filsafat hukum

63
REVIEW JURNAL NASIONAL DAN INTERNASIONAL MENGENAI ELECTRONIK EVIDENCE No . Fokus/Topik/ pertanyaan Penelitian dan alasan Mengapa penelitian itu penting Nama Peneliti, Tahun dan Negara Unsur Kebaruan/Gap Pengetahuan yang ingin di isi Metode Kesimpulan dan temuan 1 a. Dokumen elektronik sebagai alat bukti Pada pembuktian di pengadilan\ b. Bagaimana prinsip pembuktian dan Pengaturan dokumen elektronik didalam UU ITE di Indonesia Johan Wahyudi Jurnal Perspekti f Volume XVII No. 2 Tahun 2012 Edisi Mei Yuridis Normatif 1. Bahwa pengaturan tentang prinsip pembuktian yang terdapat di dalam Pasal 163 HIR jo. Pasal 1865 BW yang menentukan bahwa barangsiapa menyatakan telah mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang lain, maka orang itu harus membuktikannya, nampaknya masih tetap diberlakukan dan tidak mengalami perubahan setelah diberlakukannya UU ITE, hanya saja diberi penekanan bahwa para pihak harus sudah memastikan bahwa dokumen elektronik yang telah ada padanya berasal dari sistem elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2. Bahwa setelah diberlakukannya UU ITE

Upload: takuyaeek

Post on 07-Sep-2015

240 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

filsafat hukum

TRANSCRIPT

REVIEW JURNAL NASIONAL DAN INTERNASIONAL

MENGENAI ELECTRONIK EVIDENCE

No.

Fokus/Topik/pertanyaan Penelitian dan alasan Mengapa penelitian itu penting

Nama Peneliti, Tahun dan Negara

Unsur Kebaruan/Gap Pengetahuan yang ingin di isi

Metode

Kesimpulan dan temuan

1

a. Dokumen elektronik sebagai alat bukti Pada pembuktian di pengadilan\

b. Bagaimana prinsip pembuktian dan Pengaturan dokumen elektronik didalam UU ITE di Indonesia

Johan Wahyudi

Jurnal Perspektif

Volume XVII No. 2 Tahun 2012 Edisi Mei

Yuridis Normatif

1. Bahwa pengaturan tentang prinsip pembuktian yang terdapat di dalam Pasal 163 HIR jo. Pasal 1865 BW yang menentukan bahwa barangsiapa menyatakan telah mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang lain, maka orang itu harus membuktikannya, nampaknya masih tetap diberlakukan dan tidak mengalami perubahan setelah diberlakukannya UU ITE, hanya saja diberi penekanan bahwa para pihak harus sudah memastikan bahwa dokumen elektronik yang telah ada padanya berasal dari sistem elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Bahwa setelah diberlakukannya UU ITE terdapat penambahan macam alat bukti, dan diakuinya dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 jo. Pasal 6 UU ITE yang menentukan bahwa dokumen elektronik atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan dapat digunakan di muka persidangan, sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Disamping itu, dokumen elektronik kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas, sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Umum UU ITE.

2

Elctronic evidence and electronic signature in Indonesia : te probative value of digital evidence

Dr. Edmon Makarim, Kom, SH., LLM

Pario Communications Limited, 2013

Bgaiamana Pengaturan tandatangan elektronik dan alat bukti elektronik di Indonesia

Yuridis Normatif

Nilai pembuktian data elektronik sebagai alat bukti digital

sangat terkait dengan mekanisme sistem keamanan. System keamanan yahng lemah akan melemahkan data tersebut sebagai alat bukti. Di Indonesia alat butki elektronik sebagai alat bukti kedudukannya sangat lemah karena tidak adnanya kepastian hukum yang jelas mengenai alat bukti elektronik di Indonesia. Konsekuensinya hakim bebas untuk menerima atau menolak bukti-bukti elektronik tersebut sebagai alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan,.

3

Legalitas Tanda Tangan Secara Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perjanjian Ditinjau Dari Hukum Acara Perdata

HERMANUS ORONG

e-jurnal Gloria Yuris Universitas Taruma Negara

Apakah Tanda Tangan Secara Elektronik Dapat Dijadikan Alat Bukti Yang sah Menurut Hukum Acara Perdata?

(1). Bahwa tanda tangan elektronik merupakan identitas elektronik sebagai bukti atas persetujuan dalam perjanjian. (2). Bahwa pembuktian dalam hal ini harus mengacu pada ketentuan serta asas dan teori pembuktian yang telah ada. (3). Bahwa dalam menyelesaikan masalah terkait dengan masalah tersebut, pengadilan umum merupakan media tempat penyelesaiannya, baik secaralitigasimaupunnon litigasi.

4

Electronic

evidence in

intellectual

property

litigation:

from the Chinese

perspective

Dr. Jiong He

Pario Communications Limited, 2013

Law Review

Alat Bukti Elektronik terhadap HAKI dari sudut pandang Negara China

Legal Research

Sejak diberlakukannya Hukum perdata baru, posisi hukum dari alat bukti elektronik telah disamakan kedudukannya dengan alat bukti biasa. di Cina peran IP, dan peran alat bukti elektronik menjadi lebih signifikan. Dalam praktek hukum/ pengadilan akan menentukan apakah bukti yang diterima akan diteliti berdasarkan kriteria yang sah, menurut keaslian dan relevansi. Jika bukti dapat diterima, pengadilan akan lebih menentukan kekuatan pembuktian berdasarkan kebenaran dan integritas alat bukti elektronik. Mekanisme ini adalah salah satu perbaikan terbaru dalam proses hukum di Cina.

5

Electronic

evidence in

Tanzania

Adam J. Mambi

Pario Communications Limited, 2013

Law Review

Posisi Hukum alat bukti elektronik di Tanzania

Legal research

Singkatnya, pengadilan di Tanzania mengenai alat bukti elektronik dalam hukum proses telah berubah secara signifikan dalam perubahan dalam hukum pembuktian di

Tanzania. Keputusan dalam kasus Trust Bank Ltd v

Le-rawa Enterprises Ltd, Joseph Mbui Magari, Lawrence

Macharia, 24 di mana pengadilan menganggap keputusan

Pengadilan Tinggi di Tanzania Dewan Pemasaran Kapas

v Cogecot Cotton Perusahaan SA.25 kasus sebelumnya ini memiliki memungkinkan penggunaan komunikasi elektronik untuk mengirim arbitrase penghargaan kepada Pengadilan Tinggi, hal ini bertentangan dengan Peraturan 4 dari Arbitrase Ordinance.26 Dalam hal ini, pengadilan sebelumnya mempermasalahkan apakah pengajuan penghargaan arbitrase oleh kurir DHL dan tidak melalui pos tercatat, seperti yang dipersyaratkan oleh hukum, sehingga pengadilan mengsahkan penghargaan tersebut karena tercata dalam dokumen elektronik yang pada surel DHL.

6

Search and seizure for electronic evidence: procedural aspects of UAEs legal system

Khaled Aljneibi

Pario Communications Limited, 2013

Law Review

Mengukur Alat Bukti elektronik pada Sistem Hukum UAEs

,

Makalah ini telah memberikan rincian aturan untuk pengumpulan bukti elektronik sesuai dengan UU Acara Pidana di UAE. Hal ini dipertanyakan apakah Prosedur Hukum Hukum Pidana di UEA

cukup untuk mengatur proses pengumpulan alat bukti elektronik. Disarankan bahwa prosedur untuk mengumpulkan alat bukti elektronik di bawah CPL harus dilengkapi dan ditambah denganaturan lain untuk memberikan prosedur kerja yang efisien berkaitan dengan deteksi kejahatan dan investigasi. CPL tidak bisa berdiri sendiri atau tetap statis, dan perlu ditinjau, khususnya mengenai hak pencarian dan penyitaan alat bukti elektronik. Hal ini dikarenakan segala kekurangan dalam proses penyidikan akan mengakibatkan kegagalan untuk menuntut kasus. Oleh karena itu, diperlukan untuk mengubah aturan untuk pencarian dan penyitaan bukti elektronik. Mengubah CPL adalah sangat penting. Mengubah aturan akan meningkatkan administrasi sistem peradilan pidana di UAE. Selain itu, pemerintah UEA harus memegang peran penting dengan memberikan bukti digital lebih terampil spesialis dan aparat penegak hukum.

Singkatnya, UAE perlu menemukan suatu penemuan hukum atau prinsip dan aturan yang berhubungan dengan pencarian dan penyitaan alat bukti elektronik. Setelah tercapainya tujuan tersebut , sangat disarankan bahwa pemerintah UEA harus mengadopsi prinsip-prinsip internasional yang diusulkan untuk prosedur yang berkaitan dengan alat bukti elektronik yang disusun oleh

Asosiasi Kepala Polisi Petugas di Inggris 'Baik Panduan Praktek untuk Bukti Berbasis Komputer (ACPO, 2012) '. Prinsip-prinsip ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk

memastikan hukum acara yang lebih efektif yang berkaitan dengan pengumpulan bukti elektronik.

