feminine writing sebagai reaksi perempuan atas …
TRANSCRIPT
FEMININE WRITING SEBAGAI REAKSI PEREMPUAN ATAS PENINDASAN: STUDI KASUS TERHADAP ANGGOTA KOLEKTIF
BETINA
Wenugobal Manggala Nayahi, Inaya Rakhmani
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Perempuan kerap mengalami opresi dari berbagai pihak, dan suara perempuan terbungkam karena minimnya akses kepada proses produksi di industri media. Karenanya, perempuan membutuhkan ruang komunikasi agar suaranya tidak terus-menerus dibungkam oleh habitus patriarkis. Penelitian ini mengkaji bagaimana proses yang dialami perempuan anggota kolektif alternatif sampai akhirnya mereka berupaya melakukan feminine writing, dengan Kolektif Betina sebagai studi kasus. Pendekatan kualitatif dan paradigma konstruktivisme kritis dipilih sebagai desain penelitian. Dengan melakukan wawancara mendalam bersama 7 informan, mengumpukan dokumen pendukung, dan melakukan observasi sosial, penelitian ini menemukan bahwa Kolektif Betina merupakan sebuah bentuk sisterhood sekaligus fase dimana perempuan di dalamnya belajar melakukan rekonstruksi pengetahuan soal solidaritas perempuan. Anggota Kolektif Betina telah melalui tiga tahap; kapitulasi, revitalisasi, dan radikalisasi, sebelum akhirnya memutuskan untuk menciptakan ruang melalui praktik bermedia untuk melakukan feminine writing. Tambahan temuan menarik dalam penelitian adalah mengenai pengaruh skena punk terhadap feminine writing anggota Kolektif Betina.
Feminine Writing as Women’s Reaction to Oppression: Case Study on Kolektif Betina
Abstract Women often experience oppressions from various different parties, and their voices are muted because of the limited access to production stage within the media industries. Therefore, women need communication spaces so their voices would not be perpetually silenced by the patriarchal habitus. This research observes how women who are affiliated with alternative collective seek to perform feminine writing, with Kolektif Betina as its case study. Qualitative approach and critical constructivism paradigm are used in this research. By conducting in-depth interview, collecting supporting data, and doing media observations, this research finds that Kolektif Betina is a form of sisterhood, in which the members learn to reconstruct their knowledge about women’s solidarity. These women had underwent three stages; capitulation, revitalization, and radicalization, before finally decided to occupy spaces through media practices to perform feminine writing. An interesting addition to the findings is about the influence of punk scene in these women’s feminine writing.
Keywords:
Collective, feminine writing, patriarchy, punk, sisterhood, women
Pendahuluan
Feminis telah lama mengkritik representasi perempuan dalam budaya populer yang
memarjinalkan dan memberi stereotip pada perempuan, juga kurangnya keterlibatan
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
perempuan dalam proses produksi (Strinati, 2009). Hal ini dapat diamati pada berbagai ranah
industri kebudayaan, yang pada akhirnya memberikan dampak besar bagi kehidupan sosial
perempuan. Menurut Spender (1980), realitas adalah hasil konstruksi yang berlangsung
melalui proses ‘bicara’ dan berbahasa, dan mereka yang memiliki kontrol akan proses
‘bicara’ tersebut mampu pula mengontrol realitas. Minimnya akses perempuan untuk
mengambil peran penting pada media arus utama telah menghalangi proses ‘bicara’
perempuan demi terciptanya narasi yang berimbang dan adil. Pengalaman perempuan, ketika
didefinisikan oleh laki-laki, berpotensi menghilangkan sebagian atau keseluruhan realitas dari
pengalaman tersebut. Perempuan jadi rentan mengalami berbagai bentuk opresi di media,
seperti komodifikasi, objektifikasi, eksploitasi, kurangnya representasi, serta masalah-
masalah perempuan yang tersampaikan lewat bahasa maskulin.
Menyikapi opresi yang telah bertahan sedemikian lama ini, perempuan kemudian
mencari ranah untuk menyuarakan sendiri permasalahan yang ia hadapi. Cixous (1979)
memperkenalkan apa yang ia sebut sebagai feminine writing (l’ecriture feminine). Ia
menyatakan bahwa perempuan harusnya menulis ‘dirinya sendiri’, di mana perempuan
menuliskan perihal perempuan dan membawa dirinya ke dalam tulisan. Meskipun mengambil
konteks sastra dan literatur feminis, namun peneliti meminjam pemikiran Cixous untuk
memahami upaya perempuan bersuara melalui praktik bermedia yang tidak peneliti batasi
jenisnya, karena proses berbahasa dan komunikasi manusia tidak hanya melalui tulisan.
Proses komunikasi alternatif sebagai bentuk feminine writing inilah yang
dimanfaatkan oleh para anggota salah satu kolektif perempuan di Indonesia1, Kolektif Betina.
Kolektif Betina adalah sebuah kelompok pertemanan perempuan yang memiliki basis
hubungan sehari-hari di dunia maya, yakni melalui aplikasi bertukar pesan (messenger)
Whatsapp. Kolektif Betina didirikan pada tahun 2015 dan kini telah memiliki 42 anggota2.
Berdasarkan observasi terbatas yang peneliti lakukan melalui media massa dan media sosial,
peneliti menemukan bahwa Kolektif Betina melakukan upaya-upaya menciptakan ruang bagi
perempuan melalui berbagai media. Salah satu contohnya adalah mengadakan acara Lady
Fast yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai teknik bela diri bagi perempuan
(self-defense), kekerasan berbasis gender (gender-based violence), diskusi mengenai cara
1 Bentuk kelompok berupa kolektif jarang terdengar oleh publik, karena beredar di arena skena punk, musik cadas, dan musik independen yang bukan arus utama. Sebagai contoh, ada kolektif Profane Existence (Minneapolis), Pussy Riot (Rusia), GynePunk (Catalan, Spanyol), dan juga kolektif berisi editor zine yang akhirnya memulai gerakan Riot Grrrl di berbagai belahan dunia. Beberapa contoh kolektif yang ada di Indonesia ialah: Mari Jeung Rebut Kembali (Jakarta), Grrrls Barricade (Semarang), WOO (Bandung), Metamorphoo (Palembang), Soundtoloyo (Palembang), Hysteria (Semarang). 2 Informasi ini didapat saat sesi wawancara dengan informan HM, 18 Februari 2017.
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
menjalin relasi yang sehat, serta menciptakan ruang yang aman bagi para perempuan anggota
grup musik punk untuk berekspresi.
Bentuk kelompok seperti Kolektif Betina juga sangat partikelir dan langka di
Indonesia. Bentuk kelompok berupa ‘kolektif’ jarang ditemui di Indonesia, apalagi kolektif
khusus perempuan. Budaya dan terminologi kolektif sendiri banyak dipakai dalam
pembahasan mengenai resistensi anak muda dan subkultur (Hebdige, 1979). Penggunaan
terminologi kolektif pada Kolektif Betina dipengaruhi pula oleh kenyataan bahwa grup ini
pada awalnya berasal dari pertemanan sekelompok perempuan dalam subkultur musik punk,
terutama di daerah Jakarta, Bandung, dan Semarang3.
