gagalnya modernisasi

34
GAGALNYA TEORI MODERNISAI DI INDONESIA MAKALAH Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Matakuliah Teori Pembangunan Oleh : Arinta Qurroa A’yunin 145030100111073 Garnis Mega Purwantika 145030101111008 Rosy Nayi’ Alwafi 145030101111070 Setyana Dewi Sesanti 145030107111028 Jurusan Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi

Upload: rosy-alwafi

Post on 08-Nov-2015

66 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

teori pembangunan

TRANSCRIPT

GAGALNYA TEORI MODERNISAI DI INDONESIAMAKALAHDitulis Untuk Memenuhi Tugas TerstrukturMatakuliah Teori Pembangunan

Oleh :Arinta Qurroa Ayunin145030100111073Garnis Mega Purwantika 145030101111008Rosy Nayi Alwafi 145030101111070Setyana Dewi Sesanti145030107111028

Jurusan Ilmu Administrasi PublikFakultas Ilmu AdministrasiUniversitas BrawijayaMalang201517

KATA PENGANTARPuji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Gagalnya Teori Modernisasi di Indonesia. Diharapkan tugas ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi , tidak hanya pada kelompok kami saja tetapi juga pada pembaca. Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan untuk kesempurnaan tugas ini. Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada dosen yang telah membimbing serta memberi saran yang berguna dalam melakukan perbaikan, kepada teman-teman yang sudah berkenan memberi sanggahan, kritik dan saran, serta semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan tugas ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.

Malang, 25 April 2015

Penyusun

DAFTAR ISI hal.KATA PENGANTAR......................................................................................... iiDAFTAR ISI....................................................................................................... iiiBAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 11.1 Latar Belakang Masalah............................................................ 11.2 Rumusan masalah...................................................................... 21.3 Tujuan........................................................................................ 2BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 32.1 Teori Pembangunan................................................................. 32.2 Krisis Pembangunan Indonesia................................................92.3 Teori Modernisasi dan Pembangunan......................................102.4 Kegagalan Teori Modernisasi Di Dunia Ketiga.......................12BAB III PENUTUP............................................................................................ 153.1 Simpulan................................................................................... 153.2 Saran......................................................................................... 16DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 17

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPembangunan sepertinya sebagai suatu fenomena yang tidak habis-habisnya dibahas dalam kerangka kajian keberlangsungan hidup manusia. Fenomena ini melekat sebagai salah satu ciri kehidupan manusia yang kerap mengalami perubahan menurut berbagai dimensi yang ada. Konsep pembangunan biasanya melekat dalam konteks kajian suatu perubahan, pembangunan disini diartikan sebagaiu bentuk perubahan yang sifatnya direncanakan; setiap orang atau kelompok orang tentu akan mengharapkan perubahan yang mempunyai bentuk lebih baik bahkan sempurna dari keadaan yang sebelumnya; untuk mewujudkan harapan ini tentu harus memerlukan suatu perencanaan. Selo Soemardjan (1974) menyatakan bahwa perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat (Soemardjan-Soemardi, 1974: 490). Masyarakat Indonesia, kalau bisa dikatakan demikian, tidak terlepas dari fenomena pembangunan ini. Keaneka-ragaman, etnik, ras, kelompok, dan agama dengan bentuk dan tingkat kehidupan yang berbeda dalam masyarakat ini secara langsung maupun tidak langsung mendorong timbulnya perubahan dalam masyarakat sendiri atau menurut orientasinya ke luar masyarakat. Kurangnya komunikasi yang terjadfi antara para penentu. Kebijakan dengan rakyat kebanyakan, menyebabkan model bentuk pembangunan yang diterapkan lebih memperlihatkan suatu model top-down planning yang menuntut satu kondisi dianggap lebih baik, namun dari sisi yang lain memberikan dampak yang kurang diharapkan sejauh perkembangan masyarakat yang ada. Termyata sisi ke dua inilah yang dirasakan lebih memperlihatkan substansinya dalam masyarakat Indonesia ini.Indonesia dalam peta pembangunan internasional termasuk dalam cakupan wilayah di dunia ke tiga, untuk itu dalam perspektif teori pembangunan internasional maka Indonesia termasuk dalam perspektif teori pembangunan dunia ketiga. Teori pembangunan dunia ketiga sendiri adalah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh negera-negara miskin atau negara-negara sedang yang sedang berkembang dalam sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan militer negara-negara adikuasa atau negara-negara industri maju. Teori Pembangunan di dunia ke tiga memiliki perbedaan dengan teori pembangunan bagi negara-negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berlainan. Bagi negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup atau bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bis bersaing di pasar internasional. Bagi negara-negara adikuasa persolannya adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan.Dalam perkembangan lebih lanjut, suatu proses pembangunan dapat dijadikan sebagai suatu ukuran untuk menilai sejauh mana nilai-nilai dasar masyarakat yang terlibat dalam proses ini bisa memenuhi seperangkat kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dari dinamika masyarakatnya. Terpaan dari faktor-faktor ekonomi yang menimbulkan krisis ekonomi pada tahun 1998 yang kemudian mengguncang sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, seolah-olah memberikan gambaran yang jelas bahwa selama ini belum ada konsep atau bentuk pembangunan yang jaelas dalam masyarakat ini; gambaran ini menunjukkan bahwa sedemikian rapuhnya nilai-nilai dasar tentang konsep pembangunan masyarakatnya. Fenomena inilah yang dijadikan dasar untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana peran teori modernisasi dalam penerapannya.

