febri setiawan

18
HUKUM HUMANITER STUDY KASUS KONFLIK ANTAR ETNIS INTERNAL RWANDA Oleh FEBRY SETIAWAN M. 1112011132 FAKULTAS HUKUM

Upload: gilang-fardes-pratama

Post on 21-Jan-2016

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tugas Hukum Humaniter Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2011

TRANSCRIPT

Page 1: Febri Setiawan

HUKUM HUMANITER

STUDY KASUS

KONFLIK ANTAR ETNIS INTERNAL RWANDA

Oleh

FEBRY SETIAWAN M.

1112011132

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

Page 2: Febri Setiawan

BAB I

KASUS POSISI

A. Fakta

Dunia ini anarkis,demikian pandangan kaum realis. Bagaimana tidak, perang, konflik, pertikaian, dan pertentangan terus saja terjadi. Dalam teori konflik, apa yang diistilahkan sebagai animal insting yang dimiliki manusia banyak kali menjadi satu-satunya pertimbangan yang menguasai dan membuat manusia memperlakukan sesamanya secara kejam dan semena-mena. Kebencian dan murka menjadi musuh manusia sepanjang lebih dari tiga perempat sejarah peradaban dan membuat perdamaian menjadi ‘persetujuan tanpa kesepakatan’ yang benar-benar tidak disadari dan dimaknai esensinya.

Ketika mendengar Rwanda dan konflik yang terjadi di negara ini hingga berujung pada Genosida di tahun 1994.sebenarnya, kenyataan yang terjadi di lapangan lebih tragis dan kompleks dari apa yang kita bayangkan. Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan sebuah cerminan gagalnya negara menjamin keamanan internal dan perlindungan bagi warga negaranya. Rwanda menjadi sebuah failed state yang menjadi ancaman bagi warganegaranya sendiri, konflik Rwanda juga memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas kawasan Afrika dan menyita perhatian dunia internasional terkait dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran hukum humaniter, dan genosida.Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal, berkaitan dengan perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi perhatian dunia internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran.Rwanda merupakan salah satu negara di belahan Benua Afrika yang terdiri dari 3 kelompok etnis: Hutu (88%) merupakan mayoritas penduduk yang bekerja sebagai petani, Tutsi (11%) merupakan orang-orang dusun yang datang pada abad ke-15, dan Twa pygmies (1%) merupakan sisa pemukim terawal di Rwanda. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebencian suku Hutu terhadap suku Tutsi dan akhirnya berujung pada Genosida.

fanatisme dari etnis Hutu muncul tidak lepas dari “sakit hati” suku Hutu yang mengalami perlakuan yang tidak adil dimasa pendudukan Belgia atas Rwanda dan perang sipil di tahun 1959. Kaum Hutu dianggap sebagai minoritas, dan dipekerjakan sebagai buruh kasar. Sedangkan suku Tutsi dianggap memiliki eksistensi yang lebih tinggi, sehingga pemerintah Belgia memilih orang Tutsi untuk menduduki posisi yang tinggi di pemerintahan. Diskriminasi ini hanya didasari oleh perbedaan fisik, dimana kaum Tutsi memiliki kulit putih, postur tubuh tinggi, dan hidung yang mancung. Sedangkan Hutu memiliki warna kulit yang lebih gelap, postur tubuh pendek, dan hidung pesek.

Page 3: Febri Setiawan

B. Pihak-pihak yang bersengketa

Fenomena konflik sosial yang terjadi di Rwanda merupakan salah satu contoh dari konflik yang disebabkan oleh pembalasan dendam. Konflik ras dan etnis yang juga akhirnya menjadi kejahatan genosida ini kemudian menjadi suatu konflik yang berkepanjangan dan menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi berkepanjangan dapat menjadikan sebagai perilaku yang seolah-olah wajar, bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya, tercipta suatu lingkaran setan kekerasan yang sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak adalah korban yang tersakiti sehingga memicu dendam yang akan dibalaskan dengan kekerasan pula

Konflik yang melibatkan dua etnis yang saling bertikai ini, etnis Hutu dan Tutsi akhirnya menjadi berdimensi internasional ketika berubah menjadi polemik berkepanjangan yang mengganggu stabilitas kawasan Afrika, dan menarik perhatian dunia internasional terkait pelanggaran HAM dan hukum humaniter. Konflik yang memakan korban jutaan nyawa ini merupakan salah satu konflik yang berujung pada pembantaian atau genosida yang terjadi secara besar-besaran. Negara lain juga turut andil dalam genosida yang melanda Rwanda yaitu Perancis. Perancis di sinyalir ingin mempertahankan pengaruh di Afrika, mulai dari menyediakan senjata, mendukung pemerintah Rwanda, dan jumlah tentara yang meningkat dari 5000 menjadi 40.000 di bulan Oktober 1992. Mereka turut membantu Habyarimana untuk melakukan aksi penahanan terhadap 1000 lawan politik dan pembunuhan atas 350 Tutsi di perbatasan, bahkan melindungi pemberontak yang melakukan aksi genosida.

