gambaran faktor risiko gizi lebih pada anak...
TRANSCRIPT
i
GAMBARAN FAKTOR RISIKO GIZI LEBIH
PADA ANAK SEKOLAH DASAR MASJID TERMINAL (MASTER)
DI KOTA DEPOK TAHUN 2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakt (SKM)
Disusun Oleh :
SILMI MUFIDAH
NIM : 1112101000067
COVER
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1438 H / 2017
ii
iii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI
Skripsi, Juni 2017
Nama : Silmi Mufidah, NIM : 1112101000067
Gambaran Faktor Risiko Gizi Lebih pada Anak Sekolah Dasar Masjid Terminal (Master)
di Kota Depok Tahun 2017 (xiii +131 halaman, 3 bagan, 15 tabel, 4 lampiran)
ABSTRAK
Prevalensi gizi lebih pada anak usia sekolah dasar telah mengalami peningkatan. Lingkungan
merupakan salah satu yang paling berpengaruh terhadap faktor risiko terjadinya gizi lebih. Hal
ini dapat berakibat pada meningkatnya risiko penyakit degeneratif dan peningkatan status gizi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor risiko gizi lebih di Sekolah Dasar
Master yang berlokasi di wilayah terminal kota Depok Tahun 2017.
Penelitian ini dilakukan pada populasi gizi lebih kelas 4-6, yaitu sejumlah 20 responden.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara kuesioner food recall 2x24 jam,
modifikasi PAQ-C dan ASAQ kepada anak, serta wawancara kuesioner lingkungan keluarga dan
pengukuran antropometri kepada orangtua.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 55% responden yang memiliki asupan energi
berlebih dan persentase asupan karbohidrat yang kurang, sedangkan hampir seluruh responden
memiliki persentase asupan lemak berlebih (95%). Berdasarkan variabel praktek pemberian
makan, diketahui bahwa seluruh ibu menyediakan makanan gorengan setiap harinya dan
memiliki kebiasaan mengonsumsi buah yang kurang. Selain itu, kondisi lingkungan sekolah
yang berada di sekitar terminal, menyebabkan tingginya dan mudahnya akses terhadap
ketersediaan makanan jajanan yang mengandung lemak yang tinggi akibat proses penggorengan.
Sebagian besar responden di Sekolah Dasar Master memiliki perilaku sedentari yang tinggi
(85%). Pada variabel kebiasaan aktivitas keluarga, diketahui bahwa sebagian besar orangtua
jarang untuk melakukan aktivitas fisik. Hal tersebut terjadi di lingkungan tempat tinggal
responden yang tidak memiliki akses lapangan atau lahan kosong untuk beraktivitas fisik. Selain
itu, di Sekolah Dasar Master tidak tersedia mata pelajaran olahraga.
Dari hasil tersebut, peneliti menyarankan kepada pihak orangtua untuk membatasi ketersediaan
makanan gorengan dan memperbanyak ketersediaan buah dan sayur, serta membiasakan untuk
beraktivitas fisik di luar lingkungan rumah bersama keluarga, seperti melakukan rekreasi,
bersepeda, berlari atau berjalan santai di taman kota. Selain itu, saran kepada pihak sekolah
adalah membatasi pedagang yang menjual makanan melalui proses penggorengan di sekitar
Sekolah dan membuat satu jam tambahan untuk pelajaran olahraga.
Kata kunci : faktor risiko, gizi lebih, anak sekolah dasar, lingkungan keluarga, status sosial ekonomi rendah
Daftar bacaan : 82
iv
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
NUTRITION MAJOR OF PUBLIC HEALTH PROGRAM STUDY
Undergraduated Thesis, June 2017
Name : Silmi Mufidah, NIM : 1112101000067
The Overview of Overweight Risk Factors in Children at Masjid Terminal (Master)
Elementary School in Depok City 2017
(xiii+ 131 pages, 3 graph, 15 table, 4 attachments)
Abstract
Prevalence of age school children‟s overweight are increase. The environment becomes one of
the most influencial against risk factors of children overweight. Children overweight could
impact to increasing risk of degenerative disease and nutritional status. The aim of this research
is to showing the overview of overweight‟s risk factors in children of Masjid Terminal (Master)
Elementary School in Depok City 2017.
This research was conducted on population of 20 overweight children from 4-6 grades. Data
collected applied with food recall 2x24 hours method, PAQ-C modification, ASAQ to child,
interview of family environment, and anthropometric measurements for parents.
The result showed that 55% respondents has excessive energy intake and a lack of carbohydrate
percent intake, while almost all respondents have excessive fat percent intake (95%). Based on
variable feeding practice showed all mothers supplies fry food everyday and lack of fruit
consumption practice. Furthermore, school environment around bus station caused increase and
simplify children to access food snack that contain high fat due to frying process. Most of Master
Elementary School have high sedentary behavior (85%). Variable of family activity habits
showed most of parents have rare physical activity. It happens in respondent neighborhood that
haven‟t access of field or empty land for physical activity. There is no available sports subjects
in Master Elementary School.
For the result, suggests author for parents to limiting the availability of food with high dense
food (fry food), increase the availability of fruit and vegetables, and also increasing outdoor
physical activity with family such as a family recreation, cycling, running or walking in central
park. And, author‟s suggest for school to limit all of traders who selling fry food around school
and input one hour to sport class.
Key word : risk factor, overweight, children‟s elementary school age, family environment, social economic
status
Bibliography : 82
v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Silmi Mufidah
Tempat, Tanggal Lahir : Balikpapan, 21 Oktober 1994
Alamat : Perum. Mampang Indah Dua, Blok J. No. 2 RT 004/013,
Kec. Pancoran Mas, Kel. Rangkapan Jaya, Depok, Jawa Barat
(16435)
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Email : [email protected]
Telepon : 087876486552
PENDIDIKAN FORMAL
2000-2001 : TK Al-Musadaddiyah Garut
2001-2002 : SD Impres Garut
2002-2003 : SDS YKPP Bajubang, Jambi
2003-2004 : SDN 12 Pagi Kebon Jeruk, Jakarta
2004-2006 : SDN Anyelir 1, Depok
2006-2009 : SMP Islam Terpadu Al-Qolam, Depok
2009-2012 : SMA Islam Terpadu Nurul Fikri, Depok
2012-Sekarang : S1-Peminatan Gizi, Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
PENGALAMAN ORGANISASI
2006-2008 : Ketua Ekstrakurikuler Teater Pelangi, SMPIT Al-
Qalam
2007-2008 : Ketua Persami SMPIT Al-Qalam
2007-2008 : Anggota Peserta Camping SIT se-Indonesia
2007-2009 : Anggota Ekstrakurikuler Basket SMPIT Al-Qalam
2010-2011 : Bendahara Teater SMAIT Nurul Fikri
2010-2011 : Anggota Ekstrakurikuler Tari Saman SMAIT Nurul
Fikri
2011 : Anggota Ekstrakurikuler Basket SMAIT Nurul Fikri
2010-2013 : Bendahara United Indonesia Chapter Depok
2015-2016 : Ketua Badminton HMPS Kesehatan Masyarakat UIN
Jakarta
2016-Sekarang : Sekretaris United Indonesia Chapter Depok
PENGALAMAN KERJA
Januari-Maret 2015 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Bakti Jaya
Tangerang Selatan
Maret-April 2016 : Magang di Puskesmas Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan
bagian Promosi Kesehatan
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha penyayang atas rahmat dan
izin-Nya lah maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa
tercurahkan untuk baginda Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi seluruh
umat. Atas kesempatan-Nya lah maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Gambaran Faktor Risiko Gizi Lebih pada Anak Sekolah Dasar Masjid Terminal (Master) di
Kota Depok Tahun 2017”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi gelar strata 1 Sarjana Kesehatan
Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karenanya, penulis
sampaikan terima kasih kepada :
1. Orangtua penulis, Abi Husni Riad dan Umi Arina Dewi, yang selalu menjadi yang
tersabar menghadapi penulis selama penyelesaian tugas skripsi, serta menjadi pendukung
melalui doa, solat, finansial dan motivasi sukses untuk penulis.
2. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, S.K.M, M.Kes, PhD selaku kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Febrianti, S.P, M.Si, selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dudung Angkasa, M.Gz,
selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu, ilmu dan arahannya dalam
membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada seluruh penguji
skripsi, Ibu Mukhlidah Hanun Siregar, S.K.M, M.K.M., Dela Aristi, S.K.M, M.K.M., dan
Rian Anggraini, S.K.M, M.K.M.
5. Astrid, Cory, Reiza, Andini, Arina M yang telah membantu penulis dalam pengumpulan
data penelitian.
6. Cesil, Ofin, Lina, Widy, Alviral, Rico, Agin, Novaco, Tsabit, Nizar, Tyo, dan Farhan
Azzam yang selalu menjadi tempat keluh kesah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Jakarta, Juni 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................................. i
ABSTRAK ..................................................................................................................................... iii
PERSYARATAN PERSETUJUAN .............................................................................................. iv
LEMBAR PANITIA SIDANG ...................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN ...................................................................................................................... xiv
DAFTAR ISTILAH ..................................................................................................................... xiv
BAB I .............................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 6
C. Pertanyaan Penelitian .......................................................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 8
1. Tujuan Umum ............................................................................................................... 8
2. Tujuan Khusus .............................................................................................................. 9
E. Manfaat Penelitian ............................................................................................................ 10
1. Bagi Peneliti ............................................................................................................... 10
2. Bagi Sekolah Masjid Terminal (Master) .................................................................... 11
3. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ....................................... 11
F. Ruang Lingkup.................................................................................................................. 11
BAB II ........................................................................................................................................... 12
A. Anak Sekolah Dasar .......................................................................................................... 12
B. Gizi Lebih ......................................................................................................................... 14
C. Faktor Risiko Gizi Lebih pada Anak ................................................................................ 16
1. Asupan Makan ............................................................................................................ 16
2. Aktivitas Fisik............................................................................................................. 27
3. Perilaku Sedentari ....................................................................................................... 34
xi
D. Kecenderungan Gizi Lebih di Perkotaan .......................................................................... 37
E. Kerangka Teori ................................................................................................................. 40
BAB III ......................................................................................................................................... 42
A. Kerangka Konsep .............................................................................................................. 42
B. Definisi Operasional ......................................................................................................... 45
BAB IV ......................................................................................................................................... 50
A. Desain Penelitian .............................................................................................................. 50
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................................ 50
C. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................................ 51
D. Sumber Data...................................................................................................................... 52
E. Instrumen, Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................................................... 52
F. Manajemen Data ............................................................................................................... 59
1. Editing (Memeriksa Data) .......................................................................................... 59
2. Coding (Memberi Kode) ............................................................................................ 60
3. Entry (Memasukkan Data).......................................................................................... 60
4. Cleaning (Pembersihan Data) ..................................................................................... 60
G. Analisa Data ...................................................................................................................... 60
BAB V .......................................................................................................................................... 61
A. Gambaran Umum .............................................................................................................. 61
B. Gambaran Faktor Risiko Asupan Makan (Total Asupan Energi, Persentase Karbohidrat,
Lemak dan Protein dalam Total Asupan Energi) .............................................................. 66
1. Status Gizi Lebih Pada Faktor Risiko Asupan Makan ............................................... 66
2. Asupan Makan Berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga ......... 68
3. Asupan Makan Berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi ........ 71
C. Gambaran Faktor Risiko Aktivitas Fisik .......................................................................... 74
1. Gizi Lebih Berdasarkan Aktivitas Fisik ..................................................................... 74
2. Aktivitas Fisik Berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga .......... 76
3. Aktivitas Fisik Berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi ......... 77
D. Gambaran Faktor Risiko Perilaku Sedentari..................................................................... 79
1. Gizi Lebih Berdasarkan Perilaku Sedentari ................................................................ 79
2. Perilaku Sedentari Berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga .... 80
xii
3. Perilaku Sedentari Berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi ... 82
BAB VI ......................................................................................................................................... 84
A. Gambaran Umum Gizi Lebih............................................................................................ 84
1. Gambaran Karakteristik Penderita Gizi Lebih ........................................................... 85
2. Gambaran Karakteristik Orangtua Responden ........................................................... 88
B. Gambaran Faktor Risiko Asupan Makan (Total Asupan Energi, Persentase Karbohidrat
dan Lemak dalam Total Energi) ....................................................................................... 89
1. Status Gizi Lebih pada Faktor Risiko Asupan Makan ............................................... 90
2. Asupan Makan berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga .......... 98
3. Asupan Makan berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi ....... 101
C. Gambaran Faktor Risiko Aktivitas Fisik ........................................................................ 104
1. Status Gizi Lebih pada Faktor Risiko Aktivitas Fisik .............................................. 105
2. Aktivitas Fisik berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga ........ 109
3. Aktivitas Fisik berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi ........ 111
D. Gambaran Faktor Risiko Perilaku Sedentari................................................................... 115
1. Status Gizi Lebih pada Faktor Risiko Perilaku Sedentari ........................................ 115
2. Perilaku Sedentari berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga ... 118
3. Perilaku Sedentari berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi .. 119
E. Keterbatasan Penelitian ................................................................................................... 122
BAB VII ...................................................................................................................................... 123
A. Simpulan ......................................................................................................................... 123
B. Saran ............................................................................................................................... 125
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 128
LAMPIRAN ................................................................................................................................ 134
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Anak Usia 5-18 Tahun ..............................................................15
Tabel 2.2 Anjuran Persentase Energi dari Zat Gizi Karbohidrat Lemak dan Protein ....................19
Tabel 2.3 Nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG) Usia 7-12 Tahun ................................................20
Tabel 2.4 Klasifikasi Aktivitas Fisik .............................................................................................29
Tabel 3.1 Definisi Operasional ......................................................................................................45
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik dan Faktor Risiko Gizi Lebih ............63
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh Orangtua
Penderita Gizi Lebih .....................................................................................................................65
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Penderita Gizi Lebih Berdasarkan Asupan Makan Anak .............67
Tabel 5.4 Distribusi Asupan Makan Penderita Gizi Lebih Berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan
Karakteristik Keluarga ..................................................................................................................69
Tabel 5.5 Distribusi Total Asupan Energi Berdasarkan Status Pendidikan Ibu, Pendidikan Ayah
dan Penghasilan pada Penderita Gizi Lebih ...................................................................................73
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Penderita Gizi Lebih Berdasarkan Aktivitas Fisik .......................75
Tabel 5.7 Distribusi Aktivitas Fisik Berdasarkan Kebiasaan Aktivitas Fisik Orangtua, Status Gizi
Orangtua pada Penderita Gizi Lebih ..............................................................................................76
Tabel 5.8 Distribusi Aktivitas Fisik Berdasarkan Pendidikan Ibu, Pendidikan Ayah dan
Penghasilan Orangtua pada Penderita Gizi Lebih .........................................................................78
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penderita Gizi Lebih Berdasarkan Perilaku Sedentari .................79
Tabel 5.10 Distribusi Perilaku Sedentari Berdasarkan Lingkungan Keluarga dan Status Gizi
Orangtua pada Penderita Gizi Lebih ..............................................................................................81
Tabel 5.11 Distribusi Perilaku Sedentari Berdasarkan Pendidikan Ibu, Pendidikan Ayah dan
Penghasilan Orangtua pada Penderita Gizi Lebih .........................................................................82
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Hubungan antara Gizi Lebih dan Status Sosial Ekonomi .............................................39
Bagan 2.2 Kerangka Modifikasi Davison & Birch (2001) ............................................................41
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ..........................................................................................................44
DAFTAR ISTILAH
IMT : Indeks Massa Tubuh
IMT/U : Indeks Massa Tubuh menurut Umur
AKG : Angka Kecukupan Gizi
ASAQ : Adolescent Sedentary Activity Questionnaire
PAQ-C : Physical Activity Questionnaire – Children
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelebihan berat badan yang terjadi akibat asupan energi yang masuk lebih
banyak dibandingkan dengan energi yang dikeluarkan disebut kondisi gizi lebih
(Kemenkes, 2012). Gizi lebih dapat diderita oleh semua kelompok umur, dari
mulai bayi, anak-anak, hingga dewasa dan lansia (Brown, 2011). Pada anak
sekolah dasar, gizi lebih menjadi masalah yang serius karena dapat berlanjut
hingga dewasa (Crowle & Turner, 2010). Klasifikasi gizi lebih pada anak
sekolah dasar (6-12 tahun) dapat dibagi menjadi dua tingkatan berdasarkan
pengukuran Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U), yaitu gemuk (> 1 s/d
2 SD) dan sangat gemuk (> 2 SD) (WHO, 2005).
Anak yang menderita gizi lebih memiliki risiko yang tinggi terhadap
masalah perkembangan fisik dan kesehatan mental. Gizi lebih pada anak
sekolah dasar dapat berisiko terhadap penyakit tidak menular, seperti metabolik
(diabetes mellitus tipe 2) dan degeneratif (kardiovaskuler, penyakit jantung
koroner, hipertensi) (Kemenkes, 2012 dan Oktora, 2015). Masalah lain yang
dapat ditimbulkan akibat gizi lebih pada anak sekolah dasar adalah gangguan
pertumbuhan tungkai, gangguan tidur, sleep apnea (henti napas sesaat) dan
gangguan pernapasan lainnya (Kemenkes, 2012). Selain itu, masalah yang dapat
dihadapi adalah tindakan diskriminasi, sering menjadi bahan ejekan teman
sebaya dan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan dengan
2
anak yang mengalami penyakit kronik lainnya (AIHW, 2008). Akibat jangka
panjang yang kemungkinan dialami anak penderita gizi lebih adalah kondisi gizi
lebih saat dewasa dan peningkatan status penyakit degeneratif.
Pada abad ke-21 ini, gizi lebih pada anak disebut sebagai salah satu
tantangan kesehatan masyarakat paling serius di dunia (WHO, 2016).
Berdasarkan data Obesity Rates and Trends (2015), prevalensi gizi lebih pada
anak usia 6-11 tahun di dunia mencapai 5%. Berdasarkan data Authoritative
Information and Statistics to Promote Better Health and Wellbeing (AIHW)
tahun 2008, prevalensi gizi lebih di Australia pada anak umur 6-11 tahun adalah
23%, 17% diantaranya termasuk gizi gemuk dan 6% termasuk gizi sangat
gemuk. Gizi lebih cenderung meningkat di negara berkembang, seperti di
Malaysia, prevalensi gizi lebih pada anak dengan umur 6-12 tahun meningkat
dari tahun 2002, yaitu 20.7% dan tahun 2008 sebesar 26.4% (Ismail, dkk.,
2009). Selain itu, berdasarkan tingkat sosial ekonomi, terdapat kecenderungan
peningkatan pada anak dengan status sosial ekonomi yang rendah (Eagle, 2016).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi
gizi lebih pada anak sekolah dasar (5-12 tahun) di Indonesia adalah 18,8%,
angka tersebut meningkat dari tahun 2010, yaitu sebesar 9,2%. Prevalensi gizi
lebih pada anak sekolah dasar yang tertinggi berada di wilayah perkotaan,
seperti DKI Jakarta, yaitu 30,1% dan di Padang sejumlah 20% (Kemenkes,
2013; (Maidelwita, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Farhani (2010),
menunjukan bahwa prevalensi gizi lebih pada anak sekolah dasar di Kota
3
Depok sebesar 23,6%. Di Indonesia sendiri, tepatnya di Makassar, prevalensi
gizi lebih pada anak usia 10-13 tahun pada sosial ekonomi rendah sejumlah
9,2% (Isbach dkk., 2013).
Berdasarkan teori Davison & Birch (2001), gizi lebih pada anak usia
sekolah dasar dapat disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu asupan makan,
aktivitas fisik dan perilaku sedentari. Ketiga faktor risiko tersebut dibentuk oleh
kombinasi interaksi antara karakteristik anak (jenis kelamin dan usia), pola asuh
orangtua dan karakteristik keluarga (praktek pemberian makan, riwayat gizi
lebih, kebiasaan aktivitas orangtua, perilaku sedentari orangtua dan pengawasan
anak dalam menonton televisi), serta karakteristik masyarakat, sosial dan
demografi (lingkungan fisik tempat tinggal, sekolah dan status sosial ekonomi).
Konsep utama dari teori ini adalah fokus pada kondisi lingkungan anak yang
mempengaruhi perilaku dan kebiasaan anak. Peran lingkungan dan status sosial
ekonomi masing-masing wilayah akan memberikan dampak yang berbeda pada
masyarakatnya (Pena & Bacallao, 2000).
Hasil penelitian menunjukan bahwa anak sekolah dasar penderita gizi lebih
di Serang, cenderung memiliki total asupan energi berlebih, dengan presentase
71.8% dan asupan lemak berlebih, dengan persentase 71.4%. Selain itu, 81.3%
anak penderita gizi lebih cenderung memiliki aktivitas fisik dengan kategori
„kurang baik‟. Perilaku sedentari yang diukur melalui lamanya durasi menonton
televisi, proporsi anak penderita gizi lebih, lebih tinggi pada kategori menonton
4
televisi lebih lama (76.9%) dibandingkan dengan yang tidak lama menonton
televisi (30.4%). Ketiga variabel tersebut termasuk ke dalam faktor risiko utama
terjadinya gizi lebih pada anak. Menurut Davison & Birch, (2001), gizi lebih
pada anak disebabkan oleh banyak faktor. Berdasarkan tingkat pendidikan dan
pendapatan keluarga, anak penderita gizi lebih di Kota Serang cenderung terjadi
pada tingkat pendidikan dan pendapat keluarga yang rendah, dengan persentase
berturut-turut 71.4% dan 62.5% (Suharsa & Sahnaz, 2016). Hal ini memperkuat
bahwa penderita gizi lebih pada anak saat ini kemungkinan terjadi pada status
sosial ekonomi yang rendah.
Kecenderungan peningkatan prevalensi gizi lebih terjadi pada masyarakat
dengan status sosial ekonomi yang rendah (Eagle, 2016). Di Indonesia, data
mengenai gizi lebih pada anak sekolah dasar di lingkungan keluarga yang
memiliki status sosial ekonomi rendah masih terbatas. Meskipun ada beberapa
penelitian yang terkait, seperti yang dilakukan oleh (Isbach dkk., 2013) pada
anak jalanan (kelompok sosial ekonomi rendah) yang menunjukan bahwa 9.2%
anak dengan umur 10-12 tahun termasuk gizi lebih, dimana 7.2% anak termasuk
gizi gemuk dan 2.0% termasuk gizi sangat gemuk. Namun, pada penelitian
tersebut belum menggambarkan faktor risiko dan kondisi lingkungnnya. Oleh
karena itu, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian di salah satu
Sekolah Dasar di Depok, yaitu Sekolah Masjid Terminal (Master) yang
merupakan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dibawah naungan
Yayasan Bina Insan Mandiri. Sekolah Master didirikan sebagai wadah
pendidikan gratis bagi masyarakat sekitar terminal maupun luar terminal yang
5
memiliki keterbatasan ekonomi. Dengan demikian mayoritas siswa-siswi yang
bersekolah di sekolah tersebut merupakan bagian dari masyarakat dengan status
sosial ekonomi yang rendah (Hartanto dkk., 2011).
Selain itu, berdasarkan observasi awal yang dilakukan, terdapat faktor risiko
yang dapat meningkatkan kejadian gizi lebih di wilayah tersebut, diantaranya
lingkungan fisik sekolah dan tempat tinggal yang memiliki ketersediaan dan
akses makanan jajanan yang mudah dan murah, serta fasilitas bermain anak
yang terbatas. Hal ini terjadi karena letaknya berada di kawasan terminal kota,
stasiun kereta api dan pusat perbelanjaan tradisional, serta modern yang berada
di pusat kota Depok. Berdasarkan analisis tipologi kemiskinan, letak wilayah
tersebut termasuk kedalam klasifikasi daerah kumuh miskin perkotaan. Dimana
mayoritas masyarakatnya memiliki tingkat pendapatan yang rendah, kesehatan
dan pendidikan yang rendah, kerawanan tempat tinggal dan ketidakberdayaan
(BPS, 2007).
Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan studi pendahuluan melalui
pengukuran antropometri yang dilakukan pada 15 anak kelas 4-6 di Sekolah
Dasar Master. Dari studi pendahuluan tersebut, diperoleh bahwa sebanyak
23,07% anak termasuk kedalam kategori gizi lebih berdasarkan indeks massa
tubuh menurut umur (IMT/U) dan jenis kelamin. Angka tersebut berada diatas
prevalensi nasional sebesar, yaitu 18,8%. Sedangkan prevalensi gizi kurang
sebesar 7,69% yang masih dibawah prevalensi nasional, yaitu 11,2%
(Kemenkes, 2013).
6
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis merasa perlu melakukan
penelitian untuk melihat gambaran faktor risiko gizi lebih pada siswa-siswi di
Sekolah Master (Masjid Terminal) di Kota Depok pada tahun 2017, terutama
gambaran asupan makan, aktivitas fisik, perilaku sedentari, pola asuh dan
karakteristik keluarga, serta status sosial ekonomi. Dengan demikian, hasil dari
penelitian ini dapat dijadikan suatu gambaran kejadian gizi lebih pada anak
sekolah dasar di wilayah miskin perkotaan dan menjadi bahan untuk merancang
intervensi/program yang sesuai dengan kondisi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Kejadian gizi lebih pada anak usia sekolah dasar menunjukan
kecenderungan peningkatan pada status sosial ekonomi yang rendah. Studi
pendahuluan menyatakan bahwa 23,07% siswa di Sekolah Dasar Master
Depok termasuk kategori gizi lebih. Angka tersebut berada di atas rata-rata
angka gizi lebih secara nasional. Selain itu, prevalensi tersebut hampir sama
dengan hasil penelitian pada beberapa SD negeri dan swasta di Kota Depok,
yaitu 23,6%
Berdasarkan angka prevalensi gizi lebih dan kondisi lingkungan fisik,
serta letak demografi yang berada di wilayah fasilitas transportasi masyarakat
(terminal dan stasiun) dan pusat perbelanjaan modern serta tradisional, maka
peneliti merasa perlu melakukan penelitian mengenai gambaran penderita
gizi lebih berdasarkan jenis kelamin dan usia, faktor risiko asupan makan,
aktivitas fisik dan perilaku sedentari. Selain itu juga peneliti melihat
7
gambaran faktor lainnya seperti praktek pemberian makan, kebiasaan aktivitas
keluarga, lingkungan keluarga, serta status pendidikan terakhir dan
penghasilan orangtua pada anak penderita gizi lebih di SD Master Kota Depok
tahun 2017.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi gemuk dan sangat gemuk
berdasarkan jenis kelamin dan umur di Sekolah Dasar Master Kota Depok
Tahun 2017?
2. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko asupan makan (total asupan energi, persen karbohidrat, lemak dan
protein dalam total energi) di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun
2017?
3. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko asupan makan (total asupan energi, persen karbohidrat, lemak dan
protein dalam total energi) terhadap pola asuh orangtua dan karakteristik
keluarga di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun 2017?
4. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko asupan makan (total asupan energi, persen karbohidrat, lemak dan
protein dalam total energi) terhadap status sosial ekonomi di Sekolah
Dasar Master Kota Depok Tahun 2017?
5. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko aktivitas fisik di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun 2017?
8
6. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko aktivitas fisik terhadap pola asuh orangtua dan karakteristik
keluarga di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun 2017?
7. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko aktivitas fisik terhadap status sosial ekonomi di Sekolah Dasar
Master Kota Depok Tahun 2017?
8. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko perilaku sedentari di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun
2017?
9. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko perilaku sedentari terhadap pola asuh orangtua dan karakteristik
keluarga di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun 2017?
10. Bagaimana distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan faktor
risiko perilaku sedentari terhadap status sosial ekonomi di Sekolah Dasar
Master Kota Depok Tahun 2017?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran faktor risiko gizi lebih pada anak Sekolah Dasar
Master Kota Depok Tahun 2017
9
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi gemuk dan sangat
gemuk berdasarkan jenis kelamin dan umur di Sekolah Dasar Master
Kota Depok Tahun 2017
b. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan
faktor risiko asupan makan (total asupan energi, persen karbohidrat,
lemak dan protein dalam total energi) di Sekolah Dasar Master Kota
Depok Tahun 2017
c. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan
faktor risiko asupan makan (total asupan energi, persen karbohidrat,
lemak dan protein dalam total energi) terhadap pola asuh orangtua dan
karakteristik keluarga di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun
2017
d. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan
faktor risiko asupan makan (total asupan energi, persen karbohidrat,
lemak dan protein dalam total energi) terhadap status sosial ekonomi
di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun 2017
e. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan
faktor risiko aktivitas fisik di Sekolah Dasar Master Kota Depok
Tahun 2017
f. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan
faktor risiko aktivitas fisik terhadap pola asuh orangtua dan
10
karakteristik keluarga di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun
2017
g. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan
faktor risiko aktivitas fisik terhadap status sosial ekonomi di Sekolah
Dasar Master Kota Depok Tahun 2017
h. Diketahuinya distribusi penderita gizi lebih berdasarkan faktor risiko
perilaku sedentari di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun 2017
i. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan
faktor risiko perilaku sedentari terhadap pola asuh orangtua dan
karakteristik keluarga di Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun
2017
j. Diketahuinya distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan
faktor risiko perilaku sedentari terhadap status sosial ekonomi di
Sekolah Dasar Master Kota Depok Tahun 2017
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan
penelitian dan sebagai aplikasi ilmu yang telah diperoleh selama
perkulihaan di peminatan gizi masyarakat, serta mengetahui gambaran
faktor risiko gizi lebih pada siswa-siswi di Sekolah Dasar Master Kota
Depok. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan penelitian
11
lanjutan terkait hubungan faktor risiko terhadap kasus gizi lebih oleh
peneliti lain dalam topik yang saling terkait.
2. Bagi Sekolah Masjid Terminal (Master)
Mendapatkan informasi mengenai data gizi lebih dan gambaran faktor
risiko gizi lebih pada siswa-siswi di Sekolah Master. Selain itu, pihak
sekolah dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai sebuah bahan
evaluasi untuk membuat program terkait pencegahan faktor risiko gizi
lebih di lingkungan sekolah.
3. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dapat memberikan masukan ilmu yang berguna dan sebagai bahan
pembelajaran dan memperkaya ilmu pengetahuan dari hasil penelitian.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor risiko gizi
lebih pada anak sekolah dasar. Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Masjid
Terminal (Master) di Kota Depok. Pengambilan data primer dilakukan pada
bulan Februari – April 2017. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
dengan pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan
metode wawancara dan pengukuran antropometri (berat badan dan tinggi
badan). Alasan penelitian ini dilakukan karena terbatasnya informasi terkait
faktor risiko gizi lebih pada anak sekolah dasar, khususnya pada lingkungan
dengan status sosial ekonomi rendah.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anak Sekolah Dasar
Anak sekolah dasar berada pada tingkatan middle childhood dan pra remaja,
yaitu usia 5-10 tahun dan 10-12 tahun. Anak memiliki ciri khas yaitu selalu
tumbuh dan berkembang sejak konsepsi sampai berakhirnya masa remaja.
Namun, pertumbuhan pada anak usia sekolah dasar tidak mengalami banyak
perubahan yang berarti, seperti saat masih bayi dan remaja. Bukan berarti pada
periode ini, pertumbuhan dan perkembangan anak diabaikan, hal tersebut
dikarenakan anak akan memasuki persiapan fisik, mental, kematangan sosial
dan emosional pada masa remaja (Crowle & Turner, 2010; (Brown, 2011).
Perilaku dan sikap anak sekolah dasar tidak terjadi secara sporadik (timbul
dan hilang begitu saja), tetapi selalu ada kelangsungan (kontinuitas) antara satu
perbuatan dengan perbuatan berikutnya (Sarwono, 2010). Maka dari itu,
pengalaman dan kondisi sekitar anak akan mempengaruhi anak secara tidak
langsung. Berdasarkan teori perilaku menurut T. Weber, perilaku individu
terbentuk oleh adanya pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran akan
suatu tindakan (Noorkasiani dkk., 2007). Dalam ilmu psikologi, perilaku dan
ciri khas anak sekolah dasar, antara lain : (Sarwono, 2010)
1. Anak mulai mengenal lingkungan yang lebih luas (sekolah, lingkungan
tempat tinggal, dan teman sebaya dan lainnya). Pada masa ini, anak akan
mulai mempertimbangkan ucapan orangtua dengan ucapan oranglain.
13
Timbul tempertantrum pada anak, ketika emosional menjadi perilaku diri
saat kehendak dirinya tidak terpenuhi.
2. Anak akan mulai menemukan dan membutuhkan tokoh identifikasi.
Tokoh identifikasi yaitu dorongan untuk menjadi identik dengan orang
lain. Ketika anak tidak memiliki sosok tokoh identifikasi, anak akan
cenderung mudah terpengaruh, terjerumus pada hal-hal yang negatif untuk
dirinya maupun lingkungan.
Menurut Seifert dan Haffung, anak sekolah dasar termasuk kedalam
golongan anak yang banyak mengalami perubahan baik fisik dan mental.
Perubahan tersebut terjadi akibat proses tumbuh kembang anak. Salah satu
yang menentukan tumbuh kembang seorang anak adalah dengan pemberian
asupan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai. Anak yang
memperoleh makanan yang bergizi, frekuensi makan yang teratur, lingkungan
yang menunjang, perlakuan orangtua serta kebiasaan hidup yang baik akan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak, serta peningkatan status gizi
(Yabanci et al., 2013). Selain perilaku, anak sekolah dasar memiliki karakteristik
khas dalam pemenuhan kebutuhan gizi, yaitu (Irianto, 2014) :
1. Anak sudah dapat mengatur pola makan sendiri.
2. Adanya pengaruh teman, jajanan di lingkungan sekolah dan di lingkungan
rumah serta adanya reklame atau iklan makanan tertentu, baik di televisi
maupaun media lain yang dapat mempengaruhi pola makan dan
keinginannya untuk mencoba makanan yang belum diketahui sebelumnya.
14
3. Kebiasaan menyukai satu makanan tertentu dan berangsur-angsur akan
hilang.
4. Keinginan yang lebih besar terhadap aktivitas bermain dibandingkan
untuk makan.
B. Gizi Lebih
Kelebihan berat badan yang terjadi akibat asupan energi yang masuk lebih
banyak dibandingkan dengan energi yang dikeluarkan disebut dengan kondisi
gizi lebih (Kemenkes, 2012). Gizi lebih pada anak (usia 5-18 tahun) dapat
dikategorikan menjadi dua tingkatan berdasarkan pengukuran Indeks Massa
Tubuh menurut umur (IMT/U), yakni gemuk (> 1 s/d 2 SD) dan sangat gemuk
atau obesitas (> 2 SD) (WHO, 2005). Anak yang menderita gizi lebih akan
besar kemungkinan terjadi peningkatan status gizi menjadi obesitas. Penjelasan
spesifik mengenai obesitas menurut Crowle & Turner (2010) adalah kondisi
tubuh dengan komposisi lemak yang berlebihan, sehingga dapat mempengaruhi
kesehatan akibat dari ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan keluar.
Dapat dipahami bahwa gizi lebih merupakan kelebihan lemak tubuh akibat
ketidakseimbangan energi.
Gizi lebih merupakan tingkatan status gizi diatas normal atau ideal. Status
gizi anak dapat ditentukan berdasarkan perhitungan berat badan (kg) dibagi
tinggi badan kuadrat (cm). Perhitungan ini juga disebut sebagai nilai indeks
massa tubuh (IMT). IMT merupakan cara yang sederhana untuk memantau
status gizi anak. Gizi lebih pada anak usia 5-18 tahun menggunakan pengukuran
15
indeks massa tubuh menurut umur. Hasil perhitungan IMT akan dilihat pada
tabel IMT menurut usia dan jenis kelamin anak pada standar Kementerian
Kesehatan tahun 2010. Tabel dibagi menjadi 5 kolom yang berisi 7 ambang
batas (Z-score), yaitu -3 SD, -2 SD, -1 SD, Median, 1 SD, 2 SD dan 3 SD.