1.2 Rumusan Masalah1. Bagaimana peran teori modernisasi dalam pembangunan di Indonesia?2. Apa yang menyebabkan gagalnya teori modernisasi dalam penerapannya di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui peran teori modernisasi dalam pembangunan di Indonesia.2. Untuk mengetahui penyebab gagalnya teori modernisasi dalam penerapannya di Indonesia.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Teori Pembangunan Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori modernisasi. Menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok teori yang dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. Teori ini merupakan reaksi terhadap teori modernisasi. Teori ini mula-mula tumbuh di kalangan para ahli ilmu sosial di Amerika Latin kemudian meluas sampai ke Amerika Serikat dan Eropa dan Asia. Teori ini dipengaruhi oleh metoda analisis Marxis ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post Modernisme. Teori ini sering disebut sebagai teori pasca ketergantungan. Di dalamnya ada teori sistem dunia, teori artikulasi dan sebagainya .Namun Teori pembangunan ini lebih mengerucut pada dua buah teori besar, yaitu teorimodernisasi dan teori dependensi. Dua teori ini saling bertolak belakang dan merupakan sebuah pertarungan paradigma hingga saat ini. Teori modernisasi merupakan hasil dari keberhasilan Amerika Serikat dalam membawa pembangunan ekonomi di negara-negara eropa. Sedangkan kegagalan pembangunan di Afrika, Amerika Latin dan Asia menjadi awal lahirnya teori dependensi. Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu teori pendekatan psikologis dan teori pendekatan budaya. Teori pendekatan psikologis menekankan bahwa pembangunan ekonomi yang gagal pada negara berkembang disebabkan oleh mentalitas masyarakatnya. Menurut teori ini, keberhasilan pambangunan mensyaratkan adanya perubahan sikap mental penduduk negara berkembang. Sedangkan teori pendekatan kebudayaan lebih melihat kegagalan pembangunan pada negara berkembang disebabkan oleh ketidaksiapan tata nilai yang ada dalammasyarakatnya. Secara garis besar teori modernisasi merupakan perpaduan antara sosiologi, psikologi dan ekonomi. Teori dasar yang menjadi landasan teori modernisasi adalah ide Durkheim dan Weber Kritik terhadap teori modernisasi lahir seiring dengan kegagalan pembangunan di negara dunia ketiga dan berkembang menjadi sebuah teori baru yaitu teori dependensi. Frank (1984) mencoba mengembangkan teori dependensi dan mengemukakan pendapat bahwa keterbelakangan pada negara dunia ketiga justru disebabkan oleh kontak dengan negara maju. Teori dependensi menjadi sebuah perlawanan terhadap teori modernisasi yang menyatakan untuk mencapai tahap kemajuan, sebuah negara berkembang harus meniru teknologi dan budaya Negara maju. Frank memberikan kritiknya terhadap pendekatan-pendekatan yang menjadi rujukan teori modernisasi, antara lain pendekatan indeks tipe ideal, pendekatan difusionis dan pendekatan psikologis. Namun dalam pembahasan ini akan lebih berfokus pada teori modernisasi, yang gagal diterpkan dalam dunia ketiga, khususnya di Indonesia.

