fiqih muamalat b tas'ir dan ihtikar

19
KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan rahmat-Nya sehingga kita selalu berada dalam limpahan karunia dan perlindungan-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat dan para pengikut beliau sampai hari akhir. Makalah ini disajkan dalam rangka memenuhi tugas berstruktur mata kuliah “Fiqih Muamalah B” Penulis juga menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat berstruktur dan membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dan akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Banjarmasin, 6 Mei 2013

Upload: mrhusien

Post on 31-Dec-2015

774 views

Category:

Documents


58 download

DESCRIPTION

Tas'ir dan Ihtikar dalam Fiqih Muamalat

TRANSCRIPT

Page 1: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji hanya

bagi Allah, Tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan rahmat-Nya sehingga kita selalu

berada dalam limpahan karunia dan perlindungan-Nya.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw.,

keluarga, sahabat dan para pengikut beliau sampai hari akhir.

Makalah ini disajkan dalam rangka memenuhi tugas berstruktur mata kuliah “Fiqih

Muamalah B”

Penulis juga menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi

penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat berstruktur dan membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Dan akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca

umumnya.

Banjarmasin, 6 Mei 2013

Penulis

Page 2: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

BAB 1

Pendahuluan

Perekonomian merupakan bagian yang sangat penting untuk kelangsungan utuhnya sebuah

negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menjamin kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara adalah kesehatan pasar, baik

pasar barang jasa, pasar uang, maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung

pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat

harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat.

Apabila kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal (tanpa ada pelanggaran), monopoli

misalnya? maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak jujur, maka

keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara

umum.

Dalam agama Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui

berbagai macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual beli.

Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha perdagangan

secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran dan Sunnah, ada aturan

mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan

agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.

Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang harus

dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan

menggunakan dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut, suatu usaha perdagangan dan

seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT

di dunia dan di akhirat.

Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukum

islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak

terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah sederhana ini

saya akan membahas Ta’sir (Penetapan Harga) dan Ihtikar (Monopoli).

Page 3: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

BAB 2

Pembahasan

A. Tas’ir

1. Pengertian Tas’ir

Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan.  Lalu

dibentuk menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar  yang artinya harga (sesuatu). Kata

as-si'ru ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan

terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu. Dan para

ulama merumuskan definisi tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa),

wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan

kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu,

mereka dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membumbung atau

mengurangi harganya hingga tidak memukul selain mereka.  Jadi, mereka dilarang untuk

menambah atau mengurangi dari harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat.

Artinya, negara melakukan intervensi (campur tangan) atas harga dengan menetapkan

harga tertentu atas suatu komoditas dan setiap orang dilarang untuk menjual lebih atau

kurang dari harga yang ditetapkan itu demi mempertimbangkan kemaslahatan

masyarakat.

Fakta pematokan harga ini dapat kita saksikan dalam sistem ekonomi kapitalis pada

saat ini. Pematokan harga itu dilakukan negara dengan alasan untuk melindungi

kepentingan masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok

produsen atau kelompok konsumen.

Pematokan harga terjadi dalam tiga bentuk: Pertama, pematokan harga secara fix.

Kedua, pematokan harga tertinggi, yakni dengan menetapkan harga jual tertinggi.

Contohnya adalah penetapan harga eceran tertinggi pupuk. Penjual dilarang menjual

lebih dari harga tertinggi yang dipatok itu.  Sebaliknya, mereka boleh menjual dengan

harga yang lebih rendah.  Ini ditetapkan demi melindungi konsumen. Ketiga, pematokan

harga terendah seperti pematokan harga terendah gabah, dsb. Dalam hal ini pembeli

dilarang membeli lebih rendah dari harga terendah itu. Sebaliknya, mereka boleh

membeli dengan harga lebih tinggi dari harga itu. Ini dilakukan untuk melindungi

Page 4: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

produsen. Contohnya adalah penetapan harga terendah gabah untuk melindungi petani.

Meski demikian, dalam praktiknya kebijakan ini terlihat tidak efektif. Pada saat panen

raya, harga gabah tetap saja anjlok.  Begitu juga harga pupuk; sering lebih tinggi

daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan Pemerintah.

