gambaran keluhan subjektif pekerja akibat tekanan panas di
TRANSCRIPT
Gambaran Keluhan Subjektif Pekerja Akibat Tekanan Panas
di Area Peleburan, Proses Sekunder, dan Pengecoran Slab Steel Plant (SSP)
PT Krakatau Steel Cilegon, Banten Tahun 2012
Alwina Fitria Maulidiani* L. Meily Kurniawidjaja**
Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat
ABSTRAK
Kombinasi dari temperatur lingkungan kerja, panas metabolik dari tubuh pekerja, pakaian
kerja, dan faktor individu dapat menimbulkan tekanan panas (heat stress) bagi pekerja di area
peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel. Tekanan panas
berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan (heat-related disorders) yang diawali dengan
berbagai respon fisiologis tubuh (heat strain) berupa gejala-gejala atau keluhan yang
dirasakan secara subjektif oleh pekerja. Penelitian dilakukan pada 51 orang responden dengan
desain studi cross sectional deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang
mengalami tekanan panas adalah 36 orang dari 51 responden (70,6%) di area peleburan dan
proses sekunder. Seluruh responden merasa bahwa suhu lingkungan kerja mereka panas dan
74,5% responden merasa tidak nyaman (terganggu) dengan kondisi panas tersebut. Oleh
karena itu, diperlukan berbagai upaya pengendalian dari segi teknis, administratif, maupun
penyediaan alat pelindung diri untuk meminimalisasi risiko timbulnya keluhan yang dirasakan
pekerja akibat tekanan panas.
Kata kunci:
Tekanan panas; keluhan subjektif
ABSTRACT
The combination of work environment temperature, metabolic heat, clothing, and individual
factors could generate heat stress for workers in melting, secondary process, and casting area
of SSP PT Krakatau Steel. Heat stress could potentially generate heat related disorders which
started with physiological responses (heat strain), remarked as workers’ subjective
complaints. This study performed on 51 workers using cross sectional descriptive study
design. The results showed that there are 36 among 51 respondents (70,6%) in melting and
secondary process area experienced heat stress. All respondents felt the work environment
temperature was hot and 74,5% felt uncomfortable with it. Therefore, efforts are needed, such
as technical and administrative controls and also distribution of personal protective
equipments, to minimize the risk of heat stress signs.
Key words:
Heat stress; subjective complaints
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
PENDAHULUAN
Kesehatan kerja adalah hak asasi manusia dan oleh karena itu menjadi hal yang wajib
dilaksanakan di tempat kerja oleh seluruh pihak pelaksana pekerjaan. Dalam pelaksanaan
kesehatan kerja, selalu terdapat berbagai potensi bahaya dan risiko yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan. Salah satu faktor fisik yang berpotensi mengganggu produktivitas
pekerja dan lebih jauh lagi dapat menimbulkan gangguan kesehatan adalah suhu (temperatur)
panas di lingkungan kerja.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa suhu lingkungan kerja berpengaruh
terhadap produktivitas pekerja. Bila suhu lingkungan meningkat sampai 10oF (5,5
oC) di atas
batas kenyamanan, produktivitas kerja akan menurun sebesar 30% (Wyon dalam Livchak,
2005). Selain memengaruhi produktivitas kerja, suhu lingkungan kerja yang panas juga dapat
menimbulkan gangguan kesehatan, bahkan kematian. Berdasarkan penelitian Triyanti pada
tahun 2007 ditemukan bahwa prevalensi kristalisasi urin pada pekerja di unit binatu dan dapur
hotel X Medan yang terpajan tekanan panas sebesar 29,3%. Kristal pada urin dapat
menyebabkan pekerja menderita batu saluran kemih. Berdasarkan laporan kasus fatal (fatality
report) dari United Steelworkers Health, Safety, and Environment Department periode 1
Januari – 7 Desember 2011, terdapat 39 kasus fatal dan 2 di antaranya merupakan kasus
akibat heat stress yang mengakibatkan kematian 1 orang pekerja dan pekerja lainnya
mengalami collapse, serta 1 kasus akibat kontak langsung dengan sumber panas yang
mengakibatkan 90% tubuh pekerja mengalami luka bakar. Biro Statistik Tenaga Kerja
Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat menyatakan bahwa pada tahun 2011 terdapat 61
kejadian fatal di industri seluruh Amerika Serikat akibat pajanan temperatur ekstrim.
PT Krakatau Steel sebagai industri baja terbesar di Indonesia memproduksi baja dalam
jumlah yang sangat besar. Kapasitas produksi total PT Krakatau Steel mencapai 2,5 juta ton
baja kasar (crude steel) per tahun. Proses produksi baja, khususnya saaat peleburan,
membutuhkan suhu yang sangat tinggi, yakni mencapai sekitar 1700oC. Suhu WBGT indoor
di tiga area produksi Slab Steel Plant (SSP) PT Krakatau Steel Cilegon, Banten yang diukur
pada bulan Maret 2012 berpotensi menimbulkan tekanan panas (heat stress) pada pekerja,
yakni 35,1oC di area peleburan, 32,5
oC di area proses sekunder, dan 30,3
oC di area
pengecoran. Heat stress yang dialami pekerja dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa
heat rash, heat cramps, heat syncope, dehydration, heat exhaustion, hingga yang paling fatal
heat stroke. Gangguan kesehatan yang dialami pekerja akan berdampak pula bagi perusahaan
berupa penurunan produktivitas akibat jam kerja yang hilang. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian melalui pengukuran suhu lingkungan kerja dan estimasi panas metabolik tubuh
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
pekerja untuk mengetahui gambaran tekanan panas yang diterima pekerja dan bagaimana
keluhan subjektif pekerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran Slab Steel Plant
(SSP) PT Krakatau Steel Cilegon, Banten akibat tekanan panas.
TINJAUAN TEORITIS
Tekanan panas (heat stress) adalah suatu kombinasi dari panas lingkungan, panas
metabolik akibat aktivitas kerja, dan faktor pakaian kerja yang dapat meningkatkan suhu
tubuh, denyut nadi, dan produksi keringat (Bernard, 2002). Menurut Di Corletto dalam
Tillman (2007), kondisi lingkungan, beban kerja metabolik, dan pakaian; masing-masing atau
kombinasinya; dapat menimbulkan tekanan panas bagi pekerja. Respon tubuh terhadap
tekanan panas tersebut seperti berkeringat, meningkatnya denyut nadi, dan meningkatnya
suhu tubuh disebut dengan tegangan panas (heat strain). Menurut WorkSafeBC (2007),
faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap tekanan panas adalah faktor lingkungan
(suhu udara, kecepatan aliran udara, kelembaban relatif udara), pekerjaan (beban kerja dan
pola kerja), dan faktor pakain kerja. Selain itu, karakteristik pekerja juga memengaruhi
kejadian tekanan panas dan risiko heat-related disorders, yang terdiri dari usia, obesitas,
status aklimatisasi, hidrasi, konsumsi obat dan alkohol, status kesehatan, riwayat heat stroke,
dan jenis kelamin. Tekanan panas ringan atau moderat dapat menyebabkan ketidaknyamanan
dan dapat berpengaruh besar terhadap performa dan keselamatan, tetapi tidak berbahaya bagi
kesehatan. Ketika tekanan panas mencapai batas toleransi manusia, maka risiko gangguan
kesehatan terkait panas (heat-related disorders) meningkat (ACGIH, 2012).