1) Teori ModernisasiTeori Modernisasi lahir di tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan respon kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan. Teori ini lahir dalam suasana ketika dunia memasuki perang dingin atau peperangan idiologi antara Kapitalisme dibawah kepemimpinan amerika serikat dengan kekuatan Komunisme dibawah kepemipinan Negara Sosialis Uni Sovyet Rusia ( USSR) . Adapun penopang dari Teori Modernisasi adalah ide Weber yang melihat pada aspek-aspek nilai budaya yaitu Variabel etos sebagai varian utama dalam melihat keterbelakangan dunia ketiga . Tesis ini diperkuat oleh McClelland yang menekankan psikologi individu dan menekankan bahwa kondisi psikologis prakondisi suatu masyarakat dalam memandang prestasi (the need for achievement) secara signifikan berkorelasi positif terhadap kelangsungan pembangunan .Selain itu Teori Modernisasi juga melihat bahwa masalah pembangunan merupakan masalah penyediaan modal untuk investasi (Harood Domar) . Gagasan ide ini kemudian dikembangkan oleh Rostow bahwa pembangunan dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan budaya tradisional ke masyarakat yang rasional, industrial dan berfokus pada ekonomi pelayanan. Ide ini kemudian melahirkan konsep lima tahap pembangunan Rostow . Berbeda dengan Rostow Bert F. Hoselitz membahas faktor-faktor non ekonomi yg ditinggalkan Rostow yang disebut faktor kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan maksudnya adalah perubahan-perubahan pengaturan kelembagaan yg terjadi dalam bidang hukum, pendidikan,keluarga, dan motivasi. Hoselitz menekankan bahwa meskipun seringkali orang menunjukkan bahwa masalah utama pembangunan adalah keurangan modal (teori Harrod Domar ), ada masalah lain yang juga sangat penting yakni adanya ketrampilan kerja tertentu, termasuk tenaga wiraswasta yang tangguh. Karena itu dibutuhkan perubahan kelembagaan pada masa sebelum lepas landas, yang akan mempengaruhi pemasokan modal, supaya modal ini bisa menajadi produktif. Perubahan kelembagaan ini akan menghasilkan tenaga wiraswasta dan administrasi serta ketrampilan teknis dan keilmuan yang dibutuhkan. Menurut Hoselitz, pembangunan membutuhkan pemasokan dari beberapa unsur, seperti : pemasokan modal besar dan perbankan, serta pemasokan tenaga ahli dan terampil.Perspektif umum Teori modernisasi memandang pembangunan merupakan kerja secara Internasional yang didasarkan pada teori keuntungan komparatif yang dimiliki oleh setiap negara mengakibatkan terjadinya spesialisasi produksi pada tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Secara umum, di dunia ini terdapat dua kelompok negara : 1) negara yang memproduksi hasil pertanian ; 2) negara yang memproduksi barang industri. Antara kedua kelompok negara ini terjadi hubungan dagang dan keduanya menurut teori di atas saling diuntungkan. Tetapi setelah beberapa puluhan tahun kemudian, tampak bahwa negara-negara industri menjadi semakin kaya sedangkan negara-negara pertanian semakin tertinggal. Ini kemudiaan melahirkan dua kelompok negara yaitu negara-negara miskin yang biasanya meruapakan negara pertanian dan negara-negara kaya yang biasanya adalah negara industri. Teori Modernisasi lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan. Pembangunan sendiri mempunyai dua unsur utama yaitu masalah materi yang mau dihasilkan dan dibagi, serta masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangunan. Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan distribusi barang-barang material tetapi pembangunan juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreatifitasnya. Teori Modernisasi mendasarkan selain pada faktor-faktor material sebagai penyebab kemiskinan juga faktor manusia yang ada di dalam negara itu sendiri. Untuk itu maka negara-negara miskin yang kemudian di petakan dalam negara dunia ketiga dalam perspektif teori modernisasi harus mendapatkan perhatian dari negara maju, dan negara maju harus berupaya menciptakan replikasi model pembangunan bergaya liberal untuk diadopsi negara-negara dunia Ketiga. Pola hubungan ini kemudian melahirkan istilah Developmentalisme yang merupakan bagian penyokong Teori modernisasi, sehingga teori modernisasi juga di kenal dengan teori developmentalisme. Seperti halnya keyakinan bahwa kemiskinan merupakan masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat penyesuaian (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara maju yang didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani kemiskinan.Pada perkembangannya kemudian, keberhasilan pembangunan yang diterapkan pada negara-negara di Eropa ini memberikan pemikiran lanjut untuk melakukan ekspansi pasar ke negara-negara dunia Ketiga, dan banyak memberikan bantuan untuk pembangunannya; dalam kenyataannya, keberhasilan yang pernah diterapkan di Eropa, ternyata banyak mengalami kegagalan di negara-negara dunia Ketiga. Kemudian, mereka mencoba memberikan beberapa alternatif pemecahan masalah berdasarkan cara pandang mereka. Adapun asumsi dasar teori modernisasi seperti yang terlihat ada table di bawah ini. Adapun kebijakan, model, dan strategi pembangunan nasional menurut teori modernisasi (ekonomi makro) itu sendiri. secara spesifik, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.Kebijakan, Model dan Strategi Pembangunan Nasional Menurut Teori Modernisasi[footnoteRef:1][3] [1: ]

