gambaranklinisuveitis

3

Click here to load reader

Upload: prasetyoeka

Post on 19-Jun-2015

300 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: GambaranKlinisUveitis

Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27 positif

- laporan kasus

Suhardjo, Wasisdi Gunawan

Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta

PENDAHULUAN

Uveitis anterior merupakan radang iris dan badan siliar bagian depan atau pars plikata. Berdasarkan reaksi radang, uveitis anterior dibedakan tipe granulomatosa dan non granu-lomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat eksogen dan endogen. Untuk selanjutnya, yang banyak dibicarakan adalah uveitis anterior endogen. Penyebab uveitis anterior meliputi: infeksi, proses autoimun, yang berhubungan dengan penyakit sistemik, neoplastik, dan idiopatik(1). Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imu-nologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik(2). Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindromaReiter, artritis psoriatika,penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple(1). Keterkaitan antara uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi genetik HLA-B27 positif pertama kali di-laporkan oleh Brewerton et al(3).

Angka prevalensi uveitis anterior sekitar 0,19%; namun angka tersebut meningkat menjadi 1% pada kelompok.populasi HLA-B27 positif(4). Uveitis anterior merupakan salah satu ra-dang di dalam bola mata yang paling sering dijumpai, dengan insidensi pertahun bervariasiantara 8,2–12 setiap 100.000 pen-duduk(5,6). Uveitis anterior akuta pada HLA-B27 positif lebih sering terjadi pada orang Kaukasia dibandingkan orang Jepang. Umur penderita biasanya bervariasi antara usia prepubertal –50 tahun(5).

Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, foto- Disajikon pads Konas III Peratnu ni, di Bandung, 22–26 Juni 1993

fobia, lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab. Uveitis anterior yang disebabkan oleh reaksi anafilaksis terhadap protein lensa akan didominir oleh adanya sel-sel besar di bilik mata depan; sedang jika disebabkan oleh sindroma Reiter justru didominir oleh eksudat fibrin dan sel-sel kecil atau lazim disebut radang non granulomatosa.

Dalam menentukan penyebab uveitis anterior, sering di-jumpai banyak kendala di Indonesia. Pemeriksaan cairan hasil parasentesis dari bilik mata depan merupakan pemeriksaan yang lazinrdikerjakan untuk menegakkan diagnosis, namun hal terse-but masih sulit diterima para pasien mengingat risiko tindakan juga tidakringan. Di samping itu, beberapa teknik pemeriksaan laboratorium terutama yang menyangkut pemeriksaan imuno-logik masih relatif mahal. Teknik pemeriksaan histokompatibi-litas HLA-B27 relatif langka dan tidak terjangkau pada pasien uveitis anterior umumnya. Pemeriksaan HLA-B27 pada uveitis anterior dapat untuk menentukan diagnosis dan prognosis penya-kit(7). Di Indonesia belum pernah dilaporkan mengenai gambaran klinis uveitisanterior pada pasien dengan HLA-B27 positif. Kasus demikian mungkin saja banyak dijumpai, namun se-hubungan dengan beberapa keterbatasan dalam pemeriksaan HLA-B27 sehingga tidak pemah ditelaah di Indonesia.

Tulisan ini bertujuan untuk melaporkan kasus uveitis ante-rior akuta dengan gejala sangat spesifik yang disertai adanya spondilitis ankilosing. Diharapkan tulisan ini dapat menambah wawasan dalam penanganan uveitis anterior, serta agar dapat difahami tentang pentingnya pemeriksaan HLA-B27.

Page 2: GambaranKlinisUveitis

LAPORAN KASUS Seorang wanita Ny. M umur 34 tahun, alamat: Jetis, Pedan,

Klaten, Jawa Tengah; pada tanggal 7-11-1992 masuk RSUP Dr Sardjito dengann keluhan mata kanan sakit, penglihatan sangat kabur, mata merah, dan berair. Keluhan tersebut diderita sejak 7 hari sebelumnya, dan sudah berobat ke RSU Tegalyoso namun tidak ada perbaikan. Berdasarkan basil pemeriksaan didapatkan: visits matakanan 1/300, palpebra bleparospasmus berat, injeksi siliar pada konjungtiva, kornea udem, bilik mata depan flare 4+, set 3+, eksudat fibrin hampir menutup pupil, hipopion setinggi 2 mm, lensa dan belakang lensa tidak dapat dinilai. Mata kiri visus 6/6, dan tidak dijumpai kelainan. Riwayat keluarga: ayah pasien menderita sakit sendi tulang belakang.

