foto: martin dody/ercb penataan ruang untuk mitigasi … file“pasca bencana pemerintah daerah...

8
KAREBA PALU KORO KABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG Januari 2019 - II edisi #6 Seorang warga melintas di wilayah terdampak likuefaksi di Desa Langaleso, Kabupaten Sigi. Foto: Martin Dody/ERCB PENATAAN RUANG UNTUK MITIGASI RISIKO BENCANA Bertempat di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Palu, Selasa 8 Januari 2019 lalu, diadakan acara bincang santai untuk mengulas rencana Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang akan memasukkan aspek mitigasi risiko bencana. Narasumber yang hadir dalam kesempatan itu adalah Syaifullah Djafar, Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng, Gifvents Lasimpo dari LSM Komiu, dan Abdullah selaku perwakilan Akademisi dari Universitas Tadulako (UNTAD). Hadir pula para peserta dari berbagai LSM dan pengamat lainnya. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dari satu jam itu mengkaji tentang sejauh mana proses pembuatan atau revisi RTRW wilayah Sulteng dan rencana tata ruang bencana kota Palu dan sekitarnya. Sebelumnya, RTRW kabupaten atau kota telah dibuat untuk kurun waktu 2013-2033 dengan melakukan pengkajian kembali atau evaluasi setiap 5 tahun sekali. Sangat disayangkan rencana evaluasi 5 tahunan tersebut tertunda akibat bencana gempa, tsunami dan likuifaksi tanggal 28 September 2018 yang lalu. “Padahal dalam kajian RTRW 5 tahunan itu rencananya akan dilakukan revisi berdasarkan temuan terkait keperluan dan kebutuhan aktivitas penggunaan ruang yang sudah tidak sesuai dengan RTRW yang telah disepakati sebelumnya,” kata Syaifullah. Di satu sisi, kejadian itu semakin menyadarkan pemerintah daerah untuk lebih memprioritaskan mitigasi risiko bencana dalam penyusunan dan pelaksanaan RTRW di Sulteng. Model mitigasi yang digunakan misalnya dengan penetapan zonasi yang terbagi menjadi: 1. Zona terlarang 2. Zona terbatas 3. Zona diawasi secara ketat 4. Zona pengembangan “Pasca bencana pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan zonasi tersebut karena tidak memiliki kapasitas yg mumpuni, ketersediaan sumber daya manusia, aspek pembiayaan, dan kompetensi,” tambah Syaifullah. Zona Berbahaya Dalam kajian aspek mitigasi dan penetapan zonasi, pemerintah daerah dibantu oleh pemerintah pusat dalam hal ini ialah kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Bersambung ke halaman 6...

Upload: dinhhuong

Post on 30-Jul-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KAREBA PALU KOROKABAR PENANGANAN BENCANA SULTENG

Januari 2019 - II edisi #6

Seorang warga melintas di wilayah terdampak likuefaksi di

Desa Langaleso, Kabupaten Sigi. Foto: Martin Dody/ERCB

PENATAAN RUANG UNTUK MITIGASI RISIKO BENCANA

Bertempat di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Palu,

Selasa 8 Januari 2019 lalu, diadakan acara bincang santai

untuk mengulas rencana Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah

(Sulteng) terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang akan

memasukkan aspek mitigasi risiko bencana.

Narasumber yang hadir dalam kesempatan itu adalah Syaifullah

Djafar, Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi

Sulteng, Gifvents Lasimpo dari LSM Komiu, dan Abdullah selaku

perwakilan Akademisi dari Universitas Tadulako (UNTAD). Hadir

pula para peserta dari berbagai LSM dan pengamat lainnya.

Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dari satu jam

itu mengkaji tentang sejauh mana proses pembuatan atau revisi

RTRW wilayah Sulteng dan rencana tata ruang bencana kota Palu

dan sekitarnya.