Aspek PembangunanLangkah-Langkah yang Ditempuh

Kebijakan 1) Pembangunan ekonomi pada skala makro (investasi besar untuk penyerapan angkatan kerja)2) Menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dan bantuan dana/hutang luar negeri

Model1) Hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi (PDB/GNP) dengan hutang luar negeri,PMA,Penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan pembangunan infrasturktur ekonomi makro

Strategi1) Menurunkan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk, agar pertumbuhan ekonomi meningkat2) Industrialisasi melalui PMA3) Menerima hutang luar negeri untuk investasi dalam negeri agar tercipta trickle-down effect4) Mengembangkan industry subtitudi impor, untuk mengurangi ketergantungan kepada impor barang konsumsi (defensif)5) Membangaun industri berorientasi ekspor untk memperoleh devisa (ofensif)6) Membangun infrastruktur ekonomi

Meskipun kebijakan,model dan strategi pembangunan nasional diatas telah di adopsi sepenuhnya oleh Negara-negara dunia ketiga lainnya namun, pada kenyataannya tidak semua Negara berhasil melakukan pembangunan nasionalnya. Cenderung setelah menerapkan kebijakan tersebut seperti menerima Penanaman Modal Asing (PMA) secara besar-besaran dan menerima bantuan luar berupa hutang luar negeri, Negara justru mengamalami ketergantungan abadi pada Negara donatur. Begitu pun dengan penerapan kebijakan,model, dan strategi lainnya yang juga tidak efektif dalam mendorong pembangunan nasional.Kegagalan Negara-negara dunia ketiga menerapkan model, strategi dan kebijakan di atas lebih disebabkan oleh faktor internal masing-masing Negara. Dalam artian bahwa berhasil tidaknya pembangunan dalam suatu Negara sangat tergantung pada faktor internal. David Mc Clelland salah satu ahli yang mengusulkan konsep need of achievement (n-ach) atau kebutuhan untuk berprestasi. Teori ini mengatakan bahwa proses pembangunan berarti membentuk manusia yang berjiwa wiraswasta dengan jiwa n-ach yang tinggi. Berarti bahwa pembangunan suatu Negara sangat tergantung pada manusi/masyarakat dalam Negara itu sendiri. Teori Harrold-Domar, masih menyoroti masalah internal yang dapat menyokong pembangunan suatu Negara. Teori ini menyatakan bahwa pembangunan hanya dapat berlangsung dengan baik bilamana tingkat tabungan masyarakat maupun devisa Negara cukup untuk melakukan pembangunan. Teori yang paling klasik yakni teori Max Weber. Teori ini menekankan nilai-nilai budaya yang bisa memberikan etos kerja yang tinggi. Max Weber berbicara masalah tentang peran agama, terutama konsepnya yang sudah menjadi klasik, yakni etika protestanisme. Menurutnya hal inilah yang membawa masyarakat Eropa Barat dan Amerika Serikat pada kemajuan. Ketersediaan tenaga ahli dan terampil Bert F. Hoselitz dalam karyanya,Economic Growth and Development:Noneconomic Factors in Economic Development merupakan salah satu faktor penting yang dibutuhkan dalam pembangunan.[footnoteRef:2][4] [2: ]

