fokus politik & ham | 2322 · baru menjabat sebagai wali nagari di sana. “ketika itu banyak...

1
KUS ASIONAL BESOK! ma: ayap Kanan Menguat SENIN, 11 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA | 23 litik & HAM Perlu Komitmen Pemimpin Bukan Mimpi, Nagari Sadar Hukum ala Minang UM D I tengah kekacauan dan runtuhnya wibawa aparat hukum, ternyata masih ada kelompok masyarakat yang mampu mengatur keamanan dan ketertiban hukum dengan caranya sendiri. Tersebutlah Nagari Minangkabau, yang menyimpan sejarah tua etnik Minang. Di nagari inilah dipercaya, dahulu kala menjadi lokasi adu kerbau sebagai siasat menghindari penaklukan bala tentara dari luar Minang. Kemenangan kerbau orang Minang, yang menghindari pertumpahan darah, membuat kampung kecil itu akhirnya diberi nama Nagari Minangkabau. Namanya sama dengan keseluruhan wilayah etnik orang Minang yang saat ini sebagian besar terletak di Provinsi Sumatra Barat (Sumbar). Nagari Minangkabau yang secara administratif kini masuk wilayah Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumbar, kembali menarik perhatian. Pada 16 Juli 2010, kampung tersebut diresmikan menjadi satu dari 15 desa, nagari dan kelurahan sadar hukum di Sumbar oleh Menkum dan HAM Patrialis Akbar. Kepatuhan pada hukum sudah mereka rintis sejak 2001. Kala itu, Yusran Munaf Datuk Sari Marajo baru menjabat sebagai wali nagari di sana. “Ketika itu banyak masalah penyakit masyarakat dan ketidakpatuhan pada hukum,” ujar purnawirawan polisi itu saat ditemui Media Indonesia, pekan lalu. Berpengalaman puluhan tahun sebagai penegak hukum, Yusran menempuh cara preventif. “Bersama ninik mamak (petinggi adat) kami menyepakati peraturan nagari yang melarang penyakit nagari seperti judi, minuman keras, narkoba, dan tindakan asusila secara adat.” Yusran juga rajin merangkul masyarakat dan memberi penyadaran untuk membayar pajak bumi dan bangunan. “Sembari itu, kami menjalankan program mengurangi kemiskinan dan pengangguran dengan membuat kesepahaman dengan perantau asal Nagari Minangkabau,” ujarnya. Pendekatan adat Usaha itu membuahkan hasil. Pengangguran berkurang, kemiskinan menurun. Para pemuda yang dulu sering duduk di warung dan bahkan mulai terang-terangan berjudi, mendapatkan pekerjaan. Tidak ada lagi yang mencoba minum-minuman keras, apalagi narkoba. Tidak ada tindakan kriminal. Segala masalah coba diselesaikan secara adat. Tidak satu pun warga setempat yang berurusan dengan polisi selama bertahun- tahun. Sementara, pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) meningkat drastis dari hanya sekitar 40% menjadi 100%. Sebanyak 1.200 kepala keluarga yang menjadi wajib pajak rajin melunasi PBB. Usaha serupa juga dilakukan Usman Syamra ketika menjabat lurah di Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, Padang. Dulu, tingkat kepatuhan membayar PBB di bawah 70%. Kini, 100% warga setempat rajin membayar pajak. Mereka menyetor Rp242 juta per tahun ke kas Kota Padang. “Angka kriminalitas bisa dikatakan hampir tidak ada. Setahun ini, juga tidak ada warga kami yang berurusan dengan polisi.” Warganya yang plural terdiri atas etnik Minang, Jawa, Batak, Tionghoa dan beberapa suku lainnya juga hidup rukun, meskipun berbeda latar belakang. Sebagian besar adalah nelayan dan pekerja swasta, pegawai negeri sipil, dan pedagang. (Hendra Makmur/P-4) DUK KERUSUHAN meledak di mana-mana. Dalam bebera- pa kasus, pemerintah selalu lamban bergerak. Padahal, simbol penegak hukum di- luluhlantakkan. Menyikapi fenomena tersebut, wartawan Media Indonesia Edy Asrina Putra mewawancarai Guru Besar Psikologi Universitas Indo- nesia (UI) Hamdi Muluk di Jakarta, Jumat (8/10). Berikut petikannya. Melihat banyaknya peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan masyarakat kita? Saya kira intinya masyarakat gampang marah. Banyak faktor penyebabnya. Tapi, kata kuncinya mungkin semua orang sudah terlalu lama belajar untuk unjuk kekuatan yang sifatnya fisik. Semua orang ingin menunjukkan kekuatan dan menggunakan kekuatan untuk menyele- saikan masalah. Mengapa bisa seperti itu? Karena sejak lama kita sudah tidak mempunyai keper- cayaan terhadap penyelesaian masalah yang legitimate dan punya basis hukum dan moral. Mengapa masyarakat kita mudah sekali terpicu amarah? Karena masyarakat kita frustrasi. Hidup susah, makan susah, dan banyak persoalan lainnya. Tetapi ada juga faktor hukum yang tidak tegas. Tapi memang di negara maju pun yang namanya perkelahian antargeng itu tidak bisa dicegah karena ada kultur kekerasan. Lihat saja, kalau terjadi kecelakaan di jalan, masyarakat kita cenderung ngotot-ngototan, dan bahkan ada sampai adu fisik. Kalau masyarakat beradab tidak, kalau mereka hidupnya sudah aman, mereka menyelesaikannya dengan berdiskusi. Seberapa kuat pengaruh penegakan hukum yang lemah terhadap kondisi ini? Itu salah satu faktor. Sudah lama kita tidak percaya sama hukum. Rusaknya dari atas ke bawah. Ini bahaya. Tugas kita bersama untuk melakukan pembenahan dan membangun kembali kepercayaan. Bagaimana untuk membenahi institusi penegakan hukum? Harus dilakukan reformasi dari atas ke bawah. Kalau pembenahan hanya dilakukan di lapisan bawah, tidak akan bisa efektif. Kerusakan dalam tubuh institusi pe- negak hukum kita tidak hanya melibatkan satu atau dua orang. Kalau satu atau dua orang kan masih oknum. Ini sudah menyeluruh. Institusinya lemah. Memang sebe- tulnya harus dilakukan pembenahan institusi secara besar-besaran. Kalau kita mau memulai, tentu harus ada komitmen dari pemimpin untuk memulai membereskan semua. Apa yang akan terjadi jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut? Akan terjadi chaos besar. Sebenarnya sekarang sudah mulai terjadi chaos. Untuk menyelesaikan persoalan ini, kita tidak bisa hanya membiarkan masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Harus ada legiti- masi. Itulah fungsi negara yaitu untuk menjaga ketertiban di masyarakat. (P-3) Setahun ini, tidak ada warga kami yang berurusan dengan polisi.” Usman Syamra Lurah Parupuk Tabing MI/SUSANTO GRASI KORUPTOR: Mantan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani HR terbaring saat dijenguk Menkum dan HAM Patrialis Akbar (kedua dari kiri) dan Staf Khusus Presiden Denny Indrayana (kanan) di RSCM, Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Syaukani merupakan koruptor yang mendapat grasi. DOK.PRIBADI

