geomorfology
DESCRIPTION
GeomorfologyTRANSCRIPT
-
BAB II
BENTANG ALAM VULKANIK
Bentang alam vulkanik adalah bentang alam yang proses
pembentukannya dikontrol oleh proses vulkanisme, yaitu proses
keluarnya magma dari dalam bumi. Bentang alam vulkanik selalu
dihubungkan dengan gerak-gerak tektonik. Gunung-gunung api
biasanya dijumpai di depan zona penunjaman (subduction zone)
(Gambar II.1).
II.1 Proses Vulkanisme
Dalam kaitannya dengan bentang alam, gunungapi
mempunyai beberapa pengertian antara lain :
Merupakan bentuk timbulan di permukaan bumi yang
dibangun oleh timbunan material/rempah gunungapi.
Merupakan tempat munculnya material vulkanik lepas
sebagai hasil aktivitas magma di dalam bumi (vulkanisme).
Berdasarkan proses terjadinya ada tiga macam
vulkanisme,yaitu :
1. Vulkanisme Letusan, dikontrol oleh magma yang bersifat
asam yang kaya akan gas, bersifat kental dan ledakan kuat.
Gambar II.1. Zona Penunjaman (Subduction Zone)
-
Vulkanisme ini biasanya menghasilkan material piroklastik
dan membentuk gunungapi yang tinggi dan terjal.
2. Vulkanisme Lelehan, dikontrol oleh magma yang bersifat
basa, sedikit mengandung gas, magma encer dan ledakan
lemah. Vulkanisme ini biasanya menghasilkan gunungapi
yang rendah dan berbentuk perisai, misalnya Dieng, Hawai.
3. Vulkanisme Campuran, dipengaruhi oleh magma intermediet
yang agak kental. Vulkanisme ini menghasilkan gunungapi
strato, misalnya Gunung Merapi dan Merbabu.
Gambar II.2. Macam-macam vulkanisme : (a) Lelehan, (b)
Campuran dan (c) Letusan.
Jenis lava dalam hubungannya dengan erupsi yang bersifat
lelehan dapat dibedakan menjadi dua yaitu, tipe AA dan tipe
pa hoe hoe. Lava AA bersifat skoriaan dan runcing, sedang tipe
pa hoe hoe bersifat halus.
-
Gambar II.3. Jenis lava AA
Gambar II.4. Jenis lava pa hoe hoe
Adanya vulkanisme dapat dicirikan oleh beberapa hal
diantaranya adalah:
1. Mayor : adanya gunungapi
2. Minor : a. Xenolit
b. Volcanic neck
c. Gua lava
d. Ekshalasi : fumarol, solfatar, mofet
-
Gambar II.5. Illustrasi volcanic neck, dike, sill, dll.
Gambar II.6. Illustrasi batholith, xenolith, laccolith,dll.
Faktor yang mempengaruhi bentuk gunungapi dan proses
vulkanisme antara lain :
sifat magma (komposisi, kekentalan)
tekanan (berhubungan dengan jumlah kandungan gas)
kedalaman dapur magma
faktor eksternal (iklim, suhu)
-
II.2 Klasifikasi Gununungapi
Berdasarkan lokasi pusat kegiatan, Rittmann (1962)
membuat klasifikasi letusan gunungapi, yaitu :
1. Letusan pusat (terminal eruption), dimana lubang kepundan
merupakan saluran utama bagi peletusan.
2. Letusan samping (subterminal effusion), akan terbentuk
apabila magma yang membentuk sill sempat menerobos ke
permukaan, pada lereng gunungapi.
3. Letusan lateral (lateral eruption), dimana korok melingkar (ring
dike) dapat berfungsi sebagai saluran magma ke permukaan.
4. Letusan di luar pusat (excentric eruption), terjadi di bagian
kaki gunungapi, dengan sistem saluran magma tersendiri
yang tak ada kaitannya dengan lubang kepundan utama.
-
Gambar II.7. Diagram letusan berdasarkan lokasi pusat kegiatan menurut Rittmann (1962).
-
Escher (1952) mengklasifikasikan tipe letusan berdasarkan
viskositas, tekanan gas dan kedalaman dapur magma menjadi
tujuh tipe (lihat tabel 2.1).
Tabel 2.1 Tipe-tipe letusan gunungapi
-
1. Tipe Hawaii
Tipe Gunungapi ini dicirikan dengan lavanya yang cair dan tipis,
yang dalam perkembangannya akan membentuk tipe gunungapi
perisai. Sifat magmanya yang sangat cair memungkinkan
terjadinya lava mancur, yang disebabkan oleh arus konveksi
pada danau lava. Dimana lava yang banyak mengandung banyak
gas, sehingga bersifat ringan, akan terlempar ke atas, sedang
yang berat (setelah gas hilang) akan tenggelam lagi. Tipe ini
banyak ditemukan di gunungapi perisai di Hawaii, seperti di
Kilauea dan Maunaloa. Di Kilauela terdapat danau lava
Halemaumau dengan pulau-pulau lava beku yang mengapung di
atasnya. Lava mancur pada danau lava ini akan menghasilkan
rambut Pele (Peles hair) dan airmata Pele (Peles tear) yang
mempunyai bentuk-bentuk khas. Meskipun panas yang
dikeluarkan cukup banyak, tetapii permukaan danu lava
senantiasa cair. Tipe Hawii juga didapatkan di Islandia,
dibedakan dengan yang di Hawaii adalah berdasarkan ketinggian
dan besarnya sudut lereng. Di Hawaii tipe ini membentuk
gunungapi yang berketinggian lebih dari 1000 m dan mempunyai
sudut sudut lereng besar, sdang di Islandia umumnya lebih
rendah, bersudut lereng kecil dan membentuk datar tinggi.
2. Tipe Stromboli
Tipe ini sangat khas untuk G. Stromboli dan beberapa gunungapi
lainnya yang sedang meningkat kegiatannya. Magmanya sangat
cair, ke arah permukaan sering dijumpai letusan pendek yang
disertai ledakan. Bahan yang dikeluarkan berupaabu, bom, lapili
dan setengah padatan bongkah lava. Tekanan gas tipe Stromboli
adalah rendah.
3. Tipe Vulkano
Yang sangat khas dari tipe ini adalah pembentukan awandebu
berbentuk bunga kol, karena gas yang ditembakkan ke atas
meluas hingga jauh di atas kawah. Tipe ini mempunyai tekanan
-
gas sedang dan lavanya kurang begitu cair. Dan disamping
dikeluarkan awandebu, tipe ini juga menghasilkan lava.
Berdasarkan kekuatan letusannya, tipe ini dibedakan menjadi
tipe Vulkano kuat (G. Vesuvius, G. Etna) dan tipe Vulkano lemah
(G. Bromo, G. Raung). Peralihan antara kedua tipe inipun
dijumpai, di Indonesia misalnya ditunjukkan oleh G. Kelud dan
Anak Bromo.
4. Tipe Merapi
Dicirikan dengan lavanya yang cair-kental, dapur magma yang
relatif dangkal dan tekanan gas yang agak rendah. Karena sifat
lavanya tersebut, apabila magma naik ke atas melalui pipa
kepundan, maka akan terbentuk sumbat lava atau kubah lava
sementara di bagian bawahnya masih cair. Sumbat lava yyang
gugur akan menyebabkn terjadinya awanppanas guguran.
Sedang semakin tingginya tekanan gas karena pipa kepundan
tersumbat akan menyebabkan sumabat tersebut hancur ketika
terjadi letusan, dan akan terbentuk awanpanas letusan.
5. Tipe Pelee
Tipe ini mempunyai viskositas lava yang hampir sama dengan
tipe Merapi. Tetapi tekanan gasnya cukup besar. Ciri khas tipe
Pelee adalah peletusan gas ke arah mendatar. G. Pelee pernah
meletus pada 8 Mei 1902, menghancurkan kota St. Pierre dengan
serbuan awanpanas bersuhu antara 2100 2300C. Kecepatan
luncurnya yang tinggi, sekitar 150 m/detik, mnyebabkan
penduduk kota tersebut tidak sempat melarikan diri dan 30.000
jiwa menjadi korban.
6. Tipe St. Vincent
Lavanya agak kental, dan bertekanan gas menengah. Pada kawah
terdapat danau kawah, yang sewaktu terjadi letusan akan
dimuntahkan ke luar dengan membentuk lahar letusan. Setelah
danau kawah kosong, disusul oleh hembusan bahan lepas
gunungapi berupa bom, lapili dan awanpijar. Suhu lahar letusan
-
adalah sekitar 1000C. Contoh tipe ini di Indonesia adalah G.
Kelud yang meletus pada tahun 1906 dan 1909.
7. Tipe Perret atau tipe Plinian
Tipe ini dicirikan dengan tekanan gasnya yang sangat kuat,
disamping lavanya yang cair. Bersifat merusak dan diduga ada
kaitannya dengan perkembangan pembentukan kaldera
gunungapi. Peneliti pertama tipe ini adalah Plinius (99 SM), yaitu
terhadap G. Vesivius, sehingga namanya diabadikan untuk tipe
letusan gunungapi. Contoh dari tipe ini adalah G. Vesivius, yang
sebelum meletus mempunyai ketinggian 1.335 m. Tetapi setelah
terjadi letusan, ketinggian sisa hanyalah 1.186 m, sehingga
sekitar 149 m dihembuskan ke atas oleh suatu kekuatan yang
luarbiasa besarnya. Contoh di Indonesia adalah G. Krakatau
yang meletus pada tahun 1883.
Periode kegiatan dan periode istirahat letusan gnungapi
sangat tergantung pada :
1. Kedalaman dan ukuran dapur magma.
2. Besarnya tenaga potensial dalam dapur magma dan besarnya
tenag yang dilepaskan.
3. Kandungan gas dan proses pembentukan gas kembali
(degassing).
4. Besar-kecilnya atau ada-tidaknya gangguan kesetimbangan
atas aspek fisika-kimia.
5. Sifat penyaluran tenaga ke araah permukaan yang
dikendalikan oleh sistem rekahan atau pensesaran.
II.3 Morfologi Gunungapi
Morfologi gununungapi dapat dibedakan menjadi tiga zona
dengan ciri-ciri yang berlainan, yaitu :
a. Zona Pusat Erupsi
- banyak radial dike/sill
- adanya simbat kawah (plug) dan crumble breccia
-
- adanya zona hidrotermal
- endapan piroklastik kasar
- bentuk morfologi kubah dengan pusat erupsi
b. Zona Proksimal
- material piroklastik agak terorientasi
- pada material piroklastik dan lava dijumpai pelapukan,
dicirikan oleh soil yang tipis
- sering dijumpai parasitic cone
- banyak dijumpai ignimbrit dan welded tuff
c. Zona Distal
- material piroklastik berukuran halus
- banyak dijumpai lahar
Gambar II.8. Pembagian zona pada gunungapi
II.4 Macam-macam Bentang Alam Vulkanik
Bentang alam vulkanik dibedakan menjadi beberapa
macam dengan dasar klasifikasi kenampakan visual
morfologinya. Srijono (1984, dikutip Widagdo, 1984),
-
menggambarkan klasifikasi bentang alam vulkanik berdasarkan
bentuk morfologinya. Klasifikasi tersebut dapat diuraikan
menjadi :
II.4.1 Bentuk Timbulan (Morfologi Positif) / Kubah Vulkanik
Merupakan morfologi gunungapi yang mempunyai bentuk
cembung ke atas. Morfologi ini dibedakan atas dasar asal
kejadiannya menjadi :
a. Kerucut Semburan
- Kerucut Semburan Utama
Merupakan morfologi kerucut semburan yang terbentuk
oleh erupsi lava yang bersifat kental/andesitik.
- Kerucut Parasit (Parasitic Cone)
Merupakan morfologi yang terbentuk sebagai hasil erupsi
gunungapi yang berada pada lereng gunungapi yang lebih
besar.