Pada akhirnya, walaupun Negara-negara dunia ketiga menerapkan semua solusi yang ditawarkan di atas, akan tetapi masalah internalnya seperti etos kerja yang kurang, jiwa n-ach tidak ada, tabungan tidak memenuhi maka, pembangunan tetap akan tidak berhasil.Solusi lain yang ditawarkan oleh teori modernisasi yakni pembagian kerja secara internasional (spesialisasi produk Negara) misalnya dengan pembagian Negara industri dan Negara agraris. Hal ini dimaksudkan agar cost production dapat ditekan sehingga harga lebih murah dan setiap Negara yang melakukan perdagangan internasional mendapatkan keuntungan dan meleburkan diri dalam ekonomi dunia.Solusi di atas pun, pada kenyataanya hanya sebuah teori yang tidak diimplementasikan dalam perdagangan internasional. Setiap Negara cenderung memproduksi beberapa produk yang juga diproduksi oleh Negara lain. Negara yang unggul dalam produk tertentu misalnya komoditi jagung dan gandum, tentu tidak mau melakukan spesialisasi produk tersebut. Dengan dasar pemikiran bahwa komoditas jagung dan gandum memiliki nilai jual lebih rendah dibandingkan dengan nilai jual teknologi seperti televisi. Konsep spesialisasi diatas bukan merupakan suatu konsep yang baru. David Ricardo terlebih dahulu mengusulkan konsep yang hampir sama. Akan tetapi, pada kenyataanya konsep tersebut tidak efektif untuk diberlakukan dalam perdagangan internasionl2.2 Krisis Pembangunan Indonesia Masalah yang terjadi pada masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 1998, yang pertama dipicu dari krisis ekonomi kemudian berkembang menjadi berbagai krisis lainnya, sehingga akhirnya sampai pada krisis kepercayaan. Fenomena ini memuat dua dimensi permasalahan : secara internal orang tidak lagi percaya kepada berbagai bentuk penguasaan atas diri dan masyarakatnya, dan secara eksternal orang tidak percaya lagi kepada masyarakat Indonesia. Demikian merosotnya harga diri bangsa Indonesia, sehingga bangsa ini sendiri bertanya : siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana sebenarnya masyarakat Indonesia ini ?.Clyde Kluckhohn (1961) membuat suatu kerangka orientasi sistem nilai budaya, yaitu sebagai konsep yang menerangkan dasar-dasar sistem nilai budaya tentang masalah pokok dari kehidupan manusia yang sifatnya universal. Secara umum Kluckhohn menggambarkan bahwa dari masalah dasar sistem nilai budaya itu sekurangnya mencirikan tiga bentuk masyarakat, (1) masyarakat tradisional, (2) masyarakat transisional, dan (3) masyarakat modern.Pada masa sebelum terjadinya berbagai krisis yang menimpa masyarakat Indonesia, tidak sedikit orang Indonesia yang menyatakan bahwa secara umum masyarakatnya telah modern, hal ini terlihat dengan banyaknya intelektual dikalangan masyarakat yang menyatakan bahwa pendidikan tringgi bukan lagi barang asing untuk masyarakat Indonesia, sarana dan prasarana yang memadai untuk kehidupan orang modern, juga tingkat hidup yang mencirikan orang modern (Inkeles, dalam : Weiner, 1976). Namun pandangan itu ternyata sirna begitu saja pada saat era reformasi digaungkan, dalam banyak hal ternyata orang Indonesia bagaikan orang primitif yang sedang mencari bentuk; dalam kenyataannya, bentuk masyarakat Indonesia belum sampai pada bentuk yang modern, mungkin masih transisional, bahkan mungkin masing tradisional. Pada bentuk hakekat tentang karya misalnya, orientasi nilai budayanya cenderung menganggap bahwa karya itu untuk mencapai suatu kedudukan, kehormatan, atau jabatan tertentu saja; bahkan ada kecenderungan bahwa karya itu hanya sekedar untuk mencari nafkah hidup saja, kenyataan mana tidak saja berlakku pada lapisan bawah atau menengah masyarakat, tetapi juga lapisan atas. Kecenderungan orientasi tentang karya ini ternyata paralel dengan persepsi manusia tentang waktu, hanya sebagian kecil manusia Indonesia dan hanya sebagian aspek kehidupan saja yang berorientasi ke masa yang akan datang; menyimpan padi di lubung (leuit : komunitas Baduy) adalah perwujudan dari orientasi manusia ke masa yang akan datang, namun tidak menunjukan orientasi yang bersifat menyeluruh dari aspek kehidupannya. Jabatan atau kedudukan tertentu dalam masyarakat sifatnya tidak kekal, maka untuk menjaga kehidupan setelah lepas masa jabatannya, orang dengan segala upaya berusaha mengumpulkan segala sesuatu selagi masih berkuasa atau menjabat tanpa menghiraukan nilai-nilai, kaidah dan norma yang berlaku.Individulisme dalam pengertian manusia modern berarti adanya penilaian yang tinggi dari masyarakat terhadap berbagai usaha diri sendiri sehingga menuntun manusia untuk mandiri, bukan dalam arti hidup sendiri tanpa menghiraukan keberadaan manusia lain. Faham ini kurang berkembang pada masyarakat Indonesia yang lebih menilai tingginya kebersamaan, gotong royong (orientasi kolateral) dan ketergantungannya kepada figur atasan atau senior (orientasi vertikal). Dengan nilai-nilai luhurnya, manusia Indonesia seolah-olah digiring untuk tidak saling bersaing satu sama lain, bahkan mentabukan pertentangan dan labih menilai tinggi nilai keharmonisan; bentuk mana kalau dilihat dari sudut perubahan dan perkembangan masyarakat sangatlah tidak menguntungkan.

