forensik-makalahkasus5 (01)

36
BAB I PENDAHULUAN Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari pengaturan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang issue-issue tertentu. Etik terbagi ke dalam etik normatif dan metaetik (etik analitik). Pada etik normatif, para filsuf mencoba menegakkan apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada metaetik, para filsuf memperhatikan analisis kedua konsep moral di atas. Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis yang dipenuhi dengan makanan dan minuman, kebutuhan psikologis yang dipenuhi dengan rasa kepuasan, istiraha, santai, kebutuhan sosial yang dipenuhi melalui keluarga, teman, dan komunitas, serta kebutuhan reatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan, kebenaran, cinta. Kebutuhan-kebuthan tersebut harus dipenuhi secara berimbang 1

Upload: lidya-christy-agustine-bonita

Post on 16-Jan-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah forensik

TRANSCRIPT

Page 1: Forensik-makalahkasus5 (01)

BAB I

PENDAHULUAN

Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan

dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari

pengaturan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku

tentang issue-issue tertentu.

Etik terbagi ke dalam etik normatif dan metaetik (etik analitik). Pada etik normatif, para

filsuf mencoba menegakkan apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara moral

dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada metaetik, para filsuf memperhatikan analisis

kedua konsep moral di atas.

Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis yang

dipenuhi dengan makanan dan minuman, kebutuhan psikologis yang dipenuhi dengan rasa

kepuasan, istiraha, santai, kebutuhan sosial yang dipenuhi melalui keluarga, teman, dan

komunitas, serta kebutuhan reatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan,

kebenaran, cinta. Kebutuhan-kebuthan tersebut harus dipenuhi secara berimbang

Bioetika adalah salah satu cabang dari etik normatif. Bioetik atau biomedical ethics

adalah etik yang berhubungan dengan praktek kedokteran dan atau penelitian di bidang medis.

1

Page 2: Forensik-makalahkasus5 (01)

BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang

telah terminal. Pasien masih cukup sadar berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi

kesehatannyadan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki

pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya di rawat di ICU dengan peralatan

bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya

memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila ia

mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan

ICU dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima

obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.

2

Page 3: Forensik-makalahkasus5 (01)

BAB III

PEMBAHASAN

A. Aspek Etika

Pengertian etika(1)

Menurut kamus besar bahasa Indonesia :

Etika adalah

- Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral

(akhlak).

- Kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.

- Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat.

Menurut K.Bertens :

Etika adalah :

- Nilai atau norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok

dalam mengatur tingkah lakunya.

- Kumpulan azas atau nilai moral.

- Ilmu tentang baik dan buruk.

Pembagian etika :

Etik refleksi : pemikiran moral (tentang

apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan)

Praktis : tuntutan perilaku yang normative : -tuntutan berpikir

Merupakan nilai dan norma moral yang - logis dan pembenaran moral

3

Page 4: Forensik-makalahkasus5 (01)

Harus dipraktekan dalam bersikap - disini prinsip etis dirumuskan dan dapat

dipertanggung jawabkan

secara rasional dan digunakan secara praktis.

Teori etika

Deontology : kewajiban virtue : manusia bukan nabi

Menunjuk pada kewajiban dalam teleologi : memandang etis atau-

Menentukan apakah suatu hal bersifat- tidaknya berdasarkan tujuan dan akibat yang

diinginkan,sekarang sering digunakan

sebagai pedoman.

etis atau tidak etis(sering digunakan

pada masa Hipocrates).

Kaidah-kaidah dasar moral(2)

Beauchamp and childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu etik

diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa aturan dibawahnya. Keempat kaidah dasar

moral tersebut adalah :

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak

otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian

melahirkan doktrin informed consent;

2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang

ditujukan kepada kebaikan pasien. Dalam prinsip ini tidak hanya dikenal perbuatan

untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih

besar daripada sisi buruknya;

4

Page 5: Forensik-makalahkasus5 (01)

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang

memperburuk keadan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere”atau

“above all do no harm”;

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam

bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar,jujur, dan terbuka),

privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien)

dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).

