zero marketing
DESCRIPTION
Kalau Anda mau punya omset luar biasa di Internet dalam waktu singkat tanpa harus keluar budget iklan terlalu banyak, maka ini caranya. KHUSUS Untuk Anda yang ingin cepat berhasil dan takut kalah bersaing di dunia online dengan metode yang terbukti efektif.TRANSCRIPT
Kalau saya menyebutkan kata iPhone, apa yang terlintas di pikiran Anda?
Smartphone mahal? Desain mewah? Eksklusif? Atau yang lain?
Kalau Anda begitu mudahnya mendeskripsikan iPhone di luar kepala, berarti Apple
sukses menerapkan strategi zero marketing di benak Anda. Walaupun Anda belum
pernah membelinya.
Kok bisa?
Untuk menjelaskannya secara rinci, ijinkan saya bercerita mengenai cara Apple
memasarkan produknya.
Cerita ini agak sedikit panjang. Jadi pastikan Anda membaca ebook ini dalam kondisi
santai dan suasana tenang. Supaya Anda bisa menikmati ceritanya hingga selesai. OK?
Kita mulai ...
Masih ingat dulu ada "flagships battle" antara Samsung Galaxy Note 8 dan iPhone X?
Dua-duanya adalah varian terbaik yang diusung oleh dua brand besar yang memang
sedang berperang merebut hati pasar penggila smartphone di pasar premium.
Samsung Galaxy Note 8 muncul ke pasar duluan di tanggal 15 September 2017 dan
iPhone X baru akan ready di pasar tanggal 3 November-nya.
Saya tidak akan mengulas keunggulan dan kelebihan dan fitur masing-masing. Tinggal
Googling aja. Nanti akan muncul 28 juta hasil pencarian. Artinya sudah terlalu banyak
orang yang mengolesnya.
Eh, maksudnya mengulas. Saya ngetiknya sambil ngantuk. 😂
Keren ya ... Ada 2 brand launching product dua-duanya langsung dapat Word of Mouth
yang luar biasa. Bisa dibayangkan enaknya punya merek yang seheboh itu. Pas mau
launching banyak yang nungguin, begitu udah launching langsung banyak yang mem-
viralkan.
Saya ulas aja secuil aja strategi Si Apel Kroak ini sudah membuktikan bahwa dari
kacamata marketing, Apple sebenarnya ada satu kelas diatas si rival.
Kalo ada lihat di jejaring YouTube maka Anda akan temui Event Launching Samsung
Galaxy Note 8 tgl 23 Agustus 2017 itu sudah di tonton oleh 16 juta orang. Apple
'terlambat' hampir sebulan meluncurkan produknya yang dilabel iPhone X (baca 'ten')
untuk merayakan 10 tahun sejak peluncuran iPhone pertama kali.
Ini sisi uniknya. Samsung dengan fitur super lengkap dan WOW ala multitaskernya agar
usernya lebih produktif dan kreatif muncul duluan dengan harga US$ 929.
Secara logika jika Anda pebisnis dan Anda punya kesempatan mengintip harga
kompetitor, Anda sebenarnya punya keuntungan menjual harga lebih murah dari
kompetitor Anda.
Dengan kondisi seperti itu, coba Anda tebak apa yang dilakukan oleh Apple?
Dengan fitur produktivitas yang tidak seheboh Note 8, iPhone X malah menonjolkan
kekuatan emosional 'Animoji' untuk membandrol produknya jauh lebih mahal dari Note
8.
Untuk yang varian 64GB, Apple membandrol iPhone X $70 lebih mahal dibanding si
kompetitor, atau seharga US$999. Malahan yang varian 256GB dijual US$1149.
Inilah letak kepedean Apple dengan Brand iPhone-nya yang luar biasa.
