fisioterapi pada penderita lbp akibat spondylosis

37
FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS Jumat, 17 Desember 2010 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 – S1 yang paling besar menerima beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine. Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri pinggang dan

Upload: verlinda-yusfarini

Post on 24-Oct-2015

105 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

sip

TRANSCRIPT

Page 1: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS

Jumat, 17 Desember 2010

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 – S1 yang paling besar menerima beban

atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling besar

sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah

lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri pinggang karena

daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpuh berat

badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya

dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine.

Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang umumnya

menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy lumbar, gangguan

pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis),

dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009).

Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami

spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri

pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri pinggang dan non-mekanikal nyeri

pinggang. Mekanikal nyeri pinggang terdiri dari lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal,

piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik,

spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi

tersebut, spondylosis lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal

nyeri pinggang sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari

mekanikal nyeri pinggang.

Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus

intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang

Page 2: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk

dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa

kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga

berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009).

Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang menyebabkan

perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet joint). Kondisi ini

terjadi pada usia 30 – 45 tahun namun paling banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak

terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbar

adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe

tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan

simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme

otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991).

Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi

fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut. Pemberian

Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat menurunkan nyeri dan spasme

otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat merangsang ujung saraf sensorik dan proprioseptor

sehingga nyeri dan spasme otot lambat laun akan menurun (Hilary Wadsworth, 1988). Kemudian

pemberian William Flexion Exercise dapat menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan

menambah luas gerak sendi pada lumbal melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot

(Paul Hooper, 1999). Kondisi ini juga banyak ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota Makassar

dan di RSUD. Syekh Yusuf Gowa. Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pasien yang

berusia 40 tahun keatas dan umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan

problem nyeri pinggang serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya

membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh

fisioterapi kondisinya menjadi membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik mengambil

topik penelitian ini.

A.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini

yaitu “Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi spondylosis lumbal di RSUD. Syekh

Yusuf Gowa ?”.

Page 3: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

B.       Tujuan Penelitian

1.    Tujuan Umum

Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan fungsional lumbal akibat

spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa.

2.    Tujuan Khusus

a.    Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan Short Wave

Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.

b.    Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan Short Wave Diathermy (SWD) dan

William Flexion Exercise.

C.      Manfaat Penelitian

1.    Manfaat Ilmiah

a.    Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam penatalaksanaan

kasus spondylosis lumbal dengan menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.

b.    Sebagai bahan bacaan dan masukan bagi para mahasiswa, staf pengajar dan lainnya yang ingin

membuat tugas, makalah atau menyusun diktat.

c.    Sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mahasiswa dan staf pengajar dalammelakukan

penelitian lanjut.

2.    Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan bagi fisioterapis di Rumah Sakit atau Lahan Praktek dalam

penanganan kasus spondylosis menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.      Tinjauan Spondylosis Lumbal

1.    Pengertian

Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi

intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis yang

juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi

pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif

tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).

Page 4: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan diskus

intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya pada

tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild,

2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis lumbar didefinisikan

sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra lumbar atau diskus intervertebralis,

sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal

cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar saraf lumbosacral.

Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang

terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi

pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami

spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama

ligamen flavum) (John J. Regan, 2010).

2.    Etiologi

Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan

degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya

hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Bruce

M. Rothschild, 2009).

Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45

tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko

yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al, 1991) :

a.    Kebiasaan postur yang jelek

b.    Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan

mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.

c.    Tipe tubuh

Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra

lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :

a.    Faktor usia

Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan

merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang

vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis

Page 5: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi

diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.

b.    Stress akibat aktivitas dan pekerjaan

Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian

retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada

lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan

vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat

meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.

c.    Peran herediter

Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian

Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis

berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari

perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan

dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik

dan resistance training.

d.   Adaptasi fungsional

Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus

berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam

proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit.

Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan

tuntutan pada vertebra lumbar.

3.    Patologi Terapan

Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang.

Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada

vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular

berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi

pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%.

Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan

kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus

vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene

Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).

Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga

adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end-

Page 6: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago

end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel

vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole

dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit

degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak

mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and

Randolph M. Kessler, 2006).

Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006),

terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang mengalami degenerasi.

Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu :

a.    Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi abnormal pada

komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak

masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini

sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat

menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk

suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan

cartilago dan kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain

melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang

(corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan

melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada

lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah.

Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi

suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential

yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan

dengan hilangnya kandungan proteoglycan.

b.    Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang

berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen dari

instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahun-

tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal atau

formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan

osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya

osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak

yang stabil.

Page 7: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

c.    Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian posterior dan

kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit membentuk respon

terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang

terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan penurunan

gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat

pada segmen gerak.

Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan fraktur

end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial terhadap segmen

tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian

bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet

terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L5 – S1 dan pada L4 –

L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan,

dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang

melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60%

pada orang-orang yang lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,

2006).

Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat perubahan

degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan degeneratif

lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari penyempitan space diskus.

Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior

dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang

berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial

terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya

subluksasi dari processus articular superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi

anteroposterior dari intervertebral joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat

menyebabkan perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan

space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada

processus articular inferior – superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis

intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish,

2009).

Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya

penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space

diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf

Page 8: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint

dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E.

Smith, 2009).

4.    Gambaran Klinis

Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi

nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis, sacroiliaca

joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine (Kimberley Middleton

and David E. Fish, 2009).

Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran

klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui pertumbuhan

osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi diskus, bulging

(penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa

neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan

kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan

diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).

Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari.

Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa timbul nyeri

karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint.

Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan

pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk

(seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).

5.    Anatomi Biomekanik Lumbal

Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum. Pada regio

lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis. Corpus vertebra

lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal.

Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul dan

kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian atas, tetapi

pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen gerak lumbal

terdapat foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang berhubungan dengan lamina

bagian atas dan bawah.

Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan pedicles dan

lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam bidang oblique kearah

posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan mengarah ke dorsomedial sehingga

Page 9: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

hampir saling berhadapan satu sama lain, serta processus articularis inferior yang muncul dari

tepi inferior arcus vertebra yang dekat antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah

inferior dan medial, dan permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian

antara facet articularis superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra

bagian atas dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah

bahwa susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal.

Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat dipilah

dalam segmentasi regional sebagai berikut :

a.    Thoracolumbal junction

Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine dimana th12 arah

superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah inferior facet pada bidang

sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada gerak lumbar spine ‘memaksa’

th12 hingga Th10mengikuti. Pada atlit senam pada daerah ini dapat mencapai ROM fleksi 550dan

ekstensi 250.

b.    Lumbal spine

Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan puncak

L3 sebesar 2–4 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi maupun momen.

Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan otot disamping corpus itu

sendiri.

Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam posisi bidang

sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang luas yaitu fleksi - ekstensi

lumbal.

c.    Lumbosacral joint

L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal mempunyai

gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral joint menerima beban

gerakan dan berat badan paling besar pada regio lumbal.

Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal

Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat pada

setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen fungsional

tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus intervertebralis yang

membentuk symphisis joint), dan 2 sendi bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan

segmen transitional adalah segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada

regio lumbal terdapat 2 segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal

Page 10: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

junction) dan segmen gerak L5-S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang

three joint kompleks.

a.    Diskus Intervertebralis

Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis, merupakan

fibrocartilago compleks yang membentuk articulasio antara corpus vertebra, dikenal

sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi

sekitar ¼ dari tinggi spine. Diskus intervertebralis memberikan penyatuan yang sangat kuat,

derajat fiksasi intervertebralis yang penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari

canal neural. Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus

terdiri atas 2 komponen yaitu :

1)   Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan,

mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan unsur-

unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic

yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks mucopolysaccharida yang mengandung

ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak

mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai kandungan cairan yang

sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan

beberapa gaya ke annulus & sebagai shock absorber.

