g. merapi, jawa tengah - esdm
TRANSCRIPT
G. MERAPI, JAWA TENGAH
PENDAHULUAN
G. Merapi (2986 m dpl) terletak di perbatasan empat kabupaten yaitu Kabupaten
Sleman, Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten
Klaten di Propinsi Jawa Tengah. Propinsi Jawa Tengah. Posisi geografinya terletak pada
7°32’30” LS dan 110°26’30” BT. Berdasarkan tatanan tektoniknya, gunung ini terletak di
zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia menunjam di bawah Lempeng Eurasia
yang mengontrol vulkanisme di Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Gunung Merapi
muncul di bagian selatan dari kelurusan dari jajaran gunungapi di Jawa Tengah mulai dari
utara ke selatan yaitu Ungaran-Telomoyo-Merbabu-Merapi dengan arah N165°E.
Kelurusan ini merupakan sebuah patahan yang berhubungan dengan retakan akibat
aktivitas tektonik yang mendahului vulkanisme di Jawa Tengah. Aktivitas vulkanisme ini
bergeser dari arah utara ke selatan, dimana G. Merapi muncul paling muda.
Gambar Peta lokasi G. Merapi yang terletak di Jawa Tengah
Secara garis besar sejarah geologi G. Merapi terbagi dalam empat periode yaitu
Pra Merapi, Merapi Tua, Merapi Muda dan Merapi Baru. Periode pertama adalah Pra
Merapi dimulai sejak sekitar 700.000 tahun lalu dimana saat ini menyisakan jejak G. Bibi
(2025 m dpl) di lereng timurlaut G. Merapi. Gunung Bibi memiliki lava yang bersifat
basaltic andesit. Periode kedua, periode Merapi Tua menyisakan bukit Turgo dan
Plawangan yang telah berumur antara 60.000 sampai 8.000 tahun. Saat ini kedua bukit
tersebut mendominasi morfologi lereng selatan G. Merapi. Pada periode ketiga yaitu
Merapi Muda beraktivitas antara 8000 sampai 2000 tahun lalu. Di masa itu terjadi
beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan Gajahmungkur
yang sekarang tampak di lereng utara Gunung Merapi serta menyisakan kawah Pasar
Bubar. Periode keempat aktivitas Merapi yang sekarang ini disebut Merapi Baru, dimana
terbentuk kerucut puncak Merapi yang sekarang ini disebut sebagai Gunung Anyar di
bekas kawah Pasar Bubar dimulai sekitar 2000 tahun yang lalu.
Studi stratigrafi dan geokimia G. Merapi (Supriyati D.A,1999) menunjukkan bahwa 2
letusan besar telah terjadi selama Middle Merapi dan Recent Merapi. Letusan besar
tersebut akan dapat berulang di masa yang akan datang menurut Newhall dan Bronto
(1995). Supriyati, D. A (1999) membagi sejarah letusan G. Merapi menjadi 2 perioda yaitu
perioda Pre-1800 A.D (lebih tua 2900 tahun BP - 1800 A.D) dan perioda Post-1800 A.D
(1800 – 1996 A.D) berdasarkan perubahan tipe letusan dalam sekuen stratigrafi endapan.
Perioda Pre-1800 AD sebagai produk dari kondisi vent yang tertutup dan meghasilkan
letusan eksplosif tipe sub plinian, plinian dan vulkanian, sedang perioda Post-1800 A.D
sebagai produk dari kondisi vent yang terbuka dan menghasilkan letusan eksplosif tipe
vulkanian (kecil - sedang) akibat dari longsornya kubah .
Frekuensi terjadinya letusan G. Merapi sangat signifikan, pada periode 3000 - 250
tahun yang lalu tercatat kurang lebih 33 letusan dengan skala letusan kecil sampai besar.
Letusan dengan skala besar (VEI 4) terjadi antara 150 - 500 tahun, letusan dengan skala
VEI 3 terjadi setiap 30 tahun dan letusan kecil terjadi antara 2 - 7 tahun. Letusan yang di
trigger oleh longsornya kubah lava merupakan karakteristik dari aktivitas Merapi pada
Post-1800 A.D, mempunyai VEI 1-3 (Newhall dan Voight,1997). Letusan VEI 3 dijumpai
pada letusan 1930 dan 1961.
SEJARAH LETUSAN
Sejarah letusan G. Merapi secara tertulis mulai tercatat sejak awal masa kolonial
Belanda sekitar abad ke-17. Letusan sebelumnya tidak tercatat secara jelas. Sedangkan
letusan-letusan besar yang terjadi pada mas sebelum periode Merapi baru, hanya
didasarkan pada penentuan waktu relatif. Secara umum, letusan G. Merapi dapat
dirangkum sbb :
• Pada periode 3000 – 250 tahun yang lalu tercatat lebih kurang 33 kali letusan, dimana
7 diantaranya merupakan letusan besar. Dari data tersebut menunjukkan bahwa
letusan besar terjadi sekali dalam 150-500 tahun (Andreastuti dkk, 2000).
• Pada periode Merapi baru telah terjadi beberapa kali letusan besar yaitu abad ke-19
(tahun 1768, 1822, 1849, 1872) dan abad ke-20 yaitu 1930-1931. Erupsi abad ke-19
jauh lebih besar dari letusan abad ke-20, dimana awan panas mencapai 20 km dari
puncak. Kemungkinan letusan besar terjadi sekali dalam 100 tahun (Newhall, 2000).
• Aktivitas Merapi pada abad ke-20 terjadi minimal 28 kali letusan, dimana letusan
terbesar terjadi pada tahun 1931. Sudah ¾ abad tidak terjadi letusan besar.
Berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, G. Merapi meletus lebih dari
80 kali atau rata-rata sekali meletus dalam 4 tahun. Masa istirahat berkisar antara 1-18
tahun, artinya masa istirahat terpanjang yang pernah tercatat andalah 18 tahun. Secara
umum, letusan Merapi pada abad ke-18 dan abab ke-19 masa istirahatnya relatif lebih
panjang, sedangkan indeks letusannya lebih besar. Akan tetapi tidak bisa disimpulkan
bahwa masa istirahat yang panjang, menentukan letusan yang akan datang relatif besar.
Karena berdasarkan fakta, bahwa beberapa letusan besar, masa istirahatnya pendek.
Atau sebaliknya pada saat mengalami istirahat panjang, letusan berikutnya ternyata kecil.
Ada kemungkinan juga bahwa periode panjang letusan pada abad ke-18 dan abad ke-19
disebabkan banyak letusan kecil yang tidak tercatat dengan baik, karena kondisi saat itu.
Jadi besar kecilnya letusan lebih tergantung pada sifat kimia magma dan sifat fisika
magma. Diskripsi singkat letusan G. Merapi yang tercatat disajikan pada gambar di bawah
ini. Gambar tersebut menunjukkan grafik statistik letusan G. Merapi sejak abad ke-18.