Selain prinsip dan kaidah dasar moral diatas yang haus dijadikan pedoman dalam

mengambil keputusan klinis, professional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai

panduan dalam bersikap dan berperilaku. Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-

nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.

Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan kewajiban moral yang

melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum

sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah

menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang

baik haruslah hukum yang etis.

5

Page 6: Forensik-makalahkasus5 (01)

B. Informed Consent

Definisi

Informed consent adalah suatu proses yang menunjukan komunikasi yang efektif antara dokter

dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan

dilakukan terhadap pasien.

Elemen inform consent

Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu:

1. Treshold elements

Sifat elemen ini lebih ke syarat yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten

(berkapasitas untuk membuat keputusan). Secara hukum seseorang dianggap cakap

(kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yag

tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau

telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah

apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya

terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat keputusannya terganggu.

2. Information elements

Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding

(pemahaman). Pengertian “berdasarkan pemahaman yang adekuat” membawa

konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikan

rupa agar pasien dapat mecapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa

“baik” informasi harus diberikan kepada pasien dapat dilihat dari tiga standart, yaitu:

Standar praktek profesi : Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-

adekuat-an informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas

tenaga medis. Standar ini terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada di dalam

komunitas kedokteran, tanpa memperhatikan keingintahuan dan kemampuan

pemahaman individu yang diharapkan menerima informasi tersebut. Dalam 6

Page 7: Forensik-makalahkasus5 (01)

standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tiddak sesuai

dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya : risiko yang “tidak bermakna”

(menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi

sosial/pasien.

Standar subyektif : bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut

oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan haruss memadai

untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Sebaliknya dari standar

sebelumnya, standar ini sangat sulit dilaksanakan, adaah mustahil bagi tenaga

medis untuk memahami nilai-nilai yang secara individual dianut pasien.

Standar pada reasonable person

Standar in merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu

dianggap ccukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan

pada umumnya orang awam.

3. Consent elements

Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan)

dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan,

misinterpretasi ataupun paksaan. Passien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan

tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui

tawarannya. Consent dapat diberikan dengan dinyataka maupun tidak dinyatakan.

Dinyatakan (expressed) : dinyatakan dapat secara lisan, maupun tertulis.

Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari,

umumnya pada tindakan yang invasif atau yag berisiko mempengaruhi kesehatan

pasien secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis

menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan

tertulis.

Tidak dinyatakan (implied)

7

Page 8: Forensik-makalahkasus5 (01)

Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan

tingkah laku (gerakan) yang menunjukan jawabannya. Consent jenis inilah yang

paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari.

Keadaan yang membuat informed consent tidak berlaku :

1. Keadaan darurat medis

2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat

3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)

4. Clinical privilege (hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya

memberikan consent)

5. Pasien yang tidak kompeten memberikan consent.

C. Rekam medis

Definisi

1. Menurut Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1898

Rekam Medis adalah berkas yng berisi catatan dan dokumen mengenai identitas

pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima

pasien pada sarana kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.

2. Menurut Permenkes No.269/Menkes/Per/2008

Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen mengenai identitas

pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan

kepada pasien.

3. IDI

8

Page 9: Forensik-makalahkasus5 (01)

Rekam Medis adalah rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran akifitas pelayanan

yang diberikan oleh pemberi medis pelayanan kepada seorang pasien.

Isi Rekam Medis

1. Pasien Rawat Jalan:

a. Identitas pasien

b. Tanggal dan waktu

c. Hasil anamnesis, mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit

d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik

e. Diagnosis

f. Rencana penatalaksanaan

g. Pengobatan atau tindakan

h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien

i. Persetujuan tindakan medis bila diperlukan

j. Nama dan tanda tangan doker yang memberikan

2. Pasien Rawat Inap:

a. Identitas pasien

b. Tanggal dan waktu

c. Hasil anamnesis, mencangkup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit

d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik

e. Diagnosis

f. Rencana penatalaksanaan

g. Pengobatan atau tindakan

h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien

Persetujuan tindakan medis bila diperlukan

Catatan Observasi klinis.

9

Page 10: Forensik-makalahkasus5 (01)

Ringkasan pulang (dischanger summary).