Kolektif Betina juga merupakan kelompok perempuan yang pernah mengalami
bentuk-bentuk penindasan dan pembungkaman. Mereka memutuskan untuk bersuara di
hadapan publik setelah mengalami penindasan dan pembungkaman di masa lalu. Hal ini
menunjukkan bahwa konteks penindasan berpengaruh terhadap kehidupan perempuan di
masa depan, hingga pada akhirnya ia dengan sadar dapat melakukan feminine writing. Proses
yang mengantarkan perempuan sampai kepada upaya melakukan feminine writing sebagai
reaksi atas penindasan tersebut adalah hal yang coba digali oleh penelitian ini. Penelitian ini
mengkaji proses dan pengalaman para perempuan anggota kolektif sampai pada akhirnya
memutuskan untuk melakukan feminine writing. Peneliti ingin melihat bagaimana penindasan
berpengaruh terhadap sebuah kolektif yang berperan sebagai solidaritas perempuan, hingga
kemudian membangun berbagai teks dan narasi, melakukan advokasi sosial, dan
menggunakan media, yang semuanya ditujukan untuk menciptakan ruang-ruang bersuara
untuk melakukan feminine writing.
a. Rumusan Masalah
Melihat minimnya ruang bersuara bagi perempuan dalam konteks penindasan dan
observasi awal peneliti mengenai Kolektif Betina, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses yang dialami para perempuan anggota Kolektif Betina
hingga akhirnya melakukan feminine writing?
2. Bagaimana perempuan anggota Kolektif Betina berupaya menciptakan
ruang di media untuk melakukan feminine writing?
b. Tujuan Penelitian
3 Keterangan ini didapat peneliti saat melakukan wawancara dengan informan IV (2 Februari 2017), AS (11 Februari 2017), HM (18 Februari 2017), informan NI (25 Februari 2017).
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai proses yang dialami para
perempuan anggota Kolektif Betina hingga akhirnya mereka memutuskan melakukan
feminine writing dengan menciptakan ruang naratif di media.
Tinjauan Teoritis
Penelitian ini menggunakan beberapa teori dan konsep untuk membantu peneliti
menganalisis fenomena:
a. Feminine Writing
Cixous percaya bahwa bahasa adalah agen opresi perempuan, karena literatur selalu
dibuat dari perspektif laki-laki (Priya, 2016). Satu-satunya cara untuk mengatasi opresi yang
bersifat verbal ini adalah dengan berbicara melalui bahasa yang tidak didominasi oleh Phallus
(Foster, 1990). Cixous menantang perempuan untuk menuliskan diri mereka dalam dunia
yang dikonstruksi oleh laki-laki. Ia mendorong perempuan untuk meletakkan diri dan hal-hal
yang tidak terpikirkan sebelumnya (unthinkable) ke dalam kata-kata (Tong, 2009).
b. Tahapan Reaksi Individu dalam Konteks Penindasan
Menurut Bulhan (1985) yang menafsirkan tulisan Fanon (1961), dalam sebuah kondisi
di mana terjadi penindasan yang berkepanjangan, pihak yang tertindas akan mengalami tiga
tahapan: adalah kapitulasi (capitulation), revitalisasi (revitalization), dan radikalisasi
(radicalization). Tahap pertama, kapitulasi, melibatkan mekanisme defensif yang
menyebabkan pihak tertindas mengidentifikasi diri dengan pihak penindasnya, meningkatkan
asimilasi dengan budaya dominan, sementara secara simultan menolak budaya milik sendiri.
Bulhan (1985) menyatakan, budaya dominan adalah gagasan yang yang dipaksakan kepada
pihak tertindas melalui kekerasan personal, institusional, dan sistemik. Pada tahap kedua,
revitalisasi, budaya dominan tersebut perlahan-lahan ditanggalkan, dan muncul sebuah
romantisme defensif (defensive romanticism) terhadap budaya sendiri. Tahap ketiga,
radikalisasi, ditandai dengan kemunculan komitmen yang kuat menuju perubahan radikal.
c. Sisterhood
Menurut hooks (1984), seksisme dipertahankan melalui struktur sosial dan
institusional. Hooks menjelaskan bahwa perempuan diajarkan bahwa mereka adalah ‘musuh
alami’, dan solidaritas di antara perempuan tidak akan pernah muncul. Hooks kemudian
mengajak para perempuan untuk menghilangkan gagasan yang dikonstruksi oleh habitus
(Bourdieu, 1984) patriarkis tersebut. Hooks mengajak para pembacanya untuk mempelajari
makna sesungguhnya dari sebuah sisterhood hingga mampu mengidentifikasi permasalahan
yang mereka hadapi, melihat lebih jelas bagaimana mereka menderita dan bagaimana mereka
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
bertindak menghadapi penderitaan tersebut. Dalam perspektif hooks (1984), hal ini termasuk
dalam proses unlearning. Unlearning berarti perempuan mendekonstruksi pengetahuan
kognitif yang selama ini dipupuk oleh habitus patriarkis, dan mempercayai bahwa solidaritas
perempuan yang sehat dan lebih dari sekadar kesamaan opresi bisa terbentuk.
d. Kapital, Habitus, dan Arena dalam Konteks Feminisme dan Gender
Bourdieu (2001) menjelaskan bahwa relasi seksual dikonstruksi melalui pemisahan
fundamental akan laki-laki aktif dan perempuan pasif, sebuah pemisahan yang akhirnya
menghasilkan apa yang Bourdieu sebut sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence).
Dalam tulisan-tulisannya mengenai dominasi maskulin, Bourdieu menjelaskan bahwa habitus
terpisah secara gender (gendered habitus). Walau demikian, Lovell (2000) menyatakan
bahwa dalam sebuah masyarakat modern dan posmodern, tinggal sedikit sekali games (arena
sosial tempat praktik terjadi) yang khusus diperuntukkan bagi lelaki, di mana perempuan
dieksklusikan secara formal—meski juga banyak dari perempuan tersebut yang tak
sepenuhnya diterima atau dianggap serius sebagai salah seorang aktor (player) di arena
tersebut. Lovell (2000) menyatakan bahwa perempuan telah lama berupaya melakukan
‘gatecrashing’ pada arena yang dikuasai oleh laki-laki. Ia menamai fenomena ini sebagai
cross-gender habitus. Chambers kemudian mencoba mengombinasikan pemikiran Bourdieu
mengenai habitus dengan pemikiran MacKinnon (1989) mengenai peningkatan kesadaran
(consciousness-raising). Bagi MacKinnon (1989), consciousness-raising merupakan elemen
yang fundamental bagi feminisme; ia adalah metode bagi feminisme itu sendiri.
Consciousness-raising menunjukkan pada perempuan mengenai situasi penindasan yang
mereka alami, dengan cara yang meyakinkan bahwa mereka bisa berbuat sesuatu untuk
mengubah hal tersebut (MacKinnon, 1989). MacKinnon (1989) memaparkan bahwa
kesadaran (consciousness) mengkonstitusikan pengetahuan terhadap realitas sosial dari
menjadi seorang perempuan. Upaya consciousness-raising membangun pemahaman
mengenai bagaimana realitas tumbuh, dan bagaimana realitas tersebut dapat diubah.
Metode Penelitian
Pendekatan kualitatif dipilih oleh peneliti karena mampu menggali lebih dalam makna
dari pengalaman manusia, dan mampu menghasilkan data observasi yang lebih kaya secara
teoritis (Rubin dan Babbie (2010). Paradigma yang peneliti gunakan ialah paradigma
konstruktivisme, dengan studi kasus sebagai strategi penelitian. Vaughan (1992) menyatakan
bahwa studi kasus memampukan peneliti mengkaji perilaku individu di level mikro, sembari
mengacu kepada level makro dan proses sosial pada skala yang lebih besar. Dalam perjalanan
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
penelitian dengan menggunakan studi kasus, peneliti dapat membangun teori maupun
mengembangkan teori yang sudah ada untuk menganalisis kasus yang baru dan kompleks.