Pada abad ke-18 dan ke-19, letusan G. Merapi umumnya relatif besar dibanding letusan
pada abad ke-20, sedangkan masa istirahatnya lebih panjang.
Grafik statistik letusan G. Merapi sejak abad ke-18. Pada abad ke-18 dan ke-19, letusan G. Merapi umumnya relatif besar dibanding letusan pada abad ke-20, sedangkan masa istirahatnya lebih panjang.
Karakteristik Letusan
G. Merapi berbentuk sebuah kerucut gunungapi dengan komposisi magma basaltik
andesit dengan kandungan silika (SiO2) berkisar antara 52 – 56 %. Morfologi bagian
puncaknya dicirikan oleh kawah yang berbentuk tapal kuda, dimana di tengahnya tumbuh
kubah lava.
Letusan G. Merapi dicirikan oleh keluarnya magma ke permukaan membentuk
kubah lava di tengah kawah aktif di sekitar puncak. Munculnya lava baru biasanya disertai
dengan pengrusakan lava lama yang menutup aliran sehingga terjadi guguran lava. Lava
baru yang mencapai permukaan membetuk kubah yang bisa tumbuh membesar.
Pertumbuhan kubah lava sebanding dengan laju aliran magma yang bervariasi hingga
mencapai ratusan ribu meter kubik per hari. Kubah lava yang tumbuh di kawah dan
membesar menyebabkan ketidakstabilan. Kubah lava yang tidak stabil posisinya dan
didorong oleh tekanan gas dari dalam menyebabkan sebagian longsor sehingga terjadi
awan panas. Awanpanas akan mengalir secara gravitasional menyusur lembah sungai
dengan kecepatan 60-100 km/jam dan akan berhenti ketika energi geraknya habis. Inilah
awan panas yang disebut Tipe Merapi yang menjadi ancaman bahaya yang utama.
Peta sebaran awanpanas G. Merapi yang terjadi sejak tahun 1911-2006
Dalam catatan sejarah, letusan G. Merapi pada umumnya tidak besar. Bila diukur
berdasarkan indek letusan VEI (Volcano Explosivity Index) antara 1-3. Jarak luncur
awanpanas berkisar antara 4-15 km. Pada abad ke-20, letusan terbesar terjadi pada tahun
1930 dengan indeks letusan VEI 3. Meskipun umumnya letusan Merapi tergolong kecil,
tetapi berdasarkan bukti stratigrafi di lapangan ditemukan endapan awan panas yang
diduga berasal dari letusan besar Merapi. Melihat ketebalan dan variasi sebarannya
diperkirakan indeks letusannya VEI 4 dengan tipe letusan antara vulkanian hingga plinian.
Letusan besar ini diperkirakan terjadi pada masa Merapi Muda, sekitar 3000 tahun yang
lalu.
Sejak tahun 1768 sudah tercatat lebih dari 80 kali letusan. Diantara letusan
tersebut, merupakan letusan besar (VEI ≥ 3) yaitu periode abad ke-19 (letusan tahun
1768, 1822, 1849, 1872) dan periode abad ke-20 yaitu 1930-1931. Erupsi abad ke-19
intensitas letusanya relatif lebih besar, sedangkan letusan abad ke-20 frekuensinya lebih
sering. Kemungkinan letusan besar terjadi sekali dalam 100 tahun (Newhall, 2000).
Letusan besar bisa bersifat eksplosif dan jangkauan awanpanas mencapai 15 Km.
Letusan G. Merapi sejak tahun 1872-1931 mengarah ke barat-barat laut. Tetapi
sejak letusan besar tahun 1930-1931, arah letusan dominan ke barat daya samapi dengan
letusan tahun 2001. Kecuali pada letusan tahun 1994, terjadi penyeimpangan ke arah
selatan yaitu ke hulu K. Boyong, terletak antara bukit Turgo dan Plawangan. Erupsi
terakhir pada tahun 2006, terjadi perubahan arah dari barat daya ke arah tenggara,
dengan membentuk bukaan kawah yang mengarah ke K. Gendol.
Gambar Letusan G. Merapi berupa luncuran awanpanas ke K. Gendol pada Juni 2006.
Letusan 2010
Peningkatan aktivitas mulai terlihat pada September 2010, dan pada tanggal 20
September 2010, Merapi dinaikkan statusnya menjadi ‘Waspada’ (Level II). Kenaikan
status berdasarkan peningkatan aktivitas seismik, yaitu Gempa Fase Banyak dengan 38
kejadian/hari, Gempa Vulkanik 11 kejadian/hari, dan Gempa Guguran 3 kejadian/hari.
Pada 21 Oktober 2010 status Merapi kembali dinaikkan menjadi ‘Siaga’ (Level III).
Kenaikan status juga berdasarkan peningkatan aktivitas seismik, yaitu Gempa Fase
Banyak hingga 150 kejadian/hari, Gempa Vulkanik 17 kejadian/hari, dan Gempa Guguran
29 kejadian/hari, dan laju deformasi mencapai 17 cm/hari. Semua data menunjukkan
bahwa aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat
menimbulkan bencana.
Pada 25 Oktober 2010 status Merapi ditetapkan ‘Awas’ (Level IV), dengan kondisi
akan segera meletus, ataupun keadaan kritis yang dapat menimbulkan bencana setiap
saat. Aktivitas yang teramati secara visual yaitu, tanpa kubah lava, tanpa api diam, dan
tanpa lava pijar guguran-guguran besar. Sedangkan seismisitasnya meningkat menjadi
588 kejadian/hari Gempa Fase Banyak, 80 kejadian/hari Gempa Vulkanik, 194
kejadian/hari Gempa Guguran, dengan laju deformasi 42 cm/hari. Radius aman ditetapkan
di luar 10 km dari puncak Merapi.
Pada 26 Oktober 2010 pukul 17:02 WIB terjadi letusan pertama. Letusan bersifat
eksplosif disertai dengan awanpanas dan dentuman. Hal ini berbeda dengan kejadian
sebelumnya, yaitu letusan bersifat efusif dengan pembentukan kubah lava dan
awanpasan guguran. Letusan yang terjadi pada 29 – 30 Oktober lebih bersifat eksplosif.
Pada 3 November 2010 terjadi rentetan awanpanas yang di mulai pada pukul 11:11 WIB.
Melalui pengukuran dengan mini DOAS diketahui bahwa terjadi peningkatan fluks SO2
yang mencapai 500 ton/hari. Pada pukul 16:05 diteteapkan radius aman di luar 15 km dari
puncak Merapi. Dan pada pukul 17:30 dilaporkan bahwa awanpanas mencapai 9 km di
luar K. Gendol.
