fiqih muamalat b tas'ir dan ihtikar
DESCRIPTION
Tas'ir dan Ihtikar dalam Fiqih MuamalatTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji hanya
bagi Allah, Tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan rahmat-Nya sehingga kita selalu
berada dalam limpahan karunia dan perlindungan-Nya.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw.,
keluarga, sahabat dan para pengikut beliau sampai hari akhir.
Makalah ini disajkan dalam rangka memenuhi tugas berstruktur mata kuliah “Fiqih
Muamalah B”
Penulis juga menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat berstruktur dan membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Dan akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Banjarmasin, 6 Mei 2013
Penulis
BAB 1
Pendahuluan
Perekonomian merupakan bagian yang sangat penting untuk kelangsungan utuhnya sebuah
negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menjamin kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara adalah kesehatan pasar, baik
pasar barang jasa, pasar uang, maupun pasar tenaga kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung
pada makanisme pasar yang mampu menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat
harga yang dihasilkan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat.
Apabila kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal (tanpa ada pelanggaran), monopoli
misalnya? maka harga akan stabil, namun apabila terjadi persaingan yang tidak jujur, maka
keseimbangan harga akan terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara
umum.
Dalam agama Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui
berbagai macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual beli.
Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha perdagangan
secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran dan Sunnah, ada aturan
mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan
agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang harus
dipenuhi oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan
menggunakan dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut, suatu usaha perdagangan dan
seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT
di dunia dan di akhirat.
Selain harus mengetahui bagaimana jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukum
islam, kita juga dituntut untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak
terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah sederhana ini
saya akan membahas Ta’sir (Penetapan Harga) dan Ihtikar (Monopoli).
BAB 2
Pembahasan
A. Tas’ir
1. Pengertian Tas’ir
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan. Lalu
dibentuk menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar yang artinya harga (sesuatu). Kata
as-si'ru ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan
terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu. Dan para
ulama merumuskan definisi tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa),
wakilnya atau setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan
kepada para pelaku pasar agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu,
mereka dilarang untuk menambah harganya hingga harga tidak membumbung atau
mengurangi harganya hingga tidak memukul selain mereka. Jadi, mereka dilarang untuk
menambah atau mengurangi dari harga yang dipatok demi kemaslahatan masyarakat.
Artinya, negara melakukan intervensi (campur tangan) atas harga dengan menetapkan
harga tertentu atas suatu komoditas dan setiap orang dilarang untuk menjual lebih atau
kurang dari harga yang ditetapkan itu demi mempertimbangkan kemaslahatan
masyarakat.
Fakta pematokan harga ini dapat kita saksikan dalam sistem ekonomi kapitalis pada
saat ini. Pematokan harga itu dilakukan negara dengan alasan untuk melindungi
kepentingan masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu, misalnya kelompok
produsen atau kelompok konsumen.
Pematokan harga terjadi dalam tiga bentuk: Pertama, pematokan harga secara fix.
Kedua, pematokan harga tertinggi, yakni dengan menetapkan harga jual tertinggi.
Contohnya adalah penetapan harga eceran tertinggi pupuk. Penjual dilarang menjual
lebih dari harga tertinggi yang dipatok itu. Sebaliknya, mereka boleh menjual dengan
harga yang lebih rendah. Ini ditetapkan demi melindungi konsumen. Ketiga, pematokan
harga terendah seperti pematokan harga terendah gabah, dsb. Dalam hal ini pembeli
dilarang membeli lebih rendah dari harga terendah itu. Sebaliknya, mereka boleh
membeli dengan harga lebih tinggi dari harga itu. Ini dilakukan untuk melindungi
produsen. Contohnya adalah penetapan harga terendah gabah untuk melindungi petani.
Meski demikian, dalam praktiknya kebijakan ini terlihat tidak efektif. Pada saat panen
raya, harga gabah tetap saja anjlok. Begitu juga harga pupuk; sering lebih tinggi
daripada harga eceran tertinggi yang ditetapkan Pemerintah.
2. Pendapat Ulama tentang Tas’ir
Menurut mereka Allah telah menetapkan seseorang untuk menjual komoditasnya
dengan harga yang ia ridhai. dengan dalil yang mereka kemukakan bahwa Allah Swt.
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama
kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kalian. (QS an-Nisa [4]: 29).
Dan juga sabda Rasulullah saw yang berbunyi :
Sesungguhnya jual-beli itu harus dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli).
(HR Ibn Majah).
Tas'ir bertentangan dengan nash-nash tersebut. Sebab, tas'ir bermakna pemaksaan
atas penjual dan atau pembeli untuk berjual-beli dengan harga tertentu. Ini melanggar
kepemilikan seseorang karena kepemilikan itu bermakna seseorang memiliki kekuasaan
atas harta miliknya. Karena itu, ia berhak menjual dengan harga yang ia sukai.