Sebelumnya, RTRW kabupaten atau kota telah dibuat untuk

kurun waktu 2013-2033 dengan melakukan pengkajian kembali

atau evaluasi setiap 5 tahun sekali. Sangat disayangkan rencana

evaluasi 5 tahunan tersebut tertunda akibat bencana gempa,

tsunami dan likuifaksi tanggal 28 September 2018 yang lalu.

“Padahal dalam kajian RTRW 5 tahunan itu rencananya akan

dilakukan revisi berdasarkan temuan terkait keperluan dan

kebutuhan aktivitas penggunaan ruang yang sudah tidak sesuai

dengan RTRW yang telah disepakati sebelumnya,” kata Syaifullah.

Di satu sisi, kejadian itu semakin menyadarkan pemerintah

daerah untuk lebih memprioritaskan mitigasi risiko bencana

dalam penyusunan dan pelaksanaan RTRW di Sulteng. Model

mitigasi yang digunakan misalnya dengan penetapan zonasi

yang terbagi menjadi:

1. Zona terlarang

2. Zona terbatas

3. Zona diawasi secara ketat

4. Zona pengembangan

“Pasca bencana pemerintah daerah mengalami kesulitan

dalam menetapkan zonasi tersebut karena tidak memiliki

kapasitas yg mumpuni, ketersediaan sumber daya manusia, aspek

pembiayaan, dan kompetensi,” tambah Syaifullah.

Zona Berbahaya

Dalam kajian aspek mitigasi dan penetapan zonasi, pemerintah

daerah dibantu oleh pemerintah pusat dalam hal ini ialah

kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,

Bersambung ke halaman 6...

KAREBA PALU KORO

MENGKAJI KEBUTUHAN DAN RISIKO

Terletak di wilayah Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi

Tengah, Kelurahan Buluri berbatasan langsung dengan Kelurahan

Tipo dan Kelurahan Watusampu. Kelurahan ini cukup parah

terdampak oleh bencana gempa, tsunami dan penurunan atau

perubahan daratan yang terjadi pada 28 September 2018 yang

lalu. Bahkan akibat penurunan daratan, beberapa kawasannya

menjadi kawasan perairan.

Peristiwa bencana tersebut masih membekas di ingatan

masyarakat.

“Hingga saat ini kami masih berada di tenda-tenda

pengungsian, bukan semata-mata hanya menunggu bantuan dari

relawan tetapi kami masih trauma dengan peristiwa itu,” kata Seili,

ketua RT3 RW 1 Kelurahan Buluri.

Selain menyebabkan 25 korban meninggal dunia dan memberi

dampak psikologis bagi masyarakat setempat, bencana tsunami

ini juga mengubah ruang gerak masyarakat sekitar, dikarenakan

kondisi beberapa kawasan yang berubah menjadi perairan.

Masyarakat Buluri yang tinggal di kelurahan Buluri mayoritas

berasal dari Suku Kaili Unde selain suku-suku pendatang lainnya

seperti Jawa, Bugis, dan lainnya. Mata pencaharian masyarakat

setempat cukup beragam, mulai dari buruh harian lepas di

perusahaan tambang batu, nelayan, peternak, pedagang,

karyawan perusahaan hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kawasan pesisir pantai yang sebelumnya merupakan kawasan

hunian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan ini, kini telah

ditetapkan sebagai zona terlarang. Perubahan fungsi dari daratan

menjadi kawasan perairan juga terjadi pada kebun kelapa yang

terletak di belakang rumah warga serta beberapa lokasi berternak

di sekitar pesisir karena kini terjangkau oleh air laut ketika

mengalami pasang.

Sebenarnya, kawasan pemukiman masyarakat di kawasan

pesisir yang dihuni oleh kurang lebih 108 kepala keluarga (KK)

telah ditetapkan sebagai zona terlarang jika mengacu pada

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) wilayah kota Palu yang masih

coba disusun dari tahun 2018 yang memasukkan aspek mitigasi

sebagai rujukan bersama terkait penataan kembali kawasan

pesisir. Jika hal itu diterapkan di kawasan ini maka batas layak

hunian yang pernah terpapar bencana tsunami haruslah berjarak

100-200 meter dari pasang air laut tertinggi. Oleh kelompok

relawan kebencanaan, sejumlah 108 KK yang berada di dalam

zona tersebut dipersiapkan untuk direlokasi ke hunian sementara

(huntara) yang berada di lapangan sepak bola di Buluri.