Masing-masing kolom standar deviasi terdapat standar angka IMT/U. Berikut
klasifikasi status gizi berdasarkan nilai ambang batas pada anak usia 5-18 tahun
adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Anak Usia 5-18 Tahun
Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Kurus - 3 SD sampai dengan < - 2 SD
Normal - 2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk > 1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas > 2 SD
Sumber : Kemenkes, 2012
Dampak gizi lebih pada anak terutama pada anak sekolah dasar menjadi
sangat serius karena dapat berisiko terhadap faktor pemicu berbagai penyakit
tidak menular yang timbul lebih cepat, seperti penyakit metabolik dan
degeneratif, antara lain diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung, hipertensi,
osteoporosis (Kemenkes, 2012 dan Oktora, 2015). Menurut Atabek, dkk.
(2007), proses atherosclerosis di dalam dinding vaskuler pada anak penderita
gizi lebih cenderung meningkat. Atherosclerosis merupakan salah satu
penyakit degeneratif (Brown, 2011); Lumoindong, dkk., 2013). Selain itu,
gangguan kesehatan lain yang dialami anak penderita gizi lebih, seperti
masalah pertumbuhan tungkai, gangguan tidur, sleep apnea (henti napas
sesaat) dan gangguan pernapasan (Kemenkes, 2012). Anak yang mengalami
16
gizi lebih tidak hanya dikaitkan dengan masalah kesehatan saja, namun
berkaitan pula terhadap masalah psikososial, diantaranya stigma (pandangan)
sosial masyarakat dan kurangnya kepercayaan diri (Crowle & Turner, 2010).
C. Faktor Risiko Gizi Lebih pada Anak
Berdasarkan teori Davison & Birch (2001), gizi lebih pada anak dapat
disebabkan oleh tiga faktor risiko utama dan kombinasi interaksi terhadap
lingkungannya. Tiga faktor risiko utama adalah asupan makan, aktivitas fisik,
dan perilaku sedentari. Ketiga faktor risiko gizi lebih pada anak ini juga
dipengaruhi oleh karakteristik anak (jenis kelamin dan usia), pola asuh orangtua
dan karakteristik keluarga (praktek pemberian makan, pengetahuan gizi,
kebiasaan aktivitas orangtua, lingkungan keluarga, riwayat gizi lebih), serta
karakteristik masyarakat, sosial dan demografi (lingkungan fisik tempat tinggal,
sekolah dan status sosial ekonomi).
Berikut penjelasan mengenai faktor risiko utama gizi lebih dan kaitannya
dengan karakteristik anak, pola asuh orangtua dan karakteristik keluarga, serta
lingkungannya :
1. Asupan Makan
Pada dasarnya, makanan merupakan suatu kebutuhan bagi setiap orang,
namun dalam kasus gizi lebih, hal itu berbeda. Asupan makan menjadi salah
satu penyebab utama penyebab gizi lebih, karena dapat mempengaruhi
kelebihan asupan kalori. Asupan kalori yang berlebih disebabkan oleh
17
meningkatnya asupan zat gizi makro, seperti karbohidrat, lemak dan protein.
Perbandingan kandungan energi dalam zat gizi makro berbeda-beda,
karbohidrat dan protein mengandung 4 kilo kalori (kkal) dalam 1 gramnya,
sedangkan lemak mengandung 9 kilo kalori (kkal) dalam 1 gram (Almatsier,
2010).
Asupan makan anak dapat dilihat dari jenis dan jumlah makanan. Jenis
makanan yang dikonsumsi anak biasanya dibentuk akibat preferensi atau
pemilihan makan. Menurut Drewnowski & Specter (2004), asupan energi dan
pemilihan makanan pada anak penderita gizi lebih dipengaruhi oleh tiga hal,
yaitu aspek biologi, fisiologis dan kebiasaan (behavior). Aspek biologi
berdasarkan pemilihan rasa pada makanan manis dan tinggi lemak yang
dikontrol oleh system metabolik sentral, yaitu ketidakseimbangan pada
hormon serotonin. Pada aspek fisiologis adalah rangsangan dari indeks pada
makanan tertentu, resistensi insulin dan metabolisme adipose/lemak. Aspek
kebiasaan timbul dari faktor psikologis, yaitu kurangnya pengetahuan gizi,
kerentanan terhadap sesuatu yang berlebihan, seperti tingginya konsumsi
makanan berlemak.
Jenis makanan yang dapat mempengaruhi kejadian gizi lebih pada anak
adalah makanan yang mengandung energi dan persen lemak yang tinggi, serta
serat yang rendah, sehingga mempengaruhi kelebihan cadangan lemak dalam
tubuh. Cadangan lemak tubuh akibat asupan zat gizi lemak yang dikonsumsi
akan lebih mudah disimpan dibandingkan dengan zat gizi makro lainnya,
18
seperti karbohidrat dan protein (Davison and Birch, 2001). Selain itu, lemak
memberikan citarasa yang lebih gurih pada makanan, akan tetapi mempunyai
dampak kurang baik pada respon rasa kenyang, sehingga dapat meningkatkan
asupan energi yang berdampak pada kelebihan gizi. Lemak merupakan zat
gizi yang menyumbang energi paling tinggi dibandingkan dengan zat makro
lainnya, yaitu 9 kkal. Lemak dapat dikonsumsi pada berbagai macam jenis
makanan, diantaranya : minyak tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa, kelapa
sawit, kacang tanah, kacang kedelai, jagung dam sebagainya), mentega,
margarin dan lemak hewan (lemak daging dan ayam) (Almatsier, 2010).
Selain lemak, jenis makanan karbohidrat juga menjadi penyumbang energi
terbanyak, karena sifat zatnya yang mudah dan cepat terurai menjadi energi,
terutama pada jenis karbohidrat sederhana. Jenis makanan yang mengandung
zat karbohidrat antara lain : padi-padian atau serealia, umbi-umbian, kacang-
kacang kering dan gula, serta hasil olahan lainnya seperti bihun, mie, roti,
tepung-tepungan, selai, sirup, dan sebagainya (Almatsier, 2010). Makanan
tersebut merupakan jenis makanan dengan indeks glikemik yang tinggi, yang
dapat menaikan kadar gula darah dengan cepat, sehingga makanan akan cepat
menyerap dalam usus, yang akhirnya menimbukan rasa lapar yang cepat pula
(Rahmawati and Setiarini, 2013).
Jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang akan berdampak pada tinggi
dan rendahnya asupan energi. Hampir setengah dari total energi harian berasal
dari jenis karbohidrat pada semua kelompok usia (Davison & Birch, 2001).
19
Namun dalam hal ini, kontribusi pada turunan karbohidrat, yaitu glukosa
(gula) pada anak lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Tingginya
konsumsi glukosa pada anak merupakan salah satu perilaku dalam pemilihan
makanan (Brown, 2011). Ketidakseimbangan rasio asupan energi inilah yang
mempengaruhi kejadian gizi lebih pada anak, terutama pada zat gizi lemak
(Davison & Birch, 2001).
Jumlah total energi harian dengan persentase lemak yang lebih banyak dan
dikonsumsi secara berangsur-angsur akan menyebabkan kelebihan gizi pada
anak (Davison & Birch, 2001). Asupan makan harian anak yang dianjurkan
sebaikanya memenuhi keseimbangan rasio energi dari karbohidrat, lemak dan
protein. Namun, pada kasus penderita gizi lebih, rasio yang lebih diperhatikan
adalah energi yang diperoleh dari lemak. Keseimbangan rasio ini biasa disebut
sebagai kisaran distribusi persentase energi dari zat gizi mikro atau Average
Macronutrients Energi Distribution Range (AMDR) (Kemenkes, 2014).
Berikut anjuran persentase energi dari zat gizi karbohidrat dan lemak dalam
total energi harian :
Tabel 2.2 Anjuran Persentase Energi dari Zat Gizi Karbohidrat Lemak dan Protein
Kategori Usia
(tahun)
Energi
(kkal)
% Energi
Karbohidrat
%
Energi
Lemak
%
Energi
Protein
Anak 7-9 1850 55 35 10
Laki-laki 10-12 2100 55 30 15
13-15 2475 55 30 15
Perempuan 10-12 2000 55 30 15
13-15 2125 55 30 15
Sumber : Kemenkes, 2014
20
Oleh karena itu, jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi anak harus
sesuai dengan kebutuhan anak. Kebutuhan asupan anak dibedakan oleh jenis
kelamin dan usia anak. Penentuan kebutuhan asupan makanan ditentukan oleh
angka kecukupan gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA).
AKG merupakan angka kecukupan rata-rata zat gizi dalam sehari bagi hampir
semua orang sehat (97,5%) menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran
tubuh, aktivitas fisik, genetik dan keadaan fisiologis tubuh untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal (Kemenkes, 2014). Berikut angka kecukupan
gizi (AKG) makro tahun 2013 yang dikategorikan berdasarkan jenis kelamin
dan usia 7-12 tahun :
Tabel 2.3 Nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG) Usia 7-12 Tahun
Kategori Usia
(tahun)
BB
(kg)
TB
(cm)
Energi
(kkal)
Karbohidrat
(g)
Protein
(g)
Lemak
(g)
Anak 7-9 27 130 1850 254 49 72
Laki-laki 10-12 34 142 2100 289 56 70
13-15 46 158 2475 340 72 83
Perempuan 10-12 36 145 2000 275 60 67
13-15 46 155 2125 292 69 71
Sumber : Kemenkes (2013)
Keterangan :
BB = Berat badan
TB = Tinggi badan
Berdasarkan tabel anjuran diatas, maka masyarakat khususnya anak dapat
menjadikan hal tersebut sebagai acuan dalam asupan makannya sehari-hari
untuk mencapai sehat yang optimal. Namun keseimbangan antara asupan
energi dan pengeluaran energi harus selalu menjadi acuan anak. Asupan
21
makan anak yang berisiko terhadap gizi lebih dapat dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu karakteristik anak, pola asuh orangtua dan karakteristik keluarga,
serta karakterisitk masyarakat, sosial dan demografi. Berikut penjelasannya :
a. Karakteristik Anak terhadap Asupan Makan
Karakteristik anak pada kejadian gizi lebih dibagi menjadi dua,
yaitu usia dan jenis kelamin (Davison & Birch, 2001). Asupan makan
pada anak usia sekolah dapat dipengaruhi oleh tingkat dan fungsi
pertumbuhan. Kebutuhan asupan makan anak berbeda dengan
kelompok usia lainnya, karena pada usia ini anak mengalami proses
pertumbuhan dan persiapan untuk mencapai puncak pertumbuhan
(remaja). Pada usia ini, anak akan mengalami banyak aktivitas fisik,
sehingga kebutuhan asupan energi dari makanan atau minuman akan
terus meningkat. Namun jika terjadi ketidakseimbangan asupan, maka
akan berdampak pada kejadian gizi lebih (Davison & Birch, 2001;
Crowle & Turner, 2010).
Asupan makan anak juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Sama
halnya dengan faktor usia, kebutuhan asupan pada anak dibedakan
berdasarkan proses pertumbuhan dari masing-masing jenis kelamin.
Proses pertumbuhan dan jenis kelamin sangat erat kaitannya dengan
asupan energi dan lemak. Jenis kelamin dapat membedakan kebutuhan
asupan energi, lemak, protein dan zat mikro lainnya. Anak laki-laki
cenderung memiliki aktivitas tinggi yang membuat kebutuhan
22
asupannya cenderung meningkat, namun sebaliknya pada anak
perempuan. Kebutuhan asupan yang meningkat pada anak sering
menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakseimbangan asupan.
Hal ini lah yang akan mempengaruhi terjadinya gizi lebih pada anak
(Davison & Birch, 2001).
Walaupun demikian, faktor usia dan jenis kelamin tidak secara
langsung menjadi faktor yang menyebabkan gizi lebih pada anak.
Faktor ini hanya dianggap sebagai faktor pengganggu dan efek yang
dihasilkan hanya sebagai faktor yang dikontrol (Davison and Birch,
2001).
b. Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga terhadap
Asupan Makan
Asupan makan anak dapat terbentuk oleh lingkungan keluarga.
Peran keluarga dibagi menjadi dua, yaitu pola asuh orangtua dan
karakteristik keluarga. Pola asuh orangtua dilakukan melalui praktek
pemberian makan anak. Menurut Davison, dkk. (2012), orangtua dapat
mempengaruhi pola dan kebiasaan asupan makan anak melalui tingkat
pengetahuan dan pemahamannya terkait makanan dan berat badan
anak. Cara memperoleh makan, cara penyajian makan dan jenis
makanan yang disediakan orangtua merupakan beberapa hal yang
dilakukan orangtua dalam praktek pemberian makan. Sedangkan
karakteristik keluarga diukur melalui riwayat gizi lebih pada orangtua.
23
Pemberian makan anak menjadi hal strategis yang dilakukan
orangtua kepada anak secara tidak langsung dalam mempengaruhi
pola asupan makan dan berat badan anak. Terdapat tiga praktek
pemberian makan orangtua terhadap anak dalam mengontrol asupan
makannya, yaitu pembatasan (restriction), pemaksaan (pressure to
eat) dan pemantauan (monitoring).
Tipe pola asuh pembatasan atau restriction mengacu pada cara
orangtua berusaha untuk membatasi makanan yang tidak sehat, namun
peningkatan justru terjadi pada makanan tersebut. Dengan demikian,
pola asuh ini tidak cukup optimal untuk memberikan contoh kebiasaan
yang sehat pada anak. Demikian pula pada pola asuh pemaksaan atau
pressure to eat, mengacu pada upaya yang dilakukan orangtua
terhadap anak agar memperbanyak konsumsi makanan sehat, namun
justru terjadi penururunan pada jenis makanan tersebut.
Bagaimanapun, praktek pemberian makan pada tipe monitoring telah
dianggap sebagai praktek yang lebih efektif untuk mengontrol asupan
makan pada anak, yaitu dengan mengawasi jumlah dan tipe makanan
yang dikonsumsi oleh anak (Davison & Birch, dkk., 2001). Namun,
orangtua yang menggunakan satu macam praktek pemberian makan
bukan merupakan contoh yang baik dalam mempengaruhi asupan
makan anak penderita gizi lebih, melainkan pemberian contoh dalam
24
mengonsumsi buah dan sayur menjadi lebih baik dalam mencegah
kejadian gizi lebih pada anak (Kimble, 2014).
Dampak dari praktek pemberian makan anak yang tidak sesuai
adalah perilaku makan anak menjadi manja, gizi buruk, anak tidak bisa
menentukan makanan yang terbaik untuk dirinya dan terganggunya
perkembangan anak. Sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan
bahwa pola asuh makan yang salah mengakibatkan anak mempunyai
perilaku makan yang salah dan dapat mengakibatkan status gizi sangat
gemuk pada anak (Hughes, 2008).
Namun, pada era modern dan serba teknologi, telah terjadi
pergeseran praktek pemberian makan oleh orangtua, salah satunya
yaitu cara memperoleh makanan dengan membeli makanan siap saji di
luar rumah. Waktu yang singkat menjadi salah satu pertimbanagn
orangtua dalam memilih dan menyajikan makanan di rumah. Seperti
diketahui bahwa makanan siap saji memiliki nilai gizi yang rendah,
sehingga kebiasaan ini lama-kelamaan akan mempengaruhi perilaku
yang berisiko terhadap gizi lebih, terutama pada anak-anak. Selain itu,
jenis makanan yang terdapat pada makanan siap saji biasanya
mengandung energi dan persen lemak yang tinggi. Hal tersebut
merupakan suatu pergeseran praktek pemberian makan melalui cara
memperoleh makanan.
25
Meskipun banyak studi yang membuktikan hubungan antara
asupan makan dan praktek pemberian makan anak dan orangtua,
belum ditemukan informasi yang pasti mengenai mekanisme yang
menghubungkan keduanya. Kesamaan atau kemiripan pola tersebut
mungkin dikarenakan genetik dalam hal persepsi rasa, pemilihan
makan, dan isyarat dalam respon terhadap rasa lapar dan kenyang.
Walaupun begitu, asupan makan orangtua dan anak dalam praktek
pemberian makan merupakan akibat dari faktor lingkungan.
Karakteristik keluarga yang menyebabkan asupan makan anak
yaitu melalui riwayat gizi lebih yang dimiliki keluarga, terutama
orangtua. Anak yang memiliki riwayat gizi lebih mempunyai
kerentanan yang lebih tinggi terhadap dampak dari kelebihan asupan
energi dan lemak dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki
riwayat gizi lebih (Davison & Birch, 2001). Selain riwayat gizi lebih,
riwayat penyakit risiko gizi lebih (penyakit degeneratif) juga
berpengaruh pada asupan makan anak.
c. Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi terhadap
Asupan Makan
Praktek pemberian makan orangtua akan membentuk asupan
makan anak, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh tingkatan
lingkungan yang lebih luas. Lingkungan dilihat berdasarkan
26
karakteristik masyarakat, sosial dan demografi, yaitu lingkungan
tempat tinggal, sekolah dan status sosial ekonomi.
Lingkungan tempat tinggal anak akan membentuk asupan makan
melalui jenis makanan yang terjangkau. Jenis makanan dapat dibagi
menjadi dua tipe, yaitu makanan yang harus melalui proses memasak
terlebih dahulu dan makanan siap saji. Ketersediaan waktu dalam
menyiapkan makanan dapat mengurangi sekaligus meningkatkan jam
kerja orangtua. Terbatasanya waktu luang, ditambah dengan
kurangnya keinginan untuk mempersiapkan makanan telah
mengakibatkan pergeseran besar dalam praktek asupan makan di
masyarakat. Sehingga asupan makan anak akan lebih banyak diperoleh
dari makanan siap saji, yang banyak terjangkau di lingkungan akibat
keterbatasan waktu yang dimiliki masyarakat untuk memproses
makanan tersebut. Pergerseran kondisi lingkungan ini dapat
mempengaruhi asupan makan anak yang berisiko terhadap gizi lebih.
Selain itu, asupan makan anak juga dipengaruhi oleh lingkungan
sekolah. Karakteristik dari lingkungan sekolah meliputi kualitas
asupan makanan di sekolah maupun di sekitar sekolah. Asupan makan
di sekolah menjadi salah satu yang menentukan asupan makan anak,
karena hal tersbut mengalokasikan sekitar 40% asupan harian anak.
Oleh karenanya, kualitas makanan di lingkungan sekolah sangat
penting, karena sebagian besar anak mengonsumsi makanan tambahan
27
(jajanan) di sekolah (Davison & Birch, 2001). Seperti diketahui,
bahwa kualitas makanan jajanan pada umumnya mengandung energi
yang tinggi (membuat cepat kenyang) dan kurang memiliki zat-zat gizi
yang dibutuhkan anak (Moehji, 2000). Sehingga dapat menyebabkan
pergeseran praktik asupan makan anak.
Status sosial ekonomi di masyarakat dikaitkan dalam asupan
makan anak. Penelitian menunjukan anak yang berasal dari keluarga
sosial ekonomi rendah memiliki asupan makan yang kurang beragam
dibandingkan dengan keluarga sosial ekonomi tinggi (Davison &
Birch, 2001). Di samping itu, perbedaan asupan makan anak pada
status sosial ekonomi yang berbeda memungkinan refleksi yang
berbeda pada sikap dan kepercayaan orangtua, dimana hal tersebut
membentuk praktek pemberian makan pada anak.
2. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan setiap gerakan tubuh melalui otot rangka yang
memerlukan energi. Fungsi dari aktivitas fisik dapat meningkatkan
kemampuan fungsi tulang, otot dan system pernafasan serta dapat mengurangi
risko penyakit hipertensi, kardiovaskuler, stroke, diabetes mellitus dan depresi
(WHO, 2016). Aktivitas fisik dapat mengimbangi pengeluaran energi dalam
tubuh. Sebaliknya, jika seseorang tidak melakukan aktivitas fisik, maka dapat
mempengaruhi peningkatan indeks massa tubuh dan lemak dalam tubuh.
Aktivitas fisik pada anak termasuk salah satu kebiasaan yang penting untuk
28
membentuk kebiasaan gaya hidup sehat yang akan berlanjut hingga remaja
dan dewasa. Dengan meningkatnya kejadian gizi lebih, maka aktivitas fisik
pada anak menjadi salah satu faktor yang dapat dikontrol, selain perilaku
sedentari (Brown, 2011).
Pengukuran aktivitas fisik anak dapat dilihat berdasarkan klasifikasi dan
durasi aktivitas yang dilakukan selama satu minggu. Klasifikasi dan durasi
aktivitas fisik yang rendah dapat menyebabkan peningkatan risiko terhadap
gizi lebih akibat ketidakesimbangan asupan dan pengeluaran energi (Liu dkk.,
2010). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ruiz & Ortega (2009),
bahwa anak dengan tingkat aktivitas yang rendah memungkinkan memiliki
hubungan yang tinggi terhadap risiko peningkatan penyakit jantung dan
pembuluh darah (kardiovaskuler). Penyakit tersebut merupakan salah satu
dampak risiko dari gizi lebih.
Aktivitas fisik dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu rendah,
sedang dan berat. Masing-masing tingkatan memiliki pengeluaran kalori yang
berbeda. Berikut klasifikasi aktivitas fisik berdasarkan jumlah pengeluaran
energi dan jenis aktivitasnya :
29
Tabel 2.4 Klasifikasi Aktivitas Fisik
Klasifikasi Pengeluaran Energi Aktivitas Fisik
Ringan 2,5-4,9 kcal/menit
Berjalan kaki, tenis meja,
golf, mengetik, membersikan
kamar
Sedang 5-7,4 kcal/menit Bersepeda, menari, tennis,
menaiki tangga
Berat 7,5-12 kcal/menit Basket, sepak bola,
berenang, angkat beban
Sumber : Statistik Kesehatan , 2004.
The National Physical Activity Guidelines di Australia dan World Health
Organization telah merekomendasikan jenis dan jadwal aktivitas fisik pada
anak dan remaja dengan rentan usia 5-17 tahun, antara lain : (WHO, 2016)
1) Melakukan aktivitas fisik pada intensitas sedang – berat selama 60
menit setiap hari,
2) Aktivitas fisik yang dilakukan lebih dari 60 menit setiap hari akan
memberikan tambahan manfaat kesehatan, dan
3) Melakukan aktivitas fisik yang meliputi aktivitas yang dapat
memperkuat otot dan tulang, minimal 3 kali seminggu.
Rekomendasi aktivitas fisik tersebut digunakan sebagai salah satu acuan
bagi orangtua dan guru untuk mengikutsertakan anak dalam kegiatan aktivitas
fisik. Aktivitas fisik dapat terbentuk oleh kombinasi dari karakteristik anak,
pola asuh orangtua dan karakteristik keluarga, serta karakterisitik masyarakat,
sosial dan demografi. Berikut penjelasannya :
30
a. Karakteristik Anak terhadap Aktivitas Fisik
Jenis kelamin dan usia mempengaruhi ketertarikan partisipasi
dalam kegiatan aktivitas fisik dan olahraga. Penelitian menunujukan
bahwa terdapat perbedaan pola aktivitas fisik pada anak perempuan
dan laki-laki, secara umum, anak laki-laki lebih aktif secara fisik
daripada perempuan (Sallis, 2000 dalam Davison & Birch, 2001).
Selain jenis kelamin, usia juga berpengaruh terhadap partisipasi anak
dalam aktifitas fisik dan olahraga, semakin meningkat usia anak, maka
partisipasi dalam aktifitas fisik dan olahraga semakin menurun,
terutama pada anak perempuan (Davison & Birch, 2001). Hal tersebut
dikarenakan tingkat antusiasme anak menurun, sedangkan minat anak
terhadap aktivitas lain meningkat, sehingga waktu yang dimiliki anak
untuk melakukan aktivitas fisik semakin berkurang.
Di samping itu, salah satu penyebab dari penurunan aktivitas fisik
adalah masa pubertas, yang memberikan efek secara fisik, emosional
dan sosial pada anak. Walaupun anak usia sekolah dasar belum
sepenuhnya mengalami pubertas, namun tanda-tanda dan sikap sudah
mulai terjadi. Karena masa pubertas dan meningkatnya kemawasan
diri pada anak, dapat membuat anak enggan untuk menonjolkan
perubahahn fisik dalam dirinya. Peningkatan usia pada anak
perempuan menyebabkan persepsi bahwa aktivitas fisik dan olahraga
31
adalah hal yang tidak feminim dan semakin meningkat usia anak,
maka persepsi tersebut semakin kuat (Davison & Birch, 2001).
b. Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga terhadap
Aktivitas Fisik
Sama halnya dengan faktor risiko asupan makan, faktor aktivitas
anak juga tidak dapat terlepas dari pengaruh keluarga. Pola asuh
orangtua dalam aktifitas fisik mempengaruhi pola aktivitas fisik pada
anak. Hal tersebut dikarenakan orangtua merupakan panutan bagi
anaknya. Selain itu, kepercayaan dan kebiasaan orangtua yang aktif
secara fisik dapat menciptakan lingkungan keluarga yang mendorong
anak untuk lebih aktif melakukan aktivitas fisik, seperti berolahraga
dan melakukan kegiatan di luar rumah (Davison & Birch, 2001).
Hubungan pola asuh orangtua terhadap aktivitas fisik anak dapat
dilihat melalui kebiasaan aktivitas orangtua, dukungan terhadap
kegiatan aktivitas fisik dan monitoring aktivitas anak. Berikut strategi
yang harus dimiliki orangtua dalam meningkatkan kegiatan aktivitas
fisik anak (Brown, 2011) :
1. Memberikan contoh yang baik dalam aktivitas fisik serta
mengikutsertakan anak di dalamnya
2. Menganjurkan anak untuk melakukan aktivitas fisik di rumah,
di sekolah dan saat bersama teman
32
3. Membatasi waktu dalam menonton televisi, film, bermain
komputer dan video game serta kegiatan lainnya yang dapat
mengurangi waktu untuk beraktivitas fisik.
Partisipasi orangtua dalam aktivitas fisik sangat berdampak pada
kelompok anak yang berisiko terhadap gizi lebih. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa aktifitas pada anak perempuan lebih dipengaruhi
oleh aktivitas orangtua, dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal
tersebut disebabkan karena anak perempuan memiliki panutan yang
lebih sedikit diluar lingkungan keluarga.
c. Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi terhadap
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik anak dipengaruhi secara langsung oleh pola asuh
orangtua dan karakteristik keluarga. Hal tersebut juga dipengaruhi
oleh tiga faktor, yaitu status sosial ekonomi, pelajaran olahraga di
sekolah, tersedianya fasilitas umum yang mendukung kegiatan
aktivitas fisik.
Tingkat aktivitas fisik anak yang rendah cenderung terjadi pada
keluarga dengan status sosial ekonomi rendah (Centers for Disease
Control and Prevention, 2002 dalam Joens-Matre dkk., 2008). Hal
tersebut dapat disebabkan oleh karakteristik keluarga seperti: (1)
kurangnya waktu luang; (2) kurangnya pengetahuan terhadap manfaat
33
olahraga yang disebabkan tingkat pendidikan yang rendah; (3) serta
kurangnya alokasi dana untuk mendukung aktivitas fisik anak
(Davison and Birch, 2001).
Selain sosial ekonomi, aktivitas fisik anak juga dapat dipengaruhi
oleh pelajaran olahraga di sekolah. Sekolah menyediakan kesempatan
yang besar bagi anak untuk berpartisipasi dalam beragam aktivitas
fisik. Namun, terkadang perubahaan system di sekolah menyebabkan
alokasi dana terhadap kegiatan olahraga berkurang. Dampaknya
banyak sekolah yang tidak menyediakan pelajaran olahraga. Tidak
adanya pelajaran olahraga di sekolah menyebabkan anak memiliki
tingkat aktivitas fisik yang rendah. Analisis yang dilakukan NHANES
III menunjukan indikasi bahwa anak yang berpartisipasi pada kegiatan
aktivitas fisik dan olahraga di sekolah memiliki risiko yang lebih
rendah terhadap kejadian gizi lebih, dibandingkan dengan anak yang
tidak berpartisipasi (Brown, 2011).
Salah satu bentuk lingkungan fisik yang dapat meningkatkan
aktivitas fisik anak adalah tersedianya infrastruktur yang mendukung.
Masyarakat membutuhkan tempat yang aman untuk anak dalam
berjalan kaki dan mengendarai sepeda ke sekolah. Lingkungan fisik
seperti ini dapat meningkatkan gaya hidup sehat untuk mengurangi
risiko terhadap kejadian gizi lebih pada anak.
34
3. Perilaku Sedentari
Perilaku sedentari merupakan kegiatan yang bukan termasuk aktivitas
fisik yang banyak mengeluarkan energi. Terdapat istilah dalam perilaku
sedentari, yaitu Small Screen Recreation atau SSR. SSR adalah aktivitas yang
hanya mengeluarkan sedikit energi, seperti membaca atau belajar, menonton
televisi, bermain komputer dan video game. Namun, aktivitas menonton TV
termasuk jenis SSR yang paling berpengaruh terhadap berat badan
dibandingkan dengan bermain komputer dan video game. SSR dapat
mempengaruhi berat badan dan metabolism tubuh jika dilakukan pada jangka
panjang (Crowle & Turner, 2010; Suarez, 2010; Davison & Birch, 2001).
Perilaku sedentari akan terus meningkat seiring dengan peningkatan
inovasi teknologi yang mempermudah aktivitas manusia. Survey yang telah
dilakukan oleh Universitas Australia Selatan pada tahun 2008 menunjukan
peningkatan SSR hampir dua kali lipat pada anak usia 9-16 tahun dari tahun
2004 (Crowle & Turner, 2010). Perilaku sedentari menjadi salah satu
pengaruh yang besar terdahap kenaikan berat badan, penyakit kardiovaskuler
dan kejadian kematian dan kesakitan di Amerika Serikat. The American
Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa anak tidak diperbolehkan
untuk menonton televisi atau menatap layar seperti komputer lebih dari 2 jam
(Brown, 2011). Berdasarkan hasil studi yang dilakukan National Longitudinal
Surveys of Youth (NLSY) tahun 2015 diperoleh bahwa terdapat hubungan
yang kuat antara kebiasaan menonton televisi dengan kejadian gizi lebih.
35
Perilaku sedentari berkontribusi dalam kejadian gizi lebih melalui
berkurangnnya pengeluaran energi dalam tubuh. Energi yang seharusnya
dikeluarkan untuk keseimbangan asupan tidak terjadi dalam aktivitas
sedentari. Selain itu, penambahan asupan makan sering terjadi saat melakukan
aktivitas sedentari. Seperti diketahui bahwa peningkatan asupan makan dan
perilaku sedentari akan menghasilkan penambahan berat badan. Studi yang
dilakukan oleh NHANES III menunjukan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara peningkatan asupan makan dan lamanya waktu menonton
televisi. Akibatnya waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk melakukan
aktivitas fisik semakin berkurang (Brown, 2011).
Perilaku sedentari yang tinggi berisiko pada kejadian gizi lebih pada anak
(Davison & Birch, 2001). Hal itu dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
karakteristik anak, pola asuh orangtua dan karakteristik keluarga, serta
karakterisitk masyarakat, sosial dan demografi. Berikut penjelasannya :
a. Karakteristik Anak terhadap Perilaku Sedentari
Karakteristik anak yang meliputi jenis kelamin dan usia
mempengaruhi perilaku sedentari. Tingkat perilaku sedentari
cenderung lebih tinggi pada anak perempuan dibandingkan dengan
anak laki-laki, dan cenderung meningkat seiring meningkatnya tingkat
pendidikan. Pada anak perempuan, perilaku sedentari lebih
berpengaruh pada kejadian gizi lebih karena perilaku sedentari pada
anak perempuan tidak diiringi dengan aktivitas fisik seperti pada anak
36
laki-laki. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan
Gortmaker, dkk. pada program pencegahan gizi lebih di sekolah,
mereka menemukan bahwa pengurangan perilaku sedentari (menonton
televisi) berhubungan dengan berkurangnya insiden pada anak
perempuan, namun tidak pada anak laki-laki (Davison & Birch, 2001)
b. Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga terhadap
Perilaku Sedentari
Orangtua memegang peranan penting dalam membentuk,
membimbing dan memantau perilaku sedentari anak. Namun,
penelitian mengenai pengaruh orangtua dalam perilaku sedentari anak
lebih sedikit dibandingkan dua faktor risiko gizi lebih pada anak
lainnya. Berdasarkan penelitian yang sudah ada, diperoleh bahwa
perilaku sedentari anak disebabkan oleh dua faktor, yaitu perilaku
sedentari orangtua dan pengawasan anak dalam menonton televisi
(Davison & Birch, 2001).
c. Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi terhadap
Perilaku Sedentari
Pola asuh orangtua mengenai perilaku sedentari anak dipengaruhi
oleh tingkat status sosial ekonomi keluarga. Tingkat status sosial
ekonomi yang rendah berhubungan dengan perilaku sedentari anak
yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pengawasan orangtua
terhadap waktu menonton televisi anak, kurangnya pengetahuan
37
tentang manfaat olahraga, dan harga televisi, video, dan permainan
komputer yang relative tidak mahal. Selain itu, tingkat keamanan yang
rendah dan kriminalitas yang tinggi di lingkungan status sosial
ekonomi yang rendah menyebabkan orangtua lebih menyarankan anak
untuk beraktivitas di dalam ruangan karena lebih aman (Davison &
Birch, 2001).
D. Kecenderungan Gizi Lebih di Perkotaan
Berdasarkan teori kerangka gizi lebih pada anak menurut Davison & Birch
(2001), pendekatan yang digunakan merupakan studi untuk melihat suatu
kejadian secara komperensif, bukan hanya individu, tetapi juga lingkungannya.
Jika dilihat pada gaya hidup saat ini, masyarakat telah mengalami banyak
transisi akibat globalisasi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia,
diantaranya pada pola asupan makan, aktivitas fisik dan perilaku sedentari
(Ramachandran, dkk., 2012). Data menunjukan bahwa masyarakat dengan
status sosial ekonomi yang tinggi mendapat keuntungan dari efek globalisasi
tersebut. Namun, tidak selalu menguntungkan bagi masyarakat miskin
perkotaan (Vepa, 2003). Lingkungan dan status ekonomi yang terbatas menjadi
salah satu faktor mudahnya akses terhadap makanan murah yang mengandung
energi yang tinggi, ukuran porsi besar dan makanan siap saji (Linardakis, dkk.,
2008).
Menurut Pena & Bacallao (2000), masyarakat telah mengalami perubahan
pola asupan makan dengan peningkatan makanan tinggi energi, seperti lemak,
38
gula, dan rendahnya konsumsi serat, terutama pada masyarakat perkotaan.
Selain itu, akses dan fasilitas umum untuk melakukan aktivitas fisik semakin
berkurang dengan berkembangnya inovasi teknologi yang menyebabkan
perilaku sedentari semakin meningkat (Kemenkes, 2012).
Karakterisik gizi lebih pada anak yang tinggal di tingkatan wilayah dan
sosial ekonomi berbeda cenderung menunjukan faktor risiko yang berbeda pula.
Peran lingkungan dan status sosial ekonomi masing-masing wilayah akan
memberikan dampak yang berbeda pada masyarakatnya (Davison & Birch,
2001). Gizi lebih pada masyarakat miskin perkotaan di negara berkembang
menunjukan peningkatan, sedangkan gizi lebih pada masyarakat dengan tingkat
status ekonomi yang tinggi di negara maju cenderung menurun, walaupun
angka prevalensi masih tinggi. Beberapa faktor penyebab perbedaan
karakteristik gizi lebih pada anak yang memiliki status ekonomi keluarga tinggi
dan rendah, diantaranya genetik, jenis kelamin, pola asupan makan,
sosiokultural, dan budaya (Pena & Bacallao, 2000). Sama halnya pada gizi lebih
pada anak sekolah, terjadi peningkatan pada sosial ekonomi rendah, dilihat
berdasarkan data setiap peningkatan angka kemiskinan sejumlah 1%, maka
terjadi peningkatan gizi lebih sebanyak 1.17% (Eagle, 2016). Berikut bagan
yang menunjukan kecenderungan penderita gizi lebih pada sosial ekonomi dan
status negara yang berbeda : (Pena & Bacallao, 2000)
39
Bagan 2.1 Hubungan antara Gizi Lebih dan Status Sosial Ekonomi
Di Brazil, masyarakat miskin (poverty) tidak mengonsumsi makanan apa
yang dibutuhkan atau apa yang seharusnya mereka makan, melainkan
mengonsumsi makanan yang terjangkau di lingkungan masyarakat tersebut
(Aguirre, 1994) Pada pola aktivitas fisik, kelompok masyarakat ini memiliki
waktu yang terbatas dan lingkungan yang tidak menyediakan fasilitas
penunjang aktivitas fisik, sebagaimana seharusnya (masyarakat status sosial
ekonomi yang lebih tinggi). Sedangkan, kejadian gizi lebih pada anak di
keluarga dengan sosial ekonomi tinggi, faktor lingkungan tempat tinggal tidak
berkaitan atau berkontribusi dalam kejadian gizi lebih (Ranjani dkk., 2016)
40
Meskipun kedua tingkatan status sosial ekonomi dapat berisiko terhadap
gizi lebih, terdapat karakteristik yang membedakannya, baik negara
berkembang maupun negara maju. Menurut Pena & Bacallao (2000), terdapat
dua faktor yang sulit untuk menyimpulkan hubungan antara gizi lebih dan status
sosial ekonomi, yaitu (1) hubungannya mungkin berbeda di setiap negara,
bahkan setiap daerah karena memiliki variasi dan karakteristik yang berbeda;
(2) hubungan keduanya mungkin dikarenakan budaya, ekologi atau faktor
sosial.
