bab i - layanan.hukum.uns.ac.id file/buku isharyanto/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7...

232

Upload: others

Post on 02-Nov-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian
Page 2: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

1

BAB I

KONSTITUSI DAN PENAFSIRAN KONSTITUSI

A. Ragam Istilah

Lazim dipahami bahwa salah satu sendi hukum ketatanegaraan yang

paling utama adalah konstitusi. Boleh dikatakan dewasa ini setiap negara di dunia

memiliki konstitusi. Konstitusi berasal dari Bahasa Latin, constitutio.1 Istilah ini

berkaitan dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum atau prinsip.2 Saat ini,

bahasa yang biasa dijadikan rujukan istilah konstitusi adalah bahasa Inggris,

Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belanda. Menurut Jimly

Asshiddiqie, untuk pengertian constitution dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda

membedakan antara constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman

memebdakan antara verfassung dan gerundgesetz. Malah dalam bahasa Jerman

pengertian tentang konstitusi ini dibedakan pula antara gerundrecht dengan

gerundgesetz seperti antara grondrecht dengan grondwet dalam bahasa Belanda.

Gerundrecht (Jerman) dan grondrecht (Belanda) secara harfiah berarti hak dasar,

tetapi sering juga diartikan sebagai hak asasi manusia.3

Dalam bahasa Prancis, digunakan istilah Droit Constitutionel untuk

pengertian luas, sedangkan pengertian sempit, yaitu konstitusi yang tertulis

digunakan istilah Loi Constitutionnel. Droit Constitutionnel identik dengan

pengertian konstitusi, sedangkan Loi Constitutionnel identik dengan Undang-

Undang Dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu dalam arti konstitusi tertulis.4

1 M. Solly Lubis menyebutkan kata konstitusi berasal dari kata dalam bahasa Prancisconstituer. Lihat M. Solly Lubis, 1978, Asas-asas Hukum Tata Negara, Cetakan 2, Bandung, PenerbitAlumni, hlm. 44. Sementara Sri Soemantri menyebutkan bahwa asal usul istilah konstitusi adalah daribahasa Inggris constitution. Lihat dalam Sri Soemantri, 1982, Pengantar Perbandingan Antar HukumTata Negara, Jakarta, Rajawali, hlm. 44.

2 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Jakarta,Penerbit Konpress, hlm. 1.

3 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi, Jakarta, Penerbit Kompas, hlm. 3.4 Ibid.

Page 3: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

2

Dalam bahasa Italia, istilah yang dipakai untuk pengertian konstitusi

adalah Dirrito Constitutionale. Dalam bahasa Arab dipakai pula beberapa istilah

yang terkait dengan pengertian konstitusi itu, yaitu Masturiyah, Dustuur, atau

Qanun Asasi.5

Di Negeri Belanda, pada awalnya digunakan istilah staatsregeling untuk

menyebut konstitusi. Tetapi, atas prakarsa Gijbert Karel van Hogendorp pada

tahun 1813, istilah grondwet digunakan untuk menggantikan istilah staatsregeling

yang juga memiliki pengertian undang-undang dasar atau konstitusi.6 Menurut

Jimly Asshiddiqie, di berbagai negara di Eropa Kontinental, yang menganut tradisi

civil law, istilah konstitusi memang selalu dibedakan antara pengertian konstitusi

tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi yang tertulis itulah yang biasa

disebut dengan istilah-istilah grondwet (Belanda), gerundgesetz (Jerman), Loi

Constituionnel (Prancis). Sementara itu, kata constitutie, verfassung, gerundrecht,

grondrecht, Droit Constitutionnel, Dirrito Constitutionale, merupakan istilah-

istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang

digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian dalam arti sempit tersebut.

Tulisan ini memaknai konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi perlu

diperingatkan bahwa konstitusi hanya salah satu sumber hukum tata negara. Selain

konstitusi, ada berbagai kaidah-kaidah lain, baik dalam bentuk peraturan

perundang-undangan, kebiasaan (konvensi), dan yurisprudensi, yang menjadi

sumber dan aturan-aturan hukum tata negara.8

Dalam penyusunan konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang

hidup dalam masyarakat dan dalam praktik penyelenggaraan negara turut

5 Ibid., hlm. 4.6 Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung, Penerbit

Alumni, hlm. 1-2 dan 9-10.7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, hlm. 4.8 Bagir Manan, “Kedudukan Hukum Memorandum DPR kepada (terhadap) Presiden”,

makalah Seminar Nasional, Jakarta, 28 Februari 20o1, hlm. 1.

Page 4: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

3

mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar.

Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar

belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis, perumusan yuridis suatu

ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan saksama, untuk dapat

dimengerti sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar.

Sebagai contoh negara pada yang didasarkan atas prinsip demokrasi

misalnya, yang menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan ditentukan oleh

rakyat, aturan hukum tentang hubungan antara masyarakat dengan penguasa dan

antaranggota masyarakat sendiri, akan mencerminkan perwujudan setiap

kemugkinan dari pelaksanaan kekuasaan rakyat. Isi segenap pengaturan hukumnya

akan emnghidnari perumusan yang bisa berakibat pengekangan pelaksanaan

kekuasaan rakyat tadi. Arahnya bersifat membuka jalan dan memudahkan

(fasilitatif) penyaluran hasrat rakyat dalam pembentukan kebijaksanaan

pemerintahan. Jika prinsip kekuasaan di tangan rakyat menjadi patokan dasar

dalam mengatur kehidupan kenegaraan karena tercantum dalam konstitusi, maka

dapat dijelaskan misalnya, mengapa tidak dibolehkan munculnya aturan hukum

yang memuat kekangan terhadap hak menyatakan pendapat. Tidak lain karena

prinsip kekuasaan di tangan rakyat tidak mungkin diwujudkan tanpa didahului

dengan kemampuan rakyat untuk menyatakan apa yang ada dalam kalbunya,

menentukan mana yang baik dan tidak, memilih apa yang diinginkannya, dan apa

yang tidak disukainya.

Negara adalah satu organisasi. Negara modern merupakan satu organisasi

otoritas yang sasaran kegiatan dengan otoritasnya adalah mengatur satu

masyarakat yang ada secara keseluruhan. Pada dasarnya ketentuan yang

menyangkut organisasi, susunan, wewenangnya serta alat perlengkapan negara

dan hubungannya satu sama lain disusun dan ditetapkan oleh konstitusi, yang

berfungsi sebagai hukum tertinggi. Oleh karenanya mengubah kekuasaan atau

kewenangan suatu lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari

konstitusi, harus dilakukan dengan mengubah konstitusi. Pada umumnya konstitusi

Page 5: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

4

menentukan struktur, komposisi, fungsi dan kekuasaan organ, hubungan organ

yang satu dengan yang lain, serta hubungan Negara dengan warganegaranya. Salah

satu muatan paling penting dari suatu Undang-Undang Dasar (konstitusi) adalah

bagaimana penyelenggaraan kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga negara

yang menjalankan kekuasaan itu. Semua lembaga negara merupakan subsistem

dari keseluruhan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Oleh karena itu,

sistem penyelenggaraan kekuasaan negara adalah menyangkut mekanisme dan tata

kerja antarlembaga negara tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh untuk

mejalankan kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara

menggambarkan secara utuh cara bekerjanya lembaga-lembaga negara yang diberi

kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.

Membangun kultur konstitusi yang berdasar akal sehat di antara lembaga

Negara dan semua warganegara, terutama mereka yang memiliki kewenangan

menafsirkan konstitusi untuk menjabarkannya dalam peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah, merupakan suatu keniscayaan. Diperlukan

pemahaman dan penghayatan yang dalam akan prinsip-prinsip yang berlaku secara

universal dalam kehidupan bernegara berdasar konstitusionalisme. Kemampuan

mengidentifikasi dan memberi makna secara tepat sumber keabsahan norma

konstitusi yang menjadi dasar pembentukan norma yang lebih rendah, untuk

menghindari uji materi yang dapat berakhir pada diktum norma yang dibentuk

inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, memaksa semua

pihak yang mempunyai kewenangan legislasi harus mengadopsi dan menggunakan

cara berfikir dan bekerja hakim (MK) dalam menilai dan menguji sendiri

konnstitusionalitas norma yang dicoba dirumuskannya. Kegagalan untuk

memahami terjadinya perubahan atau pergeseran paradigmatik terutama ketika

perubahan konstitusi terjadi secara bertahap, sehingga legislator memberi makna

suatu norma konstitusi dengan arti tertentu dan kemudian melakukan regulasi dan

merumuskan norma yang lebih rendah berdasar paradigma yang tidak sesuai

dengan pergeseran mendasar ketika terjadi perubahan UUD pada tahap berikut

Page 6: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

5

yang membentuk paradigma baru, pastilah menjadi problematik dari sisi

konstitusionalitasnya. Konstitusi merupakan hukum tertinggi di satu negara. Tidak

boleh ada lembaga atau cabang kekuasaan negara melakukan kebijakan atau

merumuskan norma hukum yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum

tertinggi tersebut. Seluruh lembaga negara atau kekuasaan negara yang

memperoleh kewenangannya dari konstitusi, menjadi pelayan yang harus tunduk

pada konstitusi sebagai tuannya. Tidak boleh ada lembaga atau kekuasaan Negara

sebagai pelayan, melaksanakan kekuasaannya secara bertentangan dengan

konstitusi sebagai sumber kewenangannya yang menjadi tuan.

Sebaliknya, pada negara yang mendasarkan diri pada prinsip kedaulatan

negara sebagai norma konstitusi, juga terdapat patokan dasar yang ditaati dalam

menyusun aturan-aturan hukum selanjutnya, sebagaimana contoh negara

demokrasi tadi. Hanya saja sumber kekuasaannya adalah negara sendiri.

Sedangkan dalam negara demokrasi tadi sumbernya adalah kedaulatan rakyat.

Dalam prinsip kedualatan negara, arah hubungan rakyat dan penguasa akan

berlainan dengan dalam negara yang berkedaulatan rakyat. Bisa dimengeti di sini

jika tidak dibutuhkan aturan yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat oleh

rakyat, misalnya. Yang justru dijaga ialah agar tidak ada isi aturan hukum yang

akan berakibat merongrong atau mengurangi wibawa negara. Ini sering disamakan

dengan tidak merongrong atau mengurangi wibawa pemerintahnya, karena

pemerintah (kepala negara, raja, atau despot) adalah lambang konkretisasi negara.

Dari kedua contoh sederhana itu menunjukkan bahwa dasar pikiran yang

kemudian menjadi aturan-aturan dalam konstitusi, selanjutnya akan menentukan

bagaimana aturan-aturan hukum di negara itu akan dibuat. Asas kedaulatan rakyat

maupun asas kedaulatan negara sama-sama merupakan pikiran dasar mengenai

susunan negara, yang pada intinya merupakan konsep tentang negara, yang akan

menjadi pangkal dari pertumbuhan isi dan arah aturan hukum negara selanjutnya.

Menurut Marsilam Simanjuntak, konsep tentang negara (staatidee) adalah sumber

Page 7: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

6

yang lebih awal dari kerangka yang disusun dalam sebuah konstitusi.9 Diuraikan

lebih lanjut, bahwa konsep tentang negara di satu pihak akan mempunyai

konsekuensi pada hukum tata negara dan kehidupan negara pada umumnya.10

Ketika perubahan UUD terjadi secara bertahap, dan satu konsep atau

norma yang dirumuskan dimasukkan kedalam struktur konstitusi yang sudah

terbentuk, maka makna awal yang diberi kepada norma tertentu yang

mengandung konsep tertentu, akan menerima pengaruh dari seluruh sistem dalam

konstitusi ketika dia memasuki struktur konstitusi. Norma baru harus mengalami

harmonisasi dengan keseluruhan struktur dan sistem dalam konstitusi, tetapi

sebaliknya juga norma yang sudah ada sebelumnya dalam konstitusi sebelum

perubahan, terutama yang berkaitan dengan konsepsi tertentu, akan menerima

pengaruh. Dalam hal demikian maka original intent pembentuk/pembaharu, hanya

merupakan salah satu jenis pemaknaan, yang tidak dapat digunakan secara berdiri

sendiri. Semua perubahan yang terjadi secara bertahap dan dalam waktu yang

berbeda, ketika masuk dalam struktur UUD 1945 tanpa analisis dampaknya secara

konsepsional, baik terhadap organisasi maupun mekanisme penyelengaraan

kekuasaan, dapat menyebabkan rnakna yang diperoleh berdasarkan tafsir yang

tekstual individual, menghasilkan norma yang dirumuskan dalam peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah sebagai penjabaran UUD 1945 tidak

konsisten, karena perubahan yang terjadi belakangan tidak memperhitungkan

secara optimal dampaknya, baik secara konsepsional maupun struktural. Di India

dikenal adanya doctrine of eclipse, yang berbicara tentang dampak perubahan

konstitusi pada hukum secara keseluruhan. Perubahan konstitusi yang bertahap

juga membawa pengaruh pada konstitusi. Norma-norma yang lebih lama tersebut

"...will be regarded as having been 'eclipsed'. Meskipun sesungguhnya doktrin

ini dimaksudkan berpengaruh terhadap norma hukum dalam undangundang -

9 Marsilam Simanjuntak, 1994, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, danRiwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti, hlm. 4.

10 Ibid., hlm. 5.

Page 8: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

7

hampir mati atau menemui ajal, namun tidak void ab initio. Perubahan UUD yang

datang kemudian secara parsial, akan seperti gerhana yang membawa bayangan,

sehingga norma hukum dalam Undang-Undang yang dirumuskan sebagai jabaran

norma konstitusi yang secara konsepsional dan structural terpengaruh oleh

perubahan konstitusi yang terjadi kemudian, akan sangat mungkin bertentangan

dengan konstitusi, baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Hal tersebut

jugalah yang memperkuat kebutuhan mutlak dalam memandang konstitusi sebagai

satu struktur yang utuh, sehingga tidak boleh satu pasal tertentu ditafsir secara

terpisah lepas dari struktur yang utuh, yang boleh jadi secara gramatikal atau

tekstual sangat jelas sebagai penafsiran awal yang harus dilakukan, tetapi ketika

dilihat secara keseluruhan dalam satu struktur dan sistem konstitusi yang utuh,

norma tertentu mengalami pemaknaan tertentu yang berbeda, bahkan terkadang

sangat radikal. Merupakan hal yang niscaya jikalau terjadi interdependensi

antara teks dengan struktur konstitusi itu sendiri.

Konsep tentang negara itu dapat dikenali karena lazimnya dituangkan

dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi, tentu dengan catatan jika negara yang

bersangkutan mempunyai konstitusi sebagai dokumen tertulis. Hanya saja,

perumusan undang-undang dasar tidak selalu mengatur secara lengkap dan rinci

segala sesuatunya atau rumusannya masih mengandung makna ganda atau

ketidakpastian, sehingga sering dibutuhkan pedoman lain untuk menanggulangi

masalah yang timbul. Selain dari penjelasan resmi yang tersedia, pedoman ini

antara lain didapat melalui berbagai cara penafsiran atas rumusan yang terkandung

dalam konstitusi tadi.

Pada sisi lain, seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie, setiap kurun

waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang

membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan

medan pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan yang

berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi dapat terus berkembang

Page 9: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

8

dalam praktik di kemudian hari.11 Berkaitan dengan hal ini, maka penafsiran

terhadap konstitusi pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang,

memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya,

sehingga konstitusi tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak

oleh pihak manapun juga.12 Seperti yang dikatakan oleh Bagir Manan, tidaklah

cukup untuk memahami hukum ketatanegaraan suatu negara kalau hanya

menggantungkan atau mengukur segala sesuatu dengan asas atau aturan yang ada

dalam konstitusi.13

B. Pembatasan Kekuasaan

Menurut Moh. Mahfud M.D. keberadaan konstitusi pada awal

pertumbuhan negara-bangsa modern tidak lepas dari pengakuan adanya paham

demokrasi, yang pada intinya menyatakan bahwa kekuasaan negara yang tertinggi

berada di tangan rakyat.14 Dalam hal ini, negara terbentuk karena adanya “kontrak

sosial” antara individu-individu dengan penguasa di mana kepada sang penguasa

diberi mandat untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi

individu tersebut.

Tidak semua hak-hak asasi tadi diserahkan kepada penguasa, namun

sebatas apa yang tertuang di dalam “kontrak” pada saat pembentukan negara tadi.

Dalam khasanah peradaban modern, “kontrak” tersebut dituangkan dalam bentuk

konstitusi. Dengan demikian, maka konstitusi merupakan fungsi residual dari hak

asasi manusia dan bukan sebaliknya.15 Dengan tertib berpikir demikian, maka

dipahami bahwa konstitusi merupakan sarana untuk membatasi penguasa negara.

Penggunaan konstitusi sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan negara telah

11 Kusnu Goesniadhie S., 2009, Hukum Konstitusi dan Politik Negara Indonesia, Malang,Penerbit Nasa Media, hlm. 32.

12 Ibid.13 Bagir Manan, 2004, Perkembangan UUD 1945, Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 5.14 Moh. Mahfud M.D., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jogjakarta, Penerbit Ford

Foundation dan Gama Media, hlm. 18.15 Ibid., hlm. 20.

Page 10: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

9

menimbulkan paham konstitusionalisme. Di dalam gagasan konstitusionalisme

tersebut, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya merupakan suatu

dokumen yang mencerminkan pembagian kekuasaan (anatomy of a power

relationship) saja, tetapi dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi

khusus, yaitu di satu pihak untuk menentukan dan membatasi kekuasaan dan

dipihak lain untuk menjamin hak-hak asasi politik warga negaranya. Konstitusi

dipandang sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh

negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil “Government by laws,

not by men”.

Dengan demikian, pembuatan konstitusi didorong oleh kesadaran politik

yang tinggi mengenai keperluan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara

sebaik mungkin. Baik sebagai kaidah hukum maupun sebagai pernyataan prinsip

dan cita-cita, konstitusi sebagaimana juga perundang-undangan yang lain,

merupakan the resultan of a pralellogram of forces-political, economic, and social

of its adoption, kata Ni’matul Huda.16 Menurut James Bryce, sebagaimana dikutip

oleh Dahlan Thaib, dkk17, motif politik yang menonjol dalam penyusunan

konstitusi adalah, pertama, keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan untuk

mengendalikan tingkah laku penguasa. Kedua, keinginan untuk menggambarkan

sistem pemerintahan yang ada di dalam rumusan yang jelas guna mencegah

kemungkinan perbuatan sewenang-wenang dari penguasa di masa depan. Ketiga,

hasrat dari pencipta kehidupan politik baru untuk menjamin atau mengamankan

cara berlakunya pemerintahan dalam bentuk yang permanen dan yang dapat

dipahami oleh warganegara. Keempat, hasrat dari masyarakat-masyarakat yang

terpisah untuk menjamin aksi bersama yang efektif dan bersamaan dengan itu

berkeinginan tetap mempertahankan hak serta kepentingan sendiri-sendiri. Atas

16 Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, Jogjakarta,Penerbit UII Press, hlm. 72-73.

17 Dahlan Thaib, dkk, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm.64.

Page 11: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

10

dasar hal-hal yang dikemukakan oleh Bryce di atas, dapat disimpulkan bahwa

konstitusi dibuat secara sadar sebagai perangkat kaidah fundamental yang

mempunyai nilai politik tinggi dari jenis kaidah lain karena menjadi dasar bagi

seluruh tatanan kehidupan negara. Dengan asumsi ini maka bagian-bagian lain dari

tata hukum harus sesuai atau tidak berlawanan dengan konstitusi.

Pada umumnya negara-negara mengakui supremasi konstitusi di atas

segala peraturan perundang-undangan yang lain, hal mana terbukti dari cara

merubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat daripada pembuatan

undang-undang. Menurut K.C. Wheare, dengan menempatkan konstitusi pada

kedudukan yang tinggi (supreme) ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu akan

diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi itu tidak akan dirusak dan

diubah begitu saja secara sembarangan.18 Perubahnnya harus dilakukan dengan

hikmat, penuh kesungguhan, dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini

dapat dilaksanakan dengan baik maka perubahannya pada umumnya mensyaratkan

adanya suatu proses dan prosedur yang sifatnya istimewa atau khusus.19

C. Konstitusi dan Norma Dasar

Secara akademik uraian di muka hendak menyatakan bahwa semua

konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan

itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya.

Menurut Ivo D. Duchacek, “pembatasan kekuasaan pada umumnya merupakan

corak umum materi konstitusi.”20 Secara filsafati, ada anggapan bahwa sebelum

sebuah aturan hukum dibentuk, termasuk konstitusi, selalu ada nilai yang dianggap

mengawali, lebih utama, dan mendasari [keberlakuan] serta dijadikan dasar untuk

memberi bentuk dan isi aturan-aturan hukum tersebut. Pertanyaannya adalah,

bagaimanakah nilai dasar itu dikenali dan diketemukan?

18 K.C. Wheare, 1975, Modern Constitution, London, Oxford University Press, hlm. 67.19 Ibid., hlm. 68.20 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, hlm. 6.

Page 12: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

11

Untuk menjawab pertanyaan itu, dapat dianalisis menurut teori Hans

Kelsen mengenai norma dasar (basic norm, Grundnorm). Kelsen, seorang yang

beraliran positivis-analitis menolak hukum alam sebagai penjelasan mengenai

sumber hukum. Dia melihat hukum sebagai sesuatu yang murni formil, yang

merupakan susunan hierarkis dari hubungan-hubungan normatif. Norma, dalam

hal ini dibatasi dan selalu diartikan “norma hukum”, yang satu berhubungan

dengan norma lain yang mana yang pertama lebih tinggi tingkatannya daripada

yang kedua, dan demikian selanjutnya dari atas ke bawah. Artinya, isi nilai dari

norma yang di bawah, atau yang berikutnya, tidak boleh bertentangan atau tidak

bersesuain dengan norma yang sebelumnya, atau yang di aatsnya. Jadi, setiap

norma hukum memperoleh pengesahan dari norma yang di atasnya, dan pada

tingkat terakhir semua norma hukum memperoleh pengesahan dari norma

fundamental atau norma dasar. Sedangkan norma dasar ini tidak diturunkan dari

manapun. Ia dianggap sah dan diterima sebagai sesuatu yang sah tanpa harus

disesuaikan dengan norma lain. Menurut Marsilam Simanjuntak, norma dasar atau

Grundnorm tersebut diterima atau lebih diandaikan (diasumsikan) sebagai sesuatu

di mana segalanya dimulai.21 Dalam pandangan Kelsen, norma yang terkandung

dalam hukum positif menekankan soal ‘keharusan’ (ought), bukan nilai keadilan

atau kebenarannya.22 Fokus anjuran Kelsen dalam jurisprudence adalah rangkaian

norma hukum. Hal-hal di luar itu seperti soal ideologi, politik, sosiologi, sekalipun

ada kaitan dan pengaruhnya terhadap hukum, berada di luar cakupan teori hukum,

dan supaya pembahasan hukum dibebaskan dari pengaruh hal-hal tersebut. Urusan

ilmu hukum harus murni, bersih dari hal tersebut, sehingga konstruksi yang

muncul adalah “teori hukum yang murni” (the pure theory of law atau Reine

Rechtslehre).23 Kelsen juga menyatakan bahwa tidak usah memberikan penilaian

21 Op.cit., hlm. 26.22 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, terj. Anders Wedberg (New York,

Russel & Russel, hlm. 35.23 Ibid., hlm. 1.

Page 13: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

12

mengenai baik-buruk terhadap Grundnorm tersebut, yang sekiranya penilaian itu

ada, tetapi beada di luar bidang hukum. Itu adalah urusan etika, agama, politik, dan

lain-lain.

Manfaat teori Kelsen itu memudahkan upaya untuk menemukan

kesesuaian antara norma hukum, baik ke arah atas maupun ke arah bawah.

Marsilam Simanjuntak memberikan contoh, jika ada aturan hukum hendak dibuat,

maka pedoman dalam menentukan batas-batasnya adalah apa yang terkandung

dalam aturan hukum yang tingkat hierarkinya lebih tinggi. Sebaliknya, jika

dibutuhkan penafsiran atas sebuah aturan hukum karena ada keraguan dalam

perumusannya, maka penjelasannya dicari di dalam maksud yang terkadung dalam

norma hukum di tingkat yang lebih atas. Demikian seterusnya, penafsiran akan

menelusuri hukum positif yang lebih tinggi lagi, sampai tiba pada hukum dasar

atau konstitusi suatu negara, sebagai sumber positif norma-norma perundang-

undangan itu.24 Jadi, konstitusi sampai pengertian ini merupakan norma dasar,

yang lahir karena pra-anggapan bahwa proses pembentukannya (law creating act)

adalah sah (valid). Hanya saja, teori Kelsen tidak memberikan tuntunan terhadap

problem, yaitu bagaimanakah jika konstitusi sebagai hukum positif tertinggi masih

memerlukan penafsiran di luar rumusan yang terbaca, sementara cara-cara

penafsiran lain tidak memuaskan? Kepada norma yang lebih tinggi mana lagi yang

harus dijadikan pijakan untuk mencari bantuan kejelasan?

Persoalan ini menjadi fokus sorotan karena seringkali dengan konstitusi

yang sama ternyata menghasilkan penafsiran yang berbeda mengenai hal-hal yang

menyangkut kenegaraan. Penafsiran konstitusi dengan kepentingan tertentu bukan

untuk menghasilkan pembatasan kekuasaan, akan tetapi mengkonsolidasikan

kekuasan demi kepentingan negara dan pemerintah.

D. Kasus Indonesia

24 Op.cit., hlm. 27.

Page 14: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

13

Argumen pijakan konstitusi yang sama menghasilkan tafsir sistem politik

yang berbeda juga “menimpa” UUD 1945. Presiden Soekarno dan Presiden

Soeharto memanfaatkan UUD 1945, kemudian menciptakan sekian banyak

peraturan perundang-undangan yang mendukung rencana politik mereka. Presiden

Soekarno memanfaatkannya ketika ia hendak menerapkan suatu politik yang

sentralistis, melalui Demokrasi Terpimpin pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pasca pelaksanaan Pemilu tahun 1955 yang salah satu hasilnya adalah

pembentukan Konstituante, di mana lembaga ini bertugas menyusun konstitusi

baru pengganti UUD 1950 yang bersifat sementara, timbul krisis politik nasional

yang dianggap membahayakan kelangsungan negara. Hampir 3 (tiga) tahun

bersidang, 1956-1959, Konstituante belum mempunyai kesamaan pendapat untuk

menyatakan perbedaan ideologi yan gmenjadi penyebab pertentangan pendapat

sekitar falsafah negara yang akan dijadikan landasan konstitusi baru. Walaupun

sesungguhnya, seperti studi Adnan Buyung Nasution, konstitusi telah

menghasilkan hal-hal penting yang lebih praktis seperti organisasi negara dan

butir-butir vital mengenai perlindungan hak asasi manusia.25 Sementara itu, pada

akhir dasawarsa 1950-an, berbagai permasalahan di bidang ekonomi dan politik

makin berat hingga negara terperosok ke dalam krisis.

Pada tanggal 21 Februari 1957, Presiden Soekarno telah mengajukan usul

yang disebut Konsepsi Presiden, yang mengecam demokrasi liberal dan

mengusulkan Kabinet Gotong Royong yang terdiri atas menteri-menteri dari partai

politik dan golongan fungsional serta pembentukan Dewan Nasional. Karena

keadaan yang memburuk, sehingga dianggap perlu untuk menyelamatkan republik

ini dengan memberlakukan hukum darurat di seluruh wilayah Indonesia. Pasca

pengunduran diri Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Soekarno pada tanggal 9 April

25 Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia StudiSosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Grafiti bekerja samadengan Eka Tjipta Foundation, Cetakan 3, hlm. 317.

Page 15: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

14

1957 membentuk Kabinet Karya, sebagai suatu kabinet kerja darurat ekstra

parlementer yang dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda.

Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno menyampaikan pidato di

hadapan Sidang Konstituante yang mendesak supaya Konstituante menerima UUD

1945 tanpa amandemen sebagai undang-undang dasar. Desakan ini dilakukan

dengan 4 (empat) alasan. Pertama, memberikan jalan keluar atas keadaan negara

yang genting. Kedua, menekankan makna simbolik UUD 1945 yang amat besar

karena berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan perwujudan ideologi

yang sesungguhnya. Ketiga, struktur organisasi negara menurut UUD 1945 akan

memperlancar jalannya pemerintahan secara efektif. Keempat, kembali ke UUD

1945 merupakan langkah ke arah pembenaran hukum.26 Akan tetapi setelah

Konstituante membahas ajakan kembali ke UUD 1945 itu selama 3 (tiga)

persidangan berturut-turut yaitu tanggal 30 Mei 1959, 1 Juni 1959, dan 2 Juni

1959, dari pemungutan suara yang dilakukan usul Presiden itu “tidak mendapat

dukungan yang diperlukan.”

Hanya saja satu hari kemudian, Jenderal Nasution dalam kapasitas

sebagai Panglima Darurat Militer Pusat, mengeluarkan pengumuman yang

melarang semua kegiatan politik dan menangguhkan persidangan Konstituante.27

Kemudian, pada tanggal 5 Juli 1959, Kabinet mengadakan rapat di Bogor yang

juga dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung. Di sana tercapai kesepakatan supaya

UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali melalui Dekrit Presiden, dengan keadaan

darurat nasional sebagai pembenaran legal. Pada siang hari itu, Presiden Soekarno,

berbicara atas nama rakyat Indonesia, menyatakan berlakunya Dekrit Presiden 5

Juli 1959, yang berisi: (i) pembubaran Konstituante; (ii) keputusan untuk

memberlakukan kembali UUD 1945; (iii) penarikan kembali UUD 1950 dan

26 Ibid., hlm. 318.27 Yahya Muhaimin, 1982, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966,

Jogjakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press, hlm. 114.

Page 16: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

15

dalam waktu sesingkat-singkatnya mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan

sesuai dengan UUD 1945.

Selanjutnya, Presiden Soekarno berhasil memadukan ideologi yang

berbeda-beda dari ketiga partai tersebut menjadi ideologi Nasionalis-Agama-

Komunis (Nasakom), suatu keinginan untuk menyatukan ketiga kelompok tersebut

sehingga dapat menjadi kekuatan inti dari kekuatan progrsif revolusioner. Bahkan,

Presiden Soekarno berharap agar percampuran ketiga sifat tersebut dalam diri

pribadi setiap orang Indonesia.28 Pada Juni 1960, Presiden Soekarno menetapkan

aturan yang memaksa setiap partai politik menerima UUD 1945, sekaligus

memberikan kontrol penuh bagi Pemerintah dalam memeriksa partai, keuangan

partai, dan sebagainya, termasuk membubarkan partai tersebut jika dianggap telah

merongrong kebijakan negara.

Selepas mengebiri kekuatan partai politik, Presiden Soekarno kemudian

berhasil menerapkan gagasannya tentang Demokrasi Terpimpin dalam lembaga

perwakilan. Presiden membentuk lembaga perwakilan menurut Demokrasi

Terpimpin melalui Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960 (24 Juni 1960) tentang

Susunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Lalu dengan

ditetapkannya Keputusan Presiden No. 155/1960 dan Keputusan Presiden No.

156/1960, Presiden Soekarno berhasil memberhentikan para anggota lama DPR

dan mengangkat anggota DPR-GR, yang berjumlah sebanyak 238 orang, terdiri

dari 130 perwakilan golongan dan 153 perwakilan politik.29 Dengan praktik

semacam itu, khususnya dalam bidang politik, telah mempraktikkan politik

korporatis yang membentuk lembaga perwakilan fungsional dan pengaturan serba

tunggal tentang UUD 1945 dan Pancasila bagi setiap partai.

28 Hermawan Sulistyo, 2000, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yangTerlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 15-16.

29 Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta, Penerbit UI, hlm. 125.

Page 17: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

16

Sementara, Presiden Soeharto menafaatkan legitimasi UUD 1945 juga

untuk mnyederhanakan sistem kepartaian dan memangkas demokrasi yang

pluralistik melalui mekanisme Demokrasi Pancasila. Politik demokratis hanya

sebentar saja pada awal Orde Baru dan kemudian rezim mengkonsolidasikan

dirinya menjadi otoriter. Kedudukan dan peranan pemerintah menguat akan tetapi

lembaga legislatif melemah.30 Terbitnya Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966

telah mengesahkan pemerintah untuk merestrukturisasi partai politik. Selanjutnya,

bermacam-macam perundang-undangan disusun untuk mendukung kebijakan itu,

seperti UU No. 15/1969 dan UU No. 16/1969. Lebih jauh pemerintahan Soeharto

berhasil melakukan fusi paksa guna menyederhanakan partai politik dan juga

menerapkan asas tunggal Pancasila bagi semua partai dan organisasi

kemasyarakatan. Di samping itu, juga diterapkan adanya perwakilan fungsional

(golongan) dalam lembaga legislatif, khususnya MPR.

Berkat legitimasi Demokrasi Pancasila, Pemerintahan Soeharto berhasil

mengarahkan seluruh partisipasi politik rakyat bertujuan semata-mata untuk

pembangunan. Untuk itu rakyat harus dijauhkan dari kegiatan politik. Hubungan

rakyat dengan partai politik pun diputus, sehingga tercipta suatu politik masa

mengambang.31 Mulai saat itu, peranan partai politik dan masyarakat sipil

digantikan oleh militer berkat doktrin Dwi Fungsi ABRI, suatu kebijakan yang

sering disebut sebagai konsensus Orde Baru.32 Stabilitas nasional diperlukan

sebagai syarat utama berjalannya pembangunan nasional. Semua itu mulai efektif

sejak berjalannya Kabinet Pembangunan Nasional (1968).

Dari sekilas uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa, Demokrasi

Terpimpin dan Demokrasi Pancasila menjadi sumber penafsiran konstitusi

30 Moh. Mahfud M.D., 2007, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta,Pustaka LP3ES, hlm. 72-73.

31 Ali Moertopo, 1992, Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, CSIS, hlm. 95-99.32 Nugroho Notosusanto, dkk, 1985, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, Jakarta,

Penerbit Balai Pustaka, hlm. 32.

Page 18: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

17

sehingga mendukung upaya memanfaatkan kekuasaan masing-masing rezim.

Semua tindakan tadi diklaim mendasarkan diri kepada UUD 1945. Dengan

legitimasi yang demikian, kedua pemerintahan tersebut kemudian sama-sama

menjalankan praktik politik yang nondemokratis.

Pertanyaan selanjutnya, apabila klaim sandaran kepada UUD 1945 itu

diterima, dan selanjutnya menciptakan konfigurasi politik yang nondemokratis itu,

mempunyai pengertian bahwa semenjak awal UUD 1945, sebagai suatu norma

dasar, memang memberikan pengaturan hukum sebagai pijakan yuridisnya?

Bagaimana pendapat pendiri negara ketika merancang UUD 1945, adakah di

dalamnya mengandung gagasan-gagasan sebagai nilai yang mengandung potensi

untuk mendorong pemerintahan nondemokratis?

Sudah barang tentu, walaupun tidak akan dijawab dalam uraian dalam

bab ini, problematika dengan studi kasus UUD 1945 itu memberikan pandangan

bahwa memahami UUD tentu saja tidak dapat berhenti pada tataran dogmatis saja

semata, tetapi meluas kepada aspek teoritis maupun filosofis. Kemudian, juga

menunjukkan bahwa memahami UUD harus juga memahami “suasana kebatinan”

ketika UUD yang bersangkutan disusun untuk mendapatkan pegangan penafsiran

yang masuk akal.

Page 19: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

18

BAB II

PARLEMEN BIKAMERAL

A. Perubahan UUD 1945

Salah satu perubahan UUD 1945 yang mendasar adalah perubahan Pasal

1 ayat (2) UUD 1945, yaitu perubahan dari “Kedaulatan adalah di tangan rakyat,

dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, menjadi

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang

Dasar”. Perubahan tersebut membawa implikasi konstitusional yang mendalam

yang tercermin pada sistem penyelenggaraan kekuasaan negara setelah perubahan.

Jika kedaulatan rakyat sebelum perubahan dilakukan sepenuhnya oleh MPR maka

setelah perubahan, kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

yang di dalamnya diatur mekanisme penyelenggaraan kedaulatan rakyat sesuai

dengan fungsi dan kewenangannya. Dalam hal ini, DPR, DPD, dan Presiden

menyelenggarakan kedaulatan rakyat di bidang legislasi sesuai dengan ketentuan

UUD 1945. Oleh karena seluruh aspek penyelenggaraan negara dalam bidang

legislasi berdasarkan kedaulatan rakyat harus merujuk ketentuan Undang-

Undang Dasar maka sistem yang hendak dibangun adalah sistem konstitusional,

yaitu sistem penyelenggaraan negara yang berdasarkan pada ketentuan konstitusi.

Sistem konstitusional yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan dimuat

dalam Penjelasan Umum “Sistem Pemerintahan Negara” angka II. Dalam

sistem konstitusional, kewenangan dan kekuasaan masing-masing lembaga negara

diatur dan dirinci sedemikian rupa dan saling mengimbangi dan membatasi antara

satu dan yang lainnya berdasar ketentuan Undang-Undang Dasar. Sistem demikian

membawa konsekuensi konstitusional pada tingkat penerapan dan

penyelenggaraan kekuasaan negara, antara lain, terhadap struktur, mekanisme,

dan hubungan tata kerja antarlembaga-lembaga negara.

Page 20: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

19

Sebagaimana diketahui, perubahan terhadap UUD 1945 sebagai prasyarat

utama reformasi. Hal ini menyiratkan satu makna bahwa UUD 1945 dipandang

sebagai sumber atau paling tidak memberi dorongan menuju pemerintahan otoriter

di masa lalu.33 Wacana perubahan UUD 1945 di tahapan pratransisi tersebut

terpecah menjadi 2 (dua) kubu utama. Kubu pertama menghendaki disusunnya

suatu undang-undang dasar baru. Sementara, kubu kedua berpendapat perubahan

dilakukan dalam kerangka UUD 1945 dengan cara menambah, mengganti, atau

merumuskan ulang ketentuan-ketentuan yang ada. Prinsip utama kubu ini adalah

tidak melakukan perubahan terhadap materi yang dianggap cermin staatsidee

Indonesia merdeka, antara lain mencakup Pembukaan dan bentuk negara

kesatuan.34

Perubahan UUD 1945 dianggap penting untuk dilakukan karena materi

muatan di dalamnya sebagian besar tidak mampu menjawab kebutuhan yang lebih

kompleks akibat perkembangan yang terjadi. Bahkan dalam perjalannya UUD

1945 dijadikan sebagai sacred document dan pihak-pihak yang menentang

perubahan menciptakan apa yang dikatakan sebagai the myth of the constitution.35

Kelemahan UUD 1945, misalnya, tidak memuat ketentuan rinci yang justru

diperlukan untuk menjamin konstitusionalisme. Menurut Mark Brzezinskri (1998:

12-26), terdapat 3 (tiga) cara untuk melindungi konstitusionalisme, yaitu melalui

ajaran seperation of power, ajaran check and balances, dan ajaran pengujian

konstitusionalitas undang-undang (constitutional review).36

33 Bagir Manan, 2003, MPR, DPR, dan DPD Menurut UUD 1945 Baru, Jogjakarta,Penerbit UII Press, hlm. iv. Lihat juga Moh. Mahfud M.D., 1999, “Amandemen UUD 1945 ditinjaudari Kekuasaan Legislatif”.makalah seminar DPP Golkar, hlm. 1.

34 Bagir Manan, op.cit., hlm. iv-v.35 Susi Dwi Haryanti, 2003, Implementasi Bikameralisme di Indonesia, Jakarta, Penerbit

Rajawali, hlm. 250.36 Mark Brzezinskri, 1998, The Struggle for Constitutionalism in Poland, London:

Macmillan Press Ltd, hlm. 12-26.

Page 21: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

20

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan

mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan

Keempat pada tahun 2002. Perubahan-perubahan ituj juga meliputi materi yang

sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan

asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka

setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945

seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya

UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat

dikatakan merupakan Konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi “Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Menurut Bagir Manan,

dari 4 (empat) kali perubahan yang telah dilakukan, dapat dikelompokkan menjadi

7 (tujuh) sifat sebagai berikut. Pertama, perubahan yang bersifat peralihan

kekuasaan. Misalnya peralihan kekuasaan membentuk undang-undang. Menurut

naskah asli, kekuasaan membentuk undang-undang secara harfiah ada pada

Presiden. Sekarang kekuasaan membentuk undang-undang ada pada DPR.

Sifat yang kedua adalah perubahan yang bersifat penegasan pembatasan

kekuasaan. Misalnya, Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat memangku jabatan

paling lama dua kali masa jabatan berturut-turut dalam jabatan yang sama.

Selanjutnya, perubahan jenis ketiga adalah perubahan yang bersifat perimbangan

kekuasaan. Misalnya soal-soal yang berkaitan dengan pemberian amnesti, abolisi,

pengangkatan duta dan penerimaan perwakilan negara asing harus mengindahkan

pendapat DPR.

Perubahan jenis keempat adalah perubahan yang bersifat rincian atau

penegasan ketentuan yang sudah ada. Misalnya, semua anggota DPR dipilih

melalui pemilu. Prinsip itu telah ada dalam konstitusi tetapi selama ini tidak

dijalankan sebagaimana mestinya. Kemudian, sifat yang kelima adalah perubahan

yang bersifat tambahan sebagai sesuatu yang baru. Misalnya bab mengenai DPD,

pertahanan dan keamanan, pemilu, BPK, dan sebagainya. Selanjutnya, sifat yang

Page 22: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

21

keenam adalah perubahan yang bersifat meniadakan hal-hal yang tidak perlu.

Misalnya, penghapusan penjelasan. Terakhir, sifat yang ketujuh adalah perubahan

yang bersifat membangun paradigma baru. Misalnya dalam pembentukan undang-

undang penyelenggaraan otonomi daerah.

Sehubungan dengan itu penting disadai bahwa sistem ketatanegaraan

Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 itu telah mengalami perubahan-

perubahan yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi

struktur dan mekanisme structural organ-organ negara Republik Indonesia yang

tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Banyak pokok-pokok

pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu. Empat

diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya citademokrasi dan nomokrasi secara

sekaligus dan saling melengkapi secara komplamenter; (b) pemisahan kekuasaan

dan prinsip “checks and balances’ (c) pemurnian sistem pemerintah presidential;

dan (d) penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Diantara efek reformasi konstitusi adalah lahirnya DPD. Pembentukan

DPD merupakan upaya konstitusional yang dimaksudkan untuk lebih

mengakomodasi suara daerah dengan memberi saluran, sekaligus peran kepada

daerah-daerah. Saluran dan peran tersebut dilakukan dengan memberikan tempat

bagi daerah-daerah untuk menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan tingkat

nasional untuk memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan-kepentingan

daerahnya sehingga akan memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.

Perwakilan daerah dalam DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau

regional (regional representation) dari daerah, dalam hal ini provinsi. Dengan

demikian, keberadaan DPD tidak dapat dipisahkan dari adanya Utusan Daerah

sebagai salah satu unsur MPR. Dengan ditetapkannya bahwa seluruh anggota MPR

harus dipilih dalam Pemilihan Umum [vide Pasal 2 ayat (1) UUD 1945], maka

Utusan Daerah pun harus dipilih dalam Pemilihan Umum.

Page 23: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

22

Dalam pembahasan mengenai pembentukan DPD, semula ada kelompok

anggota MPR yang tidak setuju adanya DPD dan menganggap sudah cukup

terwakili dalam Utusan Daerah yang berada di MPR seperti yang diatur dalam

UUD 1945 sebelum perubahan. Pada sisi lain, terdapat kelompok anggota lainnya

yang mengusulkan pembentukan DPD dengan posisi yang sama kuat dan

memiliki kewenangan yang sama dengan DPR. Setelah melalui

serangkaian pembahasan disepakatilah pembentukan DPD yang merupakan

peningkatan kedudukan Utusan Daerah di MPR dalam perubahan UUD 1945,

dengan peran dan kewenangan tertentu dalam bidang legislasi, anggaran, dan

pengawasan. Hal itu dimaksudkan untuk memberi saluran dan peran kepada

daerah untuk ikut menentukan kebijakan nasional yang secara langsung terkait

dengan kepentingan daerah serta untuk memperkuat pilihan atas bentuk

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keterwakilan anggota DPR dan anggota

DPD yang sama-sama mewakili daerah di badan perwakilan tingkat nasional

mengandung perbedaan, antara lain, anggota DPR dipilih berdasarkan daerah-

daerah pemilihan dari seluruh Indonesia. Adapun anggota DPR dicalonkan dan

berasal dari partai politik peserta pemilihan umum, yang dalam posisinya sebagai

anggota DPR mewakili dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan partai politik

dan kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya. Pada sisi lain, anggota DPD

berasal dari perseorangan yang dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah

tersebut, sehingga anggota DPD hanya akan secara murni menyuarakan

kepentingan-kepentingan daerahnya, yaitu seluruh aspek yang terkait dengan

daerah yang diwakilinya. Berbeda dengan anggota DPR, yang oleh karena

mewakili partai politik tertentu sering dibebani misi partai politik yang

bersangkutan. Selain itu, wakil rakyat yang duduk di DPR yang berasal dari partai

politik dan terpilih dari suatu daerah pemilihan dapat saja berdomisili atau berasal

dari daerah lain yang bisa saja tidak begitu mengenal daerah yang diwakilinya. Hal

semacam itu sangat kecil kemungkinan terjadi bagi anggota DPD, karena mereka

Page 24: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

23

dipilih secara perseorangan dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat

di daerah yang bersangkutan.

Ketentuan UUD 1945 memberikan kewenangan tertentu kepada DPD

dalam fungsi legislasi, fungsi anggaran, serta fungsi pengawasan. Dalam fungsi

legislasi DPD berwenang untuk mengajukan dan ikut membahas RUU yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara

pusat dan daerah [Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945]. Di samping itu,

DPD juga berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan dan agama [Pasal 22D ayat (2) UUD 1945]. Keterlibatan DPD untuk

memberikan pertimbangan tersebut dimaksudkan supaya DPD berkesempatan

menyampaikan pandangan dan pendapatnya atas RUU tersebut karena pandangan

dan pendapat tersebut pasti berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah.

Kewenangan bidang pengawasan yang diberikan kepada DPD terkait dengan

pelaksanaan Undang- Undang yang menyangkut jenis Undang-Undang yang ikut

dibahas dan/atau diberikan pertimbangan oleh DPD.

B. Formulasi Lembaga Perwakilan

Perkembangan perjalanan praktik demokrasi di Indonesia, telah muncul

koreksi atas sistem perwakilan politik. Pada tahun 1998, muncul koreksi dari

warga di daerah terhadap sistem perwakilan politik yang tidak memberi ruang

bagi aspirasi daerah. Aspirasi itu menginginkan hadirnya kebijakan nasional yang

juga mengakomodasi kepentingan daerah. Berpijak dari aspirasi itu dilakukan

reformasi pada sistem perwakilan politik dengan munculnya institusi Dewan

Perwakilan Daerah. Peningkatan peran "utusan daerah" dari sekedar utusan yang

dipilih oleh DPRD Provinsi menjadi "perwakilan" yang dipilih secara langsung

oleh rakyat di daerahnya masing-masing mempunyai tujuan untuk memperkuat

penyaluran aspirasi daerah di pusat. Hal ini diharapkan dapat menciptakan

Page 25: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

24

keseimbangan ekonomi dan politik yang lebih adil dan egaliter antar pusat dan

daerah.

Dengan demikian, Perubahan UUD meletakan reformasi struktural

terhadap lembaga perwakilan; dimana lembaga perwakilan dibagi menjadi dua

kamar: DPR yang mewakili kepentingan partai-partai dengan DPD yang

mewakilia daerah yang diwakilinya. Kehadiran DPD sebagai lembaga

representasi alternatif juga memiliki pijakan akademis. Dalam studi-studi tentang

demokrasi, salah satu konsep utama yang digunakan adalah teori perwakilan atau

juga terkait dengan konsep mandat perwakilan. Yang dimaksud dengan

perwakilan (representation) adalah konsep dimana seseorang atau satu

kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak

atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Karena mempunyai kewajiban untuk

bicara dan bertindak atas nama yang diwakilinya maka seorang wakil dipilih oleh

yang diwakilinya dalam proses elektoral. Itu artinya karakteristik utama

lembaga perwakilan adalah memiliki mandat elektoral; dimana pihak-pihak yang

diwakili memberikan mandat pada yang mewakili melalui pemberian vote (suara)

dalam pemilu. Konsekuensi selanjutnya dengan duduknya seseorang di lembaga

perwakilan melalui pemilihan mengakibatkan timbulnya hubungan antara wakil

dengan diwakilinya. Gilbert Abcarian dan George Massanat (1970), menyatakan

bahwa ada beberapa tipe hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya: model

trustee, model delegate, model politicos, dan model partisan. Sedangkan

Hoogerwer (1985) menambahkan model kesatuan dan model penggolongan.

Yang dimaksud dengan Hoogerwer sebagai model penggolongan adalah

wakil menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi aspirasi dari kelompok

yang diwakilinya, balk dalam kategori territorial atau sosial-politik tertentu.

Dengan demikian, soal siapa mewakili siapa menjadi perdebatan yang

sangat penting dalam perumusan desain maupun praktik demokrasi

perwakilan.Pertanyaan yang paling mendasar dalam perdebatan ini adalah apakah

aspirasi rakyat bisa terepresentasikan dalam satu jenis perwakilan? Ataukah

Page 26: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

25

dibutuhkan berbagai bentuk saluran perwakilan? Beranjak dari perdebatan itu

muncul 3 (tiga) jenis perwakilan. Pertama, perwakilan politik

(politica/representation). Dalam model ini, perwakilan berbasiskan keterwakilan

individu (konstituen) dan para wakil bersumberkan pada partai politik. Kedua,

perwakilan fungsional, yang merupakan bentuk perwakilan dari kelompok atau

asosiasi yang ada dalam masyarakat. Dan ketiga, perwakilan wilayah (territorial),

yang lebih didasarkan pada ketrwakilan warga yang mendiami sebuah wilayah

tertentu.

Dalam perkembangan selanjutnya, model perwakilan politik yang hanya

berbasis partai politik dianggap memiliki beberapa keterbatasan: Pertama, tidak

semua warga (citizen) berkehendak mengelompokan diri dan menyalurkan

aspiranya dalam partai politik. Warga menginginkan saluran lain di Iuar partai

politik. Kedua, keterbatasan sistem pemilu dalam perwakilan politik, baik distrik

dan proporsional, hanya menekankan suara (vote) sebagai sesuatu yang penting

untuk bisa dikonversi menjadi kursi. Dalam sistem plurality/majority, pemenang

akan mengambil semua (the winner take ails). Sedangkan sistem proporsional,

menekankan konversi suara ke kursi secara proporsional. Sehingga kedua sistem

itu hanya menguntungkan mayoritas (peraih suara terbanyak) dan dalam sistem

proporsional juga akan lebih menguntungkan daerah yang memiliki jumlah

pemberi suara (voters) terbesar. Lebih-lebih dalam sepuluh tahun terakhir ini di

Indonesia berlangsung redesain sistem pemilu kearah "pemurnian" sistem

proporsional. Pemurnian bertujuan meningkatkan derajat proporsionalitas yang

ukurannya adalah one man, one vote, one values. Semakin sesuai antara

proporsi perolehan suara pemilih dengan kursi maka semakin tinggi derajat

proporsionalitasnya. Sebaliknya apabila muncul ketidaksesuian kursi di parlemen

dengan suara pemilih maka akan meninggikan disporporsionalitas keterwakilan

politik dari sistem ini. Kosekuensi dari pemurnian sistem proporsional ini adalah

keterwakilan politik ditentukan oleh jumlah suara. Semakin besar jumlah pemberi

suara (penduduk) maka semakin besar kursi dalam lembaga perwakilan politik.

Page 27: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

26

Kosekuensinya, tingkat keterwakilan yang penduduknya populasinya sedikit

akan lebih kecil dibandingkan penduduk yang padat. Dalam konteks Indonesia

hal ini memunculkan persoalan karena akan ditandai dengan tinggi tingkat

keterwakilan Jawa yang padat jumlah penduduknya dibandingkan beberapa

daerah di luar Jawa. Akibat berikutnya dari ketimpangan representasi ini adalah

berpulang untuk memunculkan bias kebijakan. Ketiga, lembaga perwakilan

politik yang bersandar pada partai politik seringkali menghadapi krisis

kepercayaan (distrust). Turunnya tingkat kepercayaan pada lembaga perwakilan

politik itu sebagai akibat dari adanya kesenjangan antara aspirasi warga dengan

agenda dari lembaga perwakilan.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan munculnya koreksi atas

perwakilan politik yang berbasis partai dengan menyediakan saluran alternatif

yang menyalurkan kepentingan kelompok- kelompok minoritas dalam proses

pengambilan kebijakan nasional. Representasi politik alternatif itu dibangun

untuk meningkatkan legitimasi dari sistem perwakilan politik secara keseluruhan.

Dan dari beberapa studi menunjukkan sistem representasi alternatif, baik

bikameral maupun tri Kameral bukan hanya diterapkan di negara federal

melainkan juga di negara kesatuan. Selain itu dari beberapa studi memperlihatkan

bahwa dari 10 negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, terdapat

delapan negara (80%) negara memilih sistem bikameral dan hanya dua negara

yang memilih model unikameral. Dengan demikian, sistem representasi alternatif

tidak selalu identik dengan bentuk negara atau sistem pemerintahan,

melainkan kebutuhan objektif sebuah negara-bangsa untuk meningkatkan kualitas

demokrasinya.

