farianto & darmanto law firmrespon kenmenaker terhadap putusan putusan mahkamah konstitusi nomor...
TRANSCRIPT
FARIANTO & DARMANTO
LAW FIRM
SOHO Pancoran South Jakarta, North Wing Noble 1102, Jl. M. T. Haryono Kav. 2-3, Pancoran, Jakarta Selatan 12810
www.fardalaw.com Mobile: 0811157937
KUMPULAN PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI Terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
DAFTAR ISI
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tentang Kesalahan Berat
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 Tentang Hak Berunding Serikat Pekerja
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 Tentang Upah Proses
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 Tentang Efesiensi
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 Tentang Outsouring
6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-IX/2011 Tentang PHK karena Pengusaha tidak membayar upah
7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 Tentang Daluarsa Tuntutan Pembayaran Upah
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak atas Buruh dalam Hal Perusahaan Pailit atau Dilikuidasi
9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014 Tentang Frasa “demi hukum” Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
10. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XIV/2016 tentang masa jabatan hakim Ad- Hoc Pasal 67 ayat (2) UU 2/2004
11. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2015 tentang daluwarsa di dalam Pasal 171 UU 13/2003 dan Pasal 82 UU 2/2004
Farianto & Darmanto Law Firm 2
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang Menolak Permohonan Uji Materi UU
Ketenagakerjaan
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 012/PUU-I/2003 tentang Kesalahan Berat
Latar belakang kasus :
Beberapa ketua organisasi serikat buruh di Indonesia mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 158, 159 dan 160 UUKetenagakerjaan karena dianggap telah melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Amar putusan : M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
• Pasal 158;
• Pasal 159;
• Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”;
• Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”;
• Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1)…”;
• Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)…”;
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Farianto & Darmanto Law Firm 3
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
3. Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan
atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158
ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal
186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya;
Farianto & Darmanto Law Firm 4
Respon Kenmenaker Terhadap Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
012/PUU-I/2003 Tentang Kesalahan Berat
Surat Edaran Menakertrans Nomer: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materil UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, terhadap UUD 1945.
Respon Mahkamah Agung Terhadap Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 012/PUU-I/2003 Tentang Kesalahan Berat
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 tahun 2015
tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun
2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
Farianto & Darmanto Law Firm 5
Penerapan Kesalahan Berat Setelah Putusan MK
Farianto & Darmanto Law Firm
6
PENGUSAHA
•Menerapkan Pasal 158 seperti sebelum adanya putusan MK, yakni melakukan PHK sepihak tanpa membayarkan pesangon dan penghargaan masa kerja.
•Hanya melaporkan tindak pidana yang dilakukan pekerja ke Polisi sedangkan proses ketenagakerjaanya di biarkan atau menunggu putusan pidana.
•Melaporkan pekerja terlebih dahulu ke polisi dan apabila di lakukan penahanan setelah 6 (enam) bulan tidak dapat menjalankan pekerjaan atau belum 6 (enam) bulan tetapi telah ada putusan bersalah dari pengadilan pidana maka pengusaha menerbitkan Surat Keputusan PHK sepihak sesuai Pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
•Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi akan tetapi langsung melakukan proses PHK sesuai UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (bipartite, mediasi, PHI)
•Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi asalkan pekerja bersedia mengundurkan diri atau diakhiri hubungan kerjanya tanpa pesangon dan penghargaan masa kerja.
•Membuat pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu dengan pekerja setelah itu melakukan proses pidana dengan melaporkan kesalahan berat pekerja.
MEDIATOR
•Menolak melakukan mediasi tanpa memberikan anjuran apabila belum ada putusan pidana.
•Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran, apabila dalam proses mediasi pengusaha menyatakan bersedia memberikan kompensasi sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
•Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran untuk mempekerjakan pekerja pada posisi semula atau melakukan pemutusan hubungan kerja dengan memberikan kompensasi pesangon sebesar 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2), penghargaan masa kerja sesuai pasal 156 ayat (3) & (4) UU
PHI
•Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat belum memiliki putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
•Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat apabila kesalahan berat diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha dapat membuktikanya dalam persidangan.
•Dalam hal ini pengadilan akan memberikan hukuman kepada pengusaha untuk membayarkan kompensasi sebesar 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan. Namun sebagian pengadilan ada yang memutuskan tanpa memberikan hak pesangon dan penghargaan masa kerja.
•Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat meskipun dianggap tidak terbukti. Pada beberapa kasus hakim justru mendasarkan alasan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi sebagaimana diatur dalam pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan, dan apabila pengusaha dinilai telah kehilangan kepercayaan dan hubungan kerja menjadi disharmonis maka pengusaha akan dihukum untuk membayarkan pesangon sebesar 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Saran Penerapan Kesalahan Berat
Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama tetap mengatur “kesalahan berat” dengan
mengganti istilah menjadi:
- Pelanggaran dengan sanksi Pemutusan Hubungan Kerja
- Pelanggaran lainya, dll
Mengubah istilah pidana dalam kesalahan berat menjadi istilah ketenagakerjaan, misalnya:
Mencuri diganti dengan mengeluarkan, memindahkan atau membawa barang milik
perusahaan tanpa melalui prosedur dan ijin atasan, untuk dikuasai atau dimiliki baik
sendiri maupun bersama-sama.
Melakukan proses perundingan bipartit, mediasi dan PHI.
Kompensasi dapat diatur dalam PP atau PKB, tanpa Kompensasi atau Nol tetapi dalam
penerapanya Kompensasi pelanggaran ini, dalam putusan PHI pada umumnya adalah 1 x pasal
156 ayat (2) (3) & (4) UU No.13 tahun 2003, karena PHI merujuk pada pasal 161 atau di anggap
sebagai pelanggaran PP atau PKB.
Proses pidana sudah dapat dilakukan bersamaan dengan proses PHK, sehingga apabila pekerja
secara nyata melakukan tindak pidana secara bersamaan proses hukum dapat dijalankan.
Identifikasi permasalahan yang diduga sebagai tindak pidana harus dilakukan dengan cermat,
supaya proses hukum pidana dapat berjalan dengan baik.
Farianto & Darmanto Law Firm 7
Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 115/PUU-VII/2009 Tentang Hak Berunding Serikat Pekerja
Latar belakang kasus :
Serikat Pekerja BCA Bersatu mengajukan uji materiil terhadap Pasal 120 ayat (1), (2) dan (3) UU
Ketenagakerjaan karena tidak diikutsertakan dalam perundingan PKB PT. Bank Central Asia, Tbk.
M E N G A D I L I
1. Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Farianto & Darmanto Law Firm 8
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
3. Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah anggota masing masing serikat pekerja/serikat buruh”, dan
ii) ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat
lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh
yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat
pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari
seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
Farianto & Darmanto Law Firm 9
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
4. Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat;
5. Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan
Farianto & Darmanto Law Firm 10
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
ii) ketentuan tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu
serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili
dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal
tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah
anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam
perusahaan”;
6. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
7. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Farianto & Darmanto Law Firm 11
Respon Kenmenaker Terhadap Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
115/PUU-VII/2009 Tentang Hak Berunding Serikat Pekerja
Permenakertrans No.Per.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan pengesaahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. Pasal 17 Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh: Permenaker No.28 tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan pengesaahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. Pasal 19
Farianto & Darmanto Law Firm 12
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan hak berunding Serikat Pekerja
• Pengusaha hanya menerima serikat pekerja yang memenuhi syarat untuk
berunding PKB
• Pengusaha menerima semua serikat pekerja di Perusahaan sepanjang ada
kesepakatan antar serikat pekerja
• Serikat pekerja menerima serikat pekerja minoritas untuk ikut berunding
• Serikat pekerja menolak serikat pekerja minoritas untuk ikut berunding
• Perselisihan antar serikat pekerja akibat pembagian perwakilan tim
perunding tidak sesuai atau akibat serikat pekerja minoritas tidak diikutkan
dalam perundingan PKB
Farianto & Darmanto Law Firm 13
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Saran penerapan hak berunding Serikat Pekerja
• Pengusaha mengakomodir serikat pekerja yang memenuhi syarat untuk
melakukan perundingan PKB kecuali antar serikat pekerja mayoritas
dengan minoritas memiliki kesepakatan maka Pengusaha disarankan untuk
menerima dalam perundingan
• Memberikan ruang yang cukup bagi serikat pekerja dalam perundingan,
artinya tidak harus tim perunding 9 : 9 tetapi dapat fleksibel
• Tidak berpihak kepada salah satu serikat pekerja apabila terjadi perselisihan
antar serikat pekerja dalam satu perusahaan terkait hak berunding
Farianto & Darmanto Law Firm 14 Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 37/PUU-IX/2011 Tentang Upah Proses
Latar belakang kasus :
Rommel Ginting mengajukan uji materiil terhadap Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan karena
upah proses dihentikan sejak putusan pengadilan hubungan industrial.
