kerjasama internasional … · web viewsaat ini di indonesia, obat tradisional dikembangkan secara...

30

Click here to load reader

Upload: dangxuyen

Post on 02-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

KEMITRAAN GLOBAL DALAM PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

BAHAN BAKU OBAT UNTUK MENCAPAI TUJUAN MILENIUM INDONESIA

Leonardus Broto Sugeng Kardono

Pusat Penelitian Kimia LIPI, Kawasan PUSPIPTEK, Serpong, 15314, Indonesia

e-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Kalangan industri farmasi khawatir dengan skema pemberlakuan perdagangan bebas

dengan Cina. Industri farmasi Cina berkembang dengan cepat, termasuk industri bahan

baku obat. Sedangkan, industri farmasi Indonesia berkembang sangat lamban, dan masih

sebatas industri formulasi obat, mengembangkan produk akhir dengan mengandalkan

keunggulan atau kesetaraannya dalam bioavailability/bioequivalent (BA/BE). Untuk saat

ini, hampir semua komponen produksi diimpor. Beberapa usaha untuk mengganti dengan

komponen lokal belum berhasil. Impor bahan baku obat dan komponen pendukungnya

yang digunakan sehari-hari lebih dari 90%, sedangkan bahan pengepakan sekitar 50%. Di

sisi lain, kekhawatiran tidak hanya dirasa oleh industri obat sintetik, tetapi juga oleh

industri jamu. Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, dengan jumlah

penduduk lebih dari 230 juta, industri jamu lebih memanfaatkan sumberdaya lokal dan

pasar domestik. Namun, sampai saat ini penggunaan jamu dalam system kesehatan

nasional belum menjadi sistem pelayanan kesehatan formal, masih bersifat toleran.

Adanya paradigma baru untuk scientifikasi jamu dengan pengembangan berbasis

pelayanan kesehatan masih bersifat penelitian, masih belum teruji keberhasilannya.

Page 2: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

Dengan berlakunya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), industri jamu

menjadi khawatir apabila kalah bersaing dengan produk China atau produk Negara

ASEAN lainnya, sehingga akhirnya kalah pamornya di negeri sendiri. Untuk mencapai

target Millennium Development Goals (MDGs), diperlukan usaha bersama yang sungguh-

sungguh untuk mengatasinya. Program Instentif pajak bagi industri yang

mengembangkan bahan baku obat masih belum berjalan. Salah satu usulan bagi industri

farmasi dan industri jamu untuk menyisihkan dana penelitian bersama, dikumpulkan dan

dikelola oleh mereka sendiri atau suatu lembaga netral yang didukung oleh pemerintah

untuk tujuan tersebut mungkin bisa menjadi salah solusinya. Di bidang farmasi dan

bioteknologi kesehatan, dana bersama tersebut bisa dimanfaat untuk pengembangan

kapabilitas dan kompetensi penelitian dan pengembangan bahan baku obat dengan

kemitraan global. Strategi dan kehati-hatian dalam kemitraan global ini perlu kajian dan

studi yang mendalam, sehingga benar-benar lebih menguntungkan Indonesia di masa

depan. Dengan demikian, kemitraan global untuk pengembangan bahan baku obat

memperoleh kemajuan yang berarti, sehingga obat-obat esensial menjadi terjangkau bagi

seluruh masyarakat, dan pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik.

PENDAHULUAN

Ada empat kelompok industri farmasi global, yaitu Fully Integrated

Pharmaceutical Company, Virtually Integrated Pharmaceutical Company, Formulation

Industry dan Contract Research Organization. Saat ini, industri farmasi global berbasis

pada ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Industri multinasional berusaha merger

untuk efisiensi dan penguasaan pasar dengan ”off-shoring policy”. Industri farmasi

Indonesia belum banyak mengembangkan industri kimia intermediate (termasuk dari

industri agrokimia), active pharmaceutical ingredients, dan kontrak penelitian

pengembangan (Sparinga, 2010). Industri farmasi Indonesia lebih banyak

mengembangkan industri formulasi, mengembangkan produk akhir dengan

mengandalkan keunggulan atau kesetaraannya dalam bioavailability/bioequivalent

(BA/BE).

Page 3: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

Untuk saat ini, hampir semua komponen produksi diimpor. Beberapa usaha untuk

mengganti dengan komponen lokal belum berhasil. Seperti sering dibahas oleh Ikatan

Sarjana Farmasi Indonesia, komponen impor obat di Indonesia masih sangat tinggi,

meliputi 90% dari bahan yang digunakan (bahan aktif dan bahan pendukung), dan 50%

dari bahan pengemas. Produksi domestik untuk bahan aktif obat (bahan baku obat) masih

sangat kecil dan belum berarti. Meskipun Indonesia mampu memproduksinya, sampai

saat ini kebanyakan masih belum bisa bersaing dengan produk impor.

Usaha untuk kemandirian dari kebutuhan dasar ini sering terbentur oleh beberapa

kenyataan, bahwa jenis obat yang beredar di Indonesia sangat banyak, boleh dibilang

terlalu banyak, dan bertambah terus dari hari ke hari. Serta suatu kenyataan bahwa

banyak bahan baku obat tidak akan ekonomis apabila diproduksi dalam skala produksi

(ISFI, 1997).

