gambaran keluhan subjektif pekerja akibat tekanan panas di

19
Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di Area Peleburan, Proses Sekunder, dan Pengecoran Slab Steel Plant (SSP) PT Krakatau Steel Cilegon, Banten Tahun 2012 Alwina Fitria Maulidiani* L. Meily Kurniawidjaja** Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat ABSTRAK Kombinasi dari temperatur lingkungan kerja, panas metabolik dari tubuh pekerja, pakaian kerja, dan faktor individu dapat menimbulkan tekanan panas (heat stress) bagi pekerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel. Tekanan panas berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan (heat-related disorders) yang diawali dengan berbagai respon fisiologis tubuh (heat strain) berupa gejala-gejala atau keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh pekerja. Penelitian dilakukan pada 51 orang responden dengan desain studi cross sectional deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami tekanan panas adalah 36 orang dari 51 responden (70,6%) di area peleburan dan proses sekunder. Seluruh responden merasa bahwa suhu lingkungan kerja mereka panas dan 74,5% responden merasa tidak nyaman (terganggu) dengan kondisi panas tersebut. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya pengendalian dari segi teknis, administratif, maupun penyediaan alat pelindung diri untuk meminimalisasi risiko timbulnya keluhan yang dirasakan pekerja akibat tekanan panas. Kata kunci: Tekanan panas; keluhan subjektif ABSTRACT The combination of work environment temperature, metabolic heat, clothing, and individual factors could generate heat stress for workers in melting, secondary process, and casting area of SSP PT Krakatau Steel. Heat stress could potentially generate heat related disorders which started with physiological responses (heat strain), remarked as workers’ subjective complaints. This study performed on 51 workers using cross sectional descriptive study design. The results showed that there are 36 among 51 respondents (70,6%) in melting and secondary process area experienced heat stress. All respondents felt the work environment temperature was hot and 74,5% felt uncomfortable with it. Therefore, efforts are needed, such as technical and administrative controls and also distribution of personal protective equipments, to minimize the risk of heat stress signs. Key words: Heat stress; subjective complaints Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas

di Area Peleburan, Proses Sekunder, dan Pengecoran Slab Steel Plant (SSP)

PT Krakatau Steel Cilegon, Banten Tahun 2012

Alwina Fitria Maulidiani* L. Meily Kurniawidjaja**

Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat

ABSTRAK

Kombinasi dari temperatur lingkungan kerja, panas metabolik dari tubuh pekerja, pakaian

kerja, dan faktor individu dapat menimbulkan tekanan panas (heat stress) bagi pekerja di area

peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel. Tekanan panas

berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan (heat-related disorders) yang diawali dengan

berbagai respon fisiologis tubuh (heat strain) berupa gejala-gejala atau keluhan yang

dirasakan secara subjektif oleh pekerja. Penelitian dilakukan pada 51 orang responden dengan

desain studi cross sectional deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang

mengalami tekanan panas adalah 36 orang dari 51 responden (70,6%) di area peleburan dan

proses sekunder. Seluruh responden merasa bahwa suhu lingkungan kerja mereka panas dan

74,5% responden merasa tidak nyaman (terganggu) dengan kondisi panas tersebut. Oleh

karena itu, diperlukan berbagai upaya pengendalian dari segi teknis, administratif, maupun

penyediaan alat pelindung diri untuk meminimalisasi risiko timbulnya keluhan yang dirasakan

pekerja akibat tekanan panas.

Kata kunci:

Tekanan panas; keluhan subjektif

ABSTRACT

The combination of work environment temperature, metabolic heat, clothing, and individual

factors could generate heat stress for workers in melting, secondary process, and casting area

of SSP PT Krakatau Steel. Heat stress could potentially generate heat related disorders which

started with physiological responses (heat strain), remarked as workers’ subjective

complaints. This study performed on 51 workers using cross sectional descriptive study

design. The results showed that there are 36 among 51 respondents (70,6%) in melting and

secondary process area experienced heat stress. All respondents felt the work environment

temperature was hot and 74,5% felt uncomfortable with it. Therefore, efforts are needed, such

as technical and administrative controls and also distribution of personal protective

equipments, to minimize the risk of heat stress signs.

Key words:

Heat stress; subjective complaints

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 2: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

PENDAHULUAN

Kesehatan kerja adalah hak asasi manusia dan oleh karena itu menjadi hal yang wajib

dilaksanakan di tempat kerja oleh seluruh pihak pelaksana pekerjaan. Dalam pelaksanaan

kesehatan kerja, selalu terdapat berbagai potensi bahaya dan risiko yang dapat menimbulkan

gangguan kesehatan. Salah satu faktor fisik yang berpotensi mengganggu produktivitas

pekerja dan lebih jauh lagi dapat menimbulkan gangguan kesehatan adalah suhu (temperatur)

panas di lingkungan kerja.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa suhu lingkungan kerja berpengaruh

terhadap produktivitas pekerja. Bila suhu lingkungan meningkat sampai 10oF (5,5

oC) di atas

batas kenyamanan, produktivitas kerja akan menurun sebesar 30% (Wyon dalam Livchak,

2005). Selain memengaruhi produktivitas kerja, suhu lingkungan kerja yang panas juga dapat

menimbulkan gangguan kesehatan, bahkan kematian. Berdasarkan penelitian Triyanti pada

tahun 2007 ditemukan bahwa prevalensi kristalisasi urin pada pekerja di unit binatu dan dapur

hotel X Medan yang terpajan tekanan panas sebesar 29,3%. Kristal pada urin dapat

menyebabkan pekerja menderita batu saluran kemih. Berdasarkan laporan kasus fatal (fatality

report) dari United Steelworkers Health, Safety, and Environment Department periode 1

Januari – 7 Desember 2011, terdapat 39 kasus fatal dan 2 di antaranya merupakan kasus

akibat heat stress yang mengakibatkan kematian 1 orang pekerja dan pekerja lainnya

mengalami collapse, serta 1 kasus akibat kontak langsung dengan sumber panas yang

mengakibatkan 90% tubuh pekerja mengalami luka bakar. Biro Statistik Tenaga Kerja

Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat menyatakan bahwa pada tahun 2011 terdapat 61

kejadian fatal di industri seluruh Amerika Serikat akibat pajanan temperatur ekstrim.