Page 4: Febri Setiawan

BAB II

MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK

A. Masalah hukum bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran hukum humaniter di Rwanda? bagaimana peran perangkat hukum humaniter dalam proses penyelesaian konflik ini? Ketentuan pengaturan HAM yang ada didalam nya ?

B. Tinjauan teoritik

Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut:

1.Metode penggunaan paksaan.

Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan.

2.metode penghalusan (smoothing).

Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa kasih sayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada perdamaian.

3. Penyelesaian dengan cara demokratis.

Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Adapun teori-teori yang dapat di jelaskan yaitu :

Teori Kedaulatan TuhanTeori ini dianggap sebagai teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah. Teori ini mengajarkan bahwanegara dan pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segalasesuatu (Causa Prima). Menurut teori ini, kekuasaan berasal dari Tuhan yang diberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih, yang secara kodrati ditetapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil Tuhan di dunia.

Page 5: Febri Setiawan

Teori Kedaulatan TuhanPada abad pertengahan teori kedaulatan Tuhan berkembang menjadi teori kedaulatan Raja. Teori ini menganggap bahwa pada dasarnya kedaulatan Tuhan dijelmakan dalam kekuasaan seorang raja maupun ratu yang berkuasa secara turun temurun, mereka menganggap bahwa legitimasi atas kekuasaannya merupakan perintah Tuhan yang mutlak.

Teori Kedaulatan NegaraKemunculan teori ini dianggap sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan rakyat. Ajaran ini pertama kali muncul di Jerman. Kemunculan teori ini terkonsepsikan dalam rangka mempertahankan kedudukan raja yang pada saat itu mendapatkan dukungan dari tiga lapisan masyarakat yang cukup besar, baik dari golongan bangsawan (junkertum), golongan militer, maupun alat-alat pemerintah atau birokrasi. 

Teori Kedaulatan HukumKedaulatan hukum adalah sebuah teori kedaulatan yang diungkapkan oleh Krabbe sebagai bentuk penyangkalannya terhadap teori kedaulatan negara yang terutama diajarkan oleh mazhab Deutsche Publizisten. Teori kedaulatan hukum menunjukkan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak di tangan raja dan bukan juga berada di tangan negara, melainkan berada ditangan hukum yang bersumber pada kesadaran hukum tiap-tiap orang sebagai anggota masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa hukum merupakan pernyataan penilaian yang muncul atau bersumber pada kesadaran hukum manusia itu sendiri.

BAB III

Page 6: Febri Setiawan

RINGKASAN PELANGGARAN

A. Pelanggaran Hukum Humaniter di Rwanda

Serangan ke Kamp Pengungsi Hutu di Kibeho tahun 2008

Ribuan orang –pria, wanita, dan anak-anak– dilaporkan tewas terbantai ketika militer memberondong satu kamp padat pengungsi di bagian barat-daya Rwanda, dan akibatnya terjadi kepanikan sehingga korban bertambah akibat orang-orang yang berdesak-desakan menyelamatkan diri pada tahun 2008 lalu. Para petugas pertolongan merasa ragu apakah akan dapat menemukan banyak orang yang selamat di kamp kumuh yang menampung sekitar 80.000 orang Hutu di Kibeho.

Pertikaian antara kedua suku bukan baru sekali ini terjadi. Suku masyoritas Hutu mengakhiri kekuasaan suku Tutsi dalam pemberontakan berdarah tahun 1959, tiga tahun sebelum kemerdekaan Rwanda dari Belgia. Sejak saat itu puluhan ribu orang Tutsi mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda, sebagian besar ke Uganda, dan tak kurang dari 100.000 orang telah tewas dalam pertempuran. Kini akibat kondisi hidup yang terus merosot dan kecurigaan pemerintah bahwa semua pusat penampungan dijadikan tempat penyatuan kembali suku Hutu dan lahan pelatihan, militer Rwanda bergerak tanpa peduli lagi apakah yang berada “di ujung laras senjata mereka” adalah anggota garis keras atau rakyat sipil. Akibatnya sekali lagi konflik di Rwanda merenggut korban tak bersalah –termasuk wanita dan anak-anak– sementara dunia hanya dapat mengutuk pertumpahan darah yang terus berlangsung. Jelas bahwa hukum humaniter dilanggar di sini.

