fix transgenik

40
 TUGAS HUKUM ACARA PERADILAN T AT A USAHA NEGARA ANALISIS ATAS BLABLABLA  Disusun Oleh: Citta Parahita Widagdo 0906490084 Georgine Bianca 090 Justice Yosie A. Simanjuntak 0906558230 Pratiwi Astri 090 Windi Berlianti 090 Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2011

Upload: dadang-kusbiantoro

Post on 16-Jul-2015

610 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 1/40

TUGAS HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

ANALISIS ATAS BLABLABLA

 Disusun Oleh:

Citta Parahita Widagdo 0906490084

Georgine Bianca 090

Justice Yosie A. Simanjuntak 0906558230

Pratiwi Astri 090

Windi Berlianti 090

Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

2011

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 2/40

KATA PENGANTAR 

Pertama–tama penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha

Esa, karena berkat dan rahmat Tuhan YME, makalah ini dapat selesai tidak melampaui

 jangka waktu yang telah ditetapkan. Karya tulis ini disusun sebagai hasil diskusi kelompok 

saat mengikuti mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan pemicu

Peraturan Rektor nomor blablabla. Kami mencoba memaparkan masalah ini dengan sebaik-

 baiknya, namun seperti pepatah yang mengatakan, “tiada gading yang tak retak ”, demikian

  pula hasil penulisan kami pada makalah kali ini. Apabila ada saran dan kritik yang

membangun, dengan perasaan gembira dan hati yang lapang akan kami terima. Pada

kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

1. Prof. Dr. Anna Erliyana S.H., M.H. selaku Dosen Mata Kuliah Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara Universitas Indonesia;

2. Ibu Sri Laksmi Anindita S.H., M.H. selaku Dosen Mata Kuliah Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara Universitas Indonesia;

3. Bapak Wahyu Andrianto S.H., M.H. selaku Dosen Mata Kuliah Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara Universitas Indonesia;

4. Keluarga penulis dan teman–teman penulis, serta semua pihak yang telah membantu

dalam penulisan makalah ini.

Jakarta, 21 November 2011

Penulis

i

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 3/40

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………………………i

Daftar Isi…………………………………………………………………………………….ii

BAB I Pendahuluan:

I.1. Latar Belakang …………………………………………………………………………. 3

I.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………….………….. 5

I.3. Tujuan Penulisan ……………………………………….………………………………. 5

I.4. Metode Penulisan …………………….………………………………………………… 6

I.5. Sistematika Penulisa……………………………………………………………………. 7

BAB II Isi:

II.1. Resume Kasus …………………………………………………………………………. 8

II.2. Hak Gugat Penggugat …………………………………………………………………. 9

II.3. Analisis Kasus ………………………………………………………………………... 13

BAB III Kesimpulan:

III.1. Kesimpulan ……………………………………………….…………………………. 33

III.2. Saran ………………………………………………………………………………… 37

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………. 39

ii

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 4/40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rekayasa genetik modern yang dimulai pertamakali pada tahun 1973

di Amerika Serikat. Teknologi rekayasa genetika ini didorong oleh kebutuhan

manusia akan pangan dan kebutuhan dasar lain yang terus meningkat.

Meskipun begitu, terdapat pro dan kontra akan rekayasa genetika karena

masih banyak terdapat persoalan mengenai keamanannya, baik bagi alam dan

 bagi manusia untuk mengonsumsinya. Pada tahun 1983 ditemukanlah suatu

 produk pangan transgenik. Tanaman transgenik adalah tanaman bebas-hama

yang mengekpresikan protein  Bacillus thuringiensis (Bt) yang timbul dari

kesadaran manusia akan bahaya pestisida bagi kesehatan dan lingkungan. Dari

empat jenis pangan transgenik yang paling utama, salah satu yang terbesar 

adalah kapas transgenik  Bt Bollgard, yang pertamakali ditemukan pada tahun

1988. Pangan transgenik pada awalnya diharapkan mampu menjawab

 permasalahan krisis pangan, namun berdasarkan penelitian, pangan transgenik tidak mampu melakukannya dilihat dari angka kelaparan di dunia yang terus

meningkat dan besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pertanian transgenik,

namun hasilnya lebih sedikit. Ketahanan dari produk tanaman transgenik 

terhadap hama pun tidak sepenuhnya optimal karena terdapat virus-virus jenis

tertentu yang tidak dapat dicegah sehingga angka panen kerap menurun.

Perkembangan produk transgenik juga masih dikhawatirkan keamanannya

karena terdapat beberapa penelitian seperti dari University of Caen, Tufts

University School of Medicine, dan Greenpeace yang menemukan bahwa

terdapat hubungan antara penyakit yang diderita oleh hewan yang

mengonsumsi pangan transgenik.

Perusahaan penguasa teknologi tanaman transgenik yang terbesar di

dunia adalah Monsanto, berpusat di Missouri, Amerika Serikat, yang selama

ini menjadi penyedia utama produk-produk pertanian. Monsanto melakukan

inovasi dalam bidang bioteknologi dan rekayasa genetika untuk menghasilkan

 bibit unggul demi meningkatkan produktivitas pertanian. Monsanto yang

3

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 5/40

merupakan perusahaan kimia raksasa pertamakali mengeluarkan produk 

transgenik pada tahun 1994 berupa pangan sapi  Bosillac dan produk kapas

anti-serangga pada tahun 1996. Pada tahun 2001, PT Monagro Kimia, anak 

dari Monsanto, masuk ke Indonesia untuk mengembangkan proyek kapas

transgenik sebagai komoditi non-pangan. Kapas transgenik ini kemudian

dicoba dibudidayakan di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan dengan

 persetujuan dari Menteri Pertanian (Mentan) Bungaran Saragih melalui SK 

  No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas Kapas

Transgenik  Bt  tertanggal 7 Februari 2001. Pemerintah memberi persetujuan

dengan pertimbangan bahwa tanaman rekayasa genetika dapat memberikan

kemanfaat bagi masyarakat umum, untuk meningkatkan kebutuhan kapas

dalam negeri, dan dianggap aman terhadap lingkungan. Tanaman kapas

transgenik  Bt Bollgard juga dianggap baik bagi Pengelolaan Hama Terpadu

(PHT) karena mampu menurunkan penggunaan insektisida.

Meskipun begitu, terdapat penolakan akan keberlakuan kapas

transgenik di Sulawesi Selatan. Penolakan terhadap SK Menteri Pertanian

diajukan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akibat tidak 

dilakukannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terlebihdahulu. Selain itu, terdapat beberapa permasalah lain seperti akibat dari kapas

transgenik yang dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotik, serta tidak 

transparannya informasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah terhadap petani-

 petani di Sulawesi Selatan, dan tidak tepatnya penggunaan kapas transgenik di

Sulawesi Selatan karena kapas transgenik  Bt  Bollgard hanya dapat bertahan

dari hama   Heliothis virescens, Helicoverpa armigera, dan  Pectinophora

 gossypiella,  padahal hama kapas yang paling banyak menyerang di Sulawesi berjenis Empoasca. Ketergantungan petani pada bibit unggul juga mengurangi

kemandirian dan kreativitas. Pada akhirnya pun terjadi kegagalan panen kapas

di lahan seluas 4.346 Ha tersebut yang kemudian memicu terjadinya konflik,

karena kapas transgenik yang dihasilkan hanyalah 988kg/Ha, jauh dari potensi

yang dikatakan yaitu sebesar 3 – 4 ton/Ha. LSM tersebut akhirnya

mengajukan gugatan pembatalan SK Mentan tersebut melalui Pengadilan Tata

Usaha Negara (PTUN) terhadap Pemerintah RI, PT Monagro Kimia, dan

sejumlah petani di Sulawesi Selatan.

4

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 6/40

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis dalam makalah ini akan

menganalisis mengenai perdebatan keberlakuan kapas transgenik di Indonesia

ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan. Analisis ini akan didasarkan

kepada Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan Nomor 

Perkara 71/G.TUN/2001/PTUN.JKT mengenai gugatan pembatalan SK 

Menteri Pertanian (Mentan) No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan

secara Terbatas Kapas Transegnik Bt DP 5690B sebagai Varietas Unggul

dengan Nama NuCOTN35B ( Bollgard ), dimana beberapa LSM mengajukan

gugatan melawan Pemerintah dan PT Monagro Kimia terkait dengan

  pelaksanaan teknologi kapas transgenik di Sulawesi Selatan. Penulis akan

menganalisis makalah ini berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dan

melakukan tinjauan dari segi prosedural Analisis Mengenai Dampak 

Lingkungan (AMDAL) dan   Environmental Risk Assessment  (ERA)

  berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 yang digunakan saat perkara dan

membandingkannya dengan ketentuan yang berlaku sekarang yakni UU No 32

Tahun 2009, untuk menemukan berbagai permasalahan yang ada mengenai

sengketa kapas transgenik tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, pokok 

 permasalahan yang kami rumuskan dalam makalah ini terdiri dari beberapa

 pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah Penggugat memiliki hak gugat (legal standing ) dalam perkara?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim atas kedudukan Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL) dan   Environmental Risk Assesment 

(ERA) dalam perkara ini dengan berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan bagaimanakah

 perbandingannya dengan ketentuan yang berlaku dalam UU No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup?

3. Bagaimanakah pertimbangan hakim dan pengakuan para pihak akan

 prinsip kehati-hatian (the precautionary principles) dalam perkara ini dan

5

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 7/40

 bagaimanakah kaitannya dengan Environmental Risk Assesment (ERA)?

