filsafat kelompok 2

21
BAB I PENDAHULUAN Kontroversi atau tepatnya perdebatan ilmiah mengenai objektivitas ilmu telah lama hadir, tepatnya sejak berlangsungnya interaksi antar peradaban yang secara epistemologis tidak saja berbeda namun juga bertentangan dan bahkan bertolak belakang. Klaim objektivitas ilmu pun kian ramai dilakukan oleh banyak pihak, termasuk di dalamnya Islam dan Barat. Akan tetapi apa sebenarnya objektivitas ilmu, sangatlah ditentukan oleh cara pandang masing-masing peradaban, yang secara akal sehat, sejatinya sangat mungkin untuk diverifikasi dan dibuktikan. Dengan kata lain, objektivitas ilmu itu sendiri bukanlah satu hal yang mustahil, dia (objektivitas) itu eksis dan dapat dipastikan. Karena keberadaannya yang dapat dipastikan maka dengan demikian objektivitas ilmu tidak bisa secara mutlak dipahami sebagai suatu konsep ilmu yang kemudian bebas dari pengaruh nilai, keyakinan dan cara pandang. Sebaliknya objektivitas ilmu itu secara hakiki menegaskan adanya nilai kebenaran yang melekat padanya dan menegasikan keraguan serta ketidakpastian. Selain itu objektivitas ilmu itu sendiri juga merupakan fakta aktual bahwa sesuatu itu riil dan karenanya berdasarkan kriteria objektif yang final dan sempurna. Penolakan terhadap objektivitas semacam itu dapat dianggap sebagai sikap diabolik yang tentu irasional. Oleh karena itu konsep yang menegaskan bahwa ilmu itu bebas nilai atau objektif dalam pemahaman ilmuwan Barat tidaklah sesuai dengan kaidah kebenaran dan sistem rasionalitas manusia secara umum. Sebab jika ilmu bebas nilai kemudian mereka (Barat) menegasikan sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal dan inderanya sebagai nisbi, maka jelas pemikiran semacam ini adalah pemikiran spekulatif dan karenanya tidak bisa diterima begitu saja. Makalah ini akan mendudukkan problem objektivitas ilmu secara berimbang dengan lebih banyak mengkaji penyebab kriteria objektif yang bebas nilai, yang dalam konteks modernisme bebas dimaksud adalah bebas dari agama, yakni masalah epistemologi. Munculnya variasi penilaian terhadap sesuatu, khususnya dalam hal ilmu tidak lepas dari peran epistemologi, sebagai instrumen esensial dalam kajian keilmuan. Sebagaimana terbukti dalam catatan para filosof muslim terdahulu dan ilmuwan muslim kontemporer dan yang telah direkam baik secara historis, dikatakan bahwa epistemologi Barat tegak dan berkembang di atas nilai-nilai dasar materialisme, pragmatisme, positivisme dan skeptisisme. Semua landasan yang menjadi titik tolak pengembangan ilmu mereka dalam beberapa dekade terakhir ini telah terbukti gagal mensejahterakan hidup manusia dan pada saat yang sama justru menimbulkan keresahan yang nyata, dan jika tidak di atasi dengan segera bukan tidak mungkin, stabilitas kehidupan umat manusia dan bumi sebagai satu planet yang berharga akan sirna dari konstelasi galaksi yang selama ini turut berkontribusi menjaga keseimbangan semesta. 1

Upload: muqowwimah-husna

Post on 27-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Perspektif Manusia Sebagai Khalifah

TRANSCRIPT

Page 1: filsafat kelompok 2

BAB IPENDAHULUAN

Kontroversi atau tepatnya perdebatan ilmiah mengenai objektivitas ilmu telah lama hadir, tepatnya sejak berlangsungnya interaksi antar peradaban yang secara epistemologis tidak saja berbeda namun juga bertentangan dan bahkan bertolak belakang. Klaim objektivitas ilmu pun kian ramai dilakukan oleh banyak pihak, termasuk di dalamnya Islam dan Barat. Akan tetapi apa sebenarnya objektivitas ilmu, sangatlah ditentukan oleh cara pandang masing-masing peradaban, yang secara akal sehat, sejatinya sangat mungkin untuk diverifikasi dan dibuktikan. Dengan kata lain, objektivitas ilmu itu sendiri bukanlah satu hal yang mustahil, dia (objektivitas) itu eksis dan dapat dipastikan.

Karena keberadaannya yang dapat dipastikan maka dengan demikian objektivitas ilmu tidak bisa secara mutlak dipahami sebagai suatu konsep ilmu yang kemudian bebas dari pengaruh nilai, keyakinan dan cara pandang. Sebaliknya objektivitas ilmu itu secara hakiki menegaskan adanya nilai kebenaran yang melekat padanya dan menegasikan keraguan serta ketidakpastian. Selain itu objektivitas ilmu itu sendiri juga merupakan fakta aktual bahwa sesuatu itu riil dan karenanya berdasarkan kriteria objektif yang final dan sempurna. Penolakan terhadap objektivitas semacam itu dapat dianggap sebagai sikap diabolik yang tentu irasional.

Oleh karena itu konsep yang menegaskan bahwa ilmu itu bebas nilai atau objektif dalam pemahaman ilmuwan Barat tidaklah sesuai dengan kaidah kebenaran dan sistem rasionalitas manusia secara umum. Sebab jika ilmu bebas nilai kemudian mereka (Barat) menegasikan sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal dan inderanya sebagai nisbi, maka jelas pemikiran semacam ini adalah pemikiran spekulatif dan karenanya tidak bisa diterima begitu saja. Makalah ini akan mendudukkan problem objektivitas ilmu secara berimbang dengan lebih banyak mengkaji penyebab kriteria objektif yang bebas nilai, yang dalam konteks modernisme bebas dimaksud adalah bebas dari agama, yakni masalah epistemologi.