Hasil pemeriksaan laboratorium rutin didapatkan: angka leukosit 14.400, Hb 13,6 g%, laju endap darah 74 mm, per-sentase jenis leukosit batang 1%, segmen 90%, dan limfosit 9%. Kadar glukosa darah puasa 75 mg%. Kadar enzim fosfatase alkali 66 lU/ml, dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan imunologik: faktor reumatoid negatif, CRP 1/40, ASO 200 lU/ml (+), VDRL negatif, IgG Tokso 600 lU/ml, IgM Tokso-ISAGA negatif, HLA-B27 positif. Uji PPD pada kulit negatif. Hasil pemeriksaan foto Ro: artritis sakro-iliaka dan coxae.

Hasil konsultasi antar unit didapatkan: status reumatologis didapatkan spondilitis ankilosa, status THT didapatkan etmoidi-tis, status ortopaedis didapatkan skoliosis torakolumbal yang balanced, status dermato-venerologis ada persangkaan servisitis Gonore, status gigi dan mulut didapatkan gigi L 6 gangren.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium penunjang, dan pemeriksaan konsultasi antar unit, dibuat diagnosis: mata Icarian uveitis anterior akuta pada HLA-B27 positif, spondilitis ankilosa, etmoiditis, gigi L 6 gangren, dan persangkaan servisitis gonore.

Dilakukan terapi non spesifik pada mata yang meliputi: steroid topikal tiap jam, sulfas atropin tetes 1%, injeksi steroid sub-tenon anterior 0,8 ml deksametason/hari selama 5 hari, injeksi deksametason 2 ml intra muskuler/hari dap pagi selama 5 had. Untuk etmoiditis, diberikan amoksilin 3x500 mg selama 5 hari. Tiamfenikol 3 g/hari selama 2 hari diberikan untuk me-nanggulangi persangkaan servisitids gonore. Untuk spondilitis ankilosa perlu diberikan senyawa anti radang non steroid, serta dilakukan fisioterapi. Gigi L 6 gangren yang diduga sebagai fokal infeksi dilakukan ekstraksi.

Pemeriksaan setelah 7 hari mendapatkan: visus mata kanan 6/60, segmen depan dijumpai reaksi radang ringan, kornea tidak udem, bilik mata depanflare 2+, sel 1+, beberapa eksudat fibrin, hipopion tidak ada, pupil luas dengan tepi kurang rata akibat ada-nya sinekia posterior, terdapat beberapa sisa fibrin dan pigmen iris di permukaan depan lensa. Segmen belakang tidak dijumpai kelainan. Dosis terapi steroid diturunkan secara bertahap sampai dosis rumat, sedang pemberian steroid topikal masih tetap.

Setelah perawatan 14 hari diperoleh hasil: visus mata kanan 6/6, segmen depan tenang, bilik mata depan flare 0, se10, pupil luas, ada beberapa pigmen iris menempel pada kapsul lensa, sisa

serabut fibrin di tepi iris, lensa jemih, segmen belakang tidak dijumpai kelainan. Pasien diperbolehkan pulang, dan bisa di-lakukan rawat jalan.

Hasil pemeriksaan terakhir tanggai 4-2-1993 didapatkan status oftalmologis: tidak dijumpai adanya tanda-tanda uveitis anterior. Penderita masih sering mengeluh adanya nyeri punggung bawah yang hilang timbul. Status reumatologis: spondilitis ankilosa; karena penderita tidak tahan terhadap efek samping obat anti radang non steroid per oral, disarankan pemberian se-cara topikal. Penderita tetap dianjurkan fisioterapi, guna meng-hindarkan gejala sisa yang timbul akibat spondilitis ankilosa. DISKUSI

Reaksi radang yang didominir oleh eksudat fibrin, reaksi seluler yang kurang menonjol, adanya hipopion, dan proses radang bersifat mendadak menunjukkan suatu radang non gra-nulomatosa. Reaksi radang yang berat pada kasus ini ditunjukkan dengan rasa sakit yang memaksa pasien harus dirawat, di sam-ping visus yang turun sampai tingkat kebutaan. Menurut Rao et al (1992) gambaran Minis uveitis anterior pada HLA-B27 ber-sifat akut, berat, sering kambung, dwipihak tetapi biasanya tidak bersamaan(1). Kekambuhan biasanya terjadi walaupun penyem-buhan uveitis anterior telah menyeluruh. Lama serangan uveitis anterior jarang melebihi 6 minggu(8).