Dalam kegiatan kajian kebutuhan pascabencana (jitupasna),

ERCB melakukan pengkajian di Kelurahan Buluri dengan cara

observasi kembali, focus group discussion (FGD), dan evaluasi.

Pada hari Jumat tanggal 18 Januri 2019, dilaksanakan FGD di dua

tempat yakni di kediaman Seili, Ketua RT 3 dan di kantor Kelurahan

Buluri. Teknis kegiatan yang dilakukan di kediaman Pak Seili yaitu

pemaparan tentang jitupasna, wawancara, diskusi, pemetaan

masalah secara partisipatif, dan mencari masukan-masukan atau

tanggapan terkait kegiatan jitupasna. Sedangkan kegiatan di

kantor Kelurahan Buluri terkait pengenalan kegiatan jitupasna.

Dalam proses tersebut banyak ditemukan sektor-sektor yang

sebaiknya menjadi prioritas pendampingan oleh pemerintah

maupun LSM. Sektor-sektor tersebut diantaranya kebutuhan

akan layanan psikososial dan kerentanan-kerentanan di tingkat

masyarakat seperti perasaan trauma dan ketergantungan

terhadap bantuan. Sedangkan di sektor ekonomi, temuan-

temuannya terkait mata pencaharian dan jumlah pendapatan

pasca bencana. Perubahan ekologi dari kawasan daratan menjadi

perairan dan kesepakatan untuk penetapan lokasi huntara juga

menjadi sektor yang perlu diperhatikan. (se/mdk)

Warga Buluri sedang mengkaji kebutuhan dan risiko. Foto: Valens Pranasetyawan

02

KAREBA PALU KORO

Bangkit lagi, maju lagi, bangkit… Sama-sama bangkitBangkit lagi, kuat lagi, bangkit… Palu ayo bangkit

Demikian penggalan lirik yang dinyanyikan oleh Juli Idin Lanja

dan Aci The Box, seniman yang juga penyintas dari Balaroa pada

acara Bincang Santai yang diadakan di Sekretariat Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) Palu 25 Januari 2019 yang bertemakan: “Potret

Penanganan Pengungsi 4 Bulan Pascabencana.”

Empat bulan pascabencana gempa, tsunami, dan likuefaksi di

Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) masih meninggalkan beberapa

persoalan terkait penanganan kebencanaan di ketiga wilayah

kabupaten tersebut dan pemenuhan kebutuhan para penyintas.

Beberapa permasalahan seperti penyediaan air bersih, sanitasi,

pembagian logistik yang kurang merata, munculnya penyakit,

dan kurang terlindunginya kelompok rentan menjadi catatan

tersendiri. Di sektor hunian pun pemenuhan jumlah hunian

sementara (huntara) masih cukup jauh dari yang ditargetkan

sehingga pemindahan penyintas ke huntara pun molor dari

rencana semula bisa selesai di bulan Desember 2018.

Berdasarkan Buku Panduan Operasional IASC (Komite Tetap

Antar-Lembaga) tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan

Bencana-bencana Alam tentang Melindungi Para Korban

Bencana Alam, ada hak-hak para penyintas yang harus dilindungi.

Diantaranya: (1) Perlindungan jiwa, keamanan, orang, integritas

fisik, dan martabat; (2) Perlindungan hak-hak yang berkaitan

dengan kebutuhan-kebutuhan pokok; (3) Perlindungan hak-hak

ekonomi, sosial, dan kultural lainnya; dan (4) Perlindungan hak-

hak warganegara dan politik lainnya.

Wisnu Yonar dari United Nations Development Programme

(UNDP) wilayah Sulawesi Tengah menggarisbawahi dua hal.

