fix-new

76
BAB I PENDAHULUAN A. Asma Bronkial I.1 Definisi asma bronkial Asma bronkial didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan epitel. Obstruksi dan inflamasi pada saluran napas ini akan memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas. I.2 Patogenesis dan patofisiologi Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai jenis sel inflamasi, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi perubahan patofisiologik seperti bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf. Penyempitan saluran napas pada asma sifatnya berulang dan disebabkan oleh berbagai perubahan pada saluran napas, diantaranya: 1

Upload: intansari25

Post on 28-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

tubercolosis paru

TRANSCRIPT

Page 1: fix-new

BAB I

PENDAHULUAN

A. Asma Bronkial

I.1 Definisi asma bronkial

Asma bronkial didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik saluran

napas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau

tanpa pengobatan akibat hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan

yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama mastosit, eosinofil, limfosit

T, makrofag, neutrofil, dan epitel. Obstruksi dan inflamasi pada saluran napas ini

akan memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas.

I.2 Patogenesis dan patofisiologi

Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi

kronik saluran napas yang melibatkan berbagai jenis sel inflamasi, menyebabkan

pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga

terjadi perubahan patofisiologik seperti bronkokonstriksi, kebocoran

mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.

Penyempitan saluran napas pada asma sifatnya berulang dan disebabkan

oleh berbagai perubahan pada saluran napas, diantaranya:

1. Hiperreaktivitas saluran napas (HSN). Hiperreaktivitas saluran napas

adalah respon bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus

(bronkokonstriksi) akibat berbagai rangsangan spesifik maupun

nonspesifik. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk,

rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai

stimuli. Bronkokonstriksi yang diinduksi alergen merupakan hasil dari

pelepasan mediator yang IgE-dependen dari sel mastosit seperti histamin,

triptase, leukotrin, dan prostaglandin (PG) yang kontak langsung dengan

otot polos saluran napas. Mekanisme yang mempengaruhi hiperreaktivitas

saluran napas ini multifaktorial seperti inflamasi, disfungsi dari

neuroregulasi, dan perubahan struktural; proses inflamasi dianggap

1

Page 2: fix-new

sebagai faktor utama yang menentukan derajat hiperreaktivitas saluran

napas.

2. Edema saluran napas. Terjadi karena kebocoran mikrovaskuler yang

meningkat sebagai respon terhadap berbagai mediator inflamasi. Ketika

penyakit asma menjadi semakin persisten dan proses inflamasi makin

progresif, terdapat faktor-faktor lain yang semakin membatasi aliran udara

pernapasan seperti edema, inflamasi, hipersekresi mukus, pembentukan

sumbat mukus yang tebal.

3. Hipersekresi mukus. Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel

goblet pada saluran napas penderita asma. Penyumbatan saluran napas

oleh mukus hampir selalu didapatkan pada asma yang fatal. Hipersekresi

mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan

menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel.

4. Remodeling saluran napas. Gambaran utama penderita asma adalah

radang saluran napas; ditemukan pula kelainan saluran napas ireversibel

seperti hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran napas, hiperplasia dan

hipersekresi kelenjar mukosa, proliferasi pembuluh darah (angiogenesis),

deposisi kelenjar pada membran subbasalis, serta fibrosis subepitelial.

Remodelling merupakan reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang

rusak akibat inflamasi dan diduga menyebabkan perubahan ireversibel

pada asma. Fibroblas berperan penting dalam remodelling dan proses

inflamasi. Fibroblas menghasilkan kolagen, serat elastik dan retikular,

proteoglikans dan glikoprotein dari matriks ekstraselular (ECM).

Remodeling saluran napas merupakan hasil aktivasi berbagai sel

struktural, yang berakibat pada perubahan permanen pada saluran napas

yang meningkatkan obstruksi udara, responsivitas saluran napas, dan

menyebabkan pasien kurang responsif terhadap terapi yang diberikan.

2

Page 3: fix-new

Patogenesis inflamasi saluran napas

Reaksi inflamasi diawali dengan masuknya alergen ke dalam tubuh untuk

pertama kali ditangkap oleh makrofag/sel dendritik (APC) yang kemudian

dipresentasikan ke sel T helper (TH), ia juga menghasilkan IL-1 yang

mengaktifkan sel TH. Sel TH yang diaktifkan melepaskan IL-2 yang akan memberi

signal ke sel B untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. IgE

segera diikat oleh sel mastosit dan basofil yang punya reseptor afinitas tinggi

terhadap IgE. Proses sensitasi telah terjadi sehingga apabila alergen yang sama

masuk lagi ke dalam tubuh akan terjadi serangkaian reaksi inflamasi.

Reaksi asma ada dua macam yaitu reaksi asma awal (early asthma

reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR). Pada

reaksi asma awal, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah

rangsangan dan menghilang secara spontan. Spasme bronkus yang terjadi

merupakan respon terhadap mediator-mediator sel mast terutama histamin yang

bekerja langsung pada otot polos bronkus atau melalui refleks vagal. Keadaan ini

mudah diatasi dengan beta-2 agonis.

3

Gbr 1. Patofisiologi penyempitan saluran napas pada asma yang kompleks

Page 4: fix-new

Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 34 jam rangsangan oleh

alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa

minggu. Fase ini disertai dengan reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga

timbul inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, inflamasi

netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme bronkus. Pada fase ini

peran spasme bronkus kecil, akibatnya reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian

beta-2 agonis.

Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus

berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi

inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa: Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama

eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.

Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan eosinofil, edema mukosa

dan eksudasi plasma, hipersekresi lendir yang kental kelenjar submukosa yang

mengalami hipertrofi.

Pada beberapa keadaan reaksi asma dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel

mast misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan

SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Rangsang ujung

saraf eferen vagal (c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya

neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related

Peptide (CGRP). Neuropeptid inilah yang menyebabkan terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan

aktivasi sel-sel inflamasi.

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas penyakit asma, besarnya

hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini

merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus

yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk mengukur

hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi

udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.

4

Page 5: fix-new

I. 3 Klasifikasi

Berikut ini merupakan klasifikasi asma bronkial berdasarkan:

1. Berat ringannya asma bronkial diluar serangan:

Klasifikasi ini lebih penting untuk tujuan penatalaksanaan asma yang

berada di luar serangan. Pada klasifikasi ini beratnya ditentukan oleh berbagai

faktor yaitu gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi beta-2

agonis, uji faal paru.

Tabel 1. Kalsifikasi Berat Ringannya Asma Bronkial Diluar Serangan

Berat/ ringan

asma bronkialGejala klinis Fungsi paru

Intermiten • Intermiten, gejala 1x/mg

• Gejala asma malam <2x/bln

• Eksaserbasi sebentar

• Tidak ada gejala dan fungsi paru

normal diantara serangan

APE atau VEP1

- >80% nilai duga

- Variabilitas < 20%

Persisten ringan • Gejala >1x/mg, tetapi <1x/hr

• Gejala asma malam >2x/bln

• Eksaserbasi dapat menggangu

aktivitas dan tidur

APE atau VEP1

- >80% nilai duga

- Variabilitas 20-30%

Persisten sedang • Gejala setiap hari

• Gejala asma malam >1x/mg

• Eksaserbasi dapat menggangu

aktivitas dan tidur

APE atau VEP1

- 60-80% nilai duga

- Variabilitas >30%

Persisten berat • Kambuhan sering. Gejala sesak terus

menerus

• Gejala asma malam hari sering

• Aktivitas fisik terbatas karena asma

APE atau VEP1

- <60% nilai duga

- Variabilitas >30%

2. Berat ringannya asma bronkial sewaktu serangan

Tabel 2. Klasifikasi Berat Ringannya Asma Bronkial Sewaktu Serangan

Gejala/tanda Asma ringan Asma sedang Asma beratAncaman henti

napas

Kesadaran Sedikit agitasi Agitasi Agitasi Bingung, kantuk

Sesak napas saat Berjalan Berbicara Beristirahat

5

Page 6: fix-new

Bicara dalam Kalimat Frase Kata per kata

Wheezing Sedang Keras Keras Tidak terdengar

Otot bantu napas dan

retraksi suptasternalTidak digunakan

Digunakan Digunakan Napas torako-

abdominal

paradoksal

Laju napas

Denyut nadi/menit

Meningkat

100

Meningkat

100-120

>30/menit

120

Pulsus paradoksus Absen

(<10mmHg)

Kadang ada

(10-25mmHg)

Ada

>25mmHg

Tidak ada,

kelelahan otot

pernapasan

VEP setelah

pemberian

bronkodilator inisial

>80% nilai

prediksi atau

nilai terbaik

60-80% <60%

PaO2

PaCO2

SaO2

Normal

<45

>95%

>60

<45

91-95%

<60, (sianosis)

>45

<90%

< 60 (bradikardia)

sianosis

3. Tingkat kontrol asma bronkial

Tabel 3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kontrol Asma Bronkial

Karakteristik

Terkontrol

(memenuhi semua

kriteria)

Terkontrol parsial Tidak terkontrol

Gejala siang hari Tidak pernah (

2/mg)

2kali/minggu 3 karakteristik

asma terkontrol

parsial terjadi

dalam minggu

tertentu

Gangguan aktivitas sehari-hari Tidak pernah Sesekali

Gejala malam hari/ terbangun

karena gejala asma

Tidak pernah (

2/mg)

Sesekali

Penggunaan obat pelega napas/

terapi asma lain

normal 2kali/minggu

Fungsi paru ( LEP atau VEP1) >80% nilai prediksi/

nilai personal

terbaik

60-80% nilai

prediksi/ nilai

personal terbaik

Eksaserbasi Tidak pernah 1 kali/ tahun 1 kali/ minggu

6

Page 7: fix-new

Terdapat juga parameter kontrol asma tervalidasi untuk memperkirakan

tingkat kontrol melalui skoring asma sebagai variabel kontinyu dan menyediakan

nilai numerik untuk membedakan tiap tingkatan kontrol asma. Contoh dari

parameter tervalidasi itu antara lain: Asthma Control Test/Tes Kontrol Asma, the

Childhood Asthma Control Test (C-ACT), the Asthma Control Questionnaire

(ACQ), the Asthma Therapy Assessment Questionnaire (ATAQ), dan Asthma

Control Scoring System. Dibawah ini adalah contoh pertanyaan Tes Kontrol

Asma.6

I.4 Diagnosis

Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

• Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, bersin, batuk

berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.

