(fix) makalah modul 3 perkreditan pertanian 2007

26
KEBIJAKAN KREDIT PERTANIAN ( Praktikum Pembangunan Ekonomi Pertanian ) Disusun Oleh : Kelompok 4 1. Linda Permata Sari 135040101111027 2. Sarwoedy 135040101111044 3. Isnia Indri Wahyu A. 135040101111047 4. Randy Andriawan 135040101111054 5. Ammar Quwata 135040101111055 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

Upload: anggoro-putra-pradita

Post on 16-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

makalh produk pertanian

TRANSCRIPT

KEBIJAKAN KREDIT PERTANIAN( Praktikum Pembangunan Ekonomi Pertanian )

Disusun Oleh :Kelompok 4

1. Linda Permata Sari

135040101111027

2. Sarwoedy

1350401011110443. Isnia Indri Wahyu A.

135040101111047

4. Randy Andriawan

1350401011110545. Ammar Quwata

135040101111055PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangTerjadinya kesenjangan sosial sehingga disparitas pendapatan masyarakat semakin lebar, dimana golongan ekonomi lemah semakin banyak dan sebagian besar adalah pada sektor pertanian. Dalam masalah permodalan, sektor pertanian belum terlayani secara khusus dalam perbankan nasional, walupun pemerintah telah berupaya memberikan prioritas dengan kebijakankebijakan perkreditan perbankan di sektor ini antara lain, Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Kepada Koperasi (KKop). Meskipun telah menjadi salah satu pilar dalam strategi pembangunan, sektor pertanian tetap kesulitan memperoleh pembiayaan dari perbankan. Bahkan sektor ini semakin ditinggalkan perbankan, hal ini tercermin dalam menyusutnya porsi kredit pada sektor pertanian dibandingkan dengan sektorsektor lainnya. Rendahnya kredit pada sektor pertanian ini cukup ironis, menggingat sebagian besar rakyat Indonesia kehidupannya justru bertumpu pada sektor pertanian. Keengganan perbankan menyalurkan kredit pada sector pertanian ini tersirat adanya Trauma karena tingginya resiko kredit bermasalah (Macet) terutama sejak mencuatnya banyak kasus Kredit Usaha Tani (KUT) yang macet beberapa tahun lalu. Menurut Sutarto Alimoeso, Direktur Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Realisasi Kredit Ketahanan Pangan (KKP) untuk sector pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan hingga Oktober 2007 baru mencapai Rp. 20 Miliar. Penyerapan dana bank oleh petani kecil ini baru 5 % atau jauh dibawah pagu anggaran yang disediakan untuk sub sektor ini sebesar Rp. 400 Miliar. Penyerapan kredit oleh petani selalu kecil, kenyataan ini bertolak belakang dengan sulitnya petani mendapatkan modal. Dari tahun ke tahun penyerapan modal selalu rendah, tidak berbeda dengan angka itu (5 % dari pagu). Rendahnya penyaluran kredit ini bukan karena petani tidak memerlukannya, namun bank selalu beranggapan bahwa kredit untuk petani resikonya tinggi dan tingkat pengembaliannya rendah.

1.2 Tujuan

1. Agar mahasiswa dapat memahami kebijakan pertanian yaitu kebijakan mengenai kredit pertanian2. Agar mahasiswa dapat mengerti perkembangan kebijakan kredit pertanian di Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1Pengertian Kredit Sektor Pertanian

Masalah seputar penyediaan modal dan sulitnya akses ke perbankan umum adalah kendala yang sering dilontarkan oleh para petani, baik petani tradisionil , pedagang maupun pengumpul hingga industri rumah tangga yang berbasis pertanian. Kredit sektor pertanian termasuk kredit produktif yang menghasilkan barang berupa bahan makanan utama rakyat Indonesia, membicarakan kredit sektor pertanian dengan sendirinya tidak akan terlepas dari pola tata hidup pertanian yang selalu terkait dengan keadaan alam, luas tanah garapan, pola tanam, dan musim.

