fisioterapi pada penderita lbp akibat spondylosis
DESCRIPTION
sipTRANSCRIPT
FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS
Jumat, 17 Desember 2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 – S1 yang paling besar menerima beban
atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling besar
sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah
lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri pinggang karena
daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpuh berat
badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya
dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine.
Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang umumnya
menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy lumbar, gangguan
pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis),
dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009).
Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami
spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri
pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri pinggang dan non-mekanikal nyeri
pinggang. Mekanikal nyeri pinggang terdiri dari lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal,
piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik,
spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi
tersebut, spondylosis lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal
nyeri pinggang sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari
mekanikal nyeri pinggang.
Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus
intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk
dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa
kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga
berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009).
Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang menyebabkan
perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet joint). Kondisi ini
terjadi pada usia 30 – 45 tahun namun paling banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak
terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbar
adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe
tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan
simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme
otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991).
Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi
fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut. Pemberian
Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat menurunkan nyeri dan spasme
otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat merangsang ujung saraf sensorik dan proprioseptor
sehingga nyeri dan spasme otot lambat laun akan menurun (Hilary Wadsworth, 1988). Kemudian
pemberian William Flexion Exercise dapat menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan
menambah luas gerak sendi pada lumbal melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot
(Paul Hooper, 1999). Kondisi ini juga banyak ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota Makassar
dan di RSUD. Syekh Yusuf Gowa. Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pasien yang
berusia 40 tahun keatas dan umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan
problem nyeri pinggang serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya
membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh
fisioterapi kondisinya menjadi membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik mengambil
topik penelitian ini.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini
yaitu “Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi spondylosis lumbal di RSUD. Syekh
Yusuf Gowa ?”.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan fungsional lumbal akibat
spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan Short Wave
Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.
b. Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan Short Wave Diathermy (SWD) dan
William Flexion Exercise.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
a. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam penatalaksanaan
kasus spondylosis lumbal dengan menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.
b. Sebagai bahan bacaan dan masukan bagi para mahasiswa, staf pengajar dan lainnya yang ingin
membuat tugas, makalah atau menyusun diktat.
c. Sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mahasiswa dan staf pengajar dalammelakukan
penelitian lanjut.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi fisioterapis di Rumah Sakit atau Lahan Praktek dalam
penanganan kasus spondylosis menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Spondylosis Lumbal
1. Pengertian
Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi
intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis yang
juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi
pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif
tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan diskus
intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya pada
tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild,
2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis lumbar didefinisikan
sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra lumbar atau diskus intervertebralis,
sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal
cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar saraf lumbosacral.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang
terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi
pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami
spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama
ligamen flavum) (John J. Regan, 2010).
2. Etiologi
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan
degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya
hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Bruce
M. Rothschild, 2009).
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45
tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko
yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al, 1991) :
a. Kebiasaan postur yang jelek
b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan
mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c. Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra
lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :
a. Faktor usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan
merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang
vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis
meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi
diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.
b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan
Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian
retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada
lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan
vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat
meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
c. Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian
Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis
berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari
perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan
dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik
dan resistance training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus
berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam
proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit.
Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan
tuntutan pada vertebra lumbar.
3. Patologi Terapan
Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang.
Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada
vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular
berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi
pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%.
Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan
kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus
vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene
Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga
adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end-
plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago
end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel
vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole
dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit
degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak
mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and
Randolph M. Kessler, 2006).
Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006),
terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang mengalami degenerasi.
Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu :
a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi abnormal pada
komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak
masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini
sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat
menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk
suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan
cartilago dan kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain
melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang
(corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan
melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada
lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah.
Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi
suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential
yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan
dengan hilangnya kandungan proteoglycan.
b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang
berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen dari
instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahun-
tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal atau
formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan
osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya
osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak
yang stabil.
c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian posterior dan
kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit membentuk respon
terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang
terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan penurunan
gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat
pada segmen gerak.
Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan fraktur
end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial terhadap segmen
tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian
bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet
terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L5 – S1 dan pada L4 –
L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan,
dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang
melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60%
pada orang-orang yang lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,
2006).
Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat perubahan
degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan degeneratif
lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari penyempitan space diskus.
Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior
dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang
berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial
terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya
subluksasi dari processus articular superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi
anteroposterior dari intervertebral joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat
menyebabkan perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan
space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada
processus articular inferior – superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis
intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish,
2009).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya
penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space
diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf
sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint
dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E.
Smith, 2009).
4. Gambaran Klinis
Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi
nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis, sacroiliaca
joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine (Kimberley Middleton
and David E. Fish, 2009).
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran
klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui pertumbuhan
osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi diskus, bulging
(penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa
neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan
kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan
diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari.
Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa timbul nyeri
karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint.
Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan
pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk
(seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).
5. Anatomi Biomekanik Lumbal
Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum. Pada regio
lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis. Corpus vertebra
lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal.
Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul dan
kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian atas, tetapi
pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen gerak lumbal
terdapat foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang berhubungan dengan lamina
bagian atas dan bawah.
Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan pedicles dan
lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam bidang oblique kearah
posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan mengarah ke dorsomedial sehingga
hampir saling berhadapan satu sama lain, serta processus articularis inferior yang muncul dari
tepi inferior arcus vertebra yang dekat antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah
inferior dan medial, dan permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian
antara facet articularis superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra
bagian atas dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah
bahwa susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal.
Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat dipilah
dalam segmentasi regional sebagai berikut :
a. Thoracolumbal junction
Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine dimana th12 arah
superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah inferior facet pada bidang
sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada gerak lumbar spine ‘memaksa’
th12 hingga Th10mengikuti. Pada atlit senam pada daerah ini dapat mencapai ROM fleksi 550dan
ekstensi 250.
b. Lumbal spine
Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan puncak
L3 sebesar 2–4 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi maupun momen.
Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan otot disamping corpus itu
sendiri.
Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam posisi bidang
sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang luas yaitu fleksi - ekstensi
lumbal.
c. Lumbosacral joint
L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal mempunyai
gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral joint menerima beban
gerakan dan berat badan paling besar pada regio lumbal.
Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal
Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat pada
setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen fungsional
tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus intervertebralis yang
membentuk symphisis joint), dan 2 sendi bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan
segmen transitional adalah segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada
regio lumbal terdapat 2 segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal
junction) dan segmen gerak L5-S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang
three joint kompleks.
a. Diskus Intervertebralis
Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis, merupakan
fibrocartilago compleks yang membentuk articulasio antara corpus vertebra, dikenal
sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi
sekitar ¼ dari tinggi spine. Diskus intervertebralis memberikan penyatuan yang sangat kuat,
derajat fiksasi intervertebralis yang penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari
canal neural. Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus
terdiri atas 2 komponen yaitu :
1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan,
mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan unsur-
unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic
yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks mucopolysaccharida yang mengandung
ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak
mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai kandungan cairan yang
sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan
beberapa gaya ke annulus & sebagai shock absorber.
2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen yang nampak
menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique kearah sentral. Karena
serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30o satu sama lainnya maka struktur ini lebih
sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Serabut-serabutnya sangat
penting dalam fungsi mekanikal dari diskus intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan
organisasi dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan
serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus
nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan pegas)
terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan
tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola.
Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur tubuh.
Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut tekanan intradiskal.
Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat dengan perubahan postur
tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena L3-L4
menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari penelitian Nachemson
menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15 – 25 kp dan tidur miring menjadi
2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan
tersebut menjadi lebih besar saat duduk tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat
berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan
intradiskal meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika
mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.
b. Facet Joint
Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah dengan
processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-axial
diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah
kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan
pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular.
Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih dekat
kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit posterior,
sedangkan facet bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet
bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah konveks.
Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi
sehingga rotasi lumbal sangat terbatas. Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah
bidang frontal daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbal lainnya.
Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk menahan gaya
rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya diberikan oleh sendi facet. Sendi facet juga menopang
sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak
yang paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1.
Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot. Ligamen-
ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :
a. Ligamen longitudinal anterior
Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis occiput ke
sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum, ligamen ini masuk ke
dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan melekat pada antero-superior corpus
vertebra. Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan
sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal.
b. Ligamen longitudinal posterior
Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral pada bagian
posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan posterior vertebra. Pada
regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga
ligamen ini lebih lemah daripada ligamen longitudinal anterior. Dengan demikian diskus
intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal
posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A
delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai
stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
c. Ligamen flavum
Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap lamina
vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen anteriomedial
sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin daripada serabut kolagen
dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan
fleksi lumbal.
d. Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan memanjang
kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif
saat gerakan fleksi lumbal.
e. Ligamen supraspinosus
Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal, ligamen
ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan
sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
f. Ligamen intertransversalis
Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan berkembang
baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral.
Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:
a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia lumbodorsal, serta
muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal.
Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:
1) M. Transverso spinalis
2) M. Longissimus
3) M. Iliocostalis
4) M. Spinalis
5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris
Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai stabilisator
vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.
b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding
abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu m.
rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group
otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva
lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk. Didalam
memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai direct brace, m. obliqus internal
bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external
bekerja sebagai brace kearah anterior.
c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang terdiri dari
:
1) M. Quadratus Lumborum
2) M. Psoas
Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.
Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat fleksi
lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur serabut annulus
fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis inferior dari vertebra bagian
atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis
superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami
peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen
interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior.
Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus fibrosus
bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior juga mengalami
penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat yang sama, processus
articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus
dapat saling bersentuhan satu sama lain.
Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah
ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus bergeser
kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami peregangan
sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular relatif bergeser satu
sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak
naik sementara sisi kontralateral akan bergerak turun.
Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra bagian bawah,
tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus spinosus dengan
processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga
gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan
D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar
10odan ROM segmental sekitar 2o dan segmental unilateral sekitar 1o.
B. Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal
1. Problematik Fisioterapi
Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio
lumbal, khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal paha
maupun ke daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada otot erector
spine sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi ini dapat
menimbulkan problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot erector spine
lumbal, keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan fleksibilitas lumbal.
2. Tindakan Fisioterapi
a. Short Wave Diathermy (SWD)
Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi yang
terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat
digunakan untuk menghasilkan efek-efek nonthermal. Diathermy yang digunakan sebagai
modalitas terapi terdiri atas short wave diathermy (yang akan dibahas) dan microwave
diathermy.
Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi elektromagnetik
dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications Commision (FCC) telah
menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave diathermy, yaitu :
1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter
2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter
3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter
Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah frekuensi
27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.
Short wave diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus yaitu
arus Continuos SWD dan Pulsed SWD.
1) Sifat Pancaran energi elektromagnetik
Telah dijelaskan diatas bahwa arus SWD menghasilkan energi elektromagnetik, dimana
energi tersebut memancarkan medan listrik dan medan magnet. Arus tersebut tidak menimbulkan
aksi potensial pada serabut saraf motorik maupun sensorik, dengan kata lain tidak merangsang
saraf motorik untuk berkontraksi, karena arus frekuensi tinggi mempunyai osilasi lebih dari
500.000 siklus/detik yang akan memberikan 1.000.000 impuls setiap detik, sehingga durasinya
0,001 ms tiap detik.
Kuatnya medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan bergantung pada sumber
medan elektromagnetik. Pada medan elektromagnetik yang terputus-putus (pulsed) akan terjadi
pemutusan medan pada moment tertentu. Energi elektromagnetik yang dihasilkan tergantung
pada metode yang digunakan.
a) Metode medan kondensor
Pada prinsipnya, medan listrik dari energi elektromagnetik dihasilkan oleh plat metal
elektrode dan medan magnet dihasilkan oleh magnetode (kumparan kawat). Pada metode ini,
medan listrik lebih kuat dihasilkan daripada medan magnet karena menggunakan plat metal
elektrode.
b) Metode kumparan (kabel/spul/magnetode)
Pada metode kumparan, kumparan-kumparan kawat menghasilkan medan magnet yang
lebih kuat didalam dan disekitar kumparan dibandingkan dengan diluar kumparan. Distribusi
medan elektromagentik yang dihasilkan oleh kumparan paling besar terjadi di jaringan
superfisial apabila pemasangannya dililitkan.
2) Metode Aplikasi
Metode aplikasi SWD terdiri atas :
a) Metode Induktive
(1) Menggunakan sebuah kumparan metal yang kecil datar, tertutup dalam suatu plastic
drum (dengan suatu kapasitor yang paralel), kadang-kadang dinamakan dengan monode.
(2) Menggunakan pipa panjang dengan konduktor yang fleksibel, tertutup dalam karet yang tebal,
dinamakan dengan kabel atau kumparan. Kabel atau kumparan ini terbungkus mengelilingi
bagian yang diobati dalam pola spiral atau dalam bentuk flat spiral. Kabel tersebut membentuk
suatu inductance dan terpisah dari kulit oleh adanya handuk sebagai perantara.
b) Metode Capacitive/Condensor
(1) Menggunakan metal plate yang kaku, tertutup dalam plastic, dinamakan dengan rigid atau plate
electrode atau space plate dan diposisikan oleh lengan penyanggah.