Uveitis anterior akuta yang disertai spondilitis ankilosa sering mirip dengan sindrom Reiter, karena secara imunologik sama-sama memikiki HLA-B27 positif dan faktor Rheuma yang negatif. Pada sindrom Reiter dikenal tiga jelala utama: uretritis, poll artritis, dan konjungtivitis. Gejala pada mata ini dapat diikuti adanya uveitis anterior, walaupun sangat jarang(1,5). Pada kasus ini tidak dijumpai adanya: konjungtivitis, artritis sendi lutut, sendi mata kaki dan tendo Achilles. Pada sindrom Reiter dapat ditemukan bakteri spesies Chlamydia, Mycoplasma dan spesies Salmonella baik dalam discharge uretra maupun cairan sendi yang mengalami peradangan. Pada kasus ini terdapat persangkaan servisitis Gonore yang ditandai dengan adanya discharge muko-purulen serta bakteri Gram negatif. Keberadaan infeksi bakteri Gram negatif pada saluran genitourinarius dapat dianggao se-bagai pencetus terjadinya uveitis anterior akuta maupun spon-dilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi genetik HLA-B27(9).

Menurut Rothova et al(10) uveitis anterior pada HLA-B27 positif mempunyai karakteristik: umur rerata yang terkena 34,9 tahun, lama serangan 6,1 minggu, interval kekambuhan 100,6 minggu, dan visus turun rerata 3,2 baris Snellen. Bila dibanding-kan dengan kelompok uveitis anterior dengan HLA-B27 negatif: umur rerata 43,2 tahun, lama serangan 4,4 minggu, interval kekambuhan 58,3 minggu, visus turun rerata 2,1 bans Snellen. Keberadaan eksudat fibrin di bilik mata depan, hal itu merupakan tanda karakteristik pada uveitis anterior dengan HLA-B27 po-sitif. Pengamatan terhadap 73 penderita uveitis anterior dengan HLA-B27 positif ternyata 56% menjumpai adanya fibrin di bilik mata depan; namun sebaliknya hanya 10% path kelompok uveitis anterior dengan HLA-B27 negatif(10). Disimpulkan bahwa

Page 3: GambaranKlinisUveitis

prognosis dan penyulit yang terjadi pada kelompok HLA-B27 positif ternyata lebih serius(10). Pada kasus ini juga dijumpai adanya hipopion; keberadaan hipopion menunjukkan bahwa reaksi radang sangat berat dan bersifat hiperakut(5).

Penyebab uveitis anterior pada kasus ini menyangkut bebe-rapa hal, antara lain: tingginya titer anti streptolisin 0, adanya infeksi bakteri Gram negatif pada saluran genitourinarius, adanya etmoiditis, dan terjadinya gangren pada gigi L 6. Woods (1956) melaporkan bahwa keberadaan bakteri streptokokus, gonokokus, pneumokokus, pseudomonas, dan bakteri koliform dalam suatu fokus infeksi akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas dengan sasaran jaringan uvea anterior. Namun teori tersebut sudah mulai ditinggalkan, semenjak ditemukannya faktor predisposisi genetik HLA-B27. Infeksi dianggap sebagai pencetus, khusus-nya infeksi Gram (–) pada saluran gastro intestinal(11). Antigen bakteri dan HLA-B27 pada membran sel akan menimbulkan reaksi sitotoksis sel T, dan mengakibatkan respons imunologik yang tidak lazim(12). Pada kasus ini mungkin yang berperan sebagai pencetus adalah infeksi bakteri Gram (–) pada saluran genitourinarius.

Beberapa penyulit yang sering timbul pada uveitis anterior dengan HLA-B27 positif antara lain: sinekia posterior, katarak, glaukoma sekunder, edema makula kistoid, kebutaan, dan bebe-rapa kasus perlu intervensi pembedahan(10). Kelompok HLA-B27 negatif ternyata mempunyai penyulit jauh lebih ringan. Pada kasus ini walaupun terjadi sinekia posterior, tetapi dapat dihilangkan; sedang penyulit yang lain tidak dijumpai.

Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mencegah sinekia posterior, mengurangi kekambuhan, mencegah kerusakan vasa darah iris, mencegah terjadinya penyulit yang mampu menurun-kan visus secara permanen termasuk di sini katarak komplikata dan edema makula kistoid(5,8). Pada kasus ini reaksi radang sangat berat, terapi pilihan yang tepat adalah steroid dosis tinggi baik topikal, peri okuler, maupun sistemik. Perjalanan klinis uveitis anterior akuta terutama yang menyangkut visus tergantung berat ringannya serangan, jumlah angka kekambuhan, dan responsi-bilitas terhadap terapi steroid(7). Pada kasus ini keberhasilan terapicukup menggembirakan, mengingat penderita datang dalam kondisi buta dan pulang dengan visus normal. Pemberian anti radang non steroid pada uveitis anterior agak mengecewakan hasilnya, walaupun mampu sedikit mengurangi beratnya reaksi radang(5): Mungkin secara analogis dapat mengurangi penyulit edema mākula kistoid, berhubung preparat tersebut mampu mencegah edema makula kistoid pasca bedah katarak(1).

