fiqih thaharah finka yuqianti

6
Fiqih Thaharah Setiap hari umat Islam selalu menjalani aktivitas yang bersangkutan dengan pekerjaan kita. Dalam beraktivitas tersebut, tentu umat islam melakukan kontak terhadap segala sesuatu termasuk benda yang berkaitan dengan kegiatan kita. Tanpa kita sadari,terkadang aktivitas yang kita lakukan berhubungan dengan sesuatu yang tidak suci atau najis. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan ilmu yang dapat kita terapkan dalam kegiatan kita guna terhindar dari najis dan tetap dalam keadaan suci dalam beribadah. Ilmu yang dapat kita pakai yaitu ilmu fiqih karena berkaitan dengan benar tidaknya tata cara bersuci kita, ibadah kita, dan yang berkaitan dengan muamalah kita seperti tentang pembahasan masalah nikah, jual beli dan sebagainya. Untuk memperdalamnya, kija juga perlu mempelajari tentang tharah. Thaharah sendiri menurut bahasa, berarti annazhaafah wannazaahah minal ahdaats,bersih dan suci dari berbabagai hadats (hadast kecil maupun besar). Menurut istilah raf’ul hadats au an izaalatun najas, menghilangkan hadats atau membersihkan najis. Para Ulama membagi thaarah menjadi dua, yaitu Thaharah maknawiyah yang berarti membersihkan diri dari kotoran dan najisnya perbuatan syirik (menyekutukkan Allah), kekufuran, kenifaqkan, begitu juga membersihkan diri kita dari perbuatan bid’ah dan kemaksiatan.Thaharah yang kedua yaitu Thaharah hissiyyah, dibagi menjadi dua ; Membersihkan dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar dan membersihkan dari najis. Karena bersangkutan dengan hadast besar dan kecil juga najis, maka kita

Upload: finka-yuqianti

Post on 01-Feb-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pendidikan Agama Islam

TRANSCRIPT

Page 1: Fiqih Thaharah Finka Yuqianti

Fiqih Thaharah

Setiap hari umat Islam selalu menjalani aktivitas yang bersangkutan dengan

pekerjaan kita. Dalam beraktivitas tersebut, tentu umat islam melakukan kontak terhadap

segala sesuatu termasuk benda yang berkaitan dengan kegiatan kita. Tanpa kita

sadari,terkadang aktivitas yang kita lakukan berhubungan dengan sesuatu yang tidak

suci atau najis. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan ilmu yang dapat kita terapkan

dalam kegiatan kita guna terhindar dari najis dan tetap dalam keadaan suci dalam

beribadah. Ilmu yang dapat kita pakai yaitu ilmu fiqih karena berkaitan dengan benar

tidaknya tata cara bersuci kita, ibadah kita, dan yang berkaitan dengan muamalah kita

seperti tentang pembahasan masalah nikah, jual beli dan sebagainya. Untuk

memperdalamnya, kija juga perlu mempelajari tentang tharah. Thaharah sendiri menurut

bahasa, berarti annazhaafah wannazaahah minal ahdaats,bersih dan suci dari

berbabagai hadats (hadast kecil maupun besar). Menurut istilah raf’ul hadats au an

izaalatun najas, menghilangkan hadats atau membersihkan najis.

Para Ulama membagi thaarah menjadi dua, yaitu Thaharah maknawiyah yang

berarti membersihkan diri dari kotoran dan najisnya perbuatan syirik (menyekutukkan

Allah), kekufuran, kenifaqkan, begitu juga membersihkan diri kita dari perbuatan bid’ah

dan kemaksiatan.Thaharah yang kedua yaitu Thaharah hissiyyah, dibagi menjadi dua ;

Membersihkan dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar dan membersihkan

dari najis. Karena bersangkutan dengan hadast besar dan kecil juga najis, maka kita

wajib memahami lagi tentang masalah air karena air digunakan sebagai alat untuk

bersuci.

