fraktur maksilofasial

20
Fraktur Maksilofasial (Tinjauan) 2. FRAKTUR MAKSILOFASIAL 2.1 Pengertian Fraktur Maksilofasial Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh (Grace and Borley, 2007). Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah (gambar 2.1). Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984). Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang pembentuk wajah. Gambar 2.1 Pembagian Wajah Secara Lateral (Fonseca, 2005) 2.2 Etiologi Fraktur Maksilofasial Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang (Fonseca, 2005). 2.3 Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial 2.3.1 Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005) Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah. Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah (gambar 2.2) :

Upload: suzhanthy-arisonya

Post on 01-Jan-2016

33 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fraktur Maksilofasial

Fraktur Maksilofasial (Tinjauan)2. FRAKTUR MAKSILOFASIAL

2.1 Pengertian Fraktur Maksilofasial

Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh (Grace and Borley,

2007). Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi menjadi tiga bagian, ialah

sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga bawah wajah (gambar 2.1). Bagian

yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan

sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang

vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam

bagian sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984). Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi

pada tulang-tulang pembentuk wajah.

 

Gambar 2.1     Pembagian Wajah Secara Lateral (Fonseca, 2005)

2.2 Etiologi Fraktur Maksilofasial

Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau penganiayaan,

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau diakibatkan oleh hal yang bersifat

patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya bagian tulang (Fonseca, 2005).

2.3 Lokasi Anatomis Fraktur Maksilofasial

2.3.1        Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)

Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.

Klasifikasi fraktur berdasarkan istilah (gambar 2.2) :

1.        Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik

melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.

2.        Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit,

mukosa, maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang.

3.        Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.

4.        Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya

melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.

5.        Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang dikarenakan

adanya penyakit tulang.

Page 2: Fraktur Maksilofasial

6.        Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak

berhubungan satu sama lain.

7.        Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.

8.        Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang, biasanya

pada tulang mandibula orang tua.

9.        Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.

10.    Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan jaringan

lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.

Gambar 2.2     Jenis Fraktur Mandibula. A. Greenstick; B. Simple; C.Comminuted; dan D. Coumpound (Hupp et al., 2008)

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya (gambar 2.3):

1.        Midline : fraktur diantara incisal sentral.

2.        Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang berbatasan

dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).

3.        Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.

4.        Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan

poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3).

5.        Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis apikal pada

sigmoid notch.

6.        Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.

7.        Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibula hingga regio ramus.8.        Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Gambar 2.3     Lokasi Fraktur mandibula (Coulthard et al., 2008)

2.3.2        Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

Page 3: Fraktur Maksilofasial

Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan

tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah :

bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila.

Sinus maksila membesar sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya

rongga di sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.

Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :

1.        Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)

Fraktur Le Fort I (gambar 2.4) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan

menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan

rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital

kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.

Gambar 2.4     Fraktur Le Fort I(Fonseca, 2005)

2.        Fraktur Le Fort tipe II

Fraktur Le Fort tipe II (gambar 2.5) biasa juga disebut dengan fraktur piramidal.

Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang

terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi

ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi

biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan

terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya

cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini. 

Gambar 2.5     Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)

Page 4: Fraktur Maksilofasial

3.        Fraktur Le Fort III

Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6)

menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah

remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula

dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.

Gambar 2.6     Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)

2.3.3 Fraktur Sepertiga Atas Wajah

Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan

sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressedke dalam atau hanya

mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah yang lain.

2.3.4 Fraktur Dentoalveolar (Fonseca, 2005; Andreasen et al., 2007)

            Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat bermain atau

dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Struktur dentoalveolar dapat terkena

trauma yang langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya dapat menyebabkan

trauma pada gigi insisif sentral  maksila karena berhubungan dengan posisinya yang terekspos.

            Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur dentoalveolar ialah oklusi yang

abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm, inklinasi gigi insisal ke arah labial, bibir yang

inkompeten, pendeknya bibir atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi tersebut dapat dilihat pada

individu dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I Angle, atau pada orang dengan kebiasaan

buruk menghisap ibu jari.