“Ada dua hak yang menjadi kebutuhan utama, yaitu rumah

(huntara) karena banyaknya penyintas yang kehilangan rumah

dan pemulihan ekonomi yang menjadi kunci bagaimana

penyintas melanjutkan hidup.” Katanya Wisnu.

Dalam penyediaan huntara, hendaknya pemerintah juga

memperhatikan penyediaan kebutuhan pokok lainnya di

lingkungan huntara tersebut seperti air, pendidikan, layanan

kesehatan, dan listrik.

Hal berikutnya adalah tentang mata pencaharian. Program-

program padat karya mulai dijalankan oleh banyak lembaga.

Program ini dirasa cukup membantu karena bisa menjadi

semacam alternatif. pemasukan.

“Namun demikian, pemberian program seperti ini tetap harus

mengikuti batasan yang ditetapkan oleh Dinas Sosial Provinsi

Sulawesi Tengah untuk menghindari ketergantungan,” kata

Wisnu.

Beberapa kendala seperti anggaran yang bergantung

pada anggaran pusat dan juga kendala koordinasi seperti

pendelegasian program huntara dari tingkat nasional ke daerah

membuat semua penanganan terlibat berjalan lamban.

“Salah satu contohnya adalah pemenuhan huntara untuk para

penyintas yang baru tercapai sekitar 200an unit dari target 699

unit huntara,” tukas Wisnu.

Dedi Askari dari Komnas HAM Sulawesi Tengah menyoroti

rentang kevakuman yang cukup lama dari tahun 2012.

“Saat itu ada kerjasama antara pemerintah kota dengan

pemerintah provinsi untuk melakukan simulasi kebencanaan,

namun setelah itu tidak ada penyiapan masyarakat jika sewaktu-

waktu bencana datang (mitigasi bencana),” katanya.

Skema transisi darurat ke pemulihan pun disoroti sebagai

Bersambung ke halaman 6...

POTRET PENANGANAN

PENGUNGSI 4 BULAN

PASCABENCANA Pembangunan hunian sementara (huntara) di posko pengungsian terpadu Loli Pesua, Donggala. Foto: Martin Dody/ERCB

03

KAREBA PALU KORO

Konsorsium Emergency Response

Capacity Building (ERCB) telah

melaksanakan proses monitoring dan

evaluasi atas respons bersama yang

dilaksanakan di Palu, Sigi, dan Donggala

(Pasigala) pada tanggal 17-18 Desember

2018 lalu. Dalam proses tersebut, situasi

terkini di Pasigala dan apa yang bisa

ditindaklanjuti juga dibahas secara

mendalam. Beberapa prioritas perlu

pembahasan lebih lanjut untuk menyusun

rencana respons lanjutan dan memulai atau

menindaklanjuti rencana pemulihan awal

serta rehabilitasi dan rekonstruksi.

Hasil yang diharapkan untuk kegiatan

pemulihan awal tersebut antara lain

pemenuhan tempat tinggal untuk para

penyintas yang tempat tinggalnya hancur akibat bencana gempa,

tsunami, dan likuefaksi. Selain itu intervensi di sektor mata

pencaharian berupa perbaikan irigasi, pemberian bibit ikan, sayur

dan padi, dan pemberian layanan psikososial bagi para penyintas

yang masih mengalami trauma agar mereka bisa beraktivitas

normal kembali bersama masyarakat juga dilaksanakan.

“Belum adanya kepastian waktu sampai berapa lama

mengembalikan kehidupan seperti semula, maka penting

dilakukan kegiatan early recovery atau pemulihan awal. Kegiatan

ini dilakukan untuk memastikan penyintas terpenuhi kebutuhan

dasarnya, terutama pemukiman, pangan, dan mata pencaharian,”

terang Sumino dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan

(LPTP).