2)   Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen yang nampak

menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique kearah sentral. Karena

serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30o satu sama lainnya maka struktur ini lebih

sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Serabut-serabutnya sangat

penting dalam fungsi mekanikal dari diskus intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan

organisasi dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan

serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus

nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan pegas)

terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan

tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola.

Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur tubuh.

Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut tekanan intradiskal.

Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat dengan perubahan postur

tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena L3-L4

menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari penelitian Nachemson

Page 11: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15 – 25 kp dan tidur miring menjadi

2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan

tersebut menjadi lebih besar saat duduk tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat

berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan

intradiskal meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika

mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.

b.    Facet Joint

Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah dengan

processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-axial

diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah

kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan

pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular.

Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih dekat

kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit posterior,

sedangkan facet bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet

bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah konveks.

Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi

sehingga rotasi lumbal sangat terbatas. Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah

bidang frontal daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbal lainnya.

Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk menahan gaya

rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya diberikan oleh sendi facet. Sendi facet juga menopang

sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak

yang paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1.

Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot. Ligamen-

ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :

a.    Ligamen longitudinal anterior

Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis occiput ke

sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum, ligamen ini masuk ke

dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan melekat pada antero-superior corpus

vertebra. Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan

sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal.

b.    Ligamen longitudinal posterior

Page 12: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral pada bagian

posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan posterior vertebra. Pada

regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga

ligamen ini lebih lemah daripada ligamen longitudinal anterior. Dengan demikian diskus

intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal

posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A

delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai

stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.

c.    Ligamen flavum

Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap lamina

vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen anteriomedial

sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin daripada serabut kolagen

dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan

fleksi lumbal.

d.   Ligamen interspinosus

Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan memanjang

kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif

saat gerakan fleksi lumbal.

e.    Ligamen supraspinosus

Ligamen ini melekat pada  setiap ujung processus  spinosus. Pada regio lumbal, ligamen

ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan

sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.

f.     Ligamen intertransversalis

Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan berkembang

baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral.

Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:

a.    Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia lumbodorsal, serta

muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal.

Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:

1)   M. Transverso spinalis

Page 13: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

2)   M. Longissimus

3)   M. Iliocostalis

4)   M. Spinalis

5)   Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris

Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai stabilisator

vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.

b.    Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding

abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu m.

rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group

otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva

lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk. Didalam

memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai direct brace, m. obliqus internal

bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external

bekerja sebagai brace kearah anterior.

c.    Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang terdiri dari

:

1)   M. Quadratus Lumborum

2)   M. Psoas

Group otot  ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.

Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat fleksi

lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur serabut annulus

fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis inferior dari vertebra bagian

atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis

superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami

peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen

interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior.

Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus fibrosus

bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior juga mengalami

penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat yang sama, processus

articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus

dapat saling bersentuhan satu sama lain.

Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah

ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus bergeser

Page 14: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami peregangan

sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular relatif bergeser satu

sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak

naik sementara sisi kontralateral akan bergerak turun.

Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra bagian bawah,

tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus spinosus dengan

processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga

gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan

D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar

10odan ROM segmental sekitar 2o dan segmental unilateral sekitar 1o.

B.       Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal

1.    Problematik Fisioterapi

Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio

lumbal, khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal paha

maupun ke daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada otot erector

spine sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi ini dapat

menimbulkan problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot erector spine

lumbal, keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan fleksibilitas lumbal.

2.    Tindakan Fisioterapi

a.    Short Wave Diathermy (SWD)

Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi yang

terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat

digunakan untuk menghasilkan efek-efek nonthermal. Diathermy yang digunakan sebagai

modalitas terapi terdiri atas short wave diathermy (yang akan dibahas) dan microwave

diathermy.

Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi elektromagnetik

dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications Commision (FCC) telah

menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave diathermy, yaitu :

1)   Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter

2)   Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter

3)   Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter

Page 15: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah frekuensi

27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.

Short wave diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus yaitu

arus Continuos SWD dan Pulsed SWD.