PT Krakatau Steel sebagai industri baja terbesar di Indonesia memproduksi baja dalam

jumlah yang sangat besar. Kapasitas produksi total PT Krakatau Steel mencapai 2,5 juta ton

baja kasar (crude steel) per tahun. Proses produksi baja, khususnya saaat peleburan,

membutuhkan suhu yang sangat tinggi, yakni mencapai sekitar 1700oC. Suhu WBGT indoor

di tiga area produksi Slab Steel Plant (SSP) PT Krakatau Steel Cilegon, Banten yang diukur

pada bulan Maret 2012 berpotensi menimbulkan tekanan panas (heat stress) pada pekerja,

yakni 35,1oC di area peleburan, 32,5

oC di area proses sekunder, dan 30,3

oC di area

pengecoran. Heat stress yang dialami pekerja dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa

heat rash, heat cramps, heat syncope, dehydration, heat exhaustion, hingga yang paling fatal

heat stroke. Gangguan kesehatan yang dialami pekerja akan berdampak pula bagi perusahaan

berupa penurunan produktivitas akibat jam kerja yang hilang. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian melalui pengukuran suhu lingkungan kerja dan estimasi panas metabolik tubuh

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 3: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

pekerja untuk mengetahui gambaran tekanan panas yang diterima pekerja dan bagaimana

keluhan subjektif pekerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran Slab Steel Plant

(SSP) PT Krakatau Steel Cilegon, Banten akibat tekanan panas.

TINJAUAN TEORITIS

Tekanan panas (heat stress) adalah suatu kombinasi dari panas lingkungan, panas

metabolik akibat aktivitas kerja, dan faktor pakaian kerja yang dapat meningkatkan suhu

tubuh, denyut nadi, dan produksi keringat (Bernard, 2002). Menurut Di Corletto dalam

Tillman (2007), kondisi lingkungan, beban kerja metabolik, dan pakaian; masing-masing atau

kombinasinya; dapat menimbulkan tekanan panas bagi pekerja. Respon tubuh terhadap

tekanan panas tersebut seperti berkeringat, meningkatnya denyut nadi, dan meningkatnya

suhu tubuh disebut dengan tegangan panas (heat strain). Menurut WorkSafeBC (2007),

faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap tekanan panas adalah faktor lingkungan

(suhu udara, kecepatan aliran udara, kelembaban relatif udara), pekerjaan (beban kerja dan

pola kerja), dan faktor pakain kerja. Selain itu, karakteristik pekerja juga memengaruhi

kejadian tekanan panas dan risiko heat-related disorders, yang terdiri dari usia, obesitas,

status aklimatisasi, hidrasi, konsumsi obat dan alkohol, status kesehatan, riwayat heat stroke,

dan jenis kelamin. Tekanan panas ringan atau moderat dapat menyebabkan ketidaknyamanan

dan dapat berpengaruh besar terhadap performa dan keselamatan, tetapi tidak berbahaya bagi

kesehatan. Ketika tekanan panas mencapai batas toleransi manusia, maka risiko gangguan

kesehatan terkait panas (heat-related disorders) meningkat (ACGIH, 2012).

Heat-related disorders yang dapat timbul pada pekerja akibat pajanan tekanan panas

antara lain heat rash (prickly heat), heat cramps, heat syncope, dehydration, heat exhaustion,

hingga yang paling fatal heat stroke (Bernard, 2002). Semua gangguan kesehatan tersebut

memiliki tanda dan gejala yang berbeda-beda, mulai dari yang paling ringan kulit terasa

lembab dan timbul biang keringat, kram/ kejang otot, sampai yang paling berat pingsan,

bahkan kematian. Bila terdapat informasi atau laporan tentang ketindaknyamanan atau timbul

keluhan yang mengindikasikan gejala-gejala gangguan kesehatan tersebut berkaitan dengan

tekanan panas di tempat kerja, maka perlu dilakukan pengukuran temperatur lingkungan kerja

maupun pajanan panas personal pada pekerja (ACGIH, 2007 dalam Hendra, 2009).

Pengukuran temperatur lingkungan dilakukan dengan mengukur komponen temperatur

yang terdiri dari suhu kering, suhu basah alami, dan suhu radian. Di samping itu juga perlu

dilakukan pengukuran terhdap kelembaban udara relatif dan kecepatan angin. Temperatur

lingkungan umumnya dinyatakan dengan indeks Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) atau

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 4: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

dikenal juga dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) (Hendra, 2009). Pengukuran

pajanan panas personal penting dilakukan untuk mengetahui tingkat pajanan panas pada

individu. Diperlukan pengukuran pajanan personal apabila pekerja yang berisiko terpajan

panas bekerja berpindah-pindah atau pola pajanan panas bersifat intermitten. Pengukuran

pajanan panas personal lebih memperlihatkan apakah ada perubahan suhu tubuh dan denyut

nadi pekerja yang terpajan panas (Hendra, 2009). Pengukuran pajanan panas personal dapat

dilakukan menggunakan alat ukur berupa personal heat monitor. Apabila tidak terdapat alat

ukur, pengukuran panas personal dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan jumlah

kalori yang dikeluarkan untuk melakukan pekerjaan (estimasi panas metabolik) menggunakan

tabel acuan dari NIOSH (1986). Tabel estimasi ini adalah untuk standar berat badan pekerja

70 kg, perlu dilakukan konversi untuk ukuran berat badan lainnya. Hasil estimasi panas

metabolik tersebut kemudian dikategorikan menjadi pekerjaan ringan (< 200 kkal/jam),

sedang (200 – 350 kkal/jam), atau berat (350 – 500 kkal/jam) (OSHA TM, 1999).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain studi cross sectional karena bertujuan

untuk menggambarkan keluhan subjektif yang dirasakan pekerja akibat pajanan tekanan panas

di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran Slab Steel Plant (SSP) PT Krakatau Steel,

serta pengukuran variabel bebas dan terikatnya dilakukan dalam waktu bersamaan, yakni pada

bulan November – Desember 2012.

Populasi target adalah seluruh pekerja Slab Steel Plant (SSP) PT Krakatau Steel

Cilegon, Banten yang berisiko tinggi mengalami tekanan panas. Populasi studi adalah seluruh

pekerja di area yang hasil pengukuran panasnya melebihi NAB, yaitu pekerja di area

peleburan, proses sekunder, dan pengecoran Slab Steel Plant (SSP) dengan jumlah total 119

orang. Secara umum jenis pekerjaan di ketiga area tersebut yang berpotensi terpajan panas

ada 3 jenis, yaitu juru lebur Electric Arc Furnace (EAF), operator Ladle Furnace, dan

operator pengecoran (caster). Oleh karena itu, sampel diambil dari ketiga jenis pekerjaan

tersebut. Proporsi penelitian dalam penghitungan besar sampel menggunakan penelitan

Hendra tahun 2003 di Divisi Cor PT Pindad, Bandung dengan hasil 63,6% responden merasa

terganggu dengan kondisi lingkungan kerja yang panas. Didapatkan besar sampel 51 orang

dari hasil perhitungan dengan rumus estimasi proporsi populasi terbatas (Ariawan, 1998).