Berpijak pada keterbatasan sistem perwakilan politik maka muncul

model instusi representasi alternatif di luar DPR. Kehadiran lembaga representasi

alternatif ini penting karena: Pertama, warga negara, terutama di daerah- daerah

memiliki saluran aspirasi yang lebih lebar. Sehingga artikulasi dan agregasi bisa

disampaikan pada berbagai saluran. Kedua, membangun keseimbangan antara

Page 28: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

27

keterwakilan politik yang ditentukan oleh jumlah pemilih (penduduk) dengan

keterwakilan territorial. Dalam konteks Indonesia yang beragam (plural),

perimbangan ini diperlukan untuk memastikan aspirasi daerah-daerah yang

sedikit jumlah penduduknya tersalurkan dalam proses pembuatan kebijakan

nasional. Ketiga, memperkuat check and balances diantara lembaga representasi,

sehingga kehadiran DPD menjadi penyeimbang dari DPR. Dengan cara itu maka

demokrasi perwakilan semakin bermutu (berkualitas). Dengan adanya dua majelis

(two-chambers) akan menjamin mutu semua produk legislatif karena dapat

diperiksa dua kali (double check).

Jabaran prinsip tersebut diterjemahkan secara konkrit, antara lain dalam

formulasi sistem perwakilan yang berbeda dengan ketentuan sebelum Perubahan

UUD 1945. Semula, Majelis Permusyawaratan Rakyat kita dirancang untuk

diubah menjadi nama “genus” dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen

Indonesia yang terdiri atas dua kamar dewan. Kamar pertama disebut Dewan

Perwakilan Rakyat, dan kamar kedua disebut Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai

perbandingan, prinsip yang sama dapat kita temukan dalam konstitusi Amerika

Serikat yang mementukan bahwa semua kekuasaan legislatif ada di Kongres

yang terdiri atas “The House of Representatives and Senate”. Memang, anggota

senat bisa disebut Senator sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau

“House of Representatives” biasa disebut “Congressman.” Akan tetapi,

sesungguhnya, baik anggota Senat maupun anggota DPR Amerika Serikat itu

sama-sama merupakan anggota Kongres . Akan halnya nanti dengan anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, pada

hakikatnya mereka adalah anggota MPR, tetapi secara sendiri-sendiri mereka

juga dapat dibedakan antara anggota DPR atau anggota DPD. Demikian pula

dalam konstitusi Kerajaan Belanda dikatakan bahwa kekuasaan legislatif berada

di “Staten Generaal” yang terdiri atas “Eerste Kamer en Tweede Kamer”.

Keanggotaan dalam masing-masing kamar parlemen Belanda ini tidaklah

Page 29: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

28

mengurangi pengertian bahwa pada hakikatnya mereka juga anggota “Staten

Generaal.”

Namun demikian, setelah Perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan

MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah

mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap

ada. Perubahan-perubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia

itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan

keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan

Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional

representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR

hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan

prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah

(regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat

struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan

fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai “supreme body” yang

memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu

kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar.

Namun, seperti dikemukakan diatas, lembaga MPR pada pokoknya

menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan Keempat tetap berdiri sendiri di

samping DPR dan DPD. Banyak kritik dan ketidakpuasan mengenai pengaturan

UUD 1945 mengenai hal ini, tetapi dalam kenyataannya memang demikianlah

ketentuannya dalam UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. Menurut ketentuan

pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat

(2) menyatakan dalam hal terjadinya kekosongan wakil presiden, selambat-

lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR bersidang untuk memilih wakil presiden

dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan ayat (3) nya menyatakan

bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden secara

bersamaan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR bersidang untuk

Page 30: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

29

memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon presiden yang diusulkan

oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan

Wapresnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu

sebelumnya. Menurut ketentuan pasal 3 ayat (3), pasal 7A dan 7B, MPR juga

berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud oleh

pasal 3 ayat (1) dan pasal 37 UUD 1945. Dengan adanya kewenangan yang

demikian itu maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri

sendiri disamping DPR dan DPD.

C. Problematika Praktik

Setelah pelaksanaan pemilu tahun 2004 hingga semester pertama tahun

2005, sekurang-kurangnya tercatat 4 (empat) peristiwa yang menunjukkan

problematika serius yang menjurus kepada “konflik eksistensi” antara Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Pertama, masalah komposisi pimpinan MajelisPermusyawaratan Rakyat

(MPR) yang terjadi pada Oktober 2004. Dalam Peraturan Tata Tertib buatan MPR

(1999-2004) diatur bahwa ada 4 (empat) pimpinan MPR yang dipilih dari anggota

dan dicalonkan dari DPD (3 orang) dan DPR (3 orang). Dalam pandangan DPD,

sebagai lembaga baru meminta agar 4 (empat) pimpinan MPR, 2 (dua)

diantaranya merupakan wakil DPD tanpa melalui proses pemilihan anggota MPR

seluruhnya. Akibat pandangan ini, sidang MPR yang membahas tata tertib sempat

molor. Di sisi lain, DPR keberatan jika komposisi pimpinan MPR diubah hanya

demi pemerataan DPR dan DPD. Komposisi pimpinan MPR tetap mengacu

kepada rasio jumlah anggota DPR dan DPD sebesar 3:1. Pada akhirnya,

komposisi pimpinan MPR terbentuk dengan susunan dari unsur DPD dan DPR

masing-masing 2 (dua) orang. Sistem pencalonannya tetap, yaitu seorang calon

ketua dan 3 (tiga) calon wakil ketua.37

37 Ketentuan terbaru, dalam UU No. 27/2009 mengatur bahwa komposisi pimpinan MPRmeliputi 4 dari unsur DPR dan 1 dari DPD. Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang tersebut menolak menyatakan inkonstitusional regulasi tersebut.

Page 31: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

30

Kedua, masalah pelantikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

pada bulan November 2004. Presiden Megawati telah menetapkan anggota dan

pimpinan BPK baru yang berdasarkan pertimbangan DPR (1999- 2004) melalui

Keputusan Presiden No. 185/M Tahun 2004. Kemudian, DPD mengusulkan

kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunda pelantikan anggota

BPK sambil menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, DPD

mengajukan gugatan ke MK soal legalitas pengangkatan anggota BPK melalui

pertimbangan DPR periode sebelumnya. Pada akhirnya, MK memutuskan bahwa

permohonan DPD ditolak.

Ketiga, masalah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada bulan

Februari 2005. Pada awalnya Rapat Paripurna DPR menyetujui Prolegnas yang

akan membahas 284 rancangan undang-undang hingga tahun 2009. Dalam hal ini,

DPD menyatakan tidak mengakui Prolegnas versi DPR tersebut karena dinilai

sewenang-wenang tanpa melibatkan DPD. Tetapi DPR justru menyalahkan DPD

yang dianggap lamban dalam menyusun prolegnas. Pada akhirnya, prolegnas

akhirnya tetap disahkan oleh DPR.

Keempat, soal Pidato Nota Keuangan Presiden (Juli 2005). Pada

awalnya, DPR mengundang Presiden dalam pidato notakeuangan tanggal 17

Agustus 2005. Hal ini dikecam oleh DPD yang menginginkan hal tersebut

dilaksanakan dalam forum joint-session dengan DPR. Kemudian DPD akan

menyelenggarakan rapat secara terpisah dengan Presiden sehari lebih lebih awal

dari tanggal 15 Agustus 2005.38 Untuk meredam persoalan, sembari menolak

keinginan DPD itu, DPR mengundang seluruh anggota DPD untuk hadir dalam

rapat paripurna tersebut. Di sisi lain, Presiden, sebagaimana diungkapkan oleh

Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra waktu itu, keputusan

menyampaikan pidato RAPBN dan nota keuangan hanya kepada DPR bukanlah

38 Baru pada tanggal 16 Agustus 2010 penyampaian pidato Presiden dalam joint sessionDPR dan DPD dapat terlaksana.

Page 32: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

31

tanpa dasar. Yusril menunjuk sejumlah produk hukum, yaitu Pasal 23 ayat (2)

UUD 1945, Pasal 44 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 15 UU No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, Pasal 137 Peraturan Tata Tertib DPR, dan Pasal 6 Peraturan

Tata Tertib DPD.

D. Profil Bikameral

Menurut Hans Kelsen39 pada awalnya, konsepsi tentang perwakilan

dipandang sebagai pantulan kehendak rakyat pemilih yang memilih wakil mereka

di dalam lembaga perwakilan dan karenanya wakil-wakil itu bertanggung jawab

kepada rakyat pemilih. Kajian hukum tata negara tidak berhenti kepada jenis

perwakilan belaka, tetapi juga dititikberatkan berapa banyak tempat yang harus

ada dalam parlemen. Dalam praktiknya, terbentuk 2 (dua) model watak parlemen,

yaitu sistem unikameral atau sistem bikameral. Menurut Jimly Asshidiqie40,

sistem unikameral terdiri dari satu kamar, sedangkan bikameral mempunyai dua

kamar yang masing- masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Selama berabad-

abad, kedua tipe watak parlemen itu yang biasa dikembangkan di mana-mana.

Parlemen yang berwatak unikameral tidak mengenal adanya 2 (dua)

badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat atau Majelis Rendah dan

Majelis Tinggi. Akan tetapi, justru sistem unikameral inilah yang sesungguhnya

lebih populer karena sebagian besar negara dunia sekarang menganut sistem ini.

Di Asia misalnya, sistem ini dianut di Vietnam, Laos, Lebanon, Syiria, Kuwait,

dan sebagainya.

Menurut Jimly Asshidiqie41, fungsi Dewan atau Majelis Legislatif dalam

sistem unikameral ini terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur

negara. Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral ini beragam

39 Hans Kelsen, General Theory of Law..., op.cit., hlm. 289-290.40 Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen..., op.cit., hlm. 33.41 Ibid., hlm. 36.

Page 33: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

32

dan bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi pada pokoknya serupa bahwa

secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab

satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.

Parlemen bikameral adalah parlemen yang mempunyai 2 (dua) kamar

atau majelis yaitukamar pertama atau majelis rendah dan kamar kedua atau

majelis tinggi. Penamaan demikiantidak secara otomatis menunjukkan derajat

posisi atau tingkat kewenangan. Kamar pertama merupakan kamar perwakilan

rakyat yang dipilih secara langsung dan diwakilkan melalui partai politik dalam

parlemen, sedangkan kamar kedua merupakan perwakilan tertentu atau khusus,

yang biasanya digunakan untuk perwakilan teritorial, fungsional, kelas sosial,

etnis, dan sebagainya sesuai dengan kehendak konstitusi. Pada umumnya,

berbagai konstitusi negara di dunia memfungsikan kamar kedua sebagai suatu

kamar perwakilan wilayah dan banyak negara yang menamakannya sebagai

Senat.

Pembacaan watak parlemen, yaitu unikameral atau bikameral, pada

umumnya diasumsikan terkait dengan bangun negara. Dalam setiap konstitusi

modern, hal yang penting dan pertama kali dicantumkan adalah mengenai bangun

negara.42Mengenai bangun negara, di dunia saat ini dibagi ke dalam 2 (dua)

kelompok besar bentuk negara, yaitu negara yang berbentuk negara kesatuan dan

negara federal.43 Dalam pandangan Al Chaidar et.al., negara kesatuan

(Eeenheidstaat, unitary) adalah suatu negara yang berdaulat dengan satu

konstitusi.44 Konstitusi negara kesatuan menentukan batas-batas wewenang dan

kekuasaan daerah, sedangkan kekuasaan yang tidak diatur dianggap sebagai

kekuasaan milik pusat (residu power). Sementara itu, negara federal (Bondstaat)

42 C.F. Strong, 1963, Modern Political Constitution, London: Ludwigcs & SonsLtd, hlm.63.

43 Ibid.44 Al Chaidar, dkk, 2000, Telaah Awal Wacana Unitaris vs. Federalis Dalam Perspektif

Islam, Nasionalisme, dan Sosial Demokrasi. Jakarta: Madani Press, hlm. 61.

Page 34: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

33

adalah sejumlah negara yang bergabung untuk tujuan bersama yang tertentu.45

Dalam negara federal, kekuasaan pusat atau kewenangan federal dibatasi oleh

kekuasaan tertentu yang menjamin negara-negara bagian yang bergabung untuk

tujuan bersama.

Parlemen unikameral pada umumnya dianut oleh negara kesatuan,

dengan pengecualian antara lain seperti Prancis, Inggris, Jepang, dan Belanda.

Semua negara federal memiliki parlemen bikameral, hal yang nampak antara lain

di Amerika Serikat, Jerman, dan Australia.

Pembicaraan dalam rubrik ini perlu ditambahkan dengan sifat parlemen

bikameral. Dikotomi yang paling sederhana adalah munculnya konsep bikameral

kuat (strong) dan bikameral lemah/lunak (weak/soft). Untuk ini, hendak diungkap

pendapat 2 (dua) orang sarjana, yaitu Arend Lijphart dan Andrew S. Ellis.

Menurut Arend Lijphart, pembagian bikameral kuat dan bikameral lemah diurai

dalam 3 (tiga) ciri. Adapun ciri pertama adalah kekuasaan yang diberikan secara

formal oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut. Pola yang umum adalah

kamar kedua cenderung subordinat terhadap kamar pertama. Ciri yang kedua

adalah kepentingan politik yang sesungguhnya dari kamar kedua tidak hanya

tergantung dari kekuasaan formalnya, tetapi juga bagaimana metode seleksi

mereka. Secara lumrah, kamar pertama dipilih lewat pemilu, tetapi anggota kamar

kedua mayoritas dipilih secara tidak langsung (biasanya di bawah tingkatan dari

pemerintah nasional). Kamar kedua yang tidak dipilih secara langsung kurang

mempunyai legitimasi demokratis, sehingga pengaruh politik yang sebenarnya

diberikan kepada yang memilihnya (popular election). Sebaliknya, pemilihan

langsung kamar kedua mungkin akan mengimbangi beberapa tingkat untuk

kekuasaan yang dibatasi. Ciri yang ketiga ditunjukkan adanya perbedaan

menyolok antara 2 (dua) kamar dalam legislatif bikameral di mana kamar kedua

45 Ibid, hlm. 61.

Page 35: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

34

mungkin dipilih dengan corak yang berbeda atau sebagai perwakilan minoritas

tertentu atau khusus.

Ciri yang pertama dan kedua, yaitu menyangkut kekuasaan formal dan

legitimasi demokratis dari kamar kedua, dapat menghasilkan sifat bikameral yang

simetris dan asimetris. Kamar yang simetris adalah jika kekuasaan yang diberikan

konstitusi sama atau hanya secara moderat tidak sama. Kamar yang asimetris

sangat tidak sama dalam hal ini. Sementara ciri yang ketiga memberikan

pengaruh kepada komposisi parlemen bikameral, yaitu congruent dan

incongruent.

Komposisi congruent menunjukkan adanya keanggotaan yang sama dari

parlemen, sementara yang lain menggambarkan susunan yang tidak sama,

misalnya kamar pertama dipilih melalui pemilihan langsung dan yang kedua

melalui pengangkatan, dan variasi perbedaan lain.

Model teori lain dibeberkan oleh Andrew S. Ellis (2001) yang

mengkualifikasi 2 (dua) bangun parlemen bikameral, yaitu bikameral kuat dan

bikameral lemah. Suatu parlemen bikameral kuat, pembuatan undang-undang

biasanya dimulai dari majelis manapun, dan harus dipertimbangkan oleh kedua

majelis dalam forum yang sama sebelum disahkan. Dalam sistem lunak, majelis

yang satu memiliki status yang lebih tinggi dari yang lain. Misalnya, majelis

pertama mungkin dapat mengesampingkan penolakan atau perubahan RUU yang

diajukan oleh majelis kedua. Hal ini jamak diatur melalui keputusan bersyarat,

misalnya mayoritas absolut dari anggota-anggota (seperti di Polandia), dua

pertiga mayoritas dari anggota yang hadir dan memberikan suara (seperti di

Jepang), atau larangan majelis kedua untuk mengubah RUU Keuangan (seperti di

Inggris).

Teori Andrew S. Ellis di atas cukup mudah dipahami karena hanya

ditinjau dari sisi legislasi belaka. Dari segi praktis akan timbul kesulitan untuk

menilai, jika seandainya konstitusi memberikan hak eksklusif kepada kamar

kedua dalam legislasi, misalnya RUU Keuangan dan budget, yang hak usul dan

Page 36: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

35

vetonya dimiliki oleh kamar pertama. Atau untuk undang-undang yang berkaitan

dengan perjanjian internasional, yang biasanya merupakan hak eksklusif dari

kamar kedua, terutama dalam mengusulkan dan memveto (seperti di Amerika

Serikat).

Suatu premis umum perlu diajukan bahwa ketika suatu negara

membentuk lembaga, hal itu merupakan keinginan masing-masing negara untuk

membangun parlemen mereka. Selain kebutuhan, pemilihan model kamar kedua

biasanya dikaitkan dengan lingkungan ekonomi, sosial, sejarah, dan politik

masing-masing. Sebagai contoh diajukan kasus Venezuela, yang menurut

konstitusi 1961 mempunyai parlemen bikameral karena secara akademik

merupakan negara yang besar dan tingkat pluralitas penduduknya sangat tinggi.

Pada dekade 1980-1990, dengan alasan krisis ekonomi, konstitusi diubah.

Terakhir, dengan tujuan membabat praktik korupsi, pada 1999 parlemen diubah

menjadi unikameral. Alasan demikian juga membawa pengaruh kepada bentuk

parlemen bikameral, akankah mempunyai peran yang “kuat” atau peran yang

“lemah.” Takaran umum ini penting untuk menilai secara obyektif watak

bikameral parlemen suatu negara dan hal itu juga berlaku untuk Indonesia.

E. Pengalaman Indonesia

Cuplikan episode ketatanegaraan Indonesia membentangkan secuil fakta

normatif, bahwa dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat

(Konstitusi RIS) pada 27 Desember 1949-17 Agustus 1950, republik ini pernah

menganut bangun parlemen berwatak bikameral. Dalam konstitusi ini ditegaskan

bahwa dalam RIS merupakan negara hukum yang demokrasi dan berbentuk

federasi (Pasal 1 ayat (1)), di mana kedaulatan dilakukan oleh Pemerintah

bersama-sama dengan DPR dan Senat (Pasal 1 ayat (2)). Jadi, bangun parlemen

bikameral ditunjukkan dengan adanya DPR dan Senat.

Ditentukan juga bahwa senat RIS bukan senat yang dipilih melalui

pemilu tetapi dengan pengangkatan oleh pemerintah negara bagian, suatu corak

perwakilan teritorial. Dengan teori Arend Lijphart, maka bangun parlemen

Page 37: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

36

bikameral di masa RIS mengandung 2 (dua) ciri sebagai berikut. Ciri yang pertama

menyangkut susunan. Kamar kedua cenderung lebih kecil daripada kamar pertama

(DPR RIS beranggotakan 146 orang dan Senat berjumlah 32 orang). Ciri yang

kedua, masa jabatan legislatif kamar kedua cenderung lebih lama daripada kamar

pertama. Konstitusi tak tegas mengatur berapa lama masa jabatan anggota Senat,

namun disebutkan bahwa “anggota-anggota senat senantiasa boleh meletakkan

jabatannya. Mereka memberitahukan hal itu dengan surat kepada ketua” (Pasal

84).

Kekuasaan Senat RIS sebagai pemegang kedaulatan bersama-sama

dengan Pemerintah dan DPR (Pasal 1 ayat (2)). Senat bertugas mewakili negara

bagian (Pasal 80 ayat (1)) dan menjalankan fungsi legislatif sejauh menyangkut

“hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa, atau semua daerah bagian atau

bagian-bagiannya, atau mengenai perhubungan antara RIS dan daerah-daerah

lainnya” (Pasal 127 sub a). Senat juga mempunyai kekuasaan lain: (a) bersama-

sama DPR memberi ijin pernyataan perang (Pasal 183); (b) memberi nasehat

kepada Pemerintah atas inisiatif sendiri (Pasal 123); (c) didengarkan suaranya

sejauh berhubungan dengan “urusan-urusan penting yang khusus mengenai satu,

beberapa atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus

mengenai hubungan RIS dengan daerah-daerah” (Pasal 123); dan (d) meminta

keterangan kepada pemerintah (Pasal 124).

Dengan pijakan teori Arent Lijpart, Senat RIS termasuk “bikameral

kuat.” Hal ini dikarenakan konstitusi memberikan kekusaannya sejajar dengan

DPR karena Senat berhak mengajukan RUU (Pasal 128 ayat (2) dan berhak

menolak RUU dalam substansi tertentu (Pasal 136 ayat (2)). Senat RIS tidak

mempunyai legitimasi demokratis karena “ditunjuk oleh pemerintah daerah-daerah

bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan

yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi” (Pasal 81 ayat (1)). Masih dalam

teori Lijpart, parlemen RIS bercorak “simetris” karena kekuasaan kedua majelis

Page 38: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

37

(DPR dan Senat) relatif sejajar, meski susunannya incongruent karena Senat

berfungsi sebagai kamar federal dari RIS.

Jika digunakan sudut pandang Andrew S.Ellis, maka parlemen RIS

termasuk bikamreal kuat karena konstitusi memberikan hak untuk mengusulkan

RUU (Pasal 128 ayat (2)) dan hak menolak RUU (Pasal 136 ayat (2) kepada Senat.

Perlu dicatat bahwa hak mengusulkan RUU itu sebatas proses legislasi yang

berkaitan dengan negara bagian saja (Pasal 127 huruf a). Namun dalam

pembuatankonstitusi baru, anggota Senat dapat memberikan “mufakat” atau

“keputusan” dalam pembuatan konstitusi (Pasal 188-189).

Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali ke bangun negara kesatuan,

yang diikuti dengan perubahan konstitusi sehingga yang berlaku kemudian adalah

Undang-Undang Dasar Sementara atau populer dengan sebutan UUDS 1950.

Dengan terbentuknya kembali negara kesatuan ini, berakhirlah seteru golongan

“republiken” yang menghendaki negara kesatuan dan golongan “federalis” yang

menghendaki negara serikat. Dengan dihapuskannya daerah-daerah bagian,

golongan federalis ikut terhapus dari percaturan politik.46 Dalam masa berlakunya

UUD S ini maka watak parlemen menjadi unikameral. Pada tanggal 5 Juli 1959

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 (Dekrit

Presiden) yang antara lain menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai

undang-undang dasar nasional. Keberlakuan UUD 1945 menegaskan kembali

bangun negara dan desain ketatanegaraan pada masa proklamasi, yang terus

berlanjut selama Orde Lama (1959-1966), Orde Baru (1966 -1998), dan era

reformasi (1998-sekarang).

Desain parlemen di bawah UUD 1945 mengenal MPR dan DPR.

Mengenai MPR, dapat dinilai sebagai sebuah lembaga yang khas Indonesia, oleh

karena itu keberadaannya menarik untuk dicermati lebih lanjut. Keberadaan MPR

itu sendiri berkaitan dengan 5 (lima) fungsi penting, yaitu: (a) menetapkan UUD

46 Ali Chaidar, op.cit., hlm. 130.

Page 39: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

38

(Pasal 3); (b) Perubahan UUD (Pasal 37); (c) menetapkan garis-garis besar halauan

negara dalam arti yang luas, tidak sekadar GBHN (Pasal 3); (d) memilih presiden

dan wakil presiden (Pasal 6); dan (e) meminta pertanggungjawaban presiden di

tengah masa jabatan karena dakwaan melalui persidangan istimewa (Pasal 8 jo

Penjelasan UUD 1945). Menarik dicermati bahwa MPR terdiri atas anggota DPR

ditambah utusan golongan dan utusan daerah (Pasal 2). Menurut Jimly Asshidiqie,

susunan MPR semacam itu telah mengokohkan pandangan bahwa eksistensi

lembaga ini sebagai elemen ketatanegaraan yang mengandung tradisi liberalisme

barat dan sosialisme timur.47 Unsur anggota DPR mencerminkan prinsip

demokrasi politik (political democracy) yang didasarkan atas prosedur perwakilan

politik (political represenatation), sedangkan utusan golongan mencerminkan

prinsip demokrasi ekonomi (economic democracy) yang didasarkan atas prosedur

perwakilan fungsional (functional representation) untuk mengatasi kelemehan

perwakilan politik. Sementara itu, utusan daerah diadakan untuk menjamin agar

kepentingan daerah-daerah tidak terabaikan hanya karena orientasi untuk

mengutamakan kepentingan nasional. Dengan demikian, keberadaan para anggota

Majelis ini benar-benar mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat,

sehingga tepat diberi kedudukan yang tertinggi (supreme). Gambaran demikian,

menurut Jimly Asshidiqie, melahirkan konsep MPR sebagai forum majelis

belaka.48

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama di bawah konfigurasi politik

Orde Baru (1966-1998), timbul upaya untuk menjadikan MPR sebagai lembaga

tertinggi negara yang menjalankan fungsi sebagai wadah penjelmaan kedaulatan

rakyat. Dalam pandangan ini, MPR bukan hanya forum, tetapi lembaga tertinggi.

Hal ini tercermin antara lain dalam pelembagaan pimpinannya tersendiri

yang disertai sekretariat jenderal dan mekanisme kerja yang tersendiri pula.

47 Jimly Asshiddiqie, 2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah PerubahanKeempat UUD Tahun 1945”, makalah. Jakarta: BPHN, hlm. 135.

48 Ibid., hlm. 136.

Page 40: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

39

Konfigurasi politik pada masa reformasi telah melahirkan 3 (tiga) paradigma yang

mempengaruhi fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, yaitu, pertama,

pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

yudikatif. Kedua, konsep dan pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

secara langsung yang akan berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban Presiden

langsung kepada rakyat. Ketiga, restrukrisasi parlemen menjadi bikameral untuk

menampung aspirasi otonomi daerah yang semakin berkembang.

F. Posisi MPR-soft bicameral?

Dengan diterimanya paradigma perubahan ketatanegaraan yang

menghasilkan ketujuh sifat materi muatan dari Perubahan UUD 1945 di atas, maka

dalam pandangan ini MPR tidak dapat lagi dipertahankan sebagai lembaga

tertinggi, melainkan hanya akan berfungsi sebagai forum majelis dengan

kewenangan-kewenangan yang sudah ditentukan dalam UUD 1945. Menurut

Jimly Asshidiqie, dalam konteks ini maka prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi

diwujudkan dalam lembaga MPR yang akan membagikan kekuasaan itu secara

vertikal kepada lembaga yang ada di bawahnya.49 Dengan adanya perubahan itu,

maka pusat perhatian harus diarahkan kepada upaya memahai perwujudan

kedaulatan rakyat ke dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan utama, yaitu parlemen

(terdiri atas MPR, DPR, dan DPD) dan lembaga kepresidenan atau pemerintahan.

Aliran mandat kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat akan mengalir langsung dan

secara periodik kepada kedua cabang kekuasaan tersebut melalui proses pemilihan

umum yang diselenggarakan secara jujur dan berkeadilan. Sesudah Perubahan

UUD 1945 ada 2 (dua) pandangan mengenai kedudukan MPR. Pertama, MPR

sebagai lembaga permanen. Sifat permanen ini membawa MPR sebagai lembaga

yang akan memiliki perangkat penuh sebagai sebuah lingkungan jabatan, yaitu: (a)

kelengkapan administrasi dan organisasi anggota individu; (b) kesekretariatan

tersendiri dengan pengurusnya untuk menjalankan fungsi sebagai sebuah lembaga

49 Ibid., hlm. 137.

Page 41: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

40

yang mandiri; (c) kode etik dan badan kehormatan sendiri; dan (d) sistem

penggajian anggota (anggaran). Kedua, MPR sebagai sidang gabungan (joint-

session). Pengertian MPR sebagai sidang gabuangan adalah MPR tidak lagi

merupakan sebuah lembaga yang bersifat mandiri. Ia hanya merupakan forum

pertemuan antara 2 (dua) lembaga, yaitu DPD dan DPR. Ketika sidang

berlangsung, baik anggota DPD maupun anggota DPR, tetap sebagai anggota DPD

dan DPR. Mereka tidak bergabung menjadi satu dalam sebuah lembaga lain

(MPR).

Timbul pertanyaan, berdasarkan kedua pandangan di atas,

bagaimanakah kedudukan MPR yang paling sesuai? Pertama-tama harus dilihat

kembali dalam UUD 1945. Sesudah Perubahan UUD 1945, MPR bukan lagi

pemegang kedaulatan rakyat lagi karena menurut Pasal 1 Perubahan Ketiga UUD

1945, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar. Kemudian, Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan

bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Walaupun ketentuan ini

penting, tetapi hanya dilakukan secara temporal sehingga bukan tugas yang setiap

hari harus dilakukan karena mengubah konstitusi tidak sama denga mengubah

undang-undang. Fungsi ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Konstituante

pada masa Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950). Kewenangan MPR untuk

memilih Presiden dan Wakil Presiden hilang karena menurut Pasal 6 A dan Pasal

22 E Perubahan Ketiga UUD 1945 kewenangan itu sudah dikembalikan kepada

rakyat melalui pemilihan langsung. Selanjutnya, fungsi untuk melakukan

impeachment sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 A dan 7 B Perubahan Ketiga

UUD 1945 juga merupakan kejadian yang tidak selalu terjadi. Dalam sejarah

ketatanegaraandan politik di berbagai negara, tidak setiap tahun presiden

diberhentikan oleh parlemen. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang memeriksa

dan memutus dari gugatan yang diajukan oleh DPR. Jadi, untuk memberi

kepastian hukum dan kewibawaan dari kekuasaan kehakiman, MPR selayaknya

hanya mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Page 42: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

41

Dengan tertib berpikir demikian, maka pandangan yang menyebut MPR

sebagai lembaga permanen dipandang terlalu berlebihan karena fungsi di atas

merupakan fungsi yang tidak bersifat rutin. Seandainya dijadikan agenda rutin,

hanya dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat

(2) UUD 1945 yang menetapkan minimal MPR bersidang sedikitnya sekali dalam

5 (lima) tahun.

Namun demikian, jika melihat pengaturan UUD 1945 yang dijabarkan

lebih lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, dan DPRD, maka pemaknaan MPR sebagai lembaga yang permanen

tak terbantahkan. Tidak berlebihan jika kondisi normatif tersebut menghasilkan

komposisi parlemen trikameral.50 Hal ini terjadi oleh karena beberapa hal:

Pertama, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945

disebutkan bahwa MPR adalah gabungan dari anggota-anggota DPR dan anggota-

anggota DPD, bukan terdiri atas lembaga DPR dan DPD sebagaimana konsep

lembaga perwakilan bikameral sesungguhnya. Kedua, sesuai dengan Pasal 22C

ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, anggota DPD dari setiap propinsi

jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga

anggota DPR. Di sini nampak adanya ketimpangan keseimbangan jumlah

keanggotaan. Secara politis, pengaturan yang demikian bertujuan untuk

mempertahankan dominasi DPR dalam memutuskan hal-hal yang krusial di MPR

dan menciptakan dominasi DPR di tengah kegagapan kepentingan daerah dalam

mengartikulasikan aspirasi mereka.

Ketiga, kualitas kewenangan kedua lembaga itu tidak sama. Hal ini

antara lain nampak dalam hal (a) usulan pemberhentian Presiden dan Wakil

Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD hanya oleh DPR (Pasal 3 ayat (3)

jo Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945); (b) ketentuan larangan Presiden untuk

membekukan DPR, di mana hal itu tidak berlaku bagi DPD (Pasal 7C Perubahan

50 Ibid., hlm. 8-9.

Page 43: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

42

Ketiga UUD 1945); (c) Pernyataan perang, perdamaian, dan perjanjian

internasional hanya melibatkan DPR dan Presiden (Pasal 11 ayat (1), (2), dan (3)

Perubahan Ketiga UUD 1945); (d) Pemberian abolisi dan amnesti hanya

melibatkan DPR (Pasal 14 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945); (e)

rekomendasi pengisian jabatan BPK hanya melibatkan DPR (Pasal 23F Perubahan

Keempat UUD 1945); (f) DPD tidak mempunyai peran yang signifikan dalam

proses pembentukan perundang-undangan karena hanya dapat ikut membahas

suatu RUU (Pasal 22D Perubahan Ketiga UUD 1945); dan (g) Peran legislasi DPD

terbatas sebagai pengusul pembentukan undang-undang tertentu saja (Pasal 22D

Perubahan Ketiga UUD 1945). Sebenarnya rekonstruksi menuju parlemen

bikameral. Itu berusaha memperjelas letak sistem perwakilan di Indonesia dalam

tipologi unikameral dan bikameral. Tetapi, rekonstruksi itu mengandung masalah

sejak awal. MPR tidak mempersoalkan the socio-poilitical of representation.

Dalam proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945, ada sebuah

semangat yang luar biasa yang disampaikan oleh para Perancang Undang- Undang

Dasar 1945 khususnya amandemen. Pada waktu itu tuntutan untuk membongkar

otoritarian, sentralistik, dan oligarkis menuju kepada demokrasi yang

disentralistik. Dalam konstruksi yang demikian itulah, maka kemunculan DPD

sebagai lembaga negara merupakan bersama-sama dengan konsep desentralisasi,

otonomi luas, dimana daerah dalam Pasal 18 itu diberi kewenangan yang sangat

luas. Oleh sebab itulah, maka harus ada perekat di dalam konteks sistem

ketatanegaraan kita khususnya dalam kerangka pengambilan kebijakan politik di

tingkat nasional yang harus juga memperhitungkan mengambil referensi dari

daerah, kepentingan- kepentingan daerah. Dalam konstruksi yang demikian itulah,

maka Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) kemudian dilakukan “penafsiran” oleh para

pembentuk Undang-Undang, yang dalam hal ini jelas merupakan kewenangan dari

DPR dan Presiden.

Peran DPD dalam konteks otonomi daerah sebagai lembaga politik dan

lembaga tinggi negara, DPD berusaha memastikan secara politik bahwa apa yang

Page 44: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

43

dilakukan adalah penting di mata publik. Peran penting DPD-RI dalam konteks

otonomi daerah sangat jelas, yaitu merepresentasikan aspirasi daerah. Meskipun

belum maksimal, DPD relatif mampu membantu komunikasi antara pusat-daerah

berkenaan dengan masalah yang dihadapi daerah, baik melalui sinergi dan

partnership yang dilakukan dengan asosiasi-asosiasi pemerintah provinsi maupun

kabupaten/kota. Dengan keterbatasannya, sebagai lembaga legislatif, dimana DPD

tidak memiliki mekanisme yang memadai. Selama periode 2009 -2014, institusi ini

tetap berkinerja menyelesaikan tupoksinya (tugas, pokok, fungsinya). Hal ini bisa

dilihat dari kinerjanya dalam menghasilkan, merampungkan usulan RUU

sebanyak 15 buah pandangan yang berpandangan, dan pendapat 77 buah, juga

pertimbangan, pengawasan, pertimbangan terkait anggaran, dan juga usul

Prolegnas, serta rekomendasi DPD. Namun, tidak bisa ditutupi adanya masalah

kelembagaan yang akut dan tidak tuntas, khususnya tugas internal lembaga

legislatif.

Keberadaan DPD sebagai vertical balance mestinya difungsikan supaya

kewenangannya tidak bersifat konsultatif. Aspirasi dan kepentingan rakyat daerah

tidak boleh mandek dan harus diperjuangkan oleh DPD. Pertama, DPD sangat

mengharapkan dukungan publik dan kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam

mendorong penguatan lembaga DPD. DPD memerlukan payung hukum untuk

memperjelas jenis kelaminnya dan untuk melaksanakan fungsi dan perannya

secara maksimal. Apa artinya kata representasi kalau tidak bisa dikonkretkan, baik

secara institusi maupun individu, DPD akan menanggung beban politik yang luar

biasa bila terus-menerus tidak mampu membuktikan tupoksinya sebagai badan

legislatif yang berkewajiban mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah

dalam bentuk legislasi. Sebagai perwakilan wilayah atau penyambung lidah rakyat

daerah, DPD hadir untuk menjaga keragaman daerah agar karakteristik dan

kekhasan yang dimiliki masing-masing daerah tetap menjadi kekayaan bagi

Indonesia. Karena itu, DPD juga dimaksudkan untuk memperkuat

kedudukan pemerintahan daerah dan rakyat daerah dalam proses dan produk

Page 45: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

44

legislasi tingkat pusat. Menjaga keutuhan Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika

tidak semudah membalikkan tangan, perlu membangun saling rasa percaya, juga

membangun kelembagaan atau yang kita istilahkan dengan rasionalitas politik

untuk menghasilkan institusi politik yang berkualitas dan efektif. Karena itu

baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sama-sama mengemban dan

melaksanakan amanat, mewujudkan kepentingan nasional yaitu menyejahterakan

rakyat. Oleh karena itu, sudah saatnya kita menyudahi realitas kecelakaan

perundang-undangan yang ada saat ini dengan menfungsikan DPD sebagai

lembaga legislatif yang efektif yang menjalankan mekanisme checks and balances

antara DPD dan DPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Implikasi dari tidak diberikannya kewenangan legislasi pada DPD

adalah sebagai berikut: Pertama, DPD menjadi lembaga perwakilan dengan

"mandat elektoral" namun tanpa memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan

membahas kebijakan nasonal yang berkaitan dengan kepentingan daerah yang

diwakilinya. Itu artinya, UU MD3 telah menjadikan DPD sekedar lembaga

perwakilan "asesoris". Kedua, mengingkari harapan dan mandat yang telah

diberikan rakyat daerah ketika mereka memilih wakilnya di DPD dalam pemilihan

umum. Karena mereka berharap bisa mengartikulasi dan agregasi kepentingan

daerahnya dalam perumusan kebijakan nasional yang berkaitan dengan negara

dan daerah melalui wakilnya di DPD. Namun anggota DPD yang mewakilinya

tidak mempunyai kewenangan untuk mentransformasi aspirasi dan mandat tersebut

menjadi produk kebijakan nasional. Ketiga, pemangkasan kewenangan DPD akan

menyulitkan terbangunnya "check and balances" karena DPR tidak mempunyai

penyeimbang dalam menjalankan fungsinya. Akibatnya, produk kebijakan

nasional yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan politik menjadi kurang

berkualitas.

Melacak perdebatan yang terjadi dalam proses perubahan UUD 1945,

terutama terkait dengan kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD), secara

sederhana dapat dikatakan bahwa pengubah konstitusi secara nyata menhendaki

Page 46: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

45

adanya kamar kedua selain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penolakan bahwa

model yang dihasilkan dalam perubahan UUD 1945 bukan merupakan lembaga

legislatif bercorak bikameral lebih banyak hadir sebagai argumentasi yang muncul

paska perubahan. Bahkan, apabila dilacak secara cermat risalah perubahan UUD

1945 sejumlah kekuatan politik di MPR saat itu hadir dengan gagasan model

legislasi yang dipraktikkan di AS, menawarkan model bikameral dengan adanya

hak veto Presiden. Namun, apapun basis argumentasi perdebatan itu, menjadi tidak

terbantahkan bahwa lembaga legislatif yang dihasilkan selama perubahan UUD

1945 bukan lagi lembaga legislatif berkamar tunggal (unicameral).

Merujuk hasil perubahan, Pasal 22D UUD 1945 memberikan wewenang

yang jauh lebih terbatas kepada DPD apabila dibandingkan dengan

wewenang DPR. Karena desain itu, hubungan DPR dan DPD tidak mungkln

menciptakan pola relasi antarkamar yang dapat saling mengecek satu sama ainnya.

Apalagi Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa fungsi

legislasi hanya dimiliki DPR. Dengan tidak adanya pengaturan yang menyatakan

DPD memiliki fungsi legislasi, Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 memunculkan DPR

heavy atas DPD dalam pembentukan undang-undang. Karenanya, banyak pendapat

mengatakan kehadiran Pasal 20A ayat (1) 1945 memberi garis demarkasi yang

amat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang menjadi monopoli DPR.

Secara historis, Pasal 20A ayat (1) dan ketentuan lainnya yang terkait

dengan fungsi legislasi DPR hadir lebih dulu dibandingkan Pasal 22D UUD

1945. Artinya, Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 telah disepakati dan

disahkan lebih dulu sebelum pembahasan, persetujuan, dan pengesahan Pasal 22D.

Dengan rentang waktu itu, menjadi tidak mungkin lagi menambahkan rumusan

baru bahwa DPD juga memiliki fungsi-fungsi sebagaimana termaktub dalam Pasal

20A ayat (1) UUD 1945. Apalagi, selama pembahasan menjadi "kesepakatan"

bersama antara anggota MPR untuk tak lagi mengubah/merevisi substansi yang

dihasikan pada perubahan sebelumnya.

Page 47: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

46

Namun apabila dibaca dengan cermat, ketentuan Pasal 22D memberikan

fungsi yang sama juga kepada DPD. Paling tidak, fungsi tersebut dapat ditelusuri

dari frasa berikut: (i) "DPD dapat mengajukan rancangan undang- undang", (ii)

"DPD ikut membahas rancangan undang-undang", (iii) "DPD dapat melakukan

pengawasan", dan (iv) "DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR

atas RUU APBN". Artinya, sekiranya ada keinginan politik (political will)

memberikan peran untuk membangun checks and balances dengan DPR, Pasal

22D memberi ruang yang cukup kuat bagi DPD sehingga peran lembaga ini

benar-benar hadir sebagai representasi kepentingan daerah dalam proses

pengambilan keputusan di tingkat nasional.

Terkait kewenangan DPR, Pasal 20 ayat (1) menyebutkan memegang

“kekuasaan... ", yang berarti DPR berhak atau berwenang mengajukan Rancangan

Undang-Undang. Dengan demikian Pasal 20 ayat (1) menunjuk pada kekuasaan

DPR secara kelembagaan. Dalam arti, yang memiliki kekuasaan membentuk

undang-undang itu adalah DPR secara kelembagaan.

Di dalam kelembagaan DPR, secara personal setiap anggota DPR juga

diberi hak untuk mengajukan usul rancangan undang-undang. Usul dari anggota

DPR akan dibawa ke tingkat DPR. Apabila usul tersebut diterima, maka ia akan

menjadi rancangan Undang-Undang "milik" DPR secara kelembagaan. Jadi hak

anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang merupakan

bagian tidak terpisah dan hak DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang.

Berdasarkan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka Presiden dan

DPR secara kelembagaan sama-sama memiliki "hak" untuk mengajukan

Rancangan Undang-Undang.

Sementara itu, Pasal 22D ayat (1) menyebutkan "DPD dapat

mengajukan...", yang berarti DPD boleh mengajukan rancangan undang- undang.

Sebab, secara istilah, kata "dapat" sepadan dengan kata "mampu, sanggup, bisa,

boleh, mungkin". Dimana kata tersebut diartikan sebagai kesanggupan diri untuk

melakukan sesuatu. Dengan demikian, "dapat mengajukan" berarti boleh atau

Page 48: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

47

boleh mengajukan Rancangan Undang-Undang sesuai dengan kemampuan atau

kesanggupannya. Sepanjang DPD sanggup menggajukan Rancangan Undang-

Undang terkait kewenangannya, maka selama itu pula hak itu dilaksanakan DPD

secara kelembagaan. Dengan demikian, istilah "dapat" juga bermakna sebagai hak

untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang.

Dalam perumusan UUD 1945, sebelum diubah, basis politik itu

mencerminkan usaha memantulkan secara lurus kemajemukan masyarakat

Indonesia dan perkembangan perwakilan politik pada tahun 1945. Aspek ini tidak

dipersoalkan secara matang dan terbuka selama berlangsung amandemen

konstitusi. Dengan menggunakan teori Lijphart di atas, sistem parlemen Indonesia

digolongkan sebagai medium-strength bicameralism dengan bangunan asimetris

dan incongruent. Bangun asimetris dalam hal ini nampak bahwa DPD mempunyai

kekuasaan yang subordinat dari kamar pertama/majelis rendah. Sesuai Pasal 22D

ayat (1), bahwa DPD hanya mempuyai fungsi untuk mengajukan rancangan

undang-undang selama itu berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan pusat dan daerah.

Selain itu, dapat ikut membahas dan melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22D ayat (1)

ditambah dengan pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama, serta

menyampaikan hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan

untuk ditindaklanjuti (Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945). Dalam

kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945,

DPD tidak menggenggam hak veto dalam masalah legislasi, tetapi dia

masih mempunyai hak mengusulkan RUU. Sesungguhnya, para anggota DPD

memiliki legitimasi demokrasi yang kuat karena dipilih secara langsung melalui

pemilu setiap lima tahun (Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945). Dikatakan mempunyai

konstruksi incongruent karena kamar pertama beda dengan kamar kedua. Kamar

Page 49: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

48

pertama merupakan perwakilan politik sementara DPD merupakan perwakilan

teritorial. Kesetaraan kewenangan merupakan hal penting untuk memberikan

kesempatan yang sama kepada kedua kamar dalam memperjuangkan kepentingan

yang diwakili. Cukup sudah apa yang dijalani DPD sebagai lembaga legislatif

yang tidak memiliki satu kewenangan untuk ikut sampai tuntas mengantarkan

aspirasi daerah. Fungsi legislasi DPD perlu diperkuat dalam rangka sistem checks

and balances intraparlemen, dan untuk meningkatkan kualitas representasi DPD

sebagai wakil daerah di tingkat nasional di tengah kompleksitas permasalahan

yang dihadapi daerah. Kehadiran DPD untuk ikut mengurangi permasalahan dan

memberikan jalan keluar serta mendorong kemajuan daerah sungguh sangat

mendesak relevan dan signifikan dilakukan saat ini.

Sementara itu, jika menggunakan teori Andrew S. Ellis, bentuk kamar

kedua dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikategorikan sebagai bikameral lunak.

Dalam hal ini DPD hanya berhak mengajukan RUU tertentu saja, tetapi tak

mempunyai hak veto. Sementara pandangan beranggapan, watak lunak parlemen

Indonesia tersebut “terlalu lunak.” Di Prancis, sebagai negara kesatuan dengan

sistem bikameral lunak, kamar kedua dinamakan senat yang seluruhnya berjumlah

321 di mana sepertiga dipilih secara tidak langsung tiap 3 (tiga) tahun sekali.

Kekuasaan Senat secara umum subordinat terhadap Majelis Nasional (Kamar

Pertama), tetapi agak lebih besar dalam mempengaruhi organic law dan financial

bills. Senat boleh mengusulkan RUU, tetapi kata putus ada di Majelis Nasional.

Selain itu, senat dapat mengadakan penyelidikan atasadministrasi negara, tetapi

tidak dapat memecat pejabat negara. Di Inggris, negara kesatuan dengan watak

bikameral lunak, kamar kedua disebut House of Lords yang secara eksklusif

berhak mengajukan RUU Keuangan. Meskipun demikian para Lords tidak berhak

mengubah dan sekali aturan itu memperoleh persetujuan House of Commons

(DPR), maka House of Lords hanya boleh “melawan” dengan menunda

persetujuan maksimal 1 (satu) tahun.Masih dalam bangun negara kesatuan,

Konstitusi Jepang (1946) mengatur bahwa Diet (Parlemen) berwatak bikameral

Page 50: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

49

dengan susunan lembaga House of Representative atau Sanguin dan House of

Councillors atau Sangiin (Pasal 42). Kedua kamar dipilih langsung. Dalam proses

legislasi, House of Councillors berperan penting karena suatu undang-undang

harus memperoleh persetujuan kedua house. Selanjutnya, House of Councillors

dapat menunda APBN dalam 30 hari dan menunda RUU biasa selama 60 hari. Jika

hal ini terjadi, dibuat komisi gabungan atau mengabaikan keberatan House of

Councillors dengan syarat dukungan DPR duapertiga yang hadir .

Di Belanda kapasitas kedua kamar parlemen relatif sebanding. Parlemen

Belanda terdiri kamar pertama (Eerste Kamer) dan kamar kedua (Tweede Kamer).

Anggota kedua kamar dipilih dengan cara perwakilan proporsional terbatas untuk

4 (empat) tahun. Peran Eerste Kamer lebih banyak saat joint-session dan dalam

proses legislasi kamar ini yang akan memutuskan RUU yang dikirimkan oleh

Tweede Kamer. Di Thailand, negara dengan bangun kesatuan yang berbentuk

monarki, kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Majelis Nasional (Rathasapha)

yang merupakan parlemen bikameral dan terdiri atas DPR (Sapha Phuthaen

Rotsaden) dan Senat (Wuthisapha). Senat mempunyai 200 anggota yang dipilih

oleh rakyat untuk 6 (enam) tahun. Dalam proses legislasi, Senat tidak mempunyak

hak mengajukan RUU, karena hal ini monopoli DPR. Tetapi, Senat mempunyai

hak veto dalammempertimbangkan suatu bills, meskipun dapat ditolak dengan

dukungan suaraduapertiga anggota DPR.

Dari perbandingan sederhana itu, terlihat bahwa DPD sebagai kamar

kedua parlemen Indonesia dengan basis perwakilan teritorial hanya mempunyai

kekuasaan untuk mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah atau

kepentingan daerah saja. Hal ini berbeda dengan kondisi di Prancis, di mana watak

parlemen bikameral lunak tidak menghalangi kamar kedua untuk mengajukan

setiap RUU. Fungsi yang lain cukup “mengkhawatirkan”, misalnya ikut membahas

RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 D ayat (2) UUD 1945, di mana tak ada

jaminan konstitusional seberapa besar pengaruh DPD dalam proses tersebut.

Demikian juga dengan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang

Page 51: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

50

menurut Pasal 22 D ayat (3) UUD 1945, tak ada kepastian adanya tindaklanjut

DPR terhadap proses tersebut.

Dari perbandingan yang telah disebutkan di atas nampak sekali bahwa

DPD sebagai kamar kedua dalam sistem parlemen bikameral negara kesatuan

cenderung berkarakter konservatif, sangat lemah, dan sangat bergantung kepada

kepentingan politik DPR dan tentu juga kepada pihak eksekutif dalam proses

legislasi karena hanya kepada DPR Presideh berhak mengajukan RUU (Pasal 5

ayat (1) UUD 1945). Akibatnya, konflik kelembagaan yang terjadi selama ini tak

pernah menghasilkan konvensi ketatanegaraan yang melembaga, melainkan hanya

bersifat ad hoc semata.

Sesudah pemilu 2009, persoalan eksistensi DPD tidak terselesaikan.

Praktik fungsi legislasi yang berlangsung selama ini, menempatkan DPD benar-

benar menjadi sub-ordinat DPR. Misalnya, dengan mergemukakan satu contoh

saja, wewenang konstitusional DPD dalam "mengajukan rancangan undang-

undang" sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 kerap

diposisikan sejajar (bahkan boleh jadi lebih Iendah) dengan "usul rancangan

undang-undang yang disampaikan anggota DPR". Padahal, UUD 1945

memberikan konstruksi yang berbeda, bagi DPD Rancangan Undang-Undang,

sementara bags anggota DPD adalah usul Rancangan Undang-Undang. Lalu, alas

konstitusional apakah yang dipakai untuk mempersamakan (bahkan boleh jadi

lebih rendah) mempersamakan antara "Rancangan Undang-Undang" dari DPD

dengan "usul Rancangan Undang-Undang" dari anggota DPR?.

Sebetulnya, masih banyak contoh lain yang dapat dikemukakan kakan

betapa di tingkat pengaturan di bawah UUD 1945 terdapat pengebirian, secara

sitemstis terhadap fungsi legislasi DPD. Pengebirian tersebut terasa makin parah

apabila ditambah dengan praktik legislasi yang terjadi dalam hubungan antara

DPR dan DPD. Penyebab mendasar dan utama hal tesebut, tidak adanya

penafsiran yang objektif terhadap fungsi legislasi DPD. Kalaupun diturunkan ke

tingkat Undang-Undang, sejumlah Undang-Undang yang ada dan pernah ada (UU

Page 52: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

51

Nomor 22/2003 dan UU Nomor 27/2009 begitu juga dan UU Nomor 10/2004 dan

UU Nomor 12/2011) tidak memiliki keinginan untuk menjadikan DPD sebagai

lembaga legislatif, terutama memberikan fungsi legislasi sebagai salah satu kamar

di lembaga legislatif yang dihasilkan dari perubahan UUD 1945.Kekacauan

konstruksi konstitusional di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang populer dikenal sebagai UU

MD3 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan

Perundang-undangan. Kekacauan konstitusional terjadi dari tahap awal, yaitu

perencanaan sampai dengan tahap akhir, tahap akhirnya sampai di mana

tergantung perspektif yang digunakan, kalau menggunakan perspektif yang dewasa

ini mengemukan di Eropa misalnya, legis prudence bisa sampai dengan

pembatalan. Kalau menggunakan perspektif dari Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 20 ayat (5) sampai dengan pengundangan. Tetapi sejumlah sarjana

membatasi hanya sampai dengan persetujuan bersama atau pengambilan keputusan

oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan Undang-Undang tersebut.

Ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan job

description, kompetensi yang ditentukan secara konstitusional; menuntut kesiapan

dan kinerja DPD; serta menyangkut proses, tahapan dan manajemen legislasi

antara DPD dengan DPR dan Presiden. Proses pembentukan Undang-Undang ini

sejak tahap perencanaan hingga pengambilan keputusan dan pengundangan. DPD

melaksanakan fungsi legislasi bersama DPR dan Presiden. Hal ini karena "Setiap

RUU dibahas oleh DPR dan Presiden" (anak kalimat pertama pada Pasal 20 ayat

(2) UUD 1945), sedangkan DPD dapat mengajukan RUU bidang tertentu dan ikut

membahas RUU bidang tertentu. Namun keputusan untuk menghasilkan "UU

tertentu" (Pasal 22D) ditentukan oleh 3 (tiga) macam penafsiran konstitusi.