Secara spesifikasi hardware mestinya Note 8 lebih pantas dijual dengan harga lebih
tinggi dari iPhone X. Namun kekuatan Brand, ikatan emosional yang sangat kuat antara
Apple dengan fanboy-nya sudah memposisikan Apple harus lebih eksklusif daripada
rivalnya.
Mungkin Apple pengen ngomong ke tetangga ...
Kegilaan Apple belum cukup sampai disitu.
Di awal September 2020, Apple bikin geger lagi dengan merilis the next iPhone tanpa
dibekali kabel charger.
Apakah ini akan menjadi masalah besar buat fanboy alias penggemar setianya?
Sepertinya tidak. Bukan Apple namanya kalau nggak bikin gebrakan yang beda. Justru
itu yang memicu banyak orang menceritakannya dan menjadi buah bibir karena
kelakuan ganjilnya.
Alasan "rasional" nya sih standar banget menjualnya chargernya terpisah.
Naikin margin penjualan, menghemat biaya pengiriman, transisi menuju no-port
iPhone di masa mendatang serta menyiapkan environment-nya.
Kekuatan Apple itu "personalisasi".
Eh, kalo elu pengen punya hape yang bisa
buat kerja keras, peras keringat banting
tulang, comot aja tuh hape canggih. Tapi
kalo elu pengen menikmati hidup dan lebih
berkelas dan mewah, elu bisa pake gua.
Ha ha ha ...
Salah satu valuenya adalah pride atau kebanggaan karena perbedaan. Siapapun yang
pakai productnya Apple harus merasakan value pride ini. Berani beda dan bangga.
Salah satu value emosional yang dieksploitasi Apple ya ini. Memotivasi usernya untuk
bangga ketika mengenakan product Apple.
"Kebanggaan ini harus bisa dilihat dan dikenali di tempat umum."
Kalimat barusan diambil dari iklannya iPod.
Ketika brand lain seperti SONY untuk warna headset dan kabel cenderung hitam untuk
menjadi "tawadhu" dan tidak dikenali, serta lebih natural ...
Apple melawan arah. Kabel iPod itu harus gampang dikenali.
Ketika usernya bangga pakai iPod, maka ia akan mempertontonkan device itu kemana-
mana. Pasti!
Dan sifat "suka pamer" itu secara natural sudah ada di diri kita masing-masing kok.
Sudah bawaan orok. Yang beda hanya level-nya saja. Ada yang pamernya elegan, ada
juga yang pamernya "norak".
Dan tradisi ini yang ingin dipertahankan Apple. Termasuk design Airpods atau Airpods
Pro yang dibuat beda. Makin mencolok mata dan berbeda dengan kompetitor.
Sudah 19 tahun sejak rilis iPods, ciri khas "pamer" dengan desain yang mencolok itu
tetap menjadi ciri Airpods Pro.
Ada kebanggaan ketika mereka terlihat menyematkan earbuds mahal ini ditelinga
mereka. Bangga menggunakannya sebagai aksesoris.
Meskipun gak ada telpon masuk, gak lagi dengerin musik, Airpods ini tetep nangkring
di kuping fanboy-nya Apple.
Dan Apple akan terus mencari apa yang bisa dimaksimalkan untuk meleverage value
"different and proud" ini.
Berani beda dan bangga.
Pengguna Apple pasti bangga kalau charger sultan-nya "pongah" diantara charger-
charger Brand yang lain, pas nge-charge bareng di tempat umum
Dan Apple nemu alasan lain mencari bagian mana lagi yang bisa dimainkan. Kejeniusan
Apple malah terlihat disini.
Sudah cukupkah kegilaan Apple? Belum.
Awal November 2020 kita digegerkan lagi dengan munculnya iPhone 12 dan iPhone 12
Pro. Perasaan baru kemarin kakaknya (iPhone 11) dirilis. Tahu tahu udah nongol aja
adeknya.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Sebagaimana yang kita tahu, harga perdana iPhone dari masa ke masa sudah seperti
harga BBM. Pasti Naik!
