teaching and testing writing

32
Mengajarkan dan Menguji Keterampilan Menulis CHARLENE POLIO AND JESSICA WILLIAMS Penelitian teoritis dan empiris terkait dengan keterampilam menulis dalam bahasa kedua mencakup topic serta tradisi epistimologis yang sangat luas. Hal tersebut menunjunkkan suatu fakta yang tidak dapat disangkal bahwa menulis dalam bahasa kedua adalah proses kompleks yang meliputi dua hal yakni proses kognitif pemerolehan bahasa kedua serta genre, tujuan, dan nilai-nilai yang hidupn di dalam kumintas wacana bahasa kedua. Meskipun akan tampak naïf untuk membayangkan penelitian-penelitian seperti penelitian tentang peranan ingatan di dalam produksi teks dan sosialisasi kebahasaan akan saling bersinggungan, kita percaya bahwa mengajarkan menulis dapat dipengaruhi oleh berbagai perspektif termasuk di dalamnya bagaimana peserta didik memproses berbagai umpan balik yang diberikan, representasi-representasi sintaksis dari tulisan, serta pengalaman dan identifikasi kebudayaan macam apa yang dituliskan oleh siswa saat menyelesaikan tugas menulis. Beberapa teoritisi terkait dengan menulis menyesalkan masih kurangnya teori-teori menulis yang koheren. Memang, sudah ada beberapa model tulisan dalam bahasa kedua, namun itu semua belum cukup untuk dikatakan komprehensif. Beberapa teoritisi focus terhadap proses penulisan yang alami oleh seseorang yang menulis dalam bahasa kedua, sementara para teoritisi yang lain berfokus kepada model pengetahuan seperti apa yang dibawa dan akan dibagi kepada para pembaca oleh peserta didik ketika menyelesaikan tugas menulis dalam bahasa kedua. Wang dan wen (2002) menekankan baik kepada proses maupun pengetahuan dari si penulis, namun mereka juga mengikutsertakan peran yang dimainkan baik oleh bahasa kedua maupun bahasa pertama dalam proses tersebut. Model yang diajukan oleh Hayes (1996) menggabungkan baik factor kognitif maupun social. Bagaimanapun, karena model Hayes terkait dengan penulis dalam bahasa pertama, maka ia tidak membahas isu

Upload: ricodwipermana

Post on 09-Nov-2015

16 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Pembelajaran Bahasa

TRANSCRIPT

Mengajarkan dan Menguji Keterampilan Menulis

CHARLENE POLIO AND JESSICA WILLIAMS

Penelitian teoritis dan empiris terkait dengan keterampilam menulis dalam bahasa kedua mencakup topic serta tradisi epistimologis yang sangat luas. Hal tersebut menunjunkkan suatu fakta yang tidak dapat disangkal bahwa menulis dalam bahasa kedua adalah proses kompleks yang meliputi dua hal yakni proses kognitif pemerolehan bahasa kedua serta genre, tujuan, dan nilai-nilai yang hidupn di dalam kumintas wacana bahasa kedua. Meskipun akan tampak naf untuk membayangkan penelitian-penelitian seperti penelitian tentang peranan ingatan di dalam produksi teks dan sosialisasi kebahasaan akan saling bersinggungan, kita percaya bahwa mengajarkan menulis dapat dipengaruhi oleh berbagai perspektif termasuk di dalamnya bagaimana peserta didik memproses berbagai umpan balik yang diberikan, representasi-representasi sintaksis dari tulisan, serta pengalaman dan identifikasi kebudayaan macam apa yang dituliskan oleh siswa saat menyelesaikan tugas menulis.Beberapa teoritisi terkait dengan menulis menyesalkan masih kurangnya teori-teori menulis yang koheren. Memang, sudah ada beberapa model tulisan dalam bahasa kedua, namun itu semua belum cukup untuk dikatakan komprehensif. Beberapa teoritisi focus terhadap proses penulisan yang alami oleh seseorang yang menulis dalam bahasa kedua, sementara para teoritisi yang lain berfokus kepada model pengetahuan seperti apa yang dibawa dan akan dibagi kepada para pembaca oleh peserta didik ketika menyelesaikan tugas menulis dalam bahasa kedua. Wang dan wen (2002) menekankan baik kepada proses maupun pengetahuan dari si penulis, namun mereka juga mengikutsertakan peran yang dimainkan baik oleh bahasa kedua maupun bahasa pertama dalam proses tersebut. Model yang diajukan oleh Hayes (1996) menggabungkan baik factor kognitif maupun social. Bagaimanapun, karena model Hayes terkait dengan penulis dalam bahasa pertama, maka ia tidak membahas isu profisiensi bahasa kedua serta bagaimana peranan bahasa pertama. Meskipun model ini sudah diperluas dari bentuk model kognitif yang lebih dulu (Hayes & Flower, 1980) sehingga mulai memasukkan factor-faktor social, namun tetap saja perlakukan terhadap factor social tersebut masih sangat minim. Ia tidak memasukkan berbagai isu social terkini yang ramai dibincangkan dalam penulisan bahasa kedua seperti masalah rasial, kelas social, dan gender (Kubota, 2003) and voice (Helms-Park & Stapleton, 2003; Stapleton, 2002)

Ketiadaan model komprehensif untuk keterampilan menulis dalam bahasa kedua, kami menyusun pembahasan ini dengan mendiskusikan berbagai faktor yang ramai dibicarakan di dalam penelitian-penelitian terkini serta berpengaruh terhadap pengajaran keterampilan menulis dalam bahasa kedua. Kami mulai dengan mengeksplorasi hubungan antara pemerolehan bahasa kedua dan keterampilan menulis dengan berfokus kepada isu-isu kognitif yang terkait dengan produksi teks dan pembelajaran bahasa. Selanjutnya, kami akan mendiskusikan tentang proses menulis dan menguji dampak dari berbagai penelitian dalam bidang ini terhadap pembelajaran. Meskipun sebagaian besar kegiatan akademis terkait dengan pengajaran ketrampilan menulis dilakukan di amerika utara, kami akan menambahkan sedikit eksplorasi tentang aktivitas serupa di Eropa dan Asia. Kami lalu mendiskusikan perkembangan terbaru yang mencerminkan perubahan social di dalam pembelajaran menulis. Meskipun penelitian dalam bidang-bidang ini masih langka, namun semuanya memiliki dampak penting terhadap pengajaran menulis. Yang harus dingat, penulisan dalam bahasa kedua memerlukan (i) pengajaran bahasa kedua, (ii) menciptakan sebuah teks, dan (iii) mengadaptasikannya ke dalam sebuah komunitas bahasa tertentu. Terakhir kami akan mendiskusikan secara ringkas beberapa isu terkait dengan penilaian (asesmen).

Faktor Kognitif dalam Pembelajaran

Pemahaman tentang pemerolehan bahasa kedua (SLA) penting bagi mereka yang tertarik dalam pengajaran keterampilan menulis. Pserta didik harus memperoleh dan memproduksi bahasa kedua supaya dapat menulis dengannya. Namun demikian, ini bukanlah proses satu pintu; menulis dapat mendorong kefasihan berbahasa dan para guru bisa menggunakan keterampilan menulis untuk mendukung keterampilan berbahasa yang lain. Pengaruh keterampilan menulis terhadap keterampilan berbicara belum diteliti secara luas dan mendalam. Sebuah penelitian terhadap kelas dewasa bahasa kedua, menunjukkan bahwa bentuk-bentuk baru muncul pertama kali dalam jurnal tulis sebelum akhinya para peserta kelas tersebut mau atau dapat menggunakannya dalam bentuk lisan (Weissberg: 2000). Harklau (2002) juga mendapati fakta yang sama pada para siswa SMA kelas bahasa kedua (ESL, English as Second Language). Sebagai tambahan, ia dengan sangat menyakinkan ia menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh akses yang lebih besar terhadap input bahasa tulis menghasilkan lebih banyak bahasa tulis daripada bahasa lisan, oleh karena itu mereka lebih banyak mendapatkan umpan balik dari tulisannya dari tuturannya. Namun, karena sebuah ulasan komprehensif tentang hubungan antara penulisan dan SLA di luas ruang lingkup Bab ini, maka kami memilih untuk membatasi diskusi kami kepada dua bidang yang lebih spesifik yakni; bentuk dan hasil dari keterampilan menulis dan koreksi kesalahan.