Nama dan tanda tangan doker yang memberikan.

Penyelengara Rekam Medis.

Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat

rekam medis.

Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dibuat dan dilengkapi

setelah pasien menerima pelayanan.

Pembuatan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui

pencatatatn dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan

lain yang telah diberikan kepada pasien.

Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan

dokter.

Dalam hal terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat

dilakukan pembetulan dengan cara pencoretan dan dibubuhi paraf dokter.

Penyimpanan Rekam Medis

Rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk

jangan waktu 5 tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan.

Setelah batas waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam medis

dapat dimusnahkan , kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medis.

Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Harus disimpan untuk jangka waktu 10 tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan

tersebut.

10

Page 11: Forensik-makalahkasus5 (01)

Kegunaan Rekam Medis

Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien.

Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.

Bahan untuk kepentingan penelitian.

Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan.

Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Education value.

Documentation value.

Aspek Medikolegal

1. Pasal 79 (b) UU no. 29/2004

Dengan sengaja tidak membuat rekam medis, pdana kurungan paling lama 1

tahun atau denda paling banyak 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)

2. Pasal 1365 KUH perdata

Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada setiap orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian atau mengganti

kerugian tersebut.

3. Pasal 52 UU No. 29/2004 (Hak atas informasi)

Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan

dilakukan. Meminta pendapat dokter (second opinion). Mendapatkan pelayanan

sesuai dengan kebutuhan medis. Menolak tindakan medis. Mendapatkan isi rekam

medis

11

Page 12: Forensik-makalahkasus5 (01)

D. Aspek Hukum(3)

Praktek Dokter

1. Pasal 531 KUHP

Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi

maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya, tanpa selayaknya

menimbulkan bahaya bagi dirinya maupun orang lain, diancam jika kemudian orang

itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga

ratus rupiah.

2. Pasal 55 UU Kesehatan

Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan tenaga kesehatan.

Persetujuan Tindakan Medik

Peraturan Menteri kesehatan No 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan

Medik

1. Pasal 1

Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang

diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan

medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

Tindakan medik adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien

berupa diagnostic atau terapeutik

Tindakan invasive adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi

keutuhan jaringan tubuh.

12

Page 13: Forensik-makalahkasus5 (01)

Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter gigi/dokter gigi

spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek

perorangan/bersama.

2. Pasal 2

Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat

persetujuan.

Persetujuan dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan.

Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang

perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang ditimbulkannya.

Cara penyampain dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat

pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.

3. Pasal 3

Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan

persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan

Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini

tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan

Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata-

nyata atau secara diam-diam

4. Pasal 4

Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta

maupun tidak diminta

13

Page 14: Forensik-makalahkasus5 (01)

Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya,kecuali bila dokter

menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau

pasien menolak diberikan informasi

Dalam hal hal sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter persetujuan pasien dapat

memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh

seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi

5. Pasal 5

Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan

medik yang dilakukan,baik diagnosis ataupun terapeutik.

Informasi diberikan secara lisan.

Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai

bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.

Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan

pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.

6. Pasal 8

Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar

dan sehat mental

Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21

tahun (dua puluh satu) tahun atau telah menikah

7. Pasal 9

Bagi pasien dewasa yang dibawah pengampunan(cura tele) persetujuan

diberikan oleh wali/curator.

Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan

oleh wali/curator.

14

Page 15: Forensik-makalahkasus5 (01)

8. Pasal 12

Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan

tindakan medik.

Pemberian persetujuan tindak medik yang dilaksanakan di rumah sakit/klinis,

maka rumah sakit/klinis yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.

9. Pasal 13

Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan

dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan

surat izin prakteknya.

15

Page 16: Forensik-makalahkasus5 (01)

E. Dampak Hukum(4)

Dampak hukum atas keputusan yang diambil

Informed consent

Jika dokter melakukan tindakan medis tanpa pemberitahuan dan penjelasan kepada

pasien terlebih dahulu/tanpa informed consent maka dokter dapat dikenakan dengan pasal

351 KUHP tentang penganiayaan. Atau ahli anestesi yang membius tanpa informed consent

sebelumnya dapat dikenakan pasal 89 KUHP yaitu membuat orang tidak berdaya

disamakan dengan melakukan kekerasan.

