fakultas ilmu dan teknologi kebumian - meteorologi itb · permukaan karena sistem penggunaan lahan...

8
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi © 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.

Upload: dodung

Post on 12-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Program Studi Meteorologi

© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

PENERBITAN ONLINE AWAL

Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.

Page 2: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial

1

ANALISIS NILAI KOEFISIEN RUNOFF

UNTUK PENGENDALIAN DIRECT RUNOFF

(Studi Kasus DAS Citarum Hulu)

KARIN NADIRA DAUWANI

Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK

Beralih fungsinya hutan dikawasan DAS Citarum Hulu akibat maraknya pembangunan yang terjadi diduga faktor penyebab berubahanya nilai koefisien runoff. Besar dan perubahan nilai koefisien runoff inilah yang akan menjadi pemicu terjadinya banjir. Pada penelitian ini, pengamat mencoba menyajikan hasil model perbandingan nilai Artificial Runoff saat kondisi inisial dengan kondisi saat ini dengan menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Perhitungan NDVI akan menggambarkan nilai koefisien limpasan permukaan. Selanjutnya, digunakan metode rasional untuk melakukan perhitungan debit dengan membagi area kajian menjadi lima sub DAS. Peningkatan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Cikapundung untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 162.06 m3/s dan sub DAS Ciwidey untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar 46.43 m3/s. Penurunan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Ciwidey untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 27.05 m3/s dan sub DAS Cikapundung untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar 125.55 m3/s. Kata kunci: DAS Citarum Hulu, Perubahan Tataguna Lahan, Koefisien Runoff, Artificial Runoff, NDV.:

1. Pendahuluan

Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk mengakibatkan terjadinya perubahan tata guna lahan. Menurut Wibowo, 2004 Luas Hutan di DAS Citarum Hulu untuk tahun 1984 sampai dengan 1996 telah berkurang 21,15%. Sedangkan luas Hutan di DAS Citarum Hulu pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 telah berkurang sebanyak 44%.

Sifat permukaan tanah dapat menjadi pengaruh yang paling penting pada limpasan di beberapa daerah. Bahan permukaan kedap air, pemadatan tanah, penggundulan hutan, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan di permukaan tanah. Oleh karena itu, tutupan atau penggunaan lahan sangat penting dalam menentukan kondisi limpasan permukaan di suatu daerah.

Dalam penelitian ini sangat penting dilakukan pengamatan terhadap nilai Natural Runoff dan Artificial Runoff . Natural Runoff adalah laju limpasan permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial Runoff, dan Artificial Runoff nilai laju limpasan permukaan di suatu wilayah karena sistem tata guna lahan di daerah tersebut sudah mengalami banyak perubahan melalui modifikasi manusia.

Pembahasan masalah dalam studi ini dibatasi pada wilayah DAS Citarum Hulu dengan koordinat 6°43'26.344"S sampai 7°15'9.395"S dan 107°22'24.204"E sampai 107°56'53.38"E. DAS Citarum Hulu mempunyai luas sebesar 181.027 ha yang terdiri dari lima Sub DAS utama yaitu Sub DAS Cikapundung 38.708 ha, Sub DAS Citarik 48.418 ha, Sub DAS Cirasea 34.285 ha, Sub DAS Cisangkuy

35.306 ha dan Sub DAS Ciwidey 23.831 ha. Kajian waktu dalam kajian ini dibatasi pada tahun 1989, 2007, dan 2006 untuk memperlihatkan pola perubahan yang mungkin terjadi.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Perubahan Tata Guna Lahan DAS Citarum Hulu

Meningkatnya perkembangan penduduk dan krisis ekonomi sejak tahun 1997 telah berdampak cukup signifikan terhadap kondisi lingkungan. Tidak terkendalinya konversi lahan dari lahan resapan air menjadi lahan terbangun merupakan awal kerusakan lingkungan yang terjadi di DAS Citarum Hulu, walaupun sejak tahun 1982 Pemda Propinsi Jawa Barat telah mengeluarkan SK Gubernur No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara (BPLHD, 2004).