Menulis sebagai Fokus Bentuk dan Output yang Ditekankan

Terdapat diskusi ekstensif dalam pemerolehan bahasa kedua dan pembelajaran bahasa terkait dengan peran dari instruksi yang terfokus pada bentuk (for reviews, see Ellis, 2001; Norris & Ortega, 2000; Spada, 1997; Williams, 2005). Meskipun instruksi yang terfokus pada bentuk seringkali tampak sebagai upaya guru untuk menarik perhatian siswa untuk membentuk tulisan yang sederhana namun sebenarnya ia juga dapat membantu siswa untuk fokus kepada bentuk bahasa, meskipun tanpa intervensi dari para guru. Kim, dkk. (2001) menunjukkan bahwa menulis dapat membantu siswa SD (kelas bahasa Inggris sebagai bahasa kedua) menghasilkan bahasa dan dapat diinspeksi secara menyeluruh. Modalitas menyediakan peserta didik rekaman bahasa yang dapat mereka lihat dan pantau yang mempengaruhi kefasihan mereka ketika berbicara. Hal ini sudah dinyatakan dengan eksplisit oleh Cumming (1990), mengutip karya Swain yang meneliti output sebagai alat yang membantu proses pemerolehan bahasa. Dia menyatakan: komposisi karangan menarik perhatian untuk membentuk relasi-relasi bentuk-makna yang mungkin membantu peserta didik untuk memperbaiki ekspresi-ekspresi kebahasaan mereka-oleh karena itu mereka akan mampu mengendalikan pengetahuan bahasa mereka-sehingga akan menjadi lebih akurat ketika hal tersebut digunakan untuk mewakili isi pikiran dan penggunaan bahasa strandar mereka. Dengan memperhatikan penelitian empiris, beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa peserta didik dapat memberikan perhatian kepada masalah kebahasaan sekalipun dalam bentuk teks tertulis. Wong (2001) menunjukkan bahwa peserta didik dapat memperhatikan bentuk dan makna dalam teks tertulis secara bersamaan, tetapi itu tidak bisa dilakukan ketika dalam bentuk lisan, terutama terkait dengan modalitas. Beberapa studi juga sudah menunjukkan bahwa ketika peserta didik diberikan lembar hasil tulisan mereka sendiri, mereka sudah dapat mengoreksinya sendiri tanpa ada umpan balik maupun instruksi-instruksi tertentu dari guru untuk tentang bagaimana menyunting tulisan mereka. Namun tentu, jika umpan balik dan instruksi diberikan oleh guru, maka peserta didik akan mampu mengoreksi kesalahan tulisan mereka dengan lebih baik dan akurat. Sebagai tambahan, terdapat juga bukti-bukti dari penelitian bahwa ketika peserta didik memberikan perhatian yang lebih kepada bentuk tulisan mereka, terjadi peningkatan dalam kegiatan penulisan secara kolaboratif diantara mereka. Swain (1998) memanfaat dictogloss, yaitu sebuah tugas yang memungkin peserta didik menyusun ulang sebuah teks acak sembara mendengarkan kepada teks utuh yang diperdengarkan. Tugas ini membantu peserta didik fokus kepada bentuk tulis, dan pada saat yang sama juga fokus kepada makna dari teks yang diperdengarkan. Para peserta didik berkeja secara berkelompk setelah mencatat isi-isu teks dan ternyata mereka mampu merefleksikan output belajar mereka secara mandiri dan sadar. Storch (2005) meneliti beberapa tulisan siswa yang bekerja sendiri maupun bekerja berkelompok. Dari penelitiannya tersebut, ia mendapati bahwa siswa yang bekerja secara kelompok dapat menghasilkan esai yang lebih kompleks secara gramatika dan sintaksis. Oleh karena itu, baik modalitas maupun aktivitas kolaboraif dapat meningkatkan perhatian siswa terhadap bentuk tulisan. Swain memulai penelitiannya dengan merespon kekecewaan terhadap rendahnya tingkat akurasi gramatikal yang ditunjukkan banyak peserta didik di dalam sebuah kelas program pembelajaran bahasa Inggris di Kanada. Ia mengatakan, para peserta didik belum bisa menghasilkan akurasi bahasa Inggris yang memadai, oleh karena itu output yang mereka hasilkan dapat membantu para peserta didik untuk mengidentifikasi kesenjangan dan permasalahan dalam bahasa mereka. Swain mepertahan pendapatnya bahwa supaya peserta didik dapat maju, mereka harus menyelesaikan berbagai tugas yang sekiranya dapat membantu mereka menaikkan kemampuan mereka lebih tinggi dari kemampuan mereka saat ini dengan cara mereka harus menghasilkan apa yang oleh Swain disebut sebagai output yang ditekankan (pushed output). Di dalam tugas-tugas seperti itu, peserta didik akan dipaksa mencoba berbagai sturktur kebahasaan dan/atau kosa kata baru yang mereka mungkin belum pelajari sebelumnya. Dictogloss, tidak hanya meningkatkan perhatian peserta didik terhadap aspek bentuk tulisan, tetapi juga menekan aspek hasil/output karena mereka dipaksakan untuk menghasilkan produk bahasa yang bukan dalam bahasa mereka sendiri, bahkan level bahasa kedua mereka juga belum memadai untuk menghasilkan produk seperti itu. Dalam dua studi yang lain, Qi and Lapkin (2001) and Sachs and Polio (2007) menggunakan tugas-tugas yang sudah direformulasi, yakni tugas yang mengharuskan peserta didik menulis ulang kerangka tulisan mereka dengan mengikuti reformulasi yang sudah diberikan oleh penutur asli. Dalam kedua studi tersebut, peserta didik sangat memperhatikan aspek bentuk tulisan mereka karena mereka berusaha menghasilkan ouput tulisan yang lebih tinggi dari tingkat pengetahuan mereka saat ini. Selain itu, peserta didik di dalam kedua studi tersebut menandai setiap kesenjangan penegtahuan dalam bahasa kedua mereka karena mereka berusaha menghasilkan teks yang sama dengan para penutur asli bahasa tersebut. Salah satu kunci suksesnya tuga menulis dalam mendorong fokus siswa lebih diarahkan kepada aspek bentuk dan output yang ditekankan adalah kesempatan untuk merencanakan tulisan. Beberapa studi tentang bahasa lisan (e.g., Foster & Skehan, 1996; Ortega, 1999) menunjukkan bahwa jika peserta didik diberikan waktu untuk merencanakan apa yang harus mereka bicarakan, itu dapat meningkat produksi bahasa lisan mereka, khususnya terkait dengan kefasihan dan kompleksitas siktaksis mereka, namun tidak diikuti dengan peningkatan akurasi gramtika mereka. Ellis and Yuan (2004) mengembangkan penelitian tersebut ke dalam bahasa tulis. Mereka meneliti tulisan peserta didik yang diberikan waktu untuk merencakan apa yang harus dan tidak harus mereka tuliskan sebelum mulai menulis. Mereka juga menambahkan aspek penelitian mereka dengan menguji hasil tulisan siswa yang tidak doberikan waktu untuk merencanakan tulisan namun diberikan waktu yang lebih panjang untuk menulis. Temuan mereka ternyata sama dengan penelitian dalam bahasa lisan: waktu perencanaan yang diberikan dapay meningkat kefasihan dan kompleksitas kalimat, namun sama sekali tidak meningkatkan akurasi gramatika. Namun hasil yang berbalik didapatkan dari siswa yang tidak diberikan waktu khusus untuk merencankan tulisan, tapi diberikan waktu yang lebih luas untuk menulis. Peserta didik dalam penelitian terakhir menunjukkan adanya peningkatan dalam akurasi gramtika tulisan mereka.