7

Electronic

evidence and

the Croatian

Criminal

Procedure Act

Drazen Skrtic

Pario Communications Limited, 2013

Law Review

Alat bukti elektronik dalam Undang-Undang Pidana Kroasia

Sejak diberlakukannya Hukum perdata baru di kroasia , alat bukti elektronik disamakan kedudukannya dengan alat bukti biasa dalam UU Pidana Kroasia.. Mekanisme ini adalah salah satu perbaikan terbaru dalam proses hukum di Kroasia.

8

TINDAK PIDANA PERJUDIAN MELALUI INTERNET (INTERNET GAMBLING) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

HETTY HASSANAH

Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Komputer Indonesi

Majalah Ilmiah UNIKOM Vol.8, No. 2

Pengaturan tindak pidana perjudian ditinjau dari UU ITE

Yuridis Normatif

untuk membuktikan adanya tindak pidana perjudian melalui internet tersebut harus melalui berbagai proses mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pembuktian, dengan tetap memperhatikan ketentuan Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia dalam hal ini KUHAP, kecuali ditentukan lain atau secara khusus dalam Undang-Undang ITE. Berdasarkan Pasal 43 ayat (3) dan ayat (6) Undang-Undang ITE, ditegaskan bahwa penggeledahan dan/atau penyitaan sistem elektronik serta penangkapan dan penahanan pelaku cyber crime harus dilakukan atas izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Ketentuan di atas merupakan suatu hal yang sulit untuk diwujudkan, karena tidak dimungkinkan mendapatkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan hal termaksud dalam waktu yang sangat singkat itu. Ketentuan di atas menjadi salah satu kendala dalam menangani kasus perjudian melalui internet ini. Kondisi tersebut menjadi alasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk segera membuat peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang kejahatan di dunia maya (cyber crime), tidak terkecuali perjudian melalui internet (internet gambling), termasuk merumuskan kembali ketentuan mengenai proses penyidikan sampai persidangannya, agar dapat dilaksanakan.

9

Authenticating Digital Evidence from the Cloud

Major Scott A. McDonald

JUNE 2014 THE ARMY LAWYER DA PAM 27-50-493

Masalah autentifikasi data pada cloud, dan dasar hukumnya dan apa bias dijadikan alat bukti dalam sebuah permasalahan hukum?

Menyimpan data di cloud menjadi lebih dan lebih

lumrah. Frekuensi penggunaan kemungkinan hanya akan terus untuk meningkatkan. Akibatnya, semakin banyak yang berperkara akan beralih ke cloud untuk bukti yang relevan. untuk memastikan diterimanya dari bukti di pengadilan, pengacara perlu membangun landasan yang cukup untuk otentikasi. Belum ada ketentuan yang jelas secara internasional tentang penyimpanan data elektronik pada akun seseorang dapat dijadikan sebagai alat bukti elektronik. Hal ini dikarenakan akun cloud seseorang juga melibatkan privasi dari orang tersebut

10

Tinjauan tentang dasar hukum transaksi

Elektronik di indonesia

M. Yusron, MZ SH., MH

Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, Oktober 2010: 63 - 76 ISSN 1412 - 0887

1. pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia

2. upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik

1. Pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia khususnya liungkup hukum privat didasarkan atas ketentuan dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan yang menganut asas terbuka atau kebebasan berkontrak, maksudnya memberikan kebebasan kepada pihak-pihak dalam membuat perjanjian asalkan ada kata sepakat, cakap bertindak dalam hukum, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dalam transaksi elektronik dituntut adanya itika baik para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 338 ayat (3) KUH Perdata. Perjanjian itu sendiri terjadi pada saat kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan.

2. Upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak mengenai pilihan hukum dan lembaga yang menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Sebagaimana umumnya bahwa perselisihan dalam transaksi terjadi karena adanya kerugian yang diderita oleh salah satu pihak baik karena adanya wanprestasi maupun karena adanya perbuatan melanggar hukum. Penyelesaian melalui lembaga peradilan umum selalu dihindari, karena memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Penyelesaian lebih dipilih melalui mengginakan arbitrase dengan berbagai keistimewaannya salah satu di antaranya tidak memakan waktu, biaya dan tenaga bila dibandingkan dengan penyelesaian melalui peradilan umum.

11

Tanda tangan dokumen

Elektronik dalam perspektif pembuktian

Hukum acara perdata di indonesia

Yuris Wibowo Susanto, Sukarno Aburaera, Hasbir Paserangi

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

Tanda tangan dokumen

Elektronik dalam perspektif pembuktian

Hukum acara perdata

Penelitian ini diadakan di Kota Makassar di kantor Notaris, Pengadilan Negeri

Makassar dan beberapa Perguruan Tinggi di Makassar.

yakni pendekatan normatif dan pendekatan empirik

Hakikat digital signatureadalah sebagai alat bukti identifikasi para pihak, sebagai syarat formalitas, sebagai tanda persetujuan, mengefisiensikan maksud dari para pihak dalam sebuah perikatan yang terjadi melalui transaksi elektronik.Kekuatan beban pembuktian yang melekat dalam digital signature ditinjau dari pembuktian hukum acara perdata memilki kekuatan beban bukti setingkat dengan Akta Bawah Tangan (ABT), oleh karena itu kekuatan beban bukti yang melekat dalam tanda tangan pada surat elektronik hanya kekuatan pembuktian formil dan pembuktian materil. Mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat digunakan oleh para pihak jika terjadi wanprestasi dalam transaksi elektronik yaitu dapat diselesaikan dengan menggunakan jalur nonlitigasi dan jalur litigasi. Namun perkembangan media online terutama transaksi elektronik, khusus untuk perkara kecil yang tidak banyak jumlah nilai objek perkaranya lebih efesien kiranya jika diselesaikan melalui Online Dispute Resolution (ODR). \

Dalam rangka meningkatkan kekuatan pembuktian surat elektronik menjadi akta otentik, maka seyogiayanya dalam peraturan perundang-u dangan yang terkait dengan penerbitan akta otentik. Ke depannya sudah dilibatkan Notaris bersama dengan lembaga Certification Authority (CA) dalam setiap penerbitan akta elektronik.

12

Tinjauan yuridis terhadap perjanjian elektronik berdasarkan undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dan kitab undang-undang hukum perdata

Abdul Munif

Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda

Jurnal Kopertis Wilayah 11 FEBRUARI 2012, VOLUME 4 NOMOR 1

perjanjian elektronik berdasarkan undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dan kitab undang-undang hukum perdata

Penelitian Penelitian menggunakan beberapa me-tode pendekatan yaitu sebagai berikut:

1. Metode yuridis normatif yaitu suatu ben-tuk penelitian kepustakaan (Library Re-search),

2. Metode yuridis empiris yaitu suatu bentuk penelitian lapangan (Fieldwork Research) merupakan suatu

Kita sadari bahwa globalisasi ini telah membawa masyarakat untuk pemanfaatan teknologi dalam aktifitas sehingga telah sa-ngat mempengaruhi disegala aspek baik so-sial, budaya dan hukum, dimana tidak ada la-gi batas-batas geografis dan dengan cepat di-terima oleh masyarakat sehingga dapat me-ningkatkan kemajuan dan peradapan ma-nusia.

Kontrak elektronik merupakan suatu wujud inisiatif dan para pihak dalam mem-buat perikatan melalui sistem elektonik (in- ternet). Baik KUH Perdata maupun UU No.11 Tahun 2008 telah memberikan dasar yang jelas bagi keabsahan kontrak elektronik ini.

Pelaksanaan kontrak elektronik oleh ke-dua belah pihak yang telah sepakat, maka pe-laksanakan kontrak elektronik tersebut dila-kukan dalam bentuk pembayaran (payment) yang dilakukan oleh pihak debitur yang dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas internet atau E-Banking, namum tetap bertumpu pada sistem keuangan nasional, yang mengacu pa-da sistem keuangan lokal.

Pelaksanaan perjanjian elektronik mungkin terjadi suatu wanprestasi yang di-lakukan oleh salah satu pihak, sehingga da-lam pembuatan perjanjian elektronik diperlu-kan point penyelesaian jika terjadi wanpres-tasi tersebut.

Asas itikad baik dalam perjanjian elek-tronik merupakan landasan utama yang ter-tanam dihati sanubari para pihak dalam pe-laksanaan perjanjian elektronik tersebut se-hingga tidak merugikan atau dirugikan salah satu pihak.

Adanya Sistem Elektronik maka telah memunculkan salah satu hal yang baru yaitu adanya suatu bentuk alat bukti yang baru dan sah secara hukum, yaitu informasi elektronik, dokumen elektronik atau pun hasil cetak dari informasi elektronik dan dokumen elektro-nik (pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.11 Tahun 2008).