E. Kerangka Teori
Kejadian gizi lebih pada anak sekolah dasar tidak dipengaruhi oleh satu
faktor saja, melainkan hasil dari hubungan banyak faktor. Berdasarkan teori
Davison & Birch (2001) mengenai model kerangka penyebab terjadinya gizi
lebih pada anak terdapat faktor risiko utama meliputi asupan makan, pola
aktivitas fisik, dan perilaku sedentari. Ketiga faktor risiko tersebut disebabkan
oleh banyak faktor, yaitu karakteristik anak, karakteristik keluarga dan pola
asuh orangtua, serta lapisan terluar, yaitu karakteristik masyarakat, sosial dan
demografi. Dalam mempermudah pemahaman, maka peneliti melakukan
modifikasi pada kerangka penyebab gizi lebih pada anak sekolah dasar, sebagai
berikut :
41
Bagan 2.2 Kerangka Modifikasi Davison & Birch (2001)
Lingkungan
Tempat Tinggal
Advertising
Etnis dan
Budaya
Jenis Makanan
yang Terjangkau
Lingkungan
Sekolah
Sosial &
Ekonomi
Karakteristik Sosial,
Masyarakat dan Demografi
Pola Asuh Orangtua dan
Karakteristik Keluarga
dan
Lingkungan
Keluarga
Status Gizi
Orangtua
Pengetahuan
Gizi
Praktek
Pemberian
Makan
Jenis
Kelamin
Usia
Aktivitas
Fisik
Perilaku
Sedentari Asupan
Makan
Karakteristik dan Faktor
Risiko pada Anak
Gizi Lebih
pada Anak
SD
Kebiasaan Aktivitas
Kelarga
42
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori pada bab sebelumnya, faktor risiko gizi lebih
pada anak adalah asupan makan, pola aktivitas fisik dan perilaku sedentari.
Ketiganya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis kelamin, usia,
riwayat gizi lebih orangtua , praktik pemberian makan, lingkungan keluarga,
kebiasaan aktivitas fisik orangtua, jenis makanan yang terjangkau, kebiasaan
aktivitas keluarga, advertising, status sosial ekonomi, etnis dan budaya, serta
lingkungan tempat tinggal dan sekolah. Sehubungan dengan penelitian ini,
maka dikembangkan kerangka konsep berdasarkan teori tersebut. Adapun
variable yang tidak dimasukan dalam kerangka konsep ini, diantaranya :
1. Pengetahuan gizi
Dalam penelitian ini, pengetahuan gizi ibu tidak dimasukkan dalam
konsep dikarenakan tujuan peneliti berfokus pada faktor risiko, kebiasaan
keluarga dan lingkungan anak. Pengetahuan gizi dianggap sudah terlalu
mendalam untuk dijadikan faktor risiko gizi lebih pada anak sekolah dasar
dalam penelitian ini.
2. Lingkungan fisik tempat tinggal, sekolah dan advertising
Variable lingkungan fisik tempat tinggal, sekolah advertising menjadi
variable yang tidak dimasukan pada penelitian ini. Ketiga variable ini
43
dapat tergambar dari kondisi dan demografi tempat penelitian, sehingga
peneliti tidak jadikan sebagai variable yang diteliti.
3. Etnis dan budaya
Etnis pada masyarakat Indonesia tidak terlalu menjadi perbedaan yang
besar, karena sebagian besar masyarakat di sekitar terminal merupakan
masyarakat pribumi. Selain etnis, budaya di suatu kelompok masyarakat
cenderung sama, yaitu betawi dan sunda.
44
Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti menyusun bagan kerangka
konsep untuk mempemudah pemahaman seperti dibawah ini :
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
1. Pendidikan Terakhir
Orangtua
2. Penghasilan
Orangtua
Karakteristik Sosial,
Masyarakat dan
Demografi
1. Praktek Pemberian
Makan
2. Kebiasaan Aktivitas
Keluarga
3. Lingkungan
Keluarga
4. Status Gizi
Orangtua
Pola Asuh Orangtua
dan Karakteristik
Keluarga
1. Asupan Makan
(Total Asupan
Energi, Persen
Karbohidrat dan
Lemak dalam Total
Energi)
2. Aktivitas Fisik
3. Perilaku Sedentari
Faktor Risiko Anak
Gizi Lebih pada Anak
Sekolah Dasar Master
Karakteristik Anak
1. Jenis Kelamin
2. Umur
73
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Faktor yang
Diteliti Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
1. Gizi Lebih Kelebihan berat badan anak yang
diukur berdasarkan nilai indeks massa
tubuh menurut umur.
Pengukuran
Antropometri
Timbangan
digital dengan
ketelitian 0,1 kg
dan mikrotoa
dengan ketelitian
0,1 cm
0. Gemuk, jika >1 SD
sampai 2 SD
1. Sangat Gemuk, jika
>2 SD
(WHO, 2005)
Ordinal
2. Jenis Kelamin Perbedaan antara laki-laki dan
perempuan secara biologis sejak lahir
(Hungu, 2007)
Wawancara Kuesioner 0. Laki-laki
1. Perempuan
Ordinal
3. Umur Usia responden yang dihitung
berdasakan tahun lahir sampai saat
wawancara
Wawancara Kuesioner Tahun Nominal
4. Total Asupan
Energi
Rata-rata asupan energi yang
diperoleh responden dari makanan dan
minuman yang dikonsumsi selama 2
hari (satu hari saat weekday dan satu
hari saat weekend)
Wawancara Lembar Food
Recall 2x24 jam
0. Lebih, jika > 100%
AKG
1. Cukup, jika 95-
100% AKG
2. Kurang, jika < 95%
AKG
Ordinal
46
No. Faktor yang
Diteliti Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
5. Persen
Karbohidrat
Rata-rata kontribusi asupan
karbohidrat berdasarkan total asupan
energi harian yang dikonsumsi selama
2 hari (satu hari saat weekday dan satu
hari saat weekend)
Wawancara Lembar Food
Recall 2x24 jam
0. Lebih, jika persen
karbohidrat > 55%
1. Cukup, jika persen
karbohidrat 50-55%
2. Kurang, jika persen
karbohidrat < 55%
Ordinal
6. Persen Lemak Rata-rata kontribusi asupan lemak
berdasarkan total asupan energi harian
yang dikonsumsi selama 2 hari (satu
hari saat weekday dan satu hari saat
weekend)
Wawancara Lembar Food
Recall 2x24 ja m
0. Lebih, jika persen
lemak > 30%
1. Cukup, jika persen
lemak ≤ 30%
Ordinal
7. Persen Protein Rata-rata kontribusi asupan protein
berdasarkan total asupan energi harian
yang dikonsumsi selama 2 hari (satu
hari saat weekday dan satu hari saat
weekend)
Wawancara Lembar Food
Recall 2x24 jam
0. Cukup, jika persen
protein 15%
1. Kurang, jika persen
protein < 15%
Ordinal
47
No. Faktor yang
Diteliti Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
8. Aktivitas Fisik Setiap gerakan tubuh responden saat
berolahraga dan bermain yang diukur
berdasarkan jenis kegiatan dan
frekuensinya selama satu minggu
terakhir
Wawancara Kuesioner
modifikasi
Phisical Activity
Questionaire
Children (PAQ-
C)
(Fuadi, 2016)
0. Rendah, jika total
skor < nilai median
(67,5)
1. Tinggi, jika total
skor ≥ nilai median
(67,5)
Ordinal
9. Perilaku
Sedentari
Aktivitas kurang gerak responden
yang diukur berdasarkan lamanya
waktu yang digunakan selama satu
minggu terakhir
Wawancara Kuesioner
modifikasi
Adolescent
Sedentari
Activity
Questionnaire
(ASAQ)
(Hardy, 2011)
0. Tinggi, jika waktu
yang digunakan ≥
35 jam/minggu
1. Sedang, jika waktu
yang digunakan <
35 jam
Ordinal
48
No. Faktor yang
Diteliti Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
10. Praktek
Pemberian
Makan
Pemilihan dan ketersediaan jenis
makanan yang diberikan oleh orangtua
kepada responden dan kebiasaan
makan bersama keluarga yang
membentuk pola asupan makan
responden
Wawancara Kuesioner 0. Kurang Baik, jika
skor ≤ median (14)
1. Baik, jika skor >
median (14)
Ordinal
11. Kebiasaan
Aktivitas Fisik
Orangtua
Kegiatan olahraga dan rekreasi yang
dilakukan orangtua pada waktu luang
dan akhir pekan
Wawancara Kuesioner 0. Tidak pernah, jika
total skor 0-1
1. Jarang, jika total
skor 2-6
2. Kadang-kadang,
jika total skor 7-9
3. Sering, jika total
skor ≥ 10
Ordinal
12. Lingkungan
Keluarga
Kebiasaan dan pengawasan orangtua
terhadap perilaku sedentari responden
Wawancara Kuesioner 0. Kurang Baik, jika
skor ≤ median (10)
1. Baik, jika skor >
median (10)
Ordinal
49
No. Faktor yang
Diteliti Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
13. Status Gizi
Orangtua
Rata-rata ukuran tubuh Ibu dan Ayah
yang dihitung berdasarkan berat badan
dan tinggi badan yang diukur
sebanyak dua kali
Pengukuran
Antropometri
Timbangan
digital dengan
ketelitian 0,1 kg
dan mikrotoa
dengan ketelitian
0,1 cm
0. Gizi lebih, jika nilai
IMT ≥ 25 kg/m2
1. Tidak gizi lebih,
jika nilai IMT < 25
kg/m2
(WHO, 2005)
Ordinal
14. Pendidikan
Orangtua
Tingkatan sekolah formal terakhir
pada orangtua responden
Wawancara Kuesioner 0. Rendah, jika
pendidikan terakhir
SD & SMP
1. Tinggi, jika
pendidikan terakhir
SMA &
S1/sederajat
Ordinal
15. Penghasilan
Orangtua
Pendapatan yang diperoleh orangtua
untuk memenuhi kebutuhan seluruh
anggota keluarga
Wawancara Kuesioner 0. Rendah, jika < Rp
3.297.489
1. Tinggi, jika ≥ Rp
3.297.489
Ordinal
50
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif,
dimana hal tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta dan sifat populasi pada suatu wilayah (Suryabrata, 2013). Jenis
penelitian yang digunakan adalah kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk
mendapatkan data deskriptif mengenai variabel dependen utama, yaitu status gizi
lebih, serta variabel independen, yaitu asupan makan (total asupan energi, persen
karbohidrat, lemak dan protein dalam total energi), aktivitas fisik, perilaku sedentari,
seperti praktek pemberian makan, kebiasaan aktivitas keluarga, lingkungan keluarga,
status gizi orangtua dan status sosial ekonomi (tingkat pendidikan dan penghasilan
orangtua).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Masjid Terminal (Master) di Kota Depok
pada bulan Februari-April 2017. Sekolah ini dijadikan tempat penelitian karena
terletak di wilayah yang termasuk ke dalam salah satu kategori daerah kumuh miskin
perkotaan, karena berada di lingkungan fasilitas transportasi masyarakat (terminal dan
stasiun kereta api) dan pusat perbelanjaan modern maupun tradisional (BPS, 2007).
Selain itu, masih terbatasnya penelitian mengenai gizi lebih di wilayah dengan
karakterisitik tersebut di Indonesia, sehingga penelitian ini menjadi studi awal terkait
status gizi di lokasi tersebut.
51
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi kelas 4-6 di Sekolah Dasar Master tahun ajaran 2016-2017 sejumlah 119
siswa. Kelas 4-6 SD dipilih sebagai populasi penelitian dikarenakan pada tingkatan
tersebut mayoritas anak berumur 9-12 tahun, dimana pada umur tersebut anak sudah
dapat menentukan makanan serta minuman apa saja yang ingin di konsumsi, sudah
tidak telalu tergantung dengan keputusan orangtua (Irianto, 2014). Sampel dalam
penelitian ini adalah siswa-siswi kelas 4-6 Sekolah Dasar Master yang berjumlah 20
siswa. Pemilihan sampel dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria inklusi
sebagai berikut :
1. Siswa-siswi Sekolah Dasar Master (Masjid Terminal) kelas 4-6
2. Memiliki IMT/U >1 SD s/d 2 SD (gemuk) dan > 2 SD (sangat gemuk)
3. Bertempat tinggal di sekitar wilayah kota Depok
4. Anak dan orangtua bersedia menjadi responden dalam penelitian
Perhitungan besar sampel minimum diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
( )
( ) ( )
Keterangan :
n = sampel minimum
N = jumlah populasi
= derajat kepercayaan (CI 95% = 1.96)
P = proporsi anak penderita gizi lebih yang memiliki asupan energi berlebih
(62.2%) (Vertikal, 2012)
d = presisi absolut (5%)
52
Berdasarkan rumus diatas, maka diperoleh jumlah sampel minimum sejumlah 90
siswa. Namun pada saat screening antropometri, peneliti hanya menemukan siswa
yang termasuk kriteria inklusi sejumlah 20 siswa. Sehingga, sampel dalam penelitian
ini adalah seluruh siswa dengan status gizi lebih (total sampling). Total sampling
merupakan teknik penarikan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi
(Sugiyono, 2007). Hal ini disebabkan oleh total jumlah populasi gizi lebih
diperkirakan tidak lebih dari 100 siswa, maka seluruh populasi dijadikan sampel
penelitian. Dengan demikian, sampel pada penelitian ini hanya sebesar 16.8% dari
total populasi siswa-siswa kelas 4-6 Sekolah Dasar Master tahun ajaran 2016-2017.
D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran status gizi, pengisian kuesioner
modifikasi PAQ-C, ASAQ dan lembar food recall 2x24 jam yang diwawancarai
kepada anak penderita gizi lebih, baik gemuk maupun sangat gemuk. Sedangkan data
sekunder didapatkan dari dokumen absensi siswa kelas 4-6 yang aktif di Sekolah
Dasar Masjid Terminal (Master) di Kota Depok tahun ajaran 2016-2017.
E. Instrumen, Pengumpulan dan Pengolahan Data
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner
modifikasi PAQ-C, ASAQ, serta lembar food recall 2x24 jam yang ditujukan untuk
anak penderita gizi lebih. Kuesioner dibagi menjadi dua, yaitu untuk anak dan
orangtua/wali. Pengisian kuesioner akan dibimbing satu persatu oleh tim enumerator.
Pengumpulan data dilakukan oleh enumerator yang memiliki keterampilan dalam
mewawancarai anak usia sekolah dasar, serta telah mengikuti briefing terlebih dahulu.
53
Berikut penjelasan bagaimana cara pengumpulan dan pengolahan data pada
masing-masing variabel:
1. Gizi Lebih
Variabel gizi lebih diperoleh dari instrumen berupa kuesioner yang berisi
berat badan, tinggi badan, usia dan jenis kelamin. Metode yang digunakan
untuk pengumpulan data gizi lebih adalah pengukuran antropometri
menggunakan alat ukur timbangan digital dan microtoise yang dipasang pada
dinding atau tembok rata. Masing-masing siswa akan diukur berat dan tinggi
badannya oleh tim enumerator selama dua kali. Selanjutnya data tersebut
diolah menjadi rata-rata berat badan dan tinggi badan, lalu dilakukan
perhitungan berat badan (kg) dibagi tinggi badan (cm) kuadrat. Setelah
perhitungan tersebut akan diperoleh nilai satuan indeks massa tubuh yang
dikelompokan kategori “Gemuk”, jika IMT/U >1 s/d 2 SD, dan “Sangat
Gemuk” jika IMT/U > 2 SD berdasarkan usia dan jenis kelamin.
2. Jenis Kelamin
Variabel jenis kelamin diperoleh berdasarkan hasil wawancara kuesioner
identitas responden. Anak yang berjenis kelamin laki-laki diberi angka „0‟
dan anak perempuan diberi angka „1‟.
3. Umur
Variabel umur responden diperoleh berdasarkan hasil wawancara
kuesioner identitas responden. Umur dihitung dari tahun lahir sampai saat
ulang tahun terakhir saat wawancara. Hasil data diukur berdasarkan tahun
hidup responden.
54
4. Asupan Makan
Variabel asupan makan diukur melalui pengisian lembar food recall 24
jam yang berisi tabel jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada
24 jam yang lalu. Data yang diperoleh akan dihitung berdasarkan jumlah
bahan makanan secara teliti menggunakan alat ukur URT (ukuran rumah
tangga), seperti sendok, gelas, piring, dan lain lain. Food recall dalam
penelitian ini dilakukan 2 kali pada hari sekolah dan hari libur
(sabtu/minggu). Menurut Sanjur (1997) dalam Supariasa (2001), pengisian
lembar food recall 2x24 jam tanpa berturut-turut dapat menghasilkan
gambaran asupan gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar
tentang asupan harian individu.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden akan
diberi pertanyaan oleh enumerator mengenai asupan apa saja yang telah
dikonsumsi pada 24 jam terakhir. Wawancara tersebut dilakukan sebanyak
dua kali pada hari yang tidak berturut-turut. Data awal yang diperoleh akan
dianalisis menggunakan aplikasi nustrisurey sehingga didapatkan rata-rata
total asupan energi, persen karbohidrat dan lemak, serta jenis makanan yang
dikonsumsi oleh responden. Setelah didapatkan hasil analisis tersebut, maka
hasil data akan dibagi menjadi tiga kategori untuk asupan energi, yaitu „0‟
untuk TAE lebih dari 100% AKG; „1‟ untuk TAE responden cukup (95-
100% AKG); dan „2‟ untuk TAE kurang dari 95% AKG. Sedangkan untuk
kategori Persen Asupan Karbohidrat (PAK) dibagi menjadi tiga, yaitu „0‟
untuk PAK lebih dari 55% AKG; „1‟ untuk PAK 50-55% AKG; dan „2‟
55
untuk PAK kurang dari 55% AKG. Pada variabel Persen Asupan Lemak
(PAL), kategori dibagi menjadi dua, yaitu „0‟ untuk PAL lebih dari 30%
AKG; dan „1‟ untuk PAL kurang dari 30% AKG. Pada Persen Asupan
Protein (PAP), kategori dibagi menjadi dua, yaitu „0‟ untuk PAP lebih dari
sama dengan 15% AKG; dan „1‟ untuk PAP kurang dari 15% AKG.
5. Aktifitas Fisik
Variable aktifitas fisik diperoleh dari kuesioner pada poin B1 sampai B35
yang berisi 35 pertanyaan terkait aktivitas fisik dan frekuensinya. Kuesioner
aktifitas fisik yang digunakan adalah hasil modifikasi PAQ-C oleh Fuadi
(2016) yang telah disesuaikan dengan responden anak sekolah dasar.
Pengumpulan data diperoleh dari wawancara yang dilakukan oleh
enumerator. Selanjutnya data akan diberi nilai pada setiap jawaban. Penilaian
dilakukan dengan menghitung jawaban “a”,“b”,”c”,”d”,”e” yang masing-
masing dikalikan dengan “1”, “2”, “3”, “4”, “5”. Jumlah hasil kali dari setiap
jawaban lalu diakumulasikan, sehingga diperoleh total skor PAQ-C. Nilai
PAQ-C dari seluruh responden dapat menentukan nilai median atau mean.
Median digunakan jika data tidak berdistribusi normal dan mean digunakan
jika data berdistribusi normal. Jika nilai total skor kurang dari median/mean,
maka diberi kategori “0” untuk aktivitas rendah, jika nilai total skor ≥
median/mean, maka diberi kategori “1” untuk aktivitas tinggi.
56
6. Perilaku Sedentari
Variabel perilaku sedentari diukur menggunakan form Adolescent
Sedentari Activity Questionnaire (ASAQ) selama seminggu terakhir.
Responden mengisi form harian dengan bantuan enumerator dengan panduan
seperti menanyakan apa saja aktivitasnya dalam sehari, lalu enumerator akan
mengelompokannya dalam form ASAQ. Form berisi durasi sedentari selama
seminggu, baik saat sekolah maupun hari libur. Perhitungan dilanjutkan
dengan menjumlahkan seluruh durasi yang dikelompokan menjadi kategori
“0” untuk perilaku tidak baik, jika dilakukan ≥ 35 jam / minggu dan kategori
“1” untuk perilaku baik, jika dilakukan < 35 jam / minggu. Kuesioner
terdapat pada poin C1 sampai C11.
7. Praktek Pemberian Makan
Variabel praktek pemberian makan diukur melalui pertanyaan dari
kuesioner terbuka. Kuesioner terdiri dari 6 pertanyaan terkait kebiasaan
makan bersama keluarga dan jenis makanan yang tersedia. Hasil data akan
diberi kode pada setiap jawaban-jawabannya. Jawaban yang berisiko, seperti
kebiasaan makan pagi, siang dan malam yang tidak dilakukan bersama
keluarga, kebiasaaan makan gorengan/fastfood bersama keluarga yang sering,
serta ketersediaan makanan jenis gorengan dan olahan sayur yang ditumis
diberi skor 0 (nol). Sedangkan jawaban yang tidak berisiko seperti kebiasaan
makan pagi, siang dan malam bersama keluarga diberi skor 2; jarang memiliki
kebiasaan makan gorengan/fastfood bersama keluarga diberi skor 10;
57
ketersediaan makanan dengan olahan lauk yang tidak digoreng diberi skor 10;
olahan sayur yang direbus diberi skor 5. Selanjutnya, skor dijumlahkan dari
seluruh pertanyaan dan dicari nilai mediannya. Nilai median pada total skor
praktek pemberian makan adalah 14. Kategori dibedakan menjadi kelompok
“kurang baik‟, jika skor ≤ nilai median (14) dan “baik”, jika skor > nilai
median (14)
8. Kebiasaan Aktivitas Keluarga
Variabel kebiasaan aktivitas keluarga diukur melalui kuesioner yang
terdiri dari 4 pertanyaan. Hasil data akan diberi skor pada jawaban-jawaban
tertentu. Kebiasaan aktivitas bersama keluarga yang „tidak pernah‟ diberi skor
0; jawaban „jarang‟ diberi skor 2; jawaban „jarang‟ namun melakukan
aktivitas di luar rumah (menggunakan kendaraan) diberi skor 4; jawaban
„jarang‟ namun melakukan aktivitas fisik diberi skor 6; dan jawaban „sering‟
namun melakukan aktivitas di luar rumah (menggunakan kendaraan) diberi
skor 8; serta jawaban „sering‟ dengan melakukan aktivitas fisik diberi skor
10. Pertanyaan pada aktivitas yang dilakukan orangtua pada saat akhir pekan
atau hari libur dibagi menjadi 3 pilihan jawaban, yaitu (1) „tidak pernah‟
diberi skor 0; „jarang‟ diberi skor 2; dan „sering‟ diberi skor 4. Selanjutnya,
skor akan dijumlahkan dan dibedakan menjadi 4 kategori kebiasaan aktivitas
keluarga, yaitu „tidak pernah‟, jika total skor 0-1; „jarang‟, jika total skor 2-6;
„kadang-kadang‟, jika total skor 7-9; dan „sering‟, jika total skor ≥ 10.
58
9. Lingkungan Keluarga
Variabel lingkungan keluarga diukur melalui pertanyaan dari kuesioner
yang terdiri dari 4 pertanyaan. Hasil data akan diberi skor pada jawaban-
jawaban tertentu. Lingkungan keluarga yang tidak baik, seperti jumlah jam
menonton tv orangtua yang tinggi dan kurangnya pengawasan terhadap
aktivitas sedentari anak, akan diberi skor 5 dan lingkungan yang baik, seperti
jumlah jam menonton tv orangtua yang rendah dan tingginya kepedulian dan
pengawasan terhadap aktivitas sedentari anak akan diberi skor 10 pada
masing-masing pertanyaan. Selanjutnya, skor akan dihitung berdasarkan
seluruh pertanyaan. Lingkungan keluarga dibedakan menjadi dua kategori,
yaitu „0‟ untuk lingkungan keluarga yang kurang baik dengan total skor
kurang dari sama dengan nilai median (10); dan „1‟ untuk lingkungan
keluarga yang baik dengan total skor lebih dari nilai median (10).
10. Status Gizi Orangtua
Pengukuran IMT orangtua dilakukan dengan metode pengukuran
antropometri menggunakan alat bantu timbangan digital dan microtoise
selama dua kali, sehingga diperoleh rata-rata pengukuran. Hasil pengukuran
akan dianalisis dengan perhitungan indeks massa tubuh (kg/m2) berdasarkan
hasil ukur sebagai berikut : hasil perhitungan IMT dikatakan “gizi kurang”,
jika nilai IMT < 20 kg/m2
; “gizi normal”, jika nilai IMT 20-25 kg/m2
; dan
“gizi lebih”, jika nilai IMT > 25 kg/m2.
59
11. Pendidikan Orangtua
Variabel pendidikan orangtua diperoleh dengan metode wawancara, yaitu
menanyakan pendidikan terakhir orangtua responden, baik ibu dan ayah. Hasil
ukur akan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu „rendah‟, jika pendidikan
terakhirnya SD & SMP, dan „tinggi‟, jika pendidikan terakhirnya SMA & S1.
12. Penghasilan Orangtua
Variabel pendapatan orangtua diperoleh dengan metode wawancara, yaitu
menanyakan pendapatan selama satu bulan kepada orangtua responden, baik
ibu dan ayah. Hasil ukur akan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu „rendah‟, jika <
Rp 3.297.489 dan „tinggi‟, jika ≥ Rp 3.297.489
F. Manajemen Data
1. Editing (Memeriksa Data)
Penyuntingan data adalah kegiatan memeriksa kelengkapan dan kejelasan dari
hasil jawaban dalam kuesioner responden serta memastikan jawaban yang
diberikan lengkap dan jelas. Penyuntingan data dilakukan saat dilapangan setelah
sesaat responden menyelesaikan pengisian kuesioner agar mempermudah saat
tahap berikutnya.
60
2. Coding (Memberi Kode)
Pengodean data adalah kegiatan mengklarifikasikan atau mengelompokkan
data dengan memberi kode tertentu dari masing-masing pertanyaan. Pengodean
bertujuan untuk mempermudah saat tahap pemasukan data dan analisis data.
3. Entry (Memasukkan Data)
Pemasukan data adalah kegiatan memasukan data dengan bantuan program
software di komputer ke dalam program statistic. Data yang dimasukkan
merupakan koding jawaban kuesioner.
4. Cleaning (Pembersihan Data)
Pembersihan data adalah kegiatan membersihkan data dari kesalahan
memasukkan data yang kemungkinan masih terjadi. Dalam melakukan
pembersihan data biasanya dilakukan pengecekan kembali dengan melihat
distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisan dan
konsistensinya.
G. Analisa Data
Analisis data adalah metode yang digunakan untuk mengolah hasil penelitian guna
memperoleh kesimpulan. Data penelitian ini akan dianalisis secara kuantitatif deskriptif,
yang bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai variabel gizi lebih, asupan makan
(total asupan energi, persen karbohidrat, lemak dan protein dalam total energi), aktivitas
fisik, perilaku sedentari, praktek pemberian makan, kebiasaan aktivitas keluarga,
lingkungan keluarga, status gizi orangtua dan status pendidikan terakhir serta penghasilan
orangtua pada anak Sekolah Dasar Master yang termasuk gizi lebih tahun 2017.
61
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pada Bab ini akan dipaparkan hasil penelitian gambaran faktor risiko gizi lebih pada anak
Sekolah Dasar Masjid Terminal (Master) Kota Depok dalam bentuk tabel dan penjelasannya.
Pertama-tama akan disajikan hasil gambaran umum, baik dari kondisi di Sekolah Master dan
karakteristik anak dan orangtua responden. Selanjutnya, akan disajikan hasil penelitian
berdasarkan kecenderungan faktor risiko gizi lebih (asupan makan, aktivitas fisik, dan perilaku
sedentari) dengan variabel karakteristik keluarga dan pola asuh orangtua, serta variabel tingkat
pendidikan dan penghasilan orangtua.
A. Gambaran Umum
Sekolah Master merupakan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) yang berada
dibawah naungan Yayasan Bina Insan Mandiri yang ditujukan bagi masyarakat sekitar
terminal maupun luar terminal yang memiliki keterbatasan ekonomi. Selain sebagai
lembaga pendidikan, Sekolah Master juga bergerak dibidang sosial, dakwah, ekonomi
kerakyatan, serta pemberdayaan sosial bagi anak jalanan dan kaum dhuafa di sekitar
wilayah tersebut. Nama Sekolah Master merupakan sebuah akronim dari Masjid-
Terminal karena lokasi awal sekolah ini berada di sebuah bangunan yang berdekatan
dengan tempat ibadah yang ada di wilayah terminal kota Depok. Lokasi sekolah berada di
Jalan Margonda Raya No.58 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas Terminal
Terpadu Kota Depok. lokasinya tepat berada ditengah-tengah pusat perbelanjaan (ITC
Depok), Stasiun Kereta Api dan Pasar Tradisional Kemirimuka. Sekolah ini termasuk ke
dalam salah satu kategori daerah kumuh miskin perkotaan, karena berada di lingkungan
fasilitas transportasi masyarakat (terminal dan stasiun kereta api) dan pusat perbelanjaan
modern maupun tradisional (BPS, 2007). Sekolah Master memiliki lebih dari 8 kontainer
62
sebagai 15 ruang kelas dan 4 ruang pengajar, 1 ruang perpustakaan, 1 ruang lab-skill, 1
ruang kesenian, selain itu terdapat satu lapangan yang biasanya digunakan sebagai tempat
bermain futsal siswa-siswinya.
Sekolah Master juga memilki visi dan misi untuk dijadikan sebagai pedoman dalam
segala pencapaian yang diinginkan, diantaranya :
Visi
Meningkatkan sumber daya muslim untuk menyiapkan kebangkitan umat menuju
yang sejahtera dibawah naungan Al-Qur‟an dan sunnah.
Misi
1. Menyiapkan masyarakat yang mandiri, handal melalui keterampilan yepat
guna dan berhasil guna berdasarkan nilai-nilai kemandirian dan kemanusiaan
2. Menyelenggarakan pendidikan gratis dan berkualitas sehingga meningkatkan
kualitas sumber daya manusia sebagai pendukung kemandirian
3. Membangun kader masyarakat yang bersifat mengasuh dan membimbing
terutama bagi ayang-anak yang terpinggirkan.
Berdasarkan hasil screening yang telah dilakukan terhadap anak kelas 4-6 Sekolah
Dasar Master, diperoleh bahwa terdapat 20 dari 119 anak yang termasuk ke dalam
populasi gizi lebih. Distribusinya lebih banyak pada anak dengan kategori gizi gemuk,
yaitu 15 anak (75%) dan 5 anak (25%) termasuk kategori sangat gemuk. Berikut
distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik dan faktor risiko anak penderita gizi lebih
di Sekolah Dasar Master tahun 2017:
63
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan
Karakteristik dan Faktor Risiko Gizi Lebih
Variabel Total
n =20 %
Jenis Kelamin
Laki-laki 10 50.0
Perempuan 10 50.0
Umur
7-9 tahun 1 5.0
10-12 tahun 13 65.0
13-14 tahun 6 30.0
Total Asupan Energi
Lebih (>100% AKG) 11 55.0
Cukup (95-100 % AKG) 5 25.0
Kurang (<95 % AKG) 4 20.0
Persentase Asupan
Karbohidrat
Lebih (>55% AKG) 3 15.0
Cukup (50-55 % AKG) 6 30.0
Kurang (<50 % AKG) 11 55.0
Persentase Asupan Lemak
Lebih (>30% AKG) 19 95.0
Cukup (≤ 30% AKG) 1 5.0
Persentase Asupan Protein
Cukup (>15% AKG) 9 45.0
Kurang (≤ 15% AKG) 11 55.0
Aktivitas Fisik
Kurang Baik (total skor <67.5) 10 50.0
Baik (total skor ≥ 67.5) 10 50.0
Perilaku Sedentari
Tinggi (≥ 35 jam/minggu) 17 85.0
Sedang (<35 jam/minggu) 3 15.0
Berdasarkan Tabel 5.1, diperoleh data bahwa tidak terdapat perbedaan jenis kelamin
pada penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master tahun 2017. Pada variabel berikutnya,
penderita gizi lebih paling banyak tersebar pada rentang umur 10-12 tahun, yaitu 65%.
Anak penderita gizi lebih cenderung memiliki total asupan energi yang berlebih (55%),
persentase asupan karbohidrat yang kurang (55%), persentase asupan lemak berlebih
(95%), dan persentase asupan protein yang kurang (55%). Pada variabel aktivitas fisik,
64
tidak terdapat perbedaan antara aktivitas kurang baik dan baik. Selain itu, anak dengan
kategori gizi lebih cenderung memiliki perilaku sedentari yang tinggi (85%).
Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh data karakteristik keluarga, meliputi umur,
status pendidikan, penghasilan dan status gizi orangtua, serta variabel pola asuh meliputi
praktek pemberian makan, kebiasaan aktivitas keluarga dan lingkungan keluarga.
Berikut distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik keluarga dan pola asuh orangtua
pada anak penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master tahun 2017:
65
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan
Karakteristik Keluarga dan Pola Asuh Orangtua
Penderita Gizi Lebih
Variabel Total
n = 20 %
Umur Ibu
30 - 40 tahun 15 75.0
>40 tahun 5 25.0
Umur Ayah
30 – 40 tahun 13 65.0
>40 tahun 7 35.0
Status Gizi Lebih Ibu
Gizi Lebih (IMT ≥ 25 kg/m2) 9 45.0
Tidak Gizi Lebih (IMT < 25 kg/m2) 11 55.0
Status Gizi Lebih Ayah
Gizi Lebih (IMT ≥ 25 kg/m2) 3 18.75
Tidak Gizi Lebih (IMT < 25 kg/m2) 13 81.25
Pendidikan Ibu
Rendah (SD-SMP) 10 50.0
Tinggi (≥ SMA) 10 50.0
Pendidikan Ayah
Rendah (SD-SMP) 6 30.0
Tinggi (≥ SMA) 14 70.0
Penghasilan
Rendah (< Rp 3.297.489) 13 65.0
Tinggi (≥ Rp 3.297.489) 7 35.0
Praktek Pemberian Makan
Kurang Baik (total skor ≤ 14) 11 55.0
Baik (total skor > 14) 9 45.0
Kebiasaan Aktivitas Keluarga
Tidak Pernah 2 10.0
Jarang 10 50.0
Kadang-kadang 4 20.0
Sering 4 20.0
Lingkungan Keluarga
Kurang Baik 15 75.0
Baik 5 25.0
Berdasarkan Tabel 5.2, diperoleh data bahwa distribusi umur ibu dan ayah lebih
banyak pada rentang umur 30-40 tahun, yaitu 75% pada ibu dan 65% pada ayah. Pada
variabel status gizi orangtua, distribusi lebih banyak pada kategori tidak gizi lebih, yaitu
55% pada ibu dan 81.25% pada ayah. Sedangkan distribusi pendidikan ibu lebih banyak
pada kategori rendah, yaitu 80% dan distribusi pendidikan ayah lebih banyak pada
66
kategori tinggi, yaitu 70%. Dan berdasarkan penghasilan orangtua, distribusi lebih
banyak pada kategori rendah, yaitu 65%. Selain itu, distribusi variabel praktek pemberian
makan dan lingkungan keluarga, lebih banyak pada kategori kurang baik, yaitu 55% dan
75%. Distribusi variabel kebiasaan aktivitas keluarga lebih banyak pada kategori jarang
dengan persentase 50%.