(2) Menggunakan elektrode yang fleksibel atau lunak, terbungkus dalam karet yang tebal dimana
dapat diposisikan dibawah bagian yang diobati dengan perantara bahan yang sesuai (seperti
handuk).
Pada metode capacitive ini mempunyai 3 macam posisi elektrode, yaitu aplikasi
contraplanar/transversal, aplikasi coplanar dan aplikasi longitudinal (long methode). Dalam
penelitian ini, kami menggunakan aplikasi coplanar sehingga kami hanya membahas aplikasi
tersebut.
Aplikasi Coplanar
Pada aplikasi ini, lokasi kedua elektrode dalam bidang yang sama terhadap jaringan yang
diterapi. Karena energi thermal yang tinggi terjadi pada jaringan lemak dan tidak terjadi aliran
arus energi elektromagnetik secara transversal melewati seluruh lapisan jaringan sehingga
absorbsi energi akan rendah pada jaringan yang lebih dalam. Dengan demikian, metode ini hanya
bersifat superfisial. Jika metode ini menginginkan efek yang dalam, maka dianjurkan untuk
menerapkan jarak elektrode – kulit yang cukup jauh dan jarak tersebut tetap dipertahankan pada
jarak ½ kali dari diameter elektrode/condensator.
Hal-hal yang perlu dihindari dalam ketiga aplikasi ini adalah :
a) Penggunaan elektrode yang besar secara berlebihan dapat menyebabkan lokalisasi energi yang
rendah dan efek terapi yang optimum tidak tercapai.
b) Jarak elektrode – kulit yang sangat rapat dengan area jaringan yang menonjol dapat
menyebabkan konsentrasi energi elektromagnetik sehingga menghasilkan “point effek”.
3) Continous Short Wave Diathermy (CSWD)
Pada penerapan CSWD, energi thermal dominan terjadi dalam jaringan. Setiap jaringan
yang menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-beda. Jaringan lemak cepat menyerap
panas daripada otot (1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit.
Secara fisiologis, jaringan otot tidak memiliki “thermosensor” tetapi hanya pada jaringan kulit,
sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian CSWD maka sebenarnya sudah
terjadi “overthermal” pada jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima
panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima
jaringan melebihi batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (1963)
ukuran subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat.
Menurut Hollander JS (1949) bahwa para peneliti menyatakan pemberian CSWD pada
kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian besar penelitian melarang pemberian
CSWD pada arthritis. Hal ini disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu
asam “Hyaluronik”yang suhu optimalnya adalah 36,7o, dan sangat sensitif terhadap penambahan
suhu. Dengan penambahan suhu 1o saja (terjadi pada pemberian CSWD) maka suhunya menjadi
37,4o, sementara pada suhu 37o saja akan mengaktifkan cairan/enzym hyaluronidase yang dapat
merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi
tidak akan pernah mengalami regenerasi/reparasi.
Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan efek
fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme.
4) Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD)
Sekitar tahun 1940, mulai digalakkan penelitian terhadap PSWD sebagai salah satu efek
terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan PSWD pada hapusan
susu, dan ternyata pada hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk “untaian kalung”. Kemudian
bentuk tersebut juga terjadi pada cairan darah, limpha dan eiwit. Penemuan tersebut
menunjukkan bahwa PSWD sangat bermanfaat dalam menghasilkan efek terapeutik, sedangkan
efek fisiologisnya hanya timbul sedikit (pengaruh panas hanya minimal). Pada Pulsed SWD,
mempunyai energi/power output yang maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian,
energi/power output rata-rata adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 – 80 watt (tergantung
pada pemilihan frekuensi pulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan
subthermal dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi Pulsed SWD sangat
cocok untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas merupakan
kontraindikasi.
Jika kita menerapkan Pulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan pulsasi rectangular
dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi tersebut dapat diatur sampai 1000
W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor maka energi power dapat diatur sampai nilai
maksimum. Interval pulsasi yang dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi
repetition (15 – 200 Hz), sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean
power (watt). Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan intensitas arus dan
frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi pulsasi repetition yang dipilih maka
semakin rendah mean powernya. Dengan demikian, penerapanPulsed SWD dapat
memungkinkan kita memilih intensitas arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan
frekuensi pulsasi repetition yang selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan.
