filsafat perennialsime dalam pendidikan _makalah tugas_
TRANSCRIPT
IMPLIKASI FILSAFAT PERENNIALSIME
DALAM PENDIDIKAN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas seminar mata kuliah Filsafat
Kurikulum dan Pembelajaran
Dosen : Prof. Dr. H. Muhammad Ali, M.Pd, MAAsisten : Dr. Toto Ruhimat, M.Pd
Disusun oleh :
Ade Zaenul M NIM : 080027
Ahmad Zaki MubarokNIM : 080029
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2008
IMPLIKASI FILSAFAT PERENNIALSIME
DALAM PENDIDIKAN
A. Pengantar
Kedudukan filsafat dalam pendidikan adalah suatu hal yang sangat asasi
sekaligus strategis. Asasi, karena filsafat merupakan suatu dasar atau landasan
dalam pembentukan ide atau asumsi-asumsi dasar dalam menentukan, persepsi
dasar, prinsip dan tujuan asasi pendidikan. Stategis, karena dengan filsafat
tersebut akan sangat ditentukan terhadap arah, warna sekaligus corak dari
pendidikan yang akan dilaksanakan. Tanpa asas atau landasan filsafat, pendidikan
akan rapuh, goyah dan tidak jelas arah dan tujuannya.
Selain yang bersifat prinsif filsafat pendidikan pun akan mempengaruhi
kepada hal-hal yang sifatnya praktis atau teknis, seperti yang berhubungan
dengan implementasi kurikulum, penentuan materi, kegiatan pembelajaran dan
lain-lain. Semua itu sangat tergantung kepada jenis atau esensi filsafat yang
mendasarinya.
Ada banyak corak dan ragam filsafat yang dapat mendasari pendidikan
dengan berbagai ide, gagasan dan kritiknya. Salah satu filsafat tersebut di
antaranya adalah filsafat perenial atau perenialisme. Filsafat ini, walaupun secara
umum pada awalnya tidak berkaitan dengan kontesk pendidikan secara khusus,
namun kemudian pada tahap perkembangan selanjutnya, perenialisme banyak
dan senantiasa dihubungkan dengan pendidikan baik secara umum, maupun
secara khusus.
Makalah ini, secara umum akan membahas tentang implikasi perenialsme
terhadap pendidikan. Dalam penyajian awal penulis mengemukakan pengertian,
konsep dasar dan pandangan umum perenialsme, dan selanjutnya adalah
pendangan tentang pendidikan yang menyoroti tentang tujuan dan prinsip
pendidikan, kurikulum dan konsep belajar.
B. Pengertian dan Konsep Dasar
Perenialisme atau filsafat perenial adalah salah satu cabang filsafat yang
sangat tua umurnya. Bahkan oleh beberapa pemikir seperti Charles B. Schmit
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
1
misalnya, menyebutkan bahwa cabang atau esensi filsafat ini sudah ada sejak
zaman para pemikir yang paling awal. Bahkan, Huckley menyatakan bahwa ide
dasar dan butir –butir pemikiran perenialisme telah lahir sejak dua puluh lima
abad yang lalu, namu entah siapa yang pertama kali mencetuskannya. Dalam
bukunya The Perennial Philoshophy ia menulis :
“A version of this highest common factor in all preciding and subsequent theologies was first commited to writing more than twenty five centuris ago and since that time the inexhaustible theme has been treated again and again from the stand point every religious tradition and in all the principals laguage of Asia and Erope.”
Walaupun Bede Griffiths dalam New Vision of Reality menyebutkan
bahwa filsafat ini lahir pada abad ke-6, itu adalah ketika filsafat perenial ini telah
menjadi suatu sistem filsafat tertentu, bukan pada saat lahirnya konsep dan ide-
ide dasarnya.
Adapun tokoh yang pertama kali menggunakan istilah filsafat pernial di
kalangan perenialis, terjadi perbedaan pendapat. Sayye Hossein Nasr mengaggap
yang pertama kali menggunakan istilah itu adalah Agustino Steuco (1490 – 1548)
ketika ia menulis buku De Philosophia Perennis. Sementara Huckley
menyebutkan Leibniz sebagai tokoh pertema tersebut.