Masalah yang dihadapi dalam penyediaan bahan baku obat ini, apabila diproduksi

secara lokal, antara lain, secara berantai akan berhubungan dengan:

i. Industri kimia hulu belum mengembangkan dukungan untuk mengembangkan bahan

antara (intermediates) untuk penyediaan bahan baku obat. Ketergantungan bahan

antara impor dapat mengurangi pengembangan bahan baku obat secara sintesa.

ii. Terkait dengan undang-undang bahan kimia, di satu pihak, bahan kimia sangat

bermanfaat untuk kesejahterahan kimia, di lain pihak, bahan kimia bisa digunakan

untuk manfaat sebaliknya, yaitu yang merugikan atau merusak kehidupan. Impor

bahan antara ini perlu diatur secara hati-hati.

iii. Koordinasi antar industri belum berjalan dengan baik, misalnya koordinasi antara

industri petrokimia dan industri farmasi. Industri farmasi sering mengalami kesulitan

karena bahan dasar yang sangat diperlukan ternyata tidak diproduksi secara lokal

(ISFI 1997, Hardoyo, 2003).

Jumlah industri farmasi nasional cukup besar dengan kapasitas produksi sebesar

3% dari kapasitas total dunia. Namun, di sisi lain, pasar farmasi Indonesia relatif kecil

(sekitar 0,2% dari total pasar dunia). Apabila ada kenaikan drastis harga obat yang

berakibat menurunnya daya beli masyarakat, hal ini akan membuat masyarakat menjadi

lebih sulit untuk mendapatkan obat yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat

kesehatan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak lainnya

Page 4: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

adalah industri farmasi Indonesia semakin terpuruk dalam profitabilitas dan likuiditas,

kapasitas menganggur yang ada meningkat (ISFI, 1997).

Perkembangan industri farmasi Indonesia perlu dikaji, terutama dalam hal

pemenuhan kebutuhan bahan baku dan mengurangi ketergantungan impor. Pemilihan

bahan baku obat yang akan dikembangkan harus dilakukan dengan hati-hati, juga dalam

pemilihan apakah akan mengembangkan obat-obatan baru atau memproduksi obat-obatan

yang perlindungan patennya telah berakhir atau hampir kadaluwarsa. Diharapkan, jika

memungkinkan, langkah-langkah pengembangan obat dapat dipersingkat agar Indonesia

mampu mengejar ketinggalan yang jauh dalam pengembangan bahan baku obat.

Penekanan dalam pendekatan penemuan obat juga perlu dikaji, baik itu dari produk

alami, dari obat yang sudah digunakan, dari bahan kimia sintetik dan model hewan,

ataupun dari pendekatan modern desain obat (Kardono, 2001).

PEMBAHASAN

Analisa Industri Farmasi Indonesia

Isu pokok bahan baku obat di Indonesia sejak dahulu kala belum berubah. Sudah

sering dibahas dan dibicarakan, misalnya, sejak Dr. Harjanto Dhanutirto menjadi Menteri

Negara Hortikultura sampai saat ini, dengan kecenderungan menimpakan kesalahan

kepada manajemen pemerintahan Indonesia (ISFI, 1997; Kardono, 2004; Sparinga 2010).

Isu pokok tersebut antara lain, lebih dari 96% impor bahan baku obat Indonesia; sebagian

yang diproduksi di Indonesia di bawah lisensi teknologi luar negeri menggunakan bahan

baku intermediate impor juga belum bisa bersaing, pembinaan industri kimia hulu

(Kementrian Perindustrian) dan hilir (Kementrian Kesehatan) belum ada pada

penguasaan teknologi yang mendorong keterkaitannya dalam klaster industri, lemahnya

kelembagaan, sumber daya, jejaring ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk

memperkuat inovasi, dana riset terbatas, dan regulasi belum kondusif (Sparinga, 2010).

Naskah Akademis Analisa dan Strategi Nasional yang dilakukan oleh Ikatan

Sarjana Farmasi tahun 1997, dan disampaikan kepada Menteri Negara Hortikultura dan

Obat, sampai sekarang secara relatif masih belum banyak mengalami perubahan. Dalam

beberapa pertemuan di dua tahun terakhir yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian

Page 5: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, terlihat pengembangan bahan baku obat di

Indonesia belum banyak mengalami perubahan. Analisa dan Strategi Nasional yang

disampaikan oleh ISFI tersebut dengan beberapa modifikasi disampaikan kembali dalam

kesempatan ini, antara lain:

Strength (Kekuatan)

Dari sudut pandang teknik farmasi, teknologi dan kualitas obat-obatan yang

diproduksi di Indonesia sangat baik. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Good

Manufacturing Practice dengan standar yang tinggi telah diterapkan di Indonesia. Proses

produksi ini, sebagian besar masih padat karya dengan biaya tenaga kerja yang relatif

rendah. Jumlah industri yang besar dan heterogen menyebabkan semua segmen pasar

dapat memenuhi kebutuhan mereka yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Weakness (Kelemahan)

Komponen impor obat masih sangat tinggi, mencakup 90% dari bahan baku yang

digunakan (senyawa aktif dan pendukung) dan sekitar 50% dari bahan kemasan. Produksi

domestik senyawa aktif relatif kecil dan tidak signifikan, harga tidak bersaing dengan

harga bahan yang diimpor. Upaya swasembada substansi dasar sering tersandung pada

fakta-fakta, antara lain: berbagai jenis bahan dasar digunakan oleh industri farmasi

(hingga 6.000 jenis), banyak di antaranya apabila dikembangkan dalam skala produksi

tidak layak secara ekonomi, masalah utama adalah dalam penyediaan bahan dasar untuk

bahan baku dari produk lokal. Hal ini berkaitan dengan industri kimia dasar yang belum

berkembang untuk mendukung dalam memasok bahan antara substansi dasar untuk

pembuatan obat. Ketergantungan intermediate substansi dasar pada tingkat tertentu dapat

mengurangi manfaat dari sintesis lokal. Koordinasi antara industri terkait tidak cukup

baik, sebagai contoh, koordinasi antara industri petrokimia dan industri farmasi.