Dua tafsir pertama disandarkan kepada pemahaman bahwa UUD 945

pada dasarnya menganut pola parlementer dalam proses legislasi hingga

pengambilan keputusan akhir untuk itu. Proses legislasi menggunakan model

Page 53: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

52

parlementer karena legislasi merupakan "three-chamber" legislative process,

yaitu melibatkan "kamar" presiden-eksekutif dan dua kamar parlemen (DPR dan

DPD) untuk RUU tertentu (Pasal 22D UUD 1945).

Legislasi bermodel parlementer ini terdiri dari dua macam. Pertama,

tafsir tekstual dan executive heavy (atau bahkan otoritarian) yang menjadikan

keputusan untuk menghasilkan Undang-Undang hanya sebagai domain persetujuan

bersama Presiden dan DPR (anak kalimat kedua pada Pasal 20 ayat (2) UUD

1945). Akibatnya, bobot suara Presiden mengungguli bobot suara dua lembaga

perwakilan (DPR dan DPD). Kedua, tafsir parlementer. Karena Presiden adalah

eksekutif yang didukung koalisi di DPR maka keputusan menghasilkan legislasi

seharusnya jadi domain lembaga perwakilan (DPR-DPD) bersama presiden-

eksekutif dengan bobot suara sama di antara ketiga lembaga. Tafsir ketiga (ius

constituendum) adalah tafsir legislasi dalam presidensialisme di negara kesatuan.

Ciri pokok presidensialisme adalah keterpisahan eksekutif dari legislatif sehingga

bobot suara lembaga perwakilan pada model asymmetric bikameralisme, dengan

DPD sebagai pelembagaan keterwakilan daerah-daerah provinsi (Pasal 22C UUD

1945), seharusnya dimenangkan daripada bobot suara eksekutif; lebih-lebih

apabila legislasi itu mengenai kepentingan daerah-daerah (Pasal 22D ayat (1) dan

ayat (2) UUD 1945) yang merupakan faktor agregat pada negara kesatuan.

Pada tahap perencanaan, program legislasi nasional (Prolegnas) hanya

disusun oleh DPR dan Pemerintah. Penulis berpendapat bahwa perencanaan

legislasi, atau pembagian kerja antara DPR dan Pemerintah dalam Prolegnas

[sebagaimana diatur oleh Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan

ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU P3 2011] menjadi tidak

lengkap tanpa rencana legislasi dari DPD; namun hal ini tidak boleh menghalangi

kewenangan konstitusional DPD untuk mengajukan RUU tertentu [Pasal 22D

ayat (1) UUD 1945]. Untuk tahap penyusunan, RUU yang dimajukan oleh DPD

[Pasal 22D ayat (1) UUD 1945] tidak sama dengan "usul RUU" dari internal DPR

[Pasal 21 UUD 1945] yang masih membutuhkan pengharmonisasian, pembulatan,

Page 54: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

53

dan pemantapan konsepsi. Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 menentukan

bahwa frasa "RUU dari DPR diajukan oleh DPD" yang memerlukan

"pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi" oleh Baleg DPR.

Ahli berpendapat bahwa Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 2011 berarti

melangkahi Pasal 21 dan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.

Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU (Pasal 21). Pasal 102 ayat

(1) huruf d UU MD3 mengayur bahwa Badan Legislasi bertugas melakukan

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU yang diajukan

anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum RUU tersebut

disampaikan kepada pimpinan DPR. Penulis berpendapat bahwa RUU yang

dimajukan oleh DPD tidak boleh disejajarkan dengan "usul RUU" dari internal

DPR yang membutuhkan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi oleh Baleg DPR. Pasal 102 ayat (1) huruf e UU MD3 mengatur bahwa

Badan Legislasi bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang

diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas RUU

tahun berjalan atau di luar RUU yang terdaftar dalam prolegnas. Amat logis jika

ada pembagian kerja antara DPR dan Pemerintah dalam Prolegnas tidak

boleh menghalangi kewenangan konstitusional DPD untuk mengajukan RUU

berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.

Jika dicermati, dalam hal inisiasi RUU oleh DPR, maka hal ini tidak

disebut dalam UUD 1945. Pasal 46 ayat (1) UU P3 mengatur bahwa RUU dari

DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan

DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Menurut penulis, RUU

yang dimajukan oleh DPD tidak boleh disejajarkan dengan "usul RUU" dari

internal DPR yang masih membutuhkan pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi oleh Baleg DPR. Frasa "RUU dari DPR diajukan oleh

anggota DPR atau DPD" mencampurkan dua lembaga negara (DPR, DPD),

bahkan DPR mengkooptasi DPD, sehingga melangkahi Pasal 21, Pasal 22C, Pasal

22D ayat (1) UUD 1945. Menurut ketentua Pasal 143 ayat (5) UU MD3, RUU

Page 55: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

54

yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR

kepada Presiden. Kemudian Pasal 49 ayat (1) UU No. 12 Tahun2 011 mengatur

bahwa RUU dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

Menurut penulis, RUU dalam bidang yang dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD

1945 semestinya dikirim oleh DPR kepada Presiden dan DPD.

Materi yang diajukan Presiden adalah rancangan undang-undang.

Sedangkan materi yang dapat diajukan DPD juga rancangan undangundang.

Sementara materi yang diajukan anggota DPR adalah usul Rancangan Undang-

Undang. Rancangan Undang-Undang jelas berbeda dengan usul Rancangan

Undang-Undang. Sebab sebuah usulan RUU tidak dapat disebut sebagai

Rancangan Undang-Undang sebelum ia disetujui oleh lembaga yang akan

mengajukannya.

Berdasarkan tafsir terhadap rumusan Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal

22D ayat (I) di atas, jelas bahwa posisi DPD setara dengan Presiden dalam

pengajuan rancangan undang-undang. Sama-sama sebagai institusi yang berhak

mengajukan rancangan undang-undang, bukan usul rancangan undang-undang.

Disamping itu, posisi DPD tidak dapat disetarakan dengan posisi anggota DPR

yang hanya diberi hak untuk mengajukan usul rancangan undang-undang.

Berdasarkan tertib berpikir di atas, meletakkan posisi DPD dalam konteks

pengajuan Rancangan Undang-Undang setara dengan anggota DPR merupakan

tindakan inkonstitusional. Sehingga setiap norma undang-undang yang

memosisikan DPD seperti demikian, secara jelas dan tegas adalah bertentangan

dengan UUD 1945.

Persoalan lain menyangkut makna “persetujaun bersama.” Dalam hal

ini, RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama

[Pasal 20 ayat (2) UUD 1945]. Pada saat bersamaan, Pasal 22D ayat (2)

mengatur, "DPD ikut membahas rancangan undang-undang...''. Sekalipun dengan

menggunakan istilah "ikut membahas", DPD secara prinsip juga berhak untuk ikut

membahas Rancangan Undang-Undang. Secara istilah, kata "ikut" dipahami

Page 56: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

55

sebagai "menyertai" atau melakukan sesuatu sebagaimana dikerjakan orang lain..

Pada konteks ini, konsep “DPR memegang kekuasaan membentuk UU untuk

mendapat persetujuan bersama dengan Presiden” adalah kebalikan sebelum

Perubahan UUD 1945, yaitu Presiden memegang kekuasaan membentuk UU

(gesetzgebung) dengan persetujuan DPR [Pasal 5 (1) UUD 1945 sebelum

perubahan]. Dikatakn sebagai kebalikan, karena amandemen UUD 1945 memberi

kekuasaan kepada Presiden untuk memutuskan hasil legislasi berupa UU

sebagaimana praktik Orde Baru; padahal UUD 1945 sebelum perubahan

mendudukkan hanya DPR sebagai pemegang kekuasaan menyetujui UU.

Sesuai pengertian tersebut, kata "ikut" tidak dapat dimaknai sebagai

sesuatu yang bersifat boleh atau tidak, dimana keikutsertaanya tidak

mempengaruhi. Melainkan dimaknai sebagai "hak" DPD untuk ikut dalam

pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat

(2). Selain itu, kata "ikut" juga tidak dapat dijadikan alasan untuk mensubordinasi

DPD di bawah DPR dalam pembahasan Rancangan Undang- undang. Sebab,

rumusan Pasal 22D ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2) merupakan dua ketentuan yang

bersenyawa. Dalam arti, apabila sebuah Rancangan Undang-Undang terkait

dengan otonomi daerah, dan lain sebagainya, maka Pasal 20 ayat (2) tidak dapat

berdiri sendiri. Melainkan hares bersamaan dan dipersandingkan dengan Pasal 22D

ayat (2).

Seiring dengan itu, pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang

untuk menjadi undang-undang sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) juga

meliputi pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2). Artinya Rancangan Undang-

undang terkait daerah juga menjadi bagian dari Rancangan Undang-Undang yang

mesti dibahas dan disahkan melalui mekanisme yang diatur dalam Pasal 20 ayat

(2). Dengan demikian, Pasal 22D ayat (2) yang mengatur keikursertaan

DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tidak dapat dipisahkan dari

ketentuan Pasal 20 ayat (2). Dalam arti, keikutsertaan DPD dalam pembahasan

Page 57: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

56

RUU juga tunduk dan mengacu pada ketentuan Pasal 20 ayat (2). Oleh sebab itu,

hak DPD untuk membahas Rancangan Undang-Undang tidak dapat dibatasi hanya

untuk tahapan tertentu saja. Seperti hanya terlibat dalam pembahasan tingkat I

saja. Melain semua tahapan pembahasan sampai proses persetujuan (pengambilan

keputusan), DPD mesti terlibat. Sebab, persetujuan atas sebuah Rancangan

Undang-Undang merupakan bagian tidak terpisah dari tahap pembahasan.

Persetujuan merupakan akhir dari sebuah proses pembahasan.

Ketidakterpisahan antara pembahasan dan persetujuan tersebut dapat

dipahami secara tekstual dari ketentuan Pasal Pasal 20 ayat (2) menyatakan,

"...rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Rumusan tersebut

menunjukkan bahwa tujuan pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang

adalah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Selain itu, dirumuskannya

"pembahasan" dan "persetujuan bersama" dalam satu nafas Pasal 20 ayat (2)

membuktikan bahwa keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah.

Dalam konteks memosisikan DPD dalam pembentukan Undang-

Undang, materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tersebut persis sama dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

Dimana hak DPD sama dengan hak anggota DPR, komisi, gabungan komisi atau

alat kelengkapan DPR.

Interpretasi demikian jelas keliru dan tidak sesuai dengan maksud Pasal

22D ayat (1) UUD 1945. Seharusnya, hak DPD sebagaimana diatur dalam Pasal

22D ayat (1) diartikan sebagai hak yang sama dengan hak yang dimiliki Presiden

dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR sebagaimana diatur

dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Sebab, apabila maksud Pasal 22D ayat (1)

UUD 1945 adalah seperti yang saat ini diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009

dan UU Nomor 12 Tahun 2011, maka tentunya Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 juga

dapat dipahami demikian. Dimana apabila Presiden mengajukan Rancangan

Undang-Undang, maka rancangan undangundang tersebut diposisikan sama

Page 58: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

57

dengan Rancangan Undang-Undang yang diusulkan anggota DPR, komisi,

gabungan komisi, dan alat kelengkapan DPR. Namun dalam kenyataannya

tidaklah demikian. Oleh karena itu, cara membaca Pasal 22D ayat (1) UUD 1945

semestinya sama dengan cara membaca Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.

Selanjutnya terkait dengan pembatasan terhadap keikutsertaan DPD

dalam pembahasan Undang-Undang hanya pada pembicaraan tingkat I

sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 juga menimbulkan persoalan terkait konsistensinya dengan ketentuan

Pasal 22D ayat (2) dalam kaitannya dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Dalam

Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan,

keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang- Undang sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.

Sebagaimana telah diuraian sebelumnya, Pasal 22D ayat (2) terkait

keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang berkenaan

dengan daerah tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.

Sehingga pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan DPD dalam pembahasan

Rancangan Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga

harus sinkron dengan maksud ketentuan tersebut.

Dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, pembahasan dan proses

mendapatkan persetujuan bersama merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan.

Hal ini karena membahas sebuah Undang-Undang adalah untuk tujuan

mendapatkan persetujuan bersama antara lembaga-lembaga yang berwenang

membentuk Undang-Undang.

Dengan keterkaitan antara Pasal 22D ayat (2) dengan Pasal 20 ayat (2)

UUD 1945, maka pembatasan keterlibatan DPD hanya sebatas pada pembicaraan

tingkat I melalui UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak dapat dibenarkan. Setidaknya

dari sudut pandang tafsir sistematis terhadap UUD 1945 sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya. Ketentuan Undang-Undang ini jelas tidak sesuai dengan

maksud yang diinginkan Pasal 22D ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Agar

Page 59: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

58

norma UUD 1945 dapat dilaksanakan secara konsisten, maka keterlibatan DPD

dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tertentu tidak perlu dibatasi hanya

sampai pembahasan tingkat I saja. Melainkan DPD berhak untuk terlibat pada

semua tahap pembentukan Undang-Undang, termasuk tahap pengambilan

keputusan atau persetujuan bersama.

Dengan penjelasan di atas, membatasi keterlibatan DPD dalam

pembahasan Rancangan Undang-Undang hanya sebatas pada tahap I dan tidak

melibatkan DPD dalam proses pengambilan keputusan (persetujuan bersama)

adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 22D dan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.

Secara konstitusional, Ada 3 (tiga) masalah yaitu (i) "persetujuan

bersama" menurut Pasal 20 ayat (2) terhadap RUU tertentu [di ranah Pasal 22D

ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945] dari Presiden atau DPR; (ii) "persetujuan

bersama" menurut Pasal 20 ayat (2) terhadap RUU tertentu (Pasal 22D ayat (1) dan

ayat (2) UUD 1945) dari Presiden atau DPR; dan (iii) "persetujuan bersama"

terhadap RUU dari DPD di ranah Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Makna "persetujuan bersama" menurut Pasal 20 ayat (2) terhadap RUU pada

umumnya dari Presiden atau DPR; "persetujuan bersama" menurut Pasal 20 ayat

(2) terhadap RUU tertentu (di ranah Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945)

dari Presiden atau DPR; dan "persetujuan bersama" terhadap RUU dari DPD di

ranah Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 151 ayat

(3) UU MD3 diatur bahwa dalam hal RUU [dari DPD] tidak mendapat persetujuan

bersama antara DPR dan Presiden, RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam

persidangan DPR masa itu.

Pada tingkat undang-undang, pemaknaan "persetujuan bersama" sebatas

Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tanpa korelasi dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2)

apabila mengenai RUU tertentu. Pasal 151 ayat (3) UU MD3 dapat hanya

memenangkan Presiden kalau tidak "membayangkan" bahwa DPR-DPD dapat

bersetuju terhadap RUU ex-Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Apabila DPR-DPD

bersetuju terhadap RUU eks-Pasal 22D ayat (1) maka RUU dari DPD bukan hanya

Page 60: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

59

menjadi RUU dari DPR melainkan justru tidak boleh dikalahkan oleh penolakan

Presiden, dalam arti bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 tidak berlaku. Dalam hal

ini, berdasarkan prinsip presidensialisme, yaitu eksekutif terpisah dari legislatif,

dan prinsip bahwa keterwakilan daerah tidak ditundukkan kepada presiden-

eksekutif yang seolah-olah jadi pemilik negara kesatuan maka kemungkinan (i)

yaitu DPD+DPR versus Presiden harus dimenangkan DPD+DPR; sedangkan

berdasarkan prinsip desentralisasi (atau menolak sentralisasi) maka kemungkinan

(ii) yaitu DPD+Presiden versus DPR harus dimenangkan DPD+Presiden.

Memberikan pemaknaan baru yang lebih progresif terhadap DPD dalam

proses legislasi sangat berpotensi menjawab keprihatinan kita terhadap produk

legislasi yang kian hari kian menurun kualitasnya. Tidak hanya kualitas,

secara kuantitas, jumlah Undang-Undang yang dihasilkan DPR (dan pemerintah)

juga kian menurun. Misainya, selama tahun 2010 hanya mampu menghasilkan 13

UU dan 2011 sebanyak 24 UU. Secara kuantitas, jumlah itu jauh lebih sedikit

apabila dibandingkan dengan tahun 2008 yang menghasilkan 56 UU dan tahun

2009 yang menghasilkan 52 UU. Dengan fakta itu, memberikan kewenangan

legislasi lebih dari apa yang dilakukan saat ini sangat berpotensi menghasilkan

jumlah Undang-Undang yang lebih banyak. Apalagi, fakta lain yang terbentang di

depan kita semua, anggota DPR lebih banyak menghabiskan waktu me reka pada

fungsi di luar fungsi legislasi.

Page 61: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

60

BAB III

SISTEM HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Sistem Hukum

Sebagaimana diketahui bahwa hukum pada umumnya dimaksudkan

sebagai keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam

kehidupan bersama. Sebagai suatu sistem, hukum merupakan tatanan, merupakan

suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang

saling berkaitan satu sama lain. Menurut Sudikno Mertokusumo, sistem terdapat

dalam berbagai tingkat. Dengan demikian terdapat sistem. Keseluruhan tatanan

hukum nasional dapat disebut sistem hukum nasional. Kemudian masih dikenal

sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum administrasi, dan

sebagainya.51 Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem hukum itu berkembang sesuai

perkembangan hukum. Pandangan tentang arti atau nilai bagian-bagian seperti

peraturan, pengertian, dan asas-asas hukum akan mempenagruhi perkembangan

sistem. Meskipun demikian karena struktur memberi ciri khas sistem, maka

sistem dapat bertahan sebagai satu kesatuan.52 Sudikno Mertokusumo juga

menegaskan bahwa sistem hukum berisi konsep-konsep fundamental, suatu

konsep dasar yang digunakan sebagai dasar konsep-konsep selanjutnya, seperti

hak, kewajiban, orang, sanksi, dan sebagainya.53

Apakah yang dimaksud dengan hukum nasional? Menurut Moh. Mahfud

M.D., hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang

yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, daar, dan cita hukum

suatu negara.54 Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan

51 Sudikno Mertokusumo, 2004, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Jogjakarta, PenerbitLiberty, hlm. 123.

52 Ibid., hlm. 125.53 Ibid., hlm. 126.54 Moh. Mahfud M.D., 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta,

Penerbit LP3ES, hlm. 21.

Page 62: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

61

hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan

negara yang bersumber pada Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar

1945.55 Lebih lanjut Moh. Mahfud M.D., mempertegas bahwa sistem hukum

nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang

meliputi semua unsur hukum yang antara yang satu dengan yang lain saling

bergantung dan bersumber pada Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang

Dasar 1945.56

Secara keilmuan lazim diterima adanya identifikasi ke dalam pembagian

keberlakuan hukum, yaitu hukum yang dicita-citakan atau yang diinginkan, atau

hukum yang telah didapati dalam rumusan-rumusan hukum tetapi belum berlaku.

Ini yang dikenal sebagai ius constituendum. Di samping itu juga dikenal adanya

ius constitutum, yaitu hukum yang berlaku atau hukum positif. Menurut Bagir

Manan, hukum positif maksudnya adalah hukum yang sedang berlaku atau

sedang berjalan, tidak termasuk aturan di masa lalu.57 Diuraikan lebih lanjut,

bahwa ditinjau dari lingkungan teritorial sebagai tempat berlaku, di Indonesia ada

2 (dua) macam hukum positif yaitu hukum positif yang berlaku di sleuruh

wilayah Negara Indonesia (nasional), dan ada yang berlaku untuk daerah atau

lingkungan masyarakat hukum tertentu atau hukum positif lokal.58 Selanjutnya,

hukum positif lokal dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: (i) hukum positif yang lahir

atau dibuat dan berlaku dalam lingkungan pemerintahan otonomi berupa

Peraturan Daerah, atau keputusan-keputusan lainnya, termasuk juga peraturan

hukum yang dibuat pada tingkat nasional tetapi hanya berlaku untuk daerah atau

wilayah tertentu. Contoh untuk yang terakhir ini misalnya undang-undang tentang

55 Bandingkan: Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem HukumNasional, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 64.

56 Op.cit., hlm. 21.57 Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia Suatu Kajian Teoritis, Jogjakarta, Penerbit

UII Press.58 Ibid., hlm. 11.

Page 63: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

62

pembentukan daerah otonom, undang-undang otonomi khusus, dan sebagainya;

dan (ii) hukum adat yang berlaku lingkungan masyarakat hukum teritorial atau

genalogis tertentu.59 Perlu dicatat bahwa meskipun hukum positif nasional dan

apda dasarnya hanya berlaku dalam wilayah negara Indonesia, akan tetapi dalam

keadaan tertentu dapat berlaku di luar wilayah Indonesia. Misalnya aturan-aturan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seperti: (i) ketentuan hukum pidana

Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana di atas kapal Indonesia yang sedang

berada di luar wilayah Indonesia (Pasal 3); dan (ii) Prinsip nasionalitas, yaitu

ketentuan-ketentuan pidana Indonesia (Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 249),

berlaku terhadap warganegara Indonesia yang melakukan perbuatan pidana di luar

negeri (Pasal 5). Dalam pandangan Bagir Manan, hukum positif Indonesia juga

berlaku di mana Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat (sovereignrights) atas

wilayah yang tidak lagi masuk wilayah teritorial negara Indoensia seperti Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE).60

Pembicaraan selanjutnya hanya menyangkut hukum positif saja. Sebagai

catatan awal perlu disampaikan bahwa hukum positif ditinjau dari bentuknya

meliputi hukum positif tertulis dan hukum positif tidak tertulis. Hukum positif

tertulis dapat dipilah kembali menjadi hukum positif umum dan hukum positif

khusus.

Hukum positif yang tertulis dan berlaku umum meliputi peraturan

perundang-undangan, dan peraturan kebijakan (beleidsregel, pseudowetgeving,

policy rules). Sementara itu hukum tertulis yang berlaku khusus adalah ketetapan

atau keputusan administrasi negara yang bersifat konkrit, seperti keputusan tata

usaha negara (beschikking, decree), ketetapan atau keputusan konkrit badan

kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama negara bukan atas nama

pemerintah (Keputusan Kepala Negara), dan ketetapan atau keputusan suatu

59 Ibid., hlm. 12.60 Ibid., hlm. 13.

Page 64: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

63

lembaga negara yang berwenang megangkat atau memberhentikan pejabat

lembaga negara lainnya (misalnya Ketetapan MPR mengenai Pengangkatan

Presiden dan Wakil Presiden).

Sementara itu, hukum positif tidak tertulis meliputi hukum adat, hukum

keagamaan, hukum yurisprudensi, dan hukum positif tidak tertulis lainnya. Dua

bentuk hukum tidak tertulis yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah hukum

adat dan hukum keagamaan, dalam hal ini adalah hukum Islam (lebih khusus lagi

yang menyangkut hukum kekeluargaan dan kekerabatan, termasuk waris).

B. Hukum Adat

Terlebih dahulu akan dikemukakan pengerti adat. Ratno Lukito menulis

bahwa dalam ucapan sehari-hari adat sering diterjemahkan sebagai suatu

kebiasaan (custom) atau hukum kebiasaan, utamanya dalam referensinya sebagai

suatu tradisi hukum.61 Namun M.B. Hooker menyatakan bahwa sesungguhnya

kata adat dapat diberikan pengertian ke dalam 3 (tiga) kerangka pemahaman

sebagai berikut.62

Pertama, adat berarti hukum, aturan, ajaran, moralitas, kebiasaan,

kesepakatan, tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat, dan sebagainya.

Namun secara umum, adat artinya tingkah laku yang dipandang benar dalam

kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan orang lain maupun dengan

alam sekitarnya.

Kedua, adat diartikan sebagai terma spesifik yang digunakan sehubungan

dengan praktik kebiasaan yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu, yang ini

mencakup area yang cukup luas mulai dari Thailand Selatan hingga Filipina

Selatan, melalui gugusan pulau Malaysia dan Indoensia, di mana masing-masing

tempat adatnya sendiri tergantung dari identitas kultur dan bahasanya.

61 Ratno Lukito, 2008, Tradisi Hukum Indonesia, Jogjakarta, Penerbit Teras, hlm. 5.62 M.B. Hooeber, 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Kuala Lumpur, Penerbit Oxford

University Press, hlm. 50-51.

Page 65: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

64

Ketiga, adat berarti kumpulan besar literatur dari dan tentang adat yang

diproduksi oleh para ahli, administratur, maupun ahli hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum adat merupakan salah satu jenis

hukum kebiasaan.63 Hukum adat adalah terjemahan dari adatrecht yang untuk

pertama kalinya diperkenalkan oleh Snouck Hurgonje dalam buku de Atjhers

(1893) dan kemudian digunakan oleh van Vallenhoven yang dikenal sebagai

penemu hukum adat dan penulis buku “Het Adtrecht van Nederlands Indie.”

Sudikno Mertokusumo merumuskan pengertian hukum adat sebagai keseluruhan

aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain

dalam keadaan tidak dikodifikasikan, singkatnya hukum adat adalah adat

kebiasaan yang mempunyai akibat hukum.64

Pendapat Sudikno Mertokusumo itu serupa dengan pendapat Kusumadi

Pudjosewojo, yang mencoba memahami istilah hukum adat dari perspetif perannya

yang lebih aktual dalam proses kreasi hukum yang berlangsung dalam masyarakat.

Berikut ini dikutipkan pendapat Kusumadi Pudjosewojo secara lengkap sebagai

berikut:

Sangat dimungkinkan bahwa pada mulanya suatu tindakan diikutioleh suatu kebiasaan yang kemudian berangsur-angsur tertanamdalam masyarakat, yang karenanya memberikan perasaan kepatutan,dan yang pada akhirnya tindakan tersebut menjadi adat.[Jadi] adatpada dasarnya diturunkan dari rasa kepatutan, yang karenanyamasyarakat merasa wajib untuk menaatinya.65

Berbeda dengan Pudjosewojo, Hazairin lebih mengkaji adat dari dimensi

etika. Menurut Hazairin, adat tidak lain adalah sedimen etika dalam suatu

masyarakat, sehingga adat mencakup juga berbagai nilai etika yang ada di dalam

masyarakat, meskipun tidak begitu jelas apakah nilai-nilai etika itu berbeda dari

63 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, hlm. 108.64 Ibid.65 Kusumadi Pudjosewojo, 1993, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta:

Penerbit Sinar Grafika, hlm. 42.

Page 66: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

65

kandungan normatif adat sebagaimana yang diungkapkan oleh Kusumadi

Pudjosewojo.66

Sementara itu, Ter Haar menerima adat sebagaimana yang diputuskan oleh

pemuka adat sebagai suatu institusi hukum. Jadi, adat merupakan hukum jika

sepanjang ia diekspresikan oleh fungsionaris dalam masyarakat yang memiliki

otoritas sehingga ia mendapatkan pengakuan yang formal.67 Menurut Soepomo,

adat adalah hukum yang merefleksikan rasa keadilan masyarakat dalam keseharian

mereka.68

Dari berbagai definisi oleh sementara sarjana di atas mengesankan tidak

ada definisi yang tunggal mengenai apa yang dimaksudkan dengan adat tersebut.

Selanjutnya, ada penggalan-penggalan pemahaman itu yang menunjukkan bahwad

diperlukan suatu ukuran, kapankan adat itu merupakan hukum atau tidak

merupakan hukum, dengan lain kata, ada adat yang merupakan hukum dan ada

juga adat yang merupakan kebiasaan belaka.

Djojodigoeno tidak mau terlibat dalam polemik semacam itu, tetapi hanya

menegaskan bahwa percakapan mengenai hukum adat harus dilandasi oleh

dimensi formal dan aspek material. Dalam dimensi formal, hukum adat adalah

hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang tidak diderivikasikan dari hukum tertulis.

Sedangkan dimensi materialnya, hukum adat adalah sistem norma yang

mengekspresikan keadilan dalam hubungan sosial masyarakat. Formalisasi hukum

adat juga menyangkut keputusan-keputusan dari para fungsionaris adat dalam

masyarakat, sementara sisi material hukum adat adalah apa yang secara dominan

ditemui dalam kebiasaan masyarakat itu sendiri.69

66 Hazairin, dalam Ratno Lukito, op.cit., hlm. 7.67 Ter Haar, dalam Ibid., hlm. 15.68 Soepomo, 2000, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, hlm.

3.69 Djojodigoeno, 1958, Asas-Asas Hukum Adat (Catatan Kuliah), hlm. 7-8.

Page 67: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

66

Selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimanakah keterkaitan hukum adat

dengan hukum positif? Pengalaman penjajahan Belanda dengan antara lain

mewariskan tradisi hukum Barat, telah berhasil menanamkan model hukum dan

institusi hukum Eropa di tanah air. Pelestarian tradisi ini adalah akibat

kekhawatiran elit politik akan terjadinya kekosongan hukum jika hukum yang

berasal dari tradisi kolonial terlalu cepat dihapuskan. Karena itu tidaklah

mengherankanjik abanyak hukum Belanda masih tersisa dan mempunyai kekuatan

dalam alam Indonesia merdeka, meskipun semangat menasionalisasi institusi

hukum cukup mengemuka.

Kenyataan tersebut boleh jadi merupakan keputusan yang disengaja oleh

sebagian elit politik yang menganggap kekosongan di masa-masa awal

kemerdekaan akan mengundang kekacuan. Inilah sebabnya semenjak awal

konstitusi dirancang untuk memperkenankan “hukum status quo” selama masih

sesuai dengan hukum baru. Pola ini terus berlanjut, terlepas dari perubahan

konstitusi yang diharuskan karena perubahan sistem politik.

Berbagai konstitusi yang berlaku dan pernah berlaku, seperti Undang-

Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang-Undang

Dasar Sementara, memiliki rumusan yang sama terkait dengan perlunya mengacu

pada peraturan dan lembaga-lembaga sebelumnya selama undang-undang atau

regulasi baru belum ditetapkan.70 Ketika pada pertengahan abad 19 sampaipun

awal abad 20 ini pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memberlakukan

hukum perdata Belanda (yang telah dikodifikasikan menurut model hukum

kodifikasi Napoleon itu), reaksi-reaksi timbul dengan kerasnya dari beberapa

kalangan sarjana Belanda yang berwawasan sosiologik dan penganut madhab

historik. Van Vollenhoven mencanangkan pendiriannya yang berbunyi "geen

juristenrecht voor de Inlanders" (tidak akan ada hukum yang cuma bisa dimengerti

70 Lihatlah substansi ketentuan peralihan sebagaimana Pasal II Aturan Peralihan UUD1945, Pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, dan Pasal 142 Undang-Undang DasarSementara 1950.

Page 68: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

67

pakar-pakar hukum bisa diterapkan untuk rakyat pribumi yang dalam

kehidupannya sehari-hari telah memiliki tatacara hukumnya sendiri). Lebih

pantaslah kiranya apabila hukum rakyat (yang oleh Snouck-Hurgronje dan

diteruskan oleh van Vollenhoven disebut 'hukum adat') direkam dan dipelajari

terlebih dahulu sebelum dibentuk ke dalam hukum undang-undang dan kemudian

dikodifikasikan, guna memedomani tindakan-tindakan hukum rakyat itu sendiri.

Penerus Van Vollenhoven, ialah ter Haar dan para muridnya yang belajar

di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama

Rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-

kaidah sosial (adat) komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi. Hasil-hasil kerja

di lapangan itu dicatat dan diterbitkan dalam buku-buku dan majalah-majalah

hukum, dan acapkali (walaupun tidak diresmikan sebagai kodifikasi) dipakai

sebagai rujukan oleh hakim-hakim pengadilan negeri yang harus mengadili

perkara-perkara antara orang-orang pribumi. Berkat perjoangan Van Vollenhoven

dan ter Haar serta para penerusnya itu, pada jaman Hindia Belanda itu hukum

negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial pemerintah kolonial) menjadi

tidak -- atau tidak banyak -- menyimpang dari hukum yang hidup di tengah-tengah

masyarakat.

Dari uraian-uraian yang dipaparkan di muka itu terkesanlah bahwa hukum

negara yang tertulis di kitab-kitab dan dokumen-dokumen -- yang dulu disebut

hukum kolonial dan yang kini disebut hukum nasional -- itu tidak selamanya

mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut rakyat setempat di dalam

kehidupan sehari-harinya. Tidak dipahami hukum negara oleh rakyat yang

berbagai-bagai itu terkadang bukan pula disebabkan oleh ketidaksadarannya

melainkan juga sering karena ketidaksediaannya. Kenyataan seperti itu

sesungguhnya mencerminkan pula telah terjadinya apa yang disebut cultural

gaps (bahkan mungkin juga cultural conflict). Isi kaidah yang terkandung dalam

hukum negara dan yang terkandung dalam hukum yang dianut rakyat tak hanya

tak bersesuaian satu sama lain melainkan juga acap bertentangan.

Page 69: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

68

Pengalaman "mendamaikan" isi kandungan hukum antara hukum yang

diberi sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah sosial

yang tersosialisasi dan diyakini oleh warga masyarakat-masyarakat lokal)

sebagaimana diperoleh pada jaman kolonial -- dan sedikit banyak boleh dibilang

sukses -- itu ternyata justru sulit dilaksanakan pada zaman kemerdekaan.

Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan

paham partikularisme pada zaman kolonial terkesan tidak hendak diteruskan pada

zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk "menyatukan" Indonesia sebagai

satu kesatuan politik dan pemerintahan telah berkecenderungan untuk

mengabaikan fakta kemajemukan hukum rakyat yang berformat lokal. Alih-alih,

yang menguat adalah justru kebijakan unifikasi dan kodifikasi, dengan efek akan

digantikannya hukum rakyat yang beragam itu dengan hukum nasional yang satu,

yang berlaku dari Sabang sampai ke Merauke, dari Pulau Miangas sampai ke

Pulau Rote.

Di sini kebijakan hukum nasional ditantang untuk bisa merealisasi dengan

segera cita-cita untuk memfungsikan hukum nasional yang berformat sebagai

hukum undang-undang itu sebagai kekuatan pembaharu, yang secara efektif dapat

mendorong terjadinya perubahan kehidupan, dari wujud masyarakat-masyarakat

lokal yang berciri agraris dan berskala-skala lokal ke kehidupan-kehidupan baru

yang lebih berciri urban dan industrial, dalam format dan skalanya yang nasional

(dan bahkan kini juga global). Dari sini pulalah dianutnya doktrin baru untuk

memfungsikan hukum undang-undang sebagai sarana pembaharuan dalam rangka

pembangunan nasional, yang dipopulerkan Prof. Mochtar Kusumaatmadja sebagai

asas pragmatik kegunaan law as a tool of social engineering.

Karena perubahan cita-cita itu acapkali bermula dari cita-cita para

pemegang kendali kebijakan pemerintahan, sedangkan kesetiaan warga

masyarakat pada umumnya (khususnya dari lapisan bawah yang kurang terdidik

secara formal) lebih terlanjut ke nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang

dikukuhi secara konservatif di dalam komunitasnya, maka terjadilah di sini

Page 70: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

69

tegangan -- yang terasa saling memaksa atau menekan -- antara pemerintah beserta

para elit pendukungnya dengan lapis-lapis masyarakat awam.

Pengendali kebijakan negara mencita-citakan perubahan ke arah pola

kehidupan yang baru, modern, industrial dan berkesetiaan nasional. Sementara itu

sedangkan masyarakat awam, lebih-lebih pada tahap-tahap awalnya, pada

dasarnya dan pada umumnya cenderung bersikap konservatif, untuk lebih suka dan

lebih banyak menyuarakan suara ragu akan manfaat dan kebajikan perubahan itu.

Soepomo, seorang doktor hukum lulusan Leiden dan tokoh yang

pemikirannya begitu mengemuka dalam kerangka penyusunan undang-undang

dasar pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia atau

BPUPKI, pernah mencoba mengusulkan cita bernegara yang berlandaskan adat

sebagai sumber untuk menyelaraskan sistem hukum dan karakter bangsa. Dia

menganjurkan genealogi hukum asli Indonesia untuk organisasi negara dan

struktur sosialnya. Baginya, prinsip adat yang komunal merupakan sesuatu yang

essensial, karena filosofi liberalisme dan komunisme Barat adalah hal yang asing

bagi struktur sosial komunitas adat pribumi. Oleh karena itu, cita bernegara,

falsafah bangsa, harus bercorak integralistik, yang mencakup segala hal, di mana

Indonesia digambarkan sebagai keluarga besar dengan segala unitnya (yaitu

keluarga-keluarga individual) yang bekerja untuk membentuk sebuah negara.71

Tetapi Soepomo menolak porsi perimbangan yang lebih besar antara

pemerintah dengan masyarakat. Meskipun corak integralistik dalam pemikiran

yang ditawarkan sebagai dasar negara itu berlandaskan hukum adat, tetapi dengan

penolakan itu, Soepomo masih terpengaruh positivisme Barat, yang menempatkan

negara sebagai aktor tunggal pembentukan hukum. Hal ini dibuktikan dengan

kenyataan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) menempatkan

Presiden sebagai pemegang kekuasaan yang lebih besar dibandingkan badan-

71 Lihat Moh. Mahfud M.D., 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jogjakarta,Penerbit Liberty, hlm. 38-40.

Page 71: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

70

badan negara lainnya.72 Bahkan Hamid S. Attamimi menyebutkan Presiden

merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sehari-hari.73

Dengan adanya manajemen masa transisi melalui ketentuan peralihan

konstitusional sebagaimana dikemukakan di atas, maka pola pembentukan hukum

nasional pun berpijak kepada tradisi hukum negara. Ketika hukum negara menjadi

pedoman pembentukan hukum, semua tradisi yang ada dalam masyarakat harus

dipahami menurut kriteria negara. Dalam konteks demikian hukum adat dipaksa

tunduk kepada satu nilai yaitu hukum negara. Dengan kata lain, sekalipun hukum

adat menjadi salah satu sumber pembentukan hukum, tetapi hukum adat tidak bisa

terlibat dalam prinsip dan tujuan negara modern. Pada posisi semacam ini sifat

kemajemukan hukum adat yang terbuka terhadap berbagai intepretasi telah

tersingkirkan demi mendorong agar hukum adat bisa menyesuaikan diri dengan

ideologi keseragaman (unifikasi) hukum negara.

C. Hukum Keagamaan

Mempelajari hukum keagamaan sebagai hukum positif tidak tertulis di

Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hukum adat. Banyak pandangan yang menilai

bahwa salah satu ciri hukum adat adalah kemampuannya untuk terbuka bagi

perubahan. Ciri tersebut menyebabkan hukum adat menerima dengan positif

tradisi hukum lain yang juga berpengaruh dalam masyarakat.

Hal ini terbukti terutama dalam kasus pertemuan hukum adat dengan

hukum keagamaan, khususnya Islam. Ratno Lukito melukiskan pertemuan itu ke

dalam paparan sebagai berikut74:

Semenjak datangnya hukum Islam ke Nusantara, hubungan antarahukum adat dan hukum Islam bahkan dianggap sebagai sarana untuk

72 Bandingkan dengan Muhammad Ridwan Indra, 1998, Kedudukan Presiden MenurutUndang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Penerbit C.V. Trisula.

73 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam PenyelenggaraanNegara, disertasi doktor ilmu hukum, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 57-64.

74 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler..., op.cit., hlm. 69.

Page 72: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

71

menyempurnakan adat itu sendiri. Bahkan ketika usaha Islam untukmenarik pengiktu baru berada pada titik puncaknya, tidak adaperlawanan institusional yang dilakukan pemangku adat ataukomunitas adat secara keseluruhan, sehingga hukum Islam malahkemudian dianggap sebagai bagian dari hukum adat itu sendiri.

Pembicaraan hukum keagamaan dalam konteks hukum positif Indonesia

dikaitkan dengan tradisi hukum Islam. Bukankah di Indonesia juga diakui agama

lain selain Islam? Menurut Moh. Mahfud M.D., agama selain Islam memang telah

memiliki filsafat atau asas-asas hukum yang baik, tetapi belum pada tataran

norma sehingga tidak dapat dioperasionalisasikan di pengadilan.75 Walaupun

aspek hukum Islam sangat luas ditinjau dari segi substansinya, akan tetapi pada

umumnya dalam lapangan hukum kekeluargaan merupakan substansi yang

dianggap paling sakral.

Tetapi karena pijakan utama pembentukan hukum nasional adalah hukum

negara, melalui mekanisme peraturan perundang-undangan, maka hukum Islam

pun mengalami nasib yang mirip dengan hukum adat. Positivisasinya amat

tergantung kepada pemerintah. Seperti pendapat Bagir Manan, hukum keagamaan

menjadi hukum positif, jika diakui menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku atau berdasarkan kebijakan pemerintah.76

Meskipun demikian, dewasa ini telah lahir produk-produk hokum

nasional yang bernuansa Islami, seperti halnya:

a. Lahirnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun

1992 tentang Perbankan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada pasal 1 ayat (12),

Pasal 6 huruf (u), pasal 7 huruf c, pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), pasal 11 ayat

(1) dan ayat (4a), dan pasal 13 ayat (1) huruf c.

b. Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang semakin

memperkuat kedudukan kegiatan ekonomi syari’ah di Indonesia.

75 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, hlm. 365.76 Bagir Manan, op.cit., hlm. 31.

Page 73: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

72

c. Lahirnya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji;

d. Lahirnya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;

e. Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam

yang memberi otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh untuk

menerapkan syari’at Islam, hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam

telah terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam.

f. Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai hasil amandemen terhadap UU

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memberikan

kewenangan baru berupa penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Dalam

perjalanannya amandemen undang-undang ini tidak menemui hambatan

yang berarti dibandingkan dengan lahirnya undang-undang sebelumnya.

Pada mulanya, politik kolonial Belanda sebenarnya cukup

menguntungkan posisi hukum Islam, setidaknya sampai akhir abad ke 19 M

dikeluarkannya Staatsblad No. 152 Tahun 1882 yang mengatur sekaligus

mengakui adanya lembaga Peradilan Agama di Jawa dan Madura,

merupakan indikasi kuat diterimanya hukum Islam oleh pemerintah kolonial

Belanda. Dari sinilah muncul teori Receptio in Complexu yang dikembangkan

oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845 – 1927).

Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang

dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, maka hukum Islam-

lah yang berlaku baginya. Dengan adanya teori receptio in Complexu maka

hukum Islam sejajar dengan dengan sistem hukum lainnya.

Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan

orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang

gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah

mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven

(1874-1933) dan C.S. Hurgronje (1857-1936) yang dikemas dalam konsep

Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie, menurut teori ini

hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi

Page 74: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

73

hukum adat yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim provokatif

dan distorsif ini sangat berpengaruh terhadap eksistensi hukum Islam ketika

itu, oleh karenanya Hazairin menyebutnya sebagai teori “Iblis”.77

Dengan adanya teori Receptie ini, Belanda cukup punya alasan

untuk membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang

Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi

(usulan) dari komisi ini, lahirlah Staatsblad No. 116 Tahun 1937 yang berisi

pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris dan

lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kewenangannya kepada

Landraad (Pengadilan Negeri).78

Dalam hal ini sangat menarik untuk menyimak apa yang

dikemukakan oleh Bustanul Arifin bahwa prospek hukum Islam dalam

pembangunan hukum nasional sangat positif karena secara kultural, yuridis dan

sosiologis memiliki akar kuat. Menurutnya, Hukum Islam memiliki serta

menawarkan konsep hukum yang lebih universal dan mendasarkan pada

nilai-nilai esensial manusia sebagai khalifatullah, bukan sebagai homo

economicus.79

Demikianlah sekelumit pembahasan mengenai hukum adat dan hukum

keagamaan, terutama hukum perdata Islam, yang secara praksis memberikan

pengaruh terhadap sistem hukum nasional. Menurut Sudikno Mertokusumo,

sistem hukum merupakan sistem yang terbuka, dalam arti dipengaruhi dan

mempengaruhi sistem-sistem lain di luar hukum.80 Tidak mengherankan apabila

77 Suhartono, “Aktualisasi Hukum Islam dalam Masalah Perkawinan dan Kewarisandi Indonesia (Suatu Perspektif Sosio Kultural Historis)”, Jurnal Mimbar Hukum No. 54 Thn XII,Al-Hikmah, September-Oktober 2001, hal. 55.

78 Mahsun Fuad, 2005, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris HinggaEmansipatoris, LKiS, Yogyakarta, hal. 53.

79 Ichtijanto, 1994, Pengembangan Teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, dalamHukum Islam di Indonesia, Bandung, Penerbit Remaja Rosdakarya cet. ke-2, hIm. 16-17.

80 Op.cit., hlm. 124.

Page 75: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

74

diantara sistem-sistem hukum itu terdapat persamaan sekaligus pembedaan. Ciri-

ciri yang sama inilah yangkemudian menjadi dasar pengklasifikasian sejumlah

sistem itu ke dalam suatu keluarga sistem hukum (parent legal system).

Dalam teori hukum umum disebut adanya 3 (tiga) keluarga sistem

hukum yaitu (i) civil law system; (ii) common law system; dan (iii) socialist law

system. Perlu dicatat bahwa sistem yang ketiga, yaitu socialist law system,

disinggung secara khusus dalam banyak tulisan karena dianggap merupakan akar

pada civil law system. Di luar kelompok itu ada kategori lain yang dianggap

khusus, yaitu sistem hukum bertradisi campuran. Tetapi Peter de Cruz

menganggap klasifikasi yang demikian itu terlalu oversimplified karena mengingat

sistem-sistem hukum yang mengisi bagian-bagiannya juga begitu banyak.81 Peter

de Cruz menyebut ada sekitar 42 sistem hukum yang mempunyai karakteristik

sendiri, yang berarti pengelompkkan ke dalam 3 (tiga) keluarga sistem hukum di

atas terlalu sedikit. Namun saya berpendapat, keluarga civi law system dan

keluarga common law system pada asasnya merupakan keluarga sistem hukum

yang paling sering dijumpai dalam kategori klasifikasi sistem hukum.

Ada banyak kriteria untuk menganalisis perbedaan dan persamaan civil

law system dan common law system. Tetapi dalam tulisan ini saya akan

menggunakan satu saja yang dianggap terkait dengan isu utama karya tulis ini,

yaitu dari sudut peran fungsionaris hukum. Sistem hukum Civil Law mulai

muncul pada abad ke t igabelas dan sejak saat itu senant iasa mengalami

perkembangan, perubahan atau dengan istilah lain menjalani suatu evolusi.

Selama evolusi ini ia mengalami penyempurnaan, yaitu menyesuaikan kepada

tuntutan dan keperluan masyarakatnya yang berubah.

Evolusi terhadap sistem hukum ini adalah sangat terkait dengan

perubahan masyarakat internasional, yaitu terjadinya hubungan antara negara

81 Peter de Cruz, 1995, Comparative Law in A Changing World, London: CavendishPublishing Ltd., hlm. 3.

Page 76: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

75

yang lebih seimbang. Beberapa ciri pent ing yang menandai perkembangan ini

adalah :

1. Bangkitnya kesadaran masyarakat bangsa-bangsa akan makna kemerdekaan,

kesederajatan, dan ker ja sama antar bangsa. Ciri ini ditandai oleh

makna gerakan kemerdekaan kebanyakan negara dari penguasaan

kolonialisme. Pada tahun 1945, masyarakat internasional telah menjadi suatu

komunitas bangsa-bangsa yang merdeka. Ketika itu PBB telah dibangun

oleh 51 negara, yang pada tahun 1992 telah menjadi 166 negara.

2. Berubahnya orientasi masyarakat internasional dari perluasan kekuasaan

oleh negara-negara kolonial pada pra perang dunia II ke arah kerja

sama, pembangunan kesejahteraan, dan pembangunan ekonomi global.

Kegiatan perekonomian yang pada pra perang dunia II didominasi oleh

perusahaan-perusahaan perdagangan privat atau oleh kekuasaan

kolonialisme dan kekuatan militer, pada pasca perang dunia II telah

melibatkan perhatian dan kepentingan negara-negara berdaulat karena

lebih bersifat publik. Perkembangan ini ditandai oleh meluasnya

partisipan kegiatan ekonomi ke kawasan Asia Afrika dan Asia Pasifik,

yang sebelum perang dunia II lebih terpusat di kawasan Eropa Barat dan

Amerika Utara.82

Menurut Shidarta, sejalan dengan ditempatkannya undang-undang

sebagai sumber hukum utama dalam keluarga civil law, maka dengan sendirinya

pembentuk undang-undang mempunyai peranan penting untuk menteapkan corak

sistem hukum positif negara tersebut. Pada forum legislatif inilah semua konsep

hukum itu dibicarakan untuk kemudian digunakan sebagai panduan bagi para

hakim dalam memecahkan kasus-kasus konkrit di pengadilan. Dalam konteks ini

pembentuk undang-undang dituntut berpikir komprehensif agar semua kasus yang

82 I. B. Wyana Putra. 1993 , Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, PenerbitRemaja Rosdakarya, Hlm. 116.

Page 77: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

76

dipersepsikan akan muncul di kemudian hari dapat tercakup dalam pengaturan

undang-undang itu. Dimensi nilai keadilan (Gerechtigkeit) dan kemanfaatan

(Zwegmatigkeit) dipersepsikan sudah diletakkan jauh-jauh hari tatkala undang-

undang itu dirumuskan oleh wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif.83

Selanjutnya Sidharta melukiskan, bahwa dalam sistem common law

keaktifan justru datang dari para hakim. Dalam pencarian sumber hukum,

perhatian mereka terutama bukan pada undang-undang tetapi lebih kepada

konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-udnang

yang menjadi sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk menemukan

hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari pandangan

subyektifnya atas kasus yang dihadapi. Cara berpikir semacam ini mengarahkan

hakim untuk meletakkan nilai kemanfaatan (Zwekmagkeit) pada tempat pertama.

Kemanfaatan di sini tentu pertama-tama dilihat dari optik kepentingan para pihak

yang bersengketa, namun di konsep “pihak” di sini dapat saja diperluas, khususnya

dalam sengketa hukum publik.84

Sekalipun secara keilmuan, sistem hukum civil law dan sistem hukum

common law dapat ditelaah ciri-cirinya, tetapi dalam tataran praktis nampaknya

sudah terjadi pencangkokan satu sama lain. Moh. Mahfud M.D., ketika menelaah

Undang-Undang Dasar 1945, mengambil kesimpulan bahwa tradisi hukum, yang

terperi ke dalam konsep negara hukum, telah diwarnai campur aduk oleh kedua

konsep tersebut, yang secara spesifik bersintetis sebagai Negara Hukum

Pancasila.85

Sintesis yang demikian, sekalipun untuk lingkungan masyarakat

Indonesia merupakan kejamakan, tetapi bukannya tanpa risiko, antara lain dalam

83 Sidharta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,Bandung: Penerbit C.V. Utomo, hlm. 164-165.

84 Ibid., hlm. 165.85 Moh. Mahfud M.D., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jogjakarta, Penerbit

Gama Media, hlm. 138.

Page 78: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

77

latar persepsi para penegak hukum dalam penyelesaian perkara hukum konkrit.

Menurut Moh. Mahfud M.D., tidak jarang para penegak hukum yang sama

bersikap tidak konsisten dengan memilih yang berbeda-beda untuk kepentingan

perkara yang berbeda. Untuk satu kasus misalnya dia mengutamakan Undang-

Undang, sehingga kepastian hukum diutamakan karena dengan itu perkara dapat

diselesaikan. Tetapi untuk perkara yang lain, atas nama kemanfaatan dan keadilan,

yang bersangkutan menolak undang-undang yang masih berlaku karena dinilainya

tidak sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat.86 Sintesis yang demikian kiranya

amat berpengaruh dalam penyusunan sistem hukum nasional.

Apakah yang dimaksud dengan hukum nasional? Menurut Moh. Mahfud

M.D., hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang

yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, daar, dan cita hukum

suatu negara.87 Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan

hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan

negara yang bersumber pada Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar

1945.88 Lebih lanjut Moh. Mahfud M.D., mempertegas bahwa sistem hukum

nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku di seluruh Indonesia yang

meliputi semua unsur hukum yang antara yang satu dengan yang lain saling

bergantung dan bersumber pada Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang

Dasar 1945.89 Lebih lanjut diuraikan bahwa sejalan dengan Lawrence dalam

memandang politik hukum, yaitu sistem hukum akan berkembang dan berubah

sesuai dengan kemajuan bangsa dan negara, atau konstruksi politik negara. Moh.

Mahfud M.D. juga menunjukkan bahwa salah satu unsur penting dari konstruksi

86 Ibid., hlm. 139.87 Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, op.cit., hlm.

21.88 Bandingkan: Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 64.89 Op.cit., hlm. 21.

Page 79: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

78

politik yang harus menjiwai sistem hukum adalah falsafah dasar negara dan

pandangan hidup bangsa.90 Dalam pandangan Prof. Notonagoro, Pembukaan UUD

1945 adalah landasan dasar atau staatsfundamentalnorms bagi sistem hukum

Indonesia, Bung Karno sebagai pencipta Pancasila bahkan menamakan dasar

negara tersebut sebagai weltanschaaung bagi bangsa Indonesia.

Dalam kerangka yang lebih makro, di Indonesia terdapat 3 (tiga) tradisi

hukum yaitu hukum adat pribumi, hukum Islam, dan hukum Barat (khususnya

pengaruh Belanda). Hukum adat pada dasarnya merupakan tradisi hukum yang

diikuti oleh masyarakat karena ia terbentuk berdasarkan nilai-nilai normatif yang

mengakar mendalam sejak dulu sesuai dengan rasa keadilan dan harmoni

masyarakat setempat. Di sisi lain, hukum Islam dan hukum Barat (lebih spesifik

dalam lapangan hukum perdata), adalah dua tradisi yang diimpor ke Nusantara

saat terjadinya penyebaran Islam dan kolonialisasi Belanda. Hukum Islam

dianggap hukum sakral karena berasal dari ajaran agama Islam, sementara Hukum

Barat merupakan tradisi Barat yang menancap pada masyarakat Indonesia,

sekalipun kolonialisasi sudah lewat.