1)   Sifat Pancaran energi elektromagnetik

Telah dijelaskan diatas bahwa arus SWD menghasilkan energi elektromagnetik, dimana

energi tersebut memancarkan medan listrik dan medan magnet. Arus tersebut tidak menimbulkan

aksi potensial pada serabut saraf motorik maupun sensorik, dengan kata lain tidak merangsang

saraf motorik untuk berkontraksi, karena arus frekuensi tinggi mempunyai osilasi lebih dari

500.000 siklus/detik yang akan memberikan 1.000.000 impuls setiap detik, sehingga durasinya

0,001 ms tiap detik.

Kuatnya medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan bergantung pada sumber

medan elektromagnetik. Pada medan elektromagnetik yang terputus-putus (pulsed) akan terjadi

pemutusan medan pada moment tertentu. Energi elektromagnetik yang dihasilkan tergantung

pada metode yang digunakan.

a)    Metode medan kondensor

Pada prinsipnya, medan listrik dari energi elektromagnetik dihasilkan oleh plat metal

elektrode dan medan magnet dihasilkan oleh magnetode (kumparan kawat). Pada metode ini,

medan listrik lebih kuat dihasilkan daripada medan magnet karena menggunakan plat metal

elektrode.

b)   Metode kumparan (kabel/spul/magnetode)

Pada metode kumparan, kumparan-kumparan kawat menghasilkan medan magnet yang

lebih kuat didalam dan disekitar kumparan dibandingkan dengan diluar kumparan. Distribusi

medan elektromagentik yang dihasilkan oleh kumparan paling besar terjadi di jaringan

superfisial apabila pemasangannya dililitkan.

2)   Metode Aplikasi

Metode aplikasi SWD terdiri atas :

a)    Metode Induktive

(1)     Menggunakan sebuah kumparan metal yang kecil datar, tertutup dalam suatu plastic

drum (dengan suatu kapasitor yang paralel), kadang-kadang dinamakan dengan monode.

(2)     Menggunakan pipa panjang dengan konduktor yang fleksibel, tertutup dalam karet yang tebal,

dinamakan dengan kabel atau kumparan. Kabel atau kumparan ini terbungkus mengelilingi

Page 16: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

bagian yang diobati dalam pola spiral atau dalam bentuk flat spiral. Kabel tersebut membentuk

suatu inductance dan terpisah dari kulit oleh adanya handuk sebagai perantara.

b)   Metode Capacitive/Condensor

(1)     Menggunakan metal plate yang kaku, tertutup dalam plastic, dinamakan dengan rigid atau plate

electrode atau space plate dan diposisikan oleh lengan penyanggah.

(2)     Menggunakan elektrode yang fleksibel atau lunak, terbungkus dalam karet yang tebal dimana

dapat diposisikan dibawah bagian yang diobati dengan perantara bahan yang sesuai (seperti

handuk).

Pada metode capacitive ini mempunyai 3 macam posisi elektrode, yaitu aplikasi

contraplanar/transversal, aplikasi coplanar dan aplikasi longitudinal (long methode). Dalam

penelitian ini, kami menggunakan aplikasi coplanar sehingga kami hanya membahas aplikasi

tersebut.

Aplikasi Coplanar

Pada aplikasi ini, lokasi kedua elektrode dalam bidang yang sama terhadap jaringan yang

diterapi. Karena energi thermal yang tinggi terjadi pada jaringan lemak dan tidak terjadi aliran

arus energi elektromagnetik secara transversal melewati seluruh lapisan jaringan sehingga

absorbsi energi akan rendah pada jaringan yang lebih dalam. Dengan demikian, metode ini hanya

bersifat superfisial. Jika metode ini menginginkan efek yang dalam, maka dianjurkan untuk

menerapkan jarak elektrode – kulit yang cukup jauh dan jarak tersebut tetap dipertahankan pada

jarak ½ kali dari diameter elektrode/condensator.

Hal-hal yang perlu dihindari dalam ketiga aplikasi ini adalah :

a)    Penggunaan elektrode yang besar secara berlebihan dapat menyebabkan lokalisasi energi yang

rendah dan efek terapi yang optimum tidak tercapai.

b)   Jarak elektrode – kulit yang sangat rapat dengan area jaringan yang menonjol dapat

menyebabkan konsentrasi energi elektromagnetik sehingga menghasilkan “point effek”.