2. Pendapat Ulama tentang Tas’ir

Menurut mereka Allah telah menetapkan seseorang untuk menjual komoditasnya

dengan harga yang ia ridhai. dengan dalil yang mereka kemukakan bahwa Allah Swt.

berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama

kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan

suka sama-suka di antara kalian. (QS an-Nisa [4]: 29).

Dan  juga sabda Rasulullah saw yang berbunyi :

Sesungguhnya jual-beli itu harus dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli).

(HR Ibn Majah).

Tas'ir bertentangan dengan nash-nash tersebut. Sebab, tas'ir bermakna pemaksaan

atas penjual dan atau pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu.  Ini melanggar

kepemilikan seseorang karena kepemilikan itu bermakna seseorang memiliki kekuasaan

atas harta miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai. 

Pematokan harga tentu akan menghalangi atau merampas sebagian kekuasaan seseorang

atas hartanya. Sesuai keterangan nas syariah di atas, hal itu tidak boleh terjadi.

Dalam riwayat Abu Hurairah di atas, Rasulullah saw. pernah diminta untuk

mematok harga, padahal harga sedang membubung tinggi. Seandainya tas'ir boleh,

pastilah Rasulullah saw. memenuhi permintaan tersebut. Namun, Beliau ternyata tidak

Page 5: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

memenuhinya. Dalam riwayat Anas di atas, Beliau menjelaskan alasan mengapa Beliau

tidak melakukannya.  Beliau menjelaskan bahwa tas'ir merupakan kezaliman, sedangkan

segala bentuk kezaliman adalah haram.  Atas dasar itu, tas'ir hukumnya haram.  Ini

adalah pendapat jumhur ulama.

Keharaman tas'ir ini berlaku secara umum untuk semua komoditi. Hal itu sesuai

keumuman larangan tas'ir di atas.  Rasulullah saw. menyatakan tas'ir sebagai kezaliman

tanpa menyebutkan komoditinya. Ini artinya keharaman itu berlaku untuk semua jenis

komoditi.   Keharaman tas'ir juga berlaku dalam semua kondisi baik kondisi damai atau

perang; baik harga anjlok, normal atau sedang membubung tinggi.  Hal itu sesuai

dengan kemutlakan nasnya.

       Pada faktanya, pematokan harga merupakan dharar bagi umat.  Pematokan harga itu

akan mendorong terbentuknya pasar gelap yang jauh dari monitoring negara.  Dengan

begitu suplay barang ke pasar akan berkurang karena diperdagangkan di pasar gelap. 

Lalu harga di pasar normal akan mengalami kenaikan tanpa bisa dicegah oleh negara.

Selain mendorong terbentuknya pasar gelap, pematokan harga juga bisa mempengaruhi

tingkat produksi atau konsumsi. Pada tingkat tertentu mungkin bisa menyebabkan krisis

ekonomi.

Pendapat yang menyetujui Tas’ir

Pendapat yang membolehkan tas'ir bertentangan dengan mayoritas para ulama.

Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan Yahya

bin Sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa pemerintah harus

menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di

mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan oleh ketidak

seimbangan harga.

Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan

harga, meskipun pengikutnya memintanya, itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan

aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh

menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi

nilai ganti yang sesuai. Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan

harga yang adil, jika terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika

dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil dari

Page 6: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

budak itu harus dipertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (laa wakasa wa

laa shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan.

Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak

memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan

adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya yang dirasa mengganggunya. Ia

mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon

untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi

yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah

SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan

konpensasi harganya kepada pemilik pohon.

Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika harga itu bisa ditetapkan untuk

memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan

untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan,

karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu.

Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika diketahui secara

pasti ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi

sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa

digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang

tak berfungsi sebagai penyuplai barang dagangan, sebab tak akan berarti apa-apa atau

tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami.

Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah (pada zaman

Nabi) sebagian besar berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap

barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk

situasi. Jadi, Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi dengan mengatakan,

“Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari,

siapapun yang menghalanginya sangat dilarang. Faktanya saat itu penduduk Madinah

tidak memerlukan penetapan harga.

Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang diutarakan Dr. Yusuf Qardhawi

menggabungkan tentang dibolehkan atau tidaknya tas’ir diperbolehkan jika adil dan

dilarang jika ada kedzaliman.

Page 7: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

Dan Ibnu Khaldun pernah meneliti harga-harga di kota-kota. Ia membagi menjadi

dua jenis, barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurut dia bila suatu kota

berkembang dan selanjutnya populasinya serta bertambah banyak maka harga-harga

pokok akan mendapatkan penggandaannya. Akibat penawaran meningkat dan ini berarti

penurunan harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat

sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga

barang mewah meningkat. Ibnu Khaldun juga menjelaskan mekanisme penawaran dan

permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci ia menjabarkan

tentang perkembangan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan

barang pada sisi pemintaan. Setelah itu ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya

biaya poduksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tesebut pada sisi

penawaran.

Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan

bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan

harga. Karena itu jika tidak ada masalah dalam harga, lebih baik tidak menetapkan

harga, tetapi membiarkan pasar yang akan berperan di dalamnya.

Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah

merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan

memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual menolak untuk menjual barang dagangan

mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan

pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut. Maka

mereka diharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara, contoh sangat nyata dari

ketidaksempurnaan pasar adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan

barang-barang serupa. Dalam kasus seperti itu, pemerintah harus menetapkan harganya

untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas

melaksanakan kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga yang

disukainya, sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk.

B. Ihtikar (Monopoli)

1. Pengertian Ihtikar

Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat

berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar,

Page 8: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

sedang masyarakat dirugikan. Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti

di pasar hanya ada satu penjual. Berdasarkan hadist :

Dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah

saw. bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim

(1605).

Jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan

demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri

sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa

pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.

2. Hukum Ihtikar

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai

berikut:

a. Haram mutlak. Hal ini didasari oleh sabda Rasulullah :

Barang siapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga

kriteria:

1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk

masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan

kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.

2. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi

dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat

membelinya dengan harga mahal.

3. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,

sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak

pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak

merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.

Page 9: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

b. Makruh Mutlak

Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah

terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi

umatnya.

c. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka

dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan

riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan,

sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:

Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,

"Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar

yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)

d. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah,

sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini

lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya,

sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan

manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan

mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas,

apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak

mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di

dalamnya.

e. Boleh Ihtikar secara mutlak. Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang

memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke

tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil

dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:

Page 10: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli

bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka

dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka

terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:

"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan

(hadits ini), karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya

mengangkutnya terlebih dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya

kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan

memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).

Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama

yang mengharamkan ihtikar setiap waktu secara mutlak, tanpa membedakan

masa paceklik dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan

terhadap monopoli dari hadits yang sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan

salaf.

3. Hikmah dilarangnya Ihtikar

Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal

yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila

ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada

makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual

atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia

tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan

(seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan

mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam.

Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam

mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat.

Allah SWT berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:

Page 11: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya

pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan

mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka

jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka

(lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk

dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.

Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya

dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti

dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru

dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa

menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong

meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun

dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi

pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.

Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan

dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab

terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara

kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku

kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-

bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli

penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu

menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan

dalam tingkat dunia.

Page 12: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

Bab 3

Penutup

A. Kesimpulan

Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan.  Lalu dibentuk

menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar  yang artinya harga (sesuatu). Dan para ulama

merumuskan definisi tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau

setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar

agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu, Para ulama berbeda pendapat

tentang boleh atau tidaknya tas'ir ini,mereka masing-masing mempunyai dalil dan alasan

sendiri untuk menetapkan hukumnya.

Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat

berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang

masyarakat dirugikan. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar ada yang

berpendapat Haram secara mutlak, makruh secara mutlak, haram apabila berupa bahan

makanan saja , haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah

dan pula yang berpendapat bahwa ihtiakr itu boleh.

Page 13: Fiqih Muamalat B Tas'Ir Dan Ihtikar

Daftar Pustaka

Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press : Jakarta, 2000.

Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press :

Jakarta, 2003.

Nurhayati, Sri, Akuntansi Syari'ah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2009

Ali, Muhammad, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7

Th. ke-7, 1429 H