4. Bagaimanakah pertimbangan hakim atas resiko dan keamanan dari

Genetically Modified Organisms (GMOs) dalam perkara ini?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah

wawasan dan pengetahuan serta memberikan pemahaman tentang

  penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui Pengadilan Tata Usaha

  Negara (PTUN), serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum

Lingkungan. Sedangkan yang menjadi tujuan khusus dari penulisan makalah

ini adalah:

1. Mengetahui legal standing dari Penggugat dalam perkara ini;

2. Mengetahui kedudukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

(AMDAL) dan  Environmental Risk Assesment (ERA) dalam perkara ini

dengan berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup apabila diperbandingkan dengan ketentuan yang

  berlaku dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

3. Memahami penerapan prinsip kehati-hatian (the precautionary principles)

dalam suatu perkara;

4. Menganalisis pertimbangan hakim atas resiko dan keamanan Genetically

Modified Organisms (GMOs) dalam perkara ini.

1.4. Metode Penulisan

Dasar dari penulisan makalah ini adalah analisis atas Putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Nomor Perkara

71/G.TUN/2001/PTUN.JKT mengenai gugatan pembatalan SK Menteri

Pertanian (Mentan) No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan secara

6

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 8/40

Terbatas Kapas Transegnik Bt DP 5690B sebagai Varietas Unggul dengan

 Nama NuCOTN35B ( Bollgard ).

Analisis atas putusan pengadilan tersebut dilakukan dengan

menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dengan sumber 

referensi data sekunder berupa dokumen-dokumen, buku, jurnal, artikel, serta

sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan penulisan makalah ini.

1.5. Sistematika Penulisan

Penulisan makalah ini disusun secara sistematis dalam 4 bab dengan

sistematika penulisan sebagai berikut:

1. Kata Pengantar 

2. Daftar Isi

3. Bab I Pendahuluan

3.1. Latar Belakang

3.2. Rumusan Permasalahan

3.3. Tujuan Penulisan

3.4. Metode Penulisan

3.5. Sistematika Penulisan

4. Bab II Isi

4.1. Resume Kasus

4.2. Hak Gugat Penggugat

4.3. Analisis Gugatan

5. Bab III Penutup

5.1. Kesimpulan

5.2. Saran

6. Daftar Pustaka

7

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 9/40

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Resume Kasus

Tanggal 7 Februari 2001 telah disahkan Surat Keputusan Menteri

Pertanian RI No. 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang Pelepasan Secara Terbatas

Kapas Transgenik Bt DP 5690B Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama

 NuCOTN 35B (BOLLGARD) sebagaimana yang telah diusulkan oleh PT

Monagro Kimia disahkan pada tanggal 7 Februari 2001, yang mana penerbitan

SK tersebut memberikan keabsahan akan dilepasnya kapas transgenik berjenis

 Bt  tersebut secara terbatas yang dapat dimanfaatkan oleh petani pekebun di

Provinsi Sulawesi Selatan yang meliputi kabupaten Takalar, Gowa, Bantaeng,

Bulukumba, Bone, Soppeng, dan Wajo. SK tersebut berlaku setahun sejak 

disahkan dan akan dievaluasi dan ditinjau kembali kemudian.

Dengan berdasarkan pada peristiwa yang ada,  Indonesian Centre for 

 Environmental Law (ICEL), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),Yayasan Konsorsium Nasional Untuk Pelestarian Lingkungan

(KONPHALINDO), Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia, Yayasan

Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan, dan Yayasan Lembaga Pengkajian dan

Pemberdayaan Masyarakat mengajukan gugatan terhadap Pemerintah cq.

Menteri Pertanian (Mentan) Republik Indonesia yang dinilai telah melakukan

  pelanggaran hukum dengan menerbitkan SK tersebut. Dalam kasus ini

terdapat pula Tergugat II Intervensi 1 yakni PT Monagro Kimia serta Tergugat

II Intervensi 2 yakni Syarifuddin dkk. Dasar gugatan Para Penggugat yang

  paling menonjol adalah bahwa Tergugat telah mengeluarkan SK yang

mengakibatkan kepentingan Para Penggugat dirugikan.

Alasan Para Penggugat dalam menggugat adalah Keputusan Tata

Usaha Negara yang dikeluarkan Tergugat bertentangan dengan ketentuan

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Berdasarkan pada UU

 No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan

Pelaksanaannya berupa PP No. 27 Tahun 1999, dinyatakan bahwa usaha

8

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 10/40

dan/atau kegiatan introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad

renik, harus didahului dengan pelaksanaan proses Analisis Mengenai Dampak 

Lingkungan (AMDAL), yang mana prasyarat ini tidaklah terlebih dahulu

dipenuhi oleh Tergugat.

Di dalam alasan gugatan dijelaskan pula bahwa semestinya Tergugat

tidak sampai pada keputusan tersebut, sehingga disahkannya SK Menteri

terkait kapas transgenik ini merupakan kesalahan dan mengandung unsur 

sewenang-wenang (Willekeur). Penggugat sebagai alasan gugatan juga

menggunakan melencengnya tujuan Tergugat dan mengandung

  penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir ). Penggugat juga

mengungkapkan permasalahan penerapan prinsip kehati-hatian yang

dilanggar, dan juga penerapan asas   fair play yang tidak dijunjung tinggi

Tergugat.

Terkait jawaban, Tergugat menolak seluruh gugatan yang ditujukan

kepadanya, kecuali yang secara jelas dan terang diakui oleh Tergugat.

Tergugat menjelaskan bagaimana mereka sebenarnya tidak melanggar prinsip

dan asas-asas yang disinggung oleh Penggugat. Dijelaskan dalam eksepsi dan

 jawaban terhadap pokok perkara, bahwa Tergugat telah benar-benar beritikad

 baik untuk melaksanakan dan menerapkan peraturan yang berlaku. Tergugat

  juga sempat menjelaskan bahwa sebenarnya dakwaan adalah salah alamat,

yang seharunya tidak ditujukkan kepada Menteri Pertanian RI, karena pada

dasarnya tidak ada kewajiban AMDAL bagi regulator. Namun, kewajiban

tersebut melekat pada diri pemrakarsa atau pelaku usaha. Sehingga, Para

Tergugat menyatakan penolakan terhadap seluruh gugatan tersebut.

Pada tanggal 27 September 2001, Majelis Hakim Pengadilan Tata

Usaha Negara yang diketuai oleh M. Arif Nurdu’a, SH, dan Ibrahim, SH serta

Kadar Slamet, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota, memutus perkara

tersebut dengan menolak gugatan Para Penggugat seluruhnya, dan

menghukum Para Tergugat dengan membayar biaya perkara sebesar Rp

83.000. Majelis Hakim juga menolak eksepsi dari Tergugat, Tergugat II

Intervensi 1, dan Tergugat II Intervensi 2.

2.2 Hak Gugat Penggugat

9

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 11/40

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat kita ketahui dari bagian ketiga paragraf 

keempat, disebutkan bahwa sedikitnya tiga pihak yang dapat memiliki hak 

untu menggugat adalah:

1. Masyarakat;

2. Pemerintah;

3. Organisasi Lingkungan Hidup

Para penggugat dalam kasus ini adalah:

• Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum lingkungan Hidup;

• Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia;

• Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan;

• Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam

Indonesia;

• Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia;

• Yayasan Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat;

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi suatu organisasi untuk 

dikatakan sebagai suatu organisasi yang bergerak di lingkungan hidup adalah

sebagai berikut:

a. berbentuk badan hukum atau yayasan;

  b. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang

  bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan dari

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian

fungsi lingkungan hidup;

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Dalam gugatan dapat kita lihat bahwa syarat-syarat di atas telahterpenuhi oleh organisasi-organisasi tersebut. Hal ini dapat kita lihat

10

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 12/40

dari masing-masing Anggaran Dasar dan/atau Anggaran Rumah

Tangga yang telah disebutkan tujuan didirikannya yayasan-yayasan

tersebut yang telah diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan khususnya

 pada masyarakat terkait. Kegiatan ini dapat kita temukan pada bagian

d. Maka dapat disimpulkan bahwa Para Penggugat memiliki ius standi/

 persona standi in Judicio sesuai Pasal 38 (3) UUPLH.

Dalam kasus di atas, Para Penggugat beracara dalam Peradilan Tata

Usaha Negara sehingga Para Penggugat serta pihak-pihak terkait pun harus

 beracara sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Tata usaha Negara. Dalam

Pasal 39 UUPLH Nomor 23 Tahun 1997 jelas dicantumkan, bahwa tata cara

 pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat,

dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata

yang berlaku. Namun dalam penjelasan Pasal 38 ayat (3) dijelaskan, bahwa

kompetensi absolut ditentukan berdasarkan dasar gugatan tersebut dan

  persyaratan dalam pasal tersebut merupakan ius standi bagi organisasi

lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan sesuai kompetensi absolutnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa objek gugatan dan perihal hal yang digugat

menentukan kompetensi absolut peradilan dan bila objek sengketa adalah

objek sengketa Tata Usaha Negara, maka Pasal 38 ayat (3) UUPLH menjadi

ius standi organisasi lingkungan hidup sebagai penggugat dalam peradilan tata

usaha negara, tentunya dengan sesuai dengan prosedur hukum acara yang

 berlaku dalam peradilan tersebut.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Di

Dalam Pasal 53 ayat (1) dicantumkan bahwa:

“Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya

dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan

 gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan

agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan

batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi

dan/atau rehabilitasi.”