Menurut Ratna Lukito, kesuksesan menanamkan tradisi hukum impor

itu sendiri adalah sebuah kesaksian atas proses asimilasi dan akulturasi yang lama

dan terus menerus dari norma-norma dan nilai-nilai asing dalam kehidupan sehari-

hari masyarakat pribumi. Jadi, meskipun hukum adat sudah ada sejak manusia

datang ke kepulauan Nusantara ini, hukum Islam dan hukum Barat dengan cepat

beradaptasi dengan kondisi setempat, dan pluralisme hukum telah menjadi

kenyataan hidup semenjak lama sebelum terbentuknya negara Indonesia itu

sendiri.91

Tetapi Bagir Manan tidak mempersoalkan adanya pluralisme hukum

tersebut, karena meskipun hukum adat dan hukum Islam tetap diakui dan dalam

90 Ibid., khususnya Bab I sampai dengan Bab III.91 Ratna Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan

Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Pustaka Alvabet, hlm. 9.

Page 80: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

79

bidang-bidang tertentu masih diterima sebagai hukum positif yang dipertahankan

di dalam maupun di luar peradilan, tetapi dalam kerangka sistem hukum nasional

pengaruh sistem Hukum Barat, yang kentara pengaruh civil law system-nya,

menempati urutan utama. Sistem hukum di masa dpean akan lebih bertumpu pada

sistem hukum tertulis yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.92

Mengenai eksistensi hukum adat dan Hukum Islam, Bagir Manan menulis dalam

karangan lain sebagai berikut:

Asas-asas dan kaidah hukum adat dan hukum Islam secara berangsur-angsur akan terserap ke dalam sistem hukum nasional yangberdasarkan peraturan perundang-undangan atau sekurang-kurangnya ditetapkan sebagai bagian dari hukum positif olehberbagai peraturan perundang-undangan. Tetapi sama sekali tidakberarti di masa depan tidak akan ada lagi kaidah-kaidah hukum tidaktertulis. Hukum tidak tertulis akan tetapi hadir atau tumbuh baikdalam bentuk hukum adat baru, penerimaan masyarakat atau HukumIslam, yang belum ditransformasikan ke dalam sistem hukum tertulisserta berbagai hukum tidak tertulis yang bersumber padayurisprudensi.93

Dengan menyadari kedinamisan sifat dari sistem hukum, maka akan

mendorong untuk munculnya definisi ‘hukum’ yang lebih pon-ended, sehingga

bisa mencakup semua tatanan normatif yang berasal sumebr manapun. Dengan

begitu istilah hukum dengan sendirinya bisa diterapkan kepada bermacam-macam

norma sosial yang diproduksi oleh tatanan normatif, dan norma apapun yang

dipertahankan dalam bidang kehidupan masyarakat bisa dianggap mencerminkan

manifestasi hukum.

92 Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, Penerbit IndHill Co, hlm. 7.

93 Bagir Manan,”Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional”,makalah yang disampaikan pada Pendidikan Singkat “Kajian Perundang-undangan: PendekatanTeoritis dan Praktek” untuk para pengajar Fakultas Hukum se-Sumatera di Fakultas HukumUniversitas Andalas, Padang, tanggal 11-18 Oktober 1993, hlm. 8.

Page 81: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

80

D. Peraturan Perundang-undangan

Di dalam literatur maupun praktik, istilah peraturan perundang-

undangan digunakan secara beraneka ragam. Istilah perundang-undangan,

digunakan bergantian antara perundang-undangan dan peraturan perundangan.

Menurut Amiroedin Syarif, ada 2 (dua) alasan mengapa istilah-istilah itu

digunakan secara tidak konsisten, yaitu: (i) untuk menjelaskan konteks yang

berbeda-beda, termasuk di dalamnya untuk menejalskan beragam bentuk dan jenis

perundang-undangan; dan (ii) untuk menentukan tingkatan atau hierarki dari

perundang-undangan, dan juga untuk mengetahui proses pembentukannya.94

Menurut Philipus M. Hadjon, istilah peraturan perundang-undangan

digunakan dalam pengertian yang sangat luas, meliputi Undang-Undang Dasar,

legislasi, dan regulasi (delegated regulation).95 Dalam pandangan Philipus M.

Hadjon, penyebutan istilah peraturan perundang-undangan dalam pengertian yang

begitu luas bukan baru pertama kali, seperti sudah dianut dalam Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundangan.96 Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak memberikan

pengertian yang tegas mengenai peraturan perundang-undangan. Istilah

“peraturan” jelas merujuk pada aturan hukum, namun istilah perundang-undangan

dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, jelas tidak merujuk istilah undang-

undang. Bagaimanapun, undang-undang dalam hukum tata negara Indonesia telah

digunakan secara khas sebagaiamana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang-undang.

94 Amiroeddin Syarif, 1997, Perundang-undangan (Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya),Bandung, Penerbit Rineka Cipta, hlm. 4-6.

95 Philipus M. Hadjon, “96 Ibid., hlm. 3.

Page 82: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

81

Oleh karena itu, istilah “peraturan perundang-undangan” dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ruang lingkupnya sangat luas. Hal ini

dapat dicermati dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4). Ketentuan Pasal 7

ayat (1) mengatur jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, yang terdiri

dari: (i) Undang-Undang Dasar 1945; (ii) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden;

dan Peraturan Daerah (meliputi Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa). Sementara itu, ketentuan Pasal 7 ayat (4)

pada intinya menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan selain yang

disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Oleh karena itu, seperti dituturkan oleh Philipus M. Hadjon,

judul Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dapat diganti dengan Undang-

Undang tentang Pembentukan Aturan Hukum. Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004 sendiri mendefinisikan peraturan perundang-

undangan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau

pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004,

dimasukan berbagai jenis Keputusan Lembaga Negara dalam hierarki peraturan

perundang-undangan apabila diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.

Permasalahannya adalah, apakah ketentuan yang diperintahkan oleh sesuatu

yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang jelas-jelas tercantum

dalam hirarkhi? Pasal 54 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 berbunyi

“Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan

Pimpinan MPR dan Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD,

Keputusan Ketua MA, Keputusan Ketua MK, Keputusan Kepala/Ketua BPK,

Keputusan Gubernur BI, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan,

Lembaga atau Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD

Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau

Page 83: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

82

yang setingkat, harus berpedoman pada teknik penyusunan dan atau bentuk

yang diatur dalam undang-undang ini “. Penjelasan Pasal 54 mengisyaratkan

“Ketentuan dalam pasal ini menyangkut ketentuan di bidang administrasi di

berbagai lembaga yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan dan

dikenal dengan keputusan yang bersifat tidak mengatur .”

Menurut Bagir Manan, peraturan perundang-undangan merupakan

keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah

laku yang bersifat dan mengikat secara umum.97 Maksud bersifat dan berlaku

umum yaitu tidak mengidentifikasikan individu tertentu bagi setiap subyek hukum

yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola

tingkah laku tersebut. Dalam kenyataan, terdapat juga peraturan perundang-

undangan yang berlaku untuk kelompok orang tertentu, obyek tertentu, daerah dan

waktu tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian mengikat secara umum pada

saat ini sekadar menunjukkan tidak menentukan secara konkrit (nyata) identitas

individu atau obyeknya.

Mengutip P.J.P Tak, Bagir Manan dan Kuntana Magnar

menggambarkan bahwa unsur-unsur yang termuat dalam peraturan perundang-

undangan adalah sebagai berikut:98

1. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis;

2. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan

(badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku

umum atau mengikat umum (algemeen);

3. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tetapi tidak selalu

harus mengikat semua orang. Mengikat umum bermakna bahwa peraturan

perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkrit atau individu

tertentu.

97 Bagir Manan, Dasar-Dasar...., hlm. 24.98 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara,

Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 125.

Page 84: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

83

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, peraturan perundang-undangan

adalah keseluruhan susunan hirarkis peraturan perundang-undangan yang

berbentuk undang-undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan

peran lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun yang

melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam melaksanakan

produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama

dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing.99 Di samping itu,

termasuk peraturan perundang-undangan adalah segala perangkat peraturan yang

tingkatannya di bawah undang-undang dan dimaksudkan untuk melaksanakan

ketentuan yang termuat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang

tingkatannya lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dianutnya ajaran pemisahan

kekuasaan legislatif dan eksekutif secara tegas, maka para pejabat yang dapat

dianggap memiliki kewenangan demikian adalah presiden, menteri, dan pejabat

setingkat menteri.100

Maria Farida Indrati Soeprapto menyebut peraturan perundang-

undangan dalam 2 (dua) istilah.101 Pertama, peraturan perundang-undangan

merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan

negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kedua, perundang-

undangana dalah segala peraturan peraturan negara, yang merupakan hasil

pembentukan peraturan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Dengan demikian kedua pengertian itu menempatkan peraturan perundang-

undangan dalam pengertian sebagai proses membentuk peraturan maupun macam-

macam peraturan yang ditetapkan dalam bentuk peraturan negara.

99 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta, PenerbitSekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 326.

100 Ibid., hlm. 327.101 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Jogjakarta, Penerbit

Kanisius, hlm. 14.

Page 85: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

84

a. Bentuk Peraturan Perundang-undangan

Secara keilmuan, pembahasan mengenai bentuk-bentuk peraturan

perundang-undangan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep hirarki

norma hukum. Konsep ini menunjuk kepada pandangan Hans Kelsen yang

terkenal dengan sebutan teori hirarki norma hukum (stufenbau de rechts) atau

ada yang menyebut dengan stufenbau theorie. Menurut Yuliandri, teori

tentang hirarki norma hukum setidaknya akan dapat memberikan pemahaman

dan memudahkan dalam mengidentifikasi, serta melihat berbagai problematik

dalam sistem peraturan perundang-undangan.102

Teori tersebut mengandung ajaran- ajaran sebagai berikut:

1. Dasar berlakunya dan legalitas suatu norma terletak pada norma yang ada

di atasnya (dari bawah ke atas), atau

2. Suatu norma yang menjadi dasar berlakunya dan legalitas norma yang ada

di bawahnya (dari atas ke bawah)

3. Secara acak, diambil dua norma saja, bisa dari bawah bisa dari atas

atau dari atas ke bawah seperti pada uraian pada huruf a dan b di

atas.

Hierarki Peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 secara terperinci

meliputi:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden; dan

5. Peraturan Daerah.

102 Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik:Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada,hlm.49.

Page 86: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

85

Teori berjenjang ini kemudian menimbulkan asas hukum lex

supperiori derogat lex inferiori (hukum yang ada di bawah tidak boleh

bertentangan dengan hukum yang di atasnya). Nampak jelas juga bahwa

ditetapkan jenis-jenis peraturan perundang undangan dengan tidak

memasukkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai peraturan

perundang-undangan dan Peraturan Daerah merupakan peraturan perundang

undangan yang paling bawah, sehingga keberadaannya tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya.

Jika bertentangan, ia dapat dibatalkan demi hukum.

Harus juga dicatat bahwa senyatanya tidak ada satupun negara di

dunia yang secara khusus mengatur tata urutan peraturan perundang-

undangan, sebagaimana di Indonesia. Menurut Bagir Manan, kondisi tersebut

disebabkan karena secara hukum tidak ada larangan mengaturan tata urutan

peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum itu tidak hanya terbatas

pada sistem peraturan perundang-undangan, karena pengaturan itu dapat

dilihat dari sudut tujuan yang hendak diraih (doelmatigeheid).103 Diuraikan

lebih lanjut, kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas, atau dalam

hal Undang-Undang Dasar terdapat ungkapan the supreme law of the land

seperti Pasal 6 Undang-Undang Dasar Amerika Serikat.104

Meskipun demikian, dalam pengkajian sistem hukum Indonesia,

untuk menjelaskan tentang bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan,

pada akhirnya harus memahami tata urutan peraturan perundang-undangan. Di

samping itu, bentuk peraturan perundang-undangan dilihat dari pelbagai

ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jenis dan bentuk peraturan

perundang-undangan.

103 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, op.cit., hlm. 208.104 Ibid., hlm. 205-206.

Page 87: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

86

Memahami bentuk aturan hukum yang berlaku dalam sistem

hukum positip Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari sejarah aturan hukum

pada masa penjajahan. Masih banyak aturan hukum yang sekarang berlaku,

merupakan alih rupa saja dari hukum positip yang berlaku di Belanda pada

masa penjajahan. Pada masa penjajahan, jika di Belanda dibentuk Wet

(UU), maka dinegara jajahan diberlakukan Ordonnantie (oleh penguasa

jajahan/Gubernur Jenderal). Hingga sekarang masih ada Ordonnantie yang

berlaku yaitu Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan) berdasar

Staatsblad Nomor 226 Tahun 1926 atau disingkat HO.

Meskipun terdapat kesalahan dalam pemahaman, karena Hinder

Ordonnantie banyak diterjemahkan menjadi UU Gangguan, namun

ketentuan tersebut belum pernah diganti. Bahkan oleh hampir semua

Kabupaten/Kota ketentuan HO ini menjadi dasar hukum pelaksanaan ijin

HO. Jika dipermasalahkan, maka akan dikemukakan hal “legalitas”, karena

HO mengandung sanksi dan memiliki karakter memaksa (dwingenrecht).

Sebagai aturan, HO memperoleh dukungan berlaku baik dari pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri dan berbagai

Peraturan Daerah pun telah dibentuk untuk melaksanakan ketentuan dalam

HO. Berbagai Wet (Undang-Undang) pun masih mempunyai kekuatan

hukum berlaku di Indonesia, seperti Wetboek van Strafrecht (WvS) yang

dikenal dengan sebutan KUHP (Kitab undang-undang Hukum Pidana)

dan Burgerlijk Wetboek (BW) atau dikenal KUH Perdata.

Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah penjajah juga

memberlakukan ketentuan ketatanegaraan di Negara jajahan dengan nama

Indische Staatsregeling (IS). Sebagai contoh adalah Pasal 163 IS dan

Pasal 131 IS yang membagi penduduk di wilayah jajahan menjadi tiga

kelompok dan terhadap mereka juga berlaku hukum yang berbeda.

Dibidang peraturan, diberlakukan Ketentuan Umum Perundang-undangan

di Negara jajahan yaitu Algemene Bepalingen van Wet Geving vor

Page 88: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

87

Indonesie Indie (AB). Sebagai contoh Pasal 2 AB tentang undang-

undang dilarang berlaku surut. Oleh sebab itu, untuk melakukan revisi,

perubahan atau pun penggantian, harus dilakukan sesuai dengan tingkatan

kewenangan berdasar bentuk hukum dan materi muatannya.

Sejalan dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia, sejak

berdirinya negara Republik Indonesia sejarah perundang-undangan dapat

dikategorikan dalam beberapa periode, sebagai berikut:105

1. 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949;

2. 27 Desember 1949 sampai dengan 15 Agustus 1950;

3. 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959;

4. 5 Juli 1959 sampai dengan 5 Juli 1966;

5. 5 Juli 1966 sampai dengan sekarang,

Agar lebih jelas dan mudah dipahami, pembagian sejarah

perundang-undangan dikelompokkan dalam tabel berikut ini:

No Tahap Perkembangan Jangka

Waktu

Bentuk Peraturan Perundang-

undangan

1 Di bawah UUD 1945 (18

Agustus 1945) sampai

dengan terbentuknya

Negara Republik

Indonesia Serikat (27

Desember 1949)

5 tahun Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1)

UUD)

Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat

(2) UUD)

Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Pasal 22 UUD)

2 Di bawah Konstitusi RIS

(27 Desember 1949)

8 bulan Undang-Undang (Pasal 127

Konstitusi RIS)

105 K. Wantjik Saleh, 1974, Perkembangan Perundang-Undangan 1966-1973,Jakarta,Ichtiar Cet.1, hlm. 9.

Page 89: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

88

sampai dengan

ditetapkannya UUD

Sementara RI (15 Agustus

1950)

Peraturan Pemerintah (Pasal 141

Konstitusi RIS)

Undang-Undang Darurat (Pasal

139 Konstitusi RIS)

3 Di bawah UUD Sementara

RI (15 Agustus 1950)

sampai dengan Dekrit

Presiden 5 Juli 1959

9 tahun Undang-Undang (Pasal 89 UUDS)

Peraturan Pemerintah (Pasal 98

UUDS)

Undang-Undang Darurat (Pasal

196 UUDS)

Keterangan: Undang-Undang pertama kali yang disahkan setelah berlakunya UUD1945 adalah Oendang-Oendang No. 1 Tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerahyang terdiri atas enam pasal (disahkan pada tanggal 23 November 1945).

Ketiga perkembangan di atas, merupakan perkembangan yang

“wajar” dan “jelas”, karena adanya perbedaan tiga UUD yang menjadi pokok

pangkalnya. Sedangkan perkembangan selanjutnya yaitu sejak tanggal 5 Juli

1959 sampai tanggal 5 Juli 1966 merupakan perkembangan yang ditandai oleh

kondisi “darurat” dan karenanya menjadi “tidak wajar,” sebagai akibat adanya

Dekrit Presiden dan munculnya suatu bentuk penyelewengan. Penyelewengan

dalam hal legislasi ini adalah dengan munculnya dua jenis peraturan

perundang-undangan yang baru yang menandai wewenang presiden yang

terlalu berlebihan dalam konteks Demokrasi Terpimpin pada masa

pemerintahan Soekarno. Kedua peraturan ini dikenal dengan nama Penetapan

Presiden (Surat Presiden RI tanggal 20 Agustus 1959 No. 2262/HK/59) dan

Peraturan Presiden (tanggal 22 september 1959 No. 2775/HK/59). Kedua

peraturan baru ini sama sekali tidak disebut dalam UUD 1945, namun

kedudukan dan perannya bahkan melebihi ketiga bentuk perundang-undangan

yang telah diatur sebelumnya dalam UUD 1945. Sejak Dekrit Presiden 5 Juli

1959 sampai awal 1966, terdapat sekitar 76 buah Penetapan Presiden dan 174

Page 90: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

89

buah Peraturan Presiden yang terdapat dalam lembaran negara. Secara yuridis

formal, perkembangan ini berakhir pada tanggal 5 Juli 1966 yaitu dengan

ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor

XIX/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di

Luar Produk MPRS yang Tidak Sesuai Dengan UUD 1945.

Dalam hubungan dengan pengaturan peraturan perundang-

undangan, ketiga UUD yang pernah berlaku di negara kita mengaturnya

dalam jumlah pasal yang tidak sama, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945, hanya memuat 4 (empat) pasal yaitu Pasal 5,

Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22);

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, hanya memuat 6 (enam) pasal

yaitu Bagian II Pasal 127 sampai dengan Pasal 143;

3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 memuat 12 (duabelas) pasal, yaitu

Bagian II dari Pasal 89 sampai dengan Pasal 100.

Berkaitan dengan proses penyusunan suatu rancangan undang-

undang, sejarah peraturan perundang-undangan mencatat paling tidak sejak

tanggal 29 Agustus 1970, semua menteri dan kepala Lembaga Pemerintahan

Non-Departemen (LPND) harus berpedoman kepada Instruksi Presiden

Republik Indonesia (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 Tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia. Pada saat itu, pertimbangan ditetapkannya

Instruksi Presiden tersebut adalah untuk menciptakan tertib hukum dan

peningkatan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi penyelenggaraan tugas

pemerintah.

Setelah melewati kurun waktu 20 tahun dan dipandang perlu adanya

penyempurnaan kembali tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang (RUU) dan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagaimana diarahkan

dalam Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970, maka diterbitkanlah

Page 91: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

90

Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang.

Pasal 29 Keputusan Presiden No 188 Tahun 1998 mengamanatkan

Keputusan Presiden tersendiri yang mengatur bentuk Rancangan Undang-

Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Keputusan Presiden

beserta pedoman teknis penyusunan peraturan perundang-undangan pada

umumnya. Kehadiran Keputusan Presiden No 44 Tahun 1999 tentang Teknik

Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-

Undang. Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan

Presiden menjawab kebutuhan Pasal 29 Keputusan Presiden No 188 Tahun

1998 ini.

E. Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Selain berbicara tentang teknik penyusunan dan mekanisme pembahasan

Rancangan Undang-Undang, sejarah peraturan perundang-undangan juga

mengupas tata urutan peraturan perundang-undangan. Dalam Sidang Umum

Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000, Majelis

Permusyawaratan Rakyat menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor

III/MPR/2000. Ketetapan ini mencabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik

Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/1978 tentang

Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/1973.

Ada dua hal penting dalam TAP No. III/MPR/2000, yaitu :

a. Sumber hukum nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat (Pasal 1 ayat (3)).

b. Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

Page 92: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

91

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden; dan

7. Peraturan Daerah.

Perkembangan selanjutnya dari sejarah peraturan perundang-undangan

adalah ditetapkannya Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang yang disetujui dalam Rapat

Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 24 Mei 2004 menjadi pegangan dan

standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan

perundang-undangan. Selain itu, kehadiran undang-undang ini diharapkan mampu

meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan

perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dibentuk untuk menyesuaikan

perubahan sistem ketatanegaran dalam proses legislasi yang sebelum amandemen

UUD didominasi oleh eksekutif. Penyesuaian melalui pembentukan undang-

undang ini sekaligus digunakan sebagai peluang untuk mengatur secara lengkap

dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan

perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan

penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat.

Implementasi beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 juga menuntut adanya pengaturan lebih lanjut dalam peraturan

perundang-undangan di bawahnya. Pada 2005, pemerintah mengeluarkan dua

peraturan presiden yang mengatur lebih lanjut ketentuan tentang pengelolaan

Program Legislasi Nasional dan tata cara mempersiapkan peraturan perundang-

undangan. Peraturan Presiden Nomo 61 Tahun 2005 mengatur tentang tata cara

penyusunan dan pengelolaan Prolegnas . Perpres No 61 Tahun 2005 ini dibentuk

Page 93: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

92

untuk melaksanakan ketentuan pasal 16 ayat (4) UU No 10 Tahun 2004.

Sementara itu, Peraturan Presiden No 68 Tahun 2005 mengatur tata cara

mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan

Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan

Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 UU No 10 Tahun 2004.

Dewasa ini telah ditetapkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengantikan UU No. 10

Tahun 2004 di atas. Berdasarkan Pasal 8 undang-undang ini menetapkan bahwa,

“Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain

peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, Bank

Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat

yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi,

Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,Kepala Desa atau yang

setingkat”. Namun jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam

ketentuan Pasal 8, tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan delegasi.

Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan

hierarki sebagaimana tersebut dalam Pasal 7 ayat (1). Sedang yang dimaksud

dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan

yang didasarkan asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan rumusan Pasal 8 tersebut dan melihat pada jenis peraturan perundang-

undangan dalam Pasal 7 ayat (1) , maka bentuk peraturan perundang-undangan

dalam ketentuan Pasal 7 tersebut berjumlah 25 bentuk, yang meliputi:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang;

Page 94: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

93

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

5. Peraturan Pemerintah;

6. Peraturan Presiden;

7. Peraturan Daerah Provinsi;

8. Peraturan Daerah Kabupaten Kota;

9. Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

10. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat;

11. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah;

12. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan;

13. Peraturan Komisi Yudisial,

14. Peraturan Mahkamah Agung;

15. Peraturan Mahkamah Konstitusi;

16. Peraturan Bank Indonesia;

17. Peraturan Menteri;

18. Peraturan Kepala Badan;

19. Peraturan Lembaga;

20. Peraturan Komisi;

21. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;

22. Peraturan Gubernur;

23. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

24. Peraturan Bupati/Walikota; dan

25. Peraturan Desa.

Dalam Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 maupun pada penjelasannya

terlihat bahwa bentuk peraturan perundang-undangan yang diatur dalam

kelompok-kelompok (kualifikasi) wewenang , baik dari lembaga yang berwenang

membentuknya maupun sumber wewenangnya. Hal ini sesuai dengan asas

peraturan perundang-undangan yaitu kelembagaan atau organ pembentuk yang

tepat yang diartikan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus

dibuat oleh lembaga /pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

Page 95: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

94

berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal

demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

Dalam BAB II, angka 198, UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur

bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan

kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah, dengan ketentuan bahwa harus menyebut dengan tegas

ruang lingkup materi muatan yang diatur dan jenis peraturan perundang-

undangannya.

Polanya mengandung beberapa alternatif yaitu materi yang

didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam peraturan

perundang-undangan yang telah mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur

hanya di dalam peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh

didelegasikan lebih lanjut ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

(subdelegasi). Atau pola yang lain pengaturan materi tersebut dibolehkan

didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi). Dalam asas pendelegasian juga dianut

bahwa sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blanko, seperti pernyataan:

“Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”

Perlu mendapat perhatian bahwa kewenangan yang mendelegasikan

kepada suatu alat penyelenggaraan negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut

kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang

mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. Undang-

undang juga mengatur bahwa pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang

kepada menteri, pimpinan lembaga pemerintah non kementerian, atau pejabat yang

setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis

administratif.

Di samping itu juga diatur bahwa supaya dihindari pendelegasian

kewenangan yang mengatur secara langsung dari Undang-Undang kepada direktur

jenderal atau pejabat yang setingkat. Pendelegasian langsung kepada direktur

Page 96: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

95

jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan

Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang.

Prinsip subdelegasi ini banyak diperdebatkan. Pemikiran awal adalah

delegatus non potest delegare (the delegate may not delegate), maka subdelegasi

itu hanya boleh dilakukan jika kewenangan untuk melakukannya ditentukan secara

tegas dalam undang-undang yang memberikan delegasi pertama. Bagi pemikiran

doktrin pemisahan kekuasaan, membatasi eksekutif dari kebutuhan untuk

mengatur sendiri pelaksanaan tugas-tugasnya di bidang eksekutif, dianggap tidak

terlalu relevan.

Page 97: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

96

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN

A. Pengantar

Salah satu kesepakatan dasar dalam kerangka Perubahan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis sebagai UUD

1945) dalam proses reformasi konstitusi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) kurun waktu 1999-2002 adalah mempertegas sistem pemerintahan

presidensial.106 Dalam penjelasannya BP MPR menguraikan ciri khas sistem

presidensial,yaitu:

1. Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang mempunyai hak

prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat;

2. Fixed Term, bahwa Presiden menjalankan kekuasaannya selama lima tahun

tanpa terganggu dengan kewajiban memberi pertanggungjawaban kepada MPR

pada masa jabatannya;

3. Checks and balances yang kuat, bahwa hubungan Presiden dengan lembaga

negara lainnya diatur berdasarkan prinsip saling mengawasi dan saling

mengimbangi diantara lembaga-lembaga negara;

4. Impeachment, sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan UUD 1945, anggota

DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR,oleh karena itu DPR dapat

senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika DPR menganggap

bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah

ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk

persidangan istimewa agar dapat meminta pertanggungjawaban kepada

Presiden. Dengan demikian, dalam Sidang Istimewa, MPR dapat mencabut

106 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran ,Jakarta, Penerbit Mizan, hlm. 337.

Page 98: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

97

kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila

Presiden sungguh-sungguh melanggar garis-garis besar haluan negara dan/atau

UUD. Dalam penjelasan BP-MPR itu tampak kesepakatan dasar untuk

mempertahankan sistem pemerintahan presidensial tidak mengarah kepada

perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem presidensial murni. Hal itu

terlihat dari pengertian impeachment yang mengaitkannya pada peran MPR

sesuai dengan Penjelasan UUD 1945. Bila konsisten dengan kesepakatan dasar

yang menghendaki dimasukannya Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal

normatif ke dalam batang tubuh, maka seharusnya ketentuan PenjelasaN UUD

1945 tentang “impeachment” dimasukkan ke dalam batang tubuh.

Terjadinya pergeseran paradigma itu memantulkan pula kepentingan

politik yang dominan berkenaan dengan Pemilu 2004. Hal itu terungkap lewat

pernyataanKetua MPR yang menyatakan bila amandemen UUD 1945 tidak selesai

padatahun 2002, maka akan terjadi krisis konstitusi. Pernyataan ini ditimpali oleh

Jimly Asshiddiqie dengan mengatakan, “Kalau tahun 2002 (amandemen

UUD1945) tidak tuntas, saya sungguh-sungguh khawatir, karen makin dekat ke

PemilU 2004.”

Sekalipun tidak dapat diambil kesimpulan secara langsung, tetapi

terdapat kesan amandemen UUD 1945 terkait dengan kepentingan Pemilu 2004.

Berdasarkan semua uraian itu, maka tak heran bila materi muatan amandemen

UUD 1945 menjadi tidak koheren satu sama lain karena sarat kepentingan politik.

Itulah pula yang menyebabkan MPR dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002

memutuskan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang pembentukan Komisi

Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang

Perubahan UUD 1945. Sekalipun dapat dipandang sebagai pemulas bibir belaka,

tetapi dengan pembentukan Komisi Konstitusi itu sesungguhnya MPR mengakui

terdapat kekurangan-kekurangan mendasar dalam amandemen UUD 1945.

Sayangnya, hasil kerja Komisi Konstitusi itu tenyata tak memperoleh respons

memadai dari MPR dan tak terdengar lagi.

Page 99: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

98

Memperhatikan fakta tersebut maka capaian reformasi konstitusi terkait

dengan isu ini justru menghasilkan sejumlah norma konstitusional yang mengarah

kepada upaya mengurangi dominasi lembaga kepresidenan dalam

penyelenggaraan negara, seperti ditunjukkan terhadap isu-isu di bawah ini:107

1. Pemilihan langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan presiden dan wakil

presiden;

2. Pembatasan masa jabatan seorang presiden untuk dua kali masa jabatan;

3. Kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan berada pada DPR;

4. Perlindungan hak asasi manusia; dan

5. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD.

Capaian legal di atas bukanlah proses yang tunggal, akan tetapi didorong

oleh kenyataan akibat praktik politik masa-masa sebelumnya yang menyebabkan

UUD 1945 mendapatkan cap sebagai konstitusi yang “sarat eksekutif”.108

Konstitusi ini memberikan begitu banyak kekuasaan kepada eksekutif tanpa

menyertakan sistem kontrol konstitusional yang memadai. Di bawah UUD 1945,

Presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara. Sebagai kepala

pemerintahan, Presiden memiliki kewenangan eksklusif atas menteri-menteri dan

pembentukan kabinet (Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2)). Sebagai kepala negara,

presiden memegang kekuasaan untuk: (i) menjadi Panglima Tertinggi Angkatan

Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; (ii) menyatakan perang, membuat

perdamaian, dan menandatangani perjanjian dengan negara lain (Pasal 11); (iii)

menyatakan keadaan darurat (Pasal 12); (iv) mengangkat duta besar dan konsul;

dan menerima surat-surat kepercayaan data besar sahabat (Pasal 13); dan (v)

memberi gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 15).

Sistem UUD 1945 menjadi lebih “sarat eksekutif” karena di samping

kekuasaan-kekuasaan eksekutifnya yang sedemikian besar Presiden juga memiliki

107 Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum Demokrasi,Bandung, Yrama Widya, hlm. 3.

108 Denny Indrayana, op.cit., hlm. 152-153.

Page 100: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

99

kekuasaan legislatif. Dominasi kekuasaan Presiden itu disertai dengan tidak

adanya sistem check and balances yang tidak jelas.

Hal itu ditunjukkan adanya norma dalam naskah asli UUD 1945 yang

menyatakan MPR adalah lembaga tertinggi negara dan merupakan ”penjelmaan

seluruh rakyat Indonesia”, yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Ini

adalah konsep kedaulatan parlemen. Ini menunjukkan warna parlementer dalam

sistem pemerintahan negara. Tetapi di sisi lain, argumen corak konstitusi “sarat

eksekutif” itu menjadi indikasi kuat bahwa dalam praktiknya, Indonesia

menerapkan sistem presidensial. Praksis politik juga menunjukkan bahwa MPR

yang superior itu tidak kuat mengendalikan Presiden. Seperti dikatakan oleh

Muhammad Ridwan Indra, bahwa meskipun berdasarkan UUD 1945, MPR lebih

unggul sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi pada praktiknya, Presidenlah yang

lebih dominan.109 Dalam ranah teoritis kemudian sistem pemerintahan yang

dihasilkan adalah sistem pemerintahan yang remang-remang karena mengandung

baik segi-segi sistem parlementer dan sistem presidensial.110

Dengan didorong oleh faktor sejarah tersebut, menjadi nyata bahwa

kemudian dalam proses reformasi konstitusi walaupun disepakati tekad

mempertahankan sistem presidensial, akan tetapi disertai juga semangat untuk

mengatur kekuasaan Presiden. Momen itu dimulai pada Perubahan Pertama (1999)

yang mencabut kekuasaan untuk membuat undang-undang dari tangan Presiden

dan memberikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan Presiden untuk

mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi negara sudah diatur

dengan lebih baik. Ini disusul dengan diadopsinya mekanisme pemilihan Presiden

dan Wakil Presiden “dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.

Ditentukan dalam konstitusi bahwa partai-partai politik atau koalisinya, yang

berpartisipasi dalam pemilu, mengusulkan calon-calon presiden dan wakil

109 Muhammad Ridwan Indra, 1990, Kedudukan Presiden Republik Indonesia, hlm. 45.110 Bagir Manan, 2000, Lembaga Kepresidenan, Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Page 101: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

100

presiden. Pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% jumlah suara

dalam pemilu dengan minimal 20% suara di lebih dari setengah jumlah propinsi

yang ada di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Perubahan paradigma terjadi pada amandemen ketiga dan keempat yang

mengubah secara fundamental sistem pemerintahan yang berimplikasi

padakeududukan MPR dan asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian, tampak

perubahan drastis antara amandemen pertama yang bertujuan melakukan

demokratisasi UUD 1945 dan amandemen ketiga yang mengubah sistem

pemerintahan. Demokratisasi jelas berbeda dengan perubahan sistem

pemerintahan,karena esensi demokrasi adalah persamaan dan kebebasan politik

yang tidak identik dengan sistem presidensial. Terbukti negara-negara di Eropa

yang menganut sistem parlementer adalah negara demokratis. Sebaliknya tidak

semua negara yang menganut sistem presidensial murni seperti di Amerika Latin

merupakan negara yang demokratis.

Sisi lain untuk meneguhkan sistem presidensial adalah prosedur untuk

memberhentikan Presiden menjadi jelas. Alasan-alasan untuk melakukan

impeachment meliputi: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila Presiden dan/atau

Wakil Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat jabatannya. Kini, proses ini

tidak semata-mata merupakan proses politik yang melibatkan MPR dan Dewan

Perwakilan Rakyat, tetapi juga proses hukum yang mengikutsertakan Mahkamah

Konstitusi yang baru saja dibentuk.

Namun proses reformasi konstitusi luput mengatur mengenai

pertanggungjawaban presiden. Sebuah isu yang bukan saja secara teoritis sudah

dipersoalkan sejak dahulu, tetapi sebenarnya ini pararel dengan implikasi

diterapkannya sistem pemelihan presiden langsung. Konstitusi baru hanya

memerinci mekanisme pemberhentian Presiden seperti diatur di dalam Pasal 7A

dan 7B.

Page 102: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

101

Menurut Firdaus, jika norma itu dianggap berkesejajaran dengan

pertanggungjawaban presiden, maka secara hukum mengandung sejumlah

persoalan.111 Pertama, manakah yang merupakan bentuk dan batasan-batasan

pertanggungjawaban Presiden. Kedua, apakah pemberhentian Presiden dalam

masa jabatannya oleh MPR termasuk bagian dari proses pertanggungjawaban

hukum secara politik ataukah secara hukum? Ketiga, bagaimanakah kedudukan

putusan MK yang menyatakan Presiden terbukti secara sah melakukan

pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi persyatatan jabatan di dalam

sidang MPR yang hendak mengambil putusan pemberhentian Presiden. Keempat,

apakah hanya sanksi pemberhenti bagi seorang Presiden atas pelanggaran hukum

yang dilakukan? Kelima, bagaimana sesungguhnya sistem pertanggungjawaban

Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD.

Penulis sepenuhnya setuju elaborasi persoalan hukum yang diuraikan oleh

Firdaus tersebut, akan tetapi meskipun sepakat bahwa isu pertanggungjawaban

tidaklah diatur di dalam UUD 1945, akan tetapi tidak seluruh isu itu menjadi

landasan persoalan dalam penelitian ini. Kajian ini akan membatasi kepada

persoalan bentuk pertanggungjawaban Presiden setelah Perubahan UUD 1945

yang secara teoritis merupakan derivatif dari persoalan diskripsi sistem

pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia.

B. Pertanggunngjawaban

Kiranya penting untuk dipahami bahwa percakapan mengenai

pertanggungjawaban dalam ranah hukum tata negara tidak dapat dipisahkan

dengan pemahaman demokrasi, karena ada prinsip geen macht zonder

veraantwoordelijkheid (tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban). Prinsip

tersebut dapat menggunakan logika terbalik yaitu apabila suatu kekuasaan tidak

ada mekanisme pertanggungjawaban yang berarti pemerintahan tersebut

111 Firdaus, op.cit., hlm. 5.

Page 103: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

102

merupakan regim yang otoriter atau kediktatoran.112 Menurut Suwoto

Mulyosudarmo, kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara bertanggung

jawab karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang

diperoleh dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis adalah logis harus

dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Dengan demikian, pertanggungjawaban

merupakan syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan demokrasi. 113

Menurut Hendra Nurtjahjo, suatu pemerintahan maupun lembaga

perwakilan tidak akan mungkin berjalan efektif tanpa adanya legitimasi politik

yang penuh dari rakyat. Pemerintahan sebagai lembaga penataan yang memegang

kekuasaan politik utama harus memiliki pendasaran yang sah (legitimasi) atas

kekuasaan yang dijalankannya agar ia dapat efektif. Untuk menopang legitimasi

itu sudah tentu setiap langkah efektif atas dasar kekuasaan pemerintahan perlu

untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat.114

Ismail Sunny menguraikan bahwa dari segi hukum, pertanggungjawaban

mengandung 2 pengertian sebagai berikut. Pertama, pertanggungjawaban dalam

arti sempit yaitu tanggung jawab tanpa sanksi. Kedua, pertanggungjawaban dalam

arti luas, yaitu tanggung jawab dengan sanksi.115 Menurut Arifin P. Soeria

Atmadja, pertanggungjawaban merupakan suatu kebebasan bertindak untuk

melaksanakan tugas yang dibebankan, tetapi pada akhirnya tidak dapat

melepaskan diri dari resultante kebebasan bertindak, berupa penuntutan untuk

melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya.116 Diuraiakan lebih

lanjut oleh Suwoto Mulyosudarmo, bahwa pertanggungjawaban meliputi 2 aspek,

112 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 109.113 Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis

Nawaksara, Jakarta, Penebit Gramedia, hlm. 1.114 Hendro Nurtjahyo, 2006, Filsafat Demokrasi, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 19.115 Ismail Sunny, 1987, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Penerbit Bina Aksara,

hlm. 18.116 Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara:

Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 43.

Page 104: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

103

yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal yaitu pertanggungjawaban

yang diwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan

oleh pimpinan dalam suatu instansi. Aspek eksternal yaitu pertanggungjawaban

kepada pihak ketiga, jika suatu tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain

atau dengan perkataan lain, berupa tanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkan

kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang diperbuat.117 Berkaitan dengan

konstruksi pemikiran timbulnya pertanggungjawaban, maka Suwoto

Mulyosudarmo menunjuk kepada bagaimana kekuasaan dibentuk dan diperoleh.

Pemikiran ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu formasi

yang disusun dari sistem pembentukan kekuasaan lembaga-lembaga negara,

sehingga konteks lahirnya pertanggungjawaban berada pada lingkup kekuasaan

negara.118

Dalam sistem pembagian kekuasaan berlaku suatu prinsip bahwa setiap

kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan. Karena itu, setiap pemberian kekuasaan

harus dipikirkan beban tanggung jawab bagi setiap penerima kekuasaan.

Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah

diterima pada waktu menerima kekuasaan. Beban tanggung jawab bentuknya

ditentukan oleh “cara-cara kekuasaan itu diperoleh” (Bevoegdheidsverkrijging).

Menurut Suwoto Mulyosudarmo, pada dasarnya pembentukan kekuasaan bisa

terjadi pada saat yang bersamaan dengan pembentukan lembaga yang memperoleh

kekuasaan dan bisa terjadi kemudian sesudah lahirnya lembaga atau badan.119

Selanjutnya, masalah keabsahan pembentukan kekuasaan sebelum adanya

organisasi negara sama dengan keabsahan suatu konstitusi dan dasar hukum

117 Op.cit., hlm. 42.118 Ibid., hlm. 40-41.119 Ibid., hlm. 39.

Page 105: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

104

pembentukan kekuasaan oleh suatu badan sebeluma danya konstitusi pada

umumnya diberikan melalui konstitusi.120

C. Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD 1945

Maria Farida Indrati Soeprapto menambahkan bahwa setelah Perubahan

UUD 1945 sistem pemerintahan negara menunjukkan adanya pergeseran-

pergeseran yang meliputi hal-hal sebagai berikut:121

1. Konfigurasi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih

melalui pemilihan umum, dan mempunyai wewenang untuk: (a) mengubah dan

menetapkan UUD; (b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; (c)

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

menurut UUD; (d) memilih Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan; dan

(e) memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan.

2. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi, sesuai

dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, dalam menjalankan

pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden,

yang mana berhubungan erat dengan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang

menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan

secara langsung oleh rakyat.

3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD

1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan

membentuk undang-undang, namun dalam membentuk undang-undang, DPR

harus membahas bersama dengan Presiden dan mendapat persetujuan dari

Presiden sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut

Pasal 20A UUD 1945, DPR juga memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,

dan fungsi pengawasan, memiliki hak intepelasi, hak angket, dan menyatakan

120 Ibid., hlm. 40.121 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan Jilid 1, Jogjakarta,

Penerbit Kanisius, hlm. 126-129.

Page 106: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

105

pendapat, sedangkan anggota DPR juga mempunyai hak mengajukan

pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Dengan

memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, maka Presiden seharusnya

bekerja sam dengan DPR. Meskipun demikian, Presiden tidak

bertanggungjawab kepada DPR, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung

kepada DPR.

4. Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri tidak bertanggung jawab

kepada DPR. Dalam Pasal 17 UUD 1945 antara lain ditetapkan bahwa: (a)

Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara; (b) menteri-menteri itu diangkat

dan diberhentikan oleh Presiden; dan (c) setiap menteri membidangi urusan

tertentu dalam pemerintahan. Dengan demikian, menteri-menteri itu tidak

bertanggung jawab kepada Presiden, oleh karena Presiden yang mengangkat

dan memberhentikan menteri-menteri negara tersebut. Kedudukan menteri-

menteri tersebut tidak tergantung kepada DPR, akan tetapi tergantung Presiden,

karena menteri-menteri negara itu merupakan pembantu Presiden.

5. Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas. Meskipun Presiden tidak bertanggung

jawab kepada DPR, ia bukan “diktator”, artinya kekuasaannya tidak tak

terbatas. Kedudukan DPR adalah kuat. Dalam hal ini, DPR tidak bisa

dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer) sebagaimana

ketentuan Pasal 7C UUD 1945, yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat

membekukan dan/atau membubarkan DPR. Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD

1945, anggota-anggota DPR dan DPD semuanya merangkap menjadi anggota

MPR. Sesuai ketentuan dalam Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 20A UUD 1945,

DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden, sehingga apabila

DPR menganganggp bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau

perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi persyaratan

sebagai Presiden, yang telah ditetapkan oleh UUD, maka melalui putusan MK,

DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden kepada PR. Seperti dalam

sistem pemerintahan negara sebelum Perubahan UUD 1945, maka menteri-

Page 107: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

106

menteri negara bukan pegawai biasa. Meskipun kedudukan menteri negara

tergantung dari Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, oleh

karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah

(pouvoir executif) dalam praktik. Sebagai pemimpin departemen, menteri

mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya.

Berhubung dengan itu, menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden

dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Untuk

menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan negara,

para menteri bekerja bersama-sama satu sama lain seerat-eratnya di bawah

pimpinan Presiden.

Menurut Jimly Asshiddiqie, dengan mencermati ketentuan-ketentuan

UUD 1945 seperti diuraikan di atas, maka setelah Perubahan UUD 1945

Indonesia secara resmi telah menganut ajaran Trias Politica, yang mengacu

pada sistem pemisahan kekuasaan (separation of power atau scheiding van

machten).122 Akan tetapi, Maria Farida Indrati Soeprapto menolak argumen

tersebut dengan menyatakan bahwa kewenangan pembentukan undang-undang

dilaksanakan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan

demikian, dapat disimpulkan pula bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan

pemerintahan dalam arti eksekutif dan kekuasaan membentuk Undang-Undang

(dalam arti legislatif) bersama DPR.123 (iuraikan lebih lanjut bahwa aplikasi

Perubahan UUD 1945 menempatkan Presiden tetap sebagai penyelenggara

tertinggi pemerintahan negara, yang menjalankan seluruh tugas dan fungsi

pemerintahan dalam arti luas yang menyangkut ketataprajaan,

keamanan/kepolisian, dan pengaturan.124

122 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan...., op.cit., hlm. 45.123 Op.cit., hlm. 131.124 Ibid.

Page 108: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

107

Menurut pendapat penulis, pendapat Maria Farida Indrati Soeprapto

tersebut lebih mendekati kenyataan normatif, sebab penerapan ajaran

pemisahan kekuasaan seperti dimaksudkan oleh Jimly Asshiddiqie, tidak bisa

serta merta disimpulkan hanya dari aspek legislasi saja, di mana dulu kekuasaan

membentuk undang-undang dipegang oleh Presiden, akan tetapi kemudian

beralih kepada DPR. Jika hal ini pun diterima masih harus dicatat bahwa

ketentuan-ketentuan UUD 1945 juga masih mensyaratkan adanya hubungan

timbal balik antara Presiden dan DPR untuk menetapkan sebuah undang-

undang (lihatlah dalam Pasal 20 ayat (2), (3), dan (4)).

Walaupun secara normatif UUD 1945 tetap menempatkan presiden

sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara, akan tetapi di dalam

realisasinya Perubahan UUD 1945 juga menghasilkan pembatasan-pembatasan

terhadap kekuasaan Presiden. Belajar dari pengalaman masa kepresidenan

Soekarno dan Soeharto yang panjang, MPR menyisipkan ke dalam UUD 1945

satu jurus pelindung yang menhatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden bisa

dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya sebanyak satu masa jabatan lagi

(Pasal 7 setelah Perubahan UUD 1945). Hal ini berarti MPR menegaskan lagi

Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan

Presiden dan Wakil Presiden. Upaya membatasi masa jabatan Presiden

merupakan satu langkah reformasi yang penting karena menghilangkan satu

diantara karakteristik otoriter utama yang melekat pada UUD 1945. Jadi,

penulis memandang bahwa lebih dari yang manapun, perubahan masa jabatan

presiden ini telah memberikan arah yang jelas tentang transisi politik dari

otoritarianisme.

Perubahan UUD 1945 juga membatasi kekuasaan yudisial Presiden

dan memberi DPR lebih banyak pengaruh dalam masalah hukum dan

kehakiman. Perubahan Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa Presiden harus

mendengarkan saran-saran DPR sebelum memberikan amnesti dan abolisi.

Selain itu, amandemen Pasal 14 ayat (1) juga mengharuskan Presiden untuk

Page 109: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

108

berkonsultasi terlebih dahulu dengan MA sebelum memberikan grasi dan

rehabilitasi. Pada sisi lain, Perubahan UUD 1945 juga membatasi kekuasaan

diplomatik Presiden, dan memberi DPR lebih banyak hak kontrol dalam

pengangkatan duta besar, konsul, dan dalam menerima duta besar negara-

negara asing. Kekuasaan Presiden ini harus juga digunakan dengan

memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945).

Perubahan lain yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya

adalah diubahnya aturan tentang upacara pengambilan sumpah jabatan Presiden

dan Wakil Presiden (Pasal 9). Perubahan ini diilhami oleh sumpah jabatan

Habibie, yang disaksikan oleh MA di Istana Merdeka, karena MPR saat itu

tidak bisa berkumpul. Perubahan yang membatasi kekuasaan Presiden untuk

memberikan gelar, tanda jasa, dan tanda-tanda kehormatan lainnya (Pasal 5)

juga dipicu oleh tindakan Habibie yang membagi-bagikan tanda kehormatan

pada pendukung-pendukungnya pada bulan Agustus 1999.

Sementara itu, ada juga upaya-upaya untuk membatasi kekuasaan

Presdien dalam mengangkat anggota-anggota kabinet. Diusulkan agar dalam

mengangkat menteri-menteri, Presiden harus memperhatikan pertimbangan-

pertimbangan DPR. Usulan ini gagal karena mayoritas anggota MPR waktu itu

sepakat bahwa untuk memperkuat sistem presidensial tidaklah lalu serta merta

mengubah UUD 1945 dari cap sarat eksekutif menjadi konstitusi yang sarat

legislatif.

Satu perubahan radikal lainnya adalah diadopsinya mekanisme

pemilihan Presiden langsung. Presiden dan Wakil Presiden dalam satu

pasangan secara langsung. Partai-partai politik atau koalisinya, yang

berpartisipasi dalam Pemilu, mengusulkan calon-calon Presiden dan Wakil

Presiden. Pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah

suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20% suara di lebih dari setengah jumlah

propinsi yang ada di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Page 110: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

109

Sasaran reformasi konstitusi secara minimalis telah mencapai

tujuannya dengan adanya peneguhan sistem presidensial yang antara lain

ditunjukkan oleh hal-hal: (a) Presiden dan Wakil Presiden merupakan institusi

penyelenggara kekuasaan eksekutif; (b) Pengisian jabatan Presiden dan Wakil

Presiden melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (direct

democracy); dan (c) Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR kecuali

jika ada tuntutan DPR kepada MK tentang adanya pelanggaran hukum dan

konstitusi yang dilakukan oleh Presiden. Apabila tuntutan tersebut dikuatkan

oleh MK dalam suatu keputusan, maka DPR dapat melanjutkan tuntutan

pemberhentian Presiden kepada MPR.

D. Pertanggungjawaban Presiden

Dasar hukum pertanggungjawaban Presiden erat kaitannya dengan proses

peralihan kekuasaan. Begitu pertanggungjawaban itu usai, mulailah perbincangan

tentang peralihan kekuasaan. Secara teoritis dasar hukum yang dapat menimbulkan

suatu kewajiban hukum terhadap subyek hukum dapat ditemukan melalui 2 (dua0

macam cara, yaitu, pertama, dari ketentuan hukum positif yang mengatur secara

jelas. Kedua, melalui interpretasi terhadap hukum positif yang tidak mengatur

dengan jelas

Menurut Suwoto Mulyosudarmo, dari 2 (dua) macam cara menentukan

dasar hukum tersebut, cara yang kedua sering menimbulkan permasalahan, sebab

penafsiran dapat mengakibatkan perubahanmakna ketentuan hukum positif

(Suwoto Mulyosudarmo, 1997: 77). Dalam praktik, penentukan dasar hukum yang

bersumber dari ketentuan hukum positif yang kurang jelas, dilakukan dengan 2

(dua) macam interpretasi, yaitu, pertama, menarik suatu kesimpulan secara a

contrario. Jelasnya adalah jika hukum positif tidak melarang, dapat ditafsirkan

bahwa hukum positif memperkenankan. Penafsiran isi peraturan secara a contrario

atau penggunaan asas argumentum a contrario, harus dikombinasikan dengan

penafsiran secara sistematis.

Page 111: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

110

Kedua, menarik suatu kesimpulan atas dasar pemikiran yang logis.

Misalnya, penyelenggaraan Pemilihan Umum tidak diatur dalam UUD 1945,

namun atas dasar pemikiran yang logis dasar hukumnya dapat dikaitkan dengan

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Dalam naskah asli UUD 1945 tidak mengatur secara jelas pertanggung

jawaban Presiden. Menurut JCT Simorangkir, sekalipun tidak dinyatakan op de

man af, tetapi adanya kewajiban Presiden/Mandataris MPR untuk memberikan

pertanggungjawaban kepada MPR mengenai pelaksanaan halauan negara menurut

garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR itu adalah sesuatu yang masuk

akal dan bahkan merupakan sesuatu yang wajar jika tidak ingin menggunakan

istilah kewajiban.125 Pada ranah reformasi konstitusi seperti akan diuraikan di

bawah ini, maka nihilnya dasar hukum dan prosedur yuridis pertanggungjawaban

Presiden inilah yang nantinya akan menjadi faktor yang mendorong adanya

Perubahan UUD 1945.

Di samping pemetaan yang menghasilkan arsitektur lembaga

kepresidenan setelah Perubahan UUD 1945 dikaitkan dengan sistem pemerintahan

negara, maka salah satu paradigma yang banyak mendominasi pemikiran tentang

pertanggungjawaban Presiden adalah konsepsi mengenai jabatan Presiden.126

Menurut Jimly Asshiddiqie, setelah pemilihan perwakilan bergeser ke pmilihan

langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan Presiden, para pakar hukum tata

negara hampir memiliki pandangan yang sama bahwa MPR tidak dapat lagi

meminta pertanggungjawaban Presiden melainkan Presiden bertanggung jawab

langsung kepada rakyat yang memilihnya.127 Menurut pendapat penulis,

argumentasi atau pendapat itu cukup masuk akal dengan berangkat dari praktik

125 J.C.T. Simorangkir, 1984, Penetapan Undang-Undang Dasar, Jakarta, Penerbit BPHN,hlm. 137.

126 Firdaus, 2007, op.cit., hlm. 149.127 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan..., op.cit., hlm. 59.

Page 112: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

111

pengisian jabatan Presiden selama ini yang dilakukan oleh MPR untuk sewaktu-

waktu dapat meminta pertanggungjawaban Presiden.