• Semua keluhan biasanya bersifat variasi diurnal, tetapi bisa saja terjadi

sembarang waktu, dapat timbul sewaktu kegiatan jasmani, atau musim tertentu

saja.

• Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit

alergi yang lain seperti rinitis alergi, ekzema, dermatitis atopik.

• Gejala berkurang dengan obat-obat anti-asma

• Adanya faktor pencetus serangan antara lain:

o Infeksi saluran napas, influenza.

o Pejanan terhadap alergen: debu, tungau, bulu binatang.

o Pejanan terhadap iritan: asap rokok, parfum, uap zat kimia, dll.

o Kegiatan jasmani.

o Ekspresi emosional: takut, marah, cemas, stres.

o Obat-obatan: aspirin, beta-blocker, NSAID.

o Bahan pengawet makanan: sulfit, dll.

o Lain-lain: haid, kehamilan, sinusitis.

2. Pemeriksaan fisik

7

Page 8: fix-new

Hasil temuan pemeriksaan fisik pada penderita asma tergantung dari

derajat obstruksi saluran napas.

- Keadaan umum: penderita tampak sesak nafas dan gelisah.

- Jantung: pekak jantung mengecil (hiperinflasi dada), takikardi.

- Paru:

• Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong

kebawah, pemakaian otot-otot bantu napas

• Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.

3. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan monitoring.

Tes fungsi paru

Terdapat dua metode terpercaya untuk mengetahui adanya penyempitan

saluran napas untuk pasien asma berusia lebih dari 5 tahun. Yang pertama

spirometri, untuk mengukur volume ekspirasi paksa detik 1 (VEP1) dan kapasitas

vital paksa (KVP). Yang kedua adalah pengukuran laju ekspirasi puncak (LEP).

Spirometri

Merupakan metode terpilih menegakkan diagnosis asma dengan mengukur

adanya limitasi aliran udara dan reversibilitasnya. Derajat reversibilitas nilai

VEP1 yang menunjang diagnosis asma adalah 12% dan 200 ml dari nilai

sebelum pemberian bronkodilator ( 2-agonis inhalasi aksi cepat). Terkadang

digunakan kombinasi beta adrenergik, teofilin, ataupun glukokortikoid untuk

jangka waktu 2-3 minggu untuk mengetahui reversibilitas.6,2 Pemeriksaan

hendaknya dilakukan dengan teknik yang benar oleh pasien serta diulangi pada

beberapa pemeriksaan karena beberapa pasien asma tidak menunjukkan

reversibilitas dalam waktu singkat.

Cakupan nilai normal hasil spirometri luas dan nilai prediksi kurang dapat

diandalkan pada pasien muda (<20 tahun) dan orang tua (>70 tahun), serta banyak

penyakit paru dapat menurunkan nilai VEP1 maka pemeriksaan limitasi aliran

udara dihitung dengan rasio VEP1/KVP, nilai normal antara) 0,75-0,80, pada

anak-anak mencapai 0,90. Hasil pemeriksaan lebih rendah dianggap adanya

limitasi saluran napas. Pemeriksaan spirometri juga penting untuk menilai berat

penyakit dan mengetahui efek pengobatan.

8

Page 9: fix-new

Uji laju ekspirasi puncak

Pengukuran laju ekspirasi puncak dapat membantu diagnosis dan

monitoring asma. Karena relatif murah, ringan, mudah dibawa, sangat cocok

digunakan untuk penilaian objektif derajat limitasi saluran napas di rumah.

Kelemahan pemeriksaan LEP antara lain memiliki nilai prediksi sangat luas

sehingga nilai pengukuran hendaknya dibandingkan dengan nilai tertinggi dari

pasien itu sendiri, mengesampingkan derajat obstruksi saluran napas, dan

memerlukan teknik yang benar. LEP hendaknya diukur pertama kali saat bangun

pagi sebelum medikasi dan terakhir sebelum tidur untuk mengetahui variasi

diurnal. Beberapa manfaat uji laju ekspirasi puncak:

• Konfirmasi diagnosis asma, adanya perbaikan nilai 20% atau 60L/menit

dibanding nilai pre-bronkodilator, atau variasi diurnal PEF 20% (dengan dua

kali tes, >10%) mengarah ke diagnosis asma.

• Memperbaiki kontrol asma terutama pada pasien yang kurang mengenali

gejala asma.

• Mengidentifikasi pencetus gejala asma (di kantor, rumah, aktivitas fisik)

dengan mengukur nilai LEP beberapa kali.

Uji provokasi bronkus

Digunakan untuk mengetahui adanya hiperreaktivitas bronkus apabila tes

fungsi paru normal. Uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani,

uadar dingin, larutan garam hipertonik, bahkan dengan akuadestilata. Penurunan

VEP1 sebesar 20 % dianggap bermakna.

Pemeriksaan sputum: untuk melihat eosinofil yang khas pada asma, juga

kristal Charcot Leyden, spiral Curschmann.

Pemeriksaan eosinofil total: kadar eosinofil darah sering meningkat pada

penderita asma, juga dapat membantu untuk membedakan dengan bronkitis

kronik. Dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup atau tidaknya

dosis steroid yang digunakan.

Uji kulit: tujuan untuk menunjukkan adanya antibodi Ig E spesifik dalam

tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis karena uji alergen positif tidak selalu

penyebab asma, demikian pula sebaliknya.

9

Page 10: fix-new

Foto dada: foto dada pasien asma yang tidak dalam serangan umumnya

normal. Saat eksaserbasi gambaran dapat menunjukkan keadaan hiperinflasi,

menyerupai pneumotoraks. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk

menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan kecurigaan proses

patologis maupun komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,

atelektasis.

I.5 Terapi asma bronkial

Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk:

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2. Mencegah eksaserbasi penyakit

3. Meningkatkan fungsi paru mendekati nilai normal dan mempertahankan nilai

tersebut

4. Mengusahakan tercapainya tingkat aktivitas normal, termasuk exercise

5. Menghindari efek samping karena obat

6. Mencegah kematian karena asma

Global Initiative For Asthma (GINA) merekomendasikan lima komponen

terapi yang saling terkait dalam penatalaksanaan asma antara lain:

1. Membina hubungan pasien-dokter.

Tujuan utamanya adalah agar pasien asma mampu mengenal dan mengontrol

penyakitnya sendiri dengan dipandu oleh tenaga kesehatan. Hubungan pasien-

dokter dapat dipererat melalui diskusi, edukasi, penetapan tujuan terapi bersama,

meningkatkan kemampuan pasien mengontrol penyakitnya, kajian berkala dari

dokter terkait terapi dan tingkat kontrol asma. Petugas kesehatan diharapkan

membantu pasien sehingga: dapat menghindari faktor risiko, menggunakan obat

dengan benar, mengetahui perbedaan antara obat pelega dan obat kontrol,

mengenali gejala asma yang memburuk dan mengambil tindakan yang tepat,

mencari bantuan medis apabila diperlukan.

2. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor risiko.

Serangan asma merupakan proses yang kompleks dan belum dipahami

sepenuhnya. Serangan mungkin disebabkan oleh banyak faktor risiko/pencetus

10

Page 11: fix-new

termasuk alergen, infeksi viral, polutan, serta obat-obatan. Identifikasi dini dari

agen pensensitasi diharapkan dapat meningkatkan kontrol asma dan mengurangi

kebutuhan obat antiasma.

3. Menilai, Mengobati, dan monitoring asma

Tujuan terapi asma untuk mencapai dan mempertahankan kontrol klinis asma

dapat dicapai melalui usaha:

Menilai kontrol asma, setiap pasien diharapkan mengetahui obat-obat

anti-asma yang sedang digunakannya, patuh terhadap pengobatan, mengetahui

tingkat kontrol asmanya (misal: tes kontrol asma. lihat Tabel 4).

Tabel 4. Tes Kontrol Asma

TES KONTROL ASMA

1

Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering penyakit asma menggangu Anda untuk

melakukan pekerjaan sehari-hari di kantor, di sekolah, atau di rumah?

NILAI

selalu

4x/mgg 1

Sering

2-3x/mgg

2

Kadang2

1x/mgg 3

Jarang

(1x/mgg) 4

Tidak pernah

5

2Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering Anda mengalami sesak napas?

1x sehari

1

Sekali sehari

2

3-6 kali semgg

3

1-2 kali

semmg 4

Tidak pernah

5

3

Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering gejala asma (batuk-batuk, nyeri dada, atau

rasa tertekan di dada) menyebabkan Anda terbangun di malam hari atau lebih awal

dari biasanya?

4x dlm

semgg 1

2-3x /mgg

2

Sekali semgg

3

1-2x sebulan

4

Tidak pernah

5

4Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering Anda menggunakan obat semprot atau obat

makan (tablet/sirup) untuk melegakan napas?

3x sehari 1 1-2 x sehari 2 2-3x semgg 3 1x/mgg 4 Tidak pernah 5

5

Bagaimana Anda sendiri menilai tingkat kontrol asma Anda dalam 4 minggu

terakhir?