2.3 Teori Modernisasi dan Pembangunan Penerapan modernisasi di Indonesia tampak kurang serasi, karena pemahaman akan konsep modernisasi ini tidak seperti yang dimaksudkan oleh konsep itu sendiri. Karena itu pula landasan berpikir dan penggunaan teori dalam konsep pembangunan masyarakat dengan modernisasi tampaknya kurang mendasar. Tidak mengherankan apabila kemudian pembangunan yang telah dilakukan selama tiga dasawarsa itu bisa terpuruk seketika oleh peristiwa moneter, yang keadaan itu bisa menunjukkan bahwa model pembangunan adalah tidak mendasar dan berakar pada masyarakat Indonesia. Pada saat melangsungkan pembangunan dengan mengacu pada teori Rostow, mungkin terlupakan bahwa teori ini bisa berlaku apabila keadaan masyarakat yang dibangun itu bersifat homogen. Upaya untuk melakukan homogenisasi telah ditempuh melalui berbagai wujud pembangunan ekonomi, termasuk meningkatkan pendapatan masyarakat; dengan demikian peningkatan ekonomi selalu dianggap akan mendorong peningkatan kualitas kehidupan pada umumnya. Homogenitas melalui pengembangan sektor ekonomi itu terkesan dipaksakan dari kondisi yang heterogen, hal itu kemudian menjadikan pula ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar sektor. Modernisasi dilihat sebagai pertumbuhan ekonomi belaka, yang melupakan pokok penting dalam kehidupan, Masyarakat sudah menerima perubahan, namun di sisi lain masih banyak bentuk-bentuk tradisi lama yang belum atau sukar untuk ditinggalkan, sehingga kehidupan berlangsung diantara dua titik yang membuat kebingungan para pelakunya (Garna, 1999: 15). Apabila mengacu pada teori David McClelland tentang the need for achievement (n-Ach), maka tingkat perkembangan masyarakat sebenarnya bisa diukur dari besarnya dorongan untuk berprestasi dalam masyarakat itu sendiri. Bentuknya bisa dari perbandingan antara tingkat produksi dengan tingkat konsumsi, masyarakat yang tidak membangun adalah suatu bentuk kehidupan yang tingkat konsumsinya lebih besar dari tingkat produksi. Keberanian untuk mengambil resiko sepertinya tidak begitu dianggap bernilai tinggi pada masyarakat Indonesia, bentuk yang paling umum dari keadaan ini yaitu mentalitas sebagai pegawai (pegawai negeri) masih mendominasi bursa tata kepegawaian dibandingkan bentuk-bentuk kemandirian lainnya. Bentuk dari rendahnya n-Ach ini adalah belum berkembangnya kesadaran atau arti pentingnya tentang suatu tanggung jawab atau disiplin sebagai suatu bentuk kesadaran dari keterlibatan pihak-pihak lain diluar kesadaran tentang dirinya sendiri.Koentjaraningrat pernah memberikan satu solusi dari polemik sikap mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan pada satu acara seminar (1970), pendapat inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya Koentjaraningrat melakukan pendekatan melalui teori Modernisasi untuk menganalisa proses pembangunan di atas. Pada karangan yang lain, Koentjaraningrat (1979) melakukan pendekatan yaitu dengan menekankan pada analisanya tentang sistem nilai yang hidup dalam masyarakat yang tidak cocok dengan pembangunan atau ciri modern dari konsep modernisasi. Masalah tentang sistem nilai dan pembangunan yang ada di Indonesia mengacu pada orientasi sistem nilai budaya yang sebelumnya dikembangkan oleh F. Kluckhohn dan F.L.Stroodbeck (1961); dalam tulisannya ini Koentajraningrat membagi orientasi nilai budaya dalam dua belahan waktu, sebelum dan sesudah revolusi.Dikatakannya bahwa nilai budaya yang tidak mementingkan mutu atau prestasi, orientasi waktu yang cederung ke masa lalu sehingga melemahkan motivasi orang untuk menabung dan hidup hemat, menganggap hidup selaras dengan alam sehingga timbul konsep tentang nasib, menjunjung tinggi nilai konformisme, orientasi hubungan manusia yang vertikal sehingga menghambat hasrat untuk berdiri sendiri, tidak disiplin, kurang bertanggung jawab, dan mentalitas menerabas sebagai produk setelah revolusi, adalah sebagai mentalitas yang menghambat proses pembangunan (Koentjaraningrat, 1979: 43-53). Bangsa Indonesia tidak bisa luput dari fenomena pembangunan, cepat atau lambat, besar atau kecil, mudah atau sukar, proses pembangunan ini perlu untuk dilakukan. Berbagai cara untuk mencapainya diupayakan, yaitu dengan pemanfaatan secara optimal segala aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada, sehingga mempunyai peran penting dalam lingkup lokal maupun global; sedemikian jauh jarak antara perbedaan tingkat kehidupan antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat negara maju lainnya, sehingga harus dilakukan semacam percepatan perubahan. Bahkan Alisyahbana menekankan secara tegas, bahwa perubahan masyarakat Indonesia itu harus mengacu pada nilai-nilai intelektualisme, individuliasme, egoisme, dan materialisme seperti yang hidup pada masyarakat Barat (Alisyahbana, 1988: 20), nilai-nilai mana yang dianggap ekstrim atau bahkan tabu oleh sebagian besar warga masyarakat Indonesia. Analisa tentang proses pembangunan itu tidak semudah pengerjaan di belakang meja dan menurut alur logika saja, karena proses ini mengandung berbagai nilai-nilai dan perkembangan yang sulit untuk diperhitungkan; fenomena mana yang menjadikan kajian tentang masalah-masalah sosial tidak kering dan mati.Teori Modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu Dunia Ketiga termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara maju, tetapi negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan kemudian melembagakan demokrasi politik (Garna, 1999: 9); justru disinilah letak permasalahannya, karena teori pembnagunan menurut persepsi Dunia Ketiga menghendaki bahwa tradisi dan nilai-nilainya harus memberikan nuansa kepada keadaan modern yang hendak dicapai (Koentajaraningrat, 1979: 69).2.4 Kegagalan Teori Modernisasi Di Dunia KetigaPenerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya pelaung bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan. Pertanyaan yang harus dijawab mengapa hal itu bisa terjadi?Untuk menjelaskannya maka diuraikan hal-hal sebagai berikut:Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara Dunia Ketiga justru menimbulkan dominasinya peran negara dan juga kerusakan lingkungan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat (abad 18 dan 19) proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.Makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi, makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya mau tidak mau negara harus terlibat dalam proses pembangunan ekonomi. Keterlibatan negara dalam proses pembangunan ekonomi inilah yang kemudian mendorong negara untuk terjun langsung dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, emndirikan perusahaan-perusahaan negara, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan.Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa adanya kenyataan yang berlawanan antara negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat dengan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) dalam menerapkan teori modernisasi atau teori pembangunan tersebut. Jika modernisasi Eropa Barat dan Amerika Serikat yang banyak berperan adalah aktor-aktor non negara maka sebaliknya di negara-negara Dunia Ketiga modernisasi berasal dari peran negara yang sangat besar, bukan masyarakat. Bila modernisasi di Eropa berdampak pada demokratisasi politik, maka sebaliknya yang terjadi di Dunia Ketiga justru menciptakan pemerintahan yang dominan, yang akhirnya menempatkan pembangunan sebagai ideologi.Dalam hubungan tersebut di atas, terjadilah kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (negara) dan pengusaha, sehingga muncul "koalisi kepentingan". Untuk kepentingan-kepentingan kelanggenan koalisi inilah maka rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (yang direpresentasikan oleh korporasi multinasional) berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal. Dalam kerangka ini maka pembuatan peraturan lingkungan ditingkat nasional tidak akan banyak melibatkan peran masyarakat. Padahal mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sesungguhnya tidak sekedar menyangkut prosedur, tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) yaitu masyarakat, LSM dan organisasi profesi.Pada awal sampai akhir tahun 1990-an, di Indonesia telah disusun dana atau telah diratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Perlindungan Keanekaragaman Hayati; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya dikatakannya, apabila dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :a). Peran pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state based resource management);b). Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (indigenous property rights) yang belum diakui secara utuh;c). Partisipasi masyarakat (public participation) dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas;d). Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.Teori modernisasi di dalam implementasinya di Indonesia masih memberikan peran yang dominan bagi pemerintah (negara). Dominasi tersebut bisa memunculkan imbas, sehingga peran masyarakat selaku stakeholder dalam masalah lingkungan menjadi tidak diakui. Terjadilanh kemudian kerusakan lingkungan di Indonesia yang umumnya juga di neagra-negara Dunia Ketiga, karena Dunia Ketiga telah dijadikan sebagai pemasok bahan baku/raw maaterial sebagai bagian dari rangkaian proses-proses perdagangan multilateral. Hal ini sebenarnya merupakan tuntutan yang sesuai dengan ajaran kapitalisme bahwa ada tiga faktor utama dalam produksi yaitu sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya alam. Oleh karena itu, sumber daya alam bisa dieksploitasi secara besar-besaran hanya untuk kepentingan maksimalisasi laba.