Munculnya variasi penilaian terhadap sesuatu, khususnya dalam hal ilmu tidak lepas dari peran epistemologi, sebagai instrumen esensial dalam kajian keilmuan. Sebagaimana terbukti dalam catatan para filosof muslim

terdahulu dan ilmuwan muslim kontemporer dan yang telah direkam baik secara historis, dikatakan bahwa epistemologi Barat tegak dan berkembang di atas nilai-nilai dasar materialisme, pragmatisme, positivisme dan skeptisisme. Semua landasan yang menjadi titik tolak pengembangan ilmu mereka dalam beberapa dekade terakhir ini telah terbukti gagal mensejahterakan hidup manusia dan pada saat yang sama justru menimbulkan keresahan yang nyata, dan jika tidak di atasi dengan segera bukan tidak mungkin, stabilitas kehidupan umat manusia dan bumi sebagai satu planet yang berharga akan sirna dari konstelasi galaksi yang selama ini turut berkontribusi menjaga keseimbangan semesta.

Meskipun epistemologi Barat kini diterapkan di hampir banyak negara, termasuk Indonesia secara keilmuan khususnya, semestinya tidak direspon secara pasif apalagi diterima tanpa kritik. Epistemologi Barat, bagaimanapun perlu untuk dikritisi dan selanjutnya dipilah kemudian dipilih dan diolah berdasarkan cara pandang Islam. Jika selanjutnya ditemukan satu bukti bahwa ternyata secara prinsip beberapa dari ide dasar keilmuan Barat mesti ditinggalkan, kemudian diyakini bahwa ide dasar yang menjadi basis pengembangan ilmunya justru menimbulkan bahaya bagi kelangsungan kehidupan manusia dan pada saat yang sama justru menyeret manusia pada kondisi terlepaskannya hakikat diri sebagai manusia yang memiliki fitrah untuk mengakui dan menyembah Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam, jelas epistemologi Barat mesti ditolak. Upaya semacam ini sangat mendesak untuk dilakukan, dan beberapa cendekiawan Muslim sudah mencoba untuk memulainya.

Terlepas dari istilah yang digunakan oleh para cendekiawan untuk melihat posisi ilmu secara objektif, sejatinya secara konkrit mereka ingin membuktikan bahwa ilmu yang benar atau ilmu yang objektif itu adalah ilmu yang berlandaskan aqidah Islamiyyah dan bukan spekulatif yang berbasis keraguan sebagaimana diakui Barat dan menghegemoni dunia saat ini. Klarifikasi epistemologi Barat ini dimaksudkan untuk menentukan ilmu itu objektif atau tidak objektif, berdasarkan cara pandang Islam. Dalam hal ini dua cendekiawan Muslim kontemporer menyatakan perlunya Islamisasi Ilmu.

1

Page 2: filsafat kelompok 2

BAB IIPEMBAHASAN

I. Perspektif Manusia Sebagai Khalifah

A. Manusia Dalam Al-Qur’an

Ada tiga kata dalam pengungkapan Al-Qur’an yang biasa diartikan sebgai manusia. Tiga kata tersebut adalah al-basyar, al-ins,dan al-insan atau al-anas sebagai jama’ (plural) dari kata al-insan. Ketiga kata tersebut dalam pemakaian Al-Qur’an mempunyai pengertian yang berbeda.

Dilihat dari pengertian secara etimologi, al-basyar merupakn bentuk plural dari kata al-basyarah yang mengandung pengertian kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Penanaman al-basyar sebagai manusia (al-insan) dilihat dari sisi bahwa manusia tersebut yang kelihatan adalah kulitnya dibanding rambut atau bulunya. Berbeda dengan binatang yang secara jelas kelihatan rambut atau bulunya. Kulit binatang, pada umumnya, tidak kelihatan karena tertutup oleh bulunya. Kata mubasyarah juga berawal dari kata basyarah ini; karena diartikan sebagai mulamasah yang artinya persentuhan antara kulit lelaki dengan kulit perempuan. Kata mubasyarah juga diartikan sebagai al-wath’ atau al-jima’ yang artinya persentuhan.

Kata al-basyar dalam Al-Qur’an diungkapkan sebanyak 36 kali yang tersebar dalam 26 surat. Di antaranya sebanyak 25 kali berbicara tentang “manusia” para Rasul dan Nabi, sedangkan 13 ayat menggambarkan polemik para Rasul dan Nabi dengan orang-orang kafir terhadap apa yang dibawa oleh para Rasul dan Nabi Allah. Alasan mereka adalah bahwa para Rasul dan Nabi tersebut adalah manusia biasa seperti mereka juga. Untuk itulah Allah menurunkan ayat-ayat tersebut yang menyatakan bahwa memang para Nabi dan Rasul tersebut adalah manusia biasa yang sama seperti manusia-manusia lainnya. Ayat yang menyatakan hal ini dapat dilihat melalui surat Al-Anbiya’/21 ayat 2 dan 3, yang berbunyi sebagai berikut:

2. tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,3. (lagi) hati mereka dalam Keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, Maka Apakah kamu menerima sihir itu[951], Padahal kamu menyaksikannya?"

[951] Yang mereka maksud dengan sihir di sini ialah ayat-ayat Al Quran.

Manusia dalam pengertian basyar adalah manusia yang tampak pada lahiriyahnya, mempunyai bangunan tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang terdapat di alam ini, dan oleh pertambahan usia, kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan akhirnya ajal pun menjemputnya.

Manusia dalam pengertian basyar ini tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan dan diminumnya. Dengan demikian, kata al-basyar dalam Al-Qur’an ditujukan kepada keadaan manusia yang bersifat materi atau dimensi alamiah.

