fix-new
DESCRIPTION
tubercolosis paruTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Asma Bronkial
I.1 Definisi asma bronkial
Asma bronkial didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik saluran
napas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau
tanpa pengobatan akibat hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama mastosit, eosinofil, limfosit
T, makrofag, neutrofil, dan epitel. Obstruksi dan inflamasi pada saluran napas ini
akan memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas.
I.2 Patogenesis dan patofisiologi
Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupakan penyakit inflamasi
kronik saluran napas yang melibatkan berbagai jenis sel inflamasi, menyebabkan
pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga
terjadi perubahan patofisiologik seperti bronkokonstriksi, kebocoran
mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.
Penyempitan saluran napas pada asma sifatnya berulang dan disebabkan
oleh berbagai perubahan pada saluran napas, diantaranya:
1. Hiperreaktivitas saluran napas (HSN). Hiperreaktivitas saluran napas
adalah respon bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus
(bronkokonstriksi) akibat berbagai rangsangan spesifik maupun
nonspesifik. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk,
rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai
stimuli. Bronkokonstriksi yang diinduksi alergen merupakan hasil dari
pelepasan mediator yang IgE-dependen dari sel mastosit seperti histamin,
triptase, leukotrin, dan prostaglandin (PG) yang kontak langsung dengan
otot polos saluran napas. Mekanisme yang mempengaruhi hiperreaktivitas
saluran napas ini multifaktorial seperti inflamasi, disfungsi dari
neuroregulasi, dan perubahan struktural; proses inflamasi dianggap
1
sebagai faktor utama yang menentukan derajat hiperreaktivitas saluran
napas.
2. Edema saluran napas. Terjadi karena kebocoran mikrovaskuler yang
meningkat sebagai respon terhadap berbagai mediator inflamasi. Ketika
penyakit asma menjadi semakin persisten dan proses inflamasi makin
progresif, terdapat faktor-faktor lain yang semakin membatasi aliran udara
pernapasan seperti edema, inflamasi, hipersekresi mukus, pembentukan
sumbat mukus yang tebal.
3. Hipersekresi mukus. Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel
goblet pada saluran napas penderita asma. Penyumbatan saluran napas
oleh mukus hampir selalu didapatkan pada asma yang fatal. Hipersekresi
mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan
menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel.
4. Remodeling saluran napas. Gambaran utama penderita asma adalah
radang saluran napas; ditemukan pula kelainan saluran napas ireversibel
seperti hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran napas, hiperplasia dan
hipersekresi kelenjar mukosa, proliferasi pembuluh darah (angiogenesis),
deposisi kelenjar pada membran subbasalis, serta fibrosis subepitelial.
Remodelling merupakan reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang
rusak akibat inflamasi dan diduga menyebabkan perubahan ireversibel
pada asma. Fibroblas berperan penting dalam remodelling dan proses
inflamasi. Fibroblas menghasilkan kolagen, serat elastik dan retikular,
proteoglikans dan glikoprotein dari matriks ekstraselular (ECM).
Remodeling saluran napas merupakan hasil aktivasi berbagai sel
struktural, yang berakibat pada perubahan permanen pada saluran napas
yang meningkatkan obstruksi udara, responsivitas saluran napas, dan
menyebabkan pasien kurang responsif terhadap terapi yang diberikan.
2
Patogenesis inflamasi saluran napas
Reaksi inflamasi diawali dengan masuknya alergen ke dalam tubuh untuk
pertama kali ditangkap oleh makrofag/sel dendritik (APC) yang kemudian
dipresentasikan ke sel T helper (TH), ia juga menghasilkan IL-1 yang
mengaktifkan sel TH. Sel TH yang diaktifkan melepaskan IL-2 yang akan memberi
signal ke sel B untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. IgE
segera diikat oleh sel mastosit dan basofil yang punya reseptor afinitas tinggi
terhadap IgE. Proses sensitasi telah terjadi sehingga apabila alergen yang sama
masuk lagi ke dalam tubuh akan terjadi serangkaian reaksi inflamasi.
Reaksi asma ada dua macam yaitu reaksi asma awal (early asthma
reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR). Pada
reaksi asma awal, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah
rangsangan dan menghilang secara spontan. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respon terhadap mediator-mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus atau melalui refleks vagal. Keadaan ini
mudah diatasi dengan beta-2 agonis.
3
Gbr 1. Patofisiologi penyempitan saluran napas pada asma yang kompleks
Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 34 jam rangsangan oleh
alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa
minggu. Fase ini disertai dengan reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga
timbul inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, inflamasi
netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme bronkus. Pada fase ini
peran spasme bronkus kecil, akibatnya reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian
beta-2 agonis.
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus
berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi
inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa: Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama
eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan eosinofil, edema mukosa
dan eksudasi plasma, hipersekresi lendir yang kental kelenjar submukosa yang
mengalami hipertrofi.
Pada beberapa keadaan reaksi asma dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan
SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Rangsang ujung
saraf eferen vagal (c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide (CGRP). Neuropeptid inilah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan
aktivasi sel-sel inflamasi.
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas penyakit asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini
merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus
yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.
4
I. 3 Klasifikasi
Berikut ini merupakan klasifikasi asma bronkial berdasarkan:
1. Berat ringannya asma bronkial diluar serangan:
Klasifikasi ini lebih penting untuk tujuan penatalaksanaan asma yang
berada di luar serangan. Pada klasifikasi ini beratnya ditentukan oleh berbagai
faktor yaitu gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi beta-2
agonis, uji faal paru.
Tabel 1. Kalsifikasi Berat Ringannya Asma Bronkial Diluar Serangan
Berat/ ringan
asma bronkialGejala klinis Fungsi paru
Intermiten • Intermiten, gejala 1x/mg
• Gejala asma malam <2x/bln
• Eksaserbasi sebentar
• Tidak ada gejala dan fungsi paru
normal diantara serangan
APE atau VEP1
- >80% nilai duga
- Variabilitas < 20%
Persisten ringan • Gejala >1x/mg, tetapi <1x/hr
• Gejala asma malam >2x/bln
• Eksaserbasi dapat menggangu
aktivitas dan tidur
APE atau VEP1
- >80% nilai duga
- Variabilitas 20-30%
Persisten sedang • Gejala setiap hari
• Gejala asma malam >1x/mg
• Eksaserbasi dapat menggangu
aktivitas dan tidur
APE atau VEP1
- 60-80% nilai duga
- Variabilitas >30%
Persisten berat • Kambuhan sering. Gejala sesak terus
menerus
• Gejala asma malam hari sering
• Aktivitas fisik terbatas karena asma
APE atau VEP1
- <60% nilai duga
- Variabilitas >30%
2. Berat ringannya asma bronkial sewaktu serangan
Tabel 2. Klasifikasi Berat Ringannya Asma Bronkial Sewaktu Serangan
Gejala/tanda Asma ringan Asma sedang Asma beratAncaman henti
napas
Kesadaran Sedikit agitasi Agitasi Agitasi Bingung, kantuk
Sesak napas saat Berjalan Berbicara Beristirahat
5
Bicara dalam Kalimat Frase Kata per kata
Wheezing Sedang Keras Keras Tidak terdengar
Otot bantu napas dan
retraksi suptasternalTidak digunakan
Digunakan Digunakan Napas torako-
abdominal
paradoksal
Laju napas
Denyut nadi/menit
Meningkat
100
Meningkat
100-120
>30/menit
120
Pulsus paradoksus Absen
(<10mmHg)
Kadang ada
(10-25mmHg)
Ada
>25mmHg
Tidak ada,
kelelahan otot
pernapasan
VEP setelah
pemberian
bronkodilator inisial
>80% nilai
prediksi atau
nilai terbaik
60-80% <60%
PaO2
PaCO2
SaO2
Normal
<45
>95%
>60
<45
91-95%
<60, (sianosis)
>45
<90%
< 60 (bradikardia)
sianosis
3. Tingkat kontrol asma bronkial
Tabel 3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kontrol Asma Bronkial
Karakteristik
Terkontrol
(memenuhi semua
kriteria)
Terkontrol parsial Tidak terkontrol
Gejala siang hari Tidak pernah (
2/mg)
2kali/minggu 3 karakteristik
asma terkontrol
parsial terjadi
dalam minggu
tertentu
Gangguan aktivitas sehari-hari Tidak pernah Sesekali
Gejala malam hari/ terbangun
karena gejala asma
Tidak pernah (
2/mg)
Sesekali
Penggunaan obat pelega napas/
terapi asma lain
normal 2kali/minggu
Fungsi paru ( LEP atau VEP1) >80% nilai prediksi/
nilai personal
terbaik
60-80% nilai
prediksi/ nilai
personal terbaik
Eksaserbasi Tidak pernah 1 kali/ tahun 1 kali/ minggu
6
Terdapat juga parameter kontrol asma tervalidasi untuk memperkirakan
tingkat kontrol melalui skoring asma sebagai variabel kontinyu dan menyediakan
nilai numerik untuk membedakan tiap tingkatan kontrol asma. Contoh dari
parameter tervalidasi itu antara lain: Asthma Control Test/Tes Kontrol Asma, the
Childhood Asthma Control Test (C-ACT), the Asthma Control Questionnaire
(ACQ), the Asthma Therapy Assessment Questionnaire (ATAQ), dan Asthma
Control Scoring System. Dibawah ini adalah contoh pertanyaan Tes Kontrol
Asma.6
I.4 Diagnosis
Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
• Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, bersin, batuk
berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.
• Semua keluhan biasanya bersifat variasi diurnal, tetapi bisa saja terjadi
sembarang waktu, dapat timbul sewaktu kegiatan jasmani, atau musim tertentu
saja.
• Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit
alergi yang lain seperti rinitis alergi, ekzema, dermatitis atopik.
• Gejala berkurang dengan obat-obat anti-asma
• Adanya faktor pencetus serangan antara lain:
o Infeksi saluran napas, influenza.
o Pejanan terhadap alergen: debu, tungau, bulu binatang.
o Pejanan terhadap iritan: asap rokok, parfum, uap zat kimia, dll.
o Kegiatan jasmani.
o Ekspresi emosional: takut, marah, cemas, stres.
o Obat-obatan: aspirin, beta-blocker, NSAID.
o Bahan pengawet makanan: sulfit, dll.
o Lain-lain: haid, kehamilan, sinusitis.
2. Pemeriksaan fisik
7
Hasil temuan pemeriksaan fisik pada penderita asma tergantung dari
derajat obstruksi saluran napas.
- Keadaan umum: penderita tampak sesak nafas dan gelisah.
- Jantung: pekak jantung mengecil (hiperinflasi dada), takikardi.
- Paru:
• Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong
kebawah, pemakaian otot-otot bantu napas
• Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.
3. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan monitoring.
Tes fungsi paru
Terdapat dua metode terpercaya untuk mengetahui adanya penyempitan
saluran napas untuk pasien asma berusia lebih dari 5 tahun. Yang pertama
spirometri, untuk mengukur volume ekspirasi paksa detik 1 (VEP1) dan kapasitas
vital paksa (KVP). Yang kedua adalah pengukuran laju ekspirasi puncak (LEP).
Spirometri
Merupakan metode terpilih menegakkan diagnosis asma dengan mengukur
adanya limitasi aliran udara dan reversibilitasnya. Derajat reversibilitas nilai
VEP1 yang menunjang diagnosis asma adalah 12% dan 200 ml dari nilai
sebelum pemberian bronkodilator ( 2-agonis inhalasi aksi cepat). Terkadang
digunakan kombinasi beta adrenergik, teofilin, ataupun glukokortikoid untuk
jangka waktu 2-3 minggu untuk mengetahui reversibilitas.6,2 Pemeriksaan
hendaknya dilakukan dengan teknik yang benar oleh pasien serta diulangi pada
beberapa pemeriksaan karena beberapa pasien asma tidak menunjukkan
reversibilitas dalam waktu singkat.
Cakupan nilai normal hasil spirometri luas dan nilai prediksi kurang dapat
diandalkan pada pasien muda (<20 tahun) dan orang tua (>70 tahun), serta banyak
penyakit paru dapat menurunkan nilai VEP1 maka pemeriksaan limitasi aliran
udara dihitung dengan rasio VEP1/KVP, nilai normal antara) 0,75-0,80, pada
anak-anak mencapai 0,90. Hasil pemeriksaan lebih rendah dianggap adanya
limitasi saluran napas. Pemeriksaan spirometri juga penting untuk menilai berat
penyakit dan mengetahui efek pengobatan.
8
Uji laju ekspirasi puncak
Pengukuran laju ekspirasi puncak dapat membantu diagnosis dan
monitoring asma. Karena relatif murah, ringan, mudah dibawa, sangat cocok
digunakan untuk penilaian objektif derajat limitasi saluran napas di rumah.
Kelemahan pemeriksaan LEP antara lain memiliki nilai prediksi sangat luas
sehingga nilai pengukuran hendaknya dibandingkan dengan nilai tertinggi dari
pasien itu sendiri, mengesampingkan derajat obstruksi saluran napas, dan
memerlukan teknik yang benar. LEP hendaknya diukur pertama kali saat bangun
pagi sebelum medikasi dan terakhir sebelum tidur untuk mengetahui variasi
diurnal. Beberapa manfaat uji laju ekspirasi puncak:
• Konfirmasi diagnosis asma, adanya perbaikan nilai 20% atau 60L/menit
dibanding nilai pre-bronkodilator, atau variasi diurnal PEF 20% (dengan dua
kali tes, >10%) mengarah ke diagnosis asma.
• Memperbaiki kontrol asma terutama pada pasien yang kurang mengenali
gejala asma.
• Mengidentifikasi pencetus gejala asma (di kantor, rumah, aktivitas fisik)
dengan mengukur nilai LEP beberapa kali.
Uji provokasi bronkus
Digunakan untuk mengetahui adanya hiperreaktivitas bronkus apabila tes
fungsi paru normal. Uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani,
uadar dingin, larutan garam hipertonik, bahkan dengan akuadestilata. Penurunan
VEP1 sebesar 20 % dianggap bermakna.
Pemeriksaan sputum: untuk melihat eosinofil yang khas pada asma, juga
kristal Charcot Leyden, spiral Curschmann.
Pemeriksaan eosinofil total: kadar eosinofil darah sering meningkat pada
penderita asma, juga dapat membantu untuk membedakan dengan bronkitis
kronik. Dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup atau tidaknya
dosis steroid yang digunakan.
Uji kulit: tujuan untuk menunjukkan adanya antibodi Ig E spesifik dalam
tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis karena uji alergen positif tidak selalu
penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
9
Foto dada: foto dada pasien asma yang tidak dalam serangan umumnya
normal. Saat eksaserbasi gambaran dapat menunjukkan keadaan hiperinflasi,
menyerupai pneumotoraks. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan kecurigaan proses
patologis maupun komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis.
I.5 Terapi asma bronkial
Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi penyakit
3. Meningkatkan fungsi paru mendekati nilai normal dan mempertahankan nilai
tersebut
4. Mengusahakan tercapainya tingkat aktivitas normal, termasuk exercise
5. Menghindari efek samping karena obat
6. Mencegah kematian karena asma
Global Initiative For Asthma (GINA) merekomendasikan lima komponen
terapi yang saling terkait dalam penatalaksanaan asma antara lain:
1. Membina hubungan pasien-dokter.
Tujuan utamanya adalah agar pasien asma mampu mengenal dan mengontrol
penyakitnya sendiri dengan dipandu oleh tenaga kesehatan. Hubungan pasien-
dokter dapat dipererat melalui diskusi, edukasi, penetapan tujuan terapi bersama,
meningkatkan kemampuan pasien mengontrol penyakitnya, kajian berkala dari
dokter terkait terapi dan tingkat kontrol asma. Petugas kesehatan diharapkan
membantu pasien sehingga: dapat menghindari faktor risiko, menggunakan obat
dengan benar, mengetahui perbedaan antara obat pelega dan obat kontrol,
mengenali gejala asma yang memburuk dan mengambil tindakan yang tepat,
mencari bantuan medis apabila diperlukan.
2. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor risiko.
Serangan asma merupakan proses yang kompleks dan belum dipahami
sepenuhnya. Serangan mungkin disebabkan oleh banyak faktor risiko/pencetus
10
termasuk alergen, infeksi viral, polutan, serta obat-obatan. Identifikasi dini dari
agen pensensitasi diharapkan dapat meningkatkan kontrol asma dan mengurangi
kebutuhan obat antiasma.
3. Menilai, Mengobati, dan monitoring asma
Tujuan terapi asma untuk mencapai dan mempertahankan kontrol klinis asma
dapat dicapai melalui usaha:
Menilai kontrol asma, setiap pasien diharapkan mengetahui obat-obat
anti-asma yang sedang digunakannya, patuh terhadap pengobatan, mengetahui
tingkat kontrol asmanya (misal: tes kontrol asma. lihat Tabel 4).
Tabel 4. Tes Kontrol Asma
TES KONTROL ASMA
1
Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering penyakit asma menggangu Anda untuk
melakukan pekerjaan sehari-hari di kantor, di sekolah, atau di rumah?
NILAI
selalu
4x/mgg 1
Sering
2-3x/mgg
2
Kadang2
1x/mgg 3
Jarang
(1x/mgg) 4
Tidak pernah
5
2Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering Anda mengalami sesak napas?
1x sehari
1
Sekali sehari
2
3-6 kali semgg
3
1-2 kali
semmg 4
Tidak pernah
5
3
Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering gejala asma (batuk-batuk, nyeri dada, atau
rasa tertekan di dada) menyebabkan Anda terbangun di malam hari atau lebih awal
dari biasanya?
4x dlm
semgg 1
2-3x /mgg
2
Sekali semgg
3
1-2x sebulan
4
Tidak pernah
5
4Dalam 4 minggu terakhir seberapa sering Anda menggunakan obat semprot atau obat
makan (tablet/sirup) untuk melegakan napas?
3x sehari 1 1-2 x sehari 2 2-3x semgg 3 1x/mgg 4 Tidak pernah 5
5
Bagaimana Anda sendiri menilai tingkat kontrol asma Anda dalam 4 minggu
terakhir?
Tidak Kurang Cukup Terkontrol Terkontrol
11
terkontrol sama
sekali 1
terkontrol
2
terkontrol
3
baik
4
sepenuhnya
5
Total:
Intepretasi hasil skoring tes kontrol asma5
20 : terkontrol baik
16-19 : kurang terkontrol baik (terkontrol parsial)
15 : tidak terkontrol
Mengobati untuk mencapai tingkat kontrol yang diharapkan, obat-
obatan antiasma yang sedang digunakan dan tingkat kontrol asma akan
mempengaruhi pemilihan farmakologis. Pasien dikelompokkan menjadi lima
tahapan pengobatan. Pada tiap tahap pengobatan diperlukan obat pelega napas
aksi cepat (bronkodilator, baik efek singkat maupun lama) sebagai penghilang
gejala asma. Akan tetapi, penggunaan bronkodilator yang sering mencerminkan
tingkat kontrol asma yang buruk dan mengindikasikan bahwa obat-obat kontrol
harus ditingkatkan.
