glomerulonephritis, and end-stage kidney disease.

International Journal of Interferon, Cytokine and Mediator Research. 2(1):

49-62.

23

Page 23: Ggkronik Dira

Robinson B.E., 2006. Epidemiology of Chronic Kidney Disease and Anemia.

Journal American Medical Directors Association. 7(1): 53-56.

Sakai N., Furuichi K., Shinozaki Y., Yamauchi H., Toyama T., Kitajima S., et.al.,

2010. Fibrocyte are involved in the pathogenesis of human chronic kidney

disease. Journal of Human Pathology. 41(5): 672-678.

Sapri, A., 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan dalam Mengurangi

Asupan Cairan pada Penderita GGK yang menjalani Hemodialisa di RSUD

Dr. H. Abdul Moelek Bandar Lampung. Diunduh dari:

http://www.dostoc.com/docs/6849068/Asuhan-Gagal-Ginjal-Kronik [10 Juni

2012].

Siagian., Albiner., et all. 2010. Gambaran Pola Makan Pasien Gagal Ginjal Kronis

yang Menjalani Hemodialisa Rawat Jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan

Tahun 2009. Diunduh

dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17722 [10 Juni 2012].

Siregar, C., 2010. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien

Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSUP Haji Adam

Malik Medan. Diunduh

dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20218 [10 Juni 2012].

Siregar, C., 2011. Hubungan Peran Perawatan Pelaksana dengan Kualitas Hidup

Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Terapi Hemodialisa di RSUP

Haji Adam Malik Medan. Diunduh

dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27526 [10 Juni 2012].

Soerparman. 2003. Ilmu Penyakit Dalam JiliD II. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

24

Page 24: Ggkronik Dira

Sudoyo, W.A., 2009. Gagal Ginjal Dalam : Sudoyo W.A., Setiyohadi, B., Alwi, I.,

Simadibrata, M., Setiati, S. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing:

886-887.

Winata, S., 2007. Informasi Penyakit Ginjal. Diunduh dari:

http://www.geocities.com/sonnywinata/informasi_ginjal.html [10 Juni 2012].

Xue J., Ma J., Chin Y.E., Wong S.H., Tai T., 2007. A forecast of numbers of

patients with end-stage renal disease in the United States to the year 2010,

Journal Am. Soc. Nephrol. 12(3): 2753-2758.

Yaqoob M.,2005. Renal Disease In: Kumar P., Clark M., Kumar & Clark Clinical

Medicine 6th Edition. London: Elsevier Sauders. 665-681.

25