- Kerucut Sinder (Cinder Cone)
Merupakan morfologi yang terbentuk oleh erupsi kecil yang
terjadi pada kaki gunungapi, berupa kerucut rendah dengan
bagian puncak tampak cekung datar.
Gambar II.9. Sketsa morfologi kerucut semburan, kerucut parasit dan kerucut sinder
-
Gambar II.10. Cinder Cone Pu`u ka Pele yang meletus di sebelah tenggara G. Mauna Kea. Tinggi kerucut 95 m dan diameter kawahnya 400 m.
b. Kubah Lava (Lava Dome)
Merupakan morfologi yang berbentuk kubah membulat
yang terbentuk oleh magma yang sangat kental, biasanya
dacite/rhyolite. Kubah terdiri dari satu atau lebih aliran lava
individu.
Gambar II.11. Kubah lava di atas Novarupta vent, Lembah Sepuluh Ribu Asap, Taman Nasional Katmai, Alaska.
-
c. Gunungapi Tameng/Perisai
Merupakan morfologi yang terbentuk oleh aliran magma
cair encer, sehingga pada waktu magma keluar dari lubang
kepundan, meleleh ke semua arah dala jumlah besar dari
suatu kawah besar/kawah pusat dan menutupi daerah yang
luas yang relatif tipis. Sehingga bentuk gunung yang
terbentuk mempunyai alas yang sangat luas dibandingkan
dengan tingginya.
Sifat magmanya basa dengan kekentalan rendah dan
kurang mengandung gas. Karena itulah erupsinya lemah,
keluarnya ke permukaan bumi secara effusif/meleleh.
Akibatnya lerengnya landai (20 100) tingginya tidak seberapa
dibanding diameternya, dan permukaan lereng yang halus.
Contohnya adalah gunungapi di Hawaii (Mauna Loa, Kilauea).
d. Dataran Vulkanik
Secara relatif, dataran vulkanik dicirikan oleh puncak
topografi yang datar, dengan variasi beda tinggi yang tidak
mencolok. Macam-macam dataran vulkanik diantaranya
adalah dataran basal, plato basal dan dataran kaki vulkan.
Gambar II.12 Sketsa morfologi dataran vulkanik
-
e. Vulkan Semu
Vulkan semu adalah morfologi mirip kerucut gunungapi,
bahan pembentuknya berasal dari vulkan yang berdekatan.
Dapat pula terbentuk oleh erosi lanjut terhadap suatu vulkan
yang sudah lama tidak menunjukkan kegiatannya (mati).
Morfologi ini kemungkinan dihasilkan oleh suatu sistem
patahan mayor yang melintasi gunungapi aktif dan mampu
mengangkat massa yang besar. Morfologi vulkan semu ini
sering disebut Gunung Gendol. Gunung Gendol adalah bukit
kecil di daerah muntilan , Jawa Tengah pada dataran kaki
vulkan G. Merapi.
Vulkan semu jenis lain adalah lajuran vulkanik (volcanic
neck), yaitu morfologi yang terbentuk bila suatu kubah
vulkanik tererosi sehingga tinggal berbentuk lajuran.
Biasanya, di sekitar vulkanik tersebut sering dijumpai retas
yang memanjang.
Gambar II.13. Kenampakan morfologi vulkan semu
-
II.4.2 Depresi Vulkanik (Morfologi Negatif)
Depresi vulkanik adalah morfologi bagian vulkan yang
secara umum berupa cekungan. Berdasarkan material
pengisinya depresi vulkanik dibedakan menjadi :
Gambar II.14. Sketsa morfologi depresi vulkanik
a. Danau Vulkanik
Danau vulkanik yaitu depresi vulkanik yang terisi oleh air
sehingga membentuk danau.
b. Kawah
Yaitu depresi vulkanik yang terbentuk oleh letusan dengan
diameter maksimum 1,5 km, dan tidak terisi oleh apapun
selain material hasil letusan. Berdasarkan asal mulanya
dibedakan kawah letusan dan kawah runtuhan. Sedang
berdasarkan letaknya terhadap pusat kegiatan dikelompokkan
kawah kepundan dan kawah samping (kawah parasiter).
Pengisian kawah oleh airhujan akan menyebabkan
terbentuknya danaukawah. Dan letusan pada gunungapi yang
mempunyai danaukawah akan menyebabkan terjadinya lahar
letusan yang bersuhu tinggi.
-
c. Kaldera
Yaitu depresi vulkanik yang terbentuknya belum tentu oleh
letusan, tetapi didahului oleh amblesan pada komplek
vulkan, dengan ukuran lebih dari 1,5 km. Pada kaldera ini
sering muncul gunungapi baru. Menurut H. William (1947),
berdasarkan proses yang membentuknya kaldera dibedakan
menjadi :
Gambar II.15. Kaldera Aniakchak berdiameter 10 km
dengan kedalaman 500 1000 m.
1.Kaldera letusan, yaitu kaldera yang disebabkan oleh
letusan gunungapi yang sangat kuat yang menghancurkan
bagian puncak kerucut dan mnyemburkan massa batuan
dalam massa yang sangat besar. Kaldera Bandai-san di
Jepang dan Tarawera di New Zealand termasuk dalam jenis
ini.
2.Kaldera runtuhan, yaitu kaldera yang disebabkan oleh
letusan yang berjalan cepat yang memuntahkan batuapung
dalam jumlah banyak, sehingga menyebabkan kekosongan
pada dapur magma. Penurunan permukaan magma di
dalam waduk pun akan menyebabkan runtuhnya bagian
-
atas dapur magma, dan memicu terjadinya runtuhan
bagian puncak gunungapi. Hampir kebanyakan kaldera
terbentuk melalui proses ini, contoh kaldera Krakatau, di
Indonesia dan Crater Lake di Oregon, Amerika.
3.Kaldera erosi, yaitu kaldera yang disebabkan oleh erosi
pada bagian puncak kerucut, dimana erosi akan
memperlebar daerah lekukan sehingga daerah kalderah
tersebut semakin luas. Gejala seperti ini banyak ditemukan
di gunungapi Jepang.
Selain morfologi di atas, berikut disampaikan macam-
macam morfologi hasil erupsi vulkanik :
1. Morfologi hasil erupsi sentral
a. Dari magma encer :
- Hornitos
- Exogeneous dome
b. Dari magma intermediet :
- Cinder Cone
- Pyroclastic ring fall
- Indogeneous dome
c. Dari magma kental :
- Maar
- Crater
- Kaldera
2. Morfologi hasil erupsi celah
a. Berasal dari magma encer :
- Lava flow
- Lava plateu
b. Dari magma intermediet :
- Tanggul lava
- Strato volkanic ridge
c. Dari magma kental :
- Endogeneous ridge
-
Gambar II.16. Tipe, bentuk dan struktur gunungapi menurut Kuno (1976) yaitu (a) maar, (b) Kerucut piroklastik, (c) jarum gunungapi, (d,e,f) kubah lava, (g) gunung berlapis dan (h) gunungapi tameng/perisai.
Kalau tidak ada gangguan, suatu gunungapi yang tumbuh
semakin besar akan mempunyai bentuk yang teratur, baik
berupa kerucut maupun bentuk lainnya. Faktor-faktor yang
menyebabkan tidak teraturnya bentuk gunungapi antara lain :
1. Kegiatan vulkanisme, seperti pembentukan kaldera, dimana
kegiatan tesebut akan mengganggu pekembangan suatu
gunungapi.
2. Berpindahnya pusat kegiatan gunungapi (pipa kepundan),
dimana berkaitan erat dengan keaktifan tektonik daerah
setempat.
-
3. Tekanan arus dari aliran lava yang naik ke atas, yang lama-
kelamaan akan merusak dan menghancurkan dinding
kepundan.
4. Adanya kerucut spater (spatter cone), yaitu suatu kerucut
yang bersisi curam yang tersusun dari batuan bahan lepas
yang terendapkan di atas celah atau pipa kepundan, dan
umumnya berkomposisi basalan; atau hornito yang juga
merupakan kerucut spater di sekitar ujung aliran lava.
5. Adanya gua-gua pada aliran lava (lava tube).
Gambar II.17. Spatter cone Pu`u `O`o dengan tinggi 4 5 m.
-
Gambar II.18. Hornito
Gambar II.19. Lava tube Thurston (Nahuku) dekat kaldera G. Kilauea,
Hawaii
-
II.5 Dampak Lingkungan Gunungapi
Gunungapi dapat mempengaruhi lingkungan, baik
pengaruh baik (sesumber), maupun pengaruh buruk (bencana)
bagi manusia. Dampak positif dengan adanya gunungapi adalah :
a. Panas bumi (geothermal), sebagai sumber tenaga listrik dari
proses hidrotermal yang terjadi di daerah gunungapi, seperti
yang diusahakan di Pegunungan Dieng dan Lahendong.
b. Sebagai taman wisata, dikembangkan dari potensi keindahan
alam dan suasana alam yang masih asli dan sejuk seperti di
Kaliurang, Puncak, Sarangan.
c. Sebagai daerah pertanian daerah yang subur seperti banyak
kita jumpai di seluruh Indonesia. Contohnya : Batu,
Kaliurang, Dieng, Wonosobo.
d. Sebagai daerah pengisian (recharge) air tanah bagi daerah-
daerah sekitar gunungapi seperti Gunung Merapi untuk
daerah sekitar Yogyakarta.
e. Sebagai daerah penyeimbang / pembagi hujan di daera
sekitarnya.
Selain berpotensi sebagai daerah yang menguntungkan
gunungapi juga berpotensi sebagai sumber bencana. Secara garis
besar bahaya akibat erupsi gunungapi dapat dibagi menjadi dua
yaitu bahaya langsung (primer) dan bahaya setelah terjadinya
letusan (sekunder).
Bahaya primer akibat erupsi gunungapi meliputi :
a. Aliran Lava
Aliran lava yaitu terjadinya aliran batu cair yang pijar dan
bersuhu tinggi (sampai 12000 C). Alirannya menuruni lereng
yang terjal dan dapat mencapai beberapa kilometer. Semua
benda yang dilaluinya akan hangus dan terbakar. Apabila
melongsor akan menimbulkan awan panas.
-
b. Bom Gunungapi
Bom gunungapi berujud batuan panas dan pijar berukuran
10 cm 2 m. Batuan ini dapat terlempar dari pusat erupsi
sejauh hingga 10 km. Bom ini dapat menimbulkan kebakaran
hutan, pemukiman dan lahan pertanian. Bila tiba di tanah
bom ini akan mengeluarkan letusan dan akan hancur.
Gambar II.20. Aliran lava pada G. Mauna Loa, Hawaii.
Gambar II.21. Bom gunungapi G. Mauna Kea, Hawaii.
-
c. Pasir Lapili
Pasir dan lapili adalah campuran material letusan yang
ukuranya lebih kecil dari bom (< 2 mm). Sedangkan lapili
lebih besar daripada pasir hingga mencapai beberapa cm.
Apabila terjadi letusan pasir dan lapili ini dapat terlempar
hingga puluhan kilometer. Pasir dan lapili ini dapat
menghancurkan atap rumah karena bebannya juga dapat
merusak lahan pertanian hingga dapat membunuh tanaman.
Gambar II.22. Pasir Lapili G. Kilauea, Hawaii.
d. Awan Pijar
Awan pijar adalah suspensi dai material halus yang dihasilkan
oleh erupsi gunungapi dan dihembuskan oleh angin hingga
mencapai beberapa kilometer. Awan pijar ini merupakan
campuran yang pekat dari gas, uap dan material halus yang
bersuhu tinggi (hingga 12000 C). Suspensi ini berat sehingga
mengalir menuruni lereng gunungapi dan seolah-olah
meluncur, luncurannya dapat menapai 10 20 km. Dan
membakar apa yang dilaluinya seperti yang terjadi pada
Gunung Merapi pada tanggal 22 November 1994 yang
memakan korban 60 orang terbakar hidup-hidup dan tak
-
terhitung lagi ternak yang mati terpanggang akibat hembusan
awan panas ini.
e. Abu Gunungapi
Abu ini merupakan campuran material yang paling halus dari
suatu letusan gunungapi. Suhunya bisa tidak panas lagi.