13

Kekutan pembuktian bukti elektronik dalam

Persidangan pidana umum

Ignatius Janitra

Jurnal Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta

Bagaimana interpretasi hukum untuk mempertimbangkan bukti

elektronik dalam proses peradilan perkara pidana umum

Yuridis Normatif

Aturan mengenai keberadaan bukti elektronik belum diatur dalam KUHAP. Ketika bukti elektronik dihadirkan dalam persidangan, hakim sebagai aparat penegak hukum yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara diharapkan mampu melakukan interpretasi hukum mengenai bukti elektronik dengan melakukan penemuan hukum. Dalam interpretasi hukum hakim akan mengubah status bukti elektronik dengan melakukan generalisasi bukti elektronik. Generalisasi bukti elektronik adalah mengubah status bukti elektronik menjadi alat bukti surat atau petunjuk, yang merupakan alat bukti yang sah menurut hukum pidana Indonesia. Dalam penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis, hakim mengakui bukti elekteronik sebagai barang bukti yang digunakan untuk mendukung dan menguatkan keberadaan alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Bukti elektronik dapat dikatakan sebagai perluasan dari alat bukti surat atau petunjuk, yang merupakan alat bukti yang sah dan dapat dihadirkan di persidangan setelah hakim melakukan penemuan hukum dan menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum serta memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti. Dalam kasus yang diteliti penulis, bukti elektronik diinterpretasikan sebagai barang bukti. Untuk menilai keabsahan dari alat bukti tersebut, hakim membutuhkan keterangan ahli, uji lab keabsahan bukti elektronik tersebut. Agar bukti elektronik memiliki nilai pembuktian yang sempurna juga harus didukung dengan keterangan saksi yang mendukung

14

Digital data

encryption

aspects of

criminal law

and dilemmas

in Slovenia

Miha epec

Pario Communications Limited, 2013

Law Review

Bagaimana dilemma digital data enskripsi dari tindakan pidana dalam h hukum slovenia

Legal research

Standar enkripsi yang terus berkembang dan menjadi lebih dan lebih aman. Ini bagus untuk perlindungan data digital. Namun, menyajikan serius ancaman bagi menanggapi tindak pidana di mana bukti digital penting untuk dilindungi melalui enkripsi.

Data yang dilindungi dengan cara ini menjadi tak terjangkau hukum oleh penegak hukum. Ketika negara tidak dapat memantau komunikasi digital dan memperoleh data digital dari tersangka tindak pidana, efisiensi criminal penuntutan menjadi dipertanyakan. Ada berbagai upaya untuk istirahat atau

melemahkan kriptografi digital - karena fisik dan digital metode tidak berhasil, para legislator berbalik hukum. Beberapa solusi yang mereka telah dipertimbangkan adalah: pembacaan sandi; mencegah penggunaan kriptografi; itu menggunakan kriptografi lemah; escrow kunci; pengenaan standar kriptografi, keterbatasan berlisensi dan hukum; penolakan untuk mendekripsi sebagai tindak pidana. Tak satu pun dari metode telah terbukti menjadi sempurna, karena tidak ada solusi terbaik ketika berhadapan dengan enkripsi digital. Saya T perlu terus menimbang privasi setiap orang dan kebutuhan untuk melindungi data digital di satu sisi, dan penuntutan yang efektif tindak pidana di sisi lain. Ada juga hak istimewa terhadap diri memberatkan untuk pertimbangkan. Seorang tersangka atau terdakwa tidak dapat diminta untuk menyerah password enkripsi dan kunci, karena ia akan memberatkan dirinya sendiri. Yang diperdebatkan, ia akan dengan cara bersaksi bahwa ia tahu isi yang dienkripsi pada media digital tertentu. Praktek konstitusional Amerika Serikat telah menemukan sebuah pengecualian untuk aturan ini dalam bentuk doktrin kepastian ketika pemerintah bisa membuktikan bahwa tersangka mengetahui password dekripsi dan konten yang seharusnya dienkripsi. Namun, kekebalan masih harus diberikan atas tindakan memproduksi isi terenkripsi dari komputer yang Data yang diperoleh melalui tindakan ini dapat, di sisi lain, akan digunakan sebagai bukti di pengadilan.

15

CATATAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Shidarta*

Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009

ISSN : 2085 1979

Ulasan tentang kekuatan kepastian hukum dalam UU ITE

Yuridis Normatif

Dengan memperhatikan sejumlah catatan atas UU-ITE tersebut, dapat disimpulkan bahwa UU-ITE ini memang masih belum cukup komprehensif mengatur keamanan bertransaksi elektronik. Prinsip-prinsip pengaturan yang seharusnya sudah diatur dalam undang-undang ini, terbukti masih penuh dengan celah, sehingga harus menunggu perumusannya dalam berbagai peraturan pemerintah. Keberanian pembentuk undang-undang untuk menetapkan target menyelesaikan semua peraturan pemerintah itu dalam waktu dua tahun ke depan, tentu patut dihargai, kendati janji-janji seperti ini seringkali tidak terealisasi di kemudian hari.

Kelemahan yang paling menonjol dari UU-ITE terletak pada ketidakmampuan undang-undang ini bersinergi dengan undang-undang lain yang memiliki materi muatan berdampingan. Sebagai contoh, hubungan antara UU-ITE dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sama sekali tidak terlihat. Bahkan, sebagaimana telah disinggung di atas, asas pertanggungjawaban dalam UU-ITE ternyata tidak mengakomodasi asas pertanggungjawaban pelaku usaha yang sudah diintroduksi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Belum lagi terkait dengan hal-hal lain seperti kemungkinan gugatan class action, NGO's legal standing, atau citizen lawsuit, yang sama sekali tidak tertampung dalam UU-ITE. Padahal, model-model gugatan seperti ini sudah eksis di berbagai peraturan yang menyentuh kepentingan publik yang sangat luas seperti halnya informasi dan transaksi elektronik ini.

Satu-satunya pencapaian yang cukup signifikan dari UU-ITE adalah diterimanya informasi elektornik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti hukum yang sah. Penerimaannya ini memiliki arti penting secara formal, kendati dalam praktik beberapa putusan hakim sudah pula memasukkannya sebagai alat bukti pendukung dalam rangka membangun keyakinan hakim.

Beratnya ancaman-ancaman pidana dalam UU-ITE tidaklah menjadi jaminan bahwa undang-undang ini akan memberi efek jera bagi pelaku pelanggaran di bidang ini. Implementasi dari pasal-pasal ini tentu harus diuji melalui kasus-kasus konkret yang bakal diputuskan di pengadilan. Beberapa pasal yang memuat ancaman pidana tersebut juga terbuka peluang untuk tumpang tindih dengan undang-undang lain. Ancaman pidana untuk informasi elektronik yang melanggar norma kesusilaan, misalnya, besar kemungkinan akan berbenturan dengan ancaman serupa pada Undang-Undang Antipornografi. Jika sasaran pornografi itu untuk kalangan anak-anak, maka UU-ITE juga akan bersentuhan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Disparitas besaran sanksi pidana yang tersebar pada berbagai undang-undang di luar KUHP saat ini, disadari atau tidak disadari, turut andil menyumbang pada ketidakpastian penegakan hukum di Indonesia. Seharusnya UU-ITE tidak ikut-ikutan menambah kerumitan tersebut

16

PENGAKUAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK

DALAM HUKUM PEMBUKTIAN INDONESIA

Julius Indra Dwipayono Singara, S.H., D.E.A.

www.legalitas.org

Tanda tanga Elektronik dalam hukum pembuktian di Indonesia

Legal research

Pada akhir dari tulisan ini, Penulis menyimpulkan bahwa penggunaan teknik kriptologi dan sertifikat elektronik merupakan salah satu cara yang aman untuk melindungi keotentikan, keintegrasian dan kerahasiaan suatu akta elektronik terutama dalam transaksi elektronik. Namun alangkah baiknya, bila ada suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus pemanfaatan teknik kriptologi yang menjamin kerahasiaan suatu pesan demi menghindari penyalahgunaannya79, di mana peraturan perundang-undangan ini mewajibkan untuk melaporkan kepada Badan Pengawas dan/atau Lembaga Sandi Negara terhadap segala bentuk enkripsi atau penyandian atau teknik kriptologi yang digunakan oleh PSE ataupun penyedia jasa lainnya bahkan termasuk Pemakai pribadi. Akta elektronik dan tanda tangan elektronik dapat diakui mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum yang sama dengan akta dan tanda tangan manuskrip dengan kondisi bahwa subyek hukum terkait akta elektronik dan tanda tangan elektronik ini harus dapat diidentifikasi dengan sangat meyakinkan, serta akta elektronik dan tanda tangan elektronik ini dibuat dan disimpan dalam kondisi yang menjamin keintegritasannya.