Kasus tersebut apabila dikaitkan dengan unsur-unsur yang ada

11

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 13/40

dalam Pasal 53 (1) Undang-undang PTUN adalah sebagai berikut,

a. Sesorang atau badan hukum perdata;

Para penggugat yang mengajukan gugatan berbentuk yayasan, sehingga dapatdisimpulkan bahwa para penggugat merupakan suatu badan hukum perdata.

 b. Kepentingan dirugikan oleh suatu KTUN ;

Dalam kasus tersebut terdapat kepentingan penggugat yang dirugikan oleh suatu

KTUN. Kepentingan tersebut merupakan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 

107/KPTS/KB.430/2/2001. Hal tersebut dapat diihat dari uraian Para Penggugat

 pada poin IV, yaitu antara lain:

1. Mengganggu optimalisasi upaya penerapan prinsip kehati-hatian

( Precautionary Principle);

2. Menggagalkan dan/atau menghancurkan usaha dan ikhtiar pelestarian

lingkungan yang mana sesuai dengan Anggaran Dasar dan/atau Anggaran

Rumah Tangga Para Penggugat.

c. Mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan batal atau tidak sahnya KTUN tersebut ;

Para penggugat sudah mengajukan gugatan di mana salah satu petitumnya

menuntut pernyataan batal atau tidak sahnya keputusan Menteri Pertanian Nomor 

107/KPTS/KB.430/2/2001d.

d. Dapat disertai tuntuntan ganti rugidan/atau rehabilitasi

Dalam kasus para Penggugat tidak mengajukan gugatan ganti rugi ataupun

rehabilitasi .

Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap unsure dari pasal 53 ayat (1) UU PTUN

terpenuhi, sehingga Para Penggugat memiliki legal standing/ kedudukan hukum

yang sah sebagai penggugat.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah alasan Para Penggugat mengajukan

gugatan berdasarkan Pasal 53 (2) UU PTUN, di mana disebutkan bahwa,

12

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 14/40

 Alasan-alasan yang ndapat digunakan dalam gugatan sebagaimana disebut pada

ayat (1) adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

 peraturan perundang-undangan yang berlaku

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-

asas umum pemerintahan yang baik 

Dalam kasus alasan Para Penggugat telah diuraikan Para Penggugat, yaitu:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

  peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

(AMDAL);

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan

telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud

diberikannya wewenang tersebut, yaitu menyalahgunakan prinsip kehati-

hatian (  Precautionary Principle) sehingga menimbulkan perbedaan

 pengertian yang sangat jauh dari yang sebenarnya dengan yang dikenal

masyarakat dengan menerbitkan SK tanpa mewajibkan pelaksanaan

AMDAL;

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak 

mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan

yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada

  pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut, namun pada

kenyataannya peringatan dari berbagai pihak telah diabaikan.

2.3 Analisis Gugatan

2.3.1 Kedudukan Amdal dan Environmental Risk Assessment (ERA) dalam

sistim hukum Indonesia pada saat kasus diadili dibandingkan dengan UU

No.32 Tahun 2009.

 Environmental Risks Assessment diartikan sebagai penilaian risiko atau dampak 

yang dapat disebabkan oleh dilakukannya suatu hal, dalam hal ini sebuah usaha,

13

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 15/40

terhadap lingkungan sekitar. Lingkungan yang dimaksud bukan hanya dampak yang

ditimbulkan pada lahan yang digunakan atau sumber daya alam yang dilibatkan,

namun juga dampak luas terhadap masyarakat sekitar maupun konsumen dari produk 

yang dihasilkan dari usaha tersebut.  Environmental risks assesment  pada dasarnya

dibagi dalam empat tahapan yaitu; 1

1. Identifikasi bahaya atau risiko,

2. Penilaian terbuka,

3. Penilaian pengaruh atau dampak,

4. Serta karakteristik dari pengaruh atau dampak tersebut.

Dalam UU No 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup banyak 

dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal

diantaranya mengatur tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL pada UU No. 32

Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya “dampak 

 besar”.

Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa,

“AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha

dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup ......”,

Pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa,

“ AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau

kegiatan yang direncanakan .....”.

Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak 

termuat dalam UU No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun 1999 dan

memberikan implikasi yang besar bagi para pelaku AMDAL, termasuk pejabat

 pemberi ijin. Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam

UU No. 32 Tahun 2009, antara lain:

1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan

 pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

1

Hal. 197. D.A. Andow and Claudia Zwahlen, "Assessing Environmental Risks of Transgenic Plants",Ecology Letters, Vol. 9, 2006.

14

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 16/40

2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi

 penyusun dokumen AMDAL;

3. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib

memiliki lisensi AMDAL;

4. Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin

lingkungan;

5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota

sesuai kewenangannya.

Selain ke-5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan

dalam UU No. 32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait

  pelanggaran bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi

tersebut, yaitu:

1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa

memiliki izin lingkungan;

2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa

memiliki sertifikat kompetensi;

3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang

tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.

2.3.1.2 Kedudukannya dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11

Tahun 2008

Sebelum disahkannya UU No. 32 Tahun 2009, KLH sudah menerbitkan

  peraturan menteri yang mengatur tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun

Dokumen AMDAL (Permen. LH No. 11 Tahun 2008). Pada Pasal 4 Permen. LH No.

11 Tahun 2008 disebutkan bahwa persyaratan minimal untuk menyusun suatu

dokumen AMDAL adalah 3 (tiga) orang dengan kualifikasi 1 orang Ketua Tim dan 2

orang Anggota Tim yang kesemuanya sudah memiliki sertifikat kompetensi.

Sementara amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang tertuang dalam Pasal 28

adalah ”Penyusun dokumen sebagaimana ... wajib memiliki sertifikat penyusun

dokumen AMDAL". Jika yang dimaksud "penyusun dokumen AMDAL" pada

undang-undang lingkungan yang baru adalah seluruh tim yang ada dalam suatu proses

 penyusunan dokumen AMDAL, maka dengan demikian Permen. LH No. 11 Tahun

2008 Pasal 4 sudah tidak berlaku lagi. Implikasinya selanjutnya adalah masa

15

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 17/40

 berlakunya persyaratan tersebut harus mundur sampai ada peraturan menteri yang

secara rinci mengatur tentang hal itu sesuai amanat dalam Pasal 28 Ayat (4) yang

memberikan kewenangan kepada KLH untuk membuat peraturan yang mengatur 

lebih rinci hal tersebut.

2.3.1.3 Kedudukanya dalam Peraturan Menteri No. 06 Tahun 2008:

Sama seperti Permen. LH No. 11 Tahun 2008, ada perbedaan pengaturan yang

diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 dengan Permen. LH No. 06 Tahun 2008

tentang Tata Laksana Lisensi Komisi Penilai AMDAL yang berlaku efektif pada

tanggal 16 Juli 2009. Dalam peraturan ini persyaratan lisensi komisi penilai diberikan

kepada komisi penilai AMDAL kabupaten atau kota dan yang menerbitkan lisensi

tersebut adalah instansi lingkungan hidup propinsi. Sementara dalam UU No. 32

Tahun 2009, komisi penilai AMDAL yang harus dilisensi selain komisi penilai

AMDAL kabupaten atau kota, tetapi juga terhadap komisi penilai AMDAL pusat dan

 propinsi yang bukti lisensinya diberikan oleh masing-masing pejabatnya (Menteri,

gubernur, bupati dan walikota). Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bentuk 

 pengawasan terhadap pemberian lisensi tersebut jika masing-masing pejabat berhak 

mengeluarkan bukti lisensi terhadap komisi penilainya. Maka dalam perubahan

Permen No. 06 Tahun 2008, KLH harus mengetatkan persyaratan penerbitan lisensi

untuk komisi penilai masing-masing daerah termasuk untuk komisi penilai penilai

 pusat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita jelaskan bahwa terdapat korelasi yang

erat antara environmental impact assessment (EIA atau AMDAL) dan environmental 

risk assessment  (ERA) dimana sebelum adanya dampak terhadap lingkungan akan

muncul resiko terhadap lingkungan terlebih dahulu oleh karena itu AMDAL dan

AMRAL kedudukanya adalah saling melengkapi dan berkaitan erat.

Menurut pendapat dari pihak Tergugat atau PT. Monagro Kimia, risiko yang

dapat timbul dari penggunaan Varietas Unggul NuCOTN 35B (BOLLGARD) adalah

secara sangat signifikan akan mengurangi penggunaan pestisida kimiawi, yang

memberikan dampak berkurangnya pencemaran udara dan lingkungan oleh zat kimia

  pestisida yang dapat membahayakan lingkungan hidup dan manusia, serta secara

16

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 18/40

ekonomis mengurangi biaya produksi bagi petani yang sudah sangat terpuruk akibat

krisis moneter dan politik yang berkepanjangan.

Sementara pihak Penggugat atau beberapa LSM yang terkait di bidang

lingkungan hidup, berpendapat bahwa pernyataan mengenai penggunaan Varietas

Unggul NuCOTN 35B (BOLLGARD) akan atau tidak akan membawa dampak positif 

maupun negatif kepada lingkungan, adalah masih belum jelas. Hal tersebut

dikarenakan PT. Monagro Kimia belum melaksanakan proses Analisa Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL) serta pengumuman kepada masyarakat. Penggugat

  berpendapat kapas transgenik berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap

lingkungan, karena:

1. Kapas transgenik Bt DP 5690B sebagai Varietas Unggul NuCOTN 35B

(BOLLGARD) merupakan kapas hasil rekayasa genetika varietas Delta Pine

(DP) 5690 yang telah disisipi gen Cry1A yang mengandung endotoxin Bt

( Bacillus thuriengiensis) sehingga tahan hama karena dapat membunuh serangga-

serangga tertentu;

2. Tanaman transgenik tahan hama merupakan tanaman yang harus melalui

kajian lingkungan paling rinci dan ketat karena kemampuannya menghasilkan

racun yang mampu membunuh hama sasaran, sehingga mempunyai potensi besar 

untuk:

a. Menimbulkan kerugian pada keanekaragaman hayati, berupa terbunuhnya

suatu jenis hewan atau menurunnya populasi suatu jenis tanaman yang bukan

merupakan sasaran semula;

  b. Terjadinya perpindahan gen dari tanaman transgenik ke kerabat lainnya

sehingga menimbulkan gula super yang sulit diberantas;

c. Pembentukan senyawa yang menimbulkan alergi atau keracunan bagi

manusia.