Seringkali industri farmasi menghadapi kesulitan karena bahan dasar tidak dapat

diproduksi secara lokal.

Perlu dicatat bahwa dari sudut pandang lain, swasembada bisa dicapai jika nilai

ekspor bahan dasar sama atau lebih besar dibandingkan dengan yang nilai impor. Dalam

konteks ini, Indonesia tidak perlu untuk menghasilkan semua dari 6.000 jenis yang

disebutkan di atas, seandainya memang memiliki nilai ekspor yang cukup. Jumlah

industri besar (300 industri) dengan nilai pasar yang relatif kecil, sehingga pasar sangat

Page 6: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

terfragmentasi sebagai akibat dari skala ekonomi yang rendah, hal tersebut disebabkan

oleh efisiensi rendah dan banyak kapasitas menganggur (idle) (ISFI, 1997).

Industri farmasi pada dasarnya merupakan industri yang knowledge intensive dan

sangat diatur, tetapi aspek regulasi industri farmasi di Indonesia cukup berat. Hal ini

disebabkan oleh fakta bahwa kebijakan yang ada disusun lebih berdasarkan pada

semangat mengendalikan daripada mengembangkan, implementasi lambat karena

ketidakseimbangan antara jumlah aparat pemerintah yang melakukan kontrol dan industri

swasta yang dilayani. Rantai lainnya yang merupakan bagian dari aspek pemasaran dan

distribusi produk industri farmasi masih belum seimbang secara kualitatif dan kuantitatif.

Opportunities (Kesempatan)

Populasi Indonesia yang besar dan konsumsi obat per kapita yang rendah

menunjukkan potensi untuk mengembangkan pasar. Peluang ekspor terbuka karena

globalisasi dan pasar terbuka serta pelaksanaan praktek manufaktur yang baik di

Indonesia. Sudah adanya kecenderungan untuk mengembangkan sistem kesehatan yang

tepat dalam hal distribusi dokter yang diperlukan termasuk spesialis. Adanya integrasi

MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya menangani

penyelesaian terkait dengan  isu-isu yang  sangat  mendasar   tentang pemenuhan  hak

asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan.

Threat (Ancaman)

Persaingan Global yang terjadi di dunia telah memengaruhi banyak hal, termasuk

menurunnya daya saing dan daya beli masyarakat dan industri Indonesia termasuk dalam

membeli obat atau dalam penyediaan obat. Kondisi ini merupakan ancaman untuk

kelangsungan hidup industri farmasi nasional, khususnya untuk pasar lokal. Salah satu

dampak globalisasi adalah ratifikasi ACFTA, GATT, termasuk TRIPs, Hukum Paten,

mobilitas sumber daya yang sangat tinggi dan persaingan bebas. Bagi industri farmasi

PMDN dan beberapa industri farmasi tertentu, investasi asing yang digunakan

mengandalkan produk mereka dengan menyalin strategi produk baru, yang masih dalam

paten, kondisi semacam ini dapat dianggap sebagai ancaman. Hukum Paten dapat

menjadi kesempatan bagi industri farmasi investasi dalam negeri untuk meningkatkan

kinerja, tetapi industri ini belum siap, terutama dalam dukungan riset mereka. Juga

Page 7: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

dengan masih ditemukannya obat palsu yang beredar di pasaran yang menyebabkan

harga obat lebih sukar untuk dikendalikan.

Strategi Nasional dalam Mengembangkan Industri Farmasi di Indonesia

Penelitian dan pengembangan ditentukan untuk mempertahankan dan

mengembangkan industri farmasi, dan kemudian menyediakan kebutuhan obat bagi

masyarakat dengan harga terjangkau. Pemerintah perlu menyediakan dana untuk rencana

pengembangan indusri obat generik, alam dan obat (ISFI, 1997). Iuran dana (seed

funding) untuk riset bagi industri itu sendiri bisa dikembangkan dan hasil penelitian

dikembalikan ke industri.

Strategi Jangka Panjang

Dalam produksi domestik substansi dasar obat pengembangan bahan baku obat,

telah dilakukan pemeriksaan terhadap berbagai jenis bahan dasar yang dibutuhkan oleh

industri farmasi dan persyaratan yang relatif kecil terutama bagi kebutuhan lokal mereka.

Oleh karena itu, pembenahan ekonomi untuk memproduksi bahan dasar lokal mencapai

skala ekonomi yang jelas menjadi sangat sulit.

Namun, dari sudut pandang sosial politik, kemampuan untuk kemandirian di

bidang industri obat bahan dasar tentu akan meningkatkan stamina bangsa terutama

dalam krisis seperti saat ini. Perintis produksi bahan baku lokal perlu didorong dengan

memperhatikan pemilihan jenis bahan dasar dengan menggunakan kriteria yang

berspektrum kebutuhan cukup lebar sehingga mempunyai kemampuan untuk investasi

serta bahan dasar tersebut dapat dipasarkan, setidaknya regional, sehingga diperoleh

deviden dari ekspor bahan dasar dan dapat memenuhi kebutuhan impor bahan dasar

lainnya yang belum dapat diproduksi secara lokal.

Bahan awal dari bahan dasar tersebut mudah diperoleh dan ditemukan dalam

jumlah besar di Indonesia. Pemilihan bahan dasar yang dapat diproduksi melalui proses

fermentasi atau bioteknologi dengan investasi lebih murah dengan ketergantungan pada

produk antara industri hulu relatif kecil. Meskipun kesadaran akan pentingnya Hak atas

Kekayaan Intelektual di Indonesia yang sudah cukup tinggi, tetapi untuk itu penanganan

suatu produk farmasi untuk paten harus lebih kreatif. Misalnya, menciptakan produk obat

Page 8: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

dengan kombinasi baru, suatu sistem drug delivery baru atau obat dengan bioavailability

yang lebih baik.