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu wawancara
mendalam (in-depth interview) dengan 7 informan, dengan sifat pertanyaan semi-structured
dan unstructured. Peneliti juga melakukan pengumpulan dokumen pendukung. Menurut
Creswell (2013), dalam sebuah penelitian kualitatif, peneliti memilih partisipan, lokasi,
dokumen, atau materi visual tertentu yang sejalan dengan tujuan penelitian, serta dianggap
paling dapat membantu peneliti memahami masalah dan fenomena. Peneliti mengumpulkan
zine, kolase, dan film dokumenter dari para informan yang masih menyimpan media yang
mereka produksi. Dokumen pendukung lain peneliti dapatkan dengan mengecek media sosial
milik para informan. Dengan mengumpulkan karya informan, peneliti mendapatkan
gambaran langsung mengenai praktik bermedia informan.
Observasi sosial pun dilakukan untuk mencatat dan menganalisa sikap dan interaksi
pada saat terjadinya, meski bukan sebagai bagian dari kelompok yang sedang diteliti (Ritchie
dan Lewis, 2003). Peneliti melakukan observasi secara langsung dengan mendatangi Lady
Fast Jilid 2, yang diadakan oleh Kolektif Betina pada bulan April 2017. Di sana, peneliti
melihat secara langsung bagaimana perempuan-perempuan anggota Kolektif Betina
berinteraksi. Dalam memilih infoman, peneliti menggunakan teknik purposive sampling dan
snowball sampling. Peneliti memilih informan dengan kriteria:
1. Berjenis kelamin perempuan.
2. Merupakan anggota tetap Kolektif Betina.
3. Menggunakan medium lain selain Kolektif Betina untuk membangun narasi soal
perempuan. Medium yang dimaksud tidak dibatasi oleh peneliti, karena merupakan
elemen yang akan digali lebih lanjut dalam penelitian.
4. Tema narasi mengeksplorasi mengenai isu perempuan, seperti kehidupan sehari-hari
perempuan, hubungan ibu dan anak, tubuh dan seksualitas, kekerasan terhadap
perempuan, isu-isu sosial dan politik terkait perempuan, kebebasan perempuan,
pembungkaman terhadap perempuan.
Selanjutnya, analisis data akan dilakukan dengan proses coding. Tahap yang akan
dilalui ialah open coding, axial coding, dan selective coding.
Hasil Penelitian
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
Sebagai sebuah proses dengan Kolektif Betina sebagai entitas sentral dalam studi kasus,
peneliti menemukan bahwa kehidupan informan menjadi dua tahapan; sebelum dan sesudah
mengenal Kolektif Betina. Tahapan ini merujuk pada peran Kolektif Betina sebagai sebuah
sisterhood bagi perempuan-perempuan di dalamnya. Dalam perjalanan menjahit temuan data
dengan teori dan konsep, peneliti menemukan bahwa bell hooks (1984) mengemukakan
mengenai tindakan unlearning—di mana perempuan melakukan dekonstruksi pengetahuan
kognitif perihal fenomena gender, hubungan sosial dengan laki-laki dan perempuan, dan
relasi kekuasaan, karenanya melakukan rekonstruksi pengetahuannya soal posisi perempuan
dalam fenomena sosial. Penemuan data di lapangan mengantarkan peneliti kepada pemikiran
Fanon (1961) soal tahapan pembentukan identitas pihak yang tertindas: kapitulasi,
revitalisasi, dan radikalisasi.
Di tahap kapitulasi, peneliti menemukan bahwa informan menghadapi beberapa
kondisi yang sama, yakni bentuk sisterhood (Hooks, 1984) tidak sehat yang sempat dialami
informan (sebelum proses unlearning), bentuk-bentuk pembungkaman yang informan alami
baik dari laki-laki maupun perempuan, serta bagaimana informan sampai mengadopsi
perspektif dan karakteristik pihak penindasnya. Di tahap revitalisasi, informan menemukan
Kolektif Betina serta merasakan manfaat Kolektif Betina sebagai sebuah ruang yang aman,
informan menemukan skena punk dan bahan bacaan berperspektif kritis mengenai isu-isu
perempuan. Pada tahap radikalisasi, ada upaya akumulasi kapital yang dilakukan sebagai
seorang individu maupun kelompok, upaya feminine writing, serta praktik bermedia yang
dilakukan oleh informan untuk menyuarakan isu-isu perempuan.
Baga
n 1.
Kera
ngka
Penj
Kapitulasi
• Pertemanan tidak sehat dengan perempuan lain
• Pembungkaman dari sesama perempuan
• Pembungkaman dari laki-laki
Revitalisasi
• Penemuan akan skena punk
• Penemuan akan bahan bacaan/narasi kritis
• Penemuan akan Kolektif Betina sebagai sebuah sisterhood positif atau ruang aman
Radikalisasi
• Melakukan feminine writing
• Consciousness-raising
• Mendorong perempuan lain untuk membangun ruang aman bagi dirinya sendiri
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
abaran Temuan Data
Pembahasan
Perempuan diajarkan oleh habitus yang patriarkis untuk percaya bahwa perempuan
lain adalah musuh alamiah (Hooks, 1984). Peneliti menemukan bahwa di tahap kapitulasi,
habitus berhasil sampai mempengaruhi hubungan sosial informan dengan perempuan lainnya.
Para informan mengaku memiliki perasaan skeptis terhadap keberadaan pertemanan
perempuan yang positif pada mulanya. Seluruh informan, tanpa terkecuali, mengaku pernah
memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan berteman dengan sekelompok perempuan.
Informan menjelaskan, pengalaman tidak menyenangkan tersebut berupa bullying, kompetisi
tidak sehat, rasa curiga satu sama lain, dan sikap menghakimi.
Dalam tahap kapitulasi pula, perempuan mengalami berbagai bentuk pembungkaman
yang datang dari laki-laki sebagai kelompok dominan. Pada tahap ini, informan terbungkam
ketika menghadapi penindasan yang dilancarkan kepadanya. Bentuk terbungkamnya
informan ini disebabkan oleh beberapa hal: informan tidak memahami bahwa sikap yang ia
terima merupakan bentuk-bentuk penindasan, informan masih berusia kanak-kanak ketika
mengalami pembungkaman (yang berupa kekerasan seksual), informan merasa sungkan
karena ada relasi kuasa timpang yang terjalin dengan si penindas.