17

MASALAH HUKUM PEMBUKTIAH DALAM ELEKTRONIK FUNDS TRANSFER

Ny. IndrawatiSoewarso r S.H.

SEMINAR PENGATURAN TENTANG ELEKTRONIK FUNDS TRANSFER

Bagaimana masalah hukum pembuktian elektronik pada funds transfer

Legal research

Berdasarkan uraian termaksud diatas dapat disimpulkan bahwa Hukum Pembuktian sebagaimana tercantum dalam KUHPerdata Buku IV tentang Bukti dan Daluwarsa perlu disesuaikan dengan perkembangan perundang-undangan yang terjadi, masing-masing :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 197:1. tentang Ketentuan Pokok-pokok Kearsipan yang mengakui bentuk arsip non tekstual;

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang antara lain menegaskan bahwa dokumen perusahaan yang telah telah dimuat dalam mikro film atau media lainnya (CDROMi WORM) dan atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah.

18

Perluasan Alat Bukti Dalam Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Moch. Juli Pudjiono1

Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

Sosial Volume 14 Nomor 1 Maret 2013

Menganalisa alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Menganalisa tentang perluasan alat bukti dalam KUHAP menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam penelitian ini dipergunakan tipe penelitian normatif)

1. Alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan/atau alat bukti lain termasuk yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memperkenalkan alat bukti lain sebagai perluasan alat bukti yang telah diatur dalam KUHAP, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menambah alat bukti lain sebagai perluasan alat bukti yang terdapat dalam KUHAP. Perluasan alat bukti ini dapat dimaklumi dengan meningkatnya aktifitas elektronik, apalagi dihubungkan dengan delik pidana lingkungan yaitu Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang pembuktian terjadinya dapat dipergunakan melalui alat tersebut, tidak mungkin hanya mengandalkan pembuktian perkara pidana dalam hal ini perkara pidana lingkungan dalam delik-delik tradisional dengan menggunakan alat-alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa; dianggap sudah tidak memadai lagi, sehingga perlu dicantumkan alat-alat bukti baru (perluasan alat bukti) dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat mengungkap tindak pidana lingkungan hidup.

19

Digital

Evidence in

Malaysia

Gita Radhakrishna

Pario Communications Limited, 2013

Law Review

Penerapan alat bukti elektronik di Malaysia

Ketentuan-ketentuan s 90A Undang-Undang Bukti 1950 memiliki jelas memfasilitasi penggunaan 'komputer yang dihasilkan bukti' di pengadilan Malaysia. Namun, meskipun baru-baru ini amandemen Undang-Undang Bukti tahun 2012, diketahui bahwa legislatif belum melihat perlunya untuk mengubah 'komputer' bahasa tertentu dari undang-undang untuk lebih Istilah netral 'elektronik' atau 'digital'. Sebagai pertanyaan seperti apakah 'dokumen' dari peralatan tertentu yang 'Dihasilkan komputer' akan terus muncul. Dua utama masalah yang muncul dalam praktek menjadi apakah 'sertifikat' dalam ayat (2) harus wajib diproduksi di setiap kasus, dan apakah ayat (6) dapat digunakan untuk menghindari ketentuan ayat (1) telah jelas ditangani oleh pengadilan. Namun, sama-sama jelas, perbedaan antara keaslian dan diterimanya belum dihargai oleh pengadilan atau oleh pengacara yang mencoba untuk menantang diterimanya tertentu yang dihasilkan komputer dokumen '. Sementara itu, perubahan terbaru untuk Bukti Act 1950 telah berakibat besar, karena membebani mendukung penuntutan, membuat menantang bukti hampir tidak mungkin. Ini akan lebih baik jika ketentuan opt-in mirip dengan s 73AA bias diperkenalkan untuk semua tindakan, baik perdata maupun pidana, menyediakan untuk perjanjian pra-sidang secara tertulis antara pihak setuju untuk penerimaan bukti tertentu di sidang.

20

The trojan

horse defence

a modern

problem

of digital

evidence

Miha epec

Pario Communications Limited, 2013

Law Review

Permasalahan adanya tojan horse pada alat bukti elektronik

Legal research

Dilema yang disajikan dalam artikel ini jelas menunjukkan kompleksitas kode berbahaya dan potensi untuk pertahanan Trojan horse. Namun, bukti digital spesialis dibatasi oleh pemerintah dan lembaga di mana mereka bekerja, baik dalam pendidikan mereka disediakan dan dengan sumber daya teknis (hardware, software) yang tersedia bagi mereka. Teknologi keahlian dapat menjadi masalah yang signifikan terutama di negara-negara miskin. Di Slovenia, teknis dan perangkat lunak peralatan memadai. Namun, kurangnya dana hadiah problem.49 sebuah Pertahanan Trojan horse dapat digunakan dalam dua peran: untuk membebaskan seorang terdakwa tidak bersalah atau tersangka, dan sebagai terakhir resor pelaku nyata, terhadap siapa semua bukti menunjuk ke kesalahannya. Dalam kasus tersebut, kuda Trojan pertahanan menjadi taktik yang tujuannya adalah untuk menyediakankebingungan dan ketidakpastian dalam benak para juri dan Hakim. Versi pertahanan yang digunakan akan sering sulit untuk dideteksi. Beban pembuktian, tentu saja, pada penuntutan, dan pada kenyataannya itu adalah pada pemeriksaan bukti digital.

21

Authentication of Electronic Records: Limitations of Indian Legal

Approach

Farooq A. Mir

Department of Law, University of Kashmir

JICLT

Journal of International Commercial Law and Technology

Vol. 7, Issue 3 (2012)

Permasalahan autentik pada rekaman elektronik pada hukum India

Legal research

Undang-undang IT di India adalah satu-satunya undang-undang yang mengatur transaksi elektronik dan untuk tujuan diresepkan Prosedur untuk otentikasi catatan elektronik dan tanda tangan. Awalnya, UU IT adalah teknologi yang spesifik dan telah diresepkan prosedur tertentu untuk otentikasi catatan elektronik. Prosedur ini memiliki sendiri keterbatasan. Posisi hukum ini sekarang berdiri berubah setelah amandemen UU IT. The IT Act kini, di Selain tanda tangan digital, tanda tangan elektronik yang disediakan untuk otentikasi catatan elektronik. Akan Tetapi, diperlukan fine tuning belum dilakukan dalam ketentuan lain sehingga dapat menghilangkan inkonsistensi di dalamnya. Prosedur yang ditentukan untuk otentikasi catatan elektronik tidak dapat membantu dalam transaksi tersebut di mana waktu sangat penting dan penentu hak dan kewajiban para pihak. Ini adalah alasan bahwa itu adalah menyarankan bahwa layanan stamping waktu juga dapat dibuat wajib untuk otentikasi catatan elektronik.

22

Urgensi Cyberlaw Di Indonesia Dalam Rangka Penangan Cybercrime Disektor Perbankan

Nazarudin Tianotak

Kesiapan UU dalam menangani cyber crime

Legal research

beragam dan terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi, tetapi jika diperhatikan lebih seksama akan terlihat bahwa banyak di antara kegiatan-kegiatan tersebut memiliki sifat yang sama dengan kejahatan-kejahatan konvensional. Perbedaan utamanya adalah bahwa cybercrime melibatkan komputer dalam pelaksanaannya. Kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan keberadaan data dan sistem komputer perlu mendapat perhatian khusus, sebab kejahatan-kejahatan ini memiliki karakter yang berbeda dari kejahatan-kejahatan konvensional.

23

Kekutatan Pembuktian tandatangan elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam perspektif hukum acara di Indonesai dan belanda

Dini Sukma Listyana

Perbandingan pengakuan tandatangan elektronik sebagai alat bukti didalam UU Indonesai dan Belanda

Legal research

suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus pemanfaatan teknik kriptologi yang menjamin kerahasiaan suatu pesan demi menghindari penyalahgunaannya79, di mana peraturan perundang-undangan ini mewajibkan untuk melaporkan kepada Badan Pengawas dan/atau Lembaga Sandi Negara terhadap segala bentuk enkripsi atau penyandian atau teknik kriptologi yang digunakan oleh PSE ataupun penyedia jasa lainnya bahkan termasuk Pemakai pribadi. Akta elektronik dan tanda tangan elektronik dapat diakui mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum yang sama dengan akta dan tanda tangan manuskrip dengan kondisi bahwa subyek hukum terkait akta elektronik dan tanda tangan elektronik ini harus dapat diidentifikasi dengan sangat meyakinkan, serta akta elektronik dan tanda tangan elektronik ini dibuat dan disimpan dalam kondisi yang menjamin keintegritasannya.

24

Pengakuan tanda tangan pada suatu dokumen elektronik

Di dalam pembuktian hukum acara perdata di indonesia

Tutwuri handayani.