Page 5: Fraktur Maksilofasial

Gambar 2.7     Fraktur Dentoalveolar Disertai Avulsi Pada Gigi 52, 53, dan 63 Pada Pasien Instalasi Gawat darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Klasifikasi Klinis Traumatic Dental Injuries (TDI) yang diadaptasi dariWorld Health

Organization (WHO) pada Application of international classification of disease to dentistry and

stomatology dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1         Klasifikasi Trauma Pada Jaringan Keras Gigi dan PulpaKode Trauma Kriteria

N.502.50 Infraksi Email Fraktur yang tidak menyeluruh pada email tanpa hilangnya substansi gigi (retak).

N.502.50 Fraktur Email (uncomplicatedfraktur mahkota)

Fraktur dengan adanya kehilangan substansi gigi pada email, tanpa melibatkan dentin.

N.502.51 Fraktur Email-Dentin (uncomplicatedfraktur mahkota)

Fraktur dengan adanya kehilangan substansi gigi dengan melibatkan email dan dentin, namun tidak melibatkan pulpa.

N.502.52 ComplicatedFraktur Mahkota

Fraktur yang melibatkan email dan dentin, dan menyebabkan tereksposnya pulpa.

N.502.53 Fraktur Akar Fraktur yang melibatkan email, dentin, dan pulpa. Fraktur akar dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan

Page 6: Fraktur Maksilofasial

berpindahnya bagian koronal gigi.

N.502.54 Uncomplicatedfraktur akar-mahkota

Fraktur yang melibatkan email, dentin, dan sementum namun tidak menyebabkan tereksposnya pulpa.

N.502.54 Complicated fraktur akar-mahkota

Fraktur yang melibatkan email, dentin, sementum, dan juga menyebabkan tereksposnya pulpa.

Tabel 2.2         Klasifikasi Trauma Pada Tulang Pendukung GigiKode Trauma Kriteria

N.502.40 ComminutionSoket Alveolar Maksila

Hancur dan tertekannya soket alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi lateral gigi.

N.502.60 ComminutionSoket Alveolar Mandibula

Hancur dan tertekannya soket alveolar. Kondisi ini ditemukan bersamaan dengan intrusif dan luksasi lateral gigi.

N.502.40 Fraktur dinding soket alveolar maksila

Fraktur yang melibatkan  dinding soket bagian fasial atau oral.

N.502.60 Fraktur dinding soket alveolar mandibula

Fraktur yang melibatkan  dinding soket bagian fasial atau oral.

N.502.40 Fraktur prosesus alveolaris maksila

Fraktur pada prosesus alveolaris dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

N.502.60 Fraktur prosesus alveolaris mandibula

Fraktur pada prosesus alveolaris dimana dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

Page 7: Fraktur Maksilofasial

N.502.42 Fraktur Maksila Fraktur dimana melibatkan maksila atau mandibula dan juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

N.502.61 Fraktur Mandibula Fraktur dimana melibatkan maksila atau mandibula dan juga prosesus alveolaris. Fraktur tersebut dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

2.4  Penatalaksanaan Pasien Fraktur Maksilofasial (Fonseca, 2005; Hupp et al., 2008)

2.4.1    Kontak Awal Pasien

Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan

pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka. Advance Trauma Life

Support (ATLS) yang dianjurkan oleh American College of Surgeon ialah perawatan trauma

ABCDE.

A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection

1.        Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.

2.        Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah untuk membuka

jalan nafas oral dan nasofaringeal.

3.        Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua kondilus dan

simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.

B: Breathing and adequate ventilation

1.        Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua

kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien yang sadar.

C: Circulation with control of hemorrhage

1.        Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas dan

mengontrol perdarahan.

2.        Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.

Page 8: Fraktur Maksilofasial

3.        Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang meluas dan

perdarahan kepala.

D: Disability: neurologic examination

1.        Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi.

2.        Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung maupun tdak langsung

yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon yang dapat mengaburkan pemeriksaan

neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang utuh.

3.        Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol atau obat) yang

tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.

E: Exposure/ enviromental control

1.        Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.

2.        Menghilangkan lensa kontak.

2.4.2    Penilaian Glasgow Coma Scale (Hupp et al., 2008)

            Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran yang

dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali terjadi

trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu respon membuka

mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh

berdasarkan tabel berikut.