3)   Continous Short Wave Diathermy (CSWD)

Pada penerapan CSWD, energi thermal dominan terjadi dalam jaringan. Setiap jaringan

yang menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-beda. Jaringan lemak cepat menyerap

panas daripada otot (1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit.

Secara fisiologis, jaringan otot tidak memiliki “thermosensor” tetapi hanya pada jaringan kulit,

sehingga dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian CSWD maka sebenarnya sudah

terjadi “overthermal” pada jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima

panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima

Page 17: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

jaringan melebihi batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (1963)

ukuran subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat.

Menurut Hollander JS (1949) bahwa para peneliti menyatakan pemberian CSWD pada

kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian besar penelitian melarang pemberian

CSWD pada arthritis. Hal ini disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu

asam “Hyaluronik”yang suhu optimalnya adalah 36,7o, dan sangat sensitif terhadap penambahan

suhu. Dengan penambahan suhu 1o  saja (terjadi pada pemberian CSWD) maka suhunya menjadi

37,4o, sementara pada suhu 37o saja akan mengaktifkan cairan/enzym hyaluronidase yang dapat

merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi

tidak akan pernah mengalami regenerasi/reparasi.

Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan efek

fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme.

4)   Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD)

Sekitar tahun 1940, mulai digalakkan penelitian terhadap PSWD sebagai salah satu efek

terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan PSWD pada hapusan

susu, dan ternyata pada hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk “untaian kalung”. Kemudian

bentuk tersebut juga terjadi pada cairan darah, limpha dan eiwit. Penemuan tersebut

menunjukkan bahwa PSWD sangat bermanfaat dalam menghasilkan efek terapeutik, sedangkan

efek fisiologisnya hanya timbul sedikit (pengaruh panas hanya minimal). Pada Pulsed SWD,

mempunyai energi/power output yang maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian,

energi/power output rata-rata adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 – 80 watt (tergantung

pada pemilihan frekuensi pulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan

subthermal dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi Pulsed SWD sangat

cocok untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas merupakan

kontraindikasi.

Jika kita menerapkan Pulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan pulsasi rectangular

dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi tersebut dapat diatur sampai 1000

W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor maka energi power dapat diatur sampai nilai

maksimum. Interval pulsasi yang dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi

repetition (15 – 200 Hz), sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean

power (watt). Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan intensitas arus dan

frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi pulsasi repetition yang dipilih maka

semakin rendah mean powernya. Dengan demikian, penerapanPulsed SWD dapat

Page 18: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

memungkinkan kita memilih intensitas arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan

frekuensi pulsasi repetition yang selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan.

Dengan demikian, indikasi Pulsed SWD adalah :

a)    Kondisi-kondisi post traumatik dan post-operasi seperti arthropathy, kontusio, distorsio,

hematoma.

b)   Gangguan-gangguan lain seperti ankylopoietik spondylosis, bursitis, coccygodinia, myalgia,

(akut) humeroscapular periarthritis, periostitis, neuralgia, (akut) sciatica, tendovaginitis, akut dan

kronik furuncle sinusitis, cervical lymphadenitis non-spesifik, laryngitis dan peritonsilar abcess,

adneksitis dan mamma abcess.

5)   Efek Fisiologis

a)    Perubahan panas/temperatur

(a)      Reaksi lokal/jaringan

(1)      Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap kenaikan temperatur 1o C.

(2)      Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya terjadi

vasodilatasi lokal.

(b)     Reaksi general

(1)      Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan kenaikan

temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general.

(2)      Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas.

b)   Jaringan ikat

Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen kulit, tendon,

ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan; pemanasan ini tidak

akan menambah panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika

disertai dengan latihan peregangan.

c)    Otot

(1)     Meningkatkan elastisitas jaringan otot.

(2)     Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali hipertoni akibat emosional dan

kerusakan SSP.

d)   Saraf

(1)     Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf.

(2)     Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold).

6)   Indikasi

Page 19: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-kondisi subakut

dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti sprain/strain, osteoarthritis, cervical

syndrome, NPB dan lain-lain).