Dengan demikian, indikasi Pulsed SWD adalah :
a) Kondisi-kondisi post traumatik dan post-operasi seperti arthropathy, kontusio, distorsio,
hematoma.
b) Gangguan-gangguan lain seperti ankylopoietik spondylosis, bursitis, coccygodinia, myalgia,
(akut) humeroscapular periarthritis, periostitis, neuralgia, (akut) sciatica, tendovaginitis, akut dan
kronik furuncle sinusitis, cervical lymphadenitis non-spesifik, laryngitis dan peritonsilar abcess,
adneksitis dan mamma abcess.
5) Efek Fisiologis
a) Perubahan panas/temperatur
(a) Reaksi lokal/jaringan
(1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap kenaikan temperatur 1o C.
(2) Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya terjadi
vasodilatasi lokal.
(b) Reaksi general
(1) Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan kenaikan
temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general.
(2) Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas.
b) Jaringan ikat
Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen kulit, tendon,
ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan; pemanasan ini tidak
akan menambah panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika
disertai dengan latihan peregangan.
c) Otot
(1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot.
(2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali hipertoni akibat emosional dan
kerusakan SSP.
d) Saraf
(1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf.
(2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold).
6) Indikasi
Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-kondisi subakut
dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti sprain/strain, osteoarthritis, cervical
syndrome, NPB dan lain-lain).
7) Kontraindikasi
Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor atau
kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi menstruasi dan
kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari pulsed SWD adalah tumor
atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan testis, kondisi menstruasi dan kehamilan.
Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan kontraindikasi dari continuos SWD tetapi
bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsasi yang rendah.
b. William Flexion Exercise
1) Pengertian
William flexion exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams pada tahun 1937. Pada
tahun 1937, program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP dengan kondisi
degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang
dan banyak ditujukan pd laki2 dibawah usia 50-an & wanita dibawah usia 40-an yang mengalami
lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space diskus antara segmen lumbal, & gejala-gejala
kronik LBP.
William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak yang
menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise
telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk
mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam
beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint
(kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan diskus. Tn. William menjelaskan bahwa
posisi posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil terbaik.
2) Tujuan
Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan
stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus,
dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower
back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara
group otot postural fleksor & ekstensor.
3) Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan
disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari William
Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi diskus, atau
protrusi diskus.
4) Prosedur Pelaksanaan
Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999) adalah
sebagai berikut :
a) Latihan I (pelvic tilting)
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas bed/lantai.
Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. Kemudian
pertahankan 5 – 10 detik.
Gambar 2.1 Teknik Latihan I William Flexion Exercise
b) Latihan II (single knee to chest)
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas bed/lantai.
Secara perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 5 – 10 detik. Kemudian
diulangi untuk knee kiri dan pertahankan 5 - 10 detik.
Gambar 2.2 Teknik Latihan II William Flexion Exercise
c) Latihan III (double knee to chest)
Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama. Tarik knee
kanan ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee selama 5 – 10 detik.
Dapat diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan secara perlahan-lahan salah
satu tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya.
Gambar 2.3 Teknik Latihan III William Flexion Exercise
d) Latihan IV (partial sit-up)
Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi ini
angkat secara perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5 detik.
Kemudian kembali secara perlahan ke posisi awal
Gambar 2.4 Teknik Latihan IV William Flexion Exercise
e) Latihan V (hamstring stretch)
Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan
fleksikan trunk ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua lengan
menjangkau sejauh mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki.
Gambar 2.5 Teknik Latihan V William Flexion Exercise
f) Latihan VI (hip fleksor stretch)
Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan knee
dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan axilla (ketiak).
Ulangi dengan kaki yang lain.
Gambar 2.6 Teknik Latihan VI William Flexion Exercise
g) Latihan VII (squat)
Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan
pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas
lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua knee.
Gambar 2.7 Teknik Latihan VII William Flexion Exercise
C. Tinjauan Alat Ukur
1. Visual Analogue Scale (VAS)
Menurut International Association For The Study Of Pain (1979) dalam Nugroho DS
(2001), disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosi yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun
potensial. Definisi tersebut berdasarkan dari sifat nyeri yang merupakan pengalaman subyektif
dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami adanya kesamaan penyebab tidak
secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama. Nyeri adalah pengalaman umum dari
manusia. Beberapa jenis penyakit, injury dan prosedur medis serta surgical berkaitan dengan
nyeri. Beberapa pasien mungkin mempunyai pengalaman nyeri yang berbeda dengan jenis dan
derajat patologis yang sama. Selain patologi fisik, kultur/budaya, ekonomi, sosial, demografi dan
faktor lingkungan mempengaruhi persepsi nyeri seseorang. Keadaan psikologis seseorang,
riwayat personal dan faktor situasional memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas
nyeri seseorang (Turk & Melzack, 1992).