Selanjutnya kata al-nas yang juga dipakaikan Al-qur’an dalam pengertian manusia, tertuang dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali yang tersebar dalam 53 surat. Kata al-nas merupakan kata plural dari kata al-insan dalam pengertian AL-Qur’an menunjukkan kepada jenis keturunan Adam a.s. Kata al-nas ditujukan kepada jenis manusia kepada manusia, tanpa menunjuk pengertian parsial dari seorang manusia. Al-raghib al- Isfahaniy mengemukakan contoh dari ayat 13 surat Al-baqorah/2 Aminu kama Amana al-Nas, (berimanlah kamu seperti orang-orang lain beriman). Artinya, hendaklah mereka seperti apa yang dilakukan orang-orang yang terdapat padanya makna insaniyah (kemanusiaan), dan tidak dimasukkan atau ditujukan kepada manusia seorang. Disini kelihatan bahwa ungkapan al-nas hanya tertuju kepada jenis manusia keturanan Adam a.s. Seperti yang terdapat dalam surat Al-hujarat/49:13 yang berbunyi :

2

Page 3: filsafat kelompok 2

13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Untuk kata al-ins dan al-insan dalam pengertian bahasa (secara etimologi) merupakan lawan dari “binatang liar”. Dalam pemakaian Al-Qur’an kedua kata tersebut sekalipun punya akar kata yang sama, mempunyai pengertian yang berbeda, serta mempunyai keistimewaan yang berbeda pula. Kata al-ins dalam pemakaian Al-Qur’an senantiasa dipertentangkan dengan kata al-jin, sebangsa makhluk halus yang tidak bersifat materi yang hidup di luar alam manusia. ‘Aisyah Abd al-Rahman bin al-Syathi’ mengemukakan bahwa “jin” tidak harus dipahami sebagai bayangan yang menakutkan dikegelapan malam, tetapi lafaz al-jin pada dasarnya berarti al-khafa’ (yang tersembunyi), yaitu makhluk yang hidup di luar alam yang kita lihat, dibalik alam yang dihuni manusia, dan tidak tunduk kepada alam kehidupan kita. Jika al-ins pada dasarnya diartikan sebagai lawan dari binatang buas, maka al-jin adalah makhluk yang buas.

Kata al-ins dalam pemakaian Al-Quran terdapat sebanyak 18 kali yang tersebar dalam 9 surat.

Manusia dalam pengertian al-insan diungkapkan Al-Quran sebanyak 65 kali dalam 43 surat. Kata al-insan yang berkaitan dengan kejadian manusia sebanyak 12 kali tersebar dalam 11 surat. Selebihnya, kata al-insan dipergunakan dalam memberikan gambaran karakteristik manusia, dan peringatan-peringatan atas peran mereka sebagai makhluk Allah yang mengemban amanah-Nya serta berfungsi sebagai khalifah-Nya di atas bumi ini.

Meneliti ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia, adalah sama penting dalam menganalisis hakikat manusia yang diungkapkan Al-Quran. Asal kejadian manusia dalam ayat-ayat Al-Quran, jika diamati, terdapat istilah-istilah yang berbeda; namun menurut para mufasir kesemua istilah tersebut mengandung pengertian yang sama. Kata asal kejadian manusia (insan) yang dipergunakan Al-Quran terdiri dari kata turab sebanyak 6 kali, shalshal sebanyak 4 kali, fakhkhar 1 kali, main mahin 1

kali, maniyyumna 1 kali, nuthfah 11 kali, laq sebanyak 5 kali, mudhghah sebanyak 2 kali, sulalah min thin sebanyak 1 kali, dan kata thin sendiri sebanyak 8 kali. Proses kejadian manusia ini diungkapkan oleh Allah dalam ilustrasi yang jelas dalam surat al-Mu’minun/23; 12-14 yang berbunyi :

12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

Manusia yang dikatakan sebagai makhluk 2 dimensi ini, dalam ungkapan Al-Quran disamping dapat pujian, juga mendapat celaan. Segi-segi pujian tersebut antara lain disebutkan bahwa manusia itu punya keistimewaan, yaitu ilmu (al-alaq/96:1-5). Dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya manusia mempunyai kapasitas inteligensa yang paling tinggi (al-baqorah/2:31-33), dan mempunyai kecenderungan dengan Allah; dalam pengertian bahwa manusia sadar akan kehadiran Allah jauh dari sanubarinya. Oleh sebab itu, segala bentuk keraguan dan keingkaran terhadap Allah akan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri (lihat surat al-a’raf/7:172, dikaitkan dengan surat al-syams/91:7-8), serta secara bebas memilih jalannya masing-masing (al-ahzab/33:72 dan al-insan/76:2-3) dan manusia adalah ciptaan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya (at-tin/95:4). Disamping itu Allah juga menyatakan manusia itu sebagai khalifah-Nya diatas bumi ini (al-baqarah/2:30) yang bertugas untuk memegang amanah Allah membangun dan mengolah bumi ini sesuai dengan kehendak illahi, karena manusia hanya mempunyai tujuan hidup yang berbakti dan mengabdi kepada Allah (lihat surat al-ahzab/33:72, dan kaitkan dengan surat al-zariyat/51:56). Untuk berhasilnya tugas kekhalifahan dalam mengemban amanah illahi tersebut, Allah swt. telah

3

Page 4: filsafat kelompok 2

memberikan potensi pada manusia berupa kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan keagungan segala macam benda (al-baqarah/2:31) dan Allah menundukkan bumi, langit dengan segala isinya pada makhluk manusia ini (al-jatsiyah/45;12-13).Ayat-ayat yang dikemukakan diatas yang mengandung keistimewaan dan kemuliaan manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki dimensi “tanah” dan “roh”, merupakan segi-segi positif manusia yang diungkapkan Al-quran. Akan tetapi tidak sedikit pula ayat Al-quran yang berbicara tentang segi-segi negatif manusia itu sendiri. Disamping pujian-pujian diatas, Al-quran juga menggambarkan manusia itu sebagai makhluk yang zhalim dan bodoh (al-ahzab/33:72), pengingkar nikmat (al-hajj/22:66), sangat kikir (al-kahf/18:54). Selanjutnya manusia juga dikatakan sebagai makhluk yang sering lupa pada penciptanya, sangat lemah dan hina, cepat merasa diri puas dan melampaui batas (lihat surat at-thariq/86:5-8, abasa/80:17-22, al-insan/76:2-3, yassin/36:77-79, al-qiyamah/75:37-40, al-kahf/18:6-8, mariyam/19:67, yunus/10:12, dan al-isra/17:67).