Heat-related disorders yang dapat timbul pada pekerja akibat pajanan tekanan panas
antara lain heat rash (prickly heat), heat cramps, heat syncope, dehydration, heat exhaustion,
hingga yang paling fatal heat stroke (Bernard, 2002). Semua gangguan kesehatan tersebut
memiliki tanda dan gejala yang berbeda-beda, mulai dari yang paling ringan kulit terasa
lembab dan timbul biang keringat, kram/ kejang otot, sampai yang paling berat pingsan,
bahkan kematian. Bila terdapat informasi atau laporan tentang ketindaknyamanan atau timbul
keluhan yang mengindikasikan gejala-gejala gangguan kesehatan tersebut berkaitan dengan
tekanan panas di tempat kerja, maka perlu dilakukan pengukuran temperatur lingkungan kerja
maupun pajanan panas personal pada pekerja (ACGIH, 2007 dalam Hendra, 2009).
Pengukuran temperatur lingkungan dilakukan dengan mengukur komponen temperatur
yang terdiri dari suhu kering, suhu basah alami, dan suhu radian. Di samping itu juga perlu
dilakukan pengukuran terhdap kelembaban udara relatif dan kecepatan angin. Temperatur
lingkungan umumnya dinyatakan dengan indeks Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) atau
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
dikenal juga dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) (Hendra, 2009). Pengukuran
pajanan panas personal penting dilakukan untuk mengetahui tingkat pajanan panas pada
individu. Diperlukan pengukuran pajanan personal apabila pekerja yang berisiko terpajan
panas bekerja berpindah-pindah atau pola pajanan panas bersifat intermitten. Pengukuran
pajanan panas personal lebih memperlihatkan apakah ada perubahan suhu tubuh dan denyut
nadi pekerja yang terpajan panas (Hendra, 2009). Pengukuran pajanan panas personal dapat
dilakukan menggunakan alat ukur berupa personal heat monitor. Apabila tidak terdapat alat
ukur, pengukuran panas personal dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan jumlah
kalori yang dikeluarkan untuk melakukan pekerjaan (estimasi panas metabolik) menggunakan
tabel acuan dari NIOSH (1986). Tabel estimasi ini adalah untuk standar berat badan pekerja
70 kg, perlu dilakukan konversi untuk ukuran berat badan lainnya. Hasil estimasi panas
metabolik tersebut kemudian dikategorikan menjadi pekerjaan ringan (< 200 kkal/jam),
sedang (200 – 350 kkal/jam), atau berat (350 – 500 kkal/jam) (OSHA TM, 1999).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain studi cross sectional karena bertujuan
untuk menggambarkan keluhan subjektif yang dirasakan pekerja akibat pajanan tekanan panas
di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran Slab Steel Plant (SSP) PT Krakatau Steel,
serta pengukuran variabel bebas dan terikatnya dilakukan dalam waktu bersamaan, yakni pada
bulan November – Desember 2012.
Populasi target adalah seluruh pekerja Slab Steel Plant (SSP) PT Krakatau Steel
Cilegon, Banten yang berisiko tinggi mengalami tekanan panas. Populasi studi adalah seluruh
pekerja di area yang hasil pengukuran panasnya melebihi NAB, yaitu pekerja di area
peleburan, proses sekunder, dan pengecoran Slab Steel Plant (SSP) dengan jumlah total 119
orang. Secara umum jenis pekerjaan di ketiga area tersebut yang berpotensi terpajan panas
ada 3 jenis, yaitu juru lebur Electric Arc Furnace (EAF), operator Ladle Furnace, dan
operator pengecoran (caster). Oleh karena itu, sampel diambil dari ketiga jenis pekerjaan
tersebut. Proporsi penelitian dalam penghitungan besar sampel menggunakan penelitan
Hendra tahun 2003 di Divisi Cor PT Pindad, Bandung dengan hasil 63,6% responden merasa
terganggu dengan kondisi lingkungan kerja yang panas. Didapatkan besar sampel 51 orang
dari hasil perhitungan dengan rumus estimasi proporsi populasi terbatas (Ariawan, 1998).
Data yang digunakan adalah data primer berupa data kecepatan angin hasil pengukuran
dengan Digital Vane Anemometer, data panas metabolik dari hasil observasi aktivitas
pekerjaan, data karakteristik pekerja dan keluhan subjektif akibat tekanan panas dari hasil
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
wawancara pekerja menggunakan kuesioner. Data sekunder penelitian ini berupa data hasil
pengukuran suhu lingkungan kerja dan kelembaban udara menggunakan instrumen Thermal
Environment Monitor yang telah dilakukan oleh Divisi K3LH PT Krakatau Steel pada bulan
September 2012. Seluruh data tersebut diolah, dibandingkan dengan standar Permenakertrans
No. 13 Tahun 2011, dan dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat yang bertujuan untuk
melihat distribusi frekuensi keluhan subjektif pekerja akibat pajanan tekanan panas di area
peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel Cilegon, Banten tahun
2012.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran lingkungan kerja menunjukkan bahwa WBGT indoor rata-rata di
ketiga titik pengukuran berkisar antara 29,4oC – 32
oC dan kelembaban relatif berkisar antara
42% – 54% (Tabel 1). Kecepatan angin di EAF 5 dan LF 2 dengan ventilasi alami berkisar
antara 0,3 m/s – 0,9 m/s, sedangkan di CCM dengan kondisi blower menyala berkisar antara
4,8 m/s – 5 m/s (Tabel 2).