BAB IIIPENUTUP4.1 KesimpulanAda 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori modernisasi ; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post Modernisme. Namun Teori pembangunan ini lebih mengerucut pada dua buah teori besar, yaitu teori modernisasi dan teori dependensi. Dua teori ini saling bertolak belakang dan merupakan sebuah pertarungan paradigma hingga saat ini. Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu teori pendekatan psikologis dan teori pendekatan budaya. Teori dasar yang menjadi landasan teori modernisasi adalah ide Durkheim dan Weber Kritik terhadap teori modernisasi lahir seiring dengan kegagalan pembangunan di negara dunia ketiga dan berkembang menjadi sebuah teori baru yaitu teori dependensi. Frank (1984) mencoba mengembangkan teori dependensi dan mengemukakan pendapat bahwa keterbelakangan pada negara dunia ketiga justru disebabkan oleh kontak dengan negara maju. Meskipun kebijakan,model dan strategi pembangunan nasional dunia menurut teori modernisasi telah di adopsi sepenuhnya oleh Negara-negara dunia ketiga lainnya, namun pada kenyataannya tidak semua Negara berhasil melakukan pembangunan nasionalnya. Dalam artian bahwa berhasil tidaknya pembangunan dalam suatu Negara sangat tergantung pada faktor internalnya. Pada akhirnya, walaupun Negara-negara dunia ketiga menerapkan semua solusi yang ditawarkan di atas, akan tetapi masalah internalnya seperti etos kerja yang kurang, jiwa n-ach tidak ada, tabungan tidak memenuhi maka, pembangunan tetap akan tidak berhasil.Teori Modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu Dunia Ketiga termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara maju, tetapi negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan kemudian melembagakan demokrasi politik (Garna, 1999: 9); justru disinilah letak permasalahannya, karena teori pembangunan menurut persepsi Dunia Ketiga menghendaki bahwa tradisi dan nilai-nilainya harus memberikan nuansa kepada keadaan modern yang hendak dicapai (Koentajaraningrat, 1979: 69).