Koreksi Kesalahan Grammatika

Koreksi kesalahan dalam menulis bisa jadi merupakan topik paling controversial dan sering diperdebatkan. Meskipun sudah banyak dilakukan berbagai studi dan diskusi empiric serta adanya fakta bahwa peserta didik bahkan kerapkali para guru lebih menyukai umpan balik kebahasaan yang komprehensif, namun pertanyaan tentang efektifitas koreksi kesalahan masih belum terpecahkan sepenuhnya. Truscott (1996) makin memperkeruh polemik tentang isu di atas tatkala ia menyatakan, tidak ada tempat bagi grammar di dalam kelas menulis, oleh karena itu ia harus ditinggalkan (p.361). Dengan cermat ia berargumentasi bahwa pada saat itu belum ada studi yang menunjukkan keuntungan jangka panjang dari koreksi kesalahan. Ia juga menyatakan, koreksi itu berbahaya karena bisa menghabiskan waktu para guru sehingga tidak sempat membuat tugas-tugas lain yang mungkin saja lebih dapat membantu siswa mereka. Lebih jaug lagi, koreksi juga dikhawatirkan akan membuat para siswa menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan tidak berani mengambil resiko dalam menulis semata untuk menghindari terjadinya kesalahan. Salah satu alasan dari kurangnya consensus disebabkan karena design penelitian. Ada kendala-kendala logistic untuk menerapkan penelitian yang dikontrol secara cermat. Kendala lain adalah kesulitan dalam menghasilkan definisi dan ukuran yang terpercaya untuk berbagai teori tentang koreksi kesalahan. Sulit untuk memastikan semua faktor selain koreksi tetap konstan, ditambah dengan pertimbangan-pertimbangan etis, semakin sulit untuk memasukkan sebuah kelompok control yang tidak pernah menerima koreksi kesalahan. Di tambah lagi dengan kenyataan bahwa koreksi kesalahan sudah menjadi sangat variatif dan telah diperluas dengan berbagai teknik pedagogis seperti menggarisbawahi kesalahan ataupun dengan memberikan kode kepada bentuk-bentuk yang salah. Sepuluh tahun setelah tantangan yang dilontararkan oleh Truscott tersebut, isu tentang koreksi kesalahan di dalam pengajaran keterampilan menulis masih belum berhasil dipecahkan. Meskipun beberapa studi yang dilakukan menunjukkan koreksi yang diberikan oleh guru terhadap draft yang dibuat oleh peserta didik menghasilkan revisi yang lebih akurat secara grammatical, namun tidak ada satupun yang dengan meyakinkan berhasil menunjukkan adanya pengaruh jangka panjang terhadap tulisan peserta didik. Polio, dkk (1998) tidak menemukan adanya pengaruh jangka panjang ketika tulisan siswa dari dua kelas yang dikontrol dan tidak dikontrol dibandingkan selama satu semester. Namun permasalahan dengan penelitian ini adalah, kurangnya perbedaan antara kedua kelompok tersebut mungkin saja disebabkan karena berbagai faktor termasuk di dalamnya adalah tidak adanya ukuran dan akurasi grammatical yang memadai, kurangnya kelompok control, periode pengujian yang terlalu singkat, faktor eksternal, dll. Dalam upaya menunjukkan pengaruh jangka panjang dari koreksi kesalahan (error correction), Chandler (2003) membandingkan dua kelompok; kelompok pertama mendapatkan koreksi sementara kelompok kedua tidak mendapatkan koreksi dan kesalahannya hanya digarisbawahi oleh guru. Setelah sepuluh minggu, ia membandingkan akurasi tulisan peserta didik dari kedua kelompok tersebut dengan tugas menulis yang baru. Hasilnya, kelompok yang diberikan koreksi memiliki tingkat akurasi yang lebih baik daripada kelompok yang kesalahannya hanya digarisbawahi saja. Namun, setidaknya ada duapermasalahan dengan studi ini: pertama, kelompok yang diberikan koreksi menulis dua kali lebih banyak dari kelompok yang tidak mendapatkan koreksi. Kedua, Chandler hanya menguji akurasi grammatikal. Seperti yang dinyatakan oleh Truscott (2004), bisa saja pemberian koreksi akan mendorong siswa menulis dengan tepat namun pada saat bersamaan siswa akan cenderung menulis kalimat sederhana dan menghindari kalimat kompleks karena menghindari kesalahan grammatika. Bitchener, Young, and Cameron (2005) membandingkan siswa yang mendapatkan umpan balik, siswa yang menerima koreksi langsung, dan siswa yang mendapatkan koreksi langsung plus diskusi guru-murid. Mereka menemukan tidak ada perbedaan di dalam progress yang didapatkan oleh ketiga kelompok siswa tersebut dalam dua belas minggu, namun mereka menemukan fakta bahwa adanya peningkatan yang dicapai oleh siswa yang mendapatkan koreksi langsung plus tanya jawab guru-murid dalam beberapa aspek gramtika. Lebih jauh, peserta didik mecapaia kemajuan tidak dalam cara yang sama (linear). Studi ini mengesampingkan kopleksitas respons yang ditunjukkan oleh para siswa dari waktu ke waktu. Meskipun berbagai temuan terkait efektifitas dari focus langsung kepada bentuk tulisan dalam bahasa kedua belum bisa dikatakan konklusif, namun secara umum di dalam pemerolhan bahasa kedua, dua penelitian menyatakan fokus langsung terhadap bentuk bahasa yang meliputi koreksi sangat mendukung proses pemerolehan bahasa. Sementara itu, yang lain lebih mendukung cara-cara yang lebih eksplisit untuk menarik perhatian para peserta didik dalam beberapa bentuk terumtama, penggunaan teknik recast. Meskipun kebermanfaatan dari penyusunan ulang secara lisan masih kontroversial, banyak penelitian yang dilakukan telah menunjukkan efektifitasnya. Jika kemampuan untuk menuturkan ulang secara lisan dianggap efektif, seharusnya koreksi yang menekankan kemampuan untuk menyusun kembali dalam bentuk tertulis seharusnya dianggap lebih efektif, karena seperti yang telah kita singgung, dalam menulis peserta didik lebih mampu menangkap koreksi dan mereka memiliki lebih banyak waktu untuk fokus terhadap bentuk bahasa mereka saat roduksi bahasa. Artinya, saat mereka menulis mereka tidka memiliki waktu untuk melakukan koreksi sendiri, sementara di dalam tuturan mereka bisa memperbaiki tuturan mereka secara langsung.