Tren meningkat pada data RSAM antara 3 – 4 November 2010 menunjukkan
proses pertumbuhan kubah lava yang mencapai volume 3.5 juta m3 dan tren menurun
pada 5 November 2010 menandakan penghancuran kubah lava tersebut yang
menghasilkan aliran awanpanas hingga sejauh 15 km dari puncak G. Merapi ke arah K.
Gendol. Pada 4 November 2010 terekam Tremor menerus dan over scale serta
peningkatan massa SO2 di udara mencapai lebih dari 100 kiloton. Radius aman ditetapkan
di luar 20 km dari Puncak G. Merapi. 5 November 2010, terjadi penghancuran kubah lava
yang menghasilkan awanpanas sejauh 15 km ke K. Gendol. Erupsi ini merupakan erupsi
terbesar. Pada 6 November 2010, Tremor masih menerus dan over scale massa SO2 di
udara mencapai puncaknya sebesar 250 - 300 kiloton.
13 November 2010, intensitas erupsi mulai menurun, dan radius aman juga
dirubah. Yaitu Sleman 20 km, Magelang 15 km, Boyolali 10 km, Klaten 10 km.
Pada 19 November intensitas erupsi kembali menunjukkan penurunan. Radius
aman juga dirubah, yaitu Sleman sebelah barat K. Boyong 10 km, Sleman sebelah Timur
K. Boyong 15 km, Magelang 10 km, Boyolali 5 km, dan Klaten 10 km.
Korban jiwa akibat erupsi G. Merapi 2010 sebanyak 347 Orang (BNPB). Korban
terbanyak berada di Kabupaten Sleman yaitu 246 jiwa. Menyusul Kabupaten Magelang 52
jiwa, Klaten 29 jiwa, dan Boyolali 10 jiwa. Sedangkan pengungsi mencapai 410.388 Orang
(BNPB).
Berdasarkan hasil evaluasi data pemantauan G. Merapi secara instrumental dan
visual, disimpulkan bahwa aktivitas G. Merapi menunjukkan penurunan. Dengan
menurunnya aktivitas tersebut, maka terhitung mulai tanggal 3 Desember 2010 pukul
09.00 WIB, status aktivitas G. Merapi diturunkan dari tingkat “AWAS” menjadi “SIAGA”.
Ancaman berikutnya adalah lahar hujan produk erupsi Merapi yang mencapai 150
juta m3. Sekitar 35% produk letusan G. Merapi tersebut masuk ke K. Gendol berupa aliran
piroklastik dan sisanya tersebar di sungai-sungai lain yang berhulu di lereng G. Merapi,
seperti K. Woro, K. Kuning, K. Boyong, K. Bedog, K. Krasak, K. Bebeng, K. Sat, K. Lamat,
K. Senowo, K. Trising dan K. Apu. Setelah erupsi pertama tanggal 26 Oktober hingga kini
apa bila terjadi hujan di puncak G. Merapi, terjadi banjir lahar di sungai yang berhulu di G.
Merapi.
GEOFISIKA
G. Merapi dikenal sebagai gunungapi yang sangat aktif. Oleh karena aktivitasnya
yang tinggi, periode letusannya pendek yaitu antara 2-7 tahun, para ahli gunungapi
memanfaatkannya sebagai obyek penelitian dan penyelidikan serta untuk ujicoba
peralatan pemantauan. Sebagai akibatnya, hampir semua metoda pemantauan, baik yang
konvensional hingga yang paling modern pernah diaplikasikan di G. Merapi. Berikut ini
disajikan berbagai metoda monitoring yang pernah diterapkan di G. Merapi dan hasilnya
antara lain seismik, deformasi, geokimia, gayaberat mikro dan magnetik.
Seismik
Pemantauan seismik G. Merapi dimulai pada tahun 1924 dengan adanya
seismograf mekanik Wiechert yang dipasang di lereng Barat sekitar 9 km dari puncak
untuk mengetahui peningkatan aktivitas menjelang erupsi Nopember 1930 (Van Padang,
1930). Seismograf elektromagnetik mulai digunakan pada tahun 1969 yaitu menggunakan
seismograf Hosaka yang menggunakan kabel agar dapat diletakkan di tempat-tempat
yang lebih representatif.
Pada tahun 1982 terbentuk sebuah jaringan seismograf yang mengelilingi tubuh
gunung yang terdiri atas 7 stasiun sensor periode pendek. Karena pertimbangan efisiensi
dan kerawanan, jaringan direduksi sehingga saat ini hanya ada 4 stasiun yaitu
Pusunglondon, Klatakan, Plawangan dan Deles. Sensor yang digunakan adalah produk
dari Mark tipe L4C dengan faktor redam 0.8 dan konstanta tranduksi 50 mV/mm/s. Stasiun
sensor menggunakan daya batere dengan pengisian solar panel. Sinyal dikirim ke stasiun
penerima di Kantor BPPTK Jogjakarta (25 km dari G. Merapi) dengan telemetri radio VHF.
Di stasiun penerima sinyal ini kemudian direkam pada kertas seismogram rekorder VR-68
produk Sprengnether, dan juga disimpan dalam data digital menggunakan digitizer Guralp
DM24 dengan laju cuplik 100 Hz. Seismogram kertas dianalisa secara rutin setiap harinya
untuk mengetahui jumlah kegempaan, dan parameter-parameter gempanya sedangkan
lokasi gempa dihitung dengan menggunakan sinyal digital untuk kemudahan pembacaan
waktu.
Gambar Peta Stasiun - stasiun seismik G. Merapi. Stasiun dengan transmisi analog ditandai simbol silang, sedangkan stasiun transmisi digital dengan lingkaran. Tampak juga pos - pos Pengamatan.
Disamping 4 stasiun tersebut, juga terdapat tiga stasiun seismik dengan sistem
Telemetri digital yang terletak di Juranggrawah, Pasar Bubar dan Labuhan. Di stasiun
Labuhan digunakan seismometer Broadband merk Streckeisen tipe STS2, sedangkan dua
lainnya digunakan seismometer periode pendek produk Mark tipe L43D. Akuisisi dan
layout data seismik digital serta kuantifikasi sinyal gempa seperti RSAM dan SSAM
menggunakan sistem Earthworm dan Swarm.
Klasifikasi Gempa
Klasifikasi gempa vulkanis G. Merapi pertama kali diusulkan oleh Shimozoru pada
tahun 1969 berdasarkan observasi data gempa dari dua stasiun di lereng Selatan dan
Utara selama tiga bulan selesai pada September 1968. Dari observasi ini diperoleh lima
jenis gempa yang dibedakan berdasarkan bentuk dan frekuensi, tipe gempa berdsarkan
klasifikasi Shimozuru (1969) disajikan pada tabel berikut.
