layanan.hukum.uns.ac.id file/buku isharyanto/1… · sanksi pelanggaran pasal 72 undang-undang...

328
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA (STUDI HUKUM DAN KONSTTIUSI MENGENAI PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA)

Upload: others

Post on 27-Oct-2020

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

HUKUMKELEMBAGAAN

NEGARA

(STUDI HUKUM DAN KONSTTIUSI MENGENAI

PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN

REPUBLIK INDONESIA)

Page 2: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Disusun Oleh

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987

Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982

Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau

Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara

masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda

paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,

mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau

barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 3: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Isharyanto

HUKUMKELEMBAGAAN

NEGARA

(STUDI HUKUM DAN KONSTTIUSI MENGENAI

PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN

REPUBLIK INDONESIA)

Penerbit

Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Page 4: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Isharyanto

Hukum Kelembagaan Negara . Cetakan I . Surakarta . Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2015

ix + 290 hal; 21 cm

HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA Hak Cipta© Isharyanto, 2015

Penulis : Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.

Editor : -

Ilustrasi Sampul : -

Penerbit : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta

Cetakan I, Juli 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

All Right Reserved

ISBN :

Page 5: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

v

KATA PENGANTAR

Buku ini membahas perkembangan lembaga-lembaga

negara di Indonesia dalam perspektif hukum dan konstitusi.

Pendekatan yang digunakan dalam kerangka pembahasan adalah

pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan

pendekatan perbandingan hukum. Dalam hal ini, pendekatan

perundang-undangan ditujukan untuk mengkonfirmasikan karakter

penguraian isu-isu kelembagaan negara mengingat isu-isu tersebut

sebenarnya dapat ditinjau dengan pendekatan politik, sosiologis,

dan ekonomi. Penekanan perundang-ndangan dalam konteks ini

adalah hukum dan konstitusi. Sementara itu, pendekatan

konseptual digunakan untuk membahas isu kelembagaan negara

yang berkembang karena munculnya kasus-kasus hukum konkrit

yang relevan. Sedangkan pendekatan perbandingan hukum

digunakan untuk melakukan studi komparasi terutama dengan

pengaturan di negara lain atas isu yang dibahas.

Dalam konteks Indonesia, perkembangan kelembagaan

negara secara historis maupun akibat perubahan UUD 1945 telah

memberikan warna yang khas dalam pemahaman dan peninjauan

terhadap lembaga-lembaga negara. Pemahaman dan peninjauan itu

tidak hanya dalam melakukan identifikasi, tetapi acapkali

menyangkut hal-hal yang sifanya konseptual. Sebagai contoh,

konsep pemisahan kekuasaan dengan penggambaran separasi

kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial,

tidak dapat lagi secara kaku digunakan untuk pemahaman dan

peninjauan lembaga-lembaga negara dewasa ini. Demikian pula,

praktik pengaturan dan persoalan-persoalan yang menyangkut

lembaga negara nonstructural dengan rupa-rupa nomenklatur

seperti komisi, dewan, badan, dan sebagainya, menjadi sesuatu

yang baru dalam khasanah ketatanegaraan Indonesia dewasa ini.

Oleh karena itu, buku ini diharapkan menjadi pengantar dalam

melakukan pemahaman dan peninjauan lembaga-lembaga negara

Page 6: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

vi

di Indonesia dan diharapkan juga mampu menjadi rintisan untuk

kajian-kajian spesifik kasuistis terkait dengan isu tersebut,

misalnya kedudukan dan kewenangan Presiden, prosedur legislasi

setelah munculnya Dewan Perwakilan Daerah, dan sebagainya.

Kekhususan buku ini adalah uraian mengenai lembaga-

lembaga negara dilakukan dengan bahasa yang relatif mudah

dipahami dan dalam hal-hal tertentu, tidak hanya menyajikan

kerangka normatif belaka, akan tetapi juga hisotoriografi dan

perbandingan di negara lain. Pembaca dengan demikian didorong

untuk senantiasa berfikir kritis dan obyektif apabila kemudian

melanjutkan aktivitas intelektual untuk mengkaji kasus-kasus yang

relevan.

Meskipun telah dilakukan persiapan dan pemeriksaan

naskah secara cermat, akan tetapi penulis menyadari bahwa ada

kekurangan-kekurangan dalam uraian buku ini. Oleh sebab itu,

kritik dan saran-saran yang obyektif akan senantiasa diharapkan

untuk penyempurnaan. Semoga buku ini dapat memenuhi

fungsinya.

Surakarta, Juni 2015

Penulis,

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.

Page 7: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

vii

Persembahan

Untuk Feriana Dwi Kurniawati, yang selalu membuka pintu

kasih dan kesetiaan;

Untuk bintang-bintang yang bersinar terang, Fito dan Dito,

semoga menjadi secuil pengharapan di masa depan.

Page 8: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................... v DAFTAR ISI ........................................................................ viii

BAB I KONSEPTUALISASI LEMBAGA NEGARA.. 1

A. Pengertian Lembaga Negara ......................... 1

B. Pembedaan Lembaga Negara ........................ 6

1) Pembedaan dari Segi Hierarkhi ................ 7

2) Pembedaan dari Segi Fungsi .................... 8

BAB II TEORI-TEORI YANG PENTING

SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAHASAN

HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA ........... 11

A. Teori Konstitusi dan Konstitusionalisme ...... 11

B. Teori Pemisahan Kekuasaan ......................... 15

C. Rule of Law.................................................... 25

BAB III PARLEMEN ...................................................... 36

A. Pembahasan Umum ....................................... 36

1. Sistem Unikameral ................................... 39

2. Sistem Bikameral ..................................... 40

B. Evolusi Parlemen di Indonesia ...................... 44

1. Sebelum Perubahan UUD 1945 ............... 44

2. Sesudah Perubahan UUD 1945 ................ 61

3. Sorotan terhadap Dewan Perwakilan

Daerah ...................................................... 72

BAB IV PRESIDENSIALISME DAN LEMBAGA

KEPRESIDENAN .............................................. 79

A. Sistem Pemerintahan ..................................... 79

B. Presidensialisme ............................................ 85

1. Semi Presidensialisme Prancis ................. 88

Page 9: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

ix

2. Presidentialization ................................... 89

3. Cakupan Kekuasaan: Unitary Executive .. 91

4. Lembaga Kepresidenan Menurut UUD

1945 .......................................................... 97

BAB V KEKUASAAN KEHAKIMAN.......................... 109

A. Independensi Kekuasaan Kehakiman ............ 109

B. Judicial Activism – Judicial Review .............. 130

C. Pengujian Konstitusional (Constitutional

Review) .......................................................... 144

1. Pengujian Norma Abstrak ........................ 184

2. Pengendalian Norma Konkrit ................... 191

BAB VI LEMBAGA NEGARA NONSTRUKTURAL ... 200

A. Peristilahan .................................................... 200

B. Latar Belakang Kemunculan ......................... 210

C. Konsolidasi dan Penataan .............................. 213

BAB VII BADAN PEMERIKSA KEUANGAN ............... 223

A. Determinasi Lembaga Audit ......................... 223

B. Model-Model Kelembagaan Pemeriksa

Keuangan ....................................................... 227

C. Mekanisme Pemeriksaan Keuangan Negara . 232

D. Prinsip Independensi dan Relasi dengan

Cabang Kekuasaan Lain ................................ 237

E. Kelembagaan di Indonesia ............................ 242

1. Masa Republik I (1945-1949) .................. 242

2. Masa Republik II (1949-1959) ................. 243

3. Masa Republik III (1959-1966)................ 245

4. Masa Republik IV (1966-2001) ............... 245

5. Masa Republik V (2001-sekarang) .......... 249

BAB VIII BANK SENTRAL .............................................. 253

A. Pertumbuhan Bank Sentral ............................ 253

Page 10: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

x

B. Independensi Bank Sentral ............................ 258

1. Independensi Tujuan (Goal

Independence) .......................................... 262

2. Independensi Instrumen (Instrument

Independence) .......................................... 267

3. Independensi Personal (Personal

Independence) .......................................... 268

C. Kelembagaan Bank Indonesia ....................... 272

1. Nasionalisasi ke Sirkulasi-Komersial....... 272

2. Struktur dan Tugas Bank Indonesia ......... 276

3. Personal Independence ............................. 282

D. Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara ..... 285

DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 292

Page 11: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 1

BAB I KONSEPTUALISASI LEMBAGA NEGARA

A. Pengertian Lembaga Negara

Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis

memiliki istilah tunggal dan seragam. Kata lembaga negara

berasal dari serapan kata staatsorgan dalam Bahasa Belanda atau

political institutions dalam Bahasa Inggris. Dalam Bahasa

Indonesia, hal ini identik dengan kata lembaga negara, badan

negara, atau bisa juga disebut dengan organ negara. Oleh sebab

itu, istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, ataupun

alat kelengkapan negara sering dipertukarkan satu sama lain.

Untuk memahami istilah organ atau lembaga negara secara

lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen

mengenai the concept of the State Organ dalam bukunya General

Theory of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa

‖Whoever fulfills a function determined by the legal order is an

organ‖. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan

oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ.

Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di

samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap

Page 12: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

2 | Hukum Kelembagaan Negara

jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ,

asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm

creating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying).

Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan

adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu

pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ

negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum

yang tertentu (...he personally has a spesific legal position).1

Ciri-ciri penting organ negara dalam arti sempit ini adalah

bahwa (i) organ negara itu dipilih atau diangkat untuk menduduki

jabatan atau fungsi tertentu; (ii) fungsi itu dijalankan sebagai

profesi utama atau bahkan secara hukum bersifat eksklusif; dan

(iii) karena fungsinya itu, ia berhak mendapatkan imbalan gaji dari

negara. Dengan demikian, lembaga atau organ negara dalam arti

sempit dapat dikaitkan dengan jabatan dan pejabat (officials), yaitu

jabatan umum, jabatan publik (public office) dan pejabat umum,

pejabat publik (public officials).2

Istilah lembaga negara itu sendiri hampir tidak dapat

ditemukan dalam berbagai konstitusi yang berlaku di Indonesia.

Konstitusi RIS menggunakan istilah ‖alat-alat perlengkapan

federal‖. Di dalam Bab III Konstitusi RIS disebut bahwa alat-alat

perlengkapan federal RIS terdiri atas Presiden, menteri-menteri,

Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung Indonesia,

dan Dewan Pengawas Keuangan. UUDS 1950 menggunakan

istilah ‖alat-alat perlengkapan negara‖. Hal ini terlihat dalam Pasal

44 UUDS 1950 yang menyebut alat-alat perlengkapan negara

terdiri atas Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan

Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas

Keuangan.

1 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga

Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.

2 Ibid., hlm. 38.

Page 13: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 3

Ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan pun tidak

menyebut istilah ‖lembaga negara‖, sehingga menyulitkan dalam

mengidentifikasi dan memakai istilah ‖lembaga negara‖. Istilah

yang muncul adalah ‖badan‖, misal dalam Pasal 23 ayat (5) UUD

1945, ‖badan‖ dipergunakan untuk menyebut Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK). Demikian halnya dalama Pasal 24 UUD 1945

menyebut ‖badan‖ untuk ‖badan kehakiman‖.

Istilah lembaga negara justru muncul dan banyak dijumpai

dalam berbagai ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Istilah lembaga negara pertama kali muncul dan diatur dalam

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber

Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam ketetapan

tersebut, terlampir skema susunan kekuasaan negara Republik

Indonesia yang menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat

sebagai lembaga tertinggi negara di bawah UUD, sedangkan

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan,

Dewan Pertimbangan Agung, dan Mahkamah Agung sebagai

lembaga di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Istilah lembaga negara juga dijumpai dalam Ketetapan

MPRS No. XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad

Hoc MPRS yang bertugas meneliti lembaga-lembaga negara,

penyusunan bagan pembagian kekuasaan di antara lembaga-

lembaga negara menurut sistem UUD 1945, penyusunan rencana

penjelasan pelengkap UUD 1945, dan penyusunan perincian hak-

hak asasi manusia.

Lembaga negara dijumpai kembali dalam Ketetapan MPRS

No. X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-lembaga

Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada posisi dan fungsi yang

diatur dalam UUD 1945. Melalui ketetapan tersebut, ditemui dua

kata yang menunjuk organ-organ penyelenggara negara, yaitu

‖badan‖ dan ‖lembaga-lembaga negara‖. Dalam menimbang poin

(a) menyatakan MPRS sebagai badan yang tertinggi dalam negara

Page 14: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

4 | Hukum Kelembagaan Negara

RI. Adapun Pasal 2 menyatakan semua lembaga negara tingkat

pusat dan daerah didudukan kembali pada posisi dan fungsi sesuai

dengan yang diatur dalam UUD 1945.

Melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1978 tentang

Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara

Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, istilah

lembaga negara mulai menemukan konsepnya, karena ketetapan

tersebut membagi lembaga negara menjadi dua kategori, yaitu

lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Lembaga

tertinggi negara menurut ketetapan ini adalah Majelis

Permusyawaratan Rakyat, sedangkan lembaga tinggi negara

disesuaikan dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu

Presiden, Dewan Perwakilan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat,

dan Mahkamah Agung.

Ketentuan UUD 1945 hasil perubahan pun tidak

mencantumkan ketentuan hukum yang mengatur tentang definisi

‖lembaga negara‖, sehingga banyak ahli hukum Indonesia yang

melakukan ‖ijtihad‖ dalam mendefinisikan dan

mengklasifikasikan konsep lembaga negara. Satu-satunya

‖petunjuk‖ yang diberikan UUD 1945 hasil perubahan adalah

Pasal 24 C ayat (1) yang meyebut salah satu kewenangan

Mahkamah Konstitusi adalah mengadili dan memutus sengketa

kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh UUD 1945.

Hal ini sesuai dengan pendapat Natabaya3

yang

menyatakan bahwa:

penyusun UUD 1945 cenderung konsisten menggunakan

istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ

negara. Untuk maksud yang sama, Konstitusi RIS (Republik

Indonesia Serikat) tahun 1949 tidak menggunakan istilah

lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD

1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan

3 Dalam Ibid., hlm. 32.

Page 15: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 5

kebiasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum masa

reformasi dengan tidak konsisten menggunakan

peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan

negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‖lembaga‖

memiliki beberapa arti, salah satu arti yang paling relevan

digunakan dalam penelitian ini adalah badan (organisasi) yang

tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau

melakukan suatu usaha. Kamus tersebut juga memberi contoh

frase yang menggunakan kata lembaga, yaitu ―lembaga

pemerintah‖ yang diartikan sebagai badan-badan pemerintahan

dalam lingkungan eksekutif. Apabila kata ―pemerintah‖ diganti

dengan kata ―negara‖, maka frase ―lembaga negara‖ diartikan

sebagai badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan

negara (khususnya di lingkungan eksekutif, legislatif, dan

yudikatif).4

Perkembangan tentang definisi lembaga negara terdapat

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003

atas pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran yang diucapkan pada tanggal 28 Juli 2004, yang

menyatakan bahwa:

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga

negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara

yang dimaksudkan dalam UUD yang keberadaanya atas

dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara

yang dibentuk atas perintah undang-undang dan bahkan

ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keputusan

Presiden.

4 Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama,

2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Struktur Ketatanegaraan

Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi

Sebagai Lembaga Negara Bantu , Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, hlm. 17.

Page 16: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

6 | Hukum Kelembagaan Negara

Pertimbangan tersebut dikutip kembali pada Putusan Nomor

031/PUU-IV/2006 atas pengujian Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diucapkan pada tanggal 17

April 2007.

Sebenarnya, secara sederhana istilah organ negara atau

lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau

lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut

Ornop atau Organisasi Non Pemerintah yang dalam bahasa Inggris

disebut Non Government Organization atau Non Governmental

Organizations (NGO‘s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang

dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut

sebagai lembaga negara.5

Dari berbagai pendapat tersebut, penulis berkecenderungan

memiliki persamaan pendapat dengan definisi lembaga negara

menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003

ataupun Putusan Nomor 031/PUU-IV/2006 atas pengujian

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan

pendapat Jimly Asshidiqie, yang pada intinya menyatakan bahwa

lembaga negara adalah lembaga yang tidak hanya dibentuk

berdasar UUD 1945, tetapi juga lembaga yang dibentuk berdasar

peraturan undang-undang dan bertujuan untuk menyelenggarakan

tugas dan fungsi pemerintahan serta bukan merupakan lembaga

masyarakat.

B. Pembedaan Lembaga Negara

Ketentuan UUD 1945 menyebut secara langsung maupun

tidak langsung terdapat tiga puluh buah lembaga negara. Menurut

Jimly Asshidiqie, ketiga puluh empat lembaga negara tersebut

dapat dibedakan dari dua segi, yaitu:6

5 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 31.

6 Ibid., hlm. 106-118.

Page 17: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 7

1) Pembedaan dari Segi Hierarkhi

Hierarkhi antar lembaga negara itu penting untuk

ditentukan, karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan

hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga

negara tersebut. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai,

yaitu (i) kriteria hierarkhi bentuk sumber normatif yang

menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang

bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara..

Dari segi hierarkhi, ketiga puluh empat lembaga negara

tersebut dapat dibedakan menjadi tiga lapis. Organ lapis pertama

biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara, organ lapis kedua

disebut dengan lembaga negara, dan organ lapis ketiga adalah

lembaga daerah. Adapun organ konstitusi pada lapis pertama

adalah:

a) Presiden dan Wakil Presiden;

b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

d) Majelis Permusyawartan Rakyat (MPR);

e) Mahkamah Konstitusi (MK);

f) Mahkamah Agung (MA);dan

g) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Organ lapis kedua disebut dengan lembaga negara, ada yang

mendapatkan kewenangan dari UUD, dan ada pula yang

mendapatkan kewenangan dari undang-undang. Lembaga yang

mendapatkan kewenangan dari UUD misalnya Tentara Nasional

Indonesia dan Kepolisian Negara, sedangkan lembaga yang

sumber kewenangannya berasal dari undang-undang misalnya,

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran

Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut disebandingkan

satu sama lain, hanya saja, lembaga negara yang kewenangannya

berasal dari UUD lebih kuat dibandingkan lembaga negara yang

Page 18: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

8 | Hukum Kelembagaan Negara

kewenangannya bersumber dari undang-undang. Lembaga negara

sebagai organ konstitusi lapis kedua itu adalah:

a) Menteri Negara;

b) Tentara Nasional Indonesia;

c) Kepolisian Negara;

d) Komisi Yudisial;

e) Komisi pemilihan umum; dan

f) Bank sentral.

Kategori ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk

kategori lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal dari

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,

misalnya Komisi Hukum Nasional yang dibentuk berdasar

Keputusan Presiden. Artinya, keberadaanya secara hukum hanya

berdasar atas kebijakan Presiden belaka (Presidential Policy) atau

beleid Presiden.

Selain itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang diatur

dalam Bab IV UUD 1945 tentang Pemerintahan Daerah.

Lembaga-lembaga daerah tersebut adalah:

a) Pemerintahan Daerah Provinsi;

b) Gubernur;

c) DPRD Provinsi;

d) Pemerintahan Daerah Kabupaten;

e) Bupati;

f) DPRD Kabupaten;

g) Pemerintahan Daerah Kota;

h) Walikota; dan

i) DPRD Kota.

2) Pembedaan dari Segi Fungsi

Diantara lembaga negara yang tersebut dalam UUD 1945,

ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer

(primary constitusional organs), dan ada pula yang merupakan

organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Untuk

Page 19: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 9

memahami perbedaan diantara keduanya, lembaga-lembaga

negara tersebut dapat dibedakan menjadi tiga ranah (domain),

yaitu (i) kekuasaan eksekutif atau pelaksana (administratur,

bestuurzorg), (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan,

serta (iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.

Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan

negara, ada presiden dan wakil presiden yang merupakan satu

kesatuan institusi kepresidenan. Dalam cabang kekuasaan

kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan

kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial

sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku

hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang

(auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman. Komisi ini

bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of law), tetapi

merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the

rule of judicial ethics).

Sedangkan dalam fungsi pengawasan dan kekuasaan

legislatif, terdapat empat organ atau lembaga, yaitu (i) Dewan

Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis

Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) Badan Pemeriksa Keuangan.

Dalam ranah legislatif, lembaga parlemen yang utama adalah

Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah

bersifat penunjang, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah

lembaga perpanjangan fungsi (extension) parlemen, khususnya

dalam rangka penetapan dan perubahan konstitusi, pemberhentian

dan pengisian lowongan jabatan presiden atau wakil presiden.

Namun demikian, meskipun dalam bidang legislasi kedudukan

Dewan Perwakilan Daerah itu bersifat penunjang bagi peranan

Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi dalam bidang pengawasan yang

menyangkut kepentingan daerah, Dewan Perwakilan Daerah tetap

mempunyai kedudukan yang sangat penting. Karena itu, Dewan

Perwakilan Daerah tetap dapat disebut sebagai lembaga utama

(main state organ).

Page 20: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

10 | Hukum Kelembagaan Negara

Demikian pula dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat

sebagai lembaga parlemen ketiga, meskipun tugas-tugas dan

kepemimpinannya tidak bersifat rutin, Majelis Permusyawaratan

Rakyat tetap dapat disebut sebagai lembaga utama. Karena Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang mempunya kewenangan untuk

mengubah dan menetapkan konstitusi, Majelis Permusyawaratan

Rakyat juga berwenang memberhentikan presiden dan/atau wakil

presiden, serta memilih presiden dan/atau wakli presiden untuk

mengisi lowongan dalam jabatan presiden dan/atau wakil

presiden.

Begitu pula dengan Badan Pemeriksa Keuangan, dalam

kaitannya dalam dengan bidang pengawasan terhadap kebijakan

negara dan pelaksanaan hukum, maka kedudukan dan peranan

Badan Pemeriksa Keuangan sangat penting. Karena itu, dalam

konteks tertentu Badan Pemeriksa Keuangan terkadang juga dapat

disebut sebagai lembaga negara yang juga mempunyai fungsi

utama (main state organ).

Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal pula

adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah

Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Diantara ketiga lembaga ini,

hanya dua lembaga yang menjalankan fungsi kehakiman, yaitu

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sedangkan Komisi

Yudisial menjalankan peran sebagai lembaga pengawasan

terhadap kinerja hakim dan pengusul pengangkatan hakim agung.

Komisi ini bersifat independen dan berada di luar kekuasaan

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu

komisi ini juga tidak tunduk pada pengaruh keduanya. Komisi

Yudisial juga berfungsi sebagai lembaga penunjang (auxiliary)

terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi. Meskipun kekuasaan Komisi Yudisial

ditentukan dalam UUD 1945, bukan berarti lembaga ini

mempunyai kedudukan yang sederajat dengan dengan Mahkamah

Agung maupun Mahkamah Konstitusi.

Page 21: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 11

BAB II TEORI-TEORI YANG PENTING

SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAHASAN HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

A. Teori Konstitusi dan Konstitusionalisme

Pembicaraan mengenai lembaga-lembaga negara dapat

diawali dengan konstitusi. Menurut James Bryce, sebagai suatu

hukum dasar, konstitusi suatu negara ―the form of its government

and the respective rights and duties of the government towards the

citizens and of the citizens towards the government.‖7 Konstitusi

menyediakan suatu ―restraints on theexercise of political power

for the purpose of protecting basic human rights and privileges.‖8

Tetapi, suatu negara yang mempunyai konstitusi tidak serta merta

melekatkan sifat penghormatan konstitusionalisme.

Bagaimanapun, ―Constitutional government needs much more

7 James Bryce, 1995, The American Commonwealth (1888),

Indianapolis, Liberty Fund, hlm. 43.

8 Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional

Law, Boston, Little Brown, hlm. 22.

Page 22: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

12 | Hukum Kelembagaan Negara

than a well-written constitution.‖9

Dalam konteks ini, seperti

ungkapan Brain Tamanaha, bahwa ―positive law is not always the

primary source of political power.‖10

Pada tataran praktis, ―there

is substantial disagreement about exactly what sort of

fundamental law a constitution is and about what gives it its

normative force.‖11

Sehubungan dengan hal ini, maka kajian

mengenai kaidah konstitusi suatu negara ―could be understood

essentially as a theoretic of higher law grounded in the power of

uniquely constituted and inward-looking political

communities.‖12

Konstitusi secara harfiah berarti pembentukan. Kata

konstitusi sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu constituir

yang bermakna membentuk. Dalam bahasa latin, istilah konstitusi

merupakan gabungan dua kata yaitu cume dan statuere. Bentuk

tunggalnya contitutio yang berarti menetapkan sesuatu secara

bersama-sama dan bentuk jamaknya constitusiones yang berarti

segala sesuatu yang telah ditetapkan.13

9 Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary

and Cases, Melbourne, Oxford University Press, hlm. 4.

10 Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and

Society, Oxford, Oxford University Press, hlm. 140.

11 Jill Frank, ―Aristotle on Constitutionalism and the Rule of Law‖,

Jurnal Theoretical Inquiries in Law, Volume 8, No. 1, January 2007, hlm. 39.

12 Larry Catá Backer, ―From Constitution to Constitutionalism: A Global

Framework for Legitimate Public Power Systems‖, Penn State Law Review, Vol.

3 No. 113, 2009, hlm. 103.

13 Dalam sebuah studinya, Krammer menyebutkan bahwa istilah

Konstitusi merupakan suatu pengertian yang ambigu, karena mencakup istilah-

istilah seperti ―existing laws and practices that . constituted the government‖,

―ordinary law‖, ―fundamental law in the sense of old and valued customs‖,

fundamental law in the sense of a body of immutable principles beyond the reach

of any institution of government‖. Lihat: Larry D. Kramer, ―The Supreme Court,

2000 Term—Foreword: We the Court‖, Harvard Law Review, Vol. 4, No. 115,

2001.

Page 23: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 13

Dalam pandangan kaum positivis seperti Hart, mengartikan

konstitusi sebagai ―a rule of recognitionas, in other words, a

socio-cultural fact, binding insofar as it has beenaccepted.‖14

Tetapi paham demokrasi deliberatif seperti argumen Immanuel

Kant mengatakan bahwa konstitusi merupakan ―a transcendent

rule of right reason, regulative and binding as such.‖15

Sementara

dari kalangan legislatif, suatu konstitusi merupakan ―defines the

substantive and procedural limits on lawmaking.‖16

Oleh sebab

itu, konstitusi dalam suatu negara merupakan ―the proper share of

work to eah and every part of the organism of the State, and thus

maintains a proper connection between the different parts.‖17

Menarik untuk disimak, bahwa sementara pakar

menegaskan bahwa asal usul konstitusi adalah pengakuan

demokrasi, sedangkan demokrasi sendiri merupakan ―is an

attractive way to organize the country.‖18

Relasi konstitusi dengan

demokrasi itu antara lain terwujud ke dalam ketersediaan norma

yang mengakui fundamental rights dan upaya hukum yang ada

untuk penuntutan pemenuhannya.19

Penuntutan yang demikian

14 Jill Frank, loc.cit.

15 Ibid.

16 Adam N. Steinman, ―A Constitution for Judicial Lawmaking‖,

University of Pitsburgh Law Review, Vol. 64, 2004, hlm. 550.

17 Nobushige Ukai, ―The Individual and the Rule of Law Under the New

Japanese Constitution‖, New York University Law Review, Vol. 51, 1997,

hlm.733 dan 735-737.

18 Paul Brest, ―The Fundamental Rights Controversy: The Essential

Contradictions of Normative Constitutional Scholarship‖, Yale Law Journal,

Vol. 90, 1991, hlm. 1063.

19 Thomas W. Merrill, ―The Constitution and the Cathedral: Prohibiting,

Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco Advertising‖, New York

University Law Review, Vol. 93, 1999, hlm. 1143. Baca juga komentar serupa

dalam Eugene Kontorovich, ―Liability Rules for Constitutional Rights: The Case

of Mass Detentions‖, Stanford Law Review, Vol. 56, 2004, hlm.755.

Page 24: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

14 | Hukum Kelembagaan Negara

telah melahirkan konstitusionalisme, yang secara leksikal antara

lain dipahami sebagai ―the advocacy of constitutional

government‖, yang dalam hal ini ―government channeled through

and limited by aconstitution.‖20

Dalam konteks ini,

konstitusionalisme menjadi sarana penting ―for government to be

organized through and restrained by a set of constitutional rules;

such a person will be opposed, for example, to various forms of

absolutism because that involves repudiating the idea of rules

limiting government at the highest level.‖21

Dalam konteks inilah, konstitusi meneguhkan prinsip

pemisahan kekuasaan. Peneguhan ini dimaksudkan untuk ―to

avoidance of the tyranny of the individuals invoking state

power, but not to the regulation of the substantive ends for

which that power might be invoked.‖22

Dalam konteks ini

relevan apa yang dikatakan oleh de Smith and Brazier, bahwa,

―The doctrine of the separation of powers is often assumed

to be one of the cornerstones of fair government.‖23

Singkatnya, doktrin pemisahan kekuasaan bertujuan untuk ―to

limit the concentration of power within any one branch of

government.‖24

Prinsip pemisahan kekuasaan sendiri dalam

konstruksi filosofis dirumuskan sejak masa Aristoteles, dan

20 Roger Scruton, 1982, A Dictionary of Political Thought, London,

Macmillan, hlm. 94.

21 Jeremy Waldron, ―Constitutionalism: A Skeptical View‖, Public Law

& Legal Theory Research Paper Series Working Paper, No. 10-87, Desember

2010, hlm. 5.

22 Aharon Barak, ―Foreward: A Judge on Judging: The Role of a

Supreme Court in a Democracy‖, Harvard Law Review, Vol.16, 2002, hlm. 62.

23 de Smith and Brazier., 1989, Constitional and Administrative Law, 6th

ed, London, Penguin Books, hlm.19.

24 Ibid.

Page 25: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 15

kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pemikir John Locke dan

Montesqiue selama abad ke-18 dan 19.25

B. Teori Pemisahan Kekuasaan

Sebelum dikenalnya pemisahan kekuasaan dalam negara,

seluruh kekuasaan yang ada dalam negara dilaksanakan oleh raja.

Monarki absolut tersebut terjadi di seluruh Eropa. Perang

berkepanjangan menyebabkan para raja tersebut menarik pajak

yang tinggi dari masyarakat dan meminta bantuan keuangan pada

para bangsawan di negaranya yang merupakan cikal bakal

parlemen di beberapa negara. Hal tersebut antara lain dapat dilihat

pada negara Inggris yang memiliki parlemen pertama di dunia

yang dibentuk pada tahun 126526

, dan juga Prancis, di mana

Pemerintah Prancis yang bangkrut pada tahun 1789 terpaksa

memanggil kembali States-general yang tidak pernah bersidang

lagi pada tahun 1614.27

Pemisahan kekuasaan harus dilaksanakan

karena seperti dikatakan oleh Montesqiue, ―when the legislative

and executive power are united in the same person,or in the same

body of magistrates,there can be liberty.‖28

Pemikir pertama yang mengemukakan teori pemisahan

kekuasaan dalam negara adalah John Locke dalam bukunya Two

Treaties on Civil Government (1690). Pada bab XII buku tersebut

yang berujudul the Legislative, Executive, and Federative Power

of the Commenwealth, John Locke memisahkan kekuasaan dalam

tiap-tiap negara dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

25 J.W. Robbins, ―Acton on the Papacy, The Trinity Foundation‖

[Online], World Wide Web, URL: http://trinity2.envescent.com/

journal.php?id=66 (diakses tanggal 10 Maret 2011).

26 C.F. Strong, 1966, Modern Polical Constitution an Intruoduction to the

Comparative Study of Their History and Existing Form, London, Sidgwick &

Jackson Ltd, hlm. 27.

27 Ibid, hlm. 35-36.

28 Dalam Fatmawati, op.cit, hlm. 12.

Page 26: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

16 | Hukum Kelembagaan Negara

federatif. Locke sendiri kemudian menandaskan bahwa legislatif

merupakan lembaga yang dipilih dan disetujui oleh warga (chosen

and appointed), berwenang membuat undang-undang, dan

merupakan kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Kekuasaan

legislatif tidak perlu dilsakanakan dalam sebuah lembaga yang

permenen, selain karena bukan merupakan pekerjaan rutin, juga

dikhawatirkan adanya penyimpangan kekuasaan jika dijabat oleh

seseorang dalam waktu yang lama.29

Diilhami oleh pendapat John Locke tersebut, Montesqieu

dalam buku The Spiriti of Law (1748) pada bab XI menulis

tentang Konstitusi Inggris. Montesqieu memisahkan 3 (tiga) jenis

kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan

kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif memiliki kekuasaan

membuat, mengubah, dan menghapus undang-undang; kekuasaan

eksekutif memiliki kekuasaan yang menyatakan perang atau

damai, mengirimkan atau menerima duta, menjamin keamanan

umum serta menghalau musuh yang masuk; sedangkan kekuasaan

yudisial memiliki kekuasaan menghukum para penjahat atau

memutuskan perselisihan yang timbul diantara orang

perseorangan.30

Berbeda dengan John Locke, yang memasukkan

kekuasaan yudisial dalam kekuasaan eksekutif, Montesqieu

mamandang kekuasaan yudisial sebagai kekuasaan yang berdiri

sendiri.

Persamaan antara teori yang dikemukakan oleh John Locke

dan Montesqieu adalah bahwa kekuasaan dalam negara tidak

diperbolehkan hanya dimiliki oleh satu orang atau satu lembaga.

Persamaan lainnya tentang adanya kekuasaan legislatif dan

eksekutif dalam negara, yang masing-masing secara umum

memiliki kekuasaan membuat undang-undang dan melaksanakan

undang-undang. Sementara itu, perbedaan pemikiran John Locke

dengan Montesqiue yang paling penting mencakup 3 (tiga) hal.

29 Ibid., hlm. 13.

30 Ibid.

Page 27: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 17

Pertama, John Locke membagi kekuasaan dalam negara atas

legislatif, eksekutif, dan federatif dan kekuasaan legislatif adalah

kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara; sedangkan Montesqieu

membaginya dalam legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial,

di mana kekuasaan federatif menurut Montesqiue dikategorikan

sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif. Kedua, Montesqieu

memisahkan secara tegas masing-masing cabang kekuasaan,

eksekutif hanya mempunyai bagian dalam pembentukan undang-

undang berupa menolak (the power of rejecting), sedangkan

menurut John Locke kekuasaan eksekutif ikut membahas dan

menyetujui undang-undang. Ketiga, Montesqieu menjelaskan

secara rinci tentang parlemen baik dari fungsi, struktur organsiasi,

dan sistem pemilihannya.

Dalam perkembangannya, teori pemisahan kekuasaan yang

dikemukakan oleh Montesqieu dikembangkan lebih lanjut

sebagaimana dilihat dalam konstitusi Amerika Serikat yang

dikenal sebagai checks and balnces. Oleh Immanuel Kant, ajaran

Monestqieu tadi dalam banyak literatur hukum dan politik di

Indonesia dikenal sebagai ajaran Trias Politica. Menurut Moh.

Mahfud M.D., ajaran Trias Politica ini kemudian melahirkan

sistem pemerintahan yang berbeda-beda.31

Teori pemisahan kekuasaan berada dalam kerangka

pembahasan ―doctrine related to the division of executive,

legislative, and judicial power.‖32

Berbagai kajian mengenai

pemisahan kekuasaan mencakup ―fundamental questions about the

character, development, and proper operation of the overall

31 Moh. Mahfud M.D., op.cit., hlm. 362.

32 Bernard Schwartz, ―Curiouser and Curiouser: The Supreme Court‘s

Separation of Powers Wonderland‖, Notre Dame Law Review, Vol. 65, 1990,

hlm. 587. Lihat juga Geoffrey P. Miller, From Compromise to Confrontation:

Separation of Powers in the Reagan Era, George Washington Law Review, 1989,

Vol. 57, hlm. 401 dan 404.

Page 28: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

18 | Hukum Kelembagaan Negara

system of separated powers.‖33

Di Inggris, mekanisme pemisahan

kekuasaan menampakkan ―the pure doctrine of unseparated

powers‖, di mana ―a political movement need win only one

election before gaining plenary authority.‖34

Hal lain yang

menentukan adalah PM‘s ability to determine the time of the next

election (with only a five-year deadline constraining this

decision).35

Dalam pandangan ilmuwan hukum dan politik di Amerika

Serikat, masalah pemisahan kekuasaan acapkali dikaitkan dengan

legislative veto36

, executive privelege37

, dan independensi negara

bagian sehubungan dengan pemerintah pusat.38

Konstitusi

33 Jeffrey A. Segal, ―Correction to ‗Separation-of-Powers Games in the

Positive Theory of Congress and Courts‖, American Political Science Review,

Vol. 92, 1998, hlm. 923.

34 Brucke Ackerman, ―The New Separation of Power‖, Harvard Law

Review, No. 3 Vol. 113, 2000, hlm. 644.

35 Ibid.

36 Peter L. Strauss, ―Was There A Baby In the Bathwater? A Comment

on the Supreme Court‘s Legislative Veto Decision‖, Duke Law Journal, 1993,

hlm. 789, bahwa distinguishing the legislative veto in the context of executive-

congressional relations from that used in the regulatory context, and arguing

that only the latter use prompts constitutional concerns. Lihat juga: Alison

Marston Danner, ―Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the

International Criminal Court and the Independent Counsel‖, Stanford Law

Review, Vol. 20, 2003, hlm. 1633 dan 1638.

37 Louis Fisher, ―Separation of Powers: Interpretation Outside the

Courts‖, Pensilvania Law Review, Vol. 57, 1993, hlm. 57-62.

38 Lihat antara lain dalam: Stephen L. Carter, ―The Independent Counsel

Mess‖, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988, hlm. 105; Katy J. Harriger,

―Separation of Powers and the Politics of Independent Counsels‖, Political

Science Quartly, No. 109, 1994, hlm. 261; dan Donald J. Simon, ―The

Constitutionality of the Special Prosecutor Law‖, Michigan Journal of Law

Reform, Vol. 16, 1982, hlm. 45; dan Carl Levin, ―The Independent Counsel

Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance‖, Hofstra Law

Review, Vol. 16, 1987, hlm. 11.

Page 29: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 19

Amerika Serikat menentukan bahwa ―that national powers are

divided among three uniquely constituted organs of government:

Congress, the Presidency, and the Judiciary.‖ 39

Selanjutnya

dikatakan bahwa:40

The Constitution also incorporates a system of checks and

balances through which the branches share in one another's

powers. For example, the President shares in the legislative

function by virtue of his power to veto legislation. As the

Court observed in Mistretta v. United States, "the greatest

security against tyranny . .. lies not in a hermetic division

among the Branches, but in a carefully crafted system of

checked and balanced power within each Branch."

Konstruksi pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat

merupakan reaksi terhadap sistem pemeritnahan di Kerajaan

Inggris. Hal ini seperti diidentifikasi oleh Brucke Ackerman

sebagai berikut.41

39 Lawrence Lessig & Sunstein, Cass R., ―The President and the

Administration‖, Columbia Law Review, Vol. 94, 1994, hlm. 654.

40 Ibid. Baca juga pendapat Jack M. Beerman yang mengatakan bahwa,

―the United States Constitution requires a strict separation between the three

branches of government and that efforts within one branch to influence or

control the exercise of another branch‘s powers are illegitimate and should be

rejected whenever possible‖. Lihat: Jack M. Beermann, ―An Inductive

Understanding of Separation of Powers‖, dalam Electronic copy available at:

http://ssrn.com/abstract=1656452, diakses tanggal 4 Mei 2011.

Menurut sejumlah penulis, implikasi dari kaidah konstitusi ini adalah ―the

federal government and all state governments are structured around the

principle of separation of powers.‖ Baca: Elizabeth Magill, ―Beyond Powers and

Branches in Separation of Powers Law‖, University of Pansylvania Law Review,

No. 150, 2001, hlm. 603; Peter Strauss, ―The Place of Agencies in Government:

Separation of Powers and the Fourth Branch‖, Columbia Law Review, Vol. 84,

1984, hlm. 573; dan Arnold I Burns & Steven J. Markman, ―Understanding

Separation of Powers‖, Pace Law Review, Vol. 7, 1987, hlm. 575.

41 Op.cit., hlm. 633.

Page 30: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

20 | Hukum Kelembagaan Negara

Generally, English-speaking critics of American

separationism have looked to Great Britain as the source of

a competing model of democratic government. The modern

British Constitution famously concentrates lawmaking

power in the House of Commons, giving the Prime Minister

and her Cabinet effective control over the legislative

agenda. The real-world operation of this ―Westminster

model‖ has provided critics with a club to batter American

self-confidence. Given the British success in avoiding the

in-exorable slide into tyranny predicted by Madison and

Montesquieu.

Sekalipun mendapatkan pengaruh Amerika Serikat, doktrin

pemisahan kekuasaan yang dianut oleh Jepang dalam Konstitusi

(1947) tidak mencerminkan gaya presidensial42

, akan tetapi

mendekati sistem Westminter di Kerajaan Inggris.43

Kasus di

Jerman menunjukkan implementasi lain, ketika trauma dengan

kekuatan Presiden Adolf Hitler, Sekutu mendiktekan konstitusi

yang menghindari adanya pemilihan presiden langsung.44

42 Menurut Christopher A. Ford, ―American influence reached its zenith

in post-war Japan — with General MacArthur‘s legal staff presenting a draft

constitution to the Japanese within a ridiculously short space of time. In

particular, they did not require Japan to embrace an American-style presidency

as part of the price of its defeat.‖ Lihat lebih lanjut uraian ini dalam Christopher

A. Ford, ―The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience‖,

Case West of Journal International Law, Vol. 28, 1996.

43 Hanya saja format parlementarisme di Jepang tidak mendudukkan

parlemen sebagai organ dengan kedaulatan kuat seperti halnya di Kerajaan

Inggris. Pelaksanaan fungsi parlemen Jepang didukung oleh konstitusi tertulis

yang memuat pemisahan kekuasaan, hak asasi manusia, dan Mahkamah Agung.

Parlemen Jepang kuat dalam menentukan kabinet, akan tetapi kekuatan ini tidak

seimbang dengan kewenangan Majelis Tinggi. Lihat uraian ini dalam Brucke

Ackerman, ―The New Separation of Power‖, op.cit., hlm. 635.

44 Ibid., hlm. 633.

Page 31: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 21

Sekalipun masih menentukan penyusunan konstitusinya, Italia

―were entirely unprepared to build a presidential platform upon

which future Mussolinis might vie for (democratic)

preeminence.‖45

Khususnya di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa

Timur, pemisahan kekuasaan dalam desain konstitusi mereka

menggambarkan suatu ―outcomes as a distinctive blend of Western

and socialist ideas.‖46

Negara Spanyol misalnya, pasca

kedikatatoran Franco, telah berhasil menyusun skema pemisahan

kekuasaan dengan meniru model Jerman.47

Pengalaman Brazil

sampai era 1980-an, yang mengadopsi gaya Amerika Serikat,

memicu munculnya kediktatoran militer dan ―had considerable

success in leading the constitutional convention to consider

seriously a fundamental break with this system.‖48

Model Prancis dan Amerika Serikat, yang mengadopsi

sistem pemilihan presiden langsung dipadukan dengan pemisahan

tegas antara eksekutif dan legislatif menjadi model yang paling

berpengaruh di dunia dewasa ini.49

Sekalipun pengaruh itu, dalam

pandangan Feature tidak selalu berjalan mulus seperti kasus di

45 Ibid.

46 Lihat uraian lengkap dalam Rett R. Ludwikowski, ―Mixed‖

Constitutions — Product of an East-Central European Constitutional Melting

Pot‖, Birmigham International Law Journal, Vol. 1, 1998.

47 Spain‘s successful adaptation of the German constitutional model in its

own transition from Francoism gave German solutions substantial influence in

later transitions. For a description of how the Spanish example reinforced

preexisting Eastern European inclinations toward German ideas. Lihat dalam

Luis López Guerra, ―The Application of the Spanish Model in the Constitutional

Transitions in Central and Eastern Europe‖, Jurnal Cordozo Law Review, Vol. 19,

1998, hlm. 1937.

48 Brucke Ackerman, op.cit., hlm. 637.

49 Ibid.

Page 32: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

22 | Hukum Kelembagaan Negara

Polandia pada dasawarsa pasca komunias 1990-an.50

Namun di

Rusia, ―the American model has been invoked to justify grants of

power that in many instances far exceed those wielded by the

American President.‖51

Di negara Amerika Latin, adopsi gaya pemisahan kekuasaan

Amerika Serikat mengalami kegagalan karena ―their ‗founding

fathers‘ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted this

system, not to guarantee personal freedom, but rather to establish

a strong executive power for the purposesof preventing the

disintegration of their newly independent states.52

Implementasi

sistem tersebut di negara kawasan Amerika Latin menunjukkan

―the model of governance concentrated around the executive

power.‖53

Lagipula, semenjak masa penjajahan Portugis dan

Spanyol, ―almost all Latin American constitutions are provisions

that permit both democracy and dictatorship.‖54

Hal ini diperparah

50 During the early 1990s in Eastern Europe, Poland was the scene of an

especially interesting contest between proponents of rival models. In 1991, the

Solidarity-controlled Senate presented a presidentialist draft for a new

constitution modeled on the French system, while the Sejm (the lower house),

then still controlled by the Communists, advocated a parliamentary model based

on the German system. The confrontation between the Senate and the Sejm

inaugurated a complex institutional and ideological struggle, resulting in a 1992

―small constitution‖ and a 1997 permanent constitution that were closer to the

French model initially advanced by the Senate. Lihat Feature, ―The 1997 Polish

Constitution‖, Jurnal East Europe Constitutional Reviwe, Vol. 66, 1997, hlm. 64.

51 Amy J. Weisman, ―Separation of Powers in Post-Communist

Government: A Constitutional Case Study of the Russian Federation‖, American

University Journal of International Law and Policy, Vol. 10, 1995, hlm.1365.

52 Rett R. Ludwikowski, ―Latin American Hybrid Constitutionalism: The

United States Presidentialism in the Civil Law Melting Pot‖, Boston University

International Law Journal, Vol. 21, 2003, hlm. 51.

53 Ibid.

54 Keith S. Rosenn, ―The Success of Constitutionalism in the United

States and Its Failure in Latin America‖, University of Miami Inter-American

Law Review, Vol. 22, 1990, hlm. 33.

Page 33: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 23

juga dengan kenyataan bahwa ―constitutions are not entrenched

because political leaders do not fear citizen mobilization when

fundamental rules of the game are violated.‖55

Dari uraian tadi dapat diperoleh gambaran bahwa

perbincangan mengenai pemisahan kekuasaan umumnya bertumpu

pada relasi eksekutif dan legislatif. Walaupun sesungguhnya

percakapan ―The separation of powers involves not only

presidents and parliaments, but also the constitutional status of

courts and administrative agencies.‖56

Pemisahan kekuasaan

terkait dengan sistem demokrasi yang melekatkan kepada

perlindungan hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat

Brucke Ackerman yang mengatakan bahwa:57

In one way or another, separation may serve (or hinder) the

project of popular self-government. The second ideal is

professional competence. Democratic laws remain purely

symbolic unless courts and bureaucracies can implement

them in a relatively impartial way. The third ideal is the

protection and enhancement of fundamental rights. Without

these, democratic rule and professional administration can

readily become engines of tyranny.

Dalam pemisahan kekuasaan di Prancis, ―the President is

directly elected for a fixed term of seven years but is obliged to

appoint a Premier who has majority support in the National

Assembly.‖58

Hanya saja karena Majelis Nasional (the National

Assembly) harus diperbarui setiap 5 tahun sekali, maka ada

kemungkinan ada perbedaan pengaruh kekuasaan Presiden dengan

55 Rett R. Ludwikowski, op.cit., hlm. 57.

56 Brucke Ackerman, op.cit., hlm. 639.

57 Ibid.

58 Martin A. Rogoff, ―The French (R)evolution of 1958–1998‖,

Columbia Journal of Europe, Vol. 3, hlm. 453 dan 458.

Page 34: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

24 | Hukum Kelembagaan Negara

Perdana Menteri dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan.

Ketika partai politik Presiden dominan dalam koalisi

pemerintahan, maka Presiden mempunyai kekuasaan yang besar

seperti terjadi pada pemerintahan Presiden Charles de Gaulle

(1962-1969), Presiden Georges Pompidou (1969-1974), Presiden

Francois Mitterand (1981-1986), dan Presiden Jacques Chirac

(1995-1997). Akan tetapi jika koalisi mendukung Presiden akan

tetapi Presiden tidak mengendalikan koalisi, maka kekuasaan

Perdana Menteri biasanya relatif otonom seperti kasus Giscard

d‘Estaing (1974-1981) dan Francois Mitterand (1988-1989). Pada

kerangka semacam ini maka yang terjadi adalah kohibitasi

(cohabitation) pemerintahan seperti kasus Presiden Francois

Mitterand dari Partai Sosialis harus berbagi kekuasaan dengan

Perdana Menteri Jacques Chirac dari Partai Konservatif (186-

1988) dan Balladur (1993-1995). Masa kohibitasi berikutnya

terjadi pada pemerintahan Presiden Jacques Chirac dengan

Perdana Menteri Lionel Jospin (1997-2002).

Dibandingkan dengan pemisahan kekuasaan di Amerika

Serikat, kondisi di Prancis menunjukkan pemisahan yang relatif

lemah karena ―on the political side, the French President must

worry mostly about hostility from the National Assembly, since the

French Senate is not very powerful.‖59

Namun demikian, Presiden

dapat kembali mengontrol kekuasaan dengan melaksanakan

pemilihan umum untuk Majelis Nasional dalam waktu yang

ditetapkannya sendiri.60

Dari uraian di atas, nampak bahwa pengertian pemisahan

kekuasaan jauh dari sekedar sebuah definisi. Seperti diungkapkan

oleh Martin S. Flaherty,, bahwa ―separation of powers refers to a

theory about the appropriate allocation of government authority

among the institutions of the national government. It means, on

the one hand, classification of governmental power into three

59 Ibid., hlm. 459.

60 Lihat Pasal 12 Konstitusi Prancis (1958).

Page 35: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 25

categories, allocation of that authority to three different

institutions, with separation of personnel among the

institutions.‖61

Pemisahan kekuasaan dibutuhkan untuk ―self-

executing safeguard against the encroachment or aggrandizement

of one branch at the expense of another.‖62

C. Rule of Law

Sebagaimana lazimnya suatu pengertian, konsep rule of law

senantiasa berkembang dan mengelami penafsiran ulang dari

waktu ke waktu.63

Kata ini merujuk kepada pengertian suatu

doktrin, bahkan dapat dikatakan suatu ideologi, mengenai

bagaimanakah penyelenggaraan pemerintahan harus dilaksanakan,

dan dianggap sinonim dengan konsep demokrasi konstitusional,

dan kadang-kadang diberikan pengertian sebagai ―pemerintahan

yang demokratis.‖64

Berbagai sinonimitas itu dalam teori banyak

diuraikan melalui penjelasan yang singkat dan mengupayakan

ketegasan hubungannya dengan rule of law serta berbagai

hubungannya dengan lembaga-lembaga hukum yang lain.

Sekalipun konsep ini pada awalnya adalah gagasan yang

61 Martin S. Flaherty, ―The Most Dangerous Branch‖, Yale Law Journal

No. 105, 1998, hlm. 1725.

62 Abner S. Greene, ―Checks and Balances in an Era of Presidential

Lawmaking‖, University Chicago Law Review Vol. 61, 1994, hlm. 123 dan 125-

126. Periksa juga komentar senada dari pandangan penulis-penulis berikut:

William B. Gwyn, ―The Indeterminacy of Separation of Powers‖, George

Washington Law Review, 1999, 474-475; Harold J. Krent, ―Separating the

Strands in Separation of Powers Controversies‖, Virginia Law Review, Vol. 74,

1988, hlm. 1253-1255; dan Thomas O. Sargentich, ―The Contemporary Debate

about Legislative-Executive Separation of Powers‖, Cornell Law Review, Vol.

72, 1997, hlm. 430 dan 433.

63 Carlos Wing-hung Lo, ―Deng Xiaoping's Ideas on Law‖, Journal Asian

Survey Vo. 7 No. 32, 1992, hlm. 649.

64 Keith Mason, ―The Rule of Law‖. In P. D. Finn (ed.), 1995, Essays on

Law and Government, vol. I: 114-43, Sydney: LBC, hlm. 12.

Page 36: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

26 | Hukum Kelembagaan Negara

berkembang di Barat, akan tetapi sejumlah sarjana di kawasan

Asia akhir-akhir ini menghimpun perdebatan yang dipandang

sebagai sesuatu yang khas Timur.65

Dalam banyak kasus negara-

negara di banyak kawasan telah mempunyai konstitusi, akan tetapi

konstitusi itu tidak mempunyai pengertian yang sama, sekalipun

rumusan teks atau penamaan lembaga-lembaga negara mempunyai

kesamaan dalam penetapannya di konstitusi. Persoalan mendasar

yang mengemuka adalah sejarah, politik, dan ekonomi suatu

negara telah mempertajam perbedaan setiap konstitusi tersebut.

Sudut pandang modern mengenai rule of law merupakan

suatu istilah doctrinal, yang berkembang pada abad ke-19. Istilah

yang dikemukakan oleh A.V. Dicey (1959) ini mempunyai

persamaan gagasan dengan apa yang diungkapkan oleh W.E.

Hearn, seorang guru besar hukum dari University of Melbourne.

Sudut pandang Dicey dipengaruhi oleh perjalanan kariernya

sebagai seorang hakim dan pengacara praktik. Dalam

pandangannya, rule of law di Inggris harus mengandung formulasi

rumusan kelembagaan sebagai berikut. Pertama, tak seorang pun

dapat diberikan hukuman kecuali oleh badan pengadilan yang

berlaku umum. Kedua, bahwa tidak ada seorang pun yang berada

di atas hukum, apapun derajat dan kondisinya, tunduk kepada

hukum yang berlaku umum yang dapat diajukan tuntutan ke

pengadilan yang sifatnya umum juga, atau ada kesetaraan hukum

dan ini berlaku juga para pejabat resmi yang memerintah

warganegara. Kedua, prinsip-prinsip umum konstitusi merupakan

hasil dari putusan pengadilan yang menentukan hak-hak pribadi

dari seseorang khususnya yang diputus oleh pengadilan.

Penentukan unsur-unsur rule of law itu dianggap lumrah

dalam negara yang menganut doktrin continental. Tetapi Dicey

tetap bertahan dengan argumen itu. Salah satu problem yang

65 Lihat misalnya dalam analisis: De Bary, W. Theodore, ―The

Constitutional Tradition in Chin‖. Journal of Chinese Law, Vol. 1. 1995, hlm. 7-

34.

Page 37: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 27

muncul adalah bahwa doktrin itu lebih dekat dengan sistem di

Inggris dan mengabaikan kemungkinan adanya bermacam-macam

sistem hukum, yang menganut institusi hukum yang juga

bermacam-macam. Asumsi yang dibangun oleh Dicey adalah

bahwa hukum merupakan sesuatu yang tegas dan pasti sementara

di negara Inggris kekuasaan diskresi Pemerintah telah berkembang

semenjak abad ke 18 dan berkembang lebih luas lagi dalam masa-

masa sesudahnya.

Pada abad ke-19, banyak sarjana hukum yang berpandangan

bahwa hakim harus menemukan hukum, walaupun dalam

kenyataannya mereka menafsirkan hukum, dan sesungguhnya

tidak membuat hukum. Setelah kematian Dicey, aparatur negara

berkembang pesat dan perjuangan melalui hukum administrasi

telah menemukan cara baru untuk melindungi prinsip-prinsip

hukum melalui Ombudsman, Kebebasan Memperoleh Informasi,

dan pelembagaan control kepada eksekutif. 66

Versi akhir dari doktrin ini menekankan formalitas daripada

kandungan aspek hukum yang bersifat substantif, sehubungan

dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan dalam

kenyataannya, adalah pandangan politik Barat.67

Dengan kata lain,

peraturan adalah fakultatif, dan bukan substantif, dan bukanlah

sesuatu yang secara otomatis melekat untuk menjamn suatu

keadaan yang lebih baik.68

Dalam argument Teori Formal hanya

melihat dalam sebagian hal secara politik, yang mengigkari

kenyataan adanya bermacam-macam tradisi hukum di Barat, dan

juga secara ekonomi tidak memperhatikan aspek ekonomi dalan

66 Lihat argumen selengkapnya dalam Bensel Richard F. Bensel,

―Creating the Statutory State: the Implications of a Rule of Law Standard in

American Politics‖, Journal American Political Science Review, No. 74, 1980,

hlm. 734-744.

67 Michael Oakeshott, ―Executive Versus Judiciary‖, Journal Public Law

Review, No. 2, 1991, hlm. 179-193.

68 Ibid., hlm. 193.

Page 38: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

28 | Hukum Kelembagaan Negara

kerangka Welfare State. Kerangka Teori Formal nampak lebih

menunjukkan dimensinya sebagai suatu garis ideologis.69

Padahal

hukum sendiri menapakkan diri ke dalam bermacam-macam

bentuk dan criteria antara lain diundangkan untuk diketahui umum

dan tidak diam-diam, pada umumnya berlaku prospektif dan tidak

retroaktif, tidak memungkinkan untuk diuji, jelas dan

berkesinambungan satu dengan yang lain serta stabil; disusun

dengan panduan aturan hukum; pihak yang memuat dan

Pemerintah bertanggung jawab atas pembentukannya; dan

pengelolaannya sejajar dengan prinsip-prinsip hukum itu sendiri.70

Pendapat terakhir dewasa ini memasukkan unsur-unsur formal

penataan kelembagaan seperti independensi kekuasaan kehakiman

terhadap Pemerintah dalam memutus perkara individual, ada

profesi hukum mandiri, akses ke pengadilan, penerapan keadilan

alamiah (dalam hal ini pengambilan keputusan yang tidak bias

hukum dan mendengarkan para pihak secara setara), dan

imparsialitas dan kejujuran dalam penegakan hukum. 71

Sesungguhnya, suatu proses juga merupakan unsur yang

penting dalam penekanan pemeriksaan yang adil (dua process of

law), seperti memberikan kesempatan yang sama kepada para

pihak, oleh pengadilan atau pejabat yang independen, untuk

memperoleh keputusan rasional yang didasarkan kepada hukum.72

69 Robert S. Summers ―A Formal Theory of the Rule of Law‖, Journal

Ratio Juris, Vol. 2 No. 6, 1993, hlm. 135.

70 Baca dalam: Margarets Allars, 1990, Introduction to Australian

Administrative Law, Sydney: Butterworths, hlm. 15; John Finnis, 1980, Natural

Law and Natural Rights, Oxford, Clarendon Press, hlm. 270-271; John Rawls,

1971, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press, hlm. 235-243.

71 Bandingkan: Geoffrey de Q Walker, 1988, The Rule of Law:

Foundation of a Constitutional Democracy. Carlton, Melbourne: Melbourne

University Press.

72 Harry Jones, 'The Rule of Law and the Welfare State'. Columbia Law

Review, No. 58, 1988, hlm. 145-146.

Page 39: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 29

Dengan landasan Teori Formal, tak ada argumen untuk

menjelaskan bahwa suatu regim bersifat demokratis atau humanis

atau sebaliknya menolak hak asasi manusia, jika masih terjadi

diskriminasi dan hambatan kebebasan beragama. Sepanjang rezim

mengakui susunan hukum dalam pengertian formal, maka

disitulah hukum itu terasa telah dihadirkan.73

Di sejumlah negara kawasan Asia Timur seperti Cina,

bahwa hukum yang ditentukan oleh seseorang merupakan hal

yang berbahaya. Pengalaman terjadinya Revolusi Kebudayaan

(1966-1976) telah membuktikannya. Dengan kata lain rule by law,

pemerintahan yang dilaksanakan menurut hukum dibandingkan

pengaturan dalam kedikatatoran, merupakan sesuatu penting, baik

secara politik mapun sarana utnuk menuju modernisasi.74

Dalam

argumen ini, aturan-aturan yang ditentukan hukum, lebih baik

dibandingkan aturan-aturan yang bersifat personal. Dengan

demikian, hukum menjadi rasional untuk mengatur atau

menentukan arah perkembangan masyarakat.75

Pada sisi lain,

berlawanan dengan keyakinan ini, ada keyakinan yang tipis

diantara Pimpinan Pemerintahan senior mengenai pentingnya

akuntabilitas, yang sejumlah sektor mereka dengan efektif bisa

mengabaikan hukum, sekalipun itu pimpinan rendahan dalam

perang melawan korupsi. Dari sudut pandang instrumentalis,

kenyataan yang bertentangan ini menunjukkan ada hubungan

antara hukum dalam partai tunggal dan pengaturan hukum

merupakan sesuatu yang problematik. Pada satu hal partai harus

mengesampingkan hukum, sementara di sisi lain partai harus

memandu negara, dalam hal ini adalah melalui hukum. Sekalipun

73 Margaret Radin, ―Reconsidering the Rule of Law‖, Boston University

Law Review, Vol. 4, 1989, hlm. 176.

74 Jayasuria, ―The Rule of Law and Democracy in Hong Kong –

Comparative Analysis of British Liberalism and Chinese Socialism‖, E-Law-

Murdoch University Electronic Journal of Law, 1994.

75 Mixin Rei, 1992, hlm. 101.; Von Savenger, 1985, hlm. 200.

Page 40: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

30 | Hukum Kelembagaan Negara

secara resmi adanya yang mengatakan bahw ahal ini bukanlah

suatu penyimpangan, tetapi ada suatu kenyataan bahwa pimpinan

partai politik dapat berada di atas hukum. China sendiri telah

menentukan bahwa partai harus mematuhi hukum karena partailah

yang menyediakan personil untuk memimpin negara.

Di kawasan ASEAN (Association of South East Asia

Nations) berkembang suatu rule of law yang bersifat ―tipis‖, di

mana Pemerintah mengedepankan positivisme untuk mewujudkan

pertumbuhan ekonomi dengan menekankan aspek-aspek formal

atau instrumental dari setiap sistem hukum. Prinsip yang muncul

yaitu ―hukum adalah apa yang ditulis‖, yang mendorong

pemahaman kepada variasi baru sebagai rule by law.

Demikian apa yang terjadi dengan Laos, Vietnam, dan

Kamboja, yang pada tahun 1990-an menganut rule of law ―tipis‖,

partai-partai komunis yang berkuasa di negara itu berada di atas

hukum dan dengan demikiran merendahkan hukum. Menurut

Ronald Bruce St-John, akibatnya pemerintah negara itu daam

decade setelah 1975 menghadapi kendala-kendala yang luar biasa

dalam memberlakukan rule of law karena penemapatannya

melibatkan pertentangan dasar antara penghormatan terhadap

otoritas dan tradisi serta kerangka hukum yang dianggap oleh

banyak ekonom dan sarjana lainnya penting bagi ekonomi pasar.76

Sebaliknya, secara oposisional pakar lain mengajukan

konsep rule of law yang ―tebal‖, yang mencakup cita-cita

substantif seperti Hak Asasi Manusia dan tata pemerintahan yang

baik. Thailand ―telah berusaha membawa hukum mengikuti

perkembangan ekonomi dan sosial saat ini dan perlindungan

terhadap hak-hak individu menurut rule of law.77

Konstitusi

(1997), yang sempat dianggap konstitusi partisipatif, yang

76 Ronald Bruce St.John, ―Development, Reform, and Regionalism in

Southeast Asia‖, Yale Human Right and Development Journal, Vol. 10, No.1,

hlm. 196. 77 William C. Whitford, ―The Rule of Law‖, Wisconsin Law Review, No.

55, 2000, hlm. 723.

Page 41: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 31

memberikan perlindungan tehradap proses hukum dan kebebasan,

dibentuk oleh pelajaran dari pengalaman negara tas hukum

keadaan perang. Namun demikian, jaminan-jaminan formal

terhadap Hak Asasi Manusia melalui rule of law tidak selalu

memberikan pengaruh dalam praktiknya.

Suatu kesulitan membicarakan negaraa di kawasan Asia

Timur dan Tenggara, yang secara factual wilayahnya terbentang

dari Jepang hingga ke Burma dan Korea Utara pada sisi yang lain,

yang mengalami dilemma antara kerumitan hukum dengan

pertumbuhan ekonomi.78

Perlu dicatat bahwa di negara-negara ini

politik, ekonomi, dan lembaga-lembaga lainnya tak selalu

berkesesuaian. Filipina (sejak 1986) mempunyai konstitusi

modern, ada kebebasan pers, akan tetapi mengalami kemunduran

dalam hal ekonomi karena adanya mekansime feodalisme dalam

penguasaan tanah. Hal yang sama terjadi di India, sementara

Pakistan mempunyai demokrasi lemah, ekonomi semifeodal, dan

serupa dengan Bangladesh, marak kronikal politisi dan korupsi

yang meluas.

Singapura pada sisi lain, bersih dari korupsi, mempunyai

birokrasi yang efisien dan modern, standar hidup yang tinggi,

tetapi menjalankan partai tunggal yang paranoid terhadap oposisi.

Karakteristik serupa dijumpai di Malaysia, hanya karena

kemajemukan masyarakatnya menghasilkan sistem demokrasi,

pengadilan dan pers yang lebih terbuka dibandingkan dengan

tetatangganya itu. Brunei Darussalam, masih dikelola dalam

format negara dalam keadaan darurat (sejak 1962) dan isu-ksu

seperti tata pemerintahan yang baik sangat bergantung kepada

individual tanpa kerangka institutisonal untuk menjamin

kelanjutan perdamaian dan stabilitas. Kebebasan berbicara dibatasi

oelh Undang-Undang Penistaan (Deformation Act), Undang-

78 William F. Case, ―Can the Halfway House Stand? Semi Democracy

and Elite Theory in Three South East Asian Countries‖, Journal Comparative

Politics Vol. 4, 1996, hlm. 437-464.

Page 42: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

32 | Hukum Kelembagaan Negara

Undang Suratkabar (Newspaper Act), Undang-Undang

Pemberontakan (Sedition Act), dan diperbolehkannya penggunaan

hukum fisik bagi pelanggaran imigrasi. Konstitusi 1959, yang

diubah tahun 1984 dan 2004, memperbesar kekuasaan Sultan

dengan menghapus wewenang Dewan Legislatif guna mengawasi

Dewan Eksekutif, oleh sebab itu pemisahan kekuasaan menjadi

absen.

Di Myanmar, dari 1988-2011, diperintah secara oleh

sekelompok perwira militer yang disebut State Law and Orde

Restoration Council (SLORC) dan State Peace and Devopment

Council (SPDC). Pemerintah dan pejabatnya tidak bertanggung

jawab secara hukum. Kekebalan ini terus berlangsung hingga

disahkannya Konstitusi 2008 sehingga sekalipun konstitusi ini

mempunyai lembaga peradilan yang ditulis independen, akan

tetapi ia akan menerima tantangan baru mengenai keabsahan,

cakupan, atau penerapan klausul kekebalan tersebut. Konstitusi

juga mengesahkan dan melanggengkan aturan militer, di mana

antara lain Angkatan Bersenjata diberikan wewenang untuk

mengambil segala tindakan jika dipandang perlu dalam rangka

―berpartisipasi dalam kepemimpinan politik negara‖, yang mana

klausula ini tidak dapat diganggu gugat. Sementara itu, setiap

diperlukan Panglima Angkatan Bersenjata dapat melakukan

kapanpun reposisi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial,

atas nama langkah-langkah yang diperlukan dalam situasi darurat.

Ciri pengaturan ini unik diantara konstitusi di negara-negara

anggota ASEAN, jika tidak dapat dikatakan satu-satunya di dunia.

Taiwan menjadi negara pertama yang menerapkan

demokrasi modern dan mampu mengadopsinya dengan kultur

China,79

sebagaimana juga di Korea Selatan.80

Indonesia di masa

79 Lee Teng-hui, ―Chinese Culture and Political Renewal‖, Journal of

Democracy, Vol. 4, No. 6, 1995, hlm: 1-8.

80 Kun Yan, ―Judicial Review and Social Change in the Korean

Democratising Process‖, American Journal of Comparative Law , Vol. 1 No. 41,

1993, hlm: 1-8.

Page 43: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 33

Orde Baru, mempunyai sistem politik yang didominasi militer

tetapi pelanggaran HAM masih terjadi81

, yang dalam konteks ini

sering disebut soft-authoritarianism.

Pada sisi lain, kelahiran rule of law membutuhkan

dukungan baik dalam taraf gagasan maupun praktik. Minimal,

konstitusi yang ada mewadahi prinsip-prinsip tersebut, atau lebih

dari itu, konstitusi diberi kedudukan sebagai hukum yang tertinggi

sebagai pedoman dalam pembentukan hukum maupun kebijakan

(policy). Dengan sendirinya, jika unsur tersebut dipenuhi, akan

mencerminkan keterwakilan konstitusi sebagai sebuah instrumen.

Sudah semestinya, jika instrumen itu didukung oleh suatu

peradilan yang independen dan pembentukan Undang-Undang

oleh lembaga politik yang dipilih melalui pemilihan. Sebagai

implikasinya, Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk

menguji Undang-Undang, untuk menghilangkan pertentangan

proses pemilihan umum maupun tata cara penyusunan Undang-

Undang tersebut. Sudah tentu, mekanisme semacam itu akan

ditolak, sampai kemudian prinsip-prinsip hukum itu dihormati.

Untuk menjamin konstitusi dan akuntabilitas hukum, di samping

mekanisme pengujian (judicial review) oleh badan pengadilan

yang independen, sejumlah negara juga membentuk Ombudsman,

lembaga antikorupsi, dan pengadilan tata usaha negara. Jika

lembaga-lembaga itu ada dan berjalan secara efektif, maka akan

memperluas semua persoalan dikontrol secara eksternal oleh

hukum, dan memperdalam fungsi hukum dalam proses-proses

administrasi pemerintahan. Sekalipun jaminan hak-hak individual

diperdebatkan, akan tetapi sejumlah negara telah mengadopsi

control terhadap tindakan pemerintahan tersebut. 82

81 Julianne Kokott, ―Indonesian National Commission on Human Rights:

Two Years of Activities‖, Human Rights Law Journal Vol. 16, No. 10-12, 1995,

hlm. 420-421.

82 Lihat analisis lengkap dalam R. H. Hickling dan D. A. Wishart,

―Malaysia: Dr Mahathir's Thinking on Constitutional Issues‖, Lawasia , 1988-

1989, hlm. 47-79.

Page 44: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

34 | Hukum Kelembagaan Negara

Dalam tataran sebagai suatu ideologi, rule of law telah

ditelaah dari sudut pandang liberal, sejumlah pakar, yang sebagian

meninjau dari perspetif ―kiri‖, mengkritisi topeng ideologi dalam

ekses mengenai retorika sehubungan dengan kesetaraan di muka

hukum dan imparsialitas sebagai topeng yang menggarisbawahi

ketidaksetaraan dan eksploitasi.83

Dalam berbagai tulisan itu,

digunakan bermacam-macam varian. Pandangan E.P. Thompson,

misalnya, dalam kajian yang hati-hati sejarah Inggris abad ke-18,

mengikuti gagasan ini, akan tetapi, menyimpulkan bahwa dalam

sistem yang dikuasai oleh golongan kelas, menerima penerapan

hukum dalam rangka menjaga kepentingannya atau untuk

memberikan legitimasi.84

Dengan kata lain, sebagai akibat

golongan kelas menggunakan hukum maka akan menyamarkan

aksi politik sesungguhnya yang dikehendakinya. Tahap pertama

dari perkembangan ini adalah para pemegang kekuasaan politik

meletakkan mereka yang diperintah dalam garis yang

ditentukannya. Akan tetapi, ―these campaigns have a habit of

creating demands to extend the rules even higher to encompass

the behaviour of the ruling class.‖85

Untuk itu, dalam rangka memahami rule of law, ia tidak

bisa mengenai segala sesuatu yang baik yang diiinginkan oleh

rakyat dan pemerintahannya. Godaan terus menerus untuk

memahami rule of law demikian adalah bukti kekuasaan simbolis

dan rule of law, tetapi hal ini seharusnya tidak dituruti. Rule of law

dapat digunakan untuk bermacam-macam kepentingan. Ia dapat

digunakan sebagai sebuah pedang oleh para pembuat kebijakan

asing dan donor yang mencoba untuk mengekspor teori-teori dan

83 Jones, op.cit., 204; Roberto Unger , 1976, Law in Modern Society:

Towards a Criticism of Social Theory. New York: Free Press.: 52-57, 66-76, 166-

181, 192-216, dan 238-242.

84 Edaward P. Thompson, ―The Government of Laws and Not a

Government of Men‖, Journal. Public Law Review, Vol. 4, 1994, hlm: 158-174.

85 Jenner, op.cit., hlm. 144.

Page 45: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 35

kebijakan-kebijakan etnosentris, terlepas dari apakah teori-teori ini

dapat diterima oleh masyarakat di negara yang berkembang.

Sebagai contoh, semenjak di bawah otoritas Perserikatan Bangsa-

Bangsa pada tahun 1992-1993, Kamboja telah menerima miliaran

dolar dalam bentuk bantuan asing untuk mereformasi lembaga-

lembaga peradilan utama. Tetapi bantuan dana tidak selalu berarti

adanya hasil-hasil positif yang abadi karena tidaka danya penilaian

empiris oleh konsultan domestik.

Rule of law juga telah digunakan sebagai tameng oleh

negara-negara berkembang yang ingin mengurangi atau

meniadakan pentingnya hak-hak individu, dan dengan mudah

memberikan legitimasi kepada ajaran-ajaran komunitarian

tertentu. Dipelopori oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura,

Deklarasi Bangkok (1993) mengemukakan bahwa ―nilai-nilai

Asia‖ yang dimiliki oleh kawasan itu bertentangan dengan nilai-

nilai Barat yang didasarkan kepada individu.

Page 46: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

36 | Hukum Kelembagaan Negara

BAB III PARLEMEN

A. Pembahasan Umum

Dalam pelaksanaan kekuasaan negara terdapat cabang

kekuasaan yang menjalankan fungsi legislatif. Secara

kelembagaan, fungsi ini dijalankan oleh lembaga perwakilan

rakyat yang dikenal sebagai parlemen.86

Kata parlemen berasal

dari Bahasa Latin parliamentum, atau Bahasa Prancis parler yang

berarti ―berbicara‖, dan dapat diartikan suatu tempat atau badan di

mana para wakil rakyat berbicara satu sama lain untuk hal-hal

yang penting bagi rakyat.87

Parlemen dalam sistem demokrasi modern merupakan wakil

rakyat yang pada umumnya bertugas membuat undang-undang

dan mengawasi jalannya pemerintahan, dan fungsi-fungsi lain

yang berbeda-beda di setiap negara.88

Istilah parlemen

86 Muchammad Ali Safa‘at, 2010, Parlemen Bikameral: Studi

Perbandngan di Amerika Serikat, Prancis, Belanda, Inggris, Austria, dan

Indonesia, Malang, Penerbit UB Press, hlm. 24.