Saat masih ada dalam tahap kapitulasi, tidak muncul keinginan untuk melawan karena
ketidaktahuan bahwa hal tersebut merupakan pelecehan. Bourdieu (1990) mencetuskan
sebuah terminologi untuk keadaan ‘rela’ ini: kekerasan simbolik (symbolic violence). Peneliti
melihat bahwa di tahap kapitulasi, ada bermacam bentuk kekerasan simbolik dilancarkan
pada para informan. Peneliti menemukan bahwa ada banyak kejadian dimana informan
terlambat menyadari bahwa tindakan yang ia alami merupakan tindak kekerasan, dan
karenanya memilih bungkam meski merasa tidak nyaman. Pada tahap ini pula, informan
mengidentifikasi diri dengan pihak penindas dan habitus di mana ia berada—yang peneliti
lihat sebagai habitus patriarkis, diiringi dengan praktik-praktik yang bersifat seksis dan
misoginis. Lebih jauh lagi, informan sampai mengadopsi perspektif dan karakteristik dari
pihak penindasnya. Hal ini tampak melalui perilaku negatif informan terhadap satu sama lain
di masa lalu, serta perilaku seksis yang informan miliki di masa lalu. Meski menghadapi
pembungkaman dari sesama perempuan, para informan pun mengakui bahwa mereka juga
sempat menjadi pihak yang membungkam perempuan lain. Pembungkaman ini dilakukan
para perempuan dalam bentuk terlibat dalam pertengkaran dengan perempuan lain, ujaran-
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
ujaran kebencian terhadap pilihan dan gaya hidup perempuan lain, dan rasa ingin
berkompetisi yang diakui informan sering muncul di masa lalu.
Memasuki tahap revitalisasi dimana mulai muncul kesadaran para pihak tertindas
akan penindasan yang ia alami, peneliti menemukan beberapa faktor yang menjadi penanda
penting bagi bangkitnya kesadaran para perempuan ini. Di level pertemanan dengan
perempuan lain atau solidaritas perempuan, persepsi informan yang pesimis terhadap
pertemanan perempuan yang positif berubah ketika informan bergabung ke dalam Kolektif
Betina. Di dalam Kolektif Betina, informan belajar tentang kondisi yang ideal bagi solidaritas
perempuan. Transisi inilah yang dijelaskan oleh Hooks (1984) sebagai sebuah tindakan
unlearning, di mana perempuan melepaskan segala gambaran-gambaran lama yang
dikonstruksi oleh ideologi supremasi laki-laki, dan mulai belajar untuk hidup dan bergerak
kembali dalam sebuah solidaritas perempuan. Ada dekonstruksi dan usaha rekonstruksi
pengetahuan soal solidaritas perempuan. Peneliti menyimpulkan, tahap unlearning berada di
fase yang sama dengan tahap revitalisasi.
Pada umumnya, informan merasa menemukan apa yang selama ini mereka cari dalam
Kolektif Betina: bentuk pertemanan yang sehat dan suportif. Informan mengaku banyak
belajar untuk berhenti bersikap seksis kepada sesama perempuan, yang selama ini telah
menjadi pola pikir yang banal karena sedemikian kuat terinternalisasi oleh habitus patriarkis.
Upaya ini mulai dilakukan informan secara kecil-kecilan di lingkungan mereka sendiri.
Secara sederhana, sejak menemukan Kolektif Betina informan kembali percaya bahwa
pertemanan perempuan yang positif dapat terbentuk.
Faktor penting lainnya Kolektif Betina memandang pembungkaman yang anggotanya
alami dengan perspektif kritis. Freeman (1971 dalam hooks, 1984: 48) menyebutkan bahwa
perspektif kritis dalam sebuah sisterhood mampu menguntungkan perempuan. Peneliti
melihat, kemampuan berpikir dan memandang penindasan yang dialami secara kritis ini
merupakan sebuah kapital yang penting bagi para informan. Di sini, informan belajar untuk
melihat bagaimana struktur sosial membentuk perilaku mereka terhadap satu sama lain, juga
terhadap penindasan yang selama ini mereka alami. Informan jadi mampu membangun rasa
percaya diri, belajar untuk perlahan-lahan melawan penindasan, serta mengapresiasi nilai-
nilai solidaritas dalam kelompok. Hal ini menjadikan Kolektif Betina sebagai sebuah fase, di
mana perempuan-perempuan yang masuk ke dalamnya melepaskan nilai dan norma yang
sudah lama dikonstruksi oleh habitus patriarki, kemudian mempelajari ulang soal kondisi
yang ideal bagi perempuan, baik dalam hal solidaritas perempuan yang positif, juga relasi
kuasa antara perempuan dan laki-laki.
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
Perubahan yang positif ini ternyata didukung oleh adanya kesamaan-kesamaan yang
dimiliki anggota Kolektif Betina. Seluruh informan mengaku pernah mengalami bentuk-
bentuk pembungkaman dan opresi, baik dari laki-laki maupun dari sesama perempuan.
Seluruh informan pernah mengalami tindakan pelecehan sampai dengan kekerasan seksual,
baik bersifat verbal maupun fisik. Kondisi tertindas yang sama ini ternyata mampu
membentuk ikatan erat di antara anggota Kolektif Betina. Bahkan, hal ini ternyata kemudian
menjadi sebuah kekuatan bagi para anggota Kolektif Betina; karena merasa anggota lain juga
memiliki pengalaman tidak menyenangkan yang sama di masa lalu—termasuk pengalaman
mengalami kekerasan seksual, perempuan-perempuan ini bisa secara lebih leluasa
membagikan pengalaman mereka tanpa perasaan takut dihakimi. Kesamaan-kesamaan ini
menyebabkan para anggota memiliki rasa empati dan solidaritas terhadap perempuan lain
yang mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, informan sepakat bahwa Kolektif Betina
adalah sebuah ruang yang aman4 bagi perempuan di dalamnya.
Sebelum membentuk kelompok perempuan, informan tidak mampu mengakumulasi
kapital sepenuhnya karena suaranya sebagai individu selalu dibungkam. Membentuk
kelompok dengan sesama perempuan—apapun kesamaan yang mengikat perempuan-
perempuan di dalamnya—merupakan sebuah upaya mengakumulasi kapital.
Memutarbalikkan opresi yang dialami sehingga menjadi sebuah kekuatan inilah yang tak ada
pada model sisterhood seperti yang bell hooks amati. Kesamaan opresi justru menjadi faktor
yang menyebabkan para anggota mampu berinteraksi dengan anggota lainnya dengan lebih
leluasa, luwes, dan lepas. Keleluasaan ini ditandai dengan tidak munculnya sikap-sikap
negatif yang informan miliki sebelumnya.
Bagi hooks (1984 dalam Tong, 2009), sisterhood sendiri bersifat politis dan bukannya
sebuah konsep personal. Menurutnya, perempuan bisa menjadi saudari (sisters) dalam
konteks menjadi mitra politis (political comrades). Meski Kolektif Betina secara berkala
mengadakan acara dan kampanye yang berupaya meningkatkan kesadaran publik soal
persoalan perempuan (consciousness-raising) dan anggota-anggotanya secara aktif
membangun narasi yang politis, namun peneliti berargumen bahwa sebuah sisterhood tidak
harus selalu berfungsi sebagai sebuah kendaraan politis. Ini peneliti temukan dalam Kolektif
Betina, di mana para informan justru menyatakan bahwa Kolektif Betina lebih mirip dengan
sebuah kelompok pertemanan dan support system ketimbang sebuah gerakan sosial yang
bersifat politis. Kolektif Betina pun tidak menyatakan diri sebagai sebuah kolektif feminis.
4 Informan menggunakan frasa safe space ketika ditanyai mengenai manfaat Kolektif Betina.
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
Kolektif Betina lebih ditujukan agar para perempuan di dalamnya memiliki tempat yang
aman untuk saling berbagi. Di dalam Kolektif Betina, informan memperoleh berbagai bentuk
pengetahuan dan dukungan dari perempuan lain yang sama-sama tertindas. Pengetahuan dan
dukungan ini kemudian menjadi kapital bagi individu agar narasinya sebagai seorang
perempuan di luar Kolektif Betina semakin kuat. Bentuk pemikiran kritis milik anggota-
anggotanya juga menjadi sebuah kapital. Kapital ini juga berguna di level kelompok, karena
sirkulasi kapital membuat Kolektif Betina menjadi solidaritas perempuan yang tidak hanya
saling berbagi pengalaman penindasan, namun juga memandang penindasan secara kritis dan
bergerak melalui ruang-ruang yang memungkinkan untuk melawan penindasan tersebut.
