fess elin

30
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur yang invasif minimal, saat ini populer sebagai teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy dengan sebutan Functional Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan aliran mukosilier di suatu daerah di dinding lateral rongga hidung yang disebut komplek ostiomeatal (KOM). Gangguan drenase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri kepala, gangguan penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat berbahaya. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60% nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Salah satu etiologi terjadinya polip hidung

Upload: amrozi

Post on 23-Sep-2015

48 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

referat fess

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANI.1. Latar BelakangBedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur yang invasif minimal, saat ini populer sebagai teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy dengan sebutan Functional Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan aliran mukosilier di suatu daerah di dinding lateral rongga hidung yang disebut komplek ostiomeatal (KOM). Gangguan drenase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri kepala, gangguan penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat berbahaya.Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60% nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Salah satu etiologi terjadinya polip hidung adalah adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus. Kekerapan polip hidung meningkat seiring dengan umur sampai sekitar 59 tahun, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.Perkembangan yang pesat di bidang kedokteran juga membawa perubahan dalam penatalaksanan sinusitis. Tersedianya alat diagnostik CT scan telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas dan terinci, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat endoskop untuk operasi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal tetapi dapat lebih tuntas. BSEF saat ini merupakan teknik terbaik penatalaksanaan sinusitis kronik dan akut berulang. Dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang pada umumnya radikal dengan morbiditas yang tinggi, maka BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah.BAB IITinjauan pustaka 2.1 DEFINISIBedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan mucociliary clearance dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasive radikal seperti operasi Caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka BSEF merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali bada tahun 1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger dan di Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia. Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostiumostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk sinusitis kroniks dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drenase dan ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas membuka seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi). Teknik bedah endoskopi ini kemudian berkembang pesat dan telah digunakan dalam terapi bermacam-macam kondisi hidung, sinus dan daerah sekitarnya seperti mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya. Keuntungan dari teknik BSEF, dengan penggunaan beberapa alat endoskop bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus dandaerah sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan akurat dan operasi lebih bersih / teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga diuntungkan karena morbiditas pasca operasi yang minimal. Penggunaan endoskopi jugamenghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan komplikasi bedah.

2.2. INDIKASIIndikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia. Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya.

2.3. KONTRAINDIKASI1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi).343. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.

2.4. PERSIAPAN PRE OPERASIPersiapan Kondisi Pasien. Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau udem, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Lihat. Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang menderita asma dan lainnya. Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi. CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinusparanasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intra kranial. Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid anterior, n.optikus dan a.karotis interna penting diketahui. Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi. Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa system gradasi antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.LokasiGradasi radiologiGradasi radiologi dari 0-2Gradasi 0 : tidak ada kelainanGradasi 1 : opasifikasi parsialGradasi 2 : opasifikasi komplit