Kredit sektor pertanian ini secara tehnis perkreditan dan sosial ekonomi memerlukan suatu kajian secara khusus, hal ini tidak terlepas faktor-faktor kehidupan petani, pedesaan, kepadatan penduduk, semakin sempitnya tanah garapan, adat istiadat dan tata kehidupan yang tidak berubah, serta kemampuan SDM petani itu sendiri. Kalau kita perhatikan, perbankan rasanya belum serius memberdayakan agrikultur. Rata-rata proporsi kredit Investasi untuk pertanian hanya 12.13 % sedang untuk industri 32.13 % dan jasa 36.87 %. Disamping itu, kredit modal kerja untukl pertanian hanya 6.05 % jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kredit ke industri yang rata-rata 37.67 % dan jasa 23.39 %. Lagi pula hanya bank-bank pemerintah yang dominan memberikan kredit ke sektor ini, dengan menyumbang 61 % dari total kredit ke sektor pertanian. Dari sebanyak 131 bank yang ada, hanya 4 % saja yang peduli dengan sektor pertanian.2.2Pengembangan Kredit Sektor Pertanian Di Indonesia

Arah kebijakan perbankan pada tahun 2008 tetap ditekankan pada peningkatan peran bank sebagai lembaga intermidiasi. Sektor perbankan rupanya masih berperan sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Artinya perbankan tetap menjadi pemain utama dalam sistem keuangan nasional. Karena peran ini pulalah, industri perbankan menjadi begitu disorot dan diawasi. Berita baiknya, perkembangan yang dicapai industri perbankan belakangan ini lumayan pesat. Pertumbuhan aset, dana pihak ketiga (DPK) dan kredit pasca krisis beberapa tahun silam terus meningkat. Seiring dengan terjasinya penurunan suku bunga, kredit justru tumbuh 17.66 % menjadi Rp. 147.1 Triliun per oktober 2007 dibandingkan dengan Desember 2006. Meski terjadi pertumbuhan kredit yang cukup signifikan, perbankan nasional ternyata masih mampu menekan non performing loans (NPL) nya. NPL (gross) perbankan turun dari 6.98 % menjadi 5.63 %. Fungsi intermidiasipun membaik, yang tercermin dari meningkatnya loan to deposit ratio (LDR), menurut data Bank Indonesia (BI) LDR perbankan saat ini berada pada level 69 %.

Arah Kebijakan Perbankan 2008, Info Bank, Edisi Januari 2008. Bank Indonesia dalam tahun 2008 ini telah mencanangkan sebagai tahun gerakan edukasi masyarakat, dimanana sejak awal Januari 2008 terus digelar program dengan tema AYO KE BANK , tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mewujudkan masyarakat yang makin bijaksana dalam mengelola keuangnya sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup dimasa depan. Tujuan program edukasi perbankan ini bukan hanya semata-mata menjaring nasabah, tetapi juga membangun kesadaran tentang hak dan kewajiban, cara penyelesaian jika terjadi ketidak sepahaman, maupun untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai produk dan jasa perbankan yang ditawarkan.

Meski telah terjadi peningkatan fungsi intermidiasi, harus diakui bahwa peningkatan tersebut belum terlihat optimal. Karena permintaan (demand) kredit dari sektor riil masih terbatas, belum lagi perilaku perbankan yang cenderung risk overs alias menghindari resiko dan operasi bank yang belum efisien. Untuk itu Bank Indonesia sebagai regulator harus mengeluarkan beberapa kebijakan yang mampu mendorong pertumbuhan kredit, sehingga dana dana perbankan tidak hanya tersimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) saja tetapi disalurkan pada masyarakat dalam bentuk kredit. Dengan berlakunya Undang Undang No.23 Tahun 1999 yang diperbaruhi dengan Undang Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, lembaga keuangan (bank) didorong untuk dapat lebih mandiri dan mampu melaksanakan pengerahan dana masyarakat dengan menyalurkan kredit secara lebih mantap dengan mengurangi ketergantungannya pada Kredit Likwiditas bank Indonesia (KLBI), kredit likwiditas dalam jumlah yang terbatas hanya diberikan untuk mendukung upaya pelestarian swasembada pangan, pengembangan koperasi serta upaya peningkatan investasi.