Tabel 1 Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban Relatif Area Slab Steel Plant (SSP) 1
No Titik
Pengukuran
WB
(oC)
DB
(oC)
Globe
(oC)
WBGTin
Avg(oC)
RH
(%)
HI
(oC)
1 EAF 5 25,6 31,5 41,7 30,4 54 40
2 LF 2 26,8 35,1 44,0 32,0 42 42
3 CCM 24,9 32,9 39,9 29,4 48 40
Sumber: Hiperkes K3LH PT Krakatau Steel, September 2012
Tabel 2 Hasil Pengukuran Kecepatan Aliran Udara Area Slab Steel Plant (SSP) 1
Tanggal 7 Desember 2012
No Titik
Pengukuran
Kec. Aliran
Udara (m/s)
Waktu
Pengukuran Keterangan
1 EAF 5 0,5 – 0,9 16.10 WIB Angin dari
lingkungan di
luar pabrik
2 LF 2 0,3 – 0,4 15.35 WIB Angin dari
lingkungan di
luar pabrik
3 CCM 4,8 – 5,0 14.20 WIB Angin dari 1
buah blower
Berdasarkan hasil observasi, didapatkan data pekerjaan yang dilakukan pekerja di area
peleburan (EAF), proses sekunder (LF), dan pengecoran (CCM) dalam satu shift kerja (8 jam)
sehingga dapat ditentukan estimasi panas metabolik dengan mengacu pada tabel estimasi
panas metabolik NIOSH (1986). Setelah dilakukan koreksi berdasarkan berat badan
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
responden, angka beban kerja responden dikategorikan menjadi beban kerja ringan, sedang,
dan berat mengacu pada Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 dan didapatkan hasil distribusi
beban kerja responden terbanyak adalah beban kerja sedang (58,8%), diikuti beban kerja
ringan (29,4%), dan paling sedikit adalah beban kerja berat (11,8%).
Pola kerja di area peleburan dan proses sekunder adalah 50% - 75% karena dalam satu
shift, pekerja di area peleburan dan proses sekunder melakukan pekerjaan yang terpajan panas
secara langsung selama kurang lebih 4 jam 30 menit, sisanya pekerja stand by menunggu
proses dapur (furnace) selesai di dalam ruang kendali. Sedangkan di area pengecoran, pekerja
melakukan pekerjaan yang terpajan panas secara langsung selama kurang lebih 6 jam 50
menit (hampir 7 jam) dalam 1 shift sehingga dapat disimpulkan pola kerjanya 75% - 100%.
Seluruh pekerja mengenakan seragam kerja berupa kemeja dan celana panjang bahan jins,
maka tidak ada penambahan terhadap suhu WBGT indoor rata-rata (ACGIH, 2012).
Dari hasil pengukuran suhu lingkungan kerja, pola kerja, dan beban kerja responden,
dilakukan analisis kejadian tekanan panas pada responden mengacu pada standar
Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 (Tabel 3).
Tabel 3 Gambaran Kejadian Tekanan Panas pada Responden
Kategori Beban
Kerja
Jumlah
Pekerja Pola Kerja
WBGTin
(oC)
NAB
(oC)
Kejadian
Tekanan Panas
EAF
- Ringan
- Sedang
- Berat
1
21
2
50% - 75% 30,4
31,0
29,0
27,5
Tidak
Ya
Ya
LF
- Ringan
- Sedang
- Berat
0
9
4
50% - 75% 32,0
31,0
29,0
27,5
-
Ya
Ya
CCM
- Ringan
- Sedang
- Berat
14
0
0
75% - 100% 29,4
31,0
28,0
-
Tidak
-
-
Total 51
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa tekanan panas dialami oleh 23
responden di area peleburan (EAF) dan 13 responden di area proses sekunder (LF), total 36
dari 51 responden (70,6%) mengalami tekanan panas. Namun, perlu diperhatikan bahwa
pajanan panas yang diterima pekerja di kedua area tersebut bersifat intermittent dan pekerja
dapat dengan mudah mengakses ruang kendali ber-AC serta air minum. Hal ini dapat
memengaruhi tingkat risiko tekanan panas pada pekerja. Perusahaan pun sebenarnya telah
menyediakan alat pelindung diri berupa pakaian reflektif (baju tahan api) yang berfungsi
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
untuk mengurangi jumlah panas radiasi yang dapat mencapai pekerja (Bernard, 2002), tetapi
pekerja jarang menggunakan APD tersebut dengan alasan membuat tubuh terasa lebih panas,
tidak nyaman karena pergerakan jadi terbatas, dan jumlah APD kurang memadai sehingga
harus digunakan secara bergantian. Oleh karena itu, jumlah pakaian reflektif perlu ditambah
agar seluruh pekerja dapat menggunakan APD masing-masing.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seluruh pekerja di area pengecoran (CCM)
tidak mengalami tekanan panas, tetapi berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa operator cor
(caster) menerima pajanan panas secara terus-menerus, berbeda dengan pekerja di area
peleburan dan proses sekunder yang pajanan panasnya intermittent. Hal ini dapat membuat
risiko tekanan panas pada operator cor lebih tinggi daripada pekerja peleburan dan proses
sekunder. Namun, hal ini telah diantisipasi oleh perusahaan dengan melakukan pengendalian
teknis berupa penyediaan blower untuk membantu pendinginan tubuh pekerja secara
evaporatif dan konvektif (Bernard, 2002). Penyediaan ruang kendali ber-AC, air minum
galon, serta APD berupa pakaian reflektif juga merupakan bentuk pengendalian risiko tekanan
panas di area pengecoran. Selain itu, risiko tiap pekerja untuk mengalami tekanan panas akan
bervariasi tergantung dari karakteristik pekerja, seperti status aklimatisasi, status hidrasi, usia,
obesitas, kondisi medis, konsumsi alkohol dan obat-obatan, serta riwayat heat stroke
(WorkSafeBC, 2007). Karakteristik pekerja yang diteliti terdiri dari usia, indeks massa tubuh,
status aklimatisasi, konsumsi minum, dan status kesehatan. Hasil distribusi frekuensi
karakteristik pekerja menunjukkan bahwa kelompok responden yang berisiko tinggi
mengalami keluhan subjektif akibat tekanan panas adalah sebesar 56,9% dengan usia ≥40
tahun, 37,3% dengan IMT Obese dan BB Lebih, 25,5% dengan konsumsi minum <8 gelas
dalam satu shift, 3,9% dengan status tidak sehat, dan tidak ada responden yang tidak
teraklimatisasi.
Kondisi lingkungan kerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran yang
panas telah dirasakan oleh pekerja sebagai hal yang mengganggu proses kerja. Hal ini terbukti
dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa seluruh responden (100%) menyatakan
bahwa lingkungan kerja mereka panas dan 38 responden (74,5%) merasa tidak nyaman
(terganggu) dengan kondisi panas tersebut (Tabel 4).