Allah berfirman dalam Qs. Al Furqaan : 48 Semua air yang turun dari langit (air

hujan dan salju) atau yang keluar dari dalam bumi (air, mata air, air sungai, air sumur, dan

air laut) adalah suci dan mensucikan. Air juga tetap dalam keadaan hukum asalnya yaitu

suci  walaupun tercampur dengan sesuatu yang suci selama tidak keluar dari batas

kesuciannya yang mutlak. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi

wasallam ketika berkata  kepada sekelompok wanita yang akan memandikan putrinya.

Selain itu, Janganlah terburu-buru menetapkan bahwa air itu najis walaupun terkena benda

najis kecuali berubah salah satu sifatnya (baunya, warnanya atau rasanya).

Page 2: Fiqih Thaharah Finka Yuqianti

Hal ini berdasarakan hadits dari Abu Sa’id al Khudry radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “ Ada

seorang shahabat yang bertanya Ya Rasulullah, bolehkah kami berwudhu dengan air

sumur budha’ah? Yaitu air sumur yang darah haid, daging anjing dan barang yang berbau

busuk dibuang kedalamnya. Maka Beliau menjawab : sesungguhnya air itu suci, tidak

bisa dinajiskan oleh sesuatupun “ (HR. Tirmidzi, An Nasai, dishahihkan oleh Syaikh al

Albani).

Adapun yang dimaksud dengan kata  “ dibuang kedalamnya” dalam hadits di atas adalah

bahwa sumur ini adalah tempat berkumpulnya air dari sebagian lembah, sehingga tidak

sedikit penduduk pedalaman yang singgah di sekitarnya (lembah masing-masing), lalu

mereka membuang kotoran yang dibawa dari rumahnya kesaluran air yang menuju ke

sumur tersebut, sehingga masuk kedalamnya. Bukan membuang sampah ke sumur itu.

Dari sana dapat kita tarik kesimpulan antara lain asal hukum air suci dan mensucikan, a ir

yang tercampur benda suci maka hukumnya suci selama tidak keluar dari batas

kesuciannya yang mutlak. hukum air yang terkena benda najis dirinci ; jika berubah salah

satu sifatnya (baunya, atau warnanya atau rasanya) maka hukumnya menjadi najis dan

Jika tidak berubah salah satu sifatnya maka kembali kehukum asalnya yaitu suci dan

mensucikan.

Selain air, kita juga mengetahui tentang najis – najis yang harus kita jauhi guna

menjaga kesucian kita. Najis yang pertama yaitu Anjing. Mazhab Maliki berkata,” Bejana

yang dibasuh tujuh kali jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena

ta’abbud (beribadat) “. Syafi’i dan Hambali berkata,” Bejana yang terkena jilatan anjing

mesti dibasuh sebanyak tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah”. Imamiyah

berkata,” Bejana yang dijilati anjing harus dibasuh sekali dengan tanah dan dua kali dengan

air”. Najis yang kedua yaitu Babi. Semua mazhab, berpendapat bahwa hukumnya sama

seperti anjing, kecuali mazhab Imamiyah yang mewajibkan mernbasuh bejana yang

terkena babi sebanyak tujuh kali dengan air saja. Begitu juga hukumnya dengan bangkai

tikus darat (yang besar). Najis selanjutnya yaitu bangkai. Semua mazhab sepakat, bahwa

bangkai binatang darat – selain manusia – adalah najis jika pada binatang itu keluar darah

yang mengalir. Adapun bangkai manusia, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakannya suci.