Secara etimologis perenialisme, atau filsafat perenial berasal dari istilah
Latin yakni philosophia perennis yang arti harfiahnya adalah filsafat yang abadi.
Menyangkut kata “abadi” ada dua macam interpretasi yang berbeda.
Pertama , menginterpretasikan abadi sebagai suatu sifat dari filsafat. Dalam The
Perenial Scope of Philosophy, Karl Jaspers (1949) menyebutkan :
“From the begining there has been coming irreplaceable in Philosophy. Through all the change in human cirmutances and the task of practical life, trough all progress of sciences, all the developement of the categories and methods of thought, its porever concernd with apprehending the one eternal truth under new condition, with new methods and perhaps greater possibilities of clarity”
Dari pernyataannya ini, Jaspers tidak menerima filsafat perenial sebagai
suatu sistem filsafat tersendiri. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya, filsafat
apapun bentuk dan jenisnya adalah perenial atau abadi. Filsafat itu merupakan
proses perenial yang tidak tunduk pada perubahan dan aturan temporal.
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
2
Pendapat ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh James Collins
yang dengan tegas menolak pemakaian istilah filsafat perenial sebagai proper
name dari suatu sistem filsafat tertentu. Istilah filsafat perenial adalah merupakan
kata sifat, yaitu “filsafat yeng abadi” atau “filsafat yang perenial”.
Kedua, mengartikan “abadi / perenial” sebagai nama dari suatu sistem
filsafat tertentu. Charles B. Schmit menganggap istilah filsafat perenial sebagai
suatu proper name, yakni sebagai nama bagi suatu sistem filsafat tertentu. Dia
menyebutkan bahwa sejak kemunculan pola-pola pemikiran filsafat perenial pada
zaman dulu (pemikir awal), baru pada abad ke-16, istilah filsafat perenial dipakai
sebagai nama sistem filsafat ini. Sependapat dengan pandangan ini di antaranya
adalah Marcilio Ficino, Gevanni Pico, Agustino Steuco, Leibniz dan pemikir
lainnya. (Ahmad Norma Permata, 1996 : 33-34)
Sementara itu secara esensial, para pemikiran memberikan pengertian
terhadap filsafat perenial sebagai berikut : Steuco, seorang pemikir abad ke-16,
mengartikan filsafat perenial sebagai tradisi intelektual intesis antara teologi,
filsafat kuno, dan doktrin agama (Kristen). Selanjutnya adalah, Aldous Huxley
(1959), dia mengertikan filsafat perenial sebagai berikut : tradisi filsafat yang
terdiri dari tiga cabang utama, yakni : metefisika, psikologi dan etika. Ketiga hal
tersebut bersifat perenial, universal dan berlaku sepanjang masa, yang dapat
menuntun kepada pemahaman dan kesadaran akan eksistesi Tuhan sebagai “The
Ground” dari dunia dan segala isinya. Sebagaimana disebuatkan sebagai berikut :
“ …the metaphysic that recognizes a divine Reality substantial to the world of things and lives and minds; the psychology that finds in the soul something similar to, or even identical with, divine Reality; the ethic that places man's final end in the knowledge of the immanent and transcendent Ground of all being; the thing is immemorial and universal. Rudiments of the perennial philosophy may be found among the traditional lore of primitive peoples in every region of the world, and in its fully developed forms it has a place in every one of the higher religions. The Perennial Philosophy, p. vii).
Sayyed Husen Nasr, mengartikan filsafat perenial sebagai tradisi filsafat yang
primordial, dan Owen C. Thomas memandang filsafat perenial sebagai sinonim
dengan tradisi agama emissary, yang setelah setelah berinteraksi dengan al-kitab
muncul sebagai Kristen.
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
3
Walaupun rumusan pengertian tersebut, berbeda-beda namun kesemuanya
itu seperti diungkapkan oleh Huckley adalah merujuk kepada suatu doktrin atau
ajaran kebijaksanaan primordial yang bisa ditemukan dalam cerita-cerita
tradisional dari masyarakat kuno, dan dalam bentuknya yang matang berada
dalam setiap agama tingkat tingkat tinggi.