Tabel 4 Distribusi Keluhan Umum Responden
Keluhan Umum Pekerja Jumlah Persentase
1. Suhu lingkungan kerja panas
- Ya
- Tidak
51
0
100,0
0
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
Keluhan Umum Pekerja Jumlah Persentase
2. Tidak nyaman (terganggu)
dengan kondisi panas
- Ya
- Tidak
38
13
74,5
25,5
3. Pekerjaan melelahkan secara
fisik
- Ya
- Tidak
36
15
70,6
29,4
4. Pekerjaan melelahkan secara
mental
- Ya
- Tidak
21
30
41,2
58,8
Suhu panas yang dirasakan oleh responden berdampak pada timbulnya keluhan
subjektif akibat panas. Parameter keluhan subjektif tersebut berupa 20 pertanyaan terkait
keluhan (gejala heat strain) yang mungkin dirasakan pekerja ketika bekerja di lingkungan
panas. Pengukuran mengenai keluhan subjektif tersebut dilakukan dengan melihat frekuensi
keluhan dirasakan oleh responden yang dikelompokkan menjadi sangat sering (bila keluhan
dirasakan setiap hari kerja), sering (bila keluhan dirasakan 3 – 4 kali dalam seminggu hari
kerja), jarang (bila keluhan dirasakan 1 – 2 kali dalam seminggu hari kerja), dan tidak pernah
(bila keluhan tidak pernah dirasakan sama sekali selama bekerja).
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Keluhan Subjektif Responden
No Keluhan
Frekuensi Keluhan Dirasakan oleh Responden
Sangat Sering Sering Jarang Tidak Pernah
N % N % N % N %
1. Kulit terasa perih kemerahan 0 0 8 15,7 12 23,5 31 60,8
2. Kulit lembab, timbul biang
keringat 1 2,0 3 5,9 17 33,3 30 58,8
3. Kram/ kejang otot perut 0 0 0 0 7 13,7 44 86,3
4. Kram/ kejang otot lengan 0 0 1 2,0 10 19,6 40 78,4
5. Kram/ kejang otot kaki 0 0 2 3,9 11 21,6 38 74,5
6. Banyak mengeluarkan keringat 28 54,9 21 41,2 2 3,9 0 0
7. Sering haus 16 31,4 20 39,2 11 21,6 4 7,8
8. Jarang kencing 2 3,9 5 9,8 19 37,3 25 49,0
9. Warna urin kuning pekat 1 2,0 5 9,8 19 37,3 26 51,0
10. Lemah/ lemas 1 2,0 11 21,6 25 49,0 14 27,5
11. Pusing, sakit kepala 3 5,9 3 5,9 24 47,1 21 41,2
12. Suhu tubuh meningkat 1 2,0 18 35,3 18 35,3 14 27,5
13. Mual, enek (ingin muntah) 0 0 1 2,0 15 29,4 35 68,6
14. Mengalami kelelahan 1 2,0 18 35,3 20 39,2 12 23,5
15. Konsentrasi berkurang 0 0 3 5,9 23 45,1 25 49,0
16. Rasa mau pingsan 0 0 0 0 3 5,9 48 94,1
17. Hilang keseimbangan 0 0 0 0 8 15,7 43 84,3
18. Kulit terasa kering dan panas 0 0 13 25,5 21 41,2 17 33,3
19. Detak jantung cepat (berdebar) 0 0 2 3,9 21 41,2 28 54,9
20. Gelisah, mudah marah 0 0 2 3,9 19 37,3 30 58,8
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluhan yang paling signifikan dirasakan oleh
responden adalah banyak mengeluarkan keringat (96,1%) dan sering haus (70,6%) dengan
frekuensi sangat sering dan sering. Keluhan mengalami kelelahan (74,5%), lemah/ lemas
(70,6%), suhu tubuh meningkat (70,6%), serta kulit terasa kering dan panas (66,7%) cukup
signifikan dirasakan responden dengan frekuensi sering dan jarang. Sedangkan keluhan yang
hampir tidak pernah dirasakan oleh responden adalah merasa mau pingsan (94,1%), kram/
kejang otot perut (86,3%), dan hilang keseimbangan (84,3%) (Tabel 5).
Data hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara yang telah dilakukan di ketiga area
penelitian dapat menjadi acuan untuk menentukan risiko keluhan subjektif (gejala heat-
related disorders) yang dirasakan oleh pekerja. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa
kelembaban relatif di ketiga area penelitian berkisar antara 42% – 54% dan suhu yang
sebenarnya dirasakan oleh pekerja (heat index) berkisar antara 40oC – 42
oC (104
oF – 107,6
oF)
(Tabel 1). Analisis dilakukan dengan membandingkan suhu yang sebenarnya dirasakan oleh
pekerja dan kelembaban relatif menggunakan matriks heat index yang dipublikasikan oleh
NSIS tahun 2005. Dari matriks tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerja di ketiga area
penelitian sangat berisiko mengalami keluhan atau gejala yang berkaitan dengan heat
exhaustion dan heat stroke.
Heat exhaustion merupakan kelelahan akibat pajanan panas yang diawali dengan tanda
dan gejala berupa merasa kelelahan, lemah/ lemas, pusing; sakit kepala, banyak mengeluarkan
keringat, denyut nadi tinggi, suhu tubuh sedikit meningkat, bahkan hingga tidak sadarkan diri/
pingsan (Bernard, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 96,1% responden
mengalami keluhan banyak mengeluarkan keringat dengan frekuensi sering sampai sangat
sering; 74,5% mengalami kelelahan, 70,6% merasa lemah/ lemas, dan 70,6% merasakan suhu
tubuh meningkat dengan frekuensi jarang sampai sering; 47,1% merasa pusing, sakit kepala
dan 41,2% merasa detak jantung cepat (berdebar) walaupun jarang. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa tanda dan gejala dari heat exhaustion dirasakan secara signifikan oleh
pekerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel.
Heat stroke merupakan kondisi yang sangat membahayakan jiwa, ditandai dengan suhu
inti tubuh meningkat hingga melebihi 40oC, berhenti berkeringat, kejang, gemetar, kulit
kering dan panas, jantung berdebar, gelisah, dan mudah marah (Bernard, 2002). Bila keadaan
ini tidak ditangani dengan segera dapat berujung pada hilangnya kesadaran (pingsan),
kerusakan permanen pada otak, dan bahkan kematian (WorkSafeBC, 2007). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebanyak 66,7% responden mengalami keluhan kulit terasa kering dan
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
panas; 45,1% merasa detak jantung cepat (berdebar); dan 41,2% merasa gelisah, mudah
marah dengan frekuensi jarang sampai sering. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
tanda dan gejala heat stroke pernah dirasakan oleh pekerja di area peleburan, proses sekunder,
dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel.