Disamping itu, perlu dipertahankan suasana kondusif agar secara bertahap industri

farmasi Indonesia mampu menjaga orisinalitas mereka dengan melakukan penelitian di

hulu. Dengan melakukan kerjasama dengan industri multinasional dalam proyek global

dapat menjaga hal tersebut (ISFI, 1997, Kardono, 2004).

Perlu diketahui bahwa meskipun anggaran riset di Indonesia jauh lebih kecil dari

negara maju atau jauh lebih kecil dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan

Thailand, namun efektivitas paten yang dihasilkan sangat baik. Hasil analisa WPO

(Word Patent Office), Geneva, para peneliti Indonesia relatif sangat efisien dalam

kaitannya antara paten dengan dana riset. Dengan dana penelitian sangat kecil per tahun

(tidak lebih dari 10 ribu US $), para peneliti Indonesia sudah mampu menghasilkan satu

paten, meskipun masih paten nasional, belum internasional (Aiman, 2010).

Meskipun pengembangan bahan baku obat dari bahan alam secara global

mengalami penurunan, tetapi pengembangan bahan baku obat dari bahan alam Indonesia

mempunyai prospek yang baik. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan

kearifan lokal. Pemanfaatan dan pengembangannya masih terus dilakukan dan bahkan

dikombinasi atau banyak dipengaruhi oleh pengembangan di negara besar lainnya, seperti

Cina dan India. Saat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka,

tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi diperlukan untuk

uji keamanan dan efektivitas jamu.

Upaya holistik perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat. Hal ini tidak hanya dalam medium dan infrastruktur, tetapi juga sumber daya

manusianya. Jumlah dokter perlu ditingkatkan untuk mencapai rasio yang ideal di

Indonesia, yaitu sekitar 1:1.300. Sistem distribusi obat perlu diperbaiki, sehingga

pengembangan obat-obatan dapat mencapai orang-orang di pedesaan. Kebijakan industri

kimia terpadu, sehingga industri yang satu dapat membantu industri yang lain. Sebagai

contoh, bahan kimia dari industri hulu mendukung industri hilir, termasuk industri

farmasi.

Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, dengan jumlah

penduduk lebih dari 230 juta, industri jamu lebih memanfaatkan sumberdaya lokal dan

Page 9: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

pasar domestik. Namun, sampai saat ini penggunaan jamu dalam sistem kesehatan

nasional belum menjadi sistem pelayanan kesehatan formal, masih bersifat toleran. Dan

tahun 2009-2010 ini, Kementrian Kesehatan mencangankan Program Saintifikasi Jamu,

yang ditujukan untuk lebih meningkatkan pemanfaatan jamu bagi pelayanan kesehatan.

Pendekatannya memanfaatkan jamu untuk pelayanan kesehatan terlebih dahulu,

sambil memperkuat dukungan ilmiahnya. Hal tersebut merupakan paradigma baru untuk

saintifikasi jamu dengan pengembangan berbasis pelayanan kesehatan, tetapi karena

masih bersifat penelitian, perkembangannya kemungkinan akan lambat. Dengan

berlakunya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), Indonesia perlu khawatir

terhadap perlindungan industri jamu Indonesia, dan memberikan bantuan supaya industri

jamu Indonesia mampu bersaing dengan produk China atau produk negara-negara

ASEAN lainnya, untuk menjaga pamornya di negeri sendiri (Kardono, 2009).

Langkah-langkah Pengembangan dan Penemuan Bahan Baku Obat yang Sesuai

Untuk Indonesia

Dalam Workshop Pengembangan Bahan Obat Berbasis Sumber Daya Lokal,

Kemenristek, 21 April 2010, Dr. Boen Setyawan, mengusulkan Pengembangan Bahan

Baku Obat di Indonesia dibagi menjadi lima kelompok, yaitu, (1) inventarisasi sumber

daya Indonesia yang potensial untuk pengembangan bahan baku obat (baik terrestrial

maupun marine: mikroba, jamu, tumbuhan obat dan sumber daya laut), (2)

pengembangan bahan baku obat berbasis bahan alam (isolasi, elusidasi struktur kimia,

modifikasi struktur, scalling up dan lain-lain, uji efektivitas, keamanan, farmakologi dan

lain-lain), (3) pengembangan bahan baku obat melalui sintesa kimia, (4) pengembangan

bahan baku obat melalui bioteknologi dan biomolekuler (mengingat saat ini 67% bahan

baku obat yang dikembangkan berasal dari bidang ini), dan (5) teknologi sel punca, untuk

antisipasi ke depan secara jangka panjang. Penelitian pengembangan bahan baku obat di

Indonesia didominasi oleh kegiatan pengembangan dari bahan alam (termasuk jamu),

sekitar 60% dari seluruh kegiatan pengembangan bahan baku obat di Indonesia (Kardono,

2003; Sparinga, 2010).

Untuk menemukan dan mengembangkan bahan baku obat, perlu ditempuh jalan

yang panjang dan biaya yang mahal. Pada saat ini, jarang ada perusahaan global yang

Page 10: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

melakukan hal tersebut secara sendiri-sendiri, biasanya mereka melakukannya dalam

suatu kerangka kerjasama. Sedangkan un tuk Indonesia, perlu dibuat strategi untuk

menempuh kemitraan global, untuk melakukannya, harus ditentukan terlebih dahulu

langkah mana yang harus dilakukan untuk memulai kemitraan.