B. Tokoh Perenialisme dan Pemikirannya
Meskipun terjadi banyak perbedaan pendapat tentang filsafat ini, namun
secara esensial, para perenialis sepakat bahwa teori atau konsep pemikiran
perenilisme dilatarbelakangi oleh pemikiran filsafat Plato sebagai Bapak
Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan Filsafat
Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan
ajaran (filsafat) Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis
zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep
filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Ini bukanlah berarti nostalgia, melainkan
karena kepercayaan-kepercayaan masa lalu itu berguna bagi abad sekarang. Oleh
karena itu, asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan,
yaitu perenialisme-teologis yang ada di bawah supremasi gereja Katolik,
khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenalisme
secular yang berpegang pad aide dan cita filosofi Plato dan Aristoteles.
Aristoteles telah mengembangkan filsafat perenialisme dengan menelusuri
sejauh mana sesorang dapat menelusuri jalan pikiran manusia itu sendiri.
Sementara Thomas Aquinas justru telah menegadakan beberapa perubahan sesuai
dengan tuntutan agama Kristen saat agama itu datang. Hingga lahirlah apa yang
diekanl dengan neo-Thomisme. Pandangan-pandangan Thomas Aquinas tersebut
berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katolik. Demikian pula pandangan-
pandangan aksiomatis lain sebagaimana yang diutarakan oleh Plato dan
Arostotels, semuanya mendasari konsep filsafat ini.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk
menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh.
Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
4
disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi
hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika
mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan
bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol
dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti
dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan
religi (Barnadib, 1990: 64-65).
Berikut ini dipaparkan sekilas tentang pemikiran tokoh yang dijadikan
rujukan filsafat perenialisme :
1. Plato
Plato (427 – 347 SM) hidup pada zaman kebudayaan yang syarat dengan
ketidakpastian, yaitu sedang berkembangnya filsafat sofisme. Ukuran kebenaran
dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada
zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran,
tergantung pada masing-masing individu. Bahaya perang dan kejahatan
mengancam bangsa Athena. Siapa yang bisa memperoleh kebenaran secara
retorik, maka dialah yang benar. Plato ingin membangun dan membina tata
kehidupan dunia yang ideal, di atas tata kebudayaan yang tertib dan sejahtera,
membina cara yang menuju kepada kebaikan.
Dalam pandangan Plato, bahwa realitas yang hakiki itu tetap, tidak
berubah. Realitas atau kenyataan itu telah ada pada diri manusia sejak dari
asalnya yang berasal dari realitas yang hakiki. Dunia idea bersumber dari ide
mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan dan nilai sudah ada sebelum
manusia lahir, yang semuanya bersumber dari idea yang mutlak tadi. Manusia
tidak menciptakan kebenaran, pengetahuan dan nilai moral, melainkan bagaimana
menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu
dapat ditemukan kembali oleh menusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang bulat dan utuh. Manusia dapat
memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan pengamatan
indera, karena dengan berpikir itulah manusia dapat mengetahui hakikat
kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai pada
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
5
memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki dan mempelajari
dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.
Esensi realitas, pengetahuan, dan nilai merupakan manifestasi dari
hukum universal yang abadi dan sempurna, yaitu ide mutlak yang supernatural.
Keterlibatan sosial hanya akan mungkin apa bila ide tersebut dijadikan standar,
atau dijadikan asas normatif dalam segala aspek kehidupan.
Dalam konteks masyarakat, masyarakat ideal adalah masyarakt yang adil
sejahtera. Masyarakat ini lahir apabila setiap warga negara melaksanakan fungsi
sosialnya sesuai dengan tingkat kedudukan dan kemampuan pribadinya. Manusia
yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip “idea mutlak”. Idea
mutlak inilah yang membimbing manusia untuk menemukan kriteria moral,
politik, dan sosial serta keadilan. Idea mutlak adlah prinsip mutlak yang menjadi
sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran yang transendental. Ide mutlak
adalah pencipta alam semesta, yaitu Tuhan.
2. Aristoteles
Aristoteles (384 – 322 SM), adalah murid Plato, namun dalam
pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya yaitu idealisme. Cara berpikir
Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berpikir rasional
spekulatif. Aristoteles menggunakan cara berpikir rasional empiris realistis. Cara
berpikir ini kemudian disebut filsafat Realisme.