Data yang digunakan adalah data primer berupa data kecepatan angin hasil pengukuran

dengan Digital Vane Anemometer, data panas metabolik dari hasil observasi aktivitas

pekerjaan, data karakteristik pekerja dan keluhan subjektif akibat tekanan panas dari hasil

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 5: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

wawancara pekerja menggunakan kuesioner. Data sekunder penelitian ini berupa data hasil

pengukuran suhu lingkungan kerja dan kelembaban udara menggunakan instrumen Thermal

Environment Monitor yang telah dilakukan oleh Divisi K3LH PT Krakatau Steel pada bulan

September 2012. Seluruh data tersebut diolah, dibandingkan dengan standar Permenakertrans

No. 13 Tahun 2011, dan dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat yang bertujuan untuk

melihat distribusi frekuensi keluhan subjektif pekerja akibat pajanan tekanan panas di area

peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel Cilegon, Banten tahun

2012.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran lingkungan kerja menunjukkan bahwa WBGT indoor rata-rata di

ketiga titik pengukuran berkisar antara 29,4oC – 32

oC dan kelembaban relatif berkisar antara

42% – 54% (Tabel 1). Kecepatan angin di EAF 5 dan LF 2 dengan ventilasi alami berkisar

antara 0,3 m/s – 0,9 m/s, sedangkan di CCM dengan kondisi blower menyala berkisar antara

4,8 m/s – 5 m/s (Tabel 2).

Tabel 1 Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban Relatif Area Slab Steel Plant (SSP) 1

No Titik

Pengukuran

WB

(oC)

DB

(oC)

Globe

(oC)

WBGTin

Avg(oC)

RH

(%)

HI

(oC)

1 EAF 5 25,6 31,5 41,7 30,4 54 40

2 LF 2 26,8 35,1 44,0 32,0 42 42

3 CCM 24,9 32,9 39,9 29,4 48 40

Sumber: Hiperkes K3LH PT Krakatau Steel, September 2012

Tabel 2 Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Udara Area Slab Steel Plant (SSP) 1

Tanggal 7 Desember 2012

No Titik

Pengukuran

Kec. Aliran

Udara (m/s)

Waktu

Pengukuran Keterangan

1 EAF 5 0,5 – 0,9 16.10 WIB Angin dari

lingkungan di

luar pabrik

2 LF 2 0,3 – 0,4 15.35 WIB Angin dari

lingkungan di

luar pabrik

3 CCM 4,8 – 5,0 14.20 WIB Angin dari 1

buah blower

Berdasarkan hasil observasi, didapatkan data pekerjaan yang dilakukan pekerja di area

peleburan (EAF), proses sekunder (LF), dan pengecoran (CCM) dalam satu shift kerja (8 jam)

sehingga dapat ditentukan estimasi panas metabolik dengan mengacu pada tabel estimasi

panas metabolik NIOSH (1986). Setelah dilakukan koreksi berdasarkan berat badan

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 6: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

responden, angka beban kerja responden dikategorikan menjadi beban kerja ringan, sedang,

dan berat mengacu pada Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 dan didapatkan hasil distribusi

beban kerja responden terbanyak adalah beban kerja sedang (58,8%), diikuti beban kerja

ringan (29,4%), dan paling sedikit adalah beban kerja berat (11,8%).

Pola kerja di area peleburan dan proses sekunder adalah 50% - 75% karena dalam satu

shift, pekerja di area peleburan dan proses sekunder melakukan pekerjaan yang terpajan panas

secara langsung selama kurang lebih 4 jam 30 menit, sisanya pekerja stand by menunggu

proses dapur (furnace) selesai di dalam ruang kendali. Sedangkan di area pengecoran, pekerja

melakukan pekerjaan yang terpajan panas secara langsung selama kurang lebih 6 jam 50

menit (hampir 7 jam) dalam 1 shift sehingga dapat disimpulkan pola kerjanya 75% - 100%.

Seluruh pekerja mengenakan seragam kerja berupa kemeja dan celana panjang bahan jins,

maka tidak ada penambahan terhadap suhu WBGT indoor rata-rata (ACGIH, 2012).

Dari hasil pengukuran suhu lingkungan kerja, pola kerja, dan beban kerja responden,

dilakukan analisis kejadian tekanan panas pada responden mengacu pada standar

Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 (Tabel 3).

Tabel 3 Gambaran Kejadian Tekanan Panas pada Responden

Kategori Beban

Kerja

Jumlah

Pekerja Pola Kerja

WBGTin

(oC)

NAB

(oC)

Kejadian

Tekanan Panas

EAF

- Ringan

- Sedang

- Berat

1

21

2

50% - 75% 30,4

31,0

29,0

27,5

Tidak

Ya

Ya

LF

- Ringan

- Sedang

- Berat

0

9

4

50% - 75% 32,0

31,0

29,0

27,5

-

Ya

Ya

CCM

- Ringan

- Sedang

- Berat

14

0

0

75% - 100% 29,4

31,0

28,0

-

Tidak

-

-

Total 51

Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa tekanan panas dialami oleh 23

responden di area peleburan (EAF) dan 13 responden di area proses sekunder (LF), total 36

dari 51 responden (70,6%) mengalami tekanan panas. Namun, perlu diperhatikan bahwa

pajanan panas yang diterima pekerja di kedua area tersebut bersifat intermittent dan pekerja

dapat dengan mudah mengakses ruang kendali ber-AC serta air minum. Hal ini dapat

memengaruhi tingkat risiko tekanan panas pada pekerja. Perusahaan pun sebenarnya telah

menyediakan alat pelindung diri berupa pakaian reflektif (baju tahan api) yang berfungsi

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 7: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

untuk mengurangi jumlah panas radiasi yang dapat mencapai pekerja (Bernard, 2002), tetapi

pekerja jarang menggunakan APD tersebut dengan alasan membuat tubuh terasa lebih panas,

tidak nyaman karena pergerakan jadi terbatas, dan jumlah APD kurang memadai sehingga

harus digunakan secara bergantian. Oleh karena itu, jumlah pakaian reflektif perlu ditambah

agar seluruh pekerja dapat menggunakan APD masing-masing.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seluruh pekerja di area pengecoran (CCM)

tidak mengalami tekanan panas, tetapi berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa operator cor

(caster) menerima pajanan panas secara terus-menerus, berbeda dengan pekerja di area

peleburan dan proses sekunder yang pajanan panasnya intermittent. Hal ini dapat membuat

risiko tekanan panas pada operator cor lebih tinggi daripada pekerja peleburan dan proses

sekunder. Namun, hal ini telah diantisipasi oleh perusahaan dengan melakukan pengendalian

teknis berupa penyediaan blower untuk membantu pendinginan tubuh pekerja secara

evaporatif dan konvektif (Bernard, 2002). Penyediaan ruang kendali ber-AC, air minum

galon, serta APD berupa pakaian reflektif juga merupakan bentuk pengendalian risiko tekanan

panas di area pengecoran. Selain itu, risiko tiap pekerja untuk mengalami tekanan panas akan

bervariasi tergantung dari karakteristik pekerja, seperti status aklimatisasi, status hidrasi, usia,

obesitas, kondisi medis, konsumsi alkohol dan obat-obatan, serta riwayat heat stroke

(WorkSafeBC, 2007). Karakteristik pekerja yang diteliti terdiri dari usia, indeks massa tubuh,

status aklimatisasi, konsumsi minum, dan status kesehatan. Hasil distribusi frekuensi

karakteristik pekerja menunjukkan bahwa kelompok responden yang berisiko tinggi

mengalami keluhan subjektif akibat tekanan panas adalah sebesar 56,9% dengan usia ≥40

tahun, 37,3% dengan IMT Obese dan BB Lebih, 25,5% dengan konsumsi minum <8 gelas

dalam satu shift, 3,9% dengan status tidak sehat, dan tidak ada responden yang tidak

teraklimatisasi.