Konstruksi UUD 1945 sebelum Perubahan, sebagaimana termuat di

dalam Penjelasan UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden yang diangkat oleh

MPR bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Menurut Bagir Manan,

dalam praktik ketatanegaraan yang berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggung

jawab tersebut tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga

pemberhentian Presiden dari jabatannya seperti yang terjadi pada Presiden

Soekarno dan Presiden Wahid.128 Selanjutnya, kewenangan pemberhentian ini

diatur di dalam Ketetapan MPR Tentang Tata Tertib. Salah satu wewenang MPR

disebutkan “mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa

jabatannya apabila Presiden/Mandataris sungguh melanggar halauan negara

dan/atau UUD 1945.” Diuraikan oleh Bagir Manan, bahwa dalam kaitannya

dengan pertanggungjawaban disebutkan mengenai pelaksanaan GBHN dan

menilai pertanggungjawaban tersebut.129 Diuraikan lebih lanjut bahwa ketentuan

ini mempersempit lingkup pertanggungjawaban karena pelanggaran halauan

negara dan atau UUD tidak terbatas pada GBHN.

Apabila diterima argumen legal bahwa pergeseran pengisian jabatan

Presiden dari pemilihan perwakilan menjadi pemilihan langsung oleh rakyat

berpengaruh terhadap sifat pertanggungjawaban Presiden, maka akan

menimbulkan minimal 2 (dua) pertanyaan yang dapat diajukan secara kritis.

Pertama, apakah benar cara pengisian jabatan Presiden berpengaruh terhadap

pertanggungjawaban Presiden. Kedua, jika Presiden bertanggung jawab kepada

rakyat yang memilihnya, bagaimana seharusnya Presiden memberikan

pertanggungjawaban.

128 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, op.cit., hlm. 110.129 Ibid., hlm. 110.

Page 113: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

112

Terhadap pertanyaan pertama tersebut penulis memberikan analisis

sebagai berikut. Sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945, secara eksplisit cara

pengisian jabatan Presiden berpengaruh terhadap pertanggungjawaban Presiden.

Akan tetapi jika ditelaah lebih mendalam, maka permasalahannya tidaklah

sesederhana itu, tetapi lebih mengacu kepada pergeseran format kedaulatan rakyat

yang terlembaga dalam sistem ketatanegaraan.

Menurut Ni’matul Huda, sebelum Perubahan UUD 1945, Indonesia

menganut prinsip supremasi MPR sebagai salah satu bentuk varian sistem

supremasi parlemen yang dikenal di dunia.130 Oleh karena itu paham kedaulatan

rakyat yang dianut diorganisasikan melalui pelembagaan MPR yang

dikonstruksikan sebagai lembaga penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang

berdaulat yang disalurkan melalui prosedur perwakilan politik (political

representation) melalui DPR, perwakilan daerah (regional representation) melalui

Utusan Daerah, dan perwakilan fungsional (functional representation) melalui

Utusan Golongan. Menurut Jimly Asshiddiqie, desain tersebut dimaksudkan untuk

menjamin agar kepentingan seluruh rakyat yang berdaulat benar-benar tercermin

dalam keanggotaan MPR, sehingga lembaga yang mempunyai kedudukan tertinggi

tersebut sah disebut sebagai penjelmaan seluruh rakyat.131

Sebagai organ negara atau lembaga yang diberi kedudukan tertinggi, ke

mana Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan negara diharuskan bertunduk dan

bertanggung jawab, lembaga MPR itu disebut sebagai pelaku tertinggi kedaulatan

rakyat atau bahkan dalam Pasal 1 ayat (2) naskah asli UUD 1945, dirumuskan

dengan kalimat Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Implikasi dari format kedaulatan seperti itu menyebabkan MPR memiliki

keduudkan lebih tinggi dan mengatasi lembaga negara lainnya. Di samping itu,

130 Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Transisi ke Demokrasi, Jogjakarta,Penerbit UII Press, hlm. 92.

131 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, op.cit., hlm. 49-58.

Page 114: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

113

MPR menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan menafsrikan

UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden, menetapkan kebijakan pembangunan

lima tahun dalam bentuk GBHN, dan menjadi kewajiban Presiden untuk

melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya kepada MPR. Sifat

pertanggungjawaban Presiden tidak saja karena dipilih oleh MPR, tetapi lebih dari

itu karena kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara pelaksana kedaulatan

rakyat yang meiliki wewenang menetapkan GBHN sebagai dasar penyelenggaraan

negara yang harus dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Menurut Firdaus, desain

legal semacam ini menyebabkan sifat pertanggungjawaban Presiden kepada MPR

merupakan pertanggungjawaban politik dalam arti pertanggungjawaban (beleids)

Pemerintah.132 Tetapi Bagir Manan menyangkal argumentasi tersebut. Secara

legal, MPR merupakan lembaga perwakilan, tetapi tidak dapat serta merta

disimpulkan bahwa karena Presiden bertanggung jawab kepada MPR sebagai

badan perwakilan rakyat, maka sifat pertanggungjawaban merupakan

pertanggungjawaban politik lazimnya sistem parlementer.133 Diuraikan lebih lanjut

bahwa pertanggungjawaban Presiden kepada MPR terbatas kepada pelanggaraan

yaitu pelanggaran terhadap halauan negara dan atau UUD, sedangkan mengenai

kebijakan (beleids) tidak dapat menjadi dasar meminta pertanggungjawaban.

Kewajiban Presiden untuk bertanggung jawab kepada MPR yang

disimpulkan dari ketentuan Presiden dipilih oleh MPR menurut penulis tidak tepat.

Pendapat ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa Wakil Presiden juga dipilih

oleh MPR. Padahal tidak ada kewajiban bagi Wakil Presiden untuk bertanggung

jawab kepada lembaga yang memilih. Wakil Presiden mempunyai kekuasaan

umum yang sifatnya atributif, namun rincian kekuasaan umum itu diberikan oleh

Presiden dalam bentuk pelimpahan tugas. Hubungan Presiden dengan Wakil

Presiden sifatnya internal. Artinya, segala pelaksanaan atas kekuasaan yang

132 Op.cit., hlm. 149.133 Op.cit., hlm. 114.

Page 115: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

114

diperoleh karena pelimpahan dipertanggungjawabkan oleh Wakil Presiden

terhadap Presiden.

Lebih jauh Suwoto Mulyosudarmo berkeyakinan bahwa walaupun

Presiden bertanggung jawab kepada MPR, lebih didasarkan atas pertimbangan

bahwa Presiden wajib melaporkan kepada pemberi kuasa. Karena pemberia kuasa

dalam hal PPPKI sudah tidak ada lagi, maka logis jika laporan pelaksanaan kuasa

itu disampaikan kepada MPR.134 Selanjutnya ditekankan bahwa wajib lapor

Presiden terhadap MPR hanya sekadar hubungan solodaritas dari pihak yang diberi

kepercayaan terhadap pihak yang memberi kepercayaan dan dengan demikian,

kegunaan dari laporan Presiden adalah sebagai informasi bagi MPR dalam

menghadapi pihak ketiga, yang kemungkinkan akan melakukan gugatan terhadap

MPR selaku pemberi kuasa.135

Pada akhirnya, keyakinan bahwa cara pengisian jabatan Presiden tidak

sepenuhnya mempengaruhi sifat pertanggungjawaban Presiden, terbukti dari

ketentuan Perubahan UUD 1945 Pasal 8 ayat (3) yang menyatakan bahwa MPR

menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden jika kedua

jabatan itu kosong. Tentu saja, secara legal hal ini tidak berarti MPR dapat

meminta pertanggungjawaban Presiden sbegaai lembaga yang memilihnya, kecuali

apabila pernyataan DPR tentang pelanggaran hukum Presiden dibenarkan oleh

MK, dan selanjutnya diajukan DPR ke MPR untuk mengambil keputusan

pemberhentian Presiden.

Dari uraian tersebut, nampak bahwa sifat dan batasan bentuk

pertanggungjawaban Presiden sebelum Perubahan UUD 1945 ditetapkan sebagai

berikut:

134 Op.cit., hlm. 79.135 Ibid., hlm. 80.

Page 116: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

115

Pertama, sifat pertanggungjawaban Presiden di akhir masa jabatannya

wajib disampaikan kepada MPR. Pertanggungjawaban Presiden dalam fungsinya

selaku mandataris MPR sifatnya pertanggungjawaban internal.

Kedua, pertanggungjawaban Presiden selaku Mandataris MPR dalam

hhubungannya dengan pelaksanaan GBHN terbatas pada adanya perencaan Pelita,

karena pada hakekiatnya Pelita merupakan penjabaran dari GBHN.

Ketiga, sanksi pertanggungjawaban dapat berupa pemberhentian Presiden

dari jabatannya. Dalam fungsinya selaku mandataris, Presiden diberhentikan atas

inisiatif MPR, walaupun penarikan mandat oleh MPR tidak berakibat langsung

pemberhentian Presiden dalam fungsinya selaku Kepala Negara dan Kepala

Pemerintahan.

Setelah Perubahan UUD 1945, ketentuan Pasal 1 ayat (2) tersebut

rumusannya menjadi Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar. Menurut Ni’matul Huda, rumusan ini dimaksudkan untuk

mempertegas bahwa: (a) kedaulatan atau kekuasaan tertinggi itu berada dan

berasal atau bersumber dari rakyat seluruhnya; (b) kedaulatan rakyat tersebut harus

pula diselenggarakan atau dilaksanaan menurut ketentuan UUD itu sendiri; dan (c)

organ atau pelaksana prinsip kedaulatan rakyat itu tidak terbatas hanya MPR saja,

melainkan semua lembaga negara adalah juga pelaku langsung atau tidak langsung

kekausaan yang bersumber dari rakyat yang berdaulat tersebut.136 Menurut Bagir

Manan, gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga negara tertinggi

secara konseptual ingin menegaskan, MPR bukan satu-satunya lembaga yang

melaksanakan kedaulatan rakyat karena setiap lembaga yang mengemban tugas-

tugas politik negara dan pemerintahan merupakan pelaksana kedaulatan rakyat dan

harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat.137

136 Op.cit., hlm. 93.137 Op.cit., hlm. 74.

Page 117: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

116

Dari uraian itu tampak bahwa sifat pertanggungjawaban Presiden secara

substantif bukanlah karena adanya pergeseran pemilihan dari sistem perwakilan ke

sistem pemilihan langsung, akan tetapi lebih dekat kepada argumentasi legal

bahwa karena Presiden merupakan salah satu lembaga negara yang mengemban

tugas-tugas politik negara dan pemerintahan merupakan pelaksana kedaulatan

rakyat dan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat.

Selanjutnya, akan dianalisis pertanyaan yang kedua, yaitu jika Presiden

bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya, bagaimana seharusnya

Presiden memberikan pertanggungjawaban. Telah dikemukakan dalam uraian

terdahulu bahwa Perubahan UUD 1945 telah menetapkan fixed term legislature

bagi DPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 7C UUD 1945 sehingga

mempertegas konstitusional mengenai kedudukan DPR sebagai salah satu fungsi

kekuasaan lembaga negara di bidang legislatif yang tidak dapat dibubarkan atau

dibekukan oleh Presiden. Pada sisi lain, normatifikasi Pasal 7C UUD 1945 tadi

juga mencerminkan peneguhan sistem presidensial dengan mana tertutup bagi

Presiden untuk mengintervesi dan mencampuri lembaga legislatif. Karakter politik

terhadap ketentuan-ketentuan UUD 1945 yang memperkuat fungsi dan hak-hak

DPR setelah Perubahan UUD 1945 dimaksudkan dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan bertanggung jawab dengan mana seluruh kebijakan pemerintahan

senantiasa berdasarkankepada kepentingan rakyat secara keseluruhan dengan

keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas perwakilan rakyat yang dipilih

secara bebas dan sederajat, sehingga semua bentuk tindakan pemerintah dalam hal

ini Presiden merupakan pelaksanaan dari kesepakatan antara DPR dan Presiden

seperti undang-undang. Pelaksanaannya senantiasa dalam pengawasan DPR.

Pengawasan dapat melingkupi mulai dari perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan evaluasi.

Berdasarkan analisis tersebut, penulis mengajukan argumentasi bahwa

pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat secara angsung hanya bersifat moral

belaka, tetapi pertanggungjawaban yang sesungguhnya berada dalam setiap

Page 118: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

117

pengawasan DPR dan sah dalam konsep demokrasi sebagai lembaga perwakilan

rakyat. Penulis tidak dapat menerima argumentasi bahwa karena dipilih langsung

oleh rakyat maka pertanggungjawaban Presiden secara politik adalah langsung

kepada rakyat, karena argumentasi semacam ini merupakan sesuatu yang abstrak

dan tidak masuk akal. Argumentasi itu dapat diterima secara terbatas yaitu apabila

pertanggungjawaban dimasukkan ke dalam kategori pengawasan rakyat secara

langsung untuk mengantisipasi kebijakan Presiden yang tidak populer, walaupun

dalam konteks ini pun rakyat tidak dapat memberhentikan Presiden sebelum masa

jabatannya kecuali melalui mekanisme UUD 1945 Pasal 7A dan Pasal 7B.

E. Impeachment terhadap Presiden

Ketentuan Pasal 7A dan Pasal 7B sesungguhnya mengatur mengenai

syarat dan tata cara pemberhentian Presiden. Alasan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,

perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden.

Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,

perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah

Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan

konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-

kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan

bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi

syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR

apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang

dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak

apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang

Page 119: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

118

dituduhkan (Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi).

Munculnya ketentuan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari

adanya keinginan untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan presidensial

yang merupakan salah satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja

MPR (MPR RI, 2003: 24-25). Penegasan sistem pemerintahan presidensial

tersebut mengandaikan adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi

kuat yang dicirikan dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap

(fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan;

(3) adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and

balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment (MPR RI, 2003: 156).

Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan

pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan

normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. Selain itu, proses

pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses

konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa,

mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,

korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya

kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan

disebut dengan istilah impeachment.

1. Pengertian Impeachment

Sebagaimana telah disebutkan, secara historis, impeachment berasal

dari abad ke-14 di Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment

untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang amat

powerful, yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan

Page 120: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

119

merupakan kewenangan pengadilan biasa. Black's Law Dictionary

mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a

public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation

called ‘articles of impeachment”.138 Impeachment diartikan sebagai suatu

proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di

hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses

impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi

sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi, artikel

impeachment adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan

dimulainya suatu proses impeachment.

Di Amerika Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article

2 Section 4 yang menyatakan, “The President, Vice President, and all civil

officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for

and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”.

Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam

pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945

yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan

dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik apabila terbukti telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila

terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

2. Proses di Dewan Perwakilan Rakyat

UUD 1945 mengatur bahwa DPR memiliki tiga fungsi yaitu fungsi

legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan (Pasal 20A ayat (1) UUD

1945). Atas dasar pelaksanaan fungsi pengawasan ini maka DPR dapat

138 Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms andPhrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn.: West Group,hal. 516.

Page 121: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

120

mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7B

ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum

tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan

Perwakilan Rakyat.”

Proses fungsi pengawasan dari DPR dalam rangka usul pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dimulai dari hak menyatakan pendapat

yang dimiliki oleh setiap anggota DPR. Mekanisme pengajuan hak menyatakan

pendapat ini diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.

3. Proses di Mahkamah Konstitusi

Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK

adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan

impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang

mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena

yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.

MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat

tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna madalah lebih

bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk

melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu

pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas

pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.

DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal standing untuk

beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau

Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80 ayat (1) bahwa

”Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah

siapakah yang akan mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah

Page 122: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

121

DPR menunjuk kuasa hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan

MK? Dalam hal penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum mengatur

bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara di MK dapat

didampingi atau diwakili oleh kuasanya (Pasal 43 dan 44, UU Nomor 24 tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi).

Berarti DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment

di MK juga dapat menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya

dalam beracara di MK. Akan tetapi, dengan pertimbangan untuk memberikan

keterangan selengkap-lengkapnya kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih

baik bilamana DPR menunjuk anggota-anggotanya yang terlibat secara intens

dalam rapat-rapat di DPR ketika penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya

anggota-anggota yang mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota

Panitia Khusus yang dibentuk untuk melakukan pembahasan tuduhan

impeachment di DPR.

Bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam proses impeachment di MK? Dari seluruh ketentuan hukum acara

pelaksanaan kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU MK hanya

ada satu ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan MK yang secara

eksplisit menyebutkan adanya termohon yaitu kewenangan MK memutus

sengketa antar lembaga negara. Hal ini berarti bahwa selain kewenangan

memutus sengketa lembaga negara, seluruh pelaksanaan hukum acara

kewenangan dan kewajiban MK bersifat adversarial. Kehadiran atau

pemanggilan pihak-pihak selain pemohon dalam persidangan bukanlah untuk

saling berhadapan dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan bagi

Majelis Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang (cross check) ataupun

memperkaya data-data yang dibutuhkan.

Dengan demikian, dalam proses impeachment di MK kehadiran

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah sebagai

termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan

Page 123: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

122

MK adalah hak bukanlah kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil Presiden

yang mengalami tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan dalam

persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden

menganggap bahwa pendapat maupun keterangan yang diberikan oleh DPR

dalam persidangan MK tidak benar. Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam

persidangan MK maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak

untuk didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk mencegah

adanya distorsi akan lebih baik bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden

hadir dalam persidangan MK sebagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden

diwajibkan hadir untuk memberikan keterangan dalam rapat pembahasan

Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan

Tata Tertib DPR.

Yang menjadi obyek dalam perkara ini adalah pendapat DPR yang

menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan

pelanggaran hukum dan/atau diduga telah tidak lagi memenuhi persyaratan

sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden. Kewajiban MK adalah untuk

memberi putusan atas pendapat DPR ini.

Oleh karena itu ada 3 (tiga) kemungkinan putusan yang dijatuhkan

MK atas perkara ini. Kemungkinan pertama adalah amar putusan MK

menyatakan permohonan tidak dapat diterima bilamana permohonan tidak

memenuhi persyaratan formil sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya atau

sebagaimana mengacu pada pasal 80 UU MK (lihat juga Pasal 83 ayat 1 UU

No. 24/2003).Kemungkinan kedua adalah apabila MK memutuskan bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum

dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan

MK menyatakan bahwa permohonan ditolak (Pasal 83 ayat (2) UU No.

24/2003).Kemungkinan ketiga adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau

Page 124: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

123

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan membenarkan

pendapat DPR (Pasal 83 ayat (2) UU No. 24/2003).

4. Proses di MPR

Apabila MK menjatuhkan putusan membenarkan pendapat DPR maka

DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR setelah

menerima usul DPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan

DPR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah MPR

menerima usulan tersebut. Pimpinan MPR kemudian mengundang Anggota

MPR untuk mengikuti Rapat Paripurna yang mengagendakan memutus usulan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR.

Pimpinan MPR juga mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk

menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya

didalam rapat Paripurna Majelis.

Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir untuk memberikan

penjelasan atas usul pemberhentiannya. Apabila Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, maka Majelis tetap

mengambil putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Pengambilan Putusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden yang diajukan DPR setelah adanya putusan MK dilaksanakan

melalui mekanisme pengambilan suara terbanyak. Persyaratan pengambilan

suara terbanyak itu adalah diambil dalam rapat yang dihadiri oleh sekurang-

kurangnya ¾ dari jumlah Anggota Majelis (kuorum), dan disetujui oleh

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota yang hadir yang memenuhi

kuorum.

Page 125: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

124

BAB V

BIROKRASI DALAM NEGARA KESEJAHTERAAN

A. Pengertian Birokrasi

Kata “birokrasi” secara leksikal mengandung pengertian: (a) Sistem

pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang

pada hirarki dan jenjang jabatan; (b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban,

serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang banyak liku-likunya, dan sebagainya.139

Menurut Blau dan Meyer, birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk

menangani tugas-tugas administrasi dalam skala besar serta mengkoordinasikan

pekerjaan orang banyak secara sistematis.140 Sementara itu, Bintoro

Tjokroamidjojo mengatakan bahwa birokrasi merupakan struktur sosial yang

terorganisir secara rasional dan formal. Jabatan-jabatan dalam organisasi

diitegrasikan ke dalam keseluruhan struktur birokrasi. Dengan demikian, birokrasi

disusun sebagai hirarki otoritas yang terelaborasi yang mengutamakan pembagian

139 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 120.

140 Peter Blau dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta:UI, hlm. 4.

Page 126: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

125

kerja secara terperinci yang dilakukan sistem administrasi, khususnya oleh

aparatur pemerintah.141 Sehubungan dengan hal ini, Miftah Thoha mengatakan

bahwa birokrasi merupakan kepemimpinan yang diangkat oleh suatu jabatan yang

berwenang, dia menjadi pemimpin karena mengepalai suatu unit organisasi

tertentu. Kepemimpinan birokrasi selalu dimulai dari peran yang formal, yang

diwujudkan dalam hirarki kewenangan. Dalam hal ini, kewenangan birokrasi

merupakan kekuasaan legitimasi jika pimpinan mempunyai otoritas berarti efektif

kepeimpinannya.142

Eddhi Sudarto, yang mengutip Weber143,memberikan ciri-ciri birokrasi

sebagai berikut:

1. Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi

didistribusikan melalui cara yang telah ditentukan, dan dianggap sebagai tugas

resmi;

2. Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hirarkis yaitu bahwa unit yang lebih

rendah dalam sebuah kantor berada di bawah pengawasan dan pembinaan yang

lebih tinggi;

3. Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang konsisten dan

mencakup penerapan aturan tersebut dalam kasus-kasus tertentu;

4. Seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya tanpa perasaan-

perasaan dendam atau nafsu dan oleh karena itu, tanpa persaan-perasaan kasih

sayang atau auntianisme;

5. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis didasarkan kepada kualifikasi teknis

dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara sepihak; dan

141 Bintoro Tjokroamidjojo, 1987, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES,hlm. 65.

142 Miftah Thoha, 1987, Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-Dimensi Prima IlmuAdministrasi Negara Jilid II, Jakarta: Rajawali, hlm. 144.

143 Eddhi Sutarto, op.cit., hlm. 139-140.

Page 127: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

126

6. Pengalaman secara universal cenderung mengungkapkan bahwa tipe organisasi

administratif murni yang berciri birokratis dilihat dari sudut pandangan yang

semata-mata bersifat teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.

Pencirian di atas dirangkum oleh Feisal Tamin, ketika mengatakan

bahwa birokrasi merupakan suatu struktur otoritas atau organisasi yang didasarkan

atas peraturan-peraturan yang jelas dan rasional serta posisi-posisi yang dipisahkan

dari orang yang mendudukinya.144 Selanjutnya, dengan mengutip pendapat

Denhard, Feisal Tamin145 mengemukakan bahwa birokrasi ditandai dengan kinerja

yang sarat dengan acuan sebagai berikut:

1. Komitmen terhadap nilai-nilai sosial politik yang telah disepakati bersama

(publicly defined societal values) dan tujuan politik (public purpose);

2. Implementasi nilai-nilai sosial politik yang berdasarkan etika dalam tatanan

manajemen publik (provide an ethical basis for public management);

3. Realisasi nilai-nilai sosial politik (exercising social political values);

4. Penekanan pada pekerjaan kebijakan publik dalam rangka pelaksanaan mandat

pemerintah (emphasis on public policy in carrying out mandate of government);

5. Keterlibatan dalam pelayanan publik (involvement overall quality of public

services); dan

6. Bekerja dalam rangka penanganan kepentingan umum (operate in public

interest).

Konsep birokrasi di atas dapat dikaitkan dengan 4 (empat) fungsi yang

diemban sebuah birokrasi negara, yaitu:146

1. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan

publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan,

komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu;

144 Feisal Tamin, 2004, Reformasi Birokrasi: Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara,Jakarta: Belantika, hlm. 173.

145 Ibid., hlm. 64-65.146 Ibid., 64.

Page 128: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

127

2. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan

profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan;

3. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan

publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasiklannya di dalam

kebijaksanaan dan keputusan pemerintah; dan

4. Fungsi entrepreneurial, yaitu memberi insipirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif

dan non-rutin, megaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan

menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.147

Menurut Mochtar Mas’oed148, birokrasi sebagai aparat negara

mempunyai 5 (lima) kelompok fungsi dengan derajat keaktifan yang berbeda.

Fungsi paling sederhana dengan tingkat keaktifan paling rendah adalah sekedar

melakukan administrasi. Ini adalah gambaran kaum liberal abad ke-18 mengenai

pemerintah yang pasif dan netral. Ia hanya melaksanakan pekerjaan secara

administratif, mencatat statistik, dan menyimpan arsip. Kadang-kadang ia

digambarkan seperti “tukang jaga malam.” Kalau masyarakat sibur bekerja, negara

tidak boleh ikut campur, tetapi kalau masyarakat tidur, negara harus menjaga

keamanan mereka. Ketika negara sedemikian aktifnya, ia melakukan fungsi

arbitrasi dan regulasi. Di sini, ia aktif menerapkan kekuasaan sebagai polisi dan

menyelesaikan sengketa antarberbagai kelompok masyarakat dan mencoba

mengendalikan kegiatan kelompok-kelompok masyarakat itu sehingga tidak

menimbulkan konflik yang terbuka.149

147 Penegasan ini menunjukkan bahwa dalam sistem ekonomi yang kompleks, para pelakuekonomi tidak terbatas swasta saja, melainkan pemerintah yang berperan dalam mengatur agar sistemekonomi berjalan dengan baik. Konsekuensi demikian muncul karena dalam statusnya sebagai aparaturperekonomian negara atau organisasi ekonomi negara, negara mempunyai kekuasaan untuk mencapaitujuan dari kegiatan yang dilakukannya, melakukan monopoli, dan menentukan bentuk sistem danproduk pasar yang berlaku. Periksa: Didik J. Rachbini, “Posisi Pasar dan Negara”, Majalah Gatra, No.17 Tahun 1, 11 Maret 1995, hlm. 5.

148 Mohtar Mas’oed, 2003, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta: PustakaPelajar, hlm. 74.

149 Hal ini dapat mengantarkan kepada suatu analisis tentang usaha pemerintah mengontroloposisi serta mengembangkan strategi untuk mengaitkan kepentingan-kepentingan masyarakat sipil

Page 129: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

128

Dalam tahap perkembangan berikut, negara menjadi lebih aktif dalam

kehidupan ekonomi dengen menerapkan pengendalian finansial, moneter, dan

fiskal.150 Pemerintah lebih aktif mempengaruhi pasar konsumen, volume uang

yang beredar dalam masyarakat, dan pasok kapital. Misalnya, memberi subsidi

suku bunga uang rendah agar investor tertarik melakukan investasi, menetapkan

anggaran belanja negara dengan tujuan merangsang produksi barang dalam negeri,

menetapkan pajak progresif demi pemerataan, dan sebagainya. Tindakan birokrasi

yang paling aktif adalah melakukan tindakan langsung. Dalam hal ini negara

menggunakan sumberdayanya untuk langsung menangani kegiatan ekonomi

maupun militer. Kalau suatu komiditi dinilai strategis bagi kepentingan nasional,

negara turun tangan langsung dalam bisnis komoditi itu.151 Kelima fungsi ini

berkembang menjadi instrumen kekuasaan pemerintah untuk mengintervensi

kegiatan masyarakat.

yang diorganisir menurut persekutuannya dengan struktur yang menentukan dari rezim. Strategisemacam ini disebut sebagai “korporatisme” yaitu suatu strategi yang lebih berkaitan denganpenyelenggaraan perwakilan kepentingan rakyat. Untuk itu negara mengatur dan menciptakankelompok-kelompok kepentingan dengan monopoli tertentu dan hak-hak istimewa dengan ciri-ciri: (1)jumlahnya terbatas; (2) bersifat tunggal; (3) keanggotaan bersifat wajib; (4) tidak saling bersaing; (5)diorganisasikan secara hierarkis; (6) masing-masing kelompok dibedakan berdasarkan fungsinya; (7)memiliki monopoli dalam mewakilkan kepentingan menurut kategori masing-masing; (8) memperolehpengakuan, ijian atau bahkan diciptakan sendiri oleh pemerintah; dan (9) pemilihan kepemimpinan dancara mengajukan tuntutan dikendalikan oleh pemerintah. Dengan menunjuk kepada konfigurasi OrdeBaru, kelompok kepentingan dengan ciri-ciri semacam itu antara lain Korpri (PNS), PWI (wartawan),dan sebagainya. Tentang hal ini periksa: Mohtar Mas’oed, “Hak-hak Politik dalam NegaraHegemonik: Pokok-pokok Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta, 23 September 1984.

150 Ketika melantik menteri Kabinet Indonesia Bersatu hasil reshuffle terbatas pada tanggal7 Desember 2005 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan agar dalam bidangperekonomian dapat direncanakan dan disusun kebijakan yang menyangkut: (1) mempertahankan danmemperbaiki makro-ekonomi yang sehat dengan mengendalikan inflasi; (2) mempertahankankebijakan fiskal dan moneter; (3) arus barang berjalan baik; (4) mengupayakan lapangan kerja baru;(5) meingkatkan pertumbuhan ekonomi; dan (6) meningkatkan neraca transaksi berjalan dan neracamodal. Periksa: Kompas, 8 Desember 2005, hlm. 1. Penegasan ini mengkonfirmasi peran birokrasisebagaimana diuraikan di atas.

151 Hal ini menjadi latar belakang pragmatis kemunculan Badan Usaha Milik Negara(BUMN). Atas dasar keamanan nasional, sejumlah badan usaha yang terkait dengan pelayanan militerdiserahkan sepenuhnya kepada negara. Periksa: Erma Wahyuni dkk, 2003, Kebijakan dan ManajemenPrivatisasi BUMN/BUMD, Yogyakarta: YPAP, hlm. 4.

Page 130: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

129

Konsep dan organisasi birokrasi modern muncul pertama kali di Etopa

pada akhir abad ke-18, yaitu pada masa Revolusi Industri dan Revolusi Prancis.

Sejarawan melihat bahwa birokrasi di Inggris tumbuh dari peristiwa sejarah yang

kebetulan. Karena faktor keturunan, raja-raja dari Hannover di Jerman waktu itu

menjadi Raja Inggris. Kerajaan yang mereka tinggalkan kemudian diperintah oleh

para birokrat. Kendati demikian, ada beberapa sejarawan yang berpendapat bahwa

birokrasi modern Eropa terinspirasi oleh Kekaisaran Chi’ing dengan mandarin-

mandarinnya, yang melakukan tugas atas dasar filsafat Konfusius. Kekaisaran ini

memang memiliki sistem ujian yang ketat bagi calon pegawainya, hal yang juga

diterapkan di dalam birokrasi modern.

Konsep negara dan birokrasi modern di Indonesia dibawa oleh

Marsekal Herman William Daendels, yang melihat dirinya sebagai Napoleon kecil

yang harus menciptakan negara model Napoleon di koloni Hindia Belanda. Secara

tegas di amenciptakan pembagian fungsi, daerah, dan hirarki kekuasaan baik di

kalangan penguasa Belanda (Eropa) maupun bumiputera. Kendati demikian pada

masa pemerintahan Deandels banyak peraturan yang hanya di atas kertas, karena

pertimbangan politik antara penguasa bumi putera dan Belanda belum banyak

berubah.152

B. Negara Kesejahteraan

Menurut Kranenburg, sebagaimana dikutip oleh Muchsan153, negara

pada hakekatnya merupakan suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh

sekelompok manusia yang disebut bangsa. Dalam pandangan ini, causa prima

terjadinya negara adalah sekelompok manusia yang disebut bangsa yang

berkesadaran untuk mendirikan suatu organisasi. Pendirian organisasi tersebut

dengan tujuan pokok memelihara kepentingan dari sekelompok manusia tersebut.

152 Ong Hok Ham, 2002, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi HistorisNusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 19-20.

153 Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah danPeradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, hlm. 2.

Page 131: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

130

Nampak dengan jelas, bahwa fungsi negara adalah menyelenggarakan kepentingan

bersama dari anggota kelompok yang disebut bangsa.154

Upaya memahami perkembangan peranan negara dapat ditelaah dari

perspektif negara hukum atau teori demokrasi konstitusional. Menurut Moh.

Mahfud M.D., pemunculan kembali prinsip demokrasi sebagai prinsip

fundamental kehidupan bernegara telah mengantarkan timbulnya demokrasi

konstitusional yang memberikan lingkup peranan negara secara berlainan.155

Demokrasi konstitusional yang hidup pada abad ke-19 dan dikenal

dengan “negara hukum formal” telah memberikan batasan yang sempit bagi

negara untuk memainkan perannya. Dalam demokrasi dengan negara hukum

formal ini, pemerintah bersikap pasif, hanya menjadi panitia kecil pelaksana

keinginan masyarakat yang diperjuangkan secara liberal sehingga negara atau

pemerintah lebih diberi sifat sebagai penjaga malam (nachtmachterstaat) karena

penan yang kecil dan kedudukannya yang berada di bawah pengaruh rakyat

(pluralisme liberal). Pembatasan terhadap fungsi negara “penjaga malam” itu pada

akhirnya berkembang tidak hanya meliputi bidang politik tetapi juga bidan

ekonomi. Dalam bidang yang terakhir ini, paham serupa juga berkembang secara

bersamaan, yaitu paham laizzes faires yang mendalilkan bahwa negara harus

membiarkan atau membebaskan warganya untuk mengurus kepentingan ekonomi

masing-masing agar keadaan ekonomi dalam negarta itu menjadi sehat. Tetapi

keadaan ini berubah dengan munculnya paham demokrasi konstitusional pada

abad ke-20 yang merupakan reaksi terhadap paham negara hukum formal.

Bersamaan dengan berkembangnya konsep negara “jaga malam” itu muncul juga

gejala kapitalisme di lapangan perekonomian yang secara perlahan-lahan

menyebabkan terjadinya kepincangan dalam pembagian sumber-sumber

kemakmuran bersama. Akibatnya, timbul jurang kemiskinan yang kian

154 Ibid.155 Moh. Mahfud M.D. Demokrasi dan Konstitusi, op.cit., , hlm. 131.

Page 132: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

131

menunjukkan kecenderungan yang semakin tajam dan sulit dipecahkan oleh

negara yang difungsikan secara minimal itu. Kenyataan itu, mendorong

munculnya kesadaran baru mengenai pentingnya keterlibatan negara dalam

menangani dan mengatasi masalah ketimpangan ini. Negara dianggap tidak dapat

melepaskan tanggung jawabnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Negara perlu turut campur dalam mengatur sumber-sumber kemakmuran agar

tidak dikuasai oleh segelintir orang. Bersamaan dengan itu muncul juga aliran

sosialisme yang sangat menentang individualisme dan liberalisme yang dianggap

menyebabkan munculnya kapitalisme dan melahirkan penindasan terhadap rakyat

miskin serta bahkan menciptakan kemiskinan itu sendiri. Karena itu, atas pengaruh

sosialisme ini, muncul konsepsi baru mengenai demokrasi dan negara sejak

permulaan abad ke-20 yang dikenal juga sebagai “negara hukum material” atau

negara kesejahteraan (Welfare state).

Salah satu persoalan yang dihadapi oleh birokrasi sekarang ini adalah

bahwa birokrasi pemerintahan tidak berprakarsa dan tidak inovatif dan terlalu

sering menggunakan kemampuan mereka untuk menghancurkan gagasan-gagasan

baru, termasuk perubahan.156 Kesulitan utama dalam membuat perubahan karena

ada gap yang besar diantara harapan warganegara, persepsi, dan realitas. Dalam

konteks ini, kebijakan baru dan perubahan organisasi perlu untuk membangun

akuntabilitas yang lebih jelas, memberikan visibilitas terhadap suatu program baru,

mengurangi duplikasi, atau mengkonsolidasikan semuanya untuk memperbaiki

pelaksanaan pemerintahan. Untuk menilai sejauh mana daya tanggap birokrasi

terhadap perubahan dan kebutuhan, maka dewasa ini diperkenalkan konsep

“kinerja sektor publik.”

Menurut Rue dan Byars, sebagaimana dikutip oleh Chaizi Nasucha157

menyatakan bahwa kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi.

156 Paimin Napitupulu, op.cit., hlm. 140.157 Chaizi Nasucha, 2004, Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktik, Jakarta:

Grasindo, hlm. 24.

Page 133: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

132

Diuraiakan lebih lanjut, bahwa kinerja bagi setiap organisasi merupakan kegiatan

yang sangat penting terutama penilaian ukuran keberhasilan suatu organisasi

dalam batas waktu tertentu. Singkatnya, kinerja berhubungan dengan prestasi

kerja.158 Sementara itu, konsep produktivitas sektor publik didasarkan kepada

asumsi-asumsi normatif yang menyatakanbahwa organisasi publik tidak

sepenuhnya otonom, akan tetapi dikuasai oleh faktor-faktor eksternal. Organisasi

publik secara hukum diadakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat

dan tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan organisasi publik lainnya.

Kesehatan suatu organisasi publik diukur berdasarkan konstribusinya terhadap

tujuan politik dan kemampuannya mencapai hasil yang maksimal dengan sumber

daya yang tersedia. Produktivitas organisasi dalam sektor publik diukur dari segi

kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, terutama sejauh mana hasil

tersebut dapat dicapai dengan standar yang diinginkan.159 Berkaitan dengan hal ini,

kinerja sektor publik memerlukan pengukuran, bertujuan untuk membantu manajer

publik dalam menilai suatu pencapaian strategi melalui instrumen finansial dan

nonfinansial. Menurut Mardiasmo160, pengukuran kinerja sektor publik

mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Membantu memperbaiki kinerja pemerintahan agar kegiatan pemerintah

terfokus kepada tujuan dan sasaran program unit kerja;

2. Pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan; dan

3. Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi

kelembagaan.

Berkaitan dengan kinerja birokrasi, di Indonesia ternyata kualitasnya

masih buruk. Dengan mengambil fokus kepada birokrasi investasi, survei The

158 Prajudi Atmosudirjo, “Membangun Visi dan Reorientasi Kinerja Aparatur Daerah,Menjawab Tantangan Masyarakat Indonesia Baru”, Manajemen Pembangunan, No. 19 Tahun V,April, Jakarta: Bappenas, hlm. 11.

159 Azhar Kasim, “Reformasi Adminiostrasi Negara sebagai Prasyarat Upaya PeningkatanDaya Saing Nasional”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIP UI, Jakarta, 1998, hlm. 19-20.

160 Mardiasmo, 2001, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi, hlm. 121.

Page 134: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

133

Political and Economic Risk Consultancy Ltd yang mengambil 1.000 responden

ekspatriat di Asia, Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk. Dalam survei

tersebut, digunakan skala penilaian 0 sampai dengan 10. Semakin mendekati

angka 10, maka sistem birokrasi negara tersebut semakin buruk.161 Dalam laporan

itu, antara lain dikatakan bahwa birokrasi “hidup” sangat baik di Asia, tidak peduli

dengan apa pun bentuk sistem politik di negara tersebut. Pemerintah yang

seharusnya memberikan pelayanan publik sepertinya lebih bertindak sebagai

penguasa dan bukan pelayan. Kebijakan yang dikeluarkan sepertinya bukan

mempermudah, melainkan mempersulit investor. Dengan tingginya biaya formal

yang harus dikeluarkan, para pengusaha akhirnya lebih memilih jalur formal.

Tidak heran, jika negara yang buruk birokrasinya memiliki korelasi yang besar

dalam hal tingkat korupsi tinggi.

Survei sejenis pernah dilakukan oleh Bank Dunia yang menunjukkan

bahwa untuk mulai investasi di Indonesia pengusaha harus melewati 12 prosedur

yang memerlukan waktu 151 hari. Dalam hal biaya, prosedur panjang ini setara

dengan 130,7% dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Para investor juga

menaruh uangnya minimal 125,7% dari pendapatan per kapita di bank untuk

memperoleh ijin berusaha. Untuk menutup usaha membutuhkan waktu 6 (enam)

tahun dan melewati sebanyak 34 prosedur. Berikut ini disajikan tabel kinerja

prosedur dan birokrasi di Indonesia:

Tabel 1

Perbandingan Pendirian Usaha

Fokus Indonesia Rata-rata regional

Jumlah prosedur 12 8Waktu (hari) 151 51Rasio biaya terhadappendapatan per kapita (%)

130,7 48,3

Sumber: Kompas, 2 Juli 2005

161 Kompas, 2 Juli 2005.

Page 135: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

134

Tabel 2

Penilaian Birokrasi di Asia

Negara Nilai

Singapura 2,2Hongkong 1,1

Jepang 4,6Korea Selatan 4,9

Taiwan 5,5Thailand 5,6Filipina 6,2

Malaysia 6,45China 7,3

Vietnam 7,63Indonesia 8,2

India 8,92Sumber: Kompas, 2 Juli 2005

Sehubungan dengan masalah tersebut, maka Siti Zahro dari Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)162 menyatakan bahwa untuk memperbaiki

kinerja birokrasi perlu dilakukan reformasi seluruh sistem birokrasi melalui

reformasi hukum yang mendukungnya. Hal itu dilakukan dengan 3 (tiga) cara,

pertama, pola pikir abdi negara yang mengabdi kepada penguasa atau partai

politik yang berkuasa harus diubah menjadi mengabdi kepada rakyat163. Kedua,

bagaimana menjadikan birokrat profesional164 dengan orientasi kerja yang optimal

162 “Saatnya Birokrasi direformasi”, Kompas, 10 Desember 2005, hlm. 4.163 Sebagai contoh dewasa ini adalah kebijakan impor beras. Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menegaskan bahwa negara harus melindungi petani. Mereka tidak boleh menderita karenasebuah kebijakan. Lihat: “Impor Beras: Petani Jangan Jadi Korban Kebijakan”, Kompas, 10 Desember2005, hlm. 1.

164 Arah kebijakan penataan menuju birokrasi yang profesional ditegaskan dalam Butir ke-8Penjelasan Umum UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian, yaitu,”Undnag-Undang inimenegaskan bahwa untuk menjamin manajemen dan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil (PNS),maka jabatan yang ada dalam organisasi pemerintahan, baik jabatan struktural maupun jabatanfungsional, merupakan jabatan karier yang hanya dapat diisi atau diduki oleh PNS dan/atau PegawiNegeri yang telah beralih status sebagai PNS.” Tuntutan profesionalisme pegawai negeri semakindiperkokoh dengan keberadaan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Page 136: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

135

dan tidak bekerja suatu kewajiban linear165. Ketiga, mendekatkan birokrasi dengan

rakyat166. Dengan reformasi tersebut, maka diharapkan peran birokrasi akan selalu

inovatif dan bisa “menembus ortodoksi kebijakan publik.”167 Pada titik ini

diharapkan akan terbentuk kepercayaan rakyat kepada sistem birokrasi yang ada.

Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah diwujudkan antara lain

dalam bentuk respon masyarakat terhadap kebijakan publik. Dalam hal ini perlu

dipahami bahwa operasionalisasi kewenangan birokrasi selalu berbentuk tindakan

hukum berupa kebijakan publik. Dalam hal ini, kebijakan publik mewrupakan isi

atau materi dsari keputusan-keputusan publik yang dibuat dan diimplementasikan

oleh pemerintah, baik untuk berbuat sesuatu maupun untuk tidak berbuat sesuatu.

Berbicara tentang respons masyarakat terhadap kebijakan publik berarti berbicara

partisipasi masyarakat dalam proses politik karena respon merupakan wujud dari

bentuk partisipasi politik di dalam kehidupan bernegara.

Paling tidak sejak awal 1980-an, di kalangan pelajar dan ilmuwan

politik berkembang 2 (dua) asumsi. Pertama, bahwa kebijakan berperan penting.

Artinya, pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah menentukan keberhasilan

165 Atas hal ini dapat memunculkan netralitas birokrasi sehingga birokrasi dapat beridiri diatas semua golongan dan politik. Meskipun demikian, sebagai warganegara, aparatur birokrasi tetapmempunyai hak memilih dan hak dipilih, tidak buta politik, dan senatiasa mengikuti perkembanganpolitik supaya tidak mudah dipermainkan oleh tarik menarik kepentingan politik yang ada. Periksa:Feisal Tamin, op.cit., hlm. 155.

166 Sehubungan dengan hal ini adalah bagaimana mendekatkan birokrasi dengan rakyatmelalui komunikasi yang baik sehingga program pembangunan dapat diterima oleh masyarakat.Sebagai contoh, kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi D.I. Jogjakarta untuk membangun lahan parkirbawah tanah di Alun-Alun Utara Yogyakarta ternyata menimbulkan kontroversi antaramempertahankan kebudayaan dengan realitas kebutuhan penataan kota. Menurut Sri SultanHamengkubuwono X, Gubernur sekaligus raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, para pihak yangmengkritiknya “…terkesan melupakan realita yang kita hadapi sehari-hari tentang parkir ‘di atas’Alun-alun yang kumuh dan kotor…Bahwa pembangunan ‘parkir bawah tanah’ akan mengurangibahkan menghilangkan makna kesakralan poros filosofi imajiner Kraton-Tugu. Sebaliknya, terhadapkeberadaan Alun-alun Utara yang kumuh dan kotor sekarang ini, mereka lupa melihatnya sebagai halyang mengganggu kesakralan itu. Selengkapnya, lihat Sultan Hamengkubuwonoo X, “Alun-AlunUtara Yogyakarta: Antara Wacana dan Realita”, Kompas, 9 Desember 2005, hlm. 68.

167 Purwo Santoso (Ed.), 2005, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik, Yogyakarta:FISIP UGM.

Page 137: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

136

atau kegagalan pembangunan. Kedua, keberhasilan atau kegagalan pembangunan

disebabkan oleh kegagalan pemerintah (atau lembaga non-pasar) untuk

menyesuaian mekanisme kerjanya terhadap dinamika pasar. Argumen terakhir

inilah yang kemudian mendorong terjadinya reformasi birokrasi.168

Dalam hal ini, kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan publik, yaitu

pilihan yang dilakukan oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye

menyebutkan bahwa hal-hal yang ditetapkan untuk tidak dilakukan oleh

pemerintah adalah termasuk juga kebijakan publik karena sesuatu yang tidak

dilaksanakan oleh pemerintah itu akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama

besarnya dengan sesuatu yang dilakukannya.169 Menurut Mifthah Thoha170,

kebijakan pemerintah merupakan alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat

sehingga semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan

adalah hasil alokasi nilai-nilai. Jika diuraiakan secara rinci, kebijakan itu

meliputi171:

1. Rancangan tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program pemerintah yang

berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh masyarakat;

2. Apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan; dan

3. Masalah-masalah kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, kebijakan publik

mempunyai implikasi sebagai berikut:172

1. Kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya merupakan penetapan tindakan-

tindakan pemerintah;

168 Mochtar Mas’oed, op.cit., hlm. 53-54.169 Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Eanglewood Cliffs: Prentice Hall

Inc., hlm. 3.170 Mifthah Toha, 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 60.171 M. Irfan Islammy, 1984, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta:

Bina Aksara, hlm. 26.172 Ibid., hlm. 26-27.

Page 138: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

137

2. Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam

bentuk yang nyata;

3. Kebijakan publik itu baik yang untuk melakukan sesuatu maupun untuk tidak

melakukan sesuatu dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; dan

4. Kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh

anggota masyarakat.

Menurut Shafritz dan Hyde173kewenangan dalam pengambilan suatu

kebijakan terkait dengan peran pemerintah sebagai agen pembuat peraturan publik

dan sekaligus sebagai agen pendorong hubungan sosial. Pemerintah sebagai agen

pembuat peraturan publik mempunyai kewenangan untuk membuat suatu

kebijakan yang dituangkan dalam perangkat peraturan hukum. Peran pemerintah

sebagai agen pendorong hubungan sosial adalah menyerap dinamika sosial dalam

masyarakat yang akan dijadikan acuan pengambilan suatu kebijakan agar terdapat

tata hubungan sosial yang harmonis. Menurut Bambang Sunggono174, terdapat 10

(sepuluh) pengertian kebijakan publik, yaitu:

1. Kebijakan sebagai merek suatu bidang kegiatan tertentu;

2. Kebijakan sebagai pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang

dikehendaki;

3. Kebijakan sebagai suatu usulan-usulan khusus;

4. Kebijakan sebagai keputusan pemerintah;

5. Kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal;

6. Kebijakan sebagai program;

7. Kebijakan sebagai keluaran;

8. Kebijakan sebagai hasil akhir;

9. Kebijakan sebagai teori atau model; dan

173 Sharifritz dan Hyede, 1978, Classic of Public Administration, California: Brooks/ColePublishing Co., hlm. 60.

174 Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.15-20.

Page 139: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

138

10. Kebijakan sebagai proses.

Dari sepuluh pengertian tersebut, maka kebijakan publik lebih

mengacu kepada pengertian keempat dan keenam, yaitu bahwa kebijakan publik

merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah program. Dengan

demikian, kebijakan publik merupakan keputusan (formal) pemerintah yang berisi

program-program pembangunan sebagai realisasi dari fungsi atau tugas negara

serta dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.

Menurut Mackenzie175 kebijakan publik tidak selalu identik dengan

hukum. Hukum merupakan petunjuk bagi kebijakan publik atau suatu pernyataan

yang diharapkan oleh pembentuk hukum menjadi kebijakan. Di samping itu,

peranan pelaksana dalam perumusan hukum tidak sebesar peranan pelaksana

dalam perumusan kebijakan publik. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan

filosofi dalam penyusunan aturan hukum dan kebijakan publik. Aturan hukum

lebih banyak didasarkan kepada nilai-nilai normatif yang relatif universal, seperti

baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh, dan sebagainya, sementara kebijakan

publik lebih bersifat politik, di mana terlibat berbagai kelompok kepentingan yang

berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan.

Partisipasi politik mempunyai arti sangat penting di negara-negara

demokrasi, karena tingkat partisipasi politik masyarakat dapat menunjukkan

tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijaksanaan pemerintah. Bahkan dapat

dikatakan bahwa tingkat partisipasi politik akan menentukan apakah suatu

pemerintah legitimated atau tidak. Besarnya partisipasi masyarakat ini akan sangat

dipengaruhi oleh tingkat kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat

dalam suatu negara.176

175 G. Calvin Mackenzie, 1986, American Government: Politicsa and Public Policy, NewYork: Random House, hlm. 3-4.

176 Ibid., hlm. 218-219.

Page 140: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

139

Menurut Graham K.A. dan S.D. Philips, sebagaimana dikutip oleh Leo

Sutanto177 partisipasi masyarakat dapat dikatakan sebagai the continued active

involvement if citizens in making the policies which effect them. Pada dasarnya

tujuan partisipasi masyarakat sangatlah beragam, meliputi berbagi informasi,

akuntabilitas, legitimasi, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, hingga berbagi

kekuasaan secara nyata. Partisipasi ini dapat berlangsung di beberapa arena, yaitu

pertama, praktik operasional yang menyangkut perilaku dan kinerja pegawai

dalam institusi publik, keterandalan dan keteraturan pelayanan, fasilitas bagi

pengguna jasa dengan kebutuhan tertentu, dan lain sebagainya. Kedua, keputusan

pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang didelegasikan. Ketiga,

pembuatan kebijaksanaan yang menyangkut tujuan-tujuan strategis bagi

pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu serta prioritas pembelanjaan dan

keputusan alokasi sumber daya lainnya.178

Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders yaitu

mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan. Policy

stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah,

maupun dari lingkungan publik (bukan pemerintah) seperti partai politik,

kelompok kepentingan, pengusaha, dan sebagainya. Proses untuk mempengaruhi

kebijakan publik inilah yang pada hakikatnya merupakan proses politik.179

Menurut James E. Anderson180 menyebut adanya 6 (enam) faktor yang

mendorong kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan negara, yaitu:

1. Adanya respek terhadap otoritas dan keputusan badan pemerintah. Jika

pemerintah telah terdidik untuk mengakui otoritas tersebut, mereka akan malu

177 Leo Sutanto, “Partisipasi Publik dalam Proses Menuju Indonesia Baru: EvaluasiPerkembangan Pemerintahan”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005, hlm. 81.

178 Ibid., hlm. 82.179 Tri Widodo Utomo, “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan Kewenangan Pemerintah

Menurut Hukum Administrasi Negara”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005, hlm. 34.180 James E. Anderson, 1966, Cases in Public Policy Making, New York: Praeger

Publisher, hlm. 114-117.

Page 141: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

140

untuk melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap keputusan-keputusan

pemerintah;

2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijaksanaan yaitu penerimaan secara

logis bahwa kebijaksanaan tersebut memang diperlukan oleh pemerintah untuk

kepentingan warganya;

3. Adanya keyakinan bahwa kebijaksanaan itu dibuat secara sah dan

konstitusional oleh organ yang berwenang sehingga masyarakat bersedia untuk

mematuhinya;

4. Adanya kepentingan pribadi yaitu kesesuaian antara kebijaksanaan publik

dengan kenginan pribadi-pribadi anggota masyarakat;

5. Adanya ancaman sanksi bagi yang tidak mematuhi kebijaksanaan publik

tersebut serta adanya keinginan untuk tidak dicap sebagai tukang melanggar

hukum; dan

6. Karena lampaunya waktu sehingga masalah yang dulu ditolak atau

kontroversial pada saatnya, setelah lampau waktu tertentu, dapat diterima

secara wajar dan ditaati.