Intervensi di sektor pemukiman difokuskan pada penyintas

yang rumahnya benar-benar rusak parah, sehingga tidak bisa

lagi ditempati. Selama ini mereka hidup ditenda-tenda, tempat

saudara ataupun bangunan-bangunan yang didirikan dari puing-

puing rumahnya yang hancur.

“Kondisi ini bila dibiarkan maka akan mengakibatkan dampak

buruk terhadap menurunnya kesehatan dan tekanan psikologis

yang berkepanjangan,” kata Sumino.

Maka ERCB berencana untuk membantu memfasilitasi

pembangunan hunian sementara berupa pembangunan rumah

inti. Tetapi hunian sementara yang disiapkan bersifat rumah

tumbuh, yang dibangun dari material lokal.

“Rumah tumbuh ini dirancang agar bisa dikembangkan oleh

penerima manfaat dikemudian hari, baik dikembangkan pada saat

stimulan dari pemerintah turun maupun dikembangkan secara

mandiri,” tambahnya.

“Rumah inti ini dibangun dengan mengadopsi kearifan

lokal terkait desain dan material yang tahan gempa,” kata

Sutikno Sutantio dari ERCB Indonesia. Hal tersebut selain untuk

memberikan tempat tinggal yang lebih layak bagi para penyintas,

juga untuk melestarikan kembali kearifan lokal berupa rumah

kayu yang sudah terbukti tahan terhadap gempa.

“Desa Tangkulowi, contohnya, berencana untuk menjadikan

desa mereka desa wisata. Diharapkan keberadaan rumah inti

yang akan dibangun oleh ERCB akan menjadi daya tarik yang

mendukung rencana tersebut,” tambahnya.

Sektor mata pencaharian juga disentuh oleh ERCB dalam

respons pemulihan awal ini. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat

sedari awal sudah didorong untuk kembali mandiri pascabencana.

Untuk kembali menjamin ketersediaan pangan dan pendapatan

bagi penyintas maka jaringan irigasi, yang mengairi kawasan

lahan padi dan palawija yang dimiliki oleh penduduk dalam satu

desa perlu diperbaiki. Selain perbaikan irigasi akan diberikan juga

bantuan bibit ikan, sayur dan padi.

“Jenis komoditi ini dipilih karena bisa dikembangkan dalam

lahan terbatas, memanfaatkan waktu dan tenaga penyintas,

serta komoditi ini bisa cepat dipanen untuk dikonsumsi,” Sumino

menjelaskan.

Intervensi di sektor mata pencaharian oleh ERCB dengan tetap

melibatkan masyarakat menjadi perhatian tersendiri melihat

kecenderungan bentuk ataupun cara pemberian bantuan kepada

para penyintas oleh lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan.

Bentuk-bentuk seperti program padat karya atau cash transfer

yang memberikan uang yang tidak sedikit kepada para penyintas,

dikhawatirkan lambat laun akan membentuk pola dimana para

penyintas akan bergantung pada pemberian bantuan, tidak

bangkit dan mandiri.

“Untuk dua bulan kedepan (Februari-Maret 2019), ERCB akan

fokus di 3 desa di Kabupaten Sigi (Tangkulowi, Boladangko,

dan Bolapapu di Kecamatan Kulawi), Kelurahan Limboro di

Kabupaten Donggala, dan Kelurahan Panau di Kota Palu,” kata

Johan Rachmat Santosa dari ERCB Indonesia. Sedangkan untuk

16 bulan berikutnya, direncanakan program pemulihan awal ini

juga akan merambah ke 10 desa lainnya yang sebelumnya juga

mendapatkan bantuan. (mdk)

Pertemuan ERCB untuk membahas langkah-langkah Pemulihan Awal

di Pasigala. Foto: Martin Dody/ERCB

PROGRAM PEMULIHAN AWAL 5 DESA

04

KAREBA PALU KORO

(Dari kiri) Ridwan Mumu, Dedi Askari, Wisnu Yonar pada acara bincang santai bertema

Potret Penanganan Pengungsi 4 Bulan Pascabencana. Foto: Martin Dody/ERCB

“skema abu-abu” karena menurut Dedi, masa transisi

darurat dengan masa darurat sama saja karena situasi dan

kondisinya sama. Komnas HAM mensinyalir bahwa hal tersebut

menunjukkan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam

menghadapi bencana dan ketidakmampuan untuk memenuhi

kebutuhan para penyintas. Dedi juga menyayangkan adanya

kasus korupsi yang dilakukan di salah satu kabupaten di provinsi

Sulawesi Tengah di masa kebencanaan ini.