Ukurannya kurang dari 1 mikron - 0.2 mm. Bahaya yang
ditimbulkan antara lain bisa mengganggu penerbangan seperti
yang terjadi pada saat letusan G. Galunggung, dapat
menimbulkan sesak napas apabila terlalu banyak mengisap
abu gunungapi dan menimbulkan penyakit silikosis, yaitu
penyakit yang diakibatkan oleh penggumpalan silika bebas
pada paru-paru yang diakibatkan oleh terisapnya abu
gunungapi yang mengandung silika bebas.
Gambar II.23. Abu gunungapi dari G. St. Helens, Amerika.
f. Gas Beracun
Kadar gas yang tinggi dapat menimbulkan kematian.
Gunungapi biasanya mengeluarkan gas CO, CO2, H2S, HCN,
H3As, NO2, Cl2 dan gas lain yang jumlahnya sedikit. Nilai
batas ambang untuk gas CO 50 ppm (part per million), CO2
5,00 ppm, sedangkan gas H3As yang sangat mematikan pada
-
0,05 ppm. Gas yanga dikeluarkan saat erupsi tidak begitu
berbahaya karena gas tersebut langsung terbakar pada saat
terjadi letusa gunungapi. Yang paling berbahaya adalah
apabila gas tersebut dikeluarkan pada sisa-sisa gunungapi
seperti yang terjadi di Pegunungan Dieng. Gas tersebut BJ-
nya lebih besar dari udara bebas sehingga letaknya berada
pada daerah-daerah yang rendah seperti di lembah-lembah,
dekat permukaan tanah.
Bahaya yang tidak kalah berbahayanya adalah bahaya
setelah terjadi letusan yaitu bahaya sekunder. Bahaya tersebut
berupa bahaya aliran lahar. Lahar terbentuk dari batuan yang
dilemparkan dari pusat erupsi baik blok, bom, lapili, tuff, abu
maupun longsoran kubah lava. Apabila terjadi hujan lebat yang
turun bersamaan atau setelah erupsi maka endapan material
hasil erupsi tersebut akan terangkut oleh aliran air membentuk
aliran bahan rombakan yang biasa disebut alira lahar. Aliran
lahar ini mempunyai kekuatan merusak yang besar dan akan
melalui apa saja yang ada di depannya tanpa kecuali baik
pemukiman, hutan, tanah pertanian maupun tanggul sungai
yang dilaluinya.
Gambar II.24. Aliran lahar pada G. Santiaguito, Guatemala.
-
Untuk menghindari bencana yang diakibatkan oleh letusan
gunungapi ini maka di setiap daerah gunungapi dibuat peta
daerah bahaya yang didasarkan pada potensi bencana yang ada
baik primer maupun sekunder. Seperti yang dilakukan oleh
Jawatan Vulkanologi pada G. Merapi.
II.6 Bentang Alam Vulkanik dalam Peta Topografi
Pada peta topografi, bentang alam vulkanik memiliki
kenampakan pola kontur yang khas. Umumnya pola kontur yang
dibentuk oleh bentang alam vulkanik adalah sirkuler dan radier
sesuai dengan bentuk bentang alamnya. Disamping memiliki pola
kontur yang khas, bentang alam vulkanik juga dicirikan oleh pola
penyalurannya yang khas yaitu sirkuler ataupun radier.
II.7 Klasifikasi Relief
Van Zuidam (1983), mengklasifikasikan relief berdasarkan
morfometri dan morfografi sebagai berikut :
Klasifikasi Relief Persen lereng (%) Beda tinggi (m)
Datar/hampir datar 0 2 < 50
Bergelombang landai 3 7 5 50
Bergelombang miring 8 13 25 75
Berbukit bergelombang 14 20 50 200
Berbukit terjal 21 55 200 500
Pegunungan sangat terjal 56 140 500 1000
Pegunungan sangat
curam > 140 > 1000
-
TUGAS
Alat yang harus dibawa :
Pulpen / Spidol / Pilot DR / Rapido (pilih salah satu)
Pencil dan karet penghapus
Penggaris
Pencil warna minimal 24 warna
Kertas kalkir
Milimeter block
Peta topografi
1. Tugas di Laboratorium
a. Pretest
Soal :
1. Sebutkan dan jelaskan macam-macam proses vulkanik!
2. Escher (1952) mengklasifikasikan tipe letusan berdasarkan
viskositas, tekanan gas dan kedalaman dapur magma menjadi
tujuh tipe, sebutkan dan jelaskan!
3. Sebutkan dan jelaskan zona morfologi gunungapi!
4. Sebutkan macam-macam morfologi positif dan negatif
gunungapi!
Soal dikerjakan (close book) selama 20 menit, selesai tidak
selesai dikumpulkan ke asisten!
b. Praktikum
Siapkan peta topografi anda !
Bagilah pada peta anda menjadi beberapa satuan / kelompok
daerah berdasarkan kenampakan morfometri dan
morfografinya atau kerapatan konturnya (rapat, agak rapat
dan renggang)!
Warnailah satuan yang sudah anda bagi di atas kertas kalkir!
Pada tiap satuan buat minimal 5 sayatan kecil (masing-
masing memotong minimal 5 kontur). Hitung persen lereng
-
rata-rata dan beda tinggi rata-rata tiap satuan! Kemudian
tentukan nama satuan morfometrinya berdasarkan klasifikasi
Van Zuidam (1983)!
Ambil kertas kalkir lagi, kemudian tampalkan di atas peta
topografi anda dan gambarlah pola pengalirannya. Tentukan
jenis pola pengalirannya!
Buatlah profil penampang / profil topografinya (panjang
sayatan min. 10 cm)!
Tugas dikumpul kepada asisten selesai ataupun tidak selesai!
2. Tugas di Rumah
a. Cari artikel tentang bentang alam vulkanik disertai dengan
pembahasannya. Tiap praktikan artikel dan pembahasan tidak
boleh sama!
b. Buat laporan praktikum yang telah di lakukan di laboratorium!
c. Artikel dan laporan praktikum diketik yang rapi 1,5 spasi
dikumpulkan satu minggu setelah acara B.A Vulkanik diberikan!
-
BAB III BENTANG ALAM FLUVIAL
III.1. Proses Fluviatil
Bentang alam fluvial merupakan satuan geomorfologi yang erat
hubungannya dengan proses fluviatil. Sebelum lebih jauh membahas
tentang bentang alam fluviatil lebih dahulu dibahas pengertian tentang
proses fluviatil. Proses fluviatil adalah semua proses yang terjadi di
alam, baik fisika maupun kimia yang mengakibatkan adanya
perubahan bentuk permukaan bumi, yang disebabkan oleh aksi air
permukaan. Di sini yang dominan adalah air yang mengalir secara
terpadu/terkonsentrasi (sungai) dan air yang tidak terkonsentrasi
(sheet water)
Tetapi alur-alur ada di lereng bukit atau gunung dan terisi air
bila terjadi hujan bukan termasuk bagian dari bentang alam fluviatil,
karena alur-alur tersebut berisi air sesaat setelah terjadinya hujan
(ephemeral stream).
Sebagaimana dengan proses geomorfik yang lain, proses fluviatil
akan menghasilkan suatu bentang alam yang khas sebagai tingkah
laku air yang mengalir di permukaan. Bentang alam yang dibentuk
dapat terjadi karena proses erosi maupun karena proses sedimentasi
yang dilakukan oleh air permukaan.
Sungai merupakan aliran air yang dibatasi suatu alur yang
mengalir ke tempat / lembah yang lebih rendah karena pengaruh
gravitasi. Sungai termasuk sungai besar, sungai kecil maupun anak
sungai.
Macam-macam proses fluvial
Proses fluviatil dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:
1. Proses erosi
Menurut Sukmana, 1979, proses erosi adalah suatu proses atau
peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah yang disebabkan oleh
pergerakan air atau angin. Sedangkan Arsyad, 1982, mendefinisikan
-
proses erosi sebagai peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atu
bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media
alami.
Menurut Holy,1980, berdasarkan agen penyebabnya, agen
penyebab erosi dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu erosi oleh air,
erosi oleh angin, erosi oleh gletser dan erosi oleh salju. Dalam bentang
alam ini, agen penyebab erosi yang paling dominan adalah air. Sungai
dapat mengerosi batuan sediment yang dilaluinya, memotong lembah,
memperdalam dan memperlebar sungai dengan cara-cara :
1. Quarrying, yaitu pendongkelan batu yang dilaluinya.
2. Abrasi, yaitu penggerusan terhadap batuan yang
dilewatinya.
3. Scouring, yaitu penggerusan dasar sungai akibat adanya
ulakan sungai, misalnya pada daerah cut off slope.
4. Korosi, yaitu terjadinya reaksi terhadap batuan yang
dilaluinya.
5. Hydraulic action, kemampuan air mengangkat dan
memindahkan batuan atau material-material sediment
dengan gerakan memutar sehingga batuan pecah dan
kehilangan fragmen.
6. Solution, solution dalam proses erosi berjalan lambat, tetapi
efektif dalam pelapukan dan erosi
-
Berdasarkan arahnya, erosi dapat dibedakan menjadi:
a. Erosi ke arah hulu (head ward erotion) adalah erosi yang terjadi
pada ujung bagian hulu sungai.
b. Erosi vertikal, erosi yang arahnya tegak dan cenderung terjadi
pada daerah bagian hulu pada sungai dan menyebabkan
terjadinya pendalaman lembah sungai.
-
c. Erosi lateral, yaitu erosi yang arahnya mendatar dan dominan
terjadi pada daerah tengah sungai yang menyebabkan bertambah
lebar dan panjang sungai.
-
Erosi yang berlangsung terus hingga suatu saat akan mencapai
batas dimana air sungai sudah tidak lagi mampu mengerosi lagi (
erotion base level). Erotion base level ini dapat dibagi menjadi ultimate
base level yang base level-nya berupa laut dan temporary base level
yang base level-nya lokal seperti danau, rawa, dll.
Intensitas erosi pada suatu sungai berbanding lurus dengan
kecepatan aliran sungai tersebut. Erosi akan lebih efektif bila media
yang bersangkutan mengangkut bermacam-macam material. Erosi
memiliki tujuan akhir meratakan sehingga mendekati ultimate base
level.
Sifat-sifat erosi :
1. Intensitasnya sebanding dengan aliran sungai.
2. Makin banyak bercampur dengan material lain maka erosi
makin efektif.
3. Selalu menuju ke ultimate base level.
2. Proses Transportasi
Proses transportasi adalah proses perpindahan/pengangkutan material
yang diakibatkan oleh tenaga kinetis yang ada pada sungai sebagai efek
dari gaya gravitasi. Sungai mengangkut material hasil erosinya dengan
berbagai cara, yaitu:
a. traksi, yaitu material yang diangkut akan terseret pada dasar
sungai.
b. Rolling, yaitu material akan terangkut dengan cara menggelinding
di dasar sungai.
c. Saltasi, yaitu material terangkut dengan cara menggelinding pada
dasar sungai
d. Suspensi, yaitu proses pengangkutan material secara
mengambang dan bercampur dengan air sehingga menyebabkan
air sungai menjadi keruh.
e. Solution, yaitu pengangkutan material larut dalam air dan
memben-tuk larutan kimia.