Sementara itu, Anderson181 juga mencatat adanya 5 (lima) faktor yang

menyebabkan masyarakat tidak mentaati suatu kebijaksanaan negara, yaitu:

1. Karena bertentangan dengan sistem nilai masyarakat seperti bertentangan

dengan ajaran agama yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan182;

181 Ibid., hlm. 117-119.182 Dalam hal ini, salah satu faktor yang menentukan adalah relasi agama-negara. Penulis

ingin memberikan contoh bagaimana hubungan antara negara dan agama Islam. MenurutAbdurrahman Wahid, ada 4 (empat) pola hubungan antara Islam dan negara. Pola pertama adalahtumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil. Artinya kampung kecil yangpenduduknya muslim lambat laun berkembang menjadi kota dan akhirnya pusat-pusat kerjaan, sepertiParelak, Samuderai Pasai di Aceh, di mana hukum negara adalah hukum agama. Tidak ada konflikantara hukum agama dan hukum adat karena memang tidak dikenal atau tidak ada hukum adat. Polayang kedua adalah sebagaimana terjadi di Sumatera Barat, di mana agama Islam menghadapi hukumadat karena tidak ada pusat kekuasaan atau kerajaan besar yang bisa memenangkan adat atau syariah.Akhirnya, yang menyelesaikan adalah Belanda pada tahun 1836, sekaligus menyudahi Perang Paderi,di mana secara formal keduanya diakui yaitu dalam kata-kata adat bersendi syara’ dan syara’ bersendiKitabullah. Itu artinya, eksistensi hukum adat diakakui asal tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Page 142: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

141

2. Karena ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, yaitu patuh secara ketat

terhadap bidang hukum tertentu, tetapi tidak patuh terhadap bidang hukum yang

lain.183 Misalnya, kepatuhan terhadap hukum pidana lebih ketat dibandingkan

kepatuhan terhadap hukum agama;

3. Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok yang ide-idenya kadang-

kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum atau keinginan

pemerintah184;

4. Karena ada kecenderungan untuk mencari untung dengan cepat sehingga

menimbulkan tingkah laku suka menerobos atau melanggar hukum dan

ketentuan-ketentuan yang dilakukan oleh pemerintah185; dan

Pola yang ketiga adalah pola kerajaan Gowa yang sekarang diteruskan oleh kerajaan SemenanjungMalaysia. Pada awalnya ada kerajaan kuat yang menganut adat istiadat pra- Islam. Kemudian, lewatperdagangan, perkawinan, dan aliansi-aliansi ekonomi antara kalangan istana dan orang Islam.Berangsung-angsur memunculkan kerajaan yang di satu sisi menganut ajaran Islam, tetapi adat istiadatsebelumnya tidak ditolak. Selanjutnya, pola keempat adalah sebagaimana terjadi di Jawa, terutamasemenjak berdirinya Kerajaan Mataram (Islam) di bawah Panembahan Senopati. Ada agama bayangan(tradisi pra-Islam dan Hindu) dan agama formal (Islam) yang melahirkan budaya Kraton. Adakebebasan bagi rakyat, asalkan ada kepatuhan mutlak terhadap raja. Periksa: Abdurrahman Wahid,1999, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo, hlm. 107-108.

183 Sebagai contoh penolakan masyarakat, antara lain pemogokan oleh guru negeri,terhadap Perda Kabupaten Lombok Timur No. 9 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Zakat. Perda ituditindaklanjuti oleh Bupati Ali bin Dahlan yang menetapkan kewajiban PNS untuk menyetor 2,5% darigajinya sebagai zakat profesi. Inti persoalan dimulai dari syariah Islam, di mana mengenai penetapangolongan yang layak dan mampu membayar zakat (muzakki). Di dalam UU No. 38 Tahun 1999tentang Pengelolaan Zakat, dikatakan bahwa setiap warganegara yang mampu wajib mengeluarkanzakat, termasuk penghasilan tiap bulan yang diterima PNS. Masalahnya, nishab (batas minimum) gajiyang harus dizakati tidak diatur jelas. Jika menggunakan nishab emas, maka beratnya adalah 92 gramatau setara 815 kg beras. Dengan patokan ini, maka gaji PNS yang terkena nishab adalah gaji minimalRp 1 juta. Sementara itu, Pemda Kabupaten Lombok Timur menggunakan ukuran gaji kotor, padahaldalam praktik, banyak PNS yang hanya menikmati gaji ratusan ribu saja karena dipotong gajinya atasberbagai pengeluaran. Reportase masalah ini, periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm. 52-53.

184 Sebagai contoh dapat dilihat pada Gerakan Intifadah di Palestina sejak tahun 1987, yangterlihat semakin radikal dalam peningkatan konflik dan kekerasan melawan Israel. Gerakan ini seringdiasosiakan dengan kelompok Hamas (Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah, atau gerakanperlawanan Islam), Jihad Islam, dan kelompok-kelompok Islam lain. Periksa: Azyumardi Arza,“Dilema Negara Yahudi”, Kata Pengantar dalam Musthafa Abd. Rahman, 2002, Dilema Israel:Antara Krisis Politik dan Perdamaian, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. xxii-xxiii.

185 Di Jepang, untuk mengendalikan birokrasi agar tidak berperilaku menerabas, misalnyamenerima suap, maka pada tahun 2000 telah ditetapkan UU tentang Dewan Etika Pegawai NegeriNasional. Dewan ini terdiri atas 5 (lima) orang, termasuk seorang ketua yang diangkat dari pensiunan

Page 143: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

142

5. Karena adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan ukuran kebijaksanaan

yang satu dan lainnya saling bertentangan. Di samping itu, ada perbedaan

pandangan dan kepentingan sering pula menjadi faktor penyebab tidak

ditaatinya suatu kebijaksanaan publik karena timbulnya penafsiran yang

berbeda-beda.186

Partisipasi masyarakat, yang dalam aspek yang lain adalah pemberian

kesempatan kepada rakyat untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan

pemerintah, merupakan salah satu faktor struktural yang bersifat pelembagaan

politik agar birokrasi tidak berlaku korup.187 Di sebagian besar negara, birokrasi

cenderung lebih kuat dibandingkan lembaga-lembaga yang lain sehingga

seringkali ia lepas dari kontrol masyarakat.188 Lebih dari itu, terutama di negara

hakim. Unsur keanggotaan yang lain, yaitu akademisi, buruh, pengusaha, dan wartawan. Dewandilengkapi dengan sekretariat dan hampir 80 orang staf, termasuk penyelidik. Tugas utama dewanadalah menyusun kode etik PNS, melakukan riset dan penelitian untuk memelihara perilaku beretikatinggi pegawai negeri, mengkoordinasikan pelatihan etika bagi PNS, memeriksa kinerja PNS,menyusun dan menyempurnakan aturan dan sanksi terhadap dugaan pelanggaran atura dan etika, danmemberikan petunjuk dan usulan kepada setiap departemen dalam menyelenggarakan disiplin danetika masing-masing.

186 Di Indonesia, dewasa ini berkembang isu dwifungsi politisi, sebuah istilah yangdigelorakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menunjuk adanya fenomena banyaknyapejabat yang berasal dari pengusaha. Untuk mencegah konflik kepentingan, maka Presiden akanmengeluarkan Inpres yang mengatur praktik bisnis pejabat. Ada 2 (dua) hal yang akan diatur yaitu (1)keikutsertaan pejabat negara secara langsung atau tidak langsung dalam proyek pemerintah yangdibiayai oleh anggaran negara; dan (2) aturan-aturan untuk memastikan agar tidak ada pejabat atauanggota keluarga pejabat yang memetik keuntungan dari informasi yang mereka ketahui. MenurutRomli Atmasasmita, sebenarnya produk hukum itu tidak perlu mengingat untuk hal sejenis sudah adasederet aturan, namun “mati” dalam pelaksanaan. Misalnya PP No. 6 Tahun 1974. Peraturan ini jelas-jelas melarang PNS Gol. IV/a ke atas, anggota ABRI berpangkat Letnan Dua keatas, pejabat, sertaisteri pejabat eselon I dan perwira tinggi ABRI untuk berbisnis dan memiliki atau mengawasiperusahaan swasta. Selain itu ada aturan pelaporan kekayaan pejabat negara (UU No. 28 Tahun 1999),larangan penyelnggara negara menerima hadiah/gratifikasi (UU No. 20 Tahun 2001), dan sumpahjabatan yang membatasi ruang gerak pejabat dalam berbinis. Periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm.8.

187 Mohtar Mas’oed, op.cit., hlm. 174.188 Korupsi, terutama di lingkungan birokrasi, merupakan “musuh” umat manusia, jadi

tidak tergantung ideologi atau sistem politik. Bahkan di negara yang libnertarian pun, korupsi menjadisesuatu yang amat dibenci. Sebagai contoh, di Kanada dewasa ini, di mana partai oposisi (Konservatif,Demokratik Baru, dan Block Quebecois), menumbangkan pemerintahan Perdana Menteri Paul Martindari Partai Liberal (yang sudah berjaya selama 12 tahun) melalui mosi tidak percaya karena korupsi

Page 144: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

143

yang sedang membangun, birokrasi berposisi sangat sentral karena dalam proses

itu ia bukan bertanggung jawab merencanakan pembangunan saja, tetapi juga

dalam mencari dana invetsasi, menetapkan arah investasi, bahkan ia sendiri

menjadi investor atau entrpreneru dengan mendirikan perusahaan negara. Dalam

kaitan ini, pemerintah juga merupakan sumber pekerjaan bagi banyak perusahaan

yang menggantungkan kepada kontrak pemerintah, selain juga memberi lapangan

kerja bagi mereka yang ingin menjadi pegawai negeri.

Untuk membuka partisipasi masyarakat tersebut, maka diperlukan

prasyarat yang terbuka, antara lain lewat proteksi hukum terhadap hak masyarakat

untuk aktif dalam berekspresi, mengakses informasi, dan mendistribusikannya.

Kebebasan mengakses informasim erupakan modal sosial untuk mewujudkan

transparansi kebijakan, akuntabilitas pemerintahan, peraturan hukum yang kuat,

suara rakyat, dan kesampatan yang setara untuk beraktualisasi.

Di Indonesia, hak masyarakat atas informasi telah mendapatkan

pengakuan di dalam Pasal 28F UUD 1945. Beberapa undang-undang sektoral juga

mengakui hak publik atas informasi. Misalnya, UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih KKN, dan UU No. 14 Tahun 2008 tentang

Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Ada sekitar 17 undang-undang sektoral

yang telah menegaskan ha masyarakat atas informasi. Meski demikian, berbagai

peraturan perundang-undangan tersebut tak cukup kuat sebagai landasan hukum

bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dikelola lembaga publik.

Klausul tentang kebebasan informasi dalam peraturan perundang-undangan

sektoral tersebut bersifat umum dan sebatas mengakui hak masyarakat. Peraturan

perundang-undangan itu tidak berbicara tentang mekanisme yang baku dan jelas

sebesar Can$ 250 juta (setara Rp 2,1 trilyun) dan dilakukan oleh Perdana Menteri sebelumnya, JeanChretien pada 1997-2001. Periksa: Tempo, 11 Desember 2005, hlm. 135.

Page 145: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

144

tentang informasi yang dapat diperoleh oleh masyarakat, bagaimana prosedur

untuk memperolehnya, lembaga mana yang dapat memberi informasi, dan apakah

sanksinya jika lembaga atau pejabat publik tidak melayani permintaan informasi

dari masyarakat. Bagaimana mekanisme hukum dari masyarakat yang tidak

mendapatkan informasi secara baik.

Peran yang demikian besar mendorong pertumbuhan birokrasi

pemerintah. Dikaitkan dengan welfare state, birokrasi ialah yang mengatur cara

mencari nafkah, mengolah sumber-sumber ekonomi, dan sekaligus menjamin

tingkat kemakmuran semua warga.189Dengan kata lain, fungsi “zorgen” membawa

akibat kekuasaan pemerintah seolah-olah tidak terbatas asalkan kekuasaan tersebut

ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kenyataannya,

pengertian dan makna kesejahteraan masyarakat ini diidentikkan dengan

kepentingan umum. Demi kepentingan umum, pemerintah dapat berbuat apa saja.

Kepentingan umum menghalalkan segala cara.190 Hal inilah yang menjadi

pertimbangan perlunya pembentukan pemerintahan yang bertanggung jawab.

Sejak dulu kursi kekuasaan bukanlah sesuatu yang bersih. Mereka

yang duduk di sana selalu berlomba dengan melakukan persekongkolan dan

kelicikan, agar tumbuh cepat menjadi kelompok istimewa. Hal ini sejalan dengan

pendapat Lord Acton, sebagaimana dikutip oleh Sjachran Basah191, bahwa setiap

kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Dalam melaksanakan

tindakannya pemerintah memerlukan keleluasaan dan kekuasaan dalam

menentukan kebijakan-kebijakannya. Akan tetapi, dalam suatu negara hukum192,

189 Ong Hok Ham, op.cit., hlm. 19.190 Muchsan, 1998, “Pembatasan Kekuasan dalam Negara Kesejahteraan”, dalam Dahlan

Thaib dan Mila Karmila Adi (Eds.), Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: FH UII, hlm. 106.191 Sjahran Basah., 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi

Negara” Orasi Ilmiah, Bandung: UNPAD, hlm. 2.192 Dalam pembicaraan negara hukum di Indonesia di kalangan ahli muncul 2 sikap.

Pertama, ahli yang tidak mempersoalkan padanan kata istilah negara hukum, seperti Ismail Sunny danSunaryati Hartono yang menyamakan istilah “negara hukum” dengan the rule of law. Periksa dalam:Ismail Sunny, 1982, Mencari Keadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 123; Sunaryati Hartono, 1976,

Page 146: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

145

merupakan suatu syarat bahwa setiap tindakan pemerintah itu haruslah dapat

dipertanggungjawabkan.193

Kerangka rasional utama pemerintahan dewasa ini adalah demokrasi.

Menurut Deliar Noer194 demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya

memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan

dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam

menilai kebijaksanaan pemerintahan negara oleh karena kebijaksanaan itu

menentukan kehidupan rakyat. Dalam suatu pemerintahan yang demokratis, inti

persoalan utama adalah membuat pemerintah tunduk kepada masyarakat yang

diperintah. Menurut Rosen195 ada 4 (empat) hal yang harus dilakukan untuk

membentuk pemerintahan yang bertanggung jawab, yaitu menciptakan efektivitas

hukum, melaksanakan diskresi administratif yang adil, melakukan perubahan

dalam kebijakan dan program, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada

pemerintah. Di sini hanya akan dibahas satu hal saja yang amat dengan hukum tata

negara yaitu diskresi administratif.

C. Diskresi Administratif

Pertumbuhan dan perkembangan peran pemerintah di atas harus

berhadapan dengan kenyataan bahwa karena sedemikian luas aspek kehidupan

sosial dan kesejahteraan masyarakat yang digeluti itu, maka sudah barang tentu

tidak setiap permasalahan yang dihadapi dan tindakan yang akan diambil oleh

birokrasi telah tersedia aturannya. Dalam keadaan seperti ini membawa birokrasi

kepada suatu konsekuensi khusus yaitu memerlukan kemerdekaan bertindak atas

Apakah the Rule of Law, Bandung: Alumni, hlm. 35. Kedua, ahli yang mempermasalahkanpenggunaan istilah “negara hukum” dan istilah asing tersebut, yaitu Phillipus M. Hadjon, yangmenyebut “negara hukum” merupakan konsep dan tidak terjemahan dari Rechsstaat dan the Rule ofLaw. Periksa: Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya:Bina Ilmu, hlm. 71-74.

193 Bernard Roosen, 1998, Holding Government Bureacracies Accountable, USA: PraegerPublsher Westport, hlm. 1.

194 Deliar Noer, 1982, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, hlm. 207.195 Loc.cit.

Page 147: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

146

inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal

genting yang timbul mendadak dan peraturan penyelesaiannya belum ada.

Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaan sendiri ini dalam hukum

administrasi negara disebut sebagai freies Ermessen.

Istilah freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan

dari kata frei dan freise yang artinya bebas, merdeka, tidak terikat, lepas, dan

orang bebas. Kata Ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai,

menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi, secara etimologis, freies

Ermessen dapat diartikan sebagai “orang yang bebas mempertimbangkan, bebas

menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan.”196

Selain itu, freis Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair, yang

artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti menurut wewenang

atau kekuasaan yang tidak atau tidak seharusnya terikat pada undang-undang.197

Menurut Prajudi Atmosudirjo198, asas diskresi (discretie; freis Ermessen) artinya,

pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan ‘tidak

ada peraturannya’ dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil

keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yurisdiktas dan

asas legalitas199. Senada dengan pendapat itu, Sjacran Basah,200 mengatakan

196 Adolf Heuken SJ, 1987, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta: Gramedia.197 Fockema-Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan Saleh Adiwinata, dkk),

Bandung: Bina Cipta, hlm. 145 dan 98.198 Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,

hlm. 85.199 Menurut Bambang Poernomo, asas legalitas merupakan salah satu ciri atau asas negara

hukum yang mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu dilihat dari aspek formal dan aspek material.Aspek formal menunjuk kepada jaminan hak asasi manusia dan pengaturan kepentingan rakyat harusdiatur di dalam undang-undang. Sementara itu, aspek material merupakan perkembangan berikutnya,di mana jaminan hak asasi manusia dan kepentingan rakyat itu tidak hanya diatur dalam undang-undang, akan tetapi berdasarkan juga hukum tidak tertulis, kepatutan, dan keadilan hukum bagi semuakewenangan atau tindakan penguasa maupun dalam menentukan adanya pelanggaran hukum. Periksa:Bambang Poernomo, op.cit., hlm. 28-31.

200 Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi diIndonesia, Bandung: Alumni, hlm. 151.

Page 148: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

147

bahwa diperlukannya freies Ermessen oleh birokrasi itu dimungkinkan oleh

hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian

persoalan-persoalan yang penting yang timbul secara tiba-tiba. Dengan demikian,

pemerintah terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian. Namun, keputusan-

keputusan yang diambil untuk menyelesaiakan masalah itu harus dapat

dipertanggungjawabkan.

BAB VI

DESENTRALISASI DAN OTONOMI DESA

A.Desa dan Struktur Kenegaraan

Jauh sebelum republik Indonesia terbentuk, pada dirinya sudah melekat

tradisi kedaulatan rakyat, suatu konsep politik yang dilawankan dengan kedaulatan

raja atau kedaulatan kraton. menarik untuk dicermati, bahwa dalam kerangka

penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah badan transisional untuk

mempersiapkan kemerdekaan Indonesia bentukan Pemerintahan Balatentara

Jepang, ide untuk menarik tradisi kedaulatan rakyat ke dalam sistem pemerintahan

negara cukup mengemuka. Bahkan, seperti diselidiki oleh A. Hamid S. Attamimi,

tradisi kedaulatan rakyat tadi menjelma ke dalam Cita Negara Indonesia, yang

melahirkan hakekat negara Republik Indonesia sebagai “Republik Desa.”201

Dalam konteks ini, pandangan Soepomo sangat berpengaruh, yang kemudian

dikenal sebagai pandangan menurut dasar “teori integralistik.”

Soepomo, saat berbicara mengenai Cita Negara Indonesia, menunjuk

kepada cita negara yang terdapat pada paguyuban masyarakat desa, di mana para

pemimpinnya bersatu jiwa dengan rakyatnya dan senantiasa memegang teguh

201 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam PenyelenggaraanNegara, Disertasi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 101.

Page 149: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

148

persatuan dan keseimbangan dalam masyarakat.202 Menurut Yusril Ihza Mahendra,

konsep persatuan antara pemimpin dan rakyat itu digambarkan oleh Soepomo

sebagai persatuan antara kawula dan gusti, yaitu persatuan antara dunia luar dan

dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos. Dalam pandangan yang

demikian, Soepomo berpendapat bahwa tidaklah menjadi soal, apakah negara

Indonesia merdeka itu akan menjadi republik atau monarki. Yang penting, kepala

negara menyatu dengan rakyatnya sesuai paham mistik tradisional tersebut.203

Lebih lanjut, atas dasar kontruksi pemikiran semacam itu maka:204

Negara Republik Indonesia yang akan menggantikan HindiaBelanda, [merupakan] negara yang strukturnya disesuaikan dengansociale structuur masyarakat Indonesia yang asli pada masasekarang, yaitu desa, disesuaikan pula dengan panggilan zaman.Soepomo menunjuk kepada perlunya tiap negara mempunyaikeistimewaan sendiri yang berhubungan dengan riwayat dan corakmasyarakatnya, sebagaimana terlihat dalam kehidupan desa.Soepomo juga berbicara mengenai tujuan negara yang berdasarpersatuan, seperti halnya Desa, dengan tujuan negara yang“bersatu dan adil”, “untuk kepentingan rakyat seluruhnya”, ataudengan kata lain bersatu, adil, dan makmur.

Menurut Logemann, pengalihan sistem pemerintahan “Republik Desa” ke

dalam sistem pemeritahan negara Indonesia yang modern itu dengan

memindahtanamkan (overplanting) dari desa yang memenuhi kebutuhannya

sendiri (autarke dorp) kepada Negara Modern (moderne staat), meskipun dalam

menyatakan itu ia menyangsikan keberhasilannya.205 Namun, A. Hamid S.

Attamimi justru mendukung tesis Soepomo di atas sebab kajiannya menunjukkan

sistem pemerintahah negara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945

202 Ibid., hlm. 102.203 Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual

Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Jakarta, Penerbit Gema Insani Press,hlm. 9.

204 A. Hamid S. Attamimi, Ibid., hlm. 102-103.205 J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya Undang-

Undang Dasar Hindia Belanda, Malang, Penerbit Laboratorium Pancasila IKIP Malang, hlm. 18.

Page 150: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

149

mengadopsi dasar ketatanegaraan dalam sistem pemerintahan desa. Hal itu terbukti

seperti “kepala negara dipersamakan dengan kepala desa yang bukan hanya

memimpin masyarakat melainkan juga sesepuhnya. Kepala desa mewujudkan rasa

keadilan rakyat dan cita-citanya. Seperti halnya kepala desa yang senantiasa

bermusyawarah dengan warga desa atau dengan kepala-kepala keluarga dalam

desa, kepala negara dan kepala lembaga-lembaganya juga merupakan pemimpin

yang sejati, pemimpin yang diidamkan oleh rakyat.”206

Namun dengan dianutnya ketetapan bahwa Indonesia adalah negara

kesatuan yang berbentuk republik (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945),

maka dengan sendirinya idealisasi “Republik Desa” tinggal menjadi gagasan

belaka. Seperti yang dipaparkan oleh Yusril Ihza Mahendra, idealisasi “Republik

Desa” yang berpijak kepada cita negara integralistik versi Soepomo merupakan

hasil reduksi yang abstrak karena:207

1. Cenderung mengabaikan kelemahan-kelemahan yang mungkin dimiliki oleh

seorang kepala desa;

2. Mengabaikan faktor kekuasaan yang lebih tinggi, yang cenderung eksploitatif

terhadap desa melalui kepala desa;

3. Mengabaikan kemungkinan timbulnya kekuatan oposisi terhadap kepaal desa

yang juga mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi tertentu; dan

4. Dalam tataran praksis, pemilihan langsung kepala desa misalnya, apakah

benar-benar mengesampingkan segala macam kepentingan?

Lebih lanjut diuraikan oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa:208

Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, adalah konstitusinegara modern yang disusun dengan mempertemukan aliran-aliranpemikiran para penyusunnya. Konsep tentang presiden di dalamUndang-Undang Dasar 1945 tidak semata-mata menggambarkankonsep “manunggaling kawula lan gusti, tetapi merupakan konsep

206 Ibid., hlm. 104.207 Yusril Ihza Mahendra, op.cit., hlm. 11.208 Ibid.

Page 151: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

150

yang rasional dengan batas-batas kekuasaan serta tugas danwewenang yang jelas, juga pengawasan dari lembaga-lembagakenegaraan modern, serta bertanggung jawab kepada suatu lembagapula. Mekanisme demikian sama sekali tidak dikenal dalam konsepkepemimpinan tradisional masyarakat pedesaan Indonesia.

Kritik tersebut mengkonfirmasi apa yang “dikhawatirkan” Logemann di

atas, yaitu “apakah mungkin memindahkan struktur agraris dan untuk sebagian

besar autarkis (memenuhi kebutuhan sendiri) dari desa ke negara modern?”209

Seperti juga Mohammad Hatta, walaupun secara konsisten memandang kedaulatan

rakyat yang aslia dalah yang dipraktikkan di desa-desa, tetapi tetap terbuka

problem analisis “bagaimana menyesuaikan dasar mufakat di kampung atau di

nagari kepada pemerintahan Indonesia yang begitu luas daerahnya dan begitu

besar urusannya?”210

Lepas dari perdebatan intelektual yang begitu berharga berkaitan dengan

dasar ketatanegaraan Indonesia, yang menempatkan desa sebagai locus

argumentasi, dan tidaklah menjadi fokus uraian dalam buku untuk membuktikan,

apakah benar hal tersebut teradopsi dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak,

tetapi merupakan satu hal yang pasti: para pendiri negara umumnya sepakat bahwa

kedaulatan rakyat merupakan tabiat asli masyarakat Indonesia. Justru dengan tidak

jelasnya, problem analisisi karakter dan kelembagaan desa, seperti terekam dalam

uraian-uraian sebelumnya, maka pada masa-masa selanjutnya desa tetap akan

menjadi salah satu persoalan, khususnya terkait dengan kerangka hubungan

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Secara historis juga, pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas

lokal yang mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan

mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut

dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai kesatuan masyarakat

209 J.H.A. Logemann, loc.cit.210 Dalam Miriam Budiardjo (Editor), Masalah Kenegaraan, op.cit., hlm. 51.

Page 152: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

151

hukum baru dikenal pada masa kolonial Belanda. Desa pada umumnya

mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan

hirarkhis-struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera Barat,

misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan

sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community).

Pengakuan dan penghormatan negara terhadap Desa dalam konstitusi sebenarnya

nampak jelas dalam penjelasan Pasal 18 disebutkan bahwa: Dalam territoir

Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan

volksgemenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,

dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai

susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat

istimewa. Kalimat ini menegaskan bahwa republik harus mengakui keberadaan

Desa-Desa di Indonesia yang bersifat beragam.

Konsep zelfbesturende landchappen identik dengan Desa otonom (local

self government) yaitu Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan

berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan konsep

volksgetneenschappen identik dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau

menurut orang Bali disebut dengan “Desa adat” atau self governing community.

Zelfbesturende landchappen akan mengikuti azas desentralisasi (pemberian) dan

volksgetneenschappen akan mengikuti azas rekognisi/pengakuan (meski azas ini

tidak dikenal dalam semesta teori desentralisasi).

Namun keragaman dan pembedaan zelfbesturende landchappen (Desa

otonom) dan volksgetneenschappen (Desa adat) itu lama kelamaan menghilang,

apalagi pada masa Orde Baru dilakukan penyeragaman dengan model Desa

administratif, yang bukan Desa otonom dan bukan Desa adat. Lebih

memprihatinkan lagi, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 malah

menghilangkan istilah Desa. Pasal 18 ayat (1) menegasakan: “Negara Kesatuan

Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu

dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota

Page 153: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

152

mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Juga

pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Meskipun istilah Desa hilang dalam Perubahan UUD 1945, tetapi klausul

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya…” berarti mengharuskan negara melakukan

rekognisi terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, yang di dalamnya

mencakup Desa, nagari, mukim, huta, sosor, kampung, marga, negeri, parangiu,

pakraman, lembang dan seterusnya. Dalam skala yang lebih luas, konsep

zelfbestuurende lanschappen sesungguhnya menunjuk kepada daerah swapraja,

sedangkan volksgemenschappen atau indlandshe gemeente menujuk kepada

kesatuan masyarakat hukum adat seperti Desa, nagari, mukim, huta, sosor,

kampung, marga, negeri, parangiu, pakraman, lembang dan seterusnya.

B. Otonomi Desa

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang berarti

“sendiri” dan nomos yang berarti peraturan. Oleh karena itu, secara harafiah

otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya

berkembang menjadi pemerintahan sendiri.211 Selanjutnya diuraikan bahwa

otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah

yang lebih atas kepada pemeritnah di bawahnya, dan sebaliknya, pemerintah di

bawahnya yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu

melaksanakannya.212

Menurut Bagir Manan, otonomi merupakan sebuah tatanan

ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan bukan bukan sekedar tatanan admistrasi

211 Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai,dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm. 81.

212 Ibid., hlm. 82.

Page 154: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

153

negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi

berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.213

Selanjutnya, Ateng Syarifudin menunjuk makna otonomi sebagai kebebasan atau

kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheic).

Dalam pemberian tanggung jawab terkandung 2 (dua) unsur, yaitu:

1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta

kewenangan untuk melaksanakannya;

2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan

menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.214

Pada bagian lain Bagir Manan menyatakan bahwa otonomi adalah

kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfsatndigheid) dari satuan

pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan

pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan idurus secara bebas dan

mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan

yang lebih rendah itu. Artinya kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi

otonomi.215

Terdapat dua komponen utama pengertian otonomi, yaitu pertama,

komponen wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai

komponen yang mengacu kepada konsep “pemerintahan” yang terdapat dalam

pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang

mengacu pada kata-kata “oleh, dari, dan untuk rakyat.” Kemandirian tersebut

diterjemahkan oleh Mohammad Hatta sebagai mendorong tumbuhnya prakarsa

dan aktivitas sendiri.216 Jadi, dari bermacam-macam pengertian itu otonomi dalam

213 Bagir Manan, Menyongsong Fajar...., op.cit., hlm. 24.214 Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies Natalis Universitas

Parahiyangan, Bandung, 1983.215 Bagir Manan, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA.216 Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi

Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu AdministrasiNegara, disertasi Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 9.

Page 155: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

154

konteks pemerintahan mengandung 2 (dua) segi utama yaitu komponen wewenang

menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan komponen kemandirian.

Menurut Sutoro Eko217, pembicaraan tentang kewenangan desa

sebenarnya sangat relevan dilakukan dalam konteks desa sebagai local self

government, atau setidaknya pembicaraan itu akan mengarah pada pengembangan

desa menuju local self government. Selanjutnya diuraikan bahwa dari sisi historis

dan legal-formal, desa mempunyai 4 (empat) jenis kewenangan.218 Pertama,

kewenangan generik atau kewenangan asli, yang sering disebut hak atau

kewenangan asal-usul yang melekat pada desa (atau nama lain) sebagai kesatuan

masyarakat hukum. Kedua, kewenangan devolutif, yaitu kewenangan yang harus

ada atau melekat kepada desa karena posisinya sebagai pemerintahan lokal (local-

self government), meski desa belum diakui sebagai daerah otonom seperti

kabupaten/kota. Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola

urusan (bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh

pemerintah kepada desa. Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas

pembantuan.

Untuk kewenangan yang pertama, yaitu kewenangan generik, sering pula

disebut sebagai property right komunitas untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri atau yang sering disebut sebagai wujud otonomi asli. Ada

beberapa jenis kewenangan generik yang sering dibicarakan, yaitu (i) Kewenangan

membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri; (ii) Kewenangan

mengelola sumberdaya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan

adat, dll); (iii) Kewenangan membuat dan menjalankan hukum adat setempat; (iv)

Kewenangan mengelola dan merawat nilai-nilai dan budaya lokal (termasuk adat-

istiadat); dan (v) Kewenangan yudikatif atau peradilan komunitas (community

justice system), misalnya dalam hal penyelesaian konflik lokal. Di Sumatera Barat,

217 Ibid.218 Ibid.

Page 156: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

155

misalnya, terdapat lembaga Kerapatan Adat Nagari yang mempunyai kewenangan

dalam menjalankan peradilan, terutama penyelesaian sengketa pusako. Di Jawa,

dulu, ada dewan morokaki, sebuah wadah para tetua desa yang memberikan

pertimbangan kepada lurah desa, sekaligus menjalankan fungsi penyelesaian

sengketa lokal.

Untuk kewenangan yang kedua, yaitu kewenangan devolutif, yaitu

kewenangan yang harus ada atau melekat kepada desa karena posisinya sebagai

pemerintahan lokal (local-self government), meski desa belum diakui sebagai

daerah otonom seperti kabupaten/kota. Sebagai contoh, ada sejumlah kewenangan

desa yang bisa dikategorikan sebagai kewenangan devolutif, yaitu:

1. Penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa;

2. Pencalonan, pemilihan dan penetapan Kepala Desa;

3. Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa;

4. Pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat;

5. Penetapan dan pembentukan Baadan Permusyawaratan Desa;

6. Pencalonan, pemilihan dan penetapan anggota Badan Permusyawaratan Desa;

7. Penyusunan dan penetapan anggaran desa;

8. Penetapan peraturan desa;

9. Penetapan kerja sama antar desa; dan

10. Penetapan dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa.

Ketiga, kewenangan distributif, yakni kewenangan mengelola urusan

(bidang) pemerintahan yang dibagi (bukan sekadar delegasi) oleh pemerintah

kepada desa. Menurut hukum positif dewasa ini, seperti Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan distributif ini disebut

sebagai “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku

belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah”, yang dalam pratiknya sering

dikritik sebagai “kewenangan kering” karena tidak jelas atau “kewenangan sisa”

karena desa hanya menerima kewenangan sisa (karena semuanya sudah diambil

kabupaten/kota) yang tidak jelas dari supradesa. Bagaimana bentuk-bentuk

Page 157: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

156

kewenangan distributif? Kabupaten Solok, misalnya, sudah melakukan distribusi

sejumlah 111 urusan kepada nagari, yang hal itu bisa disebut sebagai kewenangan

distributif. Demikian juga dengan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat

Desa Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2001 sudah pernah menyiapkan

Manual Pemerintahan Desa, yang salah satu isinya adalah positive list tentang

kewenangan desa berdasarkan bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan.

Daftar kewenangan itu dapat disebut kewenangan distributif, yang perlu dicermati

kembali dan dilembagakan menjadi kebijakan dan regulasi resmi.

Keempat, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Ini

sebenarnya bukan termasuk kategori kewenangan desa karena tugas pembantuan

hanya sekadar melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan

prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan

pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Titik

kewenangannya justru bersifat “negatif”, yaitu kewenangan desa menolak tugas

pembantuan bila tidak disertai pendukungnya.

Dalam pandangan Syamsuddin Haris,219 kita tidak mungkin otonomi desa

merupakan turunan dari otonomi daerah, esensi kedua otonomi ini tidak sama.

Pada tingkat kabupaten/kota basisnya desentralisasi oleh pusat, sementara basis

otonomi desa adalah kepercayaan masyarakat. Masalahnya adalah apakah desa di

masa depan akan didesain sebagaimana yang dilakukan oleh Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga desa seolah-olah menjadi

eksperimen, menjadi ujicoba yang tidak ada habis-habisnya, padahal desa telah

mempunyai otonomi asli.

219 Syamsuddin Haris, “Otonomi Desa, Perlukah Diatur?”, dalam www.forumdesa.com.,diakses di Sukoharjo pada tanggal 22 April 2010, pukul 21.33 WIB.

Page 158: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

157

Dalam hal ini, self governing community tetap bisa menjadi basis

mengembangkan otonomi desa dan demokrasi desa. Tidak semua desa harus

dipaksakan memiliki badan permusywaratan karena ada desa yang telah memiliki

hal-hal seperti itu, ada yang sifatnya sebagai adat atau agama, sehingga dapat

kembali ke semangat keanekaragaman. 220

Perjalanan pemerintahan desa selama enam dasawarsa dalam sistem

birokrasi pemerintahan Indonesia menurut para pakar telah sengaja didesain serta

dikondisikan sebagai unit pemerintahan palsu. Kekeliruan atas konsep

pemerintahan desa menjadikan desa hanya sebagai pemerintahan semu. Saat ini

Negara telah melakukan redistribusi sumberdaya serta memberikan mandat

kewenangan dan pembangunan kepada desa yang didahului dengan sebuah

pengakuan dan penghormatan secara penuh sebagaimana tersurat di dalam UU No.

6 tahun 2014 tentang Desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,

dan Transmigrasi Republik Indonesia menyambut lahirnya undang-undang

tersebut sebagai titik tolak atas lahirnya (kembali) desa baru, sekaligus menjadi

momentum untuk membungkus serta membuang jauh-jauh paradigma desa lama.

Reaksi atas lahirnya UU Desa memang beragam, sebagian kecil

akademisi ada yang menilai terlalu ambisius. Di ujung yang berbeda, terdapat

banyak sekali pemimpin desa, masyarakat desa, pegiat pemberdayaan dan

organisasi-organisasi keagamaan besar, justru mengapresiasi kelahiran UU Desa

dengan sangat luar biasa. Sikap positifnya ditunjukkan dengan cara melakukan

sosialisasi, bedah undang-undang yang melibatkan banyak pihak secara mandiri.

Mereka juga dengan sadar telah secara bertahap menyiapkan diri untuk mengawal

implementasi UU Desa supaya dapat berjalan sesuai dengan ruh dan semangat

dasarnya.

220 Ibid.

Page 159: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

158

BAB VI

KOMISI YUDISIAL: DINAMIKA DALAM KETATANEGARAAN

A. Prinsip Negara Hukum

Dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia, impelemntasi demokrasi

tidak dapat dilepaskan dari hukum, karena demokrasi tanpa hukum tidak akan

terbangun dengan baik, sebaliknya, hukum tanpa sistem politik yang demokratis,

hanya menjadi hukum yang elitis dan represif.221 Berangkat dari dua hal tersebut

itulah kemudian muncul gagasan tentang pembatasan kekuasaan pemerintah

melalui konstitusi, agar praktik-praktik kewenangannya tidak melanggar hak-hak

asasi manusia, atau yang disebut sebagai demokrasi konstitusional, yang pada abad

ke-19 dan permulaan abad ke-20 ditandai dengan pemberian istilah rechtstaat

atau the rule of law, yang di Indonesia diterjemahkan dengan “Negara Hukum”.222

Menurut F.J Stahl, sebagaimana dikutip oleh Padmo Wahyono223, dari

kalangan hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum

(rechtstaat) sebagai berikut: (a) Pengakuan terhadap hak-hak azazi manusia; (b)

Pemisahan kekuasaan Negara; (c) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang; (d)

Adanya peradilan administrasi. Sementara, A.V.Dicey, sebagaimana ditulis oleh

Moh. Mahfud M.D., dari kalangan Anglo Saxon, memberikan ciri-ciri Negara

hukum (the rule of law) sebagai berikut: (a) Supremasi hukum, dalam arti tidak

boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika

221 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, op.cit., hlm. 1.222 Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,

hlm. 57.223 Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Ind Hill Co,

hlm. 30.

Page 160: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

159

melanggar hukum; (b) Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat

biasa maupun bagi pejabat; (c) Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-

undang dan keputusan-keputusan peradilan.224Perumusan ciri-ciri Negara hukum

yang dilakukan oleh F.J Stahl dan A.V. Dicey kemudian ditinjau ulang oleh

“International Comission of Jurists” pada konferensinya di Bangkok pada tahun

1965 yang memberikan ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, perlindungan

Konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula

menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang

dijamin; Kedua, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; Ketiga,

pemilihan umum yang bebas; Keempat, kebebasan menyatakan pendapat; Kelima,

kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; Keenam, pendidikan

kewarganegaraan.225

Dari apa yang telah diuraikan diatas, nyata bahwa adanya kekuasaan

kehakiman yang bebas dan tidak memihak, tidak dapat dilepaskan dari ide negara

hukum, karena gagasan tentang kemerdekaan kekuasaan kehakiman (yudikatif)

lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum. Dengan

demikian, maka salah satu posisi strategis dalam kerangka terselenggaranya

pemerintahan yang demokratis adalah keberadaan badan-badan kehakiman yang

bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunal). Pasal 10

Declaration of Human Rights memandang bahwa kebebasan dan tidak

memihaknya badan-badan pengadilan (independent and impartial tribunal) di

dalam tiap-tiap negara sebagai hal yang esensial. Badan Yudikatif yang bebas

adalah syarat mutlak di dalam suatu masyarakat yang bebas di bawah rule of law.

Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif,

legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas yudikatifnya. Ini

dimaksudkan agar supaya badan yudikatif itu dapat berfungsi secara sewajarnya

224 Moh. Mahfud M.D., Demokrasi dan Konstitusi, op.cit., hlm. 27-28.225 Ibid.

Page 161: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

160

demi penegakan hukum dan keadilan, serta menjamin hak-hak asasi manusia. Oleh

karena itu, hadirnya sistem peradilan yang bersih sangat diperlukan dalam rangka

menunjang konsistensi Negara Hukum.

B. Harapan Reformasi Peradilan

Hadirnya Komisi Yudisial diharapkan mampu membawa perubahan

bagi dunia peradilan di Indonesia kearah yang lebih baik lagi. Di mana Komisi

Yudisial hadir dalam krisis kepercayaan atau apatisme masyarakat Indonesia

akan penegak hukum dan produk hukum itu sendiri yang jarang sekali

memberikan rasa keadilan dan persamaan didepan hukum dengan diskriminasi

bagi pencari keadilan. Oleh karena itulah komisi ini hadir dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia.

Secara makro, reformasi hukum di Indonesia dinilai belum berhasil.

Alih-alih semakin mandiri dan berintegritas, sejumlah persoalan krusial seperti

mafia peradilan dan korupsi terus terjadi dan melibatkan aparat penegak hukum

negeri ini. Mentalitas positif dan komitmen teguh menjadi kunci perbaikan yang

belum digarap optimal hingga saat ini. Hingga hari ini (2016), hampir dua

dekade sejak reformasi bergulir, kinerja aparat penegak hukum, dalam hal ini

adalah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dinilai belum optimal. Sejumlah

kasus hasil operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

yang ternyata melibatkan aparat penegak hukum, mengindikasikan masih

kuatnya mafia peradilan di negeri ini. Sejumlah kasus yang menjerat polisi,

jaksa, dan hakim masih terus terjadi. Kasus terakhir yang melibatkan aparat

penegak hukum adalah kasus jaksa Devianti dan Fahri. Keduanya ditangkap pada

11 April lalu karena diduga menerima suap untuk penanganan perkara

penyalahgunaan anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Subang,

Jawa Barat. Catatan keterlibatan penegak hukum, baik hakim, jaksa, maupun

polisi, bisa panjang jika dirinci. Hal ini semua menguatkan tudingan publik

bahwa istilah ”mafia peradilan” memang masih ada dalam institusi peradilan

kita. Pekerjaan mengurai dan menuntaskan permasalahan di bidang hukum

Page 162: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

161

bukanlah perkara sederhana. Masalah bisa timbul mulai dari hadirnya

kepentingan pihak tertentu dalam penyusunan peraturan perundang-undangan,

lemahnya penerapan aturan hukum, hingga buruknya penegakan hukum oleh

aparat. Dari rangkaian hasil jajak pendapat dan survei tatap muka Litbang

Kompas (19 April 2016) terungkap bahwa mayoritas publik negeri ini menilai

aparat penegak hukum di Indonesia belum independen dan bebas dari mafia

peradilan.

Sinyalemen terjadinya permainan dan jual beli perkara oleh aparat

penegak hukum terjadi mulai pengadilan tingkat pertama hingga tingkat banding

di berbagai daerah. Merebaknya penyuapan terhadap hakim kian mengokohkan

citra negatif peradilan, sekaligus menunjukkan betapa susahnya mencari dan

menemukan keadilan hukum yang benar-benar bersih dan obyektif dalam sistem

peradilan Indonesia. Sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan hakim

membuat banyak pihak mempertanyakan lemahnya fungsi pengawasan internal

yang dilakukan Mahkamah Agung. Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal

terhadap hakim pun diharapkan dapat diperkuat kewenangannya. Dengan

demikian, fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dapat berjalan efektif.

Masih banyaknya mafia hukum yang merusak citra peradilan Indonesia

memunculkan wacana perlu penguatan Komisi Yudisial (KY). Sebagai lembaga

pengawas eksternal hakim, penguatan pada fungsi pengawasan diharapkan dapat

berjalan lebih optimal dan efektif.

Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera mengatakan,

reformasi di sektor yudisial sudah dilakukan sejak tahun 1999. Namun,

kenyataannya tidak berdampak positif dalam membasmi maraknya mafia hukum

di lembaga peradilan. Bivitri menjelaskan, ada 5 (lima) modus yang kerap

terjadi di dalam lingkup pengadilan. Dalam tahap prapersidangan, calo perkara

membangun hubungan baik dengan hakim atau pegawai pengadilan dengan

memberikan hadiah atau fasilitas. Tujuannya, menciptakan hutang budi ketika

berperkara. Pada tahap pendaftaran perkara pun sering ditemui adanya pungutan

Page 163: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

162

liar di luar ketentuan saat pendaftaran perkara dan menawarkan penggunaan jasa

advokat tertentu. Biasanya oknum tersebut akan mengaku bisa mempercepat atau

memperlambat pemeriksaan perkara. Modus lain yang biasa terjadi, calo perkara

kerap meminta pihak tertentu untuk mengatur majelis hakim pada saat penetapan

majelis hakim. Sedangkan dalam proses persidangan biasanya muncul upaya

merekayasa persidangan dengan mengatur saksi, pengadaan barang bukti sampai

pada mengatur putusan pengadilan. Modus terakhir, yakni pungutan liar yang

diminta oleh oknum tertentu guna mempercepat atau memperlambat minutasi

putusan.

Beberapa waktu yang lalu, Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK),

Mahfud MD, menyerukan perlu dibuatnya perppu untuk menyelamatkan kondisi

peradilan Indonesia. Hal ini menyusul terungkapnya kasus dugaan suap yang

melibatkan panitera PN Jakarta Pusat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) beberapa waktu lalu. Dalam perkembangan kasus tersebut, KPK

mengindikasikan ada keterlibatan sejumlah orang dalam MA.

Akan tetapi, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko

Ginting mengatakan, wacana mengenai penerbitan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang terkait mafia peradilan dinilai tidak akan menjawab

permasalahan peradilan. Miko mengatakan, persoalan mafia peradilan harus

dipecahkan melalui langkah-langkah yang tepat, terutama oleh Mahkamah

Agung. Capaian reformasi dan kewibawaan peradilan memang bergantung pada

langkah-langkah yang diambil pimpinan MA. Selama ini, menurut Miko, wacana

penerbitan perppu muncul mengingat sikap pimpinan MA yang pasif dan

tertutup. Selain itu, Miko juga menilai bahwa MA selama ini belum mampu

memperkuat sistem pengawasan, baik secara internal maupun eksternal. Dari segi

internal, penempatan Badan Pengawas MA yang bertanggung jawab melalukan

pengawasan internal harus diperkuat. Sedangkan dari segi eksternal, terkait

dengan etik dan perilaku hakim dapat diperkuat dengan optimalisasi peran

Komisi Yudisial (KY).

Page 164: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

163

Dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia merupakan reaksi terhadap

kegagalan sistem peradilan utnuk menciptakan peradilan yang lebih baik.

Kegagalan sistem peradilan tersebut menyangkut banyak aspek mulai dari aspek

kelembagaan, aspek substansi dan aspek budaya hukum. Aspek kelembagaan

antara lain mencakup sub aspek pengawasan baik pengawasan administrasi,

teknis yudisial maupun prilaku hakim. Dibentuknya Komisi Yudisial disebabkan

oleh tidak efektifnya pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung.

Ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya keadaan ini,

antara lain: (i) Kualitas dan integritas pengawas yang kurang memadai. (ii)

Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan. (iii) Belum adanya

kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan,

memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses). (iv) Semangat membela

sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman

menjadi tidak seimbang dengan perbuatan yang dilakukan. (v) Tidak adanya

kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga peradilan terendah sampai dengan

tertinggi untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.226

Kegagalan sistem pengawasan tersebutlah yang kelihatannya belum

dapat diatasi oleh Mahkamah Agung, namun dilain pihak pada waktu yang

bersamaan juga dilaksanakan konsep peradilan satu atap yang justru

menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan di Mahkamah

Agung227, karena dunia peradilan kita menjadi tidak dapat tersentuh oleh

lambaga lain. Situasi dan kekhawatiran tersebut mendorong lahirnya gagasan ke

226 Bulletin Komisi Yudisial, Volume I No. 5 April 2007: 24.227 Terutama sepanjang Orde Baru, UU No. 14 Tahun 1970 menempatkan hakim di

lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer,sepanjang menyangkut urusan teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung, namun untukkarier dan promosi berada di bawah eksekutif, yaitu Departemen Kehakiman, Departemen Agama, danDepartemen Pertahanan dan Keamanan. Sejak undang-undang itu diubah lewat UU No. 35 Tahun1999, kedudukan para hakim dan sistem peradilan seluruhnya berada di bawah kendali MahkamahAgung. Seterusnya UU No. 4 Tahun 2004 dan UU No. 47 Tahun 2009 meneruskan tradisi itu.

Page 165: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

164

arah pembentukan lembaga independen yang berada diluar Mahkamah agung,

yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi monopoli kekuasaan pada lembaga

tersebut. Dalam rangka merealisasikan gagasan tersebut, maka dibentuklah

Komisi Yudisial yang diharapkan menjadi “external auditor”, yang dapat

mengimbangi pelaksana kekuasaan kehakiman.

Adanya sistem pengawasan yang saling imbang dalam sistem kekuasaan

kehakiman tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya peradilan yang

lebih baik. Komisi Yudisial sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di mana

Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam

pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan

lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat serta prilaku hakim, Komisi Yudisial selama masa

perjalanannya telah menerima banyak sekali laporan pengaduan dari masyarakat

yang melaporkan para hakim yang dinilai telah berprilaku melanggar kode etik,

tidak profesional dan melanggar prinsip imparsialitas dalam menjalankan

tugasnya. Tetapi seiring berjalannya waktu peran Komisi Yudisial dalam

memberantas mafia peradilan228 serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang

merugikan bagi pencari keadilan terjadi perbedaan pandangan yang sangat

signifikan sekali dalam menginterpretasikan Undang-undang khususnya dalam

pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap para hakim.

Berangkat dari persoalan ini timbullah konflik antara Mahkamah Agung dan

Komisi Yudisial dengan dimohonkannya permohonan Uji Materiil terhadap UU

Komisi Yudisial.

228 Istilah mafia peradilan biasa digunakan untuk menyebutkan bermacam-macam praktikkolusi, korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi di dalam praktik sistem peradilan sejakdari penanganan perkara di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sementara istilah tersebut belumpernah dirumuskan dalam sistem regulasi.

Page 166: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

165

Konflik antara MA dan Komisi Yudisial, dilatarbelakangi oleh keegoan

MA yang merasa fungsi pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial tidak

termasuk dalam lingkup pengawasan terhadap lembaga mereka. Mahkamah

Agung berasumsi bahwa Hakim Agung tidak boleh diawasi oleh Komisi

Yudisial, dan yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial hanyalah hakim

pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang merupakan hakim karir.

Sedangkan hakim agung merupakan hakim independen, yang tidak boleh

diawasi. Demikianlah alasan yang disampaikan oleh MA beserta dengan alasan-

alasan lainnya. Pada hari Rabu tanggal 23 Agustus 2006 Mahkamah Konstitusi

telah memutuskan permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun

2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Para pemohon adalah 31 (tiga puluh satu) hakim agung. Mereka mengajukan

permohonan pada 10 Maret 2006. Amar putusan 005/PUU-IV/2006 menyatakan

bahwa Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah

Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal

23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, serta Pasal 24 ayat (3)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

bertentangan dengan UUD 19945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Peran Komisi Yudisial setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut antara

lain dihapuskannya fungsi pengawasan Komisi Yudisial (KY) tersebut. Secara

konstitusional, fungsi Komisi Yudisial pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 adalah hanya sebagai pengusul

pengangkatan Hakim Agung kepada DPR. Dengan kata lain Komisi Yudisial

hanya menjalankan fungsi pengawasan yang bersifat preventif saja, sedangkan

pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak ada lagi.

Artinya, pengawasan yang bersifat represif sudah dibatalkan dengan putusan

Page 167: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

166

tersebut yang menyangkut juga perihal pengusulan sanksi kepada pimpinan MA

atau MK setelah memberikan keterangan di depan Majelis Kehormatan.

Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur

secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak serta-merta

menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya

setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang

diucapkan pada 23 Agustus 2006. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu,

keberadaan Komisi Yudisial pun menjadi tidak terlalu relevan dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya hanya mengusulkan pengangkatan

hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah “wewenang sumir” yang

seyogianya hanya boleh diperankan oleh panitia yang dibuat secara khusus dan

bersifat sementara (ad hoc committee), bukan oleh lembaga negara permanen

yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based

power).

Meskipun demikian, Komisi Yudisial masih terselamatkan oleh

hadirnya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang mengatur pengawasan Komisi Yudisial.

C. Anatomi Fungsi dan Peran Komisi Yudisial

Pengaturan tentang Komisi Yudisial sendiri diatur dalam Undang-Undang

Dasar 1945 pada Pasal 24B, serta diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No.