Informan juga mengemukakan keinginan agar perempuan-perempuan di tempat lain
membentuk ruang-ruang alternatif seperti Kolektif Betina. Ada keinginan untuk
menggandakan ruang aman yang sama, agar perempuan lain ikut mengakumulasi jenis-jenis
kapital yang serupa.
Proses mengupayakan ruang alternatif ini, di pandangan peneliti, adalah tahap
revitalisasi. Pada tahapan ini, muncul kesadaran dalam diri para perempuan bahwa habitus
patriarki bukannya tidak memiliki alternatif lain. Mulai muncul pengetahuan bahwa ada
pilihan lain yang tersedia bagi para perempuan. Dalam penelitian ini, kemunculan tahap
revitalisasi ditandai dengan perkenalan informan dengan sebuah arena yang berbeda dari
arena-arena dalam kehidupan informan sebelumnya: skena punk. Sebanyak 6 dari 7 informan
merupakan perempuan yang pernah atau masih bersinggungan dengan skena punk. Di skena
punk, informan mulai mengenal zine sebagai media alternatif, etos DIY atau do it yourself,
ideologi dalam subkultur punk, konsep kemandirian dan kreativitas, konsep solidaritas,
budaya berkolektif, narasi-narasi yang bersifat politis, seksisme, solidaritas, isu-isu
perempuan, dan mulai tumbuh kesadaran untuk membentuk jejaring dengan individu dan
komunitas lainnya. Perkenalan informan dengan skena punk ini adalah bentuk mobilisasi
arena yang disarankan oleh Bourdieu dan Wacquant (1992 dalam Chambers, 2005: 340).
Menurut keduanya, perpindahan arena akan menyebabkan interaksi antar kelompok
meningkat, dan nilai-nilai yang sudah ditanamkan habitus sejak lama perlahan mulai goyah
ketika bertemu dengan nilai-nilai baru yang berbeda.
Para informan yang melakukan mobilisasi arena menuju skena punk ini sebenarnya
sedang melakukan gatecrashing (Lovell, 2000). Para perempuan ini berupaya memasuki
skena punk, yang adalah arena di mana perempuan kerap dieksklusikan secara informal, dan
tidak dianggap serius sebagai salah seorang aktor dalam arena tersebut. Lovell (2010)
menjelaskan fenomena ini sebagai cross-gender habitus. Tindakan mengeksklusi perempuan
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
dalam skena punk ini diperkuat dengan pernyataan para informan mengenai posisi perempuan
di skena. Para informan pernah mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan fisik saat
sedang berada di skena. Beredar pula anggapan bahwa perempuan berperan sebagai
‘pemanis’ di dalam skena—jika sebuah grup musik punk memiliki personil perempuan, akan
lebih banyak pula penonton yang hadir. Informan melihat bahwa masih banyak anggapan
bahwa perempuan di skena punk sekedar berperan sebagai objek untuk dipandangi. Pelecehan
di dalam skena seringkali diwajarkan dengan argumen-argumen seperti perempuan harusnya
tidak berada di skena tersebut, karena punk adalah arena dengan mayoritas laki-laki sebagai
aktor (Leblanc, 1999). Praktik ini tentunya kontradiktif dengan ideologi dalam subkultur punk
yang menghargai kebebasan individu dan menolak bentuk-bentuk penindasan oleh
kekuasaan. Ideologi politik dalam skena punk terdiri dari inklusivitas dan perlawan terhadap
seksisme (Moore, 2004), sementara pada kenyataannya praktik-praktik di dalamnya justru
seringkali menindas perempuan. Informan dihadapkan pada sebuah situasi dilematis, di mana
informan telah melakukan mobilisasi arena dan menemukan berbagai narasi politis yang
memicu kesadaran kritis dalam arena yang baru, namun arena baru ini ternyata juga
membungkam informan sampai batas-batas tertentu.
Sebuah pola menarik yang terus-menerus muncul pada proses dekonstruksi pada para
informan. Mereka menyatakan tertarik pada isu perempuan awalnya karena diperkenalkan
kepada medium zine dalam skena punk. Zine berperan banyak mengajarkan para informan
mengenai isu-isu perempuan, yang dibalut dengan semangat kebebasan dan otoritas dan tidak
pernah informan dapatkan sebelumnya. Informan mengaku zine merupakan elemen penanda
yang penting dalam transisi mereka menuju pemikiran yang lebih kritis soal isu-isu
perempuan. Dari ketujuh informan, hanya ada satu informan yang sebelumnya tidak
bersinggungan dengan skena punk. Meski demikian, pendapat Bourdieu dan Wacquant
(1992) mengenai mobilisasi arena juga tetap berlaku pada informan ini, karena informan
mengaku mengenal isu-isu perempuan semenjak bergabung dengan sebuah organisasi
penghasil wacana soal perempuan dengan perspektif kritis, yakni Jurnal Perempuan.
Informan ini mengaku pandangannya soal isu-isu perempuan berubah semenjak mengenal
Jurnal Perempuan. Ia menyatakan mendapat banyak bahan bacaan, teori, dan konsep
mengenai feminisme dan gender di Jurnal Perempuan.
Beberapa narasi hadir dalam bentuk yang lebih populis dan merupakan bagian
berkesenian seperti zine, beberapa narasi lainnya hadir dalam bentuk tulisan-tulisan ilmiah
mengenai perempuan. Melalui narasi baru di sebuah arena yang baru, informan memahami
bahwa ada pilihan selain yang selama ini ditawarkan kepadanya oleh habitus patriarki. Di
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
tahap revitalisasi ini, kerelaan yang ada pada diri informan saat menghadapi patriarki dan
relasi sosial antar gender pun perlahan-lahan runtuh. Informan mulai menyadari bahwa
kondisi ideal bagi perempuan bisa dicapai dan diupayakan.
Tahap radikalisasi dialami oleh para informan saat informan memutuskan untuk
menyuarakan penindasan dan pembungkaman yang selama ini mereka hadapi melalui
berbagai media. Pada tahap ini, muncul bentuk-bentuk feminine writing. Ada upaya di level
diskursif untuk memproduksi wacana mengenai isu-isu perempuan. Para informan mulai
menyuarakan soal isu-isu yang dekat dengan keseharian informan sebagai seorang
perempuan. Isu-isu ini mencakup pengalaman pribadi informan, perasaan informan, tubuh
dan seksualitas, pembungkaman dan kekerasan yang dihadapi, dan seterusnya. Karenanya,
peneliti menemukan bahwa tahap radikalisasi terletak di level yang sama dengan mulainya
para informan melakukan feminine writing.