Berdasarkan hasil analisis (Wangsaatmaja dkk., 2006), terjadi perubahan tata guna lahan sejak 1983, 1993, hingga 2002. Berkurangnya area hutan dan lahan bervegetasi lainnya sebesar 54% dan meningkatnya area terbangun sebesar 223% selama 1983-1002, telah memberikan dampak yang signifikan (nilai korelasi >0,9) terhadap meningkatnya jumlah lahan kritis sebesar 66% dalam periode tersebut. Selain itu, perubahan tata guna lahan juga berpengaruh terhadap menurunnya jumlah lahan yang memiliki kondisi baik dari 14,15% pada 1983, 11,30% pada tahun 1993, menjadi 6,81% pada tahun 2002.

Page 3: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial

2

2.2 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), merupakan suatu metode untuk mendeteksi tingkat kerapatan vegetasi yang menutupi suatu area, melalui analisa data citra satelit penginderaan jauh (Direktorat-Jendral-Penataan-Ruang, 2007). Transformasi NDVI adalah salah satu teknik yang telah digunakan secara luas untuk berbagai aplikasi (Wibowo dkk., 2008). NDVI merupakan indeks vegetasi sederhana namun memiliki sensitifitas yang paling tinggi terhadap perubahan kerapatan tajuk vegetasi dibanding indeks vegetasi lainnya (Wibowo dkk., 2008). Selain keunggulannya dalam membedakan kerapatan vegetasi, nilai NDVI juga berasosiasi dengan persentase permukaan kedap air pada tiap- tiap piksel (Xian, 2003). Tutupan permukaan kedap air dengan persentase rendah akan memiliki nilai NDVI tinggi karena adanya tutupan vegetasi yang dominan, demikian juga sebaliknya.

Dasar NDVI adalah menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun, yang berkisar antara -1 sampai dengan +1 (WWF-Uni-Eropa-ITB, 2007).

2.3 Curah Hujan

Curah hujan dan kondisi tanah adalah penyebab langsung dari limpasan perkotaan. Curah hujan dapat mengambil salah satu dari beberapa rute setelah mencapai permukaan bumi. Air hujan dapat diserap oleh tanah di permukaan tanah, dicegat oleh vegetasi, langsung disita di banyak fitur permukaan yang berbeda dari depresi kecil ke danau besar dan lautan, atau menyusup melalui permukaan dan bawah permukaan tanah ke air tanah. Rute lain yang diambil oleh presipitasi jatuh adalah limpasan. Tanah karakteristik DAS memiliki pengaruh langsung pada proses curah hujan-limpasan dan ini termasuk ketebalan lapisan tanah, permeabilitas, laju infiltrasi, dan tingkat kelembaban dalam tanah sebelum acara hujan. Semakin besar permeabilitas tanah, atau kemampuan untuk menyusup curah hujan untuk strata lebih rendah, kurang tersisa untuk menjadi limpasan (Horner, 1994).

2.4 Limpasan Permukaan (Run Off)

Limpasan permukaan/ runoff sering didefinisikan sebagai bagian dari curah hujan, salju yang meleleh, dan / atau air irigasi yang berjalan di atas permukaan tanah menuju sungai bukan menyusup ke dalam tanah. Namun untuk beberapa tujuan, definisi limpasan juga mencakup air yang membuat jalan yang relatif cepat untuk jalur aliran tersebut tepat di bawah permukaan. Hal ini kadang-kadang disebut interflow atau stormflow bawah permukaan, dan bersama-sama dengan limpasan permukaan meningkatkan volume air biasanya disebut sebagai

runoff. (University Corporation for Atmospheric Research; The-COMET-Program;, 2006).

Artificial runoff, maksudnya adalah kondisi limpasan permukaan di suatu wilayah karena sistem tata guna lahan di daerah tersebut sudah mengalami banyak perubahan melalui modifikasi manusia, misalnya dengan menjadikannya sebagai perumahan, pertokoan, gedung bertingkat, wilayah industri, usaha pertanian, dan lain- lain. (Irawan dkk, 2011).

Artificial Runoff dapat juga disebut sebagai limpasan perkotaan, seperti yang telah diteliti oleh Horner dkk. pada tahun 1994. Limpasan perkotaan menurutnya, didefinisikan sebagai aliran sungai atau jumlah dari limpasan permukaan dan limpasan bawah permukaan. Limpasan permukaan terjadi ketika penyimpanan permukaan dan tanah menjadi jenuh, infiltrasi berhenti dan curah hujan berikutnya menjadi limpasan permukaan. Limpasan bawah permukaan adalah air hujan yang infiltrat permukaan dan mengalir lebih lambat dalam perjalanan ke aliran dari limpasan permukaan (Horner, 1994).