Menurut Bernard (2002), heat stroke dan heat exhaustion biasanya didahului dengan
dehidrasi yang ditandai dengan kelelahan/ lemah, mulut kering sehingga sering haus, dan
konsentrasi kerja berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 70,6% responden
merasa sering haus dengan frekuensi sering sampai sangat sering; 74,5% mengalami
kelelahan, 70,6% merasa lemah/ lemas, dan 51% merasa konsentrasi berkurang dengan
frekuensi jarang sampai sering. Selain itu, 37,3% responden mengalami jarang kencing dan
warna urin kuning pekat walaupun jarang. Hal ini mengindikasikan bahwa tanda dan gejala
dehidrasi juga dirasakan oleh pekerja di area peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP
PT Krakatau Steel.
Seluruh keluhan subjektif yang dirasakan pekerja belum sampai pada kondisi gangguan
kesehatan yang cukup serius. Hal ini dikarenakan durasi pajanan panas selama bekerja tidak
berlangsung lama dan terputus-putus (intermittent), sehingga pekerja memiliki cukup waktu
untuk mengembalikan suhu tubuh ke kondisi semula selama jeda waktu antara pajanan panas
pertama sampai pajanan berikutnya. Selain itu, keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh
pekerja bukan merupakan keluhan yang bersifat akumulatif, melainkan keluhan yang
dirasakan hanya pada saat pekerja terpajan oleh panas ketika melakukan pekerjaan. Perlu
dilakukan analisis lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan medis (pengukuran suhu inti
tubuh, denyut nadi, dan tingkat pengeluaran keringat) maupun pengukuran pajanan panas
personal pada pekerja agar dapat diketahui apakah pekerja benar-benar mengalami heat
stress, heat strain, ataupun heat-related disorders.
Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Kejadian Tekanan Panas
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seluruh keluhan yang dirasakan
responden lebih besar persentasenya pada responden yang mengalami tekanan panas
dibandingkan dengan yang tidak mengalami tekanan panas, dengan persentase keluhan
terbesar adalah banyak mengeluarkan keringat (100%:100%), sering haus (94,4%:86,7%),
mengalami kelelahan (77,8%:73,3%), dan suhu tubuh meningkat (75%:66,7%). Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Bernard (2002) dalam Fundamentals of Industrial
Hygiene bahwa tekanan panas dapat menimbulkan berbagai reaksi fisiologis tubuh, seperti
meningkatkan suhu tubuh, denyut nadi, dan produksi keringat. Tekanan panas ringan atau
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
moderat dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan dapat berpengaruh besar terhadap
performa dan keselamatan, tetapi tidak berbahaya bagi kesehatan. Ketika tekanan panas
mencapai batas toleransi manusia, maka risiko gangguan kesehatan terkait panas (heat-related
disorders) meningkat (ACGIH, 2012).
Persentase adanya keluhan pada responden yang tidak mengalami tekanan panas
memang lebih sedikit daripada yang mengalami tekanan panas, tetapi hal ini bisa saja terjadi
karena distribusi responden yang tidak mengalami tekanan panas juga lebih sedikit. Risiko
dan tingkat keparahan heat strain bagi tiap individu akan sangat beragam, bahkan walaupun
berada dalam kondisi tekanan panas yang sama (ACGIH, 2012). Hal ini menjadi landasan
bahwa timbulnya keluhan pada pekerja, baik yang mengalami tekanan panas maupun tidak
juga akan sangat beragam. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan apakah
terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian tekanan panas dan keluhan subjektif yang
dirasakan oleh responden.
Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Usia
Berdasarkan WorkSafeBC (2007), pekerja dengan usia lebih tua (40 sampai 65 tahun)
umumnya lebih sulit menoleransi tekanan panas karena efisiensi fungsi jantung sudah mulai
berkurang dan membuat produksi keringat lebih lambat. Oleh karena itu, pekerja dengan usia
≥40 tahun lebih berisiko mengalami keluhan akibat tekanan panas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi responden yang berusia ≥40 tahun
lebih besar daripada responden yang berusia <40 tahun (56,9%:43,1%), tetapi sebanyak 13
dari 20 keluhan lebih banyak dialami oleh responden yang berusia <40 tahun dengan
persentase keluhan terbesar adalah banyak mengeluarkan keringat (100%), sering haus
(99,5%) dan lemah/ lemas (72,7%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitan Vanani (2008) di
bagian curing PT Multistrada Arah Sarana yang menunjukkan bahwa responden yang sangat
sering mengalami keluhan adalah responden yang berusia 21 – 30 tahun dengan persentase
keluhan terbesar adalah banyak berkeringat (67%) dan merasa haus (64% ).
Persentase adanya keluhan lebih besar pada responden yang berusia <40 tahun dapat
disebabkan oleh perbedaan masa kerja. Masa kerja responden yang berusia ≥40 tahun telah
lebih lama daripada responden yang berusia <40 tahun, sehingga mereka telah terbiasa
dengan kondisi panas dan tidak lagi sering mengalami keluhan. Kondisi pembagian pekerjaan
di ketiga area penelitian yang fleksibel (team work) juga turut memengaruhi hasil penelitian
karena pekerja yang berusia <40 tahun cenderung lebih aktif daripada pekerja yang berusia
≥40 tahun, sehingga pekerja yang berusia <40 tahun cenderung lebih banyak melakukan
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
pekerjaan yang memungkinkan terpajan panas secara langsung, sementara pekerja yang
berusia ≥40 tahun lebih banyak stand by di ruang kendali dan melakukan pengawasan.
Berdasarkan penelitian Puspita (2012), tidak terdapat perbedaan timbulnya keluhan
yang signifikan antara pekerja di area produksi pelumas PT Pertamina Jakarta yang berusia
<40 tahun dengan yang berusia ≥40 tahun. Namun, bila dilihat dari nilai odss ratio, pekerja
berusia ≥40 tahun memiliki risiko 1,4 kali lebih tinggi untuk mengalami keluhan tingkat
sedang. Bila membandingkan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Puspita, dapat
diasumsikan bahwa mungkin tidak terdapat perbedaan timbulnya keluhan yang signifikan
pula antara pekerja yang berusia <40 tahun dengan pekerja yang berusia ≥40 tahun di area
peleburan, proses sekunder, dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel. Namun, perlu dilakukan
analisis lebih lanjut untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang bermakna antara usia
dengan keluhan subjektif yang dialami pekerja dan bagaimana perbedaan tingkat risikonya.
Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
Berdasarkan WorkSafeBC (2007), obesitas merupakan faktor risiko terjadinya
gangguan kesehatan terkait panas (heat-related disorders) karena kelebihan lemak dalam
tubuh akan meningkatkan insulasi, dimana hal ini mengurangi pengeluaran panas dari dalam
tubuh. Orang dengan berat badan berlebih juga memproduksi panas lebih banyak selama
beraktivitas. Oleh karena itu, pekerja dengan kondisi obese dan berat badan berlebih berisiko
tinggi mengalami keluhan akibat tekanan panas.
Keluhan yang banyak dirasakan oleh kelompok berisiko, yaitu responden dengan IMT
Obese adalah kram/ kejang otot kaki (63,6%); banyak mengeluarkan keringat (100%); sering
haus (90,9%); jarang kencing (81,8%); warna urin kuning pekat (63,6%); lemah/lemas
(90,9%); pusing, sakit kepala (63,6%); suhu tubuh meningkat (63,6%); mengalami kelelahan
(90,9%); konsentrasi berkurang (72,7%); kulit terasa kering dan panas (63,6%); detak jantung
cepat/ berdebar (63,6%); dan gelisah, mudah marah (54,5%). Sejalan dengan teori, hal ini
menunjukkan bahwa responden dengan IMT Obese merasakan keluhan-keluhan yang
mengindikasikan gejala gangguan kesehatan terkait panas (heat-related disorders), khususnya
gejala awal heat cramps, dehidrasi, heat exhaustion, dan heat stroke.
Responden dengan IMT BB Lebih pun berisiko mengalami gangguan kesehatan akibat
panas (heat-related disorders) karena lapisan lemak yang mereka miliki lebih tebal daripada
orang dengan IMT Normal, walaupun tidak setebal orang yang mengalami obesitas. Keluhan
yang banyak dirasakan responden dengan IMT BB Lebih adalah kulit perih kemerahan
(75%); kulit lembab dan timbul biang keringat (75%); banyak mengeluarkan keringat (100%);
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
sering haus (100%); lemah/lemas (100%); suhu tubuh meningkat (100%); mengalami
kelelahan (75%); konsentrasi berkurang (62,5%); kulit terasa kering dan panas (87,5%); dan
detak jantung cepat/ berdebar (62,5%). Sejalan dengan teori, hal ini menunjukkan bahwa
responden dengan IMT BB Lebih merasakan keluhan-keluhan yang mengindikasikan gejala
gangguan kesehatan terkait panas (heat-related disorders), khususnya gejala awal heat rash,
dehidrasi, heat exhaustion, dan heat stroke.
Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Status Aklimatisasi
Berdasarkan WorkSafeBC (2007), seseorang yang bekerja di lingkungan panas secara
rutin akan memiliki risiko yang lebih kecil untuk menderita gangguan kesehatan terkait panas
karena tubuh mereka telah terkondisi/ teraklimatisasi terhadap kondisi panas. Namun, pekerja
yang tidak bekerja dalam kondisi panas selama seminggu atau lebih akan mengalami
kehilangan daya aklimatisasi yang signifikan (NIOSH, 1986).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden telah teraklimatisasi karena
tidak ada satupun responden yang baru mengambil cuti (di luar jadwal cuti/ off kerja) lebih
dari 7 hari. Namun, seluruh responden tetap mengalami keluhan akibat pajanan panas dengan
persentase yang berbeda-beda. Persentase keluhan terbesar yang dirasakan responden adalah
banyak berkeringat (96,1%) dan sering haus (92,2%). Keluhan banyak berkeringat yang
dialami oleh hampir seluruh responden sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Di
Corleto dan Jennings (2007) bahwa aklimatisasi yang dialami pekerja akan membuat denyut
nadi menurun dan produksi keringat meningkat dengan keringat menjadi lebih encer. Hal ini
diimbangi pula dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebanyak 54,9% responden
tidak mengalami keluhan detak jantung cepat (berdebar). Keluhan sering haus yang dirasakan
responden dapat menjadi indikasi awal dehidrasi yang disebabkan oleh banyaknya produksi
keringat responden selama bekerja dalam kondisi panas.
Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Konsumsi Minum
Brake, et.al. (1998) dalam Di Corleto dan Jennings (2007) mengemukakan bahwa
batas perut dan usus untuk menyerap air antara 1,6 sampai 1,8 L/jam selama berjam-jam
membuat individu tidak mengalami dehidrasi. Rata-rata jumlah konsumsi air minum dapat
menjadi salah satu indikator apakah seseorang mengalami dehidrasi atau tidak. Dehidrasi saat
terpajan panas merupakan ancaman serius terhadap termoregulasi karena dapat mengurangi
volume darah dan meningkatkan hematokrit yang akan meningkatkan viskositas (kekentalan)
darah (Sawka et al., 1985 dalam ACGIH, 2009). Dehidrasi selama tekanan panas juga
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
berhubungan dengan peningkatan penyimpanan panas tubuh yang menyebabkan insidens heat
strain lebih besar (Sawka et al., 1984; Sawka et al. 1982 dalam ACGIH 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 13 dari 51 responden (25,5%)
merupakan kelompok berisiko mengalami keluhan akibat tekanan panas (heat strain), yaitu
mereka yang mengonsumsi minum kurang dari 8 gelas dalam satu shift. Keluhan yang dialami
oleh kelompok responden tersebut antara lain banyak mengeluarkan keringat (100%); sering
haus (92,3%); jarang kencing (53,8%); lemah/lemas (84,6%); pusing, sakit kepala (69,2%);
mengalami kelelahan (76,9%); konsentrasi berkurang (61,5%); kulit terasa kering dan panas
(61,5%) dan gelisah, mudah marah (69,2%). Sejalan dengan teori, hal ini menunjukkan bahwa
responden yang mengonsumsi minum kurang dari 8 gelas dalam satu shift merasakan
keluhan-keluhan (heat strain) yang dapat berujung pada timbulnya gangguan kesehatan
terkait panas (heat-related disorders). Namun, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
berbagai keluhan juga dirasakan oleh responden yang mengonsumsi minum ≥8 gelas dalam
satu shift, bahkan 11 dari 20 keluhan yang diteltiti lebih besar persentasenya pada responden
yang mengonsumsi minum ≥8 gelas dalam satu shift. Hal ini dapat disebabkan karena
distribusi responden yang mengonsumsi minum ≥8 gelas dalam satu shift memang lebih besar
daripada responden yang mengonsumsi minum <8 gelas dalam satu shift.
