faktor risiko meningioma orbitokranial pada wanita

94
FAKTOR RISIKO MENINGIOMA ORBITOKRANIAL PADA WANITA PENGGUNA KONTRASEPSI HORMONAL Oleh: Vina Karina Apriyani NPM 131221170001 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG 2021

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

FAKTOR RISIKO MENINGIOMA ORBITOKRANIAL

PADA WANITA PENGGUNA KONTRASEPSI HORMONAL

Oleh: Vina Karina Apriyani NPM 131221170001

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO

BANDUNG 2021

FAKTOR RISIKO MENINGIOMA ORBITOKRANIAL

PADA WANITA PENGGUNA KONTRASEPSI HORMONAL

Oleh: Vina Karina Apriyani NPM 131221170001

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO

BANDUNG 2021

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala karunia

dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun untuk

memenuhi syarat menempuh Progam Pendidikan Dokter Spesialis 1 (PPDS-1) di

bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Pusat

Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih, hormat, dan penghargaan yang tak

terhingga kepada semua pihak yang telah membimbing dan membantu penulis

dalam menyelesaikan pendidikan dan tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan

terima kasih kepada Prof. Dr. Hj. Rina Indiastuti, S.E., M.SIE selaku Rektor

Universitas Padjadjaran Bandung, dan Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr., Sp.OG(K),

selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program Pendidikan

Dokter Spesialis 1 di bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran Bandung.

Perkenankan pula penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada (alm) Prof.

Sugana Tjakrasudjatma, dr., SpM, (alm) Prof. Dr. Gantira Natadisastra, dr.,

SpM(K), dan (almh) Prof. Dr. Farida Sirlan, dr., SpM(K) selaku guru besar Ilmu

Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah menjadi

suri tauladan yang tidak ternilai bagi penulis selama mengikuti pendidikan spesialis

mata hingga selesainya tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada jajaran Direksi Pusat Mata

Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, Irayanti, dr., SpM(K), MARS

selaku Direktur Utama, Dr. Antonia Kartika Indriati, dr., SpM(K), MKes selaku

Direktur SDM, Pendidikan dan Penelitian, Ayi Wagiati Sari, SE, MM selaku

Direktur Keuangan dan BMN, dan Hartono, SKM, M.Kes selaku Direktur

Perencanaan dan Umum yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menggunakan sarana dan prasarana rumah sakit sebagai tempat belajar dan bekerja.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Arief S.

Kartasasmita, dr., SpM(K), MM., M.Kes., PhD selaku Kepala Departemen Ilmu

v

Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dr. Elsa Gustianty,

dr., SpM(K), MKes, selaku Plt. Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran, Dr. Irawati Irfani, dr., SpM(K), MKes selaku

Plt. Ketua Program Studi Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran, Dr. Budiman, dr., SpM(K)., MKes dan Dr. Andika

Prahasta, dr., SpM(K)., MKes selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran terdahulu, serta seluruh staf pengajar

Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah

memberikan segala ilmu, bimbingan, teladan, pengalaman dan motivasi kepada

penulis selama menjalani Program Pendidikan Spesialis Mata 1 di Rumah Sakit

Mata Cicendo.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada

Dr. dr. R. Angga Kartiwa, SpM(K), MKes selaku Pembimbing I dan dr. Mayasari

Wahyu, Sp.M(K), MKes selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan

dengan sabar memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, dan masukan selama

penelitian berlangsung sehingga dapat berjalan dengan lancar sampai akhir

penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mentor

Pembimbing Akademik dr. Sesy Caesarya, SpM(K) atas dukungan, bimbingan, dan

motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis dan program

pendidikan. Terima kasih kepada Dr. dr. M. Rinaldi Dahlan, SpM(K), MKes dan

dr. Aldiana Halim, SpM(K), MSc atas saran dan bantuannya kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada seluruh perawat dan karyawan

Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung serta staf Sekretariat

Pendidikan dan Pustakawan Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran atas segala bantuan dan kerjasama kepada penulis. Terima kasih

kepada Dr. Nurvita Trianasari, S.Si., M.Stat yang telah membantu penulis dalam

bidang statistik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh sahabat, teman sejawat

peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran, khususnya teman satu angkatan September

vi

2017 atas bantuan, dukungan, dan kerjasama selama pendidikan. Semoga

silaturahmi kita tetap terjalin walaupun kita terpisah oleh jarak dan waktu kelak.