Peranan Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam Undang undang No.23 tahun 1999 yang diperbaruhi dengan Undang Undang No.3 tahun 2004 didudukan secara lebih tepat sebagai Lender of last resort pada bank bank yang sedang mengalami kesulitan likwiditas, bukan seperti mekanisme kredit likwiditas yang berlaku sebelumnya. Kredit sektor pertanian ini pada umumnya adalah kredit program yang bersifat kredit masal atau bersifat kelompok dengan dana dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Proses pengucuran kredit program dimulai dari petani yang tergabung dalam kelompok tani menyusun Rencana Difinitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), yang disusun berdasarkan musyawarah anggota keolompok. RDKK tersebut kemudian diajukan kepada Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) untuk mendapatkan persetujuan tehnis, setelah ditanda tangani petugas PPL, RDKK tersebut diajukan kepada Dinas tehnis yaitu dinas yang mebidangi pertanian, setelah disetujui oleh dinas tehnis baru diajukan pada Bank yang ditunjuk (Bank pelaksana).BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Pelaksanaan Kredit Program/ Bantuan Modal Usaha Pertanian3.1.1 Program BIMAS Program BIMAS merupakan program yang beroientasi pada pembangunan pertanian secara umum dan swamsembada beras. Program ini merupakan bimbingan yang berhubungan dengan aplikasi ilmu dan teknologi dalam rangka mencapai hasil yang optimal.Kredit BIMAS yang dikelola oleh BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. Keadaan ini memotivasi BRI untuk membangun BRI unit desa yang dimulai dengan empat unit Pilot Proyek di Yogyakarta. Dana kredit disediakan dari subsidi pemerintah (BI) pada tingkat bunga 3 persen pertahun semestara tingkat bunga BRI sebesar 12 persen. Total Kredit BIMAS yang disalurkan sejak dari mulai program dilaksanakan sampai musim tanam (1984/1985) mencapai Rp.636,7 miliar dengan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-1975, jumlah pinjaman yang dilunasi tepat waktu sebesar 80 persen, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57 persen yang dibayar kembali. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan karena adanya program pengampunan hutang yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah bahwa suatu hari tidak harus dibayar. Memang dengan program BIMAS skala nasional,pemerintah memiliki cerita sukses berupa swamsembada produksi thaun 1984, walaupun tahun 1983 program BIMAS diakhiri.3.1.1. Kredit Usaha Tani / KUT

Kredit Usaha Tani (KUT) ini merupakan fasilitas kredit berprioritas tinggi yang mengandung unsur subsidi, serta KUT ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari kredit Bimas yang pada masa order baru hanya disalurkan melalui Bank Rayat Indonesia (BRI) yang sepenuhnya didukung oleh Kredit Likwiditas Bank Indonesia (KLBI), Hasil nyata dari program ini terlihat tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Dalam perkembangannya bank penyalur KUT adalah bank umum yang telah ditunjuk pemerintah (BRI, Bank Danamon, Bank Pembangunan Daerah). Kredit ini bersifat masal, pemberian kredit ini disesuaikan dengan musim tanam dan dalam jangka waktu hanya satu tahun.KUT disalurkan melalui kantor cabang BRI ke KUD yang didistribusikan pada para petani anggota KUD. Kredit disediakan untuk kelompok Tani pada tingkat bunga 12 persen.Total KUT yang telah disalurkan sampai tahun 1999 mencapai sebanyak Rp.8 triliun. KUT menghadapi permasalahan berupa tingkat pengembalian yang hanya 25 persen

3.1.2. Kredit Ketahanan Pangan (KKP)

Pemerintah mengganti KUT dengan kredit program yang diperbaharui, yaitu KKP. Aturan KKP kembali pada keikutsertaan bank yang berhadapan dengan peluang resiko (executing) menjadikan mereka sangat berhati-hati dan menghindari individu-individu dan organisasi yang masih memiliki tunggakan KUT dan mempunyai riwayat buruk dimasa lalu. Tingkat bunga masih disubsidi dan dengan beberapa modifikasi kredit tersebut maish eksis.

KKP ditujukan unttuk intensifikasi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu), dan pengadaan pangan.

Pada tahun 2000, pemerintah mengaplikasikan KKP dengan flafon Rp. 2,08 triliun untuk paket tanaman padi, palawija, perkebunan tebu, peternakan. Bunga untuk tanaman pangan sebesar 12 persen, dan 16 persen untuk peternakan, perkebunan dan peternakan.