B. Gambaran Faktor Risiko Asupan Makan (Total Asupan Energi, Persentase
Karbohidrat, Lemak dan Protein dalam Total Asupan Energi)
Asupan makan merupakan salah satu faktor risiko yang secara langsung dapat
mempengaruhi status gizi lebih pada anak. Dalam penelitian ini, asupan makan dibagi
menjadi total asupan energi, persentase karbohidrat, lemak, dan protein dalam total
asupan energi selama 2 kali 24 jam yang dirata-ratakan. Berikut gambaran hasil
penelitian pada faktor risiko asupan makan penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master
Tahun 2017.
1. Status Gizi Lebih Pada Faktor Risiko Asupan Makan
Asupan makan dibagi menjadi empat sub variabel, yaitu total asupan energi,
persentase karbohidrat, lemak, dan protein dalam total asupan energi. Masing-masing
variabel tersebut memiliki kecenderungan yang berbeda terhadap kategori gizi lebih.
Berikut distribusi frekuensi penderita gizi lebih berdasarkan asupan makan anak :
67
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Penderita Gizi Lebih
Berdasarkan Asupan Makan Anak
Variabel Asupan Makan
Status Gizi Lebih
Total Sangat
Gemuk Gemuk
n (%)
Total Asupan Energi
Lebih (>100% AKG) 3 (60.0) 8 (53.3) 11 (55.0)
Cukup (95-100 % AKG) 1 (20.0) 4 (26.7) 5 (25.0)
Kurang (<95 % AKG) 1 (20.0) 3 (20.0) 4 (20.0)
Asupan Energi (kkal) 2094 (1884.7-2302.3)*
Persentase Asupan
Karbohidrat
Lebih (>55% AKG) 0 (0.0) 3 (20.0) 3 (15.0)
Cukup (50-55 % AKG) 2 (40.0) 4 (26.7) 6 (30.0)
Kurang (<50 % AKG) 3 (60.0) 8 (53.3) 11 (55.0)
Asupan Karbohidrat
(gram) 264 (211.8-321.6)
*
Persentase Asupan
Lemak
Lebih (>30% AKG) 5 (100.0) 14 (93.3) 19 (95.0)
Cukup (≤ 30% AKG) 0 (0.0) 1 (6.7) 1 (5.0)
Asupan Lemak (gram) 87.82 (68.3-109.9)*
Persen Asupan Protein
Cukup (>15% AKG) 1 (20.0) 10 (66.7) 11 (55.0)
Kurang (≤ 15% AKG) 4 (80.0) 5 (33.3) 9 (45.0)
Asupan Protein (gram) 66.25 (48.4-86.6)*
*rata-rata asupan zat gizi (nilai minimal-nilai maksimal)
Berdasarkan Tabel 5.3, diketahui bahwa dari 20 anak yang memiliki status gizi
lebih, terdapat 55% anak yang memiliki total asupan energi berlebih, persentase
asupan karbohidratnya kurang, dan persen asupan proteinnya cukup. Sedangkan,
hampir seluruh anak memiliki persen asupan lemak berlebih, dengan persentase 95%.
Berdasarkan hasil data food recall, diketahui bahwa makanan yang banyak
menyumbangkan energi dari zat gizi karbohidrat adalah nasi putih dengan rata-rata
367.57 kkal per hari, mie instan dengan rata-rata 147.5 kkal per hari, dan nasi goreng
dengan rata-rata 72.9 kkal per hari. Sedangkan rata-rata makanan yang menyumbang
68
energi terbanyak dari zat gizi lemak adalah nasi goreng dengan rata-rata asupan 21.8
gram atau 169.7 kkal per hari dan jenis makanan yang digoreng (ayam, tempe, sosis,
gorengan) dengan rata-rata menyumbang 13.7 gram atau 123.2 kkal per hari. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh jumlah minyak dalam jenis makanan tersebut. Pada zat gizi
protein, daging ayam menyumbangkan rata-rata asupan tertinggi, yaitu 13.5 gram
atau 53.8 kkal per hari. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penderita gizi lebih
di Sekolah Dasar Master cenderung memiliki total asupan energi yang berlebih
dengan persentase asupan karbohidrat yang kurang, lemak yang berlebih, serta
protein yang cukup. Selain itu, jenis makanan yang menyumbangkan energi tertinggi
adalah nasi putih, nasi goreng dan daging ayam pada masing-masing zat gizi.
2. Asupan Makan Berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga
Asupan makan responden penderita gizi lebih memiliki pengaruh langsung dari
kebiasaan dan lingkungan keluarga, terutama praktek pemberian makan yang
biasanya dilakukan oleh ibu. Selain itu, gambaran status gizi orangtua juga termasuk
ke dalam karakteristik keluarga yang dapat secara tidak langsung membentuk
kebiasaan anak dalam mengonsumsi makanan. Berikut gambaran distribusi total
asupan energi, persen karbohidrat dan lemak berdasarkan pola asuh orangtua dan
karakteristik keluarga :
69
Tabel 5.4 Distribusi Asupan Makan Penderita Gizi Lebih Berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga
1.PPM = Praktek Pemberian Makan, kategori dibedakan berdasarkan nilai median dari total skor ; 2. TAE = Total Asupan Energi Anak; 3. PAK = Persen Asupan Karbohidrat
Anak, dihitung berdasarkan total kalori dari karbohidrat terhadap TAE; 4. PAL = Persen Asupan Lemak Anak, dihitung berdasarkan total kalori dari lemak terhadap TAE; 5.
Kategori status gizi ibu dan ayah, Gizi Lebih : ≥ 25kg/m2, Tidak Gizi Lebih : < 25 kg/m2; 6.Hanya ada 16 ayah dari 20 ayah yang dapat diukur antropometrinya dikarenakan
bekerja dan sudah tidak tinggal satu rumah dengan anak. L =Lebih dari AKG; C=Cukup, sesuai AKG; K=Kurang dari AKG
Berdasarkan Tabel 5.4, diketahui bahwa anak yang memiliki total asupan energi berlebih dan persentase asupan karbohidrat
kurang, serta persentase asupan lemak berlebih, cenderung lebih banyak terjadi pada orangtua dengan kategori praktek pemberian
makan yang baik, dibandingkan dengan kategori praktek pemberian makan kurang baik, dengan persentase masing-masing 66.7%,
55.6% dan 100%. Praktek pemberian makan diukur berdasarkan kebiasaan makan bersama keluarga, kebiasaaan makan
gorengan/fastfood bersama keluarga, serta ketersediaan makanan dan olahan sayur.
Variabel
TAE2
PAK3
PAL4
Lebih Cukup Kurang Lebih Cukup Kurang Lebih Cukup
n (%)
PPM1
Kurang Baik 5 (45.0) 4 (36.4) 2 (18.2) 2 (18.2) 3 (27.3) 6 (54.5) 10 (90.9) 1 (9.1)
Baik 6 (66.7) 1 (11.1) 2 (22.2) 1 (11.1) 3 (33.3) 5 (55.6) 9 (100.0) 0 (0.0)
Status Gizi Ibu5
Gizi Lebih 4 (44.4) 3 (33.3) 2 (22.2) 2 (22.2) 2 (22.2) 5 (55.6) 8 (88.9) 1 (11.1)
Tidak Gizi Lebih 7 (63.6) 2 (18.2) 2 (18.2) 1 (9.1) 4 (36.4) 6 (54.5) 11 (100) 0 (0.0)
Status GiziAyah 5,6
Gizi Lebih 2 (66.7) 1 (33.3) 0 (0.0) 1 (33.3) 0 (0.0) 2 (66.7) 3 (100) 0 (0.0)
Tidak Gizi Lebih 7 (53.8) 3 (23.1) 3 (23.1) 2 (15.4) 5 (38.5) 6 (46.2) 12 (92.3) 1 (7.7)
70
Berdasarkan Tabel 5.4 juga diketahui bahwa anak dengan total asupan energi dan
persentase asupan lemak yang berlebih, cenderung lebih banyak terjadi pada kategori
ibu yang tidak gizi lebih, dibandingkan dengan ibu yang gizi lebih, dengan persentase
berturut-turut 63.6% dan 100%. Sedangkan pada anak dengan persentase asupan
karbohidrat yang kurang, cenderung terjadi pada ibu dengan kategori gizi lebih,
dengan persentase 55.6%. Pengukuran variabel status gizi pada ibu diukur
berdasarkan berat badan dan tinggi badan yang dirata-ratakan dari dua kali
pengukuran. Pada tabel distribusi frekuensi diatas terdapat kecenderungan bahwa
anak yang memiliki total asupan energi dan persentase asupan lemak berlebih,
cenderung terjadi pada ibu dengan kategori tidak gizi lebih, begitupun sebaliknya
pada anak yang memiliki persentase asupan karbohidrat yang kurang.
Pada Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa anak yang memiliki total asupan energi
berlebih, persentase asupan karbohidrat kurang dan persentase asupan lemak berlebih,
cenderung terjadi pada ayah dengan kategori gizi lebih, dengan persentase berturut-
turut 66.7%, 66.7% dan 100%. Pengukuran variabel status gizi pada ayah diukur
berdasarkan berat badan dan tinggi badan yang dirata-ratakan dari dua kali
pengukuran. Pada tabel distribusi frekuensi diatas terdapat kecenderungan bahwa
anak yang memiliki risiko pada variabel asupan makan, cenderung terjadi pada ayah
dengan kategori gizi lebih.
71
3. Asupan Makan Berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi
Lingkungan keluarga akan membentuk pola asupan makan anak, dimana hal
tersebut dipengaruhi oleh tingkatan lingkungan yang lebih luas, yaitu status sosial
ekonomi. Asupan makan responden penderita gizi lebih dipengaruhi secara tidak
langsung oleh karakteristik masyarakat dan sosial, yaitu status sosial ekonomi.
Karakteristik sosial meliputi tingkat pendidikan orangtua, sedangkan karakteristik
ekonomi diukur dari penghasilan orangtua. Berikut gambaran distribusi total asupan
energi, persentase asupan karbohidrat dan persentase asupan lemak berdasarkan status
sosial ekonomi :
72
Tabel 5.5 Distribusi Total Asupan Energi Berdasarkan Status Pendidikan Ibu, Pendidikan Ayah dan Penghasilan pada
Penderita Gizi Lebih
1.Kategori pendidikan ibu dan ayah, rendah = SD & SMP, tinggi = SMA & S1; 2.Penghasilan orangtua dibedakan menjadi rendah , jika < 3.297.489 dan tinggi, jika ≥
3.297.489; 3. TAE = Total Asupan Energi, ; 4. PAK = Persen Asupan Karbohidrat, dihitung berdasarkan total kalori dari karbohidrat terhadap TAE; 5. PAL = Persen Asupan
Lemak, dihitung berdasarkan total kalori dari lemak terhadap TAE. L =Lebih dari AKG; C=Cukup, sesuai AKG; K=Kurang dari AKG
Berdasarkan Tabel 5.5, diketahui bahwa anak yang memiliki total asupan energi berlebih dan persentase asupan karbohidrat yang
kurang, cenderung lebih banyak pada ketegori pendidikan ibu yang rendah, dibandingkan dengan kategori pendidikan ibu yang tinggi,
dengan persentase masing-masing 60%. Sedangkan anak yang memiliki persentase asupan lemak yang berlebih cenderung terjadi
pada kategori pendidikan ibu yang tinggi. Variabel tingkat pendidikan diukur berdasarkan dua kategori, yaitu rendah dan tinggi.
Variabel
TAE3
PAK4
PAL5
Lebih Cukup Kurang Lebih Cukup Kurang Lebih Cukup
n (%)
Pendidikan Ibu1
Rendah 6 (60.0) 1 (10.0) 3 (30.0) 2 (20.0) 2 (20.0) 6 (60.0) 9 (90.0) 1 (10.0)
Tinggi 5 (50.0) 4 (40.0) 1 (10.0) 1 (10.0) 4 (40.0) 5 (50.0) 10 (100.0) 0 (0.0)
Pendidikan Ayah
Rendah 3 (50.0) 1 (16.7) 2 (33.3) 1 (16.7) 1 (16.7) 4 (66.7) 6 (100.0) 0 (0.0)
Tinggi 8 (57.1) 4 (28.6) 2 (14.3) 2 (14.3) 5 (35.7) 7 (50.0) 13 (92.9) 1 (7.1)
Penghasilan2
Rendah 7 (53.8) 3 (23.1) 3 (23.1) 1 (7.7) 5 (38.5) 7 (53.8) 13 (100.0) 0 (0.0)
Tinggi 4 (57.1) 2 (28.6) 1 (14.3) 2 (28.6) 1 (14.3) 4 (57.1) 6 (85.7) 1 (14.3)
73
Tingkat pendidikan rendah, jika orangtua memiliki tingkat pendidikan terakhir pada
tingkat SD atau SMP; tingkat pendidikan tinggi, jika orangtua memiliki tingkat
pendidikan terakhir pada tingkat SMA atau Sarjana. Berdasarkan hasil penelitian ini,
tidak terdapat perbedaan antara ibu yang memiliki kategori pendidikan rendah dan
tinggi. Pada tabel distribusi frekuensi diatas terdapat kecenderungan bahwa anak yang
memiliki total asupan energi berlebih dan persentase asupan karbohidrat yang kurang,
cenderung terjadi pada ibu dengan kategori pendidikan yang rendah, begitupun
sebaliknya pada anak yang memiliki persentase asupan lemak yang berlebih.
Berdasarkan Tabel 5.5 juga dapat diketahui bahwa anak dengan total asupan
energi berlebih cenderung terjadi pada kategori pendidikan ayah yang tinggi, dengan
persentase 57.1%. Sedangkan anak yang memiliki persentase asupan karbohidrat
yang kurang dan persentase asupan lemak berlebih, cenderung lebih banyak pada
kategori pendidikan ayah yang rendah, dibandingkan dengan kategori pendidikan
ayah yang tinggi, dengan persentase berturut-turut 66.7% dan 100%. Pada tabel
distribusi frekuensi diatas terdapat kecenderungan bahwa anak yang memiliki
persentase asupan karbohidrat yang kurang dan persentase asupan lemak berlebih,
cenderung terjadi pada ayah dengan kategori pendidikan yang rendah.
Selain itu, berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa anak yang memiliki total
asupan energi berlebih dan persentase karbohidrat kurang, cenderung lebih banyak
pada kategori penghasilan tinggi, dibandingkan dengan kategori penghasilan rendah,
dengan persentase masing-masing 57.1%. Sedangkan anak yang memiliki persentase
asupan lemak yang berlebih, seluruhnya terjadi pada kategori penghasilan rendah.
Variabel penghasilan orangtua dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah, jika
74
penghasilan orangtua kurang dari Rp 3.297.489 per bulan; dan kategori tinggi, jika
penghasilan orangtua lebih dari sama dengan Rp 3.297.489 per bulan. Berdasarkan
hasil penelitian, diperoleh bahwa hampir seluruh anak penderita gizi lebih memiliki
orangtua dengan kategori penghasilan yang rendah, dengan persentase 65%. Pada
tabel distribusi frekuensi diatas terdapat kecenderungan bahwa anak yang memiliki
persentase asupan lemak yang berlebih, cenderung terjadi pada orangtua dengan
kategori penghasilan yang rendah.
C. Gambaran Faktor Risiko Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor risiko yang secara langsung dapat
mempengaruhi status gizi lebih pada anak. Pola asuh orangtua dalam aktifitas fisik
mempengaruhi pola aktivitas fisik pada anak. Hal tersebut dikarenakan orangtua
merupakan panutan bagi anaknya. Selain itu, karakteristik masyarakat, sosial demografi
juga dapat mempengaruhi aktivitas fisik secara tidak langsung. Berikut gambaran hasil
penelitian pada faktor risiko aktivitas fisik responden penderita gizi lebih di Sekolah
Dasar Master :
1. Gizi Lebih Berdasarkan Aktivitas Fisik
Data faktor risiko aktivitas fisik diperoleh dari indeks aktivitas fisik yang
merupakan total skor pada pertanyaan dalam kuesioner. Kategori dibedakan
berdasarkan nilai median untuk menunjukan akivitas fisik masing-masing responden.
Nilai median digunakan dalam pembagian kategori dikarenakan data yang telah
terkumpul mempunyai distribusi yang tidak normal. Berikut distribusi frekuensi
penderita gizi lebih berdasarkan aktivitas fisik :
75
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Penderita Gizi Lebih
Berdasarkan Aktivitas Fisik
Aktivitas
Fisik**
Status Gizi Lebih
Sangat Gemuk Gemuk
n (%) n (%)
Kurang Baik 4 (80.0) 6 (40.0)
Baik 1 (20.0) 9 (60.0)
Total 5 (100.0) 15 (100.0) *proporsi berdasarkan sangat gemuk-gemuk **kurang baik (total skor aktivitas fisik
< 67.5) dan baik (total skor aktivitas fisk ≥ 67.5
Berdasarkan Tabel 5.6, diketahui bahwa anak dengan kategori sangat gemuk
cenderung memiliki aktivitas fisik yang kurang baik, dibandingkan anak dengan
status gizi gemuk, dengan persentase 80%. Begitu pula sebaliknya, anak dengan
kategori gizi gemuk cenderung memiliki aktivitas fisik yang baik, dengan persentase
60%. Berdasarakan hasil data kuesioner modifikasi Physical Activity Questionnaire-
Children (PAQ-C) diketahui bahwa aktivitas fisik yang paling sering dilakukan anak
penderita gizi lebih adalah berjalan kaki dan bermain futsal (bagi anak laki-laki).
Rata-rata durasi berjalan kaki adalah sekitar 15-30 menit pada saat pergi dan pulang
sekolah. Pada saat sekolah, anak lebih banyak melakukan kegiatan duduk-duduk dan
mengobrol dengan teman dibandingkan aktivitas lainnya seperti bermain, dan kejar-
kejaran dengan teman. Hal lainnya juga diketahui bahwa di Sekolah Dasar Master
tidak terdapat pelajaran olahraga.
Pada saat di rumah, hanya beberapa anak yang melakukan aktivitas fisik
bersepeda, mayoritas lainnya jarang untuk melakukan aktivitas fisik dirumah,
maupun lingkungan rumah. Pada saat akhir pekan, kebanyakan anak tidak melakukan
aktivitas fisik di luar rumah, walaupun ada beberapa anak yang melakukan kegiatan
seperti, lari atau jogging bersama orangtua, berenang dan berkunjung ke rumah
76
saudara. Dengan demikian, terdapat beberapa hal yang diduga sebagai penyebab
kurangnya aktivitas fisik pada anak penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master.
2. Aktivitas Fisik Berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga
Aktivitas fisik responden penderita gizi lebih dipengaruhi langsung dari kebiasaan
dan lingkungan keluarga, terutama kebiasaan orangtua dalam beraktivitas fisik pada
waktu luang yang dimiliki keluarga. Selain itu, gambaran status gizi orangtua juga
termasuk ke dalam karakteristik keluarga yang secara tidak langsung dapat
membentuk kebiasaan anak dalam beraktivitas fisik. Berikut gambaran distribusi
aktivitas fisik berdasarkan pola asuh orangtua dan karakteristik keluarga :
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik Responden
Berdasarkan Kebiasaan Aktivitas Fisik Orangtua,
Status Gizi Orangtua pada Penderita Gizi Lebih
Variabel
Aktivitas Fisik Anak
Kurang Baik Baik
n (%) n (%)
Kebiasan Aktivitas
Fisik Orangtua
Tidak Pernah 2 (100.0) 0 (0.0)
Jarang 5 (50.0) 5 (50.0)
Kadang-Kadang 2 (50.0) 2 (50.0)
Sering 1 (25.0) 3 (75.0)
Total 10 (50.0) 10 (50.0)
Status Gizi Ibu
Gizi Lebih 6 (66.7) 3 (33.3)
Tidak Gizi Lebih 4 (36.4) 6 (63.6)
Total 10 (50.0) 10 (50.0)
Status Gizi Ayah
Gizi Lebih 2 (66.7) 1 (33.3)
Tidak Gizi Lebih 7 (53.8) 6 (46.2)
Total 9 (56.2) 7 (43.8)
Berdasarkan Tabel 5.7, diketahui bahwa anak yang memiliki aktivitas fisik
kurang baik, cenderung memiliki orangtua yang „tidak pernah‟ melakukan kebiasaan
aktivitas fisik selama 1 bulan terakhir, dengan persentase 100%. Kebiasaan aktivitas
77
keluarga diukur berdasarkan kebiasaan orangtua melakukan aktivitas fisik saat akhir
pekan atau hari libur selama satu bulan terakhir. Pada hasil penelitian ini, diketahui
bahwa tidak banyak orangtua yang rutin untuk melakukan kegiatan aktivitas fisik,
baik bersama keluarga maupun individu. Hanya terdapat beberapa orangtua yang
melakukan kebiasaan aktivitas fisik seperti lari, jogging, bersepeda dan berjalan-jalan
di pusat perbelanjaan modern.
Selain itu, anak yang memiliki aktivitas fisik kurang baik, cenderung lebih banyak
terjadi pada ibu dan ayah dengan kategori gizi lebih, dibandingkan dengan ibu dan
ayah dengan kategori tidak gizi lebih, dengan persentase masing-masing 66.7%.
Dengan demikian, terdapat kecenderungan antara anak yang memiliki aktivitas fisik
yang kurang baik dengan kategori aktivitas fisik orangtua yang tidak pernah, serta ibu
dan ayah dengan kategori gizi lebih.
3. Aktivitas Fisik Berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi
Kebiasaan aktivitas fisik keluarga akan membentuk pola dan perilaku anak dalam
beraktivitas fisik, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh tingkatan lingkungan yang
lebih luas. Aktivitas fisik responden penderita gizi lebih dipengaruhi secara tidak
langsung oleh karakteristik masyarakat dan sosial, yaitu status sosial ekonomi.
Karakteristik sosial meliputi pendidikan orangtua, sedangkan karakteristik ekonomi
diukur dari penghasilan orangtua. Berikut gambaran distribusi aktivitas fisik
berdasarkan karakteristik masyarakat, sosial dan demografi :
78
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik Berdasarkan Pendidikan Ibu,
Pendidikan Ayah dan Penghasilan Orangtua pada Penderita Gizi Lebih
Variabel
Aktivitas Fisik Anak
Kurang Baik Baik
n (%) n (%)
Pendidikan Ibu1
Rendah 4 (40.0) 6 (60.0)
Tinggi 6 (60.0) 4 (40.0)
Pendidikan Ayah1
Rendah 2 (33.3) 4 (66.7)
Tinggi 8 (57.1) 6 (42.9)
Penghasilan2
Rendah 5 (38.5) 8 (61.5)
Tinggi 5 (71.4) 2 (28.6) 1.kategori pendidikan ibu dan ayah, rendah = SD & SMP, tinggi = SMA & S1;
2.Penghasilan orangtua dibedakan menjadi rendah , jika < 3.297.489 dan tinggi, jika ≥
3.297.489;
Berdasarkan Tabel 5.8, diketahui anak yang memiliki aktivitas fisik kurang baik,
cenderung lebih banyak terjadi pada kategori pendidikan ibu dan ayah yang tinggi,
serta kategori penghasilan yang tinggi, dengan persentase berturut-turut 60%, 57.1%
dan 71.4%. Variabel pendidikan orangtua dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
tingkat pendidikan rendah, jika orangtua memiliki tingkat pendidikan terakhir pada
tingkat SD atau SMP; tingkat pendidikan tinggi, jika orangtua memiliki tingkat
pendidikan terakhir pada tingkat SMA atau Sarjana. Pada variabel penghasilan
orangtua, kategori dibagi menjadi dua, yaitu rendah, jika penghasilan orangtua kurang
dari Rp 3.297.489 per bulan; dan kategori tinggi, jika penghasilan orangtua lebih dari
sama dengan Rp 3.297.489 per bulan. Pada tabel distribusi frekuensi diatas terdapat
kecenderungan bahwa anak yang memiliki aktivitas fisik yang kurang baik terjadi
pada kategori pendidikan ibu dan ayah, serta penghasilan yang tinggi.
79
D. Gambaran Faktor Risiko Perilaku Sedentari
Perilaku sedentari merupakan salah satu faktor risiko yang secara langsung dapat
mempengaruhi status gizi lebih pada anak. Pola asuh orangtua dalam bentuk pengawasan
dan kebiasaan menonton televisi orangtua dapat mempengaruhi pola perilaku sedentari
pada anak. Hal tersebut dikarenakan orangtua merupakan panutan bagi anaknya. Selain
itu, karakteristik masyarakat, sosial demografi juga dapat mempengaruhi perilaku
sedentari secara tidak langsung. Berikut gambaran hasil penelitian pada faktor risiko
perilaku sedentari responden penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master :
1. Gizi Lebih Berdasarkan Perilaku Sedentari
Faktor risiko perilaku sedentari dibagi menjadi dua kategori, yaitu tinggi (>35 jam
/minggu) dan sedang (<35 jam/minggu). Keduanya memiliki kecenderungan yang
berbeda pada status gizi lebih tertentu. Berikut distribusi frekuensi penderita gizi
lebih berdasarkan perilaku sedentari responden :
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penderita Gizi Lebih
Berdasarkan Perilaku Sedentari
Perilaku
Sedentari*
Status Gizi Lebih
Sangat Gemuk Gemuk
n (%) n (%)
Tinggi 5 (100.0) 12 (80.0)
Sedang 0 (0.0) 3 (20.0)
Total 5 (100.0) 15 (100.0) * kategori perilaku sedentari tinggi, jika ≥ 35 jam/minggu; perilaku sedentari sedang,
jika < 35 jam/ minggu
Berdasarkan Tabel 5.9, diketahui bahwa dari 20 anak yang memiliki status gizi
lebih, terdapat 85% anak dengan perilaku sedentari yang tinggi. Anak dengan kedua
kategori gizi lebih, cenderung memiliki perilaku sedentari yang tinggi, dengan
persentase 100% pada kategori sangat gemuk dan 80% pada kategori gemuk. Pada
tabel distribusi frekuensi diatas terdapat kecenderungan bahwa anak yang memiliki
80
perilaku sedentari yang tinggi, cenderung terjadi pada anak yang memiliki kategori
gizi sangat gemuk.
Berdasarkan hasil data Adolescent Sedentary Activity Questionnaire (ASAQ),
diperoleh bahwa durasi yang lama pada perilaku sedentari anak penderita gizi lebih di
Sekolah Dasar Master didominasi oleh kegiatan edukasi, yaitu belajar, mengaji dan
membaca buku dengan rata-rata 20 jam/minggu atau ± 3 jam/hari. Durasi terlama
kedua adalah kegiatan yang berkaitan dengan SSR, yaitu menonton televisi, bermain
video game dan komputer dengan rata-rata 12 jam/minggu atau ± 1.5 jam/hari.
Selanjutnya, durasi hal yang berkaitan dengan sosial, budaya dan travel, masing-
masing memiliki rata-rata 6 jam/minggu, 5 jam/minggu, dan 2 jam/minggu.
2. Perilaku Sedentari Berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik
Keluarga
Perilaku sedentari responden penderita gizi lebih dipengaruhi langsung dari
kebiasaan dan lingkungan keluarga, terutama pengawasan dan kebiasaan menonton
televisi orangtua yang dilakukan pada waktu luang yang dimiliki keluarga. Selain itu,
gambaran status gizi orangtua juga termasuk ke dalam karakteristik keluarga yang
secara tidak langsung dapat membentuk kebiasaan anak dalam perilaku sedentari.
Berikut gambaran distribusi perilaku sedentari berdasarkan pola asuh orangtua dan
karakteristik keluarga :
81
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Perilaku Sedentari Berdasarkan Lingkungan
Keluarga dan Status Gizi Orangtua pada Penderita Gizi Lebih
Variabel
Perilaku Sedentari Anak
Tinggi Sedang
n (%) n (%)
Lingkungan Keluarga*
Kurang Baik 13 (86.7) 2 (13.3)
Baik 4 (80.0) 1 (20.0)
Total 17 (85.0) 3 (15.0)
Status Gizi Ibu
Gizi Lebih 9 (100.0) 0 (0.0)
Tidak Gizi Lebih 8 (72.7) 3 (27.3)
Total 17 (85.0) 3 (15.0)
Status Gizi Ayah
Gizi Lebih 2 (66.7) 1 (33.3)
Tidak Gizi Lebih 12 (92.3) 1 (7.7)
Total 14 (87.5) 2 (12.5) *kategori lingkungan keluarga dibagi menjadi kurang baik jika total skor ≤ 10 dan baik jika total
skor > 10
Berdasarkan Tabel 5.10, diketahui bahwa anak yang memiliki perilaku sedentari
yang tinggi, cenderung lebih banyak pada kategori lingkungan keluarga yang kurang
baik, dibandingkan dengan lingkungan keluarga yang baik, dengan persentase
86.7%. Selain itu, anak yang memiliki perilaku sedentari tinggi cenderung memiliki
ibu dengan kategori gizi lebih dan ayah dengan kategori tidak gizi lebih, dengan
persentase berturut-turut 100% dan 92.3%. Variabel lingkungan keluarga diukur
berdasarkan durasi menonton televisi pada orangtua, pengawasan orangtua terhadap
aktivitas menatap layar pada anak, seperti aktivitas menonton televisi, bermain game
online, dan bermain telepon genggam. Sedangkan variabel status gizi pada ibu dan
ayah diukur berdasarkan berat badan dan tinggi badan yang dirata-ratakan dari dua
kali pengukuran. Pada tabel distribusi frekuensi diatas terdapat kecenderungan bahwa
anak yang memiliki perilaku sedentari yang tinggi, cenderung terjadi pada lingkungan
keluarga yang kurang baik dan ibu dengan kategori gizi lebih.
82
3. Perilaku Sedentari Berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan
Demografi
Lingkungan keluarga akan membentuk pola dan perilaku sedentari pada anak,
dimana hal tersebut dipengaruhi oleh tingkatan lingkungan yang lebih luas. Perilaku
sedentari responden penderita gizi lebih dipengaruhi secara tidak langsung oleh
karakteristik masyarakat dan sosial, yaitu status sosial ekonomi. Karakteristik sosial
meliputi pendidikan orangtua (rendah & tinggi), sedangkan karakteristik ekonomi
diukur dari penghasilan orangtua. Berikut gambaran distribusi perilaku sedentari
berdasarkan karakteristik masyarakat, sosial dan demografi :
Tabel 5.11 Distribusi Perilaku Sedentari Berdasarkan Pendidikan Ibu,
Pendidikan Ayah dan Penghasilan Orangtua pada Penderita Gizi Lebih
Variabel
Perilaku Sedentari Anak
Tinggi Sedang
n (%) n (%)
Pendidikan Ibu1
Rendah 7 (70.0) 3 (30.0)
Tinggi 10 (100.0) 0 (0.0)
Pendidikan Ayah1
Rendah 3 (50.0) 3 (50.0)
Tinggi 14 (100.0) 0 (0.0)
Penghasilan2
Rendah 11 (84.6) 2 (15.4)
Tinggi 6 (85.7) 1 (14.3) 1.Kategori pendidikan ibu dan ayah, rendah = SD & SMP, tinggi = SMA & S1;
2.Penghasilan orangtua dibedakan menjadi rendah , jika < 3.297.489 dan tinggi, jika ≥
3.297.489.
Berdasarkan Tabel 5.11, diketahui bahwa anak yang memiliki perilaku sedentari
yang tinggi, cenderung lebih banyak pada ibu dan ayah dengan kategori pendidikan
tinggi, dan penghasilan tinggi, dengan persentase berturut-turut 100%, 100% dan
85.7%. Pada tabel distribusi frekuensi diatas terdapat kecenderungan bahwa anak
83
yang memiliki perilaku sedentari yang kurang baik terjadi pada ibu dan ayah dengan
kategori pendidikan yang tinggi, serta kategori penghasilan yang tinggi.
84
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada Bab ini, peneliti akan membahas hasil penelitian berdasarkan teori, fakta di lapangan
dan hasil penelitian sebelumnya, sehingga diperoleh alur kemungkinan sebab-akibat kejadian
gizi lebih pada anak Sekolah Dasar Masjid Terminal (Master) di Kota Depok tahun 2017.
Pertama-tama akan dibahas hasil penelitian berdasarkan karakteristik anak dan orangtua,
selanjutnya dibahas kecenderungan frekuensi berdasarkan faktor risiko gizi lebih (total asupan
energi, persentase asupan karbohidrat dan lemak dalam total energi, aktivitas fisik, dan perilaku
sedentari) dengan karakteristik keluarga dan pola asuh orangtua (praktek pemberian makan,
kebiasaan aktivitas keluarga, lingkungan keluarga, status gizi orangtua), serta tingkat pendidikan
dan penghasilan orangtua.
A. Gambaran Umum Gizi Lebih
Gizi lebih adalah keadaan tubuh saat mengalami kelebihan berat badan yang terjadi
akibat asupan energi yang masuk lebih banyak dibandingkan dengan energi yang
dikeluarkan (Kemenkes, 2012). Gizi lebih bukan hanya dapat dialami oleh orang dewasa
atau lansia, anak dan remaja juga mempunyai risiko terhadap gizi lebih. Anak yang
mengalami gizi lebih dapat berlanjut hingga dewasa, terutama anak dalam masa
pertumbuhan. Akibat dari gizi lebih pada anak sekolah dasar bukan hanya dialami pada
saat masa anak-anak saja, melainkan juga saat dewasa (Crowle & Turner, 2010).
85
1. Gambaran Karakteristik Penderita Gizi Lebih
Hasil pengukuran antropometri dengan penimbangan berat badan dan tinggi
badan pada anak Sekolah Dasar Master tahun 2017 menunjukan bahwa 20 anak
termasuk ke dalam kategori gizi lebih (>1 SD) menurut IMT/U, distribusinya lebih
banyak pada anak dengan kategori gemuk dengan persentase 75% dan kategori sangat
gemuk dengan persentase 25%. Namun, jika dilihat berdasarkan seluruh populasi
anak kelas 4-6 yang bersekolah di Sekolah Dasar Master, prevalensi gizi lebih
sejumlah 16.8% dari total 119 anak.
Jika dibandingkan dengan prevalensi gizi lebih pada anak yang berumur 10-13
tahun atau kelas 4-6 SD, prevalensi gizi lebih di Sekolah Dasar Master cukup tinggi,
seperti pada hasil penelitian di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Pondok Pinang Jakarta
(kelas 4-6 SD) yang menunjukan prevalensi gizi lebih sejumlah 4.1% (Nurfatimah,
2014). Sama halnya di Kota Makassar, prevalensi gizi lebih pada anak jalanan dengan
umur 10-13 tahun sejumlah 9.2% (Isbach dkk., 2013). Namun terdapat hasil yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi gizi lebih di Sekolah Dasar Master,
antara lain penelitian yang dilakukan oleh Vertikal (2013) pada anak dengan umur 8-
11 tahun di SD Negeri Pondok Cina Depok Tahun 2012, yaitu sejumlah 44.3%.
Selain itu, prevalensi yang lebih tinggi pada anak yang berumur 10-11 tahun dari 3
Sekolah Kristen Swasta di Manado, lebih dari setengahnya mengalami gizi lebih
yaitu, 58.4% (Lumoindong, dkk., 2013).
Berdasarkan konsep Davison & Birch, (2001), kejadian gizi lebih pada anak
disebabkan oleh kombinasi dan interaksi dari faktor lingkungan, baik keluarga
maupun masyarakat. Oleh karenanya, kejadian gizi lebih di lingkungan yang berbeda
akan memberikan prevalensi, dampak dan karakteristik yang berbeda pula. Seperti
86
pada hasil penelitian sebelumnya di sekolah swasta dan lingkungan sekitar ibu kota
yang memiliki lingkungan sosial ekonomi menengah ke atas menunjukan angka yang
lebih tinggi dibandingkan kejadian gizi lebih di Sekolah Dasar Master. Meskipun
begitu, menurut Pena & Bacallao (2000), telah terjadi peningkatan kejadian gizi lebih
pada kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah di hampir seluruh negara
berkembang.