Hakim yang menangani kasus kapas transgenik ini melakukan penafsiran dari

klarifikasi kegiatan pelepasan kapas transgenik oleh Tergugat kepada Menteri Negara

Lingkungan Hidup atau Kepala BAPEDAL dalam surat tanggal 10 November 2000

yang menyatakan bahwa pengujian laboratorium telah dilaksanakan pada bulan

September 1998 dan Maret 2000 di BALITBIO Bogor yang hasilnya menyatakan

tanaman kapas transgenik tersebut aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman

17

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 19/40

hayati dan oleh karenanya dapat dilakukan uji daya hasil atau uji adaptasi mengukuti

 prosedur yang berlaku. Dengan demikian, menurut Hakim tersebut, environmental 

risks assesment yang dapat timbul dari kapas transgenik ini adalah akibat yang tidak 

negatif dan aman terhadap lingkungan.

Menurut kelompok kami, pihak PT. Monagro Kimia memang telah

mempertimbangkan mengenai risiko yang dapat muncul dari penggunaan kapas

transgenik tersebut. Hal ini mengacu pada uji daya hasil atau uji adaptasi yang telah

dilakukan di BALITBIO Bogor pada bulan September 1998 dan Maret 2000, dimana

hasil dari pengujian laboratorium tersebut adalah tidak ada akibat negatif yang

diprediksi akan terjadi dari penggunaan kapas transgenik tersebut, serta aman

terhadap lingkungan. Namun, kelompok kami berpendapat bahwa sebenarnya telah

terjadi pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian, dimana Pemerintah dalam hal ini

Menteri Pertanian mengeluarkan suatu surat keputusan tanpa adanya suatu analisis

resiko jangka panjang yang akan terjadi apabila pelepasan kapas transgenik tersebut

dilakukan. Analisis BALITBIO Bogor, menurut kelompok kami, adalah analisis yang

digunakan hanya untuk jangka pendek saja. Sedangkan berdasarkan jurnal ilmiah

“The illusion of care : regulation, uncertainty, and genetically modified food crops”,

  pemakaian yang melebihi batas dari teknologi transgenik akan menimbulkan

kerusakan lingkungan, karena terdapat bahan-bahan yang berbahaya bagi lingkungan

dalam jangka waktu yang panjang ke depan.

Gene flow is “the incorporation of genes into the gene pool of one population

 from one or more other populations”

Crops genes may replace wild genes (genetik assimilation: Ellstrand & Elam

1993; Levin et al. 1996; Wolf et al. 2001), reducing the genetic diversity of 

wild populations. Crop genes may also flow to other crop varieties or land 

races, contaminating the recipient seed pools. Whether this genetik 

contamination is called “genetik pollution” or “adventitious presence”, it can

have undesired consequences, reducing seed quality (Friesen et al. 2003),

threatening food safety (NRC 2004a) and organic food production, or 

harming indigenous cultures [North American Free Trade Agreement– 

Commission for Environmental Cooperation (NAFTA–CEC) 2004]. If the

18

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 20/40

resulting hybrids have lower fitness than their wild parents, the wild 

 populations may shrink (demographic swamping: Levin et al. 1996; Wolf et 

al. 2001), threatening the survival of the wild population (Ellstrand & Elam

1993; Levin et al. 1996). Alternatively, if the resulting hybrids have a higher 

 fitness than their wild parents, the hybrid may become invasive (Tiedje et al.

1989), replacing the wild population and other species in agricultural and 

natural areas. Gene flow from crops to wild relatives is implicated in the

evolution of weediness in seven of the world’s 13 most significant crops

(Ellstrand et al. 1999). 2

Berdasarkan artikel tersebut di atas, Varietas Unggul NuCOTN 35B

(BOLLGARD) dapat menyebabkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada

di daerah pengembangan varietas tersebut, serta mengancam keseimbangan alam

yang ada. Keanekaragaman dapat berkurang apabila varietas tersebut justru lebih

 banyak mematikan hama yang tidak termasuk dalam sasarannya, untuk kemudian

 berimbas pada makhluk hidup lain yang berkait dengan keberadaan hama tersebut.

Selain itu, mengacu pada artikel di atas, persebaran gen yang terjadi dari gen

Varietas Unggul NuCOTN 35B (BOLLGARD) kepada tumbuhan sekitarnya, juga

mengancam berkurangnya keanekaragaman hayati. Apabila Varietas Unggul

 NuCOTN 35B (BOLLGARD) ternyata lebih baik daripada varietas yang sebelumnya,

maka Varietas Unggul NuCOTN 35B (BOLLGARD) akan menggantikan varietas

sebelumnya dan berdampak positif bagi manusia. Namun apabila ternyata Varietas

Unggul NuCOTN 35B (BOLLGARD) merupakan penurunan dari varietas yang

sebelumnya, maka varietas yang baru ini akan mengancam keberadaan varietas yang

lama dan akan membahayakan perkembangan dari varietas lama yang lebih baik.

Tergugat telah mengeluarkan Surat Keputusan yang mengijinkan pelepasan

kapas transgenik Bt a quo tanpa mewajibkan pelaksanaan AMDAL, yang seharusnya

dengan pelaksanaan AMDAL tersebut dapat berfungsi sebagai alat untuk menilai

dampak yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan/usaha introduksi produk transgenik 

di Indonesia, guna melindungi lingkungan, keanekaragaman hayati, kesehatan

2 Hal. 200. R. Bratspies, "The Illusion of Care: Regulation, Uncertainty, and Genetically Modified

Crops", New York University Environmental Law Journal, Vol. 10, 2002.

19

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 21/40

maupun jiwa manusia. Maka menurut kelompok kami, tindakan Tergugat tersebut

sudah sangat jauh menyimpang dari keinginan Pemerintah Indonesia untuk 

mengadopsi Prinsip Kehati-hatian dalam penanganan produk transgenik. Apabila

Tergugat mempertimbangkan semua kepentingan, termasuk keinginan keras

Pemerintah Indonesia untuk menganut Prinsip Kehati-hatian, maka Tergugat tidak 

akan sampai pada putusan memberi izin pelepasan produk transgenik tanpa melalui

 proses AMDAL.

Dalam hal ini, maka apabila kasus tersebut terjadi pada tahun 2011 yang dengan

telah adanya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 maka Produk Transgenik tersebut

 jelas tidak dapat dipasarkan atau diperjual belikan. Karena dalam UU tersebut, untuk 

mendapatkan Izin Usaha pelaku Agribisnis diharuskan untuk mendapatkan Izin

Lingkungan terlebih dahulu yang persyaratan utamanya untuk menerbitkan Izin

tersebut adalah AMDAL. Telah jelas dalam UU 32 Tahun 2009 kedudukan AMDAL

lebih tinggi daripada UU Lingkungan sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 23

Tahun 1997.

Berdasarkan penjabaran di atas maka apabila kita menggunakan peraturan

 perundang-undangan saat ini, yaitu UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapatlah kita nyatakan bahwa pemerintah melakukan

 pelanggaran terhadap AMDAL dan environmental risks assessment karena :

1. Pemerintah tidak melakukan kajian resiko jangka panjang, melainkan hanya

melakukan riset dan penelitian dampak resiko untuk jangka pendek saja yang

dilakukan di laboratorium penelitian dimana lebih banyak di dapatkan bahwa

  pelepasan kapas transgenik akan menimbulkan banyak keuntungan

dibandingkan kerugiannya.

2. Bahwa pemerintah belum dapat menerangkan dan menjelaskan bagaimana

cara untuk mereduksi dan meminimalisasi dampak-dampak yang mungkin

terjadi akibat pelepasan kapas transgenik di dalam masyarakat khususnya di

  bidang perlindungan lingkungan hidup dan pelestarian keaneka ragaman

hayati

3. Bahwa pemerintah belum melakukan tindakan pemberian informasi secara

rinci kepada masyarakat luas mengenai dampak-dampak yang mungkin terjadi

di masa mendatang akibat dari pelepasan kapas transgenik secara berlebihan

20

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 22/40

khususnya di bidang perlindungan lingkungan hidup dan pelestarian

keanekargaman hayati, memang benar bahwa pemerintah telah melakukan

 press release yaitu konfrensi pers dengan wartawan, sesuai dengan perkataan

  pemerintah dalam jawabannya di kasus ini, antara lain mengenai uji

multilokasi, kelebihan dan keunggulan kapas transgenik, serta jumlah

  pendapatan yang akan didapatkan apabila petani melakukan kegiatan

  pelepasan kapas transgenik. Akan tetapi, sama sekali pemerintah tidak 

menjelaskan kepada masyarakat luas akibat apa sajakah yang akan timbul di

masa mendatang apabila dilakukan pelepasan kapas transgenik. Karena sesuai

dengan pendapat ahli Dr. Agus Dana Permana yang dihadirkan dalam

  persidangan, dikatakan bahwa pelepasan kapas transgenik menimbulkan

 beberapa kerugian antara lain :

1. Tingkat ekspresi dari gen tunggal sehingga menahan biomassa dari

transgenik.