M E N G A D I L I
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
belum berkekuatan hukum tetap;
Farianto & Darmanto Law Firm 15
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
3. Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
Farianto & Darmanto Law Firm 16
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Respon Mahkamah Agung Terhadap Putusan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 Tentang Upah Proses
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 tahun
2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah
Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
Farianto & Darmanto Law Firm 17
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan Upah Proses
• Upah proses diartikan komponennya adalah gaji pokok
• Upah proses diartikan komponennya adalah gaji pokok dan
tunjangan tetap beserta hak-hak lainnya
• Upah proses diartikan secara sempit sebagai upah skorsing
• Upah proses dibayarkan untuk maksimal 6 (enam) bulan
• Upah proses dibayarkan hanya sampai Putusan PHI atau
tercapainya Perjanjian Bersama
• Upah proses dibayarkan sampai dengan putusan berkekuatan
hukum tetap
Farianto & Darmanto Law Firm 18
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Saran penerapan upah proses
• Upah proses diartikan komponennya adalah gaji pokok dan tunjangan tetap beserta hak-hak lainnya
• Upah proses wajib dibayarkan apabila Perusahaan melakukan skorsing kepada karyawan
• Upah proses tidak diberikan kepada karyawan yang mangkir, menjalani penahanan dan sakit berkepanjangan
• Upah proses hanya dibayarkan sampai PHI menyatakan putus hubungan kerja beserta kompensasi PHK
• Upah proses harus selalu dibuktikan pembayarannya pada tingkat mediasi maupun persidangan di PHI supaya Pengadilan tidak menghukum pengusaha membayar upah proses
• Memberitahukan penghentian pembayaran upah proses kepada karyawan setelah putusan PHI dengan mendasarkan pada amar putusan Pengadilan dan menyatakan siap untuk membayar upah proses sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap apabila putusan yang lebih tinggi memerintahkan
Farianto & Darmanto Law Firm 19 Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 19/PUU-IX/2011 Tentang Efesiensi
Latar belakang kasus :
Pekerja Hotel Papandayan mengajukan uji materiil terhadap Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
karena di PHK saat Hotel Papandayan melakukan renovasi.
M E N G A D I L I
Menyatakan:
1. Permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup
permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;
3. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk
sementara waktu”;
Farianto & Darmanto Law Firm 20
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
5. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Farianto & Darmanto Law Firm 21
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan efesiensi
• Efesiensi dilakukan untuk mengurangi karyawan meskipun tidak ada
kerugian perusahaan dan penutupan perusahaan
• Efesiensi oleh Pengadilan sering dijadikan alasan PHK apabila perusahaan
melakukan gugatan PHK tetapi tidak berhasil membuktikan gugatannya
• Pekerja maupun serikat pekerja selalu menolak PHK dengan alasan
efesiensi apabila perusahaan tidak tutup permanen
• Efesiensi sering dijadikan alasan PHK karena masalah like and dislike
Farianto & Darmanto Law Firm 22
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Saran penerapan efisiensi
• PP atau PKB mengatur alasan PHK karena efisiensi dengan mengubah
istilah efisiensi menjadi reorganisasi, restrukturisasi, pengurangan
karyawan atau yang lainnya
• Memulai PHK efisiensi dengan menawarkan secara sukarela kepada
karyawan
• Menawarkan tambahan kompensasi PHK bagi karyawan yang mengikuti
program PHK secara sukarela
• Memiliki dasar atau acuan dari konsultan independen terkait perubahan
organisasi, penutupan kantor cabang, pengurangan karyawan dan lainnya
• Melakukan proses perundingan bipartit, mediasi dan PHI.
• Membayarkan upah skorsing karyawan yang menolak efisiensi secara
sukarela dan menjalani proses PHK
Farianto & Darmanto Law Firm 23
Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-IX/2011 Tentang Outsourcing
Latar belakang kasus :
Pekerja yang berprofesi sebagai pengukur meteran listrik dengan status pekerja outsourcing, ketika
pekerja pindah ke perusahaan outsourcing lainnya, masa kerja di perusahaan outsourcing yang lama tidak
diakui oleh perusahaan outsourcing yang baru.
M E N G A D I L I
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk
waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan
adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada,
walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
Farianto & Darmanto Law Firm 24
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
3. Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian
kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun
terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari
perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;.