Pengawasan/Monitoring untuk mempertahankan kontrol
Pengawasan berkala penting untuk mempertahankan kontrol dan menjaga
tahap dan dosis terapi pada titik terendah untuk meminimalisir biaya dan
meningkatkan keamanan. Idealnya, pasien asma harus kembali kontrol satu–tiga
bulan setelah kunjungan pertama, lalu tiap tiga bulan setelahnya. Setelah
mengalami serangan asma, pemantauan hendaknya dilakukan antara 2 minggu-
sebulan kemudian.
Durasi dan Penyesuaian terapi:
Perbaikan dengan obat kontrol dimulai sejak pemberian pertama kali tetapi
efek optimal dirasakan setelah 3-4 bulan bahkan lebih pada asma kronik berat.
Penurunan dan peningkatan tahap terapi:
• jika asma tidak terkontrol dengan regimen terapi sekarang, tahap terapi
ditingkatkan. Perbaikan umumnya dapat dirasakan dalam waktu 1 bulan.
Tetapi perlu evaluasi tingkat kepatuhan pasien, teknik pengobatan, dan
menghindari faktor risiko.
• jika asma hanya terkontrol parsial, pertimbangkan untuk menaikkan tahap
terapi, dengan pertimbangan adakah terapi lain yang lebih efektif,
12
keamanan dan biaya, juga kepuasan pasien dengan tingkat kontrolnya saat
ini.
• jika kontrol dapat dipertahankan selama 3 bulan, turunkan tahap terapi
secara perlahan-lahan. Tujuannya adalah mempertahankan kontrol
menggunakan obat-obatan sesedikit mungkin.
Pengawasan tetap diperlukan walau kontrol telah tercapai karena asma adalah
penyakit yang variabel, penyesuaian terapi dibutuhkan untuk mengatasi
perburukan gejala dan serangan yang mungkin terjadi.
4. Penatalaksanaan eksaserbasi asma
Serangan asma adalah episode yang ditandai peningkatan progresif gejala
sesak, batuk, mengi, rasa sempit dada, atau kombinasi gejala-gejala tersebut.
Serangan asma berat dapat mengancam jiwa pasien, pengobatannya membutuhkan
pengawasan ketat. Pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami kematian
akibat asma adalah pasien dengan riwayat:
• asma fatal sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis,
• pernah masuk RS atau IRD karena asma satu tahun terakhir ini,
• pemakaian KS oral atau baru saja berhenti,
• tidak menggunakan KS inhalasi,
• terlalu tergantung dengan penggunaan agonis 2 inhalasi aksi cepat
(lebih dari 2 botol/ bulannya),
• penyakit psikiatrik dan masalah psikososial, termasuk pengguna
sedativa,
• ketidakpatuhan dengan rencana terapi asmanya.
Pasien harus segera dibawa ke Rumah Sakit apabila:
• Serangan asma berat
o Pasien sesak saat istirahat, bicara kata per kata, agitasi, bingung,
bradikardi, laju napas >30x/menit.
o Bunyi mengi keras atau tidak terdengar lagi.
o Nadi > 120x/m (>160x/m untuk balita).
o PEF < 60% dari prediksi atau nilai terbaik, bahkan setelah terapi awal.
13
o Pasien tampak kelelahan.
• Respon lambat terhadap bronkodilator (3 jam).
• Tidak ada perbaikan setelah 2-6 jam terapi KS oral.
• Terdapat perburukan lainnya.
Serangan asma membutuhkan terapi adekuat meliputi:
• Agonis 2 inhalasi aksi cepat (2-4 puff/20menit/satu jam I; serangan
sedang 6-10 puff/ 1-2 jam; serangan ringan 2-4 puff/3-4 jam)
• KS oral (0,5-1 mg prednisolon/kgBB atau ekuivalen dalam 24 jam)
• Oksigen jika pasien hipoksemia (sampai saturasi 95%)
• Kombinasi agonis 2/ terapi antikolinergik
• Metilxantin digunakan bila agonis 2 inhalasi tidak tersedia. Bila teofilin
digunakan kadar dalam serum harus diawasi.
Menurut Gina 2002, pengelolaan asma saat serangan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Pengelolaan serangan asma di rumah
Bila serangannya masih ringan sehingga dapat diatasi di rumah
saja. Pengelolaan serangan asma di rumah disajikan dalam bentuk
algoritma, seperti terlihat pada gambar 1. Pada prinsipnya segera diberikan
bronkodilator kerja cepat kalau bisa dalam bentuk inhalasi (inhaler /
turbohaler / siklohaler). Dapat diberikan obat salbutamol, fenoterol,
prokaterol, atau terbutalin dan bila batuk menonjol ditambahkan golongan
Kolinergik (Atroven). Sebaiknya dikombinasikan dengan kortikosteroid
inhalasi atau kalau perlu peroral bila serangan berat.
Gambar 1. Pengelolaan serangan asma di rumah
14
Penilaian beratnya serangan:Batuk, sesak nafas, mengi, otot pernafasan tambahan, retraksi suprasternal, dan gangguan tidur. APE<80% perkiraan.
Pengobatan awal:Inhalasi agonis β2 kerja singkat tidak lebih dari 3 kali dalam 1 jam.(Pasien dengan risiko tinggi berupa asthma related death harus menemui dokter segera setelah mendapat pengobatan awal)
Gejala berkurang setelah pengobatan awal dan tidak terjadi serangan ulang selama 4 jamAPE>80% perkiraanTindakan:* β2 agonis diterus-kan
tiap 3-4 jam selama 1-2 hari.
* Hubungi dokter untuk intruksi lebih lanjut.
Respon baik bila
Gejala menetap atau memburuk walaupun telah mendapat pengobatan awal dengan β2 agonisAPE<60% perkiraan Tindakan:* Tambahkan tablet atau
sirup kortiko-steroid* Ulangi pemberian β2
agonis segera* Secepatnya dibawa ke
unit gawat darurat di rumah sakit.
Respon tidak sempurna bila Respon buruk bila
Gejala berkurang tapi timbul lagi dalam waktu kurang dari 3 jam setelah pengo-batan awal.Tindakan:* Tambahkan tablet atau
sirup kortiko-steroid* Teruskan β2 agonis* Hubungi dokter segera
untuk mem-peroleh petunjuk
2. Penanganan asma di rumah sakit
Seperti terlihat pada algoritma yang dianjurkan pada gambar 2.
Metoda terbaru pemberian obat bronkodilator secara nebulizer dengan alat
khusus (electric nebulizer) atau non elektrik memakai jet nebulizer yang
digabung dengan oksigen melalui O2. Pemberian bronkodilator dapat
diberikan tiga kali dalam waktu 1 jam.
3. Serangan Eksaserbasi asma berat.
Dulu status asmatikus didefinisikan sebagai serangan eksaserbasi
asma yang berat yang tidak dapat diatasi dengan obat-obat yang biasa
diberikan untuk serangan berat. Susahnya pada definisi ini tidak jelas
artinya obat-obat yang biasa diberikan. Obat biasanya diberikan dulu
adalah epinephrin dan atau aminofilin. Sekarang yang biasa diberikan
adalah β2 agonis dan kortikosteroid. Ini adalah salah satu sebab mengapa
istilah status asmatikus sudah ditinggalkan. Dibagian Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UNSRI / RSMH Palembang dikatakan penderita
serangan asma berat apabila penderita yang telah diberikan nebulizer β2
agonis 3 kali pemberian dalam satu jam atau adrenaline tiga kali
pemberian, infus aminofilin, kemudian ditunggu satu jam ternyata
penderita masih tetap sesak nafas.
Gambar 2. Global strategy for Asthma Management and Prevention (2002),
algoritma penanganan asma di rumah sakit.
15
Penilaian awal:* Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas,
APE atau FEV, analisis gas darah pada pasien berat dan pemeriksaan lain jika diperlukan).
Dari algoritma Penanganan Serangan Asma di Rumah Sakit tersebut
terlihat bahwa hasil akhir dari penanganan asma tersebut adalah :
1. Penderita dipulangkan.
2. Penderita di rawat di Rumah Sakit
3. Penderita di rawat di ICU/Ruang Intensif.
16
Pengobatan awal:* Inhalasi β2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam.* Oksigen 4-6 1/menit untuk mencapai saturasi O2
3 90% (95% untuk anak-anak).* Kortikosteroid sistemik, Hidrokortison 100-200 mg atau Metil Prednisolon i.v. bila tidak ada respon segera
atau jika pasien sedang mendapat steroid per oral atau episode yang berat. * Sedatif merupakan kontraindikasi pada penanganan serangan aku / eksaserbasi.
Ulangi penilaian APE, saturasi O2 pemeriksaan lain bila diperlukan
Episode serangan berat:* APE<60% perkiraan / nilai terbaik* Pemeriksaan fisik: gejala berat saat istirahat,
retraksi dinding dada.* Riwayat: pasien risiko tinggi* Tak ada perbaikan setelah pengobatan awal.* Inhalasi β2 agonis tiap jam atau kontinu dengan
atau tanpa inhalasi antikolinergik.* Oksigen.* Kortikosteroid sistemik.* Pertimbangkan β2 agonis S.C., I.M., atau I.V.
Episode serangan sedang:* APE 50-70% dari nilai yang diperkirakan atau
nilai terbaik.* Pemeriksaan fisik: asma sedang, otot bantu
pernafasan.* Inhalasi β2 agonis tiap 60 menit.* Teruskan pengobatan 1-3 jam.