-
Dalam membahas transportasi sungai dikenal terminologi
stream capacity yaitu jumlah beban maksimum yang mampu diangkut
oleh aliran sungai, dan stream competence yaitu ukuran maksimum
beban yang mampu diangkut oleh aliran sungai.
3. Proses Sedimentasi
Adalah proses pengendapan material karena aliran sungai tidak
mampu lagi mengangkut material yang di bawanya. Apabila tenaga
angkut semakin berkurang, maka material yang berukuran besar dan
lebih berat akan terendapkan terlebih dahulu, baru kemudian material
yang lebih halus dan ringan.
Bagian sungai yang paling efektif untuk proses pengendapan ini
adalah bagian hilir atau pada bagian slip of slope pada kelokan sungai,
karena biasanya pada bagian kelokan ini terjadi pengurangan energi
yang cukup besar.
Ukuran material yang diendapkan berbanding lurus dengan
besarnya energi pengangkut, sehingga semakin ke arah hilir, energi
semakin kecil, material yang diendapkan pun semakin halus.
-
III.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Erosi dan
Sedimentasi
a. Kecepatan Aliran Sungai
Kecepatan aliran sungai maksimal pada tengah alur sungai,
bila sungai membelok maka kecepatan maksimal ada paad
daerah cut off slope (terjadi erosi) karena gaya sentrifugal.
Pengendapan terjadi bila kecepatan sungai menurun atau
bahkan hilang.
b. Gradien / kemiringan lereng sungai
Bila air mengalir dari sungai yang kemiringan lerengnya curam
ke dataran yang lebih rendah maka kecepatan air berkurang
dan tiba tiba hilang sehingga menyebabkan pengendapan pada
dasar sungai. Bila kemudian ada lereng yang terjal lagi,
kecepatan akan meningkat sehingga terjadi erosi yang
menyebabkan pendalaman lembah.
c. Bentuk alur sungai
Aliran air akan menggerus bagian tepi dan dasar sungai.
Semakin besar gesekan yang terjadi maka air akan mengalir
lebih lambat. Sungai yang dalam, sempit dan permukaan
dasarnya tidak kasar, aliran airnya deras. Sungai yang lebar,
dangkal dan permukaan dasarnya tidak kasar, atau sempit,
dalam tetapi permukaan dasarnya kasar, aliran airnya lambat.
d. Discharge
Merupakan volume air yang keluar dari suatu sungai. Proses
erosi dan transportasi terjadi karena besarnya kecepatan aliran
sungai dan discharge.
III.3. Pola Pengaliran (Drainage Pattern)
Bentuk-bentuk tubuh air disebut sebagai pengaliran (drainage)
meliputi danau, laut, sungai, rawa dan sejenisnya. Melalui erosi dan
penimbunan (deposisi) yang dilakukan oleh air yang mengalir secara
-
terus menerus, maka dapat menyebabkan perubahan dan
perkembangan dari tubuh air tersebut.
Satu sungai atau lebih beserta anak sungai dan cabangnya dapat
membentuk suatu pola atau sistem tertentu yang dikenal sebagai pola
pengaliran (drainage pattern). Pola ini dapat dibedakan menjadi
beberapa macam variasi bergantung struktur batuan dan variasi
lotologinya.
a. pola pengaliran rectangular
Adalah pola pengaliran di mana anak-anak sungainya membentuk
sudut tegak lurus dengan sungai utamanya. Pola ini biasanya
terdapat pada daerah patahan yang bersistem teratur
b. pola pengaliran dendritik
Adalah pola pengaliran berbentuk seperti pohon dan cabang-cabangnya
yang berarah tidak beraturan. Pola ini berkembang pada daerah
dengan batuan yang resistensinya seragam, lapisan sedimen
mendatar, batuan beku massif, daerah lipatan, dan daerah metamorf
yang kompleks
-
c. pola pengaliran sejajar/parallel
Adalah pola pengaliran yang arah alirannya sejajar. Pola ini
berkembang pada daerah yang lerengnya mempunyai kemiringan
nyata, dan batuan-nya bertekstur halus.
d. pola pengaliran trellis
adalah pola pengaliran yang berbentuk seperti daun dengan anak-
anak sungai sejajar, sungai utamanya biasanya memanjang searah
dengan jurus perlapisan batuan. Pola ini banyak dijumpai pada
daerah patahan atau lipatan.
-
e. pola pengaliran radial
Adalah pola pengaliran yang arah-arah pengalirannya menyebar ke
segala arah dari uatu pusat. Umumnya berkembang pada daerah
dengan struktur kubah stadia muda, pada kerucut gunungapi, dan
pada bukit-bukit yang berbentuk kerucut.
f. pola pengaliran annular
Adalah pola pengaliran di mana sungai atau anak sungainya
mempunyai penyebaran yang melingkar, sering dijumpai pada daerah
kubah berstadia dewasa.
-
g. pola pengaliran multi basinal
Disebut juga sink hole, adalah pola pengaliran yang tidak sempurna,
kadang tampak kadang hilangyang disebut sebagai sungai bawah
tanah, pola ini bekembang pada daerah karst atau batugamping
h. pola pengaliran contorted
adalah pola pengaliran yang arah alirannya berbalik dar arah semula,
pola ini terdapat pada daerah patahan
III.4. Macam-macam Bentang Alam Fluviatil
Bentang alam fluviatil dapat dibedakan menjadi beberapa macam
berdasar proses pembentukannya, antara lain:
1. sungai teranyam (braided stream)
Sungai teranyam terbentuk pada bagian hilir sungai yang
mempunyai kemiringan datar atau hampir datar. Pembentukannya
-
dikarenakan oleh erosi yang berlebihan pada daerah hulu sungai
sehingga terjadi pengendapan pada bagian alurnya dan membentuk
gosong tengah (channel bar). Karena adanya gosong yang banyak
dan berjajar (berderet), maka alirannya memberikan kesan teranyam
2. Bar deposit (endapan gosong)
Adalah endapan sungai yang terdapat pada bagian tepi atau tengah
alur sungai. Endapan pada tengah alur disebut sebagai gosong
tengah (channel bar) sedang endapan pada tepi disebut sebagai
gosong tepi (point bar)
Sungai Kaligarang Photo by : Fitriani I. P.
-
3. tanggul alam (natural levee)
Adalah tanggul yang terbentuk secara alamiah, hasil pengendapan
luapan banjir dan terdapat pada tepi sungai sebelah menyebelah.
Material pembentuk tenggul alam berasal dari material hasil
transportasi sungai saat banjir dan diendapkan di luar saluran
sehingga membentuk tanggul-tanggul sepanjang aliran
4. kipas alluvial (alluvial fan)
Adalah bentang alam alluvial yang terbentuk oleh onggokan material
lepas, berbentuk seperti kipas, biasanya terdapat pada suatu
dataran di depan gawir. Biasanya tersusun oleh perselingan pasir
dan lempung unconsolidated sehingga merupakan lapisan
penyimpan air yang cukup baik.
5. delta
Adalah bentang alam hasil sedimentasi sungai pada bagian hilir
setelah masuk pada daerah base level. Selanjutnya akan dibahas
sendiri pada bab bentang alam pantai dan delta
III.5. Genesa Pembentukan lembah Sungai
Siklus lembah sungai dibagi menjadi tiga tingkatan (stadia) yaitu
muda dewasa dan tua
-
A. stadia muda, dicirikan oleh:
- biasanya di daerah hulu
- sungai sangat aktif, erosi berlangsung cepat
- erosi vertikal lebih kuat daripada erosi lateral
- lembah sungai mempunyai profil berbentuk V
- gradien sungai curam, terdapat jeram dan air terjun
- anak sungai sedikit dan kecil
- aliran sungai deras (energi pengangkutan besar)
- bentuk sungai relatif lurus
B. stadia dewasa, ditandai oleh:
- kecepatan aliran mulai berkurang
- gradien sungai sedang, tidak terdapat jeram dan air terjun
- mulai terbentuk dataran banjir dan tanggul alam
- erosi lateral (ke samping) lebih kuat dari erosi vertikal
- mulai terbentuk meander sungai
- pada tingkat ini sungai mencapai kedalaman paling besar
C. stadia tua, ditandai oleh:
- kecepatan aliran semakin berkurang
- lebih banyak sedimentasi daripada erosi
- berkembang di daerah hilir
- banyak terbentuk sungai meander, danau tapal kuda dan
tanggul alam
- terjadi pelebaran lembah walaupun sangat lembat
Meander Sungai
-
III.6. Bentang Alam Fluviatil dan Peta Topografi
Dalam peta topografi standar, sebagian dari bentang alam
fluviatil tidak terekspresikan, terutama yang berukuran kecil misalnya
gosong sungai dan tanggul alam, sebagian yang lain terekspresikan
pada peta topografi misalnya kipas alluvial.
Pada peta topografi alur sungai tampak jelas oleh pola konturnya
yang khas sepanjang alur sungai tersebut, yaitu ditandai oleh garis
kontur yang meruncing ke arah hulu.
III.7. Aplikasi
Daerah-daerah yang termasuk bentang alam fluviatil merupakan
daerah yang sangat potensial bagi kebutuhan hidup manusia. Daerah
sekitar aliran sungai merupakan daerah yang sangat potensial untuk
penambangan material bahan bangunan seperti pasir dan batu kali,
selain itu airnya sangat vital untuk digunakan sebagai air minum,
irigasi dan sebagainya. Selain potensi sesumber, daerah aliran sungai
juga dapat menjadi sumber potensi bencana sepeti banjir dan tanah
longsor.
Bagian-bagian sungai yang memungkinkan terjadinya proses
sedimentasi adalah bagian sungai yang tingkat erosi lateralnya mulai
berkurang dan intensitas pengendapannya bertambah karena
berkurangnya energi transportasi, yaitu pada sungai dengan stadia
dewasa-tua
Dalam penambangan material sungai harus mempertimbangkan
beberapa aspek antara lain:
b. Dipilih lokasi yang mudah untuk pengangkutan
c. Akumulasi bahan tambang yang relatif mudah diambil
d. Tidak merusak lingkungan sekitar (misalnya pondasi
jembatan)
-
BAB IV
BENTANG ALAM STRUKTURAL
IV.I. PENDAHULUAN
Bentang alam struktural adalah bentang alam yang
pembentukannya dikontrol oleh struktur geologi daerah yang
bersangkutan. Struktur geologi yang paling berpengaruh terhadap
pembentukan morfologi adalah struktur geologi sekunder, yaitu
struktur yang terbentuk setelah batuan itu ada.
Struktur sekunder biasanya terbentuk oleh adanya proses
endogen yang bekerja adalah proses tektonik. Proses ini
mengakibatkan adanya pengangkatan, pengkekaran, patahan dan
lipatan yang tercermin dalam bentuk topografi dan relief yang khas.
Bentuk relief ini akan berubah akibat proses eksternal yang
berlangsung kemudian. Macam-macam proses eksternal yang terjadi
adalah pelapukan (dekomposisi dan disintergrasi), erosi (air, angin atau
glasial) serta gerakan massa (longsoran, rayapan, aliran, rebahan atau
jatuhan).
Beberapa kenampakan pada peta topografi yang dapat digunakan
dalam penafsiran bentang alam struktural adalah :
a. Pola pengaliran. Variasi pola pengaliran biasanya dipengaruhi
oleh variasi struktur geologi dan litologi pada daerah tersebut.
b. Kelurusan-kelurusan (lineament) dari punggungan (ridge),
puncak bukit, lembah, lereng dan lain-lain.
c. Bentuk-bentuk bukit, lembah dll.
d. Perubahan aliran sungai, misalnya secara tiba-tiba,
kemungkinan dikontrol oleh struktur kekar, sesar atau lipatan.