22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang merupakan pelaksana ketentuan

dari UUD 1945. Rekrutmen Hakim Agung telah mendapatkan perubahan yang

cukup signifikan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan

Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, di mana

Presiden hanya mengangkat hakim agung yang diajukan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat. Para calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial yang memang

bertugas untuk mengusulkan nama-nama calon hakim agung kepada Dewan

Page 168: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

167

Perwakilan Rakyat untuk dipilih melalui mekanisme fit and proper test, yang

dilakukan dihadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.229

Dengan keberadaan Komisi Yudisial diharapkan dapat memberikan angin

segar dalam dunia kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yang memiliki

wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

martabat serta perilaku hakim, terutama bagi mereka pencari keadilan. Dengan

Komisi Yudisial diharapkan pada masa yang akan datang peradilan di Indonesia

bisa terwujud peradilan yang berwibawa dan bermartabat serta bebas dari praktek

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Pada awal sejarahnya, Komisi Yudisial didirikan dengan kesadaran

bahwa Mahkamah Agung itu harus diawasi oleh lembaga yang independen, yang

namanya Komisi Yudisial, agar bisa menjadi penangkal ‘Abuse of Power’ atau

kesewenang-wenangan dari MA serta ikut menengakkan kehormatan dan

keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Ada kelemahan dasar dari UU

No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yaitu bahwa Komisi Yudisial hanya

bisa memberikan rekomendasi sanksi terhadap hakim yang diputuskan melanggar

kehormatan dan keluhuran martabatnya oleh Komisi Yudisial, tapi kita tidak tahu

sampai sejauh mana rekomendai sanksi Komisi Yudisial itu harus dilaksanakan

oleh Mahkmah Agung. Tentunya tidak hanya itu saja, masih banyak kelemahan-

kelemahan lain yang harus diperbaiki seperti tidak adanya batasan yang jelas

229 Dalam aturan hukum sebelumnya, yaitu Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1985 tentangMahkamah Agung, disebutkan bahwa (1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negaradari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Daftar nama calonsebagaimana disebutkan dalam ayat (1) diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presidenselaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan rakyat mendengar pendapat Mahkamah Agung danPemerintah. Sehubungan dengan aturan ini, Meskipun secara yuridis disebutkan nama calon HakimAgung diajukan Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi nama Hakim Agung baru sudah dapat diketahui,apabila Presiden sudah menentukan namanya sendiri. Tentunya proses ini tidak baik karena berkaitandengan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang independen. Hal ini terjadi karena selama inirekruitmen Hakim Agung dilakukan secara tertutup. Masyarakat kurang mempunyai akses informasimengenai berapa jumlah kebutuhan Hakim Agung Dan jika proses ini dibiarkan berlanjut artinyapemerintah (Presiden sebagai Kepala Negara) dibiarkan menentukan sendiri calonnya walaupun sudahada aturannya, maka secara psikologis akan mempengaruhi Hakim Agung yang terpilih menjadi ketuaMahkamah Agung.

Page 169: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

168

sampai sejauh mana campur tangan Komisi Yudisial mengawasi dan menjaga

keluhuran serta martabat hakim.

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama, Komisi Yudisial

dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 yang

menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam

rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim.

Buku Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan

Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat menggarisbawahi, Pasal

24B Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 ini hadir karena didasari pemikiran

bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan

figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan

keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam

susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran

martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk

mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham

Indonesia adalah negara hukum. Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan

dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus

dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan

hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.

Pengaturan Komisi Yudisial di dalam konstitusi ini dianggap tepat oleh

beberapa kalangan, mengingat ide dasar dari pembentukan Komisi Yudisial adalah

bahwa pengadilan telah menjadi lembaga yang diyakini sangat korup (judicial

corruption) dan penuh dengan praktik-praktik yang sangat mencederai nilai-nilai

keadilan, seperti memperdagangkan perkara yang telah terjadi secara sistematis,

sehingga muncul istilah “mafia peradilan”. Praktik-praktik tersebut semakin

Page 170: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

169

menggejala ketika pengawasan internal tidak mampu mengendalikannya dengan

semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Komisi Yudisial kemudian dibentuk

dengan semangat untuk mengembangkan sistem pengawasan eksternal.

Sebagai pengawas eksternal, Komisi Yudisial menjalankan wewenang

dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung

sebagai wewenang dan tugas konstitusional yang berupa mengusulkan

pengangkatan hakim agung. Selain berupa pengawasan preventif, Komisi Yudisial

juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan represif sebagai wewenang dan

tugas konstitusional yang muncul dari frasa “... mempunyai wewenang lain dalam

rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim” sebagaimana didesain oleh Pasal 24B. Dengan latar belakang demikian,

pengaturan Komisi Yudisial dalam UUDTahun 1945 sudah tepat dan cukup,

sehingga sebenarnya UUDNRI Tahun 1945 telah memberikan landasan

konstitusional yang cukup bagi efektivitas kinerja sebuah lembaga yang diidealkan

akan menjadi pengawas eksternal.

Dalam sebuah penelitian yang diselenggaran Komisi Hukum Nasional

pada tahun 2008, salah satu hal yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi

besar adalah perihal apakah frasa “... wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” berarti juga

memperbolehkan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan untuk melakukan

pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat oleh hakim. Dalam praktiknya,

Komisi Yudisial telah melakukan penelitian putusan hakim di sejumlah daerah

bekerja sama dengan kalangan perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan

lembaga swadaya masyarakat. Mantan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas

menyatakan bahwa pemeriksaan atau penelitian putusan hakim itu dapat dilakukan

Komisi Yudisial dengan alasan bahwa menurut hukum acara putusan hakim yang

telah diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum menjadi hak publik

(public right), sehingga publik mempunyai hak untuk menelaah putusan tersebut,

Page 171: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

170

bukan mengubah putusan. Pemeriksaan putusan oleh Komisi Yudisial merupakan

entry point untuk mengetahui apakah hakim melanggar kode etik atau tidak.

Kalangan hakim merasa keberatan dengan pemeriksaan putusan ini. Hal

ini mengingat pengawasan Komisi Yudisial tidak boleh masuk ke dalam teknis

yudisial. Akan tetapi, ada juga yang berpandangan bahwa Komisi Yudisial dapat

memeriksa putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht

van gewijsde).

Aktivitas melakukan pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat

oleh hakim semacam ini, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, sudah keluar

dari pengertian pengawasan yang harus diartikan hanya sebagai pengawasan etik.

Menurut Mahkamah Konstitusi, frasa "dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, yang seharusnya hanya

memberikan sebagian kewenangan pengawasan etik kepada Komisi Yudisial,

secara sadar ataupun tidak, telah ditafsirkan dan dipraktikkan sebagai pengawasan

teknis justisial dengan cara memeriksa putusan. Padahal, norma pengawasan yang

berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan

pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain

kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen) sesuai dengan hukum acara.

Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan sebagai pengawasan di luar

mekanisme hukum acara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res

judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakim harus

dianggap sebagai benar (de inhoud van hetvonnis geld als waard). Sehingga,

apabila suatu putusan hakim dianggap mengandung sesuatu kekeliruan maka

pengawasan yang dilakukan dengan cara penilaian ataupun koreksi terhadap hal

itu harus melalui upaya hukum (rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara

yang berlaku. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak warga

negara, khususnya para ahli hukum, untuk menilai putusan hakim melalui kegiatan

ilmiah dalam forum atau media ilmiah, seperti seminar, ulasan dalam jurnal

hukum (law review), atau kegiatan ilmiah lainnya.

Page 172: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

171

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, kalaupun misalnya Komisi

Yudisial diberi tugas untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim,

sebaiknya kewenangan ini tidak dikaitkan dengan wewenang Komisi Yudisial

berupa ”wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, melainkan dikaitkan dengan ”Komisi

Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim

agung”. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa

putusan yang telah dibuat oleh hakim semata-mata untuk melihat apakah rekam

jejak putusan yang pernah dibuat dapat mendukung kariernya ke depan, sehingga

Komisi Yudisial memiliki preferensi untuk mengusulkannya menjadi hakim

agung. Jadi, pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial tidak ada sangkut

pautnya dengan teknis justisial, karena memang putusan pengadilan tidak boleh

dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen).

Tegasnya, tugas Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah

dibuat oleh hakim sebaiknya diarahkan untuk tujuan yang berupa menggali

informasi sebanyak mungkin rekam jejak seorang hakim. Segala logika hukum

yang dibangun oleh seorang hakim dalam sebuah putusan dan dissenting opinion

seyogianya menjadi salah satu aspek penting bagi Komisi Yudisial untuk

menjaring hakim tertentu yang akan diusulkannya menjadi hakim agung kepada

DPR. Patut dipertimbangkan pula, misalnya, putusan hakim yang menangani

perkara yang kurang lebih berlatar belakang dan berkonstruksi hukum yang sama,

tetapi putusan yang dijatuhkan berbeda. Dalam perkara pidana, misalnya, sering

dijumpai adanya penjatuhan hukuman kepada pelaku kejahatan yang kurang lebih

sama, namun pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim mempunyai selisih yang

signifikan. Hal ini lazim disebut dengan “disparitas pidana” (sentencing disparity).

Page 173: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

172

Aaron J. Rappaport menyatakan bahwa “... sentencing disparity ... occurred when

similarly situated offenders received disparate sentences.”230

Menurut Muladi, disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah

penerapan sanksi pidana yang berbeda-beda tanpa alasan rasional (unwarranted),

baik terhadap tindak pidana yang sama maupun tindak pidana yang kurang lebih

sama ancaman pidananya. Disparitas pidana menimbulkan sikap tidak puas bagi

terpidana, keluarganya, dan bagi praktik penegakan hukum serta pendidikan

hukum. Disparitas pidana ini bertentangan dengan salah satu prinsip supremasi

hukum, yakni penerapan hukum harus menjunjung tinggi equality, justice, dan

certainty. Selain itu, di berbagai negara, disparitas pidana selalau dikaitkan dengan

diskriminasi yang diartikan sebagai preferential treatment of a person or a group

of people based on certain characteristics such as religion, race, gender, political

opinion, property, status, colour, etc.231

Di beberapa negara, terjadinya “disparitas pidana” ini meresahkan para

pencari keadilan, karena sangat mengganggu kepastian hukum dan dapat merusak

kredibilitas lembaga peradilan. Untuk mengurangi terjadinya “disparitas pidana”

ini, beberapa negara membentuk lembaga semacam sentencing commission untuk

mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” dalam putusan hakim. Di negara

lain, untuk mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” ini, dibentuk judicial

service commission.

Dengan demikian, tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi

Yudisial sebaiknya tidak dikaitkan dengan aspek pengawasan Komisi Yudisial,

melainkan aspek rekrutmen hakim. Jadi, hakim yang dalam putusannya

230 Aaron J. Rappaport, “Unprincipled Punishment: The U.S. Sentencing Commission’s TroublingSilence about the Purposes of Punishment”, Buffalo Criminal Law Review, Vol. 6:1043, January 22,2004, hlm. 8.231 Muladi, “Disparitas Pidana (Disparity of Sentencing)”, (makalah disampaikan dalam Kuliah UmumPeserta Pendidikan dan Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-undanganAngkatan II, diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HakAsasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, di Gedung LembagaKetahanan Nasional, Jakarta, 5 Juni 2008), hlm. 1.

Page 174: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

173

mengandung “disparitas pidana”, misalnya, dan dinilai mencederai nilai-nilai

keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, akan menjadi catatan Komisi

Yudisial apabila ia memiliki peluang untuk dicalonkan menjadi hakim agung.

Tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial yang dikaitkan dengan

aspek pengawasan Komisi Yudisial hanya akan menuai resistensi dari kalangan

hakim dan telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “sudah keluar dari

pengertian pengawasan etik”.

Akan tetapi, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi

Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.”

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mutasi”

dalam ketentuan ini meliputi juga promosi dan demosi. Penulis khawatir bahwa

ketentuan ini akan rawan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi karena dapat

disimpulkan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan

bahwa pemeriksaan putusan sudah keluar dari pengertian pengawasan etik.

Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur

secara eksplisit dalam UUDNRI Tahun 1945, namun tidak serta-merta menjadi

sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah

adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan

23 Agustus 2006. Hal ini, diakui ataupun tidak, merupakan akibat dari tidak

maksimalnya penormaan pada tingkat undang-undang yang merupakan atribusi

langsung dari Pasal 24B UUD Tahun 1945

D. Pembatalan Eksistensi

Dalam perkembangannya UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi

Yudisial dirasa belum mengakomodir secara maksimal wewenang Komisi

Yudisial berdasarkan UUD 1945, sehingga wewenang pengawasan Komisi

Yudisial tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Wewenang Pengawasan Komisi

Page 175: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

174

Yudisial terhadap Hakim Agung, Hakim dan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur

dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial telah dinyatakan

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006

dan tidak dapat dilaksanakannya wewenang pengawasan oleh Komisi Yudisial.

Pasca dikabulkannya permohonan pengujian undang-undang (judicial

review) yang diajukan 31 orang Hakim Agung oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

telah membawa implikasi yang luar biasa terhadap eksistensi Komisi Yudisial

dalam sistem peradilan di Indonesia. Dengan dikeluarkannya putusan ini tentunya

secara yuridis, Pasal-Pasal yang mengatur tentang fungsi pengawasan Komisi

Yudisial terhadap hakim dinyatakan tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan

hukum lagi karena dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.232 Keputusan ini

tentunya akan berdampak buruk terhadap dunia peradilan yang selama ini dikenal

dengan bobroknya sistem yang ada dilingkungan tersebut, di mana mafia peradilan

yang sudah menjadi rahasia umum.

Ada tujuh Pasal dalam Undang-Undang Komisi Yudisial dan satu

Pasal dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang dimohonkan uji

materilnya oleh ke 31 Hakim Agung itu, yaitu di Undang-Undang Komisi Yudisial

pada Pasal I angka 5, Pasal 20, Pasal 21 Pasal 22 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 23

ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4),

serta Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 34 ayat (3). Alasan-alasan

yang diajukan oleh pemohon bahwa Pasal-Pasal pada Undang-Undang Komisi

Yudisial dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut inkonstutsional

adalah: Pertama, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945

yang berbunyi: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

232 Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan antara lain bahwa “segalaketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum(rechtsonzekerheid).”

Page 176: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

175

pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim", oleh para

pemohon dimaknai hanya dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi

Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung saja. Kedua,

kewenangan Komisi Yudisial yang lain tidak menjangkau Hakim Agung dan

Hakim Konstitusi, melainkan hanya hakim dari lingkungan badan-badan peradilan

di bawah MA, dengan alasan untuk menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi

tidak seluruhnya berasal dari dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding. Demikian

juga Hakim Ad Hoc. Menurut pemohon, ketentuan itu diperkuat oleh Pasal 25

UUD 1945. Ketiga, perluasan makna "hakim" menurut para pemohon yang

terdapat pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 oleh Pasal 1 angka 5 dan Pasal-Pasal

UU Komisi Yudisial lainnya yang terkait, serta Pasal 34 UU Kekuasaan

Kehakiman bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal,

yaitu: lex certa, lex stricta, dan lex superiors derogat legi inferiori. Keempat,

pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap para Hakim Agung dengan memanggil

mereka atas beberapa kasus yang telah diadilinya, menurut pemohon bertentangan

dengan prinsip independensi peradilan dari para Hakim Agung yang dijamin oleh

UUD 1945. Kelima, secara universal, menurut pemohon kewenangan pengawasan

Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung karena Komisi Yudisial adalah

mitra MA dalam pengawasan terhadap para hakim pada lingkungan di bawah

MA, sehingga Pasal 20 Undang - Undang Komisi Yudisial bertentangan dengan

UUD 1945. Keenam, dalam usul pemberhentian Hakim Agung, menurut pemohon,

UU MA telah mengaturnya. Demikian juga usul pemberhentian para hakim MK

telah diatur Undang-Undang MK sehingga tidak memerlukan campur tangan

Komisi Yudisial. Ketujuh, oleh karena itu, para pemohon dalam petitum-nya

memohon agar MK menyatakan Pasal-Pasal Undang-Undang Komisi Yudisial dan

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang disebutkan di atas bertentangan

dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Page 177: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

176

Adapun pembatalan tersebut dikarenakan perbedaan penafsiran

pengertian hakim oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi yang

versi MA dan MK, pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial tidak termasuk

Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Padahal, jika kita mereview dan

melihat historis nya saat pengusulan Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial

hampir sebagian RUU tentang Komisi Yudisial rumusan serta pendapat dari

Mahkamah Agung yang dikenal dengan versi MA. Tetapi sungguh sangat

mengherankan dan diluar dugaan ketika 31 Hakim Agung mengajukan judicial

review tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

kepada Mahkamah Konstitusi dan disambut positif serta momen ini dimanfaatkan

oleh Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal-Pasal yang berkenaan

dengan lembaganya di dalam UU tersebut yang tidak pernah ada termuat dalam isi

permohonan oleh pemohon (31 Hakim Agung).233

Dalam ketentuan Pasal 24B ayat (1) Komisi Yudisial juga mempunyai

wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran

martabat serta perilaku hakim. Kata hakim pada Pasal 24 (1) tersebut memakai

huruf kecil bukan menggunakan huruf besar pada pada huruf h nya. Ini

menunjukkan bahwa secara linguistik penggunaan huruf h kecil untuk kata hakim

bukan untuk hakim tertentu (Hakim Agung) melainkan untuk sernua hakim

termasuk Hakim, Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Kemudian Pasal I

butir 5 UU No.22 Tahun 2004 menyatakan: " Hakim adalah Hakim Agung dan

hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan di bawah Mahkamah

Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi".

Adapun Pasal-Pasal yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi

dalam putusan Mahkamah Konstitusi adalah: Pertama, Pasal 1 butir 5, Hakim

233 Dari 9 hakim Mahkamah Konstitusi, tidak ada satu pun yang mengajukan dissentinngopinion (pendapat berbeda). Bahkan, Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, yang dalambanyak tulisan dalam buku-bukunya berharap agar hakim konstitusi dapat menjadi obyek pengawasanKY, ternyata juga ikut mendukung putusan pembatalan itu.

Page 178: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

177

Mahkamah Konstitusi (MK) tidak termasuk dalam pengertian hakim.234 Kedua,

pasal 20, Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi hakim. Ketiga, pasal 21,

Komisi Yudisial tidak berwenang lagi mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap

hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung (MA) dan atau Mahkamah Konstitusi

(MK). Keempat, pasal 22 huruf e, Komisi Yudisial tidak dapat lagi membuat

laporan basil pemeriksaan yang berupa rekomendasi. Kelima, pasal 22 ayat (5).

Komisi Yudisial tidak dapat meminta MA dan MK mengeluarkan penerapan paksa

jika hakim tidak bersedia memberi keterangan atau data yang diminta Kornisi

Yudisial. Keenam, pasal 23 ayat (2), usulan penjatuhan sanksi berupa teguran

tertulis yang semula mengikat MA dan MK, kini tidak lagi mengikat MA dan MK.

Ketujuh, pasal 23 ayat (3), Komisi Yudisial tidak bisa mengusulkan penjatuhan

sanksi berupa pemberitahuan sementara dan pemberhentian.

Kedelapan, pasal 23 ayat (5), mekanisme pengusulan pemberhentian

hakim oleh MA dan MK ke Presiden jika pembelaan diri hakim ditolak.

Kesembilan, pasal 24 ayat (1), Komisi Yudisial tidak berhak lagi mengusulkan

penghargaan terhadap hakim kepada MK. Kesepuluh, pasal 25 ayat (3) dan ayat

(4), rapat pleno Komisi Yudisial mengenai usul penjatuhan sanksi untuk hakim

MK dibatalkan. Kesebelas, pasal 34 (3) UU Kekuasan Kehakiman, pengawasan

perilaku hakim dan hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial dibatalkan.

Selain pembatalan terhadap sebagian dari pasal dalam Undang-Undang No. 22

Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi juga membatalkan

Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yang menyangkut

pengawasan perilaku hakim dan Hakim Agung yang dilakukan Komisi Yudisial

dibatalkan. Dengan dihapuskannya fungsi pengawasan Komisi Yudisial (KY)

234 Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa susunan pengaturan dalam UUD 1945 adalahMA, KY, dan baru Mahkamah Konstitusi, sehingga dari sistematika itu hakim konstitusi semenjakawal bukanlah obyek pengawasan KY. Padahal kesaksian perumus Perubahan UUD 1945 menyatakanbahwa sistematika demikian tidaklah berarti hakim konstitusi bebas dari pengawasan KY. Laindaripada itu, sesungguhnya “tidak ada hakim yang adil terhadap perkaranya sendiri”, jadi substansiputusan tersebut amat kental conflict of interest-nya dengan hakim konstitusi.

Page 179: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

178

tersebut. secara konstitusional, fungsi Komisi Yudisial pasca dikeluarkannya

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 adalah hanya sebagai

pengusul pengangkatan Hakim Agung kepada DPR. Dengan kata lain Komisi

Yudisial hanya menjalankan fungsi pengawasan yang bersifat preventif saja,

sedangkan pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial

tidak ada lagi. Artinya, pengawasan yang bersifat represif sudah dibatalkan dengan

putusan tersebut yang menyangkut juga perihal pengusulan sanksi kepada

pimpinan MA atau MK setelah memberikan keterangan di depan Majelis

Kehormatan. Praktis, eksistensi KY sebenarnya sudah di ujung tanduk.

Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi

peradilan melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan

dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan

independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat,

dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan

hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang

berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara

langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan

karena kepentingan politik atau ekonomi tertentudari pemerintah atau kekuatan

politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji

imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.

Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap

imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.

Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau

imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang

tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur

dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam

menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda.

Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain

Page 180: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

179

untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas

justisialnya.

Masih menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut

tidak pernah diartikan mengandung sifat yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum

dan keadilan. Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak

istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau

inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari

warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair

trial). Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi

peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi

personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif.

E. Implikasi

Dengan adanya Putusan MK itu maka revisi terhadap UU No. 22

Tahun 2004 perlu dilakukan. Jika hal ini tidak dilakukan sama dengan

membiarkan Komisi Yudisial tanpa memiliki fungsi pengawasan terhadap hakim

tentunya merupakan pilihan yang salah dan keliru, karena yang menjadi dasar

dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk melakukan monitoring secara intensif

terhadap penyelenggara kekuasaan kehakiman dan meningkatkan efesiensi dan

efektifitas menyangkut rekruitmen hakim agung serta menjaga kualitas dan

konsistensi putusan lembaga peradilan yang senantiasa diawasi secara intensif oleh

lembaga yang benar-benar independen. Hal lain juga akan membuat hakim dalam

membuat keputusan yang sewenang-wenang dan tidak bersikap adil dan hanya

bertindak berdasarkan kepentingan semata, apalagi yang menyangkut perkara

besar dan orang-orang penting serta merugikan keuangan negara yang begitu

besar. Jika hal ini terjadi maka kehancuran hukum di Indonesia hanya tinggal

menunggu waktu dan cita-cita penegakan hukum hanya sebatas harapan yang tidak

akan terwujud. Upaya revisi terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang

Komisi Yudisial adalah langkah yang konstruktif untuk memperbaiki kelemahan-

kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut, semua upaya tersebut

Page 181: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

180

tentunya tidak semudah yang dibayangkan, namun hal itu perlu dilakukan jika

ingin benar-benar menerapkan law enforcement di negara ini. Kita tentunya tidak

ingin lagi mendengar adanya praktek mafia peradilan (judicial corruption). Kita

juga tidak ingin kasus penyuapan tehadap Hakim Agung oleh Pengacara

Probosutedjo terulang kembali, dan masih banyak lagi hal-hal serupa yang telah

mencoreng muka peradilan di negeri ini. Menurut penulis, hal-hal semacam ini

rasanya sudah cukup dan lebih untuk dijadikan dasar mengembalikan fungsi

pengawasan Komisi Yudisial. Kita tidak perlu lagi memperdebatkan mengenai

alasan ketidaktepatan menerapkan checks and balances antara Komisi Yudisial

dengan Mahkamah Agung, kita tidak perlu lagi mengkait-kaitkan permasalahan

ini dengan teori-teori, tapi jadikan esensi dan subtansi serta harapan yang kuat dari

masyarakat untuk mengembalikan fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap

hakim, baik hakim pada Pengadilan Negeri. hakim pada Pengadilan Tinggi, dan

hakim pada Mahkamah Agung, karena keadilan rakyat hanya ada pada tangan

mereka.

Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial hendaknya

mengatur secara rinci hal-hal yang menyangkut tugas dan,wewenang Komisi

Yudisial agar bisa mewujudkan reformasi hukum dan checks and balance

terhadap pelaku kekuasaan kehakiman. Latar belakang inilah mengapa Mahkamah

Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi diatur dalam satu Bab dalam

Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah

satu bentuknya adalah adanya tugas yang paling fundamental dari Komisi Yudisial

untuk mengawasi pelaku kekuasaan kehakiman itu sendiri, termasuk juga Hakim

Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Sebelum melakukan revisi

terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,

hendaknya ketiga lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial membuat nota kesepahaman

menyangkut pengawasan hakim oleh KY maupun kewenangan yang lain yang

dianggap oleh kedua lembaga tersebut bertentangan dengan Undang-Undang

Page 182: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

181

Dasar 1945 karena nota kesepahaman ini dilakukan sama sekali tidak bertentangan

dengan prinsip ideologi Pancasila yang mengenal atau memakai asas musyawarah

untuk mufakat. Hal ini diperlukan agar setelah dikembalikan fungsi pengawasan

hakim oleh Komisi Yudisial terhadap masalah yang sama tidak terulang kembali

yaitu judicial review.

Dalam perspektif hukum tata negara, secara kelembagaan, Komisi

Yudisial dapat dikatakan sebagai komisi yang memiliki keunikan jika

dibandingkan dengan komisi lain. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain,

kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945,

yaitu Pasal 24B. Memang, komisi pemilihan umum juga mempunyai kewenangan

yang diberikan langsung oleh UUDNRI Tahun 1945, yaitu Pasal 22E ayat (5),

tetapi komisi pemilihan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut bukan sebuah

nama definit. Buktinya penulisannya tidak dengan huruf kapital, yang

menunjukkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi

pemilihan umum apa pun nama lembaganya. Selain itu, berbeda dengan komisi-

komisi yang lain, Komisi Yudisial secara tegas dan tanpa keraguan merupakan

bagian dari kekuasaan kehakiman meskipun bukan dalam pengertian sebagai

pelaku kekuasaan kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan

Kehakiman yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.

Pengaturan Komisi Yudisial dalam UUDNRI Tahun 1945 itu tidak

terlepas dari adanya upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam

struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari dianutnya

paham negara hukum yang salah satunya diwujudkan dengan cara menjamin

perekrutan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang

bertugas di lapangan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai moralitasnya

sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas dan kepribadian tidak

tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme. Dalam

kerangka inilah Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada

Page 183: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

182

tanggal 9 November 2001 hadir dan mengamanatkan terbentuknya lembaga yang

disebut Komisi Yudisial.

F. Pengaturan Jabatan Hakim

Hakim memiliki kedudukan sentral dalam sistem peradilan. Mengacu

kepada Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

status hakim adalah pejabat negara yang melakukan fungsi kekuasaan kehakiman.

Status sebagai pejabat negara makin dikukuhkan dengan lahirnya Undang-Undang

Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Namun, hingga saat ini

belum ada undang-undang yang mengatur spesifik tentang jabatan hakim.

Sehingga, pola pengangkatan hakim, jenjang karir, hak keuangan dan fasilitas

yang melekat masih menggunakan standar pegawai negeri sipil (PNS). Dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, misalnya, ditetapkan hakim

memperoleh tunjangan jabatan, namun gaji pokoknya masih merujuk pada standar

PNS.

Karena itu, kerja legislasi DPR yang sedang membahas Rancangan

Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim menjadi angin surga bagi kalangan hakim

dan masyarakat luas. RUU Jabatan Hakim sangat urgen diprioritaskan untuk

memperkuat kedudukan hakim dengan segala turunannya. Kerangka dasar RUU

Jabatan Hakim hendaknya berpedoman kepada nomenklatur hakim sebagai pejabat

negara. Harmonisasi berbagai aturan tentang hakim yang masih kontradiktif juga

penting dilakukan di Badan Legislasi (Baleg) DPR agar tak terjadi tumpang tindih.

Pada Februari 2016, Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR telah

menyerahkan draft RUU Jabatan Hakim kepada Komisi III. Uuslan resmi sudah

diserahkan ke Badan Legislatif (Baleg) untuk diharmonisasi dengan usulan dari

KY, FDHI, Balitbang Diklat Kumdil MA, dan IKAHI. Nantinya, RUU Jabatan

Hakim menjadi usul inisiatif DPR yang masuk Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) 2015-2019. Intinya, semua RUU Jabatan Hakim memiliki semangat

dan arah yang sama yakni adanya pengaturan komprehensif terkait jaminan

perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan bagi hakim. Termasuk pengaturan

Page 184: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

183

pola rekrutmen calon hakim serta hakim ad hoc dan pola pembinaan atau jenjang

karier profesi hakim sebagai pejabat negara yang berbeda dengan pegawai negeri

sipil (CPNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN).

Saat ini krisis hakim tengah mengancam. Sudah hampir lima tahun

proses rekrutmen tidak dilakukan karena pembahasan peralihan status hakim

sebagai pejabat negara berikut turunannya belum menghasilkan kesepakatan.

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No 43/PUU-XIII/2015 menyatakan,

proses seleksi (rekrutmen) hakim pengadilan tingkat pertama merupakan

kewenangan tunggal Mahkamah Agung tanpa harus melibatkan Komisi Yudisial.

Sebelum putusan MK itu pada perubahan atas paket UU No 49 Tahun 2009, UU

No 50 Tahun 2009, dan UU No 51 Tahun 2009 mengamanatkan agar proses

seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama dilakukan secara

"bersama" oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Putusan MK ini semakin

memangkas kewenangan Komisi Yudisial. Eksistensi UU No 18 Tahun 2011

sebagai upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga

negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang

kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang

merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia

semakin sulit ditegakkan.

Memang masih tersedia tugas dan wewenang bagi Komisi Yudisial.

Misalnya, melakukan seleksi pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung,

melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan

langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran

martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan bekerja sama dengan

aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi. Selain

itu, wewenang Komisi Yudisial adalah fungsi pengawasan eksternal terhadap

Mahkamah Agung. Pengawasan adalah kata kunci yang menjadikan peran Komisi

Yudisial amat strategis dalam menyukseskan agenda reformasi peradilan. Ketika

Komisi Yudisial mampu melaksanakan hak dan wewenang ini dengan baik, maka

Page 185: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

184

kualitas para hakim yang merupakan "wakil Tuhan" untuk memutus suatu perkara

benar-benar terjamin.

Persoalan utamanya dalam paket UU Peradilan yang dikeluarkan

tahun 2009 telah meniadakan syarat pengangkatan hakim harus PNS. Aturan ini

berimplikasi pada banyak hal khususnya status kepegawaian dan mekanisme

penggajian. Selama ini perekrutan calon hakim karirnya dimulai dari status calon

pegawai negeri sipil/calon hakim. Sehingga selama menjalani pendidikan calon

hakim masih bisa menerima gaji dari negara. Ketika calon hakim dinyatakan lulus

pendidikan maka akan diberhentikan dengan hormat sebagai PNS untuk diangkat

sebagai hakim. Berbeda jika calon hakim langsung ditetapkan sebagai pejabat

negara maka hal ini berdampak kepada banyak hal, termasuk di antaranya negara

akan mengalami kerugian apabila ada calon hakim yang tidak lulus pendidikan.

Di samping itu, terjadi problem apakah calon hakim yang tidak lulus tersebut

secara otomatis bisa dijadikan sebagai PNS di lingkungan MA. Jika demikian

pilihannya maka MA dan kementerian terkait perlu terus koordinasi agar

perekrutan hakim tidak terganjal. Kini yang menjadi harapan utama adalah ketika

diangkat sebagai hakim maka atribut kepegawaian, penetapan jenjang

kepangkatan, penggajian, protokoler, serta fasilitas lainnya harus menyesuaikan

dengan UU Jabatan Hakim. Jenjang kepangkatan yang selama ini masih mengikuti

pola PNS dan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2002

Tentang Kenaikan Jabatan dan Pangkat Hakim harus pula ditinjau kembali.

Komisioner KY Farid Wajdi memperkirakan ada 3 (tiga) hal penting

yang bakal menjadi pembahasan krusial dalam RUU Jabatan Hakim yang telah

disusun KY. Pertama, kejelasan status profesi hakim sebagai pejabat negara

dengan beragam jenis dan tingkatan hakim. Kedua, perlu ada pengelolaan atau

manajemen jabatan hakim mulai dari proses rekrutmen, pendidikan pelatihan,

mutasi-promosi hakim, hingga masa pensiun. Sebagai bentuk akuntabilitas, proses

rekrutmen dan mutasi-promosi hakim perlu keterlibatan lembaga lain atau

partisipasi publik. mutasi-promosi hakim perlu dibangun melalui mekanisme

Page 186: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

185

partisipasi publik dan pelibatan lembaga lain. Misalnya, mekanisme dibukanya

laporan/masukan masyarakat terhadap hakim yang ingin dipromosikan atau

dimutasikan, sebagai salah satu masukan utama. Di dalamnya, ada periodeisasi

penilaian kinerja secara berkala yang ditentukan per 3 tahunan, 5 tahunan, atau 7

tahunan. Hal ini bentuk evaluasi menyeluruh seorang hakim sebagai dasar mutasi-

promosi hakim atau penjatuhan sanksi bagi hakim. Sistem ini diterapkan di Peru,

di mana hakim per 7 tahun sekali dievaluasi dan sangat mungkin diberhentikan

apabila memiliki kinerja yang buruk. Ketiga, penguatan pengawasan MA dan KY

dengan merumuskan kembali sistem pengawasan yang lebih efektif agar tidak

overlapping. Perhatian terhadap efektivitas pengawasan berguna untuk

menghindari gesekan yang selama ini sering terjadi terutama menyangkut wilayah

teknis yudisial dan etika.

Isu pengawasan MA dan KY dalam RUU Jabatan Hakim mesti

diperjelas kewenangan masing-masing lembaga termasuk kekuatan mengikat

rekomendasi sanksi dari KY yang diajukan ke MA. Sebab, seringkali rekomendasi

sanksi ringan dan sedang yang diajukan KY tidak direspon oleh MA. Pengawasan

hakim juga penting diatur. Sebab, selama ini standar pengawasan telah memasuki

ranah teknis yudisial dan cenderung mengais kesalahan hakim. Sedangkan upaya

peventif dan proaktif untuk mencegah pelanggaran etik masih minim. Hakim

menangis saat baca putusan dijadikan persoalan. Hakim memutus perkara tidak

sesuai opini publik diperiksa. Seolah-olah peradilan opini jauh lebih tinggi

kedudukannya daripada putusan hakim.

Persoalan lain yang perlu diatur dalam RUU Jabatan Hakim adalah

masalah pembinaan hakim. Pembinaan meliputi penempatan, peningkatan

kapasitas, penilaian kinerja, mutasi, dan promosi. Penempatan hakim di samping

memperhatikan kebutuhan lembaga juga harus bermuara pada kesejahteraan

hakim. Sejak awal KY telah memberikan masukan agar pola mutasi

mempertimbangkan aspek keluarga. KY menyatakan sejumlah hakim yang

Page 187: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

186

menjadi pesakitan di Majelis Kehormatan Hakim (MKH) salah satu faktornya

karena berselingkuh.

Hakim di Indonesia pasti tak mengiginkan karirnya harus berakhir

dengan cacat di hadapan persidangan etik MKH. Apalagi, untuk meraih jabatan

hakim harus melewati persaingan ketat dan proses tidak mudah. Bahkan, kini

jabatan hakim menjadi primadona bagi lulusan perguruan tinggi hukum karena

dianggap profesi mentereng dan hak keuangannya lebih terjamin. Karenanya, pola

mutasi perlu memiliki keterhubungan nilai dengan upaya menjaga martabat dan

keluhuran hakim.

Dalam tatanan hukum, otoritas non-yudisial tidak bisa mengintervensi

apalagi merevisi putusan pengadilan. Ketidakpuasan terhadap putusan hakim

hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum banding, kasasi atau PK. Karena itu,

RUU Jabatan Hakim perlu tegas memuat ketentuan bahwa dalam menjaga

keluhuran dan martabat hakim terbatas pada dimensi non-teknis seperti dugaan

menerima suap, bertemu pihak berperkara dan pelanggaran etik lainnya.

Dalam dunia hukum dikenal asas "res judicata pro varitate habetur"

yang maknanya setiap putusan hakim harus dianggap benar dan dihormati. Bentuk

penghormatan terhadap putusan hakim adalah menerimanya atau jika tidak puas

tempuh upaya hukum. Bukan mencelanya hingga putusan hakim jadi bulan-

bulanan publik. Tapi kini norma universal ini mulai jarang ditaati. Putusan hakim

dibawa ke meja perdebatan publik yang tidak jelas ujungnya. Akhirnya putusan

hakim jadi bahan olok-olokan yang muaranya jabatan hakim juga jadi bahan olok-

olokan. Padahal kerja profesional hakim tidak bisa dilakukan sembarang orang.

Hakim adalah manusia pilihan yang bekerja bersama nurani dalam kesunyian dan

putusannya akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Berijtihad benar

dapat dua pahala, keliru pun dapat satu pahala. Kalaupun masyarakat getir atas

fakta adanya hakim yang melanggar etik dan melakukan perbuatan pidana seperti

menerima suap, maka hal itu jangan digeneralisir. Sebab masih banyak hakim

yang punya nurani, bangun tengah malam meminta petunjuk kepada Tuhan agar

Page 188: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

187

dalam memutus tidak keliru, dan menyadari di sebelah kanan dan kirinya ada

malaikat yang mengawasi. Sosok seperti mereka ini tidak banyak diekspos media

sehingga yang muncul ke permukaan hanyalah hakim nakal. Sehingga seolah

dikesankan mental semua hakim sudah bobrok.

Problem selanjutnya yang perlu diakomodir adalah perlindungan

hakim yang sangat minim di samping pengaturan sanksi tegas perbuatan

penghinaan pengadilan. Seperti menyerang imparsialitas dan tidak menaati

perintah pengadilan, berperilaku tercela dan tidak pantas, menghalang-halangi

jalannya penyelenggaraan pengadilan, serta penghinaan yang dilakukan dengan

publikasi atau pemberitahuan.

Penjelasan umum butir 4 UU Nomor 14/1985 yang telah diubah

dengan UU Nomor 3/2009 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa untuk

lebih menjamin terciptanya suasana yang baik bagi penyelenggaraan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, perlu dibuat suatu

undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap

dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat,

dan kehormatan badan peradilan. Norma hukum tentang contempt of court selama

ini masih menyebar di beberapa bab dalam KUHP. Karena itu, DPR hendaknya

memprioritaskan pengesahan RUU jabatan hakim dan RUU contempt of court

karena sifatnya genting dan memaksa.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak

Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA)

sejatinya mengatur banyak hal terkait hak keuangan hakim. Beberapa di antaranya

mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi,

jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan

protokol, penghasilan pensiun dan tunjangan lain.

Namun ada beberapa amanat pasal yang hingga sekarang belum

sepenuhnya bisa ditunaikan. Pasal 5 dan 6, misalnya, disebutkan bahwa hakim

diberikan hak menempati rumah negara dan menggunakan fasilitas transportasi

Page 189: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

188

selama menjalankan tugasnya. Dalam hal rumah negara dan atau sarana

transportasi belum tersedia, hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan

transportasi sesuai kemampuan keuangan negara. Penggunaan frasa "dapat"

mengandung penafsiran sebagai kata tidak bergegas. Apalagi digantungkan pada

suatu keadaan, yakni jika negara mampu, tentu realisasinya bersinggungan erat

dengan politik keuangan. Makanya hingga saat ini hak-hak keuangan hakim belum

sepenuhnya ditunaikan oleh negara.

Namun, di balik peningkatan kesejahteraan hakim harus ada

konsekuensi tanggungjawab profesionalisme yang harus pula ditunaikan oleh

hakim. Kenaikan penghasilan terselip sejuta harapan dari seluruh masyarakat

Indonesia agar keadilan benar-benar ditegakkan. Hakim adalah simbol puncak

kearifan, luasnya pengetahuan dan penjaga keadilan. Sehingga, bhakti dan kerja

profesionalnya sangat dibutuhkan untuk membumikan keadilan dalam dunia nyata.

Tuntutan untuk bersikap adil dan independen senyatanya bukan disandarkan pada

besar-kecilnya penghasilan. Sejak hakim disumpah atas nama Tuhan maka sejak

itu pula tugas dan kewajibannya sebagai hakim melekat. Sifat adil, arif, bijaksana,

rendah hati, bertanggungjawab, dan sebagainya harus melekat dalam

karakter/struktur mentalitasnya.

Sebagai penutup, RUU Jabatan Hakim adalah hajat semua lapisan

masyarakat yang harus dikawal dinamika pembahasannya. Hal ini bertujuan agar

hakim semakin memiliki kedudukan yang kuat dalam menjalankan tugas-tugas

peradilan dengan tetap berpegang teguh pada nilai etik dan menjunjung tinggi

keluhuran martabat hakim. Hingga hari ini, profesi hakim menjadi satu-satunya

aparat penegak hukum yang belum memiliki UU sendiri. Seperti polisi yang

memiliki UU Nomor 2/2002 tentang Polri, jaksa memiliki UU No 16/2004

Kejaksaan, pengacara memiliki UU Nomor 18/2003 tentang Advokat, notaris

memiliki UU Nomor 2 Tahun 2014 dan militer memiliki UU No 34/2004 tentang

TNI.

Page 190: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

189

BAB VII

POLITIK HUKUM HAK ASASI MANUSIA

A. Teorisasi Politik Hukum

Para ilmuan hukum memberikan pengertian yang berbeda terhadap

konsepsi tentang politik hukum. LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar

Ilmu Hukum menyebut dengan istilah politik perundang-undangan.235 Pengertian

yang demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum

dianggap identik dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui

juga akan tetapi hanya apabila diakui oleh Undang-undang.236 Politik hukum juga

dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk menerapkan hukum.237

Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai

pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah

suatu negara dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.238

Konsepsi lain tentang politik hukum dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda

Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama dengan politik

pembangunan hukum.239

Pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara berikutnya diikuti oleh

Moh. Mahfud MD yang menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal

policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah

Indonesia. Legal policy ini terdiri dari: pertama, pembangunan hukum yang

235 LJ. van Appeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo),Jakarta, Pradnya Paramitha, cet. Ke-18, hlm. 390.

236 A.S.S. Tambunan, 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: PuporisPublishers, hlm. 9.

237 David Kairsy (ed)., 1990, The Politics of Law, A Progressive Critique, New York:Pantheon Books, hlm. xi.

238 Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember1973, hlm. 4.

239 Lihat dalam A.S.S. Tambunan, ibid.

Page 191: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

190

berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat

sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaanketentuan hukum yang telah ada

termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.240

Berdasar pengertian tersebut menurut Moh. Mahfud terlihat politik

hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat

menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum dibangun dan ditegakkan.241

Pengertian lain tentang politik hukum yang aplikatif juga disampaikan oleh

Hikmahanto Juwono. Menurutnya, peraturan perundang-undangan (legislation)

merupakan bagian dari hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara.

Oleh karena itu pembuatan dari peraturan perundang-undangan tersebut memiliki

tujuan dan alasan tertentu yang dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan

alasan yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan ini disebut

dengan politik hukum.242

Politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Pertama adalah

politik hukum yang menjadi alasan dasar diadakannya peraturan perundang-

undangan. Dimensi yang pertama disebut dengan “kebijakan dasar” atau

basic policy. Dimensi yang kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul dibalik

pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Dimensi yang kedua ini disebut

dengan kebijakan pemberlakuan atau enactment policy.243

Dalam tulisan ini, optik analisis politik hukum terletak kepada

pemahaman (begrip) mengani berbagai tujuan dan alasan yang menjadi dasar

diaturnya hak asasi manusia yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana

hukum dibangun dan ditegakkan.

240 Moh. Mahfud MD, 2001, Politik Hukum di Indonesia,Cet. Kedua, Jakarta: LP3ES.Lihat referensi aslinya dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalahpada Kerja latihan bantuan Hukum, LBH, Surabaya, September 1985.

241 Ibid.242 Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di

Indonesia”. Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor (S3) UII.243 Ibid.

Page 192: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

191

B. Konseptualisasi HAM

Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) berarti membicarakan

dimensi kehidupan manusia. Seperti dituturkan oleh Majda El-Muhtaj244, HAM

ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan

berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia,

kata Franz Magnis Suseno245, menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup

adalah ciptaan Tuhan Yang Mahaka Kuasa dan patut memperoleh apresiasi secara

positif. Dari perspektif lainHak Asasi Manusia (HAM) secara normatif bertujuan

mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau membatasi

penggunaan sarana kursif negara. Menurut Rhoda E. Howard246, HAM mutlak

diperlukan dunia modern di manapun orang tinggal dan apapun nilai-nilai

pribadinya. Dengan demikian HAM pertama-tama dimaksudkan untuk melindungi

individu terhadap negara dan semua kekuatan kursif yang menyelinap ke mana-

mana yang biasa dilakukan banyak negara modern. Singkatnya, seperti dikatakan

oleh Philipus M. Hadjon, HAM adalah klaim yang dimiliki dan dipertahankan

individu tanpa bermaksud mengurangi jenis-jenis hak kolektif tertentu, misalnya:

hak untuk terbebas dari diskriminasi rasial, apartheid atau genosida, dan hak untuk

menentukan nasib sendiri terhadap negaranya, yang telah pula diakui dalam

hukum internasional terlepas dari fakta apakah penguasa menerima atau

menyangkalnya.247

244 Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi di Indonesia Dari UUD1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana, hlm. 1.

245 Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar KenegaraanModern, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 121.

246 Rhoda E. Howard, 2000, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, hlm. 11-12. Bandingkan: Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN UI, hlm. 317-318.

247 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, op.cit., hlm 38-41.Bandingkan: Jack Donnelly, ”Apakah Hak-hak Asasi Manusia Itu?”, dalam George Clack danKathleen Hug (Eds.), 1998, HAM: Suatu Pengantar, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 2-3 dan 34.

Page 193: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

192

Konsep hak (right) dengan ajektif manusia (human) menurut Peter R.

Baehr248 mempunyai implikasi instrinsik bahwa hak-hak itu dimiliki oleh laki-laki

maupun perempuan (men and women) secara sama; seluruh manusia di manapun

dan kapanpun karena kemanusiaannya (humanity) tanpa memandang jenis

kelamin, ras, usia, kelas sosial, kewarganegaraan, etnis atau afiliasi kesukuan,

kekayaan, jabatan, keahlian, agama, ideologi, dan komitmen-komitmen lainnya.

Karena merupakan implikasi dari kemanusiaan seseorang, maka hak ini

bersifat inalienable, tidak dapat dialihkan, dirampas, atau diganggu gugat; dan

imprescriptible, tidak dapat hilang, betapapun telah digerogoti atau gagal dalam

pemenuhannya. Ajektif fundamental untuk menjelaskan konsep human rights

seringkali dilakukan untk menunjukkan pentingnya hak-hak ini bahwa kehidupan

martabat dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya bergantung kepadanya. Meskipun

demikian, tidak berarti bahwa hak-hak ini absolut. Dalam situasi, waktu, dan cara-

cara tertentu, hak-hak tertentu dapat dikenakan pembatasan. Oleh karena itu, hak-

hak ini disebut prima factie.249 Dengan keseluruhan pemikiran di atas, maka tepat

yang dikatakan oleh Todung Mulya Lubis, bahwa menelaah HAM sesungguhnya

adalah menelaah totalitas kehidupan, sejauh mana kehidupan kita memberi tempat

yang wajar kepada kemanusiaan.250

Oleh sebab itu, HAM kemudian dianggap melekat pada ”setiap orang.”

Penggunaan kata ”setiap orang” menunjukkan maksud untuk menjamin dan

melindungi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi warga negara asing

untuk hidup. Adalah dapat dimengerti dan diterima apabila, misalnya, warga

negara asing di suatu negara memiliki hak yang berbeda dalam hal pemerintahan

negara tersebut. Misalnya, ia tidak memiliki hak untuk menjadi calon presiden

248 Peter R. Baehr, 1998, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, hlm. 10.

249 Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAMdi Indonesia, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, hlm. 13-15.

250 Todung Mulya Lubis, 1984, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta:LP3ES, hlm. 14.

Page 194: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

193

negara tersebut atau tidak memiliki hak suara dalam pemilihan umum di

negara tersebut. Akan tetapi sulit ditemukan alasan (rationale) yang dapat

menjelaskan mengapa warga negara asing memiliki hak yang lebih rendah atau

lebih terbatas daripada warga negara dalam hal hak untuk hidup serta hak untuk

mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Sudah menjadi ketentuan umum dalam traktat-traktat hak asasi manusia

(human rights treaties) bahwa dalam keadaan darurat negara dapat mengurangi

kewajibannya (untuk memajukan atau melindungi hak asasi) yang diatur

berdasarkan traktat-traktat tersebut. Namun hal ini tidak dapat diterapkan pada

semua jenis hak asasi. Ada sejumlah hak asasi yang sangat penting yang tidak

diizinkan dilakukan pengurangan kewajiban walaupun negara dalam keadaan

darurat sekalipun. Hak-hak asasi tersebut dikenal dengan istilah nonderogable

rights. Dalam UUD 1945, non-derogable rights diatur dalam Pasal 28I ayat (1)

UUD 1945 yang menyatakan: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,

hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut

atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apa pun. Pasal ini menggunakan frasa “hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” sebagai terjemahan

dari non-derogable rights. Pada ICCPR, non-derogable rights diatur dalam

Pasal 4 ayat (2). Sehubungan dengan “hak untuk hidup” misalnya, yang diatur

dalam Pasal 28I ayat (1), Mahkamah Konstitusi dengan suara bulat berpendapat

bahwa “hak untuk hidup” merupakan hak asasi manusia yang sangat penting,

“sehingga Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai

salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.251

251 Mahkamah berpendapat bahwa hak asasi manusia mengakui hak-hak yang penting bagi kehidupanmanusia. Dapat dikatakan bahwa di antara hak asasi yang lain, hak untuk hidup, hak untukmempertahankan hidup dan kehidupan merupakan hak yang sangat penting. Demikian pentingnya hakuntuk hidup dimaksud, sehingga Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagaisalah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Lihat: Putusan Nomor 019-

Page 195: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

194

Keberadaan frasa “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”

merupakan indikasi yang sangat kuat bahwa UUD 1945 tidak menghendaki

pembatasan atas hak-hak asasi manusia yang disebutkan secara spesifik dalam

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pada prinsipnya, jikalau dikehendaki adanya

pembatasan atas hak asasi manusia maka konstitusi akan menyatakannya secara

tegas di dalam konstitusi itu sendiri. Karena Pasal 28I ayat (1) secara tegas

menyatakan bahwa ketujuh hak asasi manusia tersebut “tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apa pun”, maka logikanya adalah bahwa UUD 1945 tidak

menghendaki adanya pembatasan terhadap hak untuk hidup dan hak-hak asasi

manusia lainnya yang disebutkan secara spesifik pada Pasal 28I ayat (1).

Di dalam praktik, agak sulit untuk mengindentifikasi karakter dari non

derogable rights berdasarkan satu pemahaman yang bersifat unitaris atau satu

pemahaman yang tunggal, misalnya ketika ingin mengindentifikasi non derogable

rights dari perspektif ius cogent bahwa dia adalah norma yang memiliki status ius

cogent di dalam International Customary Law, maka akan sangat sulit menerima

konsekuensi logisnya terhadap satu hak yang diakui sebagai non derogable rights

di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, yaitu hak untuk

bebas dari hukuman dalam perkara hutang piutang dan agak sulit bagi negara-

negara yang tergabung dalam PBB untuk menerima konsekuensi bahwa hak

tersebut memiliki status ius cogen.

Dalam American Convention of Human Rights, ada jenis hak yang

disebut hak untuk mendapatkan nama, hak untuk berkeluarga, dan hak untuk

partisipasi, di mana ketiga hak tersebut tidak ada dalam International Covenant on

Civil and Political Rights. Hal Ini memperlihatkan bahwa di dalam pendefinisian

non derogable rights ada aspek history background dari setiap negara berdasarkan

pengalaman yang khas dalam sejarah peradabannya, kemudian urutan pengalaman

020/PUU- III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatandan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, hlm. 106.

Page 196: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

195

buruk yang di dalam sejarah peradaban negara tersebut selanjutnya memastikan

tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan apa yang dianggap sangat penting

untuk dihindari dan tidak boleh terulang di masa depan.

Penambahan non derogable rights dapat dilakukan akan tetapi tidak dapat

mengurangi apa yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai the

core of rights dari non derogable rights, di mana ada 4 (empat) hal yaitu hak

untuk hidup (right to life), hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang

merendahkan martabat, hak untuk tidak dianiaya, dan hak untuk tidak diadili oleh

hukum yang berlaku surut (post facto law). Keempat hak tersebut adalah inti dari

hukum Humanitarian International atau dapat dikatakan bahwa seluruh hukum

Humanitarian International bersifat non derogable rights. Kemudian dalam

hukum internasional ada 4 (empat) jenis hak asasi manusia yang sama sekali tidak

boleh dikurangi di dalam keadaan apapun termasuk dalam keadaan perang adalah

empat hak untuk hidup (right to life), hak untuk bebas dari penyiksaan dan

perlakuan yang merendahkan martabat, hak untuk tidak dianiaya, dan hak untuk

tidak diadili oleh hukum yang berlaku surut (post facto law).