B. Kedudukan HAM dan humaniter

Jelas dalam serangan tersebut telah terjadi pelanggaran HAM sekaligus juga pelanggaran hukum humaniter. Dalam konteks hukum humaniter, apa yang dilakukan oleh oleh tentara RPA waktu itu jelas melanggar hukum humaniter, khususnya konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bersama, sebelum lahirnya Konvensi Jenewa1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihakpemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internalcharacter) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas statusbelligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihakbelligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis

Page 7: Febri Setiawan

tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak. Dalam kasus Rwanda, hal ini terjadi. Walaupun pada tahun 1994 ketika terjadi pembantaian besar-besaran, posisi pemerintah dalam keadaan vakum, kenyataan bahwa hukum humaniter tetap menjadi hukum yang harus ditaati merupakan hal yang mutlak. Pada saat itu, dan kemudian terjadi lagi pada tahun 2008, banyak anak dan wanita yang terbunuh oleh tentara saat itu, Jadi jelas bahwa baik suku Tutsi dan Hutu melakaukan berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan dalam hukum humaniter.

Kemudian, pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketabersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.

Adapun putusan pelanggaran perang yaitu :

Pasal 6Untuk tujuan Statuta ini, “genosida” berarti setiap tindakan berikut ini yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan ataupun sebagian, kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti:(a) Pembunuhan para anggota kelompok;(b) Menyebabkan kerusakan/luka-luka tubuh ataupun mental yang sangat serius terhadap para anggota kelompok;(c) Dengan sengaja merugikan kondisi-kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkah dapat berakibat pada kerusakan fisik secara keseluruh¬an ataupun sebagian;(d) Tindakan-tindakan berat yang dimaksudkan untuk mencegah kela¬hiran kelompok itu;(e) Pemindahan paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain

Pasal 7

Kejahatan terhadap kemanusian1. Untuk tujuan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti setiap tindakan-tindakan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari upaya penyerangan yang sistematis dan menyebar luas yang diarahkan terhadap salah satu kelompok penduduk sipil, dengan penyerangan yang disengaja:(a) Pembunuhan;

Page 8: Febri Setiawan

(b) Pembasmian;(c) Perbudakan;(d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;(e) Pemenjaraan atau tekanan-tekanan kebebasan fisik yang kejam yang melanggar peraturan dasar hukum internasional;(f) Penyiksaan;(g) Perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sterili¬sasi paksa, atau bentuk-bentuk pelanggaran seksual lainnya dengan tingkat keseriusan yang dapat diperbandingkan;(h) Tuntutan terhadap kelompok tertentu yang dapat diidentifikasi atau dilakukan secara bersama-sama dalam bidang politik, ras, bangsa, etnik, budaya, agama, jenis kelamin sebagaimana di¬jelaskan pada ayat 3, atau dasar-dasar lain yang secara universal dikenal sebagai hal yang tidak dapat diizinkan sesuai dengan hu¬kum internasional, sehubungan dengan suatu tindakan yang ‘disebutkan pada ayat ini atau kejahatan dalam yurisdiksi Peng¬adilan itu;(i) Penculikan/penghilangan paksa seseorang;(j) Kejahatan apartheid;(k) Tindakan-tindakan tidak berperikemanusian lain dari sifat yang sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan yang besar atau kecelakaan yang serius terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.2. Untuk tujuan ayat 1 :(a) “Penyerangan yang diarahkan terhadap penduduk sipil” berarti suatu tindakan yang melibatkan perbuatan tindakan yang berli¬pat ganda yang disebutkan pada ayat 1 terhadap penduduk sipil, sesuai dengan atau merupakan kelanjutan dari kebijakan suatu negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan itu;(b) “Pemusnahan” mencakup hukuman atau yang disengaja dari kondisi-kondisi penyiksaan kehidupan, antara lain perampasan ak¬ses terhadap makanan dan obat-obatan yang diperhitungkan membawa akibat kerusakan dari bagian suatu populasi;(c) “Perbudakan” yaitu pelaksanaan salah satu atau semua kekua¬saan yang melekat pada hak kepemilikan seseorang dan ter¬masuk pelaksanaan kekuasaan itu dalam pelaksanaan perdagang¬an orang, pada khususnya wanita dan anak-anak;(d) “Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa” yaitu pemindahan paksa orang-orang yang terkait dengan pengusiran atau tindakan-tindakan lain dari daerah dimana mereka secara hukum berada, tanpa dasar-dasar yang diizinkar sesuai dengan hukum internasional;(e) “Penyiksaan” yaitu penyiksaan yang disengaja dari rasa sakit yang sangat berat atau menderita, baik secara fisik maupun mental pada seseorang yang berada dalam penjagaan atau di bawah kontrol dari terdakwa; kecuali bahwa penyiksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau menderita yang timbul hanya dari, yang menjadi sifat atau secara tidak disengaja dari sanksi-sanksi hukum.