Proses Menulis dan Pendekatan Proses Para peneliti mulai mempelajari proses menulis 'sebagai reaksi terhadap pendekatan tradisional (atau paradigma tradisional). Pendekatan ini untuk instruksi menulis L1, menekankan membaca teks sastra dan mereproduksi berbagai model retorika, dengan sedikit memperhatikan bagaimana penulis menulis. Baik pendekatan ekspresif dan pendekatan kognitif dikembangkan dalam menanggapi pedagogi ini. Para penulis ekspresif menekankan pada kegiatan menulis sebagai proses menemukan makna dan suara pribadi (menyatakan perasaan lewat menulis). Di dalam kelas, pendekatan ini diwujudkan sebagai kegiatan untuk menghasilkan dan menemukan ide-ide dan mengurangi fokus ketelitian. Sebaliknya, pendekatan kognitif melihat menulis sebagai kegiatan pemecahan masalah. Siswa didorong untuk bertukar pikiran, rencana, untuk mendapatkan balikan, dan merevisi. Setelah beberapa perdebatan (Misalnya, Hamp-Lyons, 1986; Horowitz, 1986), menjadi jelas bahwa pengetahuan dari pendekatan ekspresif dan pendekatan kognitif menjadi perhatian formal yang tepat, tidak membutuhkan pergantian yang khusus. Saat ini, istilah "proses menulis" memiliki banyak arti, tetapi secara umum penulis menulis sebagai proses eksplorasi (memperoleh pengetahuan) dan rekursif (berulang), cukup linier, proses sebelum menentukan. Di dalam kelas, proses pendekatan guru mendapat campur tangan dari rekan-rekan pada satu atau beberapa titik dalam proses penulisan (Susser, 1994). Berbagai bentuk proses dalam menulis mendominasi L1 dan L2 pada kelas menulis selama 20 tahun terakhir, dan bahkan sebagian besar kelas FL (Reichelt, 2001), setidaknya di Amerika Utara. Kita mulai dengan pembahasan penelitian tentang proses penulisan umum dan kemudian mendiskusikan cara guru melakukan intervensi, khususnya, dengan penggunaan balikan rekan yang efektif.Proses menulis pelajar bahasa kedua Secara komprehensif Krappels (1990) mengulas penelitian tentang proses penulisan L2 dan menyimpulkan bahwa meskipun kualitas penelitian telah meningkat, studi ini memiliki skala kecil, membuatnya sulit untuk menggeneralisasi hasil yang bertentangan. Enam belas tahun kemudian, penelitian tentang proses penulisan berlanjut, namun masih agak sulit untuk menafsirkan, terutama yang berkaitan dengan bagaimana cara memberikan pengajaran di kelas? Beberapa teknik yang berbeda telah digunakan untuk menyelidiki proses penulisan. Segala cara dibuat dari yang paling umum digunakan hingga paling sulit, di mana pelajar berbicara tentang apa yang mereka tulis seperti yang apa mereka lakukan, teknik lain, termasuk menggunakan rangsangan ingatan. Setiap metode mempunyai masalah sendiri (kekurangan) (lihat Polio 2003, untuk meninjau dari berbagai metode), pada dasarnya banyak prosedur yang memakan waktu, sehingga studi dari proses penulisan mengandalkan ukuran sampel yang sangat kecil. Dengan demikian, sulit untuk penulis L2 melakukan apa yang mereka tulis. Kemudian, data yang dikumpulkan dalam pengaturan terkontrol, akibatnya peneliti membiarkan untuk memaksimalkan hasil penelitian mereka. Namun, pengaturan terkontrol menyerupai proses menulis situasi yang nyata dan meskipun tidak diberberlakukan dalam studi, hal ini membatasi generalisasi temuan. Silva dan Brice (2004) menyurvei penelitian tentang proses penulisan baru-baru ini dan menyimpulkan bahwa penelitian ini menjadi lebih fokus, karena banyak yang telah diperiksa dalam salah satu aspek tertentu dari proses penulisan. Studi dari proses menulis umum kelompok siswa tertentu (misalnya, Bosher, 1998; Roca de Larios, Murphy, & Manchon, 1999) dapat menarik perhatian guru terhadap kemungkinan masalah yang peserta didik hadapi saat menulis. Studi yang berfokus pada aspek menulis mungkin lebih informatif. Sebagai contoh, Christianson (1997) mempelajari bagaimana peserta didik menggunakan kamus saat menulis, dan mampu mengidentifikasi lebih spesifik masalah yang menyebabkan peserta didik menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Roca de Larios, Manchon, dan Murphy (2006) meneliti suatu formulasi, yaitu titik di mana ide-ide yang diucapkan atau tertulis. Sebagian besar guru menggunakan pembelajaran dalam proses penulisan. Beberapa studi telah meneliti tahap awal proses penulisan, misalnya, teknik pedagogis yang mendorong prapenulisan diperpanjang. Prapenulisan merupakan komponen penting dari sebuah pendekatan proses, dan sebagian besar buku pelajaran memberi siswa sebuah ruang yang luas untuk menghasilkan ide-ide, tapi sedikit peneliti yang memeriksa teknik prapenulisan. Lally (2000) mempelajari efek dari ide generasi siswa di L1 dan L2, dalam hal ini bahasa Inggris dan Perancis. Meskipun ia tidak menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik dalam kualitas esai, ia mengangkat isu penggunaan dari L1 dalam kegiatan prapenulisan. Dalam studi lain, Shi (1998) mempelajari prapenulisan dalam tiga kondisi yang berbeda: ada diskusi, diskusi dengan bimbingan guru, dan diskusi dengan rekan. Hasilnya kompleks, dia tidak menemukan manfaat kualitas esai dari salah satu kondisi tersebut. Sasaki (2000) mempelajari perbedaan sebelum dan sesudah proses instruksi dengan menggunakan data pada penulis pemula dan penulis ahli, baik cross-sectional dan longitudinal. Ia menggunakan metode yang berbeda untuk melakukan pencarian data, dia menarik kesimpulan antara lain, setelah pembelajaran, penulis pemula mulai menggunakan strategi menulis kreatif, dia menarik kesimpulan seperti perencanaan global dan pembacaan ulang. Mereka lebih lancar menulis. Hal tersebut memberi efek positif pada apa yang diajarkan. Sebaliknya, dalam penelitian yang hanya membandingkan pemula dan ahli (atau terampil dan tidak terampil) penulis (misalnya, Zamel, 1983), seseorang tidak dapat menyimpulkan hubungan sebab-akibat antara strategi khusus dan kualitas menulis.Balikan GuruIntervensi pada berbagai titik dalam proses penulisan siswa adalah salah satu fitur utama dari pendekatan proses. Balikan guru yang berfokus pada konten dan organisasi telah menerima sejumlah perhatian besar, dan ringkasan lengkap. (Diskusi komprehensif dapat ditemukan di Ferris, 2003; dan Goldstein, 2005) Salah satu isu yang berkaitan dengan balikan tertulis adalah kesulitan siswa dalam menafsirkan balikan dan apakah mereka benar-benar menanggapi hal itu. Walaupun balikan membingungkan (Cohen & Cavalcanti, 1990), banyak siswa yang menanggapi ketika menulis ulang pada kertas mereka (Ferris, 1997). Guru dan siswa perlu berkomunikasi dengan jelas tentang balikan. Goldstein (2005) memberikan saran bagi siswa untuk membantu guru dalam hal ini. Sebagai contoh, ia merekomendasikan guru untuk mengarahkan masalah apa yang dirasakan siswa dalam menyusun sebuah esai. Penelitian lain telah menguji balikan dalam konferensi menulis. Goldstein dan Conrad (1990) dan Patthey-Chavez dan Ferris (1997) guru menyarankan bahwa topik yang dirundingkan akan direvisi agar mudah dipahami. Butuh waktu panjang untuk penelitian dalam pusat konferensi konteks menulis. Area tersebut merupakan pusat perkembangan yang penting, setidaknya di Amerika Utara, serta peningkatan jumlah peserta didik L2 yang menggunakannya. Proses menulis awalnya diciptakan untuk mengajar penduduk asli (teman sebaya) menggunakan pendekatan nondirective (Williams & Severino, 2004). Pendekatan ini berbeda dari respon rekan, dibahas di bawah, karena ada asumsi implisit, khususnya untuk pelajar L2, bahwa guru memiliki keahlian menulis yang lebih dalam L2. Williams (2004) mempelajari penulis L2 dengan tutor sebaya mereka dan menemukan, seperti Goldstein dan Conrad (1990), bahwa revisi terjadi ketika siswa berpartisipasi, bahwa saran langsung lebih bermanfaat. Jones et al. (2006) meneliti secara online dan tatap muka di sebuah pusat tertulis di Hong Kong. Mereka menemukan bahwa partisipasi lebih merata terjadi di sesi online, dan peserta dalam sesi secara online lebih terfokus pada isu-isu global, sedangkan dalam sesi tatap muka terfokus pada isu-isu bahasa.Respon RekanRespon rekan (juga disebut peer review atau balikan rekan) adalah intervensi lain yang umum pada proses menulis di dalam kelas. Selama 15 tahun terakhir, telah ada penelitian yang ekstensif pada efektivitas respon rekan dalam instruksi menulis L2. (Respon rekan di sini mengacu pada balikan tentang isi dan organisasi. Kami tahu tidak ada studi yang diminta rekan-rekan untuk memperbaiki tata bahasa) Efek respon rekan telah diperiksa dalam jangka pendek, dari draft revisi, dan dalam jangka panjang. Penelitian tentang peer review juga membahas kualitas tulisan, dan sikap siswa sebagai indikator manfaat peninjau buku rekan, serta siswa membuat revisi berbagai respon untuk balikan rekan. Untuk ulasan lengkap, lihat Hyland dan Hyland (2006), Liu dan Hansen (2002), dan Rollinson (2005). Berkenaan dengan sikap, ketika diberi pilihan beberapa studi menunjukkan bahwa peserta didik lebih suka balikan dari guru untuk balikan pelajar (Zhang, 1995). Jacobs et al. (1998), namun, dari disurvei Hong Kong dan Taiwan EFL, hampir semua siswa mengatakan bahwa mereka lebih suka mendapat balikan dari teman dan balikan dari guru. McGroarty dan Zhu (1997) menemukan bahwa siswa yang dilatih dalam peer review memiliki sikap yang lebih