Tabel 2.3         Glasgow Coma Scale (GCS)Glasgow Coma Scale Nilai

Respon Membuka Mata(E)

Buka mata spontan 4

Buka mata bila dipanggil / ada rangsangan suara

3

Buka mata bila ada 2

Page 9: Fraktur Maksilofasial

rangsang nyeriTidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

Respon Verbal(V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

4

Kata-kata tidak teratur 3

Suara tidak jelas 2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

Respon Motorik(M)

Mengikuti Perintah 6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

4

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

1

Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5), dan respon membuka

mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan

menjadi :

(1)     Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

(2)     Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13

(3)     Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8

Glasgow Coma Scale ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian

tergantung pada respon verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi baru lahir, bayi,

Page 10: Fraktur Maksilofasial

dan anak kecil. Oleh karena itu, diajukan beberapa modifikasi untuk anak. Anak dengan

kesadaran normal mempunyai nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan gangguan kesadaran

ringan, nilai 9-11 berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai dibawah 8 menunjukkan

koma berat. (The Paediatric Accident and Emergency Research Group, 2008)

Tabel 2.4         Glasgow Coma Scale Modifikasi Untuk Bayi dan AnakGlasgow Coma Scale Nilai

Respon Verbal(V)

Berceloteh, bersuara, berkata-kata seperti biasanya

5

Rewel, Bingung 4Menangis bila ada rangsangan nyeri, berkata-kata tidak jelas

3

Merintih bila ada rangsang nyeri, bersuara tidak jelas

2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun

1

2.4.3      Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis (Fonseca, 2005; Hupp et al.,

2008)

Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien

penderita fraktur maksilofasial ialah:

1.        Bagaimana kejadiannya?

2.        Kapan kejadiannya?

3.        Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang kemungkinan

dapat menyebabkannya?

4.        Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?

Page 11: Fraktur Maksilofasial

5.        Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi, perubahan

penglihatan, dan maloklusi?

Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi

tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.

Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan sakit

kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.

Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman

penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan infraorbital,

dan obstruksi jalan nafas.

Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada

rahang,  kaku di daerah telinga, dan trismus.

Gambar 2.8     Perubahan Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral Pasien Instalasi Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Menandakan Adanya Fraktur Mandibula.

Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik

termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi terkena

trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.

Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti

laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama dengan

Page 12: Fraktur Maksilofasial

adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya fraktur zigomatikus

kompleks dan fraktur rima orbita.

Gambar 2.9     Hematoma Pada Orbita Sinistra Pasien Fraktur Maksilofasial di Instalasi Gawat darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

    Gambar 2.10     Ekimosis di Periorbital (Hupp et al., 2008)

Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa

penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.

Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral

mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi

Page 13: Fraktur Maksilofasial

pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila, stabilisasi

kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu tangan.

Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi

maksila.

Gambar 2.11  Pemeriksaan Mobilisasi Maksila (Hupp et al., 2008)

Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di

daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area

tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika

adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk

dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.

2.4.4        Pemeriksaan Radiografis (Hupp et al., 2008)

Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk

memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis

juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.

Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto

radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral oblique

view. Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga

digunakan foto oklusal dan periapikal.

Page 14: Fraktur Maksilofasial

Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat

menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien

dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai gangguan

neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian radiografi.

            Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat

menggunakan Water’s view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dansubmental vertex

view.

2.4.5    Perawatan Fraktur Maksilofasial (Hupp et al., 2008)

Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah

penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi nasal,

pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase perawatan dan

penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi pasien dan

mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa tidak nyaman.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan

sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur (mengembalikan

segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-segmen tulang untuk

meng-imobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai tambahan, sebelum tindakan,

oklusi sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur sebaiknya di cegah dan

dihilangkan terlebih dahulu.

Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat

merawat luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka

dibiarkan terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan

malunion.

Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga

reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara

langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar.

Page 15: Fraktur Maksilofasial

Gambar 2.12   Jenis Teknik Maxillomandibular fixation wiring Arch bar Pada Pasien Fraktur Maksilofasial Instalasi Gawat Darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi

terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka dilakukan

bila diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah

berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur angulus,

dimana tarikan otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen

proksimal mandibula.