87 Ibid.

88 Ibid.

Page 47: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 37

(parliament) banyak digunakan di negara-negara Eropa,

sedangkan istilah legislatif (legislature) digunakan di Amerika

Serikat. Perbedaan istilah ini mengandung makna yang cukup

dalam dan strategis. Dalam kasus Eropa, istilah parlemen

mengandung makna pembicaraan masalah-masalah kenegaraan,

sedangkan di Amerika Serikat mengandung makna badan pembuat

undang-undang (badan legislatif atau law making body). Dalam

kenyataan kedua perbedaan tersebut terlihat pada fungsi politik

masing-masing.89

Menurut C.J. Friedrich, fungsi parlemen mencakup fungsi

perwakilan (representative assemblies) dan fungsi memecahkan

masalah dalam aktivitas masyarakat (deliberatives assemblies).90

Dalam menjalankan fungsi sebagai lembaga perwakilan, parlemen

merupakan lembaga utama pemerintahan perwakilan yang utama,

yang saat ini lebih merupakan hal yang formal dibandingkan

politis. Hal ini karena secara politik fungsi legislasi lebih banyak

dilakukan birokrasi.

Dalam menjalankan fungsi sebagai deliberative assemblies,

maka parlemen melakukan pengawasan terhadap fiskal dan

administrasi pemerintahan, dan teknik pelaksanaannya dilakukan

melalui speech and debate, serta questions and interpellation.

Mengenai speech and debate, dilakukan dalam perundingan di

parlemen. Perundingan dilakukan dengan cara pidato yang diikuti

dengan pembahasan. Pidato adalah aktivitas parlemen yang

mendasar sehingga harus dibatasi dan diatur dalam parlemen. Jika

seluruh argumen yang relevan telah disampaikan, pembahasan

harus berakhir dan berdasarkan praktik, pada negara Inggris dan

Amerika, maka keputusan diberikan kepada kelompok mayoritas.

Question merupakan salah satu alat yang paling penting

yang dimiliki oleh anggota parlemen. Dengan banyaknya

89 Bambang Cipto, 1995, DPR dalam Era Pemerintahan Modern-

Industrial, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 2.

90 Fatmawati, op.cit., hlm. 18-20.

Page 48: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

38 | Hukum Kelembagaan Negara

rancangan undang-undang inisiatif pemerintah dan meningkatnya

aktivitas administratif pemerintahan, maka pertanyaan dari

anggota parlemen semakin meningkat. Dalam sistem

pemerintahan demokratis yang dilaksanakan dengan sistem

perwakilan, parlemen dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam

penyelenggaraan sistem pemerintahan ini. Lembaga negara ini

merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan

negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang mengikat

seluruh rakyat.91

Menurut Giovanni Facchini dan Cecilia Testa,

―In modern democracies members of legislative bodies are

appointed through popular elections and while in principle

parliaments should only serve the interests of the electorate, in

practiceelected legislators are often subject to other pressure.‖92

Pembicaraan parlemen sebagai sistem perwakilan untuk

menjalakan demokrasi representatif seringkali dikaitkan dengan

bagaimanakah caranya struktur parlemen diorganisasikan agar

mencerminkan sifatnya sebagai lembaga perwakilan? Singkatnya,

―berapa banyak kamar yang seharusnya ada dalam parlemen?‖

Perbincangan mengenai struktur parlemen ini biasanya dikenal

dengan adanya 2 (dua) sistem yaitu sistem unikameral dan sistem

bikameral. Sistem unikameral terdiri atas satu kamar sedangkan

sistem bikameral mempunyai 2 (dua) kamar yang masing-masing

mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Selama berabad-abad, kedua

tipe struktur pengorganisasian demikianlah yang biasa

dikembangkan di mana-mana.93

91 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2000, Semua Harus Terwakili:

Studi mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia,

Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, hlm. 39-40.

92 Giovanni Facchini dan Cecilia Testa, 2008, A Theory of Bicameralism,

Department of Economics,University of Illinois at Urbana Champaign, hlm. 2.

93 Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam

Parlemen Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 11. Lihat juga, Jimly

Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah...., op.cit., hlm. 31.

Page 49: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 39

1. Sistem Unikameral

Dalam struktur parlemen tipe unikameral/satu kamar ini,

tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seperti adanya

Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, atau Majelis Tinggi dan

Majelis Rendah. Akan tetapi, justru sistem unikameral inilah yang

sesungguhnya lebih populer karena sebagian besar negara dunia

sekarang menganut sistem ini.94

Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral

ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi

pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif

tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi

yang dipilih oleh rakyat.95

Banyak alasan mengapa begitu banyak

negara mengadopsi sistem unikameral.96

Beberapa kecenderungan

penting yang dapat dicatat adalah negara-negara yang berukuran

kecil kemungkinan besar mempunyai satu kamar daripada dua

kamar. Hal ini karena masalah keseimbangan kekuasaan politik

lebih mudah diatasi daripada di negara besar. Di negara-negara

kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang membawa

komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan, dan biaya-biaya

daripada keuntungannya.97

Selama abad ke-20, negara-negara Scandinavia mengganti

sistem bikameral dengan unikameral. Parlemen-parlemen

unikameral mendominasi di sejumlah negara yang baru-baru ini

mencapai kemerdekaannya, dan yang sedang berkembang secara

94 Jimly Asshiddiqie, ibid., hlm. 33.

95 Ibid., hlm. 36.

96 Misalnya studi yang dilakukan oleh The Inter-Parliamentary Union,

1986, Parliaments of the World (A Comperative Reference Compendium), Vol. I,

Second Edition, New York, Penerbit Oxford, misalnya, menunjuk adanya 55

negara menganut sistem unikameral dari 86 negara yang dikaji.

97 Ibid, hlm. 36.

Page 50: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

40 | Hukum Kelembagaan Negara

politik dalam lingkungan yang sangat berbeda dengan ketika

pemerintaha parlementer Eropa Barat lahir.98

Menurut Dahlah Thaib, suatu sistem unikameral akan

memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut.99

Pertama,

kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan undang-undang

(karena hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi

rancangan undang-undang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan

dengan usulan yang berbeda-beda. Kedua, tanggung lebih besar

(karena anggota legislatif tidak dapat menyalahkan majelis lainnya

apabila suatu undang-undang tidak lolos, atau bila kepentingan

warganegara terabaikan). Ketiga, lebih sedikit anggota terpilih

sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk memantau

kepentingan mereka. Keempat, biaya lebih rendah bagi pemerintah

dan pembayar pajak.

2. Sistem Bikameral

Sistem bikameral menunjukkan adanya struktur parlemen

yang memiliki 2 (dua) kamar atau lebih, dalm dalam praktiknya,

walaupun sbeuah parlemen terdiri dari lebih 2 (dua) kamar,

kewenangan untuk membentuk undang-undang hanya berada pada

salah satu atau kedua kamar, atau jika seluruh kamar memiliki

kewenangan membentuk undang-undang, maka terdapat

perbedaan kategori undang-undang.100

Pelembagaan sistem

bikameral tidak terlepas dari perluasan cakupan gagasan

98 Ibid.

99 Dahlan Thaib, 2002, Menuju Parlemen Bikameral (Studi

Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945), Jogjakarta, Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm. 9-10.

100 Sebagai contoh dikemukakan bahwa berdasarkan Constitution of

South Africa Act 110 of 1983, ketiga kamar dalam parlemen memiliki

kewenangan untuk membentuk undang-undang menurut kateori apakah undang-

undang ditetapkan untuk 3 (tiga) golongan penduduk berdasarkan warna kulit

(kulit putih, berwarna, dan India), karena tiap kamar mewakili golongan tersebut.

Page 51: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 41

demokrasi perwakilan. Pada awalnya, demokrasi perwakilan

terpancar dalam pengertian sebagai kedaulatan dewan pemilih

(electorate) dan kedaulatan badan perwakilan. Pengertian yang

terakhir ini ―mengasumsikan rakyat bukan sebagai suatu totalitas

tetapi sebagai komunitas yang majemuk.‖101

Demokrasi

perwakilan yang berkembang di dalamnya bukan lagi bersumber

kepada satu kekuatan yang memiliki totalitas, tetapi dalam bentuk

pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang berkembang di dalam

masyarakat.102

Pandangan demokrasi perwakilan seperti ini tidak

mengabaikan kekuatan-kekuatan utama dalam masyarakat yang

disebut sebagai ―elit kekuasaan‖ yang sangat berpengaruh

terhadap masyarakat.103

Pengaruh kekuatan-kekuatan dominan ini

niscaya akan melahirkan kedaulatan kelompok yang secara

permanen dimiliki oleh sekelompok elit politik. Sedikit banyak,

pengaruh kekuatan dominan ini memiliki kemiripan dengan

gagasan kedaulatan raja yang menunjukkan adanya superioritas

yang dimiliki oleh seorang raja atau segelintir bangsawan.104

Dalam konfigurasi pemikiran semacam itu, demokrasi tidak

dipandang sebagai representasi dari kehendak rakyat yang bersifat

monistik dan memiliki totalitas yang mengasumsikan orang per

101 Lahirnya paham kemajemukan komunitas berakar dari perkembangan

ajaran filsafat pragmatisme yang berkembang di Inggris dan Amerika Serikat.

Periksa soal ajaran ini dalam Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum: Apakah Hukum

Itu?, Bandung, Penerbit Rosda Karya, hlm. 50; Theo Huijbers, 1993, Filsafat

Hukum dalam Lintasan Sejarah, Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 180; dan

Moctar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan

Nasional, Bandung, Penerbit Binacipta, hlm. 9.

102 Lihat dalam Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan

Keputusan Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS Press, hlm.

33.

103 Arief Budiman, 1997, Teori Negara, Jakarta, Penerbit Gramedia

Pustaka Utama, hlm. 61-63.

104 Aidul Fitriciada Azhari, op.cit., hlm. 33.

Page 52: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

42 | Hukum Kelembagaan Negara

orang secara individualistik, tetapi lebih kepada representasi

kelompok-kelompok yang berkembang di dalam masyarakat.105

Hal ini dikonfirmasi oleh Mac Iver yang mengatakan bahwa esensi

demokrasi tidak terletak pada kemurniaannya dalam

merepresentasikan kehendak rakyat sebagaimana yang

dipersoalkan dalam pandangan-pandangan kedaulatan rakyat

sebagai totalitas, tetapi pada volume yang merepresentasikan

kekuatan mayoritas.106

Artinya, kedaulatan rakyat dipandang

sebagai kehendak rakyat yang merupakan resultan dari

pertimbangan-pertimbangan kelompok dominan dalam

masyarakat. Argumen ini menunjukkan corak pemikiran

demokrasi perwakilan dengan sifat pluralis dan bukan totalitas.

Sifat pluralis dilembagakan dalam substansi perwakilan

yang menunjukkan perkembangan yang timbul dari kondisi

masyarakat industri yang mengalami pembagian kerja yang

spesifik. Inilah yang dikenal sebagai perwakilan industrial yaitu

perwakilan berdasarkan golongan-golongan ekonomi dan

pekerjaan. Perwakilan industrial ini merefleksikan kekuatan-

kekuatan kolektif yang terbentuk berdasarkan kepentingan

ekonomi dan pekerjaan yang tumbuh dalam masyarakat

industri.107

Perwakilan industri ini pada dasarnya melengkapi

perwakilan politik individual, yang pada dasarnya juga

menunjukkan perkembangan perwakilan lain dalam pertumbuhan

parlemen di Eropa. Dalam konteks pertumbuhan parlemen

tersebut, selain perwakilan individual, telah pula dikenal

perwakilan golongan, yaitu golongan bangsawan dan gereja.108

105 Ibid., hlm. 34.

106 Mac Iver, 1984, Negara Modern (Terjemahan), Jakarta, Penerbit Bina

Aksara, hlm. 180-181.

107 Aidul Fitriciada Azhari,., op.cit hlm. 96-97.

108 Ibid., hlm. 97.

Page 53: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 43

Bentuk perwakilan ini sekarang tetap dipertahankan dalam sistem

2 (dua) kamar di negara-negara yang berbentuk monarki seperti

House of Lords di Inggris.109

Dengan demikian, perwakilan

golongan tidak semata-mata berdasarkan fungsi industrial tetapi

berdasarkan kekuatan nyata yang ada dalam masyarakat seperti

berdasarkan agama atau keturunan (kebangsawanan, suku, atau

rasa).

Perwakilan teritorial merupakan jenis perwakilan lain yang

berkembang sejak lama. Perwakilan ini lahir untuk

merepresentasikan kepentingan komunitas di suatu unit geografis

tertentu dalam wilayah suatu negara. Dengan adanya

pengorganisasian atas wilayah-wilayah negara ke dalam daerah-

daerah atau negara-negara bagian, maka timbul kebutuhan akan

perwakilan atas kepentingan rakyat di teritorial tersebut. Dengan

adanya perwakikan ini, dimaksudkan untuk mempertahankan

keberadaan teritorial di dalam wilayah suatu negara.110

Perwakilan

teritorial ini yang cenderung dilembagakan ke dalam struktur

organisasi parlemen, seperti adanya Senat di Amerika Serikat.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa lahirnya

aneka ragam perwakilan, yaitu perwakilan politik yang bersifat

individual, kemudian perwakilan golongan (industrial dan

kelompok riil dalam masyarakat), serta perwakilan teritorial yang

mendorong pelembagaan organisasi parlemen menjadi lebih dari

satu kamar. Adapula, seperti sudah disinggung sebelumnya seperti

di Afrika Selatan (1983), struktur parlemennya menunjuk kepada

perwakilan politik, perwakilan golongan (penduduk), dan

perwakilan teritorial.

Dengan asal usul seperti, maka ada yang secara leksikal

mendefinisikan sistem bikameral sebagai a term applied by

Jeremy Bentham to the division of legislative body into two

109 Bambang Cipta, op.cit., hlm.

110 Krannenburg, 1981, Ilmu Negara Umum, jakarta, Pradnya Paramita,

hlm. 127-132.

Page 54: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

44 | Hukum Kelembagaan Negara

chamber.111

Atau seperti yang diungkapkan oleh Vernon

Bogdanor, bahwa sistem bikameral menunjukkan adanya Second

Chamber, yang mana historically second chambers are rooted in

the medieval idea of representation of orders or ESTATES. The

various social orders were considered to require representation in

different methods of selection.112

Dengan demikian, sistem bikameral mengenal struktur First

Chamber (Kamar Pertama) atau Lower House (Majelis Rendah),

yang mencerminkan sifat perwakilan politik individiual, yang

sebagian besar dikenal sebagai Dewan Perwakilan Rakyat dengan

istilah National Council (Prancis), House of Common (Inggris),

dan Bundestag (Jerman). Kemudian struktur berikutnya adalah

Second Chamber (Kamar Kedua) atau Upper House (Majelis

Tinggi) yang dikenal dengan variasi nama yang bermacam-

macam, seperti House of Lords di Inggris, Council of State di

Swedia, Bundesraat di Jerman, Dewan Negara di Malasyia dan

sebagainya.113

B. Evolusi Parlemen di Indonesia

1. Sebelum Perubahan UUD 1945

Pembicaraan mengenai parlemen di Indonesia pada masa ini

diawali dengan pemahaman mengenai Majelis Permusyawaratan

Rakyat. Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam

111 Henry Campbell Black, 1991, Black‘s Law Dictionary: Definition of

the Terms and Phrases and English Jurisprudence, Ancient, and Modern, 6th

Edition, Minnesota: West Group, hlm. 111.

112 Vernon Bogdanor, 1991, The Blackwell Encyclopedia of Political

Science, Massachusetts, T.J. Press Ltd., hlm. 555.

113 Kata ―rendah‖ dan ―tinggi‖ tidak menunjukkan relatifitas kekuasaan,

karena kadang-kadang Dewan Perwakilan Rakyat yang dinisbatkan sebagai

Majelis Rendah mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Senat sebagai Majelis Tinggi, atau kadang-kadang keduanya mempunyai

kekusaan formal yang nyaris sederajat satu sama lain dalam isu tertentu.

Page 55: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 45

naskah asli UUD 1945 dikaitkan dengan kedaulatan rakyat, di

mana diatur bahwa, ―Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan

dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat‖

(Pasal 1 ayat [2] UUD 1945). Selanjutnya Penjelasan UUD

1945114

mengenai Bab II Pasal 2 berbunyi, ―Maksudnya ialah

supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan

mempunyai wakil dalam Majelis sehingga Majelis itu akan betul-

betul dianggap sebagai penjelmaan rakyat.‖ Kemudian Penjelasan

UUD 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara angka III butir

3 mengatakan, ―Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die gezamte Staatgevalt Liegt

allei bei der Majelis).‖

Dengan demikian, UUD 1945 menempatkan Majelis

Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara yang

memiliki kekuasaan negara yang tertinggi. Majelis

Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga negara tertinggi

yang melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat dan secara

eskplisit tertulis bahwa Majelis adalah penjelamaan seluruh rakyat

Indonesia.115

114 Penjelasan UUD 1945 merupakan isu yang kontroversial karena oleh

the founding fathers tidak pernah ditetapkan dalam proses awal kelahiran

konstitusi kita. Ia dibuat sebagai pendapat pribadi Prof. Soepomo, yang kemudian

dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun I No. I/1946. Bukan hanya

bagaimana kekuatan hukum penjelasan tersebut yang tidak lazim dalam praktik

pembuatan konstitusi, tetapi juga karena Penjelasan dianggap membuat norma

tersendiri dibandingkan ketentuan dalam UUD 1945. Penjelasan UUD 1945

dianggap bagian tak terpisahkan dari UUD 1945 setelalah Dekrit Presiden 5 Juli

1959, yang kemudian terus menerus dikukuhkan oleh Orde Baru sebagai materi

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), suatu praktik

indoktrinasi untuk menyeragamkan ―tafsir‖ Pancasila sesuai dengan keinginan

penguasa. Setelah Perubahan UUD 1945, Penjelasan dihapus dan hal-hal yang

mengandung norma hukum dirumuskan sebagai bagian ketentuan Pasal-Pasal

dalam konstitusi.

115 Lihat juga Ismail Sunny, 1986, Mekanisme Demokrasi Pancasila,

Jakarta, Penerbit Bina Aksara.

Page 56: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

46 | Hukum Kelembagaan Negara

Ada 2 (dua) tafsir mengenai kata ―sepenuhnya‖ tersebut.

Pertama, ia merujuk kepada pengertian kedaulatan rakyat, yang

berarti kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat kemudian diserahkan

kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan menjadi

pelaku pelaksana dalam mekanisme kenegaraan.116

Kedua, ia

merujuk kepada lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat itu

sendiri, sehingga dalam hal ini berarti lembaga ini yang

merupakan satu-satunya lembaga yang melakukan kedaulatan

rakyat.117

Seperti dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa setelah

lembaga ini terbentuk, maka ia yang menjadi pemegang

kedaulatan rakyat (legal soverignty) itu secara hukum (Volonte

generale).118

Oleh karena keanggotannya dalam jumlah cukup besar,

maka untuk proses selanjutnya Majelis Permusyawaratan Rakyat

menyerahkan mandat lagi kepada lembaga tinggi negara di

bawahnyauntuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan yang

diterima oleh rakyat. Kepada siapa mandat itu diserahkan

kembali? Dalam referensi hukum tata negara ada 4 (empat)

pendapat. Pertama, kedaulatan Majelis Permusyawaratan Rakyat

itu diserahkan kepada lembaga-lembaga Presiden selaku

Mandataris, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

116 Riri Nazriyah, 2007, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Hukum dan

Prospek di Masa Depan, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 37-38.

117 Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, Penerbit UII

Press, hlm. 23-24.

118 Artinya, secara hukum kedaulatan rakyat tidak melulu disalurkan

melalui Majelis, akan tetapi dapat disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan

hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan

informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat, serta hak asasi

lainnya yang dijamin dalam undang-undang dasar. Lihat dalam Jimly

Asshiddiqie, ―Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat

UUD Tahun 1945‖, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum

Nasional VIII, Denpasar, Bali, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,

14-18 Juli 2003, hlm. 2.

Page 57: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 47

Badan Pemeriksa Keuangan.119

Kedua, kedaulatan yang dimiliki

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dibagikan secara vertikal

kelima negara tinggi yang lain yaitu Presiden, Dewan Perwakilan

Rakyat, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan

Dewan Pertimbangan Agung.120

Ketiga, kedaulatan rakyat yang

berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat ―dialirkan‖ kepada

Presiden melalui mandat yang diberikannya.121

Keempat,

kedaulatan yang berada di tangan rakyat yang dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat itu dalam

pelaksanaannya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-

undangan yaitu Undang-Undang Dasar, Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, dan Keputusan Majelis

permusyawaratan Rakyat. Artinya, kedaulatan rakyat itu dalam

praktik tidak terwujud dalam institusi, melainkan dalam hukum.122

Aneka rupa tafsir akademik mengenai kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dikaitkan dengan kedaulatan rakyat

mengemuka karena tidak dapat diketahui secara pasti, dasar

pemikiran membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat tingkat pusat yang terpisah. Ada yang

mengkaitkan dengan Soviet Sosialis (Union of Soviet Socialist

Republic). Ada juga yang membandingkan dengan Kongres

Rakyat Nasional (National People‘s Congress) di Tiongkok.123

119 Lihat dalam Padmo Wahyono, 1982, Negara Republik Indonesia,

Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 117-118.

120 Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan

121 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis

terhadap Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Pelita I-Pelita

V, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,

Jakarta, hlm.

122 Sri Sumantri M., 2007, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,

Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 138.

123 Lihat Bagir Manan, Politik dan Teori Konstitusi, op.cit., hlm. 51.

Page 58: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

48 | Hukum Kelembagaan Negara

Tetapi kalau ditelusuri lebih jauh, nama Majelis Permusyawaratan

Rakyat tidak muncul original dalam penyusunan UUD 1945, tetapi

diusulkan oleh Tan Malaka sebagai ―badan revolusi‖ yang

mewakili seluruh rakyat, yang diilhami oleh Majelis Nasional

(National Assembly) di Prancis. Badan ini bukan berkedudukan

sebagai badan perwakilan.124

Menurut pendapat penulis, dikaitkan dengan prinsip

permusyawaratan/perwakilan, sistem konstitusi, dan wawasan

negara hukum, serta memperhatikan tradisi ketatanegaraan

Indonesia asli (terutama yang berkembang di Sumatera Barat

dengan lembaga kerapatan nagari),yang dirumuskan dan

mempengaruhi praktik penyusunan UUD 1945 maka Majelis

Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga perwakilan.

Dengan prinsip prinsip yang dikemukakan di muka, maka sebagai

lembaga perwakilan, ia tidak memenag kekuasaan tanpa

pembatasan, tetapi dibatasi oleh UUD 1945 itu sendiri. Kemudian,

praktik penyelenggaraan fungsi kedaulatan rakyat itu

didistribusikan kepada lembaga negara yang ditetapkan UUD

1945, termasuk kepada Presiden. Dengan demikian, secara

ekstensif, bukan hanya Presiden yang bersifat sebagai Mandataris,

tetapi juga Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa

Keuangan, Dewan Pertimbangan Agung, dan Mahkamah Agung,

yang wajib tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat.125

124 Tan Malaka, 2000, Menuju Indonesia Merdeka, Jakarta, Penerbit

Komunitas Bambu, hlm. 57 dan Bagir Manan, Politik..., op.cit., hlm. 54.

Perkembangan di Prancis juga menunjukkan bahwa setelah tahun 1959, Majelis

Nasional berkembang menjadi dewan perwakilan yang berciri bikameral. Riri

Nazriyah, op.cit., hlm. 56.

125 Memang praktik di Orde Baru, yang cikal bakalnya dimulai pada

tahun 1960 ketika dibentuk oleh Presiden Soekarno Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara, menunjukkan hanya Presiden yang diberi cap sebagai

mandataris. Tetapi, setelah Pemilu 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat

menggelar Sidang Tahunan sejak tahun 2000, di samping sidang umum dan

Page 59: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 49

Dalam naskah asli UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) ditentukan

bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-

utusan daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang

ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai suatu lembaga

perwakilan, susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat secara

demikian meliputi unsur perwakilan politik-individual (anggota

Dewan Perwakilan Rakyat), kemudian perwakilan fungsional yang

mencerminkan masyarakat industrial (Utusan Golongan), dan

perwakilan teritorial guna menjamin kepentingan daerah agar

tidak terabaikan dalam keputusan nasional (Utusan Daerah).

Dengan kontur seperti ini, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat

benar-benar mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat,

sehingga tepat diberi kedudukan yang tertinggi (supreme).126

Timbul pertanyaan, bagaimana pengisian jabatan anggota

Majelis Permusyawaratan Rakyat? Semenjak awal, UUD 1945

tidak pernah mengatur masalah ini, meskipun kemudian di dalam

praktik dipahami bahwa untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat

harus dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, sedangkan

Utusan Daerah dan Utusan Golongan tidak harus dipilih,

melainkan cukup diutus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dan golongan-golongan yang akan diwakili.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959127

, Presiden Soekarno

menetapkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang

sidang istimewa, yang salah satunya adalah mendengarkan laporan pelaksanaan

tugas semua lembaga negara.

126 Jimly Asshiddiqie, 2003, Format Kelembagaan Negara dan

Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Jogjakarta, Penerbit FH UII Press,

hlm. 40.

127 Dekrit Presiden merupakan keputusan yang ditetapkan Presiden

Soekarno untuk (i) membubarkan konstituante; (ii) pemberlakuan kembali UUD

1945; dan (iii) membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Ia

dipandang sebagai keputusan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,

tetapi mempunyai legalitas atas dasar hukum tata negara darurat yang subyektif

Page 60: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

50 | Hukum Kelembagaan Negara

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara128

.

Disebutkan dalam penetapan tersebut bahwa: (i) Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong ditambah dengan utusan dari

daerah-daerah dan golongan-golongan; (ii) Jumlah anggota

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ditetapkan oleh

Presiden; (iii) Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-

golongan adalah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya;

(iv) Anggota tambahan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah

menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dikuasakan oleh

Presiden; dan (vii) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

mempunyai seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua yang

diangkat oleh Presiden. Untuk melengkapi pembentukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut kemudian ditetapkan

Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1959 mengenai susunan Utusan

Daerah dan Utusan Golongan. Keseluruhan anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara meliputi 551 orang, yang

terdiri atas 257 orang wakil-wakil politik (46,4%), 94 orang

Utusan Daerah (17,06%), dan 200 Utusan Golongan (36,30%).

Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, yang

merupakan parlemen hasil pemilihan umum tahun 1955

(subyektief staatsnoodsrecht), yang berlaku sekali selesai (einmaligh). Mengenai

latar belakang dan kontroversi Dekrit Presiden lihat dalam Adnan Buyung

Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-

Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar Harapan &

Eka Tjipta Foundation, hlm. Tinjauan mengenai aspek normatif Dekrit Presiden

baca: A. Hamid S. Attamimi, op.cit., hlm. 267-268.

128 Penetapan Presiden merupakan legislasi yang dianggap setara dengan

Undang-Undang dan ditetapkan dalam rangka melaksanakan Dekrit Presiden 5

Juli 1959. Lihat Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat No.

2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959 dan No. 3639/HK/1959 tanggal 16

November 1959. Lihat dalam A. Hamid S. Attamimi, ibid., hlm. 261.

Page 61: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 51

dibubarkan oleh Presiden dengan Penetapan Presiden No. 1 Tahun

1959. Untuk mencegah kekosongan anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara, kemudian ditetapkan

Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960. Penetapan itu mengatur

bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, selain

meliputi wakil-wakil golongan politik juga diangkat dari golongan

karya dan ditambah 1 (satu) orang wakil Irian Barat.

Setelah terjadi peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada

Soeharto, kemudian ditetapkan UU No. 10 Tahun 1966 tentang

Susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Seperti disebutkan dalam

Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut, ―Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara yang diatur berdasarkan

Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dalam undang-undang ini

tetap diberi nama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,

menjalankan tugas dan wewenangnya menurut UUD 1945 sampai

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara hasil pemilihan

umum menjalankan tugas dan wewenangnya.‖

Menurut UU No. 10 Tahun 1966, susunan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 4 dapat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah

yang belum mempunyai wakil. Wakil-wakil dari daerah-daerah itu

dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan

dengan cara yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Setelah dilaksanakan Pemilihan Umum pada 1971129

, pada

tanggal 28 Oktober 1972 untuk pertama kalinya Majelis

129 Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.

XI/MPRS/1966, seharusnya pemilihan umum dilaksanakan pada tahun 1968.

Akan tetapi, karena kuatnya pergumulan antaar Pemerintah dengan partai-partai

dalam membicarakan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum dan

komposisi Dewan Perwakilan Rakyat, maka undang-undang tersebut tidak dapat

diselesaikan tepat waktu sehingga pemilihan umum ditunda sampai Juli 1971.

Diskusi lebih lanjut soal ini, lihat Moh. Mahfud M.D., 2010, Politik Hukum di

Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali Press, hlm. 214 dan 241-244.

Page 62: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

52 | Hukum Kelembagaan Negara

Permusyawaratan Rakyat dilantik. Pembentukan lembaga ini

mengacu kepada UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang

menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari

anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah Utusan Daerah,

Golongan Politik, dan Golongan Karya. Jumlah anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dua kali jumlah anggota

Dewan Perwakilan Rakyat (460 orang) sehingga mencapai 920

orang. Susunannya mencakup: (i) 360 anggota Dewan Perwakilan

Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah 100 orang

diangkat oleh Presiden (75 Golongan Karya Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia dan 25 Golongan Karya Bukan Angkata

Bersenjata Republik Indonesia; (ii) Utusan Daerah meliputi

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Panglima Komando Daerah

Militer, dan Komandan Resort Militer, seluruhnya berjumlah 130

orang; (iii) Utusan Golongan Partai Politik (10 partai politik

peserta pemilihan umum sebanyak 350 orang); (iv) Utusan

Golongan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (155 orang);

(v) Utusan Golongan Karya Bukan Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (sebanyak 52 orang).130

Ketika membahas rancangan undang-undang tentang pemilihan umum,

juga terjadi ketidaksepakatan diantara anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

khususnya yang berkaitan dengan sistem pemerintahan distrik atau proporsional.

Di satu pihak pemerintah menginginkan sistem distrik, sebab di bawah sistem ini

rakyat lebih bisa mencalonkan pemimpin-pemimpin baru pilihan mereka sendiri

daripada yang diwakili oleh pemimpin-pemipin partai yang sudah ditetapkan. Di

lain pihak, partai-partai politik lebih memilik proporsional sekalipun juga

berbeda pendapat mengenai proporsi diantara wakil-wakil Jawa dan luar Jawa,

juga anggota-anggota yang diangkat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. Lihat dalam Makrum Kholil, 2009, Dinamika Politik

Islam: Golkar di Era Orde Baru, Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama, hlm.

106.

130 Baca juga Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, 1968, Pemilu 1971,

Jakarta, Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers, hlm. 14-15.

Page 63: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 53

Dari komposisi di atas, maka Majelis Permusyawaratan

Rakyat memiliki 920 anggota, di mana 460 anggota Dewan

Perwakilan Rakyat secara otomatis, sisanya berasal dari utusan

daerah dan utusan golongan yang diangkat oleh Presiden. Dengan

komposisi itu, para pengamat menyebut MPR sebagai ―demokrasi

40%.‖131

Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Pimpinan

Dewan Perwakilan Rakyat tidak dipisahkan, hanya saja untuk

komposisi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditambah

satu orang dari unsur Utusan Daerah. Tidak jelas benar mengapa

kedua jabatan itu tidak dipisahkan, kecuali spekulasi yang

mengatakan bahwa pemerintah tidak menghendaki kepemimpinan

Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kuat seperti era Abdul

Haris Nasution sebelumnya.132

Pada pemilihan umum berikutnya, dalam rangka mengisi

susunan keanggotaan lembaga perwakilan, hanya diikuti oleh 3

(tiga) kontestan yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan

Pembangunan133

, dan Partai Demokrasi Indonesia.134

Pemilihan

131 Lihat Makrum Kholil, op.cit., hlm. 116.

132 Lihat dalam A.M. Fatwa, 2004, Melanjutkan Reformasi Membangun

Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta,

Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 51-54 dan Aisyah Amini, 2004, Pasang

Surut Peran DPR-MPR 1945-2004, Jakarta, Penerbit Yayasan Pancur Siwah dan

PP Wanita Islam, hlm. 213, 225-227 dan 256-257.

133 Bahasan mengenai partai ini, misalnya Syamsuddin Haris, 1991, PPP

dan Peta Politik Orde Baru, Jakarta, Penerbit Grasindo dan Umaidi Radi, 1984,

Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat

Nasional, Jakarta, Penerbit Integrita Press. Keterkaitan eksistensi partai ini

dengan isu negara dan Islam (politik) dapat dibaca antara lain: Masykuri

Abdullah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim

Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1986-1993), Jogjakarta, Penerbit Tiara

Wacana; Taufik Abdullah, 1987, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah

Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES; Bachtiar Effendi, 1998, Islam dan Negara:

Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Penerbit

Paramdina; M. Rusli Karim, 1999, Negara dan Peminggiran Politik Islam,

Page 64: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

54 | Hukum Kelembagaan Negara

umum selama Orde Baru menempatkan Golongan Karya

menguasai mayoritas kursi parlemen.135

Komposisi anggota

Dewan Perwakilan Rakyat berjumlah 360 orang dipilih dan 100

orang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang diangkat

(hasil pemilihan umum 1971, 1977, 1982), 400 orang dipilih dan

100 orang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang diangkat

(hasil pemilihan umum tahun 1987 dan 1992), dan 425 orang

dipilih dan 75 orang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

yang diangkat (hasil pemilihan umum tahun 1997).

Selama Orde Baru, cara penentuan jumlah kursi yang

diperebutkan untuk setiap daerah pemilihan adalah penentuan

harga setiap 1 kursi dengan 400.000 suara dan jumlah Daerah

Tingkat II136

untuk setiap daerah pemilihan. Berdasarkan

ketentuan UU No. 15 Tahun 1969 Pasal 5, 6, 23, dan Penjelasan

Jogjakarta, Tiara Wacana; dan Deliar Noer, 2000, Partai Islam di Pentas

Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965,

Bandung, Penerbit Mizan.

134 Soal PDI periksa misalnya Adriana Elizabeth, dkk, 1983, PDI dan

Prospek Pembangunan Politik, Jakarta, Penerbit Rajawali.

135 Yaitu 62,11 % (1977), 64,34%(1982), 73,16% (1987), 68,10% (1992),

dan 74,51% (1997). Cukup banyak literatur dan referensi yang membahas

peranan Golongan Karya dalam masa Orde Baru, seperti: Imam Pratignjo, 1984,

Ungkapan Sejarah Lahirnya Golongan Karya Perjuangan Menegakkan Kembali

Negara Proklamasi 17-8-1945, Jakarta, Penerbit Jajasan Bhakti; Sofyan Lubis,

dkk, 1994, 30 Tahun Golongan Karya, Jakarta, Dewan Pimpinan Pusat

Golongan Karya; M. Irsyad Sudiro, 1998, Partai Golkar Menatap Masa Depan,

Jakarta, Penerbit Yappindo; Makrum Kholil, 2009, Dinamika Politik Islam:

Golkar di Era Orde Baru, Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama; dan Akbar

Tanjung, 2007, Golkar Way: Survival Partai Gokar di Tengah Turbelensi Era

Transisi, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

136 Menurut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di

Daerah, satuan pemerintahan di daerah (bukan ―pemerintah daerah‖ karena

ketentuan undang-undang menitikberatkan asas dekonsentrasi), meliputi Propinsi

Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Jadi ada otonomi

bertingkat.

Page 65: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 55

Umum butir 4, penetapan jumlah kursi untuk setiap daerah

pemilihan pertama-tama didasarkan pada jumlah Daerah Tingkat

II, barulah kemudian (jika hasil jumlah penduduk dibagi 400.000

melebihi jumlah Daerah Tingkat II) penetapan itu dilakukan

dengan perhitungan setiap 400.000 penduduk diwakili oleh satu

kursi di lembaga perwakilan. Dalam pandangan Moh. Mahfud

M.D., cara penentuan yang demikian menyebabkan potensinya

terjadinya underrepresentation dan over representation.137

Sebagai contoh pada Pemilihan Umum Tahun 1992, jatah

kursi untuk Sulawesi Selatan adalah 23 kursi, sedangkan Sumatera

Utara adalah 22 kursi. Padahal penduduk Sumatera Utara lebih

banyak dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Hal itu terjadi

karena melalui perhitungan sesuai dengan undang-undang yang

didasarkan kepada jumlah Daerah Tingkat II. Sumatera Utara

mempunyai 17 Daerah Tingkat II dengan jumlah penduduk yang

lebih besar hasil perkalian antara 17 dan 400.000, sehingga

mendapatkan tambahan kursi dari kelebihan itu sebanyak 5 kursi.

Sedangkan Sulawesi Selatan memiliki 23 Daerah Tingkat II

dengan jumlah penduduk lebih kecil dari perkalian 23 dan 400.000

sehingga kursi untuk Sulawesi Selatan cukup didasarkan kepada

jumlah Daerah Tingkat II. Dengan demikian, Sulawesi Selatan

mengalami over representation dan Sumatera Utara mengalami

under representation.

Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan

berhenti dan kemudian Wakil Presiden mengucapkan sumpah di

Istana Negara untuk menduduki jabatan sebagai Presiden.138

137 Ibid., hlm. 248-249.

138 Presiden Soeharto sendiri secara pribadi tidak pernah menjelaskan

alasan-alasan pasti pengunduran dirinya tersebut. Naiknya Habibie sebagai

Presiden, sekalipun secara normatif dianggap konstitusional merujuk kepada

Pasal 8 UUD 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.

VII/MPR/1973 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.

III/MPR/1978, memancing perdebatan legitimasi karena sebagian kalangan,

termasuk akademisi hukum seperti Dimyati Hartono, menganggapnya tidak sah.

Page 66: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

56 | Hukum Kelembagaan Negara

Situasi itu dianggap sebagai puncak dimulainya Orde Reformasi,

yang merupakan kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan

sebelumnya. Setelah konsultasi antara Presiden Habibie dengan

Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, maka kedua lembaga

sepakat untuk mengadakan Sidang Istimewa Majelis

Permusyawaratan Rakyat pada November 1998.

Selama kurun waktu tersebut, Presiden Habibie telah

menetapkan penggantian susunan keanggotaan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dengan komposisi baru dalam 6(enam)

gelombang, yaitu tanggal 1 Juli 1998, 24 Juli 1998, 13 Agustus

1998, 14 Oktober 1998, dan 7 November 1998. Penggantian itu, di

samping untuk menggantikan anggota yang mengundurkan diri,

juga untuk menampik tudingan adanya korupsi, kolusi, dan

nepotisme pada lembaga tertinggi negara tersebut.139

Setelah Sidang Istimewa pada 13 November 1998, telah

ditetapkan 12 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

diantaranya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.

XIV/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum, yang memerintahkan

agar pemilihan umum dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999.

Untuk itu kemudian dibentuk UU No. 2 Tahun 1999 tentang

Setelah penegasan Ismail Sunny, guru besar hukum tata negara Universitas

Indonesia dan ahli hukum senior, maka perdebatan tersebut menjadi reda.

Presiden Habibie tidak pernah dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

dalam suatu persidangan, karena ia mengucapkan sumpah di hadapan Pimpinan

Mahkamah Agung di Istana Negara, karena situasi darurat di mana gedung

parlemen saat itu diduduki oleh aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa.

139 Setelah Pemilihan Umum 1992, putra putri Presiden Soeharto, yaitu

Siti Hardiyanti Indra Rukmana, Bambang Trihatmodjo, dan Hutomo Mandala

Putra aktif di Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, yang kemudian

menhantarkan mereka menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan

berlanjut pada pasca pemilihan umum tahun 1997. Di samping itu banyak putra

dan putri pejabat negara yang menjadi anggota parlemen seperti Uga Wiranto da

Amalia Wiranto (isteri dan putri Jenderal Wiranto, yang kemudian menjadi

Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan sebagainya. Setelah

reformasi, banyak diantara mereka yang kemudian mengundurkan diri.

Page 67: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 57

Pemilihan Umum, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Partai Politik,

dan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan Umum itu sendiri

dapat dilaksanakan pada 7 Juni 1999 dengan diikuti oleh 48 partai

politik.

Dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1999, ditetapkan

jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sebanyak 700

orang, dengan rincian 500 orang anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, 135 orang Utusan Daerah dari setiap Daerah Tingkat I,

dan Utusan Golongan sebanyak 65 orang. Di samping itu juga

keanggotaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang

kemudian menjadi Tentara Nasional Indoensia dan Kepolisian

Republik Indonesia140

, dipertahankan dengan jumlah 38 anggota.

Merujuk kepada ketentuan Pasal 45 (Ketentuan Peralihan)

UU No. 4 Tahun 1999, susunan keanggotaan Utusan Golongan

tidak lagi ditentukan secara eksklusif oleh Presiden akan tetapi

melalui prosedur sebagai berikut. Pertama, Komisi Pemilihan

Umum141

menetapkan jenis dan jumlah wakil golongan. Kedua,

140 Pada 1 April 1999, Presiden Habibie memutuskan kepolisian

dipisahkan dari militer, dan nama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

diubah kembali (sejak 1959) menjadi Tentara Nasional Indonesia. Untuk

sementara waktu, kepolisian di bawah Departemen Pertahanan dan Kemamanan,

dan mulai 2000, langsung di bawah Presiden dengan dipimpin oleh seorang

kepala kepolisian.

141 Salah satu pembaruan kelembagaan pemilihan umum adalah

penyelenggara pemilihan umum dari yang semula Lembaga Pemilihan Umum

(yang didominasi oleh birokrat Departemen Dalam Negeri dan Kejaksaan

Agung), menjadi Komisi Pemilihan Umum yang mencakup perwakilan 48

anggota dari unsur partai politik yang lolos mengikuti pemilihan umum dan 5

orang wakil pemerintah (Andi Mallarangeng, Adnan Buyung Nasution, Adi

Andojo Sutjipto, Djohermansyah Djohan, dan Anas Urbaningrum). Untuk

pertama kali, Komisi yang independen ini dipimpin oleh Rudini, purnawirawan

militer yang populis dan pernah menjadi Menteri Dalam Negeri (1988-1993),

yang mana merupakan wakil dari Partai Musyawarah Keluarga Gotong Royong

(sempalan induk organisasi Golongan Karya) pimpinan H.R. Mien Sugandhi,

Page 68: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

58 | Hukum Kelembagaan Negara

masing-masing golongan mengajukan usul kepada Komisi

Pemilihan Umum dan ditetapkan secara resmi. Ketiga, menurut

daftar yang diajukan Komisi Pemilihan Umum, Presiden

menetapkan utusan golongan yang bersangkutan sebagai anggota

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Namun pemilihan golongan-golongan yang ditentukan oleh

Komisi Pemilihan Umum menimbulkan persoalan, karena untuk

menentukan golongan mana saja yang berhak mendapat kursi di

Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika itu, sangat alot, sehingga

harus dilakukan voting yang akhirnya ditetapkan sebanyak 65

(enampuluh lima) organisasi yang berhak menempatkan wakilnya.

Sementara itu, undang-undang menetapkan bahwa Utusan

Daerah merupakan tokoh masyarakat yang dianggap dapat

membawakan kepentingan rakyat yang ada di daerahnya, yang

mengetahui dan mempunyai wawasan serta tinjauan yang

menyeluruh mengenai persoalan negara pada umumnya dan yang

dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I dalam

rapat paripurna (Pasal 1 angka 4). Keseluruhan anggota Utusan

Daerah dalam periode ini mencapai 65 orang. Dalam Peraturan

Tata Tertib, Utusan Daerah tidak dikelompokkan ke dalam fraksi

dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Perlu juga dicatat, bahwa untuk dapat ditetapkan sebagai

Utusan Daerah, undang-undang tidak pernah mensyaratkan adanya

keharusan asal daerah atau keterkaitan daerah bagi anggotanya.

Artinya, setiap warganegara dapat menjadi Utusan Daerah untuk

daerah tertentu asal memenuhi persyaratan. Akibatnya, orientasi

Utusan Daerah menjadi cenderung kepada partai politik, bukan

kepada kepentingan daerah.142

mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (1993-1998). Perempuan ini

adalah suami Brigjen (Purn.) H.R. Sugandi, mantan ajudan Presiden Soekarno

yang kemudian untuk pertama kali memimpin kelompok Musyawarah Keluarga

Gotong Royong pada dekade 1960-an.

142 Lihat Efriza dan Syafuan Rozi, op.cit., hlm. 109.

Page 69: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 59

Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999-

2004 dipilih oleh anggota pada tanggal 3 Oktober 1999 oleh 650

anggota. Sebagai Ketua, terpilih Amien Rais (Fraksi Reformasi),

yang didampingi oleh 7 (tujuh) orang wakil ketua, masing-masing

Kwik Kian Gie (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan),

Ginanjar Kartasasmita (Fraksi Partai Golongan Karya), H.M.

Husnie Thamrin (Fraksi Utusan Golongan), Matori Abdul Jalil

(Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa), Hari Sabarno (Fraksi Tentara

Nasional Indonesia/Polri), Jusuf Amir Faisal (Fraksi Partai Bulan

Bintang), dan H.A. Nazri Adlani (Fraksi Partai Persatuan

Pembangunan). Dalam perkembangan selanjutnya, karena

diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Menteri

Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie

digantikan oleh Sutjipto.

Jika dicermati, komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat

hasil pemilihan umum tahun 1999 sebenarnya tidak berbeda

dengan selama Orde Baru, hanya ada perbedaan jumlah dan tata

cara pengisian jabatannya, khususnya untuk Utusan Daerah dan

Utusan Golongan. Namun komposisi tersebut membuat susunan

anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ada 2 (dua), yaitu

anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang juga anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Majelis yang bukan

anggota Dewan, yaitu Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

Artinya, seolah-olah ada 2 (dua) lembaga perwakilan rakyat, yaitu

Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Komposisi itu juga tidak dapat disebut multikameral, karena

tidak menampakkan parlemen dengan struktur demikian, yang ada

kelembagaan secara efektif dalam susunan parlemen. Dapat dilihat

bahwa Utusan Daerah tidak pernah berfungsi efektif karena pada

satu tidak dipilih dan tidak berkategori sebagai fraksi, juga di sisi

lain tidak memiliki kesinambungan tugas melainkan semata-mata

menjalankan kekuasaannya sebagai anggota Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang bukan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat.

Page 70: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

60 | Hukum Kelembagaan Negara

Kemudian Utusan Golongan juga mempunyai minimal 3

(tiga) persoalan mendasar sebagai berikut. Pertama, selama ini

Utusan Golongan tidak dipilih langsung oleh rakyat melainkan

melalui pengangkatan, yang selama Orde Baru menjadi kekuasaan

eksklusif dari Presiden. Setelah Pemilihan Umum Tahun 1999,

Utusan Golongan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, yang

berarti seakan-akan menempatkan komisi pada posisi yang sejajar

dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, asal muasal Utusan

Golongan, misalnya dari unsur organisasi profesi seperti artis dan

cendekiawan misalnya, yang secara individual telah memilih

wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga, ada kesulitan

untuk menetapkan siapa saja golongan yang berhak mengirimkan

wakilnya ke Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebab definisi

golongan selalu menjadi polemik tiap kali akan menetapkan siapa

wakilnya.

Sisi lain yang penting untuk dikemukakan lainnya adalah

dalam periode ini Majelis Permusyawaratan Rakyat telah

melaksanakan Perubahan UUD 1945. Perubahan itu dilaksanakan

dalam 4 (empat) tahap pengambilan keputusan dalam kurun waktu

1999-2002 yaitu: (i) Perubahan Pertama UUD 1945, ditetapkan

dalam Sidang Umum tanggal 14-21 Oktober 1999; (ii) Perubahan

Kedua UUD 1945, yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan tanggal

7-18 Agustus 2000; (iii) Perubahan Ketiga UUD 1945, yang

ditetapkan dalam Sidang Tahunan tanggal 1-9 November 2001;

dan (iv) Perubahan Keempat UUD 1945, yang ditetapkan dalam

Sidang Tahunan tanggal 1-11 Agustus 2002.

Salah satu materi yang menjadi perubahan konstitusi

tersebut adalah reposisi dan refungsionalisasi Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Penguatan kelembagaan lembaga

perwakilan merupakan isu strategis dan menjadi bagian dari

reformasi politik untuk membangun sistem yang lebih demokratis.

Kontestasi usulan pakar dan masyarakat sipil sehubungan

dengan penguatan lembaga perwakilan, terutama dikaitkan dengan

struktur dan komposisi Majelis Permusyawaratan mencerminkan 5

Page 71: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 61

(lima) pokok pikiran sebagai berikut. Pertama, pelembagaan

demokrasi perwakilan tidak cukup hanya Dewan Perwakilan

Rakyat saja, karena dianggap tidak mungkin menampung aspirasi

rakyat seluruhnya, khususnya aspirasi daerah yang mengandung

nilai-nilai politik, sosial, dan kultural. Kedua, pelembagaan

perwakilan harus memperhatikan aspirasi daerah sehingga dapat

terwakili secara efektif di tingkat nasional. Ketiga, perlunya

dilakukan restrukturisasi format Majelis Permusyawaratan Rakyat

di mana tidak boleh lagi ada anggota yang diangkat dan semua

harus dipilih dalam pemilihan umum. Keempat, perlunya

refungsionalisasi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai

lembaga perwakilan, yang harus terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Kelima,

pelembagaan perwakilan harus mencerminkan sistem bikameral.

Dengan demikian, berbagai pendapat tersebut mengerucut

kepada pembentukan sistem bikameral dengan mengedepankan

semangat ―semua harus dipilih.‖ Tidak dijelaskan mengapa

semangat itu yang dikemukakan dan tidak semangat ―semua harus

terwakili.‖ Demikian juga tidak ada elaborasi lebih lanjut

mengenai sistem bikameral dibandingkan dengan sistem yang ada

pada waktu itu, sekaligus tidak ada ketegasan bagaimanakah

susunan lembaga perwakilan itu akan dikonstruksikan. Apakah

Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan joint-session dengan

mencontoh Kongres di Amerika Serikat, antara Dewan Perwakilan

Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah; ataukah merupakan

kelembagaan tersendiri diantara kedua lembaga perwakilan yang

lain, ataukah justru akan dihilangkan baik struktur maupun

fungsinya?

2. Sesudah Perubahan UUD 1945

Pada hari Jumat, 9 November 2001 telah disetujui

Perubahan Ketiga UUD 1945, terutama pasal-pasal yang

menyangkut Dewan Perwakilan Daerah, kecuali Pasal 2 ayat (1)

UUD 1945 Bab II yang menyangkut keanggotaan Majelis

Page 72: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

62 | Hukum Kelembagaan Negara

Permusyawaratan Rakyat.Ketentuan-ketentuan mengenai Dewan

Perwakilan Daerah yang disepakati dalam Perubahan Ketiga UUD

1945 adalah sebagaimana yang tercantum dalam Bab VIIA, Pasal

22C dan Pasal 22D sebagai berikut.

Bab VIIA Pasal 22C

(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap

provinsi melalui pemilihan umum.

(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap Provinsi

jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan

Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota

Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam

setahun.

(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur

dengan undang-undang.

Bab VIIB, Pasal 22D

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan

pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah; serta memberikan pertimbangan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas Rancangan Undang-

Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan, dan agama.

Page 73: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 63

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,

hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan

agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk

ditindaklanjuti.

(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari

jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam

undang-undang.

Kemudian mengenai komposisi Majelis Permusyawaratan

Rakyat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 baru dapat

diputuskan melalui pemungutan suara dalam Sidang Tahun

Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002, menjadi rumusan

sebagai berikut.

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan

Daerah, yang dipilih melalui pemilihan umum, dan diatur

lebih lanjut dengan undang-undang.

Terlihat di dalam pasal tersebut, komposisi parlemen

Indonesia saat ini terdiri dari 2 (dua) majelis atau 2 (dua) kamar.

Mengenai kewenangan dan fungsi kedua majelis/kamar tersebut,

yang menurut banyak ahli dikategorikan sebagai parlemen

bikameral, kiranya masih perlu dijabarkan secara teoritis dan

komparatif. Dengan lain perkataan, apakah dengan ditetapkannya

rumusan baru komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah

Peruabahan UUD 1945 telah mencerminkan parlemen bikameral?

Bikameralisme bukanlah bacaan tunggal dalam menentukan watak

parlemen setelah Perubahan UUD 1945. Kenyataan bahwa

komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari dua

Page 74: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

64 | Hukum Kelembagaan Negara

kelembagaan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah, dalam pandangan Komisi Konstitusi

menujukkan sistem unikameral dalam parlemen setelah Perubahan

UUD 1945. Dalam argumen Komisi Konstitusi:

Konstitusi tidak menentukan hubungan DPR-DPD sebagai

hubungan antarkamar maupun hubungan antar kelompok

anggota di bawah naungan MPR. Artinya tidak ada

hubungan antarlembaga (atau antar-kamar). Karena

demikian, MPR merupakan parlemen unikameral dengan

kenaggotaan ganda utusan partai-partai dan utusan-utusan

daerah. Kecuali soal penghapusan Utusan Golongan,

kenyataan ini tidak berubah dari kondisi pra-amandemen.

Keanggotaan MPR pra-amandemen terdiri atas anggota

DPR, utusan-utusan daerah, dan utusan golongan-

golongan (termasuk militer), namun tidak terdapat sub-

kelembagaan lain, kecuali MPR dan tidak ada hubungan

antar-kamar dalam ruang lingkup MPR tersebut. Justru,

yang ada adalah hubungan DPR dan MPR dalam

pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya.143

Pendapat lainnya mengemukakan bahwa setelah Perubahan

UUD 1945 struktur parlemen menjadi bikameral, seperti

dikemukakan oleh Dahlan Thaib dan Sofian Effendi. Menurut

Dahlan Thaib, pasca Perubahan UUD 1945 Majelis

Permusyawaratan Rakyat tidak lagi sebagai lembaga negara

tertinggi, sehingga berdasarkan perubahan tersebut, maka di masa

yang akan datang dikembangkan parlemen 2 (dua) kamar yaitu

Dewan Perwakialn Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dengan

tetap mempertahankan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai

143 Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2004, Naskah Akademik Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Usulan Komisi Konstitusi, Jakarta,

hlm. 54-55.

Page 75: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 65

persidangan bersama pada dua lembaga tersebut.144

Sementara itu,

dalam pandangan Sofian Effendi, dengan berlakunya UUD hasil

amandemen, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai

pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan

dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan sebagai badan

bikameral dengan kekuasaan yang lebih besar (strong

legislative).145

Pendapat lain mengatakan bahwa sistem parlemen setelah

Perubahan UUD 1945 adalah trikameral, seperti yang

dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan. Menurut

Jimly Asshiddiqie, setelah Perubahan UUD 1945, parlemen terdiri

dari 3 (tiga) pilar, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah.146

Demikian

pula Bagir Manan yang mengatakan bahwa setelah Perubahan

UUD 1945 struktur parlemen terdiri dari 3 (tiga) badan perwakilan

yang mandiri. Setiap badan perwakilan itu mempunyai anggota

masing-masing dan lingkungan jabatan yang mandiri berikut

kewenangannya sendiri-sendiri, sehingga tidak dapat

dikategorikan ke dalam sistem 2 (dua) kamar.147

Jika disarikan dan dilakukan analisis maka pendapat di atas

dapat disajikan ke dalam 3 (tiga) pokok-pokok pikiran sebagai

berikut. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa setelah

Perubahan UUD 1945, struktur parlemen Indonesia menganut

unikameral. Seperti argumen yang dibangun oleh Komisi

Konstitusi, dengan kerangka pemikiran bahwa tidak ada

kelembagaan yang lain di luar Majelis Permusyawaratan Rakyat

144 Dahlan Thaib, op.cit., hlm. 8.

145 Sofian Effendi, ―Sistem Pemerintahan Kekeluargaan‖, Pidato Dies

Natalis XVIII Universitas Wangsa Manggala, Jogjakarta, 9 Oktober 2004, hlm. 6.

146 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, op.cit., hlm.

274.

147 Bagir Manan, op.cit., hlm. 5 dan hlm. 61.

Page 76: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

66 | Hukum Kelembagaan Negara

yang mempunyai keanggotaan ganda yaitu wakil-wakil politik

(Dewan Perwakilan Rakyat) dan wakil-wakil daerah (Dewan

Perwakilan Daerah). Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa

setelah Perubahan UUD 1945, struktur parlemen Indonesia

menganut bikameral, karena Majelis Permusyawaratan Rakyat

tidak lagi sebagai lembaga, sehingga hanya Dewan Perwakilan

Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan lembaga.

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa setelah Perubahan

UUD 1945, struktur parlemen Indonesia menganut trikameral.

Pijakan argumentasi adalah pandangan bahwa Majelis

Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan suatu lingkungan

jabatan tersendiri dan merupakan suatu lembaga negara.

Kemudian, antara pendapat yang mengatakan bahwa

struktur parlemen Indonesia menganut bikameral maupun

trikameral berangkat dari 3 (tiga) asumsi yang sama. Pertama,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tersendiri.

Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki kewenangan

sesuai dengan fungsi dari parlemen (representative assemblies dan

deliberative assemblies). Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat

masing-masing mempunyai anggota, struktur kelembagaan, dan

aturan prosedural internal sendiri-sendiri.148

Sekalipun ada perbedaan dan persamaan, akan tetapi

masing-masing pendapat itu tidak menjelaskan, ―kriteria apakah

yang digunakan untuk mengatakan bahwa masing-masing

lembaga negara itu merupakan suatu ―lembaga?‖ Atau secara

negatif, dapat juga diajukan pertanyaan, ―kriteria apakah yang

digunakan untuk mengatakan bahwa masing-masing unsur

perwakilan itu bukan merupakan suatu lembaga negara?‖

148 Bandingkan juga Fatmawati, op.cit., hlm. 276.

Page 77: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 67

Cukup menarik untuk disimak pendapat Valina Singka

Subekti, yang mengatakan bahwa kriteria itu berkaitan dengan

kelembagaan dan kewenangan membentuk undang-undang.

Dikatakan oleh ahli ilmu politik ini bahwa:

Sistem perwakilan Indonesia pada perspektif ilmu politik

ditinjau dari segi kelembagaan dapat dikatakan sebagai

menganut sistem bikameral lunak (soft bicameralism).

Tetapi ditinjau dari segi fungsional pembuatan perundang-

undangan dapat dikatakan sebagai unicameralism plus,

sebab fungsi legislasi yang diberikan kepada Dewan

Perwakilan Daerah sangatlah terbatas (Pasal 22D ayat (1)

dan ayat (2)), yaitu ―dapat mengajukan‖ rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan

daerah, serta ―ikut membahas‖. Fungsi pertimbangan, dan

fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan

Daerah juga terbatas. Persetujuan akhir seluruhnya berada

di tangan Dewan Perwakilan Rakyat.149

Namun demikian penulis perlu memberikan catatan

terhadap pendapat Valina Singka Subekti itu. Pertama, dalam hal

kelembagaan, dikatakan bahwa sistem yang digunakan setelah

Perubahan UUD 1945 adalah sistem bikameral karena Majelis

Permusyawaratan Rakyat bukan lagu sebuah lembaga. Akan

tetapi, dilihat dari pengaturan UUD 1945, diketahui bahwa majelis

ini merupakan lembaga permanen dengan diaturnya tentang

pimpinan majelis dan prosedur kelembagaan tersendiri di luar

Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Kedua,

ditinjau dari segi kewenangan pembentukan undang-undang,

sistem yang digunakan adalah unicameralism plus. Tetapi

penjelasan yang dibangun tidak konsisten karena kewenangan

149 Valina Singka Subekti, ―Keterwakilan dan Tipe Parlemen‖, makalah

Seminar Pengkajian Hukum Nasional (BPHN), Komisi Hukum Nasional, Jakarta,

25-26 Agustus 2008, hlm. 5.

Page 78: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

68 | Hukum Kelembagaan Negara

selain membentuk undang-undang juga digunakan. Ketiga,

analisis bahwa dengan terbatasnya wewenang Dewan Perwakilan

Daerah dalam legislasi serta merta diberikan cap bukan sebagai

sebuah kamar, menurut penulis juga tidak tepat. Di beberapa

negara, di mana kamar kedua tidak mempunyai wewenang

membentuk undang-undang, tetap dikategorikan sebagai suatu

kamar, sekalipun kriteria pembentukan undang-undang tersebut

digunakan untuk menganalisis watak parlemen bikameral.150

Menurut pendapat penulis, struktur parlemen Indonesia

merupakan sistem bikameral. Walaupun jelas, sistem bikameral ini

sangat sulit dibandingkan dengan idealisasi yang terdapat dalam

teori maupun praktik serupa di negara lain. Ada 2 (dua) argumen

yang penulis ajukan untuk memperkuat alasan tersebut. Pertama,

memang benar bahwa masing-masing unsur parlemen seperti

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Majelis Permusyawaratan Rakyat masing-masing mempunyai

wewenang, keanggotaan, lingkungan jabatan, dan aturan internal

prosedural sendiri-sendiri, akan tetapi dalam hukum tata negara,

titik tekannya adalah pada fungsi kelembagaan tersebut.

Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Daerah, bagaimanapun cakupan pengaturannya, merupakan

wewenang yang berlangsung terus menerus, sementara wewenang

Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak merupakan fungsi yang

dilaksanakan secara rutin, yaitu menetapkan Undang-Undang

Dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden, melakukan

pengisian jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

keadaan berhalangan tetap, dan melakukan impeachmet terhadap

Presiden dan Wakil Presiden. Dalam pelaksanaan fungsi tersebut,

Majelis Permusyawaratan Rakyat menampakkan dirinya sebagai

150 Baca soal ini dalam Samuel C. Petterson dan Anthony Mogan,

―Fundamentalism of Institusional Design: The Function and Power of

Parliamentary Second Chamber‖, Journal of Legislative Studies, Vol. 1, 2001,

hlm. 45. Bandingkan juga dengan Interpaliamentary Union, op.cit., hlm. 898.

Page 79: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 69

joint-session terhadap Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah. Ciri yang demikian merupakan kelaziman

dalam pelaksanaan fungsi parlemen bikameral.

Kedua, rumusan UUD 1945, yang menyebutkan bahwa

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota-anggota Dewan

Perwakilan Daerah, harus dipahami dalam fungsi kelembagaan

juga. Watak parlemen bikameral adalah adanya struktur kamar

yang menunjukkan basis perwakilan yang masing-masing tidak

sama, sekalipun dalam praktiknya kemudian menjadi kabur dan

melampaui batas-batas sifat perwakilan itu sendiri, akan tetapi

secara organisasional ciri demikian tidak mengingkari susunan

parlemen itu. Secara berkebalikan juga harus disampaikan bahwa

kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Daerah tersusun dari anggota-anggotanya, yang kemudian

menjalankan fungsi menurut aturan yang ditetapkan dalam hukum.

Ketidakcocokan susunan kelembagaan parlemen Indonesia

berikut fungsinya dengan teori dalam dunia akademik maupun

praktik di negara lain, yang memunculkan istilah ―bikameral

setengah hati‖, dan sebagainya, merupakan konstelasi politik yang

harus dilacak dari sejarah perumusannya dalam kerangka

Perubahan UUD 1945, akan tetapi bukanlah norma UUD 1945 itu

sendiri. Hal yang perlu disampaikan kepada khalayak adalah apa

yang menjadi isi dan apa yang dikehendaki dari rangkaian norma

UUD 1945, dan bukan ―bagaimana sebaiknya‖ norma UUD 1945

seharusnya disusun.

Dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang

menampakkan diri sebagai suatu joint-session antara Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, akan tetapi

dilekati dengan kewenangan dan lingkungan jabatan tersendiri

justru merupakan ciri khas dari bikameralisme yang dikehendaki

oleh UUD 1945. Dengan kerangka pembagian kekuasaan, Majelis

Permusyawaratan Rakyat menampakkan diri sebagai legislator

Page 80: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

70 | Hukum Kelembagaan Negara

karena berwenang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar151

,

suatu wewenang yang menurut Frank J. Goodnow dalam ruang

lingkup ―menyatakan kehendak negara.‖152

Ini merupakan

wewenang utama, sedangkan melantik Presiden dan/atau Wakil

Presiden153

, serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden

dalam masa jabatan menurut Undang-Undang Dasar meurpakan

wewenang tambahan. Terkait dengan wewenang tambahan ini,

maka Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat dikatakan

berwenang untuk ―melakukan pengawasan dalam hal pemilihan

pejabat publik sesuai dengan ketentuan UUD 1945.‖154

Memang secara tersurat tidak ada penjelasan resmi dari

pembentuk Undang-Undang Dasar mengenai alasan-alasan

dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam

konteks seperti itu. Dalam praktik, kebutuhan membentuk ―kamar

lain‖ di samping kedua kamar didorong oleh minimal 3 (tiga)

motif.

Pertama, mewakili kategori warganegara yang berbeda dari

kamar pertama dan kamar kedua. Pengalaman Afrika Selatan di

masa lalu dengan Konstitusi 1983 menunjukkan hal ini. Pasal 52

Konstitusi Afrika Selatan, pemilih yang berkulit putih (white

person) memilih untuk anggota House of Assembly, pemilih

berkulit berwarna (coloured person) memilih untuk anggota

House of Representatives, dan pemilih India memilih untuk House

of Delegates.

Kedua, melaksanakan fungsi khusus yang dilakukan secara

terus menerus. Pada Konstitusi Republik Rakyat Cina (1946)

151 Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945.

152 Frank J. Goodnow, hlm. 22, 33, dan 46.

153 Dalam praktik, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak ―melantik‖,

akan tetapi menyaksikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam

mengucapkan sumpah jabatan menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945.

154 Fatmawati, op.cit., hlm. 293.

Page 81: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 71

sebelum revisi 1994, misalnya, terdapat 3 (tiga) lembaga yang

memiliki fungsi parlemen yaitu National Assembly, Legislative

Yuan, dan Control Yuan. Dari ketiga kamar tersebut, hanya

Legislative Yuan yang berwenang membentuk undang-undang,

sedangkan fungsi Control Yuan, sebagai kamar ketiga, antara lain

adalah sebagai pengawas tertinggi, memberi persetujuan dalam

pengangkatan dan pemberhentian pejabat, serta melakukan audit.

Ketiga, sebagai lembaga negara tertinggi. Kamar ketiga

Loya Jirga menurut Konstitusi Afganistan (2004) merupakan

manifestasi tertinggi dari rakyat. Demikian juga ketentuan Pasal

25 Konstitusi Republik Rakyat Cina yang menempatkan National

Assembly sebagai pelaksana hak politik atas nama rakyat

seluruhnya.

Dengan menggunakan penafsiran sistematis terhadap

ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan susunan dan

kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut UUD 1945,

hemat penulis, sekalipun tidak ada penegasan secara tersurat,

maka lembaga ini dipertahankan dengan wewenang dan

lingkungan jabatan tetap untuk melaksanakan fungsi khusus yang

dilakukan terus menerus dan sebagai lembaga negara tertinggi.

Pengertiannya diuraikan sebagai berikut:

1. Fungsi khusus yang dilaksanakan terus menerus itu

terkandung maksud sebagai fungsi yang dilaksanakan sesuai

penetapan konstitusi sehingga sepanjang ketentuan itu tidak

diubah maka akan melekat terus menerus sebagai fungsi

Majelis yaitu melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden serta

memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa

jabatan menurut Undang-Undang Dasar.

2. Sebagai lembaga negara tertinggi, karena Majelis merupakan

satu-satunya lembaga negara yang menyatakan kehendak

negara yaitu berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar

dan pengawasan tertinggi terhadap Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Page 82: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

72 | Hukum Kelembagaan Negara

3. Sorotan terhadap Dewan Perwakilan Daerah

Fungsi Dewan Perwakilan Daerah menurut UUD 1945

adalah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan

keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1)). Kemudian,

Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat

dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;

serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D ayat (2)).

Selanjutnya, Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan

pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi

daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,

hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama serta

menyampaikan hasil pengawasan itu kepada Dewan Perwakilan

Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti (Pasal

22D ayat (3)).

Suatu perbedaan yang nyata, jika dibandingkan dengan

kamar kedua di Prancis (Senat) dan Inggris (House of Lords) yang

dapat mengajukan rancangan undang-undang dalam bidang apa

saja, tidak dibatasi yang terkait dengan masalah daerah.

Pembatasan kekuasaan legislasi oleh kamar kedua serupa dengan

kekuasaan Senat di Australia, yang tidak dapat mengusulkan dan

mengubah rancangan undang-undang finansial, akan tetapi hanya

dapat mengembalikan legislasi permintaan amandemen dari kamar

pertama. Akan tetapi, kekuasaan legislasi tunggal dilaksanakan di

Page 83: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 73

Jepang, di mana Diet,merupakan satu-satunya badan yang

membuat undang-undang.

Di Jerman, Bundesrat mempunyai veto untuk legislasi yang

dipengaruhi oleh negara bagian. Bahkan dengan dukungan 2/3

suara, dapat menolak persetujuan rancangan undang-undang (bill),

yang hanya dapat dibatalkan oleh 2/3 Lower house. Mekanisme

tersebut mirip dengan kekuasaan Senat dalam parlemen Kamboja,

yang mempunyai hak untuk menolak rancangan undang-undang

yang sedang dibahas atau diuji, tetapi rancangan yang telah ditolak

Senat dapat menjadi undang-undang jika National Assembly telah

mengambil suara dengan mayoritas absolut untuk memberlakukan

rancangan tersebut. Di Malaysia, kekuasaan membuat undang-

undang harus dilakukan dengan persetujuan kedua kamar

parlemen yaitu Dewan Negara dan Dewan Rakyat. Kesederajatan

dalam kekuasaan legislasi juga dimiliki oleh kedua kamar

parlemen di Filipina yaitu Senate/Senado dan House of

Representatives/Kapulungan Ng Mga Kinatawan. Dalam

Konstitusi Belanda, Eeste Kamer yang akan memutuskan

rancangan undang-undang yang dikirimkan oleh kamar kedua.

Kamar kedua dapat memerintahkan satu atau lebih anggotanya,

tergantung dari rancangan undang-undang yang diajukan olehnya

dalam kamar pertama.

Mekanisme seleksi diatur dalam UUD 1945 bahwa anggota

Dewan Perwakilan Daerah dipilih setiap provinsi melalui

pemilihan umum setiap 5 tahun sekali (Pasal 22C ayat (1) dan

Pasal 22E ayat (1)). Untuk dapat menjadi calon anggota Dewan

Perwakilan Daerah, peserta pemilihan perseorangan harus

memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu

juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1.000

(seribu) orang pemilih;

b. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)

sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung

sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua ribu) orang pemilih;

Page 84: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

74 | Hukum Kelembagaan Negara

c. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta)

sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung

sekurang-kurangnya oleh 3.000 (tiga ribu) orang pemilih;

d. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh

juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus

didukung sekurang-kurangnya oleh 4.000 (empat ribu) orang

pemilih; dan

e. Provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas

juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 5.000

(lima ribu) orang pemilih.

Dukungan di atas harus tersebar sekurang-kurangnya 25%

(duapuluh lima persen) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi

yang bersangkutan. Persyaratan dibuktikan dengan daftar nama

disertai tanda tangan atau cap jempol dan fotokopi Karta Tanda

Penduduk atau identitas lain yang sah. Seorang pendukung tidak

diperbolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang

calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dukungan yang

diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota Dewan

Perwakilan Daerah dinyatakan batal.155

Bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang

berdomisili di provinsi yang wilayahnya sangat luas dan jumlah

penduduknya yang padat, dirasakan sangat berat untuk

mendapatkan dukungan. Demikian juga dalam melakukan

sosialisasi dan kampanye. Faktanya penetapan daerah pemilihan

untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat jauh lebih sempit

dibandingkan dengan penetapan daerah pemilihan untuk

kenaggotaan Dewan Perwakilan Daerah.

Ada baiknya diusulkan agar daerah pemilihan itu diubah.

Setiap bagian provinsi memperebutkan satu kursi. Demi keadilan,

penetapan calon-calon untuk bagian provinsi dilakukan dengan

cara diundi. Penyempitan daerah pemilihan tersebut dimaksudkan

155 Lihat Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.

Page 85: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 75

agar tidak terlalu luas dan para calon membutuhkan biaya yang

relatif kecil, sehingga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah

tidak didominasi oleh mereka yang berduit tebal. Jika hal tersebut

dibandingkan dengan daerah pemilihan bagi anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, tidak terdapat perbedaan yang mencolok,

sehingga hukum akan berpihak pula kepada ―keadilan‖, bukan

semata-mata demi ―ketertiban.‖ Mekanisme seleksi melalui

pemilihan umum, baik di tingkat nasional maupun daerah serupa

dengan kamar kedua parlemen Argentina, Australia, Brazil,

Columbia, Kongo, Jepang, Meksiko, Nigeria, dan Amerika

Serikat.

Menurut UUD 1945, peserta pemilihan umum untuk

Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan (Pasal 22E ayat

(4)). Dengan demikian Dewan Perwakilan Daerah mewakili

kategori warganegara yang tidak sama, yaitu sebagai perwakilan

daerah, dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai

perwakilan politik menurut jumlah penduduk. Ketentuan serupa,

di mana ada perbedaan kategori warganegara yang diwakili,

dijumpai di Argentina, Australia, Brazil, Kanada, Columbia,

Kongo, Jerman, Meksiko, Nigeria, Pakistan, dan Amerika Serikat.

Jika ditinjau dari kewenangan formal, maka wewenang

Dewan Perwakilan Daerah memang tidak dapat dikatakan setara

dengan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Fonomena ini

bukan hanya monopoli parlemen Indonesia saja, akan tetapi juga

dapat dijumpai menurut konstitusi Algeria, Mesir, Etiopia,

Prancis, India, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, Inggris, dan

Belanda.

Dari sini dapat terlihat bahwa tidak selalu jika keanggotaan

parlemen itu dipilih melalui pemilihan umum, kemudian memiliki

kesetaraan wewenang diantara kedua kamar, sekalipun bukan

penghalang bagi sifat bikameralisme. Sebaliknya, ada kamar

kedua yang tidak dipilih langsung, seperti Kanada dan Jerman,

akan tetapi kedua kamar parlemen mempunyai kewenangan

formal yang hampir sama.

Page 86: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

76 | Hukum Kelembagaan Negara

Dalam studinya, Fatmawati juga memberikan 4 (empat)

catatan khusus yang terkait dengan karakteristik kamar kedua,

seperti Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia.156

Pertama, tidak semua anggota kamar kedua merupakan

wakil dari wakil rakyat di daerah atau negara bagian. Di Jepang,

anggota kamar kedua (Sangiin) dipilih melalui pemilihan umum

secara nasional. Di Inggris, kamar kedua (House of Lords)

mewakili bangsawan dan uskup. Pada tingkat dan variasi yang

berbeda-beda kamar kedua yang mewakili daerah atau negara

bagian dijumpai pada parlemen di negara Mesir, Etiopia,

Kolumbia, Afrika Selatan dan Jerman. Di Etiopia, kamar kedua

dipilih untuk mewakili suku-suku, sementara di Jerman kamar

kedua terdiri dari menteri-menteri dari pemerintahan negara

bagian yang diangkat untuk mewakili negara bagian. Di Mesir,

kamar kedua sebanyak 2/3 dipilih oleh penduduk daerah, dan dari

2/3 tersebut, ½ harus berasal dari kaum buruh dan tani (seperti

halnya kamar pertama), sedangkan yang 1/3 lainnya diangkat oleh

Presiden. Pada kamar kedua Kolumbia, tidak hanya mewakili

daerah, akan tetapi juga ada 2 senator tambahan untuk komunitas

Indian.