positif daripada siswa yang tidak. Peneliti lain telah menilai kualitas balikan pelajar. Mendonca dan Johnson (1994) mempelajari komentar lisan peserta didik dan menemukan bahwa responden memulai berdiskusi ketika mereka tidak mengerti maksud tuturan dari rekan-rekan mereka, dan memberikan saran untuk meningkatkan kemampuan menulis, tapi menarik, hampir tidak ada kesalahan tata bahasa. McGroarty dan Zhu (1997) mempelajari kualitas efek dari pelatihan respon. Mereka membandingkan dua kelompok mahasiswa ESL, salah satu yang telah menerima pelatihan ekstensif pada peer review (respon rekan) dan satu yang tidak. Mereka menemukan bahwa siswa yang menerima pelatihan secara signifikan memberikan balikan yang lebih global dan relevan. Dalam hal ini, pelatihan itu sukses, tapi pertanyaan yang lebih penting adalah apakah hasil respon rekan lebih sukses ketika di revisi dan apakah itu memiliki efek jangka panjang. McGroarty dan Zhu (1997) meneliti efek dari pelatihan respon rekan pada kualitas tulisan peserta didik. Mereka membandingkan skor menulis holistik secara terlatih dan siswa yang tidak terlatih dan menemukan bahwa meskipun kelompok terlatih memberi komentar lebih besar, revisi esai tidak menerima peringkat yang lebih tinggi. Untuk menentukan efek jangka panjang dari pelatihan peer review, mereka membandingkan kesimpulan akhir menulis portofolio dari dua kelompok dan menemukan bahwa kelompok yang terlatih sedikit lebih baik. Berg (1999) juga meneliti efek dari pelatihan rekan siswa yang menulis. Dia meneliti efektivitas dengan tidak melihat komentar atau sikap siswa, melainkan dengan mempelajari revisi yang dibuat siswa, dan seperti McGroarty dan Zhu, kualitas keseluruhan tulisan. Dia menemukan peserta didik yang telah menerima pelatihan membuat lebih banyak perubahan-arti daripada mereka yang tidak menerima pelatihan. Lebih penting, kelompok yang terlatih menulis 'esai dinilai memiliki signifikansi lebih tinggi pada skala holistik dibandingkan kelompok yang tidak terlatih. Temuan ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati, karena tidak diketahui apakah artinya revisi dan skor holistik yang lebih tinggi adalah hasil dari komentar yang diterima dari rekan-rekan yang terlatih atau dari pelatihan yang diterima oleh penulis sendiri. Dalam kedua kasus tersebut dapat disimpulkan, bagaimanapun, pelatihan itu efektif.Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa manfaat instruksi respon rekan bukan tanggapan rekan itu sendiri. Meskipun belum jelas meunjukkan efek jangka panjang, ada manfaat lain: pelajar menghabiskan lebih banyak waktu berbicara di bahasa target, pelatihan atau respon dapat membantu peserta didik merevisi tulisan sendiri, dan dapat membantu mengurangi beban kerja guru.Pendidikan Menulis di Luar Amerika UtaraBahasa inggris merupakan bahasa asing yang dominan dipelajari di luar Amerika Utara dan menjadi satu-satunya bahasa yang banyak diteliti dalam bidang menulis. Sehingga kita akan membatasi diskusi kita pada pembahasan tentang bahasa inggris. Mayoritas pendidikan belajar mengajar yang ada di luar Amerika Utara tidak berfokus pada menulis. Sebagai contoh, Cina, menulis dipandang sebagai bagian dari perkembangan keseluruhan bahasa seseorang siswa daripada merupakan sesuatu yang terpisah. (You, 2004a, hal. 256). Pada tingkat perguruan tinggi, pembelajaran menulis pada bahasa kedua dipengaruhi oleh globalisasi pendidikan menulis di wilayah Barat, namun lebih kuat lagi dipengaruhi oleh tes yang menentukan masa depan siswa: College English Test (CET) dan National Matriculation English Test (NMET). Pada kenyataannya hal yang terjadi adalah bahwa banyak pendidik yang tidak mengetahui tentang pendekatan yang lebih intensif untuk mengajarkan menulis, banyak siswa yang memiliki kemampuan yang rendah, pendidik yang hanya mendapatkan sedikit gaji untuk mengajar. Sehingga hasil yang didapatkan adalah banyak pendidik yang mengajarkan dan menggunakan model pengajaran tradisional serta metode menghafal (You, 2004a, 2004b).Di Korea dan Jepang, hal yang sama terjadi, dan mungkin dapat dikatakan lebih aneh lagi dengan adanya kurikulum nasional yang mendukung adanya pendidikan yang berdasar pada makna dan pengajaran kolaboratif. Yang paling penting adalah tes high-stakes yang tidak menilai kemampuan menulis secara langsung namun menguji pengetahuan tentang tingkatan kalimat serta kemampuan untuk membuat klaimat. Mayoritas pembelajaran menulis baik pada bahasa pertama maupun kedua di tingkat kedua di Jepang ditunjukkan untuk lulus tes yang telah disebutkan tadi. Chang (2004) membandingkan pengajaran menulis di tingkat SMP dan SMA di Korea dengan kurikulum nasional yang lebih menentukan dalam ranah komunikasi. Ia menentukan bahwa mayoritas aktivitas menulis difokuskan pada ketepatan dalam tata bahasa. Gates (2003) mengemukakan temuan yang sama di Jepang, di dalam praktek pengajaran yang ada di dalam kelas dan buku pelajaran yang dianggap aneh dengan peraturan yang dibuat oleh kementrian pendidikan untuk pengajaran bahasa, termasuk di dalamnya pengajaran menulis dengan focus pada ungkapan makna.Di Eropa, meskipun sulit untuk membuat generalisasi pada berbagai macam konteks, pengajaran dalam ranah menulis pada pemerolehan bahasa telah diarahkan pada komukasi lisan pada beberapa tahun terakhir. Namun, minat untuk meningkatkan kemampuan menulis semakin meningkat. Di Negara yang memiliki kebiasaan eksplisit dalam pengajaran menulis dalam bahasa pertama (misalnya Negara Jerman), pengajaran eksplisit dalam bahasa kedua dianggap tidak penting karena pembelajar dapat belajar dari apa yang telah mereka dapatkan saat belajar bahasa pertama. Jika menilik pada Negara yang tidak memiliki tradisi demikian, seperti halnya Polandia dan Ukraina, maka pembelajaran akan berfokus pada esai personal atau akan menjadi sarana untuk praktik dari kosa kata baru yang telah didapatkan maupun tata bahasa baru.Selama 20 tahun, pengajaran dan penilaian bahasa asing secara umum termasuk di dalamnya dalam ranah menulis yang ada di penjuru Eropa telah didominasi oleh perkembangan Common European Frame of Reference (CEFR) oleh dewan Eropa. CEFR tidak ditunjuk untuk menciptakan keseragaman pembelajaran di penjuru benua, namun ia dikembangkan untuk membantu pembelajar, pendidik, pembuat materi dan kurikulum, serta penguji terhadap pemahaman umum dari kemampuan berbahasa dan penggunaan bahasa, termasuk di dalamnya kemampuan menulis. Ia tidak menunjukkan secara eksplisit tentang suatu pendidikan tertentu, namun mengasumsikan suatu pandangan komunikatif, pandangan berbasis tindakan, serta terpusat pada pembelajar di dalam proses pembelajaran. Mungkin lebih penting lagi ia memberikan upaya yang paling komperhensif untuk menciptakan skala penggunaan bahasa dan kompetensi bahasa yang lebih luas.Pendekatan Pasca ProsesTerdapat banyak sekali pendekatan yang bervariasi yang mulai muncul untuk menggolongkan pembelajaran menulis dalam bahasa kedua di wilayah Amerika Utara. Terdapat beberapa alasan mengapa para ilmuan dalam ranah menulis mempertanyakan kepercayaan ada pendekatan proses dalam ranah bahasa kedua, bukan bahwa elemen dari pendekatan ini telah menjadi tidak efektif dalam beberapa tempat di luar kelas universitas yang ada di luar wilayah Amerika Utara atau dengan penulis yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Pembelajaran menulis telah mengambil sisi social, melalui berbagai macam jalan, misalnya dari tumpang tindih serta konflik. Perkembangan yang paling utama ada dalam bidang pendidikan yang berdasar pasa genre atau berdasar pada situasi, pendekatan sosiokultural, serta pendidikan kritis.Pembelajaran Menulis Berdasarkan pada GenrePendekatan yang paling banyak memberikan pengaruh adalah pendidikan yang berdasar pada genre. Salah satu hal yang paling diberatkan untuk melakukan proses pembelajaran menulis adalah pada penekanannya pada individu dan penemuan jati diri. Salah satu model pendidikan yang terlihat adalah pengajaran genre. Genre memiliki makna yang berbeda bagi beberapa ahli, namun secara umum genre dapat dianggap pemberian respon ciri tekstual pada syarat dari konteks social. Kebanyakan ahli genre akan menyetujui bahwa genre telah terkonstruksi secara social dan berorientasi pada tujuan tertentu (Martin, 1992). Genre yang tertulis hanya dapat dipahami dalam konteks tertentu dan mereka dihasilkan untuk tujuan tertentu. Meskipun pendekatan tertentu pada genre tertentu berbeda, semuanya telah menyetujui bahwa bahasa dan fungsi dari teks dilihat secara bersama, baik penelitian maupun pendidikan.Para ahli genre berbeda, namun mereka memiliki hal yang sama untuk ditekankan yaitu pada bahasa dan struktur retoris atau konteks social dari menulis. Para ahli yang berfokus pada fitur kebahasaan lebih sering dihubungkan dengan Sydney School dan karya Michael Halliday. karya yang dihasilkan bnayak memberikan pengaruh, khususnya di Australia, dimana hal tersebut digunakan untuk mengembangkan kurikulum sekolah sekunder. Penelitian-penelitian dalam pendekatan sistemik fungsional ini telah meneliti bagaimana register dikonstruksi dari sumber kebahasaan untuk mendapatkan makna tertentu dalam konteks tertentu, sebagai contoh adalah artikel penelitian