Hanafi berpendapat bahwa bangkai manusia itu najis, dan yang terkena dapat suci dengan

mandi. Begitu juga pendapat Imamiyah, tetapi terbatas pada bangkai orang Islam. Dan

semua mazhab sepakat bahwa kesturi yang terpisah dari kijang adalah suci. Darah,

merupakan najis yang keempat. Keempat mazhab sepakat bahwa darah adalah najis

kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada di atas jasadnya. Begitu

Page 3: Fiqih Thaharah Finka Yuqianti

juga halnya dengan darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, dan

darah kepinding (tinggi.) Imamiyah, “ Semua darah hewan yang darahnya mengalir, juga

darah manusia yang mati syahid atau bukan, adalah najis. Sedangkan darah binatang yang

tidak mengalir darahnya, baik binatang laut atau binatang darat, begitu juga tinggalan pada

persembelihan, hukumnya suci”. Najis selanjutnya yaitu Mani. Imamiyah, Maliki dan Hanafi

berpendapat bahwa mani anak Adam dan lainnya adalah najis, tetapi khusus Imamiyah

mengecualikan mani binatang yang darahnya tidak mengalir, untuk binatang ini Imamiyah

berpendapat mani dan darahnya suci, Syafi’i berpendapat, mani anak Adam suci, begitu

pula semua binatang selain anjing dan babi, Hambali berpendapat mani anak Adam dan

mani binatang yang dagingnya dimakan adalah suci; tetapi mani binatang yang dagingnya

tidak dimakan adalah najis. Selanjutnya yaitu nanah, najis yang menurut empat mazhab

dan suci menurut Imamiyah. Lalu kencing termasuk najis. Kemudia ada najis dari sisa

Binatang. Ada dua kelompok binatang, yaitu yang terbang dan yang tidak terbang. Masing-

masing kelompok itu dibagi menjadi dua, yaitu yang dagingnya dimakan dan yang daging-

nya tidak dimakan. Kelompok binatang terbang yang dagingnya tidak dimakan misalnya

burung ring dan elang (Maliki menghalalkan keduanya dimakan). Binatang tidak terbang

yang dagingnya dimakan misalnya lembu dan kambing dan yang dagingnya tidak dimakan

misalnya serigala, dan kucing (Maliki menghalalkan keduanya untuk dimakan). Ada

beberapa pendapat dari masing-masing mazhab tentang sisa binatang-binatang tersebut.

Syafi’i berkata: Semua sisa termasuk kotoran merpati, burung ciak dan ayam, hukumnya

najis. Kotoran unta dan kotoran kambing najis. Kotoran kuda, bagal, dan lembu, semuanya

najis. Imamiyah berkata: Sisa-sisa burung yang dagingnya dimakan ataupun tidak,

semuanya suci; begitu juga hewan yang darahnya tidak mengalir, baik yang dagingnya

dimakan maupun tidak. Adapun binatang yang mempunyai darah mengalir, jika dagingnya

dimakan, seperti unta dan kambing maka sisanya suci; dan jika dagingnya tidak dimakan

seperti beruang dan binatang buas lainnya maka sisanya najis. Dan setiap binatang yang

dagingnya diragukan halal-haramnya, maka sisanya suci hukumnya. Hanafi berkata: Sisa-

sisa binatang yang tidak terbang seperti unta dan kambing adalah najis. Adapun binatang

terbang jika ia buang air besar di udara, seperti merpati dan burung ciak sisanya suci; jika

buang air besar di bumi seperti ayam dan angsa maka sisanya najis. Hambali dan Syafi’i

berkata: Sisa-sisa binatang yang dagingnya dimakan hukumnya suci; sedangkan sisa-sisa

binatang yang darahnya mengalir dan dagingnya tidak dimakan hukumnya najis, baik yang

terbang maupun tidak. Dan semua mazhab sepakat bahwa sisa binatang yang najis itu

adalah najis. Terakhir, ada najis berupa benda cair yang memabukkan.

Page 4: Fiqih Thaharah Finka Yuqianti

Dari penjelasan diatas, dapat kita pahami mengenai air beserta najis dari ilmu fiqih

dan tharah. Ilmu tersebut dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari - hari guna tetap

mensucikan diri dan terhindar najis juga dapat mengatasi masalh yang timbul yang

berkaitan dengan najis.

NAMA : FINKA YUQIANTI

NIM : 03071181419031

JURUSAN : TEKNIK GEOLOGI