Zero Artificial Runoff, berarti kondisi limpasan permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami. Dengan demikian, jumlah limpasan yang terjadi sangat sedikit. (Irawan dkk., 2011).

2.5 Koefisien Limpasan

Estimasi nilai koefisien limpasan secara sederhana dapat didekati dengan kondisi dan komposisi kerapatan vegetasi dan tutupan permukaan kedap air dalam suatu DAS. Pada tutupan vegetasi yang rapat, aliran permukaan yang dihasilkan lebih sedikit karena peran intersepsi oleh tajuk dan meningkatnya laju infiltrasi akibat tingginya kapasitas penyerapan seresah (Wibowo dkk., 2008).

3. Data dan Metodologi

3.1 Data

3.1.1 Data Landsat 7 dan Landsat 5 TM (Thematic Mapper)

Data ini dipakai karena TM merupakan alat

scanning mekanis yang mempunyai resolusi spektral, spasial dan radiometrik. Data Landsat yang digunakan adalah data Landsat 7dan Landsat 5 path: 121 row: 64 kombinasi band 3 dan 4 Tahun 1989, 2006, dan 2011 yang di unduh dari (http://glovis.usgs.gov/). 3.1.2 Data Satelit TRMM (Tropical Rainfall

Measuring Mission)

Data yang digunakan dalam program IFAS adalah data TRMM curah hujan 3B42RT. Data curah hujan 3B42RT ini mempunyai dua versi, V6 (Oktober 2008 sampai sekarang) dan V5 (Februari 2002 – Februari 2009). 3B42RT memiliki resolusi 0.25° atau kurang

Page 4: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial

3

lebih sama dengan 25 Km dengan interval 3 jam terhitung dari pukul 00.00 sampai 21.00. 3.2 Metodologi

3.2.1 Curah Hujan Wilayah

Pengolahan data curah hujan dalam kajian ini digunakan metode aritmatik karena bentuk luasan data TRMM berupa persegi. Metode ini dipakai untuk daerah-daerah datar dengan pos pengamatan hujan tersebar merata, dan masing-masing pos mempunyai hasil pengamatan yang tidak jauh berbeda dengan hasil rata-ratanya.

Metode ini dapat dilakukan dengan cara membagi rata pengukuran pada semua pos hujan terhadap sejumlah stasiun dalam daerah aliran yang bersangkutan.

Pr = �1 + �2 + �3 +⋯+ ���

dimana: Pr = Tinggi hujan rata-rata. P1, P2, P3, P4, Pn = Tinggi hujan pada tiap stasiun pengamatan. n = Jumlah stasiun pengamatan 3.2.2 Distribusi Kumulatif

Diasumsikan bahwa pola curah hujan yang terjadi 1989 – 2006 tidak memiliki perubahan yang signifikan.

Adapun metode penentuan probabilitas nilai curah hujan ekstrim yang mungkin terjadi dengan metode Fungsi Distribusi Kumulatif (cumulative distribution function /distribution function) didefinisikan sebagai :

�(�) = �(� ≤ �) =�p(ξ)���

dimana X adalah variabel acak yang diasumsikan sebagai nilai curah hujan. 3.2.3 Ekstraksi Nilai NDVI (Normalized

Difference Vegetation Index)

Secara umum, untuk memperoleh nilai NDVI dari citra satelit, persamaan yang digunakan adalah (Suprakto, 2005):

���� = ������� − �!���"��!����� + �!���"�

Harus diperhatikan bahwa nilai NDVI pada perhitungan di atas berkisar antara -1 sampai dengan +1.

3.2.4 Transformasi Nilai NDVI Menjadi Koefisien Limpasan

Di dalam transformasi nilai NDVI menjadi

koefisien limpasan, ada tiga pendekatan yang akan digunakan.

1) Pendekatan Persentase Tutupan Permukaan Kedap Air (TPKA). Metode pendekatan ini digunakan apabila nilai NDVI yang dihasilkan persamaan menghasilkan nilai < -0,0607.