Kondisi lingkungan kerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran yang

panas telah dirasakan oleh pekerja sebagai hal yang mengganggu proses kerja. Hal ini terbukti

dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa seluruh responden (100%) menyatakan

bahwa lingkungan kerja mereka panas dan 38 responden (74,5%) merasa tidak nyaman

(terganggu) dengan kondisi panas tersebut (Tabel 4).

Tabel 4 Distribusi Keluhan Umum Responden

Keluhan Umum Pekerja Jumlah Persentase

1. Suhu lingkungan kerja panas

- Ya

- Tidak

51

0

100,0

0

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 8: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

Keluhan Umum Pekerja Jumlah Persentase

2. Tidak nyaman (terganggu)

dengan kondisi panas

- Ya

- Tidak

38

13

74,5

25,5

3. Pekerjaan melelahkan secara

fisik

- Ya

- Tidak

36

15

70,6

29,4

4. Pekerjaan melelahkan secara

mental

- Ya

- Tidak

21

30

41,2

58,8

Suhu panas yang dirasakan oleh responden berdampak pada timbulnya keluhan

subjektif akibat panas. Parameter keluhan subjektif tersebut berupa 20 pertanyaan terkait

keluhan (gejala heat strain) yang mungkin dirasakan pekerja ketika bekerja di lingkungan

panas. Pengukuran mengenai keluhan subjektif tersebut dilakukan dengan melihat frekuensi

keluhan dirasakan oleh responden yang dikelompokkan menjadi sangat sering (bila keluhan

dirasakan setiap hari kerja), sering (bila keluhan dirasakan 3 – 4 kali dalam seminggu hari

kerja), jarang (bila keluhan dirasakan 1 – 2 kali dalam seminggu hari kerja), dan tidak pernah

(bila keluhan tidak pernah dirasakan sama sekali selama bekerja).

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Keluhan Subjektif Responden

No Keluhan

Frekuensi Keluhan Dirasakan oleh Responden

Sangat Sering Sering Jarang Tidak Pernah

N % N % N % N %

1. Kulit terasa perih kemerahan 0 0 8 15,7 12 23,5 31 60,8

2. Kulit lembab, timbul biang

keringat 1 2,0 3 5,9 17 33,3 30 58,8

3. Kram/ kejang otot perut 0 0 0 0 7 13,7 44 86,3

4. Kram/ kejang otot lengan 0 0 1 2,0 10 19,6 40 78,4

5. Kram/ kejang otot kaki 0 0 2 3,9 11 21,6 38 74,5

6. Banyak mengeluarkan keringat 28 54,9 21 41,2 2 3,9 0 0

7. Sering haus 16 31,4 20 39,2 11 21,6 4 7,8

8. Jarang kencing 2 3,9 5 9,8 19 37,3 25 49,0

9. Warna urin kuning pekat 1 2,0 5 9,8 19 37,3 26 51,0

10. Lemah/ lemas 1 2,0 11 21,6 25 49,0 14 27,5

11. Pusing, sakit kepala 3 5,9 3 5,9 24 47,1 21 41,2

12. Suhu tubuh meningkat 1 2,0 18 35,3 18 35,3 14 27,5

13. Mual, enek (ingin muntah) 0 0 1 2,0 15 29,4 35 68,6

14. Mengalami kelelahan 1 2,0 18 35,3 20 39,2 12 23,5

15. Konsentrasi berkurang 0 0 3 5,9 23 45,1 25 49,0

16. Rasa mau pingsan 0 0 0 0 3 5,9 48 94,1

17. Hilang keseimbangan 0 0 0 0 8 15,7 43 84,3

18. Kulit terasa kering dan panas 0 0 13 25,5 21 41,2 17 33,3

19. Detak jantung cepat (berdebar) 0 0 2 3,9 21 41,2 28 54,9

20. Gelisah, mudah marah 0 0 2 3,9 19 37,3 30 58,8

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 9: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluhan yang paling signifikan dirasakan oleh

responden adalah banyak mengeluarkan keringat (96,1%) dan sering haus (70,6%) dengan

frekuensi sangat sering dan sering. Keluhan mengalami kelelahan (74,5%), lemah/ lemas

(70,6%), suhu tubuh meningkat (70,6%), serta kulit terasa kering dan panas (66,7%) cukup

signifikan dirasakan responden dengan frekuensi sering dan jarang. Sedangkan keluhan yang

hampir tidak pernah dirasakan oleh responden adalah merasa mau pingsan (94,1%), kram/

kejang otot perut (86,3%), dan hilang keseimbangan (84,3%) (Tabel 5).

Data hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara yang telah dilakukan di ketiga area

penelitian dapat menjadi acuan untuk menentukan risiko keluhan subjektif (gejala heat-

related disorders) yang dirasakan oleh pekerja. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa

kelembaban relatif di ketiga area penelitian berkisar antara 42% – 54% dan suhu yang

sebenarnya dirasakan oleh pekerja (heat index) berkisar antara 40oC – 42

oC (104

oF – 107,6

oF)

(Tabel 1). Analisis dilakukan dengan membandingkan suhu yang sebenarnya dirasakan oleh

pekerja dan kelembaban relatif menggunakan matriks heat index yang dipublikasikan oleh

NSIS tahun 2005. Dari matriks tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerja di ketiga area

penelitian sangat berisiko mengalami keluhan atau gejala yang berkaitan dengan heat

exhaustion dan heat stroke.

Heat exhaustion merupakan kelelahan akibat pajanan panas yang diawali dengan tanda

dan gejala berupa merasa kelelahan, lemah/ lemas, pusing; sakit kepala, banyak mengeluarkan

keringat, denyut nadi tinggi, suhu tubuh sedikit meningkat, bahkan hingga tidak sadarkan diri/

pingsan (Bernard, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 96,1% responden

mengalami keluhan banyak mengeluarkan keringat dengan frekuensi sering sampai sangat

sering; 74,5% mengalami kelelahan, 70,6% merasa lemah/ lemas, dan 70,6% merasakan suhu

tubuh meningkat dengan frekuensi jarang sampai sering; 47,1% merasa pusing, sakit kepala

dan 41,2% merasa detak jantung cepat (berdebar) walaupun jarang. Oleh karena itu, dapat

disimpulkan bahwa tanda dan gejala dari heat exhaustion dirasakan secara signifikan oleh

pekerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel.