Sinus maksila

Etmoid anterior

Etmoid posterior

Sfenoid

Frontal

Kompl.ostiomeatalGradasi 0 dan 2 saja

2.5. INSTRUMENTASI BEDAH Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan instrumen operasi yang sesuai. Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut:1. teleskop 4 mm 00 2. teleskop 4 mm 300 8. teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)3. light source (sumber cahaya)4. cable light5. sistim kamera + CCTV6. monitorSementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8mm, Luer-lock)2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19cm)3. Respatorium (MASING Elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5cm)4. Suction lurus5. Suction Bengkok6. Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps)7. Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal Forceps8. Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Straight)9. Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Upturned)10. Cunam Backbiting ("Backbiter" Antrum Punch)11. Ostium seeker12. Trokar sinus maksila13. J Curette (Antrum Curette Oval)14. Kuhn Curette (Sinus Frontal Curette Oblong)15. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)16. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)17. Cunam Jamur (Stammberger Punch)HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 24 /52IV.5. Tahapan Operasi2.6 TAHAPAN OPERASITujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan panduan endoskop dan memulihkan kembali drenase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah. Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi. Karenanya tidak ada tindakan rutin seperti bedah sinus terdahulu. Pertama-tama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk.Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpamelakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awaloperasi ini sudah cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS.Eksenterasi sinus maksila Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar dan jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan cunam melalui meatus inferior jika cara diatas gagal. Jika tindakan ini sulit, lakukanlah bedah Caldwell-Luc, tetapi prinsip BSEF yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melebarkan ostium asli di meatus medius dianjurkan untuk dilakukan disini.Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai sinusitis frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal tadi (BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop, dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka laminabasalis akan berada dibalakang sinus lateralis ini.Lamina basalis berada tepat di depan endoskop dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting mencegah penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya. Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan kedepan secara retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fossa kraniianterior), batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300 Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar.Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena dasar otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan diidentifikasi sebagai tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan penetrasi lebih kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal. Arteri etmoid anterior. Identifikasi arteri sangat penting. Ia berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal tulang di batas belakang atap resesus frontal. Hindari trauma pada arteri ini.Sinus frontal Untuk memperbaiki drenase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal, resesus frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam Blakesley upturned dipandu endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal dibersihkan, ostium biasanya langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi berdasar tempat perlekatan superior dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada orbita, maka drenase dan lokasi ostium ada di sebelah medial perlekatan unsinatus. Jika unsinatus melekat pada dasar otak atau konka media, maka drenase dan ostium ada disebelah lateral perlekatan. Panduan ini terutama diperlukan jika ostium tersembunyi oleh polip, sel-sel frontal dan variasi anatomi. Hati-hati saat diseksi di sisi medial, terutama jika pada gambar CT scan ditemukan lamina lateralis kribriformis yang panjang (Keros tipe III), hindarkan ujung cunam menghadap daerah ini. Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 30 dan / 70, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT, serta mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat dihindari. Adanya gelembung udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium yang sebenarnya. Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Cunam jerapah ini khusus dibuat untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada di ujung lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF. Pada keadaan ini operasi trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan. Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya. Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan mencegah trauma a.etmoid anterior dan dasar otak antaranya Intact Bulla Technique dan Axillary Flap.Sfenoidektomi Biasa yang dilakukan bukan sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanyamembuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal n.optikus dan a.karotis, sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan, kebocoran likuor atau perdarahan hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang. Anatomi rincinya harus dipelajari dengan seksama dan CT scan potongan koronal bahkan kalau perlu potongan aksial dan MRI.Perhatikan letak n.optikus, a.karotis dan apakah ujung septum intersfenoid melekat pada a.karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan ruptur arteri yang fatal. Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena n.optikus dan a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial dan inferior saja. Menurut Stammberger, pada 25% kasus ditemukan dehisence di kanal tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau n.optikus. Prinsip ini penting dalam menunjang hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa dengan mempertahankan mukosa sedapat mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan lebih baik. Moriyama juga menganjurkan mengangkat jaringan patologik dipermukaan mukosa saja dengan cunam yang memotong (cutting forcep). Dalam penyelidikannya, cara ini menunjang penyembuhan fisiologik dimana sel-sel bersilia akan regenerasi setelah 6 bulan.2.7 PERAWATAN PASCA OPERASISecara teoritis, walaupun belum terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia,dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operatoryang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik. Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari secara teratur. Beberapa ahli menyebutkan penggunaan antibiotik profilaksis pada semua pasien, dimana ahli yang lain menggunakannya hanya pada kasus adanya infeksi. 2.8 KOMPLIKASISemenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para ahli segera melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi BESF dapat dikategorikan menjadi komplikasi intranasal, periorbital/orbital, intrakranial, vaskular dan sistemik. 1. Komplikasi IntransalSinekia. Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik adalah terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Stammberger dkk melaporkan insidens sinekia yaitu sekitar 8%, namun hanya 20% yang menyebabkan gangguan sumbatan. Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konkamedia, maka perlekatan superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan.Stenosis ostium sinus maksila. Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan terjadi sekitar 2 %. Pembukaan ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapatmenghasilkan drenase fisiologik. Stankiewicsz mengatakan bahwa pelebaran ostium secara melingkar dapat menyebabkan timbulnya parut dan stenosis ostium sinus maksila. Metode terbaik memperlebar ostium adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa dari arah ini yaitu ke anterior, posterior, dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaandengan timbulnya gejala maka revisi bedah mungkin diperlukan.Kerusakan duktus nasolakriamalis. Komplikasi ini sangat jarang karena duktus nasolakrimalis berada di sepanjang kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus inferior. Duktus ini dapat terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolgerdan Parson dkk melakukan studi terhadap pasien yang mengalami perlukaan duktus nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala dakriosisititis atau epifora. Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran ostium sinus maksila terutama dari arah posterior dan inferior.2. Komplikasi Periorbital/OrbitalEdema kelopak mata/ekimosis/emfisema. Edema kelopak mata, ekimosis, dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat trauma pada lamina papirasea. Proyeksi medial lamina papirasea pada rongga hidung dan struktur tulangnya yang lembut menyebabkan lamina papirasea mudah trauma selama prosedur bedah dilakukan. Kejadian rusaknya lamina papirasea sekitar 0,5-1,5% di tangan seorang ahli yang sudah berpengalaman. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa diperlukan pengobatan khusus.Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan meningkatnya tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan penglihatan, midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata pasien agar selalu tampak dalam pandangan operator.Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat pula disebabkan oleh adanya perdarahan, serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah merupakan penyebab terjadinya trauma pada n.optikus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan.Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial dapat menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau otot oblikus superior mata serta kerusakan pada saraf yang menginervasinya.