IV.2. Macam-macam Bentang Alam Struktural
Bentang alam struktural dapat dikelompokkan berdasarkan
struktur yang mengontrolnya. Srijono (1984, dikutip Widagdo,
1984), menggambarkan klasifikasi bentang alam struktural
-
berdasarkan struktur geologi pengontrolnya menjadi 3 kelompok
utama, yaitu dataran, pegunungan lipatan dan pegunungan
patahan. Pada dasarnya struktur geologi yang ada tersebut dapat
ditafsirkan keberadaannya melalui pola ataupun sifat dari garis
kontur pada peta topografi.
IV.2.1. Bentang alam dengan struktur mendatar (Lapisan
Horisontal) Menurut letaknya (elevasinya)dataran dapat dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Dataran rendah, adalah dataran yang memiliki elevasi antara 0-
500 kaki dari muka air laut.
2. Dataran tinggi(plateau/high plain ), adalah dataran yang
menempati elevasi lebih dari 500 kaki diatas muka air laut.
Kenampakan-kenampakan bentang alam pada kedua dataran
tersebut hampir sama, hanya dibedakan pada reliefnya saja. Pada
daerah berstadia muda terlihat datar dan dalam peta tampak pola
kontur yang sangat jarang. Pada daerah yang berstadia tua, sering
dijumpai dataran yang luas dan bukit-bukit sisa(monadnock), yang
sering dijumpai mesa dan butte. Perbedaan mesa dengan butte adalah
mesa mempunyai diameter(d) lebih besar dibandingkan dengan
ketinggiannya(h). Sedangkan butte sebaliknya.(lihat gambar IV.1)
Pola penyaluran yang berkembang pada daerah yang berstruktur
mendatar adalah dendritik. Hal ini dikontrol oleh adanya keseragaman
resistensi batuan yang ada di permukaan.
-
Gambar IV.1. Kenampakan mesa dan butte
IV.2.2. Bentang Alam dengan Struktur Miring
Hampir semua lapisan diendapkan dalam posisi yang mendatar.
Sedimen yang mempunyai kemiringan asal diendapkan pada dasar
pengendapan yang sudah miring, seperti pada lereng gunung api dan
disekitar terumbu karang. Kemiringan lapisan sedimen yang demikian
disebut kemiringan asal dengan sudut maksimum 350(Tjia, 1987).
Kebanyakan sedimen yang memperlihatkan kemiringan,
disebabkan karena adanya proses geologi yang bekerja pada suatu
daerah tersebut. Morfologi yang dihasilkan oleh proses tersebut akan
memperlihatkan pola yang memanjang searah dengan jurus perlapisan
batuan. Berdasarkan besarnya sudut kemiringan dari kedua lerengnya,
terutama yang searah dengan kemiringan lapisan batuannya, bentang
alam ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
Cuesta. Pada cuesta sudut kemiringan antara kedua sisi
lerengnya tidak simetri dengan sudut lereng yang searah
perlapisan batuan. Sudut kelerengan kurang dari 450 (Thornbury,
1969, p.133), sedangkan Stokes & Varnes, 1955 : p.71 sudut
dh
d
h
dh
d
h
-
kelerengannya kurang dari 200. Cuesta memiliki kelerengan fore
slope yang lebih curam sedangkan back slopenya relatif landai
pada arah sebaliknya sehingga terlihat tidak simetri.
Hogback. Pada hogback, sudut antara kedua sisinya relatif sama,
dengan sudut lereng yang searah perlapisan batuan sekitar
450(Thornbury, 1969, p.133). sedangkan Stokes & Varnes, 1955 :
p.71 sudut kelerengannya lebih dari 200. Hogback memiliki
kelerengan fore slope dan back slope yang hampir sama sehingga
terlihat simetri (lihat gambar IV.2).
IV.2.3. Bentang alam dengan Stuktur Lipatan
Lipatan terjadi karena adanya lapisan kulit bumi yang
mengalami gaya kompresi (gaya tekan). Pada suatu lipatan yang
sederhana, bagian punggungan disebut dengan antiklin, sedangkan
bagian lembah disebut sinklin.
Unsur-unsur yang terdapat pada struktur ini dapat diketahui
dengan menafsirkan kedudukan lapisan batuannya. Kedudukan
lapisan batuan(dalam hal ini arah kemiringan lapisan batuan) pada
peta topografi, akan berlawanan arah dengan bagian garis kontur.
Gambar II.2. Kenampakan beberapa bentang alam struktural
-
yang rapat (fore slope/antidip slope), dimana garis kontur yang rapat
tersebut menunjukkan adanya gawir-gawir yang terjal dan memotong
lapisan batuan. Arah kemiringan lapisan batuannya searah dengan
kemiringan landai dari topografinya (biasanya diperlihatkan dengan
punggungan yang landai/back slope/dipslope).
IV.2.4.Struktur antiklin dan sinklin
Pada prinsipnya penafsiran pada kedua struktur ini berdasarkan
atas kenampakan fore slope/antidip slope dan back slope/dipslope yang
terdapat secara berpasangan. Bila antidip slope saling berhadapan
(infacing scarp), maka terbentuk lembah antiklin, sedangkan apabila
yang saling berhadapan adalah back slope/dipslope, disebut lembah
sinklin. Pola pengaliran yang dijumpai pada lembah antiklin biasanya
adalah pola trellis (lihat gambar IV.3.).
Gambar IV.3. Sketsa dan contoh pola garis kontur pada pegunungan lipatan (a) lembah antiklin, b).lembah sinklin.
-
IV.2.5. Struktur antiklin dan sinklin menunjam
Struktur ini merupakan kelanjutan atau perkembangan dari
pegunungan lipatan satu arah (cuesta dan hogback) dan dua arah
(sinklin dan antiklin). Bila tiga fore slope saling berhadapan maka
disebut sebagai lembah antiklin menunjam. Sedangkan bila tiga back
slope saling berhadapan maka disebut sebagai lembah sinklin
menunjam (lihat gambar II.4.).
Gambar II.4. Sketsa dan contoh pola garis kontur pada struktur (a) sinklin dan (b) antiklin menunjam.
IV.2.6. Struktur lipatan tertutup
Kubah
Bentang alam ini mempunyai ciri-ciri kenampakan sebagai
berikut :
1. Kedudukan lapisan miring ke arah luar (fore slope ke arah
dalam).
2. Mempunyai pola kontur tertutup
3. Pola penyaluran radier dan berupa bukit cembung pada stadia
muda
-
4. Pada stadia dewasa berbentuk lembah kubah dengan pola
penyaluran annular.
Cekungan
Bentang alam ini mempunyai kenampakan sebagai berikut :
1. Kedudukan lapisan miring ke dalam (back slope ke arah
dalam)
2. Mempunyai pola kontur tertutup
3. Pada stadia muda pola penyalurannya annular.
Gambar IV.4. Sketsa dan contoh pola kontur pada struktur lipatan
tertutup (a). kubah/dome
(b). cekungan/basin.
-
II.2.7. Bentang Alam dengan Struktur Patahan
Patahan (sesar) terjadi akibat adanya gaya yang bekerja pada
kulit bumi, sehingga mengakibatkan adanya pergeseran letak
kedudukan lapisan batuan. Berdasarakan arah gerak relatifnya, sesar
dibagi menjadi 5, yaitu:
- Sesar normal/ sesar turun (normal fault)
- Sesar naik( reverse fault)
- Sesar geser mendatar (strike-slip fault)
- Sesar diagonal (diagonal fault/ oblique-slip fault)
- Sesar rotasi (splintery fault/hinge fault)
Secara umum bentang alam yang dikontrol oleh struktur
patahan sulit untuk menentukan jenis patahannya secara langsung.
Untuk itu, dalam hal ini hanya akan diberikan ciri umum dari
kenampakan morfologi bentang alam struktural patahan, yaitu :
a. Beda tinggi yang menyolok pada daerah yang sempit.
b. Mempunyai resistensi terhadap erosi yang sangat berbeda pada
posisi/elevasi yang hampir sama.
c. Adanya kenampakan dataran/depresi yang sempit memanjang.
d. Dijumpai sistem gawir yang lurus(pola kontur yang lurus dan rapat).
e. Adanya batas yang curam antara perbukitan/ pegunungan dengan
dataran yang rendah.
f. Adanya kelurusan sungai melalui zona patahan, dan membelok
tiba-tiba dan menyimpang dari arah umum.
g. Sering dijumpai(kelurusan) mata air pada bagian yang
naik/terangkat
h. Pola penyaluran yang umum dijumpai berupa rectangular, trellis,
concorted serta modifikasi ketiganya.
i. Adanya penjajaran triangular facet pada gawir yang lurus.
-
Gambar II.5. Kenampakan triangular facets yang mengindikasikan adanya sesar.
Gambar II.5. Kenampakan sungai yang mengalami pembelokan tiba-tiba.
-
BAB V
BENTANG ALAM KARS
V.1. Pendahuluan
Karst adalah istilah dalam bahasa Jerman yang diambil dari istilah
Slovenian kuno yang berarti topografi hasil pelarutan (solution
topography) (Blomm,1979). Menurut Jenning (1971, dalam Blomm
197), topografi karst didefinisikan sebagai lahan dengan relief dan pola
penyaluran yang aneh, berkembang pada batuan yang mudah larut
(memiliki derajat kelarutan yang tinggi) pada air alam dan dijumpai
pada semua tempat pada lahan tersebut. Flint dan Skinner (1977)
mendefinisikan topography karst sebagai daerah yang berbatuan yang
mudah larut dengan surupan (sink) dan gua yang berkombinasi
membentukk topografi yang aneh (peculiar topography) dan dicirikan
oleh adanya lembah kecil, penyaluran tidak teratur, aliran sungai
secara tiba-tiba masuk kedalam tanah meninggalkan lembah kering
dan muncul sebagai mata air yang besar.
Berdasarkan kedua definisi diatas maka dapat ditetapkan suatu
pengertian tentang topografi karst yaitu : Suatu topografi yang
terbentuk pada daerah dengan litologi berupa batuan yang mudah
larut, menunjukkan relief yang khas, penyaluran yang tidak teratur,
aliran sungainya secara tiba-tiba masuk kedalam tanah dan
meninggalkan lembah kering untuk kemudian keluar ditempat lain
sebagai mata air yang besar.
Dari sebaran batugamping yang ada, Indonesia merupakan
wilayah yang potensial sebagai kawasan kars. Dari kondisi geologinya
Indonesia kaya akan batugamping. Tetapi tidak semua batugamping
yang ada diwilayah Indonesia dapat berkembang menjadi bentang alam
kars. Beberapa wilayah di Indonesia yang dapat ditemukan bentang
alam kars, yaitu :
-
- Pulau Sumatra, bentang alam dipulau Sumatra sangat
kurang sangat berkembang, hanya sebagian tempat di Aceh,
Sumatra Barat (Singkarak) dan Sumatra Selatan
- Pulau Jawa, sebaran batugamping dipulalau Jawa umumnya
berada dibagian selatan dan beberapa diantaranya
berkembang menjadi kawasan kars yang penting serta
terkenal di kalangan pemerhati kars. Kawasan bentang alam
kars tersebut berada didaerah Gombong Selatan dan Gunung
Sewu
- Pulau Kalimantan, dari ekspedisi speleogi dari tim prancis
yang dilakukan pada tahun 1980-an (ESFIK-1982, 1983)
melaporkan bentang alam kars di wilayah pegunungan
Mangkalit, Kalimantan TImur. Di Kalimantan Tengah dapat
dijumpai bentang alam kars yang meliputi Gunung Haje dan
Gunung Menunting di Muara Teweh. Di Klaimantan Selatan
terdapat diwilayah Pegunungan Meratus yang penyebarannya
terputus-putus.
- Pulau Sulawesi, benrkembang bentang alam kars sangat
baikterutama Sulawesi Selatan. Bentang alam kars Maros
sangat terkenal dan telah diadakan penelitian serta didapat
data sedikitnya 29 gua yang harus dilindungi.