Dalam pengembangan dan penemuan obat baru, ada empat langkah utama, yaitu

(1) dari bahan alam dengan melakukan skrining (penapisan) untuk mencari komponen

bioaktif; (2) modifikasi struktur dari bahan obat yang sudah digunakan untuk

meningkatkan aktivitas atau mencari aktivitas baru; (3) dari bahan kimia sintesa dan

pemodelan hewan percobaan dengan melakukan penapisan skrining bahan-bahan kimia

terhadap penyakit (menggunakan pemodelan hewan percobaan) dan (4) dari pendekatan

modern desain obat dengan mendesain obat berbasis mekanisme fisiologi (Kardono,

2004).

Dalam penelitian dan pengembangan bahan baku obat, beberapa tahap biasanya

dilakukan. Mulai dari tahap kegiatan awal (primary stage), pre-klinis, dan klinis. Dalam

tahap kegiatan awal (primary stage), dimulai dengan kajian pustaka mengenai apa yang

akan dikembangkan, pasar dan sebagainya, penentuan target yang dituju, pengembangan

senyawa pengarah melalui desain obat baru dan sintesa serta penapisan bahan alam

bioaktif, evaluasi aktivitas biologi dan farmakologi dasar, penentuan metode evaluasi,

dan pemilihan kandidat obat baru.

Bagian penting dalam primary stage ini adalah bagaimana mempelajari hubungan

antara struktur obat dengan aktivitasnya (structure activity relationship/SAR) sehingga

pencarian senyawa aktif baru menjadi lebih terarah. Kegiatan SAR tersebut telah

memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular.

Tahap pre-klinis terutama ditujukan untuk kajian kemanjuran (efficacy) dan

keamanannya (safety). Kegiatannya meliputi farmakologi, evaluasi sifat-sifat fisiko

kimia, penentuan toksisitas akut dan sub-akut, penentuan farmakokinetik (adsorpsi,

distribusi, metabolisme, ekskresi/ADME), farmasetika dan pengembangan proses

produksi skala besar (mass production). Uji pre-klinis merupakan persyaratan uji untuk

calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil

farmakokinetik dan toksisitas calon obat.

Page 11: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan

percobaan, maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik), yang mempunyai empat

tahapan yang harus dilewati. Sebelum dilakukan pengujian pada manusia, harus diteliti

terlebih dahulu kelayakannya oleh komite etik yang didasarkan pada Deklarasi Helsinki.

Jelaslah, untuk bisa memasarkan bahan baku obat baru, jalan sangat panjang harus

ditempuh. Beberapa bidang ilmu perlu dikembangkan dan ditekuni untuk pengembangan

obat baru di Indonesia.

Pertama, adalah Biology Related Drug Discovery. Pengembangan bahan baku

obat dari genomik menuju proteomik yang meliputi ekspresi protein, sistem ekspresi,

kristalisasi protein, penentuan struktur tiga dimensi dari protein, dan penentuan active site

protein dan mekanisme kerja bahan baku obat pada protein.

Kedua adalah Chemistry Related Drug Discovery and Development, dengan

kegiatan inti bidang kimia medisinal. Langkah ini dimulai dari lead discovery, lead

optimation, chemical process development dan chemical synthesis & scaling up. Lead

discovery meliputi kegiatan medicinal chemistry, combinatorial chemistry, computational

chemistry, natural products isolation dan biocatalysis. Lead optimization meliputi

kegiatan medicinal chemistry, analytical chemistry dan separation chemistry dan

biocatalysis. Chemical process developement berkaitan dengan kegiatan analytical

chemistry, proces research & development, dan biocatalysis. Sedangkan chemical

syntesis dan scaling up mencakup kegiatan analytical chemistry, process research &

development, serta current GMP synthesis.

Kimia Medisinal atau Kimia Farmasetikal adalah disiplin ilmu yang berada pada

persimpangan antara ilmu kimia dan farmakologi yang terlibat dalam proses merancang,

mensintesis dan mengembangkan obat-obatan farmasi. Kimia medisinal terlibat dalam

proses identifikasi, sintesis dan pengembangan senyawa kimia baru yang cocok untuk

terapi. Disiplin ini juga mencakup studi tentang obat yang sudah ada, sifat biologisnya,

dan hubungan secara kuantitatif antara struktur-aktivitas (quantitative structure-activity

relationship, QSAR). Kimia Farmasetikal difokuskan pada aspek kualitas obat dan

bertujuan untuk menjamin fungsi produk obat-obatan. Kimia Medisinal adalah ilmu multi

disiplin yang menggabungkan kimia organik dengan biokimia, kimia komputasi,

farmakologi, pharmacognosy, biologi molekular, statistik, dan kimia fisik.

Page 12: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

Dalam process of drug discovery (proses penemuan obat), langkah pertama

penemuan obat melibatkan proses identifikasi senyawa aktif baru, sering disebut "hit",

yang biasanya ditemukan melalui proses skrining dari banyak senyawa untuk mencari

sifat biologis yang diingini. Terdapat sejumlah pendekatan identifikasi terhadap hit,

kebanyakan teknik yang berhasil dipengaruhi oleh intuisi kimia dan biologi yang

dikembangkan melalui pelatihan kimia-biologis yang ketat. Sumber-sumber lain dari hits

bisa berasal dari sumber-sumber alam, seperti tanaman, hewan, atau jamur. Hit dapat juga

berasal dari pustaka-pustaka kimia, seperti yang diperoleh melalui kimia kombinatorial

atau koleksi lama senyawa kimia yang diuji secara terus menerus terhadap target

fisiologis senyawa yang bersangkutan.

Langkah berikutnya, dalam proses penemuan obat, melibatkan proses modifikasi

kimia lebih lanjut untuk meningkatkan sifat-sifat biologis dan physiochemical dari calon

senyawa. Modifikasi kimia dapat meningkatkan sifat kemampuan dan ikatan geometri

(pharmacophore) afinitas dan farmakokinetiknya, bahkan reaktivitas dan stabilitas

selama degradasi metabolik senyawa tersebut.