Page 9: Febri Setiawan

Pasal 8

Kejahatan Perang1. Pengadilan mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan kejahatan perang pada khususnya ketika dilakukan sebagai bagian dari peren¬canaan atau kebijakan atau sebagai bagian dari perbuatan yang mempunyai dampak skala luas dari kejahatan itu.2. Untuk tujuan Statuta ini, “kejahatan perang” berarti :(a) Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa pada 12 Agustus 1949. yaitu setiap tindakan-tindakan berikut ini terhadap orang-orang atau kekayaan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkut¬an:(i) Pembunuhan yang disengaja;(ii) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk uji coba biologi;(iii) kesengajaan yang menyebabkan penderitaan atau rasa sakit yang Iuar biasa terhadap tubuh atau kesehatan;(iv) Pengrusakan yang berlebih-lebihan dan pemusnahan harta benda/kekayaan, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan¬kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak berdasarkan hukum dan tanpa alasan;(v) Pemaksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi Iainnya untuk melaksanakan secara paksa kekuasaan yang sedang bertempur;(vi) Penyiksaan disengaja terhadap tahanan perang atau orang yang dilindungi Iainnya dari hak-hak pengadilan yang adil dan reguler;(vii) Deportasi atau pengalihan orang yang tidak berdasarkan hukum atau pengurungan yang tidak berdasarkan hukum;

Page 10: Febri Setiawan

BAB IV

ANALISIS PELANGGARAN

Konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bukan merupakan suatu perang, melainkan konflik merupakan tahapan dari sebuah perang. Oleh karena itu, Perang biasanya sering dimulai dengan konflik terlebih dahulu. Akan tetapi, Konflik yang terjadi di Rwanda antara sukuk Hutu dan Tutsi bukanlah suatu konflik yang mengarah kepada perang, melainkan konflik yang bersifat konflik etnis yang mengarah pembantaian atau pembunuhan massal yang sering disebut dengan GENOSIDA.

Menurut pandangan pluralisme

Menurut pandangan pluralisme, aktor negara dan aktor non-negara memiliki peran yang penting dan tidak dapat diabaikan dalam hubungan internasional. Organisasi internasional merupakan aktor yang penting dalam menyelesaikan masalah hubungan internasional. Organisasi-organisasi, seperti PBB, WTO, ASEAN, dan lain-lain sangat berperan dalam menjaga kepentingan setiap negara dalam berinteraksi dengan negara lain. Oleh karena itu, dengan melihat tidak adanya tanggapan dari Negara-negara tersebut maka peran PBB diharapkan mampu dapat menyelesaikan konflik di Rwanda tersebut. berbekal sebagai aktor non-negara yang memiliki peran penting dalam hubungan internasional dan sistem internasional sekaligus merupakan suatu organisasi internasional yang bertujuan untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan perdamaian dunia. Namun, hal itu berbanding sebaliknya, Tokoh-tokoh hubungan internasional dunia berpendapat bahwa PBB telah gagal dalam menyelesaikan konflik di Rwanda tersebut. Banyak pihak menilai, genosida di Rwanda ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya PBB mau bertindak untuk melakukan intervensi dari sejak awal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Konvensi Genosida.