Kedua, pengisian jabatan kamar kedua kebanyakan negara

menggunakan pemilihan umum untuk mewakili daerah atau

negara bagian seperti di Argentina, Australia, Brazil, Columbia,

Kongo, Meksiko, Nigeria, dan Amerika Serikat. Negara lainnya

bervariasi, ada yang diangkat oleh Gubernur Jenderal atas nama

Ratu (misalnya Kanada), dipilih oleh parlemen daerah, wakil dari

ibukota, dan wakil daerah yang berasal dari kamar pertama

(seperti di Pakistan) atau diwakili oleh menteri negara bagian

seperti Jerman.

Ketiga, ada negara yang anggota kamar keduanya dipilih

melalui pemilihan umum oleh rakyat secara nasioanl (Jepang),

dipilih oleh rakyat daerah atau negara bagian (Spanyol), gabungan

156 Fatmawati, op.cit., hlm. 232-233.

Page 87: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 77

antara dipilih dalam pemilihan umum mewakili rakyat di negara

bagian atau daerah dan diangkat oleh kepala negara (Mesir dan

Rusia), dipilih oleh parlemen di negara bagian atau daerah

(Belanda), gabungan antara dipilih oleh parlemen di negara bagian

atau di daerah dan diangkat oleh Kepala Negara (Algeria dan

India), dipilih oleh dewan pemilih (electoral college, seperti di

Prancis), dan gabungan antara anggota parlemen di negara bagian

atau di daerah dan diangkat oleh kepala negara (Afrika Selatan)

atau variasi Etiopia, yaitu dipilih oleh warganegara di negara

bagian atau diangkat oleh parlemen negara bagian.

Keempat, Inggris mempunyai keunikan khusus, karena

masih dipertahankan kamar kedua (House of Lords) yang

mewakili bangsawan dan uskup, yang merupakan kategori yang

dikenal sebelum konsep demokrasi dipraktikkan.

Menurut UUD 1945, jumlah seluruh anggota Dewan

Perwakilan Daerah tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota

Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini berkaitan dengan perbandingan

jumlah anggota parlemen dalam masing-masing kamar. Dalam

konstitusi di berbagai negara, dikenal beberapa cara untuk

menentukan keanggotaan masing-masing kamar.

Pertama, ditentukan perbandingan antara jumlah anggota

kamar pertama dengan anggota kamar kedua. Di Algeria, jumlah

anggota kamar kedua separuh dari jumlah anggota kamar pertama.

Sementara di Australia, jumlah anggota kamar kedua adalah

separuh jumlah anggota kamar pertama, dengan minimal jumlah

senator 6 orang pada tiap negara bagian.

Kedua, ditentukan secara pasti jumlah wakil dari setiap

daerah atau negara bagian. Misalnya di Argentina tiap provinsi

diwakili leh 3 orang melalui pemilihan umum. Kemudian di Brazil

3 senator setiap distrik, di Mesir ditentukan menurut undang-

undang tetapi minimal adalah 132 anggota. Sementara itu, di

Jerman 3-6 wakil tiap negara bagian, di Meksiko meliputi berisi 2

wakil tiap negara bagian dan 2 wakil untuk Federal yang

semuanya dipilih langsung, di Nigeria 3 orang senator tiap negara

Page 88: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

78 | Hukum Kelembagaan Negara

bagian dan 1 senator dari ibukota negara, dan di Rusia setiap

negara bagian diwakili oleh 2 orang, di mana yang satu dipilih

dalam pemelihan umum dan satunya berasal dari pemerintah

negara bagian. Di Afrika Selatan setiap provinsi 10 orang, di mana

1 orang merupakan utusan provinsi dan 9 orang dipilih dalam

pemilihan umum. Di Spanyol tiap provinsi diwakili oleh 4 orang

senator yang diplih melalui pemilihan umum. Sedangkan tiap

negara bagian di Amerika Serikat diwakili oleh 2 orang senator

yang dipilih dalam pemilihan umum.

Page 89: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 79

BAB IV PRESIDENSIALISME

DAN LEMBAGA KEPRESIDENAN

A. Sistem Pemerintahan

Secara teoritis, sistem pemerintahan menunjuk kepada cara

kerja lembaga-lembaga negara dan hubungannya satu sama lain.157

Dalam pandangan Moh. Mahfud M.D. sistem pemerintahan

diartikan sebagai sistem hubungan dan tata kerja antara

lewmbaga-lembaga negara.158

Meskipun dalam cakupan lebih

sempit, Sri Soemantri menegaskan bahwa ditinjau dari hukum tata

negara sistem pemerintahan menggambarkan hubungan antara

legislatif dengan lembaga eksekutif 159

Pendapat Sri Soemantri

mirip dengan I Gede Pantja Astawa yang mengatakan bahwa

sistem pemerintahan merupakan hubungan kekuasaan, wewenang,

157 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit

Alumni, hlm. 199.

158 Moh. Mahfud M.D., 1993, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,

Penerbit LP3ES, hlm. 83.

159 Sri Soemanteri, 1976, Implementasi Demokrasi Pancasila, Bandung,

Penerbit Alumni, hlm. 37.

Page 90: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

80 | Hukum Kelembagaan Negara

atau fungsi antara dua organ negara ataupun pemerintahan secara

timbal balik, terutama hubungan antara eksekutif dan

legislative.160

Penelitian ini sepenuhnya merujuk kepada

pemaknaan sistem pemerintahan dalam perspektif hukum tata

negara terutama sebagai jalinan relasi kekuasaan antara lembaga

eksekutif dengan lembaga legislatif.

Dalam perspektif ini, kecenderungan teoritis pada akhirnya

menunjukkan adanya 2 (dua) model sistem pemerintahan yang

satu sama lain bersifat ekstrim, yaitu sistem presidensial dan

sistem parlementer. Walaupun demikian, kiranya diakui, bahwa

sebagai sistem politik, sistem pemerintahan mengandung variasi-

variasi tertentu ketika dipraktikkan dalam suatu negara. Tetapi

sistem presidensial dan sistem parlementer mwempunyai ciri-ciri

yang secara akademik dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

Menurut Moh. Mahfud M.D., sistem presidensial

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:161

1) Kepala Negara menjadi kepala pemerintahan (eksekutif);

2) Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR),

parlemen dan pemerintah adalah sejajar;

3) Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada

presiden;

4) Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

Sementara itu sistem parlementer mengandung ciri-ciri

sebagai berikut:

1) Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai Kepala

Pemerintahan karena ia lebih bersifat simbol nasional

(Pemersatu bangsa);

160 I Gede Pantja Astawa, 2004, ―Identifikasi Masalah Atas Hasil

Perubahan UUD 1945 yang Dilakukan Oleh MPR dan Komisi Konstitusi‖,

Makalah Seminar 23 September 2004 yang diselenggarakan oleh Unpad dan

Persahi Bandung.

161 Moh. Mahfud M.D., op.cit., hlm. 83.

Page 91: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 81

2) Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh

seorang Perdana Menteri;

3) Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan oleh

parlemen melalui mosi;

4) Kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah (dan bergantung

kepada) parlemen.

Sebagai imbangan dari lemahnya kabinet ini, Kabinet dapat

meminta kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen

dengan alasan yang sangat kuat sehingga parlemen dinilai tidak

representatif. Akan tetapi, jika demikian yang terjadio dalam

waktu yang relatif pendek kabinet harus menyelenggarakan

pemilu untuk membentuk parlemen baru.

Dari uraian di atas, secara singkat dikatakan bahwa ranah

teoritis sistem pemerintahan dalam penelitian ini menunjuk kepada

sistem hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Hubungan

tersebut menciptakan sistem pemerintahan yang dapat dipilah

dalam 2 kategori besar yaitu sistem presidensial dan sistem

parlementer. Dengan mengabaikan berbagai deviasi dalam ranah

praksis, masing-masing sistem itu mempunyai ciri pembeda satu

sama lain.

Pemerintahan demokrasi dengan sistem parlementer

ditandai oleh hubungan yang erat antara organ eksekutif dan

parlemen. Ditinjau dari proses pembuatan undang-undang di

Indonesia, nampak adanya koordinasi yang erat antara Presiden

dan DPR. Pada pembuatan undang-undang menurut kebiasaan

dalam sistem parlementer, kepala negara dilibatkan dalam

pengesahan undang-undang sehingga sifatnya hanya formal.

Dalam negara republik yang bersistem presidensial, keterlibatan

Presiden selaku kepala negara semata-mata bersifat formal, tetapi

Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kepentingan

sebagai badan yang melaksanakan undang-undang. Karena itu

pengesahan undang-undang oleh Presiden harus diartikan pula

sebagai persetujuan terhadap isi undang-undang.

Page 92: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

82 | Hukum Kelembagaan Negara

Menurut Suwoto Mulyosudarmo, di dalam kepustakaan

terdapat kerancuan penggunaan istilah di mana sistem pemisahan

kekuasaan dianggap identik dengan sistem presidensial dan sistem

kekuasaan terpadu (fused powers) dianggap identik dengan sistem

parlementer.162

Dalam hubungan ini dapat diuraikan lebih lanjut

bahwa pembedaan sistem pemisahan kekuasaan dari sistem

kekuasaan terpadui, didasarkan kepada pembedaan proses

pembuatan undang-undang, sementara pembedaan sistem

parlementer dan sistem presidensial didasarkan kepada sistem

penyelenggaraan kekuasaan eksekutif.163

Atas dasar pemikiran seperti itu, penulis setuju dengan

argumentasi yang disusun oleh Suwoto Mulyosudarmo ketika

mengatakan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia tidak perlu

disebut sebagai perpaduan antara sistem presidensial dengan

sistem parlementer.164

Dalam proses pembuatan undang-undang,

Indonesia menganut sistem kekuasaan terpadu, sedangkan

penyelenggaraan kekuasaan eksekutif memakai sistem

presidensial. Konsekuensi penggunaan sistem presidensial adalah

bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh menteri secara

administratif harus dibuat atas nama Presiden. Pilihan lain dari

pembuatan keputusan menteri atas nama Presiden dapat dilakukan

dengan bentuk Keputusan Presiden.

Secara teoritis, lahirnya sistem pemerintahan secara politik

didasarkan kepada asumsi ―All countries should preserve a set of

institutions which permit a small group of politicians to take

162 Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis

dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka

Utama, hlm. 35.

163 Ibid.

164 Ibid.

Page 93: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 83

decisions which are obligatory for society as a whole.‖165

Pilihan

terhadap sistem pemerintahan presidensial maupun parlementer,

―has been between either a rigid separation of powers, with

practically no connection between the Parliament and the

government1, or interconnected institutions, on the basis of a

governmentelected by the Parliament and accountable to it, but

endowed at the same time with the power to dissolve it.‖166

Meskipun demikian, presidensalisme dan parlementerisme,

bukanlah sebagai suatu tipe statistik saja, akan tetapi merupakan

suatu kenyataan yang unik. Dikatakan oleh Rafael Mart‘nez

Martinez sebagai berikut:167

Of course, presidentialism and parliamentarianism are not

static archetypes. The presidential parliamentary dichotomy

is fictitious and the inclusion of new variables has the effect

of modifying the system and leads to each presidential and

parliamentary system being unique. Thus, for example, the

degree of party presence and control, the mechanisms of

participation and representation and the characteristics of

the individual society are all influential factors in the make-

up of an individual system, and lead to units of analysis

which do not fully correspond across borders, though

comparative studies are of course possible because of the

presence of similar elements.

Parlementerisme dalam konsep yang berkembang sejak

abad ke-19 merupakan pelaksanaan representative government,168

165 Rafael Mart‘nez Martinez, Semi Presidential: A Comparative

Studies‖, ECPR Joint Sessions Mannheim, 26-31 March 1999 Workshop no 13,

hlm. 5.

166 Ibid.

167 Ibid., hlm. 7-8.

168 Dikatakan oleh J.S. Mills (1861), bahwa, ―The meaning of

representative government is that the whole people, or some numerous portion of

Page 94: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

84 | Hukum Kelembagaan Negara

dan merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan

Undang-Undang (legislation) yang berlaku dalam masyarakat.

Parlementerisme merupakan pelaksanaan konsep lama (the old

concept) mengenai pemisahan kekuasaan, yang menjadi pertanda

mekanisme paling prinsipil untuk menciptakan legitimasi

kekuasaan negara, termasuk bagi eksekutif dan yudisial. Dengan

semakin meluasnya paham welfare state, kemudian melahirkan

―jalur transformasi‖ (belt-transformation) bagi keberadaan

parlemen, di mana fungsi legislasinya semakin tergerus, dan

cenderung menyerahkan pelaksanaan fungsi negara menurut

tradisi birokrasi yang teknokratik. 169

Pengadilan, sebagaimana

kecenderungan di Prancis, menjadi badan yang memastikan bahwa

eksekutif menjalankan dengan benar norma-norma hukum yang

disusun menurut delegasi dari parlemen.170

Akibatnya, parlemen,

sebagai elected assembles, ―now more often than not simply

delegated broad normative power to executive or administrative

bodies ―to make the rules via some form of subordinate

legislation, subject to certain general statutory guidelines.‖171

Kemudian, seiring dengan diterimanya sifat administrasi

negara yang teknokratik dan impolitic, executives throughout the

industrialized world came to exercise extensive normative

authority in their own right, whether in the production of quasi-

legislative rules or in the adjudication of disputes that arose in

them, exercise through deputies periodically elected by themselves the ultimate

controlling power.‖ Lihat dalam Peter L. Lindseth, ―The Paradox of

Parliamentary Supremacy: Delegation, Democracy, and Dictatorship in Germany

and France, 1920s-1950s‖, The Yale Law Journal, Vol. 113, , 2004, hlm. 1343.

169 Richard Stewart, ―The Transformation of America Administrative

Law‖, Harvard Law Review, Vol. 88, 1975, hlm. 1667 dan 1675.

170 Peter L. Lindseth, op.cit., hlm. 1341.

171 Edward L. Lubin,‖ Law and Legislation in Administrative State‖,

Columbia Law Review, Vol. 89, 1989, hlm. 380-385.

Page 95: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 85

connection with their expanding regulatory authority.172

Perkembangan semacam ini, merujuk pada perkembangan

ketatanegaraan di Amerika Serikat pasca dekade 1945,

menghasilkan formulasi politik bahwa, ―The concentration of

power in the executive and administrative spheres would be

tolerated as a constitutional matter, but only on the condition that,

at the subconstitutional level, delegated authority would be subject

to a range of political and legal controls that would act as a

substitute for the formal structural protections of separation of

powers.‖173

Menarik dicermati, dalam kasus di Eropa Tengah dan

Timur, bagaiamana preferensi parlementerisme dilaksanakan.

Pertama, pada gelombang transisi politik periode 1922-1989, yang

diwarnai dengan purifikasi ideologis, komunis, dan sosilisme,

pilihan parlementerisme lebih mengemuka. Kedua, kesenjangan

antara ketentuan formal konstitusi dengan praksis politik.

Kejadian di Republik Kroasia (1992-2000), demikian juga di

Rusia dan Ukraina, menunjukkan parlementerisme yang

dikehendaki konstitusi, di dalam praktik mengarah kepada

presidensialisme dengan kecenderungan otoritarian. Ketiga,

warisan rezim sebelumnya, dengan dukungan kekuatan sipil,

mengubah dominasi presidensialisme kepada pilihan parlementer.

Contohnya adalah Kroasia setelah reformasi konstitusi 2000, yang

memilih parlementerisme karena factor historis.

B. Presidensialisme

Presidensialisme dalam studi Joseph Linz, tergantung

kepada bagaimana kapasitas cabang kekuasaan ini dikelola.

Dikatakan bahwa, ―This reasoning leads to the conclusion that

presidentialism is inferior to parliamentarianism, independently of

whether the President is strong or weak. Should he be strong, the

172 Ibid.

173 Peter L. Lindseth, op.cit., hlm. 1345.

Page 96: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

86 | Hukum Kelembagaan Negara

system will tend to be overly majoritarian; should he be weak, the

majoritarianism is not likely to be replaced by consensus but

rather by conflict, frustration and paralysis.‖174

Jika dilihat dari asal-usul pembentukannya, monarki di

Eropa, pada saat tumbuh kea rah negara konstitusional liberal,

melahirkan sistem pemilihan parlemen, yang kemudian

mempengaruhi pelaksanaan pemerintahan oleh kabinet.

Sebaliknya, pada pola negara Republik, ada kehendak rakyat

(people will) untuk menyusun parlemen melalui pemilihan, tetapi

pada saat yang sama juga memilih seorang Presiden yang diberi

kedudukan sebagai eksekutif. Dalam perkembangan selanjutnya,

sistem ini menuntut dilaksanakannya dua tahapan pemilihan, yaitu

untuk memilih Presiden yang selanjutnya menyusun kabinet, dan

tahap pemilihan terhadap parlemen.

Perbedaan antara presidensialisme dengan parlementerisme

―in that the executive and legislative branches of government are

both popularly elected, and in that they each have a fixed term of

office.‖175

Pengkombinasian diantara kedua model itu disinyalir

akan menghasilkan desetabilisasi demokrasi. Pemosisian ini akan

menghasilkan ―pemerintahan yang terbelah‖ (divided government)

dan memperburuk kepastian masa jabatan eksekutif. Dalam relasi

antara eksekutif dengan legislatif, ―Parliamentarism and

presidentialism are different: the former is a system of ‗mutual

174 J. Juan Linz, ―The virtues of parlamentarism‖, Journal of Democracy,

Vol. 1 No. 4, 1990, hlm. 87.

175 Eric Magar, ―Patterns of Executive-Legislative Conflict in Latin

America and the U.S.‖, Paper presented at the First International Graduate

Student Retreat for Comparative Research, organized by the Society for

Comparative Research and the Center for Comparative Social Analysis,

University of California, Los Angeles, May 8-9, 1999, hlm. 4.

Page 97: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 87

dependence‘ and the latter of ‗mutual independence‘ between the

executive and the legislature.‖176

Dikaitkan dengan sistem kepartaian, pada presidensialisme

―generates fewer or weaker incentives to form coalitions‖,177

jikalau tak terhindarkan maka sifat koalisi itu merupakan suatu

keadaan eksepsional. Relasi antara eksekutif dengan legislatif

‖there is no alternative but deadlock‖.178

Sebagai akibatnya: (1)

‖the very notion of majority government is problematic in

presidential systems without a majority party‖179

; (2) ‖stable

multi-party presidential democracy is difficult‖180

; dan (3)

‖presidential systems which consistently fail to provide the

president with sufficient legislative support are unlikely to

prosper.‖181

176 Lihat: Alfred Stephan dan Cindy Skach, ―Constitutional Frameworks

and Democratic Consolidation: Parliamentarism Versus Presidentialism‖,

Journal World Politics, No. 46, 1993, hlm. 17-18.

177 Ibid.

178 Juan J. Linz dan Alfred Stepan, 1996, Problems of Democratic

Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-

Communist Europe, Baltimore: Johns Hopkins, hlm. 181. Baca juga: Juan J.

Linz, 1994, ―Presidential or Parliamentary Democracy: Does it Make a

Difference?‖, Dalam J.J. Linz dan Arturo Venezuela (eds.), The Failure of

Presidential Democracy: The Case of Latin America. Baltimore: Johns Hopkins,

hlm. 64.

179 Huang, The-fu, ―Party Systems in Taiwan and South Korea‖, dalam

Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu, and Hung-mao Tien (eds.),

1997, Consolidating the Third Wave Democracies: Themes and Perspectives.

Baltimore: Johns Hopkins, hlm. 138.

180 Lihat analisis lengkap dalam Scott Mainwaring, 1990,

―Presidentialism in Latin America‖, Jurnal Latin American Research Review ,

No. 25, Vol. 1, hlm. 157-179.

181 Mark P Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of Presidential

Democracies. Notre Dame: Notre Dame University Press, hlm. 38.

Page 98: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

88 | Hukum Kelembagaan Negara

1. Semi Presidensialisme Prancis

Pada perkembangan selanjutnya, formulasi presidensialisme

berkembang dengan adanya model baru. Model tersebut di mana

Presiden dipilih langsung oleh rakyat dengan wewenang eksekutif

yang luas, tetapi pemerintahan ini kemudian bertanggung jawab

kepada Parlemen. Model ini diidentikkan dengan sistem yang

berlaku di Prancis setelah reformasi konstitusi (1962). Formulasi

model ini sering disebut sebagai hybrid system, sebagai varian dari

semi presidensialisme.

Berkaca kepada sistem di Prancis, hybrid system

menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Presiden dipilih dalam pemilihan oleh rakyat.182

2. Adanya kelembagaan eksekutif ganda.183

3. Kekuasaan konstitusional Presiden yang besar.184

182 Maurice Duverger mengatakan dengan adanya ciri ini maka Presiden

(Prancis) memiliki super legitimasi, karena ―has greater prestige since he is

directly elected by the people and due to the symbolical role of the head of the

State as personification of the nation.‖

183 Kelembagaan ini adalah Presiden dan Perdana Menteri yang sama-

sama menjalankan kekuasaan eksekutif. Tetapi kedua lembaga ini tersentral

kepada Presiden karena pada saat yang sama merupakan the head of state.

Dengan posisi ini, maka Presiden tidak terfokus kepada kepada kegiatan teknis

pemerintahan sehari-hari karena hakekatnya ini merupakan ranah Perdana

Menteri. Hal ini memungkinkan tercipta kondisi, ―Everything that goes badly is

the prime minister's fault; everything that goes well is thanks to the President.‖

Baca: Rose, op.cit., hlm. 20.

184 Dengan ciri ini, maka ―President He has the powers and functions of a

head of State in the parliamentary system, but at the same time he also has

executive powers.‖ Selanjutnya, ―These extra powers lie in the sphere of

executive power, are not shared with the cabinet and vary from one political

system to another. However, they generally include the following: the power to

appoint the prime Minister and to chair the cabinet, the power to convene

extraordinary sittings of Parliament, the power to dissolve Parliament, the power

to initiate legislation, control of foreign policy, special powers at times of crisis,

the power to refer laws to the Constitutional Court in cases of possible

unconstitutionality, commandership-in-chief of the Armed Forces, the power to

Page 99: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 89

4. Presiden menunjuk Perdana Menteri dan mempengaruhi kerja

kabinet.185

5. Pemerintahan oleh kabinet bertanggung jawab kepada

Parlemen.186

Semi presidensialisme, selain di Prancis, dipraktikkan di

beberapa negara Eropa seperti Austria, Finlandia, Irlandia,

Iceland, Polandia, Portugal, dan Rumania. Kemudian negara di

kawasan Amerika Selatan seperti Kolumbia, Haiti, Guatemala,

dan Peru, juga mempraktikkan sistem serupa. Di Asia, sistem ini

dipraktikkan misalnya di Iran dan Srilanka; sementara Mesir dan

Angola merupakan contoh negara di kawasan Afrika yang

mempraktikkan semi presidensialisme ini.

2. Presidentialization

Secara resmi suatu negara menjalankan sistem

pemerintahan Parlementer, akan tetapi di dalam praktik mengarah

appoint high-ranking officials and to call referendums.‖ Lihat dalam: Rafael

Mart‘nez Martinez, op.cit., hlm. 13.

185 Dalam posisi ini menunjukkan fungsi Presiden baik sebagai kepala

negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Presiden menunjuk Perdana

Menteri dan memimpin sidang kabinet. Lihat dalam: Rafael Mart‘nez Martinez,

ibid., hlm. 14.

186 Ciri ini menunjukkan bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada

Parlemen. Hal ini dapat dikatakan sebagai ―seek and obtain Parliament‘s

approval, and similarly on other occasions it may be censured by Parliament

when it fails to do so.‖ Meskipun demikian, ―In a semi-presidential system the

government seems to be a typical parliamentary institution, however if differs in

a number of substantial matters: for example, it does not have the right to

dissolve itself, which is a typical feature of government in a parliamentary

system, instead it is the President who, head of the executive, has the power to

dissolve Parliament. On the other hand, although the President has executive

functions he cannot be subjected to a vote of no-confidence. The President is

endowed with total stability, his term of office is pre-fixed and he can only be

removed from office in cases of criminal offence (Impeachment or High

Treason). Ibid.

Page 100: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

90 | Hukum Kelembagaan Negara

kepada apa yang disebut pengamat sebagai ―Presidentialization.‖

Gejala ini, pertama, menunjuk kepada ―adoption of one or more of

the formal legal-constitutional features of presidential rule

outlined above.‖187

Hal ini terjadi jika ―where a parliamentary

democracy adopts one of the necessary elements of

presidentialism in isolation it does not become a presidential

regime as such, but it does introduce presidential features.‖

Sebagai contoh, Israel yang menjalankan parlementerisme, pada

tahun 1992 mengadakan pemilu untuk memilih secara langsung

Perdana Menteri.

Selanjutnya, kedua, ―Presidentialization‖, merupakan

penilaian yang bersifat analogis.188

Dalam melaksanakan

parlementerisme, sekalipun tidak melakukan perubahan konstitusi,

akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya menunjukkan

karakteristik yang dekat dengan presidensialisme. Karakteristik

analogis terjadi dalam 4 kemungkinan. Pertama, perubahan

kekuasaan internal yang menghasilkan Perdana Menteri yang

karismatis, seperti masa pemerintahan Thatcher dan Tony Blair di

Inggris. Kedua, perubahan kekuasaan di internal partai politik

dengan menghasilkan pimpinan yang karismatis. Pimpinan partai

ini kemudian menjadi sangat independen dalam menentukan

keberlangsungan maupun pelaksanaan garis-garis kebijaksanaan

partai politik yang dipimpinnya. Ketiga, apabila dalam proses

pemilihan menunjukkan dominasi personal seperti halnya

kandidasi di Amerika Serikat. Keempat, jika mandat perseorangan

atau kandidat dapat menjadi mandat partai politik akibat proses

pemungutan suara dalam pemilihan umum.

187 Paul Webb, ―Parliamentarism and the Presidential Analogy: A Case

Study of the UK‖, Paper presented to ECPR Workshop on The

Presidentialization of Parliamentary Democracies?, Copenhagen, 14-19 April

2000, hlm. 5.

188 Ibid., hlm. 6.

Page 101: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 91

3. Cakupan Kekuasaan: Unitary Executive

Dalam tradisi kepresiden di Amerika Serikat, ―The

President stands responsible for all discharge of policy, and is

judged by his or her performance on election day.‖189

Motif

penumbuhan tradisi ini adalah sebagai ―a tool not only to enhance

accountability in the public eye for executive branch actions, but

also to centralize power in the President himself‖190

, sehingga

―administrative authority was concentrated in a single person.‖191

Kekuasaan eksekutif yang semakin terpusat kepada Presiden inilah

yang dikenal sebagai doktrin unitary executive, sebagai tafsir

terhadap ketentuan Pasal II Konstitusi.192

Dari segi historis,

189 Peter L. Strauss, Overseer, or ―the Decider‖? The President in

Administrative Law, George Washington Law Review, Vol. 75, 2007, hlm. 696.

Baca juga komentar serupa dalam Robert V. Percival, ―Presidential Management

of the Administrative State: The No-So-Unitary Executive‖, Duke Law Journal,

Vol. 5, 2001, hlm. 963.

190 Peter L. Staruss, op.cit., hlm. 697.

191 Peter L. Strauss, Overseer, or ―the Decider‖?, op.cit., hlm. 599-601.

Baca juga: Cass R. Sunstein, Constitutionalism After the New Deal, Harvard

Law Review, Vol. 101, No. 421, 1997, hlm. 432-433.

192 Christopher S. Yoo et.al., ―The Unitary Executive During theThird

Half-Century, 1889-1945‖, Notre Dame Law Review, Vol. 80, 2004, hlm. 3.

Lihat juga analisis konstitusional yang menghasilkan konklusi serupa dalam:

Steven G. Calabresi, The Vesting Clauses as Power Grants, New York University

Law Review, Vol.88, 1994, hlm. 1377; Steven G. Calabresi & Saikrishna B.

Prakash, ―The President‘s Power to Execute the Laws‖, Vol. 104, Yale Law

Journal, 1994, hlm. 541; Steven G. Calabresi & Kevin H. Rhodes, ―The

Structural Constitution: Unitary Executive, Plural Judiciary‖, Harvard Law

Review, Vol. 105, 1992, hlm. 1153; Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, ―The

President and the Administration‖, op.cit., hlm. 47–55 dan 119; dan A. Michael

Froomkin, ―The Imperial Presidency‘s New Vestment‖s, New York University

Law Review, Vol. 88, 1994, hlm. 1346.

Pasal II Konstitusi sering dikenal sebagai The ―Oath‖ Clause, yang

menyatakan bahwa Presiden ―will faithfully execute the Office of the President

and will preserve, protect, and defend the Constitution of the United States.‖

Menurut Steven B. Clarabesi, ―…it is a duty of the President to preserve, protect

Page 102: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

92 | Hukum Kelembagaan Negara

pengakuan terhadap unitary executive ini sebelum ratifikasi (1789)

sudah berlangsung193

, termasuk pandangan yang berkembang

selama abad ke-18 di kalangan ilmuwan politik.194

Praksis unitary

executive ini tercermin dalam peningkatan kapasitas mandiri

Presiden untuk menafsirkan posisi konstitusionalnya dalam proses

pembentukan hukum195

dan ―the increase in discretionary, policy-

making authority wielded by administrative agencies.‖196

Pertumbuhan kekuasaan Presiden yang semakin diperhitungkan

ini berlangsung dengan alasan ―the enormously significant and

self-conscious changes in the role of the presidency from the

period following Jackson through Franklin Roosevelt.‖197

Pada wataknya yang unitarian tersebut, maka ―president, as

a coordinate branch of government, may independently interpret

and defend his office, which is, or course, a creation of the Constitution itself.

The President takes an oath to uphold that Constitution and the public judges

him, and ought to judge him, by his vigilance in fulfilling that oath.‖ Lihat dalam

Steven B. Clarabesi, ―Advice to the Next Conservative President of the United

States‖, Harvard Journal of Law and Public Policy, Vol. 24, No. 369, Spring,

2001, hlm. 375.

193 Steven G. Calabresi & Saikrishna B. Prakash, op.cit., hlm. 603-605.

194 Saikrishna Prakash, ―The Essential Meaning of Executive Power‖,

University of Illinois Law Review, No. 701, 2003, hlm. 753-789 dan hlm. 808-

812. Lihat juga pendapat Steven Calabresi, yang mengatakan bahwa ―the

Federalist Papers advanced three arguments in favor of a unitary executive—

energy, accountability, and separation of powers.‖ Lihat dalam Steven Calabresi

―Some Normative Arguments for the Unitary Executive.‖ Arkansas Law Review,

Vol. 48, 1995.

195 Abner S. Greene, ―Checks and Balances in an Era of Presidential

Lawmaking‖, op.cit, hlm. 138–153.

196 Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, ―The President and the

Administration‖, op.cit., hlm. 93-106.

197 Ibid., hlm. 84.

Page 103: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 93

the Constitution.‖198

Hal ini disebabkan oleh karena ―the president

is the only nationally elected official which makes him

accountable for how laws are executed. Therefore, the president

is best situated to coordinate agency activities and by virtue of his

accountability and central position, he can bring energy to the

administrative process that agency officials cannot muster by

themselves.‖199

Dalam kapasitas tersebut Presiden ―not defend or enforce

those statutes that are ‗clearly unconstitutional‘ dan ―to not

defend and enforce those that encroach upon the prerogatives of

the executive branch.‖200

Dalam hal yang pertama, maka Presiden

―accommodates the conflict between the constitutional mandate

that the President execute the laws and his oath to support and to

defend the Constitution‖, sementara dalam hal yang kedua,

Presiden akan ―accommodates the occasional conflict between the

roles of the President as the chief law enforcement officer of the

United States and the role of the Attorney General as the advocate

of the executive branch.‖201

Khususnya dalam melaksanakan kapasitas untuk menolak

Undang-Undang yang ‗clearly unconstitutional‘ maka perisai

utama adalah Departemen Kehakiman (Departemen of Justice)

dan Kantor Pertimbangan Hukum (Office of Legal Council, OLC).

Dalam hal ini fungsi Departemen Kehakiman, yang dipimpin oleh

198 Joel K Goldstein, ―The Presidency and the Rule of Law: Some

Preliminary Explorations‖, Saint Louis University Law Journal, Vol. 43, No.

791, 1999, hlm. 809.

199 Kenenth Mayer, 2001, With the Stroke of a Pen: Executive Orders and

Presidential Power, New Jersey: Princeton University Press, hlm. 38.

200 Note ―Executive Discretion and the Congressional Defense of

Statutes‖, Yale Law Journal, Vol. 92, No.970, May,1993, hlm. 973.

201 Ibid., hlm. 973-974.

Page 104: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

94 | Hukum Kelembagaan Negara

Jaksa Agung (Attorney General), dapat diuraikan sebagai

berikut.202

In many cases, the Department of Justice will propose, as a

fallback position, that an issue be addressed in a signing

statement if it wouldbe politically impossible simply to veto

a bill. For instance, at the very end of its session, Congress

frequently passes large bills and then leaves town. The only

choice we have is to veto the bill and, say, shut down the

foreign operations of the US altogether for six months, or

sign the bill and note exception to some provision we think

is unconstitutional. Thus, in some instances, signing

statements have directed subordinate officials to disregard

provisions of a bill that are thought to be clearly

unconstitutional and severable.

Sementara itu, OLC berperan ―both provides legal advice of

a constitutional nature to all the departments within the executive

branch and it provides ‗both written and oral advice in response

to requests from the Counsel to the President.‘‖203

Semua Undang-

Undang harus diperiksa terlebih dahulu oleh OLC sebelum ditolak

202 William P. Barr, ―Attorney General‘s Remarks‖, Cardozo Law

Review, Vol. 15, 1993, hlm. 33-34.

203 Neal Devins, ―Political Will and the Unitary Executive: What Makes

an Independent Agency Independent?‖ Cardozo Law Review, Vol. 15, 1993, hlm.

281.

OLC didirikan pada tahun 1953 untuk melakukan perlindungan

konstitusional terhadap Presiden. Dalam perkembangannya, badan ini membawa

pengaruh yang penting bukan saja sebagai konsultan legal Presiden dan badan-

badan pemerintahan, tetapi juga menjadi penafsir konstitusi itu sendiri. Lembaga

ini, berperan dalam pertumbuhan dan pengembangan peran Presiden dalam

memberikan signing stateman, suatu pernyataan sikap Presiden bahwa Undang-

Undang yang telah ditandatanganinya, sesungguhnya mempunyai persoalan

konstitusional yang menegaskan afiliasi sikap politiknya terhadap produk hukum

tersebut.

Page 105: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 95

atau ditandatangani oleh Presiden guna memastikan ketiadaan

problem konstitusinya.204

Meskipun demikian, pendapat OLC

bukanlah kata akhir, karena dalam suatu kasus, lembaga ini dinilai

telah bertindak ―overrule‖ dalam menentukan tingkat

konstitusionalitas Undang-Undang.

Dalam studinya yang cukup komprehensif, Steven G.

Calabresi and Christopher S. Yoo menyatakan bahwa cakupan

unitary executive dalam tradisi ketatanegaraan Amerika Serikat

adalah ―include the President‘s power of removal, the President‘s

power to direct subordinate executive officials, and the

President‘s power to nullify or veto subordinate executive

officials‘ exercise of discretionary executive power.‖205

Dalam

studi itu juga diungkapkan bahwa ―the executive branch‘s

consistent opposition to congressional incursions of the unitary

executive has been sufficiently consistent and sustained to refute

any suggestion of presidential acquiescence in derogations from

the unitary executive.‖206

Sekalipun Presiden mempunyai kualifikasi untuk ―to direct

subordinate executive officials‖, tetapi menurut Peter Strauss ―but

not the power to veto the decisions of subordinates.‖207

Menurut

Richard J. Pierce, Jr., hal ini disebabkan oleh alasan-alasan

sebagai berikut:208

204 William P. Barr, op.cit., hlm. 38.

205 Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo, 2008, The Unitary

Executive: Presidential Power from Washington to Bush, Yale University Press,

hlm. 14.

206 Ibid., hlm. 28.

207 Peter Strauss, Overseer of the Decider, op.cit., hlm. 696.

208 Richard J. Pierce, Jr., ―Saving the Unitary Executive Theory From

Who Would Distort and Abuse It: A Review of the Unitary Executive By Steven

G. Calabresi and Chirstopher Yoo‖, University of Pennsylvania Journal of

Constitutional Law, 2009, hlm. 6.

Page 106: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

96 | Hukum Kelembagaan Negara

The difference between the power to veto and the power to

remove is not subtle. If a President could veto a decision of

an executive branch officer, he undoubtedly would do so

with some frequency and often at little political cost. By

contrast, removing an officer is always costly. Frequently,

the cost of removal is so high that a President reluctantly

acquiesces in a decision with which he strongly disagrees

in order to avoid incurring the high cost of removing the

executive branch officer who made the decision. I will

discuss the political cost of removing an executive branch

officer systematically in a subsequent section of this essay,

but one example provides a good illustration of the

potentially high cost of removal. I believe that President

Nixon‘s unquestionably lawful decisions to remove Attorney

General Elliot Richardson, Acting Attorney General

William Ruckelshaus, and indirectly, Special Counsel

Archibald Cox cost him the Presidency. By contrast

President Clinton was able to survive a similar scandal

because he was smart enough to know that removing

Attorney General Reno and replacing her with someone

who would remove Ken Starr would cost him far more than

allowing Starr to continue the Whitewater investigation.

Menurut Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo,

dalam hal removal power, Presiden dalam berhadapan dengan

Konggres selalu mendapatkan kemenangan.209

Tetapi kenyataan,

seperti ditulis oleh Richard J. Pierce, Jr., ―Three times the Court

has upheld statutory limits on the President‘s removal power;

none of those cases has been overruled; and the President

209 Big fights about whether the Constitution grants the President the

removal power have erupted frequently, but each time the president in power has

claimed that the Constitution gives the President power to remove and direct

subordinates in the executive branch. And each time the president has prevailed.

Op.cit., hlm. 9.

Page 107: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 97

continues to be subject to statutory limits on his power to remove

many executive branch officers.‖210

Bahkan, ―over the last half

century no president has challenged those judicially-approved

limits on his removal power by attempting to remove any of the

many executive branch officers that are subject to such limits.‖211

Removal power juga sering menjadi kasus yang menarik perhatian,

khususnya yang menyangkut lembaga independen (independence

agency), karena untuk lembaga semacam ini ada semacam

anggapan beroperasi di luar jangkauan Presiden, seperti Komisi

Bursa Efek (Securities and Exchange Commission) dan Komisi

Komunikasi Federal (the Federal Communications

Commission).212

Termasuk juga putusan Mahkamah Agung

Federal yang mengabaikan veto legislatif, tata cara pelaksanaan

veto Presiden, dan upaya Konggres untuk mengontrol pengeluaran

negara melalui Gramm-Rudman-Hollings Act.213

4. Lembaga Kepresidenan Menurut UUD 1945

Salah satu kesepakatan dasar dalam kerangka Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya ditulis sebagai UUD 1945) dalam proses reformasi

konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kurun

210 Richard J. Pierce, Jr., op.cit., hlm. 7.

211 Ibid.

212 Masalah independent agency dan relasinya dengan Presiden

sehubungan dengan unitary executive, cukup banyak diulas dalam berbagai

tulisan di jurnal hukum. Periksa antara lain: David P. Currie, ―The Distribution of

Powers After Bowsher, Supreme Court Review, Vol. 19, 1996, hlm. 31-36; Peter

M. Shane, ―Independent Policymaking and Presidential Power: A Constitutional

Analysis‖, George Washington Law Review, Vol. 57, 1989, hlm. 608-623; dan

Peter L. Strauss, ―The Place of Agencies in Government: Separation of Powers

and the Fourth Branch‖, Columbia Law Review, Vol. 84, 1994, hlm. 573.

213 Baca: Christopher S. Yoo, Steven G. Calabresi & Anthony J.

Colangelo, ―The Unitary Executive in the Modern Era, 1945–2004‖, Iowa Law

Review, Vol. 90, 2005, hlm. 603.

Page 108: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

98 | Hukum Kelembagaan Negara

waktu 1999-2002 adalah mempertegas sistwem pemerintahan

presidensial.214

Namun capaian reformasi konstitusi terkait dengan

isu ini justru menghasilkan sejumlah norma konstitusional yang

mengarah kepada upaya mengurangi dominasi lembaga

kepresidenan dalam penyelenggaraan negara, seperti ditunjukkan

terhadap isu-isu di bawah ini:215

1. Pemilihan langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan

presiden dan wakil presiden;

2. Pembatasan masa jabatan seorang presiden untuk dua kali

masa jabatan;

3. Kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan berada

pada DPR;

4. Perlindungan hak asasi manusia; dan

5. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD.

Capaian legal di atas bukanlah proses yang tunggal, akan

tetapi didorong oleh kenyataan akibat praktik politik masa-masa

sebelumnya yang menyebabkan UUD 1945 mendapatkan cap

sebagai konstitusi yang ―sarat eksekutif‖.216

Konstitusi ini

memberikan begitu banyak kekuasaan kepada eksekutif tanpa

menyertakan sistem kontrol konstitusional yang memadai. Di

bawah UUD 1945, Presiden adalah kepala pemerintahan dan

kepala negara. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden memiliki

kewenangan eksklusif atas menteri-menteri dan pembentukan

kabinet (Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2)). Sebagai kepala negara,

presiden memegang kekuasaan untuk: (i) menjadi Panglima

Tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;

214 Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, Panduan Sosialisasi UUD 1945,

Jakarta: Setjen MPR RI, hlm. 22-23.

215 Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum

Demokrasi, Bandung, Yrama Widya, hlm. 3.

216 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan

Pembongkaran, Bandung: Mizan Pustaka, hlm. 152-154.

Page 109: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 99

(ii) menyatakan perang, membuat perdamaian, dan

menandatangani perjanjian dengan negara lain (Pasal 11); (iii)

menyatakan keadaan darurat (Pasal 12); (iv) mengangkat duta

besar dan konsul; dan menerima surat-surat kepercayaan data

besar sahabat (Pasal 13); dan (v) memberi gelar, tanda jasa, dan

tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 15).

Sistem UUD 1945 menjadi lebih ―sarat eksekutif‖ karena di

samping kekuasaan-kekuasaan eksekutifnya yang sedemikian

besar Presiden juga memiliki kekuasaan legislatif. Dominasi

kekuasaan Presiden itu disertai dengan tidak adanya sistem check

and balances yang tidak jelas.

Hal itu ditunjukkan adanya norma dalam naskah asli UUD

1945 yang menyatakan MPR adalah lembaga tertinggi negara dan

merupakan ‖penjelmaan seluruh rakyat Indonesia‖, yang

melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ini adalah konsep

kedaulatan parlemen. Ini menunjukkan warna parlementer dalam

sistem pemerintahan negara. Tetapi di sisi lain, argumen corak

konstitusi ―sarat eksekutif‖ itu menjadi indikasi kuat bahwa dalam

praktiknya, Indonesia menerapkan sistem presidensial. Praksis

politik juga menunjukkan bahwa MPR yang superior itu tidak kuat

mengendalikan Presiden. Seperti dikatakan oleh Muhammad

Ridwan Indra, bahwa meskipun berdasarkan UUD 1945, MPR

lebih unggul sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi pada

praktiknya, Presidenlah yang lebih dominan. Dalam ranah teoritis

kemudian sistem pemerintahan yang dihasilkan adalah sistem

pemerintahan yang remang-remang karena mengandung baik segi-

segi sistem parlementer dan sistem presidensial.217

Dengan didorong oleh faktor sejarah tersebut, menjadi nyata

bahwa kemudian dalam proses reformasi konstitusi walaupun

disepakati tekad mempertahankan sistem presidensial, akan tetapi

disertai juga semangat untuk mengatur kekuasaan Presiden.

Momen itu dimulai pada Perubahan Pertama (1999) yang

217 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi.

Page 110: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

100 | Hukum Kelembagaan Negara

mencabut kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan

Presiden dan memberikannya kepada DPR. Kekuasaan Presiden

untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi

negara sudah diatur dengan lebih baik. Ini disusul dengan

diadopsinya mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

―dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Ditentukan

dalam konstitusi bahwa partai-partai politik atau koalisinya, yang

berpartisipasi dalam pemilu, mengusulkan calon-calon presiden

dan wakil presiden. Pasangan calon yang mendapatkan suara lebih

dari 50% jumlah suara dalam pemilu dengan minimal 20% suara

di lebih dari setengah jumlah propinsi yang ada di Indonesia,

dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Sisi lain untuk meneguhkan sistem presidensial adalah

prosedur untuk memberhentikan Presiden menjadi jelas. Alasan-

alasan untuk melakukan impeachment meliputi: pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela, maupun apabila Presiden dan/atau Wakil

Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat jabatannya. Kini,

proses ini tidak semata-mata merupakan proses politik yang

melibatkan MPR dan DPR, tetapi juga proses hukum yang

mengikutsertakan Mahkamah Konstitusi yang baru saja dibentuk.

Namun proses reformasi konstitusi luput mengatur

mengenai pertanggungjawaban presiden. Sebuah isu yang bukan

saja secara teoritis sudah dipersoalkan sejak dahulu, tetapi

sebenarnya ini pararel dengan implikasi diterapkannya sistem

pemelihan presiden langsung. Konstitusi baru hanya memerinci

mekanisme pemberhentian Presiden seperti diatur di dalam Pasal

7A dan 7B.

Menurut Firdaus, jika norma itu dianggap berkesejajaran

dengan pertanggungjawaban presiden, maka secara hukum

mengandung sejumlah persoalan.218

Pertama, manakah yang

merupakan bentuk dan batasan-batasan pertanggungjawaban

218 Firdaus, op.cit., hlm. 5.

Page 111: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 101

Presiden. Kedua, apakah pemberhentian Presiden dalam masa

jabatannya oleh MPR termasuk bagian dari proses

pertanggungjawaban hukum secara politik ataukah secara hukum?

Ketiga, bagaimanakah kedudukan putusan MK yang menyatakan

Presiden terbukti secara sah melakukan pelanggaran hukum

dan/atau tidak lagi memenuhi persyatatan jabatan di dalam sidang

MPR yang hendak mengambil putusan pemberhentian Presiden.

Keempat, apakah hanya sanksi pemberhenti bagi seorang Presiden

atas pelanggaran hukum yang dilakukan? Kelima, bagaimana

sesungguhnya sistem pertanggungjawaban Presiden dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD.

Sebagaimana dipahamai bahwa salah satu perubahan

mendasar setelah Perubahan UUD 1945 adalah pergeseran arti

pelaksana kedaulatan rakyat dari MPR ke rakyat dan dilaksanakan

menurut UUD (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Kemudian Pasal 1

ayat (3) UUD 1945 menegaskan negara Indonesia sebagai negara

hukum.

Pernyataan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah

negara yang ―diatur oleh hukum‖ (negara hukum atau rechtsstaat)

sudah terdapat sebelumnya dalam Penjelasan UUD 1945.

Perubahan UUD 1945 memperkuat pernyataan ini dengan

mengadopsinya ke dalam Pasal 1 ayat (3).

Pada sisi lain, hasil Perubahan UUD seperti diuraikan di

muka menunjukkan bahwa MPR sudah mengurangi kekuasaannya

sendiri. Menurut Denny Indrayana, hal ini tidak diduga oleh

banyak kalangan dan mengejutkan bagi sebagian besar orang,

karena umumnya orang menduga bahwa lembaga ini akan

berusaha mempertahankan posisinya sebagai parlemen tertinggi

dan terkuat dengan tetap memegang kekuasaan yang pernah

dimainkannya saat mencopot Presiden Wahid.219

Lebih lanjut

diuraikan bahwa fakta MPR membatasi kekuasaannya sendiri,

melalui Perubahan yang dibuatnya sendiri, menunjukkan bahwa

219 Denny Indrayana, op.cit., hlm. 274.

Page 112: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

102 | Hukum Kelembagaan Negara

sebuah badan pembuat konstitusi juga bisa mereformasi dirinya

sendiri melalui sebuah proses pembuatan konstitusi, asalkan ada

tekanan yang kuat dari masyarakat.220

Singkatnya, Perubahan UUD 1945 mengakhiri posisi MPR

sebagai parlemen tertinggi yang memonopoli dan menjalankan

kedaualatan rakyat. Perubahan tersebut menandai tamatnya

doktrin supremasi MPR. Dalam Penjelasan UUD 1945, doktrin ini

menyebutkan bahwa MPR ialah penyelenggara negara yang

tertinggi dan dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang

kedaulatan negara dan karena hal ini, maka kekuasaannya menjadi

tidak terbatas. Perubahan UUD 1945 mengubah ini, mengalihkan

kedaulatan dari tangan MPR dan menegaskan bahwa ―kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurtu Undang-

Undang Dasar.‖ Dalam catatan Denny Indrayana, aturan tersebut

pertama kali diusulkan oleh Soewoto Mulyosudarmo, seorang

anggota Tim Ahli dan menjadi salah satu contoh langka pengaruh

langsung tim ini dalam proses amandemen.221

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, kedua hasil

Perubahan UUD 1945 terebut dengan tegas mengintegrasikan dua

pilar negara demokrasi yaitu kedaulatan rakyat atau demokrasi dan

kedaulatan hukum atau nomokrasi.222

Perubahan kedudukan MPR

sebagai pelaksana kedaulatan rakyat selain mengembalikan

kedaulatan rakyat dan demokrasi, dinilai Bagir Manan disebabkan

oleh kedudukan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat banyak

disalahgunakan untuk membuat ketetapan di luar muatan dan tata

cara yang ditentukan dalam UUD, baik pada masa rezim Soekarno

maupun Soeharto.223

220 Ibid., hlm. 275.

221 Ibid.

222 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara

Pasca Reformasi, op.cit., hlm. 4.

223 Bagir Manan, 2004, Lembaga Kepresidenan, Jogjakarta, Penerbit UII

Press, hlm. 69.

Page 113: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 103

Sementara itu, Maria Farida Indrati Soeprapto

menambahkan bahwa setelah Perubahan UUD 1945 sistem

pemerintahan negara menunjukkan adanya pergeseran-pergeseran

yang meliputi hal-hal sebagai berikut:224

1) Konfigurasi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD

yang dipilih melalui pemilihan umum, dan mempunyai

wewenang untuk: (a) mengubah dan menetapkan UUD; (b)

melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; (c)

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya menurut UUD; (d) memilih Wakil Presiden dalam

hal terjadi kekosongan; dan (e) memilih Presiden dan Wakil

Presiden dalam hal terjadi kekosongan.

2) Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang

tertinggi, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

Selain itu, dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan

dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden, yang mana

berhubungan erat dengan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang

menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam

satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Menurut Pasal

5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan

undang-undang kepada DPR. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1)

UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-

undang, namun dalam membentuk undang-undang, DPR harus

membahas bersama dengan Presiden dan mendapat persetujuan

dari Presiden sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD

1945. Menurut Pasal 20A UUD 1945, DPR juga memiliki

fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan,

memiliki hak intepelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat,

sedangkan anggota DPR juga mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak

224 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan,

Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 126-129

Page 114: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

104 | Hukum Kelembagaan Negara

imunitas. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan

tersebut, maka Presiden seharusnya bekerja sam dengan DPR.

Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada

DPR, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung kepada

DPR.

4) Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri tidak

bertanggung jawab kepada DPR. Dalam Pasal 17 UUD 1945

antara lain ditetapkan bahwa: (a) Presiden dibantu oleh

menteri-menteri negara; (b) menteri-menteri itu diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden; dan (c) setiap menteri

membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Dengan

demikian, menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada

Presiden, oleh karena Presiden yang mengangkat dan

memberhentikan menteri-menteri negara tersebut. Kedudukan

menteri-menteri tersebut tidak tergantung kepada DPR, akan

tetapi tergantung Presiden, karena menteri-menteri negara itu

merupakan pembantu Presiden.

5) Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Meskipun Presiden

tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan ―diktator‖,

artinya kekuasaannya tidak tak terbatas. Kedudukan DPR

adalah kuat. Dalam hal ini, DPR tidak bisa dibubarkan oleh

Presiden (berlainan dengan sistem parlementer) sebagaimana

ketentuan Pasal 7C UUD 1945, yang menyatakan bahwa

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan

DPR. Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota

DPR dan DPD semuanya merangkap menjadi anggota MPR.

Sesuai ketentuan dalam Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 20A

UUD 1945, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-

tindakan Presiden, sehingga apabila DPR menganganggp

bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau

perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi

persyaratan sebagai Presiden, yang telah ditetapkan oleh UUD,

maka melalui putusan MK, DPR dapat mengajukan usul

pemberhentian Presiden kepada PR. Seperti dalam sistem

Page 115: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 105

pemerintahan negara sebelum Perubahan UUD 1945, maka

menteri-menteri negara bukan pegawai biasa. Meskipun

kedudukan menteri negara tergantung dari Presiden, akan tetapi

mereka bukan pegawai tinggi biasa, oleh karena menteri-

menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah

(pouvoir executif) dalam praktik. Sebagai pemimpin

departemen, menteri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang

mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu,

menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam

menentukan politik negara yang mengenai departemennya.

Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam

pemerintahan negara, para menteri bekerja bersama-sama satu

sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan Presiden.

Menurut Jimly Asshiddiqie, dengan mencermati ketentuan-

ketentuan UUD 1945 seperti diuraikan di atas, maka setelah

Perubahan UUD 1945 Indonesia secara resmi telah menganut

ajaran Trias Politica, yang mengacu pada sistem pemisahan

kekuasaan (separation of power atau scheiding van machten).225

Akan tetapi, Maria Farida Indrati Soeprapto menolak argumen

tersebut dengan menyatakan bahwa kewenangan pembentukan

undang-undang dilaksanakan oleh DPR dengan persetujuan

bersama Presiden. Dengan demikian, dapat disimpulkan pula

bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dalam

arti eksekutif dan kekuasaan membentuk Undang-Undang (dalam

arti legislatif) bersama DPR.226

Diuraikan lebih lanjut bahwa

aplikasi Perubahan UUD 1945 menempatkan Presiden tetap

sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara, yang

menjalankan seluruh tugas dan fungsi pemerintahan dalam arti

225 Op.cit., hlm. 45.

226 Maria Farida Indrati Soeprapto, op.cit., hlm. 131.

Page 116: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

106 | Hukum Kelembagaan Negara

luas yang menyangkut ketataprajaan, keamanan/kepolisian, dan

pengaturan.227

Menurut pendapat penulis, pendapat Maria Farida Indrati

Soeprapto tersebut lebih mendekati kenyataan normatif, sebab

penerapan ajaran pemisahan kekuasaan seperti dimaksudkan oleh

Jimly Asshiddiqie, tidak bisa serta merta disimpulkan hanya dari

aspek legislasi saja, di mana dulu kekuasaan membentuk undang-

undang dipegang oleh Presiden, akan tetapi kemudian beralih

kepada DPR. Jika hal ini pun diterima masih harus dicatat bahwa

ketentuan-ketentuan UUD 1945 juga masih mensyaratkan adanya

hubungan timbal balik antara Presiden dan DPR untuk

menetapkan sebuah undang-undang (lihatlah dalam Pasal 20 ayat

(2), (3), dan (4)).

Walaupun secara normatif UUD 1945 tetap menempatkan

presiden sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara,

akan tetapi di dalam realisasinya Perubahan UUD 1945 juga

menghasilkan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan

Presiden. Belajar dari pengalaman masa kepresidenan Soekarno

dan Soeharto yang panjang, MPR menyisipkan ke dalam UUD

1945 satu jurus pelindung yang menhatakan bahwa Presiden dan

Wakil Presiden bisa dipilih kembali untuk jabatan yang sama

hanya sebanyak satu masa jabatan lagi (Pasal 7 setelah Perubahan

UUD 1945). Hal ini berarti MPR menegaskan lagi Ketetapan

MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan

Presiden dan Wakil Presiden. Upaya membatasi masa jabatan

Presiden merupakan satu langkah reformasi yang penting karena

menghilangkan satu diantara karakteristik otoriter utama yang

melekat pada UUD 1945. Jadi, penulis memandang bahwa lebih

dari yang manapun, perubahan masa jabatan presiden ini telah

memberikan arah yang jelas tentang transisi politik dari

otoritarianisme.

227 Ibid.

Page 117: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 107

Perubahan UUD 1945 juga membatasi kekuasaan yudisial

Presiden dan memberi DPR lebih banyak pengaruh dalam masalah

hukum dan kehakiman. Perubahan Pasal 14 ayat (2) menyatakan

bahwa Presiden harus mendengarkan saran-saran DPR sebelum

memberikan amnesti dan abolisi. Selain itu, amandemen Pasal 14

ayat (1) juga mengharuskan Presiden untuk berkonsultasi terlebih

dahulu dengan MA sebelum memberikan grasi dan rehabilitasi.

Pada sisi lain, Perubahan UUD 1945 juga membatasi kekuasaan

diplomatik Presiden, dan memberi DPR lebih banyak hak kontrol

dalam pengangkatan duta besar, konsul, dan dalam menerima duta

besar negara-negara asing. Kekuasaan Presiden ini harus juga

digunakan dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13

ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945).

Perubahan lain yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa

sebelumnya adalah diubahnya aturan tentang upacara pengambilan

sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9). Perubahan

ini diilhami oleh sumpah jabatan Habibie, yang disaksikan oleh

MA di Istana Merdeka, karena MPR saat itu tidak bisa berkumpul.

Perubahan yang membatasi kekuasaan Presiden untuk

memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya

(Pasal 5) juga dipicu oleh tindakan Habibie yang membagi-

bagikan tanda kehormatan pada pendukung-pendukungnya pada

bulan Agustus 1999.

Sementara itu, ada juga upaya-upaya untuk membatasi

kekuasaan Presdien dalam mengangkat anggota-anggota kabinet.

Diusulkan agar dalam mengangkat menteri-menteri, Presiden

harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan DPR. Usulan

ini gagal karena mayoritas anggota MPR waktu itu sepakat bahwa

untuk memperkuat sistem presidensial tidaklah lalu serta merta

mengubah UUD 1945 dari cap sarat eksekutif menjadi konstitusi

yang sarat legislatif.

Satu perubahan radikal lainnya adalah diadopsinya

mekanisme pemilihan Presiden langsung. Presiden dan Wakil

Presiden dalam satu pasangan secara langsung. Partai-partai

Page 118: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

108 | Hukum Kelembagaan Negara

politik atau koalisinya, yang berpartisipasi dalam Pemilu,

mengusulkan calon-calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan

calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara

dalam Pemilu dengan sedikitnya 20% suara di lebih dari setengah

jumlah propinsi yang ada di Indonesia, dilantik menjadi Presiden

dan Wakil Presiden.

Sasaran reformasi konstitusi secara minimalis telah

mencapai tujuannya dengan adanya peneguhan sistem presidensial

yang antara lain ditunjukkan oleh hal-hal: (a) Presiden dan Wakil

Presiden merupakan institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif;

(b) Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden melalui

pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (direct democracy);

dan (c) Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR kecuali

jika ada tuntutan DPR kepada MK tentang adanya pelanggaran

hukum dan konstitusi yang dilakukan oleh Presiden. Apabila

tuntutan tersebut dikuatkan oleh MK dalam suatu keputusan, maka

DPR dapat melanjutkan tuntutan pemberhentian Presiden kepada

MPR.

Page 119: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 109

BAB V KEKUASAAN KEHAKIMAN

A. Independensi Kekuasaan Kehakiman

Pembicaraan mengenai kekuasaan kehakiman (judicial

system) jarang mendapatkan porsi utama dalam diskusi mengenai

desain ketatanegaraan. Sebagai contoh dapat ditunjuk misalnya

karya Sartori (1994) yang berjudul ―Comparative Constitutional

Engineering‖ menghabiskan banyak lembaran pembahasan

sehubungan dengan sistem pemilihan umum (electoral system)

dan seleksi eksekutif (dalam sistem presidensial maupun

parlementer), tetapi tidak membahas mengenai kekuasaan

kehakiman.

Seperti dalam formulasi negara Amerika Serikat, kekuasaan

kehakiman merupakan bagian penting sehubungan dengan doktrin

pemisahan kekuasaan seperti halnya dicetuskan oleh Montesqiue,

dan kemudian dikonkritkan oleh Alexander Hamilton, James

Madison, dan Jay, dalam karya mereka yang berjudul ―The

Federalist Paper.‖ Sehubungan dengan pemisahan kekuasaan

itulah muncul anggapan bahwa salah satu watak dasar dari

kekuasaan kehakiman adalah independensi. Adapun independensi

itu bukan hanya dipahami melalui ketentuan konstitusi saja, akan

Page 120: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

110 | Hukum Kelembagaan Negara

tetapi juga bagaimanakah kenyataannya di dalam praktik. Ia tidak

hanya berbicara mengenai dirinya sendiri, tetapi juga

bagaimanakah lembaga negara yang lain memberikan pengaruh

kepada derajat independensi badan pengadilan, termasuk

bagaimanakah aktor pengadilan itu memandang dirinya dalam

berhubungan dengan kenyataan-kenyataan di sekitarnya.

Dalam pandangan Md. Hussein Mollah, ―Independent

judiciary is the sin qua non-of a democratic government.‖228

Hal

ini karena, ―Independence of judiciary truly means that the judges

are in a position to render justice in accordance with their oath of

office and only in accordance with their own sense of justice

without submitting to any kind of pressure or influence be it from

executive or legislative or from the parties themselves or from the

superiors and colleagues.‖229

Selanjutnya dikatakan bahwa,

―Independence of judiciary depends on some certain conditions

like mode of appointment of the judges, security of their tenure in

the office and adequate remuneration and privileges.‖230

Untuk

mewujudkan hal ini, maka separasi kekuasaan peradilan menjadi

penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, ―The concept of

separation of the judiciary from the executive refers to a situation

in which the judicial branch of government acts as its own body

frees from intervention and influences from the other branches of

government particularly the executive.‖231

Lebih lanjut dikatakan

bahwa, ―Complete separation is relatively unheard or outside of

theory, meaning no judiciary is completely severed from the

administrative and legislative bodies because this reduces the

potency of checks and balances and creates inefficient

228 Md. Hossein Mollah, ―Separation of Judiciary and Judicial

Independence in Bangladesh‖, Journal Comparative Law Studies, Vol. 7 No. 48,

Spring 2006, hlm. 445.

229 Ibid.

230 Ibid., hlm. 447.

231 Ibid.

Page 121: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 111

communication between organs of the state.‖232

Hal ini

mengkonfirmasi pandangan L.P. Thean yang mengatakan bahwa

―That the most common and most discussed feature of judicial

independence is from governmental or executive intereference.‖233

Namun demikian, ―there is no single model of judicial

independence or generally accepted set of institutions or best

practices, at leastnone articulated with sufficient specificity to be

useful for reformers.‖234

Bagaimanapun, ―Judicial independence is

a multifaceted concept.‖235

Hal ini disebabkan karena:236

The most basic form of judicial independence, decisional

independence, refers to the ability of judges to decide cases

independently in accordance with law and without (undue,

inappropriate, or illegal) interference from other parties or

entities. One prerequisite for decisional independence is

that judges enjoy personal independence, which requires

that their terms of office be reasonably secure;

appointments and promotions should be elatively

depoliticized; judges should be provided an adequate salary

and should notbe dismissed or have their salaries reduced

as long as they are performing adequately; transfers and

promotions should be fair and according to preestablished

232 Ibid.

233 L.P. Thean, ―Judicial Independence and Effevtivenes‖, Sourtern

California Law Review, No. 72 No. 23, Januari-Maret 1999, hlm. 535.

234 Asian Development Bank, ―Judicial Independence Overview and

Country-level Summaries,‖ (2003), hlm. 2, dalam

www.adb.org/Documents/Events/2003/RETA5987/Final_Overview_Report.pdf.,

diakses 27 Maret 2011.

235 Randall Peerenboom, ―Judicial Independence in China Common

Myths and Unfounded Assumptions‖, Journal International Law Studies, Vol.

17, 2009, hlm. 71.

236 Ibid.

Page 122: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

112 | Hukum Kelembagaan Negara

rules; and judges should be assigned cases in an impartial

manner.

Secara umum, tradisi hukum Anglo-Saxon menetapkan

bahwa hanya mereka yang telah mempunyai rekam jejak panjang

dalam profesi hukum yang dapat dipilih sebagai hakim. Mereka

dipilih dari orang-orang yang cakap hasil didikan perguruan

tinggi. Ini yang dikatakan sebagai the professional model

corresponding.237

Namun dalam tradisi civil law, yang dikenal

sebagai beurocratic model corresponding, hakim adalah aparatur

negara, yang mengalami pendidikan khusus setelah menyelesaikan

pendidikan universitas.238

Feld dan Voigt misalnya, membangun argumen bahwa

independensi kekuasaan kehakiman dapat dilacak ke dalam 2

indikator, yaitu secara de jure, dengan memperhatikan dokumen

legal yang mengaturnya, dan secara de facto, ialah dengan

237 In common law, only experienced practitioners may become judges.

It has a system of training based primarily on scholarly knowledge, with

universities as the main providers for future judges‘ education. Lihat: D.

Woodhouse, ―The Law and Politics: More Power to the Judge – and to the

People?‖, Parliamentary Affairs, Vol. 54, 2001, hlm. 223–237.

238 In civil law tradition, judges are trained in special schools after

a recruitment conducted amongst university graduates. But the training is

strictly separated between the legal actors who will be on the side of the parties,

defending or not, and the legal actor who will be on the side of thestate – the

judge. Furthermore, the judge is effectively a civil servant: they are there to serve

the state, and ultimately the social structure, in accordance with their curia

regis origin. The judge in civil law does not appear to be a totem similar to

that found in common law. The only connection between the different actors of

the legal team in the case of civil law is that of education. But the way the career

of judges is organised (shaped by the civil service structure, itself conditioned by

the weight of the authority and symbolism of ―public power‖) creates a flow

through the system, between ―lower-level (young) judges‖ and ―higher-

level (older) judges‖. Lihat dalam David Marrani, ―Confronting the symbolic

position of the judge in western European Legal Traditions: A comparative

Essay‖, European Journal of Legal Studies, Vol. 3, 2010, hlm. 60.

Page 123: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 113

memperhatikan derajat kebebasannya dalam praktik.239

Kedua

penulis ini menyimpulkan bahwa judicial independence

mempunyai kaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi (economic

growth). Dengan sampel kepada 56 negara, Feld dan Voigt

memperoleh data bahwa secara de jure, kekuasaan kehakiman

yang independen tidak mempunyai hubungan dengan

pertumbuhan ekonomi, akan tetapi sebaliknya, secara de facto,

mempunyai kaitan dengan pertumbuhan ekonomi.

Independensi peradilan sering diakumulasikan sebagai

tingkat diskresi hakim dalam berhadapan dengan cabang

kekuasaan yang lain, yaitu eksekutif dan legislatif. Cakupan

independensi itu misalnya berhubungan dengan bagaimanakah

peradilan menafsirkan ketentuan Undang-Undang (statutory

interpretation)240

, atau dalam tradisi ketatanegaraan Amerika

Serikat, bagaimana peradilan ―menempatkan diri‖ pada relasi

Kongres dengan eksekutif yang semakin ekstensif

kekuasaannya.241

Pada sisi lainnya, independensi peradilan

dikaitkan dengan seberapa besar eksekutif dan legislatif

―memasok‖ anggaran bagi badan pengadilan.242

Perspektif lain,

239 Lihat selengkapnya dalam L.P. Feld, L.P. dan S. Voigt, ―Economic

Growth and Judicial Independence: Cross-Country Evidence using a new set of

indicators‖, European Journal of Political Economy Vol. 3, 2003, hlm. 497-527.

240 Lihat misalnya tulisan J. Ferejohn dan B. Weingast, ―A Positive

Theory of Statutory Interpretation‖, International Review of Law and Economics,

Vol. 12, 1992, hlm. 263-279.

241 Baca misalnya: T.M. Moe, ―Political Institutions: The Neglected Side

of the Story‖, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol. 6, 1990, hlm.

213-253; J.R.Macey, ―Separated Powers and Positive Political Theory: The Tug

of War Over Administrative Agencies‖, Georgetown Law Journal, Vol. 80,

1992, hlm. 671-703; dan N.S. Zeppos, ―Deference to Political Decisionmakers

and the Preferred Scope of Judicial Review‖, Northwestern University Law

Review, Vol. 88, 1993, hlm. 296-371.

242 Misalnya tulisan Eugenia Toma, ―Congressional Influence and the

Supreme Court: The Budget as a Signaling Device‖, Journal of Legal Studies,

Vol. 20, 1991, hlm. 131-146.

Page 124: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

114 | Hukum Kelembagaan Negara

indepensi peradilan tercipta jika ―if politicians fear to lose power

and the farther the ideal points of the rival parties are apart.‖243

Dengan mengambil kasus di Jepang, Ramseyer dan

Rasmusen menyelidiki independensi peradilan dengan

mewawancarai 276 hakim, yang menyimpulkan bahwa ―that

judges who decided a case against the government incurred the

risk of being punished with less attractive posts.244

Dalam

penyelidikannya yang lain, Ramseyer dan Rasmusen juga

memperoleh data bahwa dari putusan 179 perkara pajak dan 284

pengadilan banding pajak, ―judges who decide cases in favor of

the government do better than those who favor taxpayers.‖245

Jadi

untuk menentukan independensi peradilan di sini berlaku asumsi

―independence is endangered if the government is solely

responsible for career developments of judges.‖246

Hasil studi David S. Law menunjukkan bagaimana

berkuasanya seorang Ketua Mahkamah Agung di Jepang.

Bagaimanapun, ―if he can attain the position of Chief Justice, he

will enjoy influence over both the behavior and the composition of

the Court.‖247

Bentuk pengaruh Ketua Mahkamah Agung terutama

adalah dalam menentukan seleksi hakim, termasuk hakim agung,

berikut juga masalah proses pensiunnya, yang semuanya

243 M. Ramseyer, ―The Puzzling (In)dependence of Courts: A

Comparative Approach‖, Journal of Legal Studies, Vol. 2, 1994, hlm. 721-747.

244 M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Judicial Independence in a Civil

Law Regime: The Evidence from Japan‖, Journal of Law, Economics and

Organization, Vol. 2, 1997, hlm. 259-286.

245 M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Why the Japanese Taxpayer

Always Loses‖, Southern California Law Review, Vol. 2-3, 72, 1999, hlm. 571-

595.

246 M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen ,‖ Why Are Japanese Judges So

Conservative in Politically Charged Cases?‖, American Political Science Review,

Vo. 2, 2001, hlm. 331-344.

247 Op.cit., hlm. 1550.

Page 125: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 115

berlangsung tidak jelas dan penuh kerahasiaan. Pencalonan

seorang hakim agung dilakukan oleh Perdana Menteri, yang pada

gilirannya amat ditentukan oleh saran Ketua Mahkamah Agung.

Jika ada jabatan hakim agung yang lowong, maka Ketua

Mahkamah Agung ―submits to the Prime Minister a list of

candidates containing from one to three names. No Prime

Minister in recent memory is known to have rejected the Chief

Justice‘s recommendations outright.‖248

Pengaruh besar Ketua

Mahkamah Agung akan melembaga mengingat ―vacancies occur

much more frequently in Japan than in the United States owing to

a combination of factors—namely, the relatively high number of

seats, the statutorily imposed mandatory retirement age of

seventy, and the practice of appointing justices in their mid-

sixties.‖

Di Israel, komposisi Mahkamah Agung mencerminkan

watak yang menunjukkan adanya persaingan ideologis ―between

the liberal tradition, both Central-European and Anglo-

American, and a very different, East-European political style,

which the judges observed in other governmental institutions, a

style which had distinct antiliberal elements.‖249

Hakim Agung

diseleksi oleh suatu komisi yang susunannya meliputi 3 Hakim

Agung, 2 wakil organisasi advokad, 2 anggota kabinet/menteri,

dan 2 anggota parlemen (Knesset).250

Perempuan Hakim Agung

untuk pertama kalinya diangkat pada 1977 dan jumlahnya terus

bertambah, dan dewasa ini mencapai jumlah separuh dari susunan

majelis, termasuk Ketua Mahkamah Agung, Dorit Beinish.

248 Ibid.

249 Eli M. Salzberger, ―Judicial Activism in Israel‖, Electronic copy

available at: http://ssrn.com/abstract=984918, hlm. 22.

250 Dengan komposisi itu, maka ―despite political input of the two

Knesset members (traditionally one from the opposition) and two ministers,

there is a majority of 5 to 4 of non-politicians and it gives the three Supreme

Court judges an advantage as the largest group in the committee.‖ Ibid., hlm. 23.

Page 126: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

116 | Hukum Kelembagaan Negara

Keanggotaan 3 Hakim Agung yang dominan memberikan warna

ideologis pada Mahkamah Agung. Mereka cenderung mempunyai

karakter nilai liberal dibandingkan pemerintah maupun parlemen.

Pada praktiknya, untuk isu publik yang dominan seperti

perdamaian, keamanan, dan hak asasi manusia, Mahkamah Agung

berwatak kiri dibandingkan cabang kekuasaan lain. Untuk isu

moralitas dan hubungan negara dan agama, Mahkamah Agung

lebih kanan dibandingkan cabang kekuasaan lain. Di bawah

pemerintahan Partai Buruh (yang berhalauan sosialis dan berkuasa

hampir 30 tahun sampai tahun 1977), Mahkamah Agung lebih

berwatak liberal, tetapi dewasa ini, karena sifat pemerintahannya

yang liberal, ―the Court is slowly shifting left to represent a

more social justice orientated stanc.‖251

Pada kondisi ideologis

itu, maka putusan Mahkamah Agung ―not only in terms of ethnic,

gender and religion, but also in terms of values and ideologies, is

a separate cultural system and thus membership of the Court is

exclusive to those who subscribe themselves to liberal values.

The commitment to this value system, according to Mautner, ought

to be a precondition for appointment.‖252

Dalam kasus Mahkamah Agung Singapura, Konstitusi

menyebutkan bahwa watak independensi kekuasaan peradilan

adalah adanya masa jabatan hakim. Para hakim agung hanya

boleh diajukan dalam satu kali masa jabatan dan resmi berhenti

ketika mencapai 65 tahun.253

Hakim agung hanya dapat

diberhentikan oleh Presiden Singapura setelah memperoleh

rekomendasi dari sebuah majelis khusus yang dibentuk untuk

memeriksa alasan-alasan pemberhentian dan majelis itu meliputi

sebanyak-banyaknya 5 orang atau diambil dari mereka yang

251 Ibid., hlm. 26.

252 Ibid., hlm. 27.

253 Pasal 98 ayat (1) Konstitusi Singapura (1999 Revision).

Page 127: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 117

pernah menjabat hakim agung.254

Diatur juga bahwa renumerasi

selama memangku jabatan hakim agung tidak boleh lebih rendah

dibandingkan dengan pekerjaan mereka sebelumnya.255

Tetapi

pengaturan dalam Konstitusi Singapura segera menunjukkan

bahwa bentuk murni dari pemisahan peradilan tidak dapat

dilaksanakan secara riil.256

Sejarah Mahkamah Agung Amerika Serikat juga mencatat

bahwa penunjukkan hakim agung kadang sarat dengan

pertimbangan kepentingan politik dari seorang presiden.257

Sebagai contoh adalah penunjukkan Ketua Mahkamah Agung

John Marshall, yang sarat dengan kepentingan politik Presiden

John Adams, di mana presiden sebelumny atelah menolak calon-

calon lain. Faktor utama penetapan John Marshal sebagai Ketua

Mahkamah Agung karena atar belakangnya sebagai federalis

sangat kuat dalam pandangan Adams. Penobatan Marshall sebagai

Ketua Mahkamah Agung hanya terjadi beberapa saat sebelum

jabatan presiden beralih kepada Thomas Jefferson, yang di

kemudian hari merupakan seteru Marshall dalam upaya

memperkuat posisi kekuasaan kehakiman. Penolakan Presiden

Adams untuk memilih Peterson, kaena penolah terhadap faksi

254 Pasal 98 ayat (3)-ayat (5) Konstitusi Singapura (1999 Revision).

255 Pasal 98 ayat (8) Konstitusi Singapura (1999 Revision).

256 Hal ini dapat dibaca antara lain dalam Pasal 95 Konstitusi yang

mengatakan bahwa hakim agung ditetapkan oleh Presiden menurut pertimbangan

Perdana Menteri. Pasal 23 mengatur bahwa penyelenggaraan wewenang

eksekutif adalah Presiden menurut aturan yang ditetapkan dalam konstitusi atau

oleh Kabinet atau menteri-menteri sebagai bagian dari Kabinet. Komposisi

pengaturan rekrutmen yang segera kental dengan aroma peran eksekutif ini oleh

L.P. Thean bahwa judicial independence from the executive does not lie solely in

the provisions of the Constitution, but also in the complex mix political,

economic, and other forces acting on the executive.‖ Lihat L.P. Thean, op,cit.,

hlm. 558.