3. Komplikasi IntrakranialKomplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemula. Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scanpreoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan serebrospinal selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. komplikasi ini dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segeradilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat menutup sendiri.4. Komplikasi SistemikWalaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah. Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS). Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50 C, deskuamasi dan hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dihasilkan oleh strain Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS adalah 16/100.000 kasus yang dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan tampon setelah operasi, direkomendasikan untuk memberikan bacitrasin yang merupakan agen yang efektif melawan Stafilokokus aureus. Penyulit Selama Prosedur Bedah Berlangsung dan Penanganannya Penyulit infundibulotomi. Penyulit yang dapat terjadi di tahap awal ini adalah kesulitan insisi infundibulotom jika letak unsinatus terlalu dislokasi ke lateral atau adakonka media yang paradoksikal. Insisi sulit dan ujung pisau dapat melukai orbita ini. ini diatasi dengan meluksasi unsinatus ke medial menggunakan ujung bengkok ostium seeker, kemudian potong dengan backbiting. Cara ini terbukti menurunkan komplikasi ke orbita.Penyulit pelebaran ostium. Penyulit juga dapat terjadi jika pasca infundibulotomi, ostium tidak langsung tampak. Seringkali akibat infundibulotomi yang tidak sempurna, sehingga masih ada sisa unsinatus yang menutupi ostium. Keadaan ini diatasi dengan mengangkat sisa unsinatus dengan backbiting. Jika ostium tetap tidak dapat ditemukan meskipun tidak ada lagi sisa unsinatus, lakukan palpasi dengan kuret J di sepanjang pertautan tulang konka inferior. Palpasi jangan terlalu ke atas karena dapat menembus orbita. Adanya gelembung udara menunjukkan lokasi ostium yang dicari. Harus diingat bahwa lokasi ostium adalah di pertemuan aspek antero-superior dan postero-inferior infundibulum dan berada di depan aspek anterior bula etmoid. Karenanya, adanya bula etmoid dapat membantu menentukan lokasi ostium, sehingga dianjurkan supaya pengangkatan bula setelah identifikasi ostium sinus maksila. Pelebaran ostium dapat dilakukan ke arah posterior menggunakan gunting atau cunam Blakesley lurus, selipkan salah satu ujungnya ke sisi dalam fontanel posterior. Pelebaran ke arah anterior menggunakan backbiting dan ke inferior menggunakan sidebiting. Pelebaran ostium dapat juga menggunakan kuret J. Pelebaran ostium hanya pada 1 atau 2 sisi, tidak dibenarkan memperlebar ke semua arah, karena akan terjadi jaringan ikat melingkar dan gangguan drenase di kemudian hari. Dengan membiarkan 1 atau 2 sisi ostium utuh, kemungkinan obliterasi dicegah. Ostium asesori yang ditemukan harus disatukan dengan ostium asli, agar tidak menyebabkan infeksi berulang.Penyulit etmoidektomi. Penyulit pada tahap ini adalah saat identifikasi dan menembus lamina basalis. Identifikasi sering sulit karena perubahan patologik atau variasi anatomi, misalnya adanya sinus lateralis diantara dinding belakang bula dan lamina basalis atau adanya sel etmoid anterior yang meluas ke belakang dan menekandinding lamina basalis menjadi berbenjol-benjol. Seringkali atap etmoid diduga sebagai lamina basalis. Operator harus yakin betul identifikasi lamina basalis sebelum menembusnya agar tidak terjadi kebocoran cairan otak. Lamina basalis bagian superior dan anterior berdekatan dengan dasar otak, tetapi karena dinding lamina berjalan ke arah posterior dan inferior, maka makin ke belakang makin jauh jaraknya terhadap dasar otak. Karenanya menembus lamina basalis di sebelah medial bawah merupakan tempat paling aman.Mencegah penetrasi intrakranial. Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah mencegah penetrasi intrakranial. Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian anteromedial paling tipis, hanya 1/10 bagian lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya dianjurkan untuk bekerja di sebelah lateral agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah pertautan atap etmoid (fovea etmoidales) dengan lamina kribosa yang disebut lamina lateralis kribosa yang merupakan tulang tipis yang panjangnya bervariasi antara 3-16 mm. Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis ini, Kerose membaginya dalam 4 tipe. Ohnishi juga mendapatkan bahwa atap medial etmoid mempunyai banyak dehiscence dan celah-celah.