Pada tahun 2006 sudah disalurkan sekitar Rp. 4,98 triliun. Pada tahun 2008 telah disalurkan sekitar Rp. 6,30 triliun. Sementara itu menurut hasil evaluasi yang pernah dilakukan Deptan dan Japan Internasional Coorportion Agenc/JICA (2006), Non Performing Loan (NPL) pada juni 2006 adalah untuk tanaman pangan (6,07%), tebu (0,02%), peternakan (4,03%), perikanan (14,001%) dan pengadaan barang (3,01%). Kendala dalam KKP adalah adanya kehati-hatian ekstra dari bank yang masih trauma dengan kasus KUT sehingga pencarian dana relative lambat, relative terbatasnya agunan yang dimiliki petani dan terbatasnya avails/guarantor kredit di pasar financial. Berikut merupakan Realisasi Penyaluran KKP Nasional dari tahun 2001 -2006

3.1.3. BLM/BPLM/PMUK

Departemen Pertanian memperkenalkan program Penigkatan Ketahanan Pangan (PKP) pada tahun 2001 dengan menggunakan dana BLM. Dana BLM ini merupakan dana bergulir yang disalurkan langsung ke kelompok tani (klomtan).

Pada tahun 2002, Deptan juga meluncurkan program yang disebut Proyek Pembangunan Agribisnis berbasis Komunitas (PPABK) melalui Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). BPLM merupakan design ulang dari BLM dalam konteks desentralisasi yaitu pengelolaan di tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan penyuluh pertanian dalam peningkatan kapasitas petani dalam kredit, seleksi group dan monitoring.

Pada tahun 2003, dengan adanya Program Pemberdayaan Masyarakat Agribisnis melalui Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK), BPLM lebih difokuskan untuk lebih menitikberatkan pada penguatan modal dalam klomtan, meneruskan pola perguliran modal dan memperkuat modal kelompok.

3.1.4. Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA)

Konsep pengembangan LKMA diintroduksikan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan Penguatan Modal Usaha kelompok (PMUK) pada saat terjadi keterbatasan anggaran pemerintah pada tahun 2004/2005 (deficit).

Departemen Pertanian telah memberikan pembinaan serta dukungan terhadap 368 LKMA di 12 provinsi selama periode 2004-2006. Dengan memanfaatkan dana Second Round Kennedy (SRK), Depten juga melaksanakan peningkatan kapasitas 30 LKMA yang merupakan transformasi dari BMT,KSP,koptan,Kopontren dibeberapa provinsi.

3.1.5. Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K)

Sejak awal keberadaan P4K ditempatkan dalam konteks untuk menanggulangi kemiskinan di perdesaan. P4K telah berlangsung dalam 3 (tiga) fase, yaitu: (a) Fase I (1979/1980 1985/1986); (b) Fase II (1989/1990 1997/1998), dan (c) Fase III (1998 2005). Pada Fase III, P4K melaksanakan kegiatan pengembangan sistem partisipatif dan berkelanjutan untuk membantu keluarga miskin di pedesaan sehingga mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan mereka. Adapun indikator keberhasilan P4K melipiti:1. Tumbuh dan berkembangnya sejumlah kelompok petani kecil (KPK) hingga mandiri, ditandai oleh: adanya pengurus dan anggota yang aktif, adanya dana bersama yang terus berkembang, adanya usaha-usaha bersama yang menguntungkan dan terus berkembang, adanya kerjasama kelompok yang saling menguntungkan dan terus berkembang;2. Terintegrasinya program P4K ke dalam program pembangunan daerah. Secara keseluruhan, program P4K mencakup 126 kabupaten, 1.973 kecamatan dan 10.720 desa di 13 provinsi, yaitu Bengkulu, Riau, Sumsel, Lampung, Jabar, Bali, NTB, Kalsel, dan Sulsel. Pada akhir fase III, lokasi ditambah dengan Provinsi Naggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara dalam rangka pemulihan mata pencaharian masyarakat yang terkena dampak bencana Tsunami.