257 Bernard schwartz, 1993, A History of Supreme Court, New York,

Oxford University Press, hlm. 3-13.

Page 128: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

118 | Hukum Kelembagaan Negara

Hamilton di Senat di mana Peterson dianggap berafilisasi, telah

membuka jalan bagi Marshall menjadi Ketua Mahkamah Agung.

Nominasi hakim agung di Amerika juga dikaitkan dengan

kepentingan calon presiden, terutama terkait dengan upaya

menggalang pemilih dengan karakteristik tertentu dalam

pemilihan umum.258

Sebagai contoh adalah nominasi Sandra Day

O‘Connor oleh Presiden Ronald Reagen yang dimaksudkan untuk

lebih menarik pemilih perempuan dalam Pemilihan Presiden tahun

1981.259

Satrategi yang sama sebelumnya juga dilakukan oleh

oleh Richard Nixon dengan mencalonkan Clement Hysnworth

(1969), G. Harold Powell (1970), dan Lewis Powell (1971)

sebagai hakim agung dengan maksud sebagai strategi untuk lebih

menarik pemilih dari wilayah selatan Amerika dalam pemilihan

258 Ibid, hlm. 32-34.

259 Ibid. Sandra Day O‘Connor sebelumnya merupakan Ketua Parlemen

Negara Bagian Arizona. Dalam sejarah Mahkamah Agung Amerika Serikat dapat

ditelisik, bahwa periode 1861-1895 dari 22 nominasi calon Hakim Agung,

sebanyak 13,6% berlatar belakang non profesi hukum dan 45,5% berasal dari

profesi hukum. Pada periode 1896-1932, dari 19 nominasi, sebanyak 26,3%

berlatar belakang non profesi hukum dan 42,1% dari profesi hukum. Sebaliknya,

pada kurun 1933-1968 komposisinya terbalik, di mana dari 21 nominasi, 61,9%

berasal dari kalangan nonprofesi hukum, sedangkan 28,6% berasal dari kalangan

profesi hukum. Situasi berubah dalam periode 1969-2005, di mana dari 13

nominasi, sebenyak 7,7% dari kalangan nonprofesi hukum dan dari profesi

hukum meningkat menjadi 84,6%. Lihat dalam Lawrence Baum, op.cit., hlm.67.

Sampai tahun 1997, dari 9 (sembilan) orang hakim agung, sebanyak 5

(lima) orang hakim berasal dari kalangan nonprofesi hukum dan sisanya dari

profesi hukum. Profilnya karir sebelum menjadi hakim agung adalah William

Rehnqusit (Asisten Jaksa Agung Federal, 1969-1971); Steven (Komisi Hukum

Dewan Perwakilan Rakyat, 1951); Sandra Day O‘Connor (Ketua Parlemen

Negara Bagian Arizona, 1969-1975); Anthony Scalia (Asisten Jaksa Agung

Federal, 1974-1977); Anthony Kenendy (lobbyist, 1963-1974); Souter (Asisten

Jaksa Agung Negara Bagian New Hempshire, 1968-1978); Thomas (Direktur

Komisi Kesetaraan Kesempatan Kerja, 1982-1990), dan Breyer (Komisi Hukum

Senat, 1974-1980). Lihat: Lee Epstein dan Jack Knight, 1998, The Choices

Justice Make, Washington D.C., CQ Press, hlm. 37.

Page 129: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 119

umum.260

Sementara itu, Presiden Ronald Reagen termasuk

Presiden Amerika Serikat yang berupaya memberikan pengaruh

terhadap proses peradilan selama periode pemerintahannya,

termasuk memilih hakim-hakim agung dan Ketua Mahkamah

Agung sejalan dengan pemikiran politiknya.261

Pemilihan William

Rehnquist sebagai Ketua Mahkamah Agung mengubah peta

perimbangan kekuatan politik diantara eksekutif dengan yudikatif

dan legislatif. Penempatan hakim-hakim agung melalui nominasi

Reagen berhasil menempatkan Supreme Court di bawah bayang-

bayang politik pemerintahan Reagen, di mana secara konsisten

lahir putusan-putusan pengadilan yang mendukung pembuatan

undang-undang baru tentang aborsi pada 1988. Padahal 15 (lima

belas) tahun sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan

putusan yang memperkuat hak perempuan untuk menentukan soal

aborsi tersebut. Diantara nominasi hakim agung dan Ketua

Mahkamah Agung dengan pertimbangan politik dari Presiden,

sejarah Amerika Serikat mencatat 3 (tiga) nominasi Ketua

Mahkamah Agung sangat penting bagi sejarah perjalanan

kekuasaan kehakiman dan berpengaruh terhadap pentas politik

negara yaitu pencalonan John Marshall (1801), Earl Warren

(1953), dan Abe Fortas (1968).262

Walaupun demikian, ada

Presiden yang selama masa jabatannya tidak dapat menggunakan

pandangan politiknya untuk mempengaruhi hakim agung, seperti

Presiden Jimmy Carter (1977-1981).263

260 Ibid., hlm. 37.

261 Ibid.

262 Ibid., hlm. 38.

263 Dalam masa jabatannya, Jimmy Carter tidak memperoleh kesempatan

melakukan rekrutmen hakim agung karena dalam masa itu tidak ada hakim agung

yang diganti. Sebelumnya, Presiden Gerald Ford, yang menggantikan Presiden

Richard Nixon untuk masa kepresidennannya yang kedua, menominasikan John

Paul Steven yang mulai bertugas 19 Desember 1975. Lihat dalam

Page 130: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

120 | Hukum Kelembagaan Negara

Kedekatan para Hakim Agung dengan Presiden Amerika

Serikat tetap menjadi kontroversi, walaupun bukan merupakan hal

yang baru. Seperti terlihat betapa dekatnya relasi Hakim Agung

Fiske Stone dengan Presiden Herbert Hoover (18, Hakim Agung

Felix Frankfurter dengan Presiden Franklin Roosevelt (1930-

1945), dan Hakim Agung Abe Fortas dengan Presiden Lyndon

Johson (1963-1969).264

Begitu juga kasus kedekatan Wakil

Presiden Dick Cheney dengan Hakim Agung Antonin Scalia, yang

mana keduanya pernah sama-sama menjadi pembantu Presiden

Gerald Ford (1972-1976).265

Bagaimanapun, ―to become a

Supreme Court justice, one must come to the attention of a

politician—a member of Congress, the attorney general, or even

the President.‖266

Jadi, dalam praktik di Amerika Serikat, ―Justices may be

appointed who are acceptable only to the Republicans or only to

the Democrats.‖ Hal ini karena:267

And as long as the president has amajority in the Senate, he

has a pretty good chance of getting an appointment on the

Supreme Court who was acceptable only to the members of

his own party (so long as the other party didn‘t have

thespine to actually filibuster). The American process will

therefore result in Justices pretty far in viewpoint from the

―median‖ Senator. In other words, American court

www.a257.g.akamaitech.net/7/257/2422/14mar20010800/www.supremecourtus.

gov/about/members.pdf, diakses 12 Maret 2011.

264 Lwrence Baum, op.cit., hlm. 83.

265 Kasus ini disorot, sebab Wakil Presiden Cheney, yang pada waktu itu

menjadi Satuan Tugas Eenergi sedang berperkara melawan Pemerintah District

Court, di mana Scalia menjadi Hakim Agung yang menanganinya. Lihat ibid.,

hlm. 82-83.

266 Lee Epstein dan Jack Knight, op.cit., hlm. 37.

267 John E. Ferejohn, op.cit., hlm. 57.

Page 131: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 121

appointments can be fairly extreme, ideologically or

jurisprudentially.

Ini yang membedakan ciri Mahkamah Agung Amerika

Serikat, di mana hakim agung menjabat selama seumur hidup,

dibandingkan dengan tradisi Eropa, termasuk dalam rekrutmen

hakim di Mahkamah Konstitusi. Pada Mahkamah Konstitusi di

Eropa, ―They provide long terms, but rarely permit reappointment.

So, basically, a judge will serve for ten years, nine years, seven

years,some relatively longish term and then leave the court‖, kata

John E. Ferejohn.268

Contohnya, ―In Bulgaria,Romania,

Lithuania, and Hungary justices are elected for nine years, in

Albania for two years, in Belarus for eleven years, in the Czech

Republic and Ukraine for ten years, and in Slovakia for seven

years; in Poland, the tenure of justices was eightyears, and was

extended by the 1997 Constitution to nine years.‖269

Akibat pola

yang memerlukan dukungan politik ini, maka:270

[T]o get appointed to the German Federal Constitutional

Court, a prospective justice must garner the votes of two

thirds majorities in bothchambers of parliament (Bundestag

and Bundesrat). Thus, all the major political formations

must agree on a new appointment. As a result, nearly all of

the constitutional judges tend to have moderate judicial

viewpoints.

Menurut Veli-Pekka Hautamäki, dalam kasus Jerman dan

Prancis, kenampakkan nilai-nilai politik dalam peran yang

dilakukan oleh Pengadilan Konstitusi menjadi sesuatu yang

lumrah, sepanjang masyarakat menerimanya sebagai ancangan

268 Ibid.

269 Ibid.

270 Ibid., hlm. 58.

Page 132: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

122 | Hukum Kelembagaan Negara

pilihan karena ketidakmapuan parlemen dalam merealisasikan

demokrasi. Dikatakan bahwa:

[P]eople accept the political role of the courts, because

there has been ‗chronic impotence‘ in the actions of

parliaments to realise democracy. In Germany and France,

so it became clear, political attitudes affect the choice of

judges morethan their competence in the field of law does,

although the latter is still an important factor.271

Di Norwegia, tidak ada ketentuan pasti mengenai jumlah

hakim agung pada Mahkamah Agung ((Høyesterett), tetapi

biasanya tidak lebih dari 20 orang dan dipilih oleh Menteri

Kehakiman. Tetapi hal ini tidak menjadi indikator pelabelan

politik kepada Mahkamah Agung ((Høyesterett), tetapi karena

―that the Høyesterett also has a political function, because both

law and politics belong to the role which the Høyesterett has as a

‗creator of law‘ or as a ‗negative legislator.‘272

.

Politisasi rekrutmen hakim agung juga terjadi di negara

Amerika Latin seperti Argentina. Dengan mengadopsi model

Amerika Serikat, dewasa ini Argentina menghadapi tantangan

dalam reformasi peradilan dan sedang proses dalam tahapan dari

masa ―complicity in state terrorism‖ menuju ―the service of a

democratic system.‖ Menurut Alberto M. Binder, ―[After]

removal of judges who were compromised by their association

with the military regime and the reinstatement of those illegally

removed during the dictatorship...howeverafter 20 years of

democracy, the process of naming judges is still subject to

political pressure.‖273

Persoalan serupa nyaris melanda sistem

271 Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 6.

272 Ibid., hlm. 9.

273 Alberto M. Binder, dalam Peter Dazo dan Juan Enrique Vagas,

―Judicial Reform in Latin America: An Assesment‖, Policy Papers on the

Americas Volume XVII, Study 2, September 2006, CSIS, hlm. 3.

Page 133: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 123

peradilan di negara-negara Amerika Latin. Hal ini seperti

diungkapkan oleh Peter Hakim and Abraham Lowenthal sebagai

berikut:274

Legislatures and judicial systems in much of Latin America

still lack autonomy, stature, resources and competence

needed to carry out all of their constitutional functions

fully. Courts are overburdened and their proceedings,

both criminal and civil, are routinely delayed for years.

Judges are, for the most part, poorly trained and paid,

and they lack the funding to conduct investigations and

administer justice effectively. In many places, judicial

decisions are heavily influenced by political considerations,

intimidation or outright corruption.

Problematika di Amerika Latin itu disebabkan karena:275

Since the colonial period, Latin American judiciaries

have been compromised in many instances by their lack of

independence from other branches of the government-

particularly the executive in interpreting the law. Another

debilitating factor is the fact that civil law judicial systems

do not have to recognize that a court ruling in one case

creates a precedent that is applicable also in subsequent

legal cases.

Di Bangladesh, sejak berdiri sebagai Negara tahun 1972,

rekrutmen hakim di Mahkamah Agung, juga pejabat publik bidang

hukum lain, dilakukan menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh

274 Peter Hakim and Abraham Lowenthal, "Latin America's Fragile

Democracies," Journal of Democracy, Summer 1991, hlm. 22.

275 William Ratliff dan Edgardo Buscaglia,‖Judicial Reform: The

Negleted Priority in Latin America‖, Annals of the American Academy of

Political and Social Science, Vol. 550, Maret 1997, hlm. 64.

Page 134: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

124 | Hukum Kelembagaan Negara

Presiden.276

Dalam aturan konstitusi semenjak awal sudah

mengabaikan peran Ketua Mahkamah Agung dalam rekrutmen

para hakim. Lebih-lebih mengingat Presiden sebagai kepala

negara, maka tidak mungkin kekuasaan Presiden itu dijalankan

tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Perdana Menteri

sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, ada dominasi

eksekutif dalam proses pengangkatan hakim di Bangladesh.277

Dalam negara yang mengenal pengujian konstitusional

(constitutional review) dengan model Austria, salah satu indikator

independensinya adalah sehubungan dengan komposisi para

hakim. Di kawasan Eropa Tengah dan Timur, yang mana pasca

runtuhnya pemerintahan komunis setiap negara mempunyai

Mahkamah Konstitusi, juga tidak mempunyai pola yang seragam

dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Sekurang-kurangnya

ada 3 model rekrutmen. Pertama, model split, artinya melibatkan

beberapa organ dengan pelaksanaan yang terpisah satu sama lain,

yang umumnya adalah Presiden, Parlemen, dan badan peradilan

yang tertinggi. Sistem ini dipraktikkan di Bulgaria, Moldova,

Romania, Serbia and Ukraina. Menurut Wojciech Sadurski:278

This system has its advantages (it prevents a domination of

any single political viewpoint in the Court) but also its

drawbacks: the judges may maintain loyalties to the organ

that appointed them, and this results not only in a political

dependence but also in a fragmentation of the Court.

Di Rumania, untuk menghindari kelemahan itu, Ketua

Parlemen, Senat, dan Presiden, mengganti seorang hakim setiap 3

tahun. Tetapi upaya ini juga tidak menghindarkan politisasi,

276 Pasal 115 Konstitusi Bangladesh.

277 Md. Awal Hossain Mollah, op.cit., hlm. 458.

278 Wojciech Sadurski, ―Twenty Years After the Transition:

Constitutional Review in Central and Eastern Europe‖, diakses dari Electronic

copy available at: http://ssrn.com/abstract=1437843, hlm. 4-5.

Page 135: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 125

karena tidak ada ketentuan yang menetapkan sifat memaksa

mekanisme ini. Lagipula, calon yang diajukan ketiga badan itu

selalu merupakan kalangan politisi. Demikian juga di Ukraina,

saat terjadi krisis politik 2007-2008, dominasi partai politik

Presiden menjadikan Mahkamah Konsitusi berwajah dua:

sebagian hakimnya Presiden dan sebagian lagi hakimnya Perdana

Menteri.279

Kedua, model ―collaborative‖, karena ―it requires

cooperation between two branches of the government: the

President and the legislative.‖280

Sistem ini dipraktiikan di

Albania, Czech Republic, Slovakia, Slovenia dan Russia. Model

ini mempunyai kelemahan di mana ―there is no good

collaboration between the President and the parliamentary

majority, there may be a standstill in the process of appointing

new judges.‖281

Ketiga, model di mana rekrutmen sepenuhnya menjadi

urusan parlemen dengan suara terbanyak mutlak seperti di

Hongaria, atau dengan suara terbanyak sederhana, seperti Polandia

dan Kroasia. Praktik di Polandia menunjukkan mekanisme ini

mempunyai aroma politik yang tinggi sekalipun dimungkinkan

bahwa akan diperoleh kandidat yang mempunyai daya dukung

besar. Tetapi, dengan model parlementer, partai yang menguasai

kursi akan terus menerus mengontrol para hakim, sementara partai

oposisi—sekalipun mempunyai hak untuk mengajukan

kandididat—tetap tidak akan bisa memperoleh dukungan besar.

Selama kurun waktu 1989-2002, sebanyak 29 calon hakim

kosntitusi, sebanyak 27 hakim terpilih karena faktor mayoritas

279 Ibid., hlm. 5.

280 Ibid.

281 Ibid.

Page 136: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

126 | Hukum Kelembagaan Negara

parlemen.282

Kenyataan ini menunjukkan bahwa, ―it became

increasingly apparent that each change of political configuration

of the parliament will be reflected in future appointments.‖283

Dengan demikian, di Polandia, komposisi parlemen (Majelis

Rendah) akan menunjukkan wajah Mahkamah Konstitusi. Di

Hongaria, dengan suara terbanyak sekalipun, tidak akan

menyelesaikan masalah karena justru memancing polarasasi

politik dengan kompromis yang tinggi untuk menyetujui

pencalonan hakim.

Keadaan rekrutmen hakim konstitusi di kawasan ini,

mencerminkan keadaan sebagai berikut.284

A common feature of all the appointment processes is their

insufficient transparency and publicity. The general public

is neither informed about the nominations nor particularly

concerned about them. Partially, this might be due to a lack

of understanding of the role of the Courts. They are often

being perceived as yet another ―ordinary‖ court; hence

there is not expectation that the appointment procedure

should be publicly debated. However, this practice seems to

undergo a change due to some highly controversial cases

that bring the Courts and their members into the centre of

public attention as well as due to the increasingly proactive

role assumed by the media and non-governmental

organisations.

Kebanyakan mengenal masa jabatan tertentu untuk hakim

konstitusi antara 6-9 tahun, dengan variasi untuk dapat dipilih

kembali seperti di Korea Selatan, Mongolia, dan Indonesia atau

282 Marek Safjan, ―Politics and Constitutional Courts: A Judge‟s Personal

Perspective‖, EUI Department of Law Working Paper no 2000/10, available at

http://cadmus.iue.it/dspace/bitstream/1814/8101/1/LAW-2008-10.pdf, at 17-18.

283 Ibid.

284 Wojciech Sadurski, op.cit., hlm. 38.

Page 137: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 127

tidak dapat dipilih kembali seperti di Taiwan dan Thailand285

serta

kemungkinan dapat dipecatnya hakim oleh politisi. Misalnya di

Thailand, menurut Konstitusi 1997, sejumlah anggota parlemen

atau 50.000 pemilih dapat mengajukan permohonan kepada Senat

untuk melakukan impeachment terhadap anggota Mahkamah

Konstitusi.286

Dalam Konstitusi 2007, jumlah pemilih yang dapat

mengajukan permohonan dikurangi menjadi 20.000 pemilih. Di

Mongolia, parlemen dapat menolak putusan Mahkamah Konstitusi

yang menyatakan inkonstitusionalitas Undang-Undang.

Di Taiwan, wewenang mengisi jabatan Grand Justice

melekat pada Presiden, yang mulai tahun 2005, pengisian itu harus

memperoleh persetujuan Majelis Nasional.287

Sementara itu,

Konstitusi 1997 Thailand mengatur sebanyak 7 hakim konstitusi

diplih dari lingkungan badan peradilan, sementara 8 yang lain (5

orang ahli hukum dan 3 orang ilmuwan politik) diseleksi tersendiri

oleh Senat.288

Menurut Konstitusi 2007, sebanyak 5 orang

285 Sebanyak 15 konstitusi yang diberlakukan dalam rentang 1932-1991,

selalu mencantumkan mengenai Constitutional Tribunal yang mampu untuk

melakukan pengujian konstitusional terhadap produk legislatif dan keputusan

pemerintah. Pada keberlakuan Konstitusi 1997, dicantumkan adanya Mahkamah

Konstitusi yang independen. Ketika terjadi kudeta milite rmelawan Perdana

Menteri Thaksin Shinawarta (19 September 2006), Konstitusi 1997 dicabut dan

digantikan oleh Konstitusi Sementara 2006 yang mempertahankan keberadaan

Mahkamah Konstitusi. Kemudian dengan Konstitusi 2007, kembali diatur

mengenai Mahkamah Konstitusi yang independen, bahkan dengan kewenangan

yang meluas untuk menangani persoalan Constitutional Complaint dan

memungkinkan keterlibatan Senat dalam rekrutmen hakim konstitusi.

286 Aurel Croissant, op.cit., hlm. 4.

287 Namun, mengingat Presiden adalah Ketua Partai yang menguasai

mayoritas parlemen, maka kontrol demikian menjadi tidak efektif. Aurel

Croissant, ibid.

288 Menurut J.R.Klein, ―the rule that nominees must receive the votes

of three-fourth of the committee enabled the four government

representatives on the committee to effectively veto those candidates of

Page 138: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

128 | Hukum Kelembagaan Negara

diajukan oleh badan peradilan sedangkan 4 orang hakim lainnya

dipilih dalam seleksi yang diadakan oleh pengadilan dan

Parlemen. Sebelum diangkat oleh Raja, harus terlebih dahulu

diberitahukan kepada Senat.289

Korea Selatan dan Indonesia melibatkan ketiga cabang

kekusaan dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi. Susunan

organisasi Mahkamah Konstitusi Korea Selatan meliputi 9 orang

hakim. Untuk dapat dinominasikan sebagai hakim, masing-masing

harus terkualifikasi sebagai hakim dan memahami persoalan

hukum. Proses pengangkatan hakim melibatkan Presiden, Majelis

Nasional, dan Mahkamah Agung, yang masing-masing dari

institusi itu mencalonkan 3 orang hakim.290

Masa jabatan seorang

hakim konstitusi adalah 9 tahun dan sesudah itu tidak dapat

dipilih kembali. Selanjutnya, Ketua Mahkamah Konstitusi

diangkat oleh Presiden setelah memperoleh konfirmasi dari

Majelis Nasional.

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 hakim

yang ditetapkan oleh Presiden dan sebanyak 3 orang masing-

masing diajukan oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan

Rakyat, dan Presiden.291

Pengisian keanggotaan Mahkamah

Konstitusi yang dimonopoli oleh Mahkamah Agung, Dewan

Perwakilan Rakyat, dan Presiden itu telah menutup peran rakyat

dalam menentukan komposisi Mahkamah. Privilesi ketiga

lembaga ini juga bersifat diskriminatif terhadap Dewan

Perwakilan Daerah. Pola rekrutmen itu terkesan mengimpor

whom the government disapproved.‖ Lihat dalam J.R. Klein (2003) „The

Battle for Rule of Law in Thailand. The Constitutional Court of Thailand‟, dalam

www.cdi.anu.edu.au/CDIwebsite_19982004/thailand/thailand_download/Thaiup

adate_Klien_ConCourt%20April, 2003, diakses 12 Maret 2011.

289 Pasal 204-206 Konstitusi 2007 Thailand.

290 Konstitusi Korea Selatan Pasal 111 ayat (2), (3), dan (4).

291 Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.

Page 139: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 129

mentah-mentah dari Prancis dan Jerman. Namun, Presiden di

Prancis dan Jerman bukanlah kepala pemerintahan seperti di

Indonesia.

Pada papernya, Besley dan Payne memaparkan bahwa

bagaimana para hakim merumuskan formulasi putusannya, disertai

dengan pertimbangan mengenai peluang untuk keterpilihan

kembali mereka dalam posisinya.292

Dalam studinya, La Porta,

López-de-Silanes, Pop-Eleches, dan Shleifer, menyimpulkan,

bahwa setelah mengenalisis konsep kekuasaan kehakiman di

Inggris dan Amerika Serikat, diakui bahwa sistem di Inggris

bermanfaat untuk menunjang kebebasan ekonomi (economic

freedom), sementara di Amerika lebih menunjang kepada

kebebasan politik (political freedom).293

Ditinjau dari kinerja putusannya, badan pengadilan

hendaknya menyadari mengenai akibat dari putusan tersebut. Pada

kasus di mana melibatkan orang per orang (private case),

misalnya dalam sebuah sengketa perjanjian, di mana satu pihak

merasa melaksanakan ketentuan kontraktual yang disepakati, di

lain pihak ketentuan kontraktual itu telah dilanggar oleh pihak

yang lain. Posisi pengadilan sebagai pihak yang independen amat

diperlukan, terutama untuk memediasi agar perjanjian dapat

dilaksanakan dengan tingkat yang tepat mengenai prediksi

transaction cost yang diperlukan. Dalam perkara antara

warganegara dengan pemerintah, posisi pengadilan penting untuk

memastikan bahwa negara telah mematuhi prosedur rule of law.

Sementara itu, dalam perselisihan antarlembaga negara,

292 Lihat selengkapnya: T. Besleydan A. Payne, ―A Revisionist View of

the Separation of Powers, Journal of Theoretical Politics, Vol. 3, 2003, hlm. 345-

368.

293 Baca selengkapnya pada: R. La Porta, F. Lopez-de-Silanes, A.

Shleifer dan R. Vishny, ―The Quality of Government‖, Journal of Law,

Economics and Organization, Vol. 15, 1999, hlm. 222-279.

Page 140: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

130 | Hukum Kelembagaan Negara

pengadilan menjadi wasit dengan berpedoman kepada ketentuan-

ketentuan konstitusi.

B. Judicial Activism – Judicial Review

Menurut Satya Brata Sinha, judicial activism is nothing but

exceeding the constitutional brief of interpreting and applying the

law as it is, and taking over executive and legislative

functions in violation of the constitutional scheme of the

separation of powers.294

Secara filosofis, judicial activism berarti

―as a philosophy of judicial decision making where by judges

allow there personal views about public policy, among other

factors, to guide their decisions, usu. with the suggestions that

adherents of this philosophy tend to find constitutional violations

and are willing to ignore precedents.‖295

Singkatnya, mengutip

pendapat Cass Sunstein dan Paul Gewitz, suatu judicial activism

merupakan ―as any judicial decision to strike down legislative

acts.‖296

Tetapi J.S. Verma, mantan Ketua Mahkamah Agung

India, menolak definisi yang membatasi judicial activism hanya

mencakup ―stricke down legislative acts.‖ Menurutnya, judicial

activism merupakan the process by which new juristic principles

are evolved to update the existing law, to bring it in conformity

with the current needs of the society, and, thereby, to sub serve

the constitutional purpose of advancing public interest under the

Rule of Law.297

294 Satya Brata Sinha, ‖Constitutionality of Judicial Activism‖, Paper

Presented during the International Conference and Showcase on Judicial Reforms

held at the Shangri-la Hotel, Makati City, Philippines on 28-30 November 2005,

hlm. 3.

295 Ibid.

296 Ibid., hlm. 4.

297 J.S. Verma, 2000, New Dimensions of Justice, Universal Law

Publishing Co. Pvt. Ltd., hlm. 7.

Page 141: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 131

Dalam pandangan yang skeptis, Judicial Review harus

diserang karena memberikan ― ―judges‘ authority to strike down

legislation in the name of individual rights.‖298

Alasannya karena

―The people should decide their own fate through voting and

majority rule, with everyone‘s vote counting equally. When judges

decide the fate of the people, the judges‘ votes count for

everything and the people‘s for nothing.‖299

Selanjutnya, ada 2

problem terhadap Judicial Review, yaitu problem demokratik dan

problem kapasitas intepretasi. Dalam problem yang pertama

mengandung pengertian ―the fact that the legal norms being

judicially enforced have nondemocratic provenances.‖300

Kemudian, dalam problem yang kedua, mengandung pemahaman

―the fact that it is the courts rather than some other institution that

is interpreting the entrenched legal norms.‖301

Dari kritik terhadap

Judicial Review tersebut menunjukkan bahwa ―surely not

everyone accepts the legitimacy of judicial review.‖302

Hal tersebut terjadi karena dalam praktik timbul asumsi

bahwa ―it is not a case against constitutional entrenchment but

only a case against judicial interpretation of the entrenchment.‖303

Padahal, Judicial Review dalam pencapaiannya hingga dewasa ini

―in short, rests on both the short-term calculations of political

298 Jeremy Waldron, ―A Rights-Based Critique of Constitutional rights,‖

Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 13, 1993, hlm. 18.

299 Larry Alexander, ―What is the Problem of Judicial Review?‖, Legal

Studies Research Paper Series Research Paper No. 07-03 September 2005, hlm.

1.

300 Ibid.

301 Ibid.

302 Dale Smith, ―Disagreeing with Waldron: Waldron on Law and

Disagreement,‖ Res Publica, Vol. 7, 2001, hlm. 57.

303 Thomas Christiano, ―Waldron on Law and Disagreement,‖ Law &

Philosophy, Vol. 19, 2000, hlm. 513.

Page 142: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

132 | Hukum Kelembagaan Negara

actors and on long-term social changes.‖304

Salah satu penyebab

yang mendorong penerimaan Judicial Review adalah ―One

consequence of this global transformation is that some democratic

diversity has been lost. Parliamentary supremacy is now a

critically endangered constitutional species as many of the last

holdouts succumbed to judicial review.‖305

Sehingga yang terjadi

adalah ―demise of parliamentary supremacy‖ (―kematian

supremasi parlemen‖).

Atas cabaran terhadap supremasi parlemen yang mendorong

Judicial Review, maka dalam pandangan yang optimistik, peran

pengadilan ―look at the experience of newer, transitional

democracies to argue that judicial review has an important

democratic payoff.‖306

Sementara dalam kubu yang pesimis,

―constitutional courts weaken democracy by looking primarily at

the record of older, consolidated democracies.‖307

Tetapi kedua

kubu ini sesungguhnya ―do a particularly good job of elucidating

304 Mark Tushnet, ―The Possibilities of Comparative Constitutional Law‖,

Yale Law Journal, Vol. 108, 1999, hlm. 1225.

305 Mark Tushnet, ―New Forms of Judicial Review and the Persistence of

Rights and Democracy-Based Worries‖, Wake Forest Law Review, Vol. 38,

2003, hlm. 813-815.

306 Ken I. Kersch, ―The New Legal Transnationalism, The Globalized

Judiciary and the Rule of Law‖, Washington University of Global Studies Law

Review, Vol. 4, 2005, hlm. 345 dan 351–353. Lihat juga argumen yang

mengatakan bahwa pengadilan menjalankan peran yang heroik dalam masa

transisi untuk menegakkan keadilan konstitusional dalam Mauro Cappelletti,

―Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of ‗Constitutional

Justice‘ ―, Catholic University Law Review, Vol. 35, 1985, hlm.191.

Demikian juga argumen yang mengatakan ―The nations of continental

Europe drew on their domestic experience of tyranny and oppression unchecked

by law to conclude that constitutions need judicial machinery to be made

effective.‖ Baca: Lorraine E. Weinrib, ―The Postwar Paradigm and American

Exceptionalism‖, The Migration of Constitutional Ideas, Vol. 84, hlm. 98.

307 Ibid.

Page 143: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 133

the complex relationship between judicial review and the

construction or erosion of the societal attitudes that sustain

democracy for the long haul.‖308

Bruce Ackerman, dalam penelitiannya terhadap

konstitusionalisme Jerman, termasuk dalam kelompok optimistik.

Dia mengatakan bahwa ―that the success of the German

Constitutional Court flows from the sociological fact that the

Basic Law has become a central symbol of the nation‘s break with

its Nazi past.‖309

Herman Schwartz menambahkan bahwa dalam

peran di era transisi tersebut ―that while constitutional courts

cannot implement liberty, they can help to maintain, nurture, and

perhaps even to strengthen it.‖310

Sementara itu dalam kelompok pesimistis, diwakili oleh

pandangan Jeremy Waldron, Ran Hirschl, serta Larry Kramer dan

Mark Tushnet. Menurut Jeremy Waldron, ―that legislatures can

do as good a job as courts in effectuating rights by examining

parliamentary debates on liberalizing abortion, legalizing adult

homosexual conduct, and abolishing capital punishment in the

United Kingdom, Canada, Australia, and New Zealand.‖311

Pada

sisi lain, Ran Hirschl mengungkapkan bahwa ―that polities may

have vigorous judicial protection of rights yet suffer from income

inequality as its influence on promoting progressive notions of

distributive justice has been exaggerated.‖312

Kemudian, Larry

308 Miguel Schor, ―Mapping Comparative Judicial Review‖, Washington

University Global Legal Studies Law Review, Vol. 7, 2008, hlm. 271.

309 Bruce Ackerman, ―The Rise of World Constitutionalism‖, Virginia

Law Review, Vol. 83, 1997, hlm. 778.

310 Lihat dalam Louis Favoreu, ―Constitutional Review in Europe‖, dalam

Louis Henkin dan Albert J. Rosenthal eds., 1989, Constitutionalism and Rights

the Influence of the United States Constitution Abroad, hlm. 58-59.

311 Jeremy Waldron, ―The Core of the Case Against Judicial Review‖,

Yale Law Journal, Vol. 115, 2006, hlm. 1346.

312 Dalam Miguel Schor, op.cit., hlm. 272.

Page 144: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

134 | Hukum Kelembagaan Negara

Kramer dan Mark Tushnet menambahkan that vigorous judicial

review in the United States has undermined the societal attitudes

needed to sustain democracy.‖313

Figur Judicial Review dalam cabaran dan caturan teoritis di

atas perlu diungkapkan kembali, sehubungan dengan pengkajian

pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi. Tak disadari bahwa

telah terjadi persaingan antara Mahkamah Konstitusi dengan DPR

dalam meninjau suatu Perpu yang ditetapkan sepihak oleh

Presiden. Artinya, Mahkamah Konstitusi merasa berwenang untuk

menguji Perpu karena di samping untuk mengontrol unitary

executive Presiden, juga untuk mencegah jangan sampai substansi

Perpu bertentangan dengan UUD 1945. Bagaimanapun Mahkamah

Konstitusi berpijak bahwa ada kemungkinan Perpu berlawanan

dengan konstitusi saat isinya justru bertentangan dengan kaidah-

kaidah dalam UUD 1945. Artinya, pengujian Perpu akan bersaing

dalam 3 arena: Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi.

Dalam doktrin supremasi parlemen seperti diyakini kubu

pesimistik Judicial Review di atas, tentu kenyataan itu tidak

diterima, bahkan dianggap bertentangan dengan prinsip pemisahan

kekuasaan. Argumennya, karena Perpu lahir dari kebutuhan

administratif dalam situasi kegentingan yang memaksa, yang

muncul dari perilaku Presiden, maka hal tersebut berada dalam

ranah pengawasan penyelenggaraan pemerintahan sehingga

menjadi domain DPR. Apalagi—walaupun dalam kajian ini tidak

disetujui—Mahkamah Konstitusi menganggap detail prosedur

Undang-Undang harus dipandang sebagai prosedur legislasi

Perpu, yang dalam konteks ini merupakan hubungan antara

Presiden dengan DPR.

Kemudian, dari sudut Mahkamah Konstitusi, perilaku

Presiden harus diawasi termasuk dalam melaksanakan hak

menetapkan Perpu, karena ―tidak boleh ada dalam satu detikpun,

peraturan yang bertentangan dalam UUD 1945.‖ Secara teoritis,

313 Ibid., hlm. 273.

Page 145: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 135

hal ini dapat dibenarkan karena dalam pengalaman Amerika

Serikat misalnya, kendati klausula state of emergency tidak

ditentukan dalam konstitusi, ―in a crisis the right of habeas

corpus can be suspended and Presidents have de facto increased

their powers in times of war or emergency.‖314

Justifikasi yang

mengemuka sehubungan dengan masalah ini adalah ―In times of

crisis there is an unmistakable tendency to augment and extend

the powers of the executive branch.‖315

Bahkan seperti

diungkapkan oleh Eric A. Posner dan Adrian Vermeule, ―[w]hen

national emergencies strike, the executive acts, Congress

acquiesces, and courts defer.‖316

Bagaimanapun, dalam kerangka

makro, ―the use of emergency powers (and their continued

extension) is an exceedingly rational position, and is grounded in

the assumption that there are evident benefits to the state in

choosing to utilize extra-ordinary powers.‖317

Akan tetapi, ―there

are substantial dangers to the centralization of crisis powers in

times of emergency.‖318

Berkaitan dengan itu, maka ―judicial review of emergency

and national-security measures can and has established

important constraints on the exercise of emergency powers and

314 Samuel Issacharoff and Richard H. Pilides, ―Emergency Contexts

Without Emergency Powers: The United States‘ Constitutional Approach To

Rights During Wartime‖, International Journal of Constitutional Law, Vol. 2,

2004, hlm. 296.

315 Fionnuala Ni Aolain dan Oren Gross, ―A Skeptical View of

Deference to the Executive in Times of Crisis‖, Isarel Law Review, Vol. 41,

2008, hlm. 544.

316 Thomas P. Crocker, ―Book Review: Torture, with Apologies:Terror in

the Balance: Security, Liberty, and the Courts. By Eric A. Posner and Adrian

Vermeule‖ , Texas Law Review, Vol. 86, 2008, hlm. 569.

317 Cass Sunstein, ―National Security, Liberty and the D.C. Circuit‖,

George Washington Law Reviwe, Vol. 73, 2005, hlm. 693.

318 Fionnuala Ni Aolain dan Oren Gross, loc.cit.

Page 146: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

136 | Hukum Kelembagaan Negara

has restricted the scope of what is acceptable in future

emergencies.‖319

Hal ini disebabkan ―because courts, unlike the

political branches or the political culture more generally, must

explain their reasons in a formal manner that then has

precedential authority in future disputes, judicial decisions offer

an opportunity to set the terms of the next crisis, even if they often

come too late to be of much assistance in the immediate term.‖320

Dalam perkara pengujian Perpu, Mahkamah Konstitusi

mencoba untuk melakukan apa yang dinamakan sebagai judicial

balancing. Pada kajian peradilan yang berkembang di Amerika

Serikat dan Inggris, yang digunakan adalah istilah proportionality

test. Menurut Michel Rosenfeld, ―Proportionality and balancing

are not synonymous, but they seem to overlap significantly,

particularly since balancing proper forms part of proportionality

tests.‖321

Kaidah ―kegentingan yang memaksa‖ (time of stress) tidak

sama dengan pengertian krisis (a crisis) atau situasi normal (time

of ordinary). Menurut Bruce Ackerman, ―In the context of a crisis,

be it military, economic, social or natural, the head of government

may be entitled to proclaim exceptional powers and to suspend

constitutional rights, including political rights. In an acute crisis,

the polity is singularly focused on survival and all other political

concerns and objectives recede into the background.‖322

Sementara itu, ―in ordinary times, the polity can readily absorb

the full impact of the give and take of everyday politics, and

319 David Cole, ―Judging the Next Emergency: Judicial Review and

Individual Rights in Times of Crisis‖, Michigan Law Review, Vol. 101, 2004.

320 Ibid., hlm. 2566.

321 Michel Rosenfeld, ―Judicial Balancing in Times of Stress: Comparing

Diverse Aprroaches to the War of Terror‖, Jacob Burns Institute for Advanced

Legal Studies Working Paper No. 119, 2005, hlm. 14.

322 Bruce Ackerman, ―The Emergency Constitution‖, Yale Law Journal,

Vol. 113, 2004, hlm.1029 dan 1040.

Page 147: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 137

constitutional rights ought to be protected to their fullest possible

extent.‖323

Untuk mengatasi ―kegentingan yang memaksa‖ (time of

stress), maka ―the legislature and/or the executive power is

responsible for devising measures designed to cope with the

relevant threat.‖324

Kemudian, pada posisi yang lain, ―The

judiciary, in turn, is charged with determining whether

implementation of such measures is compatible with maintaining a

suitable equilibrium.‖325

Dalam konteks ini, maka ―Judicial

balancing would work best and be most transparent if the social

goods subjected to balancing were both quantifiable and

comparable.‖326

Kesemua itu menggambarkan tradisi British Constitution,

yang ―characterized by a balance of power between the legislature

and the executive, and later, the judiciary.‖327

Tradisi ini, yang

kemudian ditiru di Amerika Serikat, mengandung kearifan ―the

total union of executive and legislative power would produce

tyranny,but the partial separation of powers of the branches, and

the resulting system of checks and balances between the King‘s

prerogatives and Parliament‘s taxing and legislative powers,

guaranteed liberty and prosperity.‖328

Gagasan British

Constitution ini dalam realisasinya di negara Amerika Serikat

menunjukkan bahwa ―The U.S. Constitution adopted

323 Ibid.

324 Michel Rosenfeld, op.cit., hlm. 15.

325 Ibid.

326 Ibid., hlm. 16.

327 Robert J. Reinstein, ―The Limit of Executive Power‖, American

University Law Review, Vol. 59, 2009, hlm. 287.

328 Curtis A. Bradley dan Martin S. Flaherty, ―Executive Power

Essentialism and Foreign Affairs‖, Michigan Law Review, Vol. 102, 2004, hlm.

545.

Page 148: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

138 | Hukum Kelembagaan Negara

supplementary measures to contain presidential power by

including numerous proscriptions from English laws.‖329

Dalam

hal ini, ―At least sixteen of these proscriptions are encoded in the

U.S. Constitution, some particularly directed at the President and

others broadened as guarantees against the entire government.‖330

Basis pemikiran konfigurasi kekuasaan Presiden menurut

konstitusi Amerika Serikat menurut Steven G. Calabresi yaitu

―clearly reject[ing] executive tyranny of the kind exercised by

George III . . . but . . . favor[ing] a president who was a forceful

but constitutionally constrained executive like William III.‖331

Dalam tradisi Amerika Serikat, ketentuan Pasal 2 Konstitusi yang

mengatakan ―The executive Power shall be vested in a President

of the United States....‖, yang dikenal sebagai Vested Clause,

telah berkembang sedemikian rupa sehingga mencakup ―to

execute a legislative scheme, and thereby change domestic law,

even in the absence of congressional authorization to do so.‖332

Cakupan yang demikian dipandang ―necessarily possesses in

deciding how and when to execute the laws.‖333

Tidak berlebihan bahwa dari sudut pandang tersebut, maka

kekuasaan Presiden berwatak diktator, di mana ―Dictatorships are

what democracies are not, the very opposite of representative

329 David Gray Adler, ―George Bush and the Abuse of History: The

Constitution and Presidential Power in Foreign Affairs‖, UCLA Journal of

International Law, Vol. 12, 2007, hlm. 75.

330 Lihat dalam Saikrishna Prakash, ―The Essential Meaning of Executive

Power‖, op.cit., hlm. 717–718.

331 Steven G. Calabresi, ―The President, the Supreme Court, and the

Founding Fathers: A Reply to Professor Ackerman‖, Chicago Law Review, Vol.

73, hlm. 469.

332 Jack Goldsmith & John F. Manning, ―The President‘s Completion

Power‖, Yale Law Journal, Vol.115, 2006, hlm. 2282.

333 Ibid., hlm. 2293-2295.

Page 149: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 139

government under a constitution.‖334

Dalam hal ini,

―dictatorship—the power of government officials to act on

important matters free of accountability or timely legal checks—is

not the opposite of democracy.‖335

Bukan hanya di Amerika

Serikat, tetapi selama Perang Dunia II, banyak label yang

diberikan sebagai dictatorship guna menyebut penyelenggaraan

pemerintahan di masa itu seperti Prancis, Inggris, dan Jerman.336

Diuraikan bahwa penyebutan dictatorship oleh karena ―the power

conferred on the dictator combines elements of judicial,

legislative, and executive power.‖337

Jika dikaitkan dengan kekuasaan Presiden dalam situasi

negara dalam keadaan darurat (state of emergency) watak

pemerintahan semakin terkonsentrasi kepada eksekutif dan hal lain

disebabkan karena ―emergencies can take a variety of forms, both

foreign and domestic.‖338

Hal ini dikarenakan ―the emergency

334 Miguel Schor, ―Constitutionalism Through the Looking Glass of Latin

America‖, Texas International Law Journal, Vol.41, 2006, hlm.6. Sehubungan

dengan hal ini menarik pendapat yang disampaikan oleh J.M. Balkin, ―The term

―dictatorship,‖ after all, began as a special constitutional office of the Roman

Republic, granting a single person extraordinary emergency powers for a limited

period of time. Lihat selengkapnya dalam J.M. Balkin, ―Nested Oppositions‖,

Yale Law Journal, Vol. 99, 1990, hlm. 1669.

335 Jack Balkin, ―Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its Design‖,

Minnesota Law Review, Vol. 90, 2010, hlm. 1791.

336 [S]tudied the responses of France, Great Britain, Germany, the

United States, and ancient Rome to emergencies, real and perceived, including

those generated by the Great Depression and World War II. Lihat Ibid., hlm.

1798.

337 Ibid., hlm. 1805.

338 Ibid., hlm. 1811.

Di Jerman misalnya, ―Most of the more than 250 presidential

suspensions of rights under the notorious Article 48 of the Weimar Constitution

concerned economic matters; government officials repeatedly turned to the

mechanisms of emergency power as Germany struggled to respond to the

Page 150: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

140 | Hukum Kelembagaan Negara

norms are said to be characterised by the fact that they are

applicable to a limited set of addresses.‖339

Penafsiran semacam

ini dikatakan ―has been to radically alter key aspects of US

constitutional law so as to expand executive power to the

detriment of other institutions and decision-making process.‖340

Oleh karena dalam konstitusi Amerika Serikat tidak diatur

bagaimana batas dan substansi kewenangan Presiden dalam situasi

darurat341

, maka dalam praktik dikembangkan apa yang

economic and social difficulties created by its defeat in World War I, the

Versailles treaty, and a society bitterly divided between left and right,

Communists and Nazis.‖ Lihat: András Jakab, ―German Constitutional Law and

Doctrine on State of Emergency – Paradigms and Dilemmas of a Traditional

(Continental) Discourse‖, German Law Journal, Vol. 7, 2005, hlm. 455-457.

Contoh lain, Presiden Meksiko, Felipe Calderón, yang ―placed the entire

country under a state of emergency because of the potential swine flu pandemic.‖

Lihat: Thomas Black, Mexico‘s Calderon Declares Emergency Amid Swine Flu

Outbreak, BLOOMBERG, http://www.bloomberg.com/apps/

news?pid=20670001&sid=aEsNownABJ6Q, diakses 26 April 2011.

Kemudian, menurut Ackerman notes that Latin America has a ―long

history of using states of emergency as ploys to return to authoritarian-ism.‖

Lihat: John M. Ackerman, An Outbreak of Opportunism: Mexico‘s President Is

Trying to Use the Swine Flu to Consolidate His Power, SLATE,

http://www.slate.com/id/2217017/, diakses 26 April 2011.

339 Scott Shane, ‗Book cites secret Red Cross report of CIA torture of

Qaeda captives‘, International Herald Tribune, 11 June 2008, available at

http://www.iht.com/articles/2008/07/11/america/11detain.php, diakses 26 April

2011.

340 ‗The Green Light‘, entry in the blog published by Harper‘s, available

at http://harpers.org/archive/2008/04/hbc-90002779, 26 April 2011.

341 Hampir semua konstitusi sebelum abad ke-21 tidak mencantumkan

ketentuan mengenai state of emergency. Konstitusi Amerika Serikat, misalnya,

sejak dibentuk tidak mengatur mengenai hal tersebut hingga terjadi Perubahan

Ketiga, yang menegaskan bahwa dalam situasi perang, Presiden tidak dapat

bertindak unilateral dengan meninggalkan Konggres, tetapi pengadilan dapat

menunda berlakunya ketentuan hukum acara pidana. Lihat: Kim Lane Scheppele,

Page 151: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 141

dinamakan ―constitutional construction.‖ Mekanisme ini ―involves

the implementation of the Constitution‘s vague clauses and

abstract principles—not to mention its silences—through the

creation and application of precedents (both judicial and

nonjudicial), congressional enactments, administrative

regulations, and building of institutions with their own rules and

practices.‖342

Dengan demikian, dalam situasi tidak normal, pengadilan

dapat tetap melakun review terhadap tindakan eksekutif. Dalam

pandangan Mahkamah Konstitusi, ―Pembuatan Perpu memang

di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian

subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara

absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena

sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden

tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu

adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang

memaksa.‖ Untuk itu, Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa

―kegentingan yang memaksa‖ dalam Pasal 22 harus ditafsirkan

sebagai (i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk

menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-

Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum

ada sehingga terjadi kekosongan hukum,atau ada Undang-Undang

tetapi tidak memadai; dan (iii) kekosongan hukum tersebut tidak

―Law in a Time of Emergency: States of Exception and the Temptations of 9/11‖,

Journal of Constitutional Law, Vol. 6, 2004, hlm. 6.

Fenomena serupa dijumpai di kawasan Eropa, di mana ―In much of the

nineteenth century in Europe, however, even when constitutions did try to

establish separation of powers and respect for the rights of citizens, they typically

broke down under stress, and had to be rewritten when the crises were over. The

invocation of emergency provisions typically spelled the end of the constitutional

order itself. The periods between breakdown and reconstruction were simply

non-constitutional moments.‖, ibid., hlm. 7.

342 Jack M. Balkin, ―Framework Originalism and the Living

Constitution‖, New York University Law Review, Vol. 103, 2009, hlm. 566.

Page 152: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

142 | Hukum Kelembagaan Negara

dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara

prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama

sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk

diselesaikan.‖

Perkembangan aktivitas Mahkamah Agung di India semakin

disadari prinsip pragmatis dalam rangka ―the guarantee of

Fundamental Rights and the mandate of the Directive Principles

in the Constitution of India.‖343

Selanjutnya dikatakan bahwa,

―The basic reason for the growth of judicial activism in India is

the tendency of Courts to control the functioning of Government,

when it exceeds its power and to protect any abuse or misuse

of power by government agencies. It is inevitable reaction to

check misuse of public power.‖344

Seperti juga dalam kasus

Kurokawa v. Komisi Pemilu Chiba di Jepang, Mahkamah Agung

India secara atraktif menggunakan judicial activism dalam proses

pemilihan umum di bawah pemerintah yang tangguh seperti

Perdana Menteri Indira Gandhi.345

Ketika terjadi perselisihan

mengenai bagaimanakah pengisian jabatan Komisi Vigilance yang

bertugas untuk memberantas korupsi, maka putusan amat

menentukan posisi badan ini berhadapan dengan eksekutif.346

Bahkan, judicial activism menjadi sarana para hakim untuk

menolak penerapan ajaran hukum alam yang dikitrik sebagai ―a

distillate process‖.347

Perkembangan fungsi Mahkamah Agung India itu, hampir

serupa dengan yang terjadi di Jepang, berlangsung secara

343 Ibid.

344 Ibid., hlm. 6.

345 Putusan Mahkamah Agung dalam Indira Gandhi v. Raj Narain

(1975).

346 Putusan Mahkamah Agung dalam Vineet Narain v. India (1998).

347 Putusan Mahkamah Agung dalam Maneka Gandhi v. Union of India

(1978).

Page 153: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 143

berangsur-angsur. Hampir dalam kurun waktu 1950-1975, tidak

dijumpai judicial activism serupa tidak pernah dijumpai karena

sifat konservatif para hakim dan terjerat dalam teks-teks

konstitusi. Hanya sedikit kasus sehubungan dengan hak

kepemilikan yang ditangani karena hak itu terlempar dari daftar

hak asasi menurut konstitusi dan untuk kasus-kasus kebebasan

sipil, Mahkamah Agung secara ekstrem menghindari untuk

berbuat lebih jauh. Pengadilan tak pernah berusaha untuk merebut

kewenangan dalam menafsirkan konstitusi. Baru menjelang tahun

1975, Mahkamah Agung mulai tegas dalam pengujian

konstitusional (constitutional review) Undang-Undang. Dimulai

dalam kasus Keshvananda348

yang menyatakan bahwa dalam

membentuk Undang-Undang Parlemen tidak boleh membatasi hak

asasi manusia ―but also ruled that there are implied limits

which could not be used to alter the basic structure of the

Constitution.‖ Kemudian dalam kasus Basheshwar Nath,

Mahkamah Agung dengan jeli menafsirkan mengenai makna Rule

of Law sebagai suatu ―an essential feature of the Constitution of

India; and absolute discretion in matters affecting the rights of the

citizens is repugnant in the Rule of Law.‖349

Seterusnya dalam

putusannya, Mahkamah Agung India semakin sering menafsirkan

pengertian Rule of Law yang mencakup life, liberty, dan law,350

absolute power in any individual is anti democratic351

, hak

atas peradilan yang cepat352

, larangan mempekerjakan anak karena

348 Putusan Mahkamah Agung India (1973).

349 Putusan Mahkamah Agung India (1967).

350 Smt. Maneka Gandhi v.Union of India, Mahkamah Agung India

(1978).

351 Kumari Shrilekha Vidyarthi etc. v.State of Uttar Pradesh & ors.

Putusan Mahkamah Agung India (1991).

352 Hussainara Khatoon v.State of Bihar, Putusan Mahkamah Agung

India (1979).

Page 154: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

144 | Hukum Kelembagaan Negara

melanggar hak asasi manusia353

, dan public trust sebagai syarat

pemerintah untuk menegakkan hak asasi manusia.354

Posisi Mahkamah Agung Jepang serupa dengan Mahkamah

Agung Norwegia ((Høyesterett). Sekalipun dalam Konstitusi atau

Grunnlov (1814) tidak ada aturan mengenai wewenang Mahkamah

Agung dalam menafsirkan konstitusi, akan tetapi sepanjang

praktik ketatanegaraan menurut ―constitutional customary law‖

wewenang itu dianggap terlembaga.355

Sekalipun demikian, ―cases

to the Høyesterett come from the lower courts and these may

concern different kinds of affairs, for example criminal cases or

compensation cases. It should be noticed that, in fact, very few

cases concern constitutional matters.‖356

C. Pengujian Konstitusional (Constitutional Review)

Sebagai salah satu konsep yang diterima dalam gerak

pengorganisasian kekuasaan negara, Negara Hukum357

sering

353 M.C.Mehta( child labour matter) V. State of Tamil Nadu, Putusan

Mahkamah Agung India (1996).

354 Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 9.

355 Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the

Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Noerwey‖, hlm. 8.

356 Ibid.

357 Diskursus tentang Negara Hukum mulai berkembang saat mencuatnya

pemikiran mengenai teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ke-17

hingga abad ke-18. Pemikiran Negara Hukum terbagi ke dalam 2 (dua) kutub

yaitu rechsstaat dan rule of law. Istilah rechtsstaat dikenal dalam negara-negara

Eropa Kontinental, yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband,

Julius Stahl, dan Fichte. Sedangkan rule of law dikembangkan di negara-negara

Ango Saxon yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris. Pada dasarnya kedua

kutub pemikiran itu memiliki satu maksud yang serupa, ayitu adanya

perlindungan terhadap hak asasi manusia dan penghormatan atas martabat

manusia (the dignity of man). Uraian soal ini, baca antara lain: Wahyudi Djafar,

―Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas

Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia‖, Jurnal Konstitusi, Vol. 7,

Page 155: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 145

terpeleset ke dalam simplifikasi makna menjadi ―dalam negara

berlaku hukum.‖ Padahal, filosofi Negara Hukum meliputi

pengertian ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka

negara tundauk terhadap pengawasan hukum.358

Menurut Ahmad

Syahrizal, argumentasi ini berarti ketika hukum eksis terhadap

negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selajutnya

menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan

hukum tertulis atau tidak tertulis (Konvensi).359

Akan tetapi, jika

pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak memadai,

pengertian substantif Negara Hukum akan terperosok ke dalam

kubangan lumpur negara yang kuasa. Jika kondisi demikian

berlangsung terus menerus, maka negara itu lebih tepat disebut

sebagai ―negara dengan nihilnya hukum.‖360

Padahal idealisasi

Negara Hukum adalah tercipta konstitusionalisme.361

No. 5, Oktober 2010, hlm. 152-160. Baca juga Moh. Mahfud M.D., 1993,

Demokrasi dan Konstitusi, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm.

358 Cakupan pengertian Negara Hukum sangat tergantung format

pemahaman yang dibangun. Tamanaha misalnya, menawarkan 2 (dua) kategori

Negara Hukum (rule of law) yang masing-masing memiliki 3 (tiga) cabang atau

format yang berbeda-beda. Dengan pengkategorian ini, bentuk-bentuk Negara

Hukum dalam dipilah ke dalam 6 (enam) jenis, yaitu rule of law, formal legallity,

democracy and legallity, individual rights, rights of dignity, dan social welfare.

Pemahasan lebih lanjut mengenai hal ini, periksa: Brian Z. Tamanaha, 2004, On

The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University

Press, hlm. 91-103.

359 Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang

Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengkera Normatif,

Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, hlm. 55.

360 Ibid.

361 Gagasan konstitusionalisme berawal dari perkataan Yunani kuno

politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio. Lihat Jimly Asshiddiqie,

2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm.

5.

Page 156: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

146 | Hukum Kelembagaan Negara

Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai

suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti

dikemukakan oleh C.J Friedrich, ―constitutionalism is an

institutionalized system of effective, regularized restraints upon

governmental action‖. Basis pokoknya adalah kesepakatan

umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat

mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan

negara.362

Menurut Abdulkadir Besar, konstitusionalisme merupakan

komponen intergral dari pemerintahan demokratis. Tanpa

memberlakukan konstitusionalisme pada dirinya, pemerintahan

demokratis tidak mungkin terwujud. Konstitusionalisme

menurutnya memiliki dua arti yakni konstitusionalisme arti statik

dan arti dinamik. konstitusionalisme arti statik berkenaan

dengan wujudnya sebagai ketentuan konstitusi yang meskipun

bersifat normatif tetapi berkualifikasi sebagai konsep dalam

keadaan diam yang diinginkan untuk diwujukan. Paham

konstitusionalisme dalam arti statik yang terkandung dalam

konstitusi, mengungkapkan bahwa konstitusi itu merupakan

kontrak sosial yang didasari oleh ex ante pactum yaitu perjanjian

yang ada sebelumnya.363

Sedangkan konstitusionalisme dalam arti dinamik

rumusannya bersifat partikal, menunjukan interaksi antar

komponennya, tidak sekedar rumusan yang bersifat yuridik

normatif .364

Tetapi menurut Abdul Kadir Besar,

konstitusionalisme dalam arti dinamik bukanlah pengganti dari

konstitusionalisme dalam arti statik. Tiap konstitusi dari negara

demokratis niscaya mengandung konsep konstitusionalisme dalam

362 Ibid., hlm. 24-25.

363 Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma,

Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila, hlm. 68.

364 Ibid., hlm. 64.

Page 157: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 147

arti statik yang jenis pembatasannya berbentuk konsep

keorganisasian negara dan ia merupakan salah satu komponen dari

konstitusionalisme dalam arti dinamik. Hal ini berarti di

dalam konstitusionalisme dalam arti dinamik dengan sedirinya

mencakup konstitusionalisme dalam arti statik.365

Pendalaman sukma Negara Hukum terpatri ke dalam sistem

konstitusional, yang melahirkan komitmen ―self-binding

procedure‖, yang mana pemerintah terikat oleh tata cara

penggunaan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi.366

Ciri utama

komitmen tersebut adalah pemerintahan menghendaki hierarki

peraturan perundang-undangan yang jelas dan hanya dapat ditafsir

oleh kewenangan yudisial.367

Namun, seluruh persoalan itu hanya

dapat dicapai, jika kekuatan budaya hukum yang terdapat dalam

masyarakat madani responsif atas persoalan tersebut368

, sekalipun

365 Ibid., hlm. 69.

366 Juan Linz dan Alfred Stephen, ―Defining and Crafting Democratic

Transition, Constitution, and Consolidation‖, dalam R. William Liddle (Editor),

2001, Crafting Indonesian Democracy, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka, hlm.

30. Bandingkan juga dengan tulisan menarik Yonky Karman, yang antara lain

mengatakan, ―Konstitusi adalah hukum rakyat, bukan hukum Allah, juga bukan

hukum pemerintah. Pemerintah dibentuk dan dikontrol oleh konstitusi. Otoritas

pemerintah didelegasikan, bukan direbut, karena dipercaya oleh rakyat.

Pemerintah harus menerjemahkan kepercayaan itu dalam kerja profesional dan

jujur kepada masyarakat.‖ Lihat Yonky Karman, ―Krisis Konstitusionalitas‖,

Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011, hlm. 6.

367 Pengawasan oleh badan yudisial ini, dalam pemikiran Andrews

Heywood, menjadi salah satu jantung konstitusionalisme yang menyangkut ciri

―the form of institution and procedures‖ atau kesepakatan tentang bentuk institusi

dan prosedur ketatanegaraan. Lihat Andrews Heywood, 2002, Politics, New

York, Palgrave, hlm. 297.

368 Ibid. Faktor kebudayaan inilah yang menyebabkan gagasan Negara

Hukum sering dikritik terutama dikaitkan dengan kondisi negara berkembang.

Secara dogmatis, Negara Hukum (rule of law) dimaksudkan untuk menjadi

sebuah alat dan kekuatan untuk mencapai negara kesejahteraan, namun dalam

penerapannya rule of law, terutama yang dikembangkan Barat dan Bank Dunia,

Page 158: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

148 | Hukum Kelembagaan Negara

ada sementara argumen bahwa hukum dan kebudayaan dipisahkan

secara tegas dalam pemikiran relasi keduanya.369

Komitmen ―self-

binding procedure‖ juga mengammbarkan bahwa warga negara

yang merasa dirugikan oleh tindakan negara yang diperkirakan

telah melanggar konstitusi atau telah mengurangi hak-haknya

secara tidak sah, maka negara dapat dituntut di muka pengadilan

oleh yang bersangkutan.370

Artinya, negara seyogyanya harus

dapat mempertanggungjawabkan segala tindakannya melalui

sanksi yang diputus oleh pengadilan apabila negara terbukti telah

melakukan pelanggaran hukum.371

Pada sisi lain, hierarki peraturan perundang-undangan yang

jelas tidak akan terjaga jika landasan pemikiran bertumpu pada

berprasangka terlalu baik kepada hukum (teks-teks), institusi atau

kelembagaan, dan aktor-aktor/pelaku hukum (pengacara, hakim,

jaksa, dan kepolisian). Dalam pandangan kritis, hukum positif baik

dalam wujud in abstracto maupun penerapannya (in concreto)

tetaplah sebagai proses. Oleh karena itu sangat sulit

menjadi instrumen sekaligus sebuah mekanisme untuk mempertahankan hirarki,

dominasi, eksploitasi, dan penghancuran terhadap masyarakat pra-kapitalis. Lihat

kritik ini misalnya oleh Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New

York, Free Press, hlm. 52-57.

369 John O. Haley, mengutip ahli antropologi Cornell University Robert

Smith, yang mengatakan bahwa that culture comprises the values, beliefs, habits,

and expectations shared within a community. Thus defined, culture can hardly be

separated from law, and attempts to do so must fail. Lihat dalam John O. Haley,

―Law and Culture in China and Japan: A Framework for Analysis‖, Michigan

Journal of International Law, Vol. 27 No. 895, Spring 2006, hlm. 896.

370 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum,

Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 5.

371 Konstruski pemikiran ini, sekalipun logis ditinjau dari komitmen

penghormatan konstitusi, akan tetapi menurut Schimitt harus ditolak karena

wewenang pengadilan yang menjangkau hal-hal semacam itu akan menyebabkan

politisasi lembaga peradilan atau judicialization of politics. Lihat dalam Ahmad

Syahrizal, op.cit., hlm. 17.

Page 159: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 149

membayangkan dalam proses itu, segalanya lantas dikatakan final

sebagai netral dan bebas dari ―permainan politik.‖372

Kontruksi

pemikiran ini bertentangan dengan argumen sementara kaum

positivis seperti yang dimotori oleh H.L.A. Hart, Ion Fuller,

Kelsen, dan John Austin. Secara normologik, asumsi yang

dibangun dalam barisan pemikir ini adalah hukum (dan

institusinya) itu senantiasa netral (neutrality of law) dan terlepas

dari politik (law politic distinction). Karena itu hukum yang sudah

diproduksi itu harus diterima dan diberlakukan.373

Kecurigaan terhadap neutrality of law dan law politics

distinction sejatinya juga untuk menghormati supremasi konstitusi

372 Lebih lanjut soal ini, baca: Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal

Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard

University Press.

Konon pula, bukan kejujuran yang berlaku dalam politik, melainkan

arcanum (rahasia). Atas dasar itu, hukum sekaligus institusi yang membuatnya

harus dilihat sebagai realitas. Bahwa hukum itu realitas dan realitas adalah

hukum. Itu adalah factum. Itulah yang tampak. Tetapi jangan percaya kepada

yang tampak. Ada sesuatu yang melampaui yang tampak, yaitu krisis yang selalu

membayangi tatanan dan karenanya membuatnya ada. Krisis adalah induk yang

melahirkan tatanan, dan karenanya lebih penting dari segala aturan. Baca: F. Budi

Hardiman, 2007, Filsafat Fragmentaris, Jogjakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 149-

151. Lihat juga: Lexy Armanjaya, ―Mencurigai Hukum‖, Kompas, 10 Juli 2008,

hlm. 6.

373 Teori Hart menjelaskan bahwa esensi hukum terletak pada

penggunaan unsur paksaan, sementara teori Ion Fuller menekankan pada isi

kompositif. Sedangkan John Austin, seorang positivis utama, menekankan bahwa

satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Ilmu

hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom. Lihat dalam

Khudifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan

Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta, Muhammadiyah

University Press, hlm. 60-67. Baca juga soal ―kecurigaan terhadap netralitas

hukum‖ dalam Lexy Armanjaya, ―Kekuasaan di Balik Demokrasi‖, Sinar

Harapan, 29 Januari 2007, hlm. 6.

Page 160: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

150 | Hukum Kelembagaan Negara

dan menghindari kejahatan terhadap konstitusi.374

Jika konstitusi

dilanggar, tentu akan mengusik posisinya yang fundamental dan

―tertinggi.‖ Perbuatan demikian berpotensi membuat konstitusi

terancam tidak lagi supreme sebagai acuan dasar penyelenggaraan

negara. Implikasinya konstitusi berlaku tanpa konstitutionalitas.375

Bagaimanapun, suatu konstitusi merupakan ―a higher order law

(which) will generally be entrenced.‖376

Jika konstruksi pemikiran itu diterima tanpa konfirmasi,

pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah kapankah telah

terjadi pelanggaran konstitusi? (When the constitution violed?)

Menurut Nicholas Quinn Rosenkran, dikatakan bahwa:377

A violation of the Constitution is an event. There is a

moment before the constitutional violation. There is a

moment after the violation. And there is a moment—or

perhaps a span of time—when the action that violates the

Constitution actually happens. This is the when of

constitutional violation. Every constitutional violation must

be located in time.

Penghormatan kepada supremasi konsitusi merupakan alur

logis kedaulatan hukum. Hukum mengatur pembentukannya

sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk

membuat norma hukum lainnya dan sampai derajat tertentu,

374 Kejahatan (crimineel-onrecht) adalah perbuatan yang bertentangan

atau membahayakan suatu kepentingan hukum. Lihat dalam Bambang Purnomo,

1992, Asas-asas Hukum Pidana, Jogjakarta, Penerbit Liberty, hlm. 16.

375 Fadjar Laksono, ―Constitutional Review sebagai Ikhtiar Menghentikan

Kejahatan terhadap Konstitusi guna Mewujudkan Konstitusionalitas Indonesia‖,

Jurnal Konstitusi, Vol. 5, No. 2, November 2008, hlm. 84.

376 Peter Layland, 2007, The Constitution of The United Kingdom: a

Contextual Analysis, Oxford, Hart Publishing, hlm. 1.

377 Nicholas Quinn Rosenkran, ―Subject To Constitution‖, Vo. 62, Issue

5, May 2010, hlm. 1229.

Page 161: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 151

menentukan isi dari norma lainnya tersebut. Karena, suatu norma

hukum itu valid lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh

suatu norma hukum lainnya, dan norma hukum lainnya ini adalah

landasan validitas norma hukum yang disebut pertama.378

Dengan

kata lain, konstitusi adalah sumber hukum utama dan pertama

dalam membentuk undang-undang dan undang-undang adalah

preseden bagi peraturan perundang-undangan yang berada di

bawahnya, demikian seterusnya.379

Untuk menjaga agar ketentuan dalam Undang-Undang

sebagai norma hukum tetap patuh kepada konstitusi maka

diadakanlah gagasan dan praktik pengujian konstitusional

(constitutional review). Pada kerangka yang bersifat umum,

pengujian tersebut menentukan siapakah lembaga yang berwenang

atau mempunyai kuasa otoritatif dalam melakukan penafsiran

konstitusi. Menurut Veli-Pekka Hautamäki, ―An ‗authoritative

interpretation‘ is an interpretation that isrelatively undisputed.

Authority does not arise automatically. The development of author

it may take a long time and authority may in time diminish. When

the legal author it makes itsdecisions, argumentation is

observed.‖380

Selanjutnya dikatakan bahwa:381

Often the authoritative interpretation of the Consti tution

concerns particularlyconstitutiona judicial review.

Authoritative interpretation also takes place in situations

where some state body seeks to determine its own

competency on the basis of the Constitution. From the

378 Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, New York,

Russel & Russel, hlm. 123-124.

379 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan:

Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta, Penerbit Kanisius.

380 Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the

Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Norwey‖, Summary

of Ph.D Thesis, Helsenski, 2002, hlm. 2.

381 Ibid.

Page 162: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

152 | Hukum Kelembagaan Negara

perspective of the theory of interpretation, it is interesting to

see whether the interpretation of the Constitution differs

from the interpretation of ordinary laws, i.e. laws

hierarchically below the Constitution. In general,

interpretation can be defined as an action where the

purpose is to limit uncertainties in texts to be interpreted. It

could also be defined as giving, specifying or confirming

some content of meaning from a group of possible

meanings.

Bagaimanapun, konstitusi berbeda dengan peraturan

perundang-undangan pada umumnya karena:382

Characteristic of the Constitution is that its norms contain

more principles and value statements than the norms in Acts

that are hierarchically below the Constitution. This can be

seen at least in thecase of basic rights. Still, there is a great

similarity at the level of interpretation between the norms

of the Constitution and other statutes. The basic problem in

both cases is that the norm content is unclear.

Pengujian konstitusionalitas itu sendiri, sebagai suatu istilah

hukum, harus dibedakan dari judicial review. Pertama, pengujian

konstitusional (constitutional review), selain dilakukan oleh

hakim, dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau

pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi

memberikan kewenangan untuk melakukannya.383

Kedua, dalam

382 Ibid., hlm. 4.

383 Pengujian konstitusional (constitutional review) juga dipahami

sebagai ―the power of judicial bodies to set aside ordinary legislative or

administrative acts if judges conclude that they conflict with the constitution‖

Lihat: Aurel Croissant, ―Provisions, Practices and Performances of Constitutional

Review in Democratizing East Asia‖, Paper to be presented at the IPSA-ECPR

Joint Conference: Whatever Happened to North-South?, Sao Paulo, February

19th, 2011, hlm. 1.

Page 163: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 153

konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas

obyeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan pengujian

konstitusional (constitutional review) hanya menyangkut

pengujian konstitutionalitasnya yaitu terhadap konstitusi.384

Perlu

juga dicamkan di sini, bahwa judicial review itu sendiri tidak

identik dengan hak uji materiil (toetsingsrecht).385

Menelaah

pengujian norma hukum, perlu membedakan juga antara

pengujian materiil (materiile toetsing) dan pengujian formil

(formile toetsing). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi dibedakan dengan istilah pem-bentukan undang-

undang dan materi muatan undang-undang.386

Pengujian

384 Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional,

Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 3.

385 Kekeliruan konsep ini misalnya terdapat dalam buku Sri Soemantri.

Profesor hukum tata negara Universitas Padjajaran, yang dari segi usia

merupakan yang paling senior di Indonesia, dengan fasih menggunakan istilah

―hak uji materiil‖ sebagai terjemahan konsep ―materiele toetsingsrecht‖ yang ia

bedakan dari istilah ―hak uji formal‖ sebagai terjemahan ―formele toetsingsrecht.

Dalam mebedakan keduanya, Sri Soemantri hanya mengulas secara ringkas

bahwa ―hak uji materiil‖ menyangkut penilaian mengenai isi peraturan

perundang-undangan apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih

tinggi derajatnya. Sedangkan ―hak uji formil‖ berkenaan dengan tata cara

pembentukan suatu undang-undang apakah sesuai atau tidak dengan yang telah

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasan secara

keseluruhan, masalah ―hak uji materiil‖ dibahas tetapi kadang-kadang bercampur

dengan konsepsi ―hak uji formil‖ seperti yang tercermin dalam definisi ―hak

menguji materiil.‖ Di samping itu, ketika menjelaskan ―hak menguji materiil‖ di

negara lain, istilah ―hak uji materiil‖ atau ―hak menguji material‖ itu disejajarkan

begitu saja dengan istilah ―judicial review.‖ Bahkan ketika menguraikan kosnepsi

yang berlaku di Dewan Konstitusi Prancis, istilah yang tetap dipakai adalah ―hak

menguji material di Prancis.‖ Lihat: Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di

Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 6, 11, dan 32-70.

386 Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,

Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 57.

Page 164: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

154 | Hukum Kelembagaan Negara

materiil adalah pengujian undang-undang yang dilakukan atas

materinya. Pengujian tersebut berakibat pada dibatalkannya

sebagian materi muatan atau bagian undang-undang yang

bersangkutan. Yang dimaksud materi muatan undang-undang itu

adalah isi ayat, asal dan/atau bagian-bagian tertentu dari suatu

undang-undang bahkan bisa hanya satu kata, satu titik, satu

koma atau satu huruf saja yang dinilai bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Sebaliknya, yang dimaksud bagian dari undang-undang itu

dapat pula berupa keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan

dari suatu bab undang-undang yang bersangkutan.387

Asal muasal pelembagaan pengujian konstitusional

(constitutional review) adalah Austria setelah Perang Dunia I388

,

lalu dikembangkan di Jerman389

dan Italy390

setelah Perang Dunia

II. Pelembagaan selanjutnya dilaksanakan di Spanyol391

dan

Portugal392

setelah kejatuhan rezim otoritarian. Pelembagaan

serupa berkembang lagi setelah runtuhnya Uni Soviet, di mana

negara-negara yang tergabung sebagai federasi mandiri sebagai

387 Ibid., hlm. 59-60.

388 Hans Kelsen, ―Judicial Review of Legislation: A Comparative Study

of the Austrian and the American Constitution‖, Journal of Politic Vol. 4 No.

183, hlm. 185–186.

389 Donald P. Kommers, ―The Constitutional Jurisprudence of the Federal

Republic of Germany, Journal of Comparative Law, Vol 3 No. 4, 1989.