Sejumlah metode telah memberikan kontribusi dalam memprediksi proses

metabolik secara kuantitatif. Hubungan kuantitatif struktur-aktivitas (QSAR) dari gugus

farmakofor memainkan peranan penting dalam menemukan senyawa penuntut (lead

compound), yang memperlihatkan potensi, selektivitas, farmakokinetik dan toksisitas

yang terbaik. QSAR yang terutama melibatkan kimia fisik dan “tools” docking molekular

(CoMFA dan CoMSIA), yang mengarah ke data hasil tabulasi serta persamaan pertama

dan kedua. Ada banyak teori, analisis yang paling relevan adalah analisis Hänsch yang

melibatkan parameter elektronik Hammett, parameter sterik dan parameter logP

(lipofilisitas). Langkah terakhir adalah Chemical Synthesis & Scale-up, yang menekankan

Research & Development Process serta Good Manufacturing Practice untuk sintesis,

untuk mempersiapkan senyawa penuntun (lead compound) terpilih, yang sesuai untuk

digunakan dalam uji klinis.

Langkah ini melibatkan proses optimalisasi rute sintetik untuk produksi secara

besar (masal), dan persiapan formulasi obat yang sesuai. Setelah langkah ini dilewati,

pengembangan berikutnya adalah riset klinis, yang meliputi pre-clinical testing

menggunakan hewan percobaan, dan empat fase “clinical trial”. Fase I, di mana calon

Page 13: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

obat diuji pada sukarelawan sehat. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek

yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat tersebut pada manusia. Fase II, fase

di mana calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi terhadap penyakit yang

diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek

samping tidak ada/rendah atau tidak bersifat toksik. Fase III yang melibatkan kelompok

besar pasien, pada fase ini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat

pembanding yang sudah diketahui.

Selama dalam proses uji klinik, banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak

dapat digunakan. Hanya 1 dari 10.000 senyawa hasil sintesis yang diperbolehkan untuk

digunakan, mengingat efek samping dan risikonya lebih besar daripada manfaatnya atau

efek manfaatnya lebih kecil dibandingkan dengan obat yang sudah ada. Keputusan untuk

mengakui suatu obat baru dapat dipergunakan dilakukan oleh badan pengatur nasional,

untuk Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Fase terakhir adalah Fase IV,

yaitu fase di mana setelah obat dipasarkan, masih tetap dilakukan studi pasca pemasaran

(post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, usia dan

ras. Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan efek

jangka panjang dalam penggunaan obat tersebut. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi

masih ada kemungkinan obat ditarik dari perdagangan jika ternyata masih memiliki efek

yang membahayakan.

Prioritas Penelitian dan Pengembangan Bidang Kesehatan dan Obat di Indonesia

dan Penelitian Anti HIV dari Tumbuhan Obat

Di Indonesia, prioritas penelitian dan pengembangan bidang kesehatan dan obat

meliputi: (1) pencapaian gizi seimbang; (2) pengembangan industri farmasi; (3)

pengembangan bahan obat alam; (4) pengembangan vaksin, sera dan biofarmasi; (5)

pengendalian penyakit; (6) pengembangan alat kesehatan; dan (7) penerapan teknologi

genomik, proteomik dan teknologi nano.

Salah satu area prioritas adalah penanggulangan HIV dan AIDS yang tercantum

dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah Penelitian

dan Riset Operasional. Di dalam program tersebut, area prioritasnya  adalah Program

Penelitian Obat Tradisional HIV dan AIDS. Indonesia kaya dengan flora dan fauna

Page 14: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

sebagai sumber bahan pembuatan obat-obatan, maka penelitian diarahkan untuk mencari

bukti-bukti ilmiah tentang obat-obatan tradisional dan sekaligus mencari peluang lain.

Beberapa tanaman/tumbuhan obat Indonesia yang diyakini mempunyai potensi tersebut

antara lain lidah buaya (Aloe vera), temu ireng (Curcuma aeruginosa), jambu biji

(Psidium guajava), Sambiloto (Andrographis paniculata), Meniran (Phyllantus urinada

Linn), Kunir (Curcuma domestika), Mengkudu (Morinda citrifolia) dan Brotowali

(Tinospora cordifolia).

Penting dilakukan skrining in vitro obat herbal untuk HIV/AIDS, sayangnya, sulit

sekali untuk melakukan hal itu di Indonesia. Ada beberapa kendala, seperti belum ada

laboratorium virus yang memadai guna melakukan kultur rutin untuk HIV. Diperlukan

pula laboratorium kultur sel guna menyuplai kebutuhan sel untuk menumbuhkan HIV.

Kemungkinan diperlukan pula laboratorium setingkat BSL-2 atau BSL-3 yang biaya

operasionalnya mahal (Sparinga, 2010).

Berdasarkan data statistik dari WHO, prevalensi HIV di antara orang dewasa yang

berumur >15 tahun pada tahun 2005 di Indonesia adalah 106 per 100.000 populasi

(WHO, 2007). Publikasi internasional mengenai penelitian herbal untuk anti-HIV telah

banyak dilakukan di antaranya adalah pada tanaman obat Panama (Jatropha curcas

(Euphorbiaceae), Chamaesyce hyssopifolia (Euphorbiaceae), Cordia spinescens

(Boraginaceae), Hyptis lantanifolia (Labiatae), and Tetrapteris macrocarpa

(Malpighiaceae) ( Matsuse et al., 1999), Cimicifuga racemosa (blackcohosh) (Sakurai et

al., 2004), Zanthoxylum ailanthoides ( Cheng et al., 2005), tanaman obat Thailand

(Dioscorea birmanica , Smilax corbularia , Smilax glabra , Pygmaeopremna herbacea

and Dioscorea membranacea) ( Tewtrakul et al., 2006), Boesenbergia pandurata (temu

kunci) ( Cheenpracha et al., 2006), Calophyllum inophyllum (Laure et al., 2008).