Hasil penelitian di Sekolah Dasar Master juga menunjukan bahwa tidak terdapat
perbedaan proporsi antara anak laki-laki dan perempuan. Namun, terdapat
kecenderungan yang lebih tinggi pada proporsi anak laki-laki pada kategori gemuk,
yaitu 60% dan anak perempuan pada kategori sangat gemuk, yaitu 80%. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nurfatimah, (2014), yaitu kategori gizi
gemuk lebih banyak dialami oleh anak perempuan, dengan persentase 61.9%. Namun
tidak sejalan dengan Myrick, (2014) yang menunjukan bahwa anak laki-laki
mempunyai proporsi yang lebih tinggi pada kategori sangat gemuk, yaitu 19.6%,
sedangkan anak perempuan hanya 13.6%. Besarnya proporsi kategori sangat gemuk
pada anak perempuan di Sekolah Dasar Master kemungkinan disebabkan oleh faktor
risiko utama, seperti asupan makan yang lebih tinggi, aktivitas fisik yang kurang aktif
dan perilaku sedentari yang tinggi pada anak perempuan.
Menurut (Do et al., 2015), anak laki-laki memiliki kebiasaan bermain lebih
banyak dibandingkan dengan anak perempuan, terutama di wilayah perkotaan.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa dengan kebiasaan aktivitas yang lebih
tinggi maka pengeluaran energipun semakin banyak. Berbeda dengan anak
perempuan yang memiliki aktivitas yang lebih rendah, proses pengeluaran energi
87
semakin dikit dan berdampak pada ketidakseimbangan energi yang mempengaruhi
kelebihan berat badan. Walaupun anak laki-laki memiliki kebiasaan mengonsumsi
makanan apa saja (mengandung zat gizi lemak) lebih tinggi dibandingkan anak
perempuan, proses pengeluaran energi lebih menentukan (Ciptaningtyas and Pratiwi,
2012). Seperti pada penelitian ini, anak laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas
fisik, seperti bermain bola saat waktu istirahat maupun saat pulang sekolah. Berbeda
dengan anak perempuan penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master, aktivitasnya
lebih banyak dihabiskan untuk mengobrol saat waktu istirahat.
Hasil penelitian di Sekolah Dasar Master, anak dengan umur 10 – 12 tahun
memiliki proporsi yang lebih tinggi, yaitu 65%. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Myrick (2014), bahwa anak dengan umur 10-13 tahun memiliki proporsi
yang lebih tinggi terhadap kejadian gizi lebih, yaitu 39%, dibandingkan dengan anak
yang berumur 14-17 tahun, yaitu 27.9%. Hasil penelitian lainnya memperlihatkan
proporsi lebih tinggi terjadi anak yang berumur 9-10 tahun, yaitu 57.5%, sedangkan
umur 11-12 tahun hanya 40% (Maidelwita, 2012). Perbedaan kecenderungan ini
dapat disebabkan oleh penggunaan kelompok umur dan metode pengambilan sampel
yang berbeda, hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam membandingkan hasil.
Bagaimanapun, perbedaan tersebut tidak terlalu menjadi hal yang substansial dalam
melakukan perbandingan hasil penelitian. Besarnya proporsi gizi lebih pada anak
dengan umur 10-12 tahun di Sekolah Dasar Master kemungkinan disebabkan oleh
karakteristik pada kriteria inklusi, karena penelitian ini hanya dilakukan pada anak
kelas 4-6 SD yang mayoritas umurnya antara 10-13 tahun.
88
Menurut Aritonang (2003), gizi lebih cenderung akan permanen (tetap) bila
terjadi pada saat anak berumur 5-7 tahun dan 4-11 tahun. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pengawasan yang maksimal terhadap faktor risiko gizi lebih pada saat anak
yang berada pada rentang umur tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan hal ini
terjadi juga pada kelompok umur lainnya. Pencegahan yang dilakukan sedini
mungkin akan lebih efektif untuk membentuk pola hidup anak yang sehat, sehingga
perlu pola asuh dan lingkungan keluarga yang yang baik, serta lingkungan
masyarakat dan sosial yang mendukung.
Salah satu bentuk intervensi yang baik untuk anak penderita gizi lebih adalah
melalui empat cara, yaitu (1) Pencegahan ekstra; (2) Manajemen control berat badan
yang terstruktur (Structured Weight Management); (3) Intervensi multidisiplin yang
menyeluruh (Comperhensive Multidisciplinary Intervention); (4) Intervensi pelayanan
tersier (Tertiary Care Intervention). Keempat cara tersebut memiliki tujuan utama
yaitu membiasakan seluruh anggota keluarga untuk memakan makanan sehat (tinggi
nilai gizi) dan meningkatkan aktivitas fisik untuk mencapai status gizi normal
(Brown, 2011).
2. Gambaran Karakteristik Orangtua Responden
Karakterisitk orangtua responden dilihat berdasarkan umur dan status gizi
orangtua. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.2, diperoleh data bahwa
distribusi umur ibu dan ayah lebih banyak pada rentang umur 30-40 tahun, yaitu 75%
pada ibu dan 65% pada ayah. Hal ini hanya menggambarkan kondisi orangtua
responden.
89
Pada variabel status gizi orangtua, distribusi lebih banyak pada kategori tidak gizi
lebih, yaitu 55% pada ibu dan 81.25% pada ayah. Sedangkan distribusi pendidikan
ibu lebih banyak pada kategori rendah, yaitu 80% dan distribusi pendidikan ayah
lebih banyak pada kategori tinggi, yaitu 70%. Dan berdasarkan penghasilan orangtua,
distribusi lebih banyak pada kategori rendah, yaitu 65%.
B. Gambaran Faktor Risiko Asupan Makan (Total Asupan Energi, Persentase
Karbohidrat dan Lemak dalam Total Energi)
Angka kecukupan energi, persen karbohidrat dan lemak yang telah ditetapkan oleh
Kementerian Kesehatan sejak tahun 2013 bagi anak dengan umur 7-9 tahun adalah 1850
kkal, 55% dan 30%. Sementara bagi anak laki-laki dengan umur 10-12 tahun, angka
kecukupan energi sebesar 2100 kkal, dan 2475 kkal untuk umur 13-15 tahun. Pada anak
perempuan, angka kecukupan energi pada umur 10-12 tahun sebesar 2000 kkal dan 2125
kkal untuk umur 13-15 tahun. Anjuran persen asupan karbohidrat dan lemak pada anak
laki-laki dan perempuan dengan umur 10-15 tahun adalah 55% dan 30% dari total energi
(Kemenkes, 2014). Asupan makanan dibutuhkan untuk bahan bakar metabolisme zat-zat
dalam tubuh, namun jika dikonsumsi tidak sesuai anjuran, hal tersebut dapat memberikan
dampak yang berbeda pada masing-masing orang, tergantung dengan kondisi fisiologis
tubuh. Pada kasus gizi lebih, makanan bisa menjadi bumerang bagi penderitanya. Ketika
asupan makanan tidak seimbang dengan pengeluaran energi, maka tubuh akan
memprosesnya sebagai cadangan makanan yang berakibat pada kelebihan cadangan
lemak tubuh. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab gizi lebih.
90
1. Status Gizi Lebih pada Faktor Risiko Asupan Makan
Asupan makan pada penderita gizi lebih dapat menjadi faktor yang cukup
berisiko. Ketidakseimbangan asupan energi seringkali menjadi salah satu
karakteristik pada anak penderita gizi lebih (Brown, 2011). Anak yang menderita gizi
lebih biasanya memiliki total asupan energi dan asupan lemak yang berlebih (Davison
& Birch, 2001). Kelebihan tersebut seringkali tidak digunakan dan pada akhirnya
tersimpan sebagai cadangan lemak dalam tubuh. Cadangan lemak yang terus-menerus
disimpan akan mempengaruhi bentuk fisik dan status gizi anak.
a. Total Asupan Energi (TAE)
Berdasarkan Tabel 5.3 diperoleh data bahwa penderita gizi lebih di Sekolah
Dasar Master pada kelas 4-6 dengan rentang umur 9-13 tahun yang berjumlah 20
anak menunjukan bahwa sebanyak 55% anak memiliki asupan energi berlebih
dengan rata-rata asupan 2094 kkal per hari. Sedangkan rata-rata total asupan
energi nasional berdasarkan AKG tahun 2013 pada anak umur 7-15 tahun adalah
2110 kkal (Kemenkes, 2013). Dari kedua angka tersebut, dapat dikatakan bahwa
rata-rata asupan energi penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master berada diatas
angka nasional.
Hasil food recall menunjukan bahwa anak penderita gizi lebih di Sekolah
Dasar Master memiliki kebiasaan jajan makanan dan minuman yang dijual di
lingkungan sekolah, diantaranya makanan gorengan dan minuman manis (sachet).
Selain itu, asupan karbohidrat dari jenis nasi, baik nasi putih, nasi goreng atau
nasi uduk pada anak juga menjadi salah satu makanan yang menyumbangkan
energi terbanyak. Hal tersebutlah yang berkontribusi dalam peningkatan total
91
asupan energi harian. Penelitian cross sectional menunjukan bahwa anak yang
asupan energi hariannya tinggi memiliki kecenderungan peningkatan status berat
badan dan cadangan lemak (Davison & Birch, 2001).
Penderita gizi lebih pada usia sekolah cenderung mengonsumsi energi dan
lemak lebih banyak dibandingkan dengan anak dengan kategori gizi normal. Hasil
yang sama menunjukan bahwa asupan energi dan persentase energi dari lemak
yang tinggi memiliki kecenderungan terhadap faktor risiko asupan yang
mengakibatkan peningkatan status gizi lebih (Liu et al., 2010). Teori menjeslakan
bahwa kelebihan energi dari asupan makanan akan disimpan sebagai lemak tubuh
(Almatsier, 2010). Oleh karena itu, kelebihan asupan energi yang berasal dari
asupan karbohidrat, lemak dan protein yang dikonsumsi secara terus-menerus
dalam jangka panjang dapat menyebabkan simpanan lemak yang semakin
menumpuk sehingga menyebabkan gizi lebih. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian (Vertikal, 2012) yang menunjukan bahwa anak yang memiliki asupan
energi yang tinggi memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk menjadi gizi lebih
dibandingkan dengan yang asupannya energinya cukup.
b. Persentase Asupan Karbohidrat
Berdasarkan Tabel 5.3 diperoleh data bahwa penderita gizi lebih di Sekolah
Dasar Master pada kelas 4-6 dengan rentang umur 9-13 tahun yang berjumlah 20
anak menunjukan bahwa sebanyak 55% anak memiliki persentase asupan
karbohidrat yang kurang, dengan rata-rata asupan karbohidrat adalah 264 gram
per hari. Sedangkan rata-rata asupan karbohidrat nasional berdasarkan AKG tahun
2013 pada anak umur 7-15 tahun adalah 290 gram. Sementara hasil peneltian
92
Vertikal, (2012) menunjukan bahwa sebagian besar responden (71.3%) memiliki
asupan karbohidrat yang cukup dengan rata-rata asupan 273.58 gram per hari.
Dari ketiga angka tersebut, dapat dikatakan bahwa rata-rata asupan karbohidrat
anak penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master berada dibawah rata-rata
asupan karbohidrat nasional dan penelitian di SDN Pondok Cina 1 Kota Depok
(Vertikal, 2012).
Berdasarkan data hasil food recall 2x24 jam pada penderita gizi lebih di
Sekolah Dasar Master, diketahui bahwa makanan yang menyumbangkan energi
terbanyak dari zat gizi karbohidrat adalah nasi putih dengan rata-rata
menyumbang 367.57 kkal per hari, mie instan dengan rata-rata 147.5 kkal per
hari, dan nasi goreng dengan rata-rata menyumbang 72.9 kkal per hari.
Berdasarkan teori, zat gizi karbohidrat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
sederhana dan kompleks. Karbohidrat sederhana terdiri dari sukrosa, maltosa dan
laktosa yang biasanya tergandung dalam makanan dengan indeks glikemik tinggi
(>70), yaitu gula, beras putih, mie, roti dan susu (laktosa). Sedangkan karbohidrat
kompleks terdiri dari kelompok serealia, glikogen dan serat, yang biasanya
terkandung dalam jenis makanan yang memiliki indeks glikemik lebih rendah
(medium : 56-69 & rendah : <55 ). Jenis makanan dengan indeks glikemik
medium diantaranya beras cokelat dan kentang (sweet potato), sedangkan
makanan dengan indeks glikemik rendah biasanya terdapat pada madu, oatmeal,
jagung, dan singkong (Brown, 2011). Semakin tinggi nilai IG, maka rasa kenyang
terhadap makanan akan lebih cepat hilang, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu,
93
asupan makan yang didominasi oleh makanan dengan nilai IG yang tinggi dapat
meningkatkan kegemukan.
Hasil penelitian (Vertikal, 2012) menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara asupan karbohidrat dengan kejadian gizi lebih pada anak sekolah
dasar. Seperti pada teori Menurut Davison & Birch, (2001), jumlah total asupan
energi harian dengan persentase yang lebih tinggi pada zat gizi karbohidrat dan
lemak yang dikonsumsi secara berangsur-angsur akan menyebabkan kelebihan
gizi pada anak. Namun, dibandingakan kedua zat gizi tersebut, kelebihan asupan
lemak paling menentukan gizi lebih.
c. Persentase Asupan Lemak
Berdasarkan Tabel 5.3 diperoleh data bahwa penderita gizi lebih di Sekolah
Dasar Master pada kelas 4-6 dengan rentang umur 9-13 tahun yang berjumlah 20
anak menunjukan bahwa sebanyak 95% anak memiliki persentase asupan lemak
berlebih. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan pada anak penderita gizi
lebih di SMP Pembangunan Jaya Bintaro tahun 2012 yang menunjukan bahwa
sebanyak 85.07% anak memiliki asupan lemak yang berlebih (Ciptaningtyas,
2012).
Hasil penelitian juga menunjukan rata-rata asupan lemak penderita gizi lebih
di Sekolah Dasar Master adalah 87.82 gram per hari sedangkan rata-rata asupan
lemak nasional berdasarkan AKG tahun 2013 pada anak umur 7-15 tahun adalah
72.6 gram. Sementara hasil penelitian Vertikal, (2012) menunjukan bahwa lebih
dari setengah responden (59%) memiliki asupan lemak yang tinggi (>25% Total
Energi AKG) dengan rata-rata asupan 62.64 gram per hari. Dari ketiga angka
94
tersebut, dapat dikatakan bahwa rata-rata asupan lemak anak penderita gizi lebih
di Sekolah Dasar Master berada diatas rata-rata asupan lemak nasional dan hasil
penelitian di SDN Pondok Cina 1 Kota Depok (Vertikal, 2012).
Berdasarkan data food recall, diketahui bahwa makanan yang menyumbang
energi terbanyak dari zat gizi lemak adalah nasi goreng dengan rata-rata
menyumbangkan 21.8 gram atau 169.7 kkal per hari, jenis makanan yang
digoreng (ayam, tempe, sosis, gorengan) dengan rata-rata menyumbang 13.7 gram
atau 123.2 kkal per hari. Hal ini dapat dipengaruhi oleh jumlah minyak dalam
jenis makanan, seperti diketahui bahwa minyak merupakan salah satu jenis
makanan yang memiliki kandungan lemak yang tinggi.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aninditya (2011) yang memperoleh
data bahwa jenis makanan fast food dan gorengan merupakan kelompok makanan
tinggi lemak yang sering dikonsumsi anak sekolah penderita gizi lebih, dengan
frekuensi rata-rata sebanyak 2-4 kali seminggu. Sebuah studi menunjukan
hubungan antara anak yang mengonsumsi makanan gorengan (fried food away
from home) dengan frekuensi yang lebih banyak, cenderung memiliki berat badan
yang lebih besar, asupan total energi yang berlebih dan kualitas asupan makan
yang lebih rendah (Taveras, dkk. 2005).
Menurut teori, zat gizi lemak memiliki fungsi, diantaranya sebagai sumber
energi, asam lemak esensial, pengangkut vitamin larut lemak (vitamin A,D,E,K),
menghemat protein, memelihara suhu tubuh dan pelindung organ tubuh, serta
dapat memberi rasa kenyang dan kelezatan dalam makanan. Berdasarkan
ikatannya, lemak dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu lemak tidak jenuh dan
95
lemak jenuh. Lemak tidak jenuh merupakan jenis lemak yang lebih baik, karena
rantainya lebih mudah dilepas menjadi energi dibandingkan dengan lemak jenuh.
Lemak tidak jenuh terdiri dari omega-3 dan omega-6, biasanya terkandung dalam
ikan yang hidup di perairan dalam (salmon & tuna), telur, biji-bijian, alpukat,
minyak zaitun (olive oil) dan minyak kacang. Sedangkan lemak jenuh biasanya
terkandung dalam produk daging merah, keju, butter/margarin, krim, dan
makanan yang digoreng (deep fry) (Brown, 2011).
Peran lemak sangat penting bagi tubuh untuk menyimpan kelebihan energi
yang berasal dari makanan, sehingga ketika tubuh tidak dapat asupan makanan,
cadangan lemak akan memecah molekulnya sehingga dapat dijadikan sumber
energi. Asupan lemak yang tinggi akan lebih mudah disimpan dibandingkan
dengan zat gizi makro lainnya, seperti karbohidrat dan protein (Davison and
Birch, 2001). Namun saat cadangan lemak dalam tubuh berlebih, maka dapat
mengakibatkan kelebihan berat badan (Crowle and Turner, 2010). Dan jika dalam
jangka waktu yang lama, cadangan lemak tidak digunakan, dapat menjadi salah
satu penyebab dari penyakit degeneratif, salah satunya adalah penyakit jantung
(osteoarthritis, hipertensi dan lain-lain) (Davison and Birch, 2001).
Hasil penelitian (Vertikal, 2012), diperoleh bahwa responden yang
mempunyai asupan lemak yang tinggi akan berisiko 4 kali menjadi gizi lebih
dibandingkan dengan responden yang asupan lemaknya cukup. Asupan lemak
yang tinggi akan lebih mudah menyebabkan gizi lebih. Hal ini disebabkan oleh
zat gizi lemak yang mengandung dua kali lebih banyak energi daripada
karbohidrat dan protein, yaitu 9 kkal (Brown, 2011).
96
d. Persentase Asupan Protein
Berdasarkan Tabel 5.3 diperoleh data bahwa penderita gizi lebih di Sekolah
Dasar Master pada kelas 4-6 dengan rentang umur 9-13 tahun yang berjumlah 20
anak menunjukan bahwa sebanyak 55% anak memiliki persentase asupan protein
>15% AKG. Sementara penelitian yang dilakukan pada anak penderita gizi lebih
di SMP Pembangunan Jaya Bintaro tahun 2012 menunjukan bahwa sebanyak
61.2% anak memiliki asupan protein yang lebih dari AKG (Ciptaningtyas, 2012).
Terdapat perbedaan pada kedua penelitian, dimana rata-rata penderita gizi lebih di
Sekolah Dasar Master cenderung lebih rendah asupan proteinnya. Perbedaan
tersebut kemungkinan terjadi akibat rentang umur dan lokasi serta status sosial
ekonomi sekolah yang berbeda.
Hasil penelitian juga menunjukan rata-rata asupan protein penderita gizi lebih
di Sekolah Dasar Master adalah 66.25 gram per hari sedangkan rata-rata asupan
protein nasional berdasarkan AKG tahun 2013 pada anak umur 7-15 tahun adalah
61.2 gram. Sementara hasil penelitian Vertikal, (2012) menunjukan bahwa hampir
seluruh anak mempunyai asupan protein yang tinggi (>100% AKG Protein)
dengan rata-rata asupan 59.41 gram per hari. Dari ketiga angka tersebut, dapat
dikatakan bahwa rata-rata asupan protein anak penderita gizi lebih di Sekolah
Dasar Master berada diatas rata-rata asupan protein nasional dan hasil penelitian
di SDN Pondok Cina 1 Kota Depok (Vertikal, 2012).
Berdasarkan data food recall, diketahui bahwa makanan yang menyumbang
energi terbanyak dari zat gizi protein adalah daging ayam dan olahannya dengan
rata-rata menyumbangkan 14.77 gram atau 59.1 kkal per hari, berbagai jenis ikan
97
(ikan tongkol, ikan teri goreng, ikan kembung, ikan bawal dan ikan lele) dengan
rata-rata menyumbang 7.71 gram atau 30.85 kkal per hari. Dengan demikian,
dapat diketahui bahwa sumber protein yang lebih banyak dikonsumsi adalah
sumber protein hewani.
Hasil penelitian (Vertikal, 2012), tidak terdapat hubungan yang bermakna
atara asupan protein dengan gizi lebih. Berdasarkan teori, protein mempunyai
hubungan dengan gizi lebih, karena protein menyumbang sekitar 4 kkal energi
dalam 1 gramnya. Kelebihan asupan protein juga dapat menyebabkan energi yang
dikonsumsi dalam tubuh berlebih, sehingga energi tersebut dapat di simpan dalam
cadangan lemak tubuh (Davison and Birch, 2001).
Berdasarkan hasil penelitian, persentase asupan lemak berlebih dari total asupan
energi pada penderita gizi lebih memiliki persentase 95%, dengan penyumbang
energi tertinggi berasal dari jenis makanan yang melalui proses penggorengan. Oleh
karena itu, pembatasan asupan makanan yang digoreng perlu dilakukan untuk
menurunkan total asupan energi harian anak untuk mengurangi kelebihan cadangan
lemak yang berakhibat pada kelebihan berat badan.
Kebiasaan dan pola asupan makan pada anak sekolah dasar sudah mulai
terbentuk, namun belum sepenuhnya menjadi kebiasaan yang permanen (Kim & Lee,
2009). Oleh karenanya, solusi yang dapat dilakukan adalah dengan merubah perilaku
anak melalui perbaikan kondisi lingkungan. Lingkungan keluarga di rumah perlu
dijadikan contoh bagi anak, dengan cara meningkatkan pengetahuan gizi orangtua
agar dapat disalurkan melalui perilaku dalam mengontrol asupan makan anak dan
memberikan contoh kebiasaan yang baik, terutama pembatasan pada makanan yang
98
digoreng. Selain itu, perlu adanya keterkaitan pelayanan kesehatan setempat
(puskesmas atau klinik) dengan sekolah dalam meningkatkan informasi dalam
menangani dan menanggulangi gizi lebih yang terjadi pada anak sekolah dasar.
2. Asupan Makan berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga
Menurut Davison & Birch (2001), terdapat kesamaan kebiasaan dan pola makan
orangtua dan anak, baik rasa, pemilihan makanan, dan respon terhadap rasa lapar dan
kenyang. Pola makan orangtua tidak akan jauh berbeda dengan anak, hal tersebut
disalurkan melalui praktek pemberian makan pada anak. Berdasarkan banyak hasil
penelitian menilai bahwa terdapat hubungan genetik secara langsung antara status gizi
orangtua dan anak, hal tersebut diperkuat dengan beberapa penelitian yang
menunjukan bahwa orangtua yang gizi lebih akan menentukan lingkungan yang dapat
mendukung faktor risiko gizi lebih pada anaknya.
Hasil penelitian menunjukan hasil yang berbeda, hal tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5.4, dimana anak yang memiliki total asupan energi berlebih dan persentase
asupan karbohidrat kurang, serta persentase asupan lemak berlebih, cenderung lebih
banyak terjadi pada orangtua dengan kategori praktek pemberian makan yang baik,
dengan persentase masing-masing 66.7%, 55.6% dan 100%. Hal ini sejalan dengan
penelitian Putri (2015), yang menunjukan bahwa anak dengan asupan energi yang
tidak sesuai (> AKG dan < AKG), lebih banyak pada kategori praktek pemberian
makan yang baik dengan persentase 34.2%, dibandingkan dengan anak dengan
praktek pemberian makan yang kurang baik.
Praktek pemberian makan diukur berdasarkan kebiasaan makan bersama
keluarga, kebiasaaan makan gorengan/fastfood bersama keluarga, serta ketersediaan
99
makanan dan olahan sayur. Lebih dari setengah responden memiliki praktek
pemberian makan yang kurang baik, namun persentase menunjukan angka yang lebih
tinggi pada praktek pemberian makan yang baik terhadap asupan makan anak yang
berisiko (asupan energi berlebih, persentase karbohidrat kurang dan persentase lemak
berlebih). Hal ini kemungkinan terjadi karena orangtua, khususnya ibu, tidak
mengetahui anjuran atau batasan dalam mengonsumsi jenis makanan, terutama dari
jenis zat gizi lemak (gorengan). Selain itu, kemungkinan lainnya adalah orangtua atau
ibu tidak dapat mengontrol asupan makan anak di sekolah.
Seperti pada hasil wawancara terhadap ibu responden yang menyatakan bahwa
ibu lebih membebaskan anaknya untuk mengonsumsi makanan jajanan saat di
sekolah, namun saat di rumah, ketersediaan makanan juga lebih banyak dengan
olahan gorengan. Hasil penelitian Traveras (2005) menunjukan bahwa makanan
olahan gorengan yang berasal dari luar rumah memiliki kualitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan makanan yang diolah di rumah, dikarenakan makanan gorengan
yang dijual di luar rumah menggunakan bahan yang ditujukan untuk keuntungan
ekonomi pedagang. Kemungkinan lainnya adalah penggunaan bahan saat
menggoreng makanan yang kurang bersih dan menggunakan bahan-bahan yang
memberikan keuntungan yang besar untuk pedagang. Praktek makan inilah yang
tidak dapat di kontrol oleh orangtua penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master,
sehingga meskipun orangtua memberikan praktek makan yang baik, belum tentu
asupan makan anak juga baik.
Kebiasaan jajan di sekolah menjadi salah satu kebiasaan yang tidak dapat
dikontrol orangtua. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa hampir setiap hari
100
seluruh anak mengonsumsi minuman manis (sachet) dengan rata-rata maksimal 2 kali
sehari, dimana minuman tersebut memiliki kadar karbohidrat sederhana yang tinggi,
yaitu gula. Selain itu jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari lebih banyak melalui
proses penggorengan, seperti nasi goreng, tempe goreng, dan jenis makanan gorengan
lainnya (bakwan dan pastel). Dan berdasarkan hasil food recall diperoleh bahwa
hampir seluruh anak penderita gizi lebih tidak mengonsumsi buah. Seperti diketahui
bahwa buah merupakan salah satu jenis serat makanan yang dapat mengontrol asupan
energi lainnya, sehingga dapat menurunkan risiko kejadian gizi lebih pada anak
(Kimble, 2014). Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian di Sekolah Dasar
Master, variabel asupan makan anak penderita gizi lebih kemungkinan kurang terkait
dengan variabel praktek pemberian makan.
Pada variabel karakteristik keluarga lainnya, yaitu status gizi lebih pada orangtua
juga dikaitkan dengan praktek dalam pemberian makan yang berisiko pada kejadian
gizi lebih pada anak. Hasil penelitian menunjukan proporsi anak dengan total asupan
energi dan persentase asupan lemak yang berlebih cenderung terjadi pada ibu yang
tidak termasuk gizi lebih, dengan persen tase 63.6% dan 100%, namun cenderung
terjadi pada ayah yang termasuk gizi lebih.
Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian bahwa ibu yang memiliki status gizi
lebih cenderung memberikan anaknya makanan yang rendah nutrisi dan tinggi energi
(Kimble, 2014). Sama halnya pada penelitian lainnya yang menunjukan anak yang
mempunyai ibu dengan gizi lebih akan cenderung mengonsumsi persen lemak dalam
total energi lebih banyak dibandingkan dengan anak yang mempunyai ibu dengan
status gizi lainnya. Hasil penelitian di Kanada menunjukan bahwa orangtua yang
101
berstatus gizi lebih berhubungan erat dengan kejadian gizi lebih pada anak, dan
merupakan faktor risiko yang tidak dapat dicegah (Kuhle,dkk., 2010).
Menurut Davison & Birch (2001), praktek pemberian makan, pengetahuan dan
ketersediaan makan di rumah lebih mempengaruhi praktek dan pola asupan makan,
dibandingkan status gizi lebih pada orangtua. Hal ini dikarenakan status gizi lebih
orangtua merupakan prediktor terjadinya gizi lebih pada anak. Oleh karena itu, status
gizi ibu tidak terlalu mempengaruhi asupan anak, melainkan praktek pemberian
makan. Praktek pemberian makan yang lebih baik dan berdasarkan anjuran AKG
akan lebih memberikan efek yang baik dalam membentuk pola asupan makan anak
yang tidak berisiko terhadap gizi lebih. Praktek pemberian makan yang tidak berisiko
dapat ditingkatkan melalui peningkatan pengetahuan gizi dalam mencegah kejadian
gizi lebih pada anak (Alrashidi, 2016). Peningkatan pengetahuan gizi orangtua dapat
diperoleh dari pelayanan kesehatan dan atau media massa lainnya. Sehingga
pengetahuan yang diperoleh dapat disalurkan melalui cara mendapatkan, mengolah,
serta menyediakan makanan yang lebih sehat kepada anak, diantaranya meningkatkan
ketersediaan buah dan sayur.
3. Asupan Makan berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi
Status sosial ekonomi dan faktor psikologi dapat membentuk persepsi orangtua
mengenai berat badan yang baik untuk anak. Menurut Savage, dkk. (2007), pada 80%
orangtua dengan status sosial ekonomi rendah menganggap bahwa anak yang gemuk
adalah anak yang status gizinya termasuk normal, jika dibandingkan dengan anak
yang lebih kurus. Di Australia, pengaruh pembelian jenis makanan dilatarbelakangi
oleh tingkat pendapatan dan pendidikan mereka.
102
Hasil penelitian pada Tabel 5.5 menunjukan bahwa anak yang memiliki total
asupan energi berlebih dan persentase karbohidrat kurang, cenderung lebih banyak
pada kategori penghasilan tinggi, dibandingkan dengan kategori penghasilan rendah,
dengan persentase masing-masing 57.1%. Sama halnya dengan penelitian di
Yogyakarta terhadap 244 anak penderita gizi lebih menunjukan bahwa orangtua
dengan pendapatan tinggi, cenderung memiliki anak dengan status gizi lebih (91.8%).
Sehingga asupan energi yang berlebih kemungkinan terjadi pada anak dengan
orangtua yang pendapatannya tinggi. Berbeda dengan hasil penelitian lainnya, ibu
dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki anak dengan gizi lebih
(81.97%) (Arundhana, 2013).
Menurut Myrick, (2014), pendidikan orangtua tidak terlalu mempengaruhi asupan
makan anak dibandingkan dengan aktivitas fisik anak, melainkan tingkat pengetahuan
gizi. Seperti diketahui bahwa pengetahuan yang diperoleh orangtua, terutama ibu
tidak selalu didapatkan pada saat di sekolah, melainkan dari budaya setempat dan
pengaruh media. Orangtua dengan tingkat pengetahuan gizi yang baik cenderung
akan memilih makanan yang lebih sehat untuk anaknya (Hendrie, dkk., 2013)
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa anak yang memiliki total asupan
energi berlebih dan persentase asupan karbohidrat yang kurang, cenderung lebih
banyak pada ketegori pendidikan ibu yang rendah, dibandingkan dengan kategori
pendidikan ibu yang tinggi, dengan persentase masing-masing 60%. Sedangkan anak
yang memiliki persentase asupan lemak yang berlebih cenderung terjadi pada
kategori pendidikan ibu yang tinggi. Variabel tingkat pendidikan diukur berdasarkan
dua kategori, yaitu rendah dan tinggi.
103
Sedangkan anak penderita gizi lebih di Sekolah Master yang memiliki persentase
asupan lemak berlebih, cenderung lebih banyak pada kategori pendidikan ayah yang
rendah, dengan persentase 100%. Dan anak yang memiliki persentase asupan lemak
yang berlebih, seluruhnya terjadi pada kategori penghasilan rendah. Hal ini sejalan
dengan penelitian Veldhuis dkk., (2013) yang menunjukan bahwa orangtua dengan
tingkat pendidikan yang rendah memiliki anak dengan peningkatan risiko gizi lebih.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat kemungkinan pendidikan dan penghasilan orangtua
yang rendah menghasilan tingkat pengetahuan yang rendah dan kemampuan dalam
membeli makanan sehat yang kurang. Seperti dikatakan oleh Crowle & Turner
(2010), bahwa makanan sehat cenderung memiliki nilai jual yang lebih tinggi
dibandingkan dengan makanan yang mengandung energi dan lemak yang tinggi.
Sehingga pendapatan orangtua dapat secara tidak langsung mempengaruhi asupan
makan, terutama zat gizi lemak.
Menurut Crowle & Turner (2010), saat ini telah terjadi banyak pergeseran
perilaku, yaitu dengan membandingkan manfaat makanan dan keefisiensian
pengeluaran, terlepas dari pengetahuan akan gizi yang baik. Harga dari suatu
makanan akan menentukan masyarakat untuk membelinya atau tidak, makanan yang
tinggi energi dan rendah gizi cenderung mempunyai harga yang lebih murah
dibandingkan dengan makanan sehat lainnya. Hal inilah yang menjadi salah satu
risiko pada kelompok masyarakat menengah ke bawah. Seperti pada hasil penelitian
ini, kondisi lingkungan yang berada di wilayah terminal, stasiun kereta api, pusat
perbelanjaan modern dan tradisional membuat akses terhadap makanan yang murah
sangat tinggi. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, diketahui bahwa di sekitar
104
sekolah terdapat lebih dari 10 pedagang jajanan yang menjual makanan dan minuman
yang menyajikan makanan murah dan berenergi tinggi, diantaranya seblak, cilor,
pempek, gorengan (pastel, risol, bakwan), sosis bakar, nasi goreng, mie goreng,
berbagai macam minuman sachet, dan lain-lain. Semua jenis makanan dan minuman
memilki nilai harga yang cukup murah, yakni dari harga mulai Rp 500,- sampai Rp
5000,-. Lokasinya yang berada di sekitar terminal dan stasiun, membuat akses
terhadap makanan sehat yang kurang.
Berbeda halnya pada masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke atas yang
memiliki lingkungan fisik tempat tinggal atau sekolah yang berbeda dengan wilayah
Sekolah Dasar Master. Seperti hasil penelitian Lumoindong, dkk (2013), faktor
penyebab terjadinya gizi lebih pada anak sekolah usia 10-12 tahun di sekolah swasta
dengan sosial ekonomi menengah keatas di Manado antara lain asupan makan yang
berlebih dari jenis olahan serba instan, minuman soft drink, makanan jajannan seperti
makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog) yang tersedia di kantin sekolah.
C. Gambaran Faktor Risiko Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan kegiatan yang dapat menyeimbangkan asupan energi dalam
tubuh. Pengeluaran energi yang dilakukan saat beraktivitas fisik dapat memberikan efek
yang sangat luas, selain dapat menyeimbangan energi, meningkatkan kemampuan fungsi
tulang, otot dan system pernafasan, aktivitas fisik juga dapat menurunkan risiko-risiko
penyakit, seperti penyakit hipertensi, kardiovaskuler, stroke, diabetes mellitus dan depresi
(WHO, 2016). Aktivitas fisik pada anak termasuk salah satu kebiasaan yang penting
untuk membentuk kebiasaan gaya hidup sehat yang akan berlanjut hingga remaja dan
105
dewasa. Dengan meningkatnya kejadian gizi lebih di negara-negara berkembang, maka
aktivitas fisik pada anak menjadi salah satu faktor yang dapat dikontrol, selain perilaku
sedentari (Brown, 2011).
1. Status Gizi Lebih pada Faktor Risiko Aktivitas Fisik
Hasil penelitian pada Tabel 5.6 menunjukan bahwa aktivitas fisik penderita gizi
lebih di Sekolah Dasar Master tidak memiliki perbedaan pada kategori baik dan
kurang baik. Namun, terdapat perbedaan proporsi pada kategori sangat gemuk dan
gemuk. Proporsi anak dengan aktivitas fisik yang kurang aktif cenderung lebih tinggi
pada anak dengan kategori sangat gemuk (40%). Sebaliknya, anak yang memiliki
aktivitas fisik yang baik, cenderung terjadi pada anak dengan status gizi gemuk
(90%).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar Pondok Cina
Kota Depok, yang menunjukan bahwa proporsi anak yang memiliki aktivitas kurang
baik cenderung lebih tinggi pada anak yang penderita gizi lebih, dengan persentase
58.1% (Vertikal, 2012). Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian lainnya yang
menunjukan bahwa anak yang tidak rutin melakukan olahraga atau aktivitas fisik
memiliki peluang risiko gizi lebih sebesar 1,35 kali dibandingkan dengan anak yang
rutin berolahraga (Sartika, 2011). Sehingga, anak penderita gizi lebih, khususnya gizi
sangat gemuk cenderung memiliki tingkat aktivitas yang rendah.