Penulis juga menghaturkan rasa hormat dan terima kasih sebesar-besarnya

kepada orangtua tercinta H. Yan Martham, SE (alm.) dan Hj. Nining Kurnianingsih,

SE serta kedua mertua tercinta Mayjen (Purn.) R. Adang Ruchiatna dan Fofo Fauzia

atas ketulusan dan kasih sayang dalam membesarkan, membimbing, mendidik dan

memberikan teladan kepada penulis, serta memberikan doa dan dukungan tiada

henti kepada penulis agar senantiasa diberikan kelancaran dalam menjalani

kehidupan dan menyelesaikan program pendidikan. Terima kasih kepada adik-adik

tersayang Wininda N. Apriyanti dan Kresna Cahya Andika atas kasih sayang,

dukungan, dan doa demi kelancaran pendidikan penulis. Terima kasih juga penulis

ucapkan kepada suami tercinta, Rhino Prayudhi, SE yang telah mengijinkan penulis

untuk melanjutkan pendidikan, atas kesabaran dan pengertian, serta memberikan

dukungan dan doa kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada

anak-anak tercinta, Ghazi Zabran Nabhani dan Gibran Zavier Nadhifa atas

pengertian, cinta, dukungan dan doa kepada penulis, serta seluruh keluarga besar

yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu yang tidak dapat disebutkan secara satu persatu yang secara langsung

maupun tidak langsung membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan dan

tesis ini. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan, kesabaran, dan

keikhlasan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga tesis ini bermanfaat untuk

Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universita Padjadjaran,

Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo serta seluruh masyarakat

Indonesia.

Bandung, 14 Juni 2021

Penulis,

Vina Karina Apriyani

vii

ABSTRAK Latar belakang: Meningioma adalah jenis tumor otak primer yang paling sering didiagnosis yaitu 53,4% dari tumor intrakranial yang bersifat jinak. Meningioma orbitokranial pada wanita akan mengganggu kualitas hidup yaitu kehilangan penglihatan, proptosis, dan bahkan mengancam nyawa. Faktor risiko meningioma secara epidemiologi yang paling bermakna terkait dengan faktor reproduksi yaitu usia menarche, siklus menstruasi, dan pemakaian kontrasepsi hormonal. Tujuan: Untuk mengetahui faktor risiko meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di RS Mata Cicendo Bandung. Metode: Penelitian cross sectional analitik yang dilakukan secara retrospektif dari data rekam medis pada wanita berusia 30-60 tahun yang menggunakan kontrasepsi hormonal di poli Rekonstruksi, Onkologi, dan Okuloplasti (ROO) RS Mata Cicendo bulan Januari 2018 – Desember 2019. Hasil: Dari 81 pasien wanita pengguna kontrasepsi hormonal, didapatkan 70 pasien (86,42%) dengan meningioma. Kelompok usia mayoritas pada kategori meningioma adalah 40-49 tahun yaitu sebanyak 52 pasien (74,3%) dengan Mean ± Std 45,50 ± 4,621 tahun. Hasil analisis regresi multivariat didapatkan faktor risiko meningioma adalah durasi penggunaan kontrasepsi hormonal yang lama (p=0,006; OR (IK 95%) = 0,03 (0,002-0,35)) dan usia menarche yang lebih dini (p=0,015; OR (IK 95%) = 2,06 (2,84-1,49)). Simpulan: Durasi penggunaan kontrasepsi hormonal yang lama, usia menarche yang lebih dini, dan kontrasepsi hormonal progestogen tunggal merupakan faktor risiko terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di RS Mata Cicendo Bandung. Kata Kunci: Meningioma, kontrasepsi hormonal, wanita, reproduksi

viii

ABSTRACT

Background: Meningioma was the most frequently diagnosed type of primary brain tumor, 53.4% of benign intracranial tumors. Orbitocranial meningioma in women will decrease the quality of life such as visual impairment, proptosis, and even be life threatening. Epidemiologically, the most prominent risk factors for meningioma are related to reproductive factors, such as age of menarche, menstrual cycle, and hormonal contraception. Purpose: To determine the risk factors for orbitocranial meningioma in women using hormonal contraceptives at the Cicendo Eye Hospital, Bandung. Methods: An analytic cross-sectional study conducted retrospectively from patients medical records on women aged 30-60 years using hormonal contraception at the Reconstruction, Oncology and Oculoplasty (ROO) unit of Cicendo Eye Hospital in January 2018 - December 2019. Result: From 81 female patients using hormonal contraceptives, there were 70 patients (86.42%) with meningiomas. The majority age group in the meningioma category was 40-49 years, as many as 52 patients (74.3%) with a mean ± Std 45.50 ± 4,621 years. The results of multivariate regression analysis showed that the risk factors for meningioma were long duration of hormonal contraceptive use (p = 0.006; OR (95% CI) = 0.03 (0.002-0.35)) and earlier age of menarche (p = 0.015; OR (95% CI) = 2.06 (2.84-1.49)). Conclusion: Long duration of hormonal contraceptive use, earlier age of menarche, and progestogen-only hormonal contraceptive are the risk factors for orbitocranial meningiomas in women using hormonal contraceptives at Cicendo Eye Hospital, Bandung. Keywords: Meningioma, hormonal contraception, women, reproduction

ix

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii

PERNYATAAN .................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv

ABSTRAK ............................................................................................................. vii

ABSTRACT ........................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiv

DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvii

BAB I ....................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian .............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 5

1.4 Kegunaan Penelitian ....................................................................................... 5

1.4.1 Kegunaan Ilmiah ...................................................................................... 5

x

1.4.2 Kegunaan Praktis ..................................................................................... 5

BAB II� .................................................................................................................... 6