Nyeri melibatkan 2 komponen utama yaitu : komponen sensorik dan komponen afektif.
Komponen sensorik nyeri digambarkan sebagai rasa tidak enak yang seringkali dapat
diidentifikasi dan dilokalisir pada bagian tubuh tertentu, dan dapat diidentifikasi derajat
intensitasnya (Fields, 1988). Secara klinis, kami membatasi intensitas nyeri pada berapa besar
rasa sakit yang dirasakan oleh pasien (Jensen & Karoly, 1992). Sedangkan komponen afektif
nyeri adalah berbeda. Komponen ini melibatkan serangkaian tingkah laku pasien yang kompleks
dimana pasien mungkin melakukan secara minimal, melepaskannya, atau mengakhiri stimulus
noxious tersebut. Komponen afektif nyeri ini akan menggambarkan perbedaan yang khas tentang
cara-cara individu/seseorang merasakan nyerinya dan variabilitasnya terhadap pengalaman nyeri
hebat yang dirasakan.
Secara klinis, perbedaan yang paling penting antara aspek sensorik nyeri dan affektif
nyeri adalah perbedaan antara deteksi nyeri dengan toleransi nyeri (Fields, 1988). Ambang
rangsang untuk deteksi nyeri berkaitan dengan aspek sensorik nyeri dan dapat terjadi nyeri hebat
secara berulang pada pasien yang berbeda serta dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada
waktu yang berbeda dengan pasien yang sama. Sedangkan toleransi nyeri sangat variabel dan
berkaitan dengan komponen afektif nyeri. Karena sifatnya multidimensional, maka toleransi
nyeri pada setiap orang tidak akan sama caranya (Turk & Kerns, 1983). Oleh karena itu, untuk
memeriksa nyeri secara efektif pada aplikasi klinis maka terapis harus teliti serta
mempertimbangkan komponen sensorik dan afektif dari pengalaman nyeri pasien.
Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa
intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai
dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda
“bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai
dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri
sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan
level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan
pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri
daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas.
Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut
(Carlson, 1983 ; McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa
pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala
verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit
untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi
yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986).
Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap
pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly,
1992).
VISUAL ANALOGUE SCALE (HORIZONTAL LINE)
Pasien diminta untuk menunjuk pada garis horisontal sesuai dengan intensitas nyerinya
Tidak ada nyeri sgt nyeri tk terthnkan
2. Fleksibilitas Lumbal
Fleksibilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan range of motion
(ROM) yang terjadi pada setiap bidang gerak pada sebuah sendi. Fleksibilitas adalah
kemampuan jaringan disekitar sendi untuk terulur semaksimal mungkin tanpa ada pengaruh dari
jaringan lawanannya dan relaks. Jaringan yang terulur tidak hanya beberapa ligamen, fascia, dan
jaringan konektif lainnya yang terkait dengan sendi, tetapi otot-otot antagonis harus relaks (otot-
otot yang melawan gerakan sehingga aksi sendi bisa terbatas).
Statik fleksibilitas menunjukkan suatu ROM yang ada ketika segmen tubuh secara pasif
digerakkan (oleh fisioterapis atau dokter), sedangkan dinamik fleksibilitas menunjukkan pada
ROM yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh secara aktif yang dihasilkan oleh kontraksi
otot. Statik fleksibilitas merupakan indikator yang baik untuk relatif tightness atau laxitas sendi,
dimana implikasi untuk potensial injury. Namun demikian, dinamik fleksibilitas harus cukup
atau tidak membatasi ROM yang dibutuhkan untuk aktivitas kegiatan sehari (ADL), kerja, atau
aktivitas olahraga. Penelitian menunjukkan bahwa kedua komponen fleksibilitas ini adalah
independen satu sama lain.