Setelah muncul kesadaran bahwa perempuan tidak mendapatkan ruang di media dan
di masyarakat, muncul keinginan dalam diri informan untuk ikut andil menjadi subjek dari
ceritanya sendiri. Informan menggunakan berbagai medium untuk menyuarakan
keprihatinannya pada masing-masing isu. Berdasarkan data temuan penelitian, 6 dari 7
informan pernah dan masih aktif menjadikan zine sebagai ruang di mana informan bisa
bersuara. Zine merupakan media yang paling banyak digunakan individu. Chu (1997)
mengamati bahwa perbedaan zine di masa lalu dengan masa sekarang adalah bahwa kini,
publikasi zine tidak banyak membahas isu tertentu yang spesifik, tapi lebih berfokus pada
hidup keseharian dari penulisnya. Ia melihat bahwa penulis-penulis zine yang mudah
cenderung membuat personal zines atau perzines, yang bersifat otobiografis dan sangat intim.
Para informan pun menggunakan zine untuk menceritakan hal-hal yang bersifat personal dan
memalukan. Seperti dikemukakan oleh Schilt dan Zobl (2008, dalam Zobl, 2009) pembuat
zine memilih jalan self-publishing karena bermacam alasan: ekspresi personal, bentuk
kreativitas, juga sebagai sebuah alat dan ruang yang suportif untuk mencari orang dan
komunitas lain dengan pemikiran serupa. Hal-hal tersebut digarisbawahi oleh informan JN
dan IV, yang lebih banyak menghasilkan zine dibanding informan lainnya. Ada keinginan
kuat dari informan untuk mengekspresikan diri secara bebas dan tidak dibatasi standardisasi
tertentu.
Selain zine, media yang digunakan bervariasi, yakni media berupa teks: upaya verbal,
kolase, film dokumenter, blog, musik, tulisan, seni rupa, serta media bukan teks: aktivisme
dan pembentukan kolektif feminis. Secara garis besar, karakteristik penggunaan media
informan sangat dipengaruhi oleh etos DIY (do it yourself) yang merupakan landasan dari
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
skena punk (Moore, 2010). Informan cenderung memilih untuk menggunakan media secara
mandiri, tanpa intervensi dari pihak-pihak seperti lembaga, institusi, maupun industri. Peneliti
membagi praktik bermedia informan ke dalam beberapa karakteristik, yakni: menjunjung
tinggi kebebasan dalam berkarya dan menjadi bentuk resistensi terhadap media arus utama,
mendorong deprofesionalisasi dan amateurism, penggunaan media bersifat reflektif, feminine
writing ditujukan sebagai alat berjejaring, alat edukasi atau consciousness-raising,
mendorong pembentukan ruang-ruang bersuara bagi perempuan, dan mendorong perempuan
lain agar aktif membangun narasi dan menyuarakan pemikirannya masing-masing.
Karakteristik menjunjung tinggi kebebasan dalam berkarya tampak pada seluruh
penggunaan media informan. Informan sangat menghargai semangat kebebasan dalam
menggunakan media, dan menunjukkan ketidaksukaan terhadap aturan-aturan yang
membatasi karya dan format karya informan. Ketidaksukaan ini ditunjukkan informan dengan
menjadikan aturan-aturan seperti format, deadline, konten, dan larangan-larangan yang ada
dalam industri media arus utama sebagai acuan. Semangat DIY ini sangat terasa dalam
penggunaan media informan, terutama informan yang pernah dan masih aktif dalam skena
punk. Menurut Dunn (2016) skena punk memang bekerja dengan baik pada level personal,
karena etos DIY memberikan kesempatan untuk pemberdayaan diri dan disalienasi
(disalienation).
Karakteristik lainnya ialah deprofesionalisasi dan mendorong keamatiran individu.
Bentuk-bentuk deprofesionalisasi ini ditunjukkan dengan tidak adanya standar atau nilai
‘bagus’ yang ditetapkan individu atas karyanya sendiri. Selain itu, beberapa informan sadar
bahwa karya seni yang dihasilkan tidak mensyaratkan pengalaman atau pendidikan di bidang
seni sebelumnya. Sebagai contoh, informan IV menyadari bahwa untuk menghasilkan kolase
ia hanya membutuhkan kemampuan gunting dan tempel (cut and paste). IV mengakui bahwa
ia memiliki kekurangan, yakni tidak punya kemampuan di bidang desain grafis atau dunia
digital. Salah satu informan yang memproduksi film dokumenter, HM, menyadari bahwa ia
tidak memiliki pengetahuan soal teknik-teknik perfilman. Namun, batasan ini tidak
menghentikan niat HM. Ia tetap mencoba memproduksi film tersebut meski menurutnya ia
tidak memiliki kemampuan di bidang tersebut. Informan yang membuat zine pun tidak
mengupayakan agar zinenya bagus. Standardisasi-standardisasi yang biasa ada pada media
arus utama coba dihilangkan oleh informan. KJ yang adalah seorang musisi, memilih
berkarya di ranah independen. Ia mengaku pernah ditawari kontrak oleh salah satu label
rekaman ternama di Indonesia, namun tidak sampai ke tahap selanjutnya karena ada
kecurangan dari pihak label yang membuatnya tidak lagi mempercayai pihak tersebut. KJ
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
menjelaskan, ada hal-hal tertentu seperti tuntutan penampilan, pencitraan, aturan-aturan
dalam penulisan lagu, aturan pembawaan lagu, dan lain-lain yang menurutnya membatasi
pergerakannya sebagai seorang musisi.
Selanjutnya, peneliti menemukan bahwa penggunaan media informan banyak
berfungsi sebagai bentuk refleksi terhadap diri sendiri, sebagai ruang melepaskan emosi
pribadi. Informan yang menghasilkan zine menyatakan bahwa zine yang dibuat bersifat
personal, atau biasa disebut dengan perzines (personal zines). Chidgey (2006: 3) menyatakan
bahwa para penulis zine seringkali adalah seorang subjek yang resisten, menulis sebagai
bentuk perlawanan terhadap media arus utama dengan menggunakan metode publikasi
golongan pinggir, serta mendokumentasikan kehidupan mereka yang tidak terwakilkan dari
catatan publik. Para informan cenderung menggunakan zine untuk menceritakan hal-hal
memalukan yang selama ini tidak bisa diceritakan kepada orang lain. Melalui zine, informan
menjadi lebih terbuka, termasuk terhadap pengalamannya mengalami kekerasan di masa lalu.
Zine juga berfungsi sebagai obat penawar sakit hati, karena bisa menyalurkan perasaan
penulisnya dengan lebih leluasa. Informan lHM, yang menulis mengenai pencapaian teman-
teman perempuannya di blog pribadinya, mengaku bahwa menulis adalah media terapi
baginya. HM menyadari bahwa ada perasaan negatif dan ingin berkompetisi dalam dirinya
ketika dihadapkan dengan pencapaian perempuan-perempuan lain. Karena menyadari hal
tersebut tidak baik, HM kemudian menuliskan prestasi perempuan-perempuan yang ia kenal
agar bisa mengubah kebiasaan buruknya sebelumnya.
Karakteristik penggunaan media informan lainnya adalah sebagai upaya untuk
membentuk jejaring atau networking. Ada kebutuhan untuk menyuarakan hal-hal tertentu
dengan tujuan membentuk jejaring, mencari orang-orang lain yang memiliki pikiran dan
pendapat yang sama. Para informan pun mengaku bahwa media yang mereka gunakan kini,
beserta bentuk-bentuk feminine writing yang mereka lakukan, telah mengenalkan mereka
kepada banyak orang. Teman-teman informan bertambah ketika mereka telah menghasilkan
narasi sendiri di tengah khalayak. Peneliti melihat bahwa hal ini juga adalah upaya informan
untuk mengakumulasi kapital, terutama kapital sosial. Ketika dihadapkan pada
pembungkaman-pembungkaman, individu kemudian mencari orang-orang lain yang
mengalami pembungkaman yang sama, maupun yang tidak terbungkam namun menyetujui
pemikiran individu. Menyuarakan sesuatu secara kolektif memberikan rasa aman bagi
individu.