Bentuk Periode Dominan (Hz) KeteranganTipe
I
II
III
IV
V
Untiran ganda
Untiran ganda
Tipe B
Fase banyak
Untiran panjang
0,09 - 0,12
0,09 - 0,12 ; 0,24 - 0,36
0,15 - 0,25
0,25 - 0,30
0,16 - 0,90
Frekuensi tinggi
Frekuensi tinggi diikuti denganfrekuensi rendah
Sama dengan Tipe B Minakami
Terkait dengan aktif itas kubahlava
Berhubungan dengan guguranlava/ batuan
Tabel Tipe-tipe gempa berdasarkan klasifikasi Shimozuru (1969)
Berdasarkan data sinyal gempa dari jaringan stasiun seismik telemetri yang
dipasang pada tahun 1982 yang diikuti dengan kejadian erupsi pada Juni 1984, diusulkan
klasifikasi baru yang sampai sekarang masih digunakan dalam penentuan aktivitas G.
Merapi. Berikut adalah rangkuman Ratdomopurbo (1995) tentang tipe-tipe gempa vulkanis
G. Merapi, dan contoh bentuk gelombangnya dalam seismogram digital.
Tabel Tipe-tipe gempa G. Merapi yang digunakan sampai saat ini.
LF
Tipe CiriFrekuensi
Dominan (Hz) KeteranganVersi
ShimozoruVersi
Minakami
VTA
VTB
MP
LHF
TREMOR
GUGURAN
Gel . P dan S nampak jelas
Gel . P nampak j elas, Gel . S tidak
Kurang impulsif daripada VT, dengan
amplitudo yang sama akan lebih
panjang, peluruhan amplitudo cepat
terhadap jarak stasiun.
Frekuensi rendah monokromatis
seragam di semua stasiun,
durasi pendek
LF yang di i kuti VTB
Seper ti LF dengan durasi panajng
Durasi panjang 60-180 s
5 - 8
5 - 8
3 - 4
1 - 2
1 - 2
1 - 20
Volcano tektonik hiposenter
> 2,5 km dari puncak
Volcano tektonik hiposenter
> 1,5 km dari puncak
Terkait dengan pertumbuhan
kubah lava
Hanya teramati aktifitas
1990 - 1992
Berhubungan dengan guguran
batuan/ lava
Tidak tercatat
Tipe B
Tipe 4 - Many Phase
Tipe B
Tidak terekam
Tipe 5, tipe 1, tipe 2
Tipe A
Tipe A dangkal
Tipe B
Kombinasi tipe B
diikuti tipe A
Tremor
-
- -
-
-
Tremor
LF
VTB
VTA
MP
1 2 3 4 5 6 7
0 2 4 6 8 10 12 1 4 16 18 20
Sta : PUSV
Time (sec)
Gambar Bentuk gelombang tipe-tipe gempa G. Merapi, hasil rekaman stasiun Pusunglondon (PUS) yang berjarak hroisontal sekitar 1 km dari kubah lava (Ratdomopurbo, 1995)
Lokasi Sumber Gempa
MP dan LF merupakan gempa dangkal. LF mempunyai frekuensi dominan yang
sama di semua stasiun sekitar 1,5 Hz. Amplitudo di stasiun PUS tampak jauh lebih besar
dari stasiun yang lain yang terletak lebih jauh terhadap puncak. Hal ini menandakan
bahwa LF bersumber sangat dangkal dari permukaan puncak. MP terkait dengan
pertumbuhan kubah lava. Untuk amplitudo yang sama, gempa MP memiliki durasi yang
lebih panjang sekitar dua kali terhadap gempa VT. Frekuensi dominannya antara 3 - 4 Hz
dan amplitudonya sangat teratenuasi sebagai fungsi jarak stasiun terhadap puncak.
Pengecilan amplitudo yang sangat cepat terhadap jarak dari puncak merupakan bukti
bahwa gempa MP bersumber di sekitar puncak (Hidayat dkk, 2000). Onset yang sangat
landai menjadikan gempa MP sulit untuk ditentukan waktu tiba dan dihitung
hiposenternya.
Penghitungan hiposenter dilakukan pada gempa VTA dan VTB dengan pembacaan
waktu tiba gelombang P dan S pada seismogram digital. Metode komputasi penghitungan
dengan optimisasi simplek (Nelder dan Mead, 1965; Prugger dan Gendzwill, 1988).
Diasumsikan medium bersifat homogen isotropis dengan kecepatan gelombang P 3 km/s
dan rasio Vp/Vs sebesar 1,86. Seperti yang tampak pada gambar di atas, terdapat dua
grup gempa VT yang terpisah terhadap kedalaman. Gempa-gempa yang muncul pada
kedalaman 0-1,5 km dinamakan gempa vulkanik dangkal (VTB), sedangkan gempa-
gempa yang muncul pada kedalaman 2,5-5 km merupakan gempa vulkanik dalam (VTA).
Model Kantong Magma G. Merapi
Di antara dua zona gempa VTA dan VTB diperkirakan sebagai zona aseismik. Tidal
terdapatnya gempa di lokasi ini mengarahkan kepada dugaan keberadaa material yang
lebih lunak di antara zona material yang keras. Untuk material yang serupa sifat yang lebih
lunak ini berimplikasi suhu yang lebih tinggi. Zona aseismik ini kemudian diinterpretasikan
sebagai sebuah kantong magma (Ratdomopurbo, 1991). Hipotesa ini didukung dengan
fakta bahwa temperatur di sekitar puncak yakni di plataran Woro dan Gendol bisa
mencapai 830 °C yang berarti terdapat sumber panas yang cukup dangkal. Secara
geologi Van Bemmelen menunjukkan adanya sesar tektonik di bawah G. Merapi yaitu
sesar Kukusan. Diperkirakan kantong magma ini muncul akibat adanya sesar dasar ini
dimana magma dapat terkumpul di atasnya. Diperkirakan kantong magma ini berperan
sebagai sebuah katup yang memperlambat migrasi magma ke atas dari dapur magma,
karenanya kekuatan letusan erupsinya menjadi berkurang (Ratdomopurbo, 2000).
Tidak terdapatnya gempa di bawah kedalaman 5 km menguatkan dugaan adanya
dapur magma di sekitar kedalaman 8 km yang diusulkan oleh Beaducel (1998)
berdasarkan modeling data Tiltmeter dan GPS. Gambar 3 memperlihatkan sistem suplai
magma G. Merapi berdasarkan adanya zona aseismik yang tampak pada data hiposenter.