390 Alessandro Pizzorusso, ―Constitutional Review and Legislation in

Italy‖, Journal Constitutional Review and Legislation No. 109, 1988, hlm. 111-

114.

391 Francisco Rubio Llorente, ―Constitutional Review and Legislation in

Spain‖, Journal Constitutional Review and Legislation No. 127, 1990, hlm. 127-

131.

392 Rett R. Ludwikowski, ―FundamentalConstitutional Rights in the New

Constitutions of Eastern and Central Europe‖, Cordozo Journal of International

and Comparative Law, Vol. 3 No. 73, 1995.

Page 165: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 155

negara tersendiri.393

Di era post-komunis tersebut, pelembagaan

pengujian konstitusional (constitutional review) menunjukkan,

―Subjecting their policy choices to judicial review, post-

Communist rulers demonstrate their commitment to democracy

and the rule of law to their domestic constituencies and to therest

of the world.‖394

Sampai sekarang telah 78 negara yang mengadopsi

kelembagaan pengujian konstitusional (constitutional review)

tersebut. Dalam praktik kelembagaan itu dapat dipilah ke dalam 8

(delapan) model sebagai berikut.

Pertama, model Amerika Serikat. Model Judicial Review

menurut tradisi Amerika Serikat didasarkan atas pengalaman

Mahkamah Agung Federal memutus perkara Marbury v.s.

Madison (1803). Dalam model ini, pengujian konstitusional

(constitutional review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah

Agung (Supreme Court) dengan status sebagai ―the Guardian of

the Constitution.‘ Di samping itu, judicial review juga dilakukan

atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh semua pengadilan

biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian terdesentralisasi

atau pengujian tersebar (a decentralized or diffuse or dispresed

review). Artinya, pengujian demikian itu tidak bersifat

institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan

termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim

dalam semua lapisan pengadilan. Model Amerika Serikat ini

merupakan the interpretation of the Constitution as a special case

in comparisonwith statutes, which do not have the same status.395

Dalam posisi ini, maka seperti yang pernah dituturkan oleh Hakim

393 Robert F. Utter & David C. Lundsgaard, ―Judicial Review in the New

Nations of Central and Eastern Europe: Some Thoughts from a Comparative

Perspective‖, Ohio State University Law Journal, Vol 54, 1993, hlm. 585.

394 Alexei Trochev, ―Less Democracy, More Courts: A Puzzle of Judicial

Review in Russia‖, Journal Law & Society Review, Volume 38, 2004, hlm. 514.

395 Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 5.

Page 166: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

156 | Hukum Kelembagaan Negara

Agung William Brennan (1977), bahwa ―that Supreme Court use

their own constitution to broaden legal support for civil

liberties.‖396

Seperti juga yang terjadi di Rusia, sekalipun di tingkat

federal terdapat Mahkamah Konstitusi397

, tetapi setiap negara

bagian (22 negara bagian) juga membentuk pengadilan konstitusi

dalam jurisdiksi sendiri-sendiri. Dalam hasil analisis Alexei

Trochev, hal itu disebabkan karena:398

[T]hat politicians set up judicial review both to consolidate

and to retain their power vis-a `-vis centraland local

governments, contrary to judicial empowerment theories.

Russia‘s subnational political elites did not simply follow

the prescriptions of the federalist rationale for creating one

federal judicial body to review federal-regional disputes.

Instead, subnational constitution makers decided to have

their own courts to police Russian federalism.

Dalam format pemerintahan federasi Rusia—yang

merupakan warisan Soviet dan dinasti Tsar, dikatakan bahwa

―Although subnational units have to follow federal standards in

many policy areas to receive federal funds, the federal government

does not fund the establishment of regional courts.‖399

Hal ini

menunjukkan bahwa, ―domestic politics determine the

institutionalization of subnational judicial review, yet we know

very little about the establishment and work of subnational

396 Lawrence Baum, 2006, Judges and Their Audiences: A Perspective on

Judicial Behavior, New Jersey, Princenton University Press, hlm. 40.

397 Susunan Pengadilan di tingkat federal meliputi Mahkamah Konstitusi

Federal, Pengadilan Umum dalam Lingkungan Pidana, Perdata, dan Tata Usaha

Negara yang berpuncak di Mahkamah Agung, dan Pengadilan Niaga.

398 Alexei Trochev, op.cit., hlm. 519.

399 Ibid., hlm. 521.

Page 167: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 157

constitutional courts.‖400

Kenyataan ini menunjukkan pengabaian

aspek internasional, seperti kasus di bekas Yugoslavia, karena apa

yang terjadi di Rusia adalah ―on subnational court-building to

isolate international influences and to examine how domestic

political competition leads to judicial empowerment.‖401

Dalam

perkembangannya, pemerintah federal menolak keberadaan

Mahkamah Konstitusi di setiap negara bagian, termasuk

membiayainya, karena menganggap hal itu sebagai urusan

masing-masing negara bagian. Bahkan, Mahkamah Konstitusi

Federal kemudian ―actively supported ther introduction of the

constitutional courts in all regions to protect constitutional

foundations and individual rights, to strengthen the legitimacy of

constitutional review, and to lighten the workload of the federal

constitutional court.‖402

Setelah ditetapkannya 1996 Law on the Judicial System of

the Russian Federation Mahkamah Konstitusi Federal mengakui

otoritas pengadilan konstitusi di setiap negara bagian. Ketentuan

Undang-Undang Tahun 1996 itu mengatakan bahwa ―regional

constitutional courts are to be financed from the regional budgets,

and their decisions are final and binding, not subject to review by

any other court. Regional constitutional courts are not

subordinated to the federal Constitutional Court, and they cannot

be abolished without the simultaneous transfer of their jurisdiction

to another court.‖ Kemudian dalam Pasal 27 Undang-Undang ini

diatur bahwa ―the creation of constitutional/charter courts in the

regions to determine whether regional laws, decrees, and acts of

local government comply with the regional constitution/charter,

and to give the binding interpretation of the regional

constitution/charter.‖

400 Ibid.

401 Ibid.

402 Ibid., hlm. 528.

Page 168: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

158 | Hukum Kelembagaan Negara

Kedua, model Austria (Continental Model). Dalam model

ini, guna mengimbangi kekuasaan parlemen, dikehendaki adanya

pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan hakim-hakim

yang mempunyai keahlian khusus. Dalam menjalankan

kewenangannya, Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian

konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak

(abstract review), meskipun pengujian atas norma konkrit juga

dimungkinkan (concrete review). Bahkan, dalam model ini,

pengujian dapat bersifat a posteriori (a posteriori review) ataupun

bersifat a priori (apriori review).403

Pelembagaan model Austria ini tidak lepas dari peran Hans

Kelsen (1881-1973).404

Sebagai ilmuwan hukum yang cemerlang,

Hans Kelsen telah menjadi anggota Komisi Perancang Konstitusi

Austria dan sehubungan dengan ini, telah memberikan sumbangan

pemikiran dalam rancangan konstituti itu mengenai pengujian

konstitusionalitas Undang-Undang melalui Mahkamah

Konstitusi.405

Pelembagaan model Austria didorong oleh tradisi

rezim pemerintahan sebelumnya yang berwatak parlementer, yang

dalam tradisi ini ―the executive is responsible directly to the

403 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit.,

hlm. 51.

404 Kelsen recognized the need for an institution with power to control or

regulate legislation. In the case of post-World War I Austria, the concern was

mostly for maintaining federal arrangements, that is, regulating the relationship

between the national and provincial governments. He recognized, too, that

constitutional control essentiall involves legislative activity. He recognized, in

other words, that constitutional adjudication involves legislating as well as

judging. The processes by which constitutional adjudicators make or declare

general rules are different from those employed in ordinary legislatures, and the

considerations and arguments taken into account are different, but constitutional

adjudicators are still legislating. Lihat John E. Fahrejohn, op.cit., hlm. 52-53.

405 Peran Hans Kelsen dan perjalanan karier selanjutnya, lihat misalnya

Nicoletta Bersier Ladavac, ―Hans Kelsen (1881–1973): Biographical Note and

Bibliography‖, Europe Journal Internasional Law, Vol. 9, 1998, hlm. 391-392.

Page 169: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 159

legislature—it remains in office only as long as itcan command a

majority in the legislature. And, the job of the judiciary is to

enforce what the legislature mandates.‖406

Dalam perkembangannya selanjutnya, model pengujian di

Austria, dan diikuti oleh negara-negara lain, dikatakan sebagai

pengujian yang berwatak sentralisme. Menurut Aurel Croissant,

dalam model semacam ini merupakan ― a single court

monopolizes the competence to declare a legal norm

unconstitutional and void, whereas in systems of decentralized

judicial review ordinary courts play the role of constitutional

checks.‖407

Jerman, Italia, dan sejumlah negara Timur Tengah

seperti Kuwait, Sudan, dan Syria serta Mesir (Afrika) menganut

model pengujian ini.

Ketiga, model Dewan Konstitusi (Constitutional Council) di

Prancis. Model ini dibentuk atas dasar bentuk kelembagaan

Dewan Konstitusi yang menjalankan fungsi pengujian

konstitusionalitas menurut Konstitusi Republik Kelima (1958).

Tujuan dibentuknya Dewan Konstitusi menurut John Bell adalah

was origanlly intended as an additional mechanism to ensure

executive by keeping Parliament within constitutional role.408

Semenjak awal, Dewan Konstitusi mempunyai tugas utama untuk

menentukan batas-batas domein la loi (undang-undang) dan le

reglement (peraturan pemerintah), dan bertindak sebagai watch

dog atas nama supremasi eksekutif.409

Tanggung jawab terpenting

Dewan Konstitusi adalah untuk menentukan uji konstitusionalitas

produk legislasi yang akan ditetapkan oleh parlemen.410

Walaupun

406 Stephen Gardbaum, op.cit., hlm.748.

407 Aurel Croissant, op.cit., hlm. 4.

408 John Bell, 1992, French Constitutional Law, hlm. 19-20.

409 Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 237.

410 Pasal 61 Konstitusi 1958 mengatakan, ―...ordinary law may be refered

to the Constitutional Council, before their promulgation, by the President of the

Page 170: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

160 | Hukum Kelembagaan Negara

sesunggunya jika dicermati ketentuan Konstitusi 1958, Presiden

juga merupakan organ pelindung konstitusi.411

Model Prancis ini

kemudian ditiru oleh negara lain, terutama bekas jajahannya,

seperti Lebanon, Aljzair, Comoros, Djibouti, Senegal, dan

Kamboja. Di Timur Tengah, Dewan Konstitusi dikenal di negara

Algeria, Maroko, dan Tunisia serta Lebanon.

Contoh lain negara yang menerapkan ini adalah Iran.

Susunan peradilan di Iran meliputi peradilan umum, peradilan

militer412

, peradilan tata usaha negara413

dan peradilan revolusi,

yang masing-masing mencakup tingkat pertama dan tingkat

banding. Mahkamah Agung merupakan badan peradilan tertinggi,

akan tetapi tidak mempunyai wewenang untuk pengujian

konstitusional.414

Akan tetapi, Konstitusi Iran menetapkan adanya

Republic, the Prime Minister, the Presiden of the National Assembly, the

President of the Senate, or 60 deputies or 60 senators. In this case, the

Constitutional Council must decide within 1 mont. At the demand of the

Government, after a declaration of urgency, this time limit is reduced to 8 days.

A referral of any law to the Constitutional Council suspend its promulgation.

Pasal 62 mengatakan, ―A provision declared unconstitutional may not be

primulgation nor may it enter into force. The decision of the Constitutional

Council may not be appealed.‖

411 Pasal 5 Konstitusi 1958 mengatakan bahwa ―the President of the

Republic shall ensure the respect of the Constitution.‖

412 Military courts are competent to investigate crimes committed by

members of the Army, Gendarmerie, police, security forces and the Islamic

Revolution Guards Corps, in connection with military or security duties.

Lihat Pasal 172 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.

413 A Court of Administrative Justice that has the power to

investigate complaints, grievances and objections with respect to government

officials, organs, and statutes. Lihat Pasal 173 Konstitusi Iran 1979 yang diubah

tahun 1989.

414 Pasal 161 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.

Page 171: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 161

Dewan Garda Revolusi415

yang a view to safeguarding the

rules of Islam (in accordance with Islamic Shia jurisprudence)

and the Constitution. The Guardian Council examines all

legislation passed by the Majlis and returns it thereto for review

if it finds any inconsistency with its understanding of principles

of Islam and the Constitution.416

Keempat, model campuran Amerika Serikat dan

Kontinental. Di dalam model ini, meskipun pengujian

konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan terkonsentrasi

di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung, atau bahkan

pada kamar tertentu (special chamber) dalam badan peradilan

yang ada, semua tingkatan pengadilan pun dapat menyampingkan

berlaku suatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan

konstitusi. Di negara-negara yang memilikki Mahkamah

Konstitusi ada juga yang menerapkan sistem campuran ini seperti

Portugal (Eropa), Kolombia, Ekuador, Guatemala, dan Peru

(Amerika Selatan). Beberapa negara Eropa juga memberikan

kewenangan pengujian konstitusional (constitutional review)

kepada Mahkamah Agung atau kepada badan-badan khusus

(special department) seperti di Yunani dan Swiss.417

Di Asia,

negara yang menerapkan model ini antara lain Taiwan.418

415 Dewan ini yang meliputi 6 (enam) ahli fikih yang diangkat oleh

Pemimpin Tertinggi Iran dan 6 (enam) orang ahli hukum yang dipilih oleh

parlemen menurut usul Ketua Mahkamah Agung. Lihat Pasal 91 Konstitusi Iran

1979 yang diubah tahun 1989.

416 Pasal 72 dan Pasal 94 Konstitusi Iran 1979 yang diubah tahun 1989.

417 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit.,

hlm. 60.

418 Kelembagaan dikenal sebagai Judicial Juan atau Councul of Grand

Justice, yang menurut Pasal 78 Konstitusi Taiwan 1947 mempunyai wewenang

untuk intepret the Constitution and shall the power to unify intepretation laws

and ordinance. Jadi, obyek penafsiran Judicial Juan meliputi undang-undang dan

executive act. Dalam perkembangannya, pelaksanaan wewenang juga diarahkan

Page 172: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

162 | Hukum Kelembagaan Negara

Kelima, model special chambers. Di Eropa terdapat

beberapa negara yang mempunyai model kelembagaan yang

tersendiri dalam menjalankan fungsi pengujian konstitusionalitas

ini. Seperti Iceland, Liechtenstein, Monako, dan Kosovo. Banyak

juga negara lain yang melakukan pengujian konstitusionalitas

dalam special chambers tetapi tidak merupakan bagian dari

Mahkamah Agung, misalnya sejumlah negara Timur Tengah yang

melakukannya pada kamar khusus (special chambers) di

Pengadilan Tinggi. Demikian juga negara di Afrika seperti Bukna

Faso, Chad, dan Kongo. Sedangkan di Amerika Tengah dan

Selatan tercatat nama-nama negara Costa Rica, Panama, Paraguay,

dan Uruguay.419

Keenam, model Belgia. Lembaga yang menjalankan fungsi

pengujian konstitusional (constitutional review) di Belgia adalah

Court of Arbitration. Pengujian konstitusional (constitutional

review) dilaksanakan dalam kerangka konsep arbitrase.420

Ketujuh, model tanpa judicial review. Belanda dan Inggris

dapat ditunjuk sebagai contoh negara yang tidak pernah

mengadopsi pengujian konstitusionalitas (constitutional review) ke

dalam sistem hukum nasional mereka. Kalaupun gagasan judicial

review diterapkan, maka pengujian semacam itu hanya terbatas

dalam kerangka pengujian administrative action. Di Inggris

mekanisme ini dipertahankan ―untuk mempertahankan doktrin

kedaulatan parlemen dengan sekaligus menjalankan prinsip

supremasi hukum.‖421

Dalam kasus ini, konstitusi tetap ditafsirkan

secara langsung kepada substansi Konstitusi, khususnya terhadap hasil

perubahan. Lihat dalam Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 146.

419 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit.,

hlm. 61.

420 Ibid., hlm. 62-63.

421 Seperti dikatakan oleh Hilaire Barnet bahwa, ―Judicial review

represent the means by which the sovereignty of parliament is upheld and the

Page 173: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 163

oleh Parlemen. Menurut Veli-Pekka Hautamäki, ―If

interpretations are made in Parliament, it is, I believe, obvious

that interpretations can also contain strong political features. If

one talks about, for example, freedom of speech, it is clear that

the interpreters cannot ultimately avoid value opinions. Very often

the courts are also in the situation where they must say something

about the values of the Constitution.‖422

Sementara di Belanda,

Undang-Undang dianggap tidak dapat diganggu gugat dan para

hakim bertugas bukan sebagai penilai undang-undang.423

Dalam kasus di Finlandia, supremasi parlemen dalam

menafsirkan konstitusi juga tidak tergoyahkan, sekalipun Presiden,

Ketua Parlemen, Ketua Ombudsman Parlemen, dan Jaksa Agung

diberikan kewenangan yang sama. Menurut Veli-Pekka

Hautamäki Komisi Konstitusi (Perustuslakivaliokunta) di

Parlemen Finlandia merupakan badan yang paling otoritatif dalam

menafsirkan konstitusi. Untuk mendukung argumen ini, Veli-

Pekka Hautamäki mengatakan:424

rule of law applied.‖ Lihat dalam Hilaire Barnett, 2004, Constitutional and

Administrative Law, Cavendish Publishing Limited, hlm. 88.

Hanya saja, dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Inggris,

memang dapat ditemukan juga sistem pengujian konstitusional (constitutional

review) tetapi sifatnya hanya preventif untuk pencegahan dan dilakukan oleh

House of Lords. Lihat misalnya dalam tulisan Catherine Fairbairn and Sally

Broadbridge, ―The Constitutional Reform Bill (HL): a Supreme Court for the

United Kingdom and Judicial Appoipment‖, Reseach Paper, 13 Januari 2005.

422 Op.cit., hlm. 5.

423 Prinsip demikian juga dianut oleh UUD 1945 sebelum diamendemen.

Untuk menilai, menguji, dan mengubah ketentuan undang-undang, yang harus

berperan adalah lembaag yang membentuknya sendiri, yaitu Presiden bersama

DPR. Setelah era reformasi (sebelum Perubahan Ketiga), kewenangan menguji

konstitusionalitas undang-undang diberikan kepada MPR menurut Ketetatapan

MPR RI No. III/MPR/2000, yang secara aktif menilai dan menguji undang-

undang.

424 Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 7.

Page 174: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

164 | Hukum Kelembagaan Negara

This is a fact that has also been expressed both in the

travaux préparatoires of the new Constitution (Suomen

Perustuslaki 731/1999) as well as in Finnish legal writing.

In thedraft of the new Perustuslaki (which came into force

on March 1st, 2000), there is a provision that throws light

on the interpretation of the Constitution. In the text it is

stated that the Perustuslakivaliokunta has a central and an

authoritative position in terms of theinterpretation of the

Perustuslaki.

Komisi Konstitusi merupakan salah satu organ Parlemen

Finlandia yang susunan keanggotaannya juga merupakan anggota

Parlemen. Peraturan Tata Tertib menegaskan bahwa Komisi ini

sekurang-kurangnya mempunyai 17 anggota dan dapat

memutuskan penafsirkan konstitusi jika sekurang-kurangnya

dihadiri 2/3 dari anggotanya. Selanjutnya, ―Interpretations of the

Perustuslaki are usually given asstatements, whereas the reports

usually contain new doctrines.‖425

Dengan kenyataan ini, maka

―Perustuslakivaliokunta is at least at some level a political

body,but it still tries to be a judicial type of body.‖426

Walaupun

demikian, Komisi mempunyai kekuatan karena di dalam

pemeriksaan suatu tafsir konstitusi, ia menghadirkan keterangan

ahli, kelompok kepentingan, dan akademisi, yang pada umumnya

argumen-argumen mereka diambilalih—nyaris kata demi kata—

guna menyusun argumen. Oleh sebab itu, ―Typical of the

Perustuslakivaliokunta is the direct application of the statements

given by the experts.‖427

Menurut argumen Gradbaum, ditolaknya model pengujian

konstitutionalitas undang-undang di Inggris, dan juga negara

425 Ibid.

426 Ibid.

427 Ibid., hlm. 8.

Page 175: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 165

dengan demokrasi mapan seperti Selandia Baru, Belanda, dan

Swedia, dikarenakan dalam perkembangannya negara-negara itu

tidak mengalami transisi pasca rezim orotoritarian sebagaimana

Spanyol, Portugal, Yunani, dan bekas federasi Uni Soviet.

Diuraikan bahwa:428

A formerly authoritarian system adopted a new constitution

and provided for constitutional review in order to enforce

constitutional provisions. That was the case in Germany

and Italy, obviously, and also in Spain, Portugal, Greece,

and the nations previously part of the Soviet empire. These

were all cases of failed authoritarian systems with norecent

history of democracy or liberty. By contrast, in the old

(stableand successful) democracies—Britain, New Zealand,

the Netherlands, Sweden—there was no move to create new

constitutions, or indeed,any real constitutions at all.

Menurut John E. Farejohn, di negara yang lepas dari rezim

otoritarian pelembagaan pengujian konstitusional Undang-Undang

dalam kelembagaan khusus, mempunyai alasan basis sosiologis

yang tegas, yaitu kenyataan kekuasaan hakim yang melekat pada

rezim terdahulu kebutuhan untuk mengontrol produk legislatif dan

penegakan hukum dalam rangka menumbuhkan kembali

kepercayaan rakyat terhadap negara. Diuraikan bahwa:429

One thing that post-authoritarian systems have in common

is thatthe judges that are still on the bench are implicated,

to some extent, in the practices of the previous regime. The

citizenry in such circumstances have every sociological

reason to be suspicious of how those officials would go

428 Stephen Gardbaum, ―The New Commonwealth Model of

Constitutionalism‖, Journal of Comparative Law, Vol. 49 No. 707, 2001, hlm.

759–760.

429 John E. Fahrejohn, ―Constitutional Review in the Global Contex‖,

Journal Public Policy and Legislation, No. 49, 2002, hlm. 51.

Page 176: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

166 | Hukum Kelembagaan Negara

about their business. In other words, there exists a

characteristic circumstance of distrust. In fact, there‘s

actually a secondary circumstance of distrust arising

naturally in post-authoritarian settings, and that is distrust

of the lawmakers as well of the judges. In such

circumstances, there is a natural desire to place both the

positive lawmakers and the law enforcers under

constitutional control. The question is how best to do that.

Kedelepan, model executive review. Model ini tidak terkait

dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Misalnya

ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan

kepada Menteri Dalam Negeri untuk menyatakan batal atau

membatalkan berlakunya Peraturan Daerah yang dibentuk oleh

Kepala Daerah dan DPRD.. Misalnya ketentuan UU No. 32 Tahun

2004 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam

Negeri untuk menyatakan batal atau membatalkan berlakunya

Peraturan Daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah dan

DPRD.430

Format argumen ―supremasi konstitusi‖ itu juga melekat

pada sistem kenegaraan Jepang. Negara ini meletakkan Konstitusi

1946 (Nihonkoku Kenpo atau Dai Nihon Tekoku Kenpo)431

sebagai

primary source of law. Di bawah konstitusi terdapat hierarki

peraturan perundang-undangan yang meliputi rules and

regulations (kisoku), cabinet orders (seirei), Prime Minister‘s

430 Ketentuan ini kontradiktif dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD

1045 yang secara tegas menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang.

431 Sebenarnya semenjak tahun 1889, pada masa Kaisar Meiji, Jepang

sudah memiliki konstitusi yang dikenal sebagai ―Konstitusi Meiji‖ dan diganti

dengan Konstitusi 1946 di bawah kontrol ketat Sekutu setelah Jepang menyerah

dalam Perang Dunia II. Lihat Washington University Manual of International

Legal Citation, dalam www.washingtonuniversity.edu., diakses 27 Maret 2011.

Page 177: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 167

Office orders (furei), ministry ordinances (shōrei), Instructions

(kunrei), notifications (kokuji), dan circulars (tsūtatsu). Konstitusi

1946 Pasal 81 menegaskan, bahwa Mahkamah Agung adalah

pengadilan tingkat pertama dan terakhir dengan kekuasaan untuk

menentukan konstitusionalitas undang-undang, peraturan

pemerintah, dan keputusan pejabat. Seperti ditulis dalam

artikelnya tersebut, ketentuan tersebut menurut Ju-inchi Satoh

menggambarkan bahwa, ―The literal interpretation of this

provision is that the Court has jurisdiction over all government

action. As such, the Court has the power to strike down any

official act on constitutional grounds.‖432

Dengan cakupan itu kekuasaan pengujian oleh Mahkamah

Agung Jepang, selain luas, juga mewadahi timbulnya sengketa

hukum antara negara dengan warganegara. Hal ini merupakan

fenomena yang cukup menarik, sekalipun kenyataan bahwa lazim

pengadilan di kawasan Asia pada umumnya menerima

kewenangan semacam itu, tetapi awalnya tidak dimaksudkan

sebagai suatu instrumen yang diciptakan untuk menjamin

keberlakuan konstitusionalitas maupun legalitas tindakan

negara.433

Situasi ini disebabkan karena:434

Pengadilan tidak melaksanakan kekuasaan kehakiman

secara benar dan tepat. Kondisi demikian disebabkan oleh

karena pengadilan tidak diperkenankan memiliki

kompetensi menguji norma-norma hukum.

Pengadilan...bukanlah organ yang independen secara

finansial. Artinya, sistem peradilan pada masa tersebut tidak

432 Ju-inchi Satoh, ―Judicial Reviwe in Japan: An Overview of the Case

Law and An Examination of Trends in The Japanese Supreme Court‘s

Constitutional Oversight‖, Loyola of Los Angeles Law Review, Vol. 41, 2008,

hlm. 606.

433 Berita Mahkamah Konstitusi, No. 04. April-Mei 2004, hlm. 16.

434 Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 136-137.

Page 178: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

168 | Hukum Kelembagaan Negara

menikmati kemerdekaan secara struktural, melainkan

tersubversi oleh kekuasaan politik.

Di Jepang sendiri, secara historis, kondisi bangun

pengadilan dengan persoalan struktural semacam itu sudah

berlangsung semenjak keberlakuan Konstitusi Meiji 1889. Hal ini

digambarkan oleh Shigenori Matsui sebagai berikut:435

Yet the system of govemment under the Meiji

Constitution was a constitutional monarchy. The

judiciary was thus supposed to exercise judicial power

only in the narre of the Emperor, and no full

independence of the judiciary was guaranteed. It didn't

even have jurisdiction over administrative cases

(lawsuits attacking the exercise of govemmental power),

which exclusively belonged to the special Administrative

Court. The constitutional guarantee of rights was

subject to any legislative restrictions, and the judiciary

did not have power to review the constitutionality of

legislative acts.

Kondisi berubah semenjak Jepang memberlakukan

Konstitusi 1946. Dikatakan oleh Shigenori Matsui bahwa:436

In contrast, the Japanese Constitution of 1946, based

on the republican separation of powers principle,

separated judicial power from legislative and executive

powers and assigned it to the judiciary. Moreover, the

judiciary under the Japanese Constitution is guaranteed

full independence and has jurisdiction over all legal

disputes. And finally, the Japanese Constitution

guarantees a full range of fundamental rights even

435 Shigenori Matsui, ―A Coment Upon the Role of Judiciary in Japan‖,

Osaka University Law Review, Volume 17 No. 35, 1988, hlm. 17.

436 Ibid.

Page 179: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 169

against the Diet, and grants the judiciary the power of

judicial review. The judiciary is authorized thereby to

invalidate legislation and other govemmental actions

deemed to violate the Constitution.

Bahkan Shigenori Matsui meyakini bahwa Konstitusi 1946

semenjak awal mendesain pengadilan sebagai penjaga konstitusi

(guardian of the constitution). Dikatakan bahwa:437

In Japan it is widely assumed among commentators

that the principal roles of the judiciary are to guarantee

the Constitution against any encroachment and to

protect individual rights. Equipped with the power of

judicial review similar to that exercised by American

courts, the Japanese judiciary is authorized to strike

down laws and other governmental actions repugnant to

the Constitution. It is thereby expected to assure that

no branch of govemment transgresses granted

authorities and invades fundamental rights of the people

guaranteed by the Constitution. The Court has become,

as is often called, a guardian of the Constitution.

Bagaimanapun, pergeseran fungsi pengadilan semacam itu

tidak lepas dari pembentukan hukum di Jepang yang semenjak

awal ditarik dari pengaruh Barat, yang kemudian melalui

kolonialisasi, situasi itu merasuk juga ke Cina.438

Lebih jauh,

pergeseran fungsi tersebut mencerminkan penerimaan terhadap

kaidah check and balances, karena dianggap sebagai counter

terhadap kekuasaan badan legislatif sebagaimana dalam tradisi

437 Ibid., hlm. 18.

438 Lihat dalam Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in New

Demoracies, Constituional Court in Asian Case, Cambridge, Cambridge

University Press, hlm. 109.

Page 180: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

170 | Hukum Kelembagaan Negara

hukum Barat, terutama Amerika Serikat.439

Seperti dikatakan oleh

Itsuo Sonobe, bahwa: 440

[T]he system of constitutional review was transplanted from

elsewhere in the course of reconstructing a democratic state

after the Second World War, rather than as a product of its

own history to counterbalance the powers of the state or the

legislature, as were the case in the Western countries, there

is a tendency to emphasize the aspect of balance, that is, of

harmony and collaboration, in applying the principle of

checks and balances.

Mahkamah Agung Jepang, pada sisi masyarakat, telah

berperan juga sebagai lembaga yang ―to balance many competing

claims.‖441

Walaupun merupakan tradisi yang relatif baru akan

tetapi ternyata peran badan pengadilan ini telah melahirkan

metode dan penafsiran sehubungan dengan ketentuan konstitusi.

Seperti dikatakan oleh Itsuo Sonabe bahwa:442

439 R. Daniel Kalemen dan Eric S. Scibitt mengatakan bahwa, ―...U.S.

legal style has labeled as ‗adver-sarial legalism‘ is characterized by complex

rules, formal and adversarial procedures for resolving disputes, costly legal

contestation involving many lawyers and frequent judicial intervention

inadministrative affairs. Japanese legal style, by contrast, has

beencharacterized by informality, opacity, flexibility, cooperation between

regulators and the regulated and little involvement of eitherlawyers or courts.‖

Meluasnya penyebaran hukum Amerika Serikat ini disebabkan karena results

primarily not from economic competition between governments or from

emulation, but fromcommon responses by governments to similar economic,

politicaland social conditions. Lihat dalam R. Daniel Kalemen dan Eric S.

Scibitt, ―Americanization of Japanese Law‖, University Pansylvennia Journal

Economic Law, Vol. 23, 2002, hlm. 269-270 dan 272.

440 Itsuo Sonabe, ―Standar of Review in Constitutional Jurisdiction in

Japan‖, Kobe University Law Review, Vol. 27 No. 45, 2006, hlm. 111.

441 Ibid.

442 Ibid., hlm. 18.

Page 181: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 171

In its not too long history of judicial review, the courts in

Japan have succeeded in establishing a set of principles and

method of reasoning which guide it in distinguishing laws

which are constitutional from those which are not. These

principles have been applied to almost all areas of the

Constitution. As a result, most of the newly filed

constitutional litigation may be dealt with by citing previous

decisions of a similar nature.

Sekalipun muncul perdebatan mengenai perubahan

konstitusi, akan tetapi tidak merubah sifat Mahkamah Agung

sebagai penafsir konsitusi.443

Sekalipun demikian tidak banyak

perkara yang diputus sebagai perselisihan antarnorma menurut

konstitusi444

, karena secara tradisonal kinerja pengadilan Jepang

443 Timothy S. George mengatakan bahwa debat mengenai perlunya

perubahan Konstitusi 1946 bukanlah fenomena baru di Jepang yang sekurang-

kurangnya negeri tersebut sudah 4 (empat) tahap berkubang dalam perdebatan

sejenis. Pertama, pada periode 1880-1881, di mana disusun usul konstitusi baru

yang merubah Jepang menjadi negara monarki parlementer dengan Kaisar

sebagai pusat kekuasaan pada masa kekuasaan Kaisar Meiji. Kedua, selepas

Perang Dunia II, di mana Konstitusi Meiji 1890 dituding tidak layak

diberlakukan dan di bahwa tekanan Sekutu disusun Konstitusi 1946. Ketiga,

tahun 1950-1960, ketika Partai Konservatif yang berkuasa menyusun Komisi

Konstitusi (Kenpo Chosakai) yang menghasilkan laporan mengenai usul

perubahan konstitusi. Komisi Konstitusi itu dibubarkan pada tahun 1965.

Keempat, pada tahun 2004, termasuk kemungkinan perubahan ketentuan yang

membuka jalan bagi perempuan menjadi Kaisar. Lihat Timothy S. George,

―Changing Pattern of Civic Engangement in Constitutionalism in Japan‖, paper

presented at the Annual Meeting of the Association for Asian Studies, Boston,

25 Maret 2007, hlm. 1-2.

444 Hampir 40 tahun setelah pemberlakuan Konstitusi 1946, yang dikenal

sebagai Peace Constitution, hanya ada 4-5 Undang-Undang yang dinyakatan

inkonstitusional. Suatu hal yang kontras, jika membandingkannya dengan sejarah

di Amerika Serikat di mana Mahkamah Agung Federal telah membatalkan 1.091

Undang-Undang dalam kurun waktu 195 tahun dari 1789-1984; 863 peraturan

lainnya; dan tak kurang 94 peraturan daerah selama 191 tahun dari 1789-1980.

Hal ini di kalangan teoritisi hukum ditunjuk juga sebagai pembeda yang kontras

Page 182: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

172 | Hukum Kelembagaan Negara

menampakkan ciri to achieve a proper and flexible conflict

resolution, instead of the realization of the party's formal

rights, by suggesting negotiation trade and reconciliation to the

parties at various steps in the litigation.445

Seperti juga kecenderungan yang terjadi dalam sistem

yudisial, bahwa ―Judicial review is always a politically sensitive

matter, and the Court understandably tries to avoid direct

confrontation with the coordinate branches.‖446

Bagaimanapun,

dalam hal terjadi bahwa ― the Court does find that the Constitution

has been violated, it prefers to avoid saying precisely who has

violated it. This habit of mind is also abetted, perhaps, by the

modern indulgence (unknown to the Framers) of plaintiffs who

cannot identify their tortfeasors.447

Oleh karena itu, menurut

Nicholas Quinn Rosenkran, ketika mengatakan bahwa suatu

Undang-Undang bertentangan konstitusi, maka pengadilan

antara sistem hukum Jepang dan Amerika Serikat. Lihat dalam Masanobu Kato,

―The Role of Law and Lawyers in Japan and the United Sates‖, Birham Young

University Law Review, No. 627, 1987, hlm. 629.

445 Kota Fukui, ―Justice System Reform in Japan: The Connection

Beetween Conflict Management and Realization General Rules of Law‖, Osaka

University Law Review, Vol. 51 No. 55, 2004, hlm. 1. Lihat juga uraian yang

mengkaitkan pertumbuhan ekonomi Jepang dengan budaya litigasi dalam tulisan

John O. Haley, op.cit., hlm. 896-899.

446 Nicholas Quinn Rosenkran, op.cit., hlm. 1219.

447 Sejumlah Putusan Mahkamah Agung Federal dalam Perkara: (i)

Menne v. Celotex Corp., 861 F.2d 1453 (10th Cir. 1988) (plaintiff unable to

identify which manufacturer of asbestos products was responsible for his

asbestos exposure); (ii) Sindell v. Abbott Labs., 607 P.2d 924 (Cal. 1980)

(plaintiff could not identify which manufacturer was responsible for the

particular DES taken by her mother); (iii) Summers v. Tice, 199 P.2d 1 (Cal.

1948) (plaintiff could not identify which defendant shot him); dan (iv) Ybarra v.

Spangard, 154 P.2d 687, 691 (Cal. 1944) (plaintiff could succeed in medical

malpractice suit arising from treatment rendered while unconscious, even though

he could not identify particular doctor responsible, because at least one doctor in

the group must have been responsible). Lihat: Ibid.

Page 183: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 173

―carefully avoids pointing a finger or casting express blame—even

though, in other contexts, it expounds at length on the crucial

structural importance of constitutional accountability.‖448

Selanjutnya dikatakan bahwa adanya ―a statute violates the

constitution‖ merupakan:449

[I]s not merely harmless euphemism. This formulation has

corrupted and confused the nation‘s dialogue about its

Constitution—in classrooms and courtrooms, in law

reviews and editorial pages, constitutional seminars and

high school civics classes. To say that ―a statute‖—rather

than a government official—violates the Constitution is to

conceal and abet a constitutional culprit. This sort of

circumlocution renders our government more opaque and

448 Ibid., hlm. 1209. Pendapat ini disarikan dengan mengutip sejumlah

putusan Mahkamah Agung Federal seperti: (i) Perkara New York v. United States,

505 U.S. 144, 168-69 (1992) (―[W]here the Federal Government compels States

to regulate, the accountability of both state and federal officials is diminished. . .

. [W]here the Federal Government directs the States to regulate, it may be state

officials who will bear the brunt of public disapproval, while the federal officials

who devised the regulatory program may remain insulated from the electoral

ramifications of their decision. Accountability is thus diminished when, due to

federal coercion, elected state officials cannot regulate in accordance with the

views of the local electorate in matters not pre-empted by federal regulation.‖);

(ii) Perkara Freytag v. Comm‘r, 501 U.S. 868, 884 (1991) (―The Framers

understood, however, that by limiting the appointment power, they could ensure

that those who wielded it were accountable to political force and the will of the

people. Thus, the Clause bespeaks a principle of limitation by dividing the power

to appoint the principal federal officers—ambassadors, ministers, heads of

departments, and judges—between the Executive and Legislative Branches. Even

with respect to ‗inferior Officers,‘ the Clause allows Congress only limited

authority to devolve appointment power on the President, his heads of

departments, and the courts of law‖); dan (iii) Perkara Morrison v. Olson, 487

U.S. 654, 731 (1988) (Scalia, J., dissenting) (―[T]he Founders envisioned when

they established a single Chief Executive accountable to the people [that thus]the

blame can be assigned to someone who can be punished.‖).

449 Nicholas Quinn Rosenkran, Ibid., hlm. 1221.

Page 184: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

174 | Hukum Kelembagaan Negara

less accountable, so that the people do not know whom to

blame, whom to vote against, whom to impeach.

Dalam praktik pengujian di Amerika Serikat, pertumbuhan

pengujian Undang-Undang sangat ketat. Dikatakan bahwa

―Judicial review is not the review of statutes at large; judicial

review is constitutional review of governmental action.‖450

Pada

sejumlah putusan, setiap Undang-Undang yang dihasilkan

Kongres, (i) ―sejauh mungkin dihindarkan sebagai bagian dari

pertentangan antarcabang kekuasaan‖451

, (ii) ―ditetapkan sebagai

suatu rangkaian keputusan yang konstitusional hingga terbukti

sebaliknya‖452

, (iii)―dihindarkan dalam pengujian oleh badan

peradilan‖453

, dan (iv) ―merupakan produk koordinatif antara

450 Black Law Dictionary 864 (8th ed. 2004) (defining judicial review as

―[a] court‘s power to review the actions of other branches or levels of

government; esp., the courts‘ power to invalidate legislative and executive

actions as being unconstitutional‖ (emphasis added). Dalam suatu putusannya,

Mahkamah Agung Federal mengatakan bahwa ―The Court must either hold that

the Suspension Clause has ‗expanded‘ in its application to aliens abroad, or

acknowledge that it has no basis to set aside the actions of Congress and the

President.‖ Putusan Perkara Boumediene v. Bush, 128 S. Ct. 2229, 2297 n.2

(2008).

451 Putusan Perkara Almendarez-Torres v. United States, 523 U.S. 224,

238 (1998) (―The [constitutional avoidance] doctrine seeks in part to minimize

disagreement between the branches by preserving congressional enactments that

might otherwise founder on constitutional objections.‖

452 Putusan Perkara Hepburn v. Griswold, 75 U.S. (8 Wall.) 603, 610

(1869) (―This court always approaches the consideration of [constitutional]

questions of this nature reluctantly; and its constant rule of decision has been,

and is, that acts of Congress must be regarded as constitutional, unless clearly

shown to be otherwise.‖).

453 Putusan Perkara Ashwander v. Tenn. Valley Auth., 297 U.S. 288, 345-

49 (1936) (Brandeis, J., concurring) (affirming the principle that the judiciary

should avoid constitutional questions and enumerating seven strategies for

doing so‖).

Page 185: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 175

pemerintah dan Konggres sehingga harus dibuktikan batas-batas

konstitusi yang dilanggar oleh Konggres‖454

. Kemudian, jika

pengadilan memandang hanya terdapat satu doktrin saja untuk

menyelesaikan sengketa konstitusional, maka permohonan harus

diabaikan kecuali permohonan itu benar-benar tidak dapat

dihindarkan.455

Bahkan, suatu pengujian Undang-Undang oleh

Mahkamah Agung merupakan suatu ―one of great gravity and

delicacy.‖456

Oleh karena itu, menyatakan suatu produk Konggres

atau parlemen negara bagian bertentangan dengan konstitusi

berarti has rendered void its attempt at legislation.457

Secara teoritik, fungsi Mahkamah Agung Jepang itu

merupakan realisasi judicial activism.458

Menurut Satya Brata

Sinha, judicial activism is nothing but exceeding the constitutional

brief of interpreting and applying the law as it is, and taking

454 Putusan Perkara United States v. Morrison, 529 U.S. 598, 607 (2000)

(―Due respect for the decisions of a coordinate branch of Government demands

that we invalidate a congressional enactment only upon a plain showing that

Congress has exceeded its constitutional bounds.‖).

455 Putusan Perkara Spector Motor Serv. v. McLaughlin, 323 U.S. 101,

105 (1994) (―If there is one doctrine more deeply rooted than any other in the

process of constitutional adjudication, it is that we ought not to pass on

questions of constitutionality . . . unless such adjudication is unavoidable.‖

456 Putusan Perkara Adkins v. Children‘s Hosp., 261 U.S. 525, 544

(1923).

457 Putusan Garland, 71 U.S. (4 Wall.) 333, 382 (1866) (Miller, J.,

dissenting).

458 Dari penulusuran literatur melalui Westlaw, dalam kurun waktu 1990

saja ada 3.815 artikel dalam jurnal hukum yang mempunyai kaitan dengan istilah

judicial activism dan judicial activist, sementara dalam kurun 2000-2004

dijumpai lebih dari 1.817 lebih artikel. Lihat dalam Keenan D. Kmiec,

―Comment, The Origin and Current Meanings of ―Judicial Activism,‖ ,

California Law review, Vol. 92, Tahun 2004, hlm. 1441-1442. Ini menunjukkan

bahwa ―The term ―judicial activism,‖ despite its wild popularity, is poorly

understood.‖ Lihat Craig Green, ―An Intellectual History of Judicial Activism‖,

Emory Law Journal, Vol. 58, 2009, hlm. 1195.

Page 186: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

176 | Hukum Kelembagaan Negara

over executive and legislative functions in violation of the

constitutional scheme of the separation of powers.459

Secara

filosofis, judicial activism berarti ―as a philosophy of judicial

decision making where by judges allow there personal views

about public policy, among other factors, to guide their decisions,

usu. with the suggestions that adherents of this philosophy tend to

find constitutional violations and are willing to ignore

precedents.‖460

Singkatnya, mengutip pendapat Cass Sunstein dan

Paul Gewitz, suatu judicial activism merupakan ―as any judicial

decision to strike down legislative acts.‖461

Tetapi J.S. Verma,

mantan Ketua Mahkamah Agung India, menolak definisi yang

membatasi judicial activism hanya mencakup ―stricke down

legislative acts.‖ Menurutnya, judicial activism merupakan the

process by which new juristic principles are evolved to update

the existing law, to bring it in conformity with the current needs

of the society, and, thereby, to sub serve the constitutional purpose

of advancing public interest under the Rule of Law.462

Anton Lewis mencatat bahwa perkembangan peran

Mahkamah Agung dalam judicial activism, seperti di Jepang

terjadi karena minimal 3 (tiga) faktor.463

Pertama, ada kesadaran

diantara hakim bahwa peran parlemen menjadi vacuum semenjak

kendali negara beralih ke eksekutif, oleh sebab itu berpotensi

hilangnya pengawasan parlemen manakala terjadi pelanggaran

hak-hak individu. Kedua, kecenderungan parlemen modern yang

hilang fungsinya sebagai perencana hukum dan memberikan ruang

459 Satya Brata Sinha, ‖Constitutionality of Judicial Activism‖, op.cit.,,

hlm. 3.

460 Ibid.

461 Ibid., hlm. 4.

462 J.S. Verma, 2000, New Dimensions of Justice, Universal Law

Publishing Co. Pvt. Ltd., hlm. 7.

463 Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 5.

Page 187: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 177

besar bagi eksekutif untuk bukan saja menyusun peraturan, tetapi

juga untuk menyelesaikan sengketa yang muncul. Ketiga, generasi

baru para hakim menyadari bahwa suatu peraturan bukan saja

sumber kepastian, tetapi di dalamnya sarat dengan nilai-nilai yang

harus dijaga demi penghormatan kepada hak asasi manusia dan

demokrasi.

Bukan saja di Jepang, tetapi juga perkembangan aktivitas

Mahkamah Agung di India semakin disadari prinsip pragmatis

dalam rangka ―the guarantee of Fundamental Rights and the

mandate of the Directive Principles in the Constitution of

India.‖464

Selanjutnya dikatakan bahwa, ―The basic reason for the

growth of judicial activism in India is the tendency of Courts to

control the functioning of Government, when it exceeds its power

and to protect any abuse or misuse of power by government

agencies. It is inevitable reaction to check misuse of public

power.‖465

Seperti juga dalam kasus Kurokawa v. Komisi Pemilu

Chiba di Jepang, Mahkamah Agung India secara atraktif

menggunakan judicial activism dalam proses pemilihan umum di

bawah pemerintah yang tangguh seperti Perdana Menteri Indira

Gandhi.466

Ketika terjadi perselisihan mengenai bagaimanakah

pengisian jabatan Komisi Vigilance yang bertugas untuk

memberantas korupsi, maka putusan amat menentukan posisi

badan ini berhadapan dengan eksekutif.467

Bahkan, judicial

activism menjadi sarana para hakim untuk menolak penerapan

ajaran hukum alam yang dikitrik sebagai ―a distillate process‖.468

464 Ibid.

465 Ibid., hlm. 6.

466 Putusan Mahkamah Agung dalam Indira Gandhi v. Raj Narain

(1975).

467 Putusan Mahkamah Agung dalam Vineet Narain v. India (1998).

468 Putusan Mahkamah Agung dalam Maneka Gandhi v. Union of India

(1978).

Page 188: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

178 | Hukum Kelembagaan Negara

Perkembangan fungsi Mahkamah Agung India itu, hampir

serupa dengan yang terjadi di Jepang, berlangsung secara

berangsur-angsur. Hampir dalam kurun waktu 1950-1975, tidak

dijumpai judicial activism serupa tidak pernah dijumpai karena

sifat konservatif para hakim dan terjerat dalam teks-teks

konstitusi. Hanya sedikit kasus sehubungan dengan hak

kepemilikan yang ditangani karena hak itu terlempar dari daftar

hak asasi menurut konstitusi dan untuk kasus-kasus kebebasan

sipil, Mahkamah Agung secara ekstrem menghindari untuk

berbuat lebih jauh. Pengadilan tak pernah berusaha untuk merebut

kewenangan dalam menafsirkan konstitusi. Baru menjelang tahun

1975, Mahkamah Agung mulai tegas dalam pengujian

konstitusional (constitutional review) Undang-Undang. Dimulai

dalam kasus Keshvananda469

yang menyatakan bahwa dalam

membentuk Undang-Undang Parlemen tidak boleh membatasi hak

asasi manusia ―but also ruled that there are implied limits

which could not be used to alter the basic structure of the

Constitution.‖ Kemudian dalam kasus Basheshwar Nath,

Mahkamah Agung dengan jeli menafsirkan mengenai makna Rule

of Law sebagai suatu ―an essential feature of the Constitution of

India; and absolute discretion in matters affecting the rights of the

citizens is repugnant in the Rule of Law.‖470

Seterusnya dalam

putusannya, Mahkamah Agung India semakin sering menafsirkan

pengertian Rule of Law yang mencakup life, liberty, dan law,471

absolute power in any individual is anti democratic472

, hak

469 Putusan Mahkamah Agung India (1973).

470 Putusan Mahkamah Agung India (1967).

471 Smt. Maneka Gandhi v.Union of India, Mahkamah Agung India

(1978).

472 Kumari Shrilekha Vidyarthi etc. v.State of Uttar Pradesh & ors.

Putusan Mahkamah Agung India (1991).

Page 189: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 179

atas peradilan yang cepat473

, larangan mempekerjakan anak karena

melanggar hak asasi manusia474

, dan public trust sebagai syarat

pemerintah untuk menegakkan hak asasi manusia.475

Posisi Mahkamah Agung Jepang serupa dengan Mahkamah

Agung Norwegia ((Høyesterett). Sekalipun dalam Konstitusi atau

Grunnlov (1814) tidak ada aturan mengenai wewenang Mahkamah

Agung dalam menafsirkan konstitusi, akan tetapi sepanjang

praktik ketatanegaraan menurut ―constitutional customary law‖

wewenang itu dianggap terlembaga.476

Sekalipun demikian, ―cases

to the Høyesterett come from the lower courts and these may

concern different kinds of affairs, for example criminal cases or

compensation cases. It should be noticed that, in fact, very few

cases concern constitutional matters.‖477

Hanya saja sekalipun terdapat aktivitas pengujian

konstitusional (constitutional review), akan tetapi ―The Supreme

Court of Japan has been described as the most conservative

constitutional court in the world.‖478

Seperti ditulis oleh Jun-ichi

Satoh, sejak didirikan 1947, Mahkamah Agung Jepang hanya

menguji 8 Undang-Undang. Sebagai perbandingan, dalam periode

yang hampir sama, Mahkamah Konstitusi Federal di Jerman telah

menangani 600 pengujian konstitusional (constitutional court).

Menurut David S. Law penyebab kondisi itu adalah dominasi

473 Hussainara Khatoon v.State of Bihar, Putusan Mahkamah Agung

India (1979).

474 M.C.Mehta( child labour matter) V. State of Tamil Nadu, Putusan

Mahkamah Agung India (1996).

475 Satya Brata Sinha, op.cit., hlm. 9.

476 Veli-Pekka Hautamäki, ―Authoritative Intepretation of the

Constitution: A Comparison Argumentation in Finland and Noerwey‖, hlm. 8.

477 Ibid.

478 David S. Law, ―The Anatomy of a Conservative Court: Judicial

Review in Japan‖, Journal Texas Law Review, Vol. 87, 2009, hlm. 1545.

Page 190: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

180 | Hukum Kelembagaan Negara

Partai Liberal Democrat yang nyaris tanpa jeda dalam setengah

abad menguasi pemerintahan Jepang. Apa yang dilakukan oleh

partai penguasa adalah ―influence over the Court is disguised,

however, by the institutional design of the judiciary, which

appears to enjoy a considerable degree of autonomy to manage its

own affairs and even to decide who will serve on the Supreme

Court.‖479

Bentuk nyata tindakan partai terhadap tindakan

Mahkamah Agung Jepang adalah ―in effect, to delegate political

control of the judiciary to ideologically reliable agents withinthe

judiciary itself—namely, the enormously powerful Chief Justice

and his aides in the Court‘s administrative arm, the General

Secretariat.‖480

Kenyataan itu menjadikan Mahkamah Agung

―highly unlikely to depart from the wishes of the government for

any meaningful period of time.‖481

Fungsi Mahkamah Agung Jepang dengan demikian

memberikan pelajaran bahwa:482

There is no plausible way of designing or structuring a

court so as to insulate it entirely from political influence.

The institutional characteristics of the court can, however,

determine how responsive it will be to its political

environment. An obviously relevant characteristic is the

frequency with which political actors have the opportunity

to shape the composition of the court. A less obvious, but

no less relevant, characteristic is the extent to which power

within the court is centralized or diffuse.

Situasi yang mirip dilakukan oleh Mahkamah Agung Israel.

Pada awal pendiriannya, lembaga ini tidak menunjukkan

479 Ibid., hlm. 1545.

480 Ibid.

481 Ibid.

482 Ibid.

Page 191: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 181

kekuasaannya indepensinya secara subtantif.483

Dalam jangka

pendek, pengujian konstitusional (constitutional review),

khususnya mengenai hak-hak dan kebebasan, terbentur pada

kenyataan bahwa Deklarasi Kemerdekaan (1948) tidaklah

merupakan norma hukum dalam hierarki perundang-undangan

Israel. Karena suatu Undang-Undang Dasar tidak segera disusun

oleh parlemen, maka Mahkamah Agung kemudian menggunakan

Deklarasi Kemerdekaan484

sebagai batu uji pengujian

kosntitusionalitas (constitutional review) dalam putusan Perkara

Kol Haam (1953), dengan alasan, ―although the Declaration

cannot be considered as a constitution, it expresses the credo of

the state of Israel and that statutes ought to be interpreted in light

of the rights and freedoms specified in it.‖485

Putusan ini merubah

wajah Mahkamah Agung dari institusi formal bergaya Inggris

menjadi pengadilan model Amerika Serikat.

Dalam masa-masa berikutnya, perkembangan pengujian

konstitutisional di Mahkamah Agung Israel semakin melembaga

karena ―The Court has avoided a comprehensive discussion of

the interpretation of its jurisdiction‖, sehingga ―it has taken a

pragmatic approach, dealing with the particular cases brought

to it. The general outcome, though, is a very ‗liberal‘

483 M. Hofnung, ‗The Unintended Consequences of Unplanned

Constitutional Reform: Constitutional Politics in Israel‘, American Journal

Comparative Law, No. 44, 1996, hlm. 585.

484 Isi deklarasi ini antara lain menyatakan, ―that the State of Israel will

foster the development of the country for the benefit of all its inhabitants; it

will be based on freedom, justice and peace as envisaged by the prophets of

Israel; it will ensure complete equality of social and political rights to all its

inhabitants irrespective or religion, race or sex; it will guarantee freedom of

religion, conscience, language, education and culture; it will safeguard the

Holy Places of all religions; and it will be faithful to the principles of the

Charter of the United Nations.

485 Putusan Mahkamah Agung Israel dalam Perkara Kol Haam V.

Menteri Dalam Negeri (1953).

Page 192: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

182 | Hukum Kelembagaan Negara

interpretation of the Court‘s jurisdiction. In fact, the Court

appears to see no limitations to its jurisdiction, other than

questioning its discretion.‖486

Khusus pengujian konstitusional

(constitutional review), terdapat 2 kasus yang mirip dengan

Madison V. Marbury di Amerika Serikat, yaitu perkara Bregman

(1969) dan perkara Mizrazi (1995).

Perkara Bregman dapat diilustrasikan sebagai berikut.487

Pada tahun 1969, Parlemen membentuk Undang-Undang

yang isinya menetapkan bahwa ada anggaran negara yang

dialokasikan dan diberikan kepada Partai politik demi

persiapan untuk kampanye berikutnya. Hanya saja, partai

politik yang tidak mempunyai perwakilan tidak berhak

untuk memperoleh alokasi tersebut. Undang-Undang itu

sendiri hanya memperoleh dukungan suara anggota

parlemen kurang dari separuhnya. Aharon Bergman,

seorang pengacara, lalu mengajukan petisi kepada

Mahkamah Agung supaya diputuskan agar Menteri

Keuangan tidak perlu melaksanakan undang-undang

tersebut. Alasan petisi itu adalah bahwa Undang-Undang itu

melampaui wewenang dan bertentangan dengan Pasal 4

Basil Law, yang antara lain mengatakan bahwa ―The

Knesset shall be elected by general, national, direct, equal,

secret and proportional elections, in accordance with

the Knesset Elections Law; this section shall not be

varied save by a majority of the members of the

Knesset.‖

Jaksa Agung, sebagai wakil termohon, menyatakan bahwa

masalah validatas Undang-Undang tidak serta merta

berhubungan dengan pertentangan undang-undang.

Lagipula, ketentuan Pasal 4 Basic Law mengatur makna

486 Eli M Salzberger, op.cit., hlm. 36.

487 Ibid., hlm. 38.

Page 193: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 183

―equality‖ adalah berkaitan dengan tata cara pemberian

suara dalam pemilihan umum dan tidak berhubungan

dengan masalah alokasi bantuan keuangan kepada partai

politik.

Mahkamah Agung menyetujui argumen Jaksa Agung

mengenai ketimpangan Undang-Undang akan tetapi

memberikan tafsir bahwa Mahkamah berwenang untuk

memeriksa semua produk yang dihasilkan oleh parlemen.

Menurut Mahkamah Agung, masalah ―equality‖ tidak boleh

diartikan berkaitan dengan teknis pemberian suara dalam

pemilihan umum, dan demikian Undang-Undang Anggaran

Negara itu justru bertentangan dengan maksud Pasal 4 Basic

Law, dan oleh karena itu harus dinyatakan bertentangan

prinsip kesetaraan karena menciptakan diskriminasi antara

partai lama dan partai baru.

Kasus beriktunya adalah kasus Mizrahi Bank.488

Mizrahi Bank menggugat sebuah Undang-Undang yang

ditetapkan oleh Parlemen mengenai penghapusan kredit

bank bagi desa Kibutzim and Moshavim karena adanya

krisis ekonomi yang melanda desa itu. Mizrahi

mengganggap Undang-Undang itu bertenangan dengan

right of property. Mahkamah Agung mengatakan bahwa

Undang-Undang itu bertenangan dengan Pasal 8 Basic Law,

yang memerintahkan agar dalam membuat keputusan

dilaksanakan secara patut dan proporsional. Mahkamah

Agung juga mengakui keberadaan Parlemen sebagai badan

pembentuk undang-undang dan mengakui kewenangan

pengadilan tingkat bawah untuk menilai konstitusionalitas

undang-undang sehubungan dengan Basic Law.

488 Ibid., hlm. 43.

Page 194: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

184 | Hukum Kelembagaan Negara

Putusan itu menjadi cahaya gemilang pengujian

konstitusionalitas undang-undang dan memberikan kekuasaan bagi

pengadilan tingkat bawah untuk wewenang serupa dalam masa-

masa berikutnya. Dengan perkembangan yang semakin aktif

hingga dewasa ini, terutama didorong semenjak Ketua Mahkamah

Agung dijabat oleh Aharon Barak—yang amat dipengaruhi

teoritisi hukum Ronald Dworkin489

, menjadikan banyak pengamat

yang menyebut Israel ―as one of the most activist judiciaries in

the world.‖490

Keaktifan itu bukan saja kuantitas tetapi juga

jumlahnya.491

1. Pengujian Norma Abstrak

Pengujian norma hukum secara abstrak adalah mekanisme

preventif terhadap masa depan suatu produk legislatif yang

diprediksi tidak konstitusional. Dikatakan pengendalian norma

abstrak (Abstraktes Nrmenkontrolverfahren, Abstract Norm

Control) karena obyek pengujian ditujukan kepada suatu norma

489 Aharon Barak menjabat sebagai hakim agung sejak tahun 1979 dan

menjadi Ketua Mahkamah Agung sejak tahun 1995 sampai dia berusia 70 tahun

(September 2006). Sebelum menjadi hakim agung, Barak dikenal sebagai jaksa

agung yang tangguh, yang antara lain berperan dalam pengunduran diri Perdana

Menteri Yithzak Rabin pada tahun 1977, sehingga untuk pertama dalam sejarah

Israel meninggalkan dominasi kekuasaan Partai Buruh dalam 30 tahun terakhir.

Sebelumnya ia adalah Dean of the Faculty of Law at the Hebrew University

dengan spesialisasi hukum perdata. Dia adalah pendukung aktif legal activism,

sekalipun tidak pernah menggunakan istilah judicial activism. Dia menulis buku

yang berjudul Intepretion in The Law, yang berisi analisis lusinan putusan

pengadilan, sistem hukum Israel, tradisi dan sumber hukumnya. Lihat dalam

Aharon Barak, ―A Judge on Judging: The Role of the Supreme Court in a

Democracy‖, Harvard Law Review, No. 116, Tahun 2002, hlm. 16 dan 27.

490 Y. Dotan, ‗Judicial Accountability in Israel: The High Court of Justice

and the Phenomena of Judicial Hyperactivism‘ , Isreli Affairs, No. 8, 2002,

hlm. 87

491 M. Edelman, ‗The Judicialization of Politics in Israel‘, International

Political Science Review, Vol. 15, 1994, hlm. 177.

Page 195: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 185

yang masih belum disahkan menjadi undang-undang oleh

parlemen, dan atau sudah disetujui tetapi belum dilakukan.492

Melalui sistem pengendalian norma secara abstrak ini, pengujian

dapat diarahkan kepada seluruh pasal-pasal mapun ayat-ayat yang

terdapat dalam suatu undang-undang.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 ayat (1)

UUD 1945,‖Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.‖

Berdasarkan ketentuan ini, maka Mahkamah Konstitusi dapat

menguji undang-undang secara umum (abstract review). Namun,

pengujian undang-undang secara umum tersebut ternyata tidak

dapat dimohonkan setelah oleh Pasal 51 ayat (3) UU No. 24

Tahun 2003 huruf b, yang menghendaki Pemohon wajib

menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal

dan/atau bagain undang-undang yang dianggap bertentangan

dengan UUD 1945. Artinya, pengujian yang berlangsung tidak

lagi bersifat umum melainkan tertuju secara konkrit kepada ayat-

ayat maupun pasal-pasal tertentu dalam undang-undang yang telah

dimohonkan untuk diuji.

Suatu perkembangan yang menarik dalam praktik adalah

Mahkamah Konstitusi ternyata menerima perkara pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).

Setidaknya 2 (dua) kali Mahkamah Konstitusi menguji Perpu,

yaitu terhadap Perpu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi493

492 Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 88.

493 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009. Dalam hal ini

Mahkamah Konstitusi mendalilkan bahwa, ―Perpu melahirkan norm ahukum dan

sebagi norma hukum baru akan dapat menimbulkan (a) status hukum baru; (b)

hubungan hukum baru; dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir

sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada

persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun

demikian sebelum adanya pendapat DPR menolak atau menyetujui Perpu, norma

Page 196: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

186 | Hukum Kelembagaan Negara

dan Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan (JPSK).494

Dalam konteks ini pula, bahwa metode pengendalian norma

abstrak yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi

merupakan a posteriori atau ex post control. Artinya pengujian

baru dapat dilakukan setelah rancangan undang-undang itu

disahkan menjadi undang-undang. Obyeknya pun pasti, yaitu

Undang-Undang. Hal ini berbeda dengan di Jerman, misalnya,

mekanisme pengujian norma abstrak dapat ditujukan keapda

berbagai bentuk legislative rugaliton yang meliputi legislative

acts, decress, dan peraturan perundang-undangan Federal maupun

negara bagian (federal state). Pada tahap melaksanakan pengujian

hakim konstitusi menggunakan basic law dan federal law sebagai

rujukan utama dalam menyatakan konstitutisionalitas produk

hukum.495

Bagi Jerman496

, Italia497

, dan Spanyol498

, pengujian norma

abstrak dilakukan terhadap rancangan undang-undang yang sudah

hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena

dapat menimbulkan norm ahukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan

Undang-Undang, maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut

Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD

1945. Dengan demikian, Mahkamah berwenang utnuk menguji Perpu terhadap

UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan DPR, dan setelah adanya

persetujuan DPR, karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang.

494 Puutsan Mahkamah Konstitusi No. 145/PUU-VII/2009. Lihat

petimbangan hukum Mahkamah Konstitusi sebagaimana Ibid.

495 Ibid., hlm. 89.

496 Lihat dalam Pasal 93 ayat (1) butir ke-2 UUD Federal Jerman, yang

mengatakan bahwa, ―in case of differences of opinion or doubts on the formal

and material compability of federal law or Land law with the Basic Law or on

the compability of Land law with other federal law, at the request of the Federal

Law, of Land government of on e third of the Bundestag members.

Page 197: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 187

diadopsi oleh parlemen serta telah diundangkan akan tetapi belum

diberlakukan secara konkrit.499

Di Prancis, obyek pengendalian

norma absrak hanya dapat diutjukan kepada suatu rancangan

undang-undang (priori abstract review), dan pengujian tidak dapat

dilakukan kepada undang-undang yang telah mengalami

keberlakuan.500

Pengendalian norma abstrak juga dikenal di

Austria.501

Sejumlah negara kawasan Eropa Tengah dan Timur502

juga

mengenal pengendalian norma abstrak ini, dengan variasi yang

berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Hampir

semua Presiden di negara tersebut mempunyai kewenangan ini,

497 Dalam Konstitusi Itali Pasal 136 ayat (1) mengatakan, ―When the

Court declares a law or an act having the force of law unconstitutional, the shall

cease to have efefct from daya following the publication of the desicion.

498 The Spanish Constitutional Court is a Constitutional body which is

only subject to the Constitution and its own organic Law The Constitutional

Court is the supreme interpreter of the Constitution (Section 1 of theO.L.C.C.)

and, as we have already said, it was granted the monopoly of

declaringunconstitutional the legal dispositions. Lihat dalam Amelia Pascual

Medrano, ―Active Legitimation in Constitutional Proceeding: Spanish Case‖,

Spanish report for the 26th International Congress of Comparative Law.

Brisbane (Australia), July, 2002, hlm. 166-167.

499 Alec Stone, op.cit., hlm. 45.

500 Ibid., hlm. 234.

501 Dalam Pasal 140 ayat (1) Konstitusi Austria dikatakan, ―The

Constitutional Court pronounces on application by the Administrative Court, the

Supreme Court, or a competent appelate court whether a Federal or State Law is

unconstitutional, but ex officio in so far as the Court would have to apply such a

law in pending suit. It pronounces also on application by the Federal

Government whether State laws are unconstitutional and likewise on application

by State Governemnt or by the one third of the House of Representative members

wheter Federal Laws are unconstitutional.

502 Yaitu Albania, Belarusia, Bulgaria, Bosnia dan Herzegovina, Kroasia,

Czech Republic, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Macedonia, Molodova,

Montenegro, Polandia, Rumania, Rusia, Serbia, Slovakia, Slovenia, dan Ukrania.

Page 198: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

188 | Hukum Kelembagaan Negara

dengan pengecualian di Lithuania, di mana Presiden hanya

berwenang mengontrol tindakan pemerintah (Perdana Menteri)

dan bukan aturan seperti produk parlemen. Di Rumania dan

Estonia keterbatasan wewenang Presiden ditujukan kepada

rancangan undang-undang dan bukan kepada Undang-Undang

yang sudah berlaku. Ada juga yang melekatkan wewenang

pengujian itu kepada Perdana Menteri, dengan kekhususan seperti

di Kroasia dan Republik Czehnya yang hanya menjangkau

peraturan di bawah undang-undang; atau seperti Estonia yang

mana Pemerintah sama sekali tidak diberi wewenang pengujian

norma.

Variasi lain, wewenang pengendalian norma abstrak

diserahkan kepada parlemen dengan cara yang berbeda-beda. Di

Lithuania, minimum 20 orang anggota dapat mengajukan inisiatif

pengendalian norma, sementara di Majelis Nasional Bulgaria

mensyaratkan dukungan minimum 1/5 anggota dan di Slovenia

dengan 1/3 anggota. Kecuali di Estonia yang tidak mengenal cara

ini, hampir di kawasan ini justru cara ini yang sering dilakukan.503

Di samping itu, secara konstitutional ada juga yang mengatur

bahwa lembaga semacam Kejaksaan504

, Ombudsman (atau

sejenis)505

, Mahkamah Agung506

, badan audit507

, bagian dari

503 Misalnya, praktik di Bulgaria menunjukkan hampir 67%, inisiatif

pengendalian norma diajukan oleh anggota parlemen, terutama oleh kalangan

oposisi. Lihat: Wojciech Sadurski, op.cit., hlm. 9.

504 Di Bulgaria, Latvia, Moldova, Polandia, dan Sloakia.

505 Albania, Latvia, Polandia dan Ukraina.

506 Belarus, Bulgaria, Latvia, Moldova, Polandia, Russia dan Ukraina.

507 Albania dan Polandia.

Page 199: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 189

federasi (eksekutif dan legislatif)508

, parlemen lokal509

, dan

asosiasi dagang.510

Sedangkan di Amerika Serikat, yang juga diadopsi di

Jepang, pengujian norma abstrak tidak dikenal karena loyalitas

kepada doktrin pemisahan kekuasaan. Pengujian terhadap suatu

rancangan undang-undang di Amerika Serikat merupakan suatu

bentuk campur tangan (intrusion) cabang yudikatif terhadap

domain legislatif.

Namun berbeda dengan Amerika Serikat, kekuasaan

pemerintah dalam menentukan perundang-undangan sangat kuat

di Jepang. Seperti ditulis oleh Jun-ichi Satoh, ―Despite its status

as the ‗court of last resort‘, the Japanese Supreme Court often

plays a somewhat secondary role in determining the

constitutionality of government acts. This situation is largely the

result of the broad legal influence of Japan‘s Cabinet

Legislation Bureau (Naikaku-Hosei-Kyoku).511

Cabinet Legislation Bureau atau CLB, sebagai bagian dari

eksekutif (Perdana Menteri) mempunyai posisi yang secara

informal menentukan dalam penyusunan legislasi karena,

―[T]asks are to provide legal opinions to the Prime Minister

and other legislative officials and to review drafts of bills,

regulations, and orders to determine if they are consistent with

the constitution and legal precedent.‖512

Jadi, CLB merupakan

organ yang juga mempunyai wewenang untuk melakukan

pengujian konstitusional (constitutional review). Sekalipun, ―the

Japanese Constitution, however, mentions nothing about the

508 Seperti di Rusia dan Ukraina.

509 Slovania dan Ukraina.

510 Misalnya di Slovenia.

511 Jun-ichi Satoh, op.cit., hlm. 604-605.

512 Ibid., hlm. 605.

Page 200: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

190 | Hukum Kelembagaan Negara

CLB‘s advisory role‖513

, akan tetapi ―the Court has held that the

CLB‘s role in evaluating draft legislation does not violate the

Constitution.‖ Jadi, Mahkamah Agung Jepang sendiri mengatakan

sekalipun peran CLB tidak diatur dalam konstitusi, akan tetapi

pelaksanaan peran selama ini tidak bertentangan dengan

Konstitusi 1946.

Lebih jauh, Jun-ichi Satoh mengatakan bahwa peran CLB

tidak berbeda dengan Dewan Konstitusi di Prancis.514

Pembentukan Dewan Konstitusi di Prancis merupakan buah

rasionalisasi sistem parlementer dengan cara mentransformasikan

sebagian kekuasaan legislatif dari parlemen menjadi kewenangan

yang dimiliki oleh eksekutif. Dewan Konstitusi telah dibentuk

guna menjamin keberlangsungan distribusi kekuasaan yang baru

mengalami restrukturisasi itu. Dengan demikian, berdasarkan

Konstitusi Prancis (1958) langkah untuk memperkuat eksekutif

justru memperoleh jaminan dari Dewan Konstitusi. Singkatnya,

Konstitusi Prancis (1958) ―menjamin eksekutif sebagai satu-

satunya lembaga negara yang dapat mengendalikan kalender

legislatif.‖515

Pada posisi inilah, maka argumentasi kesamaan CLB

di Jepang dengan Dewan Konstitusi di Prancis untuk mengubah

status supremasi parlemen dan tidak lagi menempatkan parlemen

pada pusat kehidupan politik, melainkan memantapkan otoritas

absolut cabang eksekutif dalam pembentukan legislasi,

mempunyai dasar rasional yang jelas. Seperti telah dikemukakan

pada Bagian A di atas, bahwa keberadaan lembaga pengadilan di

Asia dan khususnya di Jepang adalah pertama-tama dimaksudkan

untuk memberikan legalitas bagi tindakan pemerintah. Mengingat

posisinya sebagai jabatan di lingkungan eksekutif, maka peran

CLB dengan demikian menampakkan adanya executive review di

513 Ibid.

514 Ibid.

515 Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 237.

Page 201: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 191

Jepang, selain judicial review dalam pengujian konstitusional

(constitutional review). Di Indonesia, konsep executive review

dilakukan oleh pemerintah pusat dalam mengendalikan Peraturan

Daerah.516

2. Pengendalian Norma Konkrit

Pengendalian norma konkrit berarti pelaksanaan pengujian

konstitusional (constitutional review) setelah adanya penyerahan

dari peradilan umum yang meragukan konstitusionalitas suatu

undang-undang dan peraturan peraturan pemerintah. Pengujian ini

timbul dari proses litigasi peradilan umum ketika hakim (ordinary

judges) merasa bimbang terhadap konstitusionalitas suatu undang-

undang ataupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang

dinilai inkonsitensi dengan Konstitusi.517

Pengujian norma konkrit telah dilaksanakan di Jerman518

,

Austria519

, Spanyol520

, dan Amerika Serikat.521

Secara teknis,

permohonan yang diserahkan kepada Peradilan Konstitusi yang

melibatkan sistem peradilan umum ini disebut penyerahan

(referral). Di Austria misalnya, hampir 90% perkara uji konkrit

yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi berasal dari pengadilan

516 Lihat ketentuan Pasal 145 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) dan Pasal 185-

186 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 158 UU No. 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; PP No. 79 Tahun 2005

tentang Pedoman Pembinaan dan PengawasanPenyelenggaraan Pemerintahan

Daerah Pasal 37.

517 Ibid., hlm. 97.

518 Pasal 100 ayat (1) Basic Law.

519 Pasal 139 Konstitusi Austria.

520 Pasal 161-163 Konstitusi Spanyol.

521 Lihat Pasal III Section 2 Konstitusi (1789) yang membatasi wewenang

Supreme Court hanya pada case and controversies.

Page 202: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

192 | Hukum Kelembagaan Negara

tata usaha negara.522

Metode penyerahan (refferal) ini

dilaksanakan juga di Jerman, Spanyol, dan Italia.

Di Jerman, Mahkamah Konstitusi Federal dalam

melaksanakan uji konkrit terhadap suatu undang-undang

sebenarnya tidak memutus putusan Mahkamah Agung (Supreme

Court). Hal tersebut dikarenakan Mahkamah Konstitusi Federal

tidak berperan sebagai pengadilan banding. Hubungan antara

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terjadi karena

Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari sistem peradilan federal

di Jerman.523

Logika yang mengatakan bahwa Mahkamah

Konstitusi Federal Jerman dapat memutus perkara yang telah

diputus oleh pengadilan umum, sebenarnya istilah ―memutus‖

oleh mahkamah hanya berlaku terhadap kriterium perkara-perkara

pidana524

dan perdata525

yang dimohonkan secara individual

terhadap upaya mempertahankan hak-hak mendasar. Hal itu

disebabkan, karena perkara pidana dan perdata memang

merupakan kewenangan dari pengadilan umum. Namun apabila

hasil keputusan peradilan umum kemudian tidak sesuai dengan

Basic Law atau diputus berdasarkan undang-undang yang telah

mengalami pembatalan serta tidak berlaku (null and void), maka

dakwaan final (final conviction) tersebut selanjutnya dapat

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Federal.

Dalam pengendalian norma konkrit ini, Mahkamah Agung

Jepang lebih mendekati sistem di Amerika Serikat. Pengujian

konstitusional (constitutional review) dilakukan oleh Mahkamah

Agung dalam rangka pemeriksaan perkara tertentu. Sebagaimana

nampak dalam perkara Aizawa v. Japan526

, sekalipun judex factie

522 Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 98.