Pematokan harga tentu akan menghalangi atau merampas sebagian kekuasaan seseorang
atas hartanya. Sesuai keterangan nas syariah di atas, hal itu tidak boleh terjadi.
Dalam riwayat Abu Hurairah di atas, Rasulullah saw. pernah diminta untuk
mematok harga, padahal harga sedang membubung tinggi. Seandainya tas'ir boleh,
pastilah Rasulullah saw. memenuhi permintaan tersebut. Namun, Beliau ternyata tidak
memenuhinya. Dalam riwayat Anas di atas, Beliau menjelaskan alasan mengapa Beliau
tidak melakukannya. Beliau menjelaskan bahwa tas'ir merupakan kezaliman, sedangkan
segala bentuk kezaliman adalah haram. Atas dasar itu, tas'ir hukumnya haram. Ini
adalah pendapat jumhur ulama.
Keharaman tas'ir ini berlaku secara umum untuk semua komoditi. Hal itu sesuai
keumuman larangan tas'ir di atas. Rasulullah saw. menyatakan tas'ir sebagai kezaliman
tanpa menyebutkan komoditinya. Ini artinya keharaman itu berlaku untuk semua jenis
komoditi. Keharaman tas'ir juga berlaku dalam semua kondisi baik kondisi damai atau
perang; baik harga anjlok, normal atau sedang membubung tinggi. Hal itu sesuai
dengan kemutlakan nasnya.
Pada faktanya, pematokan harga merupakan dharar bagi umat. Pematokan harga itu
akan mendorong terbentuknya pasar gelap yang jauh dari monitoring negara. Dengan
begitu suplay barang ke pasar akan berkurang karena diperdagangkan di pasar gelap.
Lalu harga di pasar normal akan mengalami kenaikan tanpa bisa dicegah oleh negara.
Selain mendorong terbentuknya pasar gelap, pematokan harga juga bisa mempengaruhi
tingkat produksi atau konsumsi. Pada tingkat tertentu mungkin bisa menyebabkan krisis
ekonomi.
Pendapat yang menyetujui Tas’ir
Pendapat yang membolehkan tas'ir bertentangan dengan mayoritas para ulama.
Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan Yahya
bin Sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa pemerintah harus
menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di
mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan oleh ketidak
seimbangan harga.
Ibnu Taimiyah menafsirkan sabda Rasulullah SAW yang menolak penetapan
harga, meskipun pengikutnya memintanya, itu adalah sebuah kasus khusus dan bukan
aturan umum. Itu bukan merupakan merupakan laporan bahwa seseorang tidak boleh
menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga melebihi
nilai ganti yang sesuai. Ia membuktikan bahwa Rasulullah SAW sendiri menetapkan
harga yang adil, jika terjadi perselisihan antara dua orang. Kondisi pertama, ketika
dalam kasus pembebasan budaknya sendiri, Ia mendekritkan bahwa harga yang adil dari
budak itu harus dipertimbangkan tanpa ada tambahan atau pengurangan (laa wakasa wa
laa shatata) dan setiap orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan.
Kondisi kedua, dilaporkan ketika terjadi perselisihan antara dua orang, satu pihak
memiliki pohon, yang sebagian tumbuh di tanah orang lain, pemilik tanah menemukan
adanya bagian pohon yang tumbuh di atas tanahnya yang dirasa mengganggunya. Ia
mengajukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan pemilik pohon
untuk menjual pohon itu kepada pemilik tanah dan menerima konpensasi atau ganti rugi
yang adil kepadanya. Orang itu ternyata tak melakukan apa-apa. Kemudian Rasulullah
SAW membolehkan pemilik tanah untuk menebang pohon tersebut dan ia memberikan
konpensasi harganya kepada pemilik pohon.
Ibnu Taimiyah menjelasklan bahwa “jika harga itu bisa ditetapkan untuk
memenuhi kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan
untuk memenuhi kebutuhan publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan,
karena kebutuhan umum itu jauh lebih penting dari pada kebutuhan seorang individu.
Itu sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan jika diketahui secara
pasti ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis melakukan manipulasi
sehingga berakibat menaikkan harga. Ketiadaan kondisi ini, tak ada alasan yang bisa
digunakan untuk menetapkan harga. Sebab, itu tak bisa dikatakan pada seseorang yang
tak berfungsi sebagai penyuplai barang dagangan, sebab tak akan berarti apa-apa atau
tak akan adil. Argumentasi terakhir ini tampaknya lebih realistis untuk dipahami.