Rekam Medis

Menurut UU Praktik Kedokteran Pasal 47 Ayat (2) rekam medis harus disimpan

dan dijaga kerahasiannya oleh dokter, dokter gigi dan sarana kesehatan.

Sementara jika dengan sengaja tidak membuat rekam medis dapat dikenakan sanksi

hukuman penjara maksimal 1 (satu) tahun atau denda Rp 50.000.000 (lima puluh juta

rupiah) sesuai dengan UU No. 29 tahun 2004

16

Page 17: Forensik-makalahkasus5 (01)

F. Prosedur tindakan medis (5)

Prosedur tindakan medis meliputi empat aspek, antara lain:

1. Teori Pelaksanaan Jabatan

Negara melalui peraturan hukum positif, telah memberikan wewenang kepada dokter untuk

melakukan tindakan medis dan atas dasar itu tidak memberlakukan ketentuan pidana yang

diatur dalam pasal 351 KUHP terhadap pelaksanaan jabatan tersebut. Oleh karena itu

menurut kualifikasi hukum administratif, tindakan medis tidak termasuk dalam pengertian

penganiayaan. Akan tetapi dokter hanya berwenang melakukan tindakan medis apabila

pasien telah memberikan persetujuannya.

2. Tindakan Medis secara nyata bukan penganiayaan

Tujuan dari suatu tindakan medis bukan untuk “menganiaya” atau “mishandelen” akan

tetapi untuk “merawat” atau “behandelen”. Jadi tindakan medis tidak bertujuan untuk

merugikan, melainkan untuk memulihkan kesehatan.

3. Tidak adanya opset atau “maksud”

Dasar pemikirannya adalah bahwa dokter pada waktu melakukan tindakan medis telah tidak

bermaksud untuk menimbulkan penderitaan. Untuk menilai maksud tersebut perlu

diperhatikan tujuan dan cara serta hubungan antara tujuan dengan cara dilakukannya

tindakan medis tersebut.

4. Tidak adanya sifat melawan hukum secara material

Tidak adanya sifat melawan hukum secara material, dapat didasarkan pada pengertian-

pengertian ilmiah dan juga dapat didasarkan pada pendapat-pendapat dalam masyarakat.

Tindakan mendorong seseorang dengan keras, dengan maksud agar orang tersebut tidak

terperosok ke dalam lubang, secara materal tidak melawan hukum.

Sifat tidak melawan hukum

Secara material suatu tindakan medis sifatnya tidak melawan hukum, jika tindakan itu telah

dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat seperti:

17

Page 18: Forensik-makalahkasus5 (01)

a) Tindakan itu harus memiliki indikasi medis dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan

perawatan yang sifatnya konkrit.

Jadi pelayanan medis harus sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku, dan ditujukan

pada tujuan ilmu kedokteran. Di samping itu tindakan tersebut harus dapat dibenarkan

secara etis. Selanjutnya, peralatan yang digunakan memang diperlukan dan cara yang

dipakai harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, serta terdapat keseimbangan antara

cara yang dipakai dengan tujuan yang ingin dicapai.

b) Tindakan itu harus dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.

Hal ini berkaitan dengan cara pelaksanaan di mana yang terpenting adalah ketelitian dan

kehati-hatian melakukan tindakan medis, baik pada waktu melakukan pemeriksaan dalam

rangka menegakkan diagnosis, juga pada waktu merencanakan terapi serta melakukan terapi

tersebut.

Syarat a dan b juga disebut sebagai bertindak lege artis atau bertindak menurut standar

profesi medis. Dengan demikian suatu pembedahan yang telah dilakukan dengan teliti dan

hati-hati serta didasarkan pada indikasi medis yang benar, jika karena sesuatu hal terjadi

kegagalan, pada prinsipnya tidaklah bersifat melawan hukum.

c) Tindakan itu harus dilakukan dengan memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pasien

yang bersangkutan.