2. Akan menimbulkan toleransi terhadap hama, sehingga menimbulkan

kekebalan yang cepat pada serangga yang merusak daun hingga ke

 batang.

3. Apabila bakteri tersebut sampai ke tanah akan merusak struktur tanah

dan mengganggu ekosistem antropoda tanah.

2.3.2 Pengakuan terhadap   precautionary principle dan kaitannya dengan

 Environmental Risk Assessment 

Dalam kasus ini, penggugat mengajukan gugatan bahwa Surat Keputusan (SK)

yang mengizinkan pelepasan kapas transgenik yang dikeluarkan tergugat melanggar 

Prinsip Kehati-hatian (  precautionary principles), karena izin tersebut dikeluarkantanpa adanya penilaian terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan dari introduksi

kapas transgenik tersebut melalui mekanisme AMDAL.3 SK tersebut dianggap tidak 

memperhatikan semua kepentingan yang tersangkut dengan pelepasan kapas

transgenik, termasuk kepentingan Pemerintah Indonesia yang berkewajiban

menerapkan prinsip kehati-hatian dalam hal pelepasan Genetically Modified Objets

(GMO); sebagaimana diatur dalam UN Convention on Biological Diversity (“CBD”)

yang telah diratifikasi oleh UU No. 5 Tahun 1994, Cartagena Protocol on Biosafety

3 Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Putusan No: 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, hal. 26

21

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 23/40

to the Convention of Biodiversity (“Cartagena Protocol”), dan Rio Declaration on

  Environment and Development  (“Rio Declaration”). Hakim dalam putusannya

kemudian membahas pertanyaan apakah benar tergugat telah melanggar 

  precautionary principle, dan hakim menyimpulkan bahwa precautionary principle

terbukti sudah cukup dilakukan oleh tergugat karena tergugat sebelum mengeluarkan

SK telah memperhatikan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa kapas

transgenik aman untuk dilepas.4

Terdapat dua isu yang timbul dari penerapan precautionary principle dalam

kasus ini. Pertama, apakah digunakannya precautionary principle dalam pertimbangan

hakim menunjukkan pengakuan terhadap keberlakuan precautionary principle di

Indonesia, meskipun saat kasus tersebut terjadi ketentuan precautionary principle barutercantum dalam perjanjian-perjanjian internasional dan belum ditransformasikan

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kedua, apa kaitan antara

  precautionary principle dengan   Environmental Risk Assessme (ERA), apakah

dilakukannya ERA sudah menunjukkan dipenuhinya precautionary principle.

2.3.2.1 Pengakuan terhadap precautionary principle

  Principle 15 dari Rio Declaration mendefinisikan precautionary principle

sebagai berikut:

  “Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full 

 scientific certainty shall not be used as a reason for postponing measures

to avoid or minimize such a threat.”

Precautionary principle juga berlaku dalam hal pelepasan Genetically Modified

Objects (GMO), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 dari Cartagena Protocol on

Biosafety to the Convention on Biological Diversity:

“In accordance with the precautionary approach contained in Principle 15

of the Rio Declaration on Environment and Development, the objective of 

this Protocol is to contribute to ensuring an adequate level of protection in

the field of the safe transfer, handling and use of living modified organisms

resulting from modern biotechnology that may have adverse effects on the

conservation and sustainable use of biological diversity, taking also into

account risks to human health, and specifically focusing on transboundary

4 Ibid., hal 182-183

22

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 24/40

movements.”

Dalam CBD, precautionary principle disebutkan dalam bagian Preamble:

“Noting also that where there is a threat of significant reduction or loss of 

biological diversity, lack of full scientific certainty should not be used as a

reason for postponing measures to avoid or minimize such a threat.”

Penggunaan prinsip precautionary principle dalam pertimbangan hakim pada

kasus kapas transgenik menunjukkan bahwa prinsip tersebut telah diterima dan dapat

diberlakukan dalam hukum nasional Indonesia. Namun penerimaan tersebut

menimbulkan beberapa pertanyaan: (1) Apakah Indonesia dapat terikat dengan

ketentuan precautionary principle dalam Cartagena Protocol dan Rio Declaration yang

  belum ditandatangani/disahkan oleh Indonesia?; (2) Apakah keberlakuan

 precautionary principle di Indonesia harus melalui mekanisme transformasi ke dalam

undang-undang nasional, atau cukup melalui undang-undang ratifikasi?; (3) Apakah

  penerapan precautionary principle oleh hakim tersebut mencerminkan posisi

Indonesia dalam memandang keberlakuan hukum internasional, atau justru penerapan

  precautionary principle tersebut merupakan sebuah kesalahan hakim dalam

menerapkan hukum internasional?

1. Apakah Indonesia dapat terikat dengan ketentuan precautionary principle dalam

Cartagena Protocol dan Rio Declaration yang belum ditandatangani/disahkan oleh

 Indonesia?

Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditinjau berdasarkan ketentuan dalam Vienna

Convention on the Law of Treaties (“VCLT”) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui

UU No. 1 Tahun 1982. VCLT mengatur dalam pasal 34 bahwa perjanjian

internasional tidak memberikan kewajiban kepada negara yang tidak menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. Indonesia belum menjadi pihak dalam pihak dari Cartagena

Protocol dan Rio Declaration, jadi Indonesia tidak terikat pada perjanjian-perjanjian

tersebut, dan juga tidak terikat pada precautionary principle yang diatur di dalamnya.

Pengecualian dari Pasal 34 VCLT terdapat dalam Pasal 38 VCLT, yang

menentukan bahwa suatu ketentuan dalam perjanjian internasional dapat mengikat

negara yang bukan merupakan pihak dalam perjanjian internasional tersebut jika

ketentuan itu merupakan customary international law. Namun precautionary principle

23

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 25/40

sendiri belum dapat dikatakan sebagai suatu customary international law,5 sehingga

ketentuan mengenai precautionary principle dalam Cartagena Protocol dan Rio

Declaration tetap tidak mengikat Indonesia. Jadi, precautionary principle mengikat

Indonesia hanya melalui CBD.

2. Apakah keberlakuan precautionary principle di Indonesia harus melalui

mekanisme transformasi ke dalam undang-undang nasional, atau cukup melalui

undang-undang ratifikasi?

Untuk menentukan apakah precautionary principle dalam CBD yang telah

diratifikasi oleh Indonesia dapat diberlakukan dalam hukum nasional Indonesia, perlu

dikaji teori-teori mengenai mekanisme keberlakuan ketentuan perjanjian internasional

dalam hukum nasional. Terdapat dua doktrin yang mengatur mekanisme keberlakuan

aturan dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional suatu negara yaitu

doctrine of incorporation dan doctrine of transformation. Doctrine of incorporation

adalah doktrin yang mengatakan bahwa “a rule of international law becomes part of 

national law without the need for express adoption by the local courts or legislators”6 

(aturan-aturan dalam hukum internasional menjadi bagian dari hukum nasional tanpa

 butuh adanya pernyataan secara jelas perihal adopsi aturan hukum internasional

tersebut ke dalam hukum nasional baik dari pengadilan lokal maupun dari lembaga

legislatif). Jika yang berlaku adalah doctrine of incorporation, maka ratifikasi

 perjanjian internasional dilakukan untuk memenuhi persyaratan yang terdapat dalam

  perjanjian internasional sekaligus untuk menyatakan keberlakuan aturan-aturan

  perjanjian internasional tersebut dalam hukum nasional. Sementara doctrine of 

transformation adalah doktrin yang menyatakan bahwa “rules of international law do

not become part of national law until they have been expressly adopted by state”7

(aturan-aturan dalam hukum internasional tidak dapat menjadi bagian dari hukum

nasional kecuali terdapat pernyataan secara jelas dari negara tersebut perihal adopsi

aturan hukum internasional tersebut ke dalam hukum nasional). Jika yang berlaku

adalah doctrine of transformation, maka ratifikasi dilakukan hanya untuk memenuhi

  persyaratan yang terdapat dalam perjanjian internasional dan harus ada UU

5 Phillippe Sands, Principles of International Environmental Law, hal. 279

6 Martin Dixon, Textbook on International Law 6 th Edition, hal. 94

7 Ibid., hal. 95

24

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 26/40

transformasi untuk memberlakukan perjanjian internasional tersebut dalam hukum

nasional.

Untuk menentukan apakah Indonesia menganut doctrine of incorporation atau

doctrine of transformation dalam kaitannya dengan keberlakuan aturan perjanjian

internasional, perlu ditelaah lebih lanjut aturan mengenai pengesahan perjanjian

internasional di Indonesia. Sayangnya, terdapat ketidakjelasan dalam UU maupun

UUD 1945 serta praktek pemerintah Indonesia mengenai hal ini.

Jika kita melihat pada Pasal 9 ayat (1) dan penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU

 No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional (UU 24/2000), maka dapat

disimpulkan bahwa Indonesia menganut doctrine of incorporation. Pengesahan

 perjanjian internasional dilakukan untuk memenuhi persyaratan yang terdapat pada

 perjanjian internasional dan untuk memberlakukannya dalam hukum nasional. Pasal 9

ayat (1) menyatakan bahwa “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah

Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional

tersebut.” Pasal 13 menyatakan bahwa “Setiap undang-undang atau keputusan

 presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran

 Negara Republik Indonesia.”; dan penjelasan atas pasal tersebut mengatakan bahwa

“Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian

internasional di dalam lembaran negara dimaksudkan agar setiap orang dapat

mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara

Indonesia.” Dari pasal-pasal ini dapat disimpulkan bahwa pengesahan perjanjian

internasional tidak hanya sekedar mengikuti persyaratan dalam perjanjian

internasional yang mengharuskan adanya pengesahan, namun juga bahwa isi

 perjanjian internasional yang disahkan tersebut berlaku dalam hukum nasional dan

mengikat seluruh warga negara Indonesia secara otomatis, tanpa perlu adanya UU

yang mentransformasi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut ke

dalam hukum nasional.

