fitofarmaka

33
Dalam rangka pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka, standardisasi dan persyaratan mutu simplisia obat tradisional merupakan hal yang perlu diperhatikan Standardisasi

Upload: ghina-rizqiani-nh-afifah

Post on 07-Feb-2016

52 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Fitofarmaka

TRANSCRIPT

Page 1: Fitofarmaka

• Dalam rangka pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi obat herbal terstandar dan fitofarmaka, standardisasi dan persyaratan mutu simplisia obat tradisional merupakan hal yang perlu diperhatikan

Standardisasi

Page 2: Fitofarmaka

• SIMPLISIA merupakan bahan baku yang berasal dari tanaman yang belum mengalami pengolahan, kecualipengeringan.

• Standardisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi.

• Standardisasi simplisia diperlukan untuk mendapatkan efek yang dapat diulang (reproducible).

Simplisia

Page 3: Fitofarmaka

Untuk mendapatkan simplisia dengan mutu standar diperlukan pembudidayaan dalam kondisi standar.

Budidaya

Page 4: Fitofarmaka

Standardisasi tidak saja diperlukan pada simplisia, tetapi juga pada metode pembuatan sediaan termasuk pelarut yang digunakan dan standardisasi sediaan jadinya

Page 5: Fitofarmaka

Untuk pengembangan obat tradisional menjadi obat herbal terstandardisasi dan fitofarmaka, simplisia harus memenuhi persaratan aman, bermutu tinggi agar dapat menimbulkan efek atau khasiat

Persyaratan

Page 6: Fitofarmaka

• Persaratan mutu simplisia sejumlah tanaman tertera dalam buku Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, atau Materia Medika Indonesia.

• Materia Medika Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Obat Tradisional memuat persaratan baku mutu simplisia yang banyak dipakai oleh perusahaan obat tradisional

Referensi

Page 7: Fitofarmaka

• Standar mutu simplisia antara lain mencakup kadar abu, kadar zat terekstraksi air, kadar zat terekstraksi etanol, bahan organik asing, cemaran mikroba termasuk bakteri patogen, cemaran jamur/kapang, cemaran aflatoksin, cemaran residu pestisida, cemaran logam berat, kadar air, kadar zat aktif/zat identitas

Standar Mutu

Page 8: Fitofarmaka

• Parameter standar mutu ekstrak selain hal di atas juga mencakup konsistensi ekstrak,

• Sedangkan parameter untuk sediaan termasuk di antaranya waktu hancur, kadar bahan tambahan (pengawet, pewarna, pemanis, bahan kimia obat), kadar etanol, dan stabilitas

Konsistensi Ekstrak

Page 9: Fitofarmaka

• Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah tentang keamanan dan adanya khasiat penggunaannya pada manusia

SQE

Page 10: Fitofarmaka

1. Seleksi

2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik

3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar

4. Uji klinik

Tahapan

Page 11: Fitofarmaka

• Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan

• Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah:

1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)

2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu

3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.

Seleksi

Page 12: Fitofarmaka

• Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer di kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk penderita diabetes melitus dan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat menyembuhkan kanker dan AIDS.

Seleksi-2

Page 13: Fitofarmaka

• Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka.

• Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya.

Tahap Uji Preklinik-1

Page 14: Fitofarmaka

• Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian padamanusia.

• Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies.

Tahap Uji Preklinik-2

Page 15: Fitofarmaka

• Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.

Tahap Uji Preklinik-3

Page 16: Fitofarmaka

• Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas.

• Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose 50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilaiberbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dancara kematian.

Tahap Uji Toksisitas-1

Page 17: Fitofarmaka

• Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia.

• Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut.

• Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih.

Tahap Uji Toksisitas-2

Page 18: Fitofarmaka

• Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama.

• Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia

Tahap Uji Toksisitas-3

Page 19: Fitofarmaka

• Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap uji klinik.

• Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila: 1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang

potensial menimbulkan efek khusus seperti kanker, cacat bawaan.

2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur

3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya kanker.

4. Obat digunakan secara kronik

Tahap Uji Toksisitas-4

Page 20: Fitofarmaka

• Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut.

• Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba

Tahap Uji Farmakodinamik-1

Page 21: Fitofarmaka

• Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia.

• Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia

Tahap Uji Farmakodinamik-2

Page 22: Fitofarmaka

• Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan Terstandar

• Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai.

• Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan.

• Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan.

Tahap Standardisasi-1

Page 23: Fitofarmaka

• Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil.

• 15 Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil.

• Demikian pula prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan.

• Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda.

Tahap Standardisasi-2

Page 24: Fitofarmaka

• Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid.

• Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik

Tahap Standardisasi-3

Page 25: Fitofarmaka

• Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal harus dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik.

• Seperti halnya dengan obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard).

Uji klinik Obat tradisional-1

Page 26: Fitofarmaka

• Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik.

• Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi.

• Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan.

• Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible).

Uji klinik Obat tradisional-2

Page 27: Fitofarmaka

• Uji klinik dibagi empat fase yaitu:

• Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas obat tradisional

• Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding

• Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding

• Fase III : uji klinik definitif

• Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat timbulnya

Uji klinik Obat tradisional-3

Page 28: Fitofarmaka

• Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding.

• Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut

Uji klinik Obat tradisional-4

Page 29: Fitofarmaka

• Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study.

• Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar.

• Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar.

Uji klinik Obat tradisional-5

Page 30: Fitofarmaka

• Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.

• Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:

• 1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik

• 2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman pada uji preklinik

Uji klinik Obat tradisional-6

Page 31: Fitofarmaka

3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji

4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.

5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatifterutama bagi produk yang telah laku di pasaran

Uji klinik Obat tradisional-7

Page 32: Fitofarmaka

• Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit digolongkan sebagai fitofarmaka.

Penutup

Page 33: Fitofarmaka

• Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka*

• Hedi R. Dewoto

Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Sumber