Respon tidak sempurna dalam 1-2jam:- Riwayat: pasien risiko
tinggi.- PF: gejala ringan-sedang.- Saturasi O2 tidak membaikDirawat di RS:- Inhalasi β2 agonis +
inhalasi antikolinergik.- Kortikosteroid sistemik.- Oksigen.- Pertimbangkan aminofilin
I.V.- Pantau APE, saturasi O2
nadi, teofilia.
Respon baik:- Respon bertahan selama 60
menit setelah terapi terakhir.- Pemeriksaan fisik normal.- APE > 70 %.- Tidak ada distress.- Saturasi O2 >90% (95 %
pada anak-anak).Dipulangkan:- Teruskan pengobatan dengan
inhalasi β2 agonis. - Pertimbangkan kortikosteroid
peroral.- Pendidikan pasien: minum
obat secara teratur, tinjau rencana kerja, follow up ketat.
Respon buruk dalam 1 jam- Riwayat pasien risiko tinggi.- PF: gejala berat, mengantuk
dan bingung.- APE < 30 %.- PCO2 > 45 mmHg.- PO2 < 60 mmHgRawat di ICU:.- Inhalasi β2 agonis + inhalasi
antikolinergik.- Kortikosteroid intravena- Pertimbangkan β2 agonis S.C.,
I.M./ I.V.- Oksigen.- Aminofilia i.v.- Intubasi dan ventilasi mekanik
Dipulangkan:Jika APE>70% perkiraan / nilai terbaik dua bertahan dengan pengobatan peroral/inhalasi selama minimal 60 menit.
Rawat di ICU:Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 6-12 jam
Membaik Tidak membaik
Jadi penderita yang mendapat Serangan Eksaserbasi Asma yang sangat berat
adalah penderita yang harus dirawat di Rumah Sakit termasuk yang harus ke
ICU/Ruang intensif.
Terapi utama baik di ruang gawat darurat maupun di ruang rawat terdiri dari
oksigen, agonis beta 2 (Nebulizer/Inhaler) dan kartikosteroid sistemik. Oksigen
diberikan bila terjadi hipoksemia yang nyata dari pada pasien yang mempunyai
APE atau VEP1 kurang dari 50%. Obat untuk asma akut terdiri dari :
1. Oksigen
Dianjurkan untuk kebanyakan penderita sampai saturasi oksigen mencapai
>90% atau > 95% untuk wanita hamil dan penderita yang disertai penyakit
jantung. Pemantauan saturasi oksigen sampai respons terhadap bronkodilator
sangat nyata.
2. Agonis beta 2 hirup
Inhalasi agonis beta 2 dianjurkan untuk semua penderita.3 Di ruang gawat
darurat diberikan inhalasi setiap 20 menit sanpai 3 kali. Pemberian selanjutnya
tergantung respons terapi awal tadi. Selain dengan nebulizer, bronkodilatasi
juga dapat dikerjakan dengan MDI (metered dose inhaler) yang dilengkapi
spacer sebanyak 6-12 semprot setiap kali.3,4,7 Umumnya terapi dengan
nebulizer lebih efektif pada penderita yang sukar memakai MDI.
Suntikan agonis beta 2 tidak dianjurkan selama tersedia agonis beta 2
(Nebulizer/Inhaler). Suntikan agonis beta 2 diberikan 0,3 cc subkutan, 2-3 x
setiap 20 menit, selanjutnya setiap 6 jam, bila pasien tidak bisa dipasang
Nebulizer/Inhaler (di ICU dimana Ventilator terpasang).
3. Antikolinergik
Pemberian ipratropium bromida 250-500 μg pada cairan yang telah
mengandung agonis beta 2, dapat menambah bronkodilatasi terutama pada
penderita dengan obstruksi yang berat. Ipratropium dapat diberikan setiap 4-6
jam.
4. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik direkomendasikan pada hampir semua penderita. Di
ruang gawat darurat kortikosteroid diberikan kepada penderita asma akut
17
sedang sampai berat dan penderita yang memberikan respons tidak optimal
dengan terapi awal agonis beta 2. hasil pemberian kortikostreoid oral tidak
berbeda dengan pemberian terapi intravena. Di ruang rawat kortikostreoid
sistemik diberikan karena mempercepat penyembuhan serangan asma akut.
Dosis kortikostreoid sangat bervariasi, terapi oral 40-60 mg perhari setara
prednisolon sampai 4 kali 125 mg metilprednisolon perhari.4 Terapi parenteral
berlangsung 2-3 hari, untuk selanjutnya dipindahkan ke terapi oral sepanjang
pemantauan ketat, tidak diperlukan tappering off selama pemberian
kortikostreoid kurang dari 1 minggu.
5. Epinefrin atau adrenalin
Epinefrin atau adrenalin baru boleh diberikan bila agonis beta 2 baik
Nebulizer/Inhaler maupun suntikan tidak tersedia. Pada anafilaksis dan
angioedema epinefrin merupakan obat utama. Dosis epinefrin 0,3 cc subkutan
dapat diberikan setiap 20 menit sampai 3 kali.
6. Aminofilin :
- Di ruang gawat darurat aminofilin tidak dianjurkan karena umumnya tidak
akan menambahkan bronkodilatasi yang sudah dicapai oleh terapi awal
agonis beta 2, bahkan hanya akan menambah efek samping.
- Pemakaian teofilin di ruang rawat masih kontroversi.
- Dosis awal aminofilin intravena sebagai bolus 5 mg/kgBB bila 24 jam
sebelumnya tidak mendapatkan teofilin. Dosis pemeliharaan 0,5-0,6
mg/kgBB/jam dalam infus.
- Sebaiknya kadar teofilin serum dipantau untuk menghindari efek toksik.
7. Obat-obat / cara yang lain
- Antibiotik diberikan bila ada infeksi sekunder.
- Mukolitik diragukan manfaatnya.
- Obat sedatif/hipnotik tidak boleh diberi karena bisa memperburuk
asmanya.
- Antihistamin tidak mempunyai tempat pada serangan asma.
- Fisioterapi tidak bermanfaat pada serangan asma.
- Hidrasi yang berlebihan tidak memberikan manfaat.
18
Penilaian Ulang
Penilaian ulang penderita dilakukan setelah pemberian terapi awal selesai (60-
90 menit) setelah terapi awal dimulai. Respons terapi awal diruang gawat darurat
menentukan apakah selanjutnya penderita dirawat. Penilaian awal tersebut
meliputi kesan subyektif penderita, pemeriksaan fisik, pengukuran APE, dan
analisis gas darah. Selanjutnya seperti terlihat pada gambar 2. apakah penderita
akan selanjutnya dirawat atau bahkan masuk ruang perawatan intensif.
Perawatan Inap
Kebutuhan untuk merawat penderita diambil berdasarkan lama dan beratnya
serangan asma, beratnya obstruksi saluran nafas, riwayat berat dan perjalanan
serangan sebelumnya, obat-obat yang dipakai pada serangan sekarang, fasilitas
perawatan, dukungan keluarga, kondisi rumah serta adanya gangguan psikiatrik.
Prinsip perawatan di ruang rawat pada dasarnya sama dengan diruang gawat
darurat, yang meliputi terapi oksigen, bronkodilator, kortikosteroid sistemik, dan
penilaian serta pemantauan yang lebih sering terhadap gejala, kelelahan maupun
fungsi paru.
Penderita sebaiknya dirawat bila :
- Respons terhadap terapi awal tidak memuaskan setelah 1-2 jam pengobatan.
- Terdapat obstruksi berat yang menetap (APE < 40% nilai prediksi/nilai
terbaik)
- Riwayat serangan asma berat sampai dirawat.
- Terdapat faktor risiko kematian.
- Gejala asma yang berkepanjangan sebelum mengunjungi ruang gawat darurat.
- Jalan menuju fasilitas pengobatan tidak adekuat.
- Kesulitan memperoleh transportasi dari rumah ke rumah sakit bila keadaan
memburuk.
- Kondisi rumah yang tidak memadai.
I.6 Komplikasi asma bronkial
Penumothoraks
Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
19
Atelektasis
Aspergilosis bronkopulmoner alergik
Gagal nafas
Bronkitis
Fraktur costae
B. Tuberkulosis
B.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberkulosis.
B.2 Epidemiologi
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 – 3
juta setiap tahun. Indonesia masih menempati urutan ke-3 di dunia untuk jumlah
kasus TB setelah India dan Cina. Setiap satu menit muncul satu penderita baru TB
paru. Setiap dua menit muncul satu penderita TB paru yang menular. Setiap empat
menit satu orang meninggal akibat TB di Indonesia.
Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian
akibat TB. Di Indonesia, TB adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit
menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung
dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
B.3 Klasifikasi
TB Paru adalah TB yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
- Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
i. TB paru BTA (+) adalah:
- Minimal 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA (+)
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+)
dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran TB aktif.
- Hasil pemeriksaan 1 spesimen dahak menunjukkan BTA(+)
dan biakan (+).
20
ii. TB paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-),
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan
tuberkulosis aktif.
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan
biakan M. tuberculosis positif.
- Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
- Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan.
- Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif.
- Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah
menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
- Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
- Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA
masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan
pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
- Kasus bekas TB
o Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif
bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan
21
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung.
o Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan
telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
TB Ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,
saluran kencing, dan lain-lain.
B.4 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Gejala klinis
Gejala klinis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan sistemik.
Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratori
o batuk ≥ 2 minggu
o batuk darah
o sesak napas
o nyeri dada
2. Gejala sistemik
o demam (biasanya subfebril menyerupai demam influenza yang
bersifat hilang timbul)
o malaise
o keringat malam
o anoreksia
o berat badan menurun
Pemeriksaan Fisis
22
Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak atau sulit sekali
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior dan inferior, di daerah apeks. Dapat ditemukan suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma, dan mediastinum.
Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi
redup, auskultasi suara napas bronkial, ronki basah, kasar, dan nyaring. Akan
tetapi jika infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, auskultasi menjadi vesikuler
melemah. Bila ada kavitas cukup besar, perkusi hipersonor atau timpani dan
auskultasi amforik.
TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit menjadi ciut dan menarik isi
mediastinum atau paru lainnya. Bila fibrosis lebih dari setengah jumlah jaringan
paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran paru, dan selanjutnya hipertensi
pulmonal diikuti terjadinya tanda-tanda korpulmonal dan gagal jantung kanan.
Jika TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit
terlihat agak tertinggal dalam pernapasan, perkusi pekak, dan auskultasi suara
napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
Pemeriksaan Bakteriologi
Bahannya berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinalis, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feces, dan jaringan
biopsi. Pemeriksaan sputum paling penting karena dengan ini diagnosis pasti TB
dapat ditegakkan. Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapatkan sputum,
karena pasien tidak batuk atau batuk non produktif. Oleh karena itu, dianjurkan
satu hari sebelumnya, pasien minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan
melakukan reflex batuk. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan bilasan
bronkus atau bilasan lambung, biasanya pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahak.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan bila:
23
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian:
bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif
bila 3 kali negatif BTA negatif
Pemeriksaan Radiologi
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sebagai berikut:
Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan, serta tidak dijumpai kavitas.
Lesi sedang, lesi terdapat pada 1 atau 2 paru dengan luas total tak melebihi
batas sebagai berikut:
o Lesi dengan sensitas sedang, luas seluruh lesi tidak melebihi satu
volume paru
o Lesi dengan densitas tinggi/konfluen, luas seluruh lesi tidak melebihi
luas 1/3 paru
o Bila ada kavitas ukurannya tak melebihi 4 cm.
Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi derajat sedang.
Regimen Pengobatan Berdasarkan Kategori (WHO / Depkes RI)
Kategori Kriteria penderitaFase awal Fase
lanjutan
I Kasus baru BTA (+) Kasus baru BTA (-) Ro (+) sakit berat Kasus TBEP berat
2 RHZE (RHZS)2 RHZE (RHZS)2 RHZE (RHZS)*
6 EH4 RH4 R3H3*
II Kasus BTA positif Kambuh Gagal Putus berobat
2 RHZES / 1 RHZE2 RHZES / 1 RHZE*
5 RHE5 R3H3E3*
III Kasus baru BTA (-) TBEP ringan
2 RHZ (E)2 RHZ (E)2 RHZ* (E)
6 EH4 RH4 R3H3*
24
IV Kasus kronik Obat-obat sekunder
* Yang diterapkan di Indonesia
BAB II
LAPORAN KASUS
II.1 IDENTIFIKASI
• Nama : Ny. NP
• Umur : 29 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
25
• Alamat : Jl. Ki Marogan
• Status : Menikah
• Pekerjaan : Buruh
• Agama : Islam
• MRS : 14 Mei 2013
• Rekam Medis : 375436
II.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis, tanggal 14 Mei 2013)
Keluhan utama
Sesak nafas yang bertambah parah sejak ± 3 hari SMRS.
Keluhan tambahan
Batuk berdahak.
Riwayat perjalanan penyakit
Sejak ± 3 bulan SMRS, pasien sering mengeluh sesak nafas. Sesak nafas
terutama dirasakan saat aktivitas berat. Sesak nafas dipengaruhi juga oleh posisi,
cuaca dingin, dan debu. Sesak disertai suara mengi. Gejala ini dirasakan hampir
setiap hari. Sesak pada malam hari dirasakan pasien terjadi ± 2 kali per minggu.
Pasien lebih nyaman menggunakan bantal tinggi saat tidur. Pasien juga mengeluh
batuk berdahak, jumlah dahak ± 1 sendok makan tiap kali berdahak, dahak
berwarna putih, dan darah tidak ada. Demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual
dan muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, serta keringat di malam hari tidak
ada. Buang air besar dan buang air kecil seperti biasa. Kemudian, pasien berobat
ke RS Paru Palembang dan dikatakan menderita asma. Pasien diberi obat
salbutamol 3x1 tab, cefadroxil 2x500 mg, dan ranitidin 2x1 tab. Keluhan yang
dirasakan pasien pun berkurang. Pasien kontrol rutin ke RS Paru dan diberikan
obat yang sama.
Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengeluh sesak nafas bertambah parah.
Sesak nafas dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dingin, dan debu. Sesak nafas sudah
dirasakan, walaupun pasien hanya beraktivitas ringan. Sesak disertai suara mengi.
26
Pasien juga mengeluh batuk berdahak, jumlah dahak ± 2 sendok makan tiap kali
berdahak, dahak berwarna putih, darah tidak ada. Pasien meminum obat yang
biasa diminum, namun keluhan tidak berkurang. Pasien merasa nyaman saat
duduk atau tidur dengan menggunakan bantal yang tinggi. Pasien juga sulit dalam
berbicara. Demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual dan muntah tidak ada,
nyeri ulu hati tidak ada, serta keringat di malam hari tidak ada. Buang air besar
dan buang air kecil seperti biasa. Nafsu makan menurun, namun berat badan
menurun drastis tidak ada. Kemudian, pasien berobat ke RSUD Bari Palembang.
Riwayat penyakit dahulu:
a. Riwayat penyakit asma sebelumnya ada, sejak 20 tahun yang lalu. Pasien
juga pernah dirawat di rumah sakit karena serangan asma.
b. Pada tahun 2010, pasien didiagnosis menderita penyakit TB paru,
kemudian pasien diberi OAT selama 9 bulan, dan telah dinyatakan
sembuh.
c. Riwayat bersin-bersin di pagi hari serta alergi debu, dingin, dan makanan
ada.
d. Riwayat merokok disangkal.
e. Riwayat darah tinggi disangkal.
f. Riwayat penyakit jantung disangkal.
g. Riwayat trauma pada hidung, leher, dan dada disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat penyakit asma dalam keluarga ada, yakni kakek dari ayah pasien.
b. Riwayat penyakit TB paru dalam keluarga disangkal.
II.3 PEMERIKSAAN FISIK (14 Mei 2013)
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Dehidrasi : (-)
27
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 26 x/menit
Suhu : 36,80 C
Berat badan : 38 kg
Tinggi badan : 155 cm
Keadaan spesifik
Kulit
Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), scar
(-), keringat umum (-), keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan kaki
(-), pertumbuhan rambut normal.
KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah aksila, leher, inguinal, dan submandibula
serta tidak ada nyeri tekan pada daerah tersebut.
Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, dan deformitas (-).
Mata
Eksoftalmus dan endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat
(-), sklera ikterik (-), pupil bulat, isokor, refleks cahaya normal, diameter 3 mm/3
mm, pergerakan mata baik ke segala arah.
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan, pernapasan cuping hidung (+).
Telinga
Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-), pendengaran baik.
28
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah
(-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan.
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5-2) cmH O, kaku kuduk (-).
Thoraks
Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)
Pulmo
I :
P:
P:
A:
Statis dan dinamis simetris kanan dan kiri, retraksi (+) suprasternal
dan supraclavicular.
Stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri.
Sonor pada kedua lapangan paru.
Vesikuler (+) normal. Ronkhi (-). Wheezing (+) ekspirasi.
Cor
I :
P:
P:
A:
Iktus kordis tidak terlihat.
Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).
Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis dekstra,
batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS V.
HR = 82 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)
Abdomen
I :
P:
P:
Datar, venektasi (-)
Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor
kulit normal.
Timpani
29
A: Bising usus (+) normal
Genitalia : tidak diperiksa
Extremitas superior :
Tonus normal, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan
parut (-), pigmentasi normal, akral hangat, jari tabuh (-), turgor kembali cepat,
CRT < 2 detik, clubbing finger (-).
Extremitas inferior :
Tonus normal, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema pretibial (-),
jaringan parut (-), pigmentasi normal, akral hangat, jari tabuh (-), turgor kembali
cepat, CRT < 2 detik, clubbing finger (-).
II. 4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (14 Mei 2013)
Hematologi:
1) Hemoglobin : 13,8 g/dl ( N: 12-14 g/dl )
2) Leukosit : 10.300 /mm3 ( N: 5000-10000/ mm³ )
3) Trombosit : 352.000 /mm3 ( N: 150.000-400.000/ mm³ )
4) Hematokrit : 43 vol% ( N: 37-43 vol% )
5) Diff. Count :
- Basofil : 0 ( N: 0-1 )
- Eosinofil : 1 ( N: 1-3 )
- Batang : 1 ( N: 2-6 )
- Segmen : 90 ( N: 50-70 )
- Limfosit : 6 ( N: 20-40 )
- Monosit : 2 ( N: 2-8 )
Kimia Klinik:
1) BSS : 137 mg/dl
2) Bilirubin Total : 0,5 mg/dl ( N: < 1,1 mg/dl )
30
3) Bilirubin Direk : 0,1 mg/dl ( N: < 0,35 mg/dl )
4) Bilirubin Total : 0,4 mg/dl ( N: < 0,75 mg/dl )
5) SGOT : 29 U/l ( N: < 31 U/l )
6) SGPT : 15 U/l ( N: < 31 U/l )
7) Protein Total : 7,2 g/dl ( N: 6,7-8,7 g/dl )
8) Albumin : 3,8 g/dl ( N: 3,8-5,1 g/dl )
9) Globulin : 4,0 g/dl ( N: 1,5-3,0 g/dl )
10) Ureum : 40 mg/dl ( N: 20-40 mg/dl )
11) Creatinin : 1,2 mg/dl ( N: 0,6-1,1 mg/dl )
12) Uric acid : 3,8 mg/dl ( N: 2,4-5,7 mg/dl )
13) Natrium : 144 mmol/l ( N: 135-155 mmol/l )
14) Kalium : 4,29 mmol/l ( N: 3,5-5,5mmol/l )
Rontgen Thoraks (13-05-2013)
Hasil Ekspertise (20-05-2013)
Cor : Tidak ada kelainan
Pulmo : Tampak perselubungan di suprahiller dexta
Kesan : Cenderung KP aktif
Gambar. Rontgen Thoraks Pasien
31
II.5 DIAGNOSIS BANDING
- Asma bronkial
- Tuberkulosis paru kasus kambuh
- Bronkitis kronis
- Emfisema paru
II.6 DIAGNOSIS KERJA
Serangan asma bronkial sedang pada asma persisten sedang + suspek
tuberkulosis paru kasus kambuh
II.7 PENATALAKSANAAN
Terapi non farmakologis
o Memberikan informasi mengenai penyakit asma yang diderita
pasien, berat / ringan penyakit asmanya, berat / ringan serangan
asmanya serta pengelolaan yang dianjurkan.