5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Farianto & Darmanto Law Firm 25
Respon Kenmenaker Terhadap Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-IX/2011 Tentang Outsourcing
Permenakertrans Nomer. 19 tahun 2012 tentang Syarat –syarat Penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
Surat Edaran Menakertran Nomer. SE.04/MEN/VIII/2013 tentang Pedoman
Pelaksanaan Permenakertrans Nomer. 19 tahun 2012 tentang Syarat –syarat
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
Farianto & Darmanto Law Firm 26
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan outsourcing
• Alur kegiatan menjadi dasar bagi pelaksanaan pemborongan pekerjaan.
• Khusus untuk perusahaan pertambangan dan migas, alur kegiatan menjadi
dasar bagi pelaksanaan pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja.
• Perusahaan outsourcing (pemborongan dan PPJP) dapat mempekerjakan
pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
• TUPE (Transfer of Undertaking Protection of Employement) bagi pekerja
dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) antara perusahaan outcourcing
dengan pekerja.
• Kegiatan penunjang oleh karyawan outsourcing sering diartikan sebagai
kegiatan utama sehingga menimbulkan perselisihan
• Outsourcing sering diartikan hanya untuk pekerjaan sementara padahal dapat
dilakukan terus-menerus
• Outsourcing dilakukan tidak mengikuti ketentuan mengenai pemborongan atau
penyedia jasa pekerja
Farianto & Darmanto Law Firm 27
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Saran penerapan outsourcing
• Pekerjaan yang diserahkan kepada pihak ketiga baik melalui pemborongan
atau penyedia jasa pekerja harus merupakan kegiatan penunjang
• Perusahaan pemberi kerja harus memiliki alur kegiatan yang telah disahkan
oleh asosiasi perusahaan
• Perusahaan pemberi kerja tidak mencampuri hubungan kerja antara
karyawan outsourcing dengan vendor
• Memastikan vendor atau perusahaan penerima pekerjaan memenuhi hak
karyawan dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pemborongan
atau penyedia jasa pekerja
• Di dalam kontrak service, pemborongan atau PPJP disarankan memuat
TUPE dan memastikan perjanjian kerja antara vendor dengan pekerjanya
yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT memuat TUPE.
• IPA (Indonesian Petroleum Association) dan AK3S (Asosiasi Kontraktor
Kontrak Kerja Sama) disarankan untuk menegaskan alur kegiatan berlaku
juga untuk PJP (Penyedia Jasa Pekerja)
Farianto & Darmanto Law Firm 28 Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-IX/2011
Tentang PHK karena Pengusaha tidak membayar upah
Latar belakang kasus :
Pekerja PT. Megahbuana Citramasindo tidak dibayarkan upahnya oleh Pengusaha selama 3 bulan
berturut-turut.
M E N G A D I L I
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam
hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;
Farianto & Darmanto Law Firm 29
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
3. Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak
membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
Farianto & Darmanto Law Firm 30
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan PHK karena Pengusaha tidak membayar upah
• Karyawan berhak mengajukan PHK apabila pengusaha dalam membayar
upah tidak tepat waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih
• Tidak membayar upah bukan berarti sama sekali tidak membayar
melainkan tidak tepat waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih
dapat dikualifikasikan dengan tidak membayar upah
Perusahaan membayarkan upah karyawan tepat waktu dan teratur
Farianto & Darmanto Law Firm 31
Saran
Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012
Tentang Daluarsa Tuntutan Pembayaran Upah
Latar belakang kasus :
Ex SATPAM PT. Sandhy Putra Makmur sejak 2 Juli 2009 sampai dengan 11 Juni 2012 tidak
dibayarkan kompensasi PHKnya oleh Pengusaha.