Berdasarkan hasil penelitian di Sekolah Dasar Master menunjukan bahwa
mayoritas anak penderita gizi lebih tidak memiliki waktu dan tempat yang cukup
untuk bermain dan beraktiviatas fisik. Waktu anak di sekolah lebih banyak dihabiskan
untuk belajar dan sekedar duduk-duduk sambil mengobrol dengan teman-temannya
106
pada jam istirahat dibandingkan untuk bermain yang memerlukan tenaga, seperti lari-
larian. Tingkat aktivitas yang rendah juga dipengaruhi oleh tidak adanya mata
pelajaran olahraga di Sekolah Dasar Master. Hal ini dikarenakan keterbatasan
pengajar yang ada di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui
bahwa meskipun mayoritas anak penderita gizi lebih menggunakan hari liburnya
untuk bersantai dan bermain di dalam rumah, terdapat beberapa anak melakukan
aktivitas fisik seperti jalan-jalan ke pusat perbelanjaan bersama orangtua, berkunjung
ke rumah saudara, dan hanya sedikit anak yang menggunakan waktu luangnya untuk
berolahraga, seperti berenang dan jalan santai.
Meskipun memiliki persentase aktivitas fisik kurang baik yang lebih tinggi pada
penderita gizi lebih, lingkungan fisik siswa-siswi di Sekolah Negeri Pondokcina 1
Kota Depok (status sosial ekonomi menengah), memiliki perbedaan dengan Sekolah
Dasar Master. Seperti hasil penelitian Vertikal, (2012) di SD Negeri Pondokcina 1
Kota Depok menunjukan bahwa lingkungan sekolah tersebut memiliki kegiatan fisik
rutin, seperti kegiatan pramuka (ekstakulikuler) dan pelajaran penjaskes (pendidikan
jasmani dan kesehatan) pada seluruh kelas, yang terdiri dari praktek dan teori.
Namun, walaupun di sekolah tersebut memiliki kegiatan fisik, persentase kategori
kurang baik pada variabel aktivitas fisik masih cukup tinggi. Hal ini kemungkinan
terjadi pada mayoritas wilayah yang berada di daerah perkotaan dan pada kelompok
sosial ekonomi yang menengah keatas (Arundhana dkk., 2013).
Hal ini diperkuat oleh Brown, (2011) berdasarkan data NHANES I, II, dan III,
yang menyatakan bahwa penurunan aktivitas fisik dapat meningkatkan prevalensi gizi
lebih pada anak dibandingkan dengan peningkatan asupan energi. Sama halnya
107
dengan hasil penelitan Hadi (2003) yang menunjukan bahwa penurunan aktivitas fisik
dan atau peningkatan perilaku sedentari mempunyai pernanan penting dalam
peningkatan berat badan. Di Padang, tepatnya SD Ujung Kota Padang juga
menunjukan hal yang sama, yaitu pola aktivitas fisik pada anak memiliki pengaruh
yang paling besar terhadap kejadian gizi lebih dibandingkan pola makan (Maidelwita,
2012). Gizi lebih akan lebih mudah diderita oleh anak yang memiliki aktivitas fisik
yang kurang dan kebiasaan olahraga yang rendah yang disebabkan oleh jumlah energi
yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan jumlah energi yang masuk melalui
makanan, sehingga berpotensi menimbulkan penimbunan lemak yang berlebih dalam
tubuh (Wahyu, 2012).
Bermain bagi anak semestinya bukan sekedar aktivitas fisik biasa, melainkan
dapat menjadi sarana yang baik untuk mengasah kemampuan motorik, komunikasi,
sosialisasi yang dapat meningkatkan aktivitas fisik anak. Seiring dengan keterbatasan
waktu dan tempat, dan berkembangnya globalisasi dan teknologi, anak lebih memilih
untuk bermain secara online atau melalui gadget yang tidak memerlukan waktu dan
tempat yang luas. Beberapa penelitian menunjukan bahwa permainan „game online’
cenderung menghabiskan banyak waktu, membuat anak malas bergerak, dan
cenderung kurang dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya. Jika hal ini
dilakukan oleh anak secara berangsur-angsur, dapat memberikan dampak yang buruk
bagi kesehatan, terutama kenaikan berat badan anak (Wayhu, 2012). Namun hal ini
tidak terjadi pada sebagian besar penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master,
dikarenakan keterbatasan ekonomi tidak mendukung anak untuk mempunyai gadget
sendiri.
108
Perbedaan pada hasil penelitian dan teori kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat
aktivitas fisik yang ditentukan oleh nilai median di suatu tempat saja, sehingga
menghasilkan nilai kategori yang sama pada kedua tingkatan gizi lebih. Namun, hasil
penelitian sesuai dengan teori pada kategori gizi sangat gemuk, dimana aktivitas fisik
yang kurang baik cenderung dimiliki oleh anak dengan status gizi sangat gemuk.
Rendahnya aktivitas fisik pada anak penderita gizi lebih kemungkinan terjadi akibat
tingginya perilaku sedentari (Meenu dan Madhu, 2001). Oleh karenanya, aktivitas
fisik pada anak penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master harus ditingkatkan
dengan melakukan aktivitas fisik yang terjangkau dan mudah, diantaranya dengan
memanfaatkan lahan kosong untuk bermain dan mengurangi aktivitas sedentari saat
jam istirahat.
The National Physical Activity Guidelines di Australia dan World Health
Organization telah merekomendasikan aktivitas fisik yang dapat dilakukan pada anak
dan remaja dengan rentan usia 5-17 tahun, antara lain melakukan aktivitas fisik pada
intensitas sedang – berat selama 60 menit setiap hari (basket, sepak bola, berenang,
angkat beban, bersepeda, menari, tennis, menaiki tangga); melakukan aktivitas fisik
yang meliputi aktivitas yang dapat memperkuat otot dan tulang, minimal 3 kali
seminggu (WHO, 2016).
Oleh karena itu, kesadaran anak mengenai aktivitas fisik juga dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga, keadaan lingkungan fisik rumah dan sekolah. Sehingga perlu
adanya ketersediaan fasilitas untuk aktivitas fisik anak dan kebiasaan yang
ditimbulkan dari keluarga, sosial dan budaya setempat. Karena untuk merubah
kebiasaan seseorang agar lebih efektif dan efisien, tidak dapat dilakukan hanya pada
109
satu orang saja, melainkan terdapat dukungan dari keluarga maupun lingkungan yang
lebih luas (Maley, 2012).
2. Aktivitas Fisik berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik Keluarga
Pola asuh orangtua dalam aktifitas fisik mempengaruhi pola aktivitas fisik pada
anak. Hal tersebut dikarenakan orangtua merupakan panutan bagi anaknya. Selain itu,
kepercayaan dan kebiasaan orangtua yang aktif secara fisik dapat menciptakan
lingkungan keluarga yang mendorong anak untuk lebih aktif melakukan aktivitas
fisik, seperti berolahraga dan melakukan kegiatan di luar rumah (Davison & Birch,
2001). Hubungan pola asuh orangtua terhadap aktivitas fisik anak dapat dilihat
melalui kebiasaan aktivitas orangtua, dukungan terhadap kegiatan aktivitas fisik dan
monitoring aktivitas anak.
Hasil penelitian pada Tabel 5.7 menunjukan bahwa orangtua yang tidak pernah
melakukan kebiasaan aktivitas fisik selama 2 minggu terakhir, seperti jalan-jalan di
akhir minggu dan mengajak anak untuk berolahraga cenderung memiliki anak yang
aktivitas fisiknya kurang baik, 100%. Hal sebaliknya, orangtua yang memiliki
kebiasaan aktivitas fisik yang sering cenderung memiliki anak yang aktivitas fisiknya
baik, yaitu 75%.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Ploeg, dkk. (2012) yang menunjukan
bahwa orangtua yang tidak pernah atau jarang beraktivitas fisik memiliki anak yang
menderita gizi lebih sebanyak 7%. Sedangkan orangtua yang kadang-kadang
melakukan aktivitas fisik memiliki anak yang gizi lebih sebanyak 13.1%. Dan
orangtua yang sangat aktif beraktivitas fisik memiliki anak yang gizi lebih sebanayak
7.7%.Orangtua yang tidak pernah atau jarang mengajak anaknya untuk beraktivitas
110
fisik memiliki anak yang gizi lebih sebanyak 11.3%. Orangtua yang kadang-kadang
mengajak anaknya beraktivitas fisik memiliki anak yang gizi lebih sebanayak 14%.
Orangtua yang sangat aktif untuk mengajak anaknya beraktivitas fisik memiliki anak
yang gizi lebih sebanyak 2.6%. Dengan demikian, orangtua yang melakukan aktivitas
fisik „kadang-kadang‟ berhubungan dengan anak yang memiliki aktivitas fisik yang
rendah dibandingkan dengan anak status gizi normal. Studi tersebut menunjukan
bahwa meningkatnya kepedulian orangtua mengenai aktivitas fisik, melakukan
aktivitas fisik dan mengajak serta keluarganya untuk beraktivitas fisik berhuhungan
dengan meningkatanya aktivitas fisik pada anak.
Partisipasi orangtua dalam aktivitas fisik memiliki keterkaitan dengan aktivitas
anak maupun remaja. Hubungan antara orangtua dan anak dalam pola aktivitas
tergambar pada orangtua yang aktif cenderung memiliki pengetahuan dan mengetahui
manfaat yang dihasilkan dari aktivitas fisik (Davison& Birch, 2001). Orangtua yang
memahami hal tersebut akan membangun lingkungan yang dapat meningkatkan
aktivitas fisik anak. Meskipun anak penderita gizi lebih akan membutuhkan dorongan
dan dukungan yang lebih besar dari orangtua terhadap aktivitas fisik dibandingkan
dengan anak gizi normal, dukungan dari orangtua tidak bisa dihilangkan pada anak
dengan status gizi lainnya (Ploeg, 2013)
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa waktu luang yang dimiliki keluarga
saat hari libur kebanyakan digunakan untuk bersantai dan beristirahat di rumah.
Sebagian besar orangtua tidak mengajak anaknya untuk melakukan aktivitas fisik saat
hari libur. Hanya ada beberapa orangtua yang mengajak anaknya untuk bermain
sepeda dan jogging.
111
Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa status gizi lebih pada ibu (66.6%)
dan ayah (66.7%) cenderung memiliki anak yang aktivitas fisiknya kurang baik.
Dengan demikian, terdapat kecenderungan yang lebih tinggi antara orangtua yang
tidak pernah melakukan kebiasaan aktivitas fisik, status gizi lebih pada ibu dan ayah
terhadap aktivitas fisik yang kurang baik pada responden penderita gizi lebih.
Hubungan pola asuh orangtua terhadap aktivitas fisik anak dapat dilihat melalui
kebiasaan aktivitas orangtua, dukungan terhadap kegiatan aktivitas fisik dan
monitoring aktivitas anak. Menurut Brown (2011), strategi yang harus dimiliki
orangtua dalam meningkatkan kegiatan aktivitas fisik anak, diantaranya adalah
memberikan contoh yang baik dalam aktivitas fisik serta mengikutsertakan anak di
dalamnya; menganjurkan anak untuk melakukan aktivitas fisik di rumah, di sekolah
dan saat bersama teman; membatasi waktu dalam menonton televisi, film, bermain
komputer dan video game serta kegiatan lainnya yang dapat mengurangi waktu untuk
beraktivitas fisik.
3. Aktivitas Fisik berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan Demografi
Hasil penelitian pada Tabel 5.8 menunjukan bahwa status pendidikan ibu dan
ayah, serta penghasilan orangtua yang tinggi dengan persentase 60%, 57.1% dan
71.4%, cenderung memiliki anak dengan aktivitas fisik yang kurang baik. Dengan
demikian status sosial ekonomi keluarga yang tinggi cenderung memiliki anak
dengan aktivitas fisik yang kurang baik.
Hal ini sejalan dengan penelitian Jafar (2009) yang menunjukan bahwa aktivitas
fisik anak yang kurang baik cenderung terjadi pada status sosial ekonomi keluarga
yang tinggi. Hasil penelitian lainnya di Brazil menunjukan bahwa anak penderita gizi
112
lebih dengan status sosial ekonomi keluarga tinggi memiliki risiko 27% lebih tinggi
untuk memiliki aktivitas fisik yang kurang baik, dibandingkan dengan status sosial
ekonomi keluarga yang rendah (Matsudo, dkk., 2016). Seperti diketahui, penurunan
aktivitas fisik dapat meningkatkan kejadian gizi lebih pada anak (Brown, 2011).
Keluarga dengan status sosial ekonomi yang tinggi dapat mempengaruhi kurangnya
aktivitas fisik melalui tingkat kekhawatiran orangtua yang lebih tinggi terhadap
kondisi kriminalitas dan ketidakamanan di lingkungan luar rumah, sehingga hal
tersebut secara tidak langsung menurunkan tingkat aktivitas fisik anak untuk bermain
di luar rumah (Crowle & Turner, 2010). Dengan demikian, status ekonomi yang
tinggi dapat secara tidak langsung mempengaruhi gizi lebih pada anak. Sejalan
dengan penelitian di Kenya, Nairobi yang menunjukan bahwa status sosial ekonomi
yang tinggi berhubungan dengan kejadian gizi lebih pada anak di negara berkembang
(Aballa, 2010)
Namun hal tersebut tidak sejalan dengan Joens-Matre dkk., (2008) yang
menyatakan bahwa tingkat aktivitas fisik anak yang rendah cenderung terjadi pada
keluarga dengan status sosial ekonomi rendah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
karakteristik keluarga seperti: (1) kurangnya waktu luang; (2) kurangnya pengetahuan
terhadap manfaat olahraga yang disebabkan tingkat pendidikan yang rendah; (3) serta
kurangnya alokasi dana untuk mendukung aktivitas fisik anak (Davison & Birch,
2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Myrick (2014) menunjukan bahwa
terdapat peningkatan risiko kejadian gizi lebih pada anak yang memiliki orangtua
dengan penghasilan rendah. Selain itu, tingkat pendidikan orangtua yang rendah
cenderung memiliki anak yang berisiko lebih tinggi pada kejadian gizi lebih
113
(Veldhuis, dkk., 2013). Kebiasaaan aktivitas fisik yang terjadi pada tingkat sosial
ekonomi yang berbeda menunjukan alasan yang berbeda pula. Namun pada dasarnya,
perilaku aktivitas fisik yang kurang baik tetap mengarah pada kejadian gizi lebih pada
anak, baik pada status sosial ekonomi tinggi maupun rendah.
Data hasil penelitian juga menunjukan bahwa tidak terdapat mata pelajaran
olahraga di Sekolah Dasar Master, dikarenakan tenaga pengajar yang terbatas serta
masih kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya aktivitas fisik pada anak. Hal
inilah yang diduga kuat memberikan pengaruh pada kurangnya aktivitas fisik pada
anak. Jika dilihat pada kondisi lingkungan sekolah, hanya terdapat satu ruang gerak
atau lapangan berukuran ± 10 x 15 meter yang dijadikan sebagai tempat bermain
anak. Aktivitas yang dapat dilakukan di lapangan tersebut adalah bermain sepak bola,
kejar-kejaran dan aktivitas lainnya. Lapangan tersebut hanya digunakan saat jam
istirahat dan pulang sekolah, namun ruang geraknya sangat terbatas karena sisi
lapangannya digunakan untuk tempat berjalan kaki dan tempat duduk.
Menurut Brown (2011), sekolah yang tidak memiliki mata pelajaran olahraga
dapat menyebabkan anak memiliki tingkat aktivitas fisik yang rendah. Hal tersebut
diperkuat oleh hasil analisis yang dilakukan NHANES III yang menunjukan indikasi
bahwa anak yang tidak berpartisipasi pada kegiatan aktivitas fisik dan olahraga di
sekolah memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian gizi lebih, dibandingkan
dengan anak yang ikut berpartisipasi.
Ketersediaan fasilitas umum penunjang aktivitas fisik, fasilitas pejalan kaki dan
jalur sepeda menjadi bagian dari fasilitas transportasi untuk anak pergi ke sekolah.
114
Pada tahun 2001, diperkirakan hanya 36% anak (5-15 tahun) yang berjalan kaki ke
sekolah pada jarak kurang dari 1 km, dan hanya 1,5% mengendarai sepeda pada jarak
kurang dari 2 km (Stafford, 2006 dalam Brown, 2011). Hal tersebut dikarenakan
kurang tersedianya fasilitas umum untuk pekalan kaki dan jalur sepeda.
Berdasarkan hasil penelitian pada faktor risiko aktivitas fisik, responden penderita
gizi lebih di Sekolah Dasar Master banyak melakukan aktivitas fisik pada jenis yang
ringan, yaitu berjalan kaki. Sebagian responden melakukan aktivitas jalan kaki saat
pergi-pulang sekolah, dikarenakan jarak rumah yang tidak terlalu jauh (radius < 1
km) dan sebagian lainnya menggunakan alat transportasi angkutan kota (angkot).
Selain itu, berdasarkan letak dan kondisi lingkungan rumah responden, sebagian besar
tinggal di rumah yang terletak di gang-gang kecil dengan lebar ± 1.5 meter,
disekitarnya terdapat empang dan sutet, dan ada pula yang letak rumahnya di pinggir
jalan. Sehingga ruang gerak responden untuk melakukan kegiatan terkait aktivitas
fisik, seperti bermain sangat kurang karena tidak adanya lapangan atau lahan kosong.
Aktivitas fisik responden lebih banyak dilakukan di sekolah atau tempat lainnya,
seperti di UI (Universitas Indonesia), kolam renang, pasar modern (jalan-jalan
bersama orangtua). Sehingga aktivitas fisik yang kurang baik pada responden gizi
lebih kemungkinan besar dikarenakan lingkungan rumah yang tidak mendukung
untuk melakukan aktivitas fisik. Hal tersebut juga membuat perilaku sedentari anak
menjadi tinggi, karena waktu yang digunakan lebih banyak dihabiskan di rumah
(menonton tv) dan sekolah (belajar).
Salah satu bentuk lingkungan fisik yang dapat meningkatkan aktivitas fisik anak
adalah tersedianya infrastruktur yang mendukung. Masyarakat membutuhkan tempat
115
yang aman untuk anak dalam aktivitas berjalan kaki dan mengendarai sepeda.
Menurut Lopez, dkk (2006), pembangunan infrastruktur di perkotaan menyebabkan
rendahnya akses penghubung jalan dan akses pejalan kaki, dimana hal tersebut
berpengaruh pada menurunnya aktivitas fisik dan meningkatnya kejadian gizi lebih.
Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan pada infrastruktur jalan untuk mendukung
masyarakat dalam mendapatkan fasilitas penunjang aktivitas fisik, seperti akses
pejalan kaki dan ruang gerak lainnya. Lingkungan fisik seperti inilah yang secara
tidak langsung dapat meningkatkan gaya hidup sehat untuk mengurangi risiko
terhadap kejadian gizi lebih pada anak.
D. Gambaran Faktor Risiko Perilaku Sedentari
Perilaku sedentari merupakan aktivitas yang bukan termasuk aktivitas fisik,
melainkan aktivitas seperti menonton televisi, bermain komputer dan video game, dimana
aktivitas tersebut tidak mengeluarkan banyak energi, sehingga dapat meningkatkan
cadangan makanan dalam tubuh. Aktivitas tersebut dinamakan SSR atau Small Screen
Recreation (SSR). SSR dapat mempengaruhi berat badan melalui seberapa lama waktu
yang digunakan untuk melakukan aktivitas sedentari. Perilaku sedentari akan terus
meningkat seiring dengan peningkatan inovasi teknologi yang menunjang aktivitas
manusia. Perilaku sedentari menjadi salah satu pengaruh yang besar terdahap kenaikan
berat badan, penyakit kardiovaskuler, kejadian kematian dan kesakitan (Crowle &
Turner, 2010).
1. Status Gizi Lebih pada Faktor Risiko Perilaku Sedentari
Perilaku sedentari berkontribusi dalam kejadian gizi lebih melalui berkurangnnya
pengeluaran energi dalam tubuh. Energi yang seharusnya dikeluarkan untuk
116
keseimbangan asupan tidak terjadi dalam aktivitas sedentari. Selain itu, penambahan
asupan makan sering terjadi saat melakukan aktivitas sedentari. Seperti diketahui
bahwa peningkatan asupan makan dan perilaku sedentari akan menghasilkan
penambahan berat badan. Studi yang dilakukan oleh NHANES III menunjukan
bahwa terdapat hubungan yang positif antara peningkatan asupan makan dan lamanya
waktu menonton televisi yang merupakan salah satu aktivitas sedentari (Brown,
2011).
Hasil penelitian pada Tabel 5.9 menunjukan bahwa bahwa dari 20 penderita gizi
lebih, terdapat 85% anak yang memiliki perilaku sedentari tinggi (35 jam/minggu).
Hal ini sejalan dengan penelitian di Yogyakarta pada 224 anak penderita gizi lebih
yang menunjukan bahwa 62.7% anak memiliki perilaku sedentari lebih dari 35
jam/minggu dan 37.3% memiliki perilaku sedentari ≤ 35 jam per minggu
(Arundhana, 2013). Berdasarkan kedua penelitian tersebut dapat dilihat bahwa
kejadian gizi lebih dengan perilaku sedentari yang tinggi terjadi di wilayah perkotaan,
yaitu di pusat kota Depok dan kota Yogyakarta.
Berdasarkan School Physical Activity and Nutrition Survey di Amerika, lamanya
waktu yang dihabiskan untuk aktivitas sedentari banyak dialami oleh anak yang
tinggal di daerah perkotaan, dikarenakan akses terhadap alat transportasi yang mudah
dan terjangkau, sehingga aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan naik sepeda sangat
kurang. Kondisi tersebut sama dengan kondisi di Sekolah Dasar Master, dimana
terdapat kemudahan akses transportasi karena wilayahnya berada di sentral antara
terminal kota dan stasiun kereta api.
117
Menurut Crowle & Turner (2010), Suarez (2010) dan Davison & Birch (2001),
aktivitas menonton TV merupakan jenis SSR yang paling berpengaruh terhadap berat
badan dibandingkan dengan bermain komputer atau video game. Aktivitas SSR ini
dapat mempengaruhi berat badan dan metabolisme tubuh jika dilakukan pada jangka
panjang. Informasi tambahan terkait waktu dalam menonton televisi, rata-rata waktu
yang digunakan penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master adalah 1.5 jam/hari. Hal
tersebut belum mencapai batas yang direkomendasikan oleh The American Academy
of Pediatrics, dimana batas yang ditetapkan adalah 2 jam per hari (Brown, 2011).
Selain itu, hasil penelitian di Malaysia menunjukan bahwa anak dengan waktu
menonton lebih dari 2 jam per hari, dan bukan perilaku sedentari lainnya, berkaitan
dengan status IMT anak, dimana hal tersebut berisiko pada peningkatan status gizi
(Lee, dkk., 2014). Hal ini diperkuat dengan hasil studi yang dilakukan National
Longitudinal Surveys of Youth (NLSY) tahun 2015 yang memperoleh data bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara kebiasaan menonton televisi dengan kejadian gizi
lebih.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh bahwa durasi yang lama pada perilaku
sedentari anak penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master didominasi oleh kegiatan
edukasi, yaitu belajar, mengaji dan membaca buku dengan rata-rata 20 jam/minggu
atau ± 3 jam/hari. Durasi terlama kedua adalah kegiatan yang berkaitan dengan SSR,
yaitu menonton televisi, bermain video game dan komputer dengan rata-rata 12
jam/minggu atau ± 1.5 jam/hari. Selanjutnya, durasi hal yang berkaitan dengan
sosial, budaya dan travel, masing-masing memiliki rata-rata 6 jam/minggu, 5
jam/minggu, dan 2 jam/minggu.
118
Oleh karena itu, perlu adanya pengurangan waktu perilaku sedentari dengan
peningkatan aktivitas fisik di sekolah maupun di rumah. Orangtua mempunyai
peranan penting dalam mengontrol perilaku sedentari di rumah dengan menganjurkan
anak untuk lebih sering berkativitas fisik di luar rumah, seperti bermain sepeda dan
berjalan-jalan santai. Begitu pula dengan guru yang mempunyai wewenang terhadap
aktivitas anak selama di sekolah yang memberikan waktu minimal 1 jam pelajaran
untuk berolahraga demi mengurangi perilaku sedentari dan meningkatkan kativitas
fisik anak.
2. Perilaku Sedentari berdasarkan Pola Asuh Orangtua dan Karakteristik
Keluarga
Di beberapa negara, perilaku sedentari merupakan isu penting dalam kesehatan
masyarakat karena efeknya terhadap kesehatan, terutama dampak gizi lebih. Namun
demikian, studi tentang perilaku sedentari ini di Indonesia masih kurang. Padahal
aktivitas fisik pada anak-anak saja masih sangat kurang, apalagi aktivitas
menetap/sedentari yang sering dilakukan anak-anak di waktu luang.
Orangtua memegang peranan penting dalam membentuk, membimbing dan
memantau perilaku sedentari anak. Namun, penelitian mengenai pengaruh orangtua
dalam perilaku sedentari anak lebih sedikit dibandingkan dua faktor risiko gizi lebih
pada anak lainnya. Berdasarkan penelitian yang sudah ada, diperoleh bahwa perilaku
sedentari anak disebabkan oleh dua faktor, yaitu perilaku sedentari orangtua dan
pengawasan anak dalam menonton televisi (Davison & Birch, 2001).
Hasil penelitian pada Tabel 5.10 menunjukan bahwa 86.7% anak dengan perilaku
sedentari tinggi (≥30 jam/minggu) cenderung lebih banyak terjadi pada lingkungan
keluarga dengan kategori kurang baik, jika dibandingkan dengan lingkungan keluarga
119
yang baik. Hal ini sejalan dengan teori Waters, dkk. (2010), yang menunjukan bahwa
anak dengan masa pertumbuhan cenderung memiliki perilaku sedentary yang tinggi.
Selain itu, hasil penelitian menunjukan bahwa anak yang memiliki perilaku
sedentary > 30 jam/minggu, cenderung terjadi pada ibu dengan kategori gizi lebih dan
ayah dengan kategori tidak gizi lebih, dengan persentase masing-masing 100%. Status
gizi orangtua diduga sebagai salah satu prediktor dari factor risiko gizi lebih pada
anak, salah satunya perilaku sedentary anak. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh
karakteristik antara orangtua dan anak, melainkan dari sikap dan perilaku orangtua
yang dapat menjadi salah satu hal yang dicontoh oleh anak (Crowle & Turner, 2010).
Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi prevalensi perilaku
sedentari pada penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master adalah dengan
meningkatkan kegiatan aktivitas fisik (Waters, dkk. 2010). Aktivitas fisik orangtua
akan mempengaruhi aktivitas fisik pada anak (Davison & Birch, 2001). Oleh karena
itu, perlu adanya perbaikan kebiasaan aktivitas fisik pada orangtua, dengan cara
merutinkan jadwal olahraga setiap akhir pekan bersama keluarga dan mengurangi
kebiasaan dalam aktivitas sedentary, seperti menonton televise dan aktivitas menatap
layar lainnya (bermain telepon genggam).
3. Perilaku Sedentari berdasarkan Karakteristik Masyarakat, Sosial dan
Demografi
Hasil penelitian pada Tabel 5.11 menunjukan bahwa ibu dan ayah dengan tingkat
pendidikan yang tinggi cenderung memiliki anak dengan perilaku sedentari yang
tinggi, jika dibandingkan dengan ibu dan ayah dengan status pendidikan rendah.
Selain itu, penghasilan orangtua yang tinggi (85.7%) cendrung memiliki anak dengan
perilaku sedentari yang tinggi pula. Dengan demikian, terdapat kecenderungan yang
120
lebih tinggi antara pendidikan ibu dan ayah yang tinggi, serta penghasilan yang tinggi
terhadap tingginya perilaku sedentari pada responden penderita gizi lebih.
Hal yang sejalan terjadi pada penelitian Alrashidi (2016) yang menunjukan bahwa
keluarga dengan penghasilan yang tinggi memiliki risiko tiga kali lebih besar
terhadap kejadian gizi lebih, dimana waktu yang digunakan untuk perilaku sedentari
lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Collins (2008) bahwa di negara
berkembang, penderita gizi lebih pada anak berhubungan positif dengan status sosial
ekonomi keluarga yang tinggi.
Crowle & Turner (2010) menjelaskan bahwa perilaku sedentari yang tinggi dapat
dipengaruhi oleh peningkatan pada pendapatan keluarga. Hal tersebut terjadi
dikarenakan kemampuan orangtua untuk membeli barang akan lebih tinggi. Seperti
contoh, keluarga yang memiliki penghasilan yang tinggi cenderung mempunyai alat
transportasi, seperti motor atau mobil, sehingga dapat mengurangi tingkat aktivitas
fisik dan meningkatkan perilaku sedentari anak. Selain itu, kemampuan membeli
barang elektronik seperti telepon genggam dan gadget dapat secara langsung
meningkatkan durasi anak dalam menatap layar.
Walaupun penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master dengan perilaku sedentari
tinggi cenderung memiliki orangtua dengan penghasilan tinggi, kepemilikian
terhadap telepon genggam termasuk rendah. Sebagian besar anak masih
menggunakan telepon genggam atau gadget orangtuanya. Selain itu, berdasarkan
tempat tinggal, sebagian besar anak tinggal di wilayah rumah yang terletak di gang-
gang kecil dengan lebar ± 1.5 meter, disekitarnya terdapat empang dan sutet, dan ada
pula yang letak rumahnya di pinggir jalan. Sehingga anak memiliki akses yang
121
kurang untuk melakukan aktivitas fisik di luar rumah. Dengan demikian, anak
penderita gizi lebih cenderung lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam
rumah.
Meskipun tidak terdapat perbedaan persentase yang berarti antara perilaku
sedentari anak penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master dan sekolah lain di
Yogyakarta, perilaku sedentari yang tinggi dapat terjadi akibat dari aktivitas yang
berbeda. Hasil penelitian Arundhana dkk., (2013) menunjukan bahwa anak SD di
Kota Yogyakarta, rata-rata memiliki handpone/tablet, akses terhadap media seperti
kepemilikan laptop atau komputer untuk bermain game online, playstation dan akses
yang mudah terhadap internet. Walaupun keduanya memiliki tingkat perilaku
sedentari yang tinggi, jenis aktivitas sedentari berbeda antara anak penderita gizi lebih
di Sekolah Dasar Master dan Sekolah Dasar di Kota Yogyakarta. Seperti pada hasil
penelitian di Sekolah Dasar Master, frekuensi aktivitas sedentari yang tinggi
diperoleh dari aktivitas edukasi, yaitu belajar, mengaji dan membaca buku dengan
rata-rata ± 3 jam/hari.
Perilaku sedentari yang tinggi juga dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengawasan
orangtua terhadap waktu menonton televisi anak, kurangnya pengetahuan tentang
manfaat olahraga. Meskipun penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master yang
memiliki perilaku sedentari tinggi terjadi pada tingkat sosial ekonomi keluarga yang
tinggi, pengetahuan mengenai akibat dari perilaku sedentari lebih menentukan
perilaku anak. Salah satu bentuk lingkungan fisik yang dapat meningkatkan perilaku
sedentari adalah tidak tersedianya infrastruktur yang mendukung. Masyarakat
membutuhkan tempat yang aman untuk anak dalam aktivitas di luar rumah. Selain itu,
122
tingkat keamanan yang rendah dan kriminalitas yang tinggi di lingkungan status
sosial ekonomi yang rendah menyebabkan orangtua lebih menyarankan anak untuk
beraktivitas di dalam ruangan karena akan lebih memberikan rasa aman (Davison &
Birch, 2001).
E. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dan kelemahan pada penelitian ini antara lain :
1. Alat ukur variabel praktek pemberian makan tidak memasukan unsur pengawasan
terhadap besaran porsi atau jumlah makanan yang dikonsumsi anak, sehingga
walaupun banyak dari orangtua memberikan praktek pemberian makan yang baik,
hasil menunjukan banyak yang memiliki kelebihan asupan, baik energi maupun
lemak.
2. Peneliti tidak mengukur pengetahuan gizi ibu, sehingga tidak diketahui sejauh
mana pengetahuan ibu mengenai asupan makan yang baik untuk anak.
3. Tidak menanyakan jenis pekerjaan orangtua, karena diperoleh data bahwa
terdapat ayah dengan tingkat pendidikan yang rendah, justru memiliki
penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayah dengan tingkat
pendidikan yang tinggi.
123
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian “Gambaran faktor risiko gizi lebih pada anak Sekolah
Dasar Masjid Terminal (Master) di Kota Depok Tahun 2017” yang dilaksanakan pada
bulan Februari-Maret 2017 dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master tahun 2017 sejumlah 20 anak
(16.8%), dengan proporsi gizi gemuk (1 SD – 2 SD) sebesar 12.6% dan gizi
sangat gemuk (>2SD) sebesar 4.2%.
2. Berdasarkan distribusi frekuensi jenis kelamin, sebagian besar anak dengan
kategori gemuk lebih berjenis kelamin laki-laki, dan sebagian besar anak dengan
kategori sangat gemuk berjenis kelamin perempuan.
3. Berdasarkan distribusi frekuensi umur, sebagian besar anak berumur 10-12 tahun.
4. Berdasarkan distribusi frekuensi total asupan energi, sebagian besar anak
memiliki asupan energi berlebih dengan rata-rata asupan sejumlah 2094 kkal.
5. Penderita gizi lebih yang mempunyai total asupan energi lebih, cenderung
memiliki orangtua dengan praktek pemberian makan yang baik, ibu yang tidak
mengalami gizi lebih dan ayah yang mengalami gizi lebih.
6. Penderita gizi lebih yang mempunyai total asupan energi lebih, cenderung
memiliki status sosial ekonomi orangtua yang status pendidikan ibunya rendah,
status pendidikan ayah dan penghasilannya tinggi.
7. Berdasarkan distribusi frekuensi asupan karbohidrat, sebagian besar anak
memiliki persentase asupan karbohidrat yang kurang, dengan rata-rata asupan
sejumlah 264 gram.
124
8. Penderita gizi lebih yang mempunyai persentase asupan karbohidrat yang kurang,
cenderung memiliki orangtua dengan praktek pemberian makan yang baik, serta
ibu dan ayahnya termasuk kategori gizi lebih.
9. Penderita gizi lebih yang mempunyai persentase asupan karbohidrat yang kurang,
cenderung memiliki orangtua dengan status pendidikan ibu dan ayahnya rendah,
serta tingkat penghasilannya tinggi.
10. Berdasarkan distribusi frekuensi asupan lemak, sebagian besar anak memiliki
persentase asupan lemak berlebih, dengan rata-rata asupan sejumlah 87.82 gram..
11. Penderita gizi lebih yang mempunyai persentase asupan lemak berlebih,
cenderung memiliki orangtua dengan praktek pemberian makan yang baik, ibunya
tidak termasuk kategori gizi lebih dan ayahnya termasuk kategori gizi lebih.
12. Penderita gizi lebih yang mempunyai persentase asupan lemak berlebih,
cenderung memiliki orangtua dengan kategori pendidikan ibu tinggi, serta tingkat
pendidikan ayah dan tingkat penghasilan yang rendah.
13. Berdasarkan distribusi frekuensi aktivitas fisik anak, tidak terdapat perbedaan
antara kategori baik dan kurang baik, namun terdapat kecenderungan antara
aktivitas fisik yang kurang baik dengan anak dengan status gizi sangat gemuk.
14. Penderita gizi lebih yang mempunyai aktivitas fisik yang kurang baik cenderung
memiliki orangtua yang tidak pernah melakukan kebiasaan aktivitas fisik, serta
kategori status gizi ibu dan ayah termasuk gizi lebih.
15. Penderita gizi lebih yang mempunyai aktivitas fisik yang kurang baik cenderung
memiliki orangtua dengan tingkat pendidikan ibu, pendidikan ayah dan
penghasilan yang tinggi.