7)   Kontraindikasi

Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor atau

kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi menstruasi dan

kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari pulsed SWD adalah tumor

atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan testis, kondisi menstruasi dan kehamilan.

Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan kontraindikasi dari continuos SWD tetapi

bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsasi yang rendah.

b.    William Flexion Exercise

1)   Pengertian

William flexion exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams pada tahun 1937. Pada

tahun 1937, program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP dengan kondisi

degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang

dan banyak ditujukan pd laki2 dibawah usia 50-an & wanita dibawah usia 40-an yang mengalami

lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space diskus antara segmen lumbal, & gejala-gejala

kronik LBP.

William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak yang

menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise

telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk

mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam

beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint

(kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan diskus. Tn. William menjelaskan bahwa

posisi posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil terbaik.

2)   Tujuan

Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan

stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus,

dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower

Page 20: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara

group otot postural fleksor & ekstensor.

3)   Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan

disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari William

Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi diskus, atau

protrusi diskus.

4)   Prosedur Pelaksanaan

Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999) adalah

sebagai berikut :

a)    Latihan I (pelvic tilting)

Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas bed/lantai.

Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. Kemudian

pertahankan 5 – 10 detik.

 

Gambar 2.1 Teknik Latihan I William Flexion Exercise

b)   Latihan II (single knee to chest)

Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas bed/lantai.

Secara perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 5 – 10 detik. Kemudian

diulangi untuk knee kiri dan pertahankan 5 - 10 detik.

Page 21: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

 

Gambar 2.2 Teknik Latihan II William Flexion Exercise

c)    Latihan III (double knee to chest)

Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama. Tarik knee

kanan ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee selama 5 – 10 detik.

Dapat diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan secara perlahan-lahan salah

satu tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya.

 

Gambar 2.3 Teknik Latihan III William Flexion Exercise

d)   Latihan IV (partial sit-up)

Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi ini

angkat secara perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5 detik.

Kemudian kembali secara perlahan ke posisi awal

 

Page 22: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

Gambar 2.4 Teknik Latihan IV William Flexion Exercise

e)    Latihan V (hamstring stretch)

Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan

fleksikan trunk ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua lengan

menjangkau sejauh mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki. 

Gambar 2.5 Teknik Latihan V William Flexion Exercise

f)    Latihan VI (hip fleksor stretch)

Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan knee

dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan axilla (ketiak).

Ulangi dengan kaki yang lain.

 

Gambar 2.6 Teknik Latihan VI William Flexion Exercise

g)   Latihan VII (squat)

Page 23: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan

pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas

lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua knee.

 

Gambar 2.7 Teknik Latihan VII William Flexion Exercise

C.      Tinjauan Alat Ukur

1.    Visual Analogue Scale (VAS)

Menurut International Association For The Study Of  Pain (1979) dalam Nugroho DS

(2001), disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosi yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun

potensial. Definisi tersebut berdasarkan dari sifat nyeri yang merupakan pengalaman subyektif

dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami adanya kesamaan penyebab tidak

secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama. Nyeri adalah pengalaman umum dari

manusia. Beberapa jenis penyakit, injury dan prosedur medis serta surgical berkaitan dengan

nyeri. Beberapa pasien mungkin mempunyai pengalaman nyeri yang berbeda dengan jenis dan

derajat patologis yang sama. Selain patologi fisik, kultur/budaya, ekonomi, sosial, demografi dan

faktor lingkungan mempengaruhi persepsi nyeri seseorang. Keadaan psikologis seseorang,

riwayat personal dan faktor situasional memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas

nyeri seseorang (Turk & Melzack, 1992).

Nyeri melibatkan 2 komponen utama yaitu : komponen sensorik dan komponen afektif.