Mekanisme Gempa G. Merapi
Gempa VTA terkait dengan migrasi magma ke atas dari dapur magma ke kantong
magma. Peningkatan tekanan di kantong magma dapat memicu munculnya gempa VTB
sehingga gempa VTA dan VTB bisa muncul relatif dalam interval waktu yang sama. Akan
tetapi, laju kejadian gempa VTB selalu lebih banyak dari pada VTA; hal ini karena
fragmentasi yang lebih kuat di bagian atas tubuh gunung. Mekanisme sumber gempa VTA
didominasi oleh sesar turun yang kemungkinan berasal dari regangan horizontal akibat
desakan magma dari dapur magma. Gempa VTB yang lebih dalam sebagian besar
mempunyai mekanisme sesar turun akibat desakan magma dari kantong magma yang
menimbulkan regangan horizontal batuan di atasnya. Adapun gempa VTB yang dekat
permukaan, diantaranya mempunyai mekanisme sesar turun yang akan menuju
permukaan dan sebagian yang lain mempunyai mekanisme sesar naik yang diperkirakan
berasal dari lepasnya tekanan akibat keluarnya magma atau gas ke permukaan (Hidayati,
2001).
Gempa MP yang terjadi dikaitkan dengan proses pertumbuhan kubah lava. Seperti
catatan Hidayat, dkk (2000), hal ini serupa dengan yang ada di G. Redoubt (Power dkk,
1994) dan G. Soufriere Hill (Miller dkk, 1998). Model mekanisme sumber gempa MP
belum ada secara detail. Salah satu hipotesa adalah mekanisme pergerakan magma 'stick
and slip' secara episodik dengan anggapan adanya kekuatan geser dalam magma dengan
kekentalan yang sangat tinggi. Model mekanisme sumber ini serupa dengan yang
diusulkan oleh Goto (1999) pada G. Unzen.
Gempa guguran yang mempunyai ciri durasi yang sangat panjang dan berfrekuensi
cukup tinggi (1-20 Hz) terkait dengan runtuhnya bebatuan atau lava akibat pengaruh
gravitasi. Gempa LF diduga berasal dari sumber volumetric akibat aktivitas aliran fluida
dari interaksi multifase seperti magma dengan gas atau air tanah (Brotopuspito, 1990).
Gempa LF dengan durasi yang lebih panjang atau gabungan beberapa gempa LF
membentuk tipe gempa tersendiri yaitu tremor.
Di samping tipe-tipe gempa yang teramati di stasiun-stasiun seismik permanen
seperti tersebut di atas, dengan menggunakan sensor Broadband teridentifikasi gempa
dengan frekuensi sangat rendah (Very Long Periode/VLP) sekitar 0,25 Hz mengiringi
gempa MP dan LF. Gempa ini nampak pada rekaman seismometer Broadband Guralp
CMG-40T yang dipasang di sekiar puncak dari tanggal 16 Januari sampai dengan 23
Februari 1998 (Hidayat dkk, 2000). Diinterpretasikan gempa ini mencerminkan kembang
kempis tubuh G. Merapi akibat desakan gas atau magma.
Gambar Distribusi gempa vulkanik dilihat dari samping arah Barat - Timur. Memperlihatkan system suplai
magma yang melibatkan sumber yang dalam (dapur magma) dan sumber yang dangkal yaitu kantong
magma. Tampak informasi mekanisme sumber gempa dari VTA dan VTB (Hidayati, 2001).
Perubahan Kecepatan Gempa Sebagai Prekursor
Ratdomopurbo (1995) mengamati adanya gempa-gempa VTB yang identik satu
sama lain dalam kurun waktu dari Januari-September 1991 menjelang erupsi 1992
(gambar di bawah). Gempa-gempa ini kemudian disebut sebagai multiplet. Dua famili
multiplet teramati yang bersumber cukup dekat terhadap puncak. Sinyal gempa ini
dianalisa menggunakan teknik 'Moving Window Cross Spectrum' untuk menghitung waktu
tunda diantara fase-fase pada semua seismogram.
Pada dua multiplet tersebut terjadi pemendekan waktu tiba secara gradual (sekitar
1,2 %) sebagai fungsi waktu menjelang erupsi 1992. Hal ini diinterpretasikan sebagai
peningkatan kecepatan gelombang gempa dalam tubuh gunung. Peningkatan kecepatan
ini berlangsung dari bulan Mei 1991 sampai dengan September 1991, 4 bulan menjelang
erupsi. Peningkatan kecepatan ini juga tampak pada gempa LF namun dengan jumlah
yang lebih kecil (Poupinet, 1996). Hal ini dimungkinkan akibat dari peningkatan tekanan
akibat desakan magma sehingga banyak rekahan menjadi tertutup (medium menjadi lebih
kompak).
Penembakan 'airgun' dalam kolam air memancarkan gelombang elastis dengan
stabil dan dengan pengaturan oleh unit instrument yang khusus dapat dilakukan
perulangan yang teratur. Konfigurasi sumber gelombang dan sebaran penerima dapat
dilihat pada gambar di atas. Sumber BEB terletak di lereng Selatan, sumber BAT di Timur
Laut, dan sumber TRO di lereng Barat. Setiap hari 'airgun' menembak sampai dengan
100 kali dengan periode 90 s.
Gambar Gelombang-gelombang gempa yang mempunyai bentuk yang serupa (multiplet) yang diamati pada bulan Januari-September 1991. Gambar tersebut memperlihatkan contoh analisa dua sinyal VTB yang
serupa (doublet), dimana tampak koherensi yang baik sampai frekuensi 16 Hz. Spektrum fase tampak linear, dengan gradien mencerminkan waktu tunda gelombang P.
Fenomena peningkatan kecepatan gelombang seismik juga terlihat pada erupsi
1998 dari eksperimen seismic tomografi yang dilakukan pada bulan Juni - Juli.
Eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui profil bawah permukaan G. Merapi dengan
mengukur variasi nilai kecepatan gelombang Vp dan Vs. Eksperimen dilakukan dengan
menembakkan gelombang elastic dari suatu titik kemudian diterima di tempat lain melalui
tubuh gunung. Sumber gelombang elastic berupa 'airgun'. Sistem peralatan sumber
gelombang ini ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar Sistem peralatan pembangkit sumber gelombang elastic menggunakan 'airgun' (a). Kolam penghantar tekanan dari 'airgun' , tampak samping (b), dan tampak atas (c).
Gambar Peta konfigurasi sumber gelombang dan penerima (kiri). Gambar kanan menunjukkan perkembangan jumlah kejadian gempa menjelang erupsi 1998. Bersamaan dengan itu tampak adanya
peningkatan kecepatan seismic yang teramati dari sumber BEB dan BAT.
Dalam periode 30 Juni-7 Juli 1998 teramati peningkatan kecepatan gelombang dari
lereng Selatan BEB sebesar (0,08 ± 0,01) % dan dari lereng Timur Laut BAT sebesar
(0,08 ± 0,02) %. Peningkatan kecepatan seismik ini diduga proporsional dengan
peningkatan tekanan dalam tubuh gunung. Secara eksperimen laboratorium telah
dibuktikan adanya ketergantungan kecepatan seismik batuan terhadap stress yang
dialami batuan tersebut, seperti yang dilakukan oleh Nur (1971) dan Gret dkk (2006).