125
16. Berdasarkan distribusi frekuensi perilaku sedentari, sebagian besar anak memiliki
perilaku sedentari tinggi dengan durasi 35 jam/minggu.
17. Penderita gizi lebih yang mempunyai perilaku sedentari tinggi cenderung
memiliki lingkungan keluarga yang kurang baik, ibu yang termasuk kategori gizi
lebih dan ayah yang tidak termasuk kategori gizi lebih.
18. Penderita gizi lebih yang mempunyai perilaku sedentari tinggi cenderung
memiliki orangtua dengan tingkat pendidikan ibu, pendidikan ayah dan
penghasilan orangtua yang tinggi.
B. Saran
1. Bagi Orangtua
a. Meningkatkan pengetahuan gizi dengan cara mengikuti kegiatan yang
disediakan oleh pelayanan kesehatan dan atau melalui media massa lainnya
(televisi atau gadget).
b. Memperbaiki ketersediaan makanan di rumah dengan lebih banyak
menyediakan jenis makanan yang rendah energi dan lemak dan tinggi serat
(buah dan sayur) serta cara pengolahan makanan dengan mengurangi proses
penggorengan dan menambahkan makanan dengan proses di rebus/kukus agar
mengurangi asupan lemak yang berlebih dari minyak goreng.
c. Membiasakan untuk melakukan aktivitas fisik setiap akhir pekan bersama
anak, seperti jalan pagi, jogging, berenang, bermain sepeda atau dengan
melakukan aktivitas lainnya, yaitu berekreasi bersama keluarga di ruang
terbuka luas atau sekedar berjalan-jalan di pusat perbelanjaan/pasar. Selain
126
dapat meningkatkan aktivitas fisik orangtua dan anak, hal tersebut juga dapat
mengurangi kebiasaan aktivitas sedentari anak di rumah.
2. Bagi Sekolah Dasar Master
a. Membuat kerja sama dengan pelayan kesehatan terkait peningkatan
pengetahuan mengenai gizi lebih dan faktor risikonya terhadap anak sekolah
dasar, dan menyarankan agar dimasukan ke dalam rencana tahunan untuk
kegiatan penyuluhan rutin di Sekolah Dasar Master setiap tahun ajaran baru.
b. Mensosialisasikan cara dan praktek asupan makan anak yang baik (rendah
lemak) kepada orangtua dengan membuat program harian untuk membawa
bekal sehat.
c. Membatasi pedagang di sekitar sekolah yang menjual makanan atau minuman
yang kurang sehat (tinggi energi, rendah lemak), seperti makanan yang
melalui proses digoreng, serta dapat mengusulkan kepada pedagang untuk
menjual makanan yang direbus/dikukus, seperti singkong rebus, pisang rebus,
dan lain-lain (dikreasikan dengan penampilan menarik)
d. Memasukan pelajaran olahraga dalam mata pelajaran di sekolah untuk
meningkatkan aktivitas fisik anak dengan tenaga pengajar yang tersedia.
3. Bagi Pelayan Kesehatan Puskesmas Pancoran Mas
a. Memasukan kegiatan penyuluhan mengenai gizi lebih dan masalah kesehatan
lainnya ke Sekolah Dasar Master
b. Memberikan penyuluhan mengenai bahaya gizi lebih dan faktor risikonya
pada anak sekolah dasar di Sekolah Dasar Master.
127
4. Bagi peneliti lain
a. Menambahkan variabel karakteristik keluarga, yaitu pengetahuan gizi ibu dan
asupan makan ibu agar dapat dilihat keterkaitannya dengan faktor risiko anak
penderita gizi lebih, serta variabel jumlah anggota keluarga agar dapat dilihat
seberapa besar distribusi penghasilan maupun jumlah makanan dalam satu
keluarga.
b. Menambahkan variabel karakteristik masyarakat, sosial dan demografi
lainnya, seperti budaya dan advertising, agar lebih memperkaya gambaran
kondisi di lingkungan.
c. Melakukan uji statistik secara bivariat dan multivariat untuk melihat seberapa
besar pengaruh faktor risiko dan faktor yang paling berpengaruh terhadap
anak penderita gizi lebih di Sekolah Dasar Master.
128
DAFTAR PUSTAKA
Aballa, L.A., 2010. Prevalence and Risk Factors for Obesity Among School Aged Children in
Nairobi Province, Kenya [thesis]. School of Health Science of Kenyatta University
Aguirre, Patricia. 1994. How the very poor survive : The Impact of Hyper-inflationary Crisis on
Low-Income Urban Household in Buenos Aires, Argentina. Geo Journal.
AIHW, 2008. Making Progress : The Health, Development and Wellbeing of Australia‟s
Children and Young People. [Authoritative Information and Statistics to Promote Better
Health and Wellbeing]. Australian Institute of Helath and Welfare. Hal : 21 - 28
Almatsier, Sunita. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi (cetakan sembilan). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Alrashidi, M., 2016. The Prevalence, Risk Factors and Perception of Overweight and Obesity in
Kuwait Children : A Mixed Methods Approach [thesis]. RMIT University. Kuwait
Aninditya, Ikha K. 2011. Peran Zat Gizi Makro Dalam Makanan Jajanan di Lingkungan
Sekolah Terhadap Kejadian Obesitas Pada Anak. Semarang : Universitas Dipenogoro
Aritonang, E. & Siagian Albiner. 2003. Hubungan Konsumsi Pangan dengan Gizi Lebih pada
Anak TK di Kotamadya Medan Tahun 2003. Lembaga Penelitan Universitas Sumatera
Utara
Arundhana, A.I., Hadi, H., Julia, M., 2013. Perilaku Sedentari Sebagai Faktor Risiko Kejadian
Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Jurnal
Gizi dan Dietetik Indonesia. Vol. 1, No.2, Mei 2013 : 71-80
Atabek, M., O., P., & Kivrak, A. (2007). Evidence for association between insulin resistence and
premature carotid atherosclerosis in childhood obesity. Pediatric Research, 61(3) : 345-
349.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2007. Analisis Tipologi Kemiskinan Perkotaan – Studi Kasus di
Jakarta Utara (katalog BPS : 3205012).[online : diakses pada tanggal 21 Desember 2016]
Birch, L. L., Fisher, J.O., Grimm-Thomas, K., Markey, C.N., Sawyer, R., & Johnson, S. L. 2001.
Confirmatory Factor Analysis of the Child Feeding Questionnaire : a Measure of
Parental Attitudes, Beliefs and Practices About Child Feeding and Obesity Proneness.
Appetitte, 36, 201-210
Brown, J. E. 2011. Nutrition Through the Life Cycle (Fourth Editions). Wadsworth: Cengage
Learning. USA
Bulbul, T., Hoque, M., 2014. Prevalence of Choldhood obesity and overweight in Bangladesh :
Finding from a Countrywide Epidemiological Study. Bangladesh : BMC Pediatrics
Ciptaningtyas, R., Pratiwi, N., 2012. Perbedaan Gender Dalam Masalah Obesitas dan Aktifitas
Fisik pada Siswa SMP. Jurnal Kesehatan Reproduksi. Vol. 3, No.2, Agustus 2012 : 106-
112
129
Collins, A. E., Pakiz, B., Rock, C.L. 2008. Factors associated with obesity in Indonesian
adolescens. International Journal of Pediatric Obesity. 3(1), 58-64.
Crowle, J., Turner, E., 2010. Childhood Obesity : An Economic Perspective. Melbourne :
Productivity Commission Staff Working Paper.
Davison, K.K. & Birch, L.L.. 2001. “Childhood Overweight : a Contextual Model and
Recommendations for Future Research”. USA : The International Assosiation for the
Study of Obesity.
Do, L.M., Tran, T.K., Eriksson, B., Petzold, M., 2015. Preschool Overweight and Obesity in
Urban and Rural Vietnam : differences in prevalence and associated factors. Vietnam :
Co Action Publishing. Global Health Action 2015, 8 : 28615
Drewnowski, A., Specter, S.E., 2004. Poverty and Obesity : the Role of Energi Density and
Energi Costs. American Journals Clinical Nutrition
Eagle, Kim Allen. 2016. Low-income communities more likely to face childhood obesity
[prosiding Project Healthy School]. University of Michigan Frankel Cardiovascular
Center.
Farhani, Dhiya. 2010. Hubungan Pola Makan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Gizi Lebih
pada Siswa Sekolah Dasar terpilih di Depok tahun 2010 (Skripsi). Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia
Hamam, H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Tehadap Kebijakan
Pembangunan Kesehatan Nasional.
Hardinsyah, dkk. 2014. Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013. Himpunan Mahasiswa Gizi IPB
[http://himagizi.lk.ipb.ac.id/files/2014/01/AKG2013-Hardin-Final-Edit-bersama.pdf]
Hardy, Louise L., Booth, Michael L., Okely, Anthony D. 2012. The Adolescent Sedentari
Activity Questionnaire (ASAQ). Sydney : ACAORN (Australian Child & Adolescnet
Obesity Research Network)
Hartanto, Eko., Farida, Nuke., Yusriah, Kiayanti., Santoso, Budi., dkk.. 2011. OASIS ILMU DI
TERMINAL DEPOK. Jakarta Selatan : Tabloid Pasca Sarjana IISIP .
Hendrie, G. Sohonpal, G., Lange, K., & Goller, R. 2013. Change in the Family Food
Environment in Associated with Positive Dietary Change in Children. International
Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 10 (1) :4
Hughes, S.O., Power, T.G., Fisher, J.O., Mueller, S., & Nicklas, T.A. 2005. Revisiting a
neglected construct : Parenting Styles in a Child – Feeding Context. Appetite, Vol. 44,
No. 83-92
Hungu. 2007. Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta : Penerbit Grasindo
Irianto, K. (2014). Gizi Seimbang Dalam Kesehatan Reproduksi. Bandung: ALFABETA, cv.
130
Isbach, I.D.D., Amiruddin, R., Ansar, J., 2013. Gambaran Status Gizi Anak Jalanan di Kota
Makassar. Universitas Hassanuddin.
Ismail, M.N.; Norimah, A.K.; Poh, B.K.; Nik Shanita, S.; Nik Mazlan, M.; Roslee, R.;
Nurrnnajiha, N.; Wong, J.E.; Nur Zakiah, M.S.; Raduan, S.; et al. Prevalance and trends
of overweight and obesity in two cross-sectional studies of Malaysian children, 2002–
2008. In Proceedings of the MASO Scientific Conference on Obesity, Kuala Lumpur,
Malaysia, 12–13 August 2009
Jafar, N. 2009. Asosiasi faktor risiko gaya hidup dan sindroma metabolik pada berbagai tingkat
sosial ekonomi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Madani; 2(4)
Joens-Matre, R.R., Welk, G.J., Calabro, M.A., Russell, D.W., Elizabeth, N., Hensley, L.D.,
2008. Rural-Urban Differences in Physical Activity, Physical Fitness, and Overweight
Prevalence of Children.
Kemenkes. 2012. Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada
Anak Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenkes. 2014. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia (Prosiding).
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Kent C. Kowalski. Peter R. E. Crocker. Rachel M. Donen. The Physical Activity Questionnaire
for Older Children (PAQ-C) and Adolescents (PAQ-C) Manual. 2004. Canada : Colloge
of Kinesiology, University of Saskatchewan
Kim, S.-Y. & Lee, Y.J. 2009. Seasonal and Gender Differences of Beverage Consumption in
Elementary School Student. Nutrition Research and Practice, 3, 234-241
Kimble, A.B., 2014. The Parenting Styles and Dimensions Questionnaire : A Reconceptualizaton
and Validation. Oklahoma State University
Kuhle, S., Allen,AC., Veugelers, PJ. 2010. Prevention potential of risk factors for childhood
overweight. Canadian Journal Public Health. 101 : 5 : 365-368
Lapau, Buchari. 2012. Metode Penelitian Kesehatan : Metode Ilmiah Penulisan Skripsi, Tesis,
dan Disertasi. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Liu, J., Jones, S.J., Sun, H., Probst, J.C., Cavicchia, P., 2010. Diet, Physical Activity and
Sedentari Behaviors as Risk Factors for Childhood Obesity : An Urban and Rural
Comparison.pdf.
Lopez, R.P., Hynes, H.P., 2006. Obesity, Physical Activity, and the Urban Environment : Public
Health Needs.
131
Lumoindong, A., Umboh, A., & Masloman, N. (2013). Hubungan Obesitas dengan Profil
Tekanan Darah pada Anak Usia 10-12 Tahun di Kota Manado. Jurnal e-Biomedik
(eBM), 147-153.
Maidelwita, Y., 2012. Pengaruh Faktor Genetik, Pola Konsumsi dan Aktivitas Fisik dengan
Kejadian Obesitas pada Anak Kelas 4-6 SD SBI Percobaan Ujung Gurun Padang.
Maley, M., 2012. An Ecological Approach to Adolescent Obesity : Working Together to Support
Healthy Youth. ACT for Youth Center of Excellenge
Matsudo, VK., Ferrari, GL., Araujo, TL., Oliveira, LC., Mire, E., Barreira, TV., Tudor-Locke,
C., Katzmarzyk, P. 2015. Socioeconomic status indicators, physical activity, and
overweigh/obesity in Brazilian children. Rev Paul Pediatr : 2016. Sao Paulo: Elsevier
Editora Ltda. 34 (2) : 162-170
Meenu, Singh. Madhu, Sharma. 2005. Risk Factors for Obesity in Children, Departement of
Pediatrics, Advanced Pediatric Center, Postgraduate Institute of Medical Education and
Research, Chandigarh, India
Moehji, Sjahmien. 2000. Ilmu Gizi dan Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta : Papas Sinar Sin
National Longitudinal Surveys of Youth (NLSY). 2015.TV-Viewing Data in NLSY79
Child/Young Adult Surveys. (614) : 442-7366. [online : www. nlsinfo.org)
Noorkasiani, dkk. 2007. Sosiologi Keperawatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Notoadmodjo, S. 2010. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
O‟Brien, M., Nader, P.R., Houts, R.M., Bradley, R., Friedman, S.L., Belsky, J., Susman, E., the
NICHD, 2007. The Ecology of Childhood Overweight : a 12-Year Longitudinal Analysis.
Obesity Rates & Trends. 2015.The State of Obesity, “ Obesity Rates & Trends Overview”.
United States : Trust for America‟s Health and the Robert Wood Johnson Foundation.
Diakses 3 Agustus 2016 [http://stateofobesity.org/obesity-rates-trends-overview/]
Oktora. 2015. Gizi Lebih dan Obesitas. Diakses 1 Juni 2016 [online :
http://dokumen.tips/documents/gizi-lebih-obesitas.html]
Pena, Manuel. & Bacallao, Jorge. 2000. Obesity and Poverty : a New Public Health Challenge.
“Obesity Among the Poor : an Emerging Problem in Latin America and the Caribbean.
Washington : PAHO Library Catalouguing in Publication Data
Pramono, Adriyan & Sulchan, Muchammad. 2014. Kontribusi Makanan Jajan dan Aktivitas
Fisik Terhadap Kejadian Obesitas Pada Remaja di Kota Semarang. Jurnal Gizi Indonesia.
Vol. 2, No.2, Juni 2014 : 59-64. Universitas Diponogoro.
Putri, Kartika A. 2015. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Asupan Energi Siswa Kelas 5
dan 6 SDIT Al-Syukro Universal Tahun 2015 [Skripsi]. Universitas Islam Negeri Jakarta.
132
Rahmawati, T., Setiarini, A., 2013. Hubungan Asupan Gizi, Aktivitas Fisik, dan Gangguan
Makan Terhadap Status Gizi Pada Anak dengan Disabilitas Intelektual di Jakarta Tahun
2013. Universitas Indonesia
Ramachandran, Ambady., Chamukuttan, Snehalatha., Shetty, SA., Arun, Nandhita., Susairaj,
Priscilla. 2012. Obesity in Asia – is it different to the rest of the world. Diabetes
Metabolism Research and Review. ;28(Suppl 2) : 47-51. Doi : 10.1002/dmrr.2353.
Ranjani, Harish., Mahreen, T.S., Pradeepa, Rajendra., Anjana, Ranjit M., Garg, Renu., Anand,
Krishnan., Mohan, Viswanthan. 2016. Epidemiology of Childhood Overweight &
Obesity in India : a Systematic Review. Indian Journal Medicine Res 143.
Ruiz, Jonathan R. & Ortega, Fransisco B. 2009. Physiscal Activity and Cardiovascular Disease
Risk Factors in Children and Adolescent. Cardiovaskular Risk : Vol. 3 Issue 4.
Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2011. Faktor Risiko Obesitas pada Anak 5-15 tahun di Indonesia.
[jurnal Makara Kesehatan. Vol. 15, No.1 Juni 2011 :37-43]
Sarwono, S.W. 2010. Psikologi Remaja, Edisi Revisi. Jakarta : PT Raja Grafindo
Satoso, Karjati, S., Darmojo, B., Tjokroprawiro, A., Kodyat, BA. 1998. Kegemukan, Obesitas
dan Penyakit Degeneratif : Epidemiologi Strategi Penanggulangannya, Dalam :
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI Tathun 1998. Jakarta : LIPI
Setyoadi. Rini, Ika S. Novitasari, Triana. 2015. Hubungan Penggunaan Waktu Perilaku Kurang
Gerak (Sedentari Behaviour) dengan Obesitas pada Anak Usia 9-11 Tahun di SD Negeri
Beji 02 Kabupaten Tulungagung. Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol: 3, No. 2, November
2015. Universitas Brawijaya : Malang Jawa Timur
Silverstone, Trevor. 2005 . Eating Disorders and Obesity : How Drugs Can Help. Amsterdam :
IOS Press . ISBN 1-58603-544-4 [
Sitompul, Kristina. H. 2016. Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin (Studi
kasus : Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan) [Skripsi]. Universitas Sumatera
Utara
Suarez, Frank. 2010. The Power of Your Metabolism. [eBook : www.eBookIt.com]
Suharsa, H., Sahnaz, 2016. Status Gizi Lebih dan Faktor-faktor lain yang Berhubungan pad
Siswa Sekolah Dasar Islam Tirtayasa Kela IV dan V di Kota Serang tahun 2014. Jurnal
Lingkar Widyaiswara. Edisi 2 No.1, Jan-Mar 2016 : 53-76.
Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
133
Suryabrata, Sumadi. 2013. Metodologi Penelitian. Edisi 2. Cetakan ke-24. Jakarta : Raja
Grafindo Persada (Rajawali Press)
Tahir, Nurul H., Ernawati., Bennu,Martini. 2013. Faktor-faktor yang berhubungann dengan
status gizi anak umur 6-12 tahun di SDN 136 wilayah kerja Puskesmas Bungi Pinrang.
Vol. 2, No. 4 Tahun 2013. ISSN : 2302-1721
Taveras, EM., Berkey, CS., Rifas-Shiman, SL., Ludwig, DS., Rockett, HR., Field, AE., Colditz,
GA., Gillman, MW. 2005. Association of Consumption of Fried Food Away From Home
with Body Mass Index and Diet Quality in Older Children and Adolescent. Harvard
Medical School . Pediatrics : Oct; 116 (4): e518-24
UNICEF. 2009. The State of the World’s Children Special Edition: Celebrating 20 Years of the
Convention on the Rights of the Child, Executive Summary
Veldhuis, L., Vogel, I., Van Rossem, L., Renders, SM., HiraSing RA., Mackenbach, JP., Raat,
H. 2013. Influence of maternal and child lifestyle-related characteristics on the
socioeconomic inequality in overweight and obesity among 5-year-old children; The “be
active, eat right” study. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 10 : 2336-2347
Vepa, Swarna S. 2003. Impact of Globalization on the Food Consumption of Urban India.
Swaminathan Research Foundation, Chennai, India. [hal : 215-300]
Wahyu, Genis G. 2012. Obesitas Pada Anak. Yogyakarta : B First (PT. Bentang Pustaka)
[eBook : Mizan Digital Publishing]
Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Pustaka Rihama. Yogyakarta
Waters, Elizabeth., Seidell, Jacob. 2010. Preventing Childhood Obesity (evidence policy and
practice. Singapore : John Wiley & Sons Publication
WHO. 2016. Globally Strategy on diet, physical activity and Health, “Childhood overweight and
obesity.” Diakses 5 Agustus 2016 [Online :
http://www.who.int/dietphysicalactivity/childhood/en/]
WHO. 2016. Media Center : Physical Activity . Diakses 5 Agustus 2016 [Online :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs385/en/]
Yabanci, N., Kisac, I., & Karakus, S. S. (2013). The Effect of Mother's Nutritional Knowledge
on Attitudes and Behaviors of Children About Nutrition (Turkey). Elsevier Ltd, Social
and Behavioral Sciences Volume 116 (2014): 4477-4481.
134
LAMPIRAN
Lampiran 1
KUESIONER PENELITIAN
Disusun Oleh : Silmi Mufidah
NIM : 1112101000067
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Hai adik-adik!
Perkenalkan, nama kakak Silmi Mufidah, mahasiswa S1-Kesehatan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Hari ini kakak sedang melakukan penelitian mengenai kebiasaan adik
dalam beraktifitas maupun kebiasaan makan adik-adik. Kakak akan menanyakan beberapa hal
kepada kamu menganai identitas sampai kebiasaan kamu. Kakak sangat mengharapkan adik-adik
menjawab dengan lengkap dan jujur. Identitas dan jawaban yang adik-adik berikan akan kakak
jaga kerahasiaannya.
Kakak meminta kesediaan adik untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Jika adik bersedia,
silahkan memberikan cap jempol di bawah persetujuan ini. Atas perhatian dan kerjasamanya,
kakak ucapkan terimakasih.
Wassalam
Januari 2017
Peneliti
CAP JEMPOL
_____________
A. Identitas Responden
Identitas Anak
A1 Nama
A2 Tempat Tanggal Lahir
A3 Usia Tahun
A4 Jenis Kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
A5 Kelas 4/5/6
A6 Berat badan 1 : ____kg
Berat badan 2 : ____kg
IMT :
19. Gemuk
20. Sangat Gemuk
Tinggi Badan 1 : ____cm
Tinggi Badan 2 : ____cm
A7 Tempat Tinggal 1. Rumah
2. Asrama Sekolah
A8 Alamat
Identitas Orangtua/Wali
A9 Nama Ibu
A10 Usia Ibu Tahun
A11 Pendidikan Terakhir Ibu SD/SMP/SMA/S1
A12 Berat Badan Ibu .......... kg (1)
……...kg (2)
A13 Tinggi Badan Ibu ………. cm (1)
………. cm (2)
A14 IMT Ibu ………. kg/m2
A15 Nama Ayah
A16 Usia Ayah Tahun
A17 Pendidikan Terakhir Ayah SD/SMP/SMA/S1
A18 Berat Badan Ayah .......... kg (1)
……...kg (2)
A19 Tinggi Badan Ayah ………. cm (1)
………. cm (2)
A20 IMT Ayah ………. kg/m2
A21 Alamat
A22 Penghasilan per bulan Ayah :
Ibu :
Lainnya :
B. Aktivitas Fisik
Apakah kamu melakukan beberapa aktivitas dibawah ini sejak 7 hari yang lalu?
Jika “iya”, berapa kali?
Berikan tanda “X” pada jawaban yang sesuai
No. Jenis Aktivitas
Durasi
Tidak
Pernah 1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali
Lebih dari
7 kali
B1 Skipping (tali) a b C d e
B2 Futsal a b C d e
B3 Voli a b C d e
B4 Basket a b c d e
B5 Jalan a b c d e
B6 Bersepeda a b c d e
B7 Lari-Lari/Jogging a b c d e
B8 Senam a b c d e
B9 Berenang a b c d e
B10 Kasti a b c d e
B11 Menari/dance a b c d e
B12 Sepak bola a b c d e
B13 Badminton a b c d e
B14 Sepak takraw a b c d e
B15 Sepatu roda a b c d e
B16 Tenis a b c d e
B17 Tenis meja a b c d e
B18 Silat a b c d e
B19 Karate a b c d e
B20 …… a b c d e
B21 …… a b c d e
Total
B22 Selama 7 hari yang lalu, selama pelajaran olahraga, seberapa
sering kamu bersikap aktif dalam melakukan olahraga?
a. Tidak ikut pelajran olahraga
b. Jarang aktif
c. Kadang-kadang aktif
d. Sering aktif
e. Selalu aktif
B23 Selama 7 hari yang lalu, apa yang sering kamu lakukan
ketika waktu istirahat?
a. Duduk- duduk (mengobrol,
membaca, mengerjakan tugas)
b. Berdiri di sekitar
c. Jalan-jalan berkeliling
d. Kadang berlari dan bermain
e. Sering berlari dan bermain
B24 Selama 7 hari yang lalu, apa yang biasanya dilakukan ketika
jam makan siang, selain makan ?
a. Duduk- duduk (mengobrol,
membaca, mengerjakan tugas)
b. Berdiri di sekitar
c. Jalan-jalan berkeliling
d. Kadang berlari dan bermain
e. Sering berlari dan bermain
B25 Selama 7 hari yang lalu, setelah pulang sekolah seberapa
sering melakukan olahraga (sepakbola, kejar-kejaran
bersama teman, atau menari) ?
a. Tidak pernah
b. 1 kali seminggu
c. 2-3 kali seminggu
d. 4 kali seminggu
e. 5 kali seminggu
B26 Selama 7 hari yang lalu, pada sore hari seberapa sering
melakukan olahraga (sepakbola, kejar-kejaran bersama
teman, atau menari) ?
a. Tidak pernah
b. 1 kali seminggu
c. 2-3 kali seminggu
d. 4 kali seminggu
e. 5 kali seminggu
B27 Pada akhir minggu yang lalu, (hari sabtu dan minggu)
seberapa sering melakukan olahraga (sepakbola, kejar-
kejaran bersama teman, atau menari) ?
a. Tidak pernah
b. 1 kali seminggu
c. 2-3 kali seminggu
d. 4 kali seminggu
e. 5 kali seminggu
Bacalah semua pernyataan di bawah ini, pilih salah satu pernyataan yang menggambarkan dirimu !
B28
a. Hampir semua waktu luang saya habiskan untuk bersantai
b. Di waktu luang, saya kadang-kadang (1-2 kali seminggu) melakukan aktivitas fisik seperti
olahraga (lari-lari, sepakbola, bersepeda, dan lain-lain)
c. Di waktu luang, saya sering (3-4 kali seminggu) melakukan aktivitas fisik seperti olahraga
(lari-lari, sepakbola, bersepeda, dan lain-lain)
d. Di waktu luang, saya lebih sering (5-6 kali seminggu) melakukan aktivitas fisik seperti
olahraga (lari-lari, sepakbola, bersepeda, dan lain-lain)
e. Di waktu luang, saya sangat sering (>6 kali seminggu) melakukan aktivitas fisik seperti
olahraga (lari-lari, sepakbola, bersepeda, dan lain-lain)
Seberapa sering kamu melakukan aktivitas fisik (Seperti olahraga, lari-lari, sepak bola, bersepeda, menari dan lain-lain)
Berilah tanda “X” pada jawaban yang sesuai !
Tidak
Pernah
Jarang Kadang Sering Sangat
Sering
Diisi
Peneliti
B29 Senin A B c d e
B30 Selasa A B c d e
B31 Rabu A B c d e
B32 Kamis A B c d e
B33 Jumat A B c d e
B34 Sabtu A B c d e
B35 Minggu A B c d e
C. Perilaku Sedentari
No. Aktivitas Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu Minggu
Jam Menit Jam Menit Jam Menit Jam Menit Jam Menit Jam Menit Jam Menit
C1 Menonton TV
C2 Menonton Video/
Film
C3 Bermain Komputer
C4
Menggunakan
komputer untuk
mengerjakan
tugas/PR
C5 Mengerjakan PR
tanpa komputer
C6 Membaca buku
C7 Being tutored
C8
Berpergian
menggunakan
transportasi (mobil,
bus, kereta)
C9
Melakukan hal yang
berkaitan dengan
hobi
C10
Berbincang /
mengobrol dengan
teman / bercanda /
menelfon
C11 Bermain / berlatih
alat musik
*tanggal ………
Lembar Food Recall 2x24 Jam
Hari 1
Waktu Makanan Minuman
Jumlah
Porsi Ukuran
(gr)
*tanggal ………
Lembar Food Recall 2x24 Jam
Hari 2
Waktu
(jam) Makanan Minuman
Jumlah
Porsi Ukuran
(gr)
Lembar Kuesioner (terbuka)
Orangtua Responden
A. Praktek Pemberian Makan
1. Dimana biasanya anak sarapan? Dengan siapa? Mengapa?
2. Dimana biasanya anak makan siang? Dengan siapa? Mengapa?
3. Seberapa sering anak mengonsumsi makanan fastfood/gorengan? Dengan siapa?
Mengapa?
4. Apa makanan kesukaan anak? Seberapa sering anak mengonsumsi makanan
kesukaannya? Darimana diperoleh? Dengan siapa?
5. Apa saja makanan yang biasanya disediakan ibu di rumah/wali di asrama? Kenapa?
Rumah/Sekolah/Lain-lain : ………
Keluarga/Teman/Sendiri/Lain-lain :……..
Rumah/Sekolah/Lain-lain :……..
Keluarga/Teman/Sendiri/Lain-lain :………
Sering/Kadang-kadang/Tidak Pernah/Lain-lain :……….
Keluarga/Teman/Sendiri/Lain-lain :……….
Sering/Kadang-kadang/Tidak Pernah/Lain-lain :……….
Keluarga/Teman/Sendiri/Lain-lain :……….
Makanan olahan gorengan/rebus/kukus/lain-lain :………
Sayur ditumis/rebus/lain-lain :……..
6. Dimanakah biasanya ibu/wali membeli bahan makanan/makanan jadi? Mengapa?
7. Bagaimana bapak/ibu/wali melakukan kebiasaan makan bersama keluarga/anggota
asrama? Dimana? Kenapa?
B. Kebiasaan Aktivitas Keluarga dan Lingkungan Keluarga
1. Apakah keluarga sering melakukan rekreasi? Jika ya, Kenapa? Jika tidak, kenapa?
Kemana? Menggunakan apa?
2. Bagaimana praktek bapak/ibu terhadap aktivitas olahraga yang dilakukan bersama
keluarga? Kemana?
3. Apakah bapak/ibu/wali sering melakukan aktivitas menonton televisi? Durasi?
Dimana?
4. Bagaimana tanggapan bapak/ibu mengenai kebiasaan menonton televisi dan aktivitas
tidak banyak gerak pada anak? Apa saja yang ditonton anak? Apa saja aktivitas anak
yang tidak banyak gerak?
Sering/Jarang/Tidak Pernah/Lain-lain :…….
Sering/Jarang/Tidak Pernah/Lain-lain :…….
Pasar/Lingkungan tempat tinggal/Lain-lain :……..
Sering/Jarang/Lain-lain :…….
…. jam
Sering/Jarang/Lain-lain :…….