Sumber: Klik N Klik
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Jika ada yang bilang iPhone itu mahal, alasannya satu. Dia bukan buyer persona-nya
Apple
Bukan berarti dia gak punya duit, masalahnya dia berpikir terlalu rasional aja.
Apple tidak menyasar orang yang rasional, tapi mereka menyasar orang yang
emosional. Yang dasar membeli bukan karena hitung-hitungan, tapi karena sisi
emosinya. Mereka sudah termakan "kekuatan story" brand-nya.
Kalo dikerucutkan, orang yang cinta mati sama brand Apple itu ada dua.
Pertama, Gadget Freak. Orang yang suka Apple karena keindahannya, performanya,
sudah terjebak dalam ekosistemnya. Suka aja ke Brand Apple. Kalau gak Apple kaya
ada yang ilang gitu.
Orang-orang seperti ini biasanya memang berduit sih. Tapi gak suka koar-koar. Kurang
bagus kalau diandalkan buat nyebarin story Brand.
Kedua, Millenial Ngehek. Bukan bener-bener kaya, tapi ingin tampak kaya aja. Yang
suka pamer-pamerin gadgetnya. Demi gengsi.
Orang-orang tipe ini sebenarnya duit atau penghasilannya pas-pasan. Buat keperluan
bulanan aja masih press banget untuk menopang gaya hidup hedonisnya dia. Rela nyicil
setahun demi dapet hape ini.
Kenapa gak dua tahun?
Kalo nyicilnya dua tahun nanti kesundul sama "adiknya" si iPhone 12 ini, iPhone 13.
Tipe persona millenial ngehek ini jagoan banget kalo bikin cerita dan nyebarin cerita.
Dan ini menguntungkan banget buat Apple.
Makanya dia gak bisa lama-lama nyicilnya.
Harus beli yang lebih baru nantinya.
Apa pelajarannya disini?
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
PERTAMA. Jika Anda punya sebuah produk atau Brand premium, jangan hanya
menyasar ke orang yang mampu beli saja. Tapi pikirkan juga bagaimana membuat
Brand Anda diceritakan karena mahalnya, dan menjadi incaran banyak orang ketika
mereka punya duit.
Bahkan mereka rela nabung demi dapetin brand Anda, demi makan dirumah makan
mewah Anda. Meskipunnya makannya harus sebulan sekali atau setahun sekali.
Itulah gunanya list building.
Anda ajak customer Anda ngumpul di satu tempat (ngajak lho ya … bukan maksa),
entah itu di grup WA, grup Telegram, grup FB, Tribelio, dsb.
Nah, disitulah Anda "kasih makan" mereka dengan konten-konten bermanfaat.
Layaknya Anda kasih makan ke hewan ternak Anda.
Makanannya? Bisa berupa tutorial, tips & trik, QnA (tanya jawab), quotes, diskusi, dll.
Gak usah hitung-hitungan. Berikan semua konten terbaik yang Anda punya.
Barulah saat ikan-ikan ini (baca: pembeli) tumbuh besar, Anda bisa panen. Panennya
pun jangan semuanya. Sisakan sedikit untuk Anda bibit kembali.
Kalau diterjemahkan dalam digital marketing, berikan sesuatu yang melebihi
ekspektasi customer.
Contoh: Saat Anda promosi, Anda hanya bilang "Beli A, dapet A + B". Tapi setelah
customer membeli produk Anda, Anda berikan A + B + C.
Kalau customer mendapatkan sesuatu melebihi harga yang harus dibayar, apa iya
mereka tidak cerita ke temen-temennya?
KEDUA. Semua strategi yang dilakukan Apple ini jelas mengingatkan kita pada strategi
marketing klasik kelas premium yang dipelopori oleh Thorstein Veblen, ekonom asal
Norwegia yang sangat populer pada masanya dengan bukunya “Theory of the Leisure
Class” (1899).