Heat stroke merupakan kondisi yang sangat membahayakan jiwa, ditandai dengan suhu

inti tubuh meningkat hingga melebihi 40oC, berhenti berkeringat, kejang, gemetar, kulit

kering dan panas, jantung berdebar, gelisah, dan mudah marah (Bernard, 2002). Bila keadaan

ini tidak ditangani dengan segera dapat berujung pada hilangnya kesadaran (pingsan),

kerusakan permanen pada otak, dan bahkan kematian (WorkSafeBC, 2007). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebanyak 66,7% responden mengalami keluhan kulit terasa kering dan

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 10: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

panas; 45,1% merasa detak jantung cepat (berdebar); dan 41,2% merasa gelisah, mudah

marah dengan frekuensi jarang sampai sering. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

tanda dan gejala heat stroke pernah dirasakan oleh pekerja di area peleburan, proses sekunder,

dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel.

Menurut Bernard (2002), heat stroke dan heat exhaustion biasanya didahului dengan

dehidrasi yang ditandai dengan kelelahan/ lemah, mulut kering sehingga sering haus, dan

konsentrasi kerja berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 70,6% responden

merasa sering haus dengan frekuensi sering sampai sangat sering; 74,5% mengalami

kelelahan, 70,6% merasa lemah/ lemas, dan 51% merasa konsentrasi berkurang dengan

frekuensi jarang sampai sering. Selain itu, 37,3% responden mengalami jarang kencing dan

warna urin kuning pekat walaupun jarang. Hal ini mengindikasikan bahwa tanda dan gejala

dehidrasi juga dirasakan oleh pekerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP

PT Krakatau Steel.

Seluruh keluhan subjektif yang dirasakan pekerja belum sampai pada kondisi gangguan

kesehatan yang cukup serius. Hal ini dikarenakan durasi pajanan panas selama bekerja tidak

berlangsung lama dan terputus-putus (intermittent), sehingga pekerja memiliki cukup waktu

untuk mengembalikan suhu tubuh ke kondisi semula selama jeda waktu antara pajanan panas

pertama sampai pajanan berikutnya. Selain itu, keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh

pekerja bukan merupakan keluhan yang bersifat akumulatif, melainkan keluhan yang

dirasakan hanya pada saat pekerja terpajan oleh panas ketika melakukan pekerjaan. Perlu

dilakukan analisis lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan medis (pengukuran suhu inti

tubuh, denyut nadi, dan tingkat pengeluaran keringat) maupun pengukuran pajanan panas

personal pada pekerja agar dapat diketahui apakah pekerja benar-benar mengalami heat

stress, heat strain, ataupun heat-related disorders.

Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Kejadian Tekanan Panas

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seluruh keluhan yang dirasakan

responden lebih besar persentasenya pada responden yang mengalami tekanan panas

dibandingkan dengan yang tidak mengalami tekanan panas, dengan persentase keluhan

terbesar adalah banyak mengeluarkan keringat (100%:100%), sering haus (94,4%:86,7%),

mengalami kelelahan (77,8%:73,3%), dan suhu tubuh meningkat (75%:66,7%). Hal ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Bernard (2002) dalam Fundamentals of Industrial

Hygiene bahwa tekanan panas dapat menimbulkan berbagai reaksi fisiologis tubuh, seperti

meningkatkan suhu tubuh, denyut nadi, dan produksi keringat. Tekanan panas ringan atau

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 11: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

moderat dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan dapat berpengaruh besar terhadap

performa dan keselamatan, tetapi tidak berbahaya bagi kesehatan. Ketika tekanan panas

mencapai batas toleransi manusia, maka risiko gangguan kesehatan terkait panas (heat-related

disorders) meningkat (ACGIH, 2012).

Persentase adanya keluhan pada responden yang tidak mengalami tekanan panas

memang lebih sedikit daripada yang mengalami tekanan panas, tetapi hal ini bisa saja terjadi

karena distribusi responden yang tidak mengalami tekanan panas juga lebih sedikit. Risiko

dan tingkat keparahan heat strain bagi tiap individu akan sangat beragam, bahkan walaupun

berada dalam kondisi tekanan panas yang sama (ACGIH, 2012). Hal ini menjadi landasan

bahwa timbulnya keluhan pada pekerja, baik yang mengalami tekanan panas maupun tidak

juga akan sangat beragam. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan apakah

terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian tekanan panas dan keluhan subjektif yang

dirasakan oleh responden.

Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Usia

Berdasarkan WorkSafeBC (2007), pekerja dengan usia lebih tua (40 sampai 65 tahun)

umumnya lebih sulit menoleransi tekanan panas karena efisiensi fungsi jantung sudah mulai

berkurang dan membuat produksi keringat lebih lambat. Oleh karena itu, pekerja dengan usia

≥40 tahun lebih berisiko mengalami keluhan akibat tekanan panas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi responden yang berusia ≥40 tahun

lebih besar daripada responden yang berusia <40 tahun (56,9%:43,1%), tetapi sebanyak 13

dari 20 keluhan lebih banyak dialami oleh responden yang berusia <40 tahun dengan

persentase keluhan terbesar adalah banyak mengeluarkan keringat (100%), sering haus

(99,5%) dan lemah/ lemas (72,7%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitan Vanani (2008) di

bagian curing PT Multistrada Arah Sarana yang menunjukkan bahwa responden yang sangat

sering mengalami keluhan adalah responden yang berusia 21 – 30 tahun dengan persentase

keluhan terbesar adalah banyak berkeringat (67%) dan merasa haus (64% ).

Persentase adanya keluhan lebih besar pada responden yang berusia <40 tahun dapat

disebabkan oleh perbedaan masa kerja. Masa kerja responden yang berusia ≥40 tahun telah

lebih lama daripada responden yang berusia <40 tahun, sehingga mereka telah terbiasa

dengan kondisi panas dan tidak lagi sering mengalami keluhan. Kondisi pembagian pekerjaan

di ketiga area penelitian yang fleksibel (team work) juga turut memengaruhi hasil penelitian

karena pekerja yang berusia <40 tahun cenderung lebih aktif daripada pekerja yang berusia

≥40 tahun, sehingga pekerja yang berusia <40 tahun cenderung lebih banyak melakukan

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 12: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

pekerjaan yang memungkinkan terpajan panas secara langsung, sementara pekerja yang

berusia ≥40 tahun lebih banyak stand by di ruang kendali dan melakukan pengawasan.