TESIS

Universitas Dipenegoro

Pengakuan Tanda Tangan Pada Suatu Dokumen Elektronik

Legal research

Dokumen elektronik didalam hukum pembuktian di Indonesia, diakui esensinya setelah di atur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia hal tersebut berdasarkan ketentuan pada Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Menurut Pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah, sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Seringkali Badan Negara yang berwenang mengeluarkan Undang-Undang, antara satu Undang-undang dengan Undang-Undang yang lain saling bertentangan satu sama lain, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, maka terhadap kasus yang aturan hukumnya bertentangan satu dengan yang lain, maka hakim berpatokan pada azas lex specialis derogate lex generalis, artinya Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menyampingkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, kecuali yang ditentukan pada Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yaitu ketentuan mengenai Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan; b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

25

Keabsahan tanda tangan elektronik sebagai

Alat bukti yang sah ditinjau dalam hukum acara

Perdata

Joan Venzka Tahapary

T e s i s

Fakultas hukum

Program studi magister kenotariatan

Depok

Kekuatan hukum dan keabsahan tanda tangan elektronik sebagai

alat bukti

Legal research

Tanggapan yang timbul mengenai keabsahan tanda tangan

elektronik sebagai bukti adalah berbeda-beda dari penafsiran

hukum masalah yang dialami. Dalam Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

keabsahan tanda tangan elektronik diakui secara sah, Dalam

pasal 5 ayat 1 dan 2 UU.ITE hanya disebutkan bahwa dokumen

elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum

yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah

sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, tetapi

apabila penulis melihat perbandingan antara Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka keabsahan tanda tangan

elektronik tidaklah sah, dikarenakan dalam UUJN bukti yang

sah itu adalah akta otentik dan akta bawah tangan. Dan Notaris

itu sendiri harus datang, melihat dan mendengar dalam setiap

pembuatan akta dan ditanda-tangan oleh notaris itu sendiri dan

para penghadap masing-masing langsung di tempat

dibacakannya akta itu oleh Notaris. Dan haruslah tanda tangan

asli dari Notaris dan para penghadap bukanlah tanda tangan

elektronik yang bisa ditorehkan di dalam akta tersebut karena

kekuatan pembuktian dalam hukum di Indonesia tidaklah sah.

25

Aspek Hukum Tanda Tangan Digital

CecepS utrisn

Aspek hukum Dalam Tanda Tangan Elektronik

Legal research

Penggunaan telinik kriptologi dan sertifikat elelrtronik merupakan salah satu cara yang aman untuk melindungi keotentikan, keintegrasian dan kerahasiaan suatu akta elektronik terutama dalam transaksi elektronik. Namun alangkah baiknya, bila ada suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus pemanfaatan telinik kriptologi yang menjamin kerahasiaan suatu pesan demi menghindari penyalahgunaannyad,i mana peraturan perundang-undanganin i mewajibkanu ntuk melaporkan kepada Badan pengawas dan/atau Lembaga Sandi Negara terhadap segala bentuk enkripsi atau penyandian atau teknik kriptologi yang digunakan oleh PSEa taupunp enyediaja sa lainnyab ahkant ermasukP emakapi ribadi. Akta elektronik dan tanda tangan elektronik dapat diakui mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum yang sama dengan akta dan tanda tangan manuskrip dengan kondisi bahwa subyek hukum terkait akta elektronik dan tanda tangan elektronik ini harus dapat diidentifikasid engans angatm eyakinkans, erta akta elektronikd an tanda tangan elektronik ini dibuat dan disimpan dalam kondisi yang menjamin keintegritasanny

26

Transaksi elektronik ditinjau dari aspek hukum perjanjian dan

Pembuktian

syarifa mahila

jurnal ilmiah universitas batanghari jambi vol.9 no.3 tahun 2009

Bagaimana keabsahan transaksi melalui elektronik

dalam hubungannya dengan hukum

kontrak

Legal research

dikenal di Indonesia dengan istilah Kontrak Dagang Elektronik (KDE ) sudah merupakan kebutuhan bagi pelaku bisnis. Untuk itu perlu dikaji tentang keabsahan KDE tersebut baik dari segi hukum kontrak maupun dari hukum permbuktian . Pengaturan tentang KDE sudah ada yakni dengan disahkannnya UU ITE. Namun karena pengaturannya masih minim maka masih tetap mengacu pada KUHPerdata dan Hukum Acara Perdata selain UU ITE itu sendiri.

KDE jika ditinjau dari hukum kontrak dan hukum pembuktian keabsahannya tidak perlu diragukan lagi, namun untuk menjamin keaslian bukti tertulis sebaiknya tetap dilakukan kontrak dengan bukti fisik. KDE hanya untuk mempercepat proses transaksi, sedangkan untuk alat bukti tetap dilakukan kontrak secara fisik dengan mengirimkan surat kontrak tersebut kelamat masing-masing, sehingga tanda tangannya dijamin keasliannya.

27

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak

Pidana penistaan agama melalui jejaring sosial

Dikaitkan dengan undang-undang no 11 tahun 2008

Tentang informasi dan transaksi elektronik

Muhammad Andri Fauzan Lubis

Jurtnal Universitas Sumatera Utara

Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penistaan

agama di jejaring sosial

Legal research

Pertanggungjawaban pelaku penistaan agama melalui jejaring social dapat dimintakan apabila telah memenuhi syarat:

1) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan,

2) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat (adanya kesalahan).

3) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.

Untuk adanya kesalahan sehingga seseorang itu dapat dipidana, harus ada:

1) melakukan perbuatan pidana,

2) diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab,

3) mempunyai bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan,

4) tidak adanya alasan pemaaf.

Selain memenuhi syarat untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya, pelaku juga harus memenuhi unsur-unsur yang tertuang dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni:

1) Setiap orang;

2) dengan sengaja dan tanpa hak;

3) Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan indiviu dan/atau kelompok tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).

28

Keabsahan kontrak dalam transaksi

Komersial elektronik

Totok Tumangkar

Hukum Dan Dinamika Masyarakat Vol.10 NO.1 Oktober 2012

ISSN : NO. 0854-2031

Transaksi komersial ecommerce

Legal research

Proses transaksi komersial elektronik dan transaksi komersial konvensional memiliki kesamaan, yaitu terdiri dari proses penawaran, penerimaan penawaran (pembelian), pembayaran, dan penyerahan barang. Yang membedakan kedua transaksi tersebut hanyalah bahwa transaksi komersial elektronik dilakukan tanpa tatap muka dan prosesnya terjadi lebih cepat serta lebih mudah. Karena tidak ada perbedaan konsep antara kedua jenis transaksi tersebut, maka suatu kontrak yang terjadi dalam transaksi komersial elektronik pada dasarnya adalah sama dengan kontrak yang ter jadi dalam transaksi komersial konvensional dan dengan demikian hal-hal yang berlaku mengenai kontrak konvensional dapat diberlakukan pula untuk kontrak elektronik Namun, pada prakteknya (khususnya di Indonesia) masih terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai keabsahan suatu kontrak elektronik Para pelaku transaksi komersial elektronik berpendapat bahwa kontrak yang terjadi akibat transaksi komersial elektronik adalah sah. Dari kalangan notaris-pun berpendapat bahwa kontrak elektronik dapat dianggap sah dengan mengingat bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak bias dijadikan obyek dalam kontrak elektronik, misalnya benda yang terdaftar (benda tidak bergerak). Sebaliknya, pihak pengadilan berpendapat bahwa kontrak demikian sulit dikatakan sebagai kontrak yang sah karena tidak ada jaminan bahwa kontrak tersebut telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya dalam hal kapan terjadinya kesepakatan dan kecakapan para pihak. Untuk mengatasi masalah mengenai kapan terjadinya kesepakatan, terdapat kesepakatan di antara para hakim

29

Implementasi konvensi-konvensi internasional

Mengenai digital signature dalam undang

Undang no. 11 tahun 2008 tentang informasi

Dan transaksi elektronik

Farah Baby Agustina

Implementasi konvensi-konvensi internasional

Mengenai digital signature

Legal research

Dalam melakukan transaksi elektronik, penggunaan digital signature memiliki kedudukan dan fungsi sebagai pengaman jalannya pertukaran informasi elektronik yang terjadi diantara para user (pengguna) karena digital signature memiliki kegunaan yang sama seperti tanda tangan konvensional, yaitu digunakan sebagai alat verifikasi dan otenfikasi. Konvensi-konvensi internasional seperti UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dan UNICTRAL Model Law on Electronic Signature, UNCISG (United Nations on Contracts of the International Sales of Goods), serta GUIDEC (General Usage for International Digitally Electronic Commerce) mengakui keabsahan transaksi yang dilakukan secara elektronik dan mengakui bahwa data messages yang terdapat di dalamnya memiliki akibat hukum, sah dan dapat dipaksakannya informasi dalam bentuk pesan atau data elektronik. Berdasarkan hasil perbandingan anara Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan konvensi-konvensi internasional, ternyata aturan yang diatur di dalamnya tidak jauh berbeda. Selain itu, Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Tanda Tangan Elektronik pun sudah mengambil aturan hukum internasional yang ada. Karena itu Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Tanda Tangan Elektronik merupakan bentuk implementasi dari regulasi internasional terhadap digital signature.