Tidak Kurang Cukup Terkontrol Terkontrol

11

Page 12: fix-new

terkontrol sama

sekali 1

terkontrol

2

terkontrol

3

baik

4

sepenuhnya

5

Total:

Intepretasi hasil skoring tes kontrol asma5

20 : terkontrol baik

16-19 : kurang terkontrol baik (terkontrol parsial)

15 : tidak terkontrol

Mengobati untuk mencapai tingkat kontrol yang diharapkan, obat-

obatan antiasma yang sedang digunakan dan tingkat kontrol asma akan

mempengaruhi pemilihan farmakologis. Pasien dikelompokkan menjadi lima

tahapan pengobatan. Pada tiap tahap pengobatan diperlukan obat pelega napas

aksi cepat (bronkodilator, baik efek singkat maupun lama) sebagai penghilang

gejala asma. Akan tetapi, penggunaan bronkodilator yang sering mencerminkan

tingkat kontrol asma yang buruk dan mengindikasikan bahwa obat-obat kontrol

harus ditingkatkan.

Pengawasan/Monitoring untuk mempertahankan kontrol

Pengawasan berkala penting untuk mempertahankan kontrol dan menjaga

tahap dan dosis terapi pada titik terendah untuk meminimalisir biaya dan

meningkatkan keamanan. Idealnya, pasien asma harus kembali kontrol satu–tiga

bulan setelah kunjungan pertama, lalu tiap tiga bulan setelahnya. Setelah

mengalami serangan asma, pemantauan hendaknya dilakukan antara 2 minggu-

sebulan kemudian.

Durasi dan Penyesuaian terapi:

Perbaikan dengan obat kontrol dimulai sejak pemberian pertama kali tetapi

efek optimal dirasakan setelah 3-4 bulan bahkan lebih pada asma kronik berat.

Penurunan dan peningkatan tahap terapi:

• jika asma tidak terkontrol dengan regimen terapi sekarang, tahap terapi

ditingkatkan. Perbaikan umumnya dapat dirasakan dalam waktu 1 bulan.

Tetapi perlu evaluasi tingkat kepatuhan pasien, teknik pengobatan, dan

menghindari faktor risiko.

• jika asma hanya terkontrol parsial, pertimbangkan untuk menaikkan tahap

terapi, dengan pertimbangan adakah terapi lain yang lebih efektif,

12

Page 13: fix-new

keamanan dan biaya, juga kepuasan pasien dengan tingkat kontrolnya saat

ini.

• jika kontrol dapat dipertahankan selama 3 bulan, turunkan tahap terapi

secara perlahan-lahan. Tujuannya adalah mempertahankan kontrol

menggunakan obat-obatan sesedikit mungkin.

Pengawasan tetap diperlukan walau kontrol telah tercapai karena asma adalah

penyakit yang variabel, penyesuaian terapi dibutuhkan untuk mengatasi

perburukan gejala dan serangan yang mungkin terjadi.

4. Penatalaksanaan eksaserbasi asma

Serangan asma adalah episode yang ditandai peningkatan progresif gejala

sesak, batuk, mengi, rasa sempit dada, atau kombinasi gejala-gejala tersebut.

Serangan asma berat dapat mengancam jiwa pasien, pengobatannya membutuhkan

pengawasan ketat. Pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami kematian

akibat asma adalah pasien dengan riwayat:

• asma fatal sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis,

• pernah masuk RS atau IRD karena asma satu tahun terakhir ini,

• pemakaian KS oral atau baru saja berhenti,

• tidak menggunakan KS inhalasi,

• terlalu tergantung dengan penggunaan agonis 2 inhalasi aksi cepat

(lebih dari 2 botol/ bulannya),

• penyakit psikiatrik dan masalah psikososial, termasuk pengguna

sedativa,

• ketidakpatuhan dengan rencana terapi asmanya.

Pasien harus segera dibawa ke Rumah Sakit apabila:

• Serangan asma berat

o Pasien sesak saat istirahat, bicara kata per kata, agitasi, bingung,

bradikardi, laju napas >30x/menit.

o Bunyi mengi keras atau tidak terdengar lagi.

o Nadi > 120x/m (>160x/m untuk balita).

o PEF < 60% dari prediksi atau nilai terbaik, bahkan setelah terapi awal.

13

Page 14: fix-new

o Pasien tampak kelelahan.

• Respon lambat terhadap bronkodilator (3 jam).

• Tidak ada perbaikan setelah 2-6 jam terapi KS oral.

• Terdapat perburukan lainnya.

Serangan asma membutuhkan terapi adekuat meliputi:

• Agonis 2 inhalasi aksi cepat (2-4 puff/20menit/satu jam I; serangan

sedang 6-10 puff/ 1-2 jam; serangan ringan 2-4 puff/3-4 jam)

• KS oral (0,5-1 mg prednisolon/kgBB atau ekuivalen dalam 24 jam)

• Oksigen jika pasien hipoksemia (sampai saturasi 95%)

• Kombinasi agonis 2/ terapi antikolinergik

• Metilxantin digunakan bila agonis 2 inhalasi tidak tersedia. Bila teofilin

digunakan kadar dalam serum harus diawasi.

Menurut Gina 2002, pengelolaan asma saat serangan dibagi menjadi dua

bagian, yaitu:

1. Pengelolaan serangan asma di rumah

Bila serangannya masih ringan sehingga dapat diatasi di rumah

saja. Pengelolaan serangan asma di rumah disajikan dalam bentuk

algoritma, seperti terlihat pada gambar 1. Pada prinsipnya segera diberikan

bronkodilator kerja cepat kalau bisa dalam bentuk inhalasi (inhaler /

turbohaler / siklohaler). Dapat diberikan obat salbutamol, fenoterol,

prokaterol, atau terbutalin dan bila batuk menonjol ditambahkan golongan

Kolinergik (Atroven). Sebaiknya dikombinasikan dengan kortikosteroid

inhalasi atau kalau perlu peroral bila serangan berat.

Gambar 1. Pengelolaan serangan asma di rumah

14

Penilaian beratnya serangan:Batuk, sesak nafas, mengi, otot pernafasan tambahan, retraksi suprasternal, dan gangguan tidur. APE<80% perkiraan.

Pengobatan awal:Inhalasi agonis β2 kerja singkat tidak lebih dari 3 kali dalam 1 jam.(Pasien dengan risiko tinggi berupa asthma related death harus menemui dokter segera setelah mendapat pengobatan awal)

Gejala berkurang setelah pengobatan awal dan tidak terjadi serangan ulang selama 4 jamAPE>80% perkiraanTindakan:* β2 agonis diterus-kan

tiap 3-4 jam selama 1-2 hari.

* Hubungi dokter untuk intruksi lebih lanjut.

Respon baik bila

Gejala menetap atau memburuk walaupun telah mendapat pengobatan awal dengan β2 agonisAPE<60% perkiraan Tindakan:* Tambahkan tablet atau

sirup kortiko-steroid* Ulangi pemberian β2

agonis segera* Secepatnya dibawa ke

unit gawat darurat di rumah sakit.

Respon tidak sempurna bila Respon buruk bila

Gejala berkurang tapi timbul lagi dalam waktu kurang dari 3 jam setelah pengo-batan awal.Tindakan:* Tambahkan tablet atau

sirup kortiko-steroid* Teruskan β2 agonis* Hubungi dokter segera

untuk mem-peroleh petunjuk

Page 15: fix-new

2. Penanganan asma di rumah sakit

Seperti terlihat pada algoritma yang dianjurkan pada gambar 2.

Metoda terbaru pemberian obat bronkodilator secara nebulizer dengan alat

khusus (electric nebulizer) atau non elektrik memakai jet nebulizer yang

digabung dengan oksigen melalui O2. Pemberian bronkodilator dapat

diberikan tiga kali dalam waktu 1 jam.

3. Serangan Eksaserbasi asma berat.

Dulu status asmatikus didefinisikan sebagai serangan eksaserbasi

asma yang berat yang tidak dapat diatasi dengan obat-obat yang biasa

diberikan untuk serangan berat. Susahnya pada definisi ini tidak jelas

artinya obat-obat yang biasa diberikan. Obat biasanya diberikan dulu

adalah epinephrin dan atau aminofilin. Sekarang yang biasa diberikan

adalah β2 agonis dan kortikosteroid. Ini adalah salah satu sebab mengapa

istilah status asmatikus sudah ditinggalkan. Dibagian Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran UNSRI / RSMH Palembang dikatakan penderita

serangan asma berat apabila penderita yang telah diberikan nebulizer β2

agonis 3 kali pemberian dalam satu jam atau adrenaline tiga kali

pemberian, infus aminofilin, kemudian ditunggu satu jam ternyata

penderita masih tetap sesak nafas.

Gambar 2. Global strategy for Asthma Management and Prevention (2002),

algoritma penanganan asma di rumah sakit.

15

Penilaian awal:* Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas,

APE atau FEV, analisis gas darah pada pasien berat dan pemeriksaan lain jika diperlukan).

Page 16: fix-new

Dari algoritma Penanganan Serangan Asma di Rumah Sakit tersebut

terlihat bahwa hasil akhir dari penanganan asma tersebut adalah :

1. Penderita dipulangkan.

2. Penderita di rawat di Rumah Sakit

3. Penderita di rawat di ICU/Ruang Intensif.

16

Pengobatan awal:* Inhalasi β2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam.* Oksigen 4-6 1/menit untuk mencapai saturasi O2

3 90% (95% untuk anak-anak).* Kortikosteroid sistemik, Hidrokortison 100-200 mg atau Metil Prednisolon i.v. bila tidak ada respon segera

atau jika pasien sedang mendapat steroid per oral atau episode yang berat. * Sedatif merupakan kontraindikasi pada penanganan serangan aku / eksaserbasi.

Ulangi penilaian APE, saturasi O2 pemeriksaan lain bila diperlukan

Episode serangan berat:* APE<60% perkiraan / nilai terbaik* Pemeriksaan fisik: gejala berat saat istirahat,

retraksi dinding dada.* Riwayat: pasien risiko tinggi* Tak ada perbaikan setelah pengobatan awal.* Inhalasi β2 agonis tiap jam atau kontinu dengan

atau tanpa inhalasi antikolinergik.* Oksigen.* Kortikosteroid sistemik.* Pertimbangkan β2 agonis S.C., I.M., atau I.V.