- Pulau Sumbawa, bentang ala mini terdapat didaerah
Waingapu, Sumbawa Barat yang nilai ekonomisnya berupa
sumber daya air dengan debit kurang lebih 1000 lt/dt
(MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998).
- Pulau Irian Jaya, Pulau Irian merupakan pulau yang kaya
akan sebaran batugamping yang berkembang menjadi
bentang alam kars. Kawasan kars terdapat didaerah
Wamena-Pegunungan Trikoradengan nilai ilmiah berupa
dolina raksasa, gua terdalam, sungai bawah tanah terbesar
serta didaerah Biak dan pulau Misool dengan nilai
peninggalan arkeologi. Kawasan bentang alam kars di Irian
-
Jaya merupakan satu-satunya formasi batuan yang paling
baik mengandung air (MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998)
V.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bentang Alam Karst
V.2.1. Faktor Fisik
Faktor fisik yang mempengaruhi pembentukan topografi karst
meliputi ketebalan batugamping, porositas dan permeabilitas
batugamping serta intensitas struktur (kekar) yang mengenai batuan
tersebut.
1. Ketebalan Batugamping
Menurut Von Engeln, batuan mudah larut (dalam hal ini
batugamping) yang baik untuk perkembangan topografi karst
harus tebal. Batugamping tersebut da[at masif atau terdiri
dari beberapa lapisan yang membentuk satu unit batuan yang
tebal, sehingga mampu menampilkan topografi karst sebelum
batuan tersebut habis terlarutkan dan tererosi. Ritter (1978)
mengemukakan bahwa batugamping yang berlapis (meskipun
membentuk satu unit yang tebal), tidak sebaik batugamping
yang massif dan tebal dalam pembentukan topografi karst ini.
Hal ini dikarenakan material sukar larut dan lempung yang
terkonsentrasi pada bidang perlapisan akan mengurangi
kebebasan sirkulasi air untuk menmbus seluruh lapisan.
Sebaliknya pada batugamping yang massif, sirkulasi air akan
berjalan lancer sehingga mempermudah terjadinya proses
karstifikasi.
2. Porositas dan Permeabilitas
Kedua hal ini berpengaruh terhadap sirkulasi air dalam
batuan. Menurut Ritter (1978), porositas primer ditentukan
oleh tekstur batuan dan berkurang oleh proses sementasi,
rekristaslisasi dan penggantian mineral (missal dolomitisasi)
sehingga porositas primer tidak begitu berpengaruh terhadap
proses karstifikasi. Sebaliknya dengan porositas sekunder
-
yang biasanya terbentuk oleh adanya retakan atau pelarutan
dalam batuan. Porositas (baik primer maupun sekunder)
biasanya mempengaruhi permeabilitas yaitu kemampuan
batuan batuan untuk melalukan air. Disamping itu
permeabilitas juga dipengaruhi oleh adanya kekar yang saling
berhubungan dalam batuan. Semakin besar permeabilitas
suatu batuan maka sirkulasi air akan berjalan semakin lancer
sehingga proses karstifikasi akan semakin intensif.
3. Intesitas Struktur Terhadap Batuan
Intersitas struktur terutama kekar sangat berpengaruh
terhadap proses karstifikasi. Disamping kekar dapat
mempertinggi permeabilitas batuan, zona kekar merupakan
zona yang lemah yang mudah mengalami pelarutan dan erosi
sehingga dengan adanya kekar dalam batuan proses
pelarutan dan erosi berjalan intensif. Ritter (1978)
mengemukakan bahwa kekar biasanya terbentuk dengan pola
tertentu dan berpasangan (kekar gerus), tiap pasang
membentuk sudut antara 70 sampai 90 dan mereka saling
berhubungan. Hal inilah yang menyebabkan kekar dapat
mempertinggi porositas dan permeabilitas sekaligus sebagai
zona lemah yang menyebabakan proses pelarutan dan erosi
berjalan lebih intensif. Apabila intensitas pengkekaran sangat
tinggi maka batuan menjadi mudah hancur atau tidak
memiliki kekauatan yang cukup. Disamping itu permeabilitas
mejadi sangat tingi sehingga waktu sentuh batuan dan air
sangat cepat. Hal ini menghambat proses kartifikasi (Ritter,
1978). Adanya control struktur dalam pembentukan topografi
karst ini diberikan contoh pada pembentukan gua (gambar
V.1.)
-
Gambar V.1. Sketsa gua yang dikontrol oleh kekar
V.2.2. Faktor Kimiawi
Faktor kimiawi yang berpengaruh dalam proses karstifikasi adalah
kondisi kimia batuan dan kondisi kimia media pelarut.
1. Kondisi Kimia Batuan
Kondisi kimia batuan yang dimaksud adalah komposisi
dan sifat kimia (kelarutannya).
Secara umum berdasarkan komposisinya batugamping
dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, tetapi
sesuai dengan namanya, batugamping sedikitnya
-
mengnadung 50% mineral karbonat ynag umumnya berupa
kalsit (CaCO3). Dua jenis mineral karbonat yang umum ada
pada batugamping adalah kalsit dan dolomite (Sweeting, 1973
dalam Ritter, 1978). Menurut Leigton dan Pendextel (1962
dalam Ritter, 1978), bila batuan mengandung mineral
dolomite lebih dari 50% maka batuannya disebut dolomite dan
bila batuannya mengandung mineral kalsit lebih dari 50%
maka batuannya disebut batugamping. Batugamping inilah
yang mempunyai kecenderungan untuk membentuk topografi
karst.
Corbel (1957 dalam Ritter, 1978) menyebutkan bahwa
untuk membentuk topografi karst diperlukan sedikitnya 60%
kalsit dalam batuan. Untuk perkembangan topografi karst
yang baik diperlukan kurang lebih 90% kalsit dlam batuan
tersebut, tetapi bila kandungan mineral kalsit lebih dari 95%
(batugamping murni, misal kalk) maka batuan tersebut tidak
memiliki kekuatan yang cukup untuk pembentukan topografi
kars. Topografi kars yang dapat terbentuk pada kalk hanya
lembah kering, lubang pelarutan (solution pits) dari lubang-
lubang yang dangkal (swallows holes) atau bentuk minor yang
terdapat dipermukaan lainnya (Twidale, 1976). Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa dolomit mempunyai pelarutan dan
kekuatan (strength) yang lebih kecil dibanding kalsit
(batugamping), sehingga perkembangan topografi kars pada
dolomit lebih jelek dibandingkan dengan perkembagan kars
pada batugamping. Topografi kars yang dapat berkembang
pada dolomit adalah surupan kecil, depresi yang dangkal dan
beberapa depresi dengan lantai dasar dan dinding yang terjal.
2. Kondisi Kimia Media Pelarut
Media pelarut dalam proses karstifikasi adalah air alam
(natural water) (Jehning, 1971 Vide Bloom, 1979). Kondisi
-
kimiawi media pelarut ini sangat berpangaruh pada proses
karstifikasi.
Flint dan Skinner (1979) mengemukakan bahwa kalsit
sangat sulit lartu dalam air murni, akan tetapi ia akan larut
dalam air yang mengandung asam. Dialam, air hujan akan
mengikat karbondioksida (CO2) dari udara dan dari tanah
disekitarnya membentuk air /larutan yang bersifat asam yaitu
asam karbonat (H2CO3). Larutan inilah yang akan melarutkan
batugamping. Dengan demikian bahwa sifat kimiawi media
pelarut sangat dipengaruhi oleh banyaknya karbondioksida
yang diikatnya.
Disamping membentuk larutan asam, karbondioksida
didalam air akan meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam
larutan tersebut. Tekanan parsial CO2 yang tinggi dalam
larutan akan mempertinggi kemampuan larutan untuk
melarutkan kalsit.bloom (1979) menyebutkan bahwa tekanan
parsial CO2 pada air yang mengandung udara (aerated
aqueous) hanya 30 pa dan CaCO3 yang dapat dilarutkannya
kurang lebih hanya 63 mg/lt, tetapi pada kondisi tidak ada
udara (anaerobic) tekanan parsial CO2 meningkat sampai 30
Kpa dan CaCO3 yang dapat dilarutkannya mencapai 700
mg/lt.
3. Faktor Biologis
Aktifitas biologis dapat mempengaruhi pembentukan
topografi kars, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Bloom (1979) aktifitas biologis (dalam hal ini
tumbuh-tumbuhan dan mikrobiologis) dapat menghasilkan
humus yang akan menutupi batuan dasar. Humus ini
menyebabkan batuan dasar tersebut menadi anaerobik,
sehingga air permukaan yang masuk sampai kebatuan dasar
(sampai zona anaerob) tekanan parsial CO2nya bertambah
besar sampai 10 kali lipat dibanding dengan saat dia berada
-
dipermukaan. Karena tekanan parsial CO2 naik, maka
kemampuan air untuk melarutkan batuan menjadi lebih
tinggi. Dengan demikian berarti dengan terbentuknya humus
oleh aktifitas biologis, maka proses karstifikasi berjalan lebih
internsif.
Disamping meningkatkan tekanan parsial CO2 dalam
larutan, pada saat pembentukan humus juga terjadi proses
dekomposisi material organic yang menghasilkan
karbondioksida (CO2). Karbondioksida ini disebut dengan
biogenic CO2, yang merupakan bagian terbesar dari
kandungan CO2 didalam tanah (Ritter, 1978). Dengan
demikian berarti bahwa aktifitas biologis juga menambah
suplay CO2 didalam tanah dan CO2 ini akan diikat oleh air
tanah sehinga lebih reaktif.
Aktifitas biologis kecuali meningkatkan tekanan parsial
CO2 dan menambah kadar CO2 dalam tanah juga dapat
berpengaruh secara langsung dalam pembentukan topografi
kars. Folk, dkk (1973) Vide Ritter (1978) menyebutkan bahwa
pembentukan phytokarst dipengeruhi oleh tetumbuhan (dalam
hal ini algae) secara langsung. Algae yang hidup pada
betugamping melekat dan menembus permukaan
batugamping tersebut sedalam 0,1 0,2 mm. Algae ini juga
menghasilkan larutan asam yang kemudian melarutkan
batuan disekitar tempat tumbuhnya, akibat permukaan
batugamping tersebut berlekuk-lekuk dengan lubang-lubang
yang saling berhubungan dan bentuk tepinya tajam-tajam.
4. Faktor Iklim dan Lingkungan
Iklim dan lingkungan merupakan dua hal yang sering kali
sulit untuk dipisahkan. Lingkungan dalam arti sempit adalah
kondisi disekitar tempat yang dimaksud (dalam hal ini adalah
lahan pembentukan topografi kars) dan lingkungan dalam arti
-
luas meliputi seluruh aspek biotik dan abiotik yang ada
didaerah yang dimaksud.
Didalam membahas lingkungan dalam arti sempit, Von
Engeln (1942) mengemukakan bahwa kondisi lingkungan yang
mendukung pembentukan topografi kars adalah adanya
lembah besar yang mengelilingi tempat yang tinggi, yang
terdiri dari batuan mudah larut (batugamping) yang
terkekarkan dengan intensif. Kondisi ini menyebabkan air
tanah pada tempat yang tinggi dapat turun , menembus
batugamping tersebut dan melarutkannya dengan bebas.
Selanjutnya air tanah tersebut msuk kedalam lembah sebagai
air permukaan.
Disamping itu Ritter (1978) menyebutkan bahwa kondisi
lingkungan disekitar batugamping harus lebih rendah, atau
dengan kata lain batugamping tersebut haurs memiliki elevasi
yang lebih tinggi dibanding lingkungan disekitarnya. Kondisi
lingkungan seperti ini menyebabkan sirkulasi air dapat
berjalan dengan baik sehingga proses karstifikasi dapat
berjalan lebih intensif.