  Namun UUD 1945 dan praktek negara Indonesia dalam memberlakukan

ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional justru menunjukkan

 bahwa Indonesia menganut doctrine of transformation. UUD 1945 dalam Pasal 11

ayat (2) mengatur bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya

yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait

dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan

undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dari ayat ini

25

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 27/40

terlihat bahwa terdapat dua tahapan bagi pemerintah Indonesia dalam hal membuat

  perjanjian internasional, yaitu pertama adalah membuat perjanjian internasional

dengan persetujuan DPR (pengesahan), dan kedua adalah merubah atau membentuk 

UU sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut (transformasi).

Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian internasional harus ditransformasikan ke

dalam hukum nasional setelah adanya pengesahan. Metode inilah yang selama ini

telah dipraktekkan oleh Indonesia, contohnya adalah keikutsertaan Indonesia dalam

ICCPR melalui pengesahannya dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, dan

 pengejawantahan dari pasal-pasal yang ada di dalam ICCPR itu yang dimasukkan ke

dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. 8 Contoh

lain lagi adalah materi dalam United Nations Convention on Climate Change yang

diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994, berlaku secara efektif 

setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.9

Karena masih terdapat ketidakjelasan dalam hukum indonesia sendiri

mengenai mekanisme keberlakuan ketentuan perjanjian internasional dalam hukum

nasional, maka dasar penerimaan precautionary principle dalam hukum nasional

indonesia pun masih dapat diperdebatkan. Bisa diajukan argumen bahwa

 precautionary principle berlaku di Indonesia karena CBD sudah diratifikasi, meskipun

 belum ada UU transformasinya. Bisa juga diajukan argumen bahwa precautionary

 principle tidak dapat berlaku di Indonesia, karena meskipun CBD sudah diratifikasi

namun belum ada UU transformasinya.

3. Apakah penerapan precautionary principle oleh hakim tersebut mencerminkan

 posisi Indonesia dalam memandang keberlakuan ketentuan perjanjian internasional,

atau justru penerapan precautionary principle tersebut merupakan sebuah kesalahan

 penerapan hukum internasional?

Dalam menerapkan precautionary principle pada pertimbangannya, hakim

tidak menjelaskan dasar dari diterimanya precautionary principle tersebut dalam

hukum Indonesia. Namun kita dapat mengasumsikan dari gugatan para penggugat dan

 jawaban dari tergugat bahwa dasar diterimanya precautionary principle dalam kasus

ini adalah CBD yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1994,

8 Mahkamah Konstitusi, Risalah Sidang No. 33/PUU-IX/2011 (V), hal. 7

9 Ibid.

26

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 28/40

Cartagena Protocol dan Rio Declaration.

Menurut penulis, penerapan precautionary principle oleh hakim dalam kasus

ini tidak mencerminkan bahwa Indonesia merupakan penganut doctrine of 

incorporation, melainkan menunjukkan kekurangpahaman sang hakim mengenai

mekanisme penerapan hukum internasional dalam hukum nasional. Kesimpulan ini

diraih karena sang hakim tidak menolak gugatan para pihak yang didasarkan pada

Cartagena Protocol dan Rio Declaration yang notabene tidak mengikat Indonesia.

Meskipun penerapan precautionary principle dapat dibenarkan jika digunakan

argumen bahwa Indonesia menganut doctrine of incorporation, namun sang hakim

tidak menjelaskan alasan tersebut dalam pertimbangannya. Fakta ini membuat penulis

menarik kesimpulan bahwa sang hakim hanya sekedar menerima dasar hukum yang

diajukan para pihak tanpa menilai apakah dasar hukum tersebut dapat digunakan atau

tidak dalam hukum nasional Indonesia.

2.3.2.2 Kaitan antara precautionary principle dengan ERA

ERA dalam kaitannya dengan pelepasan GMO adalah suatu metode yang

dilakukan untuk menentukan besarnya resiko serta kemungkinan akan timbulnya efek 

terhadap lingkungan dan kesehatan sebagai akibat dari pelepasan GMO berdasarkan

data-data sains.10 Dalam beberapa peraturan, ERA merupakan dasar yang digunakan

untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan pelepasan GMO.11

Precautionary principle dalam Principle 15 Rio Declaration didefinisikan

sebagai berikut:“Where there are threats of serious or irreversible damage, lack 

of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing measures

to avoid or minimize such a threat.” Precautionary principle merupakan prinsip

yang mengatur dilaksanakannya pelepasan GMO menurut CBD dan CartagenaProtocol.

Kaitan antara ERA dengan precautionary principle adalah bahwa

  precautionary principle telah menggantikan ERA sebagai prinsip yang

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan pelepasan GMO.12 Precautionary

10 A. A. Myhr dan T. Traavik, The Precautionary Principle Applied to Deliberate

Release of Genetically Modified Organisms (GMOs), Microbial Ecology in Health

and Disease 1999, hal. 66

11 Ibid., hal. 70

12 Ibid., hal. 66

27

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 29/40

 principle telah menggantikan ERA sebagai prinsip yang mendasari dilepaskannya

GMO, karena ERA memiliki kekurangan-kekurangan; dimana resiko dan efek 

yang diujikan dapat diinterpretasikan dengan berbeda-beda dan bisa diragukan

integritasnya.13

ERA juga tidak dapat dianggap sebagai bagian dari precautionary principle,

karena ERA tidak dapat mengidentifikasi semua dampak yang mungkin timbul

dari pelepasan GMO, masih terdapat faktor-faktor eksternal yang belum tentu

dapat diprediksi dalam ERA.14 Sementara precautionary principle butuh

mengetahui seluruh dampak yang mungkin timbul untuk menentukan langkah-

langkah yang dapat diambil untuk menghindari suatu kerusakan lingkungan.

Dalam kasus kapas transgenik, hakim telah melakukan kesalahan dalammenerapkan precautionary principle. Hakim memutuskan bahwa tindakan tergugat

telah sesuai dengan precautionary principle karena tergugat sebelum mengeluarkan

SK telah memperhatikan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa kapas

transgenik aman untuk dilepas.15 Hasil penelitian ini tidak dapat digunakan untuk 

membuktikan dipenuhinya precautionary principle, karena hasil penelitian tersebut

tidak menjamin bahwa tidak ada sama sekali kemungkinan bahwa pelepasan GMO

dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Menurut precautionary principle, jika

masih ada kemungkinan bahwa bisa terjadi kerusakan lingkungan akibat pelepasan

GMO meskipun belum ada kepastian sains mengenai hal itu, maka pelepasan GMO

harus dicegah.

2.3.3 Resiko dan Keamanan dari Genetically Modified Organism

GMO’s atau Geneticaly Modified Organism atau  Living Modified Organism adalahhasil dari bioteknologi, sebagaimana Thomas J Schoenbaum mendefinisikan GMO’s

sebagai berikut: 

living organism that contain novel combination of genetic

13 Ibid., hal. 71

14 D. Santillo, et.al., The Precautionary Principle: Protecting Against Failures of 

Scientific Method and Risk Assessment.

15 Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Putusan No: 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT, hal 182-

183

28

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 30/40

material as a result of the application of biotechnology16 .

World Health Organization (WHO) memberikan definisi yang lebih terperinci lagi

tentang GMO’s ini, dalam situsnya, WHO memberikan definisi GMO’s seperti berikut

ini :

Genetically Modified Organisms (GMO’s) can be defined  as organisms in which the

 genetic material (DNA) has been altered in a way that does not occur naturally. The

technology is often called “modern biotechnology” or “gene technology”, sometimes

also “recombinant DNA technology” or “genetic engineering”. It allows selected 

individual genes to be transferred from one organism into another, also between non-

related species17 .

Berdasarkan pada definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

GMO’ s atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan produk rekayasa genetika

adalah organisme yang DNA-nya telah dirubah dengan menggunakan suatu teknologi

yang disebut dengan bioteknologi modern sehingga menghasilkan suatu organisme

atau produk yang berbeda dengan produk alamiahnya yang mempunyai beberapa

kelebihan karena dalam pembuatannya dilakukan seleksi terhadap sifat-sifat baiknya.

Kontroversi mengenai manfaat dan bahaya produk transgenik masih terus

diperdebatkan. GMO memang menjanjikan potensi keuntungan bagi para pelaku

agribisnis termasuk para petani. Beberapa produk pertanian yang merupakan GMO’s

 bisa tahan terhadap hama, tahan terhadap berbagai penyakit, penggunaan pestisida

yang lebih sedikit, mempunyai penampilan yang menarik, mempunyai nutrisi yang

lebih banyak jika dibandingkan dengan produk yang asli, dan lain sebagainya.

Beberapa kelebihan dari GMO’s tersebut diklaim dapat mengatasi masalah populasi

dan pangan yang dihadapi oleh dunia. Namun seiring berkembangnya penggunaan

GMO, ditemukanlah permasalahan dan resiko yang berdampak negatif. Produk-

 produk GMO’s sangat berpeluang untuk mempengaruhi kesehatan manusia, kesehatan

16 Schoenbaum, J Thomas, “International Trade in Living Modified

Organism”, Edited by Francioni, Francesco, “Environment, Human Rights and 

International Trade”. Oxford: Portland, 2001, hlm 27

17 “20 Questions on Genetically Modified Foods”, http://74.125.153.132/search?

q=cache:VakjAV6reW4J:www.who.int/foodsafety/publications/biotech/20questions/en/+Genetically+modified+organism+adalah&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id.