Menurut Ibnu Taimiyah, barang barang yang dijual di Madinah (pada zaman
Nabi) sebagian besar berasal dari impor. Kondisi apapun yang dilakukan terhadap
barang itu, akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan suplai dan memperburuk
situasi. Jadi, Rasulullah SAW menghargai kegiatan impor tadi dengan mengatakan,
“Seseorang yang mambawa barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari,
siapapun yang menghalanginya sangat dilarang. Faktanya saat itu penduduk Madinah
tidak memerlukan penetapan harga.
Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang diutarakan Dr. Yusuf Qardhawi
menggabungkan tentang dibolehkan atau tidaknya tas’ir diperbolehkan jika adil dan
dilarang jika ada kedzaliman.
Dan Ibnu Khaldun pernah meneliti harga-harga di kota-kota. Ia membagi menjadi
dua jenis, barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurut dia bila suatu kota
berkembang dan selanjutnya populasinya serta bertambah banyak maka harga-harga
pokok akan mendapatkan penggandaannya. Akibat penawaran meningkat dan ini berarti
penurunan harga. Adapun untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat
sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga
barang mewah meningkat. Ibnu Khaldun juga menjelaskan mekanisme penawaran dan
permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci ia menjabarkan
tentang perkembangan pengaruh persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan
barang pada sisi pemintaan. Setelah itu ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya
biaya poduksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tesebut pada sisi
penawaran.
Dari keterangan di atas, tampak sekali bahwa penetapan harga hanya dianjurkan
bila para pemegang stok barang atau para perantara di kawasan itu berusaha menaikkan
harga. Karena itu jika tidak ada masalah dalam harga, lebih baik tidak menetapkan
harga, tetapi membiarkan pasar yang akan berperan di dalamnya.
Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah
merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan
memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual menolak untuk menjual barang dagangan
mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan
pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut. Maka
mereka diharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara, contoh sangat nyata dari
ketidaksempurnaan pasar adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan
barang-barang serupa. Dalam kasus seperti itu, pemerintah harus menetapkan harganya
untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas
melaksanakan kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga yang
disukainya, sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk.
B. Ihtikar (Monopoli)
1. Pengertian Ihtikar
Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar,
sedang masyarakat dirugikan. Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti
di pasar hanya ada satu penjual. Berdasarkan hadist :
Dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah
saw. bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim
(1605).
Jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan
demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri
sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa
pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.
2. Hukum Ihtikar
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai
berikut:
a. Haram mutlak. Hal ini didasari oleh sabda Rasulullah :
Barang siapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga
kriteria:
1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk
masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan
kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
2. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi
dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat
membelinya dengan harga mahal.
3. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,
sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak
pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak
merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.
b. Makruh Mutlak
Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah
terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi
umatnya.
c. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka
dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan
riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan,
sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,
"Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar
yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)
d. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah,
sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini
lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya,
sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan
manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan
mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas,
apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak
mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di
dalamnya.
e. Boleh Ihtikar secara mutlak. Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke
tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil
dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli
bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka
dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka
terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:
"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan
(hadits ini), karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya
mengangkutnya terlebih dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya
kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan
memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).
Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama
yang mengharamkan ihtikar setiap waktu secara mutlak, tanpa membedakan
masa paceklik dengan masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan
terhadap monopoli dari hadits yang sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan
salaf.
3. Hikmah dilarangnya Ihtikar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal
yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila
ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada
makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual
atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia
tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan
(seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan
mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam.
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam
mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat.
Allah SWT berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka
(lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk
dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya
dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti
dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru
dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong
meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun
dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan
dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab
terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara
kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku
kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-
bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli
penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu
menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan
dalam tingkat dunia.
Bab 3
Penutup
A. Kesimpulan
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya menyalakan. Lalu dibentuk
menjadi kata as-si'ru dan jamaknya as'ar yang artinya harga (sesuatu). Dan para ulama
merumuskan definisi tas'ir secara syar'i, yaitu: seorang imam (penguasa), wakilnya atau
setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim memerintahkan kepada para pelaku pasar
agar tidak menjual komoditas kecuali dengan harga tertentu, Para ulama berbeda pendapat
tentang boleh atau tidaknya tas'ir ini,mereka masing-masing mempunyai dalil dan alasan
sendiri untuk menetapkan hukumnya.
Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang
masyarakat dirugikan. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar ada yang
berpendapat Haram secara mutlak, makruh secara mutlak, haram apabila berupa bahan
makanan saja , haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah
dan pula yang berpendapat bahwa ihtiakr itu boleh.
Daftar Pustaka
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press : Jakarta, 2000.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press :
Jakarta, 2003.
Nurhayati, Sri, Akuntansi Syari'ah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2009
Ali, Muhammad, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7
Th. ke-7, 1429 H