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Teori didalam buku ini yang menginspirasi munculnya produk-produk super premium
seperti Gucci, Lamborghini maupun jam tangan Swiss Army.
Veblen menjabarkan bahwa sekelompok konsumen menghendaki sebuah barang
bahkan ketika barang itu dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Konsumen semakin membutuhkan barang-barang tersebut sebagai pendongkrak status
sosial dan pengakuan kemapanan dan kekayaannya.
Konon katanya si Veblen, kalo ada orang kaya beli barang harga selangit itu bakalan
cepat tersiar dan menjadi 'viral' pada jamannya.
Teori yang juga dikenal sebagai "Veblen Good" ini memang melawan hukum teori
ekonomi pada umumnya. Karena mestinya jika kita mengharapkan revenue lebih besar
dan ingin memenangkan pasar, maka silahkan Anda jual barang dengan harga yang
lebih murah dari kompetitor.
Namun yang perlu diingat adalah hukum ini berlaku untuk barang-barang komoditas.
Jangan coba-coba menggunakan teori Veblen ketika bisnis Anda bermain di level
komoditas, karena dijamin Anda akan mati gaya dibantai pemain-pemain bermodal
besar.
KETIGA. Pastikan juga Brand Anda sudah memiliki ikatan emosional yang sangat kuat
dengan pelanggan dengan kualitas dan kepremiuman Brand Anda yang sudah diakui
pasar.
Apple adalah salah satu dari segelintir Brand-Brand mewah yang mampu membuktikan
keabsahan teori yang sudah berusia lebih dari 1 abad ini.
Jika kita punya produk yang outstanding, luar biasa bagusnya, dan demand market kuat
banget, dan market paham kalo ada barang sebagus itu, barang itu akan terjual dengan
sendirinya
Karena produknya bagus banget, tanpa perlu bayar iklan sepeser pun dia gak pernah
punya barang ngendon di gudang.
Bolehkah kita menjual barang yang biasa-biasa saja, atau kualitas sekenanya? Bisa
dipastikan kita akan kerepotan sendiri untuk marketingnya.
Jika kita memiliki barang dengan kualitas bagus, maka "marketing" kita dibantu oleh
pelanggan.
Mereka yang terpuaskan oleh value dari produk kita, bagusnya layanan kita, tanpa
sungkan akan merekomendasikan produk kita kepada keluarga, teman atau relasi
mereka.
Akan lebih bagus lagi kalau Anda berikan insentif untuk mereka yang mempromosikan
produk Anda. Bisa berupa komisi, voucher, diskon, dan sebagainya.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
"Kita kan jago copywriting, kita jago ngiklan, tinggal gedein budget promosi saja.
Selesai semua urusan. Tidak masalah kan?"
Nah, disinilah moment "AHA" nya.
Borosnya budget marketing kita sebenarnya lebih banyak terbuang untuk PAID
Advertising. Sesuatu yang lebih banyak "dibenci" dan diacuhkan customers.
Wajar. Siapa sih yang suka diiklanin?
Nonton YouTube aja ada iklannya cepet-cepet di skip.
Enak-enaknya baca berita, ada iklan pop-up yang muncul, cepet-cepet di close.
Ada SMS dan WA broadcast-an dari pengiklan yang gak dikenal, langsung kita delete,
menuh-menuhin inbox.
Kalo kita habisin duit buat iklan, tapi iklan nya disukai, pesennya nyampe, customer
suka sampai akhirnya beli sih gpp
Yang jadi masalah adalah … Kita merasa santai-santai aja menghambur-hamburkan
uang untuk iklan, dan merasa "nyaman" karena "ada yang closing".
Meskipun persentasenya sangat kecil.
Perhatikan gambar dibawah ini.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Itu adalah grafik yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat pada profesi-
profesi yang ada.
Tingkat kepercayaan masyarakat pada orang-orang Salesperson dan Marketer itu
rendah banget.
Cuma 3%. Angka yang mengenaskan.