523 Ibid., hlm. 99.

524 Pasal 79 ayat (1) Federal Constitutional Court Act of German.

525 Ibid.

526 Jun-ichi Satoh, op.cit., hlm. 610.

Page 203: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 193

memutuskan hukuman mati terhadap Aizawa yang didakwa

membunuh ayahnya sendiri menurut Pasal 200 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, tetapi Mahkamah Agung sendiri pada

akhirnya menafsirkan ketentuan pidana itu bertentangan dengan

konstitusi. Dalam pada itu, Mahkamah Agung juga mengurangi

hukuman terdakwa menjadi hukuman penjara dua setengah tahun

dengan kerja keras. Pengujian konstitusional (constitutional

review) di Jepang itu serupa juga dengan kewenangan Grand

Justice di Taiwan.

Seorang warganegara Taiwan melakukan perkawinan

poligami, sesuatu yang bertentangan dengan hukum sipil

Taiwan yang melarang seorang warganegara mempunyai 2

(dua) orang isteri. Ketika isteri pertama menggugat sang

suami, maka perkawinan kedua itu dinyatakan tidak sah

oleh pengadilan umum, yang dikuatkan oleh Mahkamah

Agung. Pria tersebut kemudian mengajukan petisi ke Grand

Justice untuk mempertanyakan pembatasan oleh undang-

undang yang berakibat pada batalnya perkawinan tersebut.

Dalam memutuskan perkara ini, Grand Justice

menggunakan standar penilain menurut ketentuan Pasal 22

Konstitusi (1947). Ketentuan ini antara lain menjamin

bahwa setiap tindakan yang tidak membimbulkan

kekacauan bagi tertib konstitusional dan masyarakat,

termasuk di dalamnya hak untuk menikah serta hak untuk

memperoleh keluarga, telah dilindungi oleh Konstitusi.

Pada amar putusannya, Grand Justice, antara lain

menyatakan, ―all freedoms not detrimental to the

constitutional order or public welfare, to find that there was

a constitutionallity protected right to marriage and the

family.‖527

Berdasarkan putusan ini, maka perkawinan

kedua yang dilakukan oleh pria itu dinyatakan

527 Lihat www.judicial.gov.tw/b4/e7-1.htm> , diakses 12 Maret 2011.

Page 204: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

194 | Hukum Kelembagaan Negara

konstitusional dan sah dan kemudian putusan Mahkamah

Agung dibatalkan.

Sepanjang suatu negara mempunyai kelembagaan peradilan

yang terpisah antara Supreme Court dan Pengadilan Konstitusi,

dalam pengujian norma konkrit ini akan terjadi proses dialog

konstitusional secara triumvirat antara hakim peradilan umum

(ordinary judges), hakim konstitusi (constitutional judges),

maupun dengan pembuat kebijakan di parlemen. Keterlibatan

hakim peradilan umum dalam dialog konstitusional disebabkan

judicial review pada awalnya dilaksanakan oleh peradilan umum,

meskipun hakim pengadilan umum tidak memiliki kewenangan

untuk memutus perkara konkrit.528

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai

wewenang semacam itu. Menurut Pasal 58 UU No. 24 Tahun

2003, ―Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi

tetap berlaku sebelum ada putusan yang mengatakan bahwa

undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.‖ Ketentuan

tersebut menyiratkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas

pengujian undang-undang itu berlaku ke depan (prospectus) dan

tidak berlaku surut. Oleh karena itu, akibat hukum yang timbul

dari berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai

diucapkannya putusan yang menyatakan Undang-Undang tersebut

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan

mengikat.529

Tetap berlakunya sebuah aturan hukum atau

keputusan pejabat administrasi negara walaupun terdapat sebuag

528 Ahmad Syahrizal, loc.cit.

529 Lihat juga Maruarar Siahaan, 2005, Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 213-214.

Baca juga: Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit.,

hlm. 319.

Page 205: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 195

gugatan atas aturan tersebut ke pengadilan, dalam teori dikenal

dengan asas praduga rechtmatige.530

Contoh paling nyata adalah ketika para tersangka terorisme

disidangkan di pengadilan negeri dan proses persidangannya

mengacu kepada UU No. 16 Tahun 2003 tetang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun

2002 tentang Pemberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakkan Bom di Bali,

sementara pada saat yang sama, Mahkamah Konstitusi sedang

melakukan pengujian konstitutionalitas undang-undang tersebut

dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial

review itu.531

Namun demikian, sebagian dari terdakwa terorisme

itu telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan dengan dasar hukum

Undang-Undang yang telah dibatalkan tersebut. Bahkan pasca

keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, masih terdapat

beberapa terdakwa yang didakwa atau dituntut menggunakan

undang-undang yang sudah jelas-jelas dinyatakan inkonstitusional

oleh Mahkamah Konstitusi.532

Suatu peristiwa yang berlainan muncul di Korea Selatan.

Ketika itu mantan Presiden Chun Doo-hwan yang kemudian

digantikan oleh Roh Tae-woo, keduanya purnawirawan

jenderal angkatan darat, dihadapkan pada ancaman

hukuman mati atas insiden berdarah Mei 1980. Vhun telah

diancam dengan hukuman mati dan Roh dua puluh tahun

penjara. Peristiwa itu berlangsung ketika otoritas militer

mengerahkan pasukan elit ke kawasan Kwangju guna

530 S.F. Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif

di Indonesia, Cetakan 2, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 172-173.

531 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013/PUU-I/2003 hlm. 47-48.

532 Lihat juga Jamaludin Ghafur, ―Asas Praduga Rechtmatig dan

Penundaan Pelaksanaan Undang-Undang dalam Pengujian UU di Mahkamah

Konstitusi‖, Jurnal Konstitusi, Vol. III, No. 2, November 2010, hlm. 157.

Page 206: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

196 | Hukum Kelembagaan Negara

menumpas demonstrasi yang ditujukan kepada

pemerintahan saat itu. Kwangju sendiri adalah basis oposisi

veteran pimpinan Kim-Dae-jung. Tuduhan pemberontakan

yang dibebankan kepada Kim mengangkibatnnya diancam

dengan hukuman mati. Namun, ancaman hukuman itu

urung dilaksanakan lantaran pemerintahan Chun dan Roh

digantikan oleh Kim Young Sam, yang terpilih menjadi

presiden pada tahun 1992. Sepanjang periode itu timbul

intensitas desakan guna mengusung peristiwa berdarah

Kwangju ke dalam proses hukum dengan tersangka utama

mantan Presiden Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo.

Kendati demikian, terbatasnya instrumen hukum yang valid

ketika itu, menyebabkan pemerintahan Kim Young-sam

sulit menempatkan mereka sebagai tersangka.

Namun, Majelis Nasional di bawah kendali solid partai

politik pimpinan Kim, akhirnya, dapat menetapkan undang-

undang retroaktif guna memfasilitasi proses penyidikan dan

penuntutan terhadap tersangka utama Chun dan Roh.

Namun, keberadaan undang-undang yang diberlakukan

khusus menyurut itu telah menimbulkan reaksi hukum dari

pembela mereka. Melalui mekanisme permohonan yang

dimediasi oleh peradilan umum, kedua mantan Presiden itu

memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk segera

membatalkan hukum yang berlaku surut. Dalam

permohonannya, Chun dan Roh mendalilkan bahwa

undang-undang retroaktif tersebut melanggar Pasal 13

Konstitusi Korea Selatan.

Pada tanggal 16 Februari 1996, Mahkamah Konstitusi

sampai pada putusan bahwa diskresi penuntutan yang

dilandasi oleh undang-undang berlaku surut terhadap Chun

dan Roh tidak konstitusional. Pada bulan Desember 1997,

atas inisiatif presiden terpilih Kim Dae-jung dakwaan

Page 207: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 197

terhadap Chun dan Roh—yang ketika berkuasa justru

mengupayakan hukuman mati bagi Kim—akhirnya

memperoleh ampunan dengan diterbitkannya grasi oleh

Presiden Kim Dae-jung.

Sementara itu, pengujian secara konkrit peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-

Undang di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung.533

Namun

demikian, Mahkamah Konstitusi secara teoritis juga dapat

dikategorikan berwenang menguji undang-undang secara konkrit.

Namun bila Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang,

Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar. Keduanya termasuk ke dalam kategori pengujian

konkrit, walau diuji terhadap obyek hukum yang berbeda.

Apabila dicermati ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945

yang mengatakan, ―Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar‖,

berbanding lurus dengan Supreme Court Amerika Serikat dan

Jepang, yang memiliki kewenangan pengujian konstitusional

(constitutional review) Undang-Undang (produk legislatif).

Di Brasil, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan

tertinggi mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian

konstitusional (constitutional review) Undang-Undang secara

abtrak maupun konkrit.534

Dikatakan bahwa:535

The Brazilian system of judicial review combines features

from both abstract review and concrete review systems.

533 Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

534 Gilmar Mendes, ―Framework of Brazillian Judiciary and Judicial

Review‖, International and Comparative Law Journal, Vol. 67 No. 77, Winter,

2007, hlm. 457.

535 Ibid., hlm. 457-458.

Page 208: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

198 | Hukum Kelembagaan Negara

As in the American concrete review system, Brazilian

judges are conferred ample powers to analyze the

constitutionality of governmental acts, allowing any

judge or court to declare that a law or regulatory act

is unconstitutional and, just as in the European

abstract system, the Brazilian Constitutional model

concentrates at the Supreme Court the competence to

prosecute and adjudicate independent actions concerning

the constitutionality ―in abstract‖ of a law.

In this way, the Brazilian system of Judicial Review

displays original and diverse procedural instruments for

both verifying the constitutionality of legislation and

protecting fundamental rights. These include the habeas

corpus, habeas data, writ of mandamus, injunctive writ,

public civil action and popular action. This diversity, so

typical of the diffuse model, is complemented by a

variety of instruments enabling the Supreme Court to

exercise abstract review such as direct

unconstitutionality suits, declaratory actions of

constitutionality, direct unconstitutionality suits due to

omission (ADO) and claims for non-compliance of a

fundamental precept.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa sekalipun

Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian

konstitusional, akan tetapi secara normatif (menurut Konstitusi

1988) terdapat instrumen hukum yang dikenal sebagai

―Extraordinary Appeals‖ guna memverifikasi kemungkinan

pelanggaran Konstitusi atas putusan badan peradilan tertinggi itu.

Secara khusus, instrumen itu ditujukan terhadap: (i) pelanggaran

konstitusi secara langsung; (ii) putusan konstitusionalitas

perjanjian internasional dan Undang-Undang Federal; (iii) putusan

terhadap Undang-Undang yang sudah pernah diputus

inkonstitusional; atau (iv) dalam hal peradilan tingkat banding

Page 209: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 199

memutuskan perkara menurut hukum yang ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah akan tetapi hukum itu bertentangan dengan

konstitusi.536

Bahkan dalam Perubahan Konstitusi (2004),

instrumen itu ditambahkan dengan perlunya Mahkamah Agung

untuk memperhatikan general reppurcusion dalam penggunaan

Extraordinary Appeal.

536 Ibid., hlm. 458.

Page 210: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

200 | Hukum Kelembagaan Negara

BAB VI LEMBAGA NEGARA NONSTRUKTURAL

A. Peristilahan

Pada pelaksanaan kajian ini, yang dimaksudkan sebagai

Lembaga-Lembaga Nonstruktural adalah apa yang di dalam

literatur dikenal sebagai lembaga negara independen atau lembaga

negara penunjang (State Auxilliary State). Lembaga Negara Non

Struktural ada yang disebut sebagai dewan, badan, atau lembaga,

ada pula yang disebut komisi-komisi negara. Ada pula yang

bersifat adhoc yang disebut dengan istilah satuan tugas atau

komite. Di Indonesia sendiri selama ini dikenal adanya istilah

Lembaga Pemerintahan Non-Departemen (LPND) yang setelah

ditetapkannya UU tentang Kementerian Negara yang mengubah

istilah departemen menjadi kementerian, maka istilah LPND itu

harus diubah menjadi LPNK atau Lembaga Pemerintahan Non-

Kementerian. Namun, atas inisiatif beberapa kementerian, ada

pula istilah lain yang diperkenalkan, yaitu Lembaga Nonstruktural.

Dalam banyak literatur, ada juga yang menggunakan istilah

‗independnet bodies‘, ‗auxiliary agencie‘, ‗self regulatory bodies‘,

dan sebagainya. Semua istilah-istilah itu tidak dapat dipakai untuk

Page 211: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 201

pengertian yang bersifat umum sebab masing-masing lembaga

dimaksud mempunyai cirri khasnya sendiri-sendiri. Ada bersifat

independen, ada yang tidak, dan ada pula yang terkait langsung

dengan fungsi-fungsi eksekutif, legislatif, judikatif, dan ada pula

yang bersifat campuran. Agar bersifat umum, semua lembaga-

lembaga itu, karena sifatnya yang khusus di luar struktur

kementerian yang lazim dapat saja kita sebut dengan istilah

lembaga-lembaga khusus (special agencies).

Berikut ini disajikan tabel yang berisi 88 Lembaga Negara

Nonstruktural di Indonesia hingga tahun 2011.

No. Wewenang Nama Lembaga

1. Hukum dan Hak

Asasi Manusia

Komisi Hukum Nasional

Komisi Kepolisian Nasional

Ombudsman Republik Indonesia

Komisi Kejaksaan

Komisi Perlindungan Anak

Indonesia

Komisi Antikekerasan terhadap

Perempuan

Komisi Nasional Lanjut Usia

Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia

Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban

Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

2. Pemilihan Umum Komisi Pemilihan Umum

Badan Pengawas Pemilihan Umum

3. Pengembangan

Wilayah/Kawasan

Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah

Dewan Kelautan Indonesia

Dewan Pengembangan Kawasan

Timur Indonesia

Page 212: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

202 | Hukum Kelembagaan Negara

Badan Pengembangan Wilayah

Surabaya-Madura

Badan Koordinasi Penataan Ruang

Nasional

Unit Kerja Presiden untuk

Pengawasan dan Pengendalian

Pembangunan

Dewan Nasional Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

Bebas

Dewan Kawasan Perdagangan

Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

Dewan Kawasan Perdagangan

Bebas dan Pelabuhan Bebas

Karimun

Dewan Kawasan Perdagangan

Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan

Komite Pengarah Pengembangan

Kawasan Ekonomi Khusus di

Pulau Batam, Bintan, dan Karimun

4. Ketahanan dan

Keamanan

Dewan Ketahanan Nasional

Badan Koordinasi Keamanan Laut

5. Infrastruktur Badan Kebijaksanaan dan

Pengendalian Perumahan dan

Permukiman Nasional

Badan Pendukung Penyediaan

Sistem Air Minum

Badan Pengatur Jalan Tol

Komite Kebijakan Percepatan

Penyediaan Infrastruktur

6. Ekonomi Komisi Pengawas Persaingan

Usaha

Komite Privatisasi Perusahaan

Perseroan

Page 213: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 203

Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen

Komite Nasional Standar untuk

Ukuran

Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan

Komisi Banding Merek

Komisi Banding Paten

Dewan Gula Nasional

Dewan Koperasi Nasional

Dewan Ketahanan Pangan

Badan Ekonomi Kreatif

7. Energi dan

Sumber Daya

Dewan Energi Nasional

Dewan Sumber Daya Air Nasional

Badan Pengatur Hilir Minyak dan

Gas

Badan Pengawas Pasar Tenaga

Listrik

8. Kesehatan Komisi Penanggulangan AIDS

Nasional

Badan Pertimbangan Kesehatan

Nasional

Komite Nasional Pengendalian Flu

Burung dan Kesiapsiagaan

Pandemi Influenza

9. Sosial Badan Penanggulan Lumpur

Sidoardjo

Lembaga Koordinasi dan

Pengendalian Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Penyandang

Cacat

Tim Koordinasi Penanggulangan

Kemiskinan

Page 214: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

204 | Hukum Kelembagaan Negara

10. Perhubungan dan

Penyiaran

Komisi Penyiaran Indonesia

Komite Nasional Keselamatan

Transportasi

Dewan Teknologi Informasi dan

Komunikasi Nasional

Dewan Pers

Komisi Informasi Pusat

11. Keagamaan Forum Kerukunan Umat Beragama

Komisi Pengawas Haji Indonesia

Badan Pengelola Dana Abadi Umat

Badan Amil Zakat Nasional

Badan Pelaksana Pengelola Masjid

Istiqlal

12. Pendidikan, Ilmu

Pengetahuan, dan

Teknologi

Dewan Buku Nasional

Dewan Riset Nasional

Komite Inovasi Nasional

Dewan Penerbangan Antariksa

Nasional

Komite Akreditasi Nasional

Akademi Ilmu Pengetahuan

Indonesia

Dewan Nasional Perubahan Iklim

13. Ketanagakerjaan,

Kepegawaian,

dan Profesi

Dewan Pengupahan Nasional

Dewan Jaminan Sosial Nasional

Badan Nasional Sertifikasi Profesi

Lembaga Produktifitas Nasional

Konsil Kedokteran Indonesia

Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan

Lembaga Kerjasama Tripartit

Badan Pertimbangan Kepegawaian

Komite Aksi Nasional

Penghapusan Bentuk-Bentuk

Pekerjaan Terburuk untuk Anak

Page 215: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 205

14. Pemerintahan Dewan Pertimbangan Presiden

Komite Antardepartemen Bidang

Kehutanan

Komite Standar Akuntasi

Pemerintah

15. Olahraga Badan Olahraga Profesional

Badan Standarisasi dan Akreditasi

Nasional Keolahragaan

Komite Olahraga Nasional

Indonesia

15. Seni dan Budaya Badan Pertimbangan Perfilman

Nasional

Sementara itu, lembaga pemerintah nonkementerian

meliputi lembaga-lembaga sebagai berikut:

1. Lembaga Administrasi Negara;

2. Arsip Nasional Republik Indonesia;

3. Badan Kepegawaian Negara;

4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia;

5. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;

6. Badan Pusat Statistik;

7. Badan Standarisasi Nasional;

8. Badan Pengawas Tenaga Nuklir;

9. Badan Intelijen Negara;

10. Lembaga Sandi Negara;

11. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;

12. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional;

13. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional;

14. Badan Pengawasan Obat dan Makanan;

15. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

16. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia;

17. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan;

18. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika;

Page 216: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

206 | Hukum Kelembagaan Negara

19. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;

20. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi;

21. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme;

22. Badan Koordinasi Penanaman Modal;

23. Badan Pertanahan Nasional;

24. Lembaga Ketahanan Nasional;

25. Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

26. Badan SAR Nasional; dan

27. Badan Narkotika Nasional.

Gejala tumbuh kembangnya Lembaga Negara Nonstruktural

ini merupakan gejala yang mendunia. Selain itu, lembaga-lembaga

ini lahir karena kinerja lembaga utama belum bekerja secara

efektif dan dilatarbelakangi oleh desakan publik dalam rangka

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good

governance). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jimly

Asshidiqie:537

Seperti dalam perkembagan di Inggris dan di Amerika

Serikat, lembaga-lembaga atau komisi-komisi itu ada yang

masih berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi ada

pula yang bersifat independen dan berada di luar wilayah

kekuasaan eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Pada

umumnya, pembentukan lembaga-lembaga independen ini

didorong oleh kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan

pemerintahan dinilai tidak dapat lagi memenuhi tuntutan

kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu

yang semakin meningkat dan diharapkan semakin efisien

dan efektif.

Terdapat beberapa istilah yang berkenaan dengan state

auxiliary organs. Ada yang menyebutnya sebagai komisi negara,

537 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara

Pasca Reformasi, op.cit., hlm. 29.

Page 217: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 207

state auxiliary agencies, state auxiliary bodies, dan ada juga yang

menyebut sebagai lembaga negara independen. Adapun pengertian

mengenai state auxiliary organs dari beberapa pakar adalah

sebagai berikut.

Asimow mengemukakan bahwa komisi negara adalah ―units

of government created by statute to carry out spesific tasks in

implementing the statute. Most administrative agencies fall in the

excecutive branch, but some important agencies are

independent.‖538

Lebih lanjut, dalam bahasa Funk dan Seamon,

komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan ‖quasi

legislative‖, ―executive power‖, dan ―quasi judicial.‖539

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie.

Jimly berpendapat, ―komisi negara independen adalah organ

negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya

berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun

yudikatif, namun justru mempunyai fungsi campur sari

ketiganya.‖540

Dalam kesempatan lain, Jimly Asshidiqie menamakan state

auxiliary organs sebagai self regulatory agencies atau independent

supervisory bodies, yaitu ―lembaga-lembaga yang menjalankan

fungsi campuran (mix function) antara fungsi-fungsi regulatif,

administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan

tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga

baru tersebut.‖541

Di beberapa negara, state axuiliray organs ini juga menjadi

organ konstitusi, misalnya di Afrika Selatan dan Thailand. Dalam

Pasal 181 ayat (1) konstitusi Afrika Selatan, menyebutkan ada

538 Denny Indrayana. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi

Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara, hlm. 264-265.

539 Ibid., hlm. 266.

540 Ibid., hlm. 265-266.

541 Op.cit., hlm. 8.

Page 218: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

208 | Hukum Kelembagaan Negara

Human Rights Commisions, Commission for the Promotion and

Protection of the Rights of Cultural, Religious and Linguistic

Communities, Commision for Gender Equality, dan Electortal

Commision. Sedangkan di Thailand, Pasal 75 konstitusinya

Thailand mengatur bahwa negara wajib menyediakan anggaran

bagi komisi negara independen, seperti: Election Comission,

Ombudsmen, National Human Rights Comission, National

Counter Corruption Comission, dan State Audit Commision.542

Merujuk pada pendapat Asimow, yang menyebut bahwa

state auxliary organs adalah ―units of government created by

statute to carry out spesific tasks in implementing the statute. Most

administrative agencies fall in the excecutive branch, but some

important agencies are indepedent‖, state auxiliary organs di

Indonesia dibedakan atas independent regulatory bodies dan

executive branch agencies.

Di Amerika Serikat, di samping The Executive Departement

sebagai organ utama yang menjalankan kekuasaan pemerintahan

federal, dikenal pula agencies, di luar ketiga cabang kekuasaan

negara yang disebut Quasi Official Agencies, Government

Corporation, dan Independent Agencies. Dimulai pada tahun

1887, Kongres menetapkan suatuu ndang-undang yang mengatur

pendirian The Interstate Commerce Commission, yang merupakan

independent agency, yang memiliki kekuasaan mengatur

perdagangan antarnegara (state) seiring kemajuan lalu lintas kereta

api di Amerika Serikat.543

Sifat independensi agency disebabkan

karena 5 hal sebagai berikut. Pertama, bukan merupakan bagian

executive departerment, atau kementerian, legislatif, maupun

542 Denny Indrayana, op.cit., hlm. 266.

543 Radian Salman dan M. Hadi Subhan, ―Lembaga Negara Punjang:

Perspektif Ketatanegaraan dan Penataannya‖, dalam Dadan Wildan (Editor),

2010, Bunga Rampai Pemikiran Penataan Lembaga Non Struktural, Jakarta,

Penerbit Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan, hlm.

134.

Page 219: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 209

yudisial. Kedua, dinyatakan secara tegas dalam undang-undang

yang membentuknya, bahwa pengawasan atas lembaga tersebut

tidak melekat pada Presiden. Ketiga, kedudukan dan

kewenangannya langsung bersumber kepada undang-undang.

Keempat, kepemimpinan kolektif, kepemimpinan tidak dikuasai

atau mayoritas dari partai tertentu dan masa jabatan para pimpinan

komisi tidak habis secara bersamaan, akan tetapi secara bergantian

(staggered time). Kelima, tidak terdapat bentuk pertanggung

jawaban.544

Belanda juga mengenal Lembaga Negara Nonstruktural,

seperti National Ombudsman Commission, The Netherlands

Government Information Service, The Netherlans Equal Treatmen

Commission (Commission Gelijke Behandelingen). Koortman dan

Bovend‘Een dalam konteks Hukum Tata Negara Belanda

menyatakan bahwa, ―there are many institution which operate

more or less independently from the minister.‖545

Di Indonesia, sampai dengan tahun 2011, menurut kajian

Kompas terdapat 88 Lembaga Negara Nonstruktural, di luar 28

lembaga negara nonkementerian546

dan 34 kementerian, serta Tim

544 Ibid., hlm. 136.

545 Ibid., hlm. 135.

546 Terutama pada masa Orde Baru, lembaga ini dikenal sebagai Lembaga

Pemerintah Non Departemen, yang seiring dengan diundangkannya UU No. 39

Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, istilah yang digunakan adalah

Lembaga Negara Nonkementerian. Lembaga ini umumnya disebut ―badan‖ yang

menangani urusan pemerintahan dalam bidang tertentu seperti Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Badan Pertanahan

Nasional/BPN, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT, Badan

Tenaga Atom Nasional/BATAN, Badan Pusat Statistik/BPS, Badan Nasional

Penanggulangan Bencana/BNPB, Badan Arsip Nasional, dan sebagainya.

Kecuali Bappenas, yang untuk posisi Kepala dirangkap oleh Menteri Negara

Perencanaan Pembangunan Nasional (sejak tahun 1966, kemudian dijadikan

lembaga nonkementerian era Presiden Abdurrahman Wahid, dan kemudian

kembali dirangkap menteri sejak era Presiden Megawati), lembaga yang lain

umumnya berasal dari birokrat karier/profesional.

Page 220: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

210 | Hukum Kelembagaan Negara

dan Satuan Tugas Khusus yang dibentuk oleh Presiden.547

Berdasarkan dasar hukum pembentukannya, dari 88 Lembaga

Negara Nonstruktural yang dibentuk menurut ketentuan Undang-

Undang sebanyak lembaga, kemudian 41 lembaga dibentuk

menurut Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden, 8 lembaga

dibentuk menurut Peraturan Pemerintah, dan 39 lembaga dibentuk

dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang.

B. Latar Belakang Kemunculan

Lembaga Negara Nonstruktural sebagai suatu Lembaga-

lembaga khusus atau ‗special agencies‘ merupakan gejala yang

dapat dikatakan baru dalam dinamika penyelenggaraan kekuasaan

negara modern. Menurut doktrin Montesquieu yang sebenarnya

tidak pernah diterapkan dalam praktik yang nyata, lembaga-

lembaga negara diidealkan hanya terdiri atas tiga lembaga utama

penyelenggaraan kekuasaan negara, yaitu parlemen, pemerintah,

dan pengadilan yang mencerminkan fungsi-fungsi legislative,

executive, dan judicial. Namun, sejak akhir abad ke 19, dengan

munculnya tuntutan agar negara mengambil peran lebih besar

dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka

jumlah lembaga-lembaga negara menjadi bertambah banyak pula

sesuai dengan tuntutan kebutuhan menurut doktrin negara

kesejahteraan (welfare state). Namun, sampai pertengahan abad

ke-20, peran negara berkembang ekstrim sehingga pada akhir abad

ke-20 berkembang pula kesadaran baru untuk mengurangi peran

negara melalui pelbagai kebijakan liberalisasi, baik di bidang

politik maupun ekonomi. Gelombang liberalisasi politik membawa

akibat munculnya gelombang (i) demokratisasi dan (ii)

desentralisasi, sedangkan liberalisasi ekonomi melahirkan

kebijakan-kebijkan (i) efisiensi, (ii) deregulasi, (iii)

debirokratisasi, dan (iii) privatisasi. Mulai tahun 1970-an,

547 Sementara itu dalam kajian Lembaga Administrasi Negara tercatat

sebanyak 92 lembaga negara.

Page 221: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 211

gerakan-gerakan ini berkembang luas sehingga menyebabkan

terjadinya restrukturisasi bangunan organisasi negara dan

pemerintahan secara besar-besaran. Sebagian fungsi yang

sebelumnya ditangani oleh negara diserahkan kepada masyarakat

atau dunia usaha untuk mengelolanya. Fungsi-fungsi yang

sebelumnya ditangani oleh pemerintahan pusat diserahkan

pengelolaannya kepada pemerintahan daerah.

Bersamaan dengan itu, bentuk-bentuk organisasi yang

menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan negara juga berubah

pesat. Fungsi-fungsi yang sebelumnya bersifat eksklusif

legislative, eksekutif, atau judikatif, mulai dirasakan tidak lagi

mencukupi, sehingga doktrin pemisahan kekuasaan tidak lagi

dianggap ideal. Yang dianggap lebih ideal justru adalah prinsip

checks and balances atau prinsip pembagian kekuasaan atau

‗sharing of power‘. Bahkan untuk kepentingan efisiensi, muncul

kebutuhan untuk melembagakan kebutuhan untuk

mengintegrasikan pelbagai fungsi menjadi satu kesatuan ke dalam

fungsi yang bersifat campuran. Pertimbangan lain adalah

munculnya kebutuhan untuk mencegah agar fungsi-fungsi

kekuasaan tertentu terbebas dari intervensi politik dan konflik

kepentingan. Karena kedua alas an inilah maka sejak akhir abad

ke-20 dan awal abad ke-21, banyak bermunculan lembaga-

lembaga baru di luar struktur organisasi pemerintahan yang lazim.

Dalam praktik di Indonesia, kebijakan pembentukan

Lembaga Negara Nonstruktural, sekurang-kurangnya ada 7 (tjuh)

faktor sebagai motivasi munculnya lembaga ini. Pertama,

Kehadiran lembaga-lembaga nonstructural merpakan refleksi dari

keresahan Negara atas ketidakpastian dan kealpaan perlindungan

atas individu dan kelompok-kelompok marginal baik dari ancaman

kesewenang-wenangan pejabat public maupun ancaman sesasma

warganegara sebagai individu atau kelompok (Di sini dapat

diberikan contoh: pembentukan Komisi Nasional HAM menurut

Keppres No. 50/1993 jo UU No. 39/1999 dan Komisi Ombudsman

Nasional menurut Keppres No. 44/2000).

Page 222: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

212 | Hukum Kelembagaan Negara

Kedua, Kehadiran lembaga-lembaga nonstruktural

mencerminkan sentralitas Negara sebagai institusi public dengan

tanggung jawab public yang besar pula sehingga dengan demikian

kebijakan tersebut menyebabkan pemahaman yang mereduksi

kehadiran negara sebatas sebagai substitusi dari kegagalan institusi

lainnya. Untuk ini dapat diberikan contoh adanya Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menurut UU No. 5/1999.

Ketiga, Kehadiran lembaga-lembaga nonstructural

disebabkan tidak adanya kredebilitas lembaga-lembaga yang telah

ada sebelumnya akibat adanya asumsi mengenai korupsi yang

sistemik, mengakar, dan sulit diberantas. Contohnya adalah

dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (UU No. 30/2002).

Keempat, kehadiran lembaga-lembaga nonstructural

didoroang oleh tidak adanya independensi lembaga-lembaga

Negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh

suatu kekuasaan tertentu. Contohnya pembentukan Komisi

Yudisial (Pasal 24B UUD 1945, UU No. 22/2004).

Kelima, kehadiran lembaga-lembaga nonstructural juga

didoroang oleh factor ketidakmampuan lembaga-lembaga Negara

yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan

dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan

internal maupun eksternal. Dapat ditunjuk sebagai contoh adalah

adanya Komisi Penyiaran Indonesia (UU No. 30/2002), Dewan

Pers (UU No. 40/1999).

Keenam, Kehadiran lembaga-lembaga nonstructural

menunjukkan adanya pengaruh global, khususnya syarat

pemberian pinjaman luar negeri dari lembaga keungan

internasional seperti International Monetery Fund dan World

Bank, yang menggambarkan adanya kecenderungan beberapa

Negara untuk membentuk lembaga-lembaga Negara ekstra yang

dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-

lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang

harus diperbaiki. Contoh: Badan Regulasi Telekomunikasi, Badan

Regulasi Pengelola Jalan Tol, dan sebagainya.

Page 223: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 213

Ketujuh, Kehadiran lembaga-lembaga nonstructural dalam

hal-hal tertentu juga karena adanya tekanan dari lembaga-lembaga

internasional untuk membentuk lembaga-lembaga itu sebagai

prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi. Contoh: Badan

Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999),

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (UU No. 5/19999), Komite

Privatisasi (UU No. 19/2003), Dewan Sumber Air (UU No.

7/2004), dan lain-lain.

C. Konsolidasi dan Penataan

Dalam konteks ini, kehadiran lembaga-lembaga

nonstruktural pada satu sisi mencerminkan pola difusi kekuasaan

yang semakin tersebar diantara 3 arena yaitu negara (political

body), masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market). Akan

tetapi ada juga ―kesulitan yang dihadapi‖, seperti intervensi check

and balances antarcabang kekuasaan negara, kelembagaan dan

penganggaran yang semakin besar, dan tentangan reformasi

birokrasi yang mendasarkan dalil ―miskin struktur tetapi kaya

fungsi.‖ Di dalam praktik, dalil-dalil itu menimbulkan masalah,

antara lain sebagai berikut:

a. Dalam hal tertentu, bertebarannya lembaga Negara

nonstructural tidak dibentuk berdasarkan desain konstitusional

yang dapat menjadi paying hokum keberadaannya, tetapi

berdasarkan isu-isu parsial, incidental, dan sebagai jawaban

khusus terhadap persoalan yang dihadapi;548

b. Akibat dari hal (1) di atas, legitimasi yuridis keberadaan

lembaga nonstructural, antara lain berbagai komisi yang ada,

548 Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Mahfud M.D., yang

mengatakan bahwa banyak lembaga nonstructural justru banyak menghambat

kerja pemerintahan. Selain tumpang tindih dan berbenturan, ada pemborosan

anggaran karena pekerjaannya yang ganda. Pembuatan lembaga dilakukan tanpa

analisis yang dalam, cenderung reaksioner terhadap permasalahan yang dating

dari hari ke hari. Hal semacam ini berujung pada pemborosan dan kegiatan yang

tidak tepat sasaran. Lihat: Kompas, Selasa, 19 Juli 2011, hlm. 15.

Page 224: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

214 | Hukum Kelembagaan Negara

sangat lemah sehingga akan mudah terkendala dalam

menjalankan kewenangannya;

c. Dalam hal tertentu, karena pertimbangan kebijakan yang

incidental dan instant, lembaga nonstructural berjalan secara

sendiri-sendiri tanpa tersedia sistematisasi kerja sinergis yang

bisa saling mendukung satu sama lain, sehingga hasil kerja

komisi sering kali tidak termanfaatkan dengan baik oleh komisi

lainnya; dan

d. Sejauh ini, efektivitas keberadaan sejumlah lembaga Negara

nonstruktural dalam struktur ketatanegaraan masih belum

tampak sesuai dengan tujuan mulia pembentukan lembaga yang

ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.

Sebagian kalangan masyarakat menilai lahirnya Lembaga

Negara Nonstruktural yang sebagian besar berfungsi sebagai

pengawas kinerja lembaga negara merupakan bentuk

ketidakpercayaan terhadap lembaga pengawas yang telah ada,

khususnya terhadap institusi penegak hukum. Selain itu,

pembentukan Lembaga Negara Nonstruktural ini didorong oleh

kenyataan bahwa birokrasi pemerintahan tidak lagi dapat

memenuhi tuntutan kebutuhan publik akan pelayanan umum

dengan standar mutu yang semakin meningkat, efektif, dan efisien.

Ni‘matul Huda mengemukakan pendapat bahwa:549

Ketidakpercayaan ini bukan saja dimonopoli oleh publik

secara umum, tetapi juga oleh para elit tingkat atas yang

berada dalam lembaga-lembaga negara yang tersedia.

Ketidakpercayaan yang ada, bisa diperkirakan berangkat

dari kegagalan lembaga-lembaga negara yang ada dalam

menjalankan fungsi-fungsi dasarnya atau sebagai akibat

dari meluasnya penyimpangan fungsi lembaga-lembaga

yang ada selama kurun waktu 32 tahun Orde Baru.

549 Ni‘matul Huda. 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi

Demokrasi. Yogyakarta: UII Press, hlm. 197.

Page 225: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 215

Cornalis Lay sebagaimana dikutip oleh Ni‘matul Huda,

menambahkan, bahwa:550

Di tingkat masyarakat umum, performance masa lalu yang

buruk ini menjadi dasar bagi penolakan luas atas lembaga-

lembaga negara yang ada. Sementara di tingkat elit,

kegagalan atau penyimpangan fungsi lembaga-lembaga

negara di masa lalu telah melahirkan kehendak yang kuat

untuk menyebarkan kekuasaan lembaga-lembaga nyang

ada baik secara horizontal lewat pencipataan lembaga-

lembaga negara sampiran negara maupun secara vertikal

melalui desentralisasi.

Kelahiran Lembaga Negara Nonstruktural ini juga

merupakan refleksi kemenanangan kekuatan non negara dalam

mempenetrasi wilayah dominasi negara yang beberapa tahun

terakhir mengalami pembelengguan. Jika pada awalnya kekuatan

non negara terbatas pada perebutan ruang bagi diri sendiri yang

telah dipilah secara ketat, dalam perkembangan selanjutnya

setelah reformasi, telah memperluas hasratnya untuk menjangkau

kontrol atas ranah negara. Dengan logika seperti ini, aktor non

negara yang berwujud state auxliary organs dapat mengkonversi

diri secara cepat sebagai aktor yang dapat bertindak atas nama

dan untuk kepentingan publik yang selama ini dimonopoli oleh

negara.

Lebih lanjut, kemunculan state auxiliary organs juga

merupakan jawaban atas kebuntuan teori trias politica Baron de

Montesquie yang mengidealkan cabang kekuasaan negara dibagi

atas tiga kekuasaan yang saling terpisah secara murni, yaitu

kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif ternyata tidak dapat

bekerja secara maksimal ketika dihadapkan perkembangan

masyarakat yang sangat dinamis yang menghendaki struktur

organisasi negara yang lebih responsif dengan tuntutan mereka

550 Ibid., hlm. 198.

Page 226: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

216 | Hukum Kelembagaan Negara

serta lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik

dan mencapai tujuan pemerintahan.

Menurut pengamatan saya, pada aspek tertentu efektivitas

keberadaan sejumlah lembaga Negara nonstruktural dalam

struktur ketatanegaraan masih belum tampak. Saya menunjuk 3

(tiga) hal sebagai berikut:551

a. Pembentukan lembaga Negara nonstructural perlu diragukan

apakah memang merupakan jawaban yang tepat dan sebagai

respons yang harus dilakukan sesuai dengan tantangan yang

dihadapi. Pembentukan Komisi Hukum Nasional (Keputusan

Presiden Nomor 15/2000) di mana fungsi lembaga ini: (a)

memberikan pendapat atas permintaan Presiden tentang

berbagai kebijakan hokum atau yang direncanakan oleh

pemerintahan dan tentang masalah-masalah hokum yang

berkaitan dengan kepentingan umum dan kepentingan nasional;

dan (b) membantu Presiden dengan bertindak sebagai panitia

pengarah dalam mendesain suatu rencana umum untuk

pembaruan di bidang hokum. Fungsi ini berpotensi berbenturan

dengan: (1) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas), lembaga nondepartemen dirangkap oleh menteri

Negara (UU No. 25/2004; Perpres No. 11/2005); (2) Badan

Pembinaan Hukum Nasional/BPHN (eselon satu di bawah

Departemen Hukum dan HAM); (3) Sekretariat Negara

(menteri Negara), dan (4) Jaksa Agung sebagai jaksa pengacara

Negara (UU No. 16/2004, setingkat menteri Negara).

Kemudian untuk pengembangan wilayah, selain Kementerian

Dalam Negeri, juga ada Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Badan

Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu, dan lebih dari 10

badan pengembangan wilayah khusus.

551 Isharyanto, ―Kebutuhan Konsolidasi dan Penataan Lembaga-Lembaga

Non Struktural‖, dalam Dadan Wildan (Editor), op.cit., hlm. 259-286.

Page 227: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 217

b. Pembentukan lembaga Negara nonstructural yang berfungsi

sebagai penasehat menunjukkan inefisiensi dalam pola

kelembagaan Negara. Saya menunjuk contoh antara lain: (1)

Keberadaan lembaga-lembaga dan dewan-dewan penasehat

presiden untuk urusan-urusan tertentu dan beberapa

diantaranya diketuai presiden langsung. Misalnya: Komisi

Kepolisian (UU No. 2/2002), Dewan Pertanahan Nasional (UU

No. 3/2002), Dewan Antariksa Nasional, staf khusus presiden

dan staf khusus wakil presiden, dan sebagainya. Lembaga ini

berpotensi berbenturan dengan Dewan Penasehat Presiden

(Pasal 16 UUD 1945, UU No. 19/2006); dan (2) Keberadaan

dewan-dewan sebagai penasehat terhadap menteri, contoh:

Dewan Perbukuan Nasional (Depdiknas), Dewan Riset

Nasional (Menristek), Dewan Pengupahan (Mennakertrans),

dan sebagainya. Dijumpai juga fakta bahwa kadang-kadang ada

yang dibentuk oleh menteri terdahulu, tidak dibubarkan oleh

menteri baru, tetapi fungsinya tidak berjalan sama sekali

sampai sesudah beberapa periode;

c. Adanya fungsi lembaga Negara yang kegiatannya nyaris sulit

dibedakan satu sama lain. Saya menunjuk contoh amtara lain:

(1) Kegiatan kursus kepemimpinan Lembaga Ketahanan

Nasional (Lemhanas), apakah tidak mungkin diintegrasikan

dengan system pendidikan dan pelatihan oleh Lembaga

Administrasi Negara (LAN); (2) Apakah sebagian fungsi

Lemhanas tidak dapat digabung dengan Dewan Pertahanan

Nasional yang langsung dipimpin oleh Presiden; (3) Apakah

BPPT tidak lebih baik digabung dengan Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Akademi Ilmu Pengetahuan

Indonesia; (4) Fungsi Badan Kepegawaian Negara (BKN),

Komisi Kepegawaian Negara (KPN), dan Menteri Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara, apakah tidak sebaiknya

digabung saja?; dan (4) Pola pembinaan yang dilakukan oleh

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi/BAPPETI

(UU No. 32/1997) dengan Badan Pengawas Pasar

Page 228: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

218 | Hukum Kelembagaan Negara

Modal/BAPPEPAM (UU 15/1995) mirip dan sama, mengapa

untuk bursa komoditi dan bursa saham harus tunduk kepada

rezim administrasi yang berbeda; dan

d. Adanya fungsi lembaga Negara nonstructural yang derajat

pengaturannya menggunakan logika terbalik. Penulis menunjuk

misalnya Komnas HAM yang mempunyai constitutional

importance absent dari UUD 1945, Komisi Yudisial yang

lazimnya tidak diatur konstitusi, justru menjadi norma dalam

konstitusi, dan sebagainya.

Ada juga pemasalahan bahwa adanya kelembagaan baru

yang dimaksudkan untuk efektivitas penanganan suatu masalah,

akan tetapi karena fungsi yang sama tetap diberikan kepada

lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya, menyebabkan

inefisiensi anggaran dan program kerja yang tidak terlaksana

dengan baik. Contohnya adalah kasus Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dibentuk berdasarkan UU

No. 24 Tahun 2007.

Keberadaan BNPB bukannya semakin mempermudah

penaggulangan bencana, tetapi semakin meperumit. Sebab selain

semakin sulitnya koordinasi antaralembaga, hal itu membuat

anggaran bencana semakin terfragmentasi ke banyak badan dan

lembaga. Semakin banyak badan dan lembaga akan semakin

banyak anggaran yang terbuang percuma karena belanja untuk

memenuhi kebutuhan aparatur (gaji, tunjangan dan honorarium

pegawai, pemenuhan kebutuhan kantor, kendaraan dinas) akan

semakin membengkak. Akan tetapi, dari total anggaran yang

terdapat di 8 badan dan lembaga yang terlibat penanganan bencana

anggaran untuk kebutuhan langsung penanganan bencana akan

mengecil, hanya sebesar Rp 2,4 triliun.552

552 Yenny Sucipto, ―Sadar (Anggaran) Bencana‖, Kompas, 15 November

2010, hlm. 6.

Page 229: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 219

Untuk pengendalian bencana berupa pengembangan sistem

peringatan dini tsunami, cuaca, dan iklim hanya dianggarkan Rp

137,85 miliar (Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika),

Pengembangan sistem manajemen dan penetapan rawan bencana

baik darat maupun laut Rp 42,27 miliar (BNPB dan Bakorsutanal).

Adapun untuk pelaksanaan tanggap darurat sebesar Rp 666,12

miliar (Mabes TNI, Kementerian PU, Kementerian Sosial, BNPB,

dan Basarnas). Untuk pengendalian Lahar Gunung Berapi Rp 6,89

miliar serta pengendalian bencana banjir Rp 1,5 triliun.553

Data lain menunjukkan, pembentukan Lembaga Negara

Nonstruktural memerlukan pembiayaan keuangan negara yang

besar, misalnya, Dewan Pertimbangan Presiden (dibentuk menurut

UU No. 19/2006) dibiayai Rp 48,8 miliar, kemudian Tim Nasional

Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (Rp 14,7 miliar), Satuan

Tugas Reformasi Birokrasi (Rp 1,1 miliar), Unit Kerja Presiden

untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (Rp 479,6

miliar)554

, serta Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Rp

10,8 miliar).555

Setiap tahun anggaran negara untuk Lembaga

Negara Nonstruktural selalu meningkat. Pada tahun 2008, Rp 2,81

triliun dan tahun 2009 sebesar menjadi Rp 3,42 triliun. Untuk

tahun 2010 menjadi Rp 14,9 triliun untuk 85 lembaga.

553 Ibid.

554 Lembaga ini, yang popular disingkat UKP4, untuk pertama kalinya

dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dipimpin oleh Dr.Ir.

Kuntoro Mangkusubroto. Lembaga ini, mengingat fungsinya, ditetapkan sebagai

bagian dari Kabinet dan pelantikan ketuanya bersamaan dengan pelantikan

menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu II. Di samping UKP4, Presiden juga

menempatkan Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) dan

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dengan kedudukan setingkat menteri dan

dilantik bersamaan dengan pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu

II. Jaksa Agung Hendarman Supandji (dilantik sejak Mei 2007) pada waktu

bersamaan tetap menduduki jabatannya dan ditafsirkan sebagai anggota kabinet.

Setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung harus diangkat dan

diberhentikan bersama-sama dengan anggota kabinet lainnya.

555 Kompas, Selasa, 19 Juli 2011, hlm. 15.

Page 230: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

220 | Hukum Kelembagaan Negara

Dalam pengamatan dan kajian Kementerian Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, ditemukan adanya 11

Lembaga Negara Nonstruktural yang benar-benar tidak berfungsi.

Dari jumlah tersebut, 4 lembaga akan dihapus karena tidak ada

kantor, personel, anggaran, dan kegiatan. Keempat lembaga

tersebut adalah Komite Antardepartemen Bidang Kehutanan,

Dewan Buku Nasional, Badan Kebijakan dan Pengendalian

Perumahan dan Permukiman Nasional, serta Lembaga Koordinasi

dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang

Cacat. Kemudian sebanyak 7 lembaga akan dialihkan fungsinya ke

kementerian guna menghindari tumpang tindih fungsi.556

Ditambahkan dari hasil pengamatan dan kajian tersebut, bahwa

sepanjang tahun 2010, kesebelas lembaga itu mendapatkan alokasi

anggaran sebesar Rp 2,057 triliun. Bahkan pejabatnya minta

fasilitas jabatan setingkat eselon I, seperti direktur jenderal, yaitu

meminta mobil setara Toyota Camry, fasilitas kantor, dan staf

ahli.557

Saya mendukung penataan kembali terhadap lembaga-

lembaga nonstructural dan oleh karena itu saya memberikan saran

dan rekomendasi yang bersifat makro meliputi 3 hal sebagai

berikut:558

1. Penataan kembali di sini hendaknya dipahami sebagai upaya

untuk melakukan reposisi, revitalisasi, dan redefinisi norma

dan struktur kelembagaan Negara dalam system ketatanegaraan

dengan tujuan utama untuk menciptakan instansi kenegaraan

yang koheren dan sinergik;

2. Prakarasa untuk reformasi ke arah penataan dan konsolidasi

kelembagaan itu harus dating dari presiden sendiri dengan

556 Kompas, 20 Juli 2011.

557 Ibid.

558 Isharyanto, op.cit.

Page 231: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 221

kepiawaiannya menggerakkan roda penataan itu secara luas,

menyeluruh, dan mendasar; dan

3. Perumusan kebijakan mengenai soal ini harus bersifat

partisipatoris dengan melibatkan semua institute dan

stakeholders yang terkait.

Setelah dievaluasi secara seksama, apabila ditemuka adanya

lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang bersifat tumpang

tindih dalam norma dan praktik kerjanya di lapangan. Untuk itu,

ada baiknya keberadaan lembaga-lembaga negara dan

pemerintahan yang saling bertumpang tindih itu ditangani dengan

pelbagai pilihan kebijakan sebagai berikut:

a. Pembubaran lembaga yang bersangkutan secara tegas;

b. Penetapan bidang-bidang koordinasi lembaga-lembaga

dimaksud dengan kementerian Negara yang sudah ada

berdasarkan prnsip bahwa tugas-tugas pemerintahan harus

dipandang telah terbagi habis dalam pembidangan kabinet

pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden, baik sebagai

Kepala Pemerintahan ataupun Kepala Negara;

c. Penggabungan fungsi ke unit kerja kementerian Negara yang

ada sesuai dengan prinsip pembagian habis tugas-tugas

pemerintahan sebagaimana dimaksud di atas;

d. Penggabungan dengan lembaga lain yang sejenis;

e. Penggabungan dengan lembaga lain dengan peningkatan

fungsinya sesuai dengan kebutuhan;

f. Penguatan dan peningkatan fungsi dan kewenangan lembaga-

lembaga yang dipandang kurang berguna, atau tidak sebanding

dengan energi sosial, ekonomi, dan politik yang diserapnya

dengan produk pelayanan yang dapat dihasilkan untuk

kepentingan Negara dan rakyat; atau

g. Jika ada ide-ide kelembagaan baru, dapat ditambahkan

fungsinya ke dalam struktur dan fungsi kementerian negara

atau lembaga lain yang sudah ada.

Page 232: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

222 | Hukum Kelembagaan Negara

Jika keberadaan suatu Lembaga Nonstruktural diperlukan

dengan pertimbangan efisiensi pelayanan, independensi dan

mencegah intervensi politik, dan prinsip pembagian habis

kekuasaan negara, maka untuk menghindarkan saling tumpang

tindih tugas pokok dan fungsinya, maka dapat dipertimbangkan

pilihan-pilihan kebijakan sebagai berikut:

a. Sekretariatnya digabungkan;

b. Satuan kerja anggarannya disatukan;

c. Lembaganya dibangun dengan sub-sub, seperti komisi dengan

subkomisi;

d. Digabung dengan tugas pokok dan fungsi yang baru baru;

e. Digabung ke dalam tugas pokok dan fungsi lembaga lain; atau

f. Mengakhiri tugas dan fungsinya sama sekali atau dibubarkan.

Page 233: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 223

BAB VII BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

A. Determinasi Lembaga Audit

Keberadaan suatu badan yang memeriksa keuangan negara

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mekanisme check

and balances. Dalam praktik di banyak negara, lembaga semacam

ini dipandang sebagai lembaga penunjang (auxiliary state bodies),

terhadap lembaga legislatif, dan menjadi bagian dari akuntabilitas

badan perwakilan itu sendiri. Penataan kelembagaan dapat melalui

desain konstitusi maupun Undang-Undang yang khusus untuk

itu.559

Persoalan-persoalan yang sering muncul dengan lembaga

pemeriksa keuangan negara adalah: (i) bagaimanakah peran

lembaga dalam mengatasi krisis ekonomi?; (ii) bagaimanakah

fasilitasi lembaga dalam meningkatkan kemampuan fiskal

pemerintah dan mencegah korupsi?; dan (iii) bagaimanakah daya

lembaga itu untuk terus menerus mempertajam kemampuan dan

meningkatkan keterampilannya?560

559 Carlos Santiso, ―Eyes wide shut? The Politics of Autonomous Audit

Agencies in Emerging Economies‖, CIPPEC, 2007, hlm. 3.

560 Ibid.

Page 234: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

224 | Hukum Kelembagaan Negara

Berdasarkan pengalaman di kawasan Amerika Latin,

reformasi pengelolaan keuangan negara pertama kali terjadi pada

decade 1920-an dan terjadi di Amerika Serikat (1889), Meksiko

(1917), Kolumbia (1923), Chile (1925), Equador (1925), Bolivia

(1927), dan Peru (1930). Reformasi ini berhasil melahirkan

rasionalisasi pengelolaan anggaran negara dan memperbaiki relasi

eksekutif dan legislatif. Pada kurun waktu itu pula sejumlah

negara mulai merancang kelembagaan pemeriksa keuangan yang

independen seperti di Kolumbia (1923), Chile (1927), Ekuador

(1927), Bolivia (1928), dan Peru (1930). Gelombang reformasi

pengelolaan keuangan negara berikutnya terjadi di decade 1960-an

yang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan kemudian diikuti oleh

negara di Amerika Latin yang sedang dalam cengkeraman rezim

militer. Hasilnya adalah modernisasi pengelolaan anggaran negara

di Brazil (1962), Uruguay (1964), Chile (1975), dan Meksiko

(1976). Gelombang pembaruan berikutnya dimulai pada decade

1980-an ketika mulai diintroduksi ―Washington Concensus‖ yang

menjadi resep International Monetery Fund ketika mengatasi

krisis di negara-negara Amerika Latin. Akibat keadaan ini,

kelembagaan pemeriksa keuangan diperbaiki seperti di Argentina

(1992), Meksiko (2000), Nikaragua (2000), dan Honduras

(2002).561

Dalam kajian The International Organization of Audit

Institute, keberadaan suatu lembaga pemeriksa keuangan negara

penting untuk mengendalikan pengelolaan keuangan negara dan

mencegah korupsi di sektor publik. Lembaga ini merupakan aktor

utama dalam pengelolaan anggaran negara dan sistem pengawasan

keuangan, sekaligus juga ―providing much-needed checks and

balances in the management of public finances.‖562

Lembaga pemeriksa keuangan negara, menurut Dye dan

Stapenhurst, merupakan ―pillars of integrity‖, yang berperan

561 Carlos Santiso, op.cit.

562 Ibid.

Page 235: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 225

sebagai ―agencies of government restraint within the state.‖563

Diuraikan lebih lanjut, bahwa fungsi lembaga ini ―to review the

robustness and effectiveness of financial management, government

accounts and control systems and, therefore, contributing to

strengthening those. They help to improve transparency and

accountability in the budget process, traditionally dominated by

the executive branch.‖564

Sebagai suatu lembaga pengawas, badan

ini ―participate in the cycle of legislative accountability, assisting

the legislature in holding government to account for the manner in

which it manages public finances.‖565

Kemudian, badan ini juga

―not limited to protecting the financial positions of public finance,

a more recent and an increasingly decisive task, also from the

point of view of fighting corruption, it is also to investigate the

effectiveness and expediency of the services provided from public

finance resources in a broader sense, by taking into account the

social and public finance interests on a longer run and not only by

taking into account vulgar economic efficiency calculations.‖566

Sebuah lembaga pemeriksa keuangan negara sebagai

lembaga audit tertinggi, lazim ditetapkan di sebuah negara

demokratis. Sebuah asosiasi seperti Uni Eropa pun memiliki juga

lembaga jenis ini, yang disebut sebagai European Court of

Auditors. Fungsi lembaga ini dalam suatu negara lebih luas dan

lebih besar jangkauannya dibandingkan sekedar profesi pengawas

keuangan. Independensi dan kemampuannya berhubungan dengan

Parlemen merupakan kunci bertahannya lembaga ini dalam suatur

563 K. Dye dan R. Stapenhurst, 1998, Pillars of Integrity: The

Importance of Supreme Audit Institutions in Curbing Corruption, Washington,

DC: WBI, hlm. 6.

564 Ibid., hlm. 7.

565 Ibid.

566 Arpad Kovacs, ―Financial (State) Audit and The Fights Againts the

Corruption‖, Periodica Polytechnicha Series Social Scienece, Vol. 11, NO. 2,

2003, hlm. 137.

Page 236: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

226 | Hukum Kelembagaan Negara

rezim pemerintahan demokratis. Bahkan di negara dengan

konfigurasi nondemokratis pun, lembaga ini diadakan. Sebagai

contoh adalah The Hungarian State Audit, yang didirikan

semenjak tahun 1870 dan selama rezim komunis berkuasa (1949-

1990) tidak diakui fungsinya. Sejak 1989, bersamaan dengan

pendirian Mahkamah Konstitusi, lembaga ini diadakan kembali

sebagai salah satu penjaga era perubahan sistem ekonomi dan

politik.

Disebabkan independensinya, maka lembaga ini memiliki

kapasitas imparsial yang serupa dengan lembaga yudisial. Oleh

sebab itu di Prancis dan juga beberapa negara Afrika bekas

jajahannya, mengadopsinya dengan nama Court of Account

(Cours de Comptes), sebagai bagian khusus dari Mahkamah

Agung (Supreme Court) atau badan peradilan yang menangani

masalah ―the legality and regularity of the transactions and

accounts of individual public accountants and reports to

Parliament on the overall State Account.‖567

Di negara sub Sahara

Afrika, terutama yang menggunakan Bahasa Prancis, istilah yang

digunakan untuk lembaga pengawas keuangan adalah General

State Inspectorat (Inspection générale d‘Etat).568

Meskipun demikian, seperti dipaparkan oleh Carlos Santiso,

masih sedikit perhatian dan pengetahuan terhadap badan

pemeriksa ini sehubungan dengan ―their impact and what

determines their effectiveness‖ karena ―they are often weak

institutions failing to fulfill their prescribed role.‖569

Reformasi

lembaga pemeriksa keuangan umumnya terjadi di negara yang

sedang berkembang.570

Motivasi yang umum untuk reformasi

567 Ibid.

568 Ibid., hlm. 138.

569 Carlos Santiso, op.cit., hlm. 4.

570 Lihat analisis lengkap dalam: B. Dorotinsky dan R. Floyd, ―Public

Expenditure Accountability in Africa: Progress, Lessons and Challenges,‖ dalam

Page 237: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 227

kelembagaan pengawasan keuangan negara adalah dalam rangka

―improving economic governance, fostering fiscal responsibility

and combating corruption necessarily‖,571

sehingga untuk

keperluan ini ―require strengthening the institutions of

accountability and oversight in government finances and the

budget process.‖572

B. Model-Model Kelembagaan Pemeriksa Keuangan

Di negara-negara sub Sahara Afrika yang berbahasa

Prancis, seperti Burundi, Burkina Faso, Kamerun, Kongo,

Madagarkar, Mali, Nigeria, Senegal, dan Togo, dikenal 2

kelembagaan terkait dengan pemeriksaan keuangan negara, yaitu

the Court of Account dan the General State Inspektorat. Lembaga

the Court of Account dapat merupakan divisi khusus dari

Mahkamah Agung atau merupakan badan peradilan khusus dalam

sistem yudisial negara yang bersangkutan. Para penuntut dan

hakim di the Court of Account dipimpin oleh seorang Ketua, yang

dicalonkan oleh Presiden. Peradilan ini, yang juga didukung oleh

sejumlah staf, berwenang untuk memutus perkara legalitas dan

pengaturan transaksi rekening para individu akuntan public serta

melaporkannya kepada Parlemen sebagai bagian dari keseluruhan

anggaran negara. Parlemen kemudian menyetujui hasil

pemeriksaan pengadilan. Para aparatnya secara tradisional disukai

yang berlatar belakang sarjana hukum dibandingkan akuntan atau

auditor, sekalipun di sejumlah negara cakupan kompetensi itu

dapat diperluas. Di sejumlah negara, the Court of Account juga

B. Levy dan S. Kpundeh, eds., 2004, Building State Capacity in Africa: New

Approaches, Emerging Lessons, Washington, DC: WBI, hlm.179-210.

571 G. O‘Donnell, ―Horizontal Accountability: The Legal

Institutionalization of Mistrust‖, dalam S. Mainwaring dan C. Welna,eds, 2003,

Democratic Accountability in Latin America, Oxford: Oxford University Press,

hlm. 34.

572 Ibid., hlm. 35.

Page 238: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

228 | Hukum Kelembagaan Negara

berperan dalam rangka memberikan bahan-bahan untuk

penyampaian rancangan anggaran negara dalam tahun yang

berjalan dari Pemerintah kepada Parlemen. Bahan-bahan itu

mencakup suatu komenter (opinion) atas pengelolaan akuntan

public dan kesesuaian terhadap aturan-aturan administrasi yang

berlaku. Hal ini dilaksanakan di the Court of Account Republik

Demokratik Kongo. Lembaga sejenis di Burkina Faso,

menyampaiakan laporan yang ditujukan kepada Presiden. Laporan

ini berisi paparan rinci mengenai kegiatan lembaga dalam tahun

berjalan, temuan-temuan umum, maupun kegiatan pelatihan yang

telah dilakukan, serta suatu paparan singkat (summary) untuk

Parlemen mengenai kesesuaian ketentuan tata usaha keuangan

dengan pengelolaan anggaran negara.

Ada kalanya the Court of Account dipisahkan dengan the

Court of Budgetary Dicipline, seperti di negara Kamerun.

Lembaga the Comission of Budgetary and Financial Disipline

terdiri dari 5 anggota yang dipimpin oleh the General State

Inspectorate. Akan tetapi ada juga negara yang menyatukan antara

the Court of Account dipisahkan dengan the Court of Budgetary

Dicipline seperti di Prancis dan Republik Demokratik Kongo.

Badan peradilan dapat dianggap independen lazimnya

kekuasaan yudisial, akan tetapi rekrutmen keanggotaannya

diajukan oleh Presiden atau Kabinet, dan hasil kerjanya tidak

secara langsung berpengaruh kepada Parlemen. Lembaga ini

mempunyai 2 laporan tahunan. Laporan pertama ditujukan kepada

parlemen dan berisi hasil pemeriksaan mengenai anggaran negara.

Sementara itu, laporan kedua diajukan kepada Presiden dan

memungkinkan untuk diakses oleh publik.

Pada negara-negara di kawasan Sub Sahara Afrika tersebut,

ada kecenderungan akhir-akhir ini untuk mengubah format

lembaga dari bagian Mahkamah Agung menjadi peradilan terpisah

yang mempunyai wewenang mandiri. Sekalipun ada perubahan

mengenai wewenang Presiden dan Perdana Menteri untuk

melakukan rekrutmen keanggotaan dan adanya sumber daya yang

Page 239: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 229

lebih besar untuk menjalin interaksi dengan parlemen,

independensi dari badan ini tetap belum terumuskan dengan jelas.

Kemudian, the Generale State Inspektorate mengajukan

hasil pelaksanaan tugasnya kepada Presiden atau Perdana Menteri,

dan kadang-kadang juga kepada Parlemen. Lembaga ini

mempunyai indepensi yang tinggi terhadap kekuasaan birokrasi,

dan memiliki akses yang luas terhadap semua organisasi sektor

public, termasuk kepada para pegawai dan arsip-arsip mereka.

Pada umumnya, lembaga ini menentukan sendiri program

organisasi secara tahunan. Aparaturnya umumnya mempunyai

keahlian di bidang manajemen keuangan publik berdasarkan

pendidikan tingkat perguruan tinggi. Jika ada temuan

penyimpangan, lembaga ini mengajukan hasil pemeriksaan kepada

menteri terkait atau lembaga pemerintah lainnya, termasuk

mengajukan saran-saran tindakan yang diperlukan.

Dengan demikian, lembaga ini mempunyai derajat

independensi yang tinggi terhadap Presiden, termasuk kepada

kabinet, departemen, dan lembaga-lembaga keuangan yang

menjadi obyek pemeriksaannya. Jika lembaga ini didukung oleh

Presiden yang kuat, ia akan menjadi independen berhadapan

dengan lembaga-lembaga yang diperiksanya. Independensi ini

lebih jelas dibandingkan dengan the Court of Account yang mana

anggarannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah

memperoleh persetujuan dari Parlemen. Pada praktik akhir-akhir

ini, badan pemeriksa ini menyusun laporan tahunan yang dapat

diakses oleh publik.

Ada kecenderungan bahwa fungsi the General State

Inspectorate melengkapi fungsi the Court of Account. Di Prancis,

fungsi dari the Court of Account semakin diperluas, sementara di

sejumlah negara di Afrika bekas jajahan Prancis, the Great State

Inspectorate memperoleh tambahan wewenang yang mencakup

fungsi peradilan. Negara seperti Burkinoi Faso melekati fungsi the

General State Inspectorate dengan fungsi pencegahan korupsi.

Page 240: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

230 | Hukum Kelembagaan Negara

Di kawasan Amerika Latin terdapat model kelembagaan

yang berbeda, misalnya seperti di Argentina, Brazil, dan Chile.

The Argentine National Audit Office (Auditoria General de la

Nación, AGN) di Argentina merupakan bagian dari Parlemen yang

sistem pengambilan keputusannya bersifat kolegial. Di Brazil,

lembaga The Brazilian Federal Tribunal of Accounts (Tribunal de

Contas da União, TCU) merupakan lembaga quasi judicial, yang

struktur dan mekanisme pengambilan keputusannya seperti

lembaga pengadilan. Kemudian, The Chilean Office of the

Comptroller General (Contraloría General de la República, CGR)

merupakan lembaga negara independen dan bersifat khusus

dengan wewenang dan kekuasaan yang lebih luas.

Sarjana seperti Allen and Tommasi573

merumuskan adanya

3 model kelembagaan lembaga pemeriksa keuangan yaitu model

monokratik (monocratic model), model peradilan (court model),

dan model dewan atau kollegial (board or collegial model).

Berikut ini dibahas secara ringkas penjelasan atas masing-masing

model tersebut.

Pertama, model monokratik (monocratic model).

Kelembagaan pemeriksaan keuangan negara pada model ini

dijalankan oleh satu organ auditor tunggal yang bersifat

independen dan menjadi alat kelengkapan Parlemen. Fokus

wewenang lembaga ini adalah audit represif, dibandingkan

pemeriksaan yang bersifat preventif. Cakupan pemeriksaan

meliputi keuangan dan kinerja lembaga-lembaga yang dapat

dikontrol. Hasil pemeriksaan ditujukan kepada tindakan korektif

daripada penetapan suatu sanksi. Model kelembagaan ini

dilaksanakan di negara Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada,

serta beberapa negara di kawasan Amerika Latin seperti Chile,

Kolumbia, Meksiko, dan Peru.

573 R. Allen dan D. Tommasi, eds. , 2001, Managing Public

Expenditure, Paris: OECD, hlm. 45-46.

Page 241: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 231

Kedua, model peradilan (court model). Pemeriksaan

keuangan negara dilakukan oleh sebuah badan yang bersifat

kollegial dan berfungsi sebagai peradilan yang menyerupai

peradilan tata usaha negara. Dengan konfigurasi kelembagaan ini,

maka ―the institution is an integral part of the judiciary, makes

legal judgments on compliance with laws and regulations, and

exercises a budget control function to assure that public funds are

well spent‘ and for the purpose intended.‖574

Sasaran pemeriksaan

dari aspek hukum mengenai kepatuhan pengelolaan keuangan

negara. Dibandingkan dengan model monokratik, relasi dengan

Parlemen pada kelembagaan ini relatif lemah. Demikian juga

dengan kekuasaan kehakiman karena posisi yang ambigu ini.

Sebagai akibatnya, ―there is often uncertainty as to who is the

agency‘s principal.‖575

Kelembagaan model ini dipraktikkan di

Prancis, Italia, dan Spanyol serta beberapa negara di kawasan

Amerika Latin seperti Brazil dan Elsavador. Demikian juga

dengan negara sub Sahara Afrika yang berbahasa Prancis, seperti

Burundi, Burkina Faso, Kamerun, Kongo, Madagarkar, Mali,

Nigeria, Senegal, dan Togo, seperti diuraikan dalam paragraf di

muka.

Ketiga, model dewan (board model). Model ini merupakan

model di mana kelembagaan pemeriksaan keuangan negara

dilaksanakan oleh sebuah dewan yang bersifat kolegial akan tetapi

tidak mempunyai wewenang sebagai suatu badan quasi peradilan.

Cakupan pemeriksaan adalah pengelolaan keuangan negara yang

dilakukan oleh pemerintah dan umumnya hasil pemeriksaan itu

diajukan sebagai pertimbangan kepada Parlemen. Negara Jerman,

Belanda, Swedia, Argentina, dan Nikaragua merupakan contoh

negara yang menerapkan model kelembagaan ini.

574 K. Dye dan R. Stapenhurst, op.cit., hlm. 86.

575 R. Stapenhurst dan J. Titsworth, 2001, Features and Functions of

Supreme Audit Institutions, Washington, DC: World Bank, hlm. 59.

Page 242: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

232 | Hukum Kelembagaan Negara

Jika diperiksa, maka model-model kelembagaan badan

pemeriksa keuangan negara tersebut hampir mempunyai

konstruksi yang seragam, antara lain independensi di hadapan

cabang kekuasaan eksekutif (kecuali yang dipraktikkan di Bolivia)

dan keragaman tingkat relasi dengan Parlemen. Kecuali itu, semua

kelembagaan itu mempunyai sifat sebagai pemeriksa keuangan

negara yang bersifat eksternal.

C. Mekanisme Pemeriksaan Keuangan Negara

Masing-masing negara mempunyai keragaman dalam

menentukan pemeriksaan keuangan negara dan hal ini merupakan

salah fenomena yang berkembang dari waktu ke waktu. Pada

hakekatnya, mekanisme pemeriksaan keuangan negara ditentukan

oleh 4 faktor utama yaitu tipe audit, jangka waktu, daya jangkau,

dan tindaklanjut hasil pemeriksaan.

a. Faktor Tipe Audit

Pemeriksaan keuangan negara dapat berlangsung dalam

sifat preventif, kuratif, maupun punitif.576

Fungsi utama dari setiap

tindakan pemeriksaan adalah untuk memastikan derajat kepatuhan

hukum terhadap pengelolaan dan perhitungan keuangan negara. 577

Pemeriksaan keuangan digunakan untuk memastikan realisasi dan

legalitas keuangan negara. Sementara itu, audit kepatuhan

(compliance audit) dilaksanakan untuk menentukan kepatuhan

terhadap hukum dan aturan-aturan pengelolaan keuangan negara.

Kepatuhan ini dinilai dalam rangka pelaksanaan ketentuan-

ketentuan selama proses penetapan anggaran negara, termasuk

konsistensi mandat Pemerintah sehubungan dengan kewenangan

dalam proses tersebut.

576 Barra, 2002, dalam Carlos Santino.

577 INTOSAI, Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts,

Section 4, 1, October 1977.

Page 243: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 233

Belakangan, audit juga bergerak ke arah audit kinerja

(performance audit) guna menentukan bahwa pengelolaan

keuangan negara mengarah kepada efektifitas, efisiensi, dan nilai

ekonomi dari pengeluaran pemerintah. Tipe audit ini untuk

mencari kesesuaian antara penggunaan keuangan negara terhadap

hasil-hasil yang berdampak publik atas pemanfaatan sumber daya

yang ada.

b. Faktor Waktu

Pemeriksaan keuangan dapat berlangsung sebelum (ex-ante)

atau sesudah (ex-post) pengelolaan keuangan. Jika pemeriksaan

dilakukan sebelum penerapan pengelolaan keuangan, maka

sasarannya adalah legalitas tindakan-tindakan administratif,

termasuk pencegahan terhadap diskresi pemerintah. Sebaliknya,

pemeriksaan ex post dilakukan setelah implementasi pengelolaan

keuangan negara. Kedua jenis pemeriksaan itu mempunyai

perbedaan sehubungan dengan tindak lanjut yang bersifat

preventif maupun kuratif. Sebagian sarjana mengatakan bahwa

pemeriksa yang dilakukan sebelum dilaksanakannya penerapan

anggaran negara menjamin akuntabilitas, sebaliknya, sebagian

sarjana yang lain menyebutkan bahwa akuntabilitas dapat dicapai

dengan pemeriksaan yang dilaksanakan sebelum, selama, dan

sesudah penerapan pengelolaan keuangan negara.578

Di kalangan auditor professional, mengenai waktu

pemeriksaan masih terus menerus menjadi kontroversi.

Pemeriksaan kinerja dapat dilangsungkan setelah penerapan

anggaran, akan tetapi untuk pemeriksaan kepatuhan dapat

578 Baca selengkapnya antara lain dalam: J. Elster, 1999, ―Accountability

in Athenian Politics‖, dalam A. Przeworski, S. Stokes, dan B. Manin eds., 1999,

Democracy, Accountability and Representation, Cambridge, Cambridge

University Press, hlm. 253-278; dan P. Schmitter, 1999, ‗The Limits of

Horizontal Accountability,‘ dalam A. Schedler et al., 1999, The Self-Restraining

State: Power and Accountability in New Democracies, Boulder: Lynne Rienner,

hlm. 59-62.

Page 244: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

234 | Hukum Kelembagaan Negara

berlangsung baik sebelum maupun sesudah penerapan anggaran.

Lain halnya dengan pemeriksaan secara internal, yang ditujukan

untuk pemeriksaan kinerja, maka pemeriksaan eksternal, termasuk

oleh badan pemeriksa independen, dilakukan sebelum penerapan

anggaran. Pemeriksaan kepatuhan yang dilaksanakan sebelum

penerapan anggaran negara, sering dikritik berhimpitan dengan

fungsi administrasi birokrasi, yang berpotensi untuk

mengamputansi kewenangan tersebut oleh badan pemeriksa. Hal

ini dapat mendorong badan pemeriksa menjadi ―tukang jagal‖

pada implementasi kebijakan public, yang mirip dengan mosi

tidak percaya dengan birokrasi. 579

Meskipun demikian, secara

umum disepakati bahwa wewenang badan pemeriksa independen

adalah setelah penerapan anggaran, yang mencakup pemeriksaan

kinerja dan pemeriksaan kepatuhan.

Adanya kontroversi itu disebabkan fungsi badan pemeriksa

independen, yang mencakup lingkup liberal dan lingkup

manajerial. Pada fungsi liberal, badan pemeriksa akan

mengendalikan wewenang eksekutif, yang tercermin dalam audit

kepatuhan pada sebelum penerapan anggaran. Sementara itu,

lingkup manajerial adalah mempertinggi kapasitas pengelolaan

sektor publik, yang dicapai dengan audit kinerja kinerja. Kendati

kedua lingkup ini bertalian secara erat, akan tetapi bagaimanakah

pelaksanaannya amat tergantung kepada pertumbuhan tahapan

sistem anggaran, kualitas birokrasi, dan ketersediaan aturan

hukum.580

579G. Tsebelis dan E. Chang (2004). ‗Veto Players and the Structure of

Budgets in Advanced Industrialized Countries,‘ European Journal of Political

Research, Vol. 3, 2004, hlm. 449-476.

580 B. Speck, ―The Federal Court of Audit in Brazil‖, paper presented at

the 9th International Anti-Corruption Conference, Durban, South Africa, 10-15

October 1999.

Page 245: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 235

c. Faktor Daya Jangkau

Dalam suatu laporan yang disusun oleh Sherman (2001),

dikatakan bahwa seluruh aspek keuangan yang menyangkut sektor

publik dapat menjadi jangkauan kekuasaan badan pemeriksa yang

independen. Oleh sebab itu, sasaran audit oleh badan independen

ini adalah: (i) lembaga-lembaga negara dan pemerintahan; (ii)

wewenang pemerintahan lokal; (iii) seluruh perusahaan negara;

(iv) proyek negara dan lembaga pemerintahan; dan (v) lembaga

dan badan yang memperoleh alokasi keuangan dari negara.