B. Khalifah dalam Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an kata yang berasal dari Kh-l-f ini ternyata disebut sebanyak 127 kali dalam 12 kata jadian. Maknanya berkisar di antara kata kerja menggantikan, meninggalkan, atau kata benda pengganti atau pewaris, tetapi ada juga yang artinya telah “menyimpang,” seperti berselisih, menyalahi janji, atau beraneka ragam.

Guna memperoleh sedikit gambaran tentang arti khalifah dalam konteks al-Qur’an, berikut ini diturunkan beberapa ayat dar s. al-A’raf/7. Kata tersebut disebut sebanyak tujuh kali. Misalnya, ayat 7 terdapat kata khalf yang artinya belakang, sebagai lawan dari kata muka. Ini berkaitan dengan godaan setan yang membujuk manusia, baik secara terang-terangan maupun sembunyi agar manusia tidak bersyukur kepada Allah.

Kemudian pada ayat 69, terbentuk istilah khalifah dalam ayat yang berbunyi:

69. Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa

datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi

peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Kata khalifah diterjemahkan sebagai pengganti, yakni generasi yang menggantikan generasi sebelumnya.

Generasi itu adalah kaum Hud, yakni bangsa ‘Ad yang terkenal perkasa yang menggantikan generasi Nuh. Generasi Hud itu disebutkan sebagai lebih kuat tubuh dan perawakannya. Dalam ayat berikutnya, yakni ayat 72, dijelaskan bahwa kaum Hud telah diselamatkan Allah bersama-sama dengan rahmat besar yang diberikan kepada umat ini. Dan telah ditumpas orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.

Pada ayat 74 diceritakan tentang umat Nabi Shalih a.s. yang juga menggantikan generasi sebelumnya. Kaum Nabi Shalih adalah generasi pengganti kaum ‘Ad yang perkasa itu. dan kaum Nabi Shalih ini juga adalah sebuah bangsa yang unggul yang berhasil membangun peradaban tinggi seperti ditandai oleh kemampuan mereka membuat bangunan-bangunan di tanah-tanah datar dan pegunungan. Mereka membangun istana-istana di tanah-tanah datar dan mendirikan rumah dengan memahat gunung-gunung. Kepada kaum Nabi Shalih diingatkan bahwa mereka telah mendapatkan nikmat dari Allah dank arena itu, janganlah membuat kerusakan. Tetapi, seperti diceritakan dalam ayat-ayat selanjutnya, umat ini mengingkari amanat yang disampaikan Nabi Shalih a.s. Mereka menyatakan diri tidak mau beriman.

Pada ayat 142 ditampilkan cerita mengenai Nabi Musa dan Nabi Harun yang mengemban misi kenabian kepada bangsa Mesir yang juga berhasil membangun peradaban tinggi di bawah para Fir’aun. Dalam ayat ini terdapat bentuk kata imperative (perintah) ukhufni yang artinya “jadilah penggantiku” di antara kaumku, yang merupakan perintah Nabi Musa a.s. kepada Nabi Harun a.s., ketika Nabi Musa a.s. ingin bepergian ke gunung Turnisia guna memunajat kepada Allah.

Sebelum pergi, Musa berpesan kepada Harun untuk sementara menggantikan peranannya sebagai pemimpin bangsanya. Ia berwanti-wanti agar Harun tidak terpengaruh oleh orang-orang untuk berbuat kerusakan. Ternyata kepemimpinan Harun memang tidak cukup tangguh, sehingga umat Musa melakukan penyelewengan dengan menyembah patung buatan mereka sendiri.

4

Page 5: filsafat kelompok 2

Dalam ayat di atas, Harun diserahi kepemimpinan sementara, dapat disebut sebagai khalifah. Di sini, khalifah adalah seorang mandataris. Pada ayat 150, terdapat pula kata khalafa, yakni khalaf tumuu nii, yang artinya sepeninggalku atau sesudah kepergianku. Maksudnya adalah masa satelah Musa pergi: “Alangkah buruknya pekerjaan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku!”

Akhirnya, pada ayat 169, terdapat dua kata dari akar kata yang sama, yakni kata kerja khalafa dan kata benda khalfun, dalam ayat berikut:

169. Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang

jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti?

Kata fa khalafa min ba’di him berarti, “telah datang sesudah mereka” dan khalfun yang artinya “generasi yang menggantikannya,” yang mewarisi Taurat.

Dapat disimpulkan di sini, khalifah bisa dipakai untuk menyebut suatu generasi atau kaum dan dapat pula individu sebagaimana Harun adalah khalifah Musa. Pengganti yang menerima kekuasaan serta wewenangnya dari orang lain ini bisa bersifat sementara.

C. Manusia Sebagai Khalifah di Bumi

Kata yang berkaitan dengan istilah khalifah ini disebut sebanyak 10 kali dalam al-Qur’an s. al-Baqarah. Istilah itu mengandung banyak makna, yakni “mereka yang datang kemudian,” “sesudah kamu,” “yang diperselisihkan,” “silih berganti,” dan “berselisih.” Dan pada ayat 30, disebut istilah khalifah yang menjadi pokok bahasan di sini. Bunyi ayat tersebut adalah:

30. ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Dalam ayat ini diceritakan bahwa Allah akan menciptakan seorang khalifah di Bumi.

Tetapi, siapa yang dimaksudkan sebagai khalifah tersebut? Agaknya yang dimaksud dengan khalifah di sini adalah Adam. Pada ayat 31 disebutkan bahwa “Ia mengajarkan kepada Adam nama segala sesuatu.” Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan khalifah itu. Tetapi dari ayat-ayat selanjutnya kita bisa membuat sedikit penafsiran bahwa yang dimaksud dengan khalifah adalah Adalm. Ia, oleh Allah, diberi kemampuan menyebut nama benda. Dengan kamampuan ini manusia mempunyai bahasa untuk berkomunikasi.

Istilah khalifah disebut sebanyak sembilan kali dalam al-Qur’an. Bentuk jamaknya, yakni khawalif, disebut dua kali, tetapi artinya sudah lain. Bentuk jamak lainnya adalah khala’if.