M E N G A D I L I
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Farianto & Darmanto Law Firm 32
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan daluarsa tuntutan pembayaran upah
• Seluruh hak karyawan yang dianggap kurang dapat dituntut tanpa batas,
seperti kekurangan upah lembur, kekurangan pembayaran upah minimum,
kekurangan pembayaran pensiun atau kompensasi PHK lainnya. Padahal
putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut
• Perhitungan kurang bayar yang terjadi sebelum tahun 2012 hanya dihitung
sejak tahun 2010 karena Pasal 96 pada saat itu mengatur daluwarsa hak
karyawan selama 2 (dua) tahun dan karena putusan MK tidak berlaku surut
maka perhitungan hak diterapkan maksimal terhitung sejak 2010
Farianto & Darmanto Law Firm 33
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Saran penerapan daluarsa tuntutan pembayaran upah
Menghitung hak-hak karyawan sesuai ketentuan normatif (baik yang diatur
dalam PK, PP atau PKB maupun Undang-undang)
Farianto & Darmanto Law Firm 34 Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013
Tentang Pemenuhan Hak-Hak atas Buruh dalam Hal Perusahaan
Pailit atau Dilikuidasi
Latar belakang kasus :
Pekerja Pertamina memiliki kekhawatiran apabila Perusahaan pailit atau dilikuidasi, hak-hak pekerja tidak
didahulukan
M E N G A D I L I
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk
atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lrlang, dan badan umum yang dibentuk
Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan
termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan
dari kreditur separatis;
1.2 Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh
yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak
negara, kantor lrlang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak
pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan
badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Farianto & Darmanto Law Firm 35
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan pemenuhan hak-hak atas buruh dalam
hal Perusahaan pailit atau dilikuidasi
Hak pekerja dalam hal perusahaan pailit tidak didahulukan karena kekayaan
perusahaan digunakan untuk membayar kewajiban hutang kepada pihak lain
Saran
Dalam hak perusahaan pailit, perusahaan untuk pertama kali menyelesaikan
hak pekerja berupa kompensasi PHK sesuai ketentuan Pasal 165 UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat 2,
3 dan 4
Farianto & Darmanto Law Firm 36 Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 7/PUU-XII/2014 Tentang Frasa “demi hukum” Pasal 59 ayat (7),
Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
Latar belakang kasus :
Pekerja dari beberapa vendor outsourcing dengan status PKWT melaporkan adanya penyimpangan
terhadap PKWT kepada pegawai pengawas hingga keluar nota pemeriksaan yang memerintahkan pada
vendor untuk mengangkat para pekerja menjadi PKWTT, namun nota tersebut tidak dijalankan oleh
perusahaan vendor.
M E N G A D I L I
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1.1 Frasa “demi hukum” pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta
pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri
setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan
perundang-undangan;
Farianto & Darmanto Law Firm 37
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
1.2 Frasa “demi hukum” pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan
nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri
setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan
perundang-undangan;
1.3 Frasa “demi hukum” pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
“Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas
ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
Farianto & Darmanto Law Firm 38
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan
perundang-undangan;
1.4 Frasa “demi hukum” pasal 65 ayat (8) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta
pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan
Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak
mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan
perundang-undangan;
Farianto & Darmanto Law Firm 39
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
1.5 Frasa “demi hukum” pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota
pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai
kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan perundang-
undangan;
1.6 Frasa “demi hukum” pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas
ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:
1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai
kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan perundang-
undangan;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Farianto & Darmanto Law Firm 40
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan frasa “demi hukum” Pasal 59 ayat (7), Pasal 65
ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
• “demi hukum” diartikan jika Pengadilan telah menyatakan status hubungan
kerja karyawan berubah menjadi karyawan tetap atau karyawan pemberi
kerja atau karyawan perusahaan outsourcing
• “demi hukum” diartikan jika Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan telah
mengeluarkan nota pemeriksaan yang menyatakan status hubungan kerja
karyawan berubah menjadi karyawan tetap atau karyawan pemberi kerja
atau karyawan perusahaan outsourcing
• Nota pemeriksaan bersifat final dan mengikat apabila telah dilakukan
perundingan bipartit dan disahkan oleh Pengadilan Negeri
• Pengadilan Hubungan Industrial masih menyatakan berwenang memeriksa
dan mengadili perselisihan terkait status hubungan kerja meskipun Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan telah menerbitkan nota pemeriksaan
Farianto & Darmanto Law Firm 41
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Saran penerapan frasa “demi hukum” Pasal 59 ayat (7), Pasal 65
ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
• Dalam melakukan kontrak dengan karyawan harus mendasarkan pada jenis
dan sifat pekerjaan karena kontrak hanya dapat dilakukan untuk pekerjaan
yang sifatnya sementara/sekali selesai, pekerjaan selesai paling lama 3
(tiga) tahun, musiman, produk baru
• Dalam melakukan penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga, pekerjaan
yang diserahkan harus merupakan kegiatan penunjang dan harus didasari
dengan perjanjian pemborongan atau penyedia jasa pekerja
• Dalam hal Pegawai Pengawas mengeluarkan nota pemeriksaan maka upaya
yang dapat dilakukan adalah menempuh proses penyelesaian hubungan
industrial (bipartit, mediasi, PHI)
Farianto & Darmanto Law Firm 42 Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 49/PUU-XIV/2016 tentang masa jabatan
hakim Ad- Hoc Pasal 67 ayat (2) UU 2/2004
Latar Belakang Kasus:
• Seorang hakim Ad-Hoc PHI dari serikat pekerja merasa pembatasan masa jabatan yang diatur di
dalam Pasal 67 ayat (2) UU 2/2004 adalah bertentangan dengan UUD NRI 1945
MENGADILI
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dann tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai’ “Masa Tugas Hakim Ad-Hoc adalah
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun yang
diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari
lembaga pengusul yang prosesnya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku”
Farianto & Darmanto Law Firm 43
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia;
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Farianto & Darmanto Law Firm 44
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan
• Hakim Ad-Hoc yang telah selesai masa tugasnya selama 5
tahun, dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun. Sehingga
Hakim Ad-Hoc dapat menjabat untuk beberapa periode (lebih
dari 2 periode)
Farianto & Darmanto Law Firm 45 Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XIII/2015
tentang daluwarsa di dalam Pasal 171 UU 13/2003 dan Pasal 82 UU 2/2004
Latar Belakang Kasus:
• Pemohon merasa ketentuan di dalam Pasal 171 UU 13/2003 dan Pasal 82 UU 2/2004 mengenai daluwarsa pengajuan gugatan telah melanggar hak konstitusionalnya.