Metode yang digunakan untuk uji aktivitas anti-HIV antara lain adalah inhibitor

protease HIV-1, inhibitor integrase HIV-1, uji anti-HIV pada sel H9 yang diinfeksi

dengan HIV. Senyawa-senyawa yang menunjukkan aktiviatas anti-HIV yang telah

berhasil diisolasi antara lain adalah Acteinm, 12 saponin, 2 steroidal, 7

tetracyclictriterpenoid, dan 4 pentacyclictriterpenoid dari Cimicifuga racemosa;

decarine, c-fagarine, dan (+)-tembamide dari Zanthoxylum ailanthoides; panduratin A

dan hydroxypanduratin A dari Boesenbergia pandurata;Inophyllum B dan P dari

Page 15: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

Calophyllum inophyllum. Apakah dari tumbuhan-tumbuhan obat tersebut akhirnya bisa

menjadi obat baru untuk mengatasi HIV, masih diperlukan penelitian dan pengembangan

lebih jauh.

Perlunya Kemitraan Global

Indonesia perlu belajar dari Singapura. Dalam mengembangkan bahan baku obat,

Singapura mengundang pakar-pakar internasional, dan mengundang industri

multinasional untuk bekerjasama, yang sebagian investasinya berasal dari Singapura.

Salah satu institusi riset yang lahir seperti ini adalah Merlion Pharma, yang

mengembangkan bahan baku obat dari sumber daya alam, dan berawal dari Glaxo.

Awalnya mengembangkan secara bersama, kemudian Singapura mengembangkan sendiri

dengan komitmen yang sangat kuat. Negara yang sudah maju saja perlu kemitraan

global, demikian juga seharusnya Indonesia.

Secara klasik, masing-masing individu peneliti mengembangkan ilmunya antara

lain berdasarkan referensi hasil penelitian berbasis hasil peneliti lain melalui jurnal,

pertemuan-pertemuan ilmiah, konferensi, pengembangan kapasitas peneliti, sarana

prasarana yang mendukungnya. Namun, perlu dicatat bahwa perubahan ilmu mewajibkan

adanya kemitraan global, seberti mapping genomik global, yang memerlukan masukan

atau input dari banyak ilmuwan di dunia secara koheren, sehingga menciptakan peluang

baru yang saling menjembatani, sehingga para peneliti bisa saling mendengarkan, saling

tukar pengalaman, dan saling bisa memprediksi kebutuhan ke depan.

Jelaslah bahwa kemitraan global seperti ini strategis, melihat ke depan, membina

jaringan baik instansi maupun individu ilmuwannya, sehingga bisa menciptakan program

riset bersama, berkoordinasi dan saling berbagi dalam pendanaannya. Kerjasama seperti

ini akan memberi keuntungan atau mengurangi hambatan untuk implementasi hasil riset

(Marks, 2007). Adanya kerjasama antar institusi global akan mempermudah kunjungan

atau penukaran ilmuwan, mendukung diseminasi ilmu transnasional, pengembangan

kapasitas masing-masing ilmuwan dan institusi, saling tukar pengalaman dan

mengembangkan best practice dan benchmark sistem pengembangan atau prosedur,

benchmark komunitas ilmiah, pembagian dana untuk pengembangan infrastruktur,

sehingga peneliti mampu mengerjakan riset lebih efisien dengan prediksi ke depan lebih

Page 16: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

baik dan penilaian yang lebih tepat.

PENUTUP

Mempertegas apa yang disampaikan pada Workshop bulan April ini, Program

kemandirian bahan baku obat perlu grand design, strategi jangka pendek, menengah dan

panjang, konsisten, terukur, untuk mewujudkan kemandirian dan kelayakan ekonomi;

inovasi tidak hanya pada temuan teknologi baru. Feed back adalah kunci tercapainya

kemandirian bahan baku obat. Di Indonesia, diperlukan cluster policy dalam sistem

inovasi obat untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat, perlu ditentukan sumber

daya lokal yang berpotensi untuk pengembangan bahan baku obat dan eksipien di

Indonesia; pengembangan bahan baku obat di Indonesia tidak bisa dilepas dari

commercial battle field untuk kemandiriannya, karena adanya proteksi yang kuat dari

negar-negara penghasil bahan baku obat. Untuk mencapai target Millennium

Development Goals, diperlukan usaha bersama yang sungguh-sungguh untuk

mengatasinya. Sementara, program intensif pajak bagi industri yang mengembangkan

bahan baku obat masih belum berjalan.

Salah satu usulan bagi industri farmasi dan industri jamu adalah untuk

menyisihkan dana penelitian bersama, dikumpulkan dan dikelola oleh mereka sendiri

atau suatu lembaga netral yang didukung oleh pemerintah untuk tujuan tersebut. Di

bidang farmasi dan bioteknologi kesehatan, dana bersama tersebut bisa dimanfaatkan

untuk pengembangan kapabilitas dan kompetensi penelitian dan pengembangan bahan

baku obat dengan kemitraan global. Strategi dan kehati-hatian dalam kemitraan global ini

perlu kajian dan studi yang mendalam, sehingga benar-benar lebih menguntungkan

Indonesia di masa depan.