Setelah disebut dalam al-Qur’an s. al-Baqarah di atas, istilah ini disebut lagi dalam al-Qur’an s. al-An’am/6: 165:

165. dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu

5

Page 6: filsafat kelompok 2

atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Menurut tafsir Muhammad ‘Ali, The Holy Qur’an, ayat ini memberi isyarat bahwa umat Islam akan menjadi penguas-penguasa di muka Bumi. Dengan melihat bentuk jamaknya, yakni khala’if, dan juga disebut bahwa Ia meninggikan derajat sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, maka yang dituju di sini adalah umat manusia umumnya. Mereka itu berlomba untuk bisa memperoleh kekuasaan, dan yang satu mungkin lebih unggul dari yang lain. Di sini, khalifah diterjmahkan sebagai “penguasa” atau mereka yang memiliki kekuasaan.

Dua ayat lain yang terdapat dalam al-Qur’an s. al-A’raf telah dibahas di atas. Di situ khalifah diterjemahkan sebagai generasi penerus atau generasi pengganti. Selanjutnya, dalam al-Qur’an s. Yunus, kata ini juga disebut dua kali. Pada ayat 14 disebut istilah itu. tetapi pengertiannya akan menjadi jelas jika dikutip ayat sebelumnya,

13. dan Sesungguhnya Kami telah membinasakan

umat-umat sebelum kamu, ketika mereka berbuat kezaliman, Padahal Rasul-rasul mereka telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa.

14. kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.

Dalam ayat 14 tersebut, khala’if diterjemahkan sebagai penguasa-penguasa di antara umat manusia di muka Bumi. Sekali lagi kata-kata ini berlaku bagi umat manusia pada umumnya.

Satu ayat lagi, yaitu ayat 73 s. Yunus/10, yang berbunyi,

73. lalu mereka mendustakan Nuh, Maka Kami

selamatkan Dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.

Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan khalifah adalah penguasa. Dijelaskan bahwa sebagian kamu Nuh telah binasa oleh banjir besar, sedangkan sebagian yang lain, yang mengikuti Nuh, bisa selamat dengan menumpang sebuah bahtera. Mereka yang hidup itu akhirnya berhasil membentuk suatu kekuasaan baru. Selanjutnya, datang generasi baru yang menyeleweng, dan kepada mereka Tuhan juga mendatangkan utusan. Lalu datang generasi pengganti lagi yang menyeleweng sehingga Tuhan mengutus Musa dan Harun.

Dalam al-Qur’an s. al-Naml/27: 62, disebut pula istilah khalifah sebagai berikut: Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya dan orang yang menghapuskan mereka dari kesusahan dan yang menjadikan kamu sebagai penguasa di Bumi?Di situ dikatakan bahwa Allah mengabulkan doa orang yang mengalami kesulitan. Ia akan menghapuskan kesusahan yang menimpa orang yang berdoa. Dan Ia juga menjadikan suatu kaum berkuasa di Bumi. Ayat serupa diulang dalam al-Qur’an s. Fathir/35: 39.

Dalam al-Qur’an s. Shad/38: 26, istilah khalifah diterjemahkan pula sebagai penguasa. Dalam surat ini ada contohnya yang jelas, yakni Nabi Daud a.s. Ayat tersebut berbunyi demikian:

26. Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang

6

Page 7: filsafat kelompok 2

sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Berbeda dengan ayat-ayat yang telah dikutip sebelumnya, maka yang disebut khalifah di sini adalah Daud a.s. Ia telah dijadikan oleh Allah sebagai seorang raja Isra’il. Kepadanya diperintahkan agar mempergunakan kekuasaannya tersebut untuk memerintah umatnya secara adil. Di sini, kita bisa ambil suatu makna bahwa asas pertama kekuasaan itu adalah keadilan. Sebuah kekuasaan harus didasarkan atas keadilan. Kekuasaan harus dijalankan secara adil. Kekuasaan berfungsi untuk menegakkan keadilan.

Dengan demikian, maka paling tidak jika kita telah mencatat tiga makna khalifah. Pertama adalah Adam yang merupakan simbol manusia sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai khalifah dalam kehidupan. Kedua, khalifah berarti pula generasi penerus atau generasi pengganti; fungsi khalifah diemban secara kolektif oleh suatu generasi. Dan ketiga, khalifah adalah kepala negara atau pemerintahan.

1. Beberapa Tanggung Jawab Manusia Dalam Islama. Tanggung Jawab Manusia sebagai Hamba Allah

Tanggung jawab Abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimiliki dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadist Nabi SAW dikatakan yazidu wayanqusu (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).

Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka).

Allah dengan ajaranNya Al-Qur’an menurut sunah rosul, memerintahkan hambaNya atau Abdullah untuk berlaku adil dan ikhsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Allah adlah menegakkan keadilanl, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kenungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa melaksanakan solat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (Fakhsyaa’iwalmunkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba

Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.

b. Tanggung Jawab Manusia sebagai khalifah Allah

Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan , wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.

Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.

Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimilikitidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.

Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hokum-hukum Tuhan baik yang baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS 35 (Faathir : 39) yang artinya adalah :

39. Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di

muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.

7

Page 8: filsafat kelompok 2

Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifan adalah realisasi dari pengabdian kepada allah yang menciptakannya.

Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajad manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti fiman-Nya dalam QS (at-tiin: 4) yang artinya:

4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia

dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

II. OBJEKTIVITAS DAN KEBENARAN ILMU

A. Pengertian Objektivitas

Objektivitas berdasarkan pemaknaan filosofi berarti doktrin dimana pengetahuan berdasarkan kenyataan objektif (berdiri sendiri). Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1854.

Objektivitas bermula dari istilah filosofis yang dikenal pada tahun 1620 dan memiliki arti "pertimbangan antara hubungan sesuatu dengan obyeknya" (sebagai lawan kata dari subjektif), terbentuk dari pola istilah bahasa Latin diabad pertengahan yaitu objectivus, berasal dari objectum "object" yang berarti "tidak bisa berdiri sendiri (tanpa keterlibatan pribadi)" yang pertama ditemukan pada tahun 1855 dan mendapatkan pengaruh bahasa Jerman objektiv.