Meski hidup pada abad sebelum masehi, namun Aristoteles dinayatkan
sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles merupakan dasar
berpikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani
sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada
dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar, ia
akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal,
manusia sempurna.
Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan
filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan
kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
6
menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan
dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas.
Aspek-aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia
mengakui bahwa kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikiran.
3. Thomas Aquinas
Tomas Aquinas mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang
muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan ajaran filsafat
Aristoteles. Menurutnya di antara keduanya sebenarnya tidak terdapat perbedaan,
keduanya bisa berjalan secara beriringan dalam lapangannya masing-masing.
Pandangannya tentang realitas, ia mengamukakan bahwa segala sesuatu
yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya.
Ia memeprtahankan bahwa Tuhan bebas menciptakan dunia. Ia tidak setuju
tentang teori emanasi dalam penciptaan alam sebagaimana dikemuakan oleh
Neopaltonisme. Tomas Aquinas menekankan dua hal dalam pemikiran tentang
realitas, yaitu : a) dunia tidak diadakan semacam bahan dasar, dan b) penciptaan
tidak terbatas pada satu saja. (Bertens, 1979)
Dalam masalah pengetahuan, Aquinas mengemukakan bahwa
pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan antara dunia luar dan / oleh akal
budi, yang kemudian menjadi pengetahuan. Sumber pengetahuan selain
bersumber dari akal budi, juga berasal dari wahyu Tuhan. Di sinilah dia
menggabungkan pemikiran filsafat idealisme dan realisme dengan diktrin-doktrin
Gereja), sehingga filsafat Aqinas disebut filsafat tomisme.
Dalam konteks pendidikan, dia menyatakan bahwa pendidikan adalah
suatu usaha dalam menuntun kemampua-kemampuan yang masih tidur menjadi
aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru
bertugas untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari
anak agar menjadi aktif dan nyata.
C. Pandangan Umum Perenialisme
1. Ontologi Perenilasme
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
7
Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian tentang benda individual,
esensi, akseiden dan substansi. Perenialsme membedakan suatu realita dalam
aspek-aspek perwujudannya. Benda individual di sini adalah benda yang
sebagaimana yang tampak di hadapan manusia dan sebagaimana yang ditangkap
panca indra. Esensi suatu kualitas menjadikan benda itu lebih instrinsik daripada
fisiknya, seperti manusia jika ditinjau dari segi esensinya adalah makhluk yang
berpikir. Aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan
sifatnya kurang penting dibandingkan dengan dengan yang esensial. Substansi
adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan universal,
material dan spiritual. (Barnadib, 1990: 64-65)
Jadi, segala yang ada di alam semesta ini seperti halnya manusia, batu
bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya merupakan hal yang
logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan
kambinasi antara zat atau benda tapi merupakan unsur potensialitas dengan
bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan aleh
Aristateles, tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama-sama dari
sesuatu "apa" yang terkandung dalam inti (essence) dan potensialitas dengan
tindakan untuk "berada" yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang
diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas.
Esensi dari kenyataan adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin
lama makin jauh dari potensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka
manusia itu setiap waktu adalah potensialitas yang sedang beruasaha menjadi
aktualitas. Dengan peningkatan suasana hidup spiritual itu, manusia dapat makin
mendekatkan diri menuju tujuan (teleologis) untuk mendekatkan diri pada
supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta dan Tujuan Akhir. (Jalaluddin &
Abdullah Idi, 2007: 113)
Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia
pada dasarnya tetap tidak berubah selama berabad-abad : jadi, gagasan-gagasan
besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan di setiap zaman. Selain itu, filsafat perenialis menekankan
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
8
kemampuan-kemampuan berpikir rasional manusia sehingga membedakan
mereka dengan binatang-binatang lain.
2. Pandangan Epistemologis
Perenealisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan
merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran
adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikiran dengan benda-benda.
Benda-benda di sini adalah hal-hal yang keberadaannya bersendikan prinsip-
prinsip keabadian. Ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah
perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan
terlindung apabila segala sesuatu itu merupakan hal yang snagat penting karena ia
merupakan pengolahan akal pikran yang konsekuen.