Terhadap hak-hak yang dikualifikasikan sebagai non derogable rights

tidak dapat dilakukan pembatasan. Di dalam Universal Declaration of Human

Right memang ada semacam pernyataan umum yang menyatakan bahwa hak-hak

tersebut dapat ditunda pemenuhannya di dalam keadaan tertentu, namun harus

berdasarkan kebutuhan dari penanganan keadaan tersebut, seperti right to freedom

of traveling dan right to freedom of expression, dalam suatu keadaan bencana alam

yang dalam penanganannya telah direalisasikan semacam keadaan darurat maka

hak tersebut dapat ditunda. Kedua hak tersebut dapat ditunda karena tidak

termasuk di dalam non derogable. Namun terhadap non derogable rights hal itu

tidak dapat dilakukan. Dalam International Covenant on Civil and Political

Rights —seperti yang dikatakan oleh Prof. Philip Alston ada semacam—

bukan dispensasi—tetapi masih ada ketegangan di beberapa negara tetap tidak

dapat menerima, sehingga di dalam klausa Internastional Covenant on Civil and

Page 197: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

196

Political Rights tidak secara tegas mengatakan bahwa hukuman mati harus

dibantah, tetapi pada dasarnya non derogable rights tidak dapat ditunda sama

sekali pemenuhannya dan tidak bisa dikurangi sama sekali berdasarkan kehendak

dari gerakan hak asasi manusia internasional di PBB.

Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan

kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.

Hal ini mutlak sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa

Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang

berasaskan kekeluargaan denga tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil,

moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang secara

proporsioanl. Manusia di sini dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial

dan dipandang sebagai warganegara. Jadi, konsep HAM di Indonesia bukan saja

terhadap hak-hak mendasar tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai

warganegara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis,

menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum internasional

mengenai HAM yang diterima bangsa Indonesia, juga wajib membela terhadap

negara. Sementara itu, kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati,

melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan hukum internasional HAM yang diterima oleh

Indonesia.

Hal itu tercantum dalam TAP MPR Nomor VXII/MPR/1998, tentang

sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, dan

juga terangkat dalam UUD 1945 Pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap

orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Maka

sebagai Hukum Dasar Tertinggi (Grundnorm), itu haruslah menjadi pedoman

bagi segenap aturan hukum dibawahnya. Di samping itu berdasarkan Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup (Right to Life)

menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak untuk hidup dan mendapat

perlindungan hukum dan tiada yang dapat mecabut hak itu”. Maka dengan

Page 198: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

197

demikian, hukuman mati jelas-jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional

tersebut, yang seharusnya segera diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai

bentuk kewajiban negara dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-

hak asasi terhadap segenap warga negara sebagaimana telah diadopsi dalam Pasal

28A UUD 1945. Selanjutnya dikatakan, bahwa bentuk-bentuk pemidanaan tidak

terlepas dari tujuan pemidanaan, yaitu pembalasan dan pencegahan. Yang

dimaksudkan dengan pembalasan yaitu pemberian hukuman yang seimbang

dengan penderitaan korban, sementara pencegahan dimaksudkan lebih pada agar

orang lain jera untuk melakukan kejahatan.

Implementasi dari penerimaan kerangka berpikir ini antara lain dalam

mekanisme penjatuhan pidana terhadap setiap orang yang dianggap memenuhi

syarat untuk dipersalahkan oleh pengadilan. Bangsa Indonesia yang menjunjung

tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya adalah hak-hak para terpidana.

Berkaitan dengan hak-hak terpidana, timbul pemikiran-pemikiran baru mengenai

fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar menekankan pada aspek pembalasan

(retributive), akan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi

sosial bagi pelaku tindak pidana. Sistem pemidanaan yang sangat menekankan

pada unsur “balas dendam” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu

sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi

sosial. Konsep ini bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi

berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga

masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Hal

ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan yang menekankan bahwa narapidana bukan saja objek melainkan

juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat

melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak

harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat

menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum,

kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan

Page 199: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

198

pidana. Dengan demikian, pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan

Narapidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga

masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai- nilai moral,

sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib

dan damai.

Ajaran pembalasan yang modern bertolak dari pandangan bahwa

perbuatan yang mewujudkan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan kepada

seorang pribadi yang bebas yang dapat dinyatakan bertanggung jawab atas

peristiwa tersebut. Hukuman itu mengandaikan kebebasan bertindak pada pelaku

dan pertanggung jawaban untuk perbuatan yang dilakukan dalam kebebasannya.

Jadi, jika negara menghukum seseorang berarti bahwa negara mengakui orang

tersebut sebagai manusia yang bebas dan bertanggung-jawab. Pertanggungjawaban

tersebut sejalan dengan derajat kebebasan pada saat perbuatan terkait dilakukan.

Jadi, hukuman itu pantas dijatuhkan kepada orang untuk perbuatan yang telah

dilakukannya dalam kebebasan. Jika perbuatan tersebut tidak dilakukan dalam

kebebasan, maka yang layak dijatuhkan adalah bukan hukuman sebagai

pembalasan, melainkan tindakan pendidikan dan tindakan perlindungan. Ajaran

pembalasan mendekati masalah sanksi pidana dengan perspektif keadilan.

Bagi Indonesia, pemikiran kefilsafatan itu relevan sekali

berhubung Indonesia tengah membina tata hukum nasionalnya, yakni meletakkan

dasar-dasar dan menyusun sistem hukum nasional termasuk Hukum Pidana

dengan stelsel pidananya. Pemikiran kefilsafatan yang dapat menghasilkan sikap

yang fundamental terhadap hukuman mati kiranya akan menjauhkan kita dari

keterombang-ambingan oleh pengaruh dari luar Indonesia. Kesulitannya adalah

bahwa dalam pemikiran kefilsafatan itu sendiri terdapat bermacam ragam aliran

yang bersimpang siur. Tetapi bagi kita tidaklah terlalu sulit untuk menentukan

pilihan. Sebab, para pendiri negara Republik Indonesia sudah memberikan

“patokan” atau “pedoman”-nya, yakni dengan menetapkan Pancasila sebagai

landasan atau asas dalam menyelenggarakan kehidupan bersama dalam kerangka

Page 200: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

199

organisasi negara; singkatnya: menetapkan Pancasila sebagai asas negara. Dengan

demikian, wajarlah jika Pancasila ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan bagi

pembinaan dan penyelenggaraan hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa Pancasila

adalah norma kritik untuk membina dan menyelenggarakan hukum di Indonesia.

Jika Pancasila dipandang sebagai suatu kesatuan dari lima sila yang saling

berkaitan, yang di dalamnya sila-sila itu saling membatasi dan saling memperkaya

makna masing-masing sila, dan kemudian memaparkannya sebagai suatu

keutuhan, maka kita akan memperoleh suatu gambaran tentang eksistensi manusia.

Pandangan Hidup Pancasila berpangkal pada kenyataan bahwa alam semesta

dengan segala hal yang ada di dalamnya yang merupakan suatu keseluruhan yang

terjalin secara harmonius diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tidak sesuatu

pun yang ada di dalam alam semesta yang berdiri sendiri terlepas dari

perkaitannya dengan isi alam semesta yang lainnya. Setiap realitas yang ada

adalah suatu bagian dari realitas yang lebih besar dan yang meliputinya, dan pada

gilirannya juga merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar lagi,

dan demikian seterusnya ad infinitum. Realitas yang ada adalah unik, tetapi hanya

mempunyai makna dalam kaitannya dengan hal-hal lainnya yang masing-masing

juga unik. Tiap realitas mempunyai kedudukan tertentu di dalam kerangka suatu

kelompok realitas dan dalam keseluruhan ralitas. Karena itu, asas dari

eksistensinya adalah kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan.

Dari segi hukum positif HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada

hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa

dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan

dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan

serta perlindungan harkat dan martabat manusia.252 Artinya, yang dimaksud

sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi

252 Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Page 201: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

200

manusia. Karena itu, hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari

pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Namun, karena hak asasi

manusia itu telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga juga telah

resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara atau “constitutional rights”.

Pengertian-pengertian mengenai hak warga negara juga harus dibedakan

pula antara hak konstitusional dan hak legal. Hak konstitutional (constitutional

rights) adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan

hak-hak hukum (legal rights) timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan

peraturan perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations). Setelah

ketentuan tentang hak asasi manusia diadopsikan secara lengkap dalam UUD

1945,253 pengertian tentang hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dapat

dikaitkan dengan pengertian “constitutional rights” yang dijamin dalam UUD

1945. Selain itu, setiap warga negara Indonesia memiliki juga hak-hak hukum

yang lebih rinci dan operasional yang diatur dengan undang-undang ataupun

peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah. Hak-hak yang lahir dari

peraturan di luar undang-undang dasar disebut hak-hak hukum (legal rights),

bukan hak konstitusional (constitutional rights).Bercakap-cakap soal Hak Asasi

Manusia (HAM), suka atau tidak suka akan selalu terkait dengan Negara. Analisis

teoritis konsep HAM menunjukkan korelasinya yang erat dengan pengertian

Negara sebagai organisasi kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, Negara

senantiasa menjadi ancaman bagi keselamatan atau keamanan setiap manusia di

bawah yurisdiksinya karena tidak seorang pun terbebas dari kekuasaan

kursifnya.254 Oleh karena pemahaman semacam ini, maka Rhoda E. Howard

berujar bahwa konsep HAM secara normative bertujuan mencegah kemungkinan

terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau membatasi penggunaan sarana

253 Lihat Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000.254 Miriam Budiardjo, 1997, Dasart-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

hlm. 40-41.

Page 202: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

201

kekuasaan kursif Negara.255 Jelasnya, seperti dikatakan oleh Jack Donnelly, HAM

merupakan klaim yang dimiliki dan dipertahankan individu tanpa bermaksud

mengurangi jenis-jenis hak kolektif tertentu, misalnya hak untuk terbebas dari

diskriminasi rasial, apartheid atau genosida, dan hak untuk menentukan nasib

sendiri terhadap negaranya, yang telah pula diakui dalam hokum internasional

terlepas dari fakta apakah penguasa menerima atau tidak.256 Dalam cakupan yang

positif, Scott Davidsons menunjuk Negara hanyalah sebagai alat untuk

mewujudkan tujuan rakyat yang mendirikannya, yaitu untuk melindungi

kehidupan, kebebasan, dan seluruh harta milik rakyat.257 Sehubungan dengan hal

ini, John Locke menunjuk adanya justifikasi teoritis prinsip pertanggungjawaban

Negara (pemerintah) melanggar atau menyalahgunakan kepercayaan yang ada

padanya.258

Tetapi, Jimly Asshiddiqie259 menolak jika kaitan HAM dengan Negara

sebagai organisasi kekuasaan dipandang sebagai konsep tunggal. Apa yang sudah

dikemukakan di muka baru HAM generasi pertama, yaitu HAM yang dipahami

dalam konteks hubungan kekuasaan yang vertical antara rakyat dengan

pemerintahan dalam suatu Negara. Ada 3 (tiga) varian konsep HAM dalam barisan

generasi ini yaitu (i) HAM yang mencakup prinsip integritas manusia, kebutuhan

dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik; (ii) Konsepsi HAM yang

mencakup upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan

ekonomi, social, kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk

255 Rhoda E. Howard, 2000, op.cit, hlm. 11-12. Lihat juga soal asal-usul HAM ini dalamMoh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 317-318.

256 Jack Donnelly, “Apakah Hak-Hak Asasi Manusia Itu?”, dalam Geogre Clark danKathleen Hugs (Eds.), 1998, HAM; Suatu Pengantar, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 2-3 dan 34.

257 Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm. 38.258 John Locke, 2002, Kuasa Itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya,

Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil (Terjemahan), Yogyakarta: Kanisius, hlm. 26dan hlm 164-165.

259 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, op.cit., hlm. 220-228.

Page 203: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

202

menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam pertemuan-pertemuan

ilmiah, dan lain sebagainya; dan (iii) Konsepsi HAM yang mencakup pengertian

mengenai hak untuk pembangunan (rights to development) seperti hak untuk

berpartisipasi dalam proses pembangunan, hak untuk menikmati hasil-hasil

pembangunan, menikmati hasil perkembangan ekonomi, social, dan budaya, dan

sebagainya. Dalam tahap berikutnya, konsep HAM tidak cukup hanya dipahami

dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertical, tetapi mencakup pula

hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antarkelompok

masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antarsatu

kelompok masyarakat di suatu Negara dengan kelompok masyarakat di Negara

lain.

Juga manusia diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir kehidupannya

adalah untuk kembali kepada sumber asalnya, yakni Tuhan. Tiap manusia

individual dilengkapi dengan akal budi dan nurani yang memungkinkan manusia

untuk membedakan yang baik dari yang buruk, yang adil dari yang tidak adil, yang

manusiawi dari yang tidak manusiawi, yang perlu dari yang tidak perlu, yang

harus dan yang tidak harus dilakukan, yang boleh dan yang dilarang, dan dengan

itu manusia individual memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan

sendiri pilihan tindakan yang (akan) dilakukannya serta kehidupan yang ingin

dijalaninya. Karena itu, tiap manusia individual bertanggung-jawab untuk

perbuatan yang telah atau akan dilakukannya. Adanya akalbudi dan nurani itu

menjadi landasan dari kebermartabatan manusia. Artinya, karena akal budi dan

nuraninya itu maka di satu pihak manusia individual bertanggung jawab untuk

perbuatan apapun yang ia lakukan dalam kebebasannya, dan di lain pihak manusia

memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri. Pada sisi lain, manusia juga

diciptakan dengan kondrat dalam kebersamaan dengan sesamanya di dalam

perkaitan dengan isi alam semesta lainnya sebagai suatu keseluruhan.

Dalam kebersamaannya itu, tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang

membedakan yang satu dari yang lainnya. Keseluruhan pribadi-pribadi dengan

Page 204: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

203

keunikannya masing-masing itu mewujudkan suatu kesatuan, yakni kemanusiaan.

Karena itu, keseluruhannya disebut umat manusia. Dalam masing-masing pribadi

yang unik itu terjalin kemanusiaan. Karena itu, kehadiran manusia dalam

kebersamaannya memperlihatkan kodrat adanya kesatuan atau kesamaan (yakni:

kemanusiaan) di dalam pribadi-pribadi yang unik (yang berbeda). Jadi, kesatuan

dalam perbedaan. Sebaliknya, kebersamaan itu memperlihatkan kodrat

kepribadian yang unik (perbedaan) di dalam kesatuan kemanusiaan; jadi,

perbedaan dalam kesatuan. Kodrat “Kesatuan dalam Perbedaan” dan

“Perbedaan dalam Kesatuan” dari eksistensi manusia itu dirumuskan

(terungkapkan) dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.

Untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat

manusia yang berkemanusiaan, maka masyarakat harus mengakui dan memelihara

serta melindungi kepribadian masing-masing warganya, yakni manusia-manusia in

konkreto melalui siapa kemanusiaan diwujudkan (direalisasikan).

Jadi, masyarakat sebagai suatu kesatuan berkewajiban menciptakan dan

memelihara kondisi yang memungkinkan setiap manusia merealisasikan diri.

Sebaliknya hal itu tidak berarti bahwa masing-masing individu manusialah

yang terpenting, dan karena itu kepentingan tiap manusia secara bersendiri

harus didahulukan dari masyarakat (seperti pada individualisme). Sebab, terbawa

oleh kodrat kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan sesamanya, manusia

hanya dapat merealisasikan dirinya secara otentik (utuh) dalam masyarakat yang

ke dalamnya setiap manusia menjadi warga atau anggotanya. Dengan demikian

penyelenggaraan kehidupan manusia atau proses merealisasikan diri dari setiap

manusia berlangsung di dalam kebersamaannya itu, yakni di dalam masyarakat.

Untuk dapat merealisasikan dirinya secara wajar, manusia memerlukan adanya

ketertiban dan keteraturan (berekenbaarheid, prediktabilitas, hal dapat

diperhitungkan terlebih dahulu) di dalam kebersamaannya itu. Ketertiban

diwujudkan dalam perilaku manusia. Untuk mewujudkan ketertiban itu, manusia

memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang

Page 205: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

204

dirumuskan dalam bentuk kaidah hukum. Kaidah hukum menetapkan bahwa jika

terjadi situasi tertentu, maka subjek tertentu dalam hubungannya dengan subjek

lain harus bertindak (melakukan perilaku) dengan cara tertentu. Jadi, pada

hakikatnya kaidah hukum menetapkan hubungan antara syarat dan apa yang

seharusnya terjadi jika syarat itu dipenuhi. Jika apa yang diharuskan itu dalam

kenyataan ditaati (dilaksanakan) maka akan terwujudlah ketertiban di dalam

masyarakat.

Di dalam Pembukaan UUD 1945 dirumuskan terlehih dahulu pikiran-

pikiran dasar, karakter-karakter dasar (preambule) yang menjadikan ketentuan-

ketentuan yang dibentuk kemudian mengikuti pikiran-pikiran dasar ataupun

karakter dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu itu. Penentuan aturan-aturan

saja tidak berarti apa-apa, selain memiliki karakter, pikiran sebagai arah, jalur,

jalan bagi dilaksanakannya aturan-aturan tersebut.

Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai-nilai moral dan etika yang

terutama dirumuskan dalam Pancasila. yang disebut kemudian sebagai dasar

negara. Dalam lingkup pernikiran hukum, apa yang disebut sebagai dasar negara

ini adalah juga pikiran dasar, karakter dasar, arah dan jalur bagi dilaksanakannya

aturan-aturan yang ada di dalam Batang Tubuh UUD 1945. Pikiran dasar, karakter

dasar, arah dan jalur tersebut berkaitan erat dengan nilai nilai moral dan etika.

Mengartikan makna dan nilai moral dan etika dalam Pembukaan UUD

1945 senantiasa bersifat tetap tetapi menghadapi fakta yang berbeda dengan fakta

pada masa-masa perjuangan membebaskan diri dari penjajahan pada masa lampau.

Dengan kata lain, fakta-fakta yang dihadapi bisa berbeda, tetapi nilai moral dan

etika yang diberikan terhadap fakta adalah tetap.

Butir-butir Pancasila yang dipertegas dalam Alinea IV Pembukaan

UUD 1945, sudah mulai tampak sejak Alinea I yakni butir tentang "kemerdekaan",

"hak segala bangsa". "perikemanusiaan" dan "perikeadilan". Arti dari nilai moral

dan etika tentang "kemerdekaan" pada masa kini memperoleh arti tidak semata-

mata pada fakta kemerdekaan politik suatu bangsa, agar bebas dari kolonialisme,

Page 206: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

205

kemudian membentuk diri dalam satu negara. Tetapi nilai dan etika

"kemerdekaan" saat ini harus diartikan sehagai keadaan yang bebas dari pengaruh

dan campur tangan pihak luar, termasuk keadan yang bebas untuk menentukan

berlaku atau tidak berlakunya ilmu hukum, teori hukum, maupun ketentuan

ketentuan hukum yang berasal dari luar. Sekaligus dalam nilai

kemerdekaan ini adalah "kemerdekaan memiliki nilai moral dan etika milik

bangsa Indonesia sendiri", termasuk kebebasan untuk menyerap atau menolak nilai

moral dan etika yang berasal dari luar bangsa Indonesia.

Kemerdekaan sebagai nilai moral clan etika terwujud juga dalam arti

kemerdekaan dari rasa takut, kemerdekaan dari ancaman bahaya, kemerdekaan

menikmati hidup dan kehidupan, bahkan juga kemerdekaan dari ancaman

kematian. Ke arah inilah tujuan kemerdekaan itu mengandung makna yakni

"melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia", yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan.

Nilai moral dan etika tentang "kemerdekaan" berkaitan dengan "hak

segala bangsa". Menurut pendapat ahli, hak adalah kemauan dan kemampuan

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dibenarkan (terutama)

oleh HUKUM. Merupakan sesuatu yang bermoral dan beretika untuk memberikan

hak kepada setiap bangsa dalam satu kesatuan, maupun individu dari bangsa

apapun. Dalam pola ini, adalah beretika dan bermoral untuk memberikan hak

hidup, menikmati hidup dan kehidupan, oleh karena hak hidup, hak menikmati

hidup dan kehidupan adalah hak-hak yang herpangkal pada hukum. Artinya, hak

ini adalah hak yang secara universal diakui sebagai hak yang dikaruniai oleh

Tuhan Yang Maha Kuasa, yang secara kodrati melekat pada manusia.

Meskipun tidak sepenuhnya benar, tetapi pada faktanya kemudian konsep

HAM dalam generasi pertama yang lebih mengemuka di mana kemudian dijumpai

fakta bahwa puncak perkembangan dalam kurun waktu tersebut adalah

dibentuknya Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International

Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Kovenan Internasional Hak-

Page 207: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

206

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau International Covenan on Economic,

Social, and Cultural Rights (ICESCR). Pada tanggal 28 Oktober 2005,

Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan pengesahan atau ratifikasi atas

dua instrument HAM tersebut, masing-masing dengan UU No. 11 Tahun 2005

(ICESCR) dan UU No. 12 Tahun 2005 (ICCPR). Jika dicermati, hamper semua isi

kovenan itu sudah masuk di dalam berbagai undang-undang di Indonesia. Bahkan,

UUD 1945 (hasil empat kali perubahan atau amandemen) memperkuat landasan

perlindungan HAM itu dengan memasukkan materi HAM secara lebih detail di

dalamnya.260 Namun, politik hokum Indonesia tetap memprogramkan ratifikasi

atas berbagai kovenan internasional tentang HAM. Dengan ratifikasi itu, maka

Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian dan bersedia diawasi secara

internasional.

Dilihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia,

sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni

UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945

sesudah Perubahan, juga tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan

hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal- hal tertentu, atas perintah

konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang, sebagai

berikut:

1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan

lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk

hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut

sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan

beradab”;

2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang

pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai

berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan

260 Lihat Pasal 28A – Pasal 28J UUD 1945.

Page 208: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

207

kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan

menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah

semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh

tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk

memenuhi syarat- syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan

kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi;

3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-

kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan

kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi

dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin

pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta

kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang

adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu

masyarakat yang demokratis”; dan

4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan faham

konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi-konstitusi Indonesia

sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia.

Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang hak

asasi manusia ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih

lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan

sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah

berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi

manusia. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 selain memuat “Pandangan dan

Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama,

nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada

Pancasila dan UUD 1945, dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat

ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk

hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya

Page 209: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

208

juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup

sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang

wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-

undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan

yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat demokratis.”

Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam

Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4

ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun Penjelasan Pasal 9

UU menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam

hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan

putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU juga memuat ketentuan mengenai

pembatasan terhadap hak asasi manusia.

C. Politik Hukum Hak Asasi Manusia

Dalam Pembukaan UUD 1945 tidak disebutkan secara ekplisit tentang

HAM, terkecuali tentang hak asasi bangsa. Namun bila dianalisis lebih dalam akan

terlihat, bahwa masalah hak asasi manusia terangkum dan terjelma di dalam hak

asasi bangsa sebagaimana terlihat di dalam alinea pertama Pembukaan UUD

1945 yang mengatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala

bangsa…” Kata kunci dari kalimat ini adalah bangsa dan kemerdekaan.

Esensinya dari kata kunci itu adalah kemerdekaan sebagai hak.261 Sebelum

amandeman Undang-undang Dasar 1945 pernyataan secara eksplisit perlindungan

HAM hanya termuat di dalam Pasal 17, 28, dan Pasal 29 UUD 1945. Tiga pasal

tersebut berisi kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan berfikir,

hak bekerja dan hidup, dan kemerdekaan agama. Sedikitnya pengaturan HAM

261 Zulfirman, “Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Makalah, 2005.

Page 210: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

209

dalam UUD 1945 sebelum amandeman dapat dimaklumi, karena latar

belakang pemikiran pembentukan UUD 1945 waktu itu dipengaruhi sejarah

lahirnya negara Indonesia, bahwa negara Indonesia lahir oleh perjuangan

rakyat, jadi berlatar belakang pemikiran lebih menitikberatkan pada

perjuangan komunal dan meminimalisasi perjuangan individu. Perjuangan

komunal lahir akibat perlawanan terhadap kekuatan komunal pula, yaitu oleh

bangsa lain; secara ringkas dapat dikatakan perlawanan antara bangsa yang

satu dengan bangsa lain.

Diawali dengan adanya Tap MPR Nomor XVII Tahun 1998 dalam

Sidang Istimewa MPR pada bulan November tahun 1998 beberapa saat setelah

lahirnya reformasi, maka tuntutan terhadap perlunya pengaturan yang lebih

menyeluruh terhadap jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia perlu

diatur dalam wadah hukum kita. Itulah mengapa kemudian tuntutan tersebut

diadopsi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Istimewanya pada

tahun 1998 dengan melahirkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak

Asasi Manusia. Tetap ini terdiri dari tujuh pasal yang memuat dua hal mendasar,

yaitu pertama, berkaitan dengan pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap

hak asasi manusia dan yang kedua berkaitan dengan Piagam Hak Asasi

Manusia itu sendiri. Dalam dua naskah yang tidak terpisahkan dengan Ketetapan

MPR No. XVII/MPR/1998 dimaksud maka pada bagian pertama menyangkut

pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia pada

pendahuluan, pada draft terakhirnya dinyatakan bahwa bangsa Indonesia bertekad

ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial yang pada hakikatnya merupakan kewajiban setiap bangsa,

sehingga bangsa Indonesia berpandangan bahwa hak asasi manusia tidak

terpisahkan dengan kewajibannya.

Berangkat dari Tap XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut,

kemudian pada tahun 1999 lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang itu juga dinyatakan beberapa hal

Page 211: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

210

substansinya senapas dan sejalan Tap XVII/MPR/1998. Pasal 73 Bab VI

menyangkut pembatasan dan larangan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 dinyatakan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini

hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk

menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta

kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan

bangsa. Dalam Penjelasan Pasal 73 menyatakan bahwa pembatasan yang

dimaksud dalam pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak

dapat dikurangi dalam tanda kurung (non derogable rights).

Penjelasan Pasal 4 mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan dalam

keadaan apapun termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan keadaan

darurat. Sementara penjelasan Pasal 9 ayat (1) menyatakan, bahwa setiap orang

berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf

kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum

lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar

biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan

putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana

mati dalam hal atau kondisi tersebut masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal

tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. pelaksanaan hak dan kebebasan

orang lain dan undang-undang itupun dalam memberikan batasan-batasan

terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan orang lain harus untuk memenuhi salah

satu dari dua hal yang menjadi syarat dari adanya pembatasan itu. Pertama

adalah semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak

dan kebebasan orang lain dan kedua, semata-mata untuk memenuhi tuntutan yang

adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum, dengan demikian jelas HAM yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Setelah amandemen, perlindungan tentang HAM di Indonesia terlihat

dalam Pasal 2 amandeman dan Pasal 3 Amandeman UUD 1945. Dalam

perlindungan HAM ada tiga nilai yang esensi, yaitu universalitas, jaminan, dan

Page 212: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

211

democratie.262 Dalam hal ini peranan hukum merupakan hal yang pokok untuk

menjaga dan melindungi HAM dan peranan itu menjadi kewajiban bagi negara.

Oleh karena negara Indonesia adalah negara hukum, maka salah satu fungsi

negara hukum adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi

manusia. Dengan demikian, Negara hukum adalah ditujukan untuk menjamin

atas hak-hak asasi. Jaminan itu harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi

yang berlaku dalam suatu negara, atau setidak-tidaknya termaklumi dari praktek

hukum dan ketatanegaraan sehari-hari.

Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 dapat dikatakan tidak

mencantumkan secara tegas mengenai jaminan hak asasi manusia. Kalaupun dapat

dianggap bahwa UUD 1945 juga mengandung beberapa aspek ide tentang HAM,

maka yang dirumuskan dalam UUD 1945 sangatlah sumir sifatnya. Setelah

Perubahan UUD 1945, terutama perubahan kedua pada 2000, ketentuan mengenai

hak asasi manusia dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat

mendasar.

Materi yang semula hanya berisi tujuh butir ketentuan yang juga tidak

sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia, saat ini telah

bertambah secara signifikan, sehingga perumusannya menjadi lengkap dan

menjadikan UUD 1945 merupakan salah satu undang-undang dasar yang paling

lengkap memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan disahkannya

Perubahan Kedua UUD 1945 pada 2000, materi baru ketentuan dasar tentang hak

asasi manusia itu dalam UUD 1945 dimuat dalam Pasal 28A ayat (1) sampai

dengan Pasal 28J ayat (2), yaitu sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya

[Pasal 28A];

262 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1997, Deklarasi Viena Program Aksi, KonferensiDunia Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm.10.

Page 213: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

212

2. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah [Pasal 28B ayat (1)]

3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi [Pasal 28B ayat (2)];

4. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan

dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas

hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia [Pasal 28C ayat (1)];

5. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya

secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya [Pasal

28C ayat (2)]

6. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [Pasal 28D ayat

(1)]

7. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan

yang adil dan layak dalam hubungan kerja [Pasal 28D ayat (2)];

8. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan [Pasal 28D ayat (3)];

9. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan [Pasal 28D ayat (4)];

10. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali [Pasal 28E ayat (1)];

11. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya [Pasal 28E ayat (2)];

12. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, dan

kebebasan mengeluarkan pendapat[Pasal 28E ayat (3)];

13. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

Page 214: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

213

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia [Pasal

28F];

14. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa

aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak

berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi [Pasal 28G ayat (1)];

15. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik

dari negara lain [Pasal 28G ayat (2)];

16. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan [Pasal 28H ayat (1)];

17. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk

memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan [Pasal 28H ayat (2)];

18. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan

dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat [Pasal 28H ayat (3)];

19. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun [Pasal 28H

ayat (3)];

20. Setiap orang berhak untuk hidup, untuk tidak disiksa, berhak atas

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut [Pasal 28I ayat (1)];

dan

21. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang

bersifat diskriminatif itu [Pasal 28I ayat (2)].

Page 215: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

214

Dalam rangka menegakkan butir-butir ketentuan hak asasi tersebut di

atas, ketentuan di dalam UUD 1945 mengatur pula mengenai kewajiban orang lain

untuk menghormati hak asasi orang lain serta tanggungjawab negara atas tegaknya

hak asasi manusia itu, yaitu:

1. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu

[Pasal 29 ayat (2)];

2. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban [Pasal 28I ayat (3)];

3. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah

tanggungjawab negara, terutama pemerintah [Pasal 28I ayat (4)];

4. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip

negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,

diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 28I ayat

(5)] ;

5. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara [Pasal 28J ayat (1)];

6. Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-

mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

Page 216: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

215

moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis [Pasal 28J ayat (2)];

Selain itu, dalam rumusan UUD 1945 pasca perubahan, terdapat pula

pasal-pasal selain Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J yang juga memuat

ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Di samping Pasal 28A sampai dengan

Pasal 28J tersebut, ketentuan yang dapat dikaitkan dengan hak asasi manusia

terdapat pula dalam Pasal 29 ayat (2), yaitu “Negara menjamin kemerdekaan tiap-

tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal inilah yang sebenarnya paling

memenuhi syarat untuk disebut sebagai pasal hak asasi manusia yang diwarisi dari

naskah asli UUD 1945. Sedangkan ketentuan lainnya, seperti Pasal 27 ayat (1) dan

(2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 32 ayat (1) dan (2)

bukanlah ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam arti yang

sebenarnya, melainkan hanya berkaitan dengan pengertian hak warga negara.

Penduduk Indonesia, apakah berstatus sebagai Warga Negara Indonesia

atau bukan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dasar yang diakui

universal. Prinsip-prinsip hak asasi manusia itu berlaku pula bagi setiap individu

Warga Negara Indonesia. Bahkan, di samping jaminan hak asasi manusia itu,

setiap Warga Negara Indonesia juga diberikan jaminan hak konstitusional dalam

UUD 1945. Di samping itu, terdapat pula ketentuan mengenai jaminan hak asasi

manusia tertentu yang hanya berlaku bagi Warga Negara atau setidaknya bagi

Warga Negara diberikan kekhususan atau keutamaan-keutamaan tertentu,

misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan lain-lain yang secara

bertimbal balik menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak-hak itu

khusus bagi Warga Negara Indonesia. Artinya, negara Republik Indonesia tidak

wajib memenuhi tuntutan warga negara asing untuk bekerja di Indonesia ataupun

untuk mendapatkan pendidikan gratis di Indonesia.

Hak-hak tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional

Warga Negara adalah:

Page 217: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

216

1. Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak konstitusional bagi

Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak yang tercantum dalam Pasal

28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap Warga Negara berhak atas

kesempatan yang sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat (2)

menyatakan, “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi, “Setiap Warga

Negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara”; (iv) Pasal 30

ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam

usaha pertahanan dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan,

“Setiap Warga Negara berhak mendapat pendidikan”; Ketentuan-ketentuan

tersebut khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi setiap orang

yang berada di Indonesia.

2. Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap orang, akan

tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga Negara Indonesia berlaku

keutamaan-keutamaan tertentu. Misalnya, (i) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945

menentukan, “Setiap orang berhak untuk bekerja.....”. Namun, negara dapat

membatasi hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing

dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan penghidupan atau

imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama masa kunjungannya itu; (ii)

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas

kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun

ketentuan ini bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang

berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak mungkin

dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut campur dalam urusan

dalam negeri Indonesia, misalnya, secara bebas menyatakan pendapat yang

dapat menimbulkan ketegangan sosial tertentu. Demikian pula orang warga

negara asing tidak berhak mendirikan partai politik di Indonesia untuk tujuan

mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal 28H ayat (2)

menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan

Page 218: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

217

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai

persamaan dan keadilan”. Hal ini juga diutamakan bagi Warga Negara

Indonesia, bukan bagi orang asing yang merupakan tanggungjawab negara

asalnya sendiri untuk memberikan perlakuan khusus itu;

3. Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi melalui

prosedur pemilihan (elected officials), seperti Presiden dan Wakil Presiden,

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil

Walikota, Kepala Desa, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan

Pemeriksa Keuangan, anggota lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu

MPR, DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Dewan

Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi negara, dan jabatan-jabatan

lain yang diisi melalui prosedur pemilihan, baik secara langsung atau secara

tidak langsung oleh rakyat;

4. Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau menggugat

keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan hak konstitusional Warga

Negara yang bersangkutan. Upaya hukum dimaksud dapat dilakukan (i)

terhadap keputusan administrasi negara (beschikkingsdaad van de

administratie), (ii) terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat

orgaan), baik materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive

judicial review (materiile toetsing) atau procedural judicial review (formele

toestsing), atau pun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis) dengan cara

mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih tinggi, yaitu tingkat banding,

kasasi, atau peninjauan kembali.

Senyampang dianutnya hak-hak asasi dalam UUD 1945, Negara tetap

mempunyai kewajiban untuk memelihara hak asasi setiap orang. Hak hidup dan

kehidupan yang disuarakan Hak Asasi Manusia, khususnya dalam Kovenan

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), justru tidak bertentangan dengan

nilai-nilai dan moral yang dianut negara dan bangsa Indonesia, yang bersumber

pada Pancasila. Karena itu pula negara memiliki kewajiban untuk menaruh

Page 219: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

218

penghargaan, melindungi dan mengisi kewajiban untuk memelihara hak hidup

dan kehidupan. Negara memiliki generic obligation yakni kewajiban untuk

menghargai (obligation to respect), kewajiban untuk melindungi (obligation to

protect) dan kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill). Kewajiban ini

adalah kewajiban mutlak (absolute obligation) yang dikarakterkan oleh nilai moral

dan etika yang disebutkan di atas. Makna Pasal 28J UUD 1945 tidak merupakan

eksepsi terhadap Pasal 28A maupun Pasal 281 UUD 1945.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan pernyataan eksplisit

mengenai eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan

berdaulat. Pancasila sebagaimana tercanturn dalam pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 merupakan kepribadian, tujuan, dan pandangan hidup bangsa,

yang lebih terkenal sebagai landasan ideologi dan konstitusional dalam

pengembangan bangsa dan negara Indonesia. Memperjuangkan kelestarian bangsa

dan negara perlu adanya perspektif masa depan merupakan suatu keharusan yang

amat panting. Secara sadar perlu pemikiran dan rencana masa depan sehingga

terlaksana suatu kemajuan dan pertumbuhan bangsa dan negara dalam suasana

kestabilan masyarakat yang didukung oleh ketertiban, keamanan, dan keadilan

sosial. Ledakan kependudukan, tingkat pendidikan yang setiap tahun tumbuh

persoalan, pertumbuhan kemakmuran ekonomi yang belum maju secara seimbang,

dan permasalahan yang dihadapi secara komplek itu turut berpengaruh sebagai

faktor penghambat yang menentukan keberhasilan atau tidaknya pengembangan

bangsa dan negara.

Perlu dicatat, frasa dalam Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi:"...setiap

orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-

undang..." hanya boleh diartikan sedemikian rupa pada perbuatan-perbuatan yang

dilarang undang-undang. Tetapi sanksi berupa hukuman mati tidak dapat

dikenakan. Memahami arti kaidah menurut Antony Allot yaitu sebagai pernyataan

hukum yang terdiri dari dua ruas, yaitu ruas pertama berupa ruas apodosis yang

berisi pernyataan tentang kejadian atau peristiwa tertentu yang tidak dikehendaki

Page 220: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

219

(sebagai misal sebuah rumusan "Jika mencuri. ...") yang berfungsi sebagai syarat,

diikuti dengan pernyataan tentang tindakan hukum yang dikehendaki, yang

terbentuk dalam pernyataan yang merupakan akibat (sebagai misal sebuah

rumusan ".... dihukum ...). Sanksi adalah sesuatu yang dikehendaki oleh manusia.

oleh karena itu. sanksi berupa pengenaan hukuman mati akibat adanya perbuatan

tertentu bukanlah tindakan yang menunjukkan keluhuran harkat dan martabat

suatu bangsa. Pemahaman sedemikian didasarkan pada pendapat yang umum

bahwa setiap ketentuan, ataupun nilai-nilai, bahkan teori senantiasa beranjak dari

filosofi tentang manusia dan kemanusiaan. Teori-teori hukum pidana seperti

retributive, pembalasan, utilitis, penjeraan dan sebagainya memiliki pangkal

filosofi sendiri-sendiri. Sebaliknya, nilai-nilai di dalam filsafat tentang hidup dan

kehidupan manusia menentukan sistem hukum dan teori-teori hukurn.

Dengan demikian, dilihat dari perspektif original intent pembentuk UUD

1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945

keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang

menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh

penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur

tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara

penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang

diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada

pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan

mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika

pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga

menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup,

yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms,

everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely

for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and

freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order

and the general welfare in a democratic society.”

Page 221: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

220

Sebagai imbangan terhadap adanya jaminan hak konstitusional warga

negara tersebut di atas, UUD 1945 juga mengatur dan menentukan adanya

kewajiban konstitusional setiap warga negara. Serupa dengan hak-hak, kewajiban-

kewajiban dimaksud juga terdiri atas (i) kewajiban sebagai manusia atau

kewajiban asasi manusia, dan (ii) kewajiban sebagai warga negara. Bahkan, jika

dibedakan lagi antara hak dan kewajiban asasi manusia dengan hak dan kewajiban

konstitusional warga negara, maka kewajiban-kewajiban dimaksud juga dapat

dibedakan antara (i) kewajiban asasi manusia, (ii) kewajiban asasi warga negara,

dan (iii) kewajiban konstitusional warga negara.

Subyek kedua macam kewajiban pertama tersebut di atas adalah “setiap

orang”. Karena itu, kedua kewajiban pertama di atas adalah kewajiban asasi

manusia atau kewajiban setiap orang, terlepas dari apakah ia berstatus sebagai

warga negara Indonesia atau bukan. Kedua kewajiban itu, berlaku juga bagi setiap

warga negara Indonesia, sehingga oleh karenanya dapat sekaligus disebut sebagai

kewajiban konstitusional warga negara Indonesia. Namun, di samping kedua

kewajiban di atas, setiap warga negara dan juga orang asing dibebani pula

kewajiban lain yang secara implisit lahir karena adanya kekuatan negara untuk

memaksakan kehendaknya melalui instrumen pajak dan pungutan lain

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 23A UUD 1945. Pasal ini menentukan,

“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur

dengan undang-undang”. Kekuatan negara untuk memaksa itu melahirkan

kewajiban kepada setiap subyek wajib pajak dan subyek pungutan non-pajak

berupa retribusi untuk membayarkannya kepada negara. Oleh karena itu,

kewajiban membayar pajak dan pungutan lainnya merupakan kewajiban asasi

setiap orang yang hidup di Indonesia dan sekaligus merupakan kewajiban

konstitusional setiap warga negara Indonesia.

Page 222: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

221

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, 1999, Mengurai Hubungan Agama dan Negara,Jakarta: Grasindo.

Adnan Buyung Nasution, 2009, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional diIndonesia Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Penerbit PustakaUtama Grafiti bekerja sama dengan Eka Tjipta Foundation, Cetakan 3.

Adolf Heuken SJ, 1987, Kamus Jerman-Indonesia, Jakarta: Gramedia.

A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalamPenyelenggaraan Negara, disertasi doktor ilmu hukum, Fakultas PascasarjanaUniversitas Indonesia, Jakarta.

Al Chaidar, dkk, 2000, Telaah Awal Wacana Unitaris vs. Federalis DalamPerspektif Islam, Nasionalisme, dan Sosial Demokrasi. Jakarta: Madani Press.

Ali Moertopo, 1992, Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta, CSIS.

Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, Mekanisme PertanggungjawabanKeuangan Negara: Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

A.S.S. Tambunan, 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta:Puporis Publishers.

Ateng Syarifudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah”, Orasi Dies NatalisUniversitas Parahiyangan, Bandung, 1983.

Azhar Kasim, “Reformasi Adminiostrasi Negara sebagai Prasyarat UpayaPeningkatan Daya Saing Nasional”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FISIPUI, Jakarta, 1998.

Azyumardi Arza, “Dilema Negara Yahudi”, Kata Pengantar dalamMusthafa Abd. Rahman, 2002, Dilema Israel: Antara Krisis Politik dan Perdamaian,Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. xxii-xxiii.

Bagir Manan, “Kedudukan Hukum Memorandum DPR kepada (terhadap)Presiden”, makalah Seminar Nasional, Jakarta, 28 Februari 20o1.

Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta,Penerbit Ind Hill Co.

Page 223: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

222

Bagir Manan,”Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undanganNasional”, makalah yang disampaikan pada Pendidikan Singkat “Kajian Perundang-undangan: Pendekatan Teoritis dan Praktek” untuk para pengajar Fakultas Hukum se-Sumatera di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, tanggal 11-18 Oktober1993.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum TataNegara, Bandung, Penerbit Alumni.

Bagir Manan, 2000, Lembaga Kepresidenan, Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Bagir Manan, 2003, MPR, DPR, dan DPD Menurut UUD 1945 Baru,Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Bagir Manan, 2004, Perkembangan UUD 1945, Jogjakarta, Penerbit UIIPress.

Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia Suatu Kajian Teoritis,Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Bambang Sunggono, 1994, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta: SinarGrafika.

Bayu Seto, 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Bandung,Penerbit Alumni.

Bernard Roosen, 1998, Holding Government Bureacracies Accountable,USA: Praeger Publsher Westport.

Bhenyamin Hossein, 1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi BesarnyaOtonomi Daerah Tingkat II Suatu Kajian Dsentralisasi dan Otonomi Daerah dariSegi Ilmu Administrasi Negara, disertasi Fakultas Pascasarjana, UniversitasIndonesia, Jakarta.

B. Hestu Cipto Handoyo, 2002, Hukum Tata Negara, Jogjakarta, PenerbitUnirsitas Atmadjaya.

Page 224: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

223

Bintoro Tjokroamidjojo, 1987, Pengantar Administrasi Pembangunan,Jakarta: LP3ES.

C.F. Strong, 1963, Modern Political Constitution, London: Ludwigcs &SonsLtd.

Chaizi Nasucha, 2004, Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktik,Jakarta: Grasindo.

Dahlan Thaib, dkk, 2003, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, PenerbitRajawali.

David Kairsy (ed)., 1990, The Politics of Law, A Progressive Critique, NewYork: Pantheon Books.

Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah dalam PerspektifLingkungan, Nilai, dan Sumber Daya, Jakarta, Penerbit Djambatan.

Deliar Noer, 1982, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali.

Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos danPembongkaran , Jakarta, Penerbit Mizan.

Didik J. Rachbini, “Posisi Pasar dan Negara”, Majalah Gatra, No. 17 Tahun1, 11 Maret 1995.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Kamus Besar BahasaIndonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Erma Wahyuni dkk, 2003, Kebijakan dan Manajemen PrivatisasiBUMN/BUMD, Yogyakarta: YPAP.

Feisal Tamin, 2004, Reformasi Birokrasi: Analisis PendayagunaanAparatur Negara, Jakarta: Belantika.

Firdaus, 2007, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara HukumDemokrasi, Bandung, Yrama Widya.

Fockema-Andreae, 1983, Kamus Istilah Hukum (Terjemahan SalehAdiwinata, dkk), Bandung: Bina Cipta.

Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral DasarKenegaraan Modern, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Page 225: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

224

G. Calvin Mackenzie, 1986, American Government: Politicsa and PublicPolicy, New York: Random House.

Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, terj. Anders Wedberg(New York, Russel & Russel.

Hermawan Sulistyo, 2000, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah PembantaianMassal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Jakarta, Kepustakaan PopulerGramedia.

Hendro Nurtjahyo, 2006, Filsafat Demokrasi, Jakarta, Penerbit Rajawali.

Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary: Definitions of theTerms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern,St. Paul, Minn.: West Group.

Hikmahanto Juwono, “Politik Hukum Undang-undang Bidang ekonomidi Indonesia”. Hand Out kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Program Doktor(S3) UII.

I. B. Wyana Putra. 1993 , Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung,Penerbit Remaja Rosdakarya.

Ichtijanto, 1994, Pengembangan Teori berlakunya hukum Islam diIndonesia, dalam Hukum Islam di Indonesia, Bandung, Penerbit RemajaRosdakarya cet. ke-2.

Ismail Sunny, 1987, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, PenerbitBina Aksara.

Jack Donnelly, ”Apakah Hak-hak Asasi Manusia Itu?”, dalam George Clackdan Kathleen Hug (Eds.), 1998, HAM: Suatu Pengantar, Jakarta: Pustaka SinarHarapan.

James E. Anderson, 1966, Cases in Public Policy Making, New York:Praeger Publisher.

J.C.T. Simorangkir, 1984, Penetapan Undang-Undang Dasar, Jakarta,Penerbit BPHN.

J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Grasindo.

Page 226: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

225

J.H.A. Logemann, 1982, Keterangan-Keterangan Baru Tentang TerjadinyaUndang-Undang Dasar Hindia Belanda, Malang, Penerbit Laboratorium PancasilaIKIP Malang.

Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemendalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta, PenerbitUI.

Jimly Asshiddiqie, 2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia SetelahPerubahan Keempat UUD Tahun 1945”, makalah. Jakarta: BPHN.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia,Jakarta, Penerbit Konpress.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiRepublik Indonesia.

Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi, Jakarta, Penerbit Kompas.

John Locke, 2002, Kuasa Itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal MulaSesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil(Terjemahan), Yogyakarta: Kanisius.

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit Alumni.

K.C. Wheare, 1975, Modern Constitution, London, Oxford University Press.

K. Wantjik Saleh, 1974, Perkembangan Perundang-Undangan 1966-1973,Jakarta, Ichtiar Baru.

Kusnu Goesniadhie S., 2009, Hukum Konstitusi dan Politik NegaraIndonesia, Malang, Penerbit Nasa Media.

Kusumadi Pudjosewojo, 1993, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia,Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.

Leo Sutanto, “Partisipasi Publik dalam Proses Menuju Indonesia Baru:Evaluasi Perkembangan Pemerintahan”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005.

LJ. van Appeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahanSupomo), Jakarta, Pradnya Paramitha, cet. Ke-18.

Page 227: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

226

Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi di IndonesiaDari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta,Kencana.

Mahsun Fuad, 2005, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar PartisipatorisHingga Emansipatoris, LKiS, Yogyakarta.

Mardiasmo, 2001, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi.

Mark Brzezinskri, 1998, The Struggle for Constitutionalism in Poland,London: Macmillan Press Ltd.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan,Jogjakarta, Penerbit Kanisius.

Marsilam Simanjuntak, 1994, Pandangan Negara Integralistik: Sumber,Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Jakarta, Penerbit PustakaUtama Grafiti.

M.B. Hooeber, 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Kuala Lumpur,Penerbit Oxford University Press.

Miftah Thoha, 1987, Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-Dimensi PrimaIlmu Administrasi Negara Jilid II, Jakarta: Rajawali.

Mifthah Toha, 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta: Rajawali Press.

M. Irfan Islammy, 1984, Prinsip-Prinsip Perumusan KebijaksanaanNegara, Jakarta: Bina Aksara.

Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, GramediaPustaka Utama.

Mohtar Mas’oed, “Hak-hak Politik dalam Negara Hegemonik: Pokok-pokok Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta, 23 September 1984.

Mohtar Mas’oed, 2003, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum TataNegara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN UI.

Moh. Mahfud M.D., 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,Jogjakarta, Penerbit Liberty.

Page 228: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

227

Moh. Mahfud M.D., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jogjakarta,Penerbit Ford Foundation dan Gama Media.

Moh. Mahfud M.D., 1999, “Amandemen UUD 1945 ditinjau dariKekuasaan Legislatif”.makalah seminar DPP Golkar.

Moh. Mahfud MD, 2001, Politik Hukum di Indonesia,Cet. Kedua,Jakarta: LP3ES.

Moh. Mahfud M.D., 2006, Membangun Politik Hukum, MenegakkanKonstitusi, Jakarta, Penerbit LP3ES.

Moh. Mahfud M.D., 2007, Membangun Politik Hukum, MenegakkanKonstitusi, Jakarta, Pustaka LP3ES.

M. Solly Lubis, 1978, Asas-asas Hukum Tata Negara, Cetakan 2, Bandung,Penerbit Alumni.

Muchsan, 1998, “Pembatasan Kekuasan dalam Negara Kesejahteraan”,dalam Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi (Eds.), Hukum dan Kekuasaan,Yogyakarta: FH UII.

Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan AparatPemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty.

Muhammad Ridwan Indra, 1998, Kedudukan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Penerbit C.V. Trisula.

Muhammad Yamin, 1982, Proklamasi dan Konstitusi, Jakarta, PenerbitDjambatan.

Ni’matul Huda, 2005, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review,Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Transisi ke Demokrasi,Jogjakarta, Penerbit UII Press.

Nugroho Notosusanto, dkk, 1985, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka.

Ong Hok Ham, 2002, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: RefleksiHistoris Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Page 229: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

228

Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum Indonesia, Jakarta, PenerbitInd Hill Co.

Peter Blau dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam MasyarakatModern, Jakarta: UI.

Peter de Cruz, 1995, Comparative Law in A Changing World, London:Cavendish Publishing Ltd.

Peter R. Baehr, 1998, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia,Surabaya: Bina Ilmu.

Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: GhaliaIndonesia.

Prajudi Atmosudirjo, “Membangun Visi dan Reorientasi Kinerja AparaturDaerah, Menjawab Tantangan Masyarakat Indonesia Baru”, ManajemenPembangunan, No. 19 Tahun V, April 1997, Jakarta: Bappenas.

Purwo Santoso (Ed.), 2005, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik,Yogyakarta: FISIP UGM.

Rhoda E. Howard, 2000, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Ratna Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentangKonflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit PustakaAlvabet.

Ratno Lukito, 2008, Tradisi Hukum Indonesia, Jogjakarta, Penerbit Teras.

Sharifritz dan Hyede, 1978, Classic of Public Administration, California:Brooks/Cole Publishing Co.

Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan PeradilanAdministrasi di Indonesia, Bandung: Alumni.

Sjahran Basah., 1986, “Perlindungan Hukum Terhadap Sikap TindakAdministrasi Negara” Orasi Ilmiah, Bandung: UNPAD.

Page 230: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

229

Sidharta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum dalam KonteksKeindonesiaan, Bandung: Penerbit C.V. Utomo.

Soepomo, 2000, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Penerbit PradnyaParamita.

Soetandyo Wignyo Subroto, 2002. Hukum, Paradigma, dan Metode. Jakarta: Huma.

Sri Soemantri, 1982, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,Jakarta, Rajawali.

Sri Soemantri, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung,Penerbit Alumni.

Sudikno Mertokusumo, 2004, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,Jogjakarta, Penerbit Liberty.

Suhartono, “Aktualisasi Hukum Islam dalam Masalah Perkawinan danKewarisan di Indonesia (Suatu Perspektif Sosio Kultural Historis)”, JurnalMimbar Hukum No. 54 Thn XII, Al-Hikmah, September-Oktober 2001.

Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem HukumNasional, Bandung, Penerbit Alumni.

Susi Dwi Haryanti, 2003, Implementasi Bikameralisme di Indonesia,Jakarta, Penerbit Rajawali.

Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis danYuridis Nawaksara, Jakarta, Penebit Gramedia.

Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II,Desember 1973.

Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi (Reparation) terhadap KorbanPelanggaran HAM di Indonesia, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti.

Todung Mulya Lubis, 1984, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural,Jakarta: LP3ES.

Tri Widodo Utomo, “Tinjauan Kritis Tentang Pemerintah dan KewenanganPemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara”, Unisia No. 55/XXVIII/I/2005.

Page 231: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

230

Thomas R. Dye, 1978, Understanding Public Policy, Eanglewood Cliffs:Prentice Hall Inc.

Yahya Muhaimin, 1982, Perkembangan Militer dalam Politik Indonesia1945-1966, Jogjakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undanganyang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, PenerbitRajaGrafindo Persada.

Yusril Ihza Mahendra, 1996, Dinamika Tatanegara Indonesia: KompilasiAktual Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan, dan Sistem Kepartaian, Jakarta,Penerbit Gema Insani Press.

Page 232: BAB I - layanan.hukum.uns.ac.id file/Buku ISHARYANTO/2… · istilah yang dipakai dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian

231