Komponen sensorik nyeri digambarkan sebagai rasa tidak enak yang seringkali dapat

diidentifikasi dan dilokalisir pada bagian tubuh tertentu, dan dapat diidentifikasi derajat

intensitasnya (Fields, 1988). Secara klinis, kami membatasi intensitas nyeri pada berapa besar

rasa sakit yang dirasakan oleh pasien (Jensen & Karoly, 1992). Sedangkan komponen afektif

Page 24: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

nyeri adalah berbeda. Komponen ini melibatkan serangkaian tingkah laku pasien yang kompleks

dimana pasien mungkin melakukan secara minimal, melepaskannya, atau mengakhiri stimulus

noxious tersebut. Komponen afektif nyeri ini akan menggambarkan perbedaan yang khas tentang

cara-cara individu/seseorang merasakan nyerinya dan variabilitasnya terhadap pengalaman nyeri

hebat yang dirasakan.

Secara klinis, perbedaan yang paling penting antara aspek sensorik nyeri dan affektif

nyeri adalah perbedaan antara deteksi nyeri dengan toleransi nyeri (Fields, 1988). Ambang

rangsang untuk deteksi nyeri berkaitan dengan aspek sensorik nyeri dan dapat terjadi nyeri hebat

secara berulang pada pasien yang berbeda serta dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada

waktu yang berbeda dengan pasien yang sama. Sedangkan toleransi nyeri sangat variabel dan

berkaitan dengan komponen afektif nyeri. Karena sifatnya multidimensional, maka toleransi

nyeri pada setiap orang tidak akan sama caranya (Turk & Kerns, 1983). Oleh karena itu, untuk

memeriksa nyeri secara efektif pada aplikasi klinis maka terapis harus teliti serta

mempertimbangkan komponen sensorik dan afektif dari pengalaman nyeri pasien.

Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa

intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai

dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda

“bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai

dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri

sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan

level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan

pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri

daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas.

Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut

(Carlson, 1983 ; McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa

pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala

verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit

untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi

yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986).

Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap

pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly,

1992).

VISUAL ANALOGUE SCALE (HORIZONTAL LINE)

Page 25: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

Pasien diminta untuk menunjuk pada garis horisontal sesuai dengan intensitas nyerinya

Tidak ada nyeri                                                                                    sgt nyeri tk                                                                                                         terthnkan

2.    Fleksibilitas Lumbal

Fleksibilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan range of motion

(ROM) yang terjadi pada setiap bidang gerak pada sebuah sendi. Fleksibilitas adalah

kemampuan jaringan disekitar sendi untuk terulur semaksimal mungkin tanpa ada pengaruh dari

jaringan lawanannya dan relaks. Jaringan yang terulur tidak hanya beberapa ligamen, fascia, dan

jaringan konektif lainnya yang terkait dengan sendi, tetapi otot-otot antagonis harus relaks (otot-

otot yang melawan gerakan sehingga aksi sendi bisa terbatas).

Statik fleksibilitas menunjukkan suatu ROM yang ada ketika segmen tubuh secara pasif

digerakkan (oleh fisioterapis atau dokter), sedangkan dinamik fleksibilitas menunjukkan pada

ROM yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh secara aktif yang dihasilkan oleh kontraksi

otot. Statik fleksibilitas merupakan indikator yang baik untuk relatif tightness atau laxitas sendi,

dimana implikasi untuk potensial injury. Namun demikian, dinamik fleksibilitas harus cukup

atau tidak membatasi ROM yang dibutuhkan untuk aktivitas kegiatan sehari (ADL), kerja, atau

aktivitas olahraga. Penelitian menunjukkan bahwa kedua komponen fleksibilitas ini adalah

independen satu sama lain.

Meskipun fleksibilitas secara umum seringkali dibandingkan, secara aktual fleksibilitas

merupakan spesifik sendi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya fleksibilitas yang

luas pada salah satu sendi tidak menjamin terjadi derajat fleksibilitas yang sama pada seluruh

sendi.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi fleksibilitas. Bentuk permukaan tulang pembentuk

sendi dan keterlibatan otot atau jaringan lemak dapat mempengaruhi atau mengakhiri gerakan

pada ROM yang luas.

Fleksibilitas utamanya merupakan fungsi relatif laxitas dan/atau extensibilitas jaringan

kolagen dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi. Ketegangan ligamen dan

otot yang membatasi extensibilitas merupakan inhibitor yang paling besar untuk ROM sendi.

Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka extensibilitasnya akan menurun. Kandungan

Page 26: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

air dari diskus cartilaginous yang ada pada beberapa sendi juga mempengaruhi mobilitas sendi-

sendi tersebut.

Oleh karena itu, dalam fleksibilitas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot. Ekstensibilitas

otot adalah kemampuan otot untuk terulur semaksimal mungkin atau kemampuan otot untuk

memanjang semaksimal mungkin. Disamping itu, dibutuhkan ekstensibilitas kapsul-ligamen

pada sendi atau laxitas dari sendi.

Untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot

erector spine atau kemampuan memanjangnya otot erector spine lumbal saat fleksi lumbal.

Disamping itu, diperlukan laxitas dari intervertebral joint yang mencakup diskus intervertebralis

dan facet joint untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas.

Adanya problem keterbatasan gerak akibat kondisi diskus problem, disfungsi facet joint

atau penyakit degenerasi dapat menyebabkan menurunnya laxitas intervertebral joint dan

menurunnya ekstensibilitas otot erector spine sehingga mempengaruhi fleksibilitas lumbal.

Fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan metode sit and reach test, Leighton flexometer,

dan metode Schober test. Metode sit and reach test bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk

dan tungkai, sedangkan Leighton Flexometer dan metode Schober test bertujuan untuk mengukur

fleksibilitas trunk khususnya regio lumbal.

Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode Schober test untuk mengukur

fleksibilitas lumbal. Adapun prosedur pelaksanaan teknik scober test sebagai berikut :

a.    Posisi pasien yang di anjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal, thorakal, lumbal dalam

posisi 0o tanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis untuk mencegah adanya

anterior tilting.

b.    Cara pengukuran :

1)  Metode I ; menentukan luas gerak sendi pada fleksi thorakal lumbal adalah mengukur jarak

antara procesus spinosus C7 dan S1 dengan alat ukur pita meteran. Pengukuran awal dibuat saaat

pasien dalam posisi zero starting dan pengukuran selanjutnya dibuat dalam akhir ROM saat

fleksi lumbal. Perbedaan antara pengukuran awal dan akhir menunjukkan besarnya jarak gerak

fleksi thoracal dan lumbal. Magee menjelaskan bahwa perbedaan 10 cm pada pita meteran

adalah normal untuk pengukuran. AAOS menjelaskan bahwa 4 inchi merupakan suatu

pengukuran rata-rata untuk pengukuran rata-rata orang dewasa yang sehat.

2)  Metode II ; dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa pemeriksa untuk mengukur fleksi

thoracal dan lumbal adalah mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah lantai pada

saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan lantai atau fleksi lumbal

Page 27: Fisioterapi Pada Penderita Lbp Akibat Spondylosis

merupakan kombinasi untuk fleksi spine dn fleksi hip sehingga membuat sulit untuk mengisolasi

dan mengukur fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak dianjurkan untuk mengukur fleksi

thorakal dan lumbal tetapi dapat digunakan untuk memeriksa fleksibillitas tubuh secara umum.

3)  Metode III ; dalam metode ini digunakan 3 tanda yaitu :

a)  Pada saat berdiri, beri tanda pada titik tengah antara level SIPS kanan-kiri.

b)  Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10 cm dan tarik garis lurus pertama

(midline).

c)  Kemudian beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan jarak 5 cm dan tarik garis lurus

kedua (midline).

d) Ukur jarak kedua garis tersebut (yaitu 15 cm).

e)  Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal mungkin, kemudian ukur jarak dari

tanda ketiga ke tanda kedua melalui tanda pertama dengan garis lurus.

f)  Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 20 cm. Abnormalnya : jarak yang dicapai < 20 cm.

D.      Kerangka Berpikir

Faktor usiaKebiasaan postur yang jelakAktifitas fisik yg berat & berlebihanDegenerasi diskus dan facet jointSpondylosis lumbalNyeri dan gangguan fleksibilitasSWD dan William Flexion ExercisePenurunan nyeri dan penambahan fleksibilita