Berikutnya, informan menggunakan media dan melakukan feminine writing sebagai
upaya memberikan edukasi bagi khalayak, khususnya kepada perempuan-perempuan lain.
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
Peneliti menemukan bahwa upaya inilah yang paling banyak muncul dalam penggunaan
media informan. Ada keinginan besar dari tiap informan agar khalayak luas memahami
persoalan yang terjadi kepada perempuan. Upaya ini dijelaskan oleh MacKinnon (1989)
melalui terminologi consciousness raising. Sangat perlu bagi feminis untuk melakukan
dekonstruksi melalui consciousness-raising (Chambers, 2005). Dekonstruksi inilah yang coba
dilakukan oleh para informan. Informan mengerahkan kapital budaya, sosial, dan simbolik
yang dimiliki untuk melakukan consciousness-raising. Informan yang aktif di skena punk
secara aktif membangun narasi dan melakukan feminine writing melalui lirik lagu, melalui
sesi orasi, dan melalui ajakan-ajakan sebelum acara dimulai (woro-woro) yang terus-menerus
mengingatkan anggota skena bahwa pelecehan terhadap perempuan masih sering terjadi di
skena punk, dan bahwa skena punk bukan milik laki-laki saja. Seksisme di ranah punk ini
banyak dibahas oleh informan yang masih aktif beraktivitas di skena punk. Seperti ajakan
hooks, perempuan harusnya menyadari perbedaan antara ‘menemukan’ diri sebagai bagian
dari kelompok marjinal, dan memilih untuk menjadikan marjinalitas sebagai sebuah ruang
(site) resistensi, untuk mencapai keterbukaan yang radikal akan kemungkinan-kemungkinan
baru. Memanfaatkan marjinalitas sebagai ruang resistensi inilah yang peneliti lihat
terkandung dalam diri para informan. Meski telah berulang kali mengalami pelecehan di
dalam skena, informan mengaku bahwa tidak ada keinginan untuk meninggalkan skena punk
tersebut. Ada perasaan emosional yang mengikat informan dengan skena punk, karena
informan merasa telah mendapatkan banyak manfaat dari skena punk.. Karenanya, informan
memanfaatkan arena yang kontradiktif ini—arena yang menolak bentuk-bentuk penindasan
sambil pula menindas anggota perempuannya—untuk melakukan resistensi dengan cara dan
mediumnya masing-masing. Sebagai contoh, informan HM yang tidak lagi aktif berkarya di
skena, memutuskan untuk membuat sebuah film dokumenter mengenai pelecehan yang sering
dihadapi perempuan dalam skena. JN, yang mencatat bahwa perempuan lebih didengarkan
ketika bicara dalam skena, secara sadar menggunakan feminine capital (Skeggs, 2004, dalam
Huppatz, 2009) yang ia miliki agar bisa bersuara melalui sesi orasi sebelum mulai bermain
musik.
Informan lain menggunakan kapital yang dimiliki sebagai seorang pemusik untuk
menyuarakan isu-isu perempuan lewat lagu. Beberapa informan pun aktif menulis melalui
media-media lokal yang independen, juga melalui media sosial seperti Facebook. Informan
yang memiliki jaringan pertemanan yang lebih luas dari yang lain, seperti KJ, IV, dan SR
juga menggunakan kapital sosial yang dimiliki untuk membentuk kolektif feminis baru, yang
secara spesifik bertujuan menghasilkan kampanye-kampanye terkait persoalan perempuan.
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
Upaya yang bersifat verbal pun dilakukan oleh para informan. Upaya verbal ini bentuknya
mengingatkan ketika informan menemukan ada orang sekitar atau kerabat dekat informan
yang berperilaku seksis dan merendahkan perempuan.
MacKinnon (1989: 101) menyatakan bahwa consciousness-raising berusaha
menjelaskan situasi perempuan lewat cara yang mengafirmasi bahwa perempuan bisa
melakukan sesuatu untuk mengubahnya. Tak hanya melakukan feminine writing, informan
juga meyakinkan perempuan-perempuan lain bahwa pembungkaman dan penindasan bisa
dilawan. Sebagai contoh, informan AS secara sadar membela perempuan yang ia lihat
mengalami pelecehan dalam ruang publik seperti kendaraan umum, untuk menunjukkan
kepada perempuan lain bahwa perempuan harus saling menjaga satu sama lain. Selain itu,
consciousness raising mendorong mereka yang teropresi untuk melawan opresi yang terjadi
pada perempuan lain. Proses unlearning lewat Kolektif Betina mengajarkan perempuan untuk
berhenti melukai dan membungkam satu sama lain, lalu bersatu melawan penindasan dengan
kekuatan-kekuatan kecil serta kapital yang dimiliki.
Kesimpulan
1. Seluruh informan pernah mengalami pembungkaman yang dilakukan oleh kelompok
dominan, yakni laki-laki. Pembungkaman yang dihadapi oleh informan beragam
bentuknya, mulai dari pelecehan verbal sampai dengan kekerasan seksual. Dulunya,
informan tidak menyuarakan perlawanan akan penindasan ini, karena informan masih
berada dalam tahap kapitulasi, dimana tidak ada pemahaman akan kondisi ideal yang
memungkinkan bagi perempuan. Pada tahap ini, informan sampai ikut mengadopsi
perspektif patriarkis, yang salah satunya termanifestasikan dengan mengadopsi bahasa
dan cara pandang penindas dalam memandang perempuan lain. Sebelum menemukan
Kolektif Betina, informan sempat mengalami bentuk-bentuk pertemanan yang tidak sehat
dengan perempuan-perempuan lainnya. Anggapan bahwa pertemanan perempuan selalu
dipenuhi dengan negativitas terpatahkan sejak informan bergabung dengan Kolektif
Betina. Proses unlearning atau dekonstruksi pengetahuan kognitif mengenai solidaritas
perempuan membawa informan kepada pemahaman bahwa kelompok pertemanan
perempuan yang sehat mungkin terbentuk.
2. Tahap revitalisasi dimulai ketika informan mengenal skena punk dan melakukan
mobilisasi arena, berpindah dari arena lamanya ke sebuah arena yang baru. Disini, skena
punk berperan penting dalam memberikan pemahaman alternatif kepada informan
mengenai otoritas terhadap diri sendiri. Informan mengaku mendapatkan banyak hal dari
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
skena punk, termasuk pemahaman mengenai kondisi perempuan yang ideal. Informan
mulai mengenal bacaan-bacaan, narasi, dan teks yang sifatnya kritis (terutama didapatkan
dari zine) yang pada akhirnya memperbarui cara pikir informan. Informan mulai
mengetahui pentingnya perempuan bebas dari bentuk-bentuk penindasan yang selama ini
dialami. Perkenalan informan dengan teks-teks tersebut mendorong informan untuk
menuju tahap radikalisasi.