atau laporan medis. Penulis perlu untuk menguasai register-register ini untuk berhasil dalam konteks tertentu. Pembelajaran menulis yang berdasar pada genre tertentu menempatkan fitur linguistic dan retoris dari register-register yang berbeda untuk memfasilitasi penggunaan ini.Yang kedua, pendekatan yang berorientasi social masih berfokus pada genre dan biasanya dikaitkan dengan New Rhetoric berdasarkan pada apa yang ditulis Bakhdin, namun juga berdasar pada apa yang ditulis oleh Lave dan Wenger (1991) tentang pembelajaran. Bakhtin menganggap bahwa bahasa memiliki sifat dialogis, menghubungkan masa lampau dengan masa sekarang, teks baru dengan teks sebelumnya, penutur serta penulis pada konteks social, khususnya pada pendengar atau pembaca. Pembelajaran bahasa juga dilihat sebagai sesuatu yang dialogis, yaitu mengambil tempat di dalam suatu pembelajaran social (Johnson, 2004). Penelitian yang mengaplikasikan teori-teori ini dalam pemerolehan bahasa kedua merupakan hal baru, dan aplikasi untuk pembelajaran menulis bahasa kedua telah banyak diteliti. Akhirnya, pendekatan pembelajaran tertentu memandang suatu pembelajaran sebagai prose social yang melekat pada hubungan diantara para ahli dan orang awam, daripada dianggap sebagai pemindahan atau transfer ilmu pengetahuan. Terdapat beberapa percobaan untuk memasukkan pembelajaran tertentu dalam pembelajaran menulis dalam bahasa kedua, mungkin karena pembelajaran institusional dalam menulis bahasa kedua tidak memberikan kesempatan untuk melakukan legistimasi partisipasi peripheral, hal tersebut merupakan istilah yang digunakan oleh Lave dan Wenger untuk menggambarkan langkah-langkah dalam pembelajaran. Johns (1995b) menyatakan bahwa kebanyakan kelas menulis bahasa kedua meberikan pembelajaran dalam genre sekolah, misalnya (esai lima paragraph, makalag penelitian), yang membedakannya dari genre asli, membuat pekerjaan tertentu yang digambarkan dalam pembelajaran tertentu diaman hal tersebut akan sulit untuk diraih.Pendekatan SosiokulturalTidak seperti pendekatan yang berbasis pada genre, pendekatan sosiokultural telah banyak diteliti. Teori sosiokultural berdasarkan pada apa yang dikerjakan oleh Lev Vygotsky, teori ini menyatakan bahwa bentuk yang paling penting dari kognisi manusia berkembang melalui interkasi dalam lingkungan social dan lingkungan fisik mereka. Beberapa konstruksi sentral dari sosiokultural diaplikasikan dalam kelas menulis. Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran mencerminkan proses penghayatan, yaitu proses untuk membuat apa yang sebelumnya merupakan bagian eksternal yang sebenarnya ada di dalam diri individu. Kedua peneliti dan pendidik tersebut telah ditarik oleh kontruksi perkembangan potensial. Yaitu jarak diantara tingkat perkembagan actual dan tingkat perkembangan potensial ketika didukung oleh bagian lain.Meskipun terdapat banyak sekali penelitian tentang menulis dalam bahasa kedua yang memberikan masukan untuk sosiokultural pada analisis dari data pembelajar, hanya ada sedikit usaha untuk menggunakan masukan sosiokutural secara langsung dalam kelas bahasa kedua; Aljaafreh dan Lantolf (1994) dan penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Nassaji dan Swain (2000) merupakan dua penelitian yang sangat penting. Mereka menunjukkan bagian sosiokultural dapat digunakan untuk menentukan pada ketentuan balikan pada penulis bahasa kedua, khususnya pada perkembangan kebahasaan mereka.Nassaji dan Swain melanjutkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Aljaafreh dan Lantolf dengan lebih mendalam, meskipunmasih kecil, yaitu penelitian tentang pembelajaran. Mereka membandingkan dampak dari balikan pada penggunaan artikel dalam perkembangan potensial dengan balikan yang acak. Siswa yang mendapatkan pendampingan yang dinegoisasikan sebagai respon terhadap perkembangan yang potensial, membuat progress yang lebih besar daripada siswa yang mendapatkan balikan yang tidak dinegoisasikan. Bentuk asli dari perkembangan potensial yang dinamis membuat pembelajaran yang ada menjadi suatu tantangan dan kesempatan. Lantolf menyatakan bahwa mungkin aplikasi sosiokultural di masa mendatang akan menandai hal yang penting, dan khususnya adalah perkembangan potensial di dalam proses penelitian, karena perkembangan potensial memberikan peneliti dan penilai untuk berfokus pada perkembangan pembelajaran, juga pada kemampuan yang tidak terbantu.Pendidikan KritisPendidikan kritis lebih jauh dari sekedar pengajaran menulis atau pengajaran bahasa kedua, dan pendidikan ini berasal dari karya Freire, Foucault, Fairclough, serta Kress. Pendidikan tersebut masuk dalam pendidikan menulis dalam bentuk kritis keaksaraan. Pendukung dari pendekatan kritis berpendapat bahwa pendidikan sebelumnya memperkuat hubungan kekuasaan dan hanya mengajarkan para penulis untuk mengadopsi pendirian dan genre yang mempertahankan posisi tanpa kekuasaan yang mereka miliki. Daripada mereka mendukung pendidikan yang akan membantu pembelajar untuk mengetahui hubungan tersebut, masuk dalam hubungan tersebut, dan untuk menantang hal tersebut. Khususnya, pendidikan kritis yang menekankan pada kebutuhan untuk pembelajaran menulis yang ada dalam konteks social dan politik yang melebihi hanya sekedar konteks ruang kelas. Dan untuk melihat ruang kelas itu sendiri sebagai konteks social dan politik yang dihubungkan dengan hubungan kekuasaan.Berbeda dengan pendidikan yang berbasis genre, terdapat beberapa contoh tulisan yang membahas tentang kurikulum menulis kritis. Wallace (2001) memberikan salah satu contoh yang membahas tentang pendidikan kritis. Kebanyakan dari tulisan tersebut membahas tentang pengembangan kesadaran kritis terhadap teks dalam konteks tertentu. Namun, disini penting untuk dicatat bahwa dalam melihat bagaimana menulis tersebut dilakukan, Wallace berdasar pada karya yang dihasilkan oleh ahli genre dan linguistic fungsional yang sistemik. Dengan kata lain, teori kritis merupakan dasar untuk eksplorasi siswa pada hubungan kekuasaan dan praktek literasi. Sedangkan untuk pembelajaran bagaimana cara untuk menulis serta untuk pemilihan bahasa, Wallace berpegang pada teori Halliday.Deskripsi lain tentang pendidikan kritis untuk tujuan akademik belum lama datang atau mungkin mereka hanya mengasumsikan pada kepercayaan pendekatan tradisional. Daripada deskripsi hanya berfokus pada peningkatan kesadaran, dengan aktifitas misalnya jurnal dan naratif, pada strategi belajar serta proyek etnografi. Mereka juga menekankan pada pemikiran secara kritis tentang topic yang mungkin baru bagi para pembelajar bahasa kedua, sering kali dengan tema politik. Canagarajah menyatakan bahwa peningkatan kesadaran akan hubungan kekuasaan dan perlawanan terhadap mereka akan dapat memperluas pada bentuk, khususnya pada pembelajaran menulis dalam bahasa kedua untuk pengguna World English (2002, 2006). Sebagai contoh, ia mendukung pemikiran kembali tentang kesalahan sebagai pilihan dan balikan pada kesalahan sebagai negosiasi.Morgan dan Ramanathan (2005) menggambarkan aktifitas dalam bentuk literasi kritis sebagaimana yang diaplikasikan pada pembelajaran bahasa kedua dalam latar akademik. Mereka mendukung penggunaan narasi personal yang menghubungkan pengalaman individu pada hubungan kekuasaan pada konteks sosiopolitik yang lebih luas, mendukung siswa untuk mempertanyakan suatu teks dan mendukung gambaran partisipasi individu dalam struktur kekuasaan, dan khususnya bagaimana struktur itu menjadi bukti di dalam teks. Untuk mendukung pemikiran kritis dimana hal tersebut dapat dimasukkan dalam tugas yang relevan untuk diberikan kepada pembelajar, misalnya untuk menulis surat protes untuk administrasi universitas atau hal lain misalnya kepada guru, pemilik tanah, atau pemimpin organisasi. Namun, hanya ada sedikit yang menyebutkan bagaimana menulis diajarkan atau dipraktekkan. Hal ini dapat berarti bahwa pendidikan kritis berawal dan berakhir dengan pertimbangan dan diskusi dari konteks social dan politik.Pendekatan ktiris pada pembelajaran menulis dalam bahasa kedua ditentang dari dua arah. Yang pertama, beberapa pihak yang mendukung pendidikan genre berpendapat bahwa pembelajaran kritis semakin beberapa pihak mendamparkan proses pembelajaran, maka akan semakin tidak memberikan manfaat pada pembelajar yang tidak bertendensi. Mereka berpendapat bahwa tidak adil untuk meminta pembelajar untuk bertanya tentang wacana dominan sebelum mereka dapat menggunakannya. Disamping itu, ini merupakan tanggung jawab dari pendidik untuk memberikan akses kepada siswa pada genre ini dan membantu mereka untuk menguasai materi tersebut. Jika mereka telah mencapai wacana ini, maka proses tersebut akan bertumpu pada perjuangan siswa dan di dalam kelas. Pertentangan yang lain adalah adalah bahwa focus dari ideology merupakan istilah dari hegemoni.Pendekatan-pendekatan ini yang telah dimasukkan dalam ranah social itu sendiri, dan mungkin juga ranah politik, konteks diaman penulis bahasa kedua harus belajar dan hidup, dan kepercayaan bahwa pembelajaran menulis yang efektif harus dapat menunjukkan isi dari menulis itu sendiri meskipus bagaimana cara menyajikan atau memberikan pembelajaran menulis itu berbeda-beda.Penilaian MenulisTujuan