Berdasarkan penelitian Puspita (2012), tidak terdapat perbedaan timbulnya keluhan

yang signifikan antara pekerja di area produksi pelumas PT Pertamina Jakarta yang berusia

<40 tahun dengan yang berusia ≥40 tahun. Namun, bila dilihat dari nilai odss ratio, pekerja

berusia ≥40 tahun memiliki risiko 1,4 kali lebih tinggi untuk mengalami keluhan tingkat

sedang. Bila membandingkan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Puspita, dapat

diasumsikan bahwa mungkin tidak terdapat perbedaan timbulnya keluhan yang signifikan

pula antara pekerja yang berusia <40 tahun dengan pekerja yang berusia ≥40 tahun di area

peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel. Namun, perlu dilakukan

analisis lebih lanjut untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang bermakna antara usia

dengan keluhan subjektif yang dialami pekerja dan bagaimana perbedaan tingkat risikonya.

Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

Berdasarkan WorkSafeBC (2007), obesitas merupakan faktor risiko terjadinya

gangguan kesehatan terkait panas (heat-related disorders) karena kelebihan lemak dalam

tubuh akan meningkatkan insulasi, dimana hal ini mengurangi pengeluaran panas dari dalam

tubuh. Orang dengan berat badan berlebih juga memproduksi panas lebih banyak selama

beraktivitas. Oleh karena itu, pekerja dengan kondisi obese dan berat badan berlebih berisiko

tinggi mengalami keluhan akibat tekanan panas.

Keluhan yang banyak dirasakan oleh kelompok berisiko, yaitu responden dengan IMT

Obese adalah kram/ kejang otot kaki (63,6%); banyak mengeluarkan keringat (100%); sering

haus (90,9%); jarang kencing (81,8%); warna urin kuning pekat (63,6%); lemah/lemas

(90,9%); pusing, sakit kepala (63,6%); suhu tubuh meningkat (63,6%); mengalami kelelahan

(90,9%); konsentrasi berkurang (72,7%); kulit terasa kering dan panas (63,6%); detak jantung

cepat/ berdebar (63,6%); dan gelisah, mudah marah (54,5%). Sejalan dengan teori, hal ini

menunjukkan bahwa responden dengan IMT Obese merasakan keluhan-keluhan yang

mengindikasikan gejala gangguan kesehatan terkait panas (heat-related disorders), khususnya

gejala awal heat cramps, dehidrasi, heat exhaustion, dan heat stroke.

Responden dengan IMT BB Lebih pun berisiko mengalami gangguan kesehatan akibat

panas (heat-related disorders) karena lapisan lemak yang mereka miliki lebih tebal daripada

orang dengan IMT Normal, walaupun tidak setebal orang yang mengalami obesitas. Keluhan

yang banyak dirasakan responden dengan IMT BB Lebih adalah kulit perih kemerahan

(75%); kulit lembab dan timbul biang keringat (75%); banyak mengeluarkan keringat (100%);

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 13: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

sering haus (100%); lemah/lemas (100%); suhu tubuh meningkat (100%); mengalami

kelelahan (75%); konsentrasi berkurang (62,5%); kulit terasa kering dan panas (87,5%); dan

detak jantung cepat/ berdebar (62,5%). Sejalan dengan teori, hal ini menunjukkan bahwa

responden dengan IMT BB Lebih merasakan keluhan-keluhan yang mengindikasikan gejala

gangguan kesehatan terkait panas (heat-related disorders), khususnya gejala awal heat rash,

dehidrasi, heat exhaustion, dan heat stroke.

Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Status Aklimatisasi

Berdasarkan WorkSafeBC (2007), seseorang yang bekerja di lingkungan panas secara

rutin akan memiliki risiko yang lebih kecil untuk menderita gangguan kesehatan terkait panas

karena tubuh mereka telah terkondisi/ teraklimatisasi terhadap kondisi panas. Namun, pekerja

yang tidak bekerja dalam kondisi panas selama seminggu atau lebih akan mengalami

kehilangan daya aklimatisasi yang signifikan (NIOSH, 1986).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden telah teraklimatisasi karena

tidak ada satupun responden yang baru mengambil cuti (di luar jadwal cuti/ off kerja) lebih

dari 7 hari. Namun, seluruh responden tetap mengalami keluhan akibat pajanan panas dengan

persentase yang berbeda-beda. Persentase keluhan terbesar yang dirasakan responden adalah

banyak berkeringat (96,1%) dan sering haus (92,2%). Keluhan banyak berkeringat yang

dialami oleh hampir seluruh responden sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Di

Corleto dan Jennings (2007) bahwa aklimatisasi yang dialami pekerja akan membuat denyut

nadi menurun dan produksi keringat meningkat dengan keringat menjadi lebih encer. Hal ini

diimbangi pula dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebanyak 54,9% responden

tidak mengalami keluhan detak jantung cepat (berdebar). Keluhan sering haus yang dirasakan

responden dapat menjadi indikasi awal dehidrasi yang disebabkan oleh banyaknya produksi

keringat responden selama bekerja dalam kondisi panas.

Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Konsumsi Minum

Brake, et.al. (1998) dalam Di Corleto dan Jennings (2007) mengemukakan bahwa

batas perut dan usus untuk menyerap air antara 1,6 sampai 1,8 L/jam selama berjam-jam

membuat individu tidak mengalami dehidrasi. Rata-rata jumlah konsumsi air minum dapat

menjadi salah satu indikator apakah seseorang mengalami dehidrasi atau tidak. Dehidrasi saat

terpajan panas merupakan ancaman serius terhadap termoregulasi karena dapat mengurangi

volume darah dan meningkatkan hematokrit yang akan meningkatkan viskositas (kekentalan)

darah (Sawka et al., 1985 dalam ACGIH, 2009). Dehidrasi selama tekanan panas juga

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 14: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

berhubungan dengan peningkatan penyimpanan panas tubuh yang menyebabkan insidens heat

strain lebih besar (Sawka et al., 1984; Sawka et al. 1982 dalam ACGIH 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 13 dari 51 responden (25,5%)

merupakan kelompok berisiko mengalami keluhan akibat tekanan panas (heat strain), yaitu

mereka yang mengonsumsi minum kurang dari 8 gelas dalam satu shift. Keluhan yang dialami

oleh kelompok responden tersebut antara lain banyak mengeluarkan keringat (100%); sering

haus (92,3%); jarang kencing (53,8%); lemah/lemas (84,6%); pusing, sakit kepala (69,2%);

mengalami kelelahan (76,9%); konsentrasi berkurang (61,5%); kulit terasa kering dan panas

(61,5%) dan gelisah, mudah marah (69,2%). Sejalan dengan teori, hal ini menunjukkan bahwa

responden yang mengonsumsi minum kurang dari 8 gelas dalam satu shift merasakan

keluhan-keluhan (heat strain) yang dapat berujung pada timbulnya gangguan kesehatan

terkait panas (heat-related disorders). Namun, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

berbagai keluhan juga dirasakan oleh responden yang mengonsumsi minum ≥8 gelas dalam

satu shift, bahkan 11 dari 20 keluhan yang diteltiti lebih besar persentasenya pada responden

yang mengonsumsi minum ≥8 gelas dalam satu shift. Hal ini dapat disebabkan karena

distribusi responden yang mengonsumsi minum ≥8 gelas dalam satu shift memang lebih besar

daripada responden yang mengonsumsi minum <8 gelas dalam satu shift.