Memang PBB berusaha untuk “membayar” kegagalannya di Rwanda dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda [Internationan Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR)] melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. S/RES/955 tahun 1994. Pengadilan ad hoc yang masih merupakan bagian dari Mahkamah Internasional Den Haag ini, berlokasi di Arusha, Tanzania. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda atau oleh orang Rwanda di negara-negara tetangga selama tahun 1994. Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan genosida; pelanggaran Pasal 3 seluruh Konvensi Jeneva 1949 serta Protokol Tambahan II 1977; dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan

Page 11: Febri Setiawan

yuridiksinya, ICTR telah mengadili sekitar 70 orang, termasuk Jean Kambanda, mantan Perdana Menteri Rwanda.

Dapat disimpulkan bahwa dalam menangani kasus konflik di Rwanda ini, dalam perspektif pluralism hendaknya ada integrasi dan koordinasi aktor dalam hubungan internasional, Baik itu Negara maupun aktor Negara. Jika terdapat interaksi dan integrasi yang baik antara kedua aktor hubungan internasional tersebut, maka konflik seperti yang terjadi dirwanda dapat diminimalisir efek negatifnya. Seperti diketahui bahwa konflik di Rwanda telah memakan korban lebih dari satu juta jiwa, dimana hal ini sangat bertentangan denga Human Rights (Hak Asasi Manusia).

Page 12: Febri Setiawan

BAB V

KESIMPULAN

Hak asasi manusia mengandung 2 aspek yaitu ; aspek indevidualitas dan aspek sosialitas. Maka dari itu kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak kebebasan orang lain demikian juga kebebasan pada setiap organisasi apapun dan dimanapun juga mempunyai hak dan kewajiban dalam pergaulannya didunia. Jika ada kebebasan mengakui hak orang lain, maka setiap orang mengemban kewajiban untuk mengakui hak orang lain itu. Permasalahan hak asasi manusia muncul dikarenakan adanya inter aksi, interkoneksi dan interdependensi antar indevidu, antar kelompok masyarakat, bangsa baik secara bilateral maupun multi lateral yang mau tidak mau akan mempengaruhi pengetahuan dan kesadaran baik secara perorangan ataupun kolektif.

Dalam kasus ini dapat dipastikan bahwa suku-suku etnis di Rwanda masih membedakan suku-suku dan memberi jarak antara satu suku dengan suku yang lain. Dalam hal ini suku-suku di Rwanda dapat dibilang bersifat etnosentrisme yang kemudian berkembang menjadi rasisme. Etnosentrisme yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif. Jadi pandangan etnosentrisme disini dapat diartikan bahwa memandang bangsa sendiri lebih baik dari bangsa lain, hal ini member kesimpulan bahwa memandang buruk bangsa lain. kasus Genosida sendiri merupakan sebuah pelanggaran yang tidak bisa dibiarkan berkelanjutan di masa yang akan datang. Pembantaian masal/ genosid merupakan bentuk kejahatan yang direncanakan yang tentunya membahayakan bagi keberadaan orang-orang yang menjadi sasaran para pelaku. Alhasil, tugas kita bersama bahwa human rights harus ditegakkan di muka bumi ini.

Peristiwa pembantaian besar-besaran terjadi beberapa jam setelah Presiden Rwanda, Juvénal Habyarimana terbunuh oleh kelompok yang diduga menolak persetujuan Arusha, penyatuan kekuasaan dari tiga suku di tingkat parlemen negara. Karena Rwanda adalah sebuah negara yang dianggap tidak memiliki potensi di mata dunia (baik sumber daya manusia maupun alam), maka pihak internasional (negara-negara utama dalam keanggotaan PBB, tentu saja) cenderung tidak mengentaskan masalah. Pihak pasukan UN hanya sebatas sebagai formalitas atas keikutsertaannya dalam menjaga perdamaian, selain jumlahnya yang hanya sedikit, pasukan UN hanya mengevakuasi warga negara asing dan tidak mengambil resiko untuk ikut mengevakuasi satupun suku Tutsi.

Page 13: Febri Setiawan

DAFTAR PUSTAKA

Jentleson, Bruce W, Opportunities Missed Opportunities Seized: Preventive Diplomacy In The Post-Cold War World, United States of Amerika, Rowman and Littlefield Publishers, 2000.

Arif Budiman, Teori Negara;Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta : Gramedeia, 1996,

A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, London: English Language Book Society and MacMillan, 1971.

Boer Mauna, Pengantar Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Globalisasi, Bandung : PT. Alumni, 2005,

Crocker, Chester A., Fen Olser Hampson, dan Pamela Aall, Leashing The Dogs of War: Conflict Management in a Devided World,Washington.D.C, United States Institute of Peace, 2007.