penilaian L2 bervariasi, dan penilaian L2 menulis tidak terkecuali. Para peneliti telah membahas cara untuk menilai menulis untuk tujuan penelitian, untuk pengujian skala besar (umumnya untuk gerbang-menjaga dan penempatan tujuan), dan umpan balik kelas dan grading. Menilai menulis untuk tujuan penelitian pada umumnya melibatkan mengukur beberapa aspek dari tulisan untuk menjawab pertanyaan penelitian, seperti "Apa jenis koreksi kesalahan yang terbaik?" Atau "Bagaimana menulis siswa berbeda pada dua jenis tulisan tugas?" Penelitian Studi umumnya menggunakan ukuran kuantitatif yang dapat melibatkan langkah-langkah holistik kualitas, skala analitik yang memecah menulis ke berbagai komponen, atau lebih ukuran objektif, seperti kata per T-unit, kesalahan per T-unit, atau jenis leksikal: rasio tanda. Ukuran objektif juga telah diperiksa sebagai kemungkinan langkah-langkah pengembangan menulis L2, dengan kata lain, bagaimana perubahan menulis peserta didik dari waktu ke waktu (de Haan & van Esch, 2005; Ortega, 2003; Shaw & Liu, 1998; Wolfe-Quintero et al. 1998). Menilai menulis untuk tujuan penelitian adalah di luar lingkup tulisan ini; kita fokus di penilaian untuk tujuan seperti tujuan penempatan, gatekeeping, diagnostik, dan prestasi. Mayoritas karya ilmiah menulis penilaian berfokus pada penilaian skala besar untuk berbagai alasan, termasuk ketersediaan sampel besar data. Selain itu, lembaga pendidikan dan pengujian yang besar mungkin menyadari pengawasan bahwa praktek mereka mungkin berada di bawah, sehingga perlu untuk menunjukkan keandalan dan validitas tes mereka secara terbuka. Oleh karena itu, apa yang berikut adalah diskusi tentang isu-isu dan penelitian dalam pengujian skala besar, dan diskusi yang relatif singkat kelas dan penilaian alternatif.Pengujian Skala BesarSebagai Hamp-Lyons menyatakan, ". . . Beberapa profesional ESL hari ini siap untuk percaya bahwa kita dapat menguji menulis dengan cara lain daripada memiliki siswa benar-benar menulis "(2003, hal. 165). Meskipun di masa lalu, beberapa tes termasuk penilaian langsung dari keterampilan menulis, hari ini, penilaian tulis besar-besaran yang paling menuntut siswa untuk menulis. Perubahan ini muncul sebagai kepedulian terhadap validitas isi dan tugas keaslian, terkait dengan kedua isu-isu etis balik menilai tulisan, dan juga washback negatif yang dapat terjadi di kelas jika menulis dinilai hanya melalui tes langsung. Sebagaimana dicatat dalam pembahasan L2 instruksi tertulis, terutama di Asia, ketika ujian nasional tidak menilai menulis, guru tidak mengajar menulis sama sekali.Dalam rangka mengembangkan tes tertulis, tes menjadi sampel perilaku, salah satu kebutuhan pertama untuk menentukan tujuan tes dan keterampilan siswa diharapkan memiliki apa. Berbagai kerangka kerja untuk berbagai konteks telah dikembangkan, sering dengan tujuan menentukan keterampilan apa yang harus dinilai, seperti dalam Kerangka Umum Eropa. Contoh lain adalah Bahasa Benchmark Kanada (Nagy & Stewart, 2000), standar yang dapat digunakan untuk menilai bahasa untuk bekerja dan belajar. Untuk komponen menulis, deskriptor berkisar dari "Saya dapat mengambil pesan telepon dengan 5-7 detail" untuk "Aku bisa menulis laporan penelitian formal kompleks sepuluh halaman diketik." Meskipun Standar Bahasa asing Nasional di Amerika Serikat (Standar Nasional Luar Negeri Bahasa Project, 1996), yang digunakan untuk K-12 konteks, jauh lebih spesifik, American Council on Pengajaran Bahasa Asing pedoman (Breiner-Sanders, Swender, & Terry, 2001) tawarkan deskriptor di berbagai tingkatan, dan termasuk tugas-tugas seperti "Bisa menulis semua simbol dalam sistem abjad atau suku kata atau 50-100 karakter atau senyawa dalam menulis karakter Sistem "dan" Bisa menulis sebagian besar jenis korespondensi, seperti memo, serta surat-surat sosial dan bisnis, dan makalah penelitian singkat dan laporan posisi di bidang minat khusus atau dalam bidang-bidang khusus. "Meskipun pedoman ini bisa agak berguna untuk guru dan penguji, itu tidak segera jelas bagaimana seseorang dapat pergi tentang sampel menulis perilaku untuk penilaian, terutama dalam waktu terbatas. Dengan kata lain, apa yang harus menjadi tugas menulis atau cepat?Weigle (2002) dan Hamp-Lyons (2003) menjelaskan beberapa variabel yang satu perlu dipertimbangkan ketika membangun prompt menulis. Diantaranya adalah topik, genre, sejumlah tugas, apakah siswa memiliki pilihan petunjuknya, dan format. Pilihan yang cepat dikaitkan secara langsung untuk validitas tes ini. Untuk menggunakan Tes Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing (TOEFL) sebagai contoh, ujian yang digunakan untuk menyertakan prompt yang menanyakan pertanyaan umum, seperti, "Apakah Anda setuju atau tidak setuju dengan pernyataan berikut? Selalu mengatakan yang sebenarnya adalah pertimbangan yang paling penting dalam hubungan antara orang-orang. Menggunakan alasan dan contoh-contoh spesifik untuk mendukung jawaban Anda "(www.ets.org). Siswa memiliki 30 menit untuk menjawab pertanyaan. Berbasis internet TOEFL baru termasuk jenis yang sama pertanyaan umum, yang disebut tugas mandiri, serta tugas menulis terintegrasi yang menuntut siswa untuk membaca ayat pendek, mendengarkan ceramah terkait, dan kemudian menulis sebuah esai 20 menit yang berkaitan keduanya. Ada berbagai cara untuk menentukan validitas seperti tes tertulis. Salah satu pertimbangan penting adalah validitas isi, sejauh mana tugas-tugas menulis tersebut mewakili tugas nyata dalam konteks bahwa siswa mengambil tes untuk masuk, dalam hal ini, universitas di Amerika Utara. Untuk baru TOEFL, Cumming et al. (2004) mewawancarai berpengalaman dosen ESL sebagai sarana menilai tugas dan menentukan cara-cara untuk memperbaiki mereka. Menentukan tugas keaslian dapat, tentu saja, mencakup banyaklangkah lagi, namun, seperti yang dijelaskan oleh Wu dan Stansfield (2001).Tes tunggal-item, seperti tugas independen TOEFL, memiliki berbagai masalah, seperti yang dibahas dalam Weigle (2004), dan penambahan tugas di mana siswa menanggapi beberapa teks tertulis atau aural sumber, seperti TOEFL, memiliki dipandang oleh banyak orang sebagai tambahan positif karena lebih mirip dengan menulis tugas universitas yang sebenarnya (Cumming et al, 2000;. Weigle, 2004). Weigle (2004) meneliti pelaksanaan pembacaan universitas dan menulis ESL uji terintegrasi dan ditemukan untuk menjadi lebih unggul baik dari segi keandalan dan validitas tes yang hanya memiliki siswa menanggapi pesan singkat. Selain itu, tes terpadu memiliki keuntungan washback positif dalam kelas ESL. Cumming et al. (2005) menemukan bahwa petunjuknya independen dan terpadu melakukan mendatangkan tulisan yang berbeda secara signifikan pada berbagai tindakan, implikasinya adalah bahwa untuk menilai menulis siswa, berbagai tugas, termasuk yang mengintegrasikan keterampilan lainnya, yang diperlukan. Dalam menciptakan setiap tulisan yang cepat, adalah penting untuk diingat konteks untuk mana yang memunculkan contoh bahasa tertulis. Dalam kasus TOEFL, ada masalah datang dengan satu tes untuk menilai kemampuan berbahasa bagi mahasiswa sarjana dan pascasarjana di berbagai bidang akademik. Dalam kasus penilaian bahasa asing di AS, Educational Testing Service, dalam tes Advanced Placement mereka, sejauh ini dipertahankan penggunaan sebuah single-item pertanyaan (www.ets.org), mungkin karena tujuan dari mahasiswa yang mengambil tes yang kurang jelas.Masalah besar kedua dalam pengujian skala besar adalah penilaian dari teks-teks yang dihasilkan oleh prompt. Berbagai skala atau rubrik yang ada, baik holistik dan analitik, dan primer dan multitrait. Selama bertahun-tahun, keuntungan dan kerugian dari masing-masing jenis tentang reliabilitas, validitas, kepraktisan, dan keaslian, telah diperdebatkan (misalnya, Cohen, 1994; Weigle, 2004), dan skala tentu harus sesuai dengan konteks. Baru-baru ini, perhatian juga telah diarahkan dengan karakteristik dan pelatihan penilai sendiri. Weigle (1994, 1998) mempelajari bagaimana pengalaman mempengaruhi nilai penilai 'sebelum dan sesudah pelatihan, serta interaksi pengalaman, pelatihan, dan cepat. Shi (2001) mempelajari 'peringkat mahasiswa Cina' pribumi dan non-pribumi EFL guru esai menggunakan skala holistik, dan menemukan bahwa meskipun tidak ada perbedaan kuantitatif yang signifikan dalam skor, komentar tertulis mengungkapkan guru Cina dan guru native englishspeaking adalah menghadiri kriteria yang berbeda. Lumley (2002) menemukan bahwa meskipun satu set penilai yang berpengalaman yang memberikan nilai yang sama, mereka menempatkan penekanan yang berbeda pada komponen yang berbeda dari skala mereka menggunakan, menggemakan keprihatinan orang lain yang telah menyatakan bahwa pelatihan penilai dapat menyebabkan keandalan dengan biaya validitas (Huot, 1993).Penilaian Kelas dan PortofolioGuru kelas perlu menilai menulis untuk menetapkan nilai dengan mengukur prestasi siswa, dan memberikan umpan balik. Tentu saja, para guru ingin menilai menulis dengan cara yang handal dan valid, seperti dalam pengujian skala besar, tetapi ada juga kekhawatiran tentang menyediakan siswa dengan umpan balik pada tulisan mereka, sesuatu yang minimal perhatian pada kebanyakan tes skala besar . Untuk