Erupsi dimulai pada tanggal 11 Juli 1998. Tiga hari setelah erupsi ini yakni tanggal 14 Juli
1998 terdapat data dari sumber BEB yang menunjukkan bahwa kecepatan gempa belum
mengalami penurunan namun justru terus meningkat hingga mencapai (0,23 ± 0,02) %
terhitung dari tanggal 30 Juni 1998. Hal ini menandakan tekanan belum terbebaskan saat
erupsi yang pertama. Diduga peningkatan ini berlanjut hingga terjadinya erupsi yang
kedua yakni tanggal 19 Juli 1998.
Geomagnet
Pemantauan intensitas magnet bumi di G. Merapi dilakukan oleh Zlotnicki dkk pada
tahun 1990 - 1996 bekerjasaman dengan CNRS dan LETI Perancis dan VSI melalui
empat stasiun perekaman secara digital. Lokasi stasiun bisa dilihat pada di bawah ini.
Gambar Posisi stasiun pemantauan magnetik G. Merapi. Stasiun dilambangkan dengan symbol lingkaran solid. Peta diperbesar sehingga memuat stasiun lempong yang berjarak sekitar 20 km dari Merapi.
Gambar Grafik selisih medan magnetic di stasiun G. Merapi terhadap stasiun referensi di Lempong menunjukkan tren pendek terkait dengan aktivitas seismik.
Perubahan intensitas magnetik terdeteksi terkait aktivitas vulkanik meliputi tren
jangka panjang dengan amplitudo 15 nT dalam periode >10 tahun, tren jangka menengah
dengan nilai sekitar 3 nT dalam periode 1-2 tahun, dan jangka pendek mencapai nilai 1,5
nT yang berlangsung selama beberapa bulan. Perbandingan dengan data seismik dan
fenomena permukaan menunjukkan bahwa tren jangka panjang bersumber dari
Thermomagnetik, tren jangka pendek akibat Piezomagnetik dan jangka pendek
berhubungan dengan aktivitas seismic, seperti yang tampak pada gambar di atas
(Zlotnicki dkk, 2000).
Geolistrik
Gambar Peta kontur G. Merapi yang memperlihatkan posisi dari kawah-kawah letusan yang lalu (kiri) dan profil S-P yang menunjukkan keberadaan beberapa kawah tersebut.
Berdasarkan data dari tiga stasiun pemantauan potensial diri yang dipasang
bersamaan dengan stasiun multi paramater di empat lokasi di G. Merapi, diketahui adanya
kaitan dengan data metereologi dan data seismik. Tampak pola yang menunjukkan
adanya akumulasi muatan negatif di vent fumarol akibat infiltrasi air hujan secara
berulang. Diperoleh informasi juga bahwa terdapat korelasi negatif dengan beda suhu
elektroda. Menjelang dan saat 2001 nampak anomali positif yang terbaca pada data
potensial diri. Terkait dengan gempa VLP yang mengiringi gempa frekuensi tinggi yang
sempat terekam di puncak menggunakan sensor Broadband, ternyata pada tiga stasiun
memperlihatkan adanya anomali dengan amplitude mencapai 10 - 20 mV/km 15 menit
sebelum gempa itu muncul (Byrdina dkk, 2001).
Aubert dkk pada tahun 1990 - 1991 melakukan survei geofisika untuk mengetahui
struktur internal G. Merapi dengan menggunakan teknik geolistrik Self-Potensial. Profile
menunjukkan dua anomali utama yang diinterpretasikan sebagai kawah Pasarbubar dan
kawah 1822. Kawah 1872 hanya teridentifikasi sebagian saja. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada berikut.
Gambar Peta kontur G. Merapi yang memperlihatkan posisi dari kawah - kawah letusan yang lalu (kiri) dan profil S-P yang menunjukkan keberadaan beberapa kawah tersebut.
Gravitasi Mikro
Peta jaringan monitoring gravitasi 1993- 995
Pengukuran gravitasi untuk memantau aktivitas G. Merapi pernah dilakukan pada
periode tahun 1993 - 1995 oleh Jousset dkk dengan survey berulang di jaringan puncak
dan lereng menggunakan beberapa microgravity Scintrex CG3-M dilengkapi pengukuran
GPS dan juga perekaman variasi gravitasi secara kontinyu di Pos Pengamatan Babadan.
Pada survei yang dilakukan secara berulang tersebut diperoleh nilai variasi
percepatan gravitasi mencapai 370 µGal. Sebagian besar variasi ini dapat diterangkan
dengan adanya variasi topografi akibat aktivitas pertumbuhan dan runtuhnya kubah lava.
Selain kontribusi topografi ini, nilai residu yang ada dan bernilai positif diperkirakan akibat
adanya peningkatan massa di puncak sebesar 4 x 108 kg (lava 1994).
Gambar Ilustrasi pengaruh perubahan topografi dan penambahan massa terhadap anomali gravitasi.
Gambar Korelasi anomali gravitasi dengan munculnya gempa LF
Pada rekaman kontinyu di Babadan dapat diperoleh model pasang surut gravitasi di
G. Merapi dengan akurasi 1,3 µGal. Adanya korelasi antara residu gravitasi dengan
kegempaan G. Merapi semisal LF, mendukung interpretasi bahwa osilasi tekanan yang
berpengaruh pada nilai gravitasi merupakan cerminan aktivitas kristalisasi dan lepasnya
gas ke permukaan ditunjukkan pda gambar di atas(Jousset dkk, 2000).
DEFORMASI
Pengukuran deformasi G. Merapi dilakukan dengan menggunakan berbagai
metoda antara lain pengukuran jarak dengan EDM (Electronics Distance Measurement),
GPS (Global Positioning System) dan Telemetri Tiltmeter. Berikut ini dijelaskan masing-
masing metoda pengukuran deformasi dengan contoh-contoh hasil yang telah dicapai.
EDM
Usaha untuk melihat deformasi yang terjadi terkait dengan erupsi dilakukan dengan
berbagai cara salah satunya adalah dengan prinsip EDM. Pemantauan dengan sistem ini
telah dilakukan sejak tahun 1980 menggunakan prisma-prisma reflektor permanen
walaupun belum terlihat deformasi yang signifikan melebihi ralat sistem (Siswowidjoyo
dkk, 1980).
Gambar Jaringan pengukuran EDM 1988-1991.Tampak keterangan deformasi total dalam kurun waktu tersebut pada setiap titik pengukuran.
Pada tahun 1988 kembali dilakukan survey EDM oleh Voight dkk yang didukung
oleh USGS, USAID, dan VSI. Program ini dilakukan dengan survey jaringan trilaterasi di
puncak dan pengukuran jarak miring dari pos pengamatan terhadap reflektor-reflektor
permanen di puncak.