Bandingkan dengan kepercayaan masyarakat dengan profesi seperti dokter, pemadam
kebakaran, atau guru.
Terlalu jomplang bedanya.
Orang sales dan marketing cuma "sedikit" lebih baik jika dibandingkan dengan politikus,
yang tingkat kepercayaannya cuma 1%.
Memang jaman sekarang siapa yang percaya dengan politikus, sama sekali gak bisa
dipegang omongannya. #uppsss
Kembali ke LAP … TOP! 💻
Dengan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap orang sales dan marketing, itu
artinya kita harus berpikir sangat keras. Melebihi obat keras dan minuman keras
sekalipun. 😬
Apa yang harus kita lakukan, jika konten-konten promosi yang kita buat sudah tidak
lagi dipercaya sama audiens yang menjadi target market kita?
Jika customers sudah mulai alergi dengan iklan, terus apa yang bisa kita lakukan?
Ya kita harus cari tahu, siapa yang dipercaya customers dan mampu memberikan
pengaruh kepada mereka untuk mengambil keputusan pembelian.
Survey dari Nielsen konsisten
memberikan hasil yang sama.
Usut punya usut, customers itu lebih
percaya referensi dan rekomendasi dari
customers lain, dibanding konten-
konten promo yang dibikin oleh orang-
orang sales dan marketing.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
So ... disini kita dapat petunjuk.
Strategi marketing dan promosi terbaik bukanlah strategi yang mengandalkan
copywriting paling ciamik, covert selling atau sale-sale promo yang bombastis.
Tetapi strategi marketing terbaik adalah strategi yang melibatkan customers sebagai
bagian dari mesin promosi kita.
Jadi ada fenomena menarik dalam dunia sales dan marketing.
Dulu customers hanya dijadikan sebagai tujuan akhir sebuah strategi marketing dan
sales. Customers sebagai output dari FUNNELS, tujuan akhirnya adalah CLOSING SALES.
Ada pergeseran dari FUNNELS menjadi model FLYWHEELS dimana customers dirangkul
menjadi bagian dari mesin promosi kita.
Dalam konsep baru ini, sebuah strategi marketing harus mampu melibatkan customers
untuk ikut mempromosikan, mereferensikan produk kita.
Word of Mouth nya yang kita cari.
Jika di model lama, dimana kita mengandalkan kekuatan iklan atau paid advertising,
budget lebih banyak dihabiskan untuk membuat konten kita menyebar lebih luas.
Sedangkan di model baru, "Flywheels" budget kita habiskan lebih banyak untuk
memperbaiki kualitas konten agar customers mau membantu kita menyebarkan konten
tersebut.
Budget benar-benar harus kita maksimalkan untuk memoles konten. Membuat semua
orang tertarik dan merasakan valuenya, dan ikut meneruskan konten tersebut ke
relasinya.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Baru setelah mereka tertarik dan ingin membeli produk Anda, berikan pelayanan
terbaik yang Anda punya. Harus pelayanan yang tulus, bukan karena modus. Karena
setiap gerak-gerik kita akan dicatat dan dinilai oleh konsumen. Sekecil apapun.
Tujuan kita memberikan pelayanan maksimal bukan untuk memastikan agar pelanggan
cepat closing, tapi memastikan pelanggan puas dengan kita. Walaupun mereka tidak
jadi beli produk kita.
Jangan sedih dulu kalau mereka tidak jadi beli. Karena apabila kepuasan pelanggan
dapat diraih, percaya atau tidak, inilah yang akan terjadi.
Pertama, CREDIBILITY ENHANCEMENT. Bisnis Anda makin dipercaya oleh pelanggan.
Inilah nyawa bisnis yang sesungguhnya. Ini pula yang dijaga mati-matian oleh Apple.
Kedua, CONTINUOUS PURCHASE. Pelanggan akan membeli produk Anda terus-terusan.