#$%& =−'(. *'+, − **'. '+ + -'. .//

Dengan: TPKA : Nilai persentase Tutupan Permukaan Kedap Air (TPKA) x : Nilai NDVI

Nilai TPKA di atas akan digunakan untuk melakukan estimasi koefisien dengan persamaan matematis:

C = 0.05 +0.91TPKA

Dengan: C = Koeffisien Aliran

2) Pendekatan Persentase Kerapatan Vegetasi (LPT). Metode pendekatan ini digunakan apabila nilai NDVI yang dihasilkan menghasilkan nilai > 0,4202.

LPT = 127.9x – 2.479

Dengan: LPT : Nilai persentase Kerapatan Vegetasi (LPT) x : Nilai NDVI Persamaan matematis untuk melakukan estimasi koefisien aliran berdasarkan pendekatan di atas, adalah:

C = -LPT +1

3) Sedangkan untuk nilai NDVI antara -0,0607 sampai 0,4202, akan mendapatkan nilai koefisien limpasan (C) sebesar 0,5

3.2.5 Metode Rasional

Waktu konsentrasi tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di tiap outlet. Laju masukan pada system (IA) adalah hasil dari curah hujan dengan intensitas I pada DAS denagn luas A. Hal diatas diekspresikan dalam formula Rasional sebagai berikut:

Q = C I A

Keterangan : Q: debit puncak (m3/dtk) C: koefisien runoff, tergantung pada karakteristik DAS (tak berdimensi) I: intensitas curah hujan (mm/s) A: luas DAS (m2)

4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Curah Hujan

Berdasarkan pola curah hujan tahunan, dapat diasumsikan bahwa tidak adanya perubahan pola curah hujan yang sangat signifikan sepanjang tahun

Page 5: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial

4

pengamatan. Nilai curah hujan sepanjang tahun pengamatan kemudian diolah dengan menggunakan metode distribusi kumulatif.

Dari kelima Sub DAS yang memiliki probabilitas Intensitas hujan terbesar adalah Sub DAS Cikapundung dengan nilai 9.2763 mm untuk Intensitas 95%, 6.0219 mm untuk Intensitas 90%, dan 4.2251 mm untuk Intensitas 85%.

Tabel 4.1 Tabel Nilai CDF Sub DAS Citarum

Hulu Sepanjang Tahun Pengamatan

Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pola musiman, probabilitas intensitas hujan tertinggi dimiliki Sub DAS Cikapundung pada bulan basah (DJF) dan Sub DAS Citarik pada bulan kering (JJA). Probabilitas intensitas hujan terendah dimiliki Sub DAS Cirasea baik pada bulan basah (DJF) maupun bulan kering (JJA).

Tabel 4.2 Tabel Nilai CDF Sub DAS Citarum

Hulu Berdasarkan Pola Musiman

Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pola musiman, probabilitas intensitas hujan tertinggi dimiliki Sub DAS Cikapundung pada bulan basah (DJF) dan Sub DAS Citarik pada bulan kering (JJA). Probabilitas intensitas hujan terendah dimiliki Sub DAS Cirasea baik pada bulan basah (DJF) maupun bulan kering (JJA). 4.2 Koefisien Runoff

Perubahan nilai koefisien runoff pada tahun 1997 sampai 1996 mengalami penurunan untuk sub DAS Cikapundung dari 0.4298 menjadi 0.3045 dan sub DAS Citarik dari 0.4054 menjadi 0.3261. Peningkatan terjadi untuk sub DAS Ciwidey sebesar 0.2157, sub DAS Cisangkuy sebesar 0.103, dan sub DAS Cirasea sebesar 0.0682.

Tabel 4.3 Tabel nilai koefisien runoff di masing–

masing Sub DAS

Perubahan nilai koefisien runoff pada tahun 1997 sampai 1996 mengalami penurunan untuk sub DAS Cikapundung dari 0.4298 menjadi 0.3045 dan sub DAS Citarik dari 0.4054 menjadi 0.3261. Peningkatan terjadi untuk sub DAS Ciwidey sebesar 0.2157, sub DAS Cisangkuy sebesar 0.103, dan sub DAS Cirasea sebesar 0.0682. 4.3 Perhitungan Debit Pada perhitungan debit ini, nilai curah hujan yang dugunakan adalah nilai probabilitas curah hujan TRMM sepanjang tahun pengamatan (1998 – 2010) untuk setiap sub DAS. Tabel 4.4 Tabel perhitungan debit sepanjang tahun

pengamatan

Peningkatan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Cikapundung untuk tahun 1989 sampai 1997 dan sub DAS Ciwidey untuk tahun 1997 sampai 2006. Penurunan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Ciwidey untuk tahun 1989 sampai 1997 dan sub DAS Cikapundung untuk tahun 1997 sampai 2006.