Daerah pertautan konka media pada dasar otak dan antero-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan tembus. Variasi anatomi diatas dapat diketahui dari gambar CT scan dan sebaiknya operator menghindari daerah ini atau jika terpaksa, bekerjalah ekstra hati-hati. Jika bekerja di daerah medial, dianjurkan selalu menghadapkan cunam agak ke lateral. Mencegah penetrasi orbita. Penyulit lainnya adalah mencegah penetrasi ke orbita. Ini dapat terjadi saat membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita karena mungkin ada dehiscence sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja disini, arahkan cunam ke vertikal. Kadang-kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita atau trochlea yang sering diduga sebagai sel etmoid. Jika diangkat maka terjadi penetrasi dan lemak orbita akan keluar. Tidak perlu berusaha memasukkan kembali karena akan menambah taruma orbita. Lemak ini akan masuk kembali tertekan oleh tampon hidung yang dipasang pascaoperasi. Yang penting adalah mengetahui bahwa jaringan yang diangkat adalah lemak orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan berbentuk gelembung bulat-bulat kecil dan melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip atau jaringan rongga hidung lain akan tenggelam.Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi orbita. Untuk menghindari, jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat selesai anestesi dan pasien dilarang menyingsing ingus selama 1-2 minggu pascaoperasi. Perdarahan saat operasi. Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahan mukosa. Perdarahan ini ringan namun dapat mengganggu kelancaran bahkan menggagalkan operasi bila operator tidak dapat melihat dengan jelas. Tindakan vasokonstriktor yang baik praoperasi sangat berpengaruh disini disamping faktor-faktor lain. Kelancaran tindakan bedah sangat ditunjang oleh upaya mengeringkan lapangan operasi dengan cara memasukkan kapas adrenalin ke lapangan operasi. Pada tindakan dengan anestesi umum, dianjurkan anestesi kendali hipotensi. Dalam hal ini diperlukan dokter anestesi yang handal. Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram terkena darah. Ini terutama pada pemula. Perdarahan yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah yang udem atau radang, polip luas atau pasien dengan tekanan darah tinggi juga dapat terjadi pada pasien koagulopati, pasien dengan penggunaan jangka lama obat-obat yang memanjangkan masa perdarahan seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi non steroid, persantin, dll. Obat dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum operasi. Jika perdarahan berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan lakukanlah operasi secara konvensional. Pada pasien poliposis dengan kemungkinan perdarahan, polip yang besar diangkat dulu tanpa penggunaan endoskop. Setelah perdarahan berkurang, tindakan dilajutkan dengan endoskop. Dengan alat baru yang sangat menguntungkan yaitu alat debrider yang dapat memotong langsung menghisap polip sehingga perdarahan sangat minimal.Perdarahan yang dapat berbahaya adalah perdarahan akibat trauma pada a.etmoid anterior jika ujung arteri yang terputus mengalami retraksi dan masuk ke dalam orbita menyebabkan perdarahan rongga orbita disebut hematoma retro-orbital. Mata menjadi proptosis secara tiba-tiba dan dapat timbul kebutaan akibat regangan n.optikus.Karenanya mata harus selalu berada dalam pandangan kita agar dapat dimonitor selama operasi. Perdarahan paling berbahaya terjadi akibat ruptur a.karotis atau akibat penetrasi intrakranial, maka ahli bedah saraf harus segera dipanggil dan tindakan kraniotomi dianjurkan untuk mengatasi perdarahan ini.2.9. ANASTESI DAN ANALGESIATeknik BSEF dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau umum. Umumnya anastesi lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti BSEF mini atau lainnya. Pada anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan menghasilkan rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi menurut kepustakaan, tidak terbukti anestesi lokal lebih aman dibanding anestesi umum dengan teknik hipotensi kendali pada operasi endoskopik. Diperlukan teknik anestesi lokal yang mampu memberikan vasokonstriksi yang baik. Anastesi topikal adalah dengan larutan lidokain/pantokain/xylokain 2% dicampur epinefrin 1:100.000 dalam konsentrasi 4:1. Kapas kecil bertali dibasahi larutan ini, diperas kuat-kuat, dimasukkan ke meatus medius dan agger nasi dengan panduan endoskop dan dibiarkan selama 10 menit. Dapat pula memakai analgesi-vasokonstriktor Anestesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2% dan epinefrin 1:80.000-100.000, disuntikkan dengan jarum panjang di atas perlekatan konka media, prosesus unsinatus dan foramen sfenopalatina. Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan teknik anastesi yang paling populer baik di negara Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan kemungkinan komplikasi terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula operator dapat bekerja lebih baik dan tenang.Namun demikian hipotensi kendali ini memiliki risiko pada beberapa pasien misalnya pasien geriatri. Disamping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor dapat menimbulkan risiko iritabilitas jantung. 2.10 INDIKASI DILAKUKAN OPERASI FESSIndikasi umumnya adalah untuk sinusitis kronik atau sinusitis akut berulang yang tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal dan polip hidung yang tidak berespons terhadap pengobatan medikamentosa. Indikasi absolut BSEF termasuk didalamnya adalah sinusitis dengan komplikasi ke orbita, intrakranial dan perluasannya, mukokel, sinusitis jamur dan sinusitis jamur invasif.Indikasi BSEF yang diperluas adalah untuk pengangkatan tumor jinak dan ganas pada hidung dan sinus paranasal, tumor hipofisis, menambal kebocoran likuor serebrospinal, dakriosistorinostomi, biopsi dan pengangkatan tumor retroorbita yang meluas ke hidung dan sinus paranasal, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, ligasi arteri sfenopalatina pada epistaksis dan terapi bedah pada atresia koana.5. KomplikasiKomplikasi BESF dapat dikategorikan menjadi komplikasi minor danmayor, terdiri dari komplikasi intranasal, periorbital/orbital, intrakranial, vascular dan sistemik. Komplikasi minor berkisar antara 0,5% - 8%. Kebanyakan komplikasi minor tidak memerlukan tindakan pengobatan khusus atau bedah revisi. Komplikasimayor pada tindakan BSEF seperti perdarahan retrobulbar, kerusakan nervus optikus, gangguan pergerakan otot bola mata, kebocoran cairan serebrospinal sangat jarang terjadi dengan frekuensi kurang dari 1%, Penelitian-penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa frekuensi terjadinya komplikasi berhubungan dengan kurve belajar dan kasus-kasus dengan penyulit.