Ridwan Mumu, Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah

yang turut hadir dalam bincang santai ini menyampaikan bahwa

pemerintah provinsi sudah berupaya maksimal dari masa

darurat bencana hingga masa transisi ini hingga persiapan ke

tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.

“Alhamdulilah untuk tanggap darurat 1 dan 2 pemerintah

daerah sudah sangat bekerja keras,” katanya.

Sinergitas antara pemerintah Daerah dan NGO yang

melaksanakan intervensi di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah

pun dilakukan untuk memperkuat respons yang dijalankan.

“Dalam pemberian respons kami (pemerintah provinsi)

bekerja berdasarkan masukan-masukan dan data dari

pemerintah kota,” Ridwan menambahkan.

Kendala yang terjadi adalah sampai dengan dirilis pada

tanggal 8 Januari 2019 yang lalu, data tersebut dirasa belum

valid.

“Berdasarkan ajuan data tersebut, jaminan hidup (jadup), ahli

waris, dan isian huntara diberikan,” sambung Ridwan.

Terkait huntara, kewenangannya berada di tangan PUPR.

Pemerintah provinsi hanya mengeluarkan rekomendasi

berdasarkan masukan dari pemerintah kota, misalnya, lokasi

dimana huntara tersebut akan dibangun.

Upaya-upaya untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan

respons yang dilakukan, pemerintah provinsi, khususnya

gubernur menuntut data yang valid untuk kemudian bisa

ditindaklanjuti melalui permohonan baik ke pemerintah pusat

maupun lembaga-lembaga non-pemerintah untuk kemudian

bisa langsung disalurkan ke para penyintas.

“Gubernur (Sulteng, Longki Djanggola) tidak pernah menunda

permintaan yang masuk ke provinsi, dan evaluasi selalu

dilakukan bersama pihak-pihak yang terkait,” kata Ridwan.

Untuk sebulan kedepan, gubernur sudah menginstruksikan

untuk konsentrasi pada pembangunan huntara memberikan

jadup sesuai verifikasi dan validasi data dari kabupaten kota.

Walaupun pembangunannya belum memenuhi target jumlah,

namun untuk para penyintas yang sudah masuk ke huntara

segera diberi isian-isian huntara melalui Dinas Sosial. Untuk

para penyintas yang belum masuk hutara, Ridwan menyatakan

bahwa pemerintah provinsi bekerja sama dengan lembaga-

lembaga non pemerintah dengan standar yang ditetapkan oleh

pemerintah provinsi.

Pada akhir acara, sebelum masa transisi berakhir pada tanggal

23 Februari mendatang, karena masih banyak target yang

belum terpenuhi, ada baiknya koordinasi antara pemerintah

daerah dengan pemerintah pusat dan dinas-dinas yang terkait

diperbaiki agar bisa terjadi percepatan. Pentingnya memberikan

informasi kepada masyarakat tentang kebijakan-kebijakan

pemerintah menyangkut jadup, huntara, dan hal-hal lain yang

terkait dengan pemberian hak para penyintas (manajemen

informasi) serta data yang valid menjadi penekanan dari

berbagai pihak agar segala intervensi yang dijalankan berjalan

dengan lebih baik, tepat sasaran, dan para penyintas benar-

benar menerima manfaatnya. (mdk)

Sambungan halaman 3...

05

KAREBA PALU KORO

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

(ATR/BPN), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

(BMKG), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

(PUPR) melalui pengembangan wilayah dan pusat gempa, dan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui

badan geologi hingga tersusun peta yang menjadi rujukan

mitigasi risiko bencana.