Nama Sub DAS Luas Sub DAS (km2) Curah Hujan TRMM (mm)

Ciwidey 240.15

I95 9.6799

I90 5.195

I85 3.4124

Cikapundung 388.79

I95 27.829

I90 18.0658

I85 12.6754

Citarik 495.11

I95 14.6248

I90 9.7771

I85 7.1238

Cisangkuy 355.42

I95 8.2678

I90 4.8758

I85 3.0693

Cirasea 343.53

I95 6.3289

I90 3.3944

I85 2.1721

1989 1997 2006

0.4207

0.1030

Cirasea

Koefisien RunOff Rata-Rata Delta Koefisien Runoff

89-97

Delta Koefisien Runoff

97-06

0.4308 0.3051 0.5208 -0.1257 0.2157

0.2680 0.4298 0.3045 0.1618 -0.1253

0.3167 0.4054

Nama Sub DAS

Ciwidey

Cikapundung

Citarik

Cisangkuy

0.3155 0.3525 0.0370 0.0682

0.3261 0.0887 -0.0793

0.3569 0.3652 0.4682 0.0083

-27.05 46.43

-14.52 24.92

-9.54 16.37

162.06 -125.55

105.20 -81.51

73.81 -57.19

59.48 -53.19

39.76 -35.56

28.97 -25.91

2.25 28.02

1.33 16.52

0.84 10.40

7.46 13.73

4.00 7.37

2.56 4.71

Cirasea

Δ debit (m3/s) 89 -

97

Δdebit (m3/s) 97 -

06Nama Sub DAS

Ciwidey

Cikapundung

Citarik

Cisangkuy

Page 6: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial

5

Tabel 4.5 Tabel Perubahan Nilai Debit pada Pola Musiman

Perubahan debit maksimum untuk tahun 1989 sampai 1997 terjadi di sub DAS Cikapundung, sedangkan perubahan debit minimum terjadi pada sub DAS Ciwidey. Untuk tahun 1997 – 2006 perubahan debit maksimum terjadi di sub DAS Ciwidey, sedangkan perubahan minimum terjadi di sub DAS Citarik. 4.4 Parameter yang Mempengaruhi Nilai

Perubahan Nilai Debit

Perubahan Nilai debit berbanding lurus dengan perubahan nilai koefisien runoff. Perubahan maksimum nilai koefisien runoff untuk tahun 1989 sampai 1997 terjadi pada sub DAS Cisangkuy dan perubahan minimum terjadi di sub DAS Ciwidey. Namum secara kumulatif perubahan minimum terjadi di sub DAS Citarik. Perubahan nilai koefisien runoff dari tahun 1997 sampai 2006. Perubahan nilai maksimum terjadi pada sub DAS Ciwidey, sedangkan perubahan nilai minimumnya terjadi pada sub DAS Cisangkuy. Namun secara kumulatif perubahan minimum terjadi pada sub DAS Cikapundung. Tabel 4.6 Faktor yang mempengaruhi nilai perubahan

debit untuk sepanjang tahun pengamatan

Tabel 4.3 Faktor yang mempengaruhi nilai perubahan

debit untuk pola musiman

Secara umum dapat dilihat bahwa perubahan

debit baik pada bulan basah maupun bulan kering memiliki pola identik ditiap rentang waktu pengamatan. Pola perubahan debit untuk DJF dan JJA

dari tahun 1989 sampai 1997 berbanding lurus dengan pola perubahan koefisien runoff direntang tahun pengamatan yang sama. Namun perubahan nilai debit dari tahun 1997 sampai 2006 tidak lagi identik dengan perubahan nilai koefisien runoff. Perubahan pola debit pada rentang tahun 1997 samapai 2006 dimungkinkan karena pengaruh perubahan tutupan lahan yang dapat dilihat pada sub bab 4.4. Penurunan jumlah lahan dengan vegetasi sedang sampai rimbun yang terjadi antara tahun 1989 sampai 1997 memungkinkan terjadinya peningkatan nilai debit. Sebaliknya, peningkatan jumlah vegetasi terjadi diselang waktu berikutnya diindikasikan sebagai penyebab perubahan pola debit. 5. Kesimpulan

•••• Nilai perubahan koefisien runoff dari tahun1989 sampai 1997 menunjukkan penurunan sebesar 0.0662 dan dari tahun 1997 sampai 2006 menunjukkan peningkatan sebesar 0.0294.