BAB III KESIMPULAN

1. Indikasi BSEF adalah sinusitis kronik atau sinusitis akut berulang yang tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal dan polip hidung yang tidak berespons terhadap pengobatan medikamentosa. Indikasi absolut BSEF adalah sinusitis dengan komplikasi ke orbita, intrakranial dan perluasannya, mukokel,sinusitis jamur dan sinusitis jamur invasif. 2. Indikasi BSEF yang diperluas adalah untuk pengangkatan tumor jinak dan ganas pada hidung dan sinus paranasal, tumor hipofisis, menambal kebocoran likuor serebrospinal, dakriosistorinostomi, biopsi dan pengangkatan tumor retroorbita yang meluas ke hidung dan sinus paranasal, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, ligasi arteri sfenopalatina pada epistaksis dan terapi bedah pada atresia koana.3. Melakukan tindakan BSEF sesuai standar prosedur dengan mengingat kompetensi operator dan ketersediaan alat. Tindakan dilakukan dalam anestesi umum dengan teknik hipotensi terkendali atau anestesi lokal jika tidak memungkinkan anestesi hipotensi terkendali.4. Menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur BSEF terdiri dari perangkat keras yaitu, sumber cahaya, teleskop dan sistem kamera serta memenuhi kebutuhan standar minimal perangkat lunak yaitu instrumen bedahnya (pisau sabit, forsep dan lain-lain).

KEPUSTAKAAN1. Pola Penyakit 50 Peringkat Utama Menurut DTD Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003. Depkes RI2. Data Poli Rawat Jalan Sub Bagian Rinologi, Bagian THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta 2000-2005.3. Data Poli Rinologi , Bagian THT FK UNHAS - Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Makasar Januari 2005-Juli 20064. Dalziel K, Stein K, Round A, Garside R, Royle P. Systematic Review Of Endoscopic SinusSurgery For Nasal Polyps. Health Technology Assessment 2003;17(7).5. Nizar NW, Mangunkusumo E, Polip Hidung. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003:967. Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Kumpulan Naskah Lengkap, Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF. Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung & Tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.8. Smith LF, Brindley PC, Indications, evaluation, complication and results of functional endoscopic sinus surgery in 200 patients. Department of Otolaryngology, University of Texas Medical Center,Galveston9. Roos K. The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis. In Rhinosinusitis: Current Issues in Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The Royal Society of Medicine Press Limited, London, UK, Round Table Series 1999; 67: 3-910. Soetjipto D. Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis. Dipresentasikan pada Malam Klinik Perhati Jaya, Jakarta, 14 Mei 2000.11. Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis. Dipresentasikan di PIT PERHATI, Palembang 2001.12. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003: 124.13. Kennedy DW, International Conference On Sinus Disease, Terminology, Staging, Therapy. Ann Otol Rhinol Laryngol 1995; 104 (Suppl. 167):7-3014. Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, et al. Rhinosinusitis: Establishing definitions for clinical research and patient care. Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 131(supl):S1-S62.