Lingkungan dalam arti luas mencakup kondisi biotik
(aktifitas biologis) dan kondisi abiotik (suhu, curah hujan,
presipitasi dan penguapan) daerah yang dimaksud. Kondisi
biotik dan abiotik disuatu daerah sangat ditentukan oleh iklim
daerah tersebut (Bloom, 1979). Selanjutnya dikemukakan
pula bahwa kondisi biotik dan abiotik tersebut sangat
mempengaruhi proses eksogenik, yaitu baik pelapukan
ataupun pelarutan batugamping. Dengan demikian berarti
bahwa iklim sangat mempengaruhi proses eksogenik pada
suatu daerah.
Daerah yang beriklim tropis basah (lintang 0 13) curah
hujan cukup tingggi, kombinasi suhu dan presipitasi ideal
untuk berlangsungnya proses pelarutan sehingga proses
-
karstifikasi berjalan sangat bagus (Riter, 1978). Selain itu
sikulasi air tanah sangat baik, tumbuh-tumbuhan lebah dan
aktifitas mikroba cukup tinggi sehingga sangat mendukung
terjadinya proses karstifikasi. Air tanah didaerah ini sangat
reaktif untuk pelarutan dan suhu udara cukup tinggi sehinga
reaksi kimia untuk melarutkan batugamping berjalan lebih
cepat. Menurut Bloom (1979), air tanah didaerah tropis
mengandung asam organic dan komponen nitrat sehingga
agrasifitasnya naik. Dengan kondisi daerah semacam ini maka
topografi kras dapat berjalan dengan baik didaerah beriklim
tropis basah. Topografi kars yang dapat terbentuk pada
daerah tropis basah sangat bervariasi baik konstruksional
maupun topografi sisa.
V.3. Proses Pembentukan Topografi Kars
Von Engeln (1942) menyebutkan bahwa kondisi batuan yang
menunjang terbentuknya topografi kars ada 4 , yaitu :
- mudah larut dan berada dipermukaan atau dekat dengan
permukaan
- masif, tebal dan terkekarkan
- berada pada daerah yang curah hujannya sedang sampai
tinggi
- dikelilingi oleh lembah sehingga air permukaan dapat melalui
rekahan-rekahan yang ada pada batuan sambil
melarutkannya
Pembentukan topografi kars dimulai pada saat air permukaan
memasuki rekahan yang diikuti oleh pelarutan batuan pada zona
rekahan tersebut (Gambar V.2).
-
Gambar V.2. Diagram aliran air didalam batugamping melalui rekahan (a) dan gua (b).
Akibatnya adanya proses pelarutan tersebut, rekahan yang ada
menjadi semakin lebar, akhirnya membentuk sungai bawah tanah
atau gua.
Davis (1930, dalam Bloom, 1979) mengemukakan teori
pembentukan gua yang dikenal sebagai deep phreatic theory yang
mengemukakan bahwa gua terbentuk ditempat yang jauh dibawah
muka airtanah karena aliran air preatik dapat mencapai tempat yang
sangat dalam.
Apabila suatu saat ada suatu sebab yang menyebabkan gua
tersebut beerada diatas muka airtanah, misalnya pengangkatan atau
ada penurunan muka airtanah, maka didalam gua tersebut akan
terdapat ruangan yang hanya berisi udara (atmosfer gua). Dengan
demikian maka airtanah yang bergerak dari atas dan masuk kedalam
gua tersebut akan menetes kedasar atau lantai gua. Pada saat
airtanah yang membawa larutan kalsium bikarbonat menetes
kedalam gua maka gas CO2 dari larutan tersebut berdifusi dan masuk
kedalam atmosfer gua, akibatnya akan terendapkan mineral kalsit
-
baik ditempat jatuhnya airtanah maupun pada tempat menetesnya
airtanah tersebut (Sanders, 1981). Endapan kalsit tersebut
membentuk Stalagtit dan Stalagmite atau dikenal dengan nama
Speleothem.
Dengan adanya gua dan sungai bawah tanah ini maka dapat
terbentuk depresi tertutup yan gdisebut surupan. Surupan (dolines)
terbentuk bila atap gua atau sungai bawah tanah runtuh , dan
surupan yang terbentuk ini dikenal dengan nama collapse dolines
atau subjacent kars collapse dolines. Selanjutanya Bloom (1979)
mengemukakan bahwa surupan dapat terbentuk oleh proses
pelarutan pada saat air permukaan memasuki rekahan pada batuan.
Surupan jenis ini disebut solution dolines. Perkembangan surupan
runtuhan (collapse dolines) dan surupan pelaurutan (solution dolines)
digambarkan oleh Longwell dkk (1948) seperti gambar V.3.
Gambar V.3. Perkembangan collapse dolines akibat runtuhnya atap
gua (Longwell, 1949).
Pekembangan surupan runtuhan dimulai dengan adanya rongga
bawah tanah (gua) pada batugamping. Kemudian gua tersebut
-
mengalami pelebaran bersma-sama dengan berkembangnya Stalagmit
dan Stalagtit. Fase selanjutnya adalah runtuhnya atap gua tersebut
dan membentuk surupan yang bentuknya tidak teratur.
Surupan pelarutan mulai berkembang saat terjadi pelebaran kekar
vertical oleh pelarutan (Gambar V.4.a). Kemudian terjadi pelebaran
kekar tersebut sehingga mambentuk celah yang lebih lebar. Tampak
pada gambar V.4.b. dan V.4.c, bahwa pelarutan lebih efektif pada
daerah yang dekat dengan permukaan. Fase selanjutnya lapisan
penutup dipermukaan terbuka sehingga terbentuk surupan (gambar
V.4.d).
Gambar V.4. Perkembangan surupan akibat adanya pelarutan pada batugamping yang terkekarkan (Longwell, 1948).
Selain yang tersebut diatas, sururpan juga dapat terbentuk oleh
proses subsiden pada material sukar larut yang menutup batuan
mudah larut . surupan jenis ini disebut subsidence dolines.
Apabila surupan-surupan yang berdekatan berkembang sehingga
saling berhubungan dan membentuk suatu depresi besar dengan
lantai dasar yang bergelombang, maka depresi ini disebut Uvala.
-
Jenning (1967, dalam Ritter, 1978) menyebutkan bahwa uvala
dapat tersusun oelh 14 buah doline dengan ukuran yang bervariasi
dan beraneka ragam. Selanjutnya disebutkan pula bahwa bila depresi
yang besar tersebut memanjang searah jurus perlapisan atau
sepanjang zona lemah structural, lantai dasarnya datar dan
dindingnya curam maka disebut Polje.
Proses pelarutan pada batuan karbonat (batugamping)
meninggalkan morfologi sisa pelarutan. Perkembangan morfologi sisa
ini menurut Jackues (1977, dalam Van Zuidam, 1979) dapat dibagi
dalam empat fase. Keempat fase tersebut adalah (Gambar V.5).
Gambar V.5. Diagram yang menunjukkan perkembanagan morfologi sisa pelarutan (Jackues 1977, dalam Van Zuidam, 1979).
Fase I. Terjadi pelarutan pada batuan yang terkekarkan sehingga
membentuk lembah yang ekmudian merupakan zona yang lebih cepat
mengalami pelarutan (zona A) dibanding dengan zona B yang tidak
mengalami pengkekaran (gambar V.5.1).
-
Fase II. Karena zona A lebih cepat mengalami pelarutan maka pada
zona ini segera terbentuk lembah yang dalam, sementara pada zona B
masih berupa dataran tinggi dengan gejala pelarutan dibeberapa
tempat (gambar V.5.2)
Fase III. Pelarutan pada kedua zona tersebut terus berjalan
sehingga pada fase ini mulai terbentuk kerucut-keucut kars pada
zona B. pada kerucut kars ini tingkat pelarutan /tingkat erosi
vertikalnya lebih kecil dibanding dengan lembah disekitarnya
(Gambar V.5.3)
Fase IV. Karena adanya erosi lateral dan korosi oleh aliran sungai
maka zona A berada pada batas permukaan erosi dan pada zona B
erosi vertikalnya telah berjalan lebih lanjut sehinga hanya tinggal
beberapa morfologi sisa saja. Morfologi sisa ini sering disebut dengan
Menara Kars. Apabila menara-menara kars terebut terisolasi satu
dengan yang lainnya dan dikelilingi oleh dataran alluvial, maka
morfologi ini disebut sebagai Mogote atau Pepino Hill (gambar 5.4)
Morfologi sisa berkembang baik pada daerah yang beriklim tropis
basah, karena proses erosi dan pelarutan sangat intensif pada daerah
ini (Bloom, 1979).
V.4. Bentang Alam Hasil Proses Karstifikasi
Nama Kars menurut Thornbury (1964) dipakai pertama kali untuk
menamakan sebuah daerah di Italia yaitu Carso. Daerah Carso
merupakan dareah seluas kurang lebih 38.500 km2 dengan
ketinggian mencapai 2.500 m yang litologinya berupa batugamping
dimana gejala topografi kars berkembang baik didaerah ini. Daerah
kars yang dimaksud tepatnya berada disebelah timur laut Laut
Adriatic (Gambar V.5).
Bentuk morfologi yang menyusun suatu bentang alam kars dapat
dibedakan menjadi dua macam (Srijono, 1984, dalam Widagdo, 1984),
yaitu bentuk-bentuk konstruksional dan bentuk-bentuk sisa
pelarutan.
-
Gambar V.6. Daerah yang merupakan daerah topografi kars
V.4.1. Bentuk-bentuk Konstruksional
Bentuk konstruksional adalah bentuk topogrfi yang dibentuk
oleh proses pelarutan batugamping atau pengendapan material
karbonat yang dibawa oleh air. Berdasarkan ukurannya, topografi
konstruksional dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu
bentuk-bentuk minor dan bentuk-bentuk mayor. Menurut Bloom
(1979), yang dimaksud dengan bentang alam kars minor adalah
bentang alam yang tak dapat diamati pada foto udara atau peta
topografi, sedang bentang alam kars mayo adalah bentang alam
yang dapat diamati baik didalam foto udara atau peta topografi.
Bentuk-bentuk topografi kars minor adalah :
a. Lapies
Merupakan bentuk tak rata pada permukaan batugamping
akibat adanya proses pelarutan, penggerusan atau karena
proses lain. Lapies (bahasa Prancis) sering disebut Karren
(bahasa Jerman) atau Clints (bahasa Inggris) (Thornbury,
1964). Ritter (1978) mengklasifikasikan Karren berdasar
bentuknya menjadi dua kelompok, yaitu yang mempunyai
-
bentuk lurus dan bentuk melingkar seperti bulan sabit (lihat
tabel 5.1)
Tabel 5.1. klasifikasi Karren (lapies) (Ritter, 1979)
Bentuk Nama Keterangan
Linier/kurva linier Solution Flutes Berupa lekukan
halus, lurus,
kedalaman 1-2 cm,
lebar kira-kira 2 cm,
seragam, panjang 10
cm beberapa
meter, antar celah
dibatasi oleh
pematang yang
tajam, terorientasi
searah dengan slope.