•••• Peningkatan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Cikapundung untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 162.06 m3/s dan sub DAS Ciwidey untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar 46.43 m3/s. Penurunan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Ciwidey untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 27.05 m3/s dan sub DAS Cikapundung untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar -125.55 m3/s.

•••• Hal tersebut menunjukkan nilai koefisien runoff merupakan faktor utama dalam peningkatan debit banjir.

•••• Faktor perubahan nilai debit tidak hanya ditentukan oleh perubahan nilai koefisien runoff. Kondisi tutupan lahan juga diindikasikan besar pengaruhnya terhadap pola perubahan nilai debit

REFERENSI

BPLHD. (2004). West Java Annual State of The Environment Report. Bandung: Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat,. Direktorat-Jendral-Penataan-Ruang. (2007, September). Berita Penataan Ruang. Retrieved November 13, 2011, from http://www.penataanruang.net/taru/upload/berita_cetak/Edisi-2007/BeritaPR-9.pdf Horner, R. R. (1994). Fundamentals of Urban Runoff Management: Technical and Institutional Issues. Prepared by the Terrene Institute, Washington, DC, in cooperation with the U.S. Environmental Protection Agency.

DJF JJA DJF JJA

117.80 8.74 -91.27 -6.77

153.81 21.45 -119.16 232.51

204.22 469.00 -158.22 -158.22

4.49 0.02 8.28 0.03

6.62 0.92 12.20 66.50

10.30 70.54 18.98 18.98

1.43 0.27 17.76 3.40

2.07 0.44 25.78 97.71

3.14 104.19 39.07 39.07

44.82 1.95 -40.08 -1.75

56.50 7.66 -50.53 172.63

77.65 286.05 -69.44 -69.44

-15.31 -3.70 26.28 6.35

-21.71 -5.43 37.26 76.79

-37.93 58.32 65.10 65.10

Citarik

Ciwidey

ΔQ (m3/s) 89-97 ΔQ (m3/s) 97-06Nama Sub DAS

Cikapundung

Cirasea

Cisangkuy

Page 7: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial

6

Irawan, E., Hukama, I. R., & Dauwani, K. N. (2011). ZERO ARTIFICIAL RUNOFF KOTA BANDUNG DENGAN PENGOLAHAN CITRA SATELIT. Octarina, D. T. (2011). Pengaruh Monsun Aktif dan Break terhadap Karakteristik Vertikal Awan konvektif Berdasarkan Analisis Data Cloudsat. Tugas Akhir S1, Institut Teknologi Bandung, Program Studi Meteorologi, FITB. University Corporation for Atmospheric Research; The-COMET-Program;. (2006). Runoff Processes. Retrieved November 25, 2011, from The COMET Program: (https://www.meted.ucar.edu/training_module.php?id=207) Wangsaatmaja, & dkk. (2006). Permasalahan dan Strategi Pembangunan Lingkungan BerkelanjutanStudi Kasus: Cekungan Bandung. Jurnal Geologi Indonesia, Vol.3. Wibowo, Hendro, & Danuarti, D. (2008). Estimasi Nilai Koefisien Aliran Das Citarum Hulu Menggunakan Transformasi NDVI Citra Landsat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008. WWF-Uni-Eropa-ITB. (2007). Dampak Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan DAS Citarum. Jakarta. Xian, G. d. (2003). Journal: Evaluation of Urbanization Influences on Urban Climate with Remote Sensing and Climate Observation.

Page 8: Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - Meteorologi ITB · permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial

7

Gambar 1 Peta pola koefisien runoff DAS Citarum

Hulu

Gambar 2 Peta Koefisien Runoff Sub DAS Citarum

Hulu