Upload: doananh

Post on 30-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

FOKUSINTERNASIONAL

BACA BESOK!Tema:

Ancaman Sayap KananEropa Menguat

22 | SENIN, 11 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA SENIN, 11 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA | 23Fokus Politik & HAM

Perlu Komitmen Pemimpin

Bukan Mimpi, Nagari Sadar Hukum ala Minang

WIBAWA HUKUM

DI tengah kekacauan dan runtuhnya wibawa aparat hukum, ternyata masih ada

kelompok masyarakat yang mampu mengatur keamanan dan ketertiban hukum dengan caranya sendiri.

Tersebutlah Nagari Minangkabau, yang menyimpan sejarah tua etnik Minang. Di nagari inilah dipercaya, dahulu kala menjadi lokasi adu kerbau sebagai siasat menghindari penaklukan bala tentara dari luar Minang.

Kemenangan kerbau orang Minang, yang menghindari pertumpahan darah, membuat kampung kecil itu akhirnya diberi nama Nagari Minangkabau. Namanya sama dengan keseluruhan wilayah etnik orang Minang yang saat ini sebagian besar terletak di Provinsi Sumatra Barat (Sumbar).

Nagari Minangkabau yang secara

administratif kini masuk wilayah Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumbar, kembali menarik perhatian. Pada 16 Juli 2010, kampung tersebut diresmikan menjadi satu dari 15 desa, nagari dan kelurahan sadar hukum di Sumbar oleh Menkum dan HAM Patrialis Akbar.