Tanpa kepuasan pelanggan, jangan harap mereka akan datang lagi ke tempat Anda.
Ketiga, CROSS PURCHASE. Pelanggan akan membeli produk Anda yang lain. Kalau
pelanggan sudah sreg dengan produk Anda, bukan mustahil mereka akan membeli
produk Anda yang lain. Indofood adalah salah satu buktinya.
Keempat, COST INSENSIVITY. Kalau produk Anda bagus, dan pelanggan puas dengan
produk Anda, mereka tidak peduli lagi dengan harga produk Anda. Mau Anda pasang
harga premium pun, mereka rela membayarnya.
Kelima, CONSTRUCTIVE BUZZ. Apabila kepuasan pelanggan dapat diraih, entah mereka
jadi beli produk kita atau tidak, mereka akan tetap menceritakan bisnis Anda ke
teman-temannya. Tanpa Anda minta sekalipun.
Keenam, CUTTING EFFORT. Jika bisnis Anda dikelilingi pelanggan yang puas, maka
program marketing Anda akan jauh leih efektif. Jadi Anda tidak perlu capek-capek
memasarkan produk Anda. Biar pelanggan Anda yang melakukannya.
Ketujuh, COMPETITOR RESISTANCE. Kalau pelanggan sudah terlanjur cinta dengan
produk Anda, mereka enggan disuruh berpindah ke lain hati. #EAA
Kedelapan, CRISIS TOLERANCE. Pelanggan yang puas akan tetap setia terhadap bisnis
perusahaan saat terkena musibah. Mau bukti? Lihat saja BCA. Saat ditempa krisis 1998,
mereka sempat “ambruk”. Tapi setelah berbenah, BCA kembali normal.
Kesembilan, CHANNEL SUPPORT. Banyaknya pelanggan yang puas akan menjadi
portofolio bisnis Anda yang powerful di depan distributor dan supplier. Dampaknya?
Mereka dengan antusias akan menyediakan produk untuk pelanggan Anda.
Kespuluh, COMMITED STAKEHOLDER. Jika bisnis Anda dikelilingi pelanggan yang puas,
seluruh pihak yang terkait (stakeholder) akan komitmen terhadap bisnis Anda.
Termasuk karyawan, investor, supplier, konsultan, pemerintah, sampai orang awam.
Sudah ada gambaran dimana poin penghematannya?
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Saya kasih contoh studi kasusnya. Bagaimana dua konsep iklan berbeda memiliki
dampak yang sama sekali berbeda.
Coba perhatikan konten iklan Head & Shoulders diatas.
Iklan yang bawah itu adalah iklan Pertama (versi sempurna). Cuma 9.7 juta views.
Sedangkan iklan versi cacat (bloopers) nya 18 juta views. Hampir dua kali lipatnya.
Setelah tulisan ini dibuat, mungkin angkanya sudah berubah.
Kenapa bisa drastis sekali perbedaannya?
Pertanyaan saya sederhana ...
Jika kita melihat dua tipe iklan tadi, mana yang menggerakkan kita untuk share dengan
suka rela?
Dijamin, gak mungkin kita nge-share iklan jika iklannya normal, gak ada yang spesial.
Karena kita jelas-jelas DIJUALI.
Beda dengan konsep behind the scene yang lucu, kocak, menampilkan sisi Joe Taslim
yang lain. Yang jauh dari kesempurnaan. Dengan senang hati, kita akan ikutan meng-
share iklan tersebut. Karena kita mendapatkan "value" dari iklan tersebut. Lucu.
Terhibur.
Hanya dengan konsep yang sedikit berbeda, hasilnya sudah jauh berbeda. Eksperimen
H&S terbilang sukses.
Itu hanya salah satu contoh "meminjam" tangan netizen untuk ikut menyebarkan materi
promosi kita.
Ada banyak cara mengoptimalkan materi promosi kita.