…. jam
Lampiran 2
Output Analisis Frekuensi
Umur Responden
Statistics
umur_anak umur_ibu umur_ayah
N Valid 20 20 20
Missing 0 0 0
Mean 11.60 37.10 39.70
Std. Deviation 1.392 5.200 5.048
Minimum 9 31 34
Maximum 14 49 53
umur_anak
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid 9 1 5.0 5.0 5.0
10 5 25.0 25.0 30.0
11 2 10.0 10.0 40.0
12 6 30.0 30.0 70.0
13 5 25.0 25.0 95.0
14 1 5.0 5.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
umur_ibu
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid 31 3 15.0 15.0 15.0
32 2 10.0 10.0 25.0
33 1 5.0 5.0 30.0
34 1 5.0 5.0 35.0
35 2 10.0 10.0 45.0
36 1 5.0 5.0 50.0
37 2 10.0 10.0 60.0
38 1 5.0 5.0 65.0
39 2 10.0 10.0 75.0
41 1 5.0 5.0 80.0
43 2 10.0 10.0 90.0
46 1 5.0 5.0 95.0
49 1 5.0 5.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
umur_ayah
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid 34 2 10.0 10.0 10.0
35 3 15.0 15.0 25.0
36 2 10.0 10.0 35.0
37 1 5.0 5.0 40.0
38 1 5.0 5.0 45.0
39 1 5.0 5.0 50.0
40 3 15.0 15.0 65.0
41 1 5.0 5.0 70.0
42 2 10.0 10.0 80.0
43 1 5.0 5.0 85.0
45 1 5.0 5.0 90.0
49 1 5.0 5.0 95.0
53 1 5.0 5.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Kelas Responden
kelas_anak
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid 4 6 30.0 30.0 30.0
5 6 30.0 30.0 60.0
6 8 40.0 40.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Pendidikan Orangtua
Statistics
pendidikan_ayah pendidikan_ibu
N Valid 20 20
Missing 0 0
pendidikan_ayah
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid rendah 6 30.0 30.0 30.0
tinggi 14 70.0 70.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
pendidikan_ibu
Frequency Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid rendah 10 50.0 50.0 50.0
tinggi 10 50.0 50.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Status gizi lebih
statusgizilebih_anak
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid sangat gemuk
5 25.0 25.0 25.0
gemuk 15 75.0 75.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Asupan Makan Anak
Asupan makan (Total Asupan Energi)
asupanenergi_anak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid lebih 11 55.0 55.0 55.0
cukup 5 25.0 25.0 80.0
kurang 4 20.0 20.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Asupan makan (Persen Karbohidrat)
persenkarbo_anak
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid lebih 3 15.0 15.0 15.0
cukup 6 30.0 30.0 45.0
kurang 11 55.0 55.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Asupan makan (Persen Lemak)
persenlemak_anak
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid lebih 19 95.0 95.0 95.0
cukup 1 5.0 5.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Asupan makan (Persen Protein)
Persenprotein
Frequency Percent
Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid cukup 9 45.0 45.0 45.0
kurang 11 55.0 55.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Aktivitas Fisik
aktivitasfisik_anak
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid kurang baik
10 50.0 50.0 50.0
baik 10 50.0 50.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Perilaku Sedentari
perilakusedentari_anak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tinggi 17 85.0 85.0 85.0
sedang 3 15.0 15.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Praktek Pemberian Makan (PPM)
Ppm
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid kurang baik
11 55.0 55.0 55.0
baik 9 45.0 45.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Kebiasaan Aktivitas Fisik Keluarga
aktivitas_keluarga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak pernah 2 10.0 10.0 10.0
jarang 10 50.0 50.0 60.0
kadang-kadang 4 20.0 20.0 80.0
sering 4 20.0 20.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Lingkungan keluarga
lingkungankeluarga_ps
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid kurang baik 15 75.0 75.0 75.0
baik 5 25.0 25.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Status Gizi Ibu (SGI)
Sgi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid lebih 9 45.0 45.0 45.0
normal 10 50.0 50.0 95.0
kurang 1 5.0 5.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Status Gizi Ayah (SGA)
Sga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid lebih 3 15.0 18.8 18.8
normal 12 60.0 75.0 93.8
kurang 1 5.0 6.2 100.0
Total 16 80.0 100.0
Penghasilan
Penghasilan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid rendah 13 65.0 65.0 65.0
tinggi 7 35.0 35.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Output Analisis Crosstab
Asupan Makan
Asupan Energi*Status Gizi Lebih Anak
asupanenergi_anak * statusgizilebih_anak Crosstabulation
statusgizilebih_anak
Total
sangat gemuk gemuk
asupanenergi_a
nak
lebih Count 3 8 11
% within asupanenergi_anak
27.3% 72.7% 100.0%
cukup Count 1 4 5
% within
asupanenergi_anak 20.0% 80.0% 100.0%
kurang Count 1 3 4
% within
asupanenergi_anak 25.0% 75.0% 100.0%
Total Count 5 15 20
% within
asupanenergi_anak 25.0% 75.0% 100.0%
Persen Karbohidrat*Status Gizi Lebih Anak
persenkarbo_anak * statusgizilebih_anak Crosstabulation
statusgizilebih_anak
Total
sangat gemuk gemuk
persenkarbo_
anak
Lebih Count 0 3 3
% within
persenkarbo_anak .0% 100.0% 100.0%
Cukup Count 2 4 6
% within
persenkarbo_anak 33.3% 66.7% 100.0%
Kurang Count 3 8 11
% within
persenkarbo_anak 27.3% 72.7% 100.0%
Total Count 5 15 20
% within
persenkarbo_anak 25.0% 75.0% 100.0%
Persen Lemak*Status Gizi Lebih Anak
persenlemak_anak * statusgizilebih_anak Crosstabulation
statusgizilebih_anak
Total
sangat gemuk gemuk
persenlemak_
anak
lebih Count 5 14 19
% within
persenlemak_anak 26.3% 73.7% 100.0%
cukup Count 0 1 1
% within persenlemak_anak
.0% 100.0% 100.0%
Total Count 5 15 20
% within
persenlemak_anak 25.0% 75.0% 100.0%
Praktek Pemberian Makan*Asupan Makan
ppm * asupanenergi_anak Crosstabulation
asupanenergi_anak
Total
lebih cukup kurang
ppm kurang baik Count 5 4 2 11
% within ppm 45.5% 36.4% 18.2% 100.0%
baik Count 6 1 2 9
% within ppm 66.7% 11.1% 22.2% 100.0%
Total Count 11 5 4 20
% within ppm 55.0% 25.0% 20.0% 100.0%
ppm * persenkarbo_anak Crosstabulation
persenkarbo_anak
Total
lebih Cukup kurang
ppm kurang baik Count 2 3 6 11
% within ppm 18.2% 27.3% 54.5% 100.0%
Baik Count 1 3 5 9
% within ppm 11.1% 33.3% 55.6% 100.0%
Total Count 3 6 11 20
% within ppm 15.0% 30.0% 55.0% 100.0%
ppm * persenlemak_anak Crosstabulation
persenlemak_anak
Total
Lebih cukup
ppm kurang baik Count 10 1 11
% within ppm 90.9% 9.1% 100.0%
baik Count 9 0 18
% within ppm 100% 0% 100.0%
Total Count 19 1 20
% within ppm 95.0% 5.0% 100.0%
ppm * persenprotein Crosstabulation
persenprotein
Total
cukup kurang
ppm kurang baik Count 3 8 11
% within ppm 27.3% 72.7% 100.0%
Baik Count 6 3 9
% within ppm 66.7% 33.3% 100.0%
Total Count 9 11 20
% within ppm 45.0% 55.0% 100.0%
Status Gizi Ibu*Asupan Makan
sgi * asupanenergi_anak Crosstabulation
asupanenergi_anak
Total
lebih cukup kurang
Sgi gizi lebih Count 4 3 2 9
% within sgi 44.4% 33.3% 22.2% 100.0%
tidak gizi lebih Count 7 2 2 11
% within sgi 63.6% 18.2% 18.2% 100.0%
Total Count 11 5 4 20
% within sgi 55.0% 25.0% 20.0% 100.0%
sgi * persenkarbo_anak Crosstabulation
persenkarbo_anak
Total
lebih cukup kurang
Sgi gizi lebih Count 2 2 5 9
% within sgi 22.2% 22.2% 55.6% 100.0%
tidak gizi lebih Count 1 4 6 11
% within sgi 9.1% 36.4% 54.5% 100.0%
Total Count 3 6 11 20
% within sgi 15.0% 30.0% 55.0% 100.0%
sgi * persenlemak_anak Crosstabulation
persenlemak_anak
Total
lebih cukup
Sgi gizi lebih Count 8 1 9
% within sgi 88.9% 11.1% 100.0%
tidak gizi lebih Count 11 0 11
% within sgi 100.0% .0% 100.0%
Total Count 19 1 20
% within sgi 95.0% 5.0% 100.0%
Status Gizi Ayah*Asupan Makan
sga * asupanenergi_anak Crosstabulation
asupanenergi_anak
Total
lebih cukup kurang
Sga gizi lebih Count 2 1 0 3
% within sga 66.7% 33.3% .0% 100.0%
tidak gizi lebih
Count 7 3 3 13
% within sga 53.8% 23.1% 23.1% 100.0%
Total Count 9 4 3 16
% within sga 56.2% 25.0% 18.8% 100.0%
sga * persenkarbo_anak Crosstabulation
persenkarbo_anak
Total lebih cukup kurang
sga gizi lebih Count 1 0 2 3
% within sga 33.3% .0% 66.7% 100.0%
tidak gizi
lebih
Count 2 5 6 13
% within sga 15.4% 38.5% 46.2% 100.0%
Total Count 3 5 8 16
% within sga 18.8% 31.2% 50.0% 100.0%
sga * persenlemak_anak Crosstabulation
persenlemak_anak
Total lebih cukup
sga gizi lebih Count 3 0 3
% within sga 100.0% .0% 100.0%
tidak gizi
lebih
Count 12 1 13
% within sga 92.3% 7.7% 100.0%
Total Count 15 1 16
% within sga 93.8% 6.2% 100.0%
Pendidikan Ibu*Asupan Makan
pendidikan_ibu * asupanenergi_anak Crosstabulation
asupanenergi_anak
Total
lebih cukup kurang
pendidikan_ibu rendah Count 6 1 3 10
% within
pendidikan_ibu 60.0% 10.0% 30.0% 100.0%
tinggi Count 5 4 1 10
% within pendidikan_ibu
50.0% 40.0% 10.0% 100.0%
Total Count 11 5 4 20
pendidikan_ibu * asupanenergi_anak Crosstabulation
asupanenergi_anak
Total
lebih cukup kurang
pendidikan_ibu rendah Count 6 1 3 10
% within
pendidikan_ibu 60.0% 10.0% 30.0% 100.0%
tinggi Count 5 4 1 10
% within
pendidikan_ibu 50.0% 40.0% 10.0% 100.0%
Total Count 11 5 4 20
% within
pendidikan_ibu 55.0% 25.0% 20.0% 100.0%
pendidikan_ibu * persenkarbo_anak Crosstabulation
persenkarbo_anak
Total
lebih cukup kurang
pendidikan_ibu rendah Count 2 2 6 10
% within
pendidikan_ibu 20.0% 20.0% 60.0% 100.0%
tinggi Count 1 4 5 10
% within
pendidikan_ibu 10.0% 40.0% 50.0% 100.0%
Total Count 3 6 11 20
% within
pendidikan_ibu 15.0% 30.0% 55.0% 100.0%
pendidikan_ibu * persenlemak_anak Crosstabulation
persenlemak_anak
Total
lebih cukup
pendidikan_ibu rendah Count 9 1 10
% within
pendidikan_ibu 90.0% 10.0% 100.0%
tinggi Count 10 0 10
% within
pendidikan_ibu 100.0% .0% 100.0%
Total Count 19 1 20
% within
pendidikan_ibu 95.0% 5.0% 100.0%
Pendidikan Ayah* Asupan Makan
pendidikan_ayah * asupanenergi_anak Crosstabulation
asupanenergi_anak
Total
lebih cukup kurang
pendidikan_ayah
rendah Count 3 1 2 6
% within
pendidikan_ayah 50.0% 16.7% 33.3%
100.0
%
tinggi Count 8 4 2 14
% within pendidikan_ayah
57.1% 28.6% 14.3% 100.0
%
Total Count 11 5 4 20
% within
pendidikan_ayah 55.0% 25.0% 20.0%
100.0
%
pendidikan_ayah * persenkarbo_anak Crosstabulation
persenkarbo_anak
Total
lebih cukup kurang
pendidika
n_ayah
rendah Count 1 1 4 6
% within pendidikan_ayah
16.7% 16.7% 66.7% 100.0%
tinggi Count 2 5 7 14
% within
pendidikan_ayah 14.3% 35.7% 50.0% 100.0%
Total Count 3 6 11 20
% within
pendidikan_ayah 15.0% 30.0% 55.0% 100.0%
pendidikan_ayah * persenlemak_anak Crosstabulation
persenlemak_anak
Total
lebih cukup
pendidikan_
ayah
rendah Count 6 0 6
% within
pendidikan_ayah 100.0% .0% 100.0%
tinggi Count 13 1 14
% within pendidikan_ayah
92.9% 7.1% 100.0%
Total Count 19 1 20
% within
pendidikan_ayah 95.0% 5.0% 100.0%
Penghasilan* Asupan Makan
penghasilan * asupanenergi_anak Crosstabulation
asupanenergi_anak
Total
lebih cukup kurang
penghasilan rendah Count 7 3 3 13
% within
penghasilan 53.8% 23.1% 23.1% 100.0%
tinggi Count 4 2 1 7
% within
penghasilan 57.1% 28.6% 14.3% 100.0%
Total Count 11 5 4 20
% within penghasilan
55.0% 25.0% 20.0% 100.0%
penghasilan * persenkarbo_anak Crosstabulation
persenkarbo_anak
Total
lebih cukup kurang
penghasilan rendah Count 1 5 7 13
% within
penghasilan 7.7% 38.5% 53.8% 100.0%
tinggi Count 2 1 4 7
% within
penghasilan 28.6% 14.3% 57.1% 100.0%
Total Count 3 6 11 20
% within penghasilan
15.0% 30.0% 55.0% 100.0%
penghasilan * persenlemak_anak Crosstabulation
persenlemak_anak
Total
lebih cukup
Penghasilan rendah Count 13 0 13
% within penghasilan 100.0% .0% 100.0%
tinggi Count 6 1 7
% within penghasilan 85.7% 14.3% 100.0%
Total Count 19 1 20
% within penghasilan 95.0% 5.0% 100.0%
Aktivitas Fisik
aktivitasfisik_anak * statusgizilebih_anak Crosstabulation
statusgizilebih_anak
Total
sangat
gemuk gemuk
aktivitasfisik_anak kurang baik Count 4 6 10
% within
aktivitasfisik_anak 40.0% 60.0% 100.0%
baik Count 1 9 10
% within
aktivitasfisik_anak 10.0% 90.0% 100.0%
Total Count 5 15 20
% within
aktivitasfisik_anak 25.0% 75.0% 100.0%
Kebiasaan Aktivitas Fisik Keluarga*Aktivitas Fisik Anak
aktivitas_keluarga * aktivitasfisik_anak Crosstabulation
aktivitasfisik_anak
Total
kurang
baik baik
aktivitas_kel
uarga
tidak pernah Count 2 0 2
% 100.0% .0% 100.0%
jarang Count 5 5 10
% 50.0% 50.0% 100.0%
kadang-kadang Count 2 2 4
% 50.0% 50.0% 100.0%
sering Count 1 3 4
% 25.0% 75.0% 100.0%
Total Count 10 10 20
% 50.0% 50.0% 100.0%
Status Gizi Ibu*Aktivitas Fisik Anak
sgi * aktivitasfisik_anak Crosstabulation
aktivitasfisik_anak
Total
kurang baik baik
sgi gizi lebih Count 6 3 9
% within sgi 66.7% 33.3% 100.0%
tidak gizi lebih Count 4 7 11
% within sgi 36.4% 63.6% 100.0%
Total Count 10 10 20
% within sgi 50.0% 50.0% 100.0%
Status Gizi Ayah*Aktivitas Fisik Anak
sga * aktivitasfisik_anak Crosstabulation
aktivitasfisik_anak
Total
kurang baik baik
sga gizi lebih Count 2 1 3
% within sga 66.7% 33.3% 100.0%
tidak gizi lebih Count 7 6 13
% within sga 53.8% 46.2% 100.0%
Total Count 9 7 16
% within sga 56.2% 43.8% 100.0%
Pendidikan Ibu*Aktivitas Fisik Anak
pendidikan_ibu * aktivitasfisik_anak Crosstabulation
aktivitasfisik_anak
Total
kurang baik baik
pendidik
an_ibu
rendah Count 4 6 10
% within
pendidikan_ibu 40.0% 60.0% 100.0%
tinggi Count 6 4 10
% within
pendidikan_ibu 60.0% 40.0% 100.0%
Total Count 10 10 20
% within pendidikan_ibu
50.0% 50.0% 100.0%
Pendidikan Ayah*Aktivitas Fisik Anak
pendidikan_ayah * aktivitasfisik_anak Crosstabulation
aktivitasfisik_anak
Total
kurang baik baik
pendidikan_ayah
rendah Count 2 4 6
% within
pendidikan_ayah 33.3% 66.7% 100.0%
tinggi Count 8 6 14
% within
pendidikan_ayah 57.1% 42.9% 100.0%
Total Count 10 10 20
% within
pendidikan_ayah 50.0% 50.0% 100.0%
Penghasilan*Aktivitas Fisik Anak
penghasilan * aktivitasfisik_anak Crosstabulation
aktivitasfisik_anak
Total
kurang baik baik
penghasilan rendah Count 5 8 13
% within penghasilan
38.5% 61.5% 100.0%
tinggi Count 5 2 7
% within
penghasilan 71.4% 28.6% 100.0%
Total Count 10 10 20
% within
penghasilan 50.0% 50.0% 100.0%
Perilaku Sedentari*Status Gizi Lebih Anak
perilakusedentari_anak * statusgizilebih_anak Crosstabulation
statusgizilebih_anak
Total
sangat
gemuk gemuk
perilakusedentari_
anak
tinggi Count 5 12 17
% within
perilakusedentari_anak 29.4% 70.6% 100.0%
sedang Count 0 3 3
% within
perilakusedentari_anak .0% 100.0% 100.0%
Total Count 5 15 20
% within perilakusedentari_anak
25.0% 75.0% 100.0%
Lingkungan Keluarga*Perilaku Sedentari
pengawasan_ps * perilakusedentari_anak Crosstabulation
perilakusedentari_anak
Total
tinggi sedang
pengawasan_ps kurang baik Count 13 2 15
% within pengawasan_ps 86.7% 13.3% 100.0%
baik Count 4 1 5
% within pengawasan_ps 80.0% 20.0% 100.0%
Total Count 17 3 20
% within pengawasan_ps 85.0% 15.0% 100.0%
Status Gizi Ibu*Perilaku Sedentari
sgi * perilakusedentari_anak Crosstabulation
perilakusedentari_anak
Total tinggi Sedang
sgi gizi lebih Count 9 0 9
% within sgi 100.0% .0% 100.0%
tidak gizi lebih Count 8 3 11
% within sgi 72.7% 27.3% 100.0%
Total Count 17 3 20
% within sgi 85.0% 15.0% 100.0%
Status Gizi Ayah*Perilaku Sedentari
sga * perilakusedentari_anak Crosstabulation
perilakusedentari_anak
Total
tinggi sedang
sga gizi lebih Count 2 1 3
% within sga 66.7% 33.3% 100.0%
tidak gizi lebih Count 12 1 13
% within sga 92.3% 7.7% 100.0%
Total Count 14 2 16
% within sga 87.5% 12.5% 100.0%
Pendidikan Ibu*Perilaku Sedentari
pendidikan_ibu * perilakusedentari_anak Crosstabulation
perilakusedentari_anak
Total
tinggi sedang
pendidikan_ibu
rendah Count 7 3 10
% within pendidikan_ibu
70.0% 30.0% 100.0%
tinggi Count 10 0 10
% within
pendidikan_ibu 100.0% .0% 100.0%
Total Count 17 3 20
% within
pendidikan_ibu 85.0% 15.0% 100.0%
Pendidikan Ayah*Perilaku Sedentari
pendidikan_ayah * perilakusedentari_anak Crosstabulation
perilakusedentari_anak
Total
tinggi sedang
pendidikan_ayah
rendah Count 3 3 6
% within pendidikan_ayah 50.0% 50.0% 100.0%
tinggi Count 14 0 14
% within pendidikan_ayah 100.0% .0% 100.0%
Total Count 17 3 20
% within pendidikan_ayah 85.0% 15.0% 100.0%
Penghasilan*Perilaku Sedentari
penghasilan * perilakusedentari_anak Crosstabulation
perilakusedentari_anak
Total
tinggi sedang
penghasilan rendah Count 11 2 13
% within penghasilan 84.6% 15.4% 100.0%
tinggi Count 6 1 7
% within penghasilan 85.7% 14.3% 100.0%
Total Count 17 3 20
% within penghasilan 85.0% 15.0% 100.0%
Lampiran 3
Hasil Pengukuran Food Recall 2x24 jam (1)
No.
Resp
Total
Energi
Weekend
(gram)
Total
Energi
Weekday
(gram)
Rata-
rata
Total
Energi
(kkal)
Karbo
Weekend
(gram)
Karbo
Weekday
(gram)
Rata-
rata
Karbo
(gram)
Kalori
Karbo
(kkal)
Persen
Karbo
dalam
Total
Asupan
Energi
1 2398.9 1730.7 2064.8 316.7 311.7 314.2 1256.8 60.87%
2 2032.1 2217.3 2124.7 326 260.8 293.4 1173.6 55.24%
3 2149.9 2454.7 2302.3 266.4 334.8 300.6 1202.4 52.23%
4 2186.5 2034.5 2110.5 243.8 222.4 233.1 932.4 44.18%
5 2112.2 1657.2 1884.7 222.7 294.3 258.5 1034 54.86%
6 2155.8 1778.8 1967.3 234.4 203 218.7 874.8 44.47%
7 2151.8 2366 2258.9 244 316 280 1120 49.58%
8 1983.6 2111.8 2047.7 250.2 256.2 253.2 1012.8 49.46%
9 1945.3 1891.1 1918.2 213.2 232.4 222.8 891.2 46.46%
10 2220.3 2322.3 2271.3 294.2 290.4 292.3 1169.2 51.48%
11 2009.7 1810.9 1910.3 191.3 232.3 211.8 847.2 44.35%
12 1908.5 2111.5 2010 267.1 235.7 251.4 1005.6 50.03%
13 2199.7 2092.9 2146.3 304.3 261.7 283 1132 52.74%
14 2242.9 2116.5 2179.7 256.9 236.1 246.5 986 45.24%
15 2088.7 2368.7 2228.7 291.8 252.8 272.3 1089.2 48.87%
16 2118.5 2232.5 2175.5 278.7 218.1 248.4 993.6 45.67%
17 2174.4 2138.8 2156.6 257.8 260.2 259 1036 48.04%
18 2088.1 2281.3 2184.7 328.5 314.7 321.6 1286.4 58.88%
19 2035.4 1978.6 2007 235.9 275.1 255.5 1022 50.92%
20 1915.7 1944.5 1930.1 267.2 261 264.1 1056.4 54.73%
Rata-
rata 2105.9 2082.03 2093.97 264.555 263.485 264.02 1056.08 50.42%
Max 2398.9 2454.7 2302.3 328.5 334.8 321.6 1286.4 60.87%
Min 1908.5 1657.2 1884.7 191.3 203 211.8 847.2 44.18%
Hasil Pengukuran Food Recall 2x2r4 jam (2)
No.
Resp
Lemak
Weekend
(gram)
Lemak
Weekday
(gram)
Rata-
rata
Lemak
(gram)
Kalori
Lemak
(kkal)
Persen
Lemak
dalam
Total
Asupan
Energi
Rata-
rata
Protein
(gram)
Kalori
dari
Protein
(kkal)
Persen
Protein
dalam
Total
Asupan
Energi
1 56.6 80 68.3 614.7 29.77% 52.2 208.8 10.11%
2 97.7 75.9 86.8 781.2 36.77% 66.4 265.6 12.50%
3 64.9 99.5 82.2 739.8 32.13% 83.4 333.6 14.49%
4 106.4 106.4 106.4 957.6 45.37% 59.5 238 11.28%
5 101.2 56 78.6 707.4 37.53% 65.6 262.4 13.92%
6 93.2 81.8 87.5 787.5 40.03% 73.5 294 14.94%
7 89.6 88.8 89.2 802.8 35.54% 78.3 313.2 13.87%
8 83.2 98.4 90.8 817.2 39.91% 59.7 238.8 11.66%
9 74.5 82.9 78.7 708.3 36.93% 80.4 321.6 16.77%
10 76.3 106.3 91.3 821.7 36.18% 74.2 296.8 13.07%
11 112.3 68.9 90.6 815.4 42.68% 55.9 223.6 11.70%
12 69.9 102.9 86.4 777.6 38.69% 61.2 244.8 12.18%
13 78.4 92.6 85.5 769.5 35.85% 63.4 253.6 11.82%
14 90.4 99.2 94.8 853.2 39.14% 86.6 346.4 15.89%
15 77 115.8 96.4 867.6 38.93% 71.6 286.4 12.85%
16 88.8 131 109.9 989.1 45.47% 69.7 278.8 12.82%
17 96.5 73.7 85.1 765.9 35.51% 60.4 241.6 11.20%
18 58.3 95.3 76.8 691.2 31.64% 54.5 218 9.98%
19 90.3 78.7 84.5 760.5 37.89% 60.1 240.4 11.98%
20 100.1 73.1 86.6 779.4 40.38% 48.4 193.6 10.03%
Rata-
rata 85.28 90.36 87.82 790.38 37.82% 66.25 265 12.65%
Max 112.3 131 109.9 989.1 45.47% 86.6 346.4 16.77%
Min 56.6 56 68.3 614.7 29.77% 48.4 193.6 9.98%
Jenis Makanan Penyumbang Energi Terbanyak dari Zat Gizi Karbohidrat
No.
responden
PERTAMA KEDUA KETIGA
jenis
makanan
Rata-
rata
total
gram
rata-
rata
kalori
jenis makanan
rata-
rata
total
gram
rata-
rata
kalori
jenis makanan
rata-
rata
total
gram
rata-
rata
kalori
1 nasi putih 128.7 514.8 nasi uduk 52.9 211.6 indomie goreng 22.95 91.8
2 nasi putih 85.8 343.2 Indomie goreng 44.2 176.8 nasi uduk 35.3 141.2
3 nasi putih 118 472 Indomie goreng 22.95 91.8 nasi goreng 20.1 80.4
4 nasi putih 42.9 171.6 Nasi goreng 35.2 140.8 Indomie goreng 22.95 91.8
5 nasi putih 92.95 371.8 nasi uduk 23.5 94 indomie soto 21.25 85
6 nasi putih 100.1 400.4 Nasi goreng 40.2 160.8 Seblak 17.5 70
7 nasi putih 121.55 486.2 Indomie goreng 22.95 91.8 tepung sagu 18.25 73
8 nasi putih 114.4 457.6 Snack potato
chips 21.1 84.4 nasi goreng 20.1 80.4
9 nasi putih 85.8 343.2 Nasi uduk 23.5 94 nasi goreng 20.1 80.4
10 nasi putih 78.65 314.6 nasi goreng 20.1 80.4 nasi uduk 17.65 70.6
11 nasi goreng 50.3 201.2 nasi putih 42.9 171.6 indomie goreg 22.95 91.8
12 nasi putih 100.1 400.4 Indomie goreng 45.9 183.6 nasi goreng 15.1 60.4
13 nasi putih 78.65 314.6 nasi uduk 35.3 141.2 nasi goreng 15.1 60.4
14 nasi putih 100.1 400.4 Seblak 20.4 81.6 nasi goreng 15.1 60.4
15 nasi putih 114.4 457.6 nasi goreng 35.2 140.8 indomie goreng 22.95 91.8
16 nasi putih 78.65 314.6 Indomie goreng 45.9 183.6 nasi goreng 20.1 80.4
17 nasi putih 67.95 271.8 Indomie 44.2 176.8 nasi uduk 23.5 94
18 nasi putih 100.1 400.4 indomie goreng 45.9 183.6 nasi goreng 20.1 80.4
19 nasi putih 100.1 400.4 indomie goreng 22.95 91.8 Cireng 15.7 62.8
20 nasi putih 78.65 314.6 nasi uduk 23.5 94 indomie soto 21.25 85
Rata-rata 91.8925 367.57 147.475 72.9
Jenis Makanan Penyumbang Energi Terbanyak dari Zat Gizi Lemak
no.
resp
PERTAMA KEDUA KETIGA
jenis
makanan
total
gram
total
kalori
rata-rata
kalori jenis makanan
rata-
rata
total
gram
rata-
rata
kalori
jenis makanan
rata-
rata
total
gram
rata-rata
kalori
1 snack
cokelat 14.4 129.6 64.8 sosis 6.35 57.15 tempe goreng 6.05 54.45
2 nasi goreng 51.6 464.4 232.2 daging ayam 12.1 108.9 pastel 6.65 59.85
3 nasi goreng 34.4 309.6 154.8 ayam kfc 13.55 121.95 daging ayam 7.1 63.9
4 nasi goreng 60.2 541.8 270.9 kacang tanah 7.4 66.6 cireng/bakwan goreng 7.1 63.9
5 nasi goreng 34.4 309.6 154.8 tempe goreng 9.5 85.5 daging ayam 5.3 47.7
6 daging ayam 37.8 340.2 170.1 nasi goreng 34.4 309.6 seblak 5.3 47.7
7 ayam kfc 45.3 407.7 203.85 daging ayam 11.55 103.95 snack potato 6.5 58.5
8 nasi goreng 34.4 309.6 154.8 snack potato chips 12.95 116.55 ikan mas goreng 11.25 101.25
9 nasi goreng 34.4 309.6 154.8 daging ayam 14.2 127.8 pastel 6.65 59.85
10 nasi goreng 34.4 309.6 154.8 bakwan 21.25 191.25 tempe goreng 9.5 85.5
11 nasi goreng 86 774 387 susu UHT 7.6 68.4 indomie goreng 5.95 53.55
12 susu UHT 15.2 136.8 68.4 ikan lele 5.55 49.95 soto ayam 5.55 49.95
13 nasi goreng 25.8 232.2 116.1 daging ayam 12.3 110.7 pastel 6.65 59.85
14 daging ayam 48.9 440.1 220.05 chicken nugger 19.85 178.65 nasi goreng 12.9 116.1
15 nasi goreng 60.2 541.8 270.9 pastel 8 72 chickem nugget 7.95 71.55
16 susu UHT 18.2 163.8 81.9 bakso 6.55 58.95 cireng/bakwan goreng 4.65 41.85
17 nasi goreng 34.4 309.6 154.8 ayam kfc 9.05 81.45 bakwan 8.1 72.9
18 nasi goreng 34.4 309.6 154.8 indomie goreng 11.9 107.1 minyak kelapa sawit 5 45
19 Bakwan 32.4 291.6 145.8 bakso 8.95 80.55 tempe goreng 10.8 97.2
20 tempe grng 21.5 193.5 96.75 bakwan 20.25 182.25 bakso 8.95 80.55
Rata-
rata 43.7167 393.45 196.725
11.65 104.85
7.26667 66.555
Jenis Makanan Penyumbang Energi Terbanyak dari Zat Gizi Protein
No. resp
PERTAMA KEDUA KETIGA
jenis makanan
rata-
rata
total
gram
rata-
rata
kalori
jenis makanan
rata-
rata
total
gram
rata-
rata
kalori
jenis makanan
rata-
rata
total
gram
rata-
rata
kalori
1 Sosis 6.5 26 nasi putih 7.2 28.8 tempe 3.85 15.4
2 daging ayam goreng 13.75 55 ikan tongkol 6 24 telur dadar 4.9 19.6
3 ayam kfc 15.25 61 ikan teri goreng 13.2 52.8 daging ayam 10.1 40.4
4 telur dadar 12.25 49 chicken nugget 4.6 18.4 kacang tanah 3.85 15.4
5 daging ayam goreng 13 52 tempe goreng 7.6 30.4 kacang tanah 3.85 15.4
6 daging ayam goreng 26.9 107.6 ikan tongkol 6 24 risoles 4.1 16.4
7 ayam kfc 27.4 109.6 daging ayam 13.1 52.4 tempe goreng 3.8 15.2
8 ikan mas goreng 12 48 ikan kembung 4.8 19.2 tempe goreng 3.8 15.2
9 daging ayam 20.2 80.8 ikan bawal 13.65 54.6 susu dancow 4.85 19.4
10 ikan lele 11.1 44.4 soto ayam 9.25 37 tempe goreng 12.3 49.2
11 susu UHT 7.6 30.4 ikan lele 5.55 22.2 soto ayam 5.55 22.2
12 daging ayam 10.1 40.4 kacang tanag 4.7 18.8 tempe goreng 3.8 15.2
13 daging ayam 7.6 30.4 telur 5.45 21.8 usus ayam 3.15 12.6
14 daging ayam 10.1 40.4 chicken nugget 15.25 61 ikan bandeng 3.7 14.8
15 daging ayam 10.1 40.4 chicken nugget 6.1 24.4 telur rebus 3.75 15
16 bakso 7.55 30.2 susu UHT 7.3 29.2 tempe goreng 4.8 19.2
17 ayam kfc 10.95 43.8 ikan lele 4.8 19.2 telur 3.8 15.2
18 ikan lele 4.8 19.2 soto ayam 3.7 14.8 telur 3.45 13.8
19 daging ayam 11.95 47.8 bakso 7.05 28.2 telur 3.75 15
20 bakso 7.05 28.2 tempe 10.25 41 indomie 2.95 11.8
Rata-
rata 13.465 53.86
7.66 30.64
3.965 15.86
Hasil Pengukuran Aktivitas Fisik
No.
Resp
Frekuensi Total Hasil kali Total Skor
a b c d e Ta Tb Tc Td Te
1 28 3 2 1 0 28 6 6 4 0 44
2 19 8 0 5 3 19 16 0 20 15 70
3 22 3 1 9 0 22 6 3 36 0 67
4 29 1 1 2 1 29 2 3 8 5 47
5 28 7 3 9 4 28 14 9 36 20 107
6 24 0 3 8 0 24 0 9 32 0 65
7 17 4 1 8 5 17 8 3 32 25 85
8 24 3 2 4 2 24 6 6 16 10 62
9 30 3 1 1 0 30 6 3 4 0 43
10 19 5 5 4 2 19 10 15 16 10 70
11 24 1 0 7 3 24 2 0 28 15 69
12 27 3 1 3 1 27 6 3 12 5 53
13 21 4 2 7 1 21 8 6 28 5 68
14 22 10 1 2 0 22 20 3 8 0 53
15 17 2 10 2 4 17 4 30 8 20 79
16 18 2 5 7 3 18 4 15 28 15 80
17 20 7 6 0 2 20 14 18 0 10 62
18 21 4 4 5 1 21 8 12 20 5 66
19 18 7 4 4 2 18 14 12 16 10 70
20 18 6 4 5 2 18 12 12 20 10 72
Hasi Pengukuran Perilaku Sedentari
No.
Resp
Perilaku
Sedentari
(SSR)
Perilaku
Sedentari
(Edukasi)
Perilaku
Sedentari
(Travel)
Perilaku
Sedentari
(Culture)
Perilaku
Sedentari
(Sosial)
Total
Perilaku
Sedentari
Waktu (Jam)
1 17.00 21.50 1.50 5.50 4.25 49.75
2 1.00 17.50 3.00 8.17 4.50 34.17
3 18.50 22.00 0.50 7.75 7.50 56.25
4 13.75 16.50 3.50 4.50 7.25 45.50
5 11.50 23.50 2.00 8.00 6.25 51.25
6 17.00 23.00 1.00 6.75 4.00 51.75
7 19.00 20.00 2.25 5.50 2.42 49.17
8 11.00 16.50 0.75 7.00 8.25 43.50
9 14.00 18.00 1.33 3.67 8.00 45.00
10 3.00 17.00 1.50 5.00 7.75 34.25
11 10.50 21.00 3.75 11.50 2.83 49.58
12 15.25 21.50 3.00 7.67 8.00 55.42
13 18.00 21.50 1.75 10.50 7.75 59.50
14 6.00 20.50 1.50 8.50 8.75 45.25
15 11.00 23.00 1.67 10.50 6.50 52.67
16 13.00 18.50 1.00 3.00 7.75 43.25
17 15.00 22.00 1.00 6.50 7.50 52.00
18 14.00 22.00 1.83 6.50 8.00 52.33
19 17.00 21.00 1.00 3.00 4.25 46.25
20 4.00 18.50 1.33 4.00 3.92 31.75
mean 12.43 20.20 1.93 7.37 6.27 48.20
max 19.00 23.50 3.75 11.50 8.75 59.50
min 1.00 16.50 0.50 3.67 2.42 34.17
Praktek Pemberian Makan
Sarapan
Makan Siang
Konsumsi
Gorengan/Fastfood
Olahan
lauk
Olahan
Sayur
Makan bersama
Keluarga
TOT
AL
SKO
R Skor Skor Skor Skor Skor Skor
Rumah Sendiri 1 Rumah Keluarga 2 Sering 0 Sendiri 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering 2 10
Rumah Keluarga 2 Rumah Keluarga 2 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 21
Rumah Keluarga 2 Rumah Keluarga 2 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 21
Rumah Keluarga 2 Sekolah Teman 0 Kadang 10 Teman 5 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 24
Rumah Keluarga 2 Rumah Keluarga 2 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 21
Sekolah Teman 0 Rumah Keluarga 2 Sering 0 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 9
Rumah Keluarga 2 Rumah Sendiri 1 Sering 0 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Kadang 1 9
Sekolah Teman 0 Rumah Keluarga 2 Sering 0 Keluarga 0 Gorengan 0 Mentah 10 Sering di Rumah 2 14
Tidak Sarapn
0 Rumah Sendiri 1 Sering 0 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Kadang di Rumah 1 7
Sekolah Sendiri 0 Rumah Keluarga 2 Kadang 10 Sendiri 0 Gorengan 0 Rebus 5 Jarang 0 17
Rumah Keluarga 2 Sekolah Teman 0 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Tumis 0 Sering di Rumah 2 14
Sekolah Teman 0 Rumah Keluarga 2 Sering 0 Teman 5 Gorengan 0 Rebus 5 Sering
di Rumah
Nenek 2 14
Rumah Keluarga 2 Sekolah Teman 0 Sering 0 Sendiri 0 Gorengan 0 Tumis 0 Kadang di Rumah 1 3
Rumah Keluarga 2 Rumah Keluarga 2 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Tumis 0 Sering di Rumah 2 16
Tidak Sarapn
0 Rumah Sendiri 1 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 18
Rumah Keluarga 2 Rumah Sendiri 1 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 20
Rumah Keluarga 2 Sekolah Teman 0 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Tumis 0 Kadang di Rumah 1 13
Sekolah Teman 0 Rumah Keluarga 2 Sering 0 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 9
Sekolah Teman 0 Rumah Keluarga 2 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Rebus 5 Sering di Rumah 2 19
Sekolah Teman 0 Rumah Keluarga 2 Kadang 10 Keluarga 0 Gorengan 0 Tumis 0 Sering di Rumah 2 14
No.
Rekreasi/ Refreshing
Rekreasi/ Refreshing Keluarga
Total Skor Aktivitas
Keluarga Skor
Skor
1 Jarang Berenang 4 Tidak suka Capek 0 0 4 Jarang
2 Sering ke Detos 8 Tidak suka Beresin Rumah 0 2 10 Sering
3 Jarang 2 Sering Naik Sepeda 4 4 6 Jarang
4
Jarang
Ke Rumah
Nenenk 4 Tidak suka - 0 0 4 Jarang
5
Sering Berenang 10 Sering
Jalan dan Lari
Pagi 4 4 14 Sering
6 Sering Rumah Nenek 8 Tidak suka - 0 0 8 Kadang
7 Kadang Sekitar Jakarta 4 Sering Lari & Voli 4 4 8 Kadang
8 Jarang Ayah Kerja 2 Tidak suka Sibuk 0 0 2 Jarang
9 Tidak
Pernah - 0 Tidak suka - 0 0 0 tidak pernah
10
Sering
ke Citayam,
Jakarta 8 Tidak suka - 0 0 8 Kadang
11 Sering Ragunan 8 Sering Lari 4 4 12 Sering
12 Jarang Sibuk 2 Tidak suka Malas 0 0 2 Jarang
13 Jarang ke UI, jalan 6 Tidak suka Sibuk 0 0 6 Jarang
14 Tidak
Pernah - 0 Jarang - 2 0 0 tidak pernah
15
Jarang - 2 Sering
Jogging di sekitar
rumah 4 4 6 Jarang
16
Jarang
Ke rumah
Keluarga 4 Tidak suka Capek 0 0 4 Jarang
17 Sering ke ITC 10 Sering Lari 4 4 14 Sering
18 Sering Rumah Nenek 8 Tidak suka - 0 0 8 Kadang
19 Jarang ke ITC 6 Tidak Suka Sibuk 0 0 6 Jarang
20 Jarang - 2 Tidak Suka - 0 0 2 Jarang
Lampiran 4
Foto Kegiatan
Foto Lingkungan Sekolah (Saat Istirahat)
Foto Lingkungan Sekolah (Pedagang)
Foto Pengukuran Antropometri Orangtua
Lingkungan Rumah