Kepatuhan pada hukum sudah mereka rintis sejak 2001. Kala itu, Yusran Munaf Datuk Sari Marajo baru menjabat sebagai wali nagari di sana. “Ketika itu banyak masalah penyakit masyarakat dan ketidakpatuhan pada hukum,” ujar purnawirawan polisi itu saat ditemui Media Indonesia, pekan lalu.

Berpengalaman puluhan tahun sebagai penegak hukum, Yusran menempuh cara preventif. “Bersama ninik mamak (petinggi adat) kami menyepakati peraturan nagari yang

melarang penyakit nagari seperti judi, minuman keras, narkoba, dan tindakan asusila secara adat.”

Yusran juga rajin merangkul masyarakat dan memberi penyadaran untuk membayar pajak bumi dan bangunan. “Sembari itu, kami menjalankan program mengurangi kemiskinan dan

pengangguran dengan membuat kesepahaman dengan perantau asal Nagari Minangkabau,” ujarnya.

Pendekatan adatUsaha itu membuahkan hasil.

Pengangguran berkurang, kemiskinan menurun. Para pemuda yang dulu sering duduk di warung dan bahkan mulai terang-terangan berjudi, mendapatkan pekerjaan. Tidak ada lagi yang mencoba minum-minuman keras, apalagi narkoba. Tidak ada tindakan kriminal. Segala masalah coba diselesaikan secara adat. Tidak satu pun warga setempat yang berurusan dengan polisi selama bertahun-tahun.

Sementara, pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) meningkat drastis dari hanya sekitar 40% menjadi 100%. Sebanyak 1.200

kepala keluarga yang menjadi wajib pajak rajin melunasi PBB.

Usaha serupa juga dilakukan Usman Syamra ketika menjabat lurah di Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, Padang. Dulu, tingkat kepatuhan membayar PBB di bawah 70%. Kini, 100% warga setempat rajin membayar pajak. Mereka menyetor Rp242 juta per tahun ke kas Kota Padang.

“Angka kriminalitas bisa dikatakan hampir tidak ada. Setahun ini, juga tidak ada warga kami yang berurusan dengan polisi.”

Warganya yang plural terdiri atas etnik Minang, Jawa, Batak, Tionghoa dan beberapa suku lainnya juga hidup rukun, meskipun berbeda latar belakang. Sebagian besar adalah nelayan dan pekerja swasta, pegawai negeri sipil, dan pedagang. (Hendra Makmur/P-4)

DI UJUNG TANDUKWIBAWA HUKUM WIBAWA HUKUM

KERUSUHAN meledak di mana-mana. Dalam bebera-pa kasus, pemerintah selalu lamban bergerak. Padahal, simbol penegak hukum di-luluhlantakkan.

Menyikapi fenomena tersebut, wartawan Media Indonesia Edy Asrina Putra

mewawancarai Guru Besar Psikologi Universitas Indo-nesia (UI) Hamdi Muluk di Jakarta, Jumat (8/10). Berikut petikannya.

Melihat banyaknya peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan masyarakat kita?

Saya kira intinya masyarakat gampang marah. Banyak faktor penyebabnya. Tapi, kata kuncinya mungkin semua orang sudah terlalu lama belajar untuk unjuk kekuatan yang sifatnya fi sik. Semua orang ingin menunjukkan kekuatan dan menggunakan kekuatan untuk menyele-saikan masalah.

Mengapa bisa seperti itu? Karena sejak lama kita sudah tidak mempunyai keper-

cayaan terhadap penyelesaian masalah yang legitimate dan punya basis hukum dan moral.

Mengapa masyarakat kita mudah sekali terpicu amarah?

Karena masyarakat kita frustrasi. Hidup susah, makan susah, dan banyak persoalan lainnya. Tetapi

ada juga faktor hukum yang tidak tegas. Tapi memang di negara maju pun yang namanya perkelahian antargeng itu tidak bisa dicegah

karena ada kultur kekerasan. Lihat saja, kalau terjadi kecelakaan di jalan, masyarakat kita

cenderung ngotot-ngototan, dan bahkan ada sampai adu fi sik. Kalau masyarakat beradab tidak, kalau mereka hidupnya sudah aman, mereka menyelesaikannya dengan berdiskusi.