MENGADILI
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356), sepanjang anak kalimat “Pasal 159” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Farianto & Darmanto Law Firm 46
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
1.2. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indsutrial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4356), sepanjang anak kalimat “Pasal
159” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan
selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Farianto & Darmanto Law Firm 47
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Penerapan
• Jangka waktu daluwarsa 1 tahun untuk mengajukan
gugatan yang diatur di dalam Pasal 171 UU 13/03 dan
Pasal 82 UU 2/2004, tetap berlaku untuk alasan PHK
karena pekerja di tahan dan pengunduran diri (Pasal 160
dan Pasal 162)
Farianto & Darmanto Law Firm 48 Back to Daftar Isi
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang Menolak
Permohonan Uji Materi UU Ketenagakerjaan
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-VIII/2010 terhadap :
a. Pasal 1 angka 22 UU 13/2003 sepanjang frasa “karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945
b. Pasal 88 ayat (3) huruf a UU 13/2003 yang menyatakan ”Kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi: a. upah minimum;...” haruslah
dimaknai “upah minimum sama dengan besaran Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
c. Pasal 90 ayat (2) UU 13/2003 yang menyatakan, “Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan”, memberikan
celah kepada pengusaha untuk tidak patuh terhadap hukum
d. Pasal 160 ayat (3) dan ayat (6) UndangUndang a quo, telah mengabaikan asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocence)
e. Pasal 162 ayat (1) UU 13/2003 yang menyatakan, “Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”, telah
menghapuskan penghargaan dan bakti seorang pekerja/buruh atas pengabdiannya kepada
perusahaan selama bekerja
f. Pasal 171 UU 13/2003 sepanjang frasa “dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal
dilakukan pemutusan hubungan kerjanya”, tidak memberikan perlindungan hukum karena telah
memberikan batasan bagi pekerja/buruh yang mencari keadilan
Farianto & Darmanto Law Firm 49
20
17
© FARDALAW
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-X/2012 terhadap Pasal 163 ayat (1) tentang
Perbedaan Penafsiran Sepanjang Frasa “Dapat” UU Ketenagakerjaan
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XI/2013 terhadap Pasal 160 ayat (3) tentang
PHK dalam hal pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan karena
dalam proses perkara pidana.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XI/2013 terhadap Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal
66 tentang Outsoucing.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-XII/2014 terhadap Pasal 88 ayat (4) dan Pasal
89 ayat (3) tentang Frasa “dengan memperhatikan” mengakibatkan tidak adanya kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-XIV/2016 terhadap Pasal 88 ayat (4) UU 13/2003 tentang frasa “dan dengan memperhatikan” mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi pekerja untuk mendapatkan imbalan dan penghidupan yang layak sebagaimana Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-XIV/2016 terhadap frasa “tanpa diskriminasi” Pasal 6, frasa “demi hukum” Pasal 59 ayat (7), serta frasa “belum ditetapkan” Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 (tidak diterima)
Farianto & Darmanto Law Firm 50 Back to Daftar Isi
SOHO Pancoran South Jakarta Jl. Let. Jend. MT. Haryono Kav. 2-3, North Wing Noble 1102 – Pancoran Jakarta Selatan 12810 Telp (62-21) 80625809 Email [email protected] Website www.fardalaw.com