Episode serangan sedang:* APE 50-70% dari nilai yang diperkirakan atau

nilai terbaik.* Pemeriksaan fisik: asma sedang, otot bantu

pernafasan.* Inhalasi β2 agonis tiap 60 menit.* Teruskan pengobatan 1-3 jam.

Respon tidak sempurna dalam 1-2jam:- Riwayat: pasien risiko

tinggi.- PF: gejala ringan-sedang.- Saturasi O2 tidak membaikDirawat di RS:- Inhalasi β2 agonis +

inhalasi antikolinergik.- Kortikosteroid sistemik.- Oksigen.- Pertimbangkan aminofilin

I.V.- Pantau APE, saturasi O2

nadi, teofilia.

Respon baik:- Respon bertahan selama 60

menit setelah terapi terakhir.- Pemeriksaan fisik normal.- APE > 70 %.- Tidak ada distress.- Saturasi O2 >90% (95 %

pada anak-anak).Dipulangkan:- Teruskan pengobatan dengan

inhalasi β2 agonis. - Pertimbangkan kortikosteroid

peroral.- Pendidikan pasien: minum

obat secara teratur, tinjau rencana kerja, follow up ketat.

Respon buruk dalam 1 jam- Riwayat pasien risiko tinggi.- PF: gejala berat, mengantuk

dan bingung.- APE < 30 %.- PCO2 > 45 mmHg.- PO2 < 60 mmHgRawat di ICU:.- Inhalasi β2 agonis + inhalasi

antikolinergik.- Kortikosteroid intravena- Pertimbangkan β2 agonis S.C.,

I.M./ I.V.- Oksigen.- Aminofilia i.v.- Intubasi dan ventilasi mekanik

Dipulangkan:Jika APE>70% perkiraan / nilai terbaik dua bertahan dengan pengobatan peroral/inhalasi selama minimal 60 menit.

Rawat di ICU:Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 6-12 jam

Membaik Tidak membaik

Page 17: fix-new

Jadi penderita yang mendapat Serangan Eksaserbasi Asma yang sangat berat

adalah penderita yang harus dirawat di Rumah Sakit termasuk yang harus ke

ICU/Ruang intensif.

Terapi utama baik di ruang gawat darurat maupun di ruang rawat terdiri dari

oksigen, agonis beta 2 (Nebulizer/Inhaler) dan kartikosteroid sistemik. Oksigen

diberikan bila terjadi hipoksemia yang nyata dari pada pasien yang mempunyai

APE atau VEP1 kurang dari 50%. Obat untuk asma akut terdiri dari :

1. Oksigen

Dianjurkan untuk kebanyakan penderita sampai saturasi oksigen mencapai

>90% atau > 95% untuk wanita hamil dan penderita yang disertai penyakit

jantung. Pemantauan saturasi oksigen sampai respons terhadap bronkodilator

sangat nyata.

2. Agonis beta 2 hirup

Inhalasi agonis beta 2 dianjurkan untuk semua penderita.3 Di ruang gawat

darurat diberikan inhalasi setiap 20 menit sanpai 3 kali. Pemberian selanjutnya

tergantung respons terapi awal tadi. Selain dengan nebulizer, bronkodilatasi

juga dapat dikerjakan dengan MDI (metered dose inhaler) yang dilengkapi

spacer sebanyak 6-12 semprot setiap kali.3,4,7 Umumnya terapi dengan

nebulizer lebih efektif pada penderita yang sukar memakai MDI.

Suntikan agonis beta 2 tidak dianjurkan selama tersedia agonis beta 2

(Nebulizer/Inhaler). Suntikan agonis beta 2 diberikan 0,3 cc subkutan, 2-3 x

setiap 20 menit, selanjutnya setiap 6 jam, bila pasien tidak bisa dipasang

Nebulizer/Inhaler (di ICU dimana Ventilator terpasang).

3. Antikolinergik

Pemberian ipratropium bromida 250-500 μg pada cairan yang telah

mengandung agonis beta 2, dapat menambah bronkodilatasi terutama pada

penderita dengan obstruksi yang berat. Ipratropium dapat diberikan setiap 4-6

jam.

4. Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid sistemik direkomendasikan pada hampir semua penderita. Di

ruang gawat darurat kortikosteroid diberikan kepada penderita asma akut

17

Page 18: fix-new

sedang sampai berat dan penderita yang memberikan respons tidak optimal

dengan terapi awal agonis beta 2. hasil pemberian kortikostreoid oral tidak

berbeda dengan pemberian terapi intravena. Di ruang rawat kortikostreoid

sistemik diberikan karena mempercepat penyembuhan serangan asma akut.

Dosis kortikostreoid sangat bervariasi, terapi oral 40-60 mg perhari setara

prednisolon sampai 4 kali 125 mg metilprednisolon perhari.4 Terapi parenteral

berlangsung 2-3 hari, untuk selanjutnya dipindahkan ke terapi oral sepanjang

pemantauan ketat, tidak diperlukan tappering off selama pemberian

kortikostreoid kurang dari 1 minggu.

5. Epinefrin atau adrenalin

Epinefrin atau adrenalin baru boleh diberikan bila agonis beta 2 baik

Nebulizer/Inhaler maupun suntikan tidak tersedia. Pada anafilaksis dan

angioedema epinefrin merupakan obat utama. Dosis epinefrin 0,3 cc subkutan

dapat diberikan setiap 20 menit sampai 3 kali.

6. Aminofilin :

- Di ruang gawat darurat aminofilin tidak dianjurkan karena umumnya tidak

akan menambahkan bronkodilatasi yang sudah dicapai oleh terapi awal

agonis beta 2, bahkan hanya akan menambah efek samping.

- Pemakaian teofilin di ruang rawat masih kontroversi.

- Dosis awal aminofilin intravena sebagai bolus 5 mg/kgBB bila 24 jam

sebelumnya tidak mendapatkan teofilin. Dosis pemeliharaan 0,5-0,6

mg/kgBB/jam dalam infus.

- Sebaiknya kadar teofilin serum dipantau untuk menghindari efek toksik.

7. Obat-obat / cara yang lain

- Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder.

- Mukolitik diragukan manfaatnya.

- Obat sedatif/hipnotik tidak boleh diberi karena bisa memperburuk

asmanya.

- Antihistamin tidak mempunyai tempat pada serangan asma.

- Fisioterapi tidak bermanfaat pada serangan asma.

- Hidrasi yang berlebihan tidak memberikan manfaat.

18

Page 19: fix-new

Penilaian Ulang

Penilaian ulang penderita dilakukan setelah pemberian terapi awal selesai (60-

90 menit) setelah terapi awal dimulai. Respons terapi awal diruang gawat darurat

menentukan apakah selanjutnya penderita dirawat. Penilaian awal tersebut

meliputi kesan subyektif penderita, pemeriksaan fisik, pengukuran APE, dan

analisis gas darah. Selanjutnya seperti terlihat pada gambar 2. apakah penderita

akan selanjutnya dirawat atau bahkan masuk ruang perawatan intensif.

Perawatan Inap

Kebutuhan untuk merawat penderita diambil berdasarkan lama dan beratnya

serangan asma, beratnya obstruksi saluran nafas, riwayat berat dan perjalanan

serangan sebelumnya, obat-obat yang dipakai pada serangan sekarang, fasilitas

perawatan, dukungan keluarga, kondisi rumah serta adanya gangguan psikiatrik.

Prinsip perawatan di ruang rawat pada dasarnya sama dengan diruang gawat

darurat, yang meliputi terapi oksigen, bronkodilator, kortikosteroid sistemik, dan

penilaian serta pemantauan yang lebih sering terhadap gejala, kelelahan maupun

fungsi paru.

Penderita sebaiknya dirawat bila :

- Respons terhadap terapi awal tidak memuaskan setelah 1-2 jam pengobatan.

- Terdapat obstruksi berat yang menetap (APE < 40% nilai prediksi/nilai

terbaik)

- Riwayat serangan asma berat sampai dirawat.

- Terdapat faktor risiko kematian.

- Gejala asma yang berkepanjangan sebelum mengunjungi ruang gawat darurat.

- Jalan menuju fasilitas pengobatan tidak adekuat.

- Kesulitan memperoleh transportasi dari rumah ke rumah sakit bila keadaan

memburuk.

- Kondisi rumah yang tidak memadai.

I.6 Komplikasi asma bronkial

Penumothoraks

Pneumomediastinum dan emfisema subkutis

19

Page 20: fix-new

Atelektasis

Aspergilosis bronkopulmoner alergik

Gagal nafas

Bronkitis

Fraktur costae

B. Tuberkulosis

B.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberkulosis.

B.2 Epidemiologi

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 – 3

juta setiap tahun. Indonesia masih menempati urutan ke-3 di dunia untuk jumlah

kasus TB setelah India dan Cina. Setiap satu menit muncul satu penderita baru TB

paru. Setiap dua menit muncul satu penderita TB paru yang menular. Setiap empat

menit satu orang meninggal akibat TB di Indonesia.

Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian

akibat TB. Di Indonesia, TB adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit

menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung

dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.

B.3 Klasifikasi

TB Paru adalah TB yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

- Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)

TB paru dibagi atas:

i. TB paru BTA (+) adalah:

- Minimal 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA (+)

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+)

dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran TB aktif.

- Hasil pemeriksaan 1 spesimen dahak menunjukkan BTA(+)

dan biakan (+).

20

Page 21: fix-new

ii. TB paru BTA (-)

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-),

gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan

tuberkulosis aktif.

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan

biakan M. tuberculosis positif.

- Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

- Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat

pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT

kurang dari satu bulan.

- Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian

kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA

positif atau biakan positif.

- Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah

menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2

bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya

selesai.

- Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif

atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan

sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

- Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA

masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan

pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

- Kasus bekas TB

o Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif

bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan

21

Page 22: fix-new

gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat

akan lebih mendukung.

o Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan

telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto

toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

TB Ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,

saluran kencing, dan lain-lain.

B.4 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan

penunjang lainnya.

Gejala klinis

Gejala klinis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan sistemik.

Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori

(gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

1. Gejala respiratori

o batuk ≥ 2 minggu

o batuk darah

o sesak napas

o nyeri dada

2. Gejala sistemik

o demam (biasanya subfebril menyerupai demam influenza yang

bersifat hilang timbul)

o malaise

o keringat malam

o anoreksia

o berat badan menurun

Pemeriksaan Fisis

22

Page 23: fix-new

Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ

yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan

struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit sekali

menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus

superior dan inferior, di daerah apeks. Dapat ditemukan suara napas bronkial,

amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,

diafragma, dan mediastinum.

Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi

redup, auskultasi suara napas bronkial, ronki basah, kasar, dan nyaring. Akan

tetapi jika infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, auskultasi menjadi vesikuler

melemah. Bila ada kavitas cukup besar, perkusi hipersonor atau timpani dan

auskultasi amforik.

TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan

retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi ciut dan menarik isi

mediastinum atau paru lainnya. Bila fibrosis lebih dari setengah jumlah jaringan

paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran paru, dan selanjutnya hipertensi

pulmonal diikuti terjadinya tanda-tanda korpulmonal dan gagal jantung kanan.

Jika TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit

terlihat agak tertinggal dalam pernapasan, perkusi pekak, dan auskultasi suara

napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.

Pemeriksaan Bakteriologi

Bahannya berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinalis, bilasan

bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feces, dan jaringan

biopsi. Pemeriksaan sputum paling penting karena dengan ini diagnosis pasti TB

dapat ditegakkan. Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapatkan sputum,

karena pasien tidak batuk atau batuk non produktif. Oleh karena itu, dianjurkan

satu hari sebelumnya, pasien minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan

melakukan reflex batuk. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan bilasan

bronkus atau bilasan lambung, biasanya pada anak-anak karena mereka sulit

mengeluarkan dahak.

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan bila:

23

Page 24: fix-new

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif

1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian:

bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif

bila 3 kali negatif BTA negatif

Pemeriksaan Radiologi

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan

dapat dinyatakan sebagai berikut:

Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru

dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan, serta tidak dijumpai kavitas.

Lesi sedang, lesi terdapat pada 1 atau 2 paru dengan luas total tak melebihi

batas sebagai berikut:

o Lesi dengan sensitas sedang, luas seluruh lesi tidak melebihi satu

volume paru

o Lesi dengan densitas tinggi/konfluen, luas seluruh lesi tidak melebihi

luas 1/3 paru

o Bila ada kavitas ukurannya tak melebihi 4 cm.

Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi derajat sedang.

Regimen Pengobatan Berdasarkan Kategori (WHO / Depkes RI)

Kategori Kriteria penderitaFase awal Fase

lanjutan

I Kasus baru BTA (+) Kasus baru BTA (-) Ro (+) sakit berat Kasus TBEP berat

2 RHZE (RHZS)2 RHZE (RHZS)2 RHZE (RHZS)*

6 EH4 RH4 R3H3*

II Kasus BTA positif Kambuh Gagal Putus berobat

2 RHZES / 1 RHZE2 RHZES / 1 RHZE*

5 RHE5 R3H3E3*

III Kasus baru BTA (-) TBEP ringan

2 RHZ (E)2 RHZ (E)2 RHZ* (E)

6 EH4 RH4 R3H3*

24

Page 25: fix-new

IV Kasus kronik Obat-obat sekunder

* Yang diterapkan di Indonesia

BAB II

LAPORAN KASUS

II.1 IDENTIFIKASI

• Nama : Ny. NP

• Umur : 29 tahun

• Jenis kelamin : Perempuan

25

Page 26: fix-new

• Alamat : Jl. Ki Marogan

• Status : Menikah

• Pekerjaan : Buruh

• Agama : Islam

• MRS : 14 Mei 2013

• Rekam Medis : 375436

II.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis, tanggal 14 Mei 2013)

Keluhan utama

Sesak nafas yang bertambah parah sejak ± 3 hari SMRS.

Keluhan tambahan

Batuk berdahak.

Riwayat perjalanan penyakit

Sejak ± 3 bulan SMRS, pasien sering mengeluh sesak nafas. Sesak nafas

terutama dirasakan saat aktivitas berat. Sesak nafas dipengaruhi juga oleh posisi,

cuaca dingin, dan debu. Sesak disertai suara mengi. Gejala ini dirasakan hampir

setiap hari. Sesak pada malam hari dirasakan pasien terjadi ± 2 kali per minggu.

Pasien lebih nyaman menggunakan bantal tinggi saat tidur. Pasien juga mengeluh

batuk berdahak, jumlah dahak ± 1 sendok makan tiap kali berdahak, dahak

berwarna putih, dan darah tidak ada. Demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual

dan muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, serta keringat di malam hari tidak

ada. Buang air besar dan buang air kecil seperti biasa. Kemudian, pasien berobat

ke RS Paru Palembang dan dikatakan menderita asma. Pasien diberi obat

salbutamol 3x1 tab, cefadroxil 2x500 mg, dan ranitidin 2x1 tab. Keluhan yang

dirasakan pasien pun berkurang. Pasien kontrol rutin ke RS Paru dan diberikan

obat yang sama.

Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengeluh sesak nafas bertambah parah.

Sesak nafas dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dingin, dan debu. Sesak nafas sudah

dirasakan, walaupun pasien hanya beraktivitas ringan. Sesak disertai suara mengi.

26

Page 27: fix-new

Pasien juga mengeluh batuk berdahak, jumlah dahak ± 2 sendok makan tiap kali

berdahak, dahak berwarna putih, darah tidak ada. Pasien meminum obat yang

biasa diminum, namun keluhan tidak berkurang. Pasien merasa nyaman saat

duduk atau tidur dengan menggunakan bantal yang tinggi. Pasien juga sulit dalam

berbicara. Demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual dan muntah tidak ada,

nyeri ulu hati tidak ada, serta keringat di malam hari tidak ada. Buang air besar

dan buang air kecil seperti biasa. Nafsu makan menurun, namun berat badan

menurun drastis tidak ada. Kemudian, pasien berobat ke RSUD Bari Palembang.

Riwayat penyakit dahulu:

a. Riwayat penyakit asma sebelumnya ada, sejak 20 tahun yang lalu. Pasien

juga pernah dirawat di rumah sakit karena serangan asma.

b. Pada tahun 2010, pasien didiagnosis menderita penyakit TB paru,

kemudian pasien diberi OAT selama 9 bulan, dan telah dinyatakan

sembuh.

c. Riwayat bersin-bersin di pagi hari serta alergi debu, dingin, dan makanan

ada.

d. Riwayat merokok disangkal.

e. Riwayat darah tinggi disangkal.

f. Riwayat penyakit jantung disangkal.

g. Riwayat trauma pada hidung, leher, dan dada disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

a. Riwayat penyakit asma dalam keluarga ada, yakni kakek dari ayah pasien.

b. Riwayat penyakit TB paru dalam keluarga disangkal.

II.3 PEMERIKSAAN FISIK (14 Mei 2013)

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Dehidrasi : (-)

27

Page 28: fix-new

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan : 26 x/menit

Suhu : 36,80 C

Berat badan : 38 kg

Tinggi badan : 155 cm

Keadaan spesifik

Kulit

Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), scar

(-), keringat umum (-), keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan kaki

(-), pertumbuhan rambut normal.

KGB

Tidak ada pembesaran KGB pada daerah aksila, leher, inguinal, dan submandibula

serta tidak ada nyeri tekan pada daerah tersebut.

Kepala

Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, dan deformitas (-).

Mata

Eksoftalmus dan endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat

(-), sklera ikterik (-), pupil bulat, isokor, refleks cahaya normal, diameter 3 mm/3

mm, pergerakan mata baik ke segala arah.

Hidung

Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,

tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung (+).

Telinga

Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-), pendengaran baik.

28

Page 29: fix-new

Mulut

Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah

(-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan.

Leher

Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5-2) cmH O, kaku kuduk (-).

Thoraks

Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

Pulmo

I :

P:

P:

A:

Statis dan dinamis simetris kanan dan kiri, retraksi (+) suprasternal

dan supraclavicular.

Stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri.

Sonor pada kedua lapangan paru.

Vesikuler (+) normal. Ronkhi (-). Wheezing (+) ekspirasi.

Cor

I :

P:

P:

A:

Iktus kordis tidak terlihat.

Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).

Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis dekstra,

batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS V.

HR = 82 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)

Abdomen

I :

P:

P:

Datar, venektasi (-)

Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor

kulit normal.

Timpani

29

Page 30: fix-new

A: Bising usus (+) normal

Genitalia : tidak diperiksa

Extremitas superior :

Tonus normal, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan

parut (-), pigmentasi normal, akral hangat, jari tabuh (-), turgor kembali cepat,

CRT < 2 detik, clubbing finger (-).

Extremitas inferior :

Tonus normal, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema pretibial (-),

jaringan parut (-), pigmentasi normal, akral hangat, jari tabuh (-), turgor kembali

cepat, CRT < 2 detik, clubbing finger (-).