Dalam pandangan perenialisme, filsafat yang tertinggi adalah ilmu
metafísika. Sebab sains sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif
yang bersifat analisis empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya
probability. Tetai, filsafat dengan metode deduktif bersifat analogical analysis,
kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence, universal, hakiki, dan
berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpanggkal pada hukum
pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi. (Muhammad Noor Syam,
1986: 315)
3. Pandangan Aksiologis
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas
supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak
hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan
supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia,
maka manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai
dengan kodratnya, di samping itu ada pula kecenderungan-kecenderungan dan
dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena
ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu menerima universal yang abadi,
khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
9
adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan
hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual.
Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara
etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia,
karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki
potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-
kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang
baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat
wujud manusia yang pertama-tama adalah cerminan dari jiwa dan pikirannya
yang disebut dengan kekuatan potensial yang membimbing tindakan manusia
menuju pada Tuhan atau menjauhi Tuhan, dengan kata lain melakukan kebaikan
atau kejahatan. Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah
tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.
D. Pandangan Perennialsme Tentang Pendidikan
1. Tujuan dan Prinsip Pendidikan
Dalam bidang pendidikan perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-
tokohnya, seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato,
manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran.
Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar
supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi.
Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu rnenghendaki agar pendidikan
disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan
pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini,
maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat
terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih
mendekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah
"kebahagiaan". Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan
intelek harus di kembangkan secara seimbang. Sejalan dengan uraian di atas,
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
10
tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha
mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan
nyata, dalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada
anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta
mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian
tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor
Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus
lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah
teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan
ideal.
Beberpa prinsip pendidikan menurut perenialisme adalah sebagai berikut :
a. Manusia pada hakikatnya adalah sama, walupun ia berada
dalam lingkungan yang beda-beda. Menurut Robert Hutchkins bahwa
manusia pada hakikatnya adalah animal rasional. Tujuan pendidikan
adalah sama dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu untuk mencapai
kebajikan. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan
dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak
untuk memiliki akal sehat, dan memperbaiki manusia sebagai
menusia.
b. Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia
harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai
dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka
harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol keinginan-
keinginannya.
c. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang
kebenaran yang pasti dan abadi. Materi pelajaran ditentukan terlebih
dahulu oleh orang dewasa dan ditujukan untuk melatih dan
mengembangkan akal.
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
11
d. Pendidikan bukan merupakan peniruan hidup, namun
merupakan persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi
situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan
peraturan-peraturan artifisial yang merupakan hasil terbaik dari
warisan sosial budaya.
e. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam
literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, dan literatur-literatur
yang berhubungan dengan kehidupan sosial terutama politik dan
ekonomi. (Uyoh Sadulloh, 2007 : 156-157)
2. Kurikulum
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan
intelektual siswa pada seni dan sians. Untuk menjadi “terpelajar secara kultural”,
para siswa harus berhadapan dengan bidang-bidang ini (seni dan sains) yang
merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia.
Berkenaan dengan bidang kurikulum, hanya satu pertanyaan yang bisa diajukan :
Apakah siswa memperoleh muatan yang merepresentasikan usaha-usaha yang
paling tinggi di bidang itu ? Jadi seorang guru Bahasa Inggris SMU dapat
mengharuskan para siswanya untuk membaca Moby Dick-nya Melville, atau
mempelajarai karya dramanya Shakespeare, bukannya sebuah novel terlaris saat
ini. Sama halnya juga dengan para siswa IPA akan mempelajari tentang tiga
hukum termodinamika bukannya membangun suatu model penerbangan ulang
alik anagkasa. (Uyoh Sadulloh, 2007 : 155)
Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Jean
Marrapodi (2003) sebagai berikut :
“Perennialis believe that one should teach the things of everlasting importance to all people everywhere. They believe that the most important topics develop a person. Philosophy is important to study. Students should learn principles, not facts, teach scientific reasoning, not facts. Teach first about humans, not machines or techniques.. Perennialism focuses first on personal development”.
Teodhore Brameld (1955) menjelaskan, bahwa pada tahap sekolah dasar,
menurut perenialisme pendidikan merupakan suatu upaya persiapan. Perenislisme
beranggapan bahwa anak merupakan dan masih sebagai potensi dari pada sebagai
pribadi yang aktual. Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
12
ke arah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu
mendapat tuntutan ke arah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan
pendidikan dan pengehatuan serba dasar.