o Mengedukasi pasien untuk mengidentifikasi dan mengurangi
paparan terhadap faktor pencetus penyakit serta dapat
mengendalikan stres.
o Memberikan informasi agar pasien dapat memahami dan
memantau pengobatan pencegahan asma jangka panjang serta
rencana pengobatan emergensi untuk mengatasi serangan asma
yang mendadak (eksaserbasi akut asma).
o Memberikan informasi mengenai penyakit TB paru yang
kemungkinan diderita pasien lagi dan membutuhkan pengobatan
ulangan yang cukup lama.
o Menganjurkan olahraga secara teratur untuk meningkatkan
kebugaran badan (physical fitness).
o Melakukan kontrol teratur kepada dokter.
Terapi farmakologis
o O2 4-6 L/m
32
o Nebulisasi salbutamol kortikosteroid sistemik
o IVFD RL XX gtt/menit
o Ambroxol syrup 3x1 C
o Retaphyl 2 x ½ tab
o Rencana terapi OAT kategori II (2 RHZES/1 RHZE – 5 RH3Z3E)
II.8 RENCANA PEMERIKSAAN
Cek sputum BTA
II.9 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
BAB III
RESUME KASUS
Seorang perempuan berinisial Ny. NP, berumur 29 tahun, MRS 14 Mei
2013 dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah parah sejak ± 3 hari
SMRS dan keluhan tambahan batuk berdahak.
Sejak ± 3 bulan SMRS, pasien sering mengeluh sesak nafas. Sesak nafas
terutama dirasakan saat aktivitas berat. Sesak nafas dipengaruhi juga oleh posisi,
cuaca dingin, dan debu. Sesak disertai suara mengi. Gejala ini dirasakan hampir
setiap hari. Sesak pada malam hari dirasakan pasien terjadi ± 2 kali per minggu.
Pasien lebih nyaman menggunakan bantal tinggi saat tidur. Pasien juga mengeluh
batuk berdahak, jumlah dahak ± 1 sendok makan tiap kali berdahak, dahak
berwarna putih, dan darah tidak ada. Demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual
dan muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, serta keringat di malam hari tidak
ada. Buang air besar dan buang air kecil seperti biasa. Kemudian, pasien berobat
33
ke RS Paru Palembang dan dikatakan menderita asma. Pasien diberi obat
salbutamol 3x1 tab, cefadroxil 2x500 mg, dan ranitidin 2x1 tab. Keluhan yang
dirasakan pasien pun berkurang. Pasien kontrol rutin ke RS Paru dan diberikan
obat yang sama.
Sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengeluh sesak nafas bertambah parah.
Sesak nafas dipengaruhi oleh posisi, cuaca, dingin, dan debu. Sesak nafas sudah
dirasakan, walaupun pasien hanya beraktivitas ringan. Sesak disertai suara mengi.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak, jumlah dahak ± 2 sendok makan tiap kali
berdahak, dahak berwarna putih, darah tidak ada. Pasien meminum obat yang
biasa diminum, namun keluhan tidak berkurang. Pasien merasa nyaman saat
duduk atau tidur dengan menggunakan bantal yang tinggi. Pasien juga sulit dalam
berbicara. Demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, mual dan muntah tidak ada,
nyeri ulu hati tidak ada, serta keringat di malam hari tidak ada. Buang air besar
dan buang air kecil seperti biasa. Nafsu makan menurun, namun berat badan
menurun drastis tidak ada. Kemudian, pasien berobat ke RSUD Bari Palembang.
Pasien sebelumnya pernah didiagnosis menderita asma sejak 20 tahun
yang lalu dan pasien juga pernah dirawat di rumah sakit karena serangan asma.
Pada tahun 2010, pasien juga pernah didiagnosis menderita penyakit TB paru,
kemudian pasien diberi OAT selama 9 bulan, dan telah dinyatakan sembuh.
Pasien juga mempunyai riwayat bersin-bersin di pagi hari serta alergi debu,
dingin, dan makanan. Riwayat penyakit asma dalam keluarga pasien ada, yakni
kakek dari ayah pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan usaha bernafas seperti
peningkatan frekuensi pernafasan serta retraksi suprasternal dan supraclavicular.
Selain itu, terdapat wheezing (+) ekspirasi.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 10.300 /mm3 dan
differential count 0/1/1/90/6/2. Hasil ekspertise rontgen thoraks (20-05-2013)
didapatkan tidak ada kelainan pada cor dan tampak perselubungan di suprahiller
dextra. Kesan cenderung KP aktif.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis banding kasus, yakni asma bronkial, tuberkulosis paru kasus kambuh,
34
bronkitis kronis, dan emfisema paru. Diagnosis kerja kasus ini adalah serangan
asma sedang pada asma persisten sedang + suspek tuberkulosis paru kasus
kambuh. Pasien direncanakan dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk
memperkuat diagnosis.
Pasien mendapatkan terapi gawat darurat berupa oksigenasi 4-6 L/menit
dan dilakukan nebulisasi salbutamol sebanyak 2 kali kemudian diberikan
kortikosteroid sistemik berupa dexamethasone 1 ampul (i.v). Pasien juga dipasang
IVFD RL XX gtt/menit. Pasien diberikan obat ambroxol syrup 3x1 C sebagai
terapi simptomatik dan retaphyl 2 x ½ tab sebagai obat controller. Selain itu,
pasien direncanakan mendapatkan terapi OAT kategori II (2 RHZES/1 RHZE – 5
RH3Z3E).
Selain terapi farmakologis tersebut, terapi non farmakologis yang
diberikan kepada pasien, yakni memberikan informasi mengenai penyakit asma
yang diderita pasien, berat / ringan penyakit asmanya, berat / ringan serangan
asmanya serta pengelolaan yang dianjurkan, mengedukasi pasien untuk
mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor pencetus penyakit serta
dapat mengendalikan stres, memberikan informasi agar pasien dapat memahami
dan memantau pengobatan pencegahan asma jangka panjang serta rencana
pengobatan emergensi untuk mengatasi serangan asma yang mendadak
(eksaserbasi akut asma), juga memberikan informasi mengenai penyakit TB paru
yang kemungkinan diderita pasien lagi dan membutuhkan pengobatan ulangan
yang cukup lama, serta menganjurkan olahraga secara teratur untuk meningkatkan
kebugaran badan (physical fitness) dan melakukan kontrol teratur kepada dokter
jika pasien dinyatakan boleh rawat jalan.
Prognosis pada pasien ini yaitu quo ad vitam dan quo ad functionam
adalah dubia ad bonam.
FOLLOW UP SELAMA RAWAT INAP
15 Mei 2013
35
S Sesak napas (+), batuk dahak berkurang
O Keadaan umum
• Kesadaran : compos mentis
• Tekanan darah : 100/70 mmHg
• Nadi : 88 x/menit
• RR : 28 x/menit
• Temperatur : 37,0ºC
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Pulmo
I :
P:
P:
A:
Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)
suprasternal dan supraclavicular.
Stem fremitus kanan = kiri.
sonor di semua lapangan paru.
Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (+) ekspirasi.
Cor
I :
P:
P:
A:
Iktus kordis tidak terlihat.
Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).
Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis
dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS
V.
HR = 88 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)
Abdomen
I :
P:
P:
A:
Datar, venektasi (-)
Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
turgor kulit normal.
Timpani
Bising usus (+) normal
36
Genitalia : tidak diperiksa
Extremitas : edema pretibial -/-
A Serangan asma sedang pada asma persisten sedang + bekas tuberkulosis paru
P
o O2 4-6 L/m
o IVFD RL gtt XX/menit
o Diet NB TKTP
o Nebulisasi salbutamol/6 jam
o Ambroxol syrup 3x1 C
o Retaphyl 2 x ½ tab
o Rencana pemeriksaan rontgen thoraks dan cek sputum BTA
16 Mei 2013
S Sesak napas (+) berkurang, batuk dahak berkurang
O
Keadaan umum
• Kesadaran : compos mentis
• Tekanan darah : 100/60 mmHg
• Nadi : 86 x/menit
• RR : 26 x/menit
• Temperatur : 36,8ºC
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Pulmo
I :
P:
P:
A:
Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)
suprasternal dan supraclavicular.
Stem fremitus kanan = kiri.
sonor di semua lapangan paru.
Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (+) ekspirasi.
Cor
37
I :
P:
P:
A:
Iktus kordis tidak terlihat.
Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).
Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis
dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS
V.
HR = 86 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)
Abdomen
I :
P:
P:
A:
Datar, venektasi (-)
Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
turgor kulit normal.
Timpani
Bising usus (+) normal
Genitalia : tidak diperiksa
Extremitas : edema pretibial -/-
A Serangan asma sedang pada asma persisten sedang + bekas tuberkulosis paru
P
o O2 4-6 L/m
o IVFD RL gtt XX/menit
o Diet NB TKTP
o Nebulisasi salbutamol/8 jam
o Ambroxol syrup 3x1 C
o Retaphyl 2 x ½ tab
o Rencana pemeriksaan rontgen thoraks dan cek sputum BTA
17 Mei 2013
S Sesak napas (+) berkurang, batuk dahak berkurang
O Keadaan umum
• Kesadaran : compos mentis
• Tekanan darah : 110/70 mmHg
• Nadi : 82 x/menit
• RR : 24 x/menit
38
• Temperatur : 36,5ºC
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Pulmo
I :
P:
P:
A:
Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)
suprasternal dan supraclavicular.
Stem fremitus kanan = kiri.
sonor di semua lapangan paru.
Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (+) ekspirasi.
Cor
I :
P:
P:
A:
Iktus kordis tidak terlihat.
Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).
Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis
dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS
V.
HR = 82 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)
Abdomen
I :
P:
P:
A:
Datar, venektasi (-)
Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
turgor kulit normal.
Timpani
Bising usus (+) normal
Genitalia : tidak diperiksa
Extremitas : edema pretibial -/-
A Serangan asma sedang pada asma persisten sedang + bekas tuberkulosis paru
P
o O2 4-6 L/m
o IVFD RL gtt XX/menit
o Diet NB TKTP
39
o Nebulisasi salbutamol/8 jam
o Ambroxol syrup 3x1 C
o Retaphyl 2 x ½ tab
o Rencana pemeriksaan rontgen thoraks dan cek sputum BTA
18 Mei 2013
S Sesak napas (-), batuk dahak berkurang
O
Keadaan umum
• Kesadaran : compos mentis
• Tekanan darah : 100/70 mmHg
• Nadi : 90 x/menit
• RR : 24 x/menit
• Temperatur : 37,0ºC
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Pulmo
I :
P:
P:
A:
Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)
suprasternal dan supraclavicular.
Stem fremitus kanan = kiri.
sonor di semua lapangan paru.
Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Cor
I :
P:
P:
A:
Iktus kordis tidak terlihat.
Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).
Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis
dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS
V.
HR = 90 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)
40
Abdomen
I :
P:
P:
A:
Datar, venektasi (-)
Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
turgor kulit normal.
Timpani
Bising usus (+) normal
Genitalia : tidak diperiksa
Extremitas : edema pretibial -/-
A Asma persisten sedang + bekas tuberkulosis paru
P
o IVFD RL gtt XX/menit
o Diet NB TKTP
o Ambroxol syrup 3x1 C
o Retaphyl 2 x ½ tab
o Rencana pemeriksaan rontgen thoraks dan cek sputum BTA
20 Mei 2013
S Sesak napas (-), batuk dahak berkurang
O Keadaan umum
• Kesadaran : compos mentis
• Tekanan darah : 100/60 mmHg
• Nadi : 88 x/menit
• RR : 22 x/menit
• Temperatur : 37,0ºC
Kepala: konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Pulmo
I : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (+)
suprasternal dan supraclavicular.
41
P:
P:
A:
Stem fremitus kanan = kiri.
sonor di semua lapangan paru.
Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Cor
I :
P:
P:
A:
Iktus kordis tidak terlihat.
Iktus kordis tidak teraba, thrill (-).
Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan linea sternalis
dekstra, batas jantung kiri linea midclavivularis sinistra ICS
V.
HR = 88 x/menit, BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)
Abdomen
I :
P:
P:
A:
Datar, venektasi (-)
Lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
turgor kulit normal.
Timpani
Bising usus (+) normal
Genitalia : tidak diperiksa
Extremitas : edema pretibial -/-
Hasil Ekspertise Rontgen Thoraks (20-05-2013)
Cor : Tidak ada kelainan
Pulmo : Tampak perselubungan di suprahiller dexta
Kesan : Cenderung KP aktif
A Asma persisten sedang + suspek tuberkulosis paru kasus kambuh
P
o IVFD RL gtt XX/menit
o Diet NB TKTP
o Ambroxol syrup 3x1 C
o Retaphyl 2 x ½ tab
o Rencana terapi OAT kategori II (2 RHZES/1 RHZE – 5
RH3Z3E)
o Rencana pemeriksaan sputum BTA
42
BAB IV
ANALISIS KASUS
Dari anamnesis didapatkan sesak nafas yang bertambah parah sejak ± 3
hari SMRS. Sesak napas adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan
darurat tetapi intensitas dan tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman di dada
yang dapat membaik sendiri; yang membutuhkan bantuan napas yang serius
(severe air hunger) sampai yang fatal. Tabel di bawah ini mencantumkan
sebagian besar penyebab sesak napas.
Tabel Penyebab Sesak Napas.
Penyakit saluran napas
Asma
Bronkhitis kronis
Emfisema
Sumbatan laring
Penyakit Vaskular Paru
Emboli paru
Korpulmonal
Hipertensi Paru Primer
Penyakit Veno-Oklusi Paru
43
Tertelan benda asing
Penyakit parenkimal
Pneumonia
Gagal jantung kongestif
Adult Respiratory Distress Syndrome
Pulmonary infiltrates with eosinofilia
Penyakit Pleura
Pneumothoraks
Efusi Pleura, hematotoraks
Fibrosis
Penyakit Dinding Paru
Trauma
Penyakit neurologik
Kelainan tulang
Diagnosis banding pasien ini adalah asma bronkial, tuberkulosis paru
kasus kambuh, bronkitis kronis, dan emfisema paru.
Sesak merupakan gejala utama emfisema paru, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Pada emfisema tidak pernah
ada remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan dada kembung, peranjakan nafas terbatas, pekak hati menurun, dan
suara nafas sangat lemah. Pemeriksaan foto thoraks menunjukkan hiperinflasi.
Pada pasien, gejala sesak, batuk, dan menginya sama-sama menonjol.
Pasien masih terdapat masa remisi, dapat beraktivitas jika serangan sesak tidak
dirasakan. Kemudian, keadaan spesifik pada paru pasien tidak ditemukan dada
kembung, pada perkusi masih sonor, dan suara nafas tidak menurun, serta rontgen
thoraks tidak menunjukkan hiperinflasi paru, sehingga diagnosis sementara
emfisema paru bisa disingkirkan.
Sedangkan, bronkitis kronis ditandai dengan batuk kronik yang
mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun sedikitnya 2 tahun. Gejala utama
batuk disertai dengan sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari
35 tahun dan perokok berat, gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, yang lama
kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada
stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonale.
44
Pada pasien ini, gejala yang dirasakannya tidak hanya dimulai pada pagi
hari. Gejala dapat dirasakan sepanjang waktu. Selain itu, pasien berumur 29 tahun
dan riwayat merokok disangkal oleh penderita. Selanjutnya tanda sianosis dan kor
pulmonale tidak ditemukan. Sehingga, diagnosis sementara bronkitis kronis bisa
disingkirkan.
Sedangkan, sesak nafas juga merupakan gejala lanjut yang dirasakan
pasien TB paru. Batuk biasanya ada, baik kering ataupun produktif dengan atau
tanpa darah. Pasien juga biasanya mengalami demam subfebris, pada penyakit ini
juga sering merasakan penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan yang
drastis.
Pada pasien ini, sesak dan batuk dirasakan. Namun, pasien tidak
mengalami demam. Pasien mengalami penurunan nafsu makan namun pasien
tidak mengalami penurunan berat badan yang drastis. Pasien memang mempunyai
riwayat penyakit TB paru dan minum OAT selama 9 bulan, dan dinyatakan
sembuh. Hasil ekspertise rontgen thoraks (20-05-2013) menunjukkan bahwa cor
tidak ada kelainan dan pulmo tampak perselubungan di suprahiller dexta. Kesan
cenderung KP aktif. Sehingga, diagnosis TB paru kasus kambuh belum dapat
disingkirkan. Untuk itu, pasien disarankan untuk menjalani pemeriksaan cek
sputum BTA.
Namun, dari anamnesis, sesak nafas yang dialami yang dipengaruhi
aktivitas, posisi, cuaca dingin, dan debu. Sesak disertai dengan suara mengi.
Pasien juga pernah didiagnosis menderita asma sejak 20 tahun yang lalu dan
pernah dirawat karena mengalami asma. Pasien juga sering mengalami bersin-
bersin di pagi hari serta mempunyai alergi terhadap debu, dingin, dan makanan.
Keluarga pasien, yakni kakek pasien juga mengalami hal yang sama. Selanjutnya,
pada pemeriksaan fisik ditemukan retraksi suprasternal dan supraclavicular dan
terdapat wheezing (+) ekspirasi. Sehingga, diagnosis kerja yang paling mungkin
untuk pasien ini adalah asma bronkial.
Saat serangan, pasien merasakan sesak nafas saat berbicara, pasien
kesulitan dalam berbicara. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi pernafasan
saat datang ke IGD RSUD Bari Palembang adalah 30 x/menit dengan nadi 102
45
x/menit. Pada inspeksi, pasien nampak menggunakan otot bantu nafas untuk
bernafas. Wheezing terdengar cukup keras. Sehingga berdasarkan klasifikasi berat
ringannya asma bronkial sewaktu serangan, pasien dapat digolongkan asma
sedang.