II. 4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (14 Mei 2013)

Hematologi:

1) Hemoglobin : 13,8 g/dl ( N: 12-14 g/dl )

2) Leukosit : 10.300 /mm3 ( N: 5000-10000/ mm³ )

3) Trombosit : 352.000 /mm3 ( N: 150.000-400.000/ mm³ )

4) Hematokrit : 43 vol% ( N: 37-43 vol% )

5) Diff. Count :

- Basofil : 0 ( N: 0-1 )

- Eosinofil : 1 ( N: 1-3 )

- Batang : 1 ( N: 2-6 )

- Segmen : 90 ( N: 50-70 )

- Limfosit : 6 ( N: 20-40 )

- Monosit : 2 ( N: 2-8 )

Kimia Klinik:

1) BSS : 137 mg/dl

2) Bilirubin Total : 0,5 mg/dl ( N: < 1,1 mg/dl )

30

Page 31: fix-new

3) Bilirubin Direk : 0,1 mg/dl ( N: < 0,35 mg/dl )

4) Bilirubin Total : 0,4 mg/dl ( N: < 0,75 mg/dl )

5) SGOT : 29 U/l ( N: < 31 U/l )

6) SGPT : 15 U/l ( N: < 31 U/l )

7) Protein Total : 7,2 g/dl ( N: 6,7-8,7 g/dl )

8) Albumin : 3,8 g/dl ( N: 3,8-5,1 g/dl )

9) Globulin : 4,0 g/dl ( N: 1,5-3,0 g/dl )

10) Ureum : 40 mg/dl ( N: 20-40 mg/dl )

11) Creatinin : 1,2 mg/dl ( N: 0,6-1,1 mg/dl )

12) Uric acid : 3,8 mg/dl ( N: 2,4-5,7 mg/dl )

13) Natrium : 144 mmol/l ( N: 135-155 mmol/l )

14) Kalium : 4,29 mmol/l ( N: 3,5-5,5mmol/l )

Rontgen Thoraks (13-05-2013)

Hasil Ekspertise (20-05-2013)

Cor : Tidak ada kelainan

Pulmo : Tampak perselubungan di suprahiller dexta

Kesan : Cenderung KP aktif

Gambar. Rontgen Thoraks Pasien

31

Page 32: fix-new

II.5 DIAGNOSIS BANDING

- Asma bronkial

- Tuberkulosis paru kasus kambuh

- Bronkitis kronis

- Emfisema paru

II.6 DIAGNOSIS KERJA

Serangan asma bronkial sedang pada asma persisten sedang + suspek

tuberkulosis paru kasus kambuh

II.7 PENATALAKSANAAN

Terapi non farmakologis

o Memberikan informasi mengenai penyakit asma yang diderita

pasien, berat / ringan penyakit asmanya, berat / ringan serangan

asmanya serta pengelolaan yang dianjurkan.

o Mengedukasi pasien untuk mengidentifikasi dan mengurangi

paparan terhadap faktor pencetus penyakit serta dapat

mengendalikan stres.

o Memberikan informasi agar pasien dapat memahami dan

memantau pengobatan pencegahan asma jangka panjang serta

rencana pengobatan emergensi untuk mengatasi serangan asma

yang mendadak (eksaserbasi akut asma).

o Memberikan informasi mengenai penyakit TB paru yang

kemungkinan diderita pasien lagi dan membutuhkan pengobatan

ulangan yang cukup lama.

o Menganjurkan olahraga secara teratur untuk meningkatkan

kebugaran badan (physical fitness).

o Melakukan kontrol teratur kepada dokter.

Terapi farmakologis

o O2 4-6 L/m

32

Page 33: fix-new

o Nebulisasi salbutamol kortikosteroid sistemik

o IVFD RL XX gtt/menit

o Ambroxol syrup 3x1 C

o Retaphyl 2 x ½ tab

o Rencana terapi OAT kategori II (2 RHZES/1 RHZE – 5 RH3Z3E)

II.8 RENCANA PEMERIKSAAN

Cek sputum BTA

II.9 PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

BAB III

RESUME KASUS

Seorang perempuan berinisial Ny. NP, berumur 29 tahun, MRS 14 Mei

2013 dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah parah sejak ± 3 hari

SMRS dan keluhan tambahan batuk berdahak.

Sejak ± 3 bulan SMRS, pasien sering mengeluh sesak nafas. Sesak nafas

terutama dirasakan saat aktivitas berat. Sesak nafas dipengaruhi juga oleh posisi,

cuaca dingin, dan debu. Sesak disertai suara mengi. Gejala ini dirasakan hampir

setiap hari. Sesak pada malam hari dirasakan pasien terjadi ± 2 kali per minggu.

Pasien lebih nyaman menggunakan bantal tinggi saat tidur. Pasien juga mengeluh

batuk berdahak, jumlah dahak ± 1 sendok makan tiap kali berdahak, dahak

berwarna putih, dan darah tidak ada. Demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual

dan muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, serta keringat di malam hari tidak

ada. Buang air besar dan buang air kecil seperti biasa. Kemudian, pasien berobat

33

Page 34: fix-new

ke RS Paru Palembang dan dikatakan menderita asma. Pasien diberi obat

salbutamol 3x1 tab, cefadroxil 2x500 mg, dan ranitidin 2x1 tab. Keluhan yang

dirasakan pasien pun berkurang. Pasien kontrol rutin ke RS Paru dan diberikan

obat yang sama.

Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengeluh sesak nafas bertambah parah.

Sesak nafas dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dingin, dan debu. Sesak nafas sudah

dirasakan, walaupun pasien hanya beraktivitas ringan. Sesak disertai suara mengi.

Pasien juga mengeluh batuk berdahak, jumlah dahak ± 2 sendok makan tiap kali

berdahak, dahak berwarna putih, darah tidak ada. Pasien meminum obat yang

biasa diminum, namun keluhan tidak berkurang. Pasien merasa nyaman saat

duduk atau tidur dengan menggunakan bantal yang tinggi. Pasien juga sulit dalam

berbicara. Demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual dan muntah tidak ada,

nyeri ulu hati tidak ada, serta keringat di malam hari tidak ada. Buang air besar

dan buang air kecil seperti biasa. Nafsu makan menurun, namun berat badan

menurun drastis tidak ada. Kemudian, pasien berobat ke RSUD Bari Palembang.

Pasien sebelumnya pernah didiagnosis menderita asma sejak 20 tahun

yang lalu dan pasien juga pernah dirawat di rumah sakit karena serangan asma.

Pada tahun 2010, pasien juga pernah didiagnosis menderita penyakit TB paru,

kemudian pasien diberi OAT selama 9 bulan, dan telah dinyatakan sembuh.

Pasien juga mempunyai riwayat bersin-bersin di pagi hari serta alergi debu,

dingin, dan makanan. Riwayat penyakit asma dalam keluarga pasien ada, yakni

kakek dari ayah pasien.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan usaha bernafas seperti

peningkatan frekuensi pernafasan serta retraksi suprasternal dan supraclavicular.

Selain itu, terdapat wheezing (+) ekspirasi.

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 10.300 /mm3 dan

differential count 0/1/1/90/6/2. Hasil ekspertise rontgen thoraks (20-05-2013)

didapatkan tidak ada kelainan pada cor dan tampak perselubungan di suprahiller

dextra. Kesan cenderung KP aktif.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan

diagnosis banding kasus, yakni asma bronkial, tuberkulosis paru kasus kambuh,

34

Page 35: fix-new

bronkitis kronis, dan emfisema paru. Diagnosis kerja kasus ini adalah serangan

asma sedang pada asma persisten sedang + suspek tuberkulosis paru kasus

kambuh. Pasien direncanakan dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk

memperkuat diagnosis.

Pasien mendapatkan terapi gawat darurat berupa oksigenasi 4-6 L/menit

dan dilakukan nebulisasi salbutamol sebanyak 2 kali kemudian diberikan

kortikosteroid sistemik berupa dexamethasone 1 ampul (i.v). Pasien juga dipasang

IVFD RL XX gtt/menit. Pasien diberikan obat ambroxol syrup 3x1 C sebagai

terapi simptomatik dan retaphyl 2 x ½ tab sebagai obat controller. Selain itu,

pasien direncanakan mendapatkan terapi OAT kategori II (2 RHZES/1 RHZE – 5

RH3Z3E).

Selain terapi farmakologis tersebut, terapi non farmakologis yang

diberikan kepada pasien, yakni memberikan informasi mengenai penyakit asma

yang diderita pasien, berat / ringan penyakit asmanya, berat / ringan serangan

asmanya serta pengelolaan yang dianjurkan, mengedukasi pasien untuk

mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor pencetus penyakit serta

dapat mengendalikan stres, memberikan informasi agar pasien dapat memahami

dan memantau pengobatan pencegahan asma jangka panjang serta rencana

pengobatan emergensi untuk mengatasi serangan asma yang mendadak

(eksaserbasi akut asma), juga memberikan informasi mengenai penyakit TB paru

yang kemungkinan diderita pasien lagi dan membutuhkan pengobatan ulangan

yang cukup lama, serta menganjurkan olahraga secara teratur untuk meningkatkan

kebugaran badan (physical fitness) dan melakukan kontrol teratur kepada dokter

jika pasien dinyatakan boleh rawat jalan.

Prognosis pada pasien ini yaitu quo ad vitam dan quo ad functionam

adalah dubia ad bonam.

FOLLOW UP SELAMA RAWAT INAP

15 Mei 2013

35

Page 36: fix-new

S Sesak napas (+), batuk dahak berkurang

O Keadaan umum

• Kesadaran : compos mentis

• Tekanan darah : 100/70 mmHg

• Nadi : 88 x/menit

• RR : 28 x/menit

• Temperatur : 37,0ºC

Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks

Pulmo

I :

P:

P:

A:

Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)

suprasternal dan supraclavicular.

Stem fremitus kanan = kiri.

sonor di semua lapangan paru.

Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (+) ekspirasi.

Cor

I :

P:

P:

A:

Iktus kordis tidak terlihat.

Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).

Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis

dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS

V.

HR = 88 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)

Abdomen

I :

P:

P:

A:

Datar, venektasi (-)

Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,

turgor kulit normal.

Timpani

Bising usus (+) normal

36

Page 37: fix-new

Genitalia : tidak diperiksa

Extremitas : edema pretibial -/-

A Serangan asma sedang pada asma persisten sedang + bekas tuberkulosis paru

P

o O2 4-6 L/m

o IVFD RL gtt XX/menit

o Diet NB TKTP

o Nebulisasi salbutamol/6 jam

o Ambroxol syrup 3x1 C

o Retaphyl 2 x ½ tab

o Rencana pemeriksaan rontgen thoraks dan cek sputum BTA

16 Mei 2013

S Sesak napas (+) berkurang, batuk dahak berkurang

O

Keadaan umum

• Kesadaran : compos mentis

• Tekanan darah : 100/60 mmHg

• Nadi : 86 x/menit

• RR : 26 x/menit

• Temperatur : 36,8ºC

Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks

Pulmo

I :

P:

P:

A:

Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)

suprasternal dan supraclavicular.