Zona terlarang yang menjadi prioritas pemerintah daerah

adalah sebagai berikut:

1. Di kawasan pesisir, pemerintah akan membatasi

aktivitas pengembangan baik kawasan hunian maupun

pengembangan lainnya dengan jarak 100-200 meter dari

pasang tertinggi air laut.

2. Pada wilayah yang terkena garis sesar Palu Koro ada zona

batas sekitar 15-30 meter.

3. Wilayah-wilayah bekas likuifaksi seperti Petobo, Balaroa, Desa

Jono Oge dan Sibalaya.

Tidak menutup kemungkinan wilayah yang masuk dalam

zona terlarang untuk pembangunan hunian akan dikaji kembali

menjadi lokasi-lokasi yang bisa menjadi sumber penguatan

ekonomi. Misalnya, di Desa Jono Oge bisa dikembangkan

sistem pertanian yang cocok dengan situasi dan kondisi lokasi

tersebut. Sedangkan di Balaroa dan Petobo mungkin hanya akan

didirikan monumen peringatan kejadian likuifaksi yang terjadi 28

September 2018 lalu.

Gifvents mengkritisi proses RTRW yang seharusnya melibatkan

partisipasi publik dengan memasukkan aspek-aspek kearifan

lokal.

“Penting mengingat keterbatasan pemerintah daerah terkait

referensi wilayah-wilayah yang dianggap pernah terdampak

parah oleh bencana gempa dan tsunami,” kata Gifvents.

Hal tersebut diilustrasikan dengan syair kayori atau pantun lokal

suku Kaili yang kurang lebih bermakna Kabonga Besar melihat

Tondo dan Mamboro telah tenggelam sedangkan Kayumalue

Berita Foto

PENATAANSambungan halaman 1...

06

KAREBA PALU KORO

Berita fotoSuasana di Posko Pengungsian Terpadu Loli Pesua

di Kabupaten Donggala. Tampak di latar belakang

pembangunan hunian sementara (huntara) untuk

para penyintas yang tinggal di posko. Rencana akan

dibangun sebanyak 10 unit Huntara di lokasi tersebut.

Foto: Martin Dody/ERCB

tidak tenggelam.

Selanjutnya, Abdullah, narasumber dari perwakilan akademisi

UNTAD mengingatkan bahwa, “Pemerintah daerah perlu

mempertajam peta terkait zona-zona berbahaya yang tidak hanya

terfokus pada gempa, tsunami, dan likuifaksi melainkan juga harus

memasukan zona-zona rawan longsor dan downlift atau mengalami

penurunan tanah.”

Hal itu terkait temuan saat gempa terdapat beberapa mobil di

kawasan Desa Enu kabupaten Donggala yang tertimbun hingga

korban meninggal akibat longsor saat gempa terjadi.

Selanjutnya terhadap kawasan-kawasan yang berpotensi downlift

atau mengalami penurunan permukaan tanah, juga harus menjadi

prioritas dalam mitigasi tata ruang wilayah. Misalnya, rencana

pengembangan wilayah pesisir, akan tetapi wilayah itu ternyata

masuk dalam zona downlift, maka kemungkinan kawasan tersebut

bisa berpotensi menjadi perairan laut yang permanen. Untuk itu

pemerintah daerah harus berhati-hati dalam pembangunan wilayah

pesisir baik untuk rencana pembuatan tanggul maupun rencana

lainnya. (se/mdk)

07

KAREBA PALU KORO

Kareba Palu Koro adalah media penyebaran informasi terkait penanganan bencana di Sulawesi Tengah yang dikelola oleh Jaringan Emergency Response Capacity Building (ERCB) pada masa tanggap darurat hingga masa rehabilitasi pasca bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Media ini didukung oleh pendanaan dari SHO dan Cordaid dan terbit dua mingguan.

Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa (ERCB Indonesia)

Redaksi: Martin Dody Kumoro, Sir Leyf Evan Cryf (Yayasan Merah Putih)

Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui [email protected] atau dialamatkan ke Jl. Karanja Lembah, Lorong BTN Polda, Samping Perum Kelapa GadingDesa Kalukubula, Kec. Sigi Biromaru, Kab. Sigi, Sulteng

REDAKSIONALPELATIHAN OPEN STREET MAP

Dalam penanggulangan pascabencana

gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada

28 September 2018, serta sebagai bentuk

mitigasi bencana, Perkumpulan OpenStreetMap

Indonesia (POI) bekerja sama dengan

Emergency Response Capacity Building (ERCB)

menyelenggarakan pelatihan OpenStreetMap

(OSM) dan pengumpulan data. Pelatihan ini

ditujukan untuk meningkatkan kapasitas

komunitas lokal khususnya dalam pemetaan

partisipatif menggunakan platform opensource

dan berbagi data terbuka.

Pelatihan diadakan di kantor Karsa Institute di

Jalan Kijang IX Selatan, Palu ini diselenggarakan

selama enam hari, dari tanggal 23 hingga 28

Januari 2019.

Menurut Ilham Syaiful Huda dari Lembaga

Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP),

kemampuan pemetaan ini sangat dibutuhkan.

“Kita dapat memvisualisasikan titik-titik

dimana dampak dari bencana gempa, tsunami,

dan likuefaksi.” katanya.

Misalnya titik-titik rumah yang rusak,

infrastruktur jalan yang rusak, tempat-tempat

ibadah. Titik-titik risiko ancaman wilayah pun

dapat dipetakan. Selain memetakan titik-titik

kerusakan dan risiko, titik-titik dimana ERCB

melaksanakan intervensi juga terpetakan.

“Misalnya dimana kita membangun fasilitas

MCK, Ruang Ramah Anak (RRA), dan yang

lainnya,” sambung Ilham.

Peta dasar sudah tersedia di sistem OSM ini,

sehingga pengguna dapat mengolah peta

dasar tersebut sesuai dengan kebutuhan atau

keinginan.

“Manfaat lainnya adalah pengguna dapat

melakukan koreksi terhadap peta yang sudah

ada dalam OSM sesuai dengan kondisi terbaru

dan langsung secara real time diperbaharui oleh

sistem,” kata Muhammad Nur Ronggo D dari

LPTP.

Sistem OSM tidak mensyaratkan spesifikasi

perangkat keras tinggi. Ketika dikolaborasikan

dengan Ushahidi akan memudahkan baik

pengguna untuk memberikan informasi hasil

pemetaan yang telah dilakukan di suatu daerah

dalam bentuk peta interaktif maupun pihak-

pihak yang mengakses peta tersebut. Ushahidi

adalah sebuah platform web dan mobile yang dapat membantu kita untuk membuat,

memvisualisasikan dan berbagi cerita melalui

sebuah peta.

“Pelatihan OSM ini sangat bermanfaat

peningkatan kapasitas individu khususnya

dalam melakukan pemetaan suatu lokasi

(bencana) baik dari titik hingga kawasan,"

kata Valens Pranasetyawan dari Bina Swadaya

sebagai salah satu peserta.

Sampai dengan berita ini dituliskan, kegiatan

pemetaan wilayah sebagai bagian dari pelatihan

OSM ini masih berjalan.

“Diharapkan dengan adanya pelatihan OSM

ini, komunitas lokal dapat bertambah wawasan

dan kemampuannya dalam melakukan

pemetaan terutama menggunakan platform

opensource serta memvisualisasi hasil survey

ke dalam sebuah peta yang nantinya dapat

digunakan salah satunya untuk keperluan

kebencanaan,” pungkas Ika Selasa, salah satu

fasilitator dari POI. (mdk)

Praktik lapangan pemetaan di Desa Lewara, Kecamatan Marawola

Barat, Kabupaten Sigi. Foto: Valens Pranasetyawan

Dengan dukungan:

08