Berdasarkan penelitian Puspita (2012), tidak terdapat perbedaan timbulnya keluhan

yang signifikan antara pekerja di area produksi pelumas PT Pertamina Jakarta yang

mengonsumsi minum ≤8 gelas dan yang mengonsumsi minum >8 gelas. Bila membandingkan

hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Puspita, dapat diasumsikan bahwa mungkin tidak

terdapat perbedaan timbulnya keluhan yang signifikan pula antara pekerja yang mengonsumsi

minum ≤8 gelas dan yang mengonsumsi minum >8 gelas di area peleburan, proses sekunder,

dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel. Namun, perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk

mengetahui apakah terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi minum dengan

keluhan subjektif yang dialami pekerja dan bagaimana perbedaan tingkat risikonya.

Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Status Kesehatan

Bernard (2002) dalam Fundamentals of Industrial Hygiene mengemukakan bahwa

penyakit kronik seperti gangguan jantung, paru-paru, ginjal, dan hati mengindikasikan daya

toleransi tubuh terhadap pajanan panas lebih rendah sehingga meningkatkan risiko timbulnya

heat-related disorders ketika mengalami tekanan panas. Begitu pula dengan penyakit diabetes

mellitus seperti yang tercantum dalam publikasi WorkSafeBC (2007).

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 15: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (96,1%) sehat dan

mengalami keluhan terbesar: banyak mengeluarkan keringat (100%), sering haus (91,8%),

dan mengalami kelelahan (75,5%). Responden yang tidak sehat hanya 2 orang (3,9%), yakni

responden yang menderita penyakit diabetes mellitus (DM). Seluruh responden yang tidak

sehat mengalami keluhan banyak mengeluarkan keringat; sering haus; pusing, sakit kepala;

dan mengalami kelelahan. Hasil penelitian ini tidak dapat menggambarkan perbandingan

persentase kedua kelompok responden yang mengalami keluhan dengan tepat karena terdapat

kesenjangan distribusi responden yang tinggi, yakni hanya terdapat 2 orang responden dengan

status tidak sehat.

Berdasarkan penelitian Petrofsky, et.al. (2008) ditemukan bahwa penderita DM

memiliki laju alir darah yang rendah ketika beristirahat dibandingkan dengan orang seusianya

yang sehat. Penderita DM juga memiliki lapisan kulit dan lapisan lemak subkutan yang lebih

tipis. Kesemua hal tersebut membuat kemampuan penderita DM untuk menghilangkan panas

melalui kulit (skin heat dissipation) lebih rendah daripada orang normal. Hal ini menyebabkan

penderita DM lebih berisiko mengalami tekanan panas. Masih berdasarkan penelitian

Petrofsky, et.al. di tahun berikutnya (2009), ditemukan bahwa seluruh subjek penelitian yang

menderita DM tipe 1 dan 2 memiliki kemampuan menoleransi tekanan panas yang buruk. Hal

ini diakibatkan oleh kegagalan tubuh untuk memproduksi keringat yang menyebabkan suhu

inti tubuh serta suhu kulit meningkat, bahkan ketika penderita DM sedang beristirahat setelah

terpajan panas. Hal ini membuat penderita DM berisiko tinggi mengalami heat-related

disorders, salah satunya heat stroke. Oleh karena itu, walaupun jumlah penderita DM di

perusahaan tidak banyak, sebaiknya perusahaan tetap melakukan pemantauan khusus bagi

pekerja di area berisiko yang menderita DM. Sebaiknya dipertimbangkan pula untuk

melakukan penempatan kerja yang sesuai bagi penderita DM, misalnya mereka dikhususkan

untuk melakukan pekerjaan di dalam ruang kendali agar tidak terpajan panas.

SIMPULAN

1. Secara umum, suhu lingkungan kerja yang terukur di area peleburan, proses sekunder, dan

pengecoran SSP PT Krakatau Steel Cilegon, Banten pada bulan September 2012 telah

melebihi nilai ambang batas yang diperkenankan, dengan suhu lingkungan kerja tertinggi

adalah di area proses sekunder (32oC).

2. Sebagian besar responden (58,8%) memiliki beban kerja sedang. Pola kerja di area

peleburan dan proses sekunder adalah 50% – 75%, sedangkan pola kerja di area

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 16: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

pengecoran adalah 75% – 100%. Pakaian kerja yang digunakan seluruh responden adalah

seragam kerja PT Krakatau Steel berupa kemeja dan celana panjang dari bahan jins.

3. 70,6% responden berisiko tinggi mengalami tekanan panas, yaitu 23 responden di area

peleburan dan 13 responden di area proses sekunder dengan beban kerja sedang dan berat.

4. 100% responden merasa bahwa suhu lingkungan kerja mereka panas dan 74,5% merasa

tidak nyaman (terganggu) dengan kondisi panas tersebut.

5. Seluruh responden pernah mengalami keluhan akibat pajanan panas dengan frekuensi

yang berbeda-beda. Keluhan yang paling signifikan dirasakan oleh responden adalah

banyak mengeluarkan keringat (96,1%) dan sering haus (70,6%), sedangkan keluhan yang

hampir tidak pernah dirasakan oleh responden adalah merasa mau pingsan (94,1%), kram/

kejang otot perut (86,3%), dan hilang keseimbangan (84,3%).

SARAN

1. Pengendalian Teknis:

Menyediakan kipas angin atau blower yang kecepatan alir udaranya dapat disesuaikan

di area peleburan (EAF) dan proses sekunder (LF) sehingga dapat membantu proses

pendinginan tubuh pekerja melalui evaporasi dan konveksi. Namun, perlu diperhatikan

bahwa penggunaan kipas angin ataupun blower ini harus disesuaikan dengan suhu yang

terukur karena bila suhu udara melebihi 35oC, penggunaan kipas angin atau blower

justru akan meningkatkan risiko tekanan panas.

2. Pengendalian Administratif:

Membuat peraturan yang mewajibkan pekerja mengonsumsi air minum sebanyak 2

gelas (½ liter) sebelum bekerja dan 1 gelas setiap 20 menit ketika bekerja di tempat

yang panas dengan suhu air minum berkisar antara 10oC sampai 15

oC, serta melarang

pekerja mengonsumsi minuman yang mengandung kafein selama jam kerja. Hal ini

akan membantu penggantian cairan tubuh yang hilang melalui keringat dan mencegah

dehidrasi.

Memasang sign berupa poster ataupun stiker indikator warna urin di dinding kamar

mandi/ toilet yang dapat memberikan informasi mengenai status hidrasi pekerja dan

dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengonsumsi air minum selama

bekerja. Perlu diberikan pula pemahaman pada pekerja bahwa warna urin dapat

dipengaruhi konsumsi makanan, minuman, atau obat-obatan tertentu sehingga pekerja

dapat memantau status hidrasinya sendiri.