Stem fremitus kanan = kiri.

sonor di semua lapangan paru.

Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (+) ekspirasi.

Cor

37

Page 38: fix-new

I :

P:

P:

A:

Iktus kordis tidak terlihat.

Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).

Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis

dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS

V.

HR = 86 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)

Abdomen

I :

P:

P:

A:

Datar, venektasi (-)

Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,

turgor kulit normal.

Timpani

Bising usus (+) normal

Genitalia : tidak diperiksa

Extremitas : edema pretibial -/-

A Serangan asma sedang pada asma persisten sedang + bekas tuberkulosis paru

P

o O2 4-6 L/m

o IVFD RL gtt XX/menit

o Diet NB TKTP

o Nebulisasi salbutamol/8 jam

o Ambroxol syrup 3x1 C

o Retaphyl 2 x ½ tab

o Rencana pemeriksaan rontgen thoraks dan cek sputum BTA

17 Mei 2013

S Sesak napas (+) berkurang, batuk dahak berkurang

O Keadaan umum

• Kesadaran : compos mentis

• Tekanan darah : 110/70 mmHg

• Nadi : 82 x/menit

• RR : 24 x/menit

38

Page 39: fix-new

• Temperatur : 36,5ºC

Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks

Pulmo

I :

P:

P:

A:

Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)

suprasternal dan supraclavicular.

Stem fremitus kanan = kiri.

sonor di semua lapangan paru.

Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (+) ekspirasi.

Cor

I :

P:

P:

A:

Iktus kordis tidak terlihat.

Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).

Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis

dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS

V.

HR = 82 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)

Abdomen

I :

P:

P:

A:

Datar, venektasi (-)

Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,

turgor kulit normal.

Timpani

Bising usus (+) normal

Genitalia : tidak diperiksa

Extremitas : edema pretibial -/-

A Serangan asma sedang pada asma persisten sedang + bekas tuberkulosis paru

P

o O2 4-6 L/m

o IVFD RL gtt XX/menit

o Diet NB TKTP

39

Page 40: fix-new

o Nebulisasi salbutamol/8 jam

o Ambroxol syrup 3x1 C

o Retaphyl 2 x ½ tab

o Rencana pemeriksaan rontgen thoraks dan cek sputum BTA

18 Mei 2013

S Sesak napas (-), batuk dahak berkurang

O

Keadaan umum

• Kesadaran : compos mentis

• Tekanan darah : 100/70 mmHg

• Nadi : 90 x/menit

• RR : 24 x/menit

• Temperatur : 37,0ºC

Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks

Pulmo

I :

P:

P:

A:

Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)

suprasternal dan supraclavicular.

Stem fremitus kanan = kiri.

sonor di semua lapangan paru.

Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).

Cor

I :

P:

P:

A:

Iktus kordis tidak terlihat.

Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).

Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis

dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS

V.

HR = 90 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)

40

Page 41: fix-new

Abdomen

I :

P:

P:

A:

Datar, venektasi (-)

Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,

turgor kulit normal.

Timpani

Bising usus (+) normal

Genitalia : tidak diperiksa

Extremitas : edema pretibial -/-

A Asma persisten sedang + bekas tuberkulosis paru

P

o IVFD RL gtt XX/menit

o Diet NB TKTP

o Ambroxol syrup 3x1 C

o Retaphyl 2 x ½ tab

o Rencana pemeriksaan rontgen thoraks dan cek sputum BTA

20 Mei 2013

S Sesak napas (-), batuk dahak berkurang

O Keadaan umum

• Kesadaran : compos mentis

• Tekanan darah : 100/60 mmHg

• Nadi : 88 x/menit

• RR : 22 x/menit

• Temperatur : 37,0ºC

Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks

Pulmo

I : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)

suprasternal dan supraclavicular.

41

Page 42: fix-new

P:

P:

A:

Stem fremitus kanan = kiri.

sonor di semua lapangan paru.

Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).

Cor

I :

P:

P:

A:

Iktus kordis tidak terlihat.

Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).

Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis

dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS

V.

HR = 88 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)

Abdomen

I :

P:

P:

A:

Datar, venektasi (-)

Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,

turgor kulit normal.

Timpani

Bising usus (+) normal

Genitalia : tidak diperiksa

Extremitas : edema pretibial -/-

Hasil Ekspertise Rontgen Thoraks (20-05-2013)

Cor : Tidak ada kelainan

Pulmo : Tampak perselubungan di suprahiller dexta

Kesan : Cenderung KP aktif

A Asma persisten sedang + suspek tuberkulosis paru kasus kambuh

P

o IVFD RL gtt XX/menit

o Diet NB TKTP

o Ambroxol syrup 3x1 C

o Retaphyl 2 x ½ tab

o Rencana terapi OAT kategori II (2 RHZES/1 RHZE – 5

RH3Z3E)

o Rencana pemeriksaan sputum BTA

42

Page 43: fix-new

BAB IV

ANALISIS KASUS

Dari anamnesis didapatkan sesak nafas yang bertambah parah sejak ± 3

hari SMRS. Sesak napas adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan

darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman di dada

yang dapat membaik sendiri; yang membutuhkan bantuan napas yang serius

(severe air hunger) sampai yang fatal. Tabel di bawah ini mencantumkan

sebagian besar penyebab sesak napas.

Tabel Penyebab Sesak Napas.

Penyakit saluran napas

Asma

Bronkhitis kronis

Emfisema

Sumbatan laring

Penyakit Vaskular Paru

Emboli paru

Korpulmonal

Hipertensi Paru Primer

Penyakit Veno-Oklusi Paru

43

Page 44: fix-new

Tertelan benda asing

Penyakit parenkimal

Pneumonia

Gagal jantung kongestif

Adult Respiratory Distress Syndrome

Pulmonary infiltrates with eosinofilia

Penyakit Pleura

Pneumothoraks

Efusi Pleura, hematotoraks

Fibrosis

Penyakit Dinding Paru

Trauma

Penyakit neurologik

Kelainan tulang

Diagnosis banding pasien ini adalah asma bronkial, tuberkulosis paru

kasus kambuh, bronkitis kronis, dan emfisema paru.

Sesak merupakan gejala utama emfisema paru, sedangkan batuk dan

mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Pada emfisema tidak pernah

ada remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan dada kembung, peranjakan nafas terbatas, pekak hati menurun, dan

suara nafas sangat lemah. Pemeriksaan foto thoraks menunjukkan hiperinflasi.

Pada pasien, gejala sesak, batuk, dan menginya sama-sama menonjol.

Pasien masih terdapat masa remisi, dapat beraktivitas jika serangan sesak tidak

dirasakan. Kemudian, keadaan spesifik pada paru pasien tidak ditemukan dada

kembung, pada perkusi masih sonor, dan suara nafas tidak menurun, serta rontgen

thoraks tidak menunjukkan hiperinflasi paru, sehingga diagnosis sementara

emfisema paru bisa disingkirkan.

Sedangkan, bronkitis kronis ditandai dengan batuk kronik yang

mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun sedikitnya 2 tahun. Gejala utama

batuk disertai dengan sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari

35 tahun dan perokok berat, gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, yang lama

kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada

stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonale.

44

Page 45: fix-new

Pada pasien ini, gejala yang dirasakannya tidak hanya dimulai pada pagi

hari. Gejala dapat dirasakan sepanjang waktu. Selain itu, pasien berumur 29 tahun

dan riwayat merokok disangkal oleh penderita. Selanjutnya tanda sianosis dan kor

pulmonale tidak ditemukan. Sehingga, diagnosis sementara bronkitis kronis bisa

disingkirkan.

Sedangkan, sesak nafas juga merupakan gejala lanjut yang dirasakan

pasien TB paru. Batuk biasanya ada, baik kering ataupun produktif dengan atau

tanpa darah. Pasien juga biasanya mengalami demam subfebris, pada penyakit ini

juga sering merasakan penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan yang

drastis.

Pada pasien ini, sesak dan batuk dirasakan. Namun, pasien tidak

mengalami demam. Pasien mengalami penurunan nafsu makan namun pasien

tidak mengalami penurunan berat badan yang drastis. Pasien memang mempunyai

riwayat penyakit TB paru dan minum OAT selama 9 bulan, dan dinyatakan

sembuh. Hasil ekspertise rontgen thoraks (20-05-2013) menunjukkan bahwa cor

tidak ada kelainan dan pulmo tampak perselubungan di suprahiller dexta. Kesan

cenderung KP aktif. Sehingga, diagnosis TB paru kasus kambuh belum dapat

disingkirkan. Untuk itu, pasien disarankan untuk menjalani pemeriksaan cek

sputum BTA.

Namun, dari anamnesis, sesak nafas yang dialami yang dipengaruhi

aktivitas, posisi, cuaca dingin, dan debu. Sesak disertai dengan suara mengi.

Pasien juga pernah didiagnosis menderita asma sejak 20 tahun yang lalu dan

pernah dirawat karena mengalami asma. Pasien juga sering mengalami bersin-

bersin di pagi hari serta mempunyai alergi terhadap debu, dingin, dan makanan.

Keluarga pasien, yakni kakek pasien juga mengalami hal yang sama. Selanjutnya,

pada pemeriksaan fisik ditemukan retraksi suprasternal dan supraclavicular dan

terdapat wheezing (+) ekspirasi. Sehingga, diagnosis kerja yang paling mungkin

untuk pasien ini adalah asma bronkial.

Saat serangan, pasien merasakan sesak nafas saat berbicara, pasien

kesulitan dalam berbicara. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi pernafasan

saat datang ke IGD RSUD Bari Palembang adalah 30 x/menit dengan nadi 102

45

Page 46: fix-new

x/menit. Pada inspeksi, pasien nampak menggunakan otot bantu nafas untuk

bernafas. Wheezing terdengar cukup keras. Sehingga berdasarkan klasifikasi berat

ringannya asma bronkial sewaktu serangan, pasien dapat digolongkan asma

sedang.