Berdasarkan penelitian Puspita (2012), tidak terdapat perbedaan timbulnya keluhan
yang signifikan antara pekerja di area produksi pelumas PT Pertamina Jakarta yang
mengonsumsi minum ≤8 gelas dan yang mengonsumsi minum >8 gelas. Bila membandingkan
hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Puspita, dapat diasumsikan bahwa mungkin tidak
terdapat perbedaan timbulnya keluhan yang signifikan pula antara pekerja yang mengonsumsi
minum ≤8 gelas dan yang mengonsumsi minum >8 gelas di area peleburan, proses sekunder,
dan pengecoran SSP PT Krakatau Steel. Namun, perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi minum dengan
keluhan subjektif yang dialami pekerja dan bagaimana perbedaan tingkat risikonya.
Analisis Keluhan Subjektif Responden Berdasarkan Status Kesehatan
Bernard (2002) dalam Fundamentals of Industrial Hygiene mengemukakan bahwa
penyakit kronik seperti gangguan jantung, paru-paru, ginjal, dan hati mengindikasikan daya
toleransi tubuh terhadap pajanan panas lebih rendah sehingga meningkatkan risiko timbulnya
heat-related disorders ketika mengalami tekanan panas. Begitu pula dengan penyakit diabetes
mellitus seperti yang tercantum dalam publikasi WorkSafeBC (2007).
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (96,1%) sehat dan
mengalami keluhan terbesar: banyak mengeluarkan keringat (100%), sering haus (91,8%),
dan mengalami kelelahan (75,5%). Responden yang tidak sehat hanya 2 orang (3,9%), yakni
responden yang menderita penyakit diabetes mellitus (DM). Seluruh responden yang tidak
sehat mengalami keluhan banyak mengeluarkan keringat; sering haus; pusing, sakit kepala;
dan mengalami kelelahan. Hasil penelitian ini tidak dapat menggambarkan perbandingan
persentase kedua kelompok responden yang mengalami keluhan dengan tepat karena terdapat
kesenjangan distribusi responden yang tinggi, yakni hanya terdapat 2 orang responden dengan
status tidak sehat.
Berdasarkan penelitian Petrofsky, et.al. (2008) ditemukan bahwa penderita DM
memiliki laju alir darah yang rendah ketika beristirahat dibandingkan dengan orang seusianya
yang sehat. Penderita DM juga memiliki lapisan kulit dan lapisan lemak subkutan yang lebih
tipis. Kesemua hal tersebut membuat kemampuan penderita DM untuk menghilangkan panas
melalui kulit (skin heat dissipation) lebih rendah daripada orang normal. Hal ini menyebabkan
penderita DM lebih berisiko mengalami tekanan panas. Masih berdasarkan penelitian
Petrofsky, et.al. di tahun berikutnya (2009), ditemukan bahwa seluruh subjek penelitian yang
menderita DM tipe 1 dan 2 memiliki kemampuan menoleransi tekanan panas yang buruk. Hal
ini diakibatkan oleh kegagalan tubuh untuk memproduksi keringat yang menyebabkan suhu
inti tubuh serta suhu kulit meningkat, bahkan ketika penderita DM sedang beristirahat setelah
terpajan panas. Hal ini membuat penderita DM berisiko tinggi mengalami heat-related
disorders, salah satunya heat stroke. Oleh karena itu, walaupun jumlah penderita DM di
perusahaan tidak banyak, sebaiknya perusahaan tetap melakukan pemantauan khusus bagi
pekerja di area berisiko yang menderita DM. Sebaiknya dipertimbangkan pula untuk
melakukan penempatan kerja yang sesuai bagi penderita DM, misalnya mereka dikhususkan
untuk melakukan pekerjaan di dalam ruang kendali agar tidak terpajan panas.
SIMPULAN
1. Secara umum, suhu lingkungan kerja yang terukur di area peleburan, proses sekunder, dan
pengecoran SSP PT Krakatau Steel Cilegon, Banten pada bulan September 2012 telah
melebihi nilai ambang batas yang diperkenankan, dengan suhu lingkungan kerja tertinggi
adalah di area proses sekunder (32oC).
2. Sebagian besar responden (58,8%) memiliki beban kerja sedang. Pola kerja di area
peleburan dan proses sekunder adalah 50% – 75%, sedangkan pola kerja di area
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
pengecoran adalah 75% – 100%. Pakaian kerja yang digunakan seluruh responden adalah
seragam kerja PT Krakatau Steel berupa kemeja dan celana panjang dari bahan jins.
3. 70,6% responden berisiko tinggi mengalami tekanan panas, yaitu 23 responden di area
peleburan dan 13 responden di area proses sekunder dengan beban kerja sedang dan berat.
4. 100% responden merasa bahwa suhu lingkungan kerja mereka panas dan 74,5% merasa
tidak nyaman (terganggu) dengan kondisi panas tersebut.
5. Seluruh responden pernah mengalami keluhan akibat pajanan panas dengan frekuensi
yang berbeda-beda. Keluhan yang paling signifikan dirasakan oleh responden adalah
banyak mengeluarkan keringat (96,1%) dan sering haus (70,6%), sedangkan keluhan yang
hampir tidak pernah dirasakan oleh responden adalah merasa mau pingsan (94,1%), kram/
kejang otot perut (86,3%), dan hilang keseimbangan (84,3%).
SARAN
1. Pengendalian Teknis:
Menyediakan kipas angin atau blower yang kecepatan alir udaranya dapat disesuaikan
di area peleburan (EAF) dan proses sekunder (LF) sehingga dapat membantu proses
pendinginan tubuh pekerja melalui evaporasi dan konveksi. Namun, perlu diperhatikan
bahwa penggunaan kipas angin ataupun blower ini harus disesuaikan dengan suhu yang
terukur karena bila suhu udara melebihi 35oC, penggunaan kipas angin atau blower
justru akan meningkatkan risiko tekanan panas.
2. Pengendalian Administratif:
Membuat peraturan yang mewajibkan pekerja mengonsumsi air minum sebanyak 2
gelas (½ liter) sebelum bekerja dan 1 gelas setiap 20 menit ketika bekerja di tempat
yang panas dengan suhu air minum berkisar antara 10oC sampai 15
oC, serta melarang
pekerja mengonsumsi minuman yang mengandung kafein selama jam kerja. Hal ini
akan membantu penggantian cairan tubuh yang hilang melalui keringat dan mencegah
dehidrasi.
Memasang sign berupa poster ataupun stiker indikator warna urin di dinding kamar
mandi/ toilet yang dapat memberikan informasi mengenai status hidrasi pekerja dan
dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengonsumsi air minum selama
bekerja. Perlu diberikan pula pemahaman pada pekerja bahwa warna urin dapat
dipengaruhi konsumsi makanan, minuman, atau obat-obatan tertentu sehingga pekerja
dapat memantau status hidrasinya sendiri.