(diakses tanggal 21 November 2011)

29

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 31/40

makanan, serta permasalahan lingkungan. Hasil penelitian menemukan bahwa

 penggunaan GMO dapat mempengaruhi lingkungan dan spesies yang ada dalam

lingkungan.

Di Indonesia, kasus Monsanto yang dimulai pada tahun 2000 juga

memperlihatkan adanya dampak terhadap lingkungan atas penggunaan GMO’s. Pada

kasus ini, benih hasil yang disalurkan oleh PT Managro Kimia (anak perusahaan

Monsanto) yang kemudian menjadi tergugat, ditanam di Sulawesi Utara pada tahun

2000. Berdasarkan kasus yang dialami oleh PT. Monagro Kimia dan Menteri

Pertanian yang digugat oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang lingkungan objek 

gugatannya adalah SK 107/Kpts/KB.430/2/2001 tentang pelepasan secara terbatas

kapas transgenik Bt DP 5690 sebagai varietas unggul dengan nama NuCOTN 35B

(BOLLGARD). BOLLGARD adalah hasil rekayasa genetic dari kapas yang berasal

dari Afrika Selatan yang akan ditanam di Sulawesi Selatan. Penanaman tanaman

transgenik tersebut diharapkan untuk meningkatkan produktivitas kapas,

meningkatkan pendapatan, mengurangi penggunaan pestisida, dan memiliki resistensi

yang tinggi terhadap hama/serangga. Keuntungan yang signifikan adalah dimana

 penggunaan kapas transgenic tersebut dapat menimbulkan suatu keuntungan yang

sangat berlimpah bagi para petani karena sangat ekonomis, sehingga berdasarkanketerangan saksi banyak petani yang beralih dari menanaman suatu tanaman biasa

menjadi petani kapas transgenik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara kapas

transgenic dan kapas lokal (kanesia), kapas transgenic memiliki kualitas yang jauh

lebih baik seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sedangkan pada kapas lokal

(kanesia) memiliki kualitas yang kurang baik karena tidak tahan terhadap hama, perlu

menggunakan banyak pestisida untuk perawatannya, menyebabkan resistensi terhadap

hama, dan menimbulkan gangguan kesehatan.

Masalah muncul karena bibit kapas Bt yang dimodifikasi dengan disisipi gen

Cry1A yang mengandung endotoksin Bt ( Bacillus thuriengiensis) sehingga tahan

hama justru memiliki potensi besar untuk merusak lingkungan.

Kapas jenis ini melindungi diri dengan cara menimbulkan toksin atau racun

yang mampu membunuh serangga tertentu sehingga dapat memberikan untung lebih

  banyak karena produksi kapas tidak terganggu oleh hama. Tapi, muncul resiko

 perpindahan gen dari kapas Bt ke tanaman lainnya sehingga dapat menimbulkan

30

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 32/40

gulma yang sulit diberantas. Kandungan toksin dalam kapas Bt ini juga dapat

menimbulkan kerugian pada keanekaragaman hayati berupa terbunuhnya suatu jenis

serangga atau tanaman yang bukan merupakan sasaran toksin tersebut hingga

  populasinya menurun. Selain itu, tanaman Bt-transgenik memiliki potensi resiko

terhadap kesehatan manusia berkaitan dengan kemungkinan munculnya alergen baru

dalam serbuk sari tanaman atau kemungkinan munculnya kombinasi antar protein

yang dapat menyebabkan efek sekunder yang sulit diperkirakan18.

Penggugat menyatakan dalil – dalil bahwa;

(1) kapas transgenic dapat mengandung endotoxin Bt (Bacillus thuriengiensis)

yang dapat menyebabakan resistensi terhadap hama dan dapat membunuh

serangga – serangga tertentu,

(2) berisiko untuk mengganggu keanekaragaman hayati, perpindahan gen dari

tanaman transgenic ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma yang

sulit untuk diberantas,

(3) menyebabkan keracunan bagi hewan maupun manusia.

Majelis hakim melihat hingga kini belum ada dampak negatif yang disebabkanoleh kapas transgenik. Sementara dilapangan hama tetap meyerang kapas transgenik,

hasil panen tidak pernah mencapai 3-4 ton seperti yang dijanjikan perusahaan dan

  pemerintah, petani melawan petani, harga benih naik, peredaran benih tidak 

terkontrol.

 Namun pada akhirnya Majelis hakim memutuskan bahwa para penggugat

mempunyai hak untuk mengajukan gugatan demi kepentingan lingkungan, tetapi

menolak pokok perkara yang diajukan oleh Penggugat. Majelis hakim, yang selalu

menganggap bahwa SK 107/2001 adalah untuk keperluan uji coba, memutuskan

  pelepasan kapas transgenik tidak wajib Amdal, dan SK 107/2001 justru

mencerminkan sikap kehati-hatian dari Menteri Pertanian, sebelum melepas kapas

transgenik di areal yang lebih luas lagi. Kemudian menghukum penggugat untuk 

membayar biaya perkara.

Sesuai dengan uraiaan diatas, maka menurut kelompok kami hakim dalam hal

18 Dwi Andreas Santosa, “Analisis Resiko Lingkungan Tanaman Transgenik” dalam Jurnal Ilmu Tanah dan

Lingkungan, Oktober 2000, h. 32-36 (http://jikt.journal.ipb.ac.id/index.php/jtanah/article/viewFile/2316/1323)

31

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 33/40

ini telah salah dalam menerapkan hukum.Karena hakim tidak begitu mengerti

mengenai GMO itu sendiri yang sesuai dengan pertimbanganya telah memenangkan

tergugat atau PT Managro. Sesuai dengan akibat GMO dan karakteristiknya yang

seharusnya terlebih dahulu diuji sebelum dicoba ke lapangan dan sebelum ada akibat-

akibat yang tidak di inginkan muncul.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hak Gugat Penggugat

32

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 34/40

Penggugat dalam kasus ini yaitu :

• Yayasan Lembaga Pengembangan Hukum lingkungan Hidup;

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia;

• Yayasan Lembaga Konsumen Sulawesi Selatan;

• Yayasan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam

Indonesia;

• Yayasan Biodinamika Pertanian Indonesia;

•Yayasan Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat;

Untuk dapat menggugat, para penggugat ini terlebih dahulu harus memiliki

hak menggugat. Dasar hak menggugat organisasi lingkungan hidup tersebut terdapat

dalam bagian ketiga paragraph ke empat UU No. 23 Tahun 1997, ditegaskan bahwa

organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan

  pelestarian fungsi lingkungan hidup (Pasal 38 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997),syaratnya adalah organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan terlebih dahulu

memenuhi syarat yang tercantum dalam pasal 38 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997. Di

dalam kasus ini telah terbukti bahwa organisasi lingkungan hidup tersebut telah

memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam pasal 38 ayat 1 UU No. 23 Tahun

1997, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Para Penggugat memiliki ius standi/

 persona standi in Judicio sesuai Pasal 38 (3) UUPLH.

Dalam kasus ini, Para Penggugat beracara dalam Peradilan Tata Usaha

 Negara, dalam penjelasan Pasal 38 (3) UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa

kompetensi absolut ditentukan oleh objek gugatan dan perihal hal yang digugat,

dalam kasus objek sengketa adalah objek sengketa Tata Usaha Negara, maka Pasal 38

(3) UU No. 23 Tahun 1997 menjadi ius standi organiasi lingkungan hidup sebagai

 penggugat dalam peradilan tata usaha Negara. Selain daripada itu, diketahui dari

kasus bahwa Para Penggugat juga memenuhi seluruh unsur dari pasal pasal 53 ayat

(1) UU PTUN. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Para Penggugat mempunyailegal standing dalam perkara.

33

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 35/40

Tinjauan Amdal dan ERA Berdasarkan UU No. 23/1997 dengan UU No 32/2009

terkait dengan Kasus

Terdapat Perbedaan mencolok mengenai AMDAL pada UU No. 32 Tahun

2009 dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya frasa “dampak besar” pada

definisi AMDAL. Perbedaan lainnya ialah terdapat pasal-pasal penting yang

sebelumnya tidak termuat dalam UU No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun

1999. Perbedaan mencolok lainnya ialah terdapat sanksi pidana dan perdata perdata

terkait pelanggaran bidang AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009, ketentuan yang

sama tidak ditemui di UU No. 23 Tahun 1997.

Dalam kasus ini diketahui secara jelas bahwa PT. Monagro Kimia belum

melaksanakan proses Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta

  pengumuman kepada masyarakat. Penggugat berpendapat bahwa kapas tersebut

menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan karena namun Hakim yang

menangani kasus kapas ini, environmental risks assessment yang dapat timbul dari

kapas transgenik ini akibat yang tidak negative dan aman terhadap lingkungan.

Pihak PT. Monagro Kimia memang telah mempertimbangkan mengenai risiko

yang dapat muncul dari penggunaan kapas transgenik tersebut namun Analisis

BALITBIO Bogor, adalah analisis yang digunakan hanya untuk jangka pendek. Oleh

karena itu tindaka Pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian mengeluarkan suatu

surat keputusan tanpa adanya suatu analisis resiko jangka panjang yang akan terjadi

apabila pelepasan kapas transgenik tersebut dilakukan, merupakan pelanggaran

terhadap perinsip kehati-hatian.