Objektif sebagai kata benda merupakan serapan dari bahasa Inggris yang berarti "tujuan, sasaran" . Kata ini pertama kali diformulasikan pada tahun 1738 sebagai istilah militer dalam perang saudara Amerika Serikat dan dimaknai sebagai "obyektif dari suatu pikiran;" yang juga berarti "arahan" dan berasal dari bahasa Perancis. Kata ini lalu digunakan secara luas pada awal 1881.

B. Konsep Objektivitas

Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Dalam konteks keilmuan objektivitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang objektif di masa lalu juga objektif di masa sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi.

Karena objektif itu seringkali dipahami identik dengan ada, maka bahasan ontologi menjadi perlu untuk dijadikan bahasan awal dalam pemaparan mengenai objektifitas itu sendiri. Masalah ontologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Termasuk dalam pandangan terhadap hakikat ilmu ini adalah pandangan terhadap sifat ilmu itu sendiri. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial misalkan, khususnya dalam kajian perbandingan antara pandangan ilmiah dan ajaran Islam dapat dilihat dalam beberapa bahasan. Pertama mengenai pandangan terhadap ilmu sosial itu sendiri, kedua tentang sifat pengetahuan ilmiah, dan ketiga, masalah objektivitas dan nilai dalam ilmu-ilmu sosial.

Selain itu, secara historis kajian ontologi merupakan bahasan filsafat yang paling tua. Hal ini dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap hakikat segala sesuatu yang ada termasuk eksistensinya sebagai manusia. Secara faktual, keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang lahir dari kesadaran dirinya, namun disebabkan oleh suatu kehendak di luar dirinya yang mengharuskan manusia itu sendiri secara pribadi menerima dirinya apa adanya. Manusia sama sekali tidak mengerti mengapa dia berjenis kelamin pria atau wanita dan lahir dari wanita bangsawan ataupun wanita biasa.

8

Page 9: filsafat kelompok 2

Maka dengan kondisi demikian, kajian ontologi dengan sendirinya akan memberikan dampak positif dalam pemaknaan diri dan kehidupan manusia itu sendiri.

Pengamatan yang mendalam terhadap kehidupan ini secara otomatis akan mengantarkan manusia pada satu kesadaran dimana dia akan mencari sang pencipta yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara alamiah konsep kebetulan tidaklah dapat diterima logika sehat. Sebab secara faktual, pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri, demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan, karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan, kesimpulan semacam ini tentu keliru, karena telah menegasikan hakikat fakta yang merealita.

Berbeda dengan Barat, bagi mereka yang ada adalah fakta dan kebenaran. Mengenai hal-hal lain yang diluar fakta itu sendiri dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah maka hal tersebut tidaklah menjadi satu bahasan yang esensial meskipun memiliki peran yang sangat menentukan. Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor study Islam dari Chicago AS menjelaskan bahwa apa yang ada atau ontologi yang diakui oleh peradaban Barat hanya sebatas pada realitas yang bersifat observeable. Dengan kata lain segala hal yang tidak observeable dianggap nisbi dan karenanya manusia yang masih meyakini hal-hal yang berada jauh diluar jangkauan indera disebut sebagai ilusi semata. Oleh karena itu, positivisme yang selanjutnya dipopulerkan oleh Auguste Comte menjadi alternatif utama Barat dalam menentukan kriteria ilmiah dan benar dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan.

Afirmasi terhadap ontologi yang bersifat observeable ini bukan tanpa alasan. Jika ditinjau dari sisi historis, hal ini bisa dianggap sebagai kewajaran dan memang sudah selayaknya Barat dalam kondisi tersebut. Dengan kata lain sekularisasi yang kini mewabah dan menjangkiti sebagian sarjana muslim, relevan bagi Barat namun tidak bagi Islam. Sejarah Barat yang sangat traumatik terhadap hegemoni gereja pada abad pertengahan menjadi satu alasan kuat akan keniscayaan sekularisasi dan pada akhirnya liberalisasi. Dalam fislafat ilmu, Auguste Comte (1789 – 1857) memandang tahap berpikir teologis sebagai tahap paling primitif dalam perkembangan pemikiran masyarakat. Menurutnya, cara berpikir teologis berusaha mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi, speerti sebab pertama dan terakhir segala sesuatu. Oleh karena itu Comte pun dalam penjelasan

berikutnya menjelaskan bahwa perkembangan terbaik ketika manusia berpikir positivistis dengan menolak yang absolut dan menerima yang relatif.

Sekularisasi tersebut selanjutnya menjadi wajar dalam dunia kristen. Bernard Lewis menjelaskan bahwa sejak awal mula, kaum kristen diajarkan – baik dalam persepsi maupun praktis – untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antaa keduanya.

Sekularisasi ternyata masih dianggap kurang dan pada akhirnya sampailah Barat pada diskursus yang sangat mengkhawatirkan yakni Liberalisme. Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis 1789 – kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Lebih jelas H. Gruber menjabarkan bahwa prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas – aapapun namanya –a adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia – yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya.

Sekularisme dan Liberalisme ini sejatinya bentuk lain dari pengakuan bahwa kebenaran yang benar (objektif) itu adalah apa yang terkandung dalam kedua konsep tersebut. Dan oleh karena itu, agama pun dinilai nisbi bahkan candu dan membahayakan kehidupan manusia. Pada akhirnya lahirlah satu konsep bahwa objektifitas atau objektif dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah (mengindentifikasi) sebuah objek yang sedang diteliti/ dipelajari dengan suatu cara dimana hasilnya tidak tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya. Keobjektifan, pada dasarnya, tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat diterima oleh semua pihak, karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan merupakan hasil dari asumsi (kira-kira), prasangka, ataupun nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu.

Hal ini dikuatkan oleh pernyataan intelektual muslim kontemporer yang menggagas Islamisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib Al Attas menegaskan bahwa objektifitas sains merupakan satu-satunya ilmu yang otentik; bahwa ilmu hanya persangkut-paut dengan fenomena; bahwa sains ini, termasuk

9

Page 10: filsafat kelompok 2

pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-kesimpulan umum sain dan filsafat yang diturunkan darinya.