Tabel. Klasifikasi Berat Ringannya Asma Bronkial Sewaktu Serangan

Gejala/tanda Asma ringan Asma sedang Asma beratAncaman henti

napasKesadaran Sedikit agitasi Agitasi Agitasi Bingung, kantukSesak napas saat Berjalan Berbicara BeristirahatBicara dalam Kalimat Frase Kata per kataWheezing Sedang Keras Keras Tidak terdengarOtot bantu napas dan retraksi suptasternal

Tidak digunakanDigunakan Digunakan Napas torako-

abdominal paradoksal

Laju napasDenyut nadi/menit

Meningkat100

Meningkat100-120

>30/menit120

Pulsus paradoksus Absen (<10mmHg)

Kadang ada(10-25mmHg)

Ada >25mmHg

Tidak ada, kelelahan otot

pernapasanVEP setelah pemberian bronkodilator inisial

>80% nilai prediksi atau nilai terbaik

60-80% <60%

Diluar serangan, gejala ini dirasakan hampir setiap hari. Sesak pada malam

hari dirasakan pasien terjadi ± 2 kali per minggu. Pasien lebih nyaman

menggunakan bantal tinggi saat tidur. Sehingga, berdasarkan klasifikasi berat

ringannya asma bronkial diluar serangan, pasien ini digolongkan menjadi asma

persisten sedang.

Tabel. Kalsifikasi Berat Ringannya Asma Bronkial Diluar Serangan

Berat/ ringan asma bronkial

Gejala klinis Fungsi paru

Intermiten • Intermiten, gejala 1x/mg• Gejala asma malam <2x/bln• Eksaserbasi sebentar• Tidak ada gejala dan fungsi paru

normal diantara serangan

APE atau VEP1- >80% nilai duga- Variabilitas < 20%

Persisten ringan • Gejala >1x/mg, tetapi <1x/hr• Gejala asma malam >2x/bln• Eksaserbasi dapat menggangu

aktivitas dan tidur

APE atau VEP1- >80% nilai duga- Variabilitas 20-30%

Persisten sedang

• Gejala setiap hari• Gejala asma malam >1x/mg• Eksaserbasi dapat menggangu

aktivitas dan tidur

APE atau VEP1- 60-80% nilai duga- Variabilitas >30%

46

Page 47: fix-new

Persisten berat • Kambuhan sering. Gejala sesak terus menerus

• Gejala asma malam hari sering• Aktivitas fisik terbatas karena asma

APE atau VEP1- <60% nilai duga- Variabilitas >30%

Sehingga diagnosis akhir pada pasien ini adalah serangan asma bronkial

sedang pada asma persisten sedang + suspek tuberkulosis paru kasus kambuh.

Pasien mendapatkan terapi gawat darurat berupa oksigenasi 4-6 L/menit

dan dilakukan nebulisasi salbutamol sebanyak 2 kali kemudian diberikan

kortikosteroid sistemik berupa dexamethasone 1 ampul (i.v). Dengan pemberian

terapi ini, respon pasien cukup baik, namun belum sempurna. Selain itu, pasien

berisiko. Untuk itu, pasien dirawat inap.

Pasien juga dipasang IVFD RL XX gtt/menit. Pasien diberikan obat

ambroxol syrup 3x1 C sebagai terapi simptomatik dan retaphyl 2 x ½ tab sebagai

obat controller penyakit asmanya. Selain itu, pasien direncanakan mendapatkan

terapi OAT kategori II (2 RHZES/1 RHZE – 5 RH3Z3E) untuk terapi tuberkulosis

paru.

Selain terapi farmakologis tersebut, terapi non farmakologis yang

diberikan kepada pasien, yakni memberikan informasi mengenai penyakit asma

yang diderita pasien, berat / ringan penyakit asmanya, berat / ringan serangan

asmanya serta pengelolaan yang dianjurkan, mengedukasi pasien untuk

mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor pencetus penyakit serta

dapat mengendalikan stres, memberikan informasi agar pasien dapat memahami

dan memantau pengobatan pencegahan asma jangka panjang serta rencana

pengobatan emergensi untuk mengatasi serangan asma yang mendadak

(eksaserbasi akut asma), juga memberikan informasi mengenai penyakit TB paru

yang kemungkinan diderita pasien lagi dan membutuhkan pengobatan ulangan

yang cukup lama, serta menganjurkan olahraga secara teratur untuk meningkatkan

kebugaran badan (physical fitness) dan melakukan kontrol teratur kepada dokter

jika pasien dinyatakan boleh rawat jalan.

Prognosis pada pasien ini yaitu quo ad vitam adalah dubia ad bonam

karena jika penatalaksanaan yang adekuat pasien, penderita dapat tetap hidup

dengan kelainan paru yang dideritanya saat ini. Selain itu, prognosis quo ad

47

Page 48: fix-new

functionam adalah dubia ad bonam, karena jika ditatalaksana dengan baik maka

fungsi paru berangsur-angsur dapat membaik.

Gambar 2. Global strategy for Asthma Management and Prevention (2002), algoritma penanganan asma di rumah sakit.

48

Penilaian awal:* Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas,

APE atau FEV, analisis gas darah pada pasien berat dan pemeriksaan lain jika diperlukan).

Pengobatan awal:* Inhalasi β2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam.* Oksigen 4-6 1/menit untuk mencapai saturasi O2

3 90% (95% untuk anak-anak).* Kortikosteroid sistemik, Hidrokortison 100-200 mg atau Metil Prednisolon i.v. bila tidak ada respon

segera atau jika pasien sedang mendapat steroid per oral atau episode yang berat. * Sedatif merupakan kontraindikasi pada penanganan serangan aku / eksaserbasi.

Ulangi penilaian APE, saturasi O2 pemeriksaan lain bila diperlukan

Episode serangan berat:* APE<60% perkiraan / nilai terbaik* Pemeriksaan fisik: gejala berat saat istirahat,

retraksi dinding dada.* Riwayat: pasien risiko tinggi* Tak ada perbaikan setelah pengobatan awal.* Inhalasi β2 agonis tiap jam atau kontinu dengan

atau tanpa inhalasi antikolinergik.* Oksigen.* Kortikosteroid sistemik.* Pertimbangkan β2 agonis S.C., I.M., atau I.V.

Episode serangan sedang:* APE 50-70% dari nilai yang diperkirakan

atau nilai terbaik.* Pemeriksaan fisik: asma sedang, otot bantu

pernafasan.* Inhalasi β2 agonis tiap 60 menit.* Teruskan pengobatan 1-3 jam. Respon tidak sempurna

dalam 1-2jam:- Riwayat: pasien risiko

tinggi.- PF: gejala ringan-sedang.- Saturasi O2 tidak membaikDirawat di RS:- Inhalasi β2 agonis +

inhalasi antikolinergik.- Kortikosteroid sistemik.- Oksigen.- Pertimbangkan aminofilin

I.V.- Pantau APE, saturasi O2

nadi, teofilia.

Respon baik:- Respon bertahan selama 60

menit setelah terapi terakhir.- Pemeriksaan fisik normal.- APE > 70 %.- Tidak ada distress.- Saturasi O2 >90% (95 %

pada anak-anak).Dipulangkan:- Teruskan pengobatan dengan

inhalasi β2 agonis. - Pertimbangkan kortikosteroid

peroral.- Pendidikan pasien: minum

obat secara teratur, tinjau rencana kerja, follow up ketat.

Respon buruk dalam 1 jam- Riwayat pasien risiko tinggi.- PF: gejala berat, mengantuk

dan bingung.- APE < 30 %.- PCO2 > 45 mmHg.- PO2 < 60 mmHgRawat di ICU:.- Inhalasi β2 agonis + inhalasi

antikolinergik.- Kortikosteroid intravena- Pertimbangkan β2 agonis S.C.,

I.M./ I.V.- Oksigen.- Aminofilia i.v.- Intubasi dan ventilasi mekanik

Page 49: fix-new

DAFTAR PUSTAKA

Abiyoso. Tuberkulosis Praktis. Malang: Program Studi Paru RSU Dr. Saiful Anwar

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2003

Aditama TY dkk. Tuberkulosis. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.

Ahmad, Zen. Tuberkulosis Paru. Dalam Naskah Lengkap Work-Shop Pulmology

Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT-4) Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel.

FK Unsri: hlm.95-119 (2002).

Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis Paru. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2006. pp.998-1004

Baratawidjaja, Karnen G.Imunologi Dasar ed.7. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta: hlm.419-425 (2006)

Fauci, Braunwald, Kasper,Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Chapter 248: Asthma.

Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.The McGraw-Hill

Companies, Inc.(2008).

49

Dipulangkan:Jika APE>70% perkiraan / nilai terbaik dua bertahan dengan pengobatan peroral/inhalasi selama minimal 60 menit.

Rawat di ICU:Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 6-12 jam

Membaik Tidak membaik

Page 50: fix-new

Global Initiative For Asthma (GINA): Global Strategy for Asthma Management and

Prevention (Updated 2007-2008).

Mansjoer, Arif M., dkk [ed.]. Asma Bronkial. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran jilid I

edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI: hlm. 476-480 (2001).

National Heart, Lung, and Blood Institute, National Asthma Education and Prevention

Program. Expert Panel Report 3: Guidelines for Diagnosis and Management of

Asthma: Full Report 2007.

Rani, Aziz dkk [ed]. Asma Bronkial. Dalam: Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI: hlm.291-293 (2004).

Rasyid, Ahmad. Asma Bronkial. Dalam Naskah Lengkap Work-Shop Pulmology

Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT-4) Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel.

FK Unsri: hlm.19-42 (2002).

Sundaru, Heru; Sukamto: Asma Bronkial. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I

edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI:

hlm.245-254 (2006).

50

Page 51: fix-new

1