fraktur depres

Upload: rahma-nizar

Post on 13-Oct-2015

309 views

Category:

Documents


36 download

DESCRIPTION

Fraktur Depressed

TRANSCRIPT

Fraktur Depres

a. Definisi

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Hal ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka atau tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak, dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.

B. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan :

1) Gambaran fraktur, dibedakan atas :

a) Linier

Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.b) Diastase

Fraktur yang terjadi pada sutura, sehingga terjadi pemisahan sutura cranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun.

c) Comminuted

Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur.

d) Depressed

Fraktur depressed diartikan sebagai fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak dibawah level anatomic normal dari tabula interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh.

Jenis fraktur ini terjadi jika energy benturan relative besar terhadap area benturan yang relative kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu area double density (lebih radio opaque) karena adanya bagian-bagian tulang yang tumpang tindih. Fraktur depresi adalah fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).2) Lokasi Anatomis, dibedakan atas :

a) Konveksitas (kubah tengkorak)

yaitu fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk konveksitas (kubah) tengkorak seperti os.Frontalis, os. Temporalis, os. Parietalis, dan os. Occipitalis.

b) Basis crania (dasar tengkorak)

yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu :

(1) fossa Anterior

(2) fosa Media

(3) fosa Posterior

fraktur pada masing-masing fosa akan memberikan manifestasi yang berbeda.

3) keadaan luka, dibedakan atas :

a) terbuka

b) tertutup

Luas lapisan tipe fraktur ditentukan oleh beberapa hal, pertama ditentukan oleh besarnya energy yang membentur kepala (energy kinetic objek), kedua ditentukan oleh Arah benturan, ketiga ditentukan oleh bentuk tiga dimensi (geometris) objek yang membentur, keempat ditentukan oleh lokasi anatomis tulang tengkorak tempat benturan terjadi, dan kelima ditentukan oleh perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin besar nilai perbandingan ini akan cenderung menyebabkan fraktur depressed.

Pendapat ini didukung oleh beberapa hal antara lain :

a. Fraktur pada tabula interna biasanya lebih luas dari pada fraktur tabula eksterna diatasnya

b. Sering ditemukan adanya fraktur tabula interna walaupun tabula eksterna utuh

c. Kemungkinan hal ini juga didukung oleh pengamatan banyaknya kasus epidural hematoma akibat laserasi arteri meningea media, walaupun pada pemeriksaan awal dengan radiologi dan gambaran intra operatif tidak tampak adanya fraktur pada tabula eksterna, tetapi tampak garis fraktur pada tabula interna.

C. GAMBARAN KLINISGambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battles sign), dan kebocoran cairan serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai kombinasi) juga dapat terjadi.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Pemeriksaan Laboratorium

Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.b. Pemeriksaan Radiologi

Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.

Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik. 18

CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.

MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.

c. Pemeriksaan Penunjang Lain

Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu halo atau ring sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.

E.DIAGNOSISDiagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :

Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung

Keluar darah atau cairan jernih dari telinga

Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)

Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign)

Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi

Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.

F. PENATALAKSANAAN

A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cedera

B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri

C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line

D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin

E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan belakang.

Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan ekstremitas.

Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu pada paralisis nervus fasialis. Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi.Daftar Pustaka.

1. Doenges E. Marilynn (1999), RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta

2. Brunner & Suddarth (2001), Buku Ajar KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH, Edisi 8 Volume 3, Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.

3. GALLO & HUDAK, KEPERAWATAN KRITIS Pendekatan Holistik, Volume II Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.

4. Price A. Sylvia & Wilson M. Lorraine (1995), PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4 Buku II Penerbit Buku Kedokteran (EGC), Jakarta.