Solution Runnels Berupa aluran
terbatas, dalamnya
kira-kira 40 cm,
lebar 40 50 cm,
panjang lebih dari 2
cm, bila terjadi pada
bidang kekar atau
bidang perlapisan
disebut grikes
Solution Ripple
(Gelombang
Pelarutan)
Berupa gelembur
gelombang
yangtegak lurus
terhadap slope,
tingginya 10 50
cm, terbentuk pada
permukaan miring
yang curam
-
Melingkar (bulan
sabit)
Lubang pelarutan air
hujan (rain pits)
Berupa lubang kecil
pada permukaan
yang datar,
diameternya 3 cm,
dalamnya 2 cm,
terbentuk oleh
tetesan air hujan
Solution Pans Berupa cekungan
dengan lantai yang
datar, diameternya 1
50 cm, lebar 3 cm
3 m, terbentuk
pada batuan dasar
yang tertutup
vegetasi
Lereng Pelarutan
(Solution Bevels)
Berupa jejak (treads)
dan lereng (scraps)
yang datar dan licin,
panjang treads 20
cm 1 m, tinggi
scraps 3 5 cm,
terbentuk oleh
gerakanair diatas
batuan dasar yang
miring rendah
Berdasarkan letak pembentukannya (origin), lapies dapat
dibedakan menjadi dua macam (Herak dan Stringfiels,
1972), yaitu lapies yang originnya tersingkap dipermukaan
dan lapies yang originya tidak tersingkap dipermukaan /
berada dibawah tanah dan lapies yang originnya tersingkap
dipermukaan.
-
Gambar V.7. Kenampakan Karren/ Lapies pada batugamping
b. Kars Split
Adalah celah pelarutan yang terbentuk dipermukaan. Kars
split sebenarnya merupakan perkembangan dari kars-runnel
(solution runnel). Bila jumlah kars runnel banyak dan saling
berpotongan maka akan membentuk kars split (Srijono,
1984 dalam Widagdo, 1984).
c. Parit Kars
Adalah alur pada permukaan yang memanjang membentuk
parit. Srijono (1984), mengemukakan bahwa parit kars ini
merupakan kars split yang memajang sehingga membentuk
parit kars.
d. Palung Kars
Adalah alur pada permukaan batuan yang besar dan lebar,
dibentuk oleh proses pelarutan. Kedalamannya dapat
mencapai lebih dari 50 cm. biasanya terbentuk pada
permukaan batuan yang datar atau miring rendah dan
dikontrol oleh struktur yang memanjang.
-
e. Speleothem
Adalah hiasan yang terdapat didalam gua yang dihasilkan
oleh endapan berwarna putih, bentuknya seperti tetesan air,
mengkilat dan menonjol. Hiasan ini merupakan endapan
CaCO3 yang mengalami presipitasi pada saat air tanah yang
membawanya masuk kedalam gua (Sanders, J.E., 1981).
Macam-macam speleothems yang sering dijumpai adalah
Stalagtit, yaitu hiasan yang menggantung dilangit-langit dan
Stalagmit, yaitu hiasan yang berada didasar atau dilantai
gua serta Tiang Masif (Massife Column), yaitu hiasan yang
terbentuk bila stalagtit dan stalagmite bertemu. (lihat
gambar V.8).
Gambar V.8. Stalaktit dan stalagmit yang hampir membentuk tiang masif (massive column) (Samodra, 1997).
f. Fitokars
Adalah permukaan yang berlekuk-lekuk, dengan lubang-
lubang yang saling berhubungan. Antara lubang satu
dengan yang lainnya dibatasi oleh tepi-tepi yang tajam,
sehingga memberikan bentuk seperti bunga karang pada
-
menara (pinnacles) kars. Morfologi ini terbentuk karena
adanya pengaruh aktifitas biologis, yaitu adanya algae yang
yang tumbuh didalam batugamping. Algae menutup
permukaan dan masuk kebawah permukaan sedalam 0,1
0,2 mm, tampaknya algae tersebut tumbuh didalam
batugamping dan menghasilkan larutan asam yang dapat
melarutkan batugampingnya sehingga membentuk lubang-
lubang (Bloom, 1979), (lihat gambar V.9).
Gambar V.9. Bentuk Pinnacle Karst
Bentuk-bentuk topografi kars mayor adalah :
a. Surupan
Yaitu depresi tertutup hasil pelarutan denagn diameter
mulai dari beberapa meter sampai beberapa kilometer,
kedalamannya mencapai ratusan meter dan bentuknya
dapat bundar atau lonjong (oval), (Twidale, 1967). Surupan
(dolines) ini di Amerika Serikat disebut sebagai sink atau
sink-holey (Ritter, 1978).
-
Jenning (1971) dan Bloom (1979), mengemukakan bahwa
ada lima macam surupan yang dikenal yaitu surupan
runtuhan (collapse dolines), surupan pelarutan (solution
dolines), subsidence dolines, subjacent kars collapse dolines
dan star-shape doline (Lihat gambar V.10).
Gambar V.10. Lima macam surupan yang utama, dibedakan menurut pembentukannya (Bloom, 1979).
b. Uvala
Adalah depresi tertutup yang besar, terdiri dari gabungan
beberapa doline, lantai dasarnya tidak rata. Jenning (1967)
dalam Ritter (1978), mengemukakan bahwa sebuah uvala
terdiri dari 14 buah doline dengan ukuran dan bentuk yang
bervariasi. Ukuran diameternya berkisar antara 5 1000
meter dan kedalamannya berkisar antara 1- 200 meter,
dindingnya curam (Lihat gambar V.11)
-
c. Polje
Depresi tertutup yang besar dengan lantai dasar dan dinding
yang curam, bentuknya tidak teratur dan biasanya
memanjang searah jurus perlapisan atau zona lemah
structural. Pembentukannya dikontrol oleh litologi dan
struktur dan mengalami pelebaran oleh proses korosi lateral
pada saat ia terisi air (Riiter, 1979). Polje mempunyai ukuran
yang sangat besar minimal dalam satuan kilometer persegi
(Lihat gambar V.11).
Gambar V.11. Memperlihatkan bentuk beberapa Uvala dan Polje
d. Jendela Kars
Adalah lubang pada atap gua yang menghubungkan antara
ruang dalam gua dengan udara diluar yang terbentuk
karena atap gua tersebut runtuh, (Twidale, 1976). Disamping
-
itu jendela kars dapat pula terbentuk pada atap sungai
bawah tanah.
e. Lembah Kars (Kars Valley)
Adalah lembah atau alur yang besar yang terdapat pada
lahan kars. Lembah ini terbentuk oleh aliran air permukaan
yang mengerosi batuan yang dilaluinya. Secara umum,
lembah kars dapat dibedakan menjadi beberapa macam
dengan sifat pembaeda yang jelas (Ritter, 1978). Dalam hal
ini disebutkan ada empat macam lembah kars, yaitu :
- Allogenic Valley, yaitu lembah yang bagian hulunya
berada pada batuan yang kedap air kemudian masuk
kedalam daerah kars. Panjang pendeknya lembah
allogenik ini tergantung pada besar kecilnya aliran yang
membentuk, semakin besar alirannya maka semakin
panjag lembah yang terbentuk.
- Lembah Buta (Blind Valley), yaitu lembah atau sungai
pada lahan kars yang secara tiba-tiba berakhir pada
suatu tempat dan biasanya pada akhir lembah ini air
permukaan tanah akan masuk kedalam tanah. Bila suatu
saat aliran dapat melampaui lembah tersebut (misal, saat
hujan lebat atau terjadi pencairan es), maka lembah ini
disebut sebagai semiblind valley, lihat gambar V.12.
Gambar V.12. Sayatan memanjang sebuah lembah buta (Riiter,
1978).
-
- Pocket Valley, yaitu lembah yang dimulai dari tempat
keluarnya air yang masuk melalui surupan. Pada
umumnya pocket valley berasosiasi dengan mata air yang
besar yang keluar diatas batuan kedap air yang terletak
dibawah lapisan batugamping yang tebal. Lembah in
umumnya berbentuk huruf U dan memiliki tebing yang
curam, ukurannya tergantung besar kecilnya debit mata
air yang keluar. Sweeting (1973) dalam Ritter (1978)
menyebutkan bahwa panjang lembah ini dapat mencapai
8 km, lebar 1 km dan dalamnya berkisar antara 300 -
400 meter.
- Lembah Kering (Dry Valleys), yaitu lembah pada lahan
kars yang mirip dengan lembah fluviatil, hanya saja
(sesuai dengan namanya) lembah ini tidak berfungsi
sebagai penyaluran air permukaan (kering), karena air
hujan yang jatuh dan masuk kedalam lebah ini dengan
segera akan meresap kedalam retakan batuan dasarnya.
f. Gua (Cave), yaitu serambi tau ruangan bawah tanah yang
dapat dicapai dari permukaan dan cukup besar bila
dimasuki oleh manusia (Sanders, 1981). Gua seringkali
teridir dari rangkaian ruangan sehingga kedalamannya
dapat mencapai ratusan meter (Lihat gambar V.13).
-
Gambar V.13. Mulut Gua Semuluh di Gunung Sewu yang bentuknya dipengaruhi oleh kekar (Samodra, 1996).
g. Terowongan dan Jembatan Alam, yaitu lorong bawah
tanah yang terbentuk oleh pelarutan dan penggerusan air
tanah atau oleh aliran bawah tanah (Von Engeln, 1942).
Terowongan alam memiliki ukuran yang bervariasi artinya
dapat berukuran besar atau kecil. Sebagai contoh,
terowongan di Virginia dapat berukuran mencapai 275
meter, tingginya 23 meter dan lebarnya 40 meter.
Suatu ketika atap terowongan alam tersebut runtuh,
sehingga panjang terowongan tersebut semakin berkurang,
akibatnya suatu saat morofologi yang terbentuk lebih tepat
disebut dengan Jembatan Alam (Von Engeln, 1942).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa jembatan alam juga
dapat terbentuk oleh proses pelautan saja. Apabila jembatan
alam tersebut terbentuk oleh proses pelarutan batuan oleh
air tanah maka disebut sebagai Jembatan Kars (Kars Briges).
V. 4.2. Bentuk-bentuk Sisa Pelarutan
Yang dimaksud dengan bentuk morfologi sisa pelarutan adalah
morfologi yang terbentuk karena pelarutan dan erosi sudah
-
berjalan sangatlanjut sehingga meninggalkan sisa yang khas
untuk lahan kars. Morfologi sisa dapat berkembang baik terutama
pada daerah yang beriklim tropis basah (Bloom, 1979). Macam-
macam bentuk morfologi sisa yaitu :
a. Kerucut Kars, yaitu bukit kars yang berbentuk kerucut,
berlereng terjal dan dikelilingi oleh depresi yang biasanya
disebut sebagai bintang (Ritter, 1978).
Kerucut kars sering disebut sebagai kegelkars (bahasa Jerman).
Pada kenyataannya kerucut kars sering kali lebih mirip
setengah bola dibanding dengan bentuk kerucut (Lehman,
1963, dalam Bloom, 1979) (gambar V.14). Depresi tertutup yang
mengelilingi bukit sisa biasanya terbentuk bintang dan tidak
teratur sering disebut sebagai cockpits dan terbentuk oleh
proses pelarutan sepanjang zona kekar atau patahan (Sweeting,
1958 dalam Ritter, 1978).
Gambar IV.14. Bukit-bukit batugamping berbentuk kerucut membulat penyusun kars Gunung Sewu (Samodra, 1996).
b. Menara Kars, adalah bukit sisa pelarutan dan erosi berbentuk
menara dengan lereng yang terjal, tegak atau menggantung,
terpisah satu dengan yng lain dan dikelilingi oleh dataran
alluvial (Ritter, 1978). Menurut Jenning (1971) dalam Ritter
(1978) menara kars dan kerucut kars dibedakan dalam hal
-
keterjalan lereng dan adanya rawa / dataran alluvial yang
mengelilinginya. Menara kars disebut juga pepino hill atau
haystack atau turmkarst. Contoh menara kars yang baik adalah
menara kars yang terdapat di Kweilin, Propinsi Kwangsi, China
(Gambar V.15).
Gambar V.15. Menara Kars di Halong Bay, Vietnam.
c. Mogote, adalah bukit terjal yang merupakan sisa pelarutan dan
erosi, umumnya dikelilingi oleh dataran alluvial yang hampir
rata (flat). Bentuknya kadang-kadang tidak simetri antara sisi
yang mengarah kearah d