Berdasarkan obervasi selama beberapa tahun, terukur deformasi sebesar 1,1 m/th
di sektor Selatan puncak yang berlangsung pada tahun 1990 dan 1991 sebagai prekursor
erupsi Januari Februari 1992. Secara umum, deformasi puncak yang terjadi tidak simetris
di setiap sektor namun dominan ke arah mendekati Utara-Selatan. Medan deformasi ini
diinterpretasikan sebagai akibat migrasi ke atas sumber tekanan di bawah kawah sekitar
kedalaman 1 km.
Berdasarkan obervasi selama beberapa tahun, terukur deformasi sebesar 1,1 m/th
di sektor Selatan puncak yang berlangsung pada tahun 1990 dan 1991 sebagai prekursor
erupsi Januari-Februari 1992. Secara umum, deformasi puncak yang terjadi tidak simetris
di setiap sektor namun dominan ke arah mendekati Utara-Selatan. Medan deformasi ini
diinterpretasikan sebagai akibat migrasi ke atas sumber tekanan di bawah kawah sekitar
kedalaman 1 km.
Saat ini pemantauan deformasi menggunakan EDM hanya dilakukan pada
pengukuran jarak miring reflektor-reflektor puncak terhadap pos-pos pengamatan. Berikut
adalah gambar peta jaringan pemantauan EDM saat ini.
Gambar Peta jaringan pengukuran jarak miring dengan EDM 2003-2007.
Pasca erupsi 1994, data deformasi EDM tetap menunjukkan prekursor yang jelas
menjelang beberapa siklus erupsi seperti erupsi 2001 dan 2006. Pada erupsi 2006,
indikasi adanya peningkatan tekanan terbaca sejak tanggal 14 Februari 2003, dimana
terjadi peningkatan kelajuan deformasi yang berlanjut sampai menjelang munculnya
kubah lava dan turun secara drastis saat magma mulai keluar di permukaan puncak.
Seperti halnya yang terjadi pada erupsi 1992, deformasi tidak terjadi merata secara radial
terhadap kubah lava. Menjelang erupsi 2006, deformasi nampak dominan ke arah Selatan
- Tenggara diikuti yang ke arah Barat Daya sedangkan deformasi ke arah Utara sangat
kecil dibandingkan dengan arah pengukuran yang lain.
GPS
Penyelidikan deformasi puncak menggunakan GPS telah dilakukan sejak tahun
1993 oleh Beauducel dkk bekerjasama dengan Perancis. Metode pengukuran memiliki
beberapa karakteristik meliputi penggunaan receiver portable dual-frequency, baselines
yang pendek (<500m), prosesing kinematic/rapid-static, adjustment gabungan antara
kinematik dan statik, dan prosesing otomatis.
Gambar Lintasan pengukuran GPS kinematik (kiri) dan titik-titik referensi pengukuran statik.
Dari tahun 1993 sampai 2006, jaringan pengukuran GPS relatif tidak ado
perubahan yang berarti. Gambar 1 memperlihatkan lintasan pengukuran GPS dengan
kinematik dan titik-titik referensi. Survey GPS tahun 2006 memperlihatkan adanya
perubahan pola deformasi yang mencerminkan dinamika tekanan menjelang erupsi dan
setelahnya. Vektor deformasi yang nampak di sebagian besar titik pengukuran periode
September 2005 sampai dengan Maret 2006 menunjukkan pola radial yang seragam
sehingga apabila di potongkan akan nampak adanya pemusatan tekanan.
Hal ini mencerminkan sumber tekanan yang sangat dekat dengan permukaan
puncak. Setelah erupsi, tampak vektor deformasi lebih acak dengan magnitudo yang jauh
lebih kecil. Ini menunjukkan sumber tekanan yang lemah dan menyebar.
Gambar Vektor-vektor deformasi periode September 2005 s/d Maret 2006 (kiri), dan periode Maret sampai
dengan November 2006.
Telemetri Tiltmeter
Monitoring kemiringan permukaan secara elekronis telah dimulai sejak 1990.
Pemantauan lebih intensif dan kontinu dilakukan bekerjasama dengan USGS dan Penn
State Unv (Young, 1994). Ilmuwan Jepang juga memasang beberapa platform Tiltmeter
diikuti oleh ilmuwan Jerman (Rebscher, 1997) dan Perancis (Beauducel dan Cornet,
2000). Gambar di bawah ini memperlihatkan peta jaringan monitoring Tiltmeter 1992 -
1998 kerjasama VSI, USGS dan Penn State Unv. Sensor yang digunakan adalah tipe
Applied geomechanics model 800 untuk di puncak dengan resolusi 2,6 µrad/mV, dan
model 701 dengan resolusi 0,1 µrad/mV untuk di lereng.
Gambar Peta jaringan monitoring Tiltmeter G. Merapi 1992 - 1998
Gambar Grafik jarak miring yang terukur dari Pos Babadan terhadap sektor Barat Daya G. Merapi. Tampak peningkatan laju pemendekan jarak dua tahun setelah erupsi 2001.
Di antara sensor Tiltmeter yang terpasang, yang memberikan informasi deformasi
paling dominan adalah sensor yang berada di puncak T3 sektor Barat Daya. Pada tahun
1997 teramati laju kemiringan pada orde 200 µrad/hari, sedangkan pada tahun 1998
meningkat menjadi 5000 µrad/hari (gambar di atas). Hal ini selain mencerminkan
intensitas tekanan yang tinggi namun juga menunjukkan tubuh batuan tempat kedudukan
sensor yang mulai lepas terhadap batuan induknya. Secara umum, inflasi yang terjadi
yang ditunjukkan Tiltmeter ini terkait dengan pertumbuhan kubah lava, sedangkan deflasi
terkait dengan runtuhnya material kubah lava (Voight dkk, 2000).
Pada erupsi 2006 sensor Tiltmeter yang dipasang di puncak tepatnya di Lava 1957
memberikan prekursor yang cukup jelas. Sejak awal tahun 2006 sudah tampak adanya
inflasi meskipun dengan laju yang rendah, sekitar 19 µrad/hari. Setelah itu menjelang
munculnya kubah lava laju inflasi menjadi meningkat drastic mencapai 375 µrad/hari
(komponen radial). Perubahan kemiringan radial terhadap kubah lava dam kemiringan
arah tangensial dari waktu ke waktu menjelang munculnya kubah lava dan teramati nya
kubah lava dipermukaan disajikan pada gambar berikut.
Gambar Grafik perubahan kemiringan yang terukur oleh sensor Tiltmeter yang dipasang di lava 1957 puncak G. Merapi. Lingkaran merah adalah kemiringan arah radial terhadao kubah lava, sedangkan lingkaran biru
kemiringan arah tengensial.