Syarat ini berkaitan dengan informed consent. Hanya dalam keadaan- keadaan tertentu

persetujuan seperti itu tidak disyaratkan yaitu pada keadaan di mana pasien tersebut tidak

mampu mengucapkan keinginannya atau dalam keadaan gawat darurat yang mengancam

nyawa (life saving). Berkaitan dengan ini Leenen mengemukakan adanya suatu fiksi

hukum, yang mengatakan bahwa seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa

yang pada umumnya disetujui oleh mereka yang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui

apa yang pada umumnya disetujui oleh mereka yang dalam keadaan sadar, yang berada pada

situasi dan kondisi sakit yang sama. Ameln menyebutkan hal tersebut sebagai “presumed

consent”. W. Van der Mijn mengatakan mengenai pasien dalam kondisi tidak sadar dapat

dikaitkan dengan pasal 1354 KUH perdata yang mengatur “zaakwaarneming” atau

18

Page 19: Forensik-makalahkasus5 (01)

perwakilan sukarela. Ini adalah suatu sikap tindak yang pada dasarnya merupakan

pengambilalihan tanggung jawab dengan bertindak menolong pasien dan bila telah sadar

dokter dapat menanyakan apakah perawatan akan diteruskan atau akan dirawat oleh dokter

lain atau ingin memperoleh second opinion.

G. Prosedur terapi

Penatalaksanaan kanker bergantung pada jenis atau tipe karsinoma yang diderita,

darimana asalnya atau pola penyebarannya. Umur, kondisi kesehatan umum serta sistem

pengobatan juga mempengaruhi proses penatalaksanaan kanker.

Tujuan pengobatan ada dua, yaitu kuratif dan paliatif.kanker

1. Terapi kuratif

Pengobatan kuratif merupakan upaya yang ditujukan untuk mencapai

kesembuhan penyakit kanker..

Pengobatan yang umumnya diberikan adalah melalui :

1.      Pembedahan atau operasi, di mana tumor diambil bila memungkinkan

2.      Kemoterapi dengan obat-obatan sitostatika (obat membunuh sel kanker)

3.      Radioterapi (menggunakan sinar radiasi).

4.      Terapi hormonal

5.      Terapi biologik (molekuler atau menggunakan obat non-sitstatika khusus)

2. Terapi paliatif

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas

hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan

19

Page 20: Forensik-makalahkasus5 (01)

penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui

identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-

masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual

Perawatan paliatif juga dapat diartikan perawatan kesehatan terpadu yang

bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.

Tujuannya untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya,

meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support kepada keluarganya.

Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia

sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang

dideritanya. Jadi, tujuan utama perawatan paliatif bukan untuk menyembuhkan

penyakit dan yang ditangani bukan hanya penderita, tetapi juga keluarganya.

Prinsip-prinsip perawatan paliatif adalah sebagai berikut:

1. Menghargai setiap kehidupan.

2. Menganggap kematian sebagai proses yang normal.

3. Tidak mempercepat atau menunda kematian.

4. Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan.

5. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.

6. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan pasien

dan keluarga.

7. Menghindari tindakan medis yang sia-sia.

8. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan

kondisinya sampai akhir hayat.

9. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita.

Perawatan paliatif terdapat dalam berbagai macam.

20

Page 21: Forensik-makalahkasus5 (01)

HomeCare

Home care dilakukan dengan melakukan kunjungan ke rumah-rumah penderita,

terutama yang karena alasan-alasan tertentu tidak dapat datang ke rumah sakit.

Kunjungan dilakukan oleh tim yang terdiri atas dokter paliatif, psikiater, perawat, dan

relawan, untuk memantau dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami

penderita kanker dan keluarganya, bukan hanya menyangkut masalah medis/biologis,

tetapi juga masalah psikis, sosial, dan spiritual. Perawatan paliatif membolehkan pasien

di rawat di rumah didampingi keluarga tercinta. Saat di rawat di rumah, pasien biasanya

akan merasa lebih nyaman dan bisa membantu meringankan beban dan pikiran sehingga

lebih siap menghadapi penyakitnya.

Day Care

Day care merupakan layanan untuk tindakan medis yang tidak memerlukan

rawat inap, misalnya perawatan luka, kemoterapi, dsb.