Tabel. Klasifikasi Berat Ringannya Asma Bronkial Sewaktu Serangan
Gejala/tanda Asma ringan Asma sedang Asma beratAncaman henti
napasKesadaran Sedikit agitasi Agitasi Agitasi Bingung, kantukSesak napas saat Berjalan Berbicara BeristirahatBicara dalam Kalimat Frase Kata per kataWheezing Sedang Keras Keras Tidak terdengarOtot bantu napas dan retraksi suptasternal
Tidak digunakanDigunakan Digunakan Napas torako-
abdominal paradoksal
Laju napasDenyut nadi/menit
Meningkat100
Meningkat100-120
>30/menit120
Pulsus paradoksus Absen (<10mmHg)
Kadang ada(10-25mmHg)
Ada >25mmHg
Tidak ada, kelelahan otot
pernapasanVEP setelah pemberian bronkodilator inisial
>80% nilai prediksi atau nilai terbaik
60-80% <60%
Diluar serangan, gejala ini dirasakan hampir setiap hari. Sesak pada malam
hari dirasakan pasien terjadi ± 2 kali per minggu. Pasien lebih nyaman
menggunakan bantal tinggi saat tidur. Sehingga, berdasarkan klasifikasi berat
ringannya asma bronkial diluar serangan, pasien ini digolongkan menjadi asma
persisten sedang.
Tabel. Kalsifikasi Berat Ringannya Asma Bronkial Diluar Serangan
Berat/ ringan asma bronkial
Gejala klinis Fungsi paru
Intermiten • Intermiten, gejala 1x/mg• Gejala asma malam <2x/bln• Eksaserbasi sebentar• Tidak ada gejala dan fungsi paru
normal diantara serangan
APE atau VEP1- >80% nilai duga- Variabilitas < 20%
Persisten ringan • Gejala >1x/mg, tetapi <1x/hr• Gejala asma malam >2x/bln• Eksaserbasi dapat menggangu
aktivitas dan tidur
APE atau VEP1- >80% nilai duga- Variabilitas 20-30%
Persisten sedang
• Gejala setiap hari• Gejala asma malam >1x/mg• Eksaserbasi dapat menggangu
aktivitas dan tidur
APE atau VEP1- 60-80% nilai duga- Variabilitas >30%
46
Persisten berat • Kambuhan sering. Gejala sesak terus menerus
• Gejala asma malam hari sering• Aktivitas fisik terbatas karena asma
APE atau VEP1- <60% nilai duga- Variabilitas >30%
Sehingga diagnosis akhir pada pasien ini adalah serangan asma bronkial
sedang pada asma persisten sedang + suspek tuberkulosis paru kasus kambuh.
Pasien mendapatkan terapi gawat darurat berupa oksigenasi 4-6 L/menit
dan dilakukan nebulisasi salbutamol sebanyak 2 kali kemudian diberikan
kortikosteroid sistemik berupa dexamethasone 1 ampul (i.v). Dengan pemberian
terapi ini, respon pasien cukup baik, namun belum sempurna. Selain itu, pasien
berisiko. Untuk itu, pasien dirawat inap.
Pasien juga dipasang IVFD RL XX gtt/menit. Pasien diberikan obat
ambroxol syrup 3x1 C sebagai terapi simptomatik dan retaphyl 2 x ½ tab sebagai
obat controller penyakit asmanya. Selain itu, pasien direncanakan mendapatkan
terapi OAT kategori II (2 RHZES/1 RHZE – 5 RH3Z3E) untuk terapi tuberkulosis
paru.
Selain terapi farmakologis tersebut, terapi non farmakologis yang
diberikan kepada pasien, yakni memberikan informasi mengenai penyakit asma
yang diderita pasien, berat / ringan penyakit asmanya, berat / ringan serangan
asmanya serta pengelolaan yang dianjurkan, mengedukasi pasien untuk
mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor pencetus penyakit serta
dapat mengendalikan stres, memberikan informasi agar pasien dapat memahami
dan memantau pengobatan pencegahan asma jangka panjang serta rencana
pengobatan emergensi untuk mengatasi serangan asma yang mendadak
(eksaserbasi akut asma), juga memberikan informasi mengenai penyakit TB paru
yang kemungkinan diderita pasien lagi dan membutuhkan pengobatan ulangan
yang cukup lama, serta menganjurkan olahraga secara teratur untuk meningkatkan
kebugaran badan (physical fitness) dan melakukan kontrol teratur kepada dokter
jika pasien dinyatakan boleh rawat jalan.
Prognosis pada pasien ini yaitu quo ad vitam adalah dubia ad bonam
karena jika penatalaksanaan yang adekuat pasien, penderita dapat tetap hidup
dengan kelainan paru yang dideritanya saat ini. Selain itu, prognosis quo ad
47
functionam adalah dubia ad bonam, karena jika ditatalaksana dengan baik maka
fungsi paru berangsur-angsur dapat membaik.
Gambar 2. Global strategy for Asthma Management and Prevention (2002), algoritma penanganan asma di rumah sakit.
48
Penilaian awal:* Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas,
APE atau FEV, analisis gas darah pada pasien berat dan pemeriksaan lain jika diperlukan).
Pengobatan awal:* Inhalasi β2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam.* Oksigen 4-6 1/menit untuk mencapai saturasi O2
3 90% (95% untuk anak-anak).* Kortikosteroid sistemik, Hidrokortison 100-200 mg atau Metil Prednisolon i.v. bila tidak ada respon
segera atau jika pasien sedang mendapat steroid per oral atau episode yang berat. * Sedatif merupakan kontraindikasi pada penanganan serangan aku / eksaserbasi.
Ulangi penilaian APE, saturasi O2 pemeriksaan lain bila diperlukan
Episode serangan berat:* APE<60% perkiraan / nilai terbaik* Pemeriksaan fisik: gejala berat saat istirahat,
retraksi dinding dada.* Riwayat: pasien risiko tinggi* Tak ada perbaikan setelah pengobatan awal.* Inhalasi β2 agonis tiap jam atau kontinu dengan
atau tanpa inhalasi antikolinergik.* Oksigen.* Kortikosteroid sistemik.* Pertimbangkan β2 agonis S.C., I.M., atau I.V.
Episode serangan sedang:* APE 50-70% dari nilai yang diperkirakan
atau nilai terbaik.* Pemeriksaan fisik: asma sedang, otot bantu
pernafasan.* Inhalasi β2 agonis tiap 60 menit.* Teruskan pengobatan 1-3 jam. Respon tidak sempurna
dalam 1-2jam:- Riwayat: pasien risiko
tinggi.- PF: gejala ringan-sedang.- Saturasi O2 tidak membaikDirawat di RS:- Inhalasi β2 agonis +
inhalasi antikolinergik.- Kortikosteroid sistemik.- Oksigen.- Pertimbangkan aminofilin
I.V.- Pantau APE, saturasi O2
nadi, teofilia.
Respon baik:- Respon bertahan selama 60
menit setelah terapi terakhir.- Pemeriksaan fisik normal.- APE > 70 %.- Tidak ada distress.- Saturasi O2 >90% (95 %
pada anak-anak).Dipulangkan:- Teruskan pengobatan dengan
inhalasi β2 agonis. - Pertimbangkan kortikosteroid
peroral.- Pendidikan pasien: minum
obat secara teratur, tinjau rencana kerja, follow up ketat.
Respon buruk dalam 1 jam- Riwayat pasien risiko tinggi.- PF: gejala berat, mengantuk
dan bingung.- APE < 30 %.- PCO2 > 45 mmHg.- PO2 < 60 mmHgRawat di ICU:.- Inhalasi β2 agonis + inhalasi
antikolinergik.- Kortikosteroid intravena- Pertimbangkan β2 agonis S.C.,
I.M./ I.V.- Oksigen.- Aminofilia i.v.- Intubasi dan ventilasi mekanik
DAFTAR PUSTAKA
Abiyoso. Tuberkulosis Praktis. Malang: Program Studi Paru RSU Dr. Saiful Anwar
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2003
Aditama TY dkk. Tuberkulosis. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
Ahmad, Zen. Tuberkulosis Paru. Dalam Naskah Lengkap Work-Shop Pulmology
Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT-4) Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel.
FK Unsri: hlm.95-119 (2002).
Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis Paru. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. pp.998-1004
Baratawidjaja, Karnen G.Imunologi Dasar ed.7. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: hlm.419-425 (2006)
Fauci, Braunwald, Kasper,Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Chapter 248: Asthma.
Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.The McGraw-Hill
Companies, Inc.(2008).
49
Dipulangkan:Jika APE>70% perkiraan / nilai terbaik dua bertahan dengan pengobatan peroral/inhalasi selama minimal 60 menit.
Rawat di ICU:Jika tidak ada perbaikan dalam waktu 6-12 jam
Membaik Tidak membaik
Global Initiative For Asthma (GINA): Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (Updated 2007-2008).
Mansjoer, Arif M., dkk [ed.]. Asma Bronkial. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran jilid I
edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI: hlm. 476-480 (2001).
National Heart, Lung, and Blood Institute, National Asthma Education and Prevention
Program. Expert Panel Report 3: Guidelines for Diagnosis and Management of
Asthma: Full Report 2007.
Rani, Aziz dkk [ed]. Asma Bronkial. Dalam: Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: hlm.291-293 (2004).
Rasyid, Ahmad. Asma Bronkial. Dalam Naskah Lengkap Work-Shop Pulmology
Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT-4) Ilmu Penyakit Dalam PAPDI Sumbagsel.
FK Unsri: hlm.19-42 (2002).
Sundaru, Heru; Sukamto: Asma Bronkial. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI:
hlm.245-254 (2006).
50
1