3. Tahap radikalisasi dimulai ketika informan secara sadar melakukan aktivitas komunikasi
dan menggunakan media untuk menciptakan ruang demi mengupayakan feminine
writing. Aktivitas komunikasi ini mengambil wujud yang berbeda-beda di tiap informan,
tergantung dari kapasitas yang informan miliki, dan isu dimana informan menaruh
perhatian paling besar. Media yang informan pilih untuk digunakan pun tergantung dari
kemampuan informan, pemahaman informan akan karakteristik media tersebut, serta
kapital yang dimiliki oleh informan. Dalam melakukan feminine writing, informan
banyak dipengaruhi oleh etos DIY atau do it yourself yang berasal dari skena punk.
Karakteristik upaya penggunaan media untuk melakukan feminine writing informan
memiliki beberapa kesamaan, yakni: dekonstrusi, menjunjung tinggi kebebasan dalam
berkarya dan menjadi bentuk resistensi terhadap media arus utama, mendorong
deprofesionalisasi dan amateurism, penggunaan media bersifat reflektif terhadap diri
sendiri, feminine writing ditujukan sebagai alat berjejaring, alat edukasi atau
consciousness-raising, mendorong pembentukan ruang-ruang bersuara bagi perempuan,
dan mendorong perempuan lain agar aktif membangun narasi dan menyuarakan
pemikirannya masing-masing.
4. Upaya consciousness-raising yang dilakukan informan sebagai seorang individu serta
Kolektif Betina sebagai sebuah kelompok merupakan temuan yang penting bagi
penelitian. Upaya ini menunjukkan bahwa karakteristik aktivitas komunikasi perempuan
dalam menciptakan ruang untuk membangun narasi sangat dipengaruhi oleh keinginan
perempuan menciptakan ruang yang aman bagi perempuan-perempuan lainnya.
5. Rangkaian tahapan yang dialami informan dan Kolektif Betina tersebut pada akhirnya
menjawab pertanyaan penelitian. Perempuan yang menjadi anggota Kolektif Betina
menciptakan ruang untuk melakukan feminine writing setelah melewati ketiga tahapan;
kapitulasi, revitalisasi, dan radikalisasi. Di tahap radikalisasi, ada kesadaran dan
komitmen kuat untuk menuju kepada perubahan yang radikal. Pada studi kasus Kolektif
Betina, perubahan yang dimaksud tidak harus selalu bersifat revolusioner. Perubahan ini
bersifat memberdayakan diri sendiri, mengklaim ruangan-ruangan kecil di tengah
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
masyarakat agar perempuan bisa ikut bersuara. Termasuk di dalam perubahan tersebut
adalah upaya perempuan-perempuan dalam Kolektif Betina untuk mengakumulasi
kapital, baik secara individu maupun secara kolektif. Kumpulan kapital inilah yang pada
akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesadaran perempuan-perempuan lain bahwa
penindasan dapat dilawan, serta memberikan gambaran mengenai kondisi ideal kepada
perempuan-perempuan yang masih mengalami penindasan.
Saran
1. Penelitian ini menyediakan landasan bagi pemahaman akan bagaimana perempuan
menciptakan ruang untuk menyerukan suaranya sebagai seorang perempuan dalam
kondisi patriarkis. Temuan data menunjukkan bahwa media online atau digital tidak
banyak dipakai oleh subjek penelitian. Penelitian selanjutnya dapat mendalami mengenai
bagaimana perempuan memanfaatkan integrasi antara media online dan offline dalam
menciptakan ruang-ruang di media.
2. Penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi lebih dalam mengenai peran perempuan
dalam subkultur punk di Indonesia, karena ternyata subkultur ini memberikan banyak
pengaruh bagi kehidupan dan pemikiran perempuan di dalamnya.
3. Bagi pihak pembuat kebijakan terkait isu-isu dan kondisi perempuan di media, penelitian ini memberi implikasi mengenai bagaimana perempuan bereaksi dalam menghadapi penindasan yang dialami. Penelitian menunjukkan bahwa upaya perempuan menciptakan ruang yang aman melalui kebebasan berekspresi seringkali menghadapi pembungkaman dari pihak-pihak tertentu. Hal ini diharapkan mampu mendorong pembuat kebijakan untuk menciptakan strategi agar penindasan terhadap perempuan tersebut dapat diberantas, sehingga perempuan memiliki lebih banyak ruang untuk berkarya.
Daftar Referensi
Bourdieu, Pierre (2001) Masculine Domination. Cambridge: Polity Press. Bourdieu, Pierre dan Wacquant, L. (1992) An Invitation to Reflexive Sociology. Cambridge: Polity Press. Bulhan, H. A. (1985). Frantz Fanon and the psychology of oppression. New York: Plenum Press. Chambers, C. (2005). Masculine domination, radical feminism and change. London: SAGE Publications. Vol. 6(3): 325–346. 1464–7001 DOI: 10.1177/1464700105057367. Chu, J. (1997). Navigating the Media Environment: How Youth Claim a Place Through Zines. Social Justice, Vol. 24, No. 3 (69), Children and The Environment (Fall 1997), pp.71-85.
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017
Chidgey, R. The Resisting Subject: Per-zines as life story data. University of Sussex Journal of Contemporary History, 10, (2006). Creswell, J. W. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: SAGE Publications. Dunn, Kevin. 2016. Global Punk: Resistance and Rebellion in Everyday Life. New York: Bloomsbury. Fanon, F. (1961). The Wretched of The Earth. New York: Grove Weidenfield. Hebdige, D. (1979). Subculture: The meaning of style. London: Methuen. Hooks, B. 1984. Feminist Theory: From Margin to Center. Boston, MA: South End Press. Huppatz, K. (2009). Reworking Bourdieu's `Capital': Feminine and Female Capitals in the Field of Paid Caring Work. Volume 43(1): 45–66. DOI: 10.1177/0038038508099097. Lovell, T. (2000). Thinking feminism with and against Bourdieu. Feminist Theory (London, Thousand Oaks, CA and New Delhi) Vol. 1(1): 11–32. DOI: [1464-7001 (200004) 1:1;11–32; 012009]. MacKinnon, C.A. 1989. Toward A Feminist Theory of the State. Cambridge, MA: Harvard University Press. Moore, H. L. (2007). The Subject of Anthropology: Gender, Symbolism, and Psychoanalisis. Cambridge: Polity Press. Moran, I. P. (2010). Punk: The Do-It-Yourself Subculture. Social Sciences Journal: Vol. 10 (1), Article 13. Roberts, M. dan Moore, R. (2009). Peace Punks And Punks Against Racism: Resource Mobilization And Frame Construction In The Punk Movement. Music and Arts in Action 2(1). San Diego State University. ISSN: 1754-7105. Rubin, A. dan Babbie, Earl R. (2010). Research Methods for Social Work. California: Brooks/Cole. Spender, Dale. (1980). Man Made Language. London: Routledge & Kegan Paul. Strinati, D. (2009). An Introduction to Theories of Popular Culture: Second Edition. London: Routledge. Tong, R. P. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press. Vaughan, Diane. (1992). Theory elaboration: The heuristics of case analysis. In What is a case? Exploring the foundations of social inquiry, edited by C. Ragin and H. Becker, pp. 173–202. Cambridge: Cambridge University Press. Yin, Robert K. (2003). Case Study Research: Design and Methods. California: SAGE Publications. Yin, Robert K. (2011). Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Press. Zobl, E. (2009). Cultural Production, Transnational Networking, and Critical Reflection in Feminist Zines. Chicago: The University of Chicago Press. Signs, Vol. 35, No. 1 (Autumn 2009), pp. 1-1
Feminine Writing ..., Wenugobal Manggala Nayahi, FISIP UI, 2017