4.2 SaranSebelum menerapkan sebuah teori pembangunan, seharusnya pemerintah memperhatikan karakteristik negara beserta masyarakatnya, bagaimana suatu negara bisa maju, sedangkan yang melakukan perubahan tidak memahami karakteristik negaranya. Hal inilah yang menyebabkan kegagalan teori modernisasi dalam penerapannya pada pembangunan di Indonesia. Penerapan modernisasi di Indonesia tampak kurang serasi, karena pemahaman akan konsep modernisasi ini tidak seperti yang dimaksudkan oleh konsep itu sendiri. Karena itu pula landasan berpikir dan penggunaan teori dalam konsep pembangunan masyarakat dengan modernisasi tampaknya kurang mendasar. Tidak mengherankan apabila kemudian pembangunan yang telah dilakukan selama tiga dasawarsa itu bisa terpuruk seketika oleh peristiwa moneter, yang keadaan itu bisa menunjukkan bahwa model pembangunan adalah tidak mendasar dan berakar pada masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKACronin,J.JosephJr,danStevenTaylor. 1992. The Modernization. Jakarta: Bintang Terang.Dhiyaudin, Abdul W. 2011.Pembangunan di Indonesia, (Online), (http://222.124.222.229/handle/123456789/939, diakses 25 April 2015).Elrey, Rana. 2010. Kegagalan Teori Modernisasi di Indonesia, (Online), (http://www.bni.co.id/Portals/0/SR_%2010.pdf, diakses 25 April 2015).Jannah, Ihda H. 2006. Kegagalan Teori Modernisasi dalam pembangunan di Indonesia, (Online), (http://id.pdfssb.com/readonline/sa314244664146375884a2f4433566d56413d3d-4274144, diakses 25 April 2015).Kotler, dan Philip. 2000. Teori Pembangunan. Jakarta: PT.Prenhallindo.Napitupuluh, Theo. 2000. Pembangunan dalam dunia ketiga, (Online), (http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-15087-Presentation-pdf.pdf, diakses 25 April 2015).Rahma, Niken. 2009 .Teori Modernisasi dan Pembangunan, (Online), (http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/postgraduate/Pembangunan/Artikel_91206029.pdf, diakses 25 April 2015).