Meskipun fleksibilitas secara umum seringkali dibandingkan, secara aktual fleksibilitas
merupakan spesifik sendi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya fleksibilitas yang
luas pada salah satu sendi tidak menjamin terjadi derajat fleksibilitas yang sama pada seluruh
sendi.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi fleksibilitas. Bentuk permukaan tulang pembentuk
sendi dan keterlibatan otot atau jaringan lemak dapat mempengaruhi atau mengakhiri gerakan
pada ROM yang luas.
Fleksibilitas utamanya merupakan fungsi relatif laxitas dan/atau extensibilitas jaringan
kolagen dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi. Ketegangan ligamen dan
otot yang membatasi extensibilitas merupakan inhibitor yang paling besar untuk ROM sendi.
Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka extensibilitasnya akan menurun. Kandungan
air dari diskus cartilaginous yang ada pada beberapa sendi juga mempengaruhi mobilitas sendi-
sendi tersebut.
Oleh karena itu, dalam fleksibilitas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot. Ekstensibilitas
otot adalah kemampuan otot untuk terulur semaksimal mungkin atau kemampuan otot untuk
memanjang semaksimal mungkin. Disamping itu, dibutuhkan ekstensibilitas kapsul-ligamen
pada sendi atau laxitas dari sendi.
Untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot
erector spine atau kemampuan memanjangnya otot erector spine lumbal saat fleksi lumbal.
Disamping itu, diperlukan laxitas dari intervertebral joint yang mencakup diskus intervertebralis
dan facet joint untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas.
Adanya problem keterbatasan gerak akibat kondisi diskus problem, disfungsi facet joint
atau penyakit degenerasi dapat menyebabkan menurunnya laxitas intervertebral joint dan
menurunnya ekstensibilitas otot erector spine sehingga mempengaruhi fleksibilitas lumbal.
Fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan metode sit and reach test, Leighton flexometer,
dan metode Schober test. Metode sit and reach test bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk
dan tungkai, sedangkan Leighton Flexometer dan metode Schober test bertujuan untuk mengukur
fleksibilitas trunk khususnya regio lumbal.
Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode Schober test untuk mengukur
fleksibilitas lumbal. Adapun prosedur pelaksanaan teknik scober test sebagai berikut :
a. Posisi pasien yang di anjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal, thorakal, lumbal dalam
posisi 0o tanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis untuk mencegah adanya
anterior tilting.
b. Cara pengukuran :
1) Metode I ; menentukan luas gerak sendi pada fleksi thorakal lumbal adalah mengukur jarak
antara procesus spinosus C7 dan S1 dengan alat ukur pita meteran. Pengukuran awal dibuat saaat
pasien dalam posisi zero starting dan pengukuran selanjutnya dibuat dalam akhir ROM saat
fleksi lumbal. Perbedaan antara pengukuran awal dan akhir menunjukkan besarnya jarak gerak
fleksi thoracal dan lumbal. Magee menjelaskan bahwa perbedaan 10 cm pada pita meteran
adalah normal untuk pengukuran. AAOS menjelaskan bahwa 4 inchi merupakan suatu
pengukuran rata-rata untuk pengukuran rata-rata orang dewasa yang sehat.
2) Metode II ; dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa pemeriksa untuk mengukur fleksi
thoracal dan lumbal adalah mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah lantai pada
saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan lantai atau fleksi lumbal
merupakan kombinasi untuk fleksi spine dn fleksi hip sehingga membuat sulit untuk mengisolasi
dan mengukur fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak dianjurkan untuk mengukur fleksi
thorakal dan lumbal tetapi dapat digunakan untuk memeriksa fleksibillitas tubuh secara umum.
3) Metode III ; dalam metode ini digunakan 3 tanda yaitu :
a) Pada saat berdiri, beri tanda pada titik tengah antara level SIPS kanan-kiri.
b) Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10 cm dan tarik garis lurus pertama
(midline).
c) Kemudian beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan jarak 5 cm dan tarik garis lurus
kedua (midline).
d) Ukur jarak kedua garis tersebut (yaitu 15 cm).
e) Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal mungkin, kemudian ukur jarak dari
tanda ketiga ke tanda kedua melalui tanda pertama dengan garis lurus.
f) Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 20 cm. Abnormalnya : jarak yang dicapai < 20 cm.
D. Kerangka Berpikir
Faktor usiaKebiasaan postur yang jelakAktifitas fisik yg berat & berlebihanDegenerasi diskus dan facet jointSpondylosis lumbalNyeri dan gangguan fleksibilitasSWD dan William Flexion ExercisePenurunan nyeri dan penambahan fleksibilita