Respite Care

Respite Care merupakan layanan yang bersifat psikologis. Di sini penderita

maupun keluarganya dapat berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, bersosialisasi

dengan penderita kanker lain, mengikuti terapi musik, atau sekedar bersantai dan

beristirahat. Bisa juga menitipkan penderita kanker (selama jam kerja), jika pendamping

atau keluarga yang merawatnya ada keperluan lain.

Pada pasien ini prosedur terapi yang akan dilaksanakan adalah paliatif care . Hal ini

dikarenakan pasien telah menderita karsinoma kolon stadium terminal. Terapi paliatif pada

pasien ini mengupayakan dicapainya kualitas hidup yang terbaik bagi pasien, bertujuan

meringankan penderitaan pada pasien ini

21

Page 22: Forensik-makalahkasus5 (01)

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Euthanasia(6)

Euthanasia sering disebut sebagai kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama

pada penyakit yang penuh dengan penderitaan dan tak tersembuhkan. Saat ini pada umumnya

ditemrima pengertian euthanasia sebagai tindakan manusia untuk secara aktif atau langsung

menghentikan kehidupan pasien yang berada dalam stadium terminal. Euthanasia sendiri

dibedakan dalam tiga bentuk, voluntary euthanasia (euthanasia sukarela), non-voluntary

euthanasia (euthanasia diandaikan), involuntary euthanasia (euthanasia dipaksakan).

Voluntary euthanasia merupakan kematian yang diminta seseorang, biasanya karena

menderita penyakit yang menimbulkan nyeri tak tertahankan dan penyakit itu sendiri tidak dapat

disembuhkan. Individu-individu tersebut mungkin merasa bunuh diri itu sulit atau bahkan tidak

mungkin karena alas an-alasan tertentu. Non-voluntary euthanasia, merupakan kematian yang

tidak diusulkan, karena pasien biasanya tidak sadar. Di sini individu itu dianggap/diandaikan

akan memilih/meminta mati jika ia dapat menyatakan keinginannya. Involuntary euthanasia

merupakan pembunuhan pada pasien yang sadar tetapi tidak diminta persetujuan.

Dahulu euthanasia dibedakan menjadi euthanasia pasif/tidak langsung. Euthanasia aktif

dimengerti sebagai setiap usaha mengakhiri kehidupan pasien stadium terminal secara langsung

dan sengaja. Euthanasia pasif dimengerti sebagai secara tidak langsung mengakibatkan kematian

pasien karena tidak mulai mengguanakan alat bantu kehidupan atau menghentikan alat yang

sudah dipakai, sebab dianggap tidak berguna lagi. Sekarang perbedaan euthanasia seperti itu

telah ditinggalkan oleh banyak etikawan. Istilah euthanasia diartikan khusus untuk secara aktif

mengakhiri kehidupan pasien stadium terminal. Untuk tindakan menghentikan bantuan

22

Page 23: Forensik-makalahkasus5 (01)

kehidupan atau tidak memulai bantuan kehidupan bagi pasien stadium terminal digunakan istilah

“membiarkan pasien meninggal”. Perubahan istilah ini berdasarkan adanya perbedaan mendasar

dari sudut etika antara kedua keadaan itu. Pada euthanasia kematian pasien disebabkan oleh

tindakan manusia, sedangkan pada kasus ‘ membiarkan pasien meninggal” kematian disebabkan

oleh penyakit yang dideritanya.1

Prioritas pelayanan kesehatan pada pasien stadium terminal, meskipun masih dalam

tingkat paling dini cenderung berubah, dari pengobatan (cure) ke perawatan (care), dari

intervensi ke prevensi dan rehabilitasi, dan tidak hanya memperhatikan apa yang diinginkan,

tetapi mengutamakan efektivitas dan efisiensi perawatan, termasuk dari sudut pertimbangan

ekonomi.