Keragaman hal yang terkait dengan sektor publik, termasuk

yang berurusan dengan keuangan negara secara teoritis

mempunyai cakupan yang beraneka ragam dan setiap negara tidak

sama. Cakupan itu meliputi pemerintah pusat termasuk

kementerian, departemen, dan Lembaga Negara Nonstruktural,

kemudian pemerintahan lokal (negara bagian, provinsi), dan badan

usaha yang dimiliki oleh negara. Di kebanyakan negara, lembaga

pemeriksa keuanga n negara hanya menangani kewenangan yang

berhubungan pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada

wewenang Supreme Audit Institution di Amerika Serikat, Inggris,

Nigeria, dan Ethiopia. Di Prancis dan negara yang mengenai Court

of Account cakupan wewenangnya meliputi juga pemerintahan

lokal. Pada negara lain lagi, keuangan badan usaha yang dimiliki

oleh negara, tidak dapat diperiksa oleh lembaga pemeriksa

keuangan, melainkan oleh auditor swasta, seperti di Inggris dan

Nigeria. Dapat juga keuangan badan usaha itu diperiksa oleh

lembaga negara yang khusus sifatnya semacam Audit Srvice

Commission seperti di Ethipia, Eretria, dan Tanzania. Suatu hal

yang kontras adalah lembaga pemeriksa keuangan di Ghana, yang

berwenang memeriksa keuangan di segala sektor publik, suatu

kondisi yang berbalik dengan lembaga sejenis di Nigeria, di mana

74 auditor di badan pemeriksa keuangan tidak diizinkan

memeriksa keuangan perusahaan negara.

Page 246: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

236 | Hukum Kelembagaan Negara

d. Faktor Tindaklanjut Hasil Pemeriksaan

Persoalan tindaklanjut hasil pemeriksaan dalam praktik

maupun teori yang berhubungan dengan akuntabilitas yang

melekat kepada suatu badan pemeriksa independen merupakan isu

yang juga menjadi kontroversi karena terkait dengan kemampuan

badan itu untuk menerapkan kaidah-kaidah audit dan pemberian

sanksi. Persoalan ini terkait dengan peran sentral dari badan

pemeriksa dan akuntabilitas institusi. Akuntabilitas menuntut

adanya serangkaian kaidah yang berurusan dengan tanggung gugat

dan kemampuan memberikan sanksi terhadap tindakan-tindakan

illegal.581

Sejumlah ahli mengatakan bahwa penegakan dan

pemberian sanksi merupakan sesuatu yang melekat kepada

akuntabilitas, akan tetapi tidak dapat dimaknai sebagai

akuntabilitas itu sendiri secara keseluruhan. 582

Jika argumen ini

dirujuk, maka akan menyebabkan suatu badan pemeriksa yang

independen akan bersifat nondaya paksa. Sebagai konsekuensinya,

masih merujuk kepada pandangan ini, akan suatu badan pemeriksa

dianggap kredibel jika mempunyai kapasitas untuk sanksi,

sekaligus menerapkannya secara otonom dan tanpa campur tangan

organ negara yang lain.

Dalam perspektif lain, saya berpendapat bahwa sebagai

badan yang melakukan pengawasan, badan pemeriksa keuangan

berkaitan dengan akuntabilitas yang dilaksanakan oleh institusi

pemerintahan. Akuntabilitas ini merupakan ketentuan yang sifat

konstitusional untuk penyelenggaraan pemerintahan yang

bertanggung jawab. Pada doktrin pemisahan kekuasaan,

akuntabilitas ini dilakukan oleh badan perwakilan dan kekuasaan

kehakiman. Tak ada agen yang dapat mengambilalih akuntabilitas

principal, yang dalam kolerasi ini, maka principal adalah badan

581 Selengkapnya lihat dalam A.M. Goetz dan R. Jenkins, 2004,

Reinventing Accountability: Making Democracy Work for the Poor, London:

Palgrave Macmillan, hlm. 56.

582 Schedler et.al, op.cit., hlm. 17.

Page 247: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 237

perwakilan, sehingga badan pemeriksa sebagai agen, berfungsi

menyediakan informasi bagi principal. Seperti dikatakan oleh

Allen dan Tomassi, ―auditors are authorized only to report what

they found.‖583

D. Prinsip Independensi dan Relasi dengan Cabang

Kekuasaan Lain

Pada tataran praktik di banyak negara, seperti uraian di

muka, seringkali terdapat lebih dari satu lembaga-lembaga negara

yang menjalankan keseluruhan atau sebagian fungsi yang

diidentikkan dengan pemeriksaan keuangan negara. Dalam tradisi

Prancis, pemeriksaan keuangan negara terbagi dalam ranah

administratif, yudisial, dan legislatif. Pemeriksaan administratif

dilakukan oleh sejumlah badan seperti Financial Controller,

General Financial Inspectorate, dan the General State Inspectorate.

Lembaga the General State Inspectorate merupakan badan

tertinggi untuk control admistratif tersebut.

Dalam pandangan sejumlah pakar, sedikitnya 2 lembaga

diantara ketiga lembaga tersebut yang mempunyai watak sebagai

badan pemeriksa keuangan yang bersifat eksternal. The General

Financial Inspectorate memeriksa pelaksanaan dan pengelolaan

keuangan diantara kementerian dan badan-badan pemerintahan

atas nama Menteri Keuangan. Serupa dengan itu, the General

State Inspectorate memeriksa semua kementerian, departemen,

dan badan-badan pemerintahan atas nama Presiden. Tidak seperti

auditor, tidak memberikan saran-saran mengenai pengelolaan

keuangan terhadap badan-badan yang diperiksanya, tetapi

memantau, memeriksa, atau mengaudit suatu badan atas nama

pihak ketiga.

Kontrol yudisial dilaksanakan oleh the Court of Account

dan badan-badan terkait, seperti ―regional courts of audit‖ and

―Courts of Budgetary Discipline‖. Badan-badan ini merupakan

583 Allen dan Tommasi, op.cit.

Page 248: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

238 | Hukum Kelembagaan Negara

lembaga pengadilan, dibandingkan dengan lembaga-lembaga audit

lainnya, pejabat-pejabat seniornya terdiri atas para hakim atau

jaksa. Para pejabat lembaga audit diberikan pelatihan oleh the

Court of Account. Jika mereka menemukan kekeliruan dalam

pengelolaan keuangan dapat menjatuhkan pidana denda. The

Court of Account bertanggung jawab kepada Presiden, Perdana

Menteri, dan Majelis Nasional (National Assembly) dalam

pelaksanaan anggaran organisasinya.

Sementara itu, control oleh Parlemen dilaksanakan oleh

Majelis Nasional. Sebelum dimulainya tahun anggaran, Parlemen

memerintahkan Presiden untuk mengajukan rancangan undang-

undang mengenai anggaran negara. Kemudian di akhir tahun

anggaran, Parlemen memerintahkan Presiden untuk mengajukan

laporan pelaksanaan anggaran tersebut. Jika Majelis Nasional

menerimanya, maka akan disusun Undang-Undang untuk

diberikan suatu persetujuan.

Khususnya dalam model Prancis, yang mengenal 3 lembaga

pemeriksa keuangan negara, maka penerapannya dapat

dilaksanakan jika mempunyai tradisi kepresidenan yang kuat.

Oleh karena itu dalam penerapannya, lembaga audit itu lebih

condong mendekat kepada Presiden dibandingkan kepada

Parlemen. Pada praktik di negara bekas jajahan Prancis,

khususnya di kawasan Afrika, General State Inspectorate menjadi

eksis. Sebaliknya, the Count of Court kadang-kadang tidak

dilaksanakan atau sebatas menjadi ketentuan konstitusi saja.

Sebagai contoh Bukina Faso, yang menyebutkan lembaga ini pada

konstitusi 1960 tetapi kenyataannya baru diadakan pada tahun

2002. Demikian juga di Mali, yang sejak tahun 1960 juga

mencantumkan kelembagaannya di dalam Konstitusi, akan tetapi

hampir selama 28 tahun kemudian (2008) hanya menghasilkan 4

laporan kegiatan. Di Kamerun the Account of Court sudah berdiri

sebagai lembaga independen sejak tahun 2003 akan tetapi fungsi

utama pemeriksaan keuangan tetap dilaksanakan oleh the General

State Inspectorate. Oleh karena dalam masa 40 tahun, hanya the

Page 249: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 239

General State Inspectorate yang aktif sebagai lembaga pemeriksa

keuangan, sehingga lembaga-lembaga inilah yang masuk menjadi

anggota International Organization Supreme Audit Inspectorate

(INTOSAI). Belakangan banyak juga negara yang sebelum tidak

mempunyai kelembagaan serupa, mulai mendirikan the General

State Inspectorate seperti di Djibaouti (2004) dan Mauritania

(2005) serta Burundi (2009). Sementara itu di Republik

Demokratik Kongo kelembagaan ini digeser menjadi satu dengan

Kantor Kepresidenan.

Di samping jalur kelembagaan pemeriksa keuangan yang

senantiasa melibatkan cabang kekuasaan eksekutif, yudisial, dan

legislatif, maka persoalan berikutnya adalah masalah

independensi. Kaidah internasional mensyaratkan agar lembaga

pemeriksa mampu menjalankan tugasnya secara imparsial

haruslah terbebas dari intervensi eksekutif. Pada sisi lain, mereka

juga harus memahami perilaku birokrasi, khususnya dengan

lembaga yang akan diperiksanya. Kemudian, karena keterbatasan

dalam pemberian sanksi, mereka harus meyakinkan bahwa hasil

pemeriksaan terhadap pemerintah akan diperhatikan oleh

parlemen dan kekuasaan kehakiman.

Jaminan independensi itu akan terlihat di dalam ketentuan

konstitusi dan Undang-Undang. Independensi itu sendiri menurut

Dove berarti kemampuan untuk melaksanakan mandate yang

ditentukan hukum tanpa campur tangan pihak lain.584

Cakupan

indepensi itu hendaknya mencakup independensi institusional,

independensi individual serta independensi financial.

Independensi institusional itu mencakup (i) pengaturan

dalam kaidah Konstitusi, (ii) pengaturan dalam Undang-Undang,

(iii) ketentuan prosedur pemeriksaan, (iv) jangkau

mandat/wewenang, (v) otonomi dalam perencanaan program, (vi)

ketercukupan pembiayaan audit, dan (vii) lingkup wewenangnya.

Sementara itu, independensi individual mencakup hal-hal sebagai

584 Dye, K., and R. Stapenhurst, op.cit.

Page 250: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

240 | Hukum Kelembagaan Negara

berikut: (i) aturan-aturan seleksi; (ii) pencalonan dan pengisian

jabatan kepala organisasi; (iii) masa jabatan; (iv) privilege dan

kekebalan auditor; (v) ketentuan yang pasti mengenai rekrutmen,

pemecatan, dan promosi bagi para staf; (vi) kemampuan lembaga

dalam mengelola sumber daya; dan (vii) standar kemampuan

profesional dan kompetensi teknik. Selanjutnya, independensi

financial berkaitan dengan kemampuan menentukan anggaran

organisasi.

Dalam hal independensi financial inilah yang kadang-

kadang sulit ditemukan bagaimanakah standarisasinya di dalam

praktik. Penafsiran yang pertama, lembaga pemeriksa keuangan

memperoleh prosentase tertentu dari alokasi anggaran negara

seperti di Ekuador dan Guatemala. Penafsiran yang kedua,

lembaga pemeriksa membuat perencanaan dan mengajukannya

kepada Parlemen seperti praktik di Argentina dan Meksiko.

Penafsiran yang ketiga, anggaran lembaga pemeriksa menjadi

satu kesatuan dengan rancangan anggaran yang diajukan oleh

Pemerintah akan tetapi tidak boleh dilakukan perubahan. Hal ini

dipraktikkan antara lain di Bolivia , Kolumbia , dan Venezuela.

Penafsiran yang keempat, anggaran lembaga pemeriksa ditinjau

oleh Pemerintah dan diajukan sebagaimana anggaran pada

umumnya seperti di Nikaragua.

Seperti penelitian Carlos Santiso585

terhadap negara-negara

di kawasan Amerika Latin, akibat penafsiran yang berbeda

mengenai skala indepensi lembaga pemeriksa keuangan, akan

berpengaruh kepada efektifitasnya. Kelompok pertama, posisi

lembaga pemeriksa keuangan mengalami kesenjangan antara

pengaturan formal dengan kenyataan praktik. Negara seperti

Brazil586

, Chile587

, Kolumbia588

, dan Kosta Rica589

mempunyai

585 Op.cit., hlm. 65.

586 Tribunal de Contas de la Uniao, Pasal 71-75 dan Pasal 161 Konstitusi

(1988).

587 Controlaria de la Republica, Pasal 87-89 Konstitusi (1988).

Page 251: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 241

efektifitas yang tinggi, dibandingkan dengan keadaan lembaga

pemeriksa di Argentina590

, Peru591

, Ekuador592

, dan Meksiko593

.

Kelompok kedua, pelaksanaan wewenang tidak sesuai dengan

model kelembagaan yang dianut. Seperti misalnya Ecuador, Peru,

Costa Rica, Meksiko, Chile and Kolombia yang menganut model

monokratik ataupun Brazil dan El Savador yang menganut model

quasi yudisial.

Organisasi auditor internasional, INTOSAI dalam Mexico

Declaration (2007) sendiri telah menerapkan kondisi-kondisi

minimum dalam rangka independensi badan pemeriksa keuangan

suatu negara, yang meliputi 8 prinsip sebagai berikut:

1. Adanya kerangka kerja yang diatur dalam konstitusi dan

Undang-Undang secara efektif dan dilaksanakan dalam

kondisi de facto;

2. Adanya independensi bagi Pimpinan dan Anggota lembaga

pemeriksa, termasuk jaminan masa jabatan dan kekebalan

dalam masa normal;

3. Adanya mandat dan kebebasan bertindak yang cukup dalam

rangka pelaksanaan fungsi lembaga;

4. Tidak ada pembatasan terhadap akses informasi;

5. Adanya hak dan kewajiban utnuk mempublikasikan kegiatan

lembaga;

588 Controlaria de la Republica, Pasal 267-268 Konstitusi (1991).

589 Controlaria General de la Republica, Pasal 183-184 Konstitusi

(1949).

590 Auditoria General de la Nation, Pasal 83 Konstitusi (1994).

591 Controlaria General de la Republica, Pasal 82 Konstitusi (1993).

592 Controlaria General de la Republica, Pasal 121-122 dan Pasal 211-

213 Konstitusi (1998).

593 Pasal 73, 74, 78, dan 79 Konstitusi (1917) yang diperbarui dengan

Konstitusi (1999).

Page 252: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

242 | Hukum Kelembagaan Negara

6. Adanya kebebasan dalam menentukan dan mempublikasikan

laporan lembaga;

7. Adanya mekanisme yang efektif untuk tindaklanjut hasil

pemeriksaan; dan

8. Adanya kemampuan financial dan administratif secara

otonom, termasuk ketersediaan personal, material, dan

keuangan.

E. Kelembagaan di Indonesia

1. Masa Republik I (1945-1949)

Semenjak awal penyusunan konstitusi, keberadaan suatu

badan yang memeriksa keuangan negara dianggap sebagai bagian

dari penyelenggaraan kekuasaan negara. Seperti dikatakan oleh

Soepomo, ―Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan

negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan, yang dulu

dinamakan Rekenkamer, yang peraturannya ditetapkan dengan

undang-undang. Itulah garis-garis besar tentang kekuasaan

negara.‖

Setelah UUD 1945 disahkan sebagai konstitusi (18 Agustus

1945), untuk pertama kali dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan

pada 1 Januari 1947 berdasaran Surat Penetapan Pemerintah No.

11/OEM/ 28 Desember 1946 tentang Pembentukan Badan

Pemeriksa Keuangan. Untuk sementara waktu, Badan Pemeriksa

Keuangan berkedudukan di Magelang. Sebagai dasar pelaksanaan

tugas, Badan Pemeriksa Keuangan masih menggunakan regulasi

Algemene Rakenkamer, badan pemeriksa di masa Hindia Belanda,

yaitu Indische Comptabiliteits Wet (ICW) dan Instructie en

vendere bepalingen voor de Algemene Rakenkamer (IAR). Pada

tanggal 6 November 1948, dikeluarkan Penetapan Pemerintah No.

6/1948, yang mengatur perpindahan kedudukan Badan Pemeriksa

Keuangan dari Magelang ke Jogjakarta. Hal ini untuk memenuhi

ketentuan Pasal 23 ayat (5) UUD 1945.

Page 253: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 243

2. Masa Republik II (1949-1959)

Dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat sebagai

hasil kesepakatan Indonesia dan Belanda di Konferensi Meja

Bundar tanggal 27 Desember 1949 di Belanda, maka berlakulah

Ketentuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, di mana

Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian, yang

berkedudukan di Jogjakarta. Untuk melaksanakan ketentuan

Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yaitu ketentuan Bab V

Pasal 115 dan Pasal 116, dibentuk Dewan Pengawas Keuangan.

Sebagai salah satu alat perlengkapan negara, dewan ini

berkedudukan di Bogor, Jawa Barat dan menempati bangunan

bekas kantor Algemen Rakenkamer.

Rumusan Pasal 115 Konstitusi Republik Indonesia Serikat

hanya mengatur masalah umum, yaitu ―Maka adalah suatu Dewan

Pengawas Keuangan yang susunan dan kekuasaannya diatur

dengan undang-undang federal.‖ Susunan organisasi itu diatur

dalam Pasal 116 yang meliputi 4 ayat sebagai berikut:

(1) Untuk pertama kali dan selama undang-undang federal belum

menetapkan lain, Ketua, Wakil Ketua, dan anggota-anggota

Dewan Pengawas Keuangan diangkat oleh Presiden setela

mendengarkan Senat. Pengangkatan itu adalah untuk seumur

hidup ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam

ayat-ayat yang berikut.

(2) Undang-Undang Federal dapat menetapkan bahwa Ketua,

Wakil Ketua, dan anggota diberhentikan, apabila mencapai

usia tertentu.

(3) Mereka dapat dipecat atau diperhentikan menurut cara dan

dalam hal yang ditentukan dengan Undang-Undang Federal.

(4) Mereka dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan

sendiri.

Dengan kembali ke bentuk negara kesatuan pada 17

Agustus 1950 maka diberlakukan ketentuan UUD 1950, sebagai

konstitusi sementara. Berkaiatan dengan hal tersebut, Dewan

Page 254: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

244 | Hukum Kelembagaan Negara

Pengawas Keuangan versi Konstitusi Republik Indonesia Serikat

di Bogor digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan di

Jogjakarta, dengan tempat kedudukan untuk sementara di Bogor.

Kecuali penomorannya, rumusan pasal-pasal dalam UUD 1950

hanya melanjutkan saja rumusan pasal-pasal dalam Konstitusi

Republik Indonesia Serikat.Ketentuan itu dijumpai dalam Bab IV

Bagian Dewan Pengawas Keuangan, yaitu pada Pasal 80 dan Pasal

81.

Rumusan ketentuan Pasal 80 berbunyi, ―Susunan dan

kekuasaan Dewan Pengawas Keuangan diatur dengan Undang-

Undang‖, yang serupa dengan rumusan Pasal 115 Konstitusi

Republik Indonesia Serikat. Selanjutnya, Pasal 81 dengan 4 ayat

serupa dengan ketentuan Pasal 116 Konstitusi Republik Indonesia

Serikat yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Untuk pertama kali dan selama undang-undang federal belum

menetapkan lain, Ketua, Wakil Ketua, dan anggota-anggota

Dewan Pengawas Keuangan diangkat oleh Presiden setela

mendengarkan Senat. Pengangkatan itu adalah untuk seumur

hidup ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam

ayat-ayat yang berikut.

(2) Undang-Undang Federal dapat menetapkan bahwa Ketua,

Wakil Ketua, dan anggota diberhentikan, apabila mencapai

usia tertentu.

(3) Mereka dapat dipecat atau diperhentikan menurut cara dan

dalam hal yang ditentukan dengan Undang-Undang Federal.

(4) Mereka dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan

sendiri.

Walaupun mengalami perubahan kelembagaan, akan tetapi

dalam rangka pelaksanaan tugasnya, Dewan Pengawas Keuangan

ini juga masih menggunakan regulasi Algemene Rakenkamer,

badan pemeriksa di masa Hindia Belanda, yaitu Indische

Comptabiliteits Wet (ICW) dan Instructie en vendere bepalingen

voor de Algemene Rakenkamer (IAR).

Page 255: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 245

3. Masa Republik III (1959-1966)

Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Keputusan

Presiden No. 150/M/1959, yang dikenal sebagai Dekrit Presiden,

yang antara lain berisi penetapan tidak berlaku UUD 1950 dan

menyatakan UUD 1945 berlaku kembali. Untuk itu, Dewan

Pengawas Keuangan menurut UUD 1950 diubah menjadi Badan

Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Pasal 23 ayat (5) UUD

1945.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 12 Oktober

1963, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 7 Tahun 1963, yang kemudian diganti

dengan UU No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa

Keuangan Gaya Baru. Peraturan yang diwarisi dari masa Hindia

Belanda tetap berlaku sesuai dengan prinsip aturan peralihan.

Untuk menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang tersebut kemudian ditetapkan UU No. 17 Tahun 1965.

Dalam Undang-Undang ini diatur antara lain bahwa selaku

Pemimpin Besar Revolusi, pemegang kekuasaan pemeriksaan, dan

penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan keuangan

negara. Sedangkan yang menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua

Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan masing-masing sebagai

atau dirangkap oleh Menteri Koordinator dan Menteri.

4. Masa Republik IV (1966-2001)

Konsolidasi kekuasaan menuju kelembagaan Orde Baru

antara lain ditandai dengan penataan kembali kedudukan dan

fungsi lembaga-lembaga negara melalui Ketatapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara No. X/MPRS/1966 tentang

Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara di Tingkat Pusat

dan Daerah. Sesuai dengan ketetapan ini, maka Badan Pemeriksa

Keuangan ditempatkan dalam psisi dan fungsi semula sebagai

Lembaga Tinggi Negara. Sebagai tindak lanjut ditetapkan UU No.

5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Page 256: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

246 | Hukum Kelembagaan Negara

Dalam kaitan ini layak diperiksa kembali Penjelasan Pasal

23 ayat (5) UUD 1945 yang antara lain mengatakan, ―Cara

pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui

oleh Dewan Perwakilan Rakyat harus sepadan dengan keputusan

tersebut. Untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah itu perlu

ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekausaan

pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah tidak

dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya, badan

itu bukanlah pula badan yang berdiri di atas pemerintah. Sebab itu,

kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan undang-

undang.

Dari ketentuan tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan

mempunyai kedudukan tidak di atas pemerintah, tetapi juga tidak

berada di bawah pengaruh pemerintah. Secara ideal, dalam

kedudukan dan fungsi demikian, maka badan ini bersifat

independen, menjadi instrumen kekuasaan rakyat dalam

menentukan sendirinya nasibnya dalam penentuan dan persetujuan

anggaran negara yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Oleh sebab itu, hasil pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Selama Orde Baru, 2 persoalan mengemuka dalam

pelaksanaan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu ruang

lingkup pemeriksaan dan daya jangkau wewenag. Dalam

menentukan ruang pemeriksaan, belum pernah ditentukan

Undang-Undang yang mengatur keuangan negara. Sehingga

sebagai dampaknya, daya jangkau wewenang Badan Pemeriksa

Keuangan menjadi kabur. Lebih dari itu, alih-alih memberikan

ketegasan substantif terhadap Badan Pemeriksa Keuangan,

Presiden Soeharto (1966-1998), justru menetapkan adanya

kelembagaan pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara yang

bersifat internal pemerintah akan tetapi tumpang tindih terhadap

wewenang Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga-lembaga

tersebut adalah Inspektorat Jenderal Pembangunan, Inspektorat

Jenderal, dan Sekretaris Pengendalian Pelaksnanaan

Page 257: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 247

Pembangunan, dan Badan Pemeriksa Keuangan dan

Pembangunan. Sementara di satuan pemerintahan daerah terdapat

Inspektorat Wilayah Propinsi serta Kabupaten/Kotamadya.594

Inspektorat Jenderal Pembangunan adalah aparat

pengawasan fungsional, yang memeriksa dan memantau

pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang menggunakan

Bantuan Instruksi Presiden.595

Pejabat Inspektorat Jenderal

Pembangunan itu adalah purnawirawan militer yang dipercaya

oleh Presiden. Hasil kerja mereka tidak pernah menjadi konsumsi

publik dan laporan eksklusif hanya ditujukan kepada Presiden.

Belakangan, Inspektorat Jenderal Pembangunan itu digantikan

oleh Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan yang

mempunyai tugas dan mekanisme kerja yang sama.

594 Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah

No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Pembentukan Perangkat Daerah, instansi ini

diubah namanya menjadi Badan Pengawas Daerah Propinsi dan Badan Pengawas

Daerah Kabupaten/Kota. Setelah berlaku UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41

Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, penyebutannya

menjadi Inspektorat Propinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota.

595 Semenjak 1970-an, pengeluaran pembangunan pemerintah pusat yang

dibelanjakan di daerah dapat dibagi menjadi dua yaitu dana sektoral dan dana

Instruksi Presiden. Dana sektoral intinya terdiri dari berbagai pengeluaran yang

diperuntukkan bagi departemen dan instansi pemerintah pusat. Sementara itu,

Bantuan Instruksi Presiden atau Banpres dialokasikan berdasarkan mekanisme

lupsum (jumlah bulat) di mana masing-masing pejabat di tingkat daerah

(provinsi, kabupaten, atau desa) menjadi pelaksananya. Banpres perlu

diperhatikan karena 2 alasan. Pertama, bantuan itu mencerminkan sifat

sentralistis dari pendekatan pembangunan Orde Baru, sebab direncanakan dan

diawasi secara ketat oleh pemerintah pusat. Sekalipun pejabat di daerah

dilibatkan, dalam pelaksanaannya mereka tidak diberi kekuasaan substantif.

Dengan tidak adanya aturan yang jelas mengenai perimbangan keuangan

antarjenjang pemerintahan, program-program tersebut menunjukkan betapa

besarnya kekuasaan diskresi pemerintah pusat. Kedua, Banpres pada anggaran

tahunan biasanya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dana sektoral.

Alokasi Banpres mencerminkan perspesi pemerintah pusat mengenai kebutuhan

daerah dan terkadang menujukkan reaksi politik atas tuntutan daerah. Lihat,

Wahyudi Kumorotomo, hlm. 124.

Page 258: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

248 | Hukum Kelembagaan Negara

Ispektorat Jenderal adalah satuan organisasi sebagai unit

kerja di lingkungan Departemen menurut Keputusan Presiden No.

44 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen.596

Dalam Pasal 17 Keputusan Presiden ini diatur bahwa Inspektorat

Jenderal dipimpin oleh seorang Inspektur Jenderal sebagai unsure

pengawas di bawah Menteri. Ruang lingkup pengawasan bukan

sebatas adminsitrasi keuangan saja, akan tetapi juga administrasi

umum, pelaksanaan proyek pembangunan, dan dugaan

penyalahgunaan wewenang yang terjadi Departemen. Pemeriksaan

ini bersifat internal dan laporan hasil pemeriksaan tidak pernah

dapat diakses oleh publik.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang

semula merupakan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan

Negara di bawah Menteri Keuangan (Keputusan Presiden No. 70

Tahun 1971), dibentuk menurut Keputusan Presiden No. 31

Tahun 1983. Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden ini diatur bahwa

badan ini mempunyai tugas untuk: (i) merumuskan kebijaksanaan

pengawasan keuangan dan pembangunan; (ii) menyelenggarakan

pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan;

dan menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Sedemikian

luas lingkup pengawasan tersebut, sehingga kekuasaanya lebih

besar dibandingkan dengan Badan Pemeriksa Keuangan. Selain

itu, badan ini mempunyai perwakilan di setiap provinsi, sementara

Badan Pemeriksa Keuangan hanya meliputi perwakilan di

596 Presiden Soeharto melakukan konvensi dengan memperluas susunan

kabinet yang dapat diubah dan ditetapkan secara mutlak dengan meliputi: (1)

departemen, yang dipimpin oleh seorang menteri; (2) kantor menteri negara, yang

dipimpin oleh seorang menteri negara yang menangani urusan-urusan khusus dan

menjadi prioritas kabinet; (3) menteri muda, yaitu seorang menteri yang

diperbantukan dalam menangani urusan-urusan tertentu suatu departemen; (4)

menteri koordinator, yaitu menteri yang mengkoordinasikan urusan pemerintahan

tertentu; dan (5) menteri yang melekat pada jabatan tertentu, seperti sekretaris

negara dan sekretaris kabinet; dan (6) pejabat setingkat menteri dan menjadi

bagian kabinet, seperti jaksa agung, Gubernur Bank Indonesia, dan Panglima

ABRI.

Page 259: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 249

sejumlah regional tertentu yang mencakup beberapa propinsi. Atas

kekuasaan Presiden juga, sejumlah instansi atau perusahaan

negara tidak boleh diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan

seperti Sekretariat Negara, Pertamina, Badan Urusan Logistik,

dan P.T. Industri Pesawat Terbang Nusantara. Akses penggunaan

keuangan negara dan pelaksanannya hanya dilaporkan kepada

Presiden. Dengan demikian independensi Badan Pemeriksa

Keuangan tidak ada.

5. Masa Republik V (2001-sekarang)

Dalam proses Perubahan UUD 1945, salah satu masalah

yang menguat adalah perlunya mempertegas posisi dan fungsi

Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk itu ditetapkan Perubahan

Ketiga UUD 1945 (2001), khususnya terhadap ketentuan Bab VIII

Hal Keuangan Negara yang meliputi Pasal 23 menjadi Pasal 23,

23A, 23B, 23C, dan 23D serta Bab VIIIA Badan Pemeriksa

Keuangan 23E, 23F, dan 23G. Ketentuan yang berhubungan

dengan Badan Pemeriksa Keuangan adalah Pasal 23E terdiri atas

ayat (1) yang berbunyi, ―Untuk mengatur pengelolaan dan

tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan

Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.‖ Kemudian dalam

ayat (2) diatur, ―Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan

kewenangannya.‖ Mengenai kedudukan Badan Pemeriksa

Keuangan, diatur dalam Pasal 23G ayat (1) yang berbunyi, ―Badan

Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara dan

mempunyai perwakilan di setiap propinsi.‖ Ketentuan tersebut

ditindaklanjuti dengan ―paket‖ undang-undang yang berhubungan

dengan pengelolaan dan pemeriksaan keuangan negara yaitu: (i)

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (ii) UU No. 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; (iii) UU No. 15

Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Page 260: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

250 | Hukum Kelembagaan Negara

Jawab Keuangan Negara; dan (iv) UU No. 15 Tahun 2006 tentang

Badan Pemeriksa Keuangan.

Formulasi pengaturan seperti ketentuan Pasal 23E ayat (1)

mirip dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) Indische Staatsregeling

(S. 1854 No. 2) yang berbunyi, ―Dibentuk sebuah Algemeene

Rakenkamer yang diberikan tugas untuk melakukan pengawasan

terhadap pengelolaan keuangan negara dan terhadap

pertanggungjawaban perhitungan.‖597

Dari rumusan Indische

Staatsregeling tersebut, pengelolaan keuangan negara identik

dengan ―pre-audit‖ atau pemeriksaan sebelum penerapan

keuangan negara. Sementara, ―pertanggungjawaban perhitungan‖

identik dengan post audit.

Seperti diuraikan dalam Sub Bab C huruf b, factor waktu

pemeriksaan merupakan hal yang penting dalam menentukan

kinerja sebuah badan pemeriksa keuangan. Diuraikan juga bahwa

pre audit berorientasi kepada audit kepatuhan, khususnya pada

tahap perencanaan dan penyusunan anggaran, yang menjadi

kompetensi dari pemerintah (eksekutif) sebagai organisasi

birokrasi. Sebaliknya, post audit, berorientasi kepada kinerja, yang

merupakan kewenangan dari badan pemeriksa yang bersifat

eksternal.

Dengan cakupan pengertian semacam itu, maka rumusan

ketentuan Pasal 23E ayat (1) menempatkan Badan Pemeriksa

Keuangan sekaligus bukan saja sebagai lembaga negara yang

memperoleh wewenang dari UUD 1945, tetapi juga lembaga

pemerintahan sebagai bagian dari organisasi birokrasi. Akibatnya

tidak jelas manakah yang menjadi wewenang lembaga pemeriksa

internal dan lembaga pemeriksa eksternal, sehingga kedudukannya

serupa dengan Algemeene Rakenkamer pada masa Hindia

Belanda. Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan setara dengan

597 Lihat terjemahan rumusan oleh Arifin P. Soeriatmadja, 2009,

Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum: Teori, Kritik, dan Praktik, Jakarta,

Penerbit Rajawali , hlm. 269.

Page 261: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 251

lembaga negara yang memperoleh wewenang dari UUD 1945

lainnya, tidak seperti Algemeene Rakenkamer yang memang

condong menjadi alat Gubernur Jenderal. Dengan ketentuan Pasal

23G ayat (1) yang mempersyaratakan Badan Pemeriksa Keuangan

mempunyai perwakilan di setiap propinsi, telah mengaburkan

makna sebagai lembaga negara, yang memang hanya

berkedudukan di ibukota negara karena wibawa dan posisinya.

Menurut Arifin P. Soeriatmadja, format baru kelembagaan

Badan Pemeriksa Keuangan setelah Perubahan UUD 1945 tidak

sesuai dengan sistem pemeriksaan keuangan yang independen

karena 3 alasan.598

Pertama, penggabungan fungsi pemeriksaan

pengelolaan dan tanggung jawab secara post-audit dengan pre

audit keuangan negara mengaburkan pemisahan tugas dan

kedudukakan antara pengawasan/pemeriksaan yang sheusnya

dilakukan secara terpisah oleh internal auditor pemerintah dan

eksternal auditor pemerintah. Kedua, penggabungan fungsi pre

audit dengan post audit dalam satu lembaga akan menghilangkan

sifat pengawasan yaitu obyektif. Ketiga, penggabungan fungsi pre

audit dengan post audit dalam satu lembaga akan mendorong

Badan Pemeriksa Keuangan menjadi lembaga administrasi negara.

Dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, maka akan memperluas daya jangkau

kekuasaan Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini karena ketentuan

UU No. 17 Tahun 2003 tidak membedakan keuangan negara,

keuangan daerah, dan keuangan milik swasta/badan-badan

perdata, sehingga mengaburkan perumusan ruang lingkup

pengawasan.599

Oleh sebab itu, jangkauan pemeriksaan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan akan melebar dari pemeriksaan pre audit dan

post audit yang tidak terbatas pada tanggung jawab Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara, akan tetapi juga pada pengelolaan

598 Ibid., hlm. 274.

599 Lihat: Pasal 1 angka 1 dan angka 5 dan Pasal 2 huruf g dan l UU No.

17 Tahun 2003.

Page 262: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

252 | Hukum Kelembagaan Negara

keuangan negara yang terdapat pada seluruh lembaga

pemerintahan (kementerian, lembaga nonkementerian, lembaga

negara), termasuk Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan,

kejaksaan, dan kekuasaan kehakiman. Pemeriksaan juga akan

mencakup pengelolaan keuangan Bank Indonesia, yayasan,

perusahaan negara dan badan usaha milik daerah, serta badan-

badan perdata yang lain. Kondisi demikian, secara prinsip Badan

Pemeriksa Keuangan tidak membedakan status uang dan

kepemilikan kekayaan dalam suatu badan, apakah itu milik

negara, milik perusahaan negara, atau milik yayasan, bahkan milik

swasta atau perseorangan. Sementara itu, Badan Pemeriksa

Keuangan juga berwenang melakukan pengawasan atau

pemeriksaan atas keuangan daerah baik di propinsi maupun

kabupaten/kota.

Page 263: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 253

BAB VIII BANK SENTRAL

A. Pertumbuhan Bank Sentral

Bank sentral pada umumnya merupakan suatu lembaga

yang bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan

moneter dan pengawasan sistem keuangan dan perbankan. Dalam

pertumbuhannya, peranan dan fungsi bank sentral telah

mengalami evolusi dari yang semula hanya bank sirkulasi menuju

ke bank sentral yang mempunyai fungsi sebagai pelaksana

kebijakan moneter, mengatur perkreditan, dan pengawasan

perbankan.

Bank sentral kemudian bukan saja menjadi sumber dana

bagi bank-bank (bankers‘ bank) namun juga sebagai penjaga

stabilitas moneter (lender of the resort bank) melalui pembuatan

dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan termasuk mengatur,

mengawasi, dan mengendalikan sistem moneter. Untuk

melaksanakan wewenang tersebut, kepada bank sentral dilekati

dengan beberapa tugas seperti, pertama, mengedarkan dan

sekaligus mengatur peredaran uang. Kedua, mengatur dan

mengawasi kegiatan perbankan. Ketiga, mengembangkan sistem

Page 264: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

254 | Hukum Kelembagaan Negara

pembayaran. Keempat, mengembangkan sistem perkreditan.600

Namun demikian, terutama di negara berkembang, tugas bank

sentral jauh lebih luas, termasuk sebagai agen pembangunan gua

mencukupi pembiayaan pembangunan yang diselenggarakan oleh

pemerintah.601

Dilihat dari sejarah berdirinya, keberadaan bank sentral

diawali dengan berdirinya Swedish Riksbank yang beroperasi pada

tahun 1668 dan diikuti oleh berdirinya The Bank of England pada

tahun 1694. Hingga tahun 1913 baru terdapat 21 bank sentral,

namun meningkat pesat setelah Perang Dunia II terutama akibat

adanya dekolonisasi. Jumlah ini meningkat lagi setelah bubarnya

Uni Soviet pada 1990-an dan munculnya negara-negara baru

bekas republik tersebut, sehingga sampai dengan tahun 1998

terdapat 173 bank sentral di seluruh dunia.602

Banyak studi yang sudah dilakukan sehubungan dengan

penataan posisi bank sentral di masa transisi khususnya di negara-

negara post-communist, seperti yang dilakukan oleh Hinton-

Braaten603

, Hochreiter604

, dan Hochreiter dan Riesinger605

.

600 F.X. Sugiyono dan Ascarya, 2005, Kelembagaan Bank Indonesia,

Jakarta, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, hlm. 5.

601 Ibid.

602 Periksa sumber berikut: Forest Capie, 1994, ―The Evolution of Central

Banking‖, Seminar Paper, World Bank dan Patrisia S. Pollard, ―A Look Inside

Two Central Banks: The European Central Bank and The Federal Reserve‖,

Federal Reserve Bank of St. Louis Review, Januari-Februari, 2003, hlm. 12-30.

603 K. Hinton-Braaten, ‗New Central Banks‘, paper presented at the

conference on Constitutional Status of Central Banks in Eastern Europe,

University of Chicago Law School, April, 1994.

604 E. Hochreiter, ―Central Banking in Economies in Transition‖, dalam

T. Willett, R. Burdekin, R. Sweeney, R. dan C. Wihlborg, C. (eds.), 1994,

Establishing Monetary Stability in Emerging Market Economies, Boulder, CO:

Westview Press.

Page 265: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 255

Pendekatan yang sama juga dilakukan oleh Sundararajan et.al.606

,

yang mengkaji reformasi di Bank Sentral bekas Uni Soviet serta

Radzyner and Riesinger607

, yang mengkaji dalam perspektif luas

mengenai kerangka legal independensi bank sentral di Chechnya,

Republik Slovakia, Hongaria, Polandia, dan Slovenia. Studi ini

penting untuk menelaah seberapa jauh kerangka legal

menempatkan independensi bank sentral dan keterkaitannya

dengan pengelolaan ekonomi di masa transisi.

Demikian juga di kawasan Asia setelah terjadinya krisis

financial pada 1997-1998, sejumlah negara, termasuk Thailand,

Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia mengalami transisi politik,

dan salah satu hal yang dilakukan adalah reformasi legislasi

kelembagaan bank sentral. Hal ini karena disadari bahwa legal

arrangement mengenai bank sentral ini penting untuk menjaga

kestabilan nilai mata uang dan lebih jauh lagi mencegah terjadinya

krisis financial.

Pertumbuhan bank sentral dapat dipilah ke dalam 3 isu

utama. Pertama, status hukum pengeloaan bank sentral terutama

dalam hal perhubungan dengan cabang kekuasaan negara lain,

yang secara khusus pembenahan status independensi bank sentral

terhadap Eksekutif. Kedua, watak otonomi bank sentral

memunculkan pemikiran mengenai ruang lingkup dan tata cara

akuntabilitasnya. Ketiga, transparansi penyelenggaraan tugas bank

605 E. Hochreiter dan S. Riesinger, ―Central banking in Central and

Eastern Europe– Selected Institutional Issues‖, ECU Journal, 32, 1995, hlm. 17–

22.

606 Sundararajan, et.al., 1997, Central Bank Reform in Transition

Economies, Washington DC: International Monetary Fund.

607 O. Radzyner dan S. Riesinger, 1997, ―Central Bank Independence in

Transition: Legislation and Reality in Central and Eastern Europe‖, Focus on

Transition, Vol. 2 No. 1, hlm. 55– 90.

Page 266: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

256 | Hukum Kelembagaan Negara

sentral.608

Mayoritas telaah mengenai pertumbuhan bank sentral

berpusat kepada pengembangan status independensi, yang

fenomenanya sejajar dengan percakapan demokrasi transisional di

negara-negara bekas komunis.609

Tidak berlebihan bahwa salah

satu penanda adanya pengelolaan masa transisi adalah pengaturan

kembali posisi bank sentral dalam kekuasaan suatu negara.610

Penataan kembali status dan posisi bank sentral, yang secara

khusus berkaitan dengan penentuan watak independensinya, dalam

perspektif ekonomi dapat diterima sebagai satu kesepakatan. Akan

tetapi, dalam aspek politik, ―status is more problematic, for it is

often argued that there is a fundamental conflict between central

bank independence and democracy.‖611

Sebagai suatu lembaga

yang dibentuk dengan Undang-Undang yang diitetapkan oleh

legislatif, bank sentral selalu berhubungan dengan eksekutif.

Seberapa jauhkan derajat perhubungan itu harus dilekatkan dan

apakah diperlukan suatu indeks yang memadai untuk

melakukannya? Sebagai suatu badan hukum, kelembagaan bank

sentral akan dapat ditelaah dalam 3 isu kunci, yaitu ―the issues of

authority (authority to execute its policies); direction (direct the

economy towards its objectives) and finally, control (control its

608 Christopher Crowe, ―Central Bank Independence and Transparency:

Evolution and Effectiveness‖, paper was presented at the Conference ―Does

Central Bank Independence Still Matter?‖ Bocconi University, September 2007,

hlm. 4.

609 Frederic S. Mishkin, ―Central BankingIn A Democratic Society:

Implications for Transitions Countries‖, National Bureau of Economic Research,

Columbia University New York, 1998, hlm. 1.

610 Ibid.

611 Allan Drazen, ―Central Bank Independence, Democracy, and

Dollarization‖, Journal of Applied Economics, Vol. 5, 2002, hlm. 17.

Page 267: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 257

tools and techniques for achieving its goal) are also applicable for

a central bank.‖612

Secara umum bank sentral dilekati kepada 3 tugas pokok

yaitu sebagai otoritas yang mengendalikan moneter, pengawasan

perbankan, dan pengaturan sistem pembayaran. Dalam praktiknya,

bank sentral tidak seluruhnya menjalankan ketiga tugas tersebut.

Beberapa bank sentral mengemban 2 tugas utama,bahkan ada juga

bank sentral yang hanya mengemban satu tugas utama.

Di sejumlah negara, tugas pengendalian moneter dan

pengawasan perbankan dilakukan oleh bank sentral dengan

pertimbangan bahwa kedua hal itu mempunyai tingkat

ketergantungan tinggi dan hasil dari pengawasan kedua sektor itu

penting untuk mengambil keputusan dan kebijakan di bidang

moneter. Negara yang melaksanakan ini adalah Brazil, India,

Malaysia, Selandia Baru, Filipina, dan Singapura. Sementara itu,

terdapat juga beberapa negara yang pengawasan banknya

dilakukan oleh bank sentral bersama dengan lembaga lainnya. Hal

ini dipraktikkan di Amerika Serikat, Finlandia, dan Jerman. Di

Amerika Serikat misalnya, the Federal Reserve (Bank Sentral

Amerika Serikat), bekerja sama dengan Office of the Controller of

the Curency, State Government, dan Federal Deposit Insurance

Corporation dengan pembagian tugas dan pengawasan yang

berbeda. Dalam pada itu, fungsi pengawasan bank dipisahkan dari

bank sentral karena terjadinya konflik kepentingan antara

pengawasan perbankan dengan perumusan kebijakan moneter.

Model ini dilaksanakan di Australia, Belgia, Inggris, Jepang,

Korea Selatan, dan Swiss.613

612 Skully Ahsan & Wickramanayake, ― Determinants of Central Bank

Independence and Governance: Problems and Policy Implications‖, JOAAG, Vol.

1, 2006, hlm. 49.

613 F.X. Sugiyono dan Ascarya, op.cit., hlm. 9.

Page 268: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

258 | Hukum Kelembagaan Negara

B. Independensi Bank Sentral

Sejarah, hukum, dan relasi de facto antara pemerintah

dengan bank sentral berjalan sangat kompleks, yang melibatkan

banyak sekali faktor. Termasuk dalam faktor ini, sekalipun bukan

hal yang terbatas, meliputi keterlibatan Pemerintah dalam

pencalonan dan pemecatan dewan pimpinan bank sentral,

keterlibatan pemerintah dalam kebijakan bank sentral, derajat

ketergantungan anggaran bank sentral kepada Pemerintah, dan

bagaimana bank sentral menentukan kebijakan-kebijakannya

dalam peraturan dasar.614

Semua hal itu pada awalnya merupakan

kerangka untuk menetapkan adanya pengertian independensi bank

sentral, sekalipun perkembangan literatur dewasa ini

menampakkan bahwa kajian bank sentral juga mencakup

―analytical framework of degree of autonomy, directors and their

functions and the board of the bank and its management.‖615

Pada decade 1990-an, baik di negara sedang berkembang

maupun negara maju, terlihat upaya-upaya untuk mempertinggi

derajat independensi bank sentral. Kenyataan ini didorong oleh

keyakinan bahwa ada korelasi antara independensi bank sentral

dengan kinerja perekonomian secara makro. Seperti kasus di

Inggris, ketika ada perubahan status Bank of England, diukur dari

kondisi inflasi sejak tahun 1970-an, maka ketika statusnya

mendekati Bundesbank, hingga tahun 1997 terjadi penurunan

tingkat inflasi rata-rata 4 %.616

614 S. Eijffinger dan J. de Haan, ―The Political Economy of Central-Bank

Independence‖, Special Papers in International Economics, No. 19, Princeton

University, 1996.

615 Lybek dan Morris, 2004, ―Central Bank autonomy, accountability, and

governance: conceptual framework‖, Seminar Paper LEG Seminar.

616 Jan-Egbert Sturm dan Jakob de Haan, ―Inflation in Developing

Countries: Does Central Bank Independence Matter‖, CESifo Working Paper No.

511, Juni 2001, hlm. 2.

Page 269: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 259

Beberapa penulis, antara lain, Cukierman, Webb, and

Neyapti617

, mengatakan bahwa independensi bank sentral secara

hukum ditandai oleh 4 kondisi minimum. Pertama, jika para

aparat pelaksana ditentukan oleh dewan pimpinan bank sentral

dibandingkan oleh Eksekutif, tidak dapat dipecat, dan memiliki

masa jabatan yang panjang. Kedua, apabila dalam menentukan

kebijakan yang menjadi wewenangnya tidak melibatkan organ

Eksekutif. Ketiga, jika stabilitas pembayaran merupakan tujuan

utama dalam aturan dasar bank sentral. Keempat, jika ada

pembatasan mengenai kapasitas Eksekutif untuk mengadakan

pinjaman langsung kepada bank sentral. Dalam studi Cukierman

dkk tersebut, ketika indicator itu digunakan untuk mengkaji

tingkat independensi bank sentral, maka hingga tahun 1980-an,

Bank Sentral Swiss yang kemudian diikuti oleh Bundesbank

(Bank Sentral Jerman) merupakan bank sentral dengan tingkat

independensi paling tinggi. Sebaliknya, dengan indikator legal itu,

maka Bank Sentral Polandia dan bekas Yugoslavia mempunyai

tingkat independensi paling rendah.

Jika ditelaah kembali, maka indikator legal versi Cukierman

itu pada tataran praktis tidak dapat digunakan. Di negara dengan

tingkat rule of law rendah ketika berhadapan dengan kekuatan

politik, maka akan terjadi kesenjangan yang menganga lebar

antara lembaga, ketentuan formal, dan akibat kebijakan yang

dijalankannya. Kenyataan ini menjadi kasus di banyak negara

sedang berkembang.618

Menurut Henning, ―independence refers to the ability of the

central bank to use the instruments of monetary control without

617 A. Cukierman, S. B. Webb,dan B. Neyapti, ―Measuring the

Independence of Central Banks and its Effects on Policy Outcomes‖, The World

Bank Economic Review, Vol. 6, 1992, hlm. 353-398.

618 Campillo dan Millon, 1997,

Page 270: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

260 | Hukum Kelembagaan Negara

instruction, guidance or interference from the government.‖619

Sementara itu, Amternbink620

menegaskan adanya 3 pilar terkait

dengan pengelolaan bank sentral, yaitu independensi,

akuntabilitas, dan transparansi. Sejumlah penulis memberikan

indikator mengenai independensi bank sentral ke dalam banyak

variabel yang kadang-kadang tumpang tindih antara sudut

pandang ―governor‖, ―policy/economic influence‖, ―legal‖,

―accountability and ―transparency.‖

Beberapa literatur itu dapat ditunjuk di sini. Brade dan

Parkin621

mendefinisikan independensi bank sentral dari sudut

pandang ekonomi (economic independence) dengan menganalisis

unsur-unsur yang meliputi: (i) Undang-Undang yang

mengaturnya; (ii) Pengaruhnya terhadap inflasi; (iii) Variabel

kebijakan; dan (iv) tata cara rekrutmen Gubernur. Kemudian, dari

sudut pandang independensi ekonomi, Alesina menunjukkan

adanya 2 unsur penting yaitu tata cara pemecatan Dewan

Gubernur dan pengaruh kebijakan bank sentral terhadap inflasi.

Bahkan, dari sudut pandang yang sama Eijffinger and Schaling

justru mendefinisikan independensi bank sentral dicirikan dengan

keterwakilan Pemerintah dalam struktur Dewan Gubernur. Dari

sini nampak bahwa sekalipun perspetif yang digunakan adalah

independensi ekonomi, akan tetapi para penulis tersebut

memasukkan unsur-unsur lain seperti ―governor‖ dan ―inflasi.‖

619 C.R. Henning, 1994, Currencies and Politics in the United States,

Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for International Economics,

hlm. 48.

620 F. Amtenbrink, 2004, ―The three pillars of central bank governance –

Towards a model central bank law or a code of good governance?‖, IMF LEG

Workshop on Central Banking, and IMF LEG and IMF Institute Seminar on

Current Developments in Monetary and Financial Law, 2004.

621 Brade dan Parkin, ―Capital mobility, perspective and Central Bank

independence: Exchange rate policy since 1945‖, Policy Sciences, Vol 34, 2001,

hlm. 171-193.

Page 271: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 261

Penulis lain merumuskan bahwa independensi bank sentral

harus ditinjau dari aspek legal, sehingga memberikan pengertian

sebagai ―legal independence‖ sebagaimana dilakukan oleh

Cukierman, et.al.,622

Posen623

, dan de Haan dan van T Hag.624

Cukierman et.al, merumuskan independensi legal itu mencakup

unsur-unsur inflasi, formulasi kebijakan dan tujuan bank sentral,

serta masa jabatan Dewan Gubernur. Kemudian, Posen dari sudut

pandang yang sama menegaskan independensi bank sentral

meliputi unsur regulasi bank sentral dan inflasi. Analisis ini juga

sama dengan yang diajuklan oleh de Haan dan van T Hag.

Dalam aspek politik (political independence) beberapa

penulis juga mencampuradukkan unsur inflasi dan legal seperti

nampak dalam analisis yang dilakukan oleh Grilli et.al.625

, yang

mengajukan unsur: (i) kapasitas hukum dalam rangka pencapaian

kebijakan moneter; (ii) inflasi; (iii) aktivitas ekonomi; dan (iv) tata

cara pencalonan Dewan Gubernur.

Secara teoritis memang kemudian menjadi sulit untuk

menentukan secara komprehensif indikator independensi bank

sentral. Akan tetapi dengan pemahaman yang benar, ke-6

kerangka di atas, dapat dirumuskan kembali, bahwa independensi

menyangkut aspek hukum, aspek politik, aspek moneter dan

622 Cukierman, et.al., ―Central Bank independence, political influence and

macroeconomic performance: A survey of recent developments‖, Cuadernos de

Economia, Vol 30, 1993, hlm. 271-291.

623 A. Posen, 1993, ―Why Central Bank independence does not cause low

inflation: There is no institutional fix for politics‖, Jurnal Finance and the

International Economy., Vol 7., 1993, hlm. 41-54.

624 de Haan, J. & G. J. Van ‗T Hag, ―Variation in Central Bank

independence across countries: Some provisional empirical evidence‖, Journal

Policy Choice, Vol 85, Vol.3-4, hlm. 335-351.

625 V. Grill et.al., ―Political and monetary institutions and public financial

policies in the industrial countries‖, Journal Economic Policy, Vol. 6,1991, hlm.

341-392.

Page 272: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

262 | Hukum Kelembagaan Negara

deficit pembiayaan, aspek stabilitas harga dan inflasi, aspek

kebijakan nilai tukar, dan aspek akuntabilitas dan transparansi.

Selanjutnya, ke-6 indikator di atas dapat diperas ke dalam 3

kategori sebagai pendekatan untuk memahami independensi bank

sentral, yaitu independencsi tujuan (goal independence),

independensi instrumen (instrument independence), dan

independensi personal (personal independence).

1. Independensi Tujuan (Goal Independence)

Independensi tujuan (goal independence). Dalam kaitan ini

pemerintah tidak memiliki pengaruh langsung dalam penetapan

tujuan-tujuan kebijakan moneter. Independensi tujuan bervariasi

dari kebebasan penuh/tinggi sampai dengan kebebasan

terbatas/rendah. Kebebasan tinggi seperti di Amerika Serikat,

Undang-Undangnya hanya menyebutkan tujuan-tujuan yang harus

dicapai. The Federa Reserve memiliki kebebasan untuk

menentukan prioritas sesuai dengan keadaan. Kebebasan cukup

tinggi seperti di Uni Eropa, tujuan utama European Central Bank

atau ECB dalam menjaga stabilitas harga (tanpa menetapkan

rentang waktu secara spesifik) telah ditetapkan dalam Undang-

Undang, tetapi ECB masih memiliki kebebasan menetapkan target

lain dalam jangka pendek. Bank of Japan (BoJ) dan Sverunges

Riksbank (SR) juga memiliki independensi tujuan ckup tinggi.

Kebebasan rendah, seperti di Reserve Bank of New Zealand

(RBNZ) di mana stabilitas harga dinegosiasikan dengan Menteri

Keuangan secara periodik. Demikian pula dengan Bank of

England dan Bank of Canada juga memiliki tingkat goal

independence rendah mengingat di Inggris, Menteri Keuangan

menetapkan batasan stabilitas harga dan di Kanada Pemerintah

dan bank sentral menetapkan target-target pengendalian inflasi.

Dalam rangka penetapan tujuan kebijakan moneter, di

negara-negara yang mengalami transisi pasca komunisme di Eropa

Timur, bank sentral setiap negara nyaris mempunyai wewenang

Page 273: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 263

untuk menentukan tujuan kebijakan moneter, kecuali di

Ukraina.626

Perlu dicatat, bahwa independensi tujuan ini di dalam

praktik bukan saja berhubungan dengan Pemerintah, tetapi juga

relasi bank sentral dengan Parlemen. Di Jerman, aneka ragam

tuntutan politisi di Parlemen dan kemungkinan munculnya

perselisihan kebijakan moneter dengan Pemerintah mempertinggi

komitmen untuk mempertahankan independensi Bundesbank.

Dalam sistem federasi di Jerman, tiap-tiap konstitutuen Negara

Bagian (Land) mengajukan usul-usul kepada politisi mengenai

rentang kebijakan moneter, yang mencerminkan regionalisasi

ekonomi. Jika setiap partai politik di tingkat Negara Bagian

mengendalikan daftar calon di Majelis Rendah (Bundestag), maka

anggota parlemen akan meminta Pemerintah supaya menjamin

pencalonnya. Di sisi lain, bikameralisme di Jerman

memungkinkan konflik politik antara politisi di Majelis Rendah

(Bundestag) dengan politisi di Majelis Tinggi (Bundesrat).

Anggota Majelis Tinggi (Bundesrat) merupakan perwakilan dari

Negara Bagian. Pelaksanaan pemilu yang tidak serentak antara

Majelis Rendah dengan Pemerintah Negara Bagian memunculkan

proposal yang tidak sama sehubungan dengan kebijakan moneter.

Demikian juga sistem pemilu proposional yang menutup peluang

terciptanya single-government yang mendorong koalisi, padahal

setiap partai politik mempunyai pemilih dengan aspirasi yang

berbeda-beda. Bundesbank akan membantu Pemerintah dalam

mencegah kebijakan yang hanya mementingkan partai politik dan

patner koalisinya. Bundesbank juga membantu Pemerintah

mempertahankan masa jabatannya dengan dukungan kebijakan

ekonomi yang kredibel.

626 Wojciech S. Maliszewski, ―Central Bank Independence in Transition

Economies‖, Centre for Social and Economic Research (CASE), London School

of Economics and Political Science, September 2000, hlm. 6.

Page 274: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

264 | Hukum Kelembagaan Negara

Di Inggris, semenjak pasca Perang Dunia II, Bank of

England, dikendalikan oleh Pemerintah. Setiap gagasan untuk

membentuk independensi bank sentral selalu ditolak oleh

penguasa yaitu Partai Konservatif yang secara tradisional

mempunyai basis pendukung kalangan bisnis dan kelas menengah,

sementara oposisi utama yaitu Partai Buruh, dianggap mewakili

serikat kerja dan buruh. Sistem pemilu memungkinkan sebuah

partai menjadi Pemerintah tanpa harus koalisi. Gagasan

independensi bank sentral dalam perideo 1980-1990-an konsisten

ditolak oleh Perdana Menteri Thatcher, yang menggaungkan pasar

bebas, privatisasi, dan ketegasannya menolak sistem mata uang

tunggal Eropa. Sebuah tim, yang menguji usulan independensi

bank sentral di tengah resesi ekonomi pada 1990-an, yang meliputi

unsur Pemerintah maupun oposisi, mengalami kegagalan dalam

pengambilan keputusan. Oleh Perdana Menteri John Major, hal itu

disebut sebagai ―deadlock policy‖ independensi bank sentral. Baru

setelah Partai Buruh mengambil alih kekuasaan sejak 1997,

independensi Bank of England dapat dirumuskan lagi.627

Di Italia, formulasi kelembagaan bank sentral juga

dikategorikan sebagai ―dependent bank.‖ Tetapi, Partai Kristen

Demokrat yang mendominasi pemerintahan sejak usai Perang

Dunia II, mulai berubah pada 1980-an ketika mengajukan usul

peningkatan independensi bank sentral, Bank of Italy. Krisis

ekonomi pada tahun 1970-an, kemenangan signifikan Partai

Komunis dalam pemilihan umum, bergabungnya Italia ke dalam

Sistem Moneter Eropa (1979), memaksa pemerintahan Partai

Kristen Demokrat untuk memperbaiki kebijakan di bidang fiskal,

industri, dan moneter. Dengan alasan menjaga ekonomi makro,

maka independensi bank sentral ditetapkan. Hanya saja ketika

1980-an, Pemerintah mampu meyakinkan parlemen agar ada dana

talangan dari Bank sentral untuk menutup deficit anggaran, Bank

627 Gauti B. Eggertsson and Eric Le Borgne, ―A Political Agency Theory

of Central Bank Independence‖, Agustus 2009.

Page 275: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 265

Sentral menolak gagasan tersebut. Hal ini membenarkan sejumlah

studi bahwa ―independent central banks are associated with

superior inflation performance, suggesting that all countries

would have an independent bank to improve their economies.‖628

Pernyataan itu similar dengan upaya reformasi bank sentral

sehubungan dengan pelaksanaan kebijakan ekonomi, khususnya

dalam rangka pengendalian inflasi di bekas negara Yugoslavia dan

negara-negara bekas Uni Soviet di Eropa Tengah dan Timur.629

Lima negara yaitu Checnya, Hongaria, Polandia, Slovakia, dan

Slovenia, memulai stabilisasi ekonomi setelah mengalami

reformasi politik. Diantara negara itu, Polandia dan Hongaria—

yang keduanya mengalami inflasi yang tinggi (249% dan 33%

dalam rentang 1990-1998)--melakukan perubahan terhadap

Undang-Undang Bank Sentral yang memposisikannya sebagai

lembaga independen, di samping merupakan prakondisi dalam

rangka keinginannya untuk bergabung ke Uni Eropa. Kroasia—

yang mengalami konflik militer dan tidak memperoleh dukungan

International Monetery Fund atau IMF—melakukan perbaikan

ekonomi tanpa mengubah kelembagaan bank sentral. Sementara

itu, di tengah inflasi yang tinggi, Macedonia mengubah

independensi bank sentral, tetapi baru dilaksanakan 2 tahun

setelah reformasi ekonomi. Pada tahun 1992, Albania menetapkan

independensi bank sentral sebagai paket kebijakan pembaruan

ekonomi, hanya beberapa bulan sebelum memperoleh bantuan dari

IMF. Paling akhir, pada tahun 1998 Rumania menginisiasi

628 Lihat analisis riset yang ditulis oleh: Alberto Alesina ―Inflation,

Unemployment, and Politics in Industrial Democracies‖, Jurnal Economic Policy

Vol. 8, 1989, 55-98. Bandingkan juga dengan: Richard Burdekin dan Thomas

Willett. 1991, ―Central Bank Reform: The Federal Reserve in International

Perspective‖, Public Budgeting and Financial Management, Vol. 3, No. 3, hlm.

531-551 dan J. Manfred Neumann, ―Central Bank Independence as a Prerequisite

for Price Stability‖, American Journal of Political Science Vol. 2 No. 40, 1991,

hlm. 570-602.

629 Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 9-10.

Page 276: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

266 | Hukum Kelembagaan Negara

independensi bank sentral sebagai bagian dari reformasi ekonomi,

di mana Pemerintah dilarang meminjam langsung kepada bank

sentral dengan tingkat suku bunga di pasar, dan setahun kemudian

IMF menandatangani paket bantuan.

Di negara bekas Uni Soviet, pembaruan independensi bank

sentral menjadi cap legitimasi baru dalam upaya pemulihan

ekonomi seperti yang terjadi di Bulgaria, Latvia, Georgia, dan

Rusia; yang semua berada dalam kondisi sama: memperoleh paket

bantuan dari IMF. Oleh sebab itu, consensus domestic di dalam

negeri untuk mengatasi krisis ekonomi memberikan justifikasi

untuk independensi bank sentral. Dengan demikian, pada negara-

negara tersebut, paket bantuan IMF berperan dalam perubahan

posisi bank sentral. Karena ditetapkan dengan Undang-Undang

maka hal itu menimbulkan format baru hubungan Parlemen,

Pemerintah, dan Bank Sentral.

Dengan ilustrasi itu, independensi tujuan bank sentral akan

menjadi tolak tarik kepentingan antara Parlemen, partai politik,

dan pemerintah, yang khususnya nampak pada parlementerisme.

Jika sistem politik menunjukan kepentingan partai politik dalam

bidang kebijakan moneter berbeda-beda dan adanya

kemungkinkan penarikan dukungan oposisi terhadap Pemerintah,

kecenderungan yang terjadi adalah penetapan independensi bank

sentral. Sebaliknya, jika sistem politik memungkinkan tukar

menukar insentif kebijakan moneter diantara partai politik, dan

sangat tipis adanya penarikan dukungan oposisi kepada

Pemerintah, maka bank sentral dibiarkan dependen supaya ―to

maximize the government‘s control over monetary policy.‖630

630 William Bernhard, ―Central Bank Strategy, Credibility, and

Independence: Theory and Evidence‖, American Journal of Political Science ,

Vol. 3, 1992, hlm.588.

Page 277: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 267

2. Independensi Instrumen (Instrument Independence)

Independensi instrument (instrument independence). Dalam

hal ini bank sentral memiliki wewenang untuk menentapkan

sendiri target target operasionalnya tanpa pengaruh dari

pemerintah. Independensi ini meliputi pengendalian suku bunga

jangka pendek dan nilai tukar, serta larangan pemberian kredit

kepada pemerintah. Sebagai gambaran, bank sentral seperti

European Central Bank, the Federal Reserve, Bank of Japan, dan

Sveriges Rijksbank, memiliki kewenangan penuh dalam

menentapkan suku bunga. Dalam hal pengendalian nilai tukar,

hampir semua bank sentral hanya memiliki tanggung jawab yang

sangat terbatas. Demikian juga, hampir semua bank sentral masih

dapat memberikan kredit kepada pemerintah. Sementara itu,

European Central Bank masih memiliki wewenang dalam

penetapan nilai tukar dan tidak dapat memberikan kredit langsung

kepada pemerintah.

Relasi dengan Pemerintah sehubungan dengan instrumen

bank sentral dapat berbentuk konsultasi, pertimbangan

(advosiroy), dan kerjasama (cooperation). Dalam tataran

implementasi, konsekeunsi relasi dari independensi instrument ini

beragam, seperti yang terjadi di negara-negara yang mengalami

transisi ke demokrasi pasca komunis di Eropa.

Di Georgia, kebijakan penetapan instrumen bank sentral

bebas dari pengaruh Pemerintah, tetapi Dewan Gubernur dapat

dipecat apabila tidak menyetujui garis-garis besar kebijakan

moneter yang ditetapkan oleh Parlemen. Garis-garis besar itu

disusun oleh Parlemen setelah memperoleh laporan tahunan dari

bank sentral. Sementara itu, di Latvia, relasi dengan Pemerintah

bersifat advisory. Meskipun demikian, terkait dengan kebijakan

moneter, Menteri Keuangan dapat kebijakan lain dalam jangka

waktu 10 hari setelah keputusan bank sentral mengenai

penggunaan instrument moneter. Jika bank sentral tidak mengubah

keputusan itu dalam periode berjalan, maka keputusan Menteri

Keuangan itu yang dijalankan. Pada sisi lain, ketentuan mengenai

Page 278: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

268 | Hukum Kelembagaan Negara

bank sentral di Albania, Hongaria, Macedonia, Moldova,

Polandia, Rumania, dan Ukraina, tidak mengatur kaidah yang

harus dilakukan jika terjadi ketidasesuaian pendapat antara

Pemerintah dengan bank sentral.631

Sebagai bentuk penyeimbangan informasi dari pelaksanaan

wewenang bank sentral dalam menetapkan sendiri-sendiri target-

target operasionalnya tersebut, maka umumnya disampaikan

laporan atau publikasi kepada Parlemen dengan bentuk yang

bermacam-macam, termasuk ada atau tidaknya mekanisme

penyelesaian perselisihan antara bank sentral dan Pemerintah

dalam penggunaan wewenang itu.

Seperti kasus di Parlemen, jika Pemerintah menetapkan

kebijakan moneter, maka Reserve Bank of New Zealand, akan

memberikan informasi kepada Parlemen, sehingga Parlemen dapat

mengetahui konsekeunsi ekonomi dari penetapan tersebut. Di

Amerika Serikat, the Federal Reserve dapat memberikan

semiannually report kepada Congress, sehingga para legislator

akan mendapat keterangan yang lebih memadai, baik menyangkut

penggunaan instrument oleh bank sentral maupun pilihan

kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden. Lain dari itu, Gubernur

the Federal Reserve membuka kesempatan pemaparan kebijakan

bank sentral kepada media, yang berarti juga memberi peluang

munculnya aneka preferensi kebijakan yang disuarakan oleh

lembaga legislatif.632

3. Independensi Personal (Personal Independence)

Pada independensi ini, berhubungan dengan masa jabatan,

jumlah anggota, dan masa jabatan berjenjang dari anggota badan

pembuat kebijakan, tingkat keragamaan lembaga yang terkait

dengan proses rekrutmen serta status hukum khusus dari undang-

631 Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 48.

632 Thomas Havrilesky. ―The Political Economy of Monetary Policy.‖

European Journal of Political Economy, Vol. 10 No.1, hlm. 111-134.

Page 279: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 269

undang bank sentral. Struktur organisasi ini biasanya dikenal

sebagai Dewan Gubernur, yang meliputi Gubernur (Chairman),

yang dibantu oleh sejumlah Deputi Gubernur. Di Amerika Serikat

7 orang anggota Dewan Gubernur dicalonkan oleh Presiden dan

harus memperoleh konfirmasi dari Senat. Dalam pencalonan ini,

Presiden merancang bahwa 2 orang anggota disetujui oleh Senat; 2

orang lagi dicalonkan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan

Senat untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Semua

anggota Dewan Gubernur itu menjadi The Federal Open Market

Committee, yang unsur keanggotaan lain masing-masing adalah 5

orang Gubernur Bank Sentral Negara Bagian, yang satu

diantaranya adalah Gubernur Bank New York. Kemudian calon-

calon lain masing-masing 3 orang dari perwakilan bankir,

perwakilan industri, perdagangan, dan pertanian yang bukan

pegawai bank, serta 3 orang yang dicalonkan oleh The Federal

Reserve. Masa jabatan Dewan Gubernur adalah 14 tahun, untuk

Direktur dan Wakil Direktur selama 4 tahun, dan unsur lain adalah

3 tahun.

Di Bangladesh, Gubernur Bank Of Bangladesh diangkat

oleh Perdana Menteri untuk masa jabatan 4 tahun (sejak

kemerdekaan 1971-2003, salama 5 tahun); dan Gubernur tidak

boleh merangkap jabatan di pemerintahan. Di Austrialia, Gubernur

Bank of Australia diajukan oleh Gubernur Jenderal kepada

Parlemen, dan dapat diangkat jika masing-masing kamar parlemen

telah memberikan konfirmasinya pada satu masa sidang. Usul

pemecatan diajukan oleh Menteri Keuangan. Komposisi Dewan

Gubernur meliputi 9 orang dengan masa jabatan 7 tahun.

Dalam Undang-Undang di negara-negara Eropa Tengah

yang mengalami masa transisi ke demokrasi, diatur bermacam-

macam mekanisme untuk pengajukan Dewan Gubernur ini.633

Di

Albania, komposisi Dewan Gubernur mencakup 9 orang dan tanpa

ada perwakilan pemerintah, untuk masa jabatan 7 tahun dan

633 Wojciech S. Maliszewski, op.cit., hlm. 25.

Page 280: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

270 | Hukum Kelembagaan Negara

sesudahnya dapat dicalonkan kembali. Pengajuan calon diajukan

oleh Parlemen 3 orang, Presiden 1 orang, Kabinet 2 orang,

Menteri Keuangan 2 orang, Dewan Gubernur 1 orang, dan

Gubernur 1 orang. Di Armenia, susunan Dewan Gubernur

meliputi Gubernur dan Deputi Gubernur sebanyak 7 orang untuk

masa jabatan 7 tahun untuk Gubernur dan 5 tahun untuk anggota

Dewan Gubernur lainnya dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Susunan ini tidak mengikutsertakan perwakilan pemerintah.

Gubernur dan Wakil Gubernur diangkat Presiden setelah

memperoleh persetujuan dari Parlemen. Sedangkan untuk anggota

dewan yang lain diangkat oleh Presiden.

Dalam Undang-Undang di Belarusia, tidak ada ketentuan

mengenai susunan Dewan Gubernur. Hanya diatur bahwa masa

jabatan dewan adalah 6 tahun dan tidak ada ketentuan keterpilihan

kembali. Dewan Gubernur diajukan 3 oleh Parlemen 1 orang,

Kabinet 1 orang, dan khusus untuk anggota dewan lain diajukan

Gubernur dan harus memperoleh persetujaun parlemen.

Ketentuan berbeda dijumpai di Bulgaria di mana komposisi

Dewan Gubernur adalah 7 orang, tanpa perwakilan pemerintah,

dan untuk masa jabatan 6 tahun. Gubernur diajukan oleh Presiden

dan disetujui oleh Parlemen, sementara 3 orang Wakil Gubernur

dan 3 orang anggota lainnya ditetapkan masing-masing oleh

Gubernur dan Presiden.

Komposisi Dewan Gubernur juga tidak dijumpai di Estonia,

hanya ditetapkan masa jabatan selama 5 tahun dan tanpa aturan

keterpilihan kembali. Anggota Dewan Gubernur diajukan oleh

Presiden untuk disetujui oleh Parlemen, sedangkan anggota yang

lain disetujui Parlemen dengan pengajuan oleh Gubernur. Dalam

komposisi Dewan Gubernur ini, Menteri Keuangan masuk di

dalamnya, tetapi fungsinya sebagai Penasehat. Keterwakilan

Pemerintah juga dijumpai di Dewan Gubernur Latvia, di mana

Menteri Keuangan termasuk diantara 8 orang anggota dengan

masa jabatan 6 tahun. Keterwakilan Pemerintah juga ada dalam

susunan Dewan Gubernur di Rusia di mana Menteri Keuangan dan

Page 281: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 271

Menteri Ekonomi masuk diantara 13 anggota untuk masa jabatan 4

tahun. Seluruh pencalonan itu, kecuali wakil pemerintah, diajukan

oleh Gubernur kepada Parlemen setelah berkonsultasi dengan

Presiden. Di Giorgia, komposisi Dewan Gubernur sebanyak 9

orang (tanpa perwakilan dari Pemerintah) dan seluruhnya diajukan

oleh Presiden dan disetujui oleh Parlemen untuk masa jabatan 7

tahun dan dapat dipilih kembali.

Dalam sistem di Prancis, Gubernur merupakan anggota dari

Dewan Moneter. Seluruh anggota Dewan Moneter, termasuk

Gubernur, dicalonkan sebanyak 3 orang untuk masing-masing

posisi yang keseluruhannya dilakukan oleh Kabinet, Ketua Senat,

Ketua Majelis Nasional, Wakil Ketua Dewan Konstitusi, Ketua

Mahkamah Agung, Ketua Dewan Ekonomi dan Sosial, dan Ketua

Court of Auditor. Di Denmark, seluruh anggota Dewan Gubernur

sepenuhnya dicalonkan dan ditetapkan oleh Parlemen. Demikian

juga dengan Dewan Gubernur Riksbank di Swedia, kecuali

Gubernur, seluruh anggota Dewan Gubernur lainnya dicalonkan

dan ditetapkan oleh Parlemen. Oleh karena itu, dalam kasus

Swedia, komposisi parlemen hasil pemilu, otomatis akan

memberikan warna pula terhadap asal usul keanggotaan Dewan

Gubernur, yang pengisiannya dilakukan segera setelah Parlemen

baru mulai bekerja.