30

Aspek hukum transaksi (perdagangan) Melalui media elektronik (e-commerce) di era global:Suatu kajian perlindungan hukum terhadap konsumen

Marcella Elwina S

Aspek hukum dalam transaksi e-commerce

Legal research

Sebagai fenomena yang relatif baru, bertransaksi bisnis dengan menggunakan teknologi elektronik (e-commerce) memang menawarkan kemudahan. Namun memanfaatkan teknologi sebagai fondasi aktivitas bisnis memerlukan tindakan dan pengaturan yang terencana agar berbagai dampak yang menyertainya dapat dikenali serta diatasi.

Dari apa yang telah diaparkan di atas, sebagai suatu kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa :

1. Perkembangan teknologi informasi sehubungan dengan transformasi global yang melanda dunia membawa akibat pada berkembangnya aktivitas perdagangan, salah satunya adalah perdagangan atau transaksi melalui media elektronik (transaksi e-commerce). Secara umum berbagai masalah hukum yang berhubungan dengan substansi hukum maupun prosedur hukum dalam transaksi e-commerce memang sudah dapat terakomodasi dengan pengaturan-pengaturan hukum yang ada, terutama dengan aturan-aturan dalam KUH Perdata. Namun karena karakteristiknya yang berbeda dengan transaksi konvensional, apakah analogi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai transaksi bisnis pada umumnya dapat diterima dalam transaksi e-commerce? Demikian pula dengan validitas tanda tangan digital (digital signatures). Bila hal demikian tidak dapat diterima, tentunya dibutuhkan aturan main baru untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dalam rangka melindungi para pihak dalam transaksi e-commerce.

1. Secara khusus pranata atau pengaturan hukum yang dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen sudah terakomodasi di Indonesia dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Namun untuk perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce belum terakomodasi dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Hal ini terutama disebabkan karena karakteristik dari transaksi e-commerce yang khusus, terutama transaski yang bersifat transnasional yang melewati batas-batas hukum yang berlaku secara nasional.

31

eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris

dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik

Oleh:Josua Sitompul, SH., IMM

Security world and legal world are really hard to combine. (M.B. Voulon, Consultant in Governance, Law and ICT)

Buletin hukum perbankan dan kebanksentralan

Direktorat hukum bank indonesia

Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Konsep eNotaris masih merupakan konsep yang ambigu

dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu,

sebelum membahas mengenai konsep yang dimaksud,

perlu dipaparkan secara singkat mengenai beberapa

konsep yang membangun konsep eNotaris.

Legal research

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa satu faktor yang mempengaruhi peranan notaris dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik adalah konsep notaris yang dianut suatu negara. Secara garis besar, konsep notaris dapat dibagi dua, yaitu notaris dalam sistem hukum Civil Law dan notaris dalam sistem hukum Common Law. Dalam konsep Civil Law seperti di Belanda dan Indonesia, notaris memiliki kewenangan publica fides yang diberikan negara untuk mengautentikasi dan menyatakan kebenaran identitas para pihak, termasuk tanda tangan mereka dan fakta hukum yang tertulis dalam akta notaris. Oleh karena itu, dalam sistem hukum Civil Law, dikenal konsep akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Sedangkan system hukum Common Law tidak dikenal konsep publica

fides dan konsep kta autentik. Pengaturan penyelenggaraan sertifikasi elektronik di negara Belanda terkait dengan berbagai instrument Uni Eropa seperti EU Directive on eSignature yang mengatur tanda tangan elektronik dalam tiga jenis. Dari ketiga jenis tanda tangan itu, advanced electronic signature yang menggunakan qualified certificate dan dibuat dengan secure-signature-creation device merupakan jenis tanda tangan yang memiliki tingkat keamanan yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua jenis tanda tangan lainnya sehingga memiliki akibat hukum yang sama dengan tanda tangan

tertulis dan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan. Negara Belanda menerapkan EU Directive on eSignature dalam perundangundangannya. Sebagai salah satu negara yang menganut system hukum Civil Law, Belanda mengatur notaris dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik sebagai registration authority (RA) untuk melakukan verifikasi data dan identitas calon pengguna tanda tangan elektronik, seperti yang dilakukan oleh DigiNotar. Dalam regulasi Belanda, notaris tidak dapat membuat akta notaris elektronik. Pengaturan yang sama juga terdapat dalam Pasal 5 ayat ayat (4) UU ITE. Pengaturan-pengaturan ini sesuai dengan konsep akta autentik dan peranan notaris Civil Law.

32

Evaluasi Efektivitas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan

Transaksi Elektronik Dalam Pelaksanaan E Commercee

Rina Arum Prastyanti

STMIK Duta Bangsa Surakarta

Efektifitas UU 11 tahun 2008 tentang ITE

Legal research

Dengan berdasarkan sistem hukum di atas, maka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak efektif untuk melindungi kepentingan seluruh warga Negara Indonesia, khususnya bagi pengguna e commerce. Meskipun sudah termuat dan tercantum dalam hukum yang telah dibakukan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008, hal ini tidak akan dapat dijalankan dan diterapkan dengan baik apabila tidak adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan masyarakat luas pada umumnya untuk menjalankan dan mematuhi peraturan tersebut. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya, di kehidupan sosial masyarakat, peraturan tersebut hanya sebagai wacana belaka atau bahkan ketidaktahuan masyarakat mengenai Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka ataupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.

33

Electronic legal correspondence in switzerland: the latest developments

Christoph Gasser

Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014)

Hukum Elektronik di Swis

Legal research

Mengingat digitalisasi meningkatnya korespondensi hukum, sekarang saatnya untuk secara efisien dan pragmatis memanfaatkan peluang-peluang untuk korespondensi hukum elektronik yang telah dibuat oleh legislatif. The SuisseID khususnya merupakan instrumen yang sangat menjanjikan untuk menjamin keamanan dalam korespondensi hukum elektronik.

34

Electronic Evidence in Nigeria

Timothy Tion

Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014)

Alat Bukti Elektronik di Nigeria

Legal research

Artikel ini telah berusaha untuk menyoroti pentingnya bukti elektronik dan mengapa itu harus dimasukkan dalam kurikulum hukum universitas Nigeria dan mengapa pengacara Nigeria dan praktisi hukum harus menerima pendidikan dasar bukti elektronik dalam rangka untuk memahami bukti elektronik dalam menyelesaikan sengketa hukum

35

Electronic signatures in Italian law

Aniello Merone

Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014)

Alat Bukti Elektronik di Italia

Legal research

Pemerintah mengakui dokumen elektronik memiliki kesulitan nyata dalam membuktikan keasliannya, sedangkan tidak adanya kontrol atas perangkat tanda tangan dapat secara mudah ditunjukkan oleh pihak yang memiliki itu. Analisis ini muncul koheren dengan pendapat Mahkamah Agung Italia di menegaskan bahwa beban pembuktian harus dibagi sesuai dengan kedekatan atau ketersediaan alat pembuktian, menghindari beban tidak mungkin atau terlalu sulit pembuktian dalam proses hukum.

36

Security in digital data preservation

Franco Ruggieri

Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014)

Alat Keamanan Data Digital di Italia

Legal research

Sangat menarik untuk mengamati bahwa, meskipun dokumen ETSI didasarkan pada versi 2005 dari ISO / IEC 27001/27002, harus DPSP yang memiliki sertifikasi ISO / IEC 27001: 2013, ketentuan dalam ETSI TS 101 533-1 masih berlaku . Titik penting adalah bahwa DPSP harus menerapkan langkah-langkah yang ditentukan dalam dokumen ETSI tersebut, dengan mempertimbangkan baru 2013 ISO / IEC 27002 versi. Mungkin ada beberapa tindakan yang tidak ada di versi 2005, yang pelaksanaannya harus dinilai oleh DPSP sendiri, tanpa TS 101 533-1 'pendapat pendukung

37

The 2013 Salzburg Workshop on Cyber Investigations: Digital Evidence and the American Servicemembers Protection Act

Aida Ashouri and Caleb Bowers

Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014)

Alat bukti elektronik di Amerika

Legal research

Pemerintahan Obama telah meningkatkan upaya untuk bekerja sama dengan ICC, serta meningkatkan AS tanggapan terhadap kejahatan kekejaman. Hal ini meningkatkan keterbukaan Amerika untuk membantu dalam penuntutan kejahatan di tingkat internasional menunjukkan bahwa tinjauan menyeluruh harus dilakukan, untuk mempertimbangkan bagaimana entitas publik dan swasta di Amerika Serikat secara sah bisa menanggapi permintaan informasi digital dari ICC. Secara khusus, ISP yang berbasis di AS dapat meninjau respon mereka terhadap berbagi data dengan ICC, meskipun ICC mungkin tidak dapat secara langsung meminta informasi dari pihak swasta.