Sehingga materi pengajaran pada tahap ini yang terpenting adalah
memberikan kemampuan membaca, menulis dan menghitung, sebagai bahan
untuk memperoleh dasar bagi pengetahuan yang lain. Materi selanjutnya adalah
tentang latihan karakter, khususnya pada uisa dini ini. Pendidikan karakter ini
bisa dilakukan dengan membaca literatur-litaratur klasik.
Pada tahap selanjutnya (secondary curriculum), kurikulum yang
diterapkan pada prinsipnya merupakan lanjutan dari kurikulum pada tahap
selnjutnya. Level ini, ditujukan untuk anak usia antara 12 tahun sampai 20 tahun.
Pada usia di bawah 16 tahun ditekankan pada penguasaan bahasa asing,
khususnya bahasa Yunani dan bahasa Latin, dan pada usia antara 16 atau 17
tahun sampai 20 tahun, ditekankan pada penguasaan logika, retorika, grammer
dan matematika (kunci penelaran), dan selanjutnya adalah mempelajari materi
tentang buku besar sejarah (Great Book). Kepercayaan aksiomatis zaman kuno
dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang. (Teodhore
Brameld, 1955 : 329)
Robert Maynard Hutchins (1963) sebagai pendukung perenialisme
mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S.1 berdasarkan penelitian terhadap
buku besar bersejarah (Great Book) dan pembahasan buku klasik. Kurikulum
perenialis Hutchins didasarkan kepada tiga asumsi mengenai pendidikan, yaitu :
a. Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang
berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar di mana
pun juga, pendek kata kebenaran bersifat universal dan tidak terikat
waktu.
b. Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada
gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting
pendidikan.
c. Pendidikan harus menstimulasi para mahasiswa untuk berpikir secara
mendalam mengenai gagasan-gagasan signifikan. Para guru harus
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
13
menggunakan pemikiran yang benar dan kritis, seperti motode pokok
mereka, dan mereka harus mensyaratkan, dan melakukan hal yang samua
pada siswa.
Martin Adler bersama-sama dngan Hutchin, melakukan studi terhadap
lebih dari 100 buku klasik yang bersifat abadi, milai dari Plato sampai Einstein.
Dengan pendekatan Buku Besar itu dimaksudkan agar para siswa merdeka dan
menjadi emikir yang kritis. Ini merupakan suatu kurikulum yang diperlukan, dan
kurikulum ini memfokuskan pada disiplin-disiplin pengetahuan yang abadi,
bukannya pada peristiwa-peristiwa atau minat-minat siswa saat ini.
Hutchin menyusun kurikulum sekolah menengah dan universitas berpusat
pada buku-buku besar seperti di atas. Keuntungan mempelajari buku-buku klasik
yang besar tersebut seperti di atas. Keuntungan mempelajari buku-buku kalasik
yang besar tersebut adalah siswa belajar apa yang telah terjadi pada masa
lampau, dan apa yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar atau pemikir-
pemikir terdahulu. Siswa belajar berpikir untuk dirinya, karena dengan
kemampuan berpikir siswa akan memiliki pedoman untuk mengatasi segala
masalahkehidupan yang ia hadapi. Segala masalah dapat dipecahkan dengan
menggunakan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan yang telah dimiliki
manusia, serta dengan menggunakan pikiran yang telah disiplinkan belajar.
3. Pandangan Tentang Belajar
Dalam konteks belajar Perenialsme memiliki pandangan-pandangan
sebagai berikut sebagaimana dijelaskan oleh Theodore Brameld (1955 : 322-
326) :
a. Mental disiplin sebagai teori dasar belajar
Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan
berpikir (mental discipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari
belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena
itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada
pembinaan kemampuan berpikir.
b. Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan (Rationality and Freedom)
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
14
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama
pendidikan ; otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna
mungkin. Makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia
untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential-self yang
membedakannya daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar
harus diabdikan bagi tujuan ini, yaitu aktualitas manusia sebagai
makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka.