Output yang telah dihasilkan P4K sampai saat ini adalah:

1. Tumbuhnya 58.118 KPK yang tersidiri dari 7.216 KPK Pria (12,42%), 18.197 KPK Wanita (31,3%) dan 32.705 KPK Campuran (56,27%). Dengan rata-rata jumlahanggota KPK sebanyak 10 orang perwakilan keluarga dan dengan asumsi setiap keluarga memiliki anggota sebanyak 5 orang, maka P4K diperkirakan telah melayani tidak kurang dari 3 juta penduduk miskin di pedesaan. Hasil validasi terhadap KPK pada tahun 2004 menunjukkan bahwa secara kualitatif KPK yang masih dapat diharapkan untuk berkembang mencapai kemandirian dapat digolongkan menjadi 3 kategori, yaitu Kategori A sebanyak 814 KPK, Kategori B sebanyak 12.369 KPK, Kategori C sebanyak 31.762 KPK.2. Sebanyak 152.716 rencana usaha bersama (RUB) telah disusun dan memperoleh kredit dari Bank Rakyat Indonesia dengan total nilai kredit mencapai Rp. 1.183,3 miliar. Sejumlah Rp. 963,4 miliar kredit untuk 116.078 RUB telah dilunasi, sedangkan sisanya sejumlah Rp. 219,9 miliar kredit untuk 36.638 RUB masih dalam proses pengangsuran dengan tingkat tunggakan mencapai Rp. 63,7 miliar oleh 20.851 KPK (5,4% terhadap total kredit yang direalisasi dan 29,0% terhadap sisa kredit).3. Sebanyak 31.859 KPK talah memiliki tabungan di BRI dengan nilai mencapai Rp. 19,4 miliar, sedangkan sebanyak 28.100 KPK lainnya memiliki tabungan di kelompoknya dengan total tabungan mencapai Rp. 5,9 miliar.4. Terbentuknya 1.066 gabungan/asosiasi KPK yang 205 diantaranya telah menjalankan mekanisme simpan-pinjam sebagai cikal-bakal Lembaga Keuangan Mikro di pedesaan, yang dimiliki, dikelola dan dikendalikan oleh anggota kelompok, yang notabene adalah para keluarga miskin di pedesaan, yaitu provinsi Jabar, Jateng, DIY, Jatim, NTB, Sumsel, dan Bengkulu.5. Tumbuhnya 35 koeperasi yang berasal dari gabungan KPK di 3 provinsi (Jteng, Bali, NTB).

3.1.6. Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan/DPM

LUEP

DPM LUEP merupakan dana talangan tanpa bunga dari APBN yang harus dikembalikan oleh penerima dana tersebut ke kas Negara setiap akhir tahun. Tujuan penyelenggaraan kegiatan DPM-LUEP adalah :

1. Melakukan pembelian dalam rangka menjaga stabilitas harga gabah/beras yang diterima petani minimal sesuai HPP.

2. Mendekatkan petani dan atau kelompok tani terhadap pasar melalui kerjasama dengan LUEP

3. Menumbuhkembangkan dan menggerakkan kelembagaan usaha ekonomi usaha ekonomi diperdesaan

4. Memperkuat posisi daeah dalam ketahanan pangan wilayah.

Program DPM LUEP dilakasanakan disebagian besar provinsi, terutama di provinsi sentra produksi padi. Jumlah provinsi yang mendapatkan DPM selalu meningkat setiap tahun yaitu dari 15 provinsi (2003) menjadi 27 provinsi (2007).3.1.7. Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian / SP3

SP3 merupakan skim program untuk meningkatkan akses petani pada fasilitas kredit/pembiayaan dari bank pelaksana melalui mekanisme bagi resiko (risk sharing) antara bank pelakasana dengan pemerintah. Diharapkan dengan SP3 ini dapat membantu kemudahan akses petani pada layanan perbankan melalui jasa penjaminan bagi petani/ kelompok tani skala usaha mikro, kecil, dan menengah yang tidak mempunyai agunan yang cukup.