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 17: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

Melakukan komunikasi bahaya kepada pekerja dengan cara memberikan pelatihan/

penyuluhan maupun leaflet mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan tekanan

panas, gangguan kesehatan akibat tekanan panas, bagaimana gejala-gejala gangguan

kesehatan tersebut dan pertolongan pertama yang harus dilakukan ketika gejala

dirasakan..

Melakukan surveilans kesehatan terkait bahaya tekanan panas yang terdiri dari

surveilans kesehatan pekerja dan surveilans lingkungan kerja. Surveilans kesehatan

kerja mencakup pengukuran pajanan panas personal pada pekerja yang berisiko

mengalami tekanan panas dan pemeriksaan medis berkala untuk menentukan apakah

benar telah terjadi tekanan panas dan memantau risiko timbulnya heat-related

disorders. Surveilans lingkungan kerja dilakukan dengan mempertahankan rutinitas

dan meningkatkan kualitas pengukuran iklim kerja di SSP.

Melakukan penyuluhan kesehatan bagi pekerja terkait praktik gaya hidup sehat, seperti

melakukan aktivitas fisik secara rutin, mengatur pola makan, dan banyak mengonsumsi

air mineral untuk menjaga agar indeks massa tubuh tetap ideal. Bila memungkinkan,

perusahaan sebaiknya juga membuat kegiatan olahraga bersama secara rutin tiap

minggu.

Melakukan pemantauan khusus bagi pekerja di area berisiko yang menderita diabetes

mellitus. Sebaiknya dipertimbangkan pula untuk melakukan penempatan kerja yang

sesuai bagi penderita diabetes mellitus, misalnya mereka dikhususkan untuk melakukan

pekerjaan di dalam ruang kendali agar tidak terpajan panas.

3. Perlindungan Personal:

Menambah kuantitas alat pelindung diri berupa pakaian reflektif sesuai jumlah pekerja.

Untuk beberapa kondisi di luar kondisi normal yang mengharuskan pekerja bekerja

dekat sumber panas dalam waktu lama, sebaiknya disediakan pula alat pelindung diri

berupa ice vest karena dalam kondisi tersebut, penggunaan pakaian reflektif justru akan

meningkatkan risiko tekanan panas.

KEPUSTAKAAN

ACGIH. (2009). Documentation heat stress and strain TLVs®

. United States: Author.

ACGIH. (2012). Thermal stress. Dalam ACGIH. Threshold limit values for chemical

substances and physical agents & biological exposure indices. United States: Author.

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 18: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

Ardyanto W., Y. D. (2006). Potret iklim kerja dan upaya pengendalian lingkungan pada

perusahaan peleburan baja di Sidoarjo. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 1, 142-151.

Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Depok: FKM UI.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset

Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kemenkes RI.

Badan Standardisasi Nasional. (2004). Pengukuran iklim kerja (panas) dengan parameter

indeks suhu basah dan bola No. 16-7061-2004. Jakarta.

Berau of Labor Statistics United States Department of Labor. (2011). Table 1. Fatal

occupational injuries by event or exposure. 16 November 2012.

http://www.bls.gov/news.release/cfoi.t01.htm

Bernard, T. E. (2002). Thermal stress. Dalam B. A. Plog & P. J. Quinlan (Ed). Fundamentals

of industrial hygiene (5th ed.). USA: NSC.

Cowley, M. (2005). The heat index. 16 November 2012.

http://www.nsis.org/weather/heatindex.html

Di Corleto, R. & Jennings, M. (2007). Other physical agents. Dalam C. Tillman (Ed).

Principles of occupational health & hygiene, An introduction. Australia: Allen &

Unwin.

Hastono, S. P. (2006). Analisis Data. Depok: FKM UI.

Hendra. (2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi

pada pekerja yang terpajan panas (Studi kasus di departemen cor divisi tempa dan cor

pt pindad bandung tahun 2003). Program Studi Pascasarjana FKM UI, Depok

Hendra. (2009, Februari). Tekanan panas dan metode pengukurannya di tempat kerja.

Disampaikan pada semiloka keterampilan pengukuran bahaya fisik dan kimia di tempat

kerja, Universitas Indonesia, Depok.

Kurniawidjaja, L. M. (2010). Teori dan aplikasi kesehatan kerja. Jakarta: Universitas

Indonesia (UI-Press)

Livchak, A., et.al. (2005). The effect of supply air systems on kitchen thermal environment.

ASHRAE Transactions, 748-754.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.13/MEN/X/2011

tentang nilai ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja. Jakarta.

NCDOL. (2001). A guide to preventing heat stress and cold stress. North Carolina: Author.

NIOSH. (1986). Criteria for a recommended standard occupational exposure to hot

environments. United States: Author.

OSHA. (1999). Heat stress. Dalam OSHA. OSHA technical manual. 16 November 2012.

http://www.osha.gov/dts/osta/otm/otm_iii/otm_iii_4.html

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013

Page 19: Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas di

Puspita, A.H. (2012). Analisis tekanan panas dan tingkat keluhan subjektif pada pekerja di

area produksi pelumas Jakarta PT Pertamina (Persero) tahun 2012. Program Studi

Sarjana FKM UI, Depok.

Petroffsky, J.S., et.al. (2008). Skin heat dissipation: the influence of diabetes, skin thickness,

and subcutaneous fat thickness. Dalam NCBI. Diabetes technol ther.2008. 12 Januari

2013.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19049378

Petroffsky, J.S., et.al. (2009). Heat tolerance in patients with type 1 and type 2 diabetes. The

journal of applied research in clinical and experimental therapeutics, 9 (3). 12 Januari

2013. http://jrnlappliedresearch.com/articles/Vol3Iss1/PETROFSKY.htm

Sekaran, U. (2006). Metode riset bisnis. Jakarta: Salemba Empat.

Talty, J. T. (1988). Industrial hygiene engineering recognition, measurement, evaluation, and

control (2nd ed.). United States: Noyes Data Corporation.

Triyanti, F. (2007). Hubungan faktor-faktor heat stress dengan terjadiya kristalisasi urin

pada pekerja binatu dan dapur hotel x, medan. Program Studi Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, Medan.

United Steelworkers Health, Safety, and Environment Department. 2011 Fatality Report,

January 1st – December 7

th, 2011. Pittsburgh: Author.

Vanani, N.S. (2008) Gambaran tekanan panas di lingkungan kerja dan keluhan subyektif

pekerja pada area curing PT Multistrada Arah Sarana, Tbk Tahun 2008. Program Studi

Sarjana FKM UI, Depok.

WHO. (1969). Health factors involved in working under conditions of heat stress. Dalam

WHO. World Health Organization Technical Report Series. Geneva: Author.

Worksafe BC. (2007). Preventing Heat Stress At Work. British Columbia: Author.

Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013