Keterkaitan uveitis anterior dengan penyakit sistemik me-liputi spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, artritis psoriatika, penyakitCrohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Uveitis anterior akuta merupakan pengejawantahan ekstraartikuler yang paling serius pada spondilitis ankilosa. Uveitis anterior akuta terjadi pada 20–30% pasien spondilitis ankilosa(3). Pasien uveitis anterior akuta dengan HLA-B27 positif harus dikonsulkan ke rheumatologist untuk mengetahui ada tidaknya spondilitis ankilosa; hal ini mengingat diagnosis awal spondilitis ankilosa sangat penting. Serangan awal spondilitis ankilosa umumnya sudah terjadi 10 tahun sebelum diagnosis ditegakkan(4). Walaupun

penyebab spondilitis ankilosa tidak diketahui, namun predis-posisi genetik HLA-B27 dan faktor lingkungan dihipotesiskan ikut berperanan(4). Menurut Rothova et al (1987), pada pasien-pasien spondilitis ankilosa yang disertai serangan akut uveitis anterior dijumpai kenaikan kadar IgA dan IgA circulatory immune complex serum yang berhubungan dengan adanya infeksi bakteri Gram (–) di usus(9). Dalam hal ini antigen bakteri yang menembus mukosa usus dianggap sebagai faktor pencetus pada orang dengan predisposisi genetik HLA-B27. Terjadinya deposisi kompleks imun pada uvea anterior dalam waktu tertentu dapat menimbulkan reaksi radang. Pada kasus ini ternyata sudah terjadi deformitas berupa skolibsis, dan diperlukan fisioterapi guna mencegah terjadinya penyulit lebih lanjut. KESIMPULAN

Pada setiap kasus uveitis anterior non granulomatosa perlu diperiksa keberadaan HLA-B27, serta kemungkinan infeksi bakteri Gram () pada saluran gastro intestinal maupun genitourinarius. Pada uveitis anterior yang disertai hipopion dan fibrin harus dicurigai adanya predisposisi genetik HLA-B27. Kasus demikian perlu dikonsulkan untuk dicari kemung-kinan adanya penyakit sistemik yang berkaitan khususnya spondilitis ankilosa, dan sindrom Reiter. Perlu dilakukan pe-nelitian lebih lanjut mengenai pola gambaran klinis penderita uveitis anterior pada HLA-B27 positif di Indonesia, mengingat adanya perbedaan etnik maupun lingkungan geografik diban-dingkan di negara-negara Barat.

KEPUSTAKAAN

1. Rao NA, Forger DJ, Augsburger H. The Uvea, Uveitis and Intra ocular Neoplasms. London: Gower Med. Publ, 1992.

2. Baohua F. Endogenous uveitis of the Cantonese. Proc 9th Congres APAO, Hongkong, 1983.

3. Brewerton DA, Caffrey M, Nicholls A. Acute anterior uveitis and HLA-B27, Lancet 1973; 2: 41-5.

4. Linssen A, Deller-Says AJ, Dandrieu MR. The HLA-B27 Associated Syndrome, Excerpta Medics 1982; 134: 85-8.

5. Smith RE, Nozik RA. Uveitis, A Clinical Approach to Diagnosis and Management. London: Williams & Wilkins, 1983.

6. Vadot E, Barth E, Billet P. Epidemiology of Uveitis, Preliminary results of prospective study in Savoy. Amsterdam: Elsevier Science Publ, 1984.

7. Feltkamp TEW. H:LA-B27, acute anterior uveitis and ankylosing spondili-tis, In: Ziff M, Cohan SB (eds.): Advances in Inflammation Research, Vol. 9, New York: Raven Press, 1985.

8. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach 2nd ed. London: Butterworth-Heinemann, 1989.

9. Rothova A, Luyendijk L, Linssen A, Kijlstra A. IgA serum levels and circulating immune complexes containing IgA in different uveitis entities. In: Fregona I, Secchi AG (eds): Proc 4th International Symposium on the Immunology and Immunopathology of the Eye. Padua, 1987.

10. Rothova A, Veenendaal WB, Linssen A. Clinical features of Acute Anterior Uveitis, Am J Ophthalmol 1987; 100: 375-9.

11. Saari KM, Laitinen 0, Leirisals M. Ocular inflammation associated with Yersinia infection, Am J Ophthalmol 1980; 89: 84-8.

12. Simonsen M, Olsson L. Possible roles of compound membrane receptors in the immune system, Ann Immunol 1983; 134: 85-9.

13. Linssen A, Rothova A, Luyendijk L. Acute anterior uveitis in relation to Ankylosing Spondilitis and HLA-B27, An epidemiologic survey, 1987.

14. Woods AC. Endogenous Uveitis. Baltimore: Williams & Wilkins, 1956.