Berkaitan dengan aspek hukum tentang euthanasia dan bunuh diri (pasal 344 dan 345)

pada terutama pada pasal 344 KUHP yang menyatakan barang siapa merampas nyawa orang

lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam

dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, dokter hendaknya mampu melepaskan diri

dari tuntutan hukum ini dimana menurut etika profesi medis euthanasia dikatakan terjadi ketika

seseorang melakukan sesuatu misalnya memberikan pembiusan yang mematikan dengan maksud

mempercepat akhir hidup pasien, ini yang disebut tindakan. Sebenarnya dalam kasus

euthanasia/tindakan, kematian pasien disebabkan oleh tindakan manusia, sedangkan dalam

pengabaian (ketika pelayanan medis dihentikan/tidak dilakukan) atau membiarkan pasien

meninggal , kematian disebabkan oleh penyakit yang dideritanya sehingga dokter yang tidak

menyelamatkan pasien stadium terminal, tidak sama artinya dengan dokter membunuh pasien

stadium terminal serta tidak menangani tidak sama nilainya dengan membunuh. Jadi dokter yang

tidak menangani/membiarkan pasien meninggal tidak sama nilai nya dengan dokter membunuh

pasien dalam stadium terminal.

Beberapa hal yang dibenarkan untuk menghentikan atau tidak memulai penanganan

yaitu : pertama, apabila peralatan yang dibutuhkan tidak tersedia tidak ada kewajiban untuk

melakukan penanganan. Kedua, tidak ada kewajiban untuk mencoba menyelamatkan seseorang

yang sudah meninggal (dalam hal ini harus dipahami definisi medis mengenai kematian). Ketiga,

dalam situasi tertentu kita tahu bahwa setelah beberapa lama seseorang akan “mati” kecuali bila

23

Page 24: Forensik-makalahkasus5 (01)

dibantu dengan system penunjang kehidupan sehingga “hidup kembali” berulang-ilang. Pada

titik tertentu upaya penghidupan kembali mengubah sifat, bukan lagi sebagai pekerjaan

menyelamatkan kehidupan, melainkan perpanjangan proses kematian. Saat inilahg kewajiban

untuk melanjutkan lagi mungkin telah berakhir. Keempat, tidak ada kewajiban untuk melakukan

penanganan yang mempunyai efek samping, yang berbahaya atau mungkin mematikan pasien.

Euthanasia Dan Bunuh Diri

Pasal 344 KUHP

Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan

dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

24

Page 25: Forensik-makalahkasus5 (01)

BAB V

KESIMPULAN

Dalam praktik kedokteran, sebaiknya dokter dapat mengerti dengan jelas aspek

etika dalam dunia kedokteran yaitu mengetahui hak serta kewajibannya sebagai seorang

dokter dan juga norma-norma yang harus dipatuhi serta nilai-nilai moral dalam etika

kedokteran untuk membina hubungan yang lebih baik dengan pasien maupun keluarga

pasien.

Selain itu juga dokter diharapkan dapat memberikan informasi secara lengkap dan

jelas tentang penyakit serta tindakan apa yang akan dilakukan kepada pasien dan juga

komplikasi maupun resiko dari tindakan tersebut dengan inform consent.

Perlunya juga adanya prosedur yang tepat baik untuk tindakan maupun untuk

terapi dari pasien. Selain itu juga semua data tentang anamnesis,pemeriksaan fisik sampai

prognosis dari pasien ini harus secara lengkap ditulis dalam rekam medis.

Jika hal-hal yang telah disebutkan diatas secara sengaja tidak dipenuhi oleh dokter

maupun lembaga kesehatan maka akan terkena dampak hukum yang bisa berupa

hukuman pidana maupun sanksi administratif dan denda.

25

Page 26: Forensik-makalahkasus5 (01)

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiradharma D. Etika Profesi Medis. Jakarta: Universitas Trisakti; 2008. p.19-52

2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka

Dwipar; 2008. p. 31-32

3. Bagian Kedokteran Forensik. Peraturan Perundang-undangan Bidang kedokteran. Edisi 1.

Cetakan kedua. 1994. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.20-

25,41.

4. Wiradharma D. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara; 1996. p

60-5

5. Wiradharma D. Tindakan Medis Aspek Etis dan Yuridis: syarat legal tindakan medis.

Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti; 2008; p:36-9

6. Wiradharma D. Etika Profesi Medis. Jakarta: Universitas Trisakti; 2008. p.117-83

26