Pada SP3 ini lima bank pelaksana yang ikut berpartisipasi adalah bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin, Bank Jatim, dan Bank NTB. Total kredit yang disalurkan bank pelaksana hingga april 2008 tercatat RP.421 miliar lebih , dengan jumlah nasabah petani/peternak yang terlayani sebanyak 6.445. Subsektor perkebunan mendominasi penyerapan SP3 dengan total dana Rp.207 miliar dengan 3.818 nasabah. Dengan adanya program penjaminan kredit pemerintah dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR). Maka pada akhir tahun 2008, SP3 diintergrasikan dan dileburkan ke dalam KUR.

3.1.8. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan/ PUAP

PUAP merupakan program terobosan Departemen Pertanian untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di perdesaan, sekaligus mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah pusat dan daerah serta antar subsektor. PUAP merupakan bagian tak terpisahkan dari program Nasional Pemberdayaan Kesejahteraan Rakyat. Lokasi PUAP awalnya difokuskan di 10.000 desa miskin/tertinggal yang memiliki potensi pertanian dengan total anggaran sebesar Rp,1 triliun. Selanjutnya, berdasarkan kesepakatan dengan komisi IV DPR lokasi PUAP pada tahun 2008 ditambah 1.000 desa lagi, sehingga total desa menjadi 11.000 desa PUAP.

Komposisi desa PUAP terdiri dari program lanjutan Deptan (seperti P4K, Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian/ Primatani, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi/P4MI), usulan pemerintah daerah dan aspirasi masyarakat melalui komisi IV DPR. Walaupun demikian penetapan desa PUAP tetap dengan mempertimbangkan :

a. Data lokasi PNPM-M

b. Data potensi desa (Podes)

c. Data desa miskin BPS

d. Data desa tertinggal Kementerian PDT

e. Data lokasi program lanjutan Deptan.

BAB IV

PENUTUP4.1 KesimpulanKredit pertanian memiliki peranan yang sangat signifikan dalam sejarah pelaksanaan program pembangunan pertanian di Indonesia. Selain sebagai faktor pelancar, kredit juga berfungsi sebagai simpul kritis pembangunan yang efektif, sehingga kredit pertanian tetap harus tersedia. Sejarah kredit pertanian diawali dengan adanya kredit program untuk Padi Sentra pada tahun 1963 dan dilanjutkan dengan Program Bimas pada tahun 1966 dan 1969 menjadi Bimas Gotong Royong. Pada tahun 1970 Bimas Gotong Royong diubah menjadi Bimas yang Disempurnakan sampai dengan tahun 1985. Pada tahun 1985 Kredit Bimas diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT). Kredit program sektor pertanian tersebut digulirkan dengan tujuan untuk menunjang pelaksanaan program intensifikasi padi. Namun sejak digulirkannya KUT, cakupan komoditas yang dapat dilayani menjadi lebih banyak yaitu padi, palawija dan hortikultura.. Sejak dikeluarkannya UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak lagi mengeluarkan KLBI untuk pendanaan kredit program (termasuk KUT), sehingga semua kredit program yang bersumber dari KLBI dihapuskan mulai rahun 2000. Sebagai pengganti skim pembiayaan pertanian maka diluncurkan skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Mekanisme penyaluran KKP mirip dengan KUT dengan beberapa penyesuaian pada tingkat pelaksana kredit. Kemudian dilanjutkan dengan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian / SP3, dan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan/ PUAP4.2 SaranDiharapkan dengan adanya makalah ini, para pembaca dapat mengetahui Kebijakan Pemerintah dalam Kredit Pertanian. Selain itu, saran dan kritik dari para pembaca juga sangat dibutuhkan demi perkembangan bahasan makalah ini selanjutnya.DAFTAR PUSTAKA

Ashari. 2009. Optimalisasi kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia.

Pusat Analisis social Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Aulia Pohan, 2008, Potret Kebijakan Moneter Indonesia, Rajawali Pers, JakartaDaromi Sunardji, 1988, Manajemen Bank, Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi UII,

Yogyakarta.

Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suyandaru Utama,

Semarang.

Fuady Munir, 1999, Hukum Perbankan Modern, Citra Adtya Bakti, Bandung.

Ghozali Imam, 2007, Manajemen Resiko Perbankan, badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang.Pasaribu Sahat,dkk. 2007. Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijkan Pertanian.