GEOKIMIA
Kimia Gas
Pengukuran Laju Emisi Gas SO2 dengan COSPEC
Sulfur dioksida (SO2) merupakan salah satu komponen yang ada dalam gas
vulkanik yang dimonitor emisinya untuk memantau aktivitas suatu gunungapi. Konsentrasi
SO2 bervariasi antara 5% sampai 50% mol, dengan fluks yang bervariasi.
Monitoring emisi SO2 suatu gunungapi biasanya menggunakan Corelation
Spectroscopy (COSPEC). Metoda ini telah digunakan lebih dari tigapuluh tahu terakhir.
Pengukurannya dapat dilakukan dari jarak jauh, walau gunungapi pada kondisi sedang
terjadi letusan, dan merupakan salah satu kegiatan utama dibidang vulkanologi. COSPEC
mempunyai peran yang sangat penting dalam beberapa krisis dan letusan suatu
gunungapi, seperti Merapi, Kilauea, St. Helens dan sebagainya. Data COSPEC juga
digunakan sebagai dasar evaluasi emisi SO2 gunungapi ke atmosfer secara global dan
gas lain (menggunakan estimasi proporsi relatif terhadap gas SO2.
COSPEC mengukur kolom SO2 dengan menggunakan pancaran sinar ultra violet
(UV) sebagai sumber energinya. Sinar masuk ke dalam instrumen dan bergerak melalui
serangkaian cermin, lensa, dan slit untuk mencapai detektor dan photomultiplier di mana
sinar dirubah kedalam pulsa listrik dan amplifier. Jika gas ado di dalam instrumen,
COSPEC mendeteksi sejumlah radiasi UV yang diserap oleh SO2. Biasanya pengukuran
dengan COSPEC dilakukan pada tempat yang tetap (fix position), dengan menempatkan
COSPEC pada tripot yang berotasi dan melakukan scanning di area plume. Pengukuran
biasanya dilakukan dari jarak jauh. Selain itu COSPEC juga dioperasikan diatas mobil
atau boat, kemudian mobil berjalan melintasi dibawah plume, jika tidak ada jalan yang
dapat dilalui mobil, COSPEC dioperasikan diatas helikopter, yang berarti membutuhkan
biaya tambahan yang besar serta keterbatasan geografi, COSPEC tidak dapat digunakan
dimana saja karena beratnya. Satu hal lagi yang merupakan kelemahan COSPEC adalah
masalah perawatan dan perolehan suku cadang pengganti semakin meningkat
kesulitannya.
Emisi Gas SO2
Gambar Skema pengukuran emisi gas SO2 dengan sistem DOAS dan aplikasinya di Gunung Merapi.
Di Gunung Merapi, pengukuran emisi gas SO2 dengan COSPEC telah dilakukan
secara harian sejak tahun 1990. Metoda ini merupakan salah satu pemantauan jarak jauh
berdasarkan geokimia yang telah banyak diaplikasikan di gunungapi lain di dunia.
Dengan prinsip dan cara pengukuran yang sama dengan COSPEC, saat ini pengukuran
emisi gas SO2 telah dikembangkan menggunakan DOAS (Differential Optical Absorption
Spectroscopy). Skema pengukuran emisi gas SO2 dengan sistem DOAS dan aplikasinya
di Gunung Merapi disajikan pada gambar di atas.
Hasil pengukuran emisi gas SO2 di G. Merapi dari tahun 1990 sampai dengan
tahun 2006 disajikan pada gambar di bawah ini. Dari gambar tersebut dapat dinyatakan
bahwa pada keadaan aktif normal Gunung Merapi melepaskan SO2 rata-rata sekitar 100
ton/hari dan emisi gas meningkat apabila terjadi peningkatan aktivitasnya. Pada erupsi
Gunung Merapi tanggal 14 Juni 2006, emisi gas SO2 rata-rata mencapai 300 ton/hari.
Hasil pengukuran emisi gas SO2 yang tinggi yang mengawali terjadinya erupsi gunungapi
tercatat Gunungapi Etna and Asama volcano.
Gambar Hasil pengukuran emisi gas SO2 di G. Merapi tahun 1990-2007.
Gambar di atas menunjukkan bahwa secara garis besar emisi gas SO2 di G. Merapi
meningkat pada saat tercatat adanya peningkatan aktivitas. Pada awal aktivitas G. Merapi,
emisi gas SO2 menunjukkan tren meningkat secara tidak signifikan, tetapi saat aktivitas
makin meningkat maka emisi SO2 meningkat tajam dan tercatat maksimum pada saat
atau setelah terjadi erupsi. Prediksi erupsi berdasarkan emisi gas SO2 tidak sangat tepat
tetapi diagnosa menunjukkan bahwa gunungapi memiliki potensi erupsi. Oleh karena itu,
tren emisi gas SO2 digunakan sebagai data pendukung dalam evaluasi tingkat aktivitas
gunungapi.
Pada erupsi G. Merapi Februari 1992, emisi gas SO2 rata-rata pada status “Normal”
kurang dari 100 ton/hari (tahun 1991), kondisi ini menggambarkan bahwa proses
pelepasan gas terhambat. Sejak September 1991 sampai Februari 1992 (status “Awas”)
emisi gas meningkat tajam hingga 400 ton/hari. Tingginya jumlah pelepasan gas diduga
akibat dari konduit telah terbuka. Selanjutnya emisi gas menunjukkan tren menurun
hingga Bulan September 1992. Sehingga dapat dinyatakan bahwa selama episode erupsi
G. Merapi Februari 1992, variasi emisi gas SO2 memiliki korelasi dengan tingkat
aktivitasnya. Pada perioda erupsi November 1994, emisi gas SO2 pada status “Normal”
sekitar 150 ton/hari demikian juga pada perioda Juni 1998 dan Januari 2001.
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2004 emisi gas SO2 rata-rata
sekitar 100 ton/hari. Pada awal 2005, emisi gas menunjukkan peningkatan secara gradual
sehingga emisi gas sekitar 150 ton/hari. Pada Januari-April 2006, emisi gas terus
menunjukkan peningkatan (gambar di bawah) hingga menunjukkan rata-rata hampir 200
ton/hari. Sejak Mei 2006, emisi gas meningkat secara tajam hingga mencapai 300 ton/hari
yang tercatat sebelum erupsi 14 Juni 2006. Pada saat terjadinya erupsi, pengukuran emisi
gas tidak dapat dilakukan karena terhalang oleh abu vulkanik yang dilontarkan.
0
200
400
Em
isig
asS
O2(ton/
hari)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
2006
Erupsi14 Juni 2006
Gambar Emisi gas SO2 yang diukur dengan COSPEC dari Pos Pengamatan G. Merapi Jrakah.