Di Jerman, Gubernur dan Direktur Bundesbank, diajukan

oleh Dewan Bank Sentral (yang terdiri dari Gubernur dan

Gubernur Bank Sentral Negara Bagian) kepada Presiden Federal.

Setelah itu, Presiden Federal meminta persetujuan dari Bundestag.

Masa jabatan Dewan Gubernur adalah 8 tahun dan sesudahnya

dapat dipilih kembali.

Pelibatan parlemen vis a vis Pemerintah, amat tergantung

kepada kekuatan politik masing-masing pihak. Sekalipun disetujui

oleh Parlemen, jika mayoritas politik adalah Pemerintah, maka

sudah pasti Dewan Gubernur akan selalu sejalan dengan kebijakan

moneter pemerintah, suatu mekanisme yang kadang disebut

Page 282: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

272 | Hukum Kelembagaan Negara

sebagai deficit demokrasi, yang akhirnya mengaburkan makna

independensi bank sentral itu sendiri.

Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa pengisian jabatan

Dewan Gubernur sangat majemuk. Kecuali perwakilan

Pemerintah, ada juga negara memasukkan perwakilan dalam

susunan dewan, seperti perwakilan dari bank sentral itu sendiri,

daerah/negara bagian, perwakilan dari badan ekonomi/financial,

dan berbagai interest group lain.

C. Kelembagaan Bank Indonesia

1. Nasionalisasi ke Sirkulasi-Komersial

Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia,

tersirat maupun tersurat, memberikan pengaturan mengenai

kelembagaan bank sentral, utamanya dalam fungsi sebagai bank

sirkulasi. Naskah asli (Sebelum Perubahan) UUD 1945 Pasal 23

ayat (4) mengatakan, ―Hal keuangan negara selanjutnya diatur

dengan Undang-Undang.‖ Dalam bagian Penjelasan, antara lain

dikatakan, ―Berhubung dengan itu, kedudukan Bank Indonesia

yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas,

ditetapkan dengan Undang-Undang.‖ Setelah Proklamasi

kemerdekaan ada niat untuk mendirikan Bank Indonesia

sebagaimana ketentuan Pasal 23 ayat (4) tersebut, tetapi sulit

dilaksanakan karena adanya keharusan penetapan dengan Undang-

Undang.

Untuk mensiasati hal tersebut, didirikanlah ‖Poesat Bank

Indonesia‖634

sebagai suatu yayasan berdasarkan Akta Notaris No.

14 R.M. Soerojo, Notaris di Jakarta tanggal 9 Oktober 1945.

Untuk pertama kali, pengurus yayasan ini adalah Mohammad

Hatta, Muwardum Soeharto, Djohar, Mardanus, Soerachman, dan

634 Pengurus yayasan ini pertama kali terdiri dari Mohammad Hatta,

Muwardi, Soeharto, Djohar, Mardanus, Soerachman, dan Soeeno, dengan

Direktur Harian dipegang oleh R.M. Margono Djojohadikusumo dibantu oleh

Abdul Karim. Lihat dalam Maklumat Pemerintah tertanggal 9 Oktober 1945.

Page 283: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 273

Soepno, dengan Direktur Harian dipegang oleh R.M. Margono

Djojohadikoesoemo dibantu oleh Abdulkarim. Menurut Oey

Beng To635

, pembentukan yayasan ini sebagai langkah awal dalam

membentuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksudkan oleh

Penjelasan Pasal 23 ayat (4) UUD 1945. Sebelumnya, pada

tanggal 2 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah tentang

tidak berlakunya uang NICA, kemudian disusul oleh Maklumat

tentang apa yang dianggap sebagai alat pembayaran yang sah pada

tangggal 3 Oktober 1945. Seperti ditulis oleh Jimly Asshiddiqie636

,

bahwa semua tindakan tersebut merupakan cermin kebijakan

ekonomi pascaproklamasi sebagai salah satu bentuk konsolidasi

ekonomi untuk mendukung usaha pemerintah dalam memperkuat

kekuasaan politik negara yang baru saja merdeka.

Pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah

No. 1 Tahun 1946 tentang Bank Rakyat Indonesia pada tanggal 22

Februari 1946. Bank ini sebenarnya merupakan pengembangan

bank perkreditan rakyat di masa Jepang yang bernama ‖Syumin

Ginko‖ dan ‖Algemeene Volkscredietbank‖ di zaman Belanda

yang status hukumnya sendiri masih berlangsung hingga tahun

1951. Pada 5 Juli 1946, ‖Poesat Bank Indonesia‖ kemudian

diganti menjadi Bank Negara Indonesia melalui Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1946 tentang

Pembentukan Bank Negara. Untuk mengukuhkan kendali

keuangan ini, maka pada 1 Oktober 1946 ditetapkan UU No. 17

Tahun 1946 tentang Pengeluaran Uang Republik Indonesia.

Adanya Agresi Militer Belanda I (23 Juli 1946) dan Agresi

Militer Belanda II (19 Desember 1948), mengharuskan

Pemerintah Indonesia dan Belanda menempuh jalur perundingan

seperti Perundingan Linggajati (1947) dan Perundingan Reenville

635 Oey Beng To, 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I

(1945-1958), Jakarta: LPPI, hlm. 91.

636 Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam

Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Disertasi UI, hlm. 182.

Page 284: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

274 | Hukum Kelembagaan Negara

(1948), serta berbagai persiapan Konferensi Meja Bundar di

Belanda (1949) melalui Perundingan Roem-Royen di Jogjakarta.

Salah satu hal yang dibahas dalam perundingan itu yang cukup

alot adalah mengenai siapakah bank yang berwenang untuk

mencetak dan mengedarkan uang. Bagaimanapun, Pemerintah

Indonesia sudah mempunyai bank sirkulasi sendiri, akan tetapi di

lain pihak ada De Javasche Bank yang tetap beroperasi sebagai

bank sirkulasi di bawah kendali Belanda. Kemudian, kedua negara

juga tidak sepakat mengenai bentuk bank sirkulasi, apakah

merupakan bank negara atau bank swasta yang memperoleh

pengakuan (oktroi) dari pemerintah. Dengan situasi itu, akhirnya

Indonesia menerima kesepakatan bahwa De Javasche Bank yang

akan menjadi bank sentral, sedangkan Bank Negara Indonesia

hanya menjadi bank sirkulasi bagi Republik Indonesia.

Konfigurasi pendapat itu berlanjut saat berlangsung

Konferensi Meja Bundar di Belanda, yang mana setelah format

negara serikat disepakati, delegasi BFO menghendaki agar bank

sentral adalah bank swasta yang mendapatkan pengakuan dari

Pemerintah, sementara delegasi Republik Indonesia berpendapat

bahwa fungsi itu harus dijalankan oleh bank pemerintah seperti

Bank Negara Indonesia. Akhirnya konferensi menyepakati bahwa

kedudukan de Javasche Bank diterima, selama Pemerintah

Indonesia masih mempunyai hutang kepada Belanda, bila ada

perubahan terhadap undang-undang bank sentral, maka harus

dibuat kesepakatan terlebih dahulu antara Indonesia dengan

Belanda. Selain itu, perubahan pengurus dan pemberian kredit

juga harus memperoleh persetujuan Pemerintah Indonesia.637

Dalam praktik selanjutnya, fungsi De Javasche Bank sebagai bank

sentral menimbulkan dualisme karena satu Negara mempunyai

637 Priasmoro Prawiroardjo, 1987, ―Perbankan Indonesia 40 Tahun‖,

dalam Hendra asmara, Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan,

Jakarta, Penerbit Gramedia, hlm. 184.

Page 285: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 275

bank sentral yang masih berada di bawah pengaruh kepentingan

lain.638

Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949) sebagai hasil

Konferensi Meja Bundar, antara lain dalam Pasal 164 ayat (4)

mengatur bahwa ‖pengeluaran alat-alat pembayar yang sah

dilakukan oleh atau atas nama Republik Indonesia Serikat

ataupun oleh bank sirkulasi.‖ Kemudian, dalam Pasal 165 ayat (1)

diatur, ‖Untuk Indonesia ada satu bank sirkulasi.‖ Pasal 165 ayat

(2) mengatur, ‖Penunjukkan sebagai Bank Sirkulasi dan

pengaturan tatanan dan kekuasaanya dilakukan dengan Undang-

Undang Federal.‖

Setelah kembali ke negara kesatuan, diberlakukanlah UUD

1950, sebagai konstitusi sementara, yang juga mengatur

kelembagaan bank sirkulasi. Dalam Pasal 104 ayat (4) diatur,

‖Pengeluaran alat-alat pembyaran yang sah dilakukan oleh atau

atas nama Pemerintah Republik Indonesia ataupun oleh Bank

Indonesia.‖ Kemudian, Pasal 110 ayat (1) berbunyi,‖Untuk

Indonesia ada satu Bank Sirkulasi.‖ Lalu Pasal 110 ayat (2)

mengatur bahwa ‖Penunjukkan sebagai Bank Sirkulasi dan

Pengaturan tatanan dan kekuasaannya dilakukan dengan undang-

undang.‖

Dalam tahun-tahun ini kemudian pemerintah melakukan

kebijakan sehubungan dengan ‖pengeluaran alat-alat pembayaran

sah‖ tersebut. Pertama-tama ditetapkan Undang-Undang Darurat

Nomor 20 Tahun 1951 Tentang Penghentian Berlakunya "Indische

Muntwet 1912" dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata

Uang. Kebijakan itu berturut-turut diikuti dengan Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 1953 Tentang Penetapan "Undang-Undang

Darurat Tentang Penghentian Berlakunya "Indische Muntwet

1912" dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang

(Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1951) Sebagai

Undang-Undang; Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1958

638 Didik J. Rachbni, Suwidi Tono, dkk, 2000, op.cit., hlm. 1.

Page 286: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

276 | Hukum Kelembagaan Negara

Tentang Pengubahan "Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953"

serta Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1958 Tentang Penetapan

"Undang-UndangDarurat Nomor 4 Tahun 1958 Tentang

Pengubahan Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953" Sebagai

Undang-Undang.

Terkait dengan kelembagaan perbankan, Pemerintah

Indonesia mengesahkan UU No. 12 Tahun 1951 yang

menghapuskan status badan hukum ―Algemeene

Volkscredietbank‖ yang berasal dari zaman Belanda. Sebelumnya

Pemerintah juga sudah mengatur masalah Bank Rakyat Indonesia

pada bulan April dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.

25 Tahun 1951. Semua kekayaan dan pegawai ban dialihkan

kepada Bank Rakyat Indonesia, yang hal ini sebenarnya bentuk

lain dari nasionalisasi.

Dengan pengalaman ini, Pemerintah secara resmi

menasionalisikan De Javasche Bank pada Desember 1951 melalui

UU No. 25 Tahun 1951. Kemudian ditetapkan UU No. 11 Tahun

1953 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti De Javasche Bank

Wet 1922 pada masa Menteri Keuangan Soemitro

Djojohadikoesoemo dalam Kabinet Wilopo. Dalam undang-

undang ini banyak diadopsi pemikiran Mr. Sjafruddin

Prawiranegara (Gubernur Bank Indonesia pertama) khususnya

mengenai fungsi komersial bank. Dalam menjalankan

kegiatannya, Bank Indonesia dipimpin oleh Gubernur Bank

Indonesia, sedangkan kebijakan bank akan ditentukan oleh Dewan

Moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua,

Menteri Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia. Selain itu,

terdapat Dewan Penasehat yang bertugas memberi nasehat kepada

Dewan Moneter.

2. Struktur dan Tugas Bank Indonesia

Bank Indonesia, menurut Pasal 7 UU No. 11 Tahun 1953,

ertugas mengatur nilai satuan uang Indonesia demi tercapainya

kemakmuran bangsa dengan kewajiban menjaga keseimbangan

Page 287: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 277

nilai mata uang. Tugas lain Bank Indonesia adalah

menyelenggarakan peredaran uang kertas, mempermudah jalannya

uang giral, dan mengatur jalannya dengan luar negeri; memajukan

kredit dan urusan bank, serta mengawasi masalah kredit. Tugas

bank yang sangat eksklusif adalah mengeluarkan uang kertas bank

(Pasal 8 ayat [1]) sebagai alat pembayaran yang sah (Pasal 8 ayat

[2]).

Selain itu, Bank Indonesia juga mempunyai tugas

memindahkan uang dengan cara yang lazim seperti wesel tunjuk

(Pasal 13 ayat [1]), menerima dan membayar kembali uang-uang

dalam rekening Koran, melakukan pemindahan uang, menerima

pembayara atas tagihan surat berharga (Pasal 13 ayat [1]); dan

lain-lain tugas yang terkait dengan transaksi keuangan, hingga

bertindak sebagai bankir pemerintah, membantu pemerintah dalam

membuat perjanjian dengan negara asing atau organisasi

internasional (Pasal 13 ayat [8]) dan melakukan admnistrasi

pembayaran luar negeri (Pasal 13 ayat [10]).

Ketentuan UU No. 11 Tahun 1953 mengatur bahwa Bank

Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan

Penasehat. Jabatan Dewan Moneter secara permanen diduduki

oleh Menteri Keuangan, namun jika Menteri Keuangan

berhalangan, maka secara otomatis jabatan tersebut dipegang oleh

Gubernur Bank Indonesia (Pasal 24 ayat [1]). Latar belakang

pemikiran pembentukan Dewan Moneter ini adalah untuk

menghindari perbedaan pendapat antara Bank Indonesia dengan

pemerintah, mengingat aadanya perbedaan kepentingan dan tugas

dari pemerintah dan Bank Indonesia.

Direksi Bank Indonesia meliputi minimal Gubernur dan 2

orang direktur. Jumlah maksimal direktur adalah 5 orang di mana

pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah atas usul Dewan

Moneter untuk masa jabatan 5 tahun. Direksi yang telah selesai

masa jabatannya dapat diangkat kembali setelah menyelesaikan

masa jabatannya (Pasal 27 ayat [5]).

Page 288: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

278 | Hukum Kelembagaan Negara

Setelah kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5

Juli 1959, maka kebijakan nasionalisasi dan penataan bank

kembali dilakukan. Dalam diri bank sentral, setelah pemberhentian

Sjafruddin Prawiranegara pada 31 Januari 1958, menyebabkan

tugas Bank Indonesia menjadi lemah dalam menjaga stabilitas

keuangan. Pada tahun 1961, Jusuf Muda Dalam diangkat sebagai

Menteri Urusan Bank Sentral, dan seiring dengan regrouping

kabinet pada tahun 1962, Menteri Urusan Bank Sentral merangkap

sebagai Gubernur Bank Indonesia. Kepada Dewan Moneter

dengan Keputusan Presiden No. 232/1963 ditambahkan seorang

menteri keanggotaannya dan jangkauan dewan ini juga

menyangkut masalah moneter dan penertiban bank swasta.

Belakangan dengan terbentuknya Kabinet Dwikora, pada 27

Agustus 1964 urusan ini ditangani oleh Menteri Urusan Penertiban

Bank dan Modal Swasta yang dijabat oleh J.D. Massie.639

Perubahan penting lain adalah terbitnya Keputusan Menteri

Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961, yang melarang

Bank Indonesia mengumumkan serta menerbitkan angka-angka

termasuk moneter atau perbankan.640

Dalam kedudukan sebagai Menteri Urusan Bank Sentral,

Teuku Jusuf Muda Dalam memutuskan untuk melakukan

reorganisasi terhadap seluruh sistem perbankan yang berada di

bawah kekuasaannya.641

Juga diperkenalkan fungsi baru Bank

Indonesia sebagai bank berjuang, yang bukanhanya melaksanakan

tugasnya secara konvensional mempertahankan stabilisasi moneter

dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga harus mengabdi kepada tujuan

revolusi Indonesia, yang berarti Bank Indonesia bukan hanya

639 M. Dawam Rahardjo, dkk, 1995,

640 Maqdir Ismail, 2009, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan

Hukum, Jogjakarta, Navila Idea, hlm.72.

641 Maqdir Ismail, op.cit., hlm. 6.

Page 289: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 279

sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi, tetapi juga adalah

alat untuk mencapai tujuan politik.642

Corak kebijakan yang sangat berbeda terjadi ketika Orde

Baru berkuasa, khususnya dengan UU No. 13 Tahun 1968 maka

salah satu yang diatur secara tegas adalah memulihkan kedudukan

Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan cara melepaskan

kegiatan bank sentral di bidang perbankan komersial, meskipun

tidak ada perubahan dan penambahan yang radikal dalam undang-

undang yang baru, tidak juga ada perubahan yang baru terhadap

otonomi bank sentral dalam hubungannya dengan peemrintah.643

Dalam undang-undang itu juga Dewan Moneter ditempatkan

sebagai lembaga yang sangat penting karena merumuskan

kebijakan moneter yang akan dilakukan oleh bank sentral. Tidak

berlebihan jika Dewan Moneter sering ditunjuk sebagai alat

pemerintah dan pembantu presiden dalam memikirkan,

merencanakan, dan menetapkan kebijakan moneter (Pasal 9 UU

No. 13 Tahun 1968). Jadi, kekuasaan untuk menetapkan kebijakan

moneter berada di Dewan Moneter. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU

No. 13 Tahun 1968 ditetapkan bahwa Dewan Moneter terdiri atas

Menteri yang membidangi keuangan dan perekonomian serta

Gubernur Bank Sentral. Ditegaskan juga lewat Pasal 11 ayat (1)

bahwa menteri keuangan merupakan penanggung jawab bidang

keuangan dan sebagai faktor terpenting dalam pelaksanaan

kebijakan moneter, sehingga Menteri Keuangan ditetapkan

sebagai Ketua Dewan Moneter dan bertanggung jawab untuk

mengorganisasikan sebuah kesekretariatan. Jika dikaitkan dengan

Pasal 9 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1968, nampak bahwa Dewan

Moneter adalah perpnajangan tangan Presiden untuk

mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan moneter yang telah

ditetapkan oleh pemerintah. Dalam model kebijakan ini, bank

sentral berada di luar departemen pemerintahan dan Gubernur

642 Ibid.

643 M. Dawam Rahardjo, dkk, op.cit., hlm. 7.

Page 290: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

280 | Hukum Kelembagaan Negara

Bank Sentral tidak berkedudukan sebagai menteri. Namun

semenjak Kabinet Pembangunan II Tahun 1983, Gubernur Bank

Indonesia diberi kedudukan setingkat menteri negara dan

pemerintah memperlakukan Bank Indonesia sebagai bagian dari

pemerintah.644

Krisis ekonomi tahun 1997 dan reformasi nasional 1998

menjadi momentum titik balik terhadap keberadaan Bank

Indonesia sebagai bank sentral. Pada tanggal 17 Mei 1999 telah

dapat dibentuk UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Regulasi ini memberikan status dan kedudukan kepada Bank

Indonesia sebagai suatu bank sentral yang independen dan bebas

dari campur tangan pihak luar, termasuk pemerintah. Ketentuan

UU No. 23 Tahun 1999 secara tegas memberikan landasan kepada

Bank Indonesia untuk mencapai target yang telah ditetapkan yaitu

memelihara kestabilan nilai rupiah dengan menggunakan berbagai

instrumen kebijakan yang ditetapkan. Penetapan tujuan tunggal

tersebut menjadikan sasaran dan batas tanggung jawab Bank

Indonesia akan semakin jelas dan terfokus. Dalam rangka

mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kepada Bank Indonesia

diberikan 3 (tiga) tugas utama, yaitu (i) menetapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter; (ii) mengatur dan menjaga

644 Soedrajat Djiwandono, 2001, Mengelola Bank Indonesia dalam Masa

Krisis, Jakarta: LP3ES, hlm. 290. Pada masa ini perekonomian Indonesia

menghadapi masalah yang semakinberat yaitu ketika harga minyak mulai jatuh

pada awal 1980-an yang menggiring pemerintah ke sudut yang sangat sempit.

Bagi rezim yang menggantungkan legitimasinya pada keberhasilan pembangunan

ekonomi keadaan tersebut tidak bisa dianggap enteng. Dalam situasi ini, Presiden

Soeharto berpaling kepada teknokrat yang kemudian menangkap peluang untuk

kembali menjadi actor-aktor di panggung kebijakan yang paling bertanggung

jawab. Keberadaan Dewan Moneter sendiri, menurut penulis, cermin dari

kepercayaan Soeharto kepada para teknokrat tersebut. Tentang keterlibatan

kembali para teknokrat, lihat dalam Rizal Mallarangeng, 2002, Mendobrak

Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI dan The Ford

Foundation, hlm. 97-123.

Page 291: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 281

kelancaran sistem pembayaran; dan (iii) mengatur dan mengawasi

bank.

Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, UU No. 23

Tahun 1999 telah memberikan independensi yang lebih luas yaitu

meliputi aspek goal independence, instrument independence, dan

personal independence. Untuk aspek goal independence nampak

dari penetapan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan

memelihara kestabilan nilai rupiah. Sementara itu, aspek

nstrument independence nampak di mana undang-undang

memberikan wewenang kepada Bank Indonesia untuk menetapkan

sendiri target-target operasionalnya tanpa pengaruh dari

pemerintah. Dalam menjalankan kebijakan moneternya, Bank

Indonesia memiliki wewenang penuh dalam menetapkan suku

bunga jangka pendek tanpa pengaruh pemerintah. Kemudian

aspek personal independence nampak dari ketentuan undang-

undang yang melarang campur tangan pelaksanaan tugas Bank

Indonesia, bahkan kepada Bank Indonesia diberikan wewenang

untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun

dan pihak manapun juga. Anggota Dewan Gubernur mempunyai

masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu

masa jabatan lagi. Pengusulan Gubernur dan Deputi Gubernur

Senior dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Sementara pengangkatan Deputi Gubernur oleh Presiden dengan

persetujuan DPR atas usul Gubernur. Dalam perkembangan

selanjutnya UU No. 23 Tahun 1999 diubah dengan UU No. 3

Tahun 2004.

Sebagaimana tercantum di dalam bagian Penjelasan Umum,

alasan utama untuk melakukan perubahan peraturan perundang-

undangan itu adalah untuk melakukan penyesuaian mekanise

perumusan kebijana moneter dan penataan kembali mekanisme

perumusan kebijakan moneter dan penataankembali kelmebgaan

Bank Indonesia sebagai penanggung jawab ototirtas kebijakan

moneter. Sehubungan dengan kebijakan ini, maka perubahan juga

bertujuan untuk mewujudkan prinsip keseimbangan antara

Page 292: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

282 | Hukum Kelembagaan Negara

independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan pengawasan dan

tanggung jawab terhadap kinerjanya yang harus memenuhi

akuntabilitas publik yang transparan.

3. Personal Independence

Ketika Bank Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan

akibat ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai

tersangka 645

dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan

Perbankan Indonesia (YPPI) oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi646

, maka bersamaan itu juga masa jabatan gubernur bank

sentral mendekati akhir periode.647

Untuk mengisi jabatan

Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2

645 Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1

miliar atau sekitar Rp 47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk

meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan

besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.

646 YPPI diduga mengalirkan ‖dana gelap‖ sebesar Rp 127,75 miliar di

mana sebesar Rp 96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam

upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang

menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp 31,5 miliar

diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid.

Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-

tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader

Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April

1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan

sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).

Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain

mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan

lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya

kembali menjadi YPPI.

647 Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank

sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi

Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun

yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat,

Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126.

Page 293: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 283

(dua) orang calon—Agus Martowardoyo648

dan Raden Pardede649

-

-untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan setelah

melalui serangkaian fit and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR

menyatakan menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh

Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang sudah

diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang kemudian

memancing perdebatan seru di balik drama pengisian Gubernur BI

itu. Namun memang penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan

sebagai upaya politis untuk ‖mempengaruhi‖ independensi BI

sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan kontur

kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan dalam hubungan

antarlembaga negara.

Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian jabatan

Gubernur BI pernah terjadi pada masa pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid (1999-2001). Waktu itu sang presiden ingin

Prijadi Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi Direktur

Utama Bank Rakyat Indonesia(BRI). Ternyata tidak mungkin,

karena menurut aturan yang berlaku, Prijadi tidak lulus fit and

proper test yang diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan

minta agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk

mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar indikasi terlibat

skandal Bank Bali. Syahril menolak dan akhirnya memang dia

memang dikriminalkan dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum

648 Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah

sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan

menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006. Kini ia

menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.

649 Pardede adalah doktor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri

lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah

menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus

Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan,

Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan

sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.

Page 294: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

284 | Hukum Kelembagaan Negara

itu dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan perubahan

terhadap undang-undang bank sentral yang pada intinya

memungkinkan Presiden mencopot Gubernur BI pada masa

jabatan jika dinilai tidak mempunyai kinerja yang baik. Tetapi,

seperti ditulis oleh Kwik Kian Gie650

, proses perubahan undang-

undang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah mencapai

keberhasilan.

Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden

Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot

Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur BI, karena yang

bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board

System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar

Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI

merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet

Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru

semenjak tahun 1967.651

Barangkali Presiden Megawati

Soekarnoputri (2001-2004) yang beruntung karena pada masa

jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak mengalami

kegoncangan ketika ia mencalokan Burhanuddin Abdullah sebagai

calon tunggal ke DPR.

Secara akademik, penulis mengakui, bahwa menilai tingkat

independensi BI hanya dari segi pengisian jabatan Gubernur

terlalu parsial. Akan tetapi secara praksis politik, memang selama

650 Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas,

hlm. 81.

651 Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973),

Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar

(1988-1993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (1998-

2003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat

menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril

Sabirin yang ‖berprestasi‖ karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden

selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran

UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang

paling independen semenjak berdirinya republik ini.

Page 295: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 285

ini tingkat independensi diungkit-ungkit saat pergantian jabatan

pucuk pimpinan otoritas moneter ini.

D. Bank Indonesia sebagai Lembaga Negara

Percakapan dalam rubrik ini terfokus kepada 2 (dua) isu

utama yaitu Bank Indonesia sebagai lembaga negara dan Bank

Indonesia sebagai badan hukum. Terlebih dahulu harus dijelaskan

mengapa masalah kedudukan ini menjadi penting untuk ditelaah

secara yuridis. Menurut Bagir Manan652

, kedudukan merupakan

inti norma yang memberikan status hukum atau tempat suatu

subyek dalam lalu lintas hukum. Dalam pandangan Jimly

Asshiddiqie653

, kedudukan mempunyai keterkaitan erat dengan

corak, bentuk, bangunan, dan struktur organisasi yang ditopang

lewat argumen bagaimana pengorganisasian kekuasaan harus

dilakukan.

Berkaitan dengan hal ini, maka dalam studi hukum tata

negara, kedudukan suatu entitas diatur di dalam konstitusi. Terkait

dengan hal ini maka pantas jika isu utama konstitusi adalah

masalah pengorganisasian kekuasaan yang tercermin dalam

macam-macam lembaga negara serta perhubungan antara lembaga

negara yang satu dengan yang lain.654

Dengan tertib berpikir yang

demikian, pertanyaan yang dapat diajukan adalah bagaimanakah

kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam sistem

ketatanegaraan.

Pertama-tama tentu harus dilihat dalam level konstitusi.

Dalam naskah asli UUD 1945 sama sekali tidak diatur masalah

kedudukan Bank Indonesia kecuali secara sepintas lalu dalam

652 Bagir Manan, MPR, DPR, dan DPD Menurut UUD 1945 Baru,

op.cit., hlm. 59.

653 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara

Pasca Reformasi, op.cit., hlm. 1.

654 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung:

Alumni.

Page 296: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

286 | Hukum Kelembagaan Negara

Penjelasan Pasal 23, salah satu norma dalam Bab VIII dengan

topik Hal Keuangan. Penyebutan sepintas lalu itu secara sistematis

terkait dengan ketentuan UUD 1945 Pasal 23 ayat (3), yang

berbunyi Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan

Undang-Undang. Penjelasan atas ketentuan ini berbunyi sebagai

berikut:

Juga tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan

dengan Undang-Undang. Ini penting karena kedudukan

uang itu besar pengaruhnya dalam masyarakat...Oleh

karena itu keadaan uang itu harus ditetapkan dengan

undang-undang. Berhubung dengan itu, kedudukan Bank

Indonesia yang mengeluarkan dan mengatur peredaran

uang kertas ditetapkan dengan undang-undang.

Dari kutipan sebagian Penjelasan Pasal 23 ayat (3) UUD

1945 di atas nampak bahwa adanya Bank Indonesia dikaitkan

dengan fungsi ‖mengeluarkan dan mengatur peredaran uang

kertas‖ dan itu juga tidaklah dimaksudkan menunjuk kepada suatu

organ tertentu, mengingat bahwa Bank Indonesia saat itu belum

terbentuk.

Pada kurun waktu berlakunya Konstitusi Republik

Indonesia Serikat, juga tidak tegas ditunjuk adanya bank sentral

dan bagaimana kedudukannya dalam ketatanegaraan. Ketentuan

Pasal 165 ayat (1) dan ayat (2) masing-masing menegaskan 2

(dua) hal sebagai berikut: (i) Untuk Indonesia ada satu bank

sirkulasi; dan (ii) Penunjukkan sebagai bank sirkulasi dan

pengatur tatanan dan kekuasaannya dilakukan dengan undang-

undang federal. Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar

Sementara 1950 (UUDS 1950), ketentuan Pasal 165 ayat (1) dan

ayat (2) KRIS 1949 itu diadopsi sepenuhnya dalam Pasal 110 ayat

(1) dan ayat (2). Tetapi dalam kurun waktu 1950-1959 ini,

dilakukanlah nasionalisasi terhadap De Javasche Bank menjadi

Bank Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 1953. Kondisi ini

berlangsung terus sampai dengan berkuasanya Orde Baru dan baru

Page 297: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 287

dibentuk UU No. 13 Tahun 1968. tetapi isyarat yang dapat

ditangkap selama masa 1945 sampai Orde Baru itu tidak pernah

ada ketentuan konstitusional yang mampu menjelaskan bagaimana

kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam sistem

ketatanegaraan.

Dalam reformasi konstitusi (1999-2002) yang mengubah

UUD 1945 sebanyak 4 kali, maka isu mengenai kedudukan Bank

Indonesia menjadi perdebatan yang hangat. Setelah melalui

perdebatan teknis yang panjang, baru pada 2002 Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan Perubahan UUD

1945 Pasal 23D yang mengatur mengenai Bank Indonesia. Tetapi

MPR menghindari kata ‖Bank Indonesia‖ dan menggunakan kata

‘bank sentral.‖ Ketentuan Pasal 23D selengkapnya berbunyi

Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,

kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur

dengan undang-undang. Norma konstitusional baru ini

menyebabkan bank sentral menikmati proteksi konstitusional yang

lebih besar, karena pasal 23D secara eksplisit menyebutkan bahwa

Bank ini harus bersifat independen. Tetapi, konstitusi bungkam

soal arti ‖independen‖ dan hanya menyebutkan bahwa hal itu akan

diatur lebih jauh dengan undang-undang. Perlu dicatat bahwa

‖undang-undang‖ dimaksud telah ada terlebih dahulu yaitu UU

No. 23 Tahun 1999 yang pada hakekatnya telah membuat

kedudukan Bank Indonesia menjadi bank sentral yang independen

seperti diuraikan dalam subbagian D. 1 di atas.

Penjelasan yang sedikit memuaskan terjadi ketika UU No.

23 Tahun 1999 diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004. Di dalam

undang-undang terakhir ini penegasan independensi semakin

nyata sebagaimana terlihat dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 23

Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 yang menyatakan Bank

Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur

tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal

yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Tetapi

Page 298: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

288 | Hukum Kelembagaan Negara

keberlakuan ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini tidak tegas memberikan

bagaimana kedudukan Bank Indonesia dalam sistem

ketatanegaraan. Hal ini justru berlainan dengan UU No. 23 Tahun

1999 yang di dalam bagian Penjelasan Umum memuat penegasan

antara lain bahwa kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga

negara yang independen berada di luar pemerintahan

sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang ini. Memang

seyogyanya norma yang menegaskan pengertian independen,

kedudukan, serta posisi Bank Indonesia sebagai bank sentral diatur

di dalam UUD 1945.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana hubungan Bank

Indonesia terhadap pemerintah? Sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004

bahwa Bank Indonesia merupakan lembaga negara independen.

Di sini semestinya Bank Indonesia mempunyai hubungan yang

terpisah dengan pemerintah dan bukan merupakan bagian dari

pemerintah sehingga kedudukannya tidak sama dengan

pemerintah. Tetapi penegasan mengenai hal ini tidak terdapat

dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004. Menurut

Maqdir Ismail655

jika jalan pemikiran mengenai pemisahan BI

dari pemerintah ini diterima maka harus ada suatu perubahan

norma dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004

yang secara tegas mengatur hubungan Bank Indonesia dan

pemerintah yang dengan jelas dan tegas menyatakan adanya

pemisahan fungsi antara Bank Indonesia dengan pemerintah. Hal

ini sebagaimana diatur dalam UUNo. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3

Tahun 2004 Bab VIII, yaitu Pasal 52, 53, 54, 55, dan Pasal 56,

terutama dalam menjalankan kebijakan moneter. Sebagai contoh,

bisa dilakukan perubahan terhadap Pasal 52 dengan menambahkan

satu ayat yang secara tegas menyatakan adanya pemisahan fungsi

Bank Indonesia dan pemerintah. Dengan terpisahnya fungsi Bank

655 Op.cit., hlm. 25.

Page 299: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 289

Indonesia dengan pemerintah, Bank Indonesia bertindak sebagai

pemegang kas pemerintah.

Ditambahkan oleh Maqdir Ismail, bahwa dengan adanya

pemisahan fungsi antara pemerintah dan Bank Indonesia,

hubungan dan koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia

mengenai kebijakan ekonomi danperbankan harus dilakukan

secara langsung oleh pemerintah dan Bank Indonesia.

Pengaturannya didasarkan kepada ketentuan Pasal 54 UU No. 23

Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004, sedangkan kewajiban untuk

berkoordinasi mengenai penerbitan surat utang negara agar tidak

berakibat negatif terhadap kebijakan moneter, hal itu harus

dilakukan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 55 UU No. 23

Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004.

Perlu dikemukakan di sini bahwa ‖pemisahan‖ di sini

ditekankan kepada fungsi Bank Indonesia dan pemerintah. Secara

institusional Bank Indonesia tetap merupakan bagian dari

pemerintah, sehingga dengan tertib berpikir demikian adanya

koordinasi Bank Indonesia dan pemerintah dalam kebijakan

ekonomi dan perbankan sebagaimana Pasal 54 UU No. 23 Tahun

1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 dapat diterima. Dapat dikatakan di

sini bahwa Bank Indonesia merupakan the highest executive state

bodies.

Perubahan UU No. 23 Tahun 1999 melalui UU No. 3 Tahun

2004 juga memberi implikasi lahirnya Badan Supervisi. Di dalam

Pasal 58A UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004

ditentukan bahwa Badan Supervisi ini yang akan membantu DPR

untukmelaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu

terhadap Bank Indonesia sebagai upaya meningkatkan

akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas Bank

Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Badan Supervisi

menyampaikan laporan kepada DPR sekurang-kurangnya sekali

dalam 3 (tiga) bulan ataus etiap waktu sesuai permintaan DPR.

Badan ini akan melakukan kajian terhadap laporan tahunan Bank

Indonesia, telaahan terhadap anggaran operasional dan investasi

Page 300: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

290 | Hukum Kelembagaan Negara

Bank Indonesia, dan kajian atas prosedur pengambilan keputusan

kegiatan operasional di luar kebijakan moneter dan pengelolaan

aset Bank Indonesia.656

Tetapi, sebagaimana dalam Penjelasan

Pasal 58A UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 tugas

Badan Supervisi tidak boleh merembet ke arah penilaian kinerja

Dewan Gubernur, tidak boleh ikut memutuskan dan menilai

kebijakan dalam sistem pembayaran, serta tidak boleh ikut

memutuskan dan menilai kebijakan pengawasan bank dan

pelaksanaan kebijakan moneter yang lain. Bahkan, Badan ini

tidak boleh menyampaikan informasi secara langsung mengenai

pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat. Kiranya walaupun tidak

dapat disamakan secara persis, Badan Supervisi ini mirip dengan

keberadaan Komisaris Pemerintah versi UU No. 13 Tahun 1968.

Tetapi, Komisaris Pemerintah ini boleh mengikuti rapat yang

dilaksanakan oleh Direksi Bank Indonesia.

Keseluruhan uraian dalam rubrik ini menunjukkan bahwa

pemaknaan Bank Indonesia sebagai lembaga negara tidak pernah

diatur di dalam konstitusi yang pernah dan sedang berlaku. Baru

sesudah reformasi konstitusi hal itu diatur tetapi tidak lengkap dan

tidak jelas serta dalam tingkat undang-undang. Penyebutan Bank

Indonesia sebagai lembaga negara sebagaimana diatur di dalam

Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004

tidak ada dasar hukumnya. Oleh karena itu, di sini harus dipahami

bahwa kewenangan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia

tidaklah merupakan kewenangan atribusi konstitusi tetapi

kewenangan yang bersumber dari undang-undang.

Kedudukan Bank Indonesia sebagai badan hukum diakui

dalam Pasal 4 ayat (3) UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun

2004. Kemudian di dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa

sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang

menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas

656 Selengkapnya baca Penjelasan Pasal 58A ayat (1) huruf a, b, dan c UU

No. 3 Tahun 2004.

Page 301: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 291

kewenangannya. Dengan demikian, Bank Indonesia selain sebagai

otoritas yang mempunyai kewenangan dalam membuat keputusan,

Bank Indonesia juga dapat mempunya standar dan pedoman

tersendiri dalam memberikan kemudahan dan memberikan

pembatasan dalam lingkup wewenangnya.

Menerik analisis yang dilakukan oleh Bagir Manan657

ketika menyoroti kedudukan peraturan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia. Pada adasarnya peraturan yang ditetapkan tersebut

merupakan peraturan administrasi negara. Untuk menguji

peraturan Bank Indonesia, tidak menggunakan prinsip tata urutan

melainkan pada aturan wewenang. Sepanjang peraturan tersebut

dalam wewenang Bank Indonesia, maka semua peraturan

administrasi lain mesti dikalahkan. Demikian pula sebaliknya,

kalau peraturan Bank Indonesia itu melanggar batas wewenang

dan bertentangan dengan peraturan administratif lainnya (mulai

dari Peraturan Pemerintah dan seterusnya), harus dibatalkan. Jadi,

peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia tidak boleh

bertentangan dengan UUD, Ketetapan MPR (jika ada dan

berlaku), dan undang-undang.

Sejatinya, penyebutan Bank Indonesia sebagai badan

hukum publik, dalam arti dibentuk dan dimiliki oleh negara, sudah

ada semenjak ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 1953

dan dinyatakan pula oleh Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1968,

yang menyatakan bahwa, Bank Indonesia adalah milik negara dan

merupakan badan hukum....Akan tetapi, kedua undang-undang

tersebut tidak ada penjelasan mengenai kedudukan Bank Indonesia

sebagai lembaga negara tersebut.

657 Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: UII

Press, hlm. 231.

Page 302: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

292 | Hukum Kelembagaan Negara

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan

Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas

Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka Sinar

Harapan & Eka Tjipta Foundation.

Adriana Elizabeth, dkk, 1983, PDI dan Prospek Pembangunan

Politik, Jakarta, Penerbit Rajawali.

Aidul Fitriciada Azhari, 2000, Sistem Pengambilan Keputusan

Demokratis Menurut Konstitusi, Surakarta, Penerbit UMS

Press.

Aisyah Amini, 2004, Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004,

Jakarta, Penerbit Yayasan Pancur Siwah dan PP Wanita

Islam.

Akbar Tanjung, 2007, Golkar Way: Survival Partai Gokar di

Tengah Turbelensi Era Transisi, Jakarta, Penerbit Gramedia

Pustaka Utama.

A.M. Fatwa, 2004, Melanjutkan Reformasi Membangun

Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode

1999-2004, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada.

A.M. Goetz dan R. Jenkins, 2004, Reinventing Accountability:

Making Democracy Work for the Poor, London: Palgrave

Macmillan.

Bachtiar Effendi, 1998, Islam dan Negara: Transformasi

Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta,

Penerbit Paramdina.

Page 303: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 293

Bagir Manan, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, Penerbit

UII Press.

Bagir Manan, 2004, Lembaga Kepresidenan, Jogjakarta, Penerbit

UII Press.

Bambang Cipto, 1995, DPR dalam Era Pemerintahan Modern-

Industrial, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada.

Bernard schwartz, 1993, A History of Supreme Court, New York,

Oxford University Press.

Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and

Society, Oxford, Oxford University Press.

Brucke Ackerman, ―The New Separation of Power‖, Harvard Law

Review, No. 3 Vol. 113, 2000.

C.F. Strong, 1966, Modern Polical Constitution an Intruoduction

to the Comparative Study of Their History and Existing

Form, London, Sidgwick & Jackson Ltd.

Craig Green, ―An Intellectual History of Judicial Activism‖,

Emory Law Journal, Vol. 58, 2009.

C.R. Henning, 1994, Currencies and Politics in the United States,

Germany and Japan, Washington, D.C: Institute for

International Economics.

Dahlan Thaib, 2002, Menuju Parlemen Bikameral (Studi

Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945), Jogjakarta,

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum

Universitas Islam Indonesia.

Denny Indrayana. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi

Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Page 304: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

294 | Hukum Kelembagaan Negara

de Smith and Brazier, 1989, Constitional and Administrative Law,

6th ed, London, Penguin Books.

Deliar Noer, 2000, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan

Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965,

Bandung, Penerbit Mizan.

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos

dan Pembongkaran, Bandung: Mizan Pustaka.

Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara

Hukum Demokrasi, Bandung, Yrama Widya.

F.X. Sugiyono dan Ascarya, 2005, Kelembagaan Bank Indonesia,

Jakarta, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan.

Geoffrey de Q Walker, 1988, The Rule of Law: Foundation of a

Constitutional Democracy. Carlton, Melbourne: Melbourne

University Press.

Giovanni Facchini dan Cecilia Testa, 2008, A Theory of

Bicameralism, Department of Economics,University of

Illinois at Urbana Champaign.

Huang, The-fu, ―Party Systems in Taiwan and South Korea‖,

dalam Larry Diamond, Marc F. Plattner, Yun-han Chu, and

Hung-mao Tien (eds.), 1997, Consolidating the Third Wave

Democracies: Themes and Perspectives. Baltimore: Johns

Hopkins.

Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, 1968, Pemilu 1971, Jakarta,

Lembaga Pendidikan dan Konsultasi Pers.

Imam Pratignjo, 1984, Ungkapan Sejarah Lahirnya Golongan

Karya Perjuangan Menegakkan Kembali Negara

Proklamasi 17-8-1945, Jakarta, Penerbit Jajasan Bhakti.

Page 305: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 295

Ismail Sunny, 1986, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta,

Penerbit Bina Aksara.

James Bryce, 1995, The American Commonwealth (1888),

Indianapolis, Liberty Fund.

J. Elster, 1999, ―Accountability in Athenian Politics‖, dalam A.

Przeworski, S. Stokes, dan B. Manin eds., 1999,

Democracy, Accountability and Representation, Cambridge,

Cambridge University Press.

Jeremy Waldron, ―A Rights-Based Critique of Constitutional

rights,‖ Oxford Journal of Legal Studies, Vol. 13, 1993.

Jimly Asshiddiqie, 2003, Format Kelembagaan Negara dan

Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Jogjakarta,

Penerbit FH UII Press.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional,

Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi

Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit

Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-

Undang, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.

John Finnis, 1980, Natural Law and Natural Rights, Oxford,

Clarendon Press.

John Rawls, 1971, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University

Press.

J.S. Verma, 2000, New Dimensions of Justice, Universal Law

Publishing Co. Pvt. Ltd.

Page 306: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

296 | Hukum Kelembagaan Negara

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit

Alumni.

Juan J. Linz, 1994, ―Presidential or Parliamentary Democracy:

Does it Make a Difference?‖, Dalam J.J. Linz dan Arturo

Venezuela (eds.), The Failure of Presidential Democracy:

The Case of Latin America. Baltimore: Johns Hopkins.

Juan J. Linz dan Alfred Stepan, 1996, Problems of Democratic

Transition and Consolidation: Southern Europe, South

America, and Post-Communist Europe, Baltimore: Johns

Hopkins.

K. Dye dan R. Stapenhurst, 1998, Pillars of Integrity: The

Importance of Supreme Audit Institutions in Curbing

Corruption, Washington, DC: WBI.

Keith Mason, ―The Rule of Law‖. dalam P. D. Finn (ed.), 1995,

Essays on Law and Government, vol. I: 114-43, Sydney:

LBC.

Lawrence Baum, 2006, Judges and Their Audiences: A

Perspective on Judicial Behavior, New Jersey, Princenton

University Press.

Lili Rasjidi, 1993, Filsafat Hukum: Apakah Hukum Itu?, Bandung,

Penerbit Rosda Karya.

Lee Epstein dan Jack Knight, 1998, The Choices Justice Make,

Washington D.C., CQ Press.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2004, Naskah Akademik

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Usulan

Komisi Konstitusi, Jakarta.

Page 307: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 297

Makrum Kholil, 2009, Dinamika Politik Islam: Golkar di Era

Orde Baru, Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama.

Maqdir Ismail, 2009, Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik

dan Hukum, Jogjakarta, Navila Idea.

Margarets Allars, 1990, Introduction to Australian Administrative

Law, Sydney: Butterworth.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan,

Jogjakarta, Penerbit Kanisius.

Mark P Jones, 1995, Electoral Laws and the Survival of

Presidential Democracies. Notre Dame: Notre Dame

University Press.

M. Rusli Karim, 1999, Negara dan Peminggiran Politik Islam,

Jogjakarta, Tiara Wacana.

Masykuri Abdullah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna:

Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep

Demokrasi (1986-1993), Jogjakarta, Penerbit Tiara Wacana.

M. Edelman, ‗The Judicialization of Politics in Israel‘,

International Political Science Review, Vol. 15, 1994.

M. Irsyad Sudiro, 1998, Partai Golkar Menatap Masa Depan,

Jakarta, Penerbit Yappindo.

Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan

Pembangunan Nasional, Bandung, Penerbit Binacipta.

Moh. Mahfud M.D., 2010, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,

Penerbit Rajawali Press.

Page 308: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

298 | Hukum Kelembagaan Negara

Muchammad Ali Safa‘at, 2010, Parlemen Bikameral: Studi

Perbandngan di Amerika Serikat, Prancis, Belanda,

Inggris, Austria, dan Indonesia, Malang, Penerbit UB Press.

Ni‘matul Huda. 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi

Demokrasi. Yogyakarta: UII Press.

Oey Beng To, 1991, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I

(1945-1958), Jakarta: LPPI.

Priasmoro Prawiroardjo, 1987, ―Perbankan Indonesia 40 Tahun‖,

dalam Hendra asmara, Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan

Pembangunan, Jakarta, Penerbit Gramedia.

P. Schmitter, 1999, ‗The Limits of Horizontal Accountability,‘

dalam A. Schedler et al., 1999, The Self-Restraining State:

Power and Accountability in New Democracies, Boulder:

Lynne Rienner.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2000, Semua Harus Terwakili:

Studi mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga

Kepresidenan di Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum dan

Kebijakan.

Radian Salman dan M. Hadi Subhan, ―Lembaga Negara Punjang:

Perspektif Ketatanegaraan dan Penataannya‖, dalam Dadan

Wildan (Editor), 2010, Bunga Rampai Pemikiran Penataan

Lembaga Non Struktural, Jakarta, Penerbit Deputi Menteri

Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan.

R. Daniel Kalemen dan Eric S. Scibitt, ―Americanization of

Japanese Law‖, University Pansylvennia Journal Economic

Law, Vol. 23, 2002.

Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral

dalam Parlemen Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada.

Page 309: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 299

Riri Nazriyah, 2007, MPR RI: Kajian Terhadap Produk Hukum

dan Prospek di Masa Depan, Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Rizal Mallarangeng, 2002, Mendobrak Sentralisme Ekonomi:

Indonesia 1986-1992, Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia bekerjasama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI

dan The Ford Foundation.

R. Stapenhurst dan J. Titsworth, 2001, Features and Functions of

Supreme Audit Institutions, Washington, DC: World Bank.

Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003, Panduan Sosialisasi UUD

1945, Jakarta: Setjen MPR RI.

Sofyan Lubis, dkk, 1994, 30 Tahun Golongan Karya, Jakarta,

Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya.

Roger Scruton, 1982, A Dictionary of Political Thought, London,

Macmillan.

Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, Bandung,

Penerbit Alumni.

Sri Sumantri M., 2007, Prosedur dan Sistem Perubahan

Konstitusi, Bandung, Penerbit Alumni.

Suri Ratnapala, et al., 2007, Australian Constitutional Law:

Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University

Press.

Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan; Kajian

Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta,

Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Syamsuddin Haris, 1991, PPP dan Peta Politik Orde Baru,

Jakarta, Penerbit Grasindo.

Page 310: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

300 | Hukum Kelembagaan Negara

Tan Malaka, 2000, Menuju Indonesia Merdeka, Jakarta, Penerbit

Komunitas Bambu.

Taufik Abdullah, 1987, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah

Indonesia, Jakarta, Penerbit LP3ES.

The Inter-Parliamentary Union, 1986, Parliaments of the World (A

Comperative Reference Compendium), Vol. I, Second

Edition, New York, Penerbit Oxford.

Timothy S. George, ―Changing Pattern of Civic Engangement in

Constitutionalism in Japan‖, paper presented at the Annual

Meeting of the Association for Asian Studies, Boston, 25

Maret 2007.

Theo Huijbers, 1993, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,

Jogjakarta, Penerbit Kanisius.

Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of

Constitutional Law, Boston, Little Brown.

Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in New Demoracies,

Constituional Court in Asian Case, Cambridge, Cambridge

University Press.

Umaidi Radi, 1984, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi Tentang

Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional, Jakarta, Penerbit

Integrita Press.

Vernon Bogdanor, 1991, The Blackwell Encyclopedia of Political

Science, Massachusetts, T.J. Press Ltd.

Page 311: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 301

Jurnal

Abner S. Greene, ―Checks and Balances in an Era of Presidential

Lawmaking‖, University Chicago Law Review Vol. 61,

1994.

Aharon Barak, ―Foreward: A Judge on Judging: The Role of a

Supreme Court in a Democracy‖, Harvard Law Review,

Vol.16, 2002.

Alfred Stephan dan Cindy Skach, ―Constitutional Frameworks and

Democratic Consolidation: Parliamentarism Versus

Presidentialism‖, Journal World Politics, No. 46, 1993.

Adam N. Steinman, ―A Constitution for Judicial Lawmaking‖,

University of Pitsburgh Law Review, Vol. 64, 2004.

Alessandro Pizzorusso, ―Constitutional Review and Legislation in

Italy‖, Journal Constitutional Review and Legislation No.

109, 1988.

Alexei Trochev, ―Less Democracy, More Courts: A Puzzle of

Judicial Review in Russia‖, Journal Law & Society Review,

Volume 38, 2004.

Allan Drazen, ―Central Bank Independence, Democracy, and

Dollarization‖, Journal of Applied Economics, Vol. 5, 2002.

Alison Marston Danner, ―Navigating Law and Politics: The

Prosecutor of the International Criminal Court and the

Independent Counsel‖, Stanford Law Review, Vol. 20,

2003.

Amy J. Weisman, ―Separation of Powers in Post-Communist

Government: A Constitutional Case Study of the Russian

Page 312: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

302 | Hukum Kelembagaan Negara

Federation‖, American University Journal of International

Law and Policy, Vol. 10, 1995.

András Jakab, ―German Constitutional Law and Doctrine on State

of Emergency – Paradigms and Dilemmas of a Traditional

(Continental) Discourse‖, German Law Journal, Vol. 7,

2005.

Arnold I Burns & Steven J. Markman, ―Understanding Separation

of Powers‖, Pace Law Review, Vol. 7, 1987.

Arpad Kovacs, ―Financial (State) Audit and The Fights Againts

the Corruption‖, Periodica Polytechnicha Series Social

Scienece, Vol. 11, NO. 2, 2003.

A. Cukierman, S. B. Webb,dan B. Neyapti, ―Measuring the

Independence of Central Banks and its Effects on Policy

Outcomes‖, The World Bank Economic Review, Vol. 6,

1992.

Alberto Alesina ―Inflation, Unemployment, and Politics in

Industrial Democracies‖, Jurnal Economic Policy Vol. 8,

1989.

A. Posen, 1993, ―Why Central Bank independence does not cause

low inflation: There is no institutional fix for politics‖,

Jurnal Finance and the International Economy., Vol 7.,

1993.

B. Dorotinsky dan R. Floyd, ―Public Expenditure Accountability

in Africa: Progress, Lessons and Challenges,‖ dalam B.

Levy dan S. Kpundeh, eds., 2004, Building State Capacity

in Africa: New Approaches, Emerging Lessons,

Washington, DC: WBI.

Page 313: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 303

Bensel Richard F. Bensel, ―Creating the Statutory State: the

Implications of a Rule of Law Standard in American

Politics‖, Journal American Political Science Review, No.

74, 1980.

Bernard Schwartz, ―Curiouser and Curiouser: The Supreme

Court‘s Separation of Powers Wonderland‖, Notre Dame

Law Review, Vol. 65, 1990.

Brade dan Parkin, ―Capital mobility, perspective and Central Bank

independence: Exchange rate policy since 1945‖, Policy

Sciences, Vol 34, 2001.

Bruce Ackerman, ―The Rise of World Constitutionalism‖,

Virginia Law Review, Vol. 83, 1997.

Carl Levin, ―The Independent Counsel Statute: A Matter of Public

Confidence and Constitutional Balance‖, Hofstra Law

Review, Vol. 16, 1987.

Carlos Wing-hung Lo, ―Deng Xiaoping's Ideas on Law‖, Journal

Asian Survey Vo. 7 No. 32, 1992.

Cass Sunstein, ―National Security, Liberty and the D.C. Circuit‖,

George Washington Law Reviwe, Vol. 73, 2005.

Christopher A. Ford, ―The Indigenization of Constitutionalism in

the Japanese Experience‖, Case West of Journal

International Law, Vol. 28, 1996.

Christopher S. Yoo et.al., ―The Unitary Executive During

theThird Half-Century, 1889-1945‖, Notre Dame Law

Review, Vol. 80, 2004.

Page 314: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

304 | Hukum Kelembagaan Negara

Curtis A. Bradley dan Martin S. Flaherty, ―Executive Power

Essentialism and Foreign Affairs‖, Michigan Law Review,

Vol. 102, 2004.

David Cole, ―Judging the Next Emergency: Judicial Review and

Individual Rights in Times of Crisis‖, Michigan Law

Review, Vol. 101, 2004.

David Marrani, ―Confronting the symbolic position of the

judge in western European Legal Traditions: A

comparative Essay‖, European Journal of Legal Studies,

Vol. 3, 2010.

Dale Smith, ―Disagreeing with Waldron: Waldron on Law and

Disagreement,‖ Res Publica, Vol. 7, 2001.

David Gray Adler, ―George Bush and the Abuse of History: The

Constitution and Presidential Power in Foreign Affairs‖,

UCLA Journal of International Law, Vol. 12, 2007.

Donald P. Kommers, ―The Constitutional Jurisprudence of the

Federal Republic of Germany, Journal of Comparative

Law, Vol 3 No. 4, 1989.

D. Woodhouse, ―The Law and Politics: More Power to the Judge

– and to the People?‖, Parliamentary Affairs, Vol. 54,

2001.

De Bary, W. Theodore, ―The Constitutional Tradition in Chin‖.

Journal of Chinese Law, Vol. 1. 1995.

Donald J. Simon, ―The Constitutionality of the Special Prosecutor

Law‖, Michigan Journal of Law Reform, Vol. 16, 1982.

Edward L. Lubin,‖ Law and Legislation in Administrative State‖,

Columbia Law Review, Vol. 89, 1989.

Page 315: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 305

Edaward P. Thompson, ―The Government of Laws and Not a

Government of Men‖, Journal. Public Law Review, Vol. 4,

1994.

Elizabeth Magill, ―Beyond Powers and Branches in Separation of

Powers Law‖, University of Pansylvania Law Review, No.

150, 2001.

Eugene Kontorovich, ―Liability Rules for Constitutional Rights:

The Case of Mass Detentions‖, Stanford Law Review, Vol.

56, 2004.

Eugenia Toma, ―Congressional Influence and the Supreme Court:

The Budget as a Signaling Device‖, Journal of Legal

Studies, Vol. 20, 1991.

Feature, ―The 1997 Polish Constitution‖, Jurnal East Europe

Constitutional Reviwe, Vol. 66, 1997.

Forest Capie, 1994, ―The Evolution of Central Banking‖, Seminar

Paper, World Bank dan Patrisia S. Pollard, ―A Look Inside

Two Central Banks: The European Central Bank and The

Federal Reserve‖, Federal Reserve Bank of St. Louis

Review, Januari-Februari.

Fionnuala Ni Aolain dan Oren Gross, ―A Skeptical View of

Deference to the Executive in Times of Crisis‖, Isarel Law

Review, Vol. 41, 2008.

Francisco Rubio Llorente, ―Constitutional Review and Legislation

in Spain‖, Journal Constitutional Review and Legislation

No. 127, 1990.

G. O‘Donnell, ―Horizontal Accountability: The Legal

Institutionalization of Mistrust‖, dalam S. Mainwaring dan

Page 316: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

306 | Hukum Kelembagaan Negara

C. Welna,eds, 2003, Democratic Accountability in Latin

America, Oxford: Oxford University Press.

G. Tsebelis dan E. Chang, ‗Veto Players and the Structure of

Budgets in Advanced Industrialized Countries,‘ European

Journal of Political Research, Vol. 3, 2004.

Harold J. Krent, ―Separating the Strands in Separation of Powers

Controversies‖, Virginia Law Review, Vol. 74, 1988.

Harry Jones, 'The Rule of Law and the Welfare State'. Columbia

Law Review, No. 58, 1988.

Jack Balkin, ―Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its

Design‖, Minnesota Law Review, Vol. 90, 2010.

Jack M. Balkin, ―Framework Originalism and the Living

Constitution‖, New York University Law Review, Vol. 103,

2009.

Jeffrey A. Segal, ―Correction to ‗Separation-of-Powers Games in

the Positive Theory of Congress and Courts‖, American

Political Science Review, Vol. 92, 1998.

J. Juan Linz, ―The virtues of parlamentarism‖, Journal of

Democracy, Vol. 1 No. 4, 1990.

Joel K Goldstein, ―The Presidency and the Rule of Law: Some

Preliminary Explorations‖, Saint Louis University Law

Journal, Vol. 43, No. 791, 1999.

John E. Fahrejohn, ―Constitutional Review in the Global Contex‖,

Journal Public Policy and Legislation, No. 49, 2002.

Ju-inchi Satoh, ―Judicial Reviwe in Japan: An Overview of the

Case Law and An Examination of Trends in The Japanese

Page 317: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 307

Supreme Court‘s Constitutional Oversight‖, Loyola of Los

Angeles Law Review, Vol. 41, 2008.

Katy J. Harriger, ―Separation of Powers and the Politics of

Independent Counsels‖, Political Science Quartly, No. 109,

1994.

Kenenth Mayer, 2001, With the Stroke of a Pen: Executive Orders

and Presidential Power, New Jersey: Princeton University

Press.

Keith S. Rosenn, ―The Success of Constitutionalism in the United

States and Its Failure in Latin America‖, University of

Miami Inter-American Law Review, Vol. 22, 1990.

Larry Catá Backer, ―From Constitution to Constitutionalism: A

Global Framework for Legitimate Public Power Systems‖,

Penn State Law Review, Vol. 3, No. 113, 2009.

Larry D. Kramer, ―The Supreme Court, 2000 Term—Foreword:

We the Court‖, Harvard Law Review, Vol. 4, No. 115,

2001.

Lawrence Lessig & Sunstein, Cass R., ―The President and the

Administration‖, Columbia Law Review, Vol. 94, 1994.

Louis Fisher, ―Separation of Powers: Interpretation Outside the

Courts‖, Pensilvania Law Review, Vol. 57, 1993.

L.P. Feld, L.P. dan S. Voigt, ―Economic Growth and Judicial

Independence: Cross-Country Evidence using a new set of

indicators‖, European Journal of Political Economy Vol. 3,

2003.

L.P. Thean, ―Judicial Independence and Effevtivenes‖, Sourtern

California Law Review, No. 72 No. 23, Januari-Maret 1999.

Page 318: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

308 | Hukum Kelembagaan Negara

Luis López Guerra, ―The Application of the Spanish Model in the

Constitutional Transitions in Central and Eastern Europe‖,

Jurnal Cordozo Law Review, Vol. 19, 1998.

J. Ferejohn dan B. Weingast, ―A Positive Theory of Statutory

Interpretation‖, International Review of Law and

Economics, Vol. 12, 1992.

Jill Frank, ―Aristotle on Constitutionalism and the Rule of Law‖,

Journal Theoretical Inquiries in Law, Volume 8, No. 1,

January 2007.

J.R.Macey, ―Separated Powers and Positive Political Theory: The

Tug of War Over Administrative Agencies‖, Georgetown

Law Journal, Vol. 80, 1992.

Julianne Kokott, ―Indonesian National Commission on Human

Rights: Two Years of Activities‖, Human Rights Law

Journal Vol. 16, No. 10-12, 1995.

Ken I. Kersch, ―The New Legal Transnationalism, The Globalized

Judiciary and the Rule of Law‖, Washington University of

Global Studies Law Review, Vol. 4, 2005.

Kim Lane Scheppele, ―Law in a Time of Emergency: States of

Exception and the Temptations of 9/11‖, Journal of

Constitutional Law, Vol. 6, 2004.

Kun Yan (1993) ―Judicial Review and Social Change in the

Korean Democratising Process‖, American Journal of

Comparative Law , Vol. 1 No. 41, 1993.

Lee Teng-hui, ―Chinese Culture and Political Renewal‖, Journal

of Democracy, Vol. 4, 1995.

Page 319: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 309

Martin S. Flaherty, ―The Most Dangerous Branch‖, Yale Law

Journal No. 105, 1998.

Margaret Radin, ―Reconsidering the Rule of Law‖, Boston

University Law Review, Vol. 4, 1989.

Mark Tushnet, ―The Possibilities of Comparative Constitutional

Law‖, Yale Law Journal, Vol. 108, 1999.

Mark Tushnet, ―New Forms of Judicial Review and the

Persistence of Rights and Democracy-Based Worries‖,

Wake Forest Law Review, Vol. 38, 2003.

Mauro Cappelletti, ―Repudiating Montesquieu? The Expansion

and Legitimacy of ‗Constitutional Justice‘ ―, Catholic

University Law Review, Vol. 35, 1985.

Michael Oakeshott, ―Executive Versus Judiciary‖, Journal Public

Law Review, No. 2, 1991.

Miguel Schor, ―Mapping Comparative Judicial Review‖,

Washington University Global Legal Studies Law Review,

Vol. 7, 2008.

M. Ramseyer, ―The Puzzling (In)dependence of Courts: A

Comparative Approach‖, Journal of Legal Studies, Vol. 2,

1994.

M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Judicial Independence in a

Civil Law Regime: The Evidence from Japan‖, Journal of

Law, Economics and Organization, Vol. 2, 1997.

M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen, ―Why the Japanese Taxpayer

Always Loses‖, Southern California Law Review, Vol. 2-3,

1999.

Page 320: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

310 | Hukum Kelembagaan Negara

M. Ramseyer dan E.B. Rasmusen ,‖ Why Are Japanese Judges So

Conservative in Politically Charged Cases?‖, American

Political Science Review, Vo. 2, 2001.

Neal Devins, ―Political Will and the Unitary Executive: What

Makes an Independent Agency Independent?‖ Cardozo Law

Review, Vol. 15, 1993.

Nicoletta Bersier Ladavac, ―Hans Kelsen (1881–1973):

Biographical Note and Bibliography‖, Europe Journal

Internasional Law, Vol. 9, 1998.

Nobushige Ukai, ―The Individual and the Rule of Law Under the

New Japanese Constitution‖, New York University Law

Review, Vol. 51, 1997.

N.S. Zeppos, ―Deference to Political Decisionmakers and the

Preferred Scope of Judicial Review‖, Northwestern

University Law Review, Vol. 88, 1993.

Paul Brest, ―The Fundamental Rights Controversy: The Essential

Contradictions of Normative Constitutional Scholarship‖,

Yale Law Journal, Vol. 90, 1991.

Peter L. Lindseth, ―The Paradox of Parliamentary Supremacy:

Delegation, Democracy, and Dictatorship in Germany and

France, 1920s-1950s‖, The Yale Law Journal, Vol. 113,

2004.

Peter L. Strauss, ―Was There A Baby In the Bathwater? A

Comment on the Supreme Court‘s Legislative Veto

Decision‖, Duke Law Journal, 1993.

Peter L. Strauss, ―The Place of Agencies in Government:

Separation of Powers and the Fourth Branch‖, Columbia

Law Review, Vol. 84, 1984.

Page 321: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 311

R. Allen dan D. Tommasi, eds. , 2001, Managing Public

Expenditure, Paris: OECD.

Randall Peerenboom, ―Judicial Independence in China Common

Myths and Unfounded Assumptions‖, Journal International

Law Studies, Vol. 17, 2009.

R. H. Hickling dan D. A. Wishart, ―Malaysia: Dr Mahathir's

Thinking on Constitutional Issues‖, Lawasia , 1988-1989.

R. La Porta, F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer dan R. Vishny, ―The

Quality of Government‖, Journal of Law, Economics and

Organization, Vol. 15, 1999.

Richard Stewart, ―The Transformation of America Administrative

Law‖, Harvard Law Review, Vol. 88, 1975.

Robert F. Utter dan David C. Lundsgaard, ―Judicial Review in the

New Nations of Central and Eastern Europe: Some

Thoughts from a Comparative Perspective‖, Ohio State

University Law Journal, Vol 54 No. 559, 1993.

Robert S. Summers ―A Formal Theory of the Rule of Law‖,

Journal Ratio Juris, Vol. 2 No. 6, 1993.

Robert V. Percival, ―Presidential Management of the

Administrative State: The No-So-Unitary Executive‖, Duke

Law Journal, Vol. 5, 2001.

Rett R. Ludwikowski, ―Mixed‖ Constitutions — Product of an

East-Central European Constitutional Melting Pot‖,

Birmigham International Law Journal, Vol. 1, 1998.

Rett R. Ludwikowski, ―Latin American Hybrid Constitutionalism:

The United States Presidentialism in the Civil Law Melting

Page 322: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

312 | Hukum Kelembagaan Negara

Pot‖, Boston University International Law Journal, Vol. 21,

2003.

Robert J. Reinstein, ―The Limit of Executive Power‖, American

University Law Review, Vol. 59, 2009.

Samuel C. Petterson dan Anthony Mogan, ―Fundamentalism of

Institusional Design: The Function and Power of

Parliamentary Second Chamber‖, Journal of Legislative

Studies, Vol. 1, 2001.

Samuel Issacharoff dan Richard H. Pilides, ―Emergency Contexts

Without Emergency Powers: The United States‘

Constitutional Approach To Rights During Wartime‖,

International Journal of Constitutional Law, Vol. 2, 2004.

Saikrishna Prakash, ―The Essential Meaning of Executive Power‖,

University of Illinois Law Review, No. 701, 2003.

Shigenori Matsui, ―A Coment Upon the Role of Judiciary in

Japan‖, Osaka University Law Review, Volume 17 No. 35,

1988.

Skully Ahsan & Wickramanayake, ―Determinants of Central Bank

Independence and Governance: Problems and Policy

Implications‖, JOAAG, Vol. 1, 2006.

Stephen L. Carter, ―The Independent Counsel Mess‖, Harvard

Law Review, Vol. 102, 1988.

Steven G. Calabresi, The Vesting Clauses as Power Grants, New

York University Law Review, Vol.88, 1994.

Steven G. Calabresi ―Some Normative Arguments for the Unitary

Executive.‖ Arkansas Law Review, Vol. 48, 1995.

Page 323: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 313

T. Besleydan A. Payne, ―A Revisionist View of the Separation of

Powers, Journal of Theoretical Politics, Vol. 3, 2003.

Thomas Christiano, ―Waldron on Law and Disagreement,‖ Law &

Philosophy, Vol. 19, 2000.

Thomas O. Sargentich, ―The Contemporary Debate about

Legislative-Executive Separation of Powers‖, Cornell Law

Review, Vol. 72, 1997.

Thomas P. Crocker, ―Book Review: Torture, with

Apologies:Terror in the Balance: Security, Liberty, and the

Courts. By Eric A. Posner and Adrian Vermeule‖ , Texas

Law Review, Vol. 86, 2008.

Thomas W. Merrill, ―The Constitution and the Cathedral:

Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco

Advertising‖, New York University Law Review, Vol. 93,

1999.

T.M. Moe, ―Political Institutions: The Neglected Side of the

Story‖, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol.

6, 1990.

V. Grill et.al., ―Political and monetary institutions and public

financial policies in the industrial countries‖, Journal

Economic Policy, Vol. 6,1991.

William Bernhard, ―Central Bank Strategy, Credibility, and

Independence: Theory and Evidence‖, American Journal of

Political Science , Vol. 3, 1992.

William F. Case, ―Can the Halfway House Stand? Semi

Democracy and Elite Theory in Three South East Asian

Countries‖, Journal Comparative Politics Vol. 4, No. 28,

1996.

Page 324: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

314 | Hukum Kelembagaan Negara

William P. Barr, ―Attorney General‘s Remarks‖, Cardozo Law

Review, Vol. 15, 1993.

Publikasi Ilmiah Lain

A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden

Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Negara: Suatu Studi Analisis terhadap Keputusan Presiden

yang Berfungsi Pengaturan dalam Pelita I-Pelita V,

Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Pascasarjana

Universitas Indonesia.

B. Speck, ―The Federal Court of Audit in Brazil‖, paper presented

at the 9th International Anti-Corruption Conference,

Durban, South Africa, 10-15 October 1999.

Carlos Santiso, ―Eyes wide shut? The Politics of Autonomous

Audit Agencies in Emerging Economies‖, CIPPEC, 2007.

Eric Magar, ―Patterns of Executive-Legislative Conflict in Latin

America and the U.S.‖, Paper presented at the First

International Graduate Student Retreat for Comparative

Research, organized by the Society for Comparative

Research and the Center for Comparative Social Analysis,

University of California, Los Angeles, May 8-9, 1999.

Frederic S. Mishkin, ―Central BankingIn A Democratic Society:

Implications for Transitions Countries‖, National Bureau of

Economic Research, Columbia University New York, 1998.

I Gede Pantja Astawa, 2004, ―Identifikasi Masalah Atas Hasil

Perubahan UUD 1945 yang Dilakukan Oleh MPR dan

Komisi Konstitusi‖, Makalah Seminar 23 September 2004

yang diselenggarakan oleh Unpad dan Persahi Bandung.

Page 325: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 315

Jan-Egbert Sturm dan Jakob de Haan, ―Inflation in Developing

Countries: Does Central Bank Independence Matter‖,

CESifo Working Paper No. 511, Juni 2001.

Jeremy Waldron, ―Constitutionalism: A Skeptical View‖, Public

Law & Legal Theory Research Paper Series Working

Paper, No. 10-87, Desember 2010.

Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam

Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta:

Disertasi UI.

Jimly Asshiddiqie, ―Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah

Perubahan Keempat UUD Tahun 1945‖, Makalah

disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum

Nasional VIII, Denpasar, Bali, Departemen Kehakiman dan

Hak Asasi Manusia, 14-18 Juli 2003.

K. Hinton-Braaten, ‗New Central Banks‘, paper presented at the

conference on Constitutional Status of Central Banks in

Eastern Europe, University of Chicago Law School, April,

1994.

Larry Alexander, ―What is the Problem of Judicial Review?‖,

Legal Studies Research Paper Series Research Paper No.

07-03 September 2005.

Lybek dan Morris, 2004, ―Central Bank autonomy, accountability,

and governance: conceptual framework‖, Seminar Paper

LEG Seminar.

Michel Rosenfeld, ―Judicial Balancing in Times of Stress:

Comparing Diverse Aprroaches to the War of Terror‖,

Jacob Burns Institute for Advanced Legal Studies Working

Paper No. 119, 2005.

Page 326: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

316 | Hukum Kelembagaan Negara

Paul Webb, ―Parliamentarism and the Presidential Analogy: A

Case Study of the UK‖, Paper presented to ECPR Workshop

on The Presidentialization of Parliamentary Democracies?,

Copenhagen, 14-19 April 2000.

Satya Brata Sinha, ‖Constitutionality of Judicial Activism‖, Paper

Presented during the International Conference and

Showcase on Judicial Reforms, held at the Shangri-la Hotel,

Makati City, Philippines on 28-30 November 2005.

S. Eijffinger dan J. de Haan, ―The Political Economy of Central-

Bank Independence‖, Special Papers in International

Economics, No. 19, Princeton University, 1996.

Sofian Effendi, ―Sistem Pemerintahan Kekeluargaan‖, Pidato Dies

Natalis XVIII Universitas Wangsa Manggala, Jogjakarta, 9

Oktober 2004.

Wojciech S. Maliszewski, ―Central Bank Independence in

Transition Economies‖, Centre for Social and Economic

Research (CASE), London School of Economics and

Political Science, September 2000.

Internet

Asian Development Bank, ―Judicial Independence Overview and

Country-level Summaries,‖ (2003), hlm. 2, dalam

www.adb.org/Documents/Events/2003/RETA5987/Final_O

verview_Report.pdf

Eli M. Salzberger, ―Judicial Activism in Israel‖, Electronic copy

available at: http://ssrn.com/abstract=984918

Page 327: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

Hukum Kelembagaan Negara | 317

‗The Green Light‘, entry in the blog published by Harper‘s,

available at http://harpers.org/archive/2008/04/hbc-

90002779

Jack M. Beermann, ―An Inductive Understanding of Separation of

Powers‖, dalam Electronic copy available at:

http://ssrn.com/abstract=1656452.

John M. Ackerman, An Outbreak of Opportunism: Mexico‘s

President Is Trying to Use the Swine Flu to Consolidate His

Power, SLATE, http://www.slate.com/id/2217017/

J.W. Robbins, ―Acton on the Papacy, The Trinity Foundation‖

[Online], World Wide Web, URL:

http://trinity2.envescent.com/journal.php?id=66

Marek Safjan, ―Politics and Constitutional Courts: A Judge‟s

Personal Perspective‖, EUI Department of Law Working

Paper no 2000/10, available at

http://cadmus.iue.it/dspace/bitstream/1814/8101/1/LAW-

2008-10.pdf

Scott Shane, ‗Book cites secret Red Cross report of CIA torture of

Qaeda captives‘, International Herald Tribune, 11 June

2008, available at

http://www.iht.com/articles/2008/07/11/america/11detain.p

hp

Thomas Black, Mexico‘s Calderon Declares Emergency Amid

Swine Flu Outbreak, BLOOMBERG,

http://www.bloomberg.com/apps/

news?pid=20670001&sid=aEsNownABJ6Q

Page 328: layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/1… · Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang

318 | Hukum Kelembagaan Negara

Kamus

Henry Campbell Black, 1991, Black‘s Law Dictionary: Definition

of the Terms and Phrases and English Jurisprudence,

Ancient, and Modern, 6th Edition, Minnesota: West Group.

Surat Kabar dan Majalah

Kompas, Selasa, 19 Juli 2011

Yenny Sucipto, ―Sadar (Anggaran) Bencana‖, Kompas, 15

November 2010.