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
Melakukan komunikasi bahaya kepada pekerja dengan cara memberikan pelatihan/
penyuluhan maupun leaflet mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan tekanan
panas, gangguan kesehatan akibat tekanan panas, bagaimana gejala-gejala gangguan
kesehatan tersebut dan pertolongan pertama yang harus dilakukan ketika gejala
dirasakan..
Melakukan surveilans kesehatan terkait bahaya tekanan panas yang terdiri dari
surveilans kesehatan pekerja dan surveilans lingkungan kerja. Surveilans kesehatan
kerja mencakup pengukuran pajanan panas personal pada pekerja yang berisiko
mengalami tekanan panas dan pemeriksaan medis berkala untuk menentukan apakah
benar telah terjadi tekanan panas dan memantau risiko timbulnya heat-related
disorders. Surveilans lingkungan kerja dilakukan dengan mempertahankan rutinitas
dan meningkatkan kualitas pengukuran iklim kerja di SSP.
Melakukan penyuluhan kesehatan bagi pekerja terkait praktik gaya hidup sehat, seperti
melakukan aktivitas fisik secara rutin, mengatur pola makan, dan banyak mengonsumsi
air mineral untuk menjaga agar indeks massa tubuh tetap ideal. Bila memungkinkan,
perusahaan sebaiknya juga membuat kegiatan olahraga bersama secara rutin tiap
minggu.
Melakukan pemantauan khusus bagi pekerja di area berisiko yang menderita diabetes
mellitus. Sebaiknya dipertimbangkan pula untuk melakukan penempatan kerja yang
sesuai bagi penderita diabetes mellitus, misalnya mereka dikhususkan untuk melakukan
pekerjaan di dalam ruang kendali agar tidak terpajan panas.
3. Perlindungan Personal:
Menambah kuantitas alat pelindung diri berupa pakaian reflektif sesuai jumlah pekerja.
Untuk beberapa kondisi di luar kondisi normal yang mengharuskan pekerja bekerja
dekat sumber panas dalam waktu lama, sebaiknya disediakan pula alat pelindung diri
berupa ice vest karena dalam kondisi tersebut, penggunaan pakaian reflektif justru akan
meningkatkan risiko tekanan panas.
KEPUSTAKAAN
ACGIH. (2009). Documentation heat stress and strain TLVs®
. United States: Author.
ACGIH. (2012). Thermal stress. Dalam ACGIH. Threshold limit values for chemical
substances and physical agents & biological exposure indices. United States: Author.
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
Ardyanto W., Y. D. (2006). Potret iklim kerja dan upaya pengendalian lingkungan pada
perusahaan peleburan baja di Sidoarjo. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 1, 142-151.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Depok: FKM UI.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset
Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kemenkes RI.
Badan Standardisasi Nasional. (2004). Pengukuran iklim kerja (panas) dengan parameter
indeks suhu basah dan bola No. 16-7061-2004. Jakarta.
Berau of Labor Statistics United States Department of Labor. (2011). Table 1. Fatal
occupational injuries by event or exposure. 16 November 2012.
http://www.bls.gov/news.release/cfoi.t01.htm
Bernard, T. E. (2002). Thermal stress. Dalam B. A. Plog & P. J. Quinlan (Ed). Fundamentals
of industrial hygiene (5th ed.). USA: NSC.
Cowley, M. (2005). The heat index. 16 November 2012.
http://www.nsis.org/weather/heatindex.html
Di Corleto, R. & Jennings, M. (2007). Other physical agents. Dalam C. Tillman (Ed).
Principles of occupational health & hygiene, An introduction. Australia: Allen &
Unwin.
Hastono, S. P. (2006). Analisis Data. Depok: FKM UI.
Hendra. (2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi
pada pekerja yang terpajan panas (Studi kasus di departemen cor divisi tempa dan cor
pt pindad bandung tahun 2003). Program Studi Pascasarjana FKM UI, Depok
Hendra. (2009, Februari). Tekanan panas dan metode pengukurannya di tempat kerja.
Disampaikan pada semiloka keterampilan pengukuran bahaya fisik dan kimia di tempat
kerja, Universitas Indonesia, Depok.
Kurniawidjaja, L. M. (2010). Teori dan aplikasi kesehatan kerja. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press)
Livchak, A., et.al. (2005). The effect of supply air systems on kitchen thermal environment.
ASHRAE Transactions, 748-754.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.13/MEN/X/2011
tentang nilai ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja. Jakarta.
NCDOL. (2001). A guide to preventing heat stress and cold stress. North Carolina: Author.
NIOSH. (1986). Criteria for a recommended standard occupational exposure to hot
environments. United States: Author.
OSHA. (1999). Heat stress. Dalam OSHA. OSHA technical manual. 16 November 2012.
http://www.osha.gov/dts/osta/otm/otm_iii/otm_iii_4.html
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013
Puspita, A.H. (2012). Analisis tekanan panas dan tingkat keluhan subjektif pada pekerja di
area produksi pelumas Jakarta PT Pertamina (Persero) tahun 2012. Program Studi
Sarjana FKM UI, Depok.
Petroffsky, J.S., et.al. (2008). Skin heat dissipation: the influence of diabetes, skin thickness,
and subcutaneous fat thickness. Dalam NCBI. Diabetes technol ther.2008. 12 Januari
2013.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19049378
Petroffsky, J.S., et.al. (2009). Heat tolerance in patients with type 1 and type 2 diabetes. The
journal of applied research in clinical and experimental therapeutics, 9 (3). 12 Januari
2013. http://jrnlappliedresearch.com/articles/Vol3Iss1/PETROFSKY.htm
Sekaran, U. (2006). Metode riset bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Talty, J. T. (1988). Industrial hygiene engineering recognition, measurement, evaluation, and
control (2nd ed.). United States: Noyes Data Corporation.
Triyanti, F. (2007). Hubungan faktor-faktor heat stress dengan terjadiya kristalisasi urin
pada pekerja binatu dan dapur hotel x, medan. Program Studi Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan.
United Steelworkers Health, Safety, and Environment Department. 2011 Fatality Report,
January 1st – December 7
th, 2011. Pittsburgh: Author.
Vanani, N.S. (2008) Gambaran tekanan panas di lingkungan kerja dan keluhan subyektif
pekerja pada area curing PT Multistrada Arah Sarana, Tbk Tahun 2008. Program Studi
Sarjana FKM UI, Depok.
WHO. (1969). Health factors involved in working under conditions of heat stress. Dalam
WHO. World Health Organization Technical Report Series. Geneva: Author.
Worksafe BC. (2007). Preventing Heat Stress At Work. British Columbia: Author.
Gambaran Keluhan ..., Alwina Fitria Maulidiani, FKM UI, 2013