tujuan ini, tidak mungkin bahwa seorang guru kelas akan menetapkan nilai holistik, seperti yang digunakan untuk TOEFL, karena skala analitik umumnya menyediakan pelajar dengan informasi lebih lanjut tentang di mana kekuatan dan kelemahan mereka berbohong. Weigle (2004) memberikan ringkasan yang sangat baik dari hubungan antara masalah yang berkaitan dengan pengujian skala besar dan pengujian kelas.Berkenaan dengan bagaimana guru benar-benar menilai menulis, penelitian kecil telah dilakukan. Satu pengecualian adalah Cumming (2001), yang mewawancarai 48 ESL berpengalaman dan EFL guru tentang praktek penilaian mereka. Meskipun ia berharap menemukan perbedaan dalam konteks bahasa kedua dan asing, dia tidak. Apa yang ia temukan perbedaan yang berhubungan dengan pengajaran menulis untuk umum dibandingkan tujuan tertentu. Misalnya, dalam program khusus-tujuan, guru ditetapkan standar mereka sendiri, berdasarkan silabus dan fokus pada rentang terbatas kriteria. Dalam kursus tujuan umum, guru memiliki berbagai macam cara untuk menilai menulis, fokus pada berbagai tujuan.Brindley (2001) review penelitian pada tugas-tugas penilaian guru-dibangun sebagai cara untuk menilai kompetensi yang digariskan dalam Migran Dewasa Australia Program Bahasa Inggris. Dia menyatakan bahwa tugas bervariasi (Wigglesworth, 2002, seperti dikutip dalam Brindley), dan dalam kasus menulis, meskipun guru menyepakati keseluruhan pencapaian kompetensi, mereka tidak setuju sebanyak kriteria tertentu (Smith, 2000, seperti dikutip dalam Brindley). Dia menyarankan bahwa karena sifat memakan waktu mengembangkan tugas penilaian, guru harus diberikan bank tugas yang berisi tugas dikemudikan agar dapat dibandingkan yang lebih besar di seluruh ruang kelas di mana guru diharapkan untuk menilai menulis siswa mereka dalam kaitannya dengan satu set hasil. Arkoudis dan O'Loughlin (2004) lebih lanjut mengeksplorasi masalah guru menerapkan standar top-down dalam konteks Australia. Dalam sebuah penelitian kualitatif, mereka menjelajahi perspektif guru dan mengungkapkan kontradiksi menggunakan salah satu kerangka penilaian berbasis hasil-khususnya di kelas.Self-assessment dapat digunakan oleh guru kelas sebagai cara untuk membuat peserta didik lebih sadar kekuatan dan kelemahan mereka. Seperti dalam peer review, peserta didik dapat diberikan pertanyaan untuk menjawab atau rubrik untuk mengevaluasi tulisan mereka sendiri. Mereka juga dapat diberikan pedoman dan teknik untuk menilai proses penulisan mereka (Brown, 2005; Sullivan & Lindgren, 2002). Luoma dan Tarnanen (2003) melaporkan pada pembangunan instrumen penilaian diri untuk penulis belajar asa Finlandia bahasa kedua. Instrumen ini didasarkan pada proyek DIALANG (www.dialang.org) di mana peserta didik bisa menilai kemampuan bahasa mereka dalam kaitannya dengan Eropa Kerangka Umum. Luoma dan Tarnanen memiliki siswa membandingkan tulisan mereka ke teks patokan dan menilai pekerjaan mereka sendiri. Para peserta didik menemukan instrumen untuk membantu, tetapi tidak untuk menjadi pengganti lengkap untuk umpan balik guru. Self-assessment tidak dimaksudkan untuk menggantikan cara lain penilaian. Sebaliknya, sebagai Luoma dan Tarnanen menyatakan (hal. 461), "Sistem apa diri rating dapat Anda lakukan adalah untuk menyediakan cara lain bagi peserta didik untuk berlatih menulis dan refleksi diri."Selama 15 tahun terakhir, banyak yang telah ditulis tentang penggunaan Zorms alternatif penilaian L2. Portofolio, yang meliputi beberapa bentuk self-assessment, telah dipuji karena validitas konstruk dan keaslian. Kekhawatiran telah dikemukakan, namun, tentang kurangnya keandalan dan tidak praktis (misalnya, Weigle, 2002). Studi empiris yang diperlukan untuk menentukan bagaimana mereka terbaik dapat diimplementasikan. Hirvela dan Sweetland (2005) menyelesaikan studi kasus dua penulis ESL di kelas yang mengharuskan mereka untuk mengembangkan portofolio. Dengan mengikuti dua mahasiswa, mereka menunjukkan bagaimana mereka menanggapi kebutuhan dan apa yang mereka lakukan dan tidak mengerti tentang tujuan portofolio. Kraemer (2005) dijelaskan secara rinci pelaksanaan nya komponen portofolio dari FL kelas Jerman di universitas di AS. Dia mengumpulkan pendapat siswa tentang prosedur dan menemukan bahwa mereka considred portofolio alat pengajaran yang efektif, serta bentuk lebih dari penilaian. Meskipun portofolio yang lebih umum digunakan di kelas, mereka dapat digunakan di tingkat program, juga. Lagu dan Agustus (2002) menggambarkan penggunaan portofolio sebagai alternatif pengujian tradisional untuk tes keluar ESL. Mereka menemukan bahwa sistem portofolio lebih disukai karena siswa berhasil diidentifikasi yang terus melakukannya dengan baik di kursus bahasa Inggris komposisi berikutnya, tapi yang gagal dalam ujian tradisional.Efek Teknologi pada PenilaianTeknologi berubah logistik penilaian. Berkenaan dengan menulis, studentsMoften ketik esai mereka bukan tulisan tangan, dan ini telah menyebabkan para peneliti untuk meneliti bagaimana komputer dapat mempengaruhi penilaian karya tulis mahasiswa. Li (2006) mempelajari penulis ESL menyelesaikan dua esai yang sebanding dengan tangan dan prosesor aword. Para siswa direvisi lebih dan lebih memerhatikan higherorder kemampuan berpikir saat menggunakan komputer. Namun, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan pada berbagai sifat, termasuk kualitas komunikatif, organisasi, dan akurasi linguistik dan kesesuaian, esai-esai-komputer yang ditulis lebih baik dalam hal argumentasi, mungkin karena kemudahan membuat revisi-tingkat yang lebih tinggi. Wolfe dan Manalo (2004) juga mempelajari esai yang ditulis dengan tangan dan pengolah kata, tapi dalam studi mereka, para siswa memilih mana media untuk digunakan. Mengontrol variabel demografis, mereka menemukan bahwa siswa lowerproficiency melakukan sedikit lebih baik pada esai tulisan tangan, sedangkan siswa higherproficiency tidak melakukan berbeda di bawah dua kondisi.Wolfe dan Manolo tidak mengontrol media di mana penilai dinilai esai, yang berarti bahwa mereka bisa saja dipengaruhi oleh bagaimana isi esai disajikan, namun mereka menyatakan bahwa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masalah tersebut adalah minimal. HK Lee (2004) melakukan memeriksa skor penilai 'pada tulisan tangan, peneliti-ditranskripsi esai diketik, dan siswa-ditulis esai diketik. Ia menemukan bahwa reliabilitas lebih tinggi pada esai ditranskripsikan dan mengetik ketika penilai menggunakan skala holistik, mungkin karena skala holistik menilai penilaian secara keseluruhan. Seperti Li, dia melihat kualitas esai dalam langkah-langkah desain ulang, dan tidak menemukan perbedaan yang berkaitan dengan nilai holistik, namun skor signifikan lebih tinggi pada esai diketik ketika skala analitik digunakan.Etika dalam L2 Penilaian MenulisDiskusi isu etika yang terkait dengan penilaian L2 telah meningkat dalam literatur dalam 10 tahun terakhir (misalnya, Hamp-Lyons, 1997; Kunnan, 2000; Shohamy, 1997). Cumming (2002) menunjukkan bahwa masalah ini sangat akut dalam penilaian menulis karena sering melibatkan mengekspresikan pandangan pribadi, sehingga bentuk bagi orang lain untuk mengevaluasi. Orang dapat berargumentasi bahwa setiap studi mengatasi keandalan dan validitas menulis penilaian melibatkan masalah etika. Jika ukuran penilaian tidak dapat diandalkan dan valid, tidak bisa etis. Selain itu, studi tentang bagaimana tes yang digunakan, termasuk Weigle (2004), dan Braine (2001), yang mempelajari masalah dengan pelaksanaan ujian tulis keluar, menangani isu-isu etika yang terkait dengan penggunaan tes. Etika tes tidak dapat ditentukan dalam ruang hampa, hanya dalam hubungan dengan penggunaannya, dan tes yang etis dalam satu konteks mungkin tidak etis di negara lain. Sebagai contoh, Cumming (2002) membahas dilema etika dalam penilaian menulis dalam berisiko tinggi pengujian skala besar. Dia menjelaskan bahwa tes sering menjadi konteks penulisan yang unik, dan bahwa konteks "harus di satu sisi merupakan konstruksi yang akan dinilai, tetapi di sisi lain tidak menjadi bias atau menentang setiap populasi tertentu atau sub-populasi" (hlm. 80). Tes berisiko tinggi harus konsisten, sehingga membuatnya sulit untuk menggunakan bentuk-bentuk alternatif penilaian, di mana banyak variabel tidak dapat dikendalikan. Selain itu, apa yang mereka menguji kebutuhan secara jelas menjelaskan kepada calon peserta tes.Salah satu pertimbangan penting terakhir dalam pengaturan di mana bahasa Inggris bukan bahasa ibu adalah model Inggris yang penilaian harus didasarkan. Tentu saja, masalah ini tidak terbatas pada tulisan, dan pada kenyataannya, dari semua bidang pengajaran dan penilaian, menulis adalah mungkin yang paling permeabel terhadap variasi lokal. Namun demikian, beberapa ahli mempertanyakan hegemoni dominan penutur asli, model baik di dalam dan di luar Amerika Utara (Canagarajah, 2006; Horner & Trimbur, 2002; Jenkins, 2006; Kubota, 2001), dan beberapa telah mendesak agar lembaga pengujian menguji kembali cara di mana instrumen mereka (misalnya, TOEFL, TOEIC, IELTS) melayani seluruh masyarakat internasional (Brown, 2004; Davies, Hamp- Lyons, & Kemp, 2003; Hamp-Lyons & Zhang, 2001; Lowenberg, 2002)