c. Belajar untuk Berpikir (Learning to Reason)
Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam
permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis dan
berhitung merupakan landasan dasar, yang kemudian dilanjutkan
dengan pengajaran logika dan retorika untuk melatih kemampuan
berpikir tersebut. Berdasarkan pentahapan itu, maka learning to
reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan
pendidikan tinggi.
d. Belajar sebagai Persiapan Hidup (Learning to Live)
Bagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan
hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama,
yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan duniawi menuju
kehidupan syurgawi.
e. Belajar melalui Pengajaran (Learning Through Teaching)
Maritain Adler membedakan antara learning by instructionaldan
learning by discovery, penyelidikan tanpa bantuan guru. Dan
sebenarnya learning by instruction adalah dasar dan menuju learning
by discovery, sebagai self education. Menurut perenialisme, tugas
guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan
guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara
mengajar. Guru mengembangkan potensi self discovery ; dan ia
melakukan moral authorityatas murid-muridnya, karena ia adalah
seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan dengan
muridnya.
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
15
E. Kesimpulan
Perenialisme merupakan filsafat yang sudah sangat tua usianya yang
menekankan pada nilai-nilai keabadian dan megarah pada tujuan kesempurnaan
hidup. Nilai-nilai filsafat perenial bersifat abadi dan universal dapat diterapkan
dalam berbagai konteks kehidupan, sosial, politik, budaya, dan juga pendidikan.
Dalam konteks pendidikan, filsafat perenial atau perenialisme sangat
diperlukan untuk menjaga dan sebagai konservasi terhadap nilai-nilai luhur
manusia dalam kehidupan. Dalam kondisi moral masyarakat secara umum yang
dekaden, dan penuh dengan kondisi chaos (secara moral), nilai-nilai filsafat
perenial bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan pertimbangan dalam
perumusan prinsip-prinsip dasar proses pendidikan. Dalam kehidupan ini
diperlukan suatu kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh, sebagai basis
nilai kehidupan manuisa. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan
kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia dari kondisi yang carut
marut secara moral dan budaya tersebut ke arah terbentuknya dan
terlestarikannya kebudayaan ideal.
Sebagai sebuah ide atau gagasan filsafat tentunya perenialisme tidaklah
sempurna dan tetap terdapat kekurangan, apa lagi dikaitkan dengan konteks
kehidupan yang sangat kompleks dan sangat luas ini. Namun, sebagai sebuah ide
dan gagasan, tentunya ikhtiar sekecil apapun dalam menuju kebaikan dan
kesejatian adalah suatu kemuliaan. Wallahu a’lam bi al-shawwab.
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
16
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, (1987) Fislafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta : IKIP
Brameld, Theodore (1955), Philoshopies of Education in Cultural Perspective, Boston : Holt, Rinehart dan Winston, Inc.
Diana Lapp at. all, Teaching dan Learning, Philosophical, psychological, Curricular Application, New York : Macmillan Publishing Co., Inc. 1975.
Horton, Robert L. & Hanes, Susan (1993) Philosophical Considerations for Curriculum Development in Environmental Education, (online) http://www.stemworks.org/Bulletins/SEB93-4.html
Huckley, Aldous (1959), The Perennial Philoshophy, London : Fontana Book
Jalaluddin, dan Idi, Abdullah, (2007) Filsafat Pendidikan : Manusia Filsafatd an Pendidikan. Yogyakarta : Ar Ruz Media.
Jaspers, Karl (1949).The Perennial Scope of Philosophy, New York : Philosophical Library Inc,
Krzeski, Ashley, Social and Cultural Foundations of American Education, (Online)http://en.wikibooks.org/wiki/Social_and_Cultural_Foundations_of_American_Education/Edition_3/1.1.3#Progressivism
Permata, Ahmad Norma (ed)(1996), Perenialisme, Melacak Jejak Filsafat Filsafat Perenial, Yogyakarta : Tiara Wacana Wora, Emanuel (2007), Perenialsme; Kritik Atas Modernisme dan Postmoderenisme, Yogyakarta : Kanisius.
Sadulloh, Uyoh (2007), Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Tafsir, A (1993), Filsafat Umum, Bandung : Rosdakarya
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
17
Filsafat Kurikulum dan Pembelajaran _SPS UPI _____________________________
18