Tergugat telah mengeluarkan Surat Keputusan yang mengijinkan pelepasan

kapas transgenik Bt a quo tanpa mewajibkan pelaksanaan AMDAL. Tindakan

Tergugat tersebut sama sekali tidak mengindahkan keinginan Pemerintah Indonesia

dalam mengadopsi Prinsip Kehati-hatian dalam penanganan produk transgenic,

apabila tergugat mempertimbangkan prinsip kehati-hatian Tergugat tidak akan sampai

  pada putusan memberi izin pelepasan produk transgenik tanpa melalui proses

AMDAL.

Apabila kasus tersebut terjadi pada tahun 2011 yang dengan telah adanya Undang-

Undang No. 32 Tahun 2009 maka Produk Transgenik tersebut jelas tidak dapat

dipasarkan atau diperjual belikan. Karena dalam UU tersebut, untuk mendapatkan

34

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 36/40

Izin Usaha pelaku Agribisnis diharuskan untuk mendapatkan Izin Lingkungan terlebih

dahulu yang persyaratan utamanya untuk menerbitkan Izin tersebut adalah AMDAL.

Kasus diatas apabila ditinjau melalui UU No. 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapatlah kita nyatakan bahwa

  pemerintah melakukan pelanggaran terhadap AMDAL dan environmental risks

assessment karena :

1. Pemerintah tidak melakukan kajian resiko jangka panjang melainkan hanya

melakukan riset dan penelitian dampak resiko untuk jangka pendek;

2. Bahwa pemerintah belum dapat menerangkan dan menjelaskan bagaimana cara

untuk mereduksi dan meminimalisasi dampak-dampak yang mungkin terjadi

akibat pelepasan kapas transgenik di dalam masyarakat;

3. Bahwa pemerintah belum melakukan tindakan pemberian informasi secara rinci

kepada masyarakat luas mengenai dampak-dampak yang mungkin terjadi di masa

mendatang akibat dari pelepasan kapas transgenik secara berlebihan.

Prinsip Kehati-Hatian dalam Kasus serta Kaitannya dengan ERA

Dalam kasus ini, penggugat mengajukan gugatan bahwa Surat Keputusan

(SK) yang mengizinkan pelepasan kapas transgenik yang dikeluarkan tergugat

melanggar Prinsip Kehati-hatian (  precautionary principles), karena izin tersebut

dikeluarkan tanpa adanya penilaian terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan dari

introduksi kapas transgenik tersebut melalui mekanisme AMDAL. Hakim dalam

  putusannya membahas pertanyaan apakah benar tergugat telah melanggar 

  precautionary principle, dan hakim menyimpulkan bahwa precautionary principle

terbukti sudah cukup dilakukan oleh tergugat karena tergugat sebelum mengeluarkan

SK telah memperhatikan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa kapas

transgenik aman untuk dilepas.

Penerapan precautionary principle oleh hakim dalam kasus ini tidak 

mencerminkan bahwa Indonesia merupakan penganut doctrine of incorporation,

melainkan menunjukkan kekurangpahaman sang hakim mengenai mekanisme

 penerapan hukum internasional dalam hukum nasional. Kesimpulan ini diraih karena

sang hakim tidak menolak gugatan para pihak yang didasarkan pada Cartagena

Protocol dan Rio Declaration yang notabene tidak mengikat Indonesia. Meskipun

 penerapan precautionary principle dapat dibenarkan jika digunakan argumen bahwa

Indonesia menganut doctrine of incorporation, namun sang hakim tidak menjelaskan

35

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 37/40

alasan tersebut dalam pertimbangannya. Fakta ini membuat penulis menarik 

kesimpulan bahwa sang hakim hanya sekedar menerima dasar hukum yang diajukan

 para pihak tanpa menilai apakah dasar hukum tersebut dapat digunakan atau tidak 

dalam hukum nasional Indonesia.

ERA dalam kaitannya dengan pelepasan GMO adalah suatu metode yang

dilakukan untuk menentukan besarnya resiko serta kemungkinan akan timbulnya efek 

terhadap lingkungan dan kesehatan sebagai akibat dari pelepasan GMO berdasarkan

data-data sains.

Kaitan antara ERA dengan precautionary principle adalah bahwa

  precautionary principle telah menggantikan ERA sebagai prinsip yang

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan pelepasan GMO. Precautionary

 principle telah menggantikan ERA sebagai prinsip yang mendasari dilepaskannya

GMO, karena ERA memiliki kekurangan-kekurangan; dimana resiko dan efek 

yang diujikan dapat diinterpretasikan dengan berbeda-beda dan bisa diragukan

integritasnya.

Pertimbangan Hakim atas Risiko dan Keamanan Dari Gmo

Geneticaly Modified Organism atau Produk Rekayasa Genetika adalah

organisme yang DNA-nya telah dirubah dengan menggunakan suatu teknologi yang

disebut dengan bioteknologi modern sehingga menghasilkan suatu organisme atau

  produk yang berbeda dengan produk alamiahnya yang mempunyai beberapa

kelebihan karena dalam pembuatannya dilakukan seleksi terhadap sifat-sifat baiknya.

Dalam kasus diketahui bahwa bibit kapas Bt yang dimodifikasi dengan disisipi

gen Cry1A yang mengandung endotoksin Bt (  Bacillus thuriengiensis) sehingga tahan

hama justru memiliki potensi besar untuk merusak lingkungan. Menurut penggugatresiko dari kapas transgenic ialah:

1. kapas transgenik mengandung endotoxin Bt (Bacillus thuriengiensis) yang dapat

menyebabkan resistensi terhadap hama dan dapat membunuh serangga – 

serangga tertentu,

2. berisiko untuk mengganggu keanekaragaman hayati, perpindahan gen dari

tanaman transgenic ke kerabat lainnya sehingga menimbulkan gulma yang sulit

untuk diberantas,

3. menyebabkan keracunan bagi hewan maupun manusia.

36

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 38/40

Majelis hakim melihat hingga kini belum ada dampak negatif yang disebabkan

oleh kapas transgenik. Sementara dilapangan hama tetap meyerang kapas transgenik,

hasil panen tidak pernah mencapai 3-4 ton seperti ekspektasi semula bahkan menurun

sampai angka 988 ton.

Hakim pada akhirnya memutuskan bahwa para penggugat mempunyai hak 

untuk mengajukan gugatan demi kepentingan lingkungan tetapi menolak pokok 

  perkara yang diajukan oleh Penggugat. Majelis hakim menganggap bahwa SK 

107/2001 adalah untuk keperluan uji coba, memutuskan pelepasan kapas transgenik 

tidak wajib Amdal, dan SK 107/2001 mencerminkan sikap kehati-hatian dari Menteri

Pertanian, sebelum melepas kapas transgenik di areal yang lebih luas lagi. Majelis

hakim menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara.

Menurut pendapat kelompok kami hakim dalam hal ini telah salah dalam

menerapkan hukum. Karena hakim tidak begitu mengerti mengenai GMO itu sendiri,

GMO seharusnya terlebih dahulu diuji sebelum dicoba ke lapangan.

3.2 Saran

1. Untuk penerapan GMO di masa yang akan datang, amat disarankan agar PT

yang hendak menerapkan GMO tersebut terlebih dahulu mendapatkan

AMDAL. Hal ini sudah direalisasikan oleh UU No. 32 Tahun 2009, dimana

untuk mendapatkan izin lingkungan untuk melangsungkan usaha terlebih dahulu

wajib memiliki AMDAL.

2. Terdapat ketidakjelasan dalam prinsip yang dianut oleh Indonesia, apakah

menganut doctrine of incorporation atau doctrine of transformation dalam

kaitannya dengan keberlakuan aturan perjanjian internasional, mungkin hal ini

dapat diperjelas lagi oleh pemerintah sehingga tidak terdapat ketidakjelasan

kembali kedepannya

3. Dalam menerbitkan GMO sebaiknya terlebih dahulu diadakan penelitian yang

menyeluruh dan berjangka panjang agar tidak terjadi resiko yang tidak diketahui

di kemudian hari.

37

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 39/40

DAFTAR PUSTAKA

Bratspies, R. "The Illusion of Care: Regulation, Uncertainty, and Genetically

Modified Crops". New York University Environmental Law Journal. Vol. 10.

2002.

38

5/13/2018 Fix Transgenik - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/fix-transgenik 40/40

Dixon, Martin. Textbook on International Law 6th Edition.

J Thomas, Schoenbaum. “International Trade in Living Modified Organism”.

Edited by Francioni. Francesco. “  Environment, Human Rights and 

 International Trade”. Oxford: Portland. 2000.

Myhr. A.A dan T. Traavik. The Precautionary Principle Applied to Deliberate

 Release of Genetically Modified Organisms (GMOs). Microbial Ecology in

Health and Disease 1999.

Santillo, D. et.al. The Precautionary Principle: Protecting Against Failures of 

Scientific Method and Risk Assessment .

Santosa, Dwi Andreas, “Analisis Resiko Lingkungan Tanaman Transgenik” dalam

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Oktober. 2000.

Sands, Phillippe. Principles of International Environmental Law.

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Putusan No: 71/G.TUN/2001/PTUN-JKT.

Mahkamah Konstitusi. Risalah Sidang No. 33/PUU-IX/2011 (V)

Internet:

http://74.125.153.132/search?

q=cache:VakjAV6reW4J:www.who.int/foodsafety/publications/biotech/20questions/e

n/+Genetically+modified+organism+adalah&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id. (diakses

tanggal 21 November 2011)

39