Dengan demikian, kemitraan global untuk pengembangan bahan baku obat

memperoleh kemajuan yang berarti, sehingga obat-obat esensial menjadi terjangkau bagi

seluruh masyarakat, dan pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi lebih baik. Dalam

diskusi Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia baru-baru ini, Dr. Roy Sparinga,

dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi, mengusulkan langkah-langkah penguatan

sistem inovasi nasional obat yang berbasis bahan baku lokal antara lain: dirumuskannya

Page 17: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

kebijakan untuk kemandirian/kemampuan nasional dalam produksi bahan baku obat,

ditetapkannya jenis bahan baku obat dan eksipien, ditetapkannya langkah-langkah yang

dilakukan dalam waktu tertentu dan kementrian, institusi dan aktor yang terlibat serta

sumber daya dan dana, disatukannya roadmap industri kimia, industri farmasi, riset dan

teknologi di semua kementrian yang terlibat, didorongnya investasi ke arah indusrti kimia

hulu untuk pengembangan bahan baku obat secara bertahap, adanya insentif riset dan

penguatan jejaring iptek untuk pengembangan bahan baku obat, adanya insentif pajak,

kepabeanan dan bantuan teknis bagi industri yang mengembangkan bahan baku obat, dan

adanya kebijakan penguatan kelembagaan, sumber daya dan jaringan dalam

pengembangan obat baru. Akhirnya, apakah program kemandirian bahan baku obat di

Indonesia ini akan menjadi kenyataan atau tetap menjadi wacana seperti tahun-tahun

sebelumnya, nampaknya masih diperlukan waktu lama untuk mengetahuinya.

DAFTAR PUSTAKA

Aiman, S.A., Laporan Teknis Kedeputian Ilmu Pengetahuan Teknik, disampaikan pada

Rapat Kerja LIPI, Surakarta, 12 Februari 2010.

Cheenpracha, S. C. Karalai, S. Subhadhirasakul , H. Ponglimanont, and S. Tewtrakul.

Anti-HIV-1 protease activity of compounds from Boesenbergia pandurata.

Bioorganic & M edicinal Chemistry 14 2006 1710–1714

Cheng, Ming-Jen, K-H. Lee, I.-L. Tsai and I-S. Chen. Two new sesquiterpenoids and

anti-HIV principles from the root bark of Zanthoxylum ailanthoides. Bioorganic

& Medicinal Chemistry 1 3 2005 5915–5920.

Hardoyo, Drug Development Based on Indonesian Petrochemicals, presented at National

Seminar on Pharmaceutical Technology Business, Ed. Hardoyo, Ministry of

Industry and Trade, Semarang, 21 Oktober 2003.

ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Strategi Pengembangan Bahan Baku Obat

Indonesia, Naskah Akademis Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, disampaikan

kepada Menteri Negara Hortikultura dan Obat, 1997.

Kardono, L.B.S. 2001. Developing Pharmaceuticals Suitable for Indonesian

Pharmaceutical Industries, Workshop on Developments in Drugs and

Page 18: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

Pharmaceutical Technology, Indian Institute of Technology, November 6-10,

2001, Hyderabad, India.

Kardono, L.B.S., 2003, Progress and Development of Indonesian Traditional Medicines,

Presented at Expert Group Meeting on Traditional Medicine and Herbal

Technology, Asia Pacific Center for Transfer of Technology, Wuhan, China, 16--

20 September 2003.

Kardono, L.B.S., Drug Development Based on Indonesian Biodiversity, presented at

National Seminar on Pharmaceutical Technology Business, Ed. Hardoyo,

Ministry of Industry and Trade, Semarang, 21 Oktober 2003.

Kardono, L.B.S. 2004. Developing Drugs and Pharmaceuticals Small and Medium Scale

Enterprises: An Indonesian Case Study, 2nd International symposium on Current

Trend on Drug Discovery Research, Lucknow, India, 17--20 February, 2004.

Kardono, L.B.S., Various efforts to improve the role of Indonesian Traditional Medicines

serving in the national health care, Presented at China-ASEAN Summit Forum on

Traditional Medicines, October 28-29, 2009, Nanning, Guangxi, China.

Laure, H., P. Raharivelomanana, J-F. Butaud, J-P. Bianchini, E. M. Gaydou. Screening

of anti-HIV-1 inophyllums by HPLC–DAD of Calophyllum inophyllum leaf

extracts from French Polynesia Islands. Analytica Chimica Acta 6 2 4 2008 147–

153

Marks, J. International Collaboration of Agencies the European Science Foundation

Experience, Presented at Korea Research Foundation Workshop, Seoul 14

November 2007.

Matsuse, I.T., Y.A. Lim, M. Hattori, M. Correa, M.P. Gupta. A search for anti-viral

properties in Panamanian medicinal plants. The effects on HIV and its essential

enzymes. Journal of Ethnopharmacology 64 (1999) 15–22

Sakurai, N., T. Nikaido, J-H. Wu, K. Koike, Y. Sashida, H. Itokawa, Y. Mimaki,and K-

H. Lee, Anti-AIDSAgents.Part57:Actein,an anti-HIVprinciple from the rhizome

of Cimicifuga racemosa (blackcohosh),and the anti-HIV activity of related

saponins. Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters14(2004)1329–1332

Sparinga, R. Pengembangan Bahan Baku Obat di Indonesia, Disampaikan pada

Workshop Pengembangan Bahan Baku Obat Berbasis Sumber Daya Lokal,

Page 19: KERJASAMA INTERNASIONAL … · Web viewSaat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi

Jakarta, 21 April 2010.

Tewtrakul, S., A. Itharat, P. Rattanasuwan. Anti-HIV-1 protease- and HIV-1 integrase

activities of Thai medicinal plants known as Hua-Khao-Yen. Journal of

Ethnopharmacology 105 2006 312–315

WHO. World health statistics 2007. WHO Press, Geneva, Switzerland.