Kata kuncinya adalah kreativitas kita bagaimana kita mampu membuat orang "suka"
dengan iklan kita.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Karena mereka suka, entah itu karena mendapat informasi baru, terhibur, atau
merasakan hal-hal positif lain dari iklan kita, maka mereka gak sungkan untuk ikut
menyebarkannya.
Bukan berarti kita tidak boleh menawarkan produk atau berjualan. Tapi kita berjualan
disaat yang tepat.
Kita harus bisa membaca customers ini sudah sampai pada tahapan Buyers Journey
apa.
Awareness? Consideration? atau Decision?
Awareness itu masih masa perkenalan, dimana target audiens baru pertama kali kenal
kita.
Pada step ini gak mungkin kita berjualan.
Consideration itu tahapan dimana target audiens mulai tertarik dengan produk kita dan
mulai mencari tahu lebih banyak.
Sedangkan tahap terakhir adalah Decision.
Ini tahap dimana target audiens mulai membanding-banding kan produk yang ada di
pasar dan bersiap-siap mengambil keputusan pembelian.
Di tahap Decision inilah kita bisa bebas melancarkan jurus-jurus jualan kita.
Ciri-ciri sampai tahap decision ini kalau di online bisa kita lacak, konten apa saja yang
sudah dibuka target audiens kita.
Misal saya mau jual obat jerawat.
Maka saya akan siapkan minimal 3 konten yang akan menggiring orang yang sama sekali
gak kenal dengan produk saya sampai akhirnya bersiap melakukan pembelian.
Konten pertama adalah konten tipe Awareness: "Apakah Anda bermasalah dengan
jerawat yang tidak kunjung hilang?"
Target Audiens kita menemukan konten kita normalnya dari "Google Search".
Di ujung konten pertama tadi kita kasih link CTA (Call To Action) ke konten kedua,
konten edukasi.
"Cara mengatasi jerawat membandel dengan obat jerawat yang paling pas".
Di konten kedua ini kita sudah mulai menjelaskan kandungan obat apa yang dibutuhkan
untuk mengatasi jerawat tadi.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Disinilah pressure point-nya. Kita kerahkan semua kemampuan kita. Semakin banyak
konten edukasi yang kita buat, semakin bagus.
Gak usah hitung-hitungan. Anggap saja kita sedang membesarkan anak kita sendiri.
Setelah konten kedua, ketiga, dan seterusnya, kita arahkan juga ke konten terakhir.
Sudah kita arahkan ke pemilihan produk.
Tentu saja kita arahkan ke produk kita.
Dengan link-link berantai tadi kita menggiring audiens dari awalnya sekedar mencari
tahu tentang jerawat mereka, sampai akhirnya memilih produk kita.
Jika kita kombinasikan dengan iklan juga bisa.
Setiap pelanggan yang sudah menuntaskan membaca konten satu akan "dikejar" iklan
tipe 2 (edukasi).
Ketika ia selesai dengan banyak konten dari iklan tipe 2 tadi akan dikejar dengan iklan
iklan tipe 3 (mengarahkan ke pembelian).
Kalau menggunakan iklan berarti konsepnya RETARGETING.
Tetapi sangat disarankan jika kita menggunakan strategi organik dulu, setelah terbukti
formulanya berhasil baru di gas dengan iklan untuk memperluas jangkauannya.
Terlepas dari kita memiliki produk sendiri atau bukan, proses terjadinya pembelian itu
ujungnya sama kok. TRUST.
Tidak mungkin pembelian itu terjadi tanpa didahului TRUST terlebih dahulu.
Customers harus TRUST dulu karena ia akan mengeluarkan sejumlah uang untuk
ditukarkan dengan value dari sebuah produk.
Proses terbentuknya trust ini bisa pengaruhi oleh beberapa faktor.
1. Brand atau produknya yang memang TRUSTED atau sudah terpercaya.
2. Produsen dari produk tersebut sudah TRUSTED, karena memang sudah banyak
produknya yang ada di pasaran.