Pengakuan kebenaran yang terbatas pada jangkauan indera menjadikan objektif yang ditempuh dengan metode ilmiah dapat dikatakan absah jika memenuhi syarat prosedural yang meliputi pengamatan percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Selain itu juga kebenaran objektif (bebas nilai) harus memenuhi standar empiris, sistematis, objektif, analitis, dan verifikatif.

Namun berbeda dengan konsep ada, realitas dan kebenaran atau tataran ontologi dalam cara pandang (worldview) Islam. Dalam Islam konsep realitas dan kebenaran tidak sebatas pada dimensi duniawi yang bersifat kedisini-kinian. Tetapi juga meliputi alam akhirat yang bersifat hakiki.

Hakiki disini berasal dari kata haqq yang maknanya mencakup dua pengertian sekaligus yakni tentang realitas dan kebenaran itu sendiri. Berbeda dengan cara pandang Barat yang partikular sehingga memisahkan pengertian kata, realitas, kebenaran dan fakta sebagai pendukungnya. Lawan dari haqq adalah bathil, yang artinya bukan-realitas atau kepalsuan. Haqq berarti suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas dan kepantasan (moral). Ia merupakan suatu keadaan, kualitas, atau sifat yang ditemukan dalam kebijakan, keadlan, ketepatan, kebenaran, realitas, dan kepantasan. Ia merupakan suatu keadaan keniscayaan, sesuatu yang tak terhindarkan, wajib, hak yang mesti diberikan. Ia merupakan keadaan eksistensi dan mencakup segalanya.

Selain kata haqq, umum kita mengenal kata sidhq, yang berarti kebenaran atau kejujuran, yang lawannya adalah kidzb, yang berarti ketidakjujuran atau kepalsuan. Namun, sidhq hanya menunjuk kepada kebenaran yang berkaitan dengan pernyataan atau kata-kata yang diucapkan; sementara kata haqq tidak hanya mengacu kepada pernyataan tetapi juga tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta hal-hal dan kejadian-kejadian dalam eksistensi. Hal-hal dan kejadian-kejadian yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan dengan kondisinya sekarang, tetapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam hubungannya dengan kondisi yang adkan datang, haqq artinya verifikasi, realisasi, dan aktualisasi. Sebenarnya, haqq di sini dipahami sebagai mencakup realitas maupun kebenaran yang berkaitan dengan keadaan eksistensi, karena ia merupakan satu dari nama-

nama Tuhan yang menggambarkan-Nya sebagai eksistensi mutlak yang merupakan realitas, dan bukan konsep, eksistensi.

Dalam salah satu pandangan yang mencoba memahami secara partikular tentang eksistensi, eksistensi dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya murni konseptual, sedangkan esensi adalah yang real; esensi adalah realitas yang terwujud di luar pikiran. Padahal selain konsep eksistensi, ada kenyataan lain, yaitu realitas eksistensi; dan melekatnya eksistensi sebagai suatu konsep murni dalam pikiran merupakan salah satu akibat dari realitas eksistensi ini.

Sebab eksistensi sebagai realitas, berbeda dengan sebagai konsep, dan eksistensi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Ia terus-menerus terlibat dalam suatu gerakan ekspresi-diri ontologis yang dinamis, ang mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan terpendamnya yang tak terhingga, secara bertahap, dari yang kurang pasti hingga yang lebih pasti, sampai ia muncul pada tingkat entuk yang konkret, sedemikian ingga eksistensi-eksistensi partikular yang kita anggap sebagai “sesuatu”, yang banyak dan beragam, yang memiliki “esensi” individual yang terpisah-pisah, tidak lain merupakan modus dan aspek-aspek dari realitas eksistensi itu. Dari perspektif ini, esensi sesuatu tidak lebih dari kenyataan yang ada dalam konsep saja, sedangkan eksistensisesuatu adalah real. Sesungguhnya, esensi sejati sesuatu adalah eksistensi sebagaimana yang diindividuasi ke dalam suatu bentuk peartikular. Realitas eksistensi inilah yang kita nyatakan sebagai Realitas dan Kebenaran (al-haqq) yang melingkupi semuanya; dengan ini pula Tuhan, yang bersifat mutlak dalam segala bentuk perwujudan, disebut.

C. Kebenaran Ilmu

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu: 1. Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya); 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya); 3. kejujuran, ketulusan hati; 4. Selalu izin, perkenanan; 5. Jalan kebetulan.

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran

10

Page 11: filsafat kelompok 2

ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun pandangannya adalah sebagai berikut:

EmpirismeEmpirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja aposteriori Empirisme bertitik tolak dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal. Teori kebenaran korespondensi, Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.

RasionalismeSpinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal sebagai suatu kenyataan. Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu ataulainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.

InduktivismeInduktivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi, dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan pengingkaran terhadap teori.

Ilmu ModernIlmu-ilmu modern dalam metodenya merupakan kombinasi antara Rasionalisme dan Empirisme maka tentu teori kebenaran yang dipakai menguji dalam pernyataan pada teorinya, yaitu mempergunakan Teori Kebenaran Koherensi dan Teori Kebenaran Korespondensi sekaligus.

D. Teori-teori Kebenaran

Perbincangan tentang kebenaran dalam perkembangan pemikiran filsafat sebenarnya sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles hingga saat ini, dimana teori pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan mempunyai nilai kebenaran atau tidak sangat berhubungan erat dengan sikap dan cara memperoleh pengetahuan.

Berikut secara tradisional teori-teori kebenaran itu antara lain sebagai berikut:1. Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)2. Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)3. Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth)4. Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)5. Teori Kebenaran Sintaksis6. Teori Kebenaran Nondeskripsi7. Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical Superfluity of Truth)

E. SIFAT KEBENARAN ILMU

EvolusionismeKebenaran ilmuwalau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam. Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.

FalsifikasionisPopper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang

11

Page 12: filsafat kelompok 2

berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan suatu teori. Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya.