Seberapa kuat pengaruh penegakan hukum yang lemah terhadap kondisi ini? Itu salah satu faktor. Sudah lama kita

tidak percaya sama hukum. Rusaknya dari atas ke bawah. Ini bahaya. Tugas kita bersama

untuk melakukan pembenahan dan membangun kembali kepercayaan.

Bagaimana untuk membenahi institusi penegakan hukum?

Harus dilakukan reformasi dari atas ke bawah. Kalau pembenahan hanya dilakukan di lapisan bawah, tidak akan bisa efektif. Kerusakan dalam tubuh institusi pe-negak hukum kita tidak hanya melibatkan satu atau dua orang. Kalau satu atau dua orang kan masih oknum. Ini sudah menyeluruh. Institusinya lemah. Memang sebe-tulnya harus dilakukan pembenahan institusi secara besar-besaran. Kalau kita mau memulai, tentu harus ada komitmen dari pemimpin untuk memulai membereskan semua.

Apa yang akan terjadi jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut?

Akan terjadi chaos besar. Sebenarnya sekarang sudah mulai terjadi chaos. Untuk menyelesaikan persoalan ini, kita tidak bisa hanya membiarkan masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Harus ada legiti-masi. Itulah fungsi negara yaitu untuk menjaga ketertiban di masyarakat. (P-3)

Setahun ini,tidak ada warga kami yang berurusan dengan polisi.”Usman SyamraLurah Parupuk Tabing

Perlu Komitmen Pemimpin

KERUSUHAN meledak di mana-mana. Dalam bebera-pa kasus, pemerintah selalu lamban bergerak. Padahal, simbol penegak hukum di-luluhlantakkan.

Menyikapi fenomena tersebut, wartawan Indonesia Edy Asrina Putra

mewawancarai Guru Besar Psikologi Universitas Indo-nesia (UI) Hamdi Muluk di Jakarta, Jumat (8/10). Berikut petikannya.

Melihat banyaknya peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan masyarakat kita?

Saya kira intinya masyarakat gampang marah. Banyak faktor penyebabnya. Tapi, kata kuncinya mungkin semua orang sudah terlalu lama belajar untuk unjuk kekuatan yang sifatnya fi sik. Semua orang ingin menunjukkan kekuatan dan menggunakan kekuatan untuk menyele-saikan masalah.

Mengapa bisa seperti itu?Karena sejak lama kita sudah tidak mempunyai keper-

cayaan terhadap penyelesaian masalah yang dan punya basis hukum dan moral.

Mengapa masyarakat kita mudah sekali terpicu amarah?

Karena masyarakat kita frustrasi. Hidup susah, makan susah, dan banyak persoalan lainnya. Tetapi

ada juga faktor hukum yang tidak tegas. Tapi memang di negara maju pun yang namanya perkelahian antargeng itu tidak bisa dicegah

karena ada kultur kekerasan. Lihat saja, kalau terjadi kecelakaan di jalan, masyarakat kita

cenderung ngotot-ngototan, dan bahkan ada sampai adu fi sik. Kalau masyarakat beradab tidak, kalau mereka hidupnya sudah aman, mereka menyelesaikannya dengan berdiskusi.

Seberapa kuat pengaruh penegakan hukum yang lemah terhadap kondisi ini?Itu salah satu faktor. Sudah lama kita

tidak percaya sama hukum. Rusaknya dari atas ke bawah. Ini bahaya. Tugas kita bersama

untuk melakukan pembenahan dan membangun kembali kepercayaan.

Bagaimana untuk membenahi institusi penegakan hukum?

Harus dilakukan reformasi dari atas ke bawah. Kalau pembenahan hanya dilakukan di lapisan bawah, tidak akan bisa efektif. Kerusakan dalam tubuh institusi pe-negak hukum kita tidak hanya melibatkan satu atau dua orang. Kalau satu atau dua orang kan masih oknum. Ini

MI/SUSANTO

GRASI KORUPTOR: Mantan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani HR terbaring saat dijenguk Menkum dan HAM Patrialis Akbar (kedua dari kiri) dan Staf Khusus Presiden Denny Indrayana (kanan) di RSCM, Jakarta, beberapa waktu yang lalu. Syaukani merupakan koruptor yang mendapat grasi.

DOK.PRIBADI