3. Penjualnya yang TRUSTED.
Yang bisa kita mainkan dan ada dalam kendali kita adalah nomer 3.
Bangun Personal Branding sebagai penjual yang trusted atau terpercaya.
Di era digital dan social media ini ada banyak cara untuk membangun personal
branding.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Cara tercepat untuk membangun personal branding adalah dengan "sharing".
Materinya sharing-nya tentu saja terkait hal-hal yang berhubungan dengan produk yang
dijual.
Ketika saya mau jual produk skincare ya saya harus banyak sharing tentang kesehatan
kulit, bagaimana merawat kulit yang benar, mengenali tipe kulit, mencari tipe
kosmetik yang paling aman buat kulit.
Bentuk sharingnya bisa macem-macem. Mulai dari tulisan atau artikel di blog, konten
IG, YouTube dll.
Yang pasti kontennya harus dikemas secara profesional.
Cara kedua mempercepat terbangunnya TRUST adalah dengan menginduksikan trust.
Cari orang yang sebelumnya sudah trusted atau terpercaya, ajak kolaborasi bikin
konten bareng, bikin promo bareng dll.
Otak manusia itu gampang mengasosiasikan, gampang percaya kok.
Manfaatkan Micro influencer untuk collabs, biar kita diasosiasikan sama dengan micro
influencer tadi
Paling tidak followers-nya bisa ikut ketarik sama kita.
Jalankan yang namanya Product Market Fit (PMF). Itu bagian dari Product
Development.
Yang paling berhak menilai produk kita baik atau tidak itu CUSTOMERS atau MARKET.
Makanya produk kita harus tepat menjawab permasalahan dan kebutuhan dari
customers.
Sebelum produk bener-bener diluncurkan ke market, produk harus menjalani fase ini
dulu, diuji ke customers yang kita target sebagai penggunanya
Bikin semacam focus discussion group untuk meminta pendapat sekaligus masukan dari
customers tentang experience mereka dengan produk kita.
Apa pendapat mereka secara jujur tentang produk kita, jangan ditutup-tutupi.
Ketika menerima masukan kita perbaiki produknya.
Jangan memaksa menjual produk yang kualitasnya tidak bagus, customers experience-
nya buruk.
Karena itu akan berdampak ke reputasi atau personal brand si penjual.
Mau Tembus Omset Ratusan Juta, Tanpa Harus Banting Harga? KLIK DISINI
Jadi pastikan produk kita tidak ada masalah dulu, jangan sungkan meminta dan
menerima masukan, segera lakukan perbaikan.
Itu yang membuat produk kita akan lebih baik, jika kita mau mendengarkan masukan
customers.
Marketing di era digital dan social media itu sebenarnya mudah kok. Jika kita
menggunakan empati, merasakan apa yang customer rasakan.
Jangan melakukan sesuatu kepada customers yang kita sendiri tidak mau mendapat
perlakuan seperti itu. Jika kita terganggu dengan spamming ya jangan lakukan ke
customers kita. Jika kita risih terus-terusan dijuali ya jangan lakukan.
Sebagus apapun produk yang kita punya, jika kita gagal menyampaikan value produk
kita ke market, dan market gagal mempersepsikan produk kita seperti yang kita
inginkan, FAILED.
Tapi sebaliknya, kita tidak punya produk pun, tapi ketika kita mampu mempertemukan
PAIN POINT atau masalah yang ada di market, dengan solusinya …
Itu sudah menjadi bisnis.
Marketplace punya lapak tapi gak punya produk. GoJek, AirBnB, Tokopedia, Bukalapak,
Amazon.
Banyak sekali jenisnya.
Itu saja tips dan strateginya.
Sebagai penutup, saya sematkan link video dari Bossman Sontoloyo untuk Anda tonton.
Selamat mencicipi. 😁
https://youtu.be/-IPC8QgYOho
Ini Kata Mereka Yang Sudah Join