KontruktivismeKonstruktivisme menjadikan konsensus sebagai landasan bagi teori kebenaran. Menurut teori ini, konsensus di antara anggota komunitas merupakan jalan bagus untuk mencapai kebenaran, dengan kata lain konsensus hanya merupakan kriteria validitas. Konstruktivisme terjebak dalam pandangan bahwa Alam tidaklah ada, yang ada hanya merupakan kontruksi dari anggota-anggotayang melakukan konsensus.

RelativismeRelativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya. Rortry mengatakan bahwa pencarian kebenaran adalah tidak ada tapi hanya perubahan ke kebaikan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

ObjektivismeObjektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.

III. RAGAM METODE ILMIAH

A. Metode Ilmiah

Ilmu pengetahuan disingkat menjadi ilmu saja adalah pengetahuan yang didapat dengan mempergunakan metode. Metode ilmiah merupakan ciri utama untuk membedakan ilmu dari pengetahuan. Metode ilmiah menerapkan aturan-aturan yang baku untuk bisa disebut sebagai ilmu pengetahun. Metode ilmiah menerapkan eksperimen dan penelitian untuk mendapatkan data dan fakta ilmu. Berbeda dengan pengetahuan yang menerapkan metode trial and error atau metode pengamatan dan pengalaman. Pengetahuan merupakan fakta dan data yang didapat dengan melakukan pengamatan dan pengalaman.

Perkembangan awal penelitian penegetahuan oleh filsafat dimulai oleh Bacon. Bacon mempopuler ilmu dengan jargon “science is power”. Beliau merumuskan norma umum dalam ilmu pengetahuan yang kemudian dikenal sebagai metode ilmiah. Metode ilmiah melakukan observasi empiris yang detail dan besifat partikular. . Bacon memperkenalkan metode induksi-eksperimen yang mempergunakan data-data partikular yang telah diteliti melalui eksperimen yang detail dan kemudian melangkah pada penafsiran atas alam. Ada dua langkah penggunaan induksi menurut Bacon. Pertama, rasio berangkat dari pengamatan indrawi partikular kemudian maju sampai pada ungkapan paling umum. Kedua, rasio berangkat dari fakta pengamatan indrawi partikular dan merumuskan pandangan umum yang paling dekat.

Setelah Bacon muncul pemikiran Positif-Empiris yang merumuskan sebuah pernyataaan bermakna dalam ilmu apabila pernyataan tersebut dapat diverifikasi. Positivisme digagas oleh Comte dengan memperkenalkan ide obyek positif. Metodologi ilmiah adalah cara untuk mendapatkan penegetahuan tentang kenyataan, dan kenyataan tersebut adalah satu objek positif. Metode penelitian yang dipergunakan dalam proses keilmuan adalah observasi, eksperimentasi dan komparasi.

Kritik terhadap metode induksi berikutnya dilakukan oleh Popper dengan pendekatan falsifikasi. Popper berpendapat jika ingin membuktikan

12

Page 13: filsafat kelompok 2

kebenaran satu teori tidak hanya dengan menambahkan satu bukti empiris yang baru. Falsifikasi adalah kondisi ketika ditemukannya satu bukti kesalahan atas sebuah teori dan hal tersebut sudah cukup untuk menunjukkan bahwa teori tersebut tidak dapat dipergunakan lagi. Sebuah terori dianggap ilmiah oleh Popper apabila satu teori bisa disalahkan, disangkal dan diuji

B. Metode ilmiah dalam Islam

Gohlsani memberikan metode pemahaman alam versi al-Quran melalui indra, akal dan intuisi. Pengetahuan yang didapat melalui indra adalah fakta dan data-data yang dapat dicerap oleh lima indra manusia. Selain pengetahuan yang didapat melalui eksperimen dan penalaran akal Al-Quran mengajarkan adanya metode lain dalam mendapatkan ilmu. Epistemologi Islam mengenal beberapa metode ilmiah yang dianggap sahih atau diterima seperti tajribi, burhani, irfani dan bayani. Keempat metode diatas tidak semuanya diterima oleh ilmu pengetahuan duniawi.

Tajribi adalah metode ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai metode eksperimen. Eksperimen sudah lama diterapkan dalam kegiatan ilmiah masyarakat Islam. Burhani adalah metode yang dipergunakan untuk mengenali objek non-fisik yang tidak dikenal oleh indra manusia. Metode burhani merupakan metode logika dalam menarik kesimpulan dari premis yang telah diketahui dan menghasilkan pengetahuan dan informasi baru. Prosedur logika yang harus dipatuhi dalam menarik kesimpulan dikenal dengan sebutan silogisme.

Selain indra dan akal ilmu pengetahuan Islam mengakui hati (qalb) sebagai suatu alat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Metode pengetahuan dengan hati dalam filsafat disebut intuisi. Ilmu intuitif dikenal dalam epistemologi Islam sebagai ilmu hudhuri (knowledge by presence). Ilmu hudhuri mengenal objek pengetahuan tanpa melaui perantara seperti simbol, konsep dan alat bantu. Metode ini tidak mempergunakan akal tetapi menggunakan intuisi atau hati untuk mendapatkan pengetahuan. Bayani merupakan pengakuan bahwa al-Quran adalah sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan. Konsep teologi Islam mempercayai al-Quran seperti juga alam adalah sumber pengetahuan yang luas. Untuk memahami al-Quran dipergunakan metode yang kita sebut bayani atau penjelasan.

BAB IIIPENUTUP

I. KESIMPULAN

Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifan adalah realisasi dari pengabdian kepada allah yang menciptakannya. Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajad manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah.

Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yangdemikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.

Metode Ilmiah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Ada metode Barat dan ada juga metode Islam. Secara Barat, metode Ilmiah hanya dilakukan dengan experience atau pengalaman. Sedangkan menurut Islam, ada 4 metode yaitu tahribi, irfani, burhani,dan bayani.

II. KRITIK DAN SARAN

Kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis dalam pembuatan makalah selanjutnya.

13

Page 14: filsafat kelompok 2

DAFTAR PUSTAKA

manusia-dalam-perspektif-islam.html

14