ASPA sudah menyediakan beberapa alat untuk meningkatkan tanggap terhadap ICC. Pertama, Dodd Perubahan dapat terus dipanggil dalam kasus per kasus cara yang saat ini digunakan untuk berbagi informasi dan sebaliknya mendukung kasus-kasus tertentu melanjutkan sebelum ICC. Kedua, Presiden dapat meminta bagian 2011 pengabaian, yang memungkinkan penggunaan Komandan eksekutif kekuasaan Kepala. Pengabaian ini berpotensi dapat digunakan untuk membantu dalam penangkapan tersangka dan transfer berikutnya mereka untuk mengendalikan ICC. Hal ini juga dapat digunakan untuk menyediakan relevan, informasi rahasia keamanan nasional ke ICC. Ketiga, Presiden dapat meningkatkan penggunaan bagian 2005 untuk melanjutkan partisipasi AS dalam operasi penjaga perdamaian PBB. Presiden hanya perlu memberikan kepada Kongres "sertifikasi kepentingan nasional", yang menjamin operasi mendukung kepentingan AS dan personil AS tidak akan dikenakan penuntutan oleh ICC. Akhirnya, kerjasama eksternal dengan ICC dapat diperluas, seperti melalui pengembangan Kekejaman Pencegahan Badan dan Program Hadiah Departemen Luar Negeri.

Perubahan atau klarifikasi dari interpretasi internal ASPA bisa membuat tingkat jangkauannya mengenai bukti digital jauh lebih jelas. Hal ini termasuk mendefinisikan aplikasi dari ASPA ke swasta, seperti ISP, karena muncul ASPA saat ini hanya meluas ke entitas publik. Kejelasan juga dibutuhkan mengenai apakah atau tidak UU meluas ke data di luar AS yang dikuasai oleh perusahaan yang berbasis di AS, terutama mengingat bahwa perusahaan-perusahaan AS menguasai sebagian besar informasi digital. Selain itu, hukuman potensi pelanggaran ASPA harus dibuat jelas.

Sebagai Senator Dodd menyatakan, ASPA sangat kompleks, dan "[t] di sini adalah keringanan dalam keringanan yang ternyata tidak menjadi keringanan sama sekali karena kondisi keringanan tersebut tercapai dalam banyak hal." 56 klarifikasi lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana UU berlaku untuk bukti digital dan keadaan sekitarnya meningkat keterlibatan AS dengan ICC.

38

The 2013 Salzburg Workshop on Cyber Investigations: An Overview of the Use of Digital Evidence in International Criminal Courts

Aida Ashouri, Caleb Bowers and Cherrie Warden

Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014)

Alat Bukti Elektronik pada Mahkamah Internasional

Legal research

Umumnya, kasus hukum ICC mengenai hal-hal bukti digital adalah jarang, terutama karena itu adalah munculnya bentuk bukti di pengadilan pidana internasional. Dalam analisisnya pada kasus hukum yang terbatas, tulisan ini membuat temuan spesifik dan menemukan beberapa masalah yang belum terselesaikan. Bagian berikut merangkum temuan ini dan memberikan rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut.

39

The 2013 Salzburg Workshop on Cyber Investigations: Digital Evidence and Investigatory Protocols

Tommy Umberg and Cherrie Warden

Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 11 (2014)

Digital Evidence and Investigatory Protocols

Legal research

Tulisan singkat ini telah ditetapkan strategi untuk memperoleh dan mengotentikasi bukti digital dengan cara forensik valid. Investigasi maya hati dapat memperkuat kasus penuntutan 'serta memberikan bukti yang menguatkan menghubungkan terdakwa untuk kejahatan yang dituduhkan. Akuisisi bukti digital adalah fundamental dalam semua penyelidikan dalam lingkungan penegakan hukum modern. Pengumpulan bukti digital adalah "aturan daripada pengecualian" di investigations.52 Dua tema saat mendasar mendominasi setiap prosedur: Pertama, tujuan dari akuisisi adalah untuk mendapatkan replika yang tepat dari data untuk memastikan validitas dan dengan demikian nilai pembuktian tertinggi . Kedua, keaslian sangat penting dan dapat dicapai melalui pembuktian atau cara lain. Disarankan tiga poin lebih lanjut dari diskusi dijamin. Pertama, sifat investasi dalam pelatihan dan peralatan yang diperlukan untuk meningkatkan pengumpulan bukti dengan cara forensik berlaku serta meningkatkan nilai keabsahan bukti. Kedua, mengingat beban dari mlat dan surat rogatory proses, itu harus dipertimbangkan apakah ICC harus mencari data AS penyedia pada server Eropa, atau melalui proses JIT. Ketiga, ICC mungkin ingin mempertimbangkan masalah bukti ilmiah baru, dan apakah sebuah protokol resmi bernilai mempertimbangkan di masa depan.

40

Must

e-Signatures be

reliable?

John D. Gregory

Pario Communications Limited, 2013

Digital Evidence and Electronic Signature Law Review, 10 (2013)

Permasalahan tanda tangan elektronik

Legal research

Mungkin ada kasus untuk mengeja lebih rinci persyaratan di mana tanda tangan harus lebih dapat diandalkan dari biasanya, atau di mana keputusan keandalan harus tidak diserahkan kepada pihak langsung ke dokumen. Hati-hati tambahan ini berlaku untuk tanda tangan tulisan tangan demikian juga. Yurisdiksi hukum umum sering memberikan, untuk Misalnya, yang menghendaki membutuhkan dua tanda tangan saksi keduanya hadir pada waktu yang sama dan penandatanganan pada saat yang sama waktu. Statuta Kanada untuk efek ini dikecualikan dari perdagangan statutes.21 elektronik Dalam hal apapun, uji reliabilitas generik menambahkan sedikit perlindungan kepada seperti keadaan. Dalam kasus yang membutuhkan keamanan ekstra, satu akan dibilang ingin menjadi teknologi yang kurang netral dan\ lebih preskriptif. Contoh lain Kanada: Ontario sistem elektronik untuk mendaftarkan pengalihan tanah, 22 tergantung pada jaringan secara menyeluruh ditentukan tanda tangan digital dan identitas disertifikasi oleh Masyarakat Hukum. Tak satu pun dari ini membenarkan membatasi orang menandatangani biasa dokumen elektronik dengan standar keandalan yan adalah tidak sehat dalam teori dan menyesatkan atau bahkan berbahaya praktek.

Ulasan dan Review Jurnal

Dari 40 jurnal local dan jurnal internasional dengan topic electronic evidence, digital signature dan e-commerece yang telah direview pada bagian sebelum ini, terdapat beberapa unsur kebaruan dan gap pengetahuan yang akan diisi oleh penulis pada rencana penulisan disertasi. Terdapat beberapa gap pengetahuan yang cukup signifikan pada jurnal yang berasal dari Negara-negara eropa dan amerika terhadap jurnal yang bersal dari Indoneisa, dengan gap sebagai berikut:

1. Jurnal Internasional (Eropa dan Amerika)

Pada beberapa Negara di Eropa pada jurnal yang diulas diatas, yang menjadi focus dari jurnal tersebut adalah tentang bagaimana penerapan dokumen elktronik, tandatangan elektronik serta data elektronik dijadikan sebagai alat butki yang diakui secara sah oleh Hukum. Negara seperti Italia, Swiss, dan beberapa Negara Britis telah memodifikasi dan memperbarui sisten Hukum Pidana dan Hukum perdata mereka dan memasukkan alat bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah menurut Undang-Undang mereka. Bahkan beberpa Negara di Eropa telah membuat suatu Undang-Undang Khusus yang mengatur tentang transaksi elektronik yang didalamnya telah mengakui bahwa alat bukti elektronik telah dipakai dan disahkan oleh hukum. Sesuai degan konvensi Internasional yaitu UNCITRAL.

1. Jurnal Internasional (Asia)

Nenerapa Negara di Asia telah mengakui keabsahan dari alat bukti elektronik sebagai alat butki yang sah menurut hukum seperti negara Malaysia dan Singapura. Tetapi ada masih banyak Negara di Asia seperti India, Bangladesh, dan Thailand belum memilki aturan yang jelas mengenai keabsahan alat butki elektronik sebagai alat bukti yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

1. Jurnal Nasional

Pada jurnal lokal permasalahan alat butki elektronik didominasi oleh permasalahan perundang-undangan yang tidak mengatur secara jelas mengenai hal tersebut. Tidak ada penjelasan dari Pasal ada KUHAP, dan UU ITE yang menjelaskan secara terperinci mengenai alat butki elektronik,\

Berdasarkan gap kebaruan yang ada pada Negara Eropa dan Asia, penulis mencoba membahas kebaruan mengenai alat butki elektronik yang ada di Cina, Sejak diberlakukannya Hukum perdata baru di cina, posisi hukum dari alat bukti elektronik telah disamakan kedudukannya dengan alat bukti biasa. di Cina peran IP, dan peran alat bukti elektronik menjadi lebih signifikan. Dalam praktek hukum/ pengadilan akan menentukan apakah bukti yang diterima akan diteliti berdasarkan kriteria yang sah, menurut keaslian dan relevansi. Jika bukti dapat diterima, pengadilan akan lebih menentukan kekuatan pembuktian berdasarkan kebenaran dan integritas alat bukti elektronik. Mekanisme ini adalah salah satu perbaikan terbaru dalam proses hukum di Cina. Cina sudah mengesahkan alat butki elektronik didalam Hukum Pidana Baru dan telah dipakai didalam persidangan.

Pada Negara-negara Arab, salah satunya Pada UU Pidana di UAE memberikan rincian aturan untuk pengumpulan bukti elektronik sesuai dengan UU Acara Pidana di UAE. Hal ini dipertanyakan apakah Prosedur Hukum Hukum Pidana di UEA cukup untuk mengatur proses pengumpulan alat bukti elektronik. Disarankan bahwa prosedur untuk mengumpulkan alat bukti elektronik di bawah CPL harus dilengkapi dan ditambah denganaturan lain untuk memberikan prosedur kerja yang efisien berkaitan dengan deteksi kejahatan dan investigasi. CPL tidak bisa berdiri sendiri atau tetap statis, dan perlu ditinjau, khususnya mengenai hak pencarian dan penyitaan alat bukti elektronik. Hal ini dikarenakan segala kekurangan dalam proses penyidikan akan mengakibatkan kegagalan untuk menuntut kasus. Oleh karena itu, diperlukan untuk mengubah aturan untuk pencarian dan penyitaan bukti elektronik. Mengubah CPL adalah sangat penting. Mengubah aturan akan meningkatkan administrasi sistem peradilan pidana di UAE. Selain itu, pemerintah UEA harus memegang peran penting dengan memberikan bukti digital lebih terampil spesialis dan aparat penegak hukum. Singkatnya, UAE perlu menemukan suatu penemuan hukum atau prinsip dan aturan yang berhubungan dengan pencarian dan penyitaan alat bukti elektronik. Setelah tercapainya tujuan tersebut , sangat disarankan bahwa pemerintah UEA harus mengadopsi prinsip-prinsip internasional yang diusulkan untuk prosedur yang berkaitan dengan alat bukti elektronik yang disusun oleh Asosiasi Kepala Polisi Petugas di Inggris 'Baik Panduan Praktek untuk Bukti Berbasis Komputer (ACPO, 2012) '. Prinsip-prinsip ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk memastikan hukum acara yang lebih efektif yang berkaitan dengan pengumpulan bukti elektronik.

Sedangkan didalam UU Kroasia, sejak diberlakukannya Hukum perdata baru di kroasia , alat bukti elektronik disamakan kedudukannya dengan alat bukti biasa dalam UU Pidana Kroasia.. Mekanisme ini adalah salah satu perbaikan terbaru dalam proses hukum di Kroasia.

Pada Negara-negara Asa khususnya Ketentuan-ketentuan Undang-Undang Bukti Malaysia tahun 1950 jelas memfasilitasi penggunaan 'komputer yang dihasilkan bukti' di pengadilan Malaysia. Namun, meskipun baru-baru ini amandemen Undang-Undang Bukti tahun 2012, diketahui bahwa legislatif belum melihat perlunya untuk mengubah 'komputer' bahasa tertentu dari undang-undang untuk lebih Istilah netral 'elektronik' atau 'digital'. Sebagai pertanyaan seperti apakah 'dokumen' dari peralatan tertentu yang 'Dihasilkan komputer' akan terus muncul. Dua utama masalah yang muncul dalam praktek menjadi apakah 'sertifikat' dalam ayat (2) harus wajib diproduksi di setiap kasus, dan apakah ayat (6) dapat digunakan untuk menghindari ketentuan ayat (1) telah jelas ditangani oleh pengadilan. Namun, sama-sama jelas, perbedaan antara keaslian dan diterimanya belum dihargai oleh pengadilan atau oleh pengacara yang mencoba untuk menantang diterimanya tertentu yang dihasilkan komputer dokumen '. Sementara itu, perubahan terbaru untuk Bukti Act 1950 telah berakibat besar, karena membebani mendukung penuntutan, membuat menantang bukti hampir tidak mungkin. Ini akan lebih baik jika ketentuan opt-in mirip dengan s 73AA bias diperkenalkan untuk semua tindakan, baik perdata maupun pidana, menyediakan untuk perjanjian pra-sidang secara tertulis antara pihak setuju untuk penerimaan bukti tertentu di sidang.

Pada Undang-undang IT di India adalah satu-satunya undang-undang yang mengatur transaksi elektronik dan untuk tujuan diresepkan Prosedur untuk otentikasi catatan elektronik dan tanda tangan. Awalnya, UU IT adalah teknologi yang spesifik dan telah diresepkan prosedur tertentu untuk otentikasi catatan elektronik. Prosedur ini memiliki sendiri keterbatasan. Posisi hukum ini sekarang berdiri berubah setelah amandemen UU IT. The IT Act kini, di Selain tanda tangan digital, tanda tangan elektronik yang disediakan untuk otentikasi catatan elektronik. Akan Tetapi, diperlukan fine tuning belum dilakukan dalam ketentuan lain sehingga dapat menghilangkan inkonsistensi di dalamnya. Prosedur yang ditentukan untuk otentikasi catatan elektronik tidak dapat membantu dalam transaksi tersebut di mana waktu sangat penting dan penentu hak dan kewajiban para pihak. Ini adalah alasan bahwa itu adalah menyarankan bahwa layanan stamping waktu juga dapat dibuat wajib untuk otentikasi catatan elektronik.

Dalam konsep Hukum Internasional melakukan transaksi elektronik, penggunaan digital signature memiliki kedudukan dan fungsi sebagai pengaman jalannya pertukaran informasi elektronik yang terjadi diantara para user (pengguna) karena digital signature memiliki kegunaan yang sama seperti tanda tangan konvensional, yaitu digunakan sebagai alat verifikasi dan otenfikasi. Konvensi-konvensi internasional seperti UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce dan UNICTRAL Model Law on Electronic Signature, UNCISG (United Nations on Contracts of the International Sales of Goods), serta GUIDEC (General Usage for International Digitally Electronic Commerce) mengakui keabsahan transaksi yang dilakukan secara elektronik dan mengakui bahwa data messages yang terdapat di dalamnya memiliki akibat hukum, sah dan dapat dipaksakannya informasi dalam bentuk pesan atau data elektronik. Berdasarkan hasil perbandingan anara Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan konvensi-konvensi internasional, ternyata aturan yang diatur di dalamnya tidak jauh berbeda. Selain itu, Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Tanda Tangan Elektronik pun sudah mengambil aturan hukum internasional yang ada. Karena itu Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Tanda Tangan Elektronik merupakan bentuk implementasi dari regulasi internasional terhadap digital signature.

Di Indonesia permasalahan alat butki elektronik adalah mengenai keabsahannya.contoh dokumen elektronik didalam hukum pembuktian di Indonesia, diakui esensinya setelah di atur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia hal tersebut berdasarkan ketentuan pada Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Menurut Pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah, sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Seringkali Badan Negara yang berwenang mengeluarkan Undang-Undang, antara satu Undang-undang dengan Undang-Undang yang lain saling bertentangan satu sama lain, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, maka terhadap kasus yang aturan hukumnya bertentangan satu dengan yang lain, maka hakim berpatokan pada azas lex specialis derogate lex generalis, artinya Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menyampingkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga seluruh transaksi elektronik dengan tanda tangan elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, kecuali yang ditentukan pada Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yaitu ketentuan mengenai Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan; b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Tanggapan yang timbul mengenai keabsahan tanda tangan elektronik sebagai bukti adalah berbeda-beda dari penafsiran hukum masalah yang dialami. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik keabsahan tanda tangan elektronik diakui secara sah, Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU.ITE hanya disebutkan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, tetapi apabila penulis melihat perbandingan antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka keabsahan tanda tangan elektronik tidaklah sah, dikarenakan dalam UUJN bukti yang sah itu adalah akta otentik dan akta bawah tangan. Dan Notaris itu sendiri harus datang, melihat dan mendengar dalam setiap pembuatan akta dan ditanda-tangan oleh notaris itu sendiri dan para penghadap masing-masing langsung di tempat dibacakannya akta itu oleh Notaris. Dan haruslah tanda tangan asli dari Notaris dan para penghadap bukanlah tanda tangan elektronik yang bisa ditorehkan di dalam akta tersebut karena kekuatan pembuktian dalam hukum di Indonesia tidaklah sah.