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS ................ 6

2.1 Kajian Pustaka� .............................................................................................. 6

2.1.1 Definisi Meningioma ............................................................................... 6

2.1.2 Klasifikasi Meningioma .......................................................................... 6

2.1.3 Epidemiologi Meningioma ...................................................................... 8

2.1.4 Etiologi Meningioma ............................................................................... 9

2.1.5 Imunohistokimia .................................................................................... 10

2.1.6 Aktivitas Biologis .................................................................................. 11

2.1.7 Faktor risiko meningioma ...................................................................... 12

2.1.8 Manifestasi Klinis Meningioma ............................................................ 18

2.1.9 Gambaran Radiologi pada Meningioma ................................................ 19

2.1.10 Penatalaksanaan Meningioma ............................................................. 20

2.1.11 Prognosis Meningioma ........................................................................ 22

2.1.12 Kontrasepsi .......................................................................................... 23

2.1.13 Hormon Progesteron ............................................................................ 27

2.1.14 Reseptor Progesteron ........................................................................... 29

2.1.15 Hubungan Reseptor Progesteron dengan Meningioma ....................... 30

2.2 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 32

2.3 Premis dan Hipotesis .................................................................................... 36

2.3.1 Premis .................................................................................................... 36

xi

2.3.2 Hipotesis ................................................................................................ 37

BAB III� ................................................................................................................ 38

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN ............................................................. 38

3.1 Metode dan Rancangan Penelitian ............................................................... 38

3.2 Subjek Penelitian .......................................................................................... 38

3.2.1 Sampel Penelitian .................................................................................. 38

3.3 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ............................................ 40

3.3.1 Variabel Penelitian� .............................................................................. 40

3.3.2 Definisi Operasional .............................................................................. 40

3.4 Bahan dan Alat Penelitian ............................................................................ 41

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 41

3.6 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data .................................................. 41

3.7 Pengolahan dan Analisa Data ....................................................................... 43

3.8 Implikasi / Aspek Penelitian ........................................................................ 46

3.9 Alur Penelitian .............................................................................................. 47

BAB IV� ................................................................................................................ 48

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................................... 48

4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................ 48

4.1.1 Karakteristik Demografi ........................................................................ 48

4.1.2 Analisis Bivariat .................................................................................... 49

4.1.3 Analisis Multivariat ............................................................................... 53

4.2 Uji Hipotesis� ............................................................................................... 54

xii

4.3 Pembahasan .................................................................................................. 55

BAB V� ................................................................................................................. 60

SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 60

5.1 Simpulan ...................................................................................................... 60

5.2 Saran ............................................................................................................. 60

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 62

LAMPIRAN .......................................................................................................... 66

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. 74

xiii

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian .............................................. 40

Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Demografi Subjek Penelitian ......................... 49

Tabel 4.2 Perbandingan karakteristik subjek penelitian berdasarkan Hasil CT Scan

Orbita Kepala ................................................................................................... 51

Tabel 4.3 Perbandingan riwayat kontrasepsi hormonal dan menstruasi berdasarkan

hasil CT Scan orbita kepala ............................................................................. 53

Tabel 4.4 Analisis Multivariat .............................................................................. .54

xiv

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1 Variasi lokasi meningioma……………………………..………...….7

Gambar 2.2 Insiden meningioma pada wanita dan pria sesuai usia…….………...9

Gambar 2.3 Mekanisme kerja hormon progesteron ……………………...….…..28

Gambar 2.4 Struktur domain reseptor progesteron………………………..…….30

Gambar 2.5 Bagan kerangka pemikiran ............…………….………….......….....35

xv

DAFTAR SINGKATAN

WHO : World Health Organization

CBTRUS : Central Brain Tumor Registry of the United States

NF2 : Neurofibromatosis

TSLC-1 : Tumor Supressor Lung Cancer-1

EMA : Epithelial Membrane Antigen

GFAP : Glial Fibrillary Acidic Protein

PR : Progesterone Receptor

ER : Estrogen Receptor

OC : Oral Contraception

HRT : Hormone Replacement Therapy

EGF : Epidermal Growth Factor

PDGF : Platelet Derived Growth Factor

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

IGF : Insulin Growth Factor

FGF : Fibroblast Groeth Factors

HIF-1 : Hypoxia Inducible Factor-1

CT-scan : Computed Tomography-scan

MRI : Magnetic Resonance Imaging

KB : Keluarga Berencana

IUD : Intrauterine Device

AKDR : Alat Kontrasepsi Dalam Rahim

xvi

GnRH : Gonadotropin-releasing Hormone

FSH : Follicle-stimulating Hormone

LH : Luteinizing Hormone

ROO : Rekonstruksi, Onkologi, dan Okuloplasti

OR : Odd Ratio

CI : Confidence Interval

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1 Kuesioner Wawancara ....................................................................... 64

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ............................................ 65

Lampiran 3 Lembar Persetujuan Etik ................................................................... 66

Lampiran 4 Data Pasien ........................................................................................ 67

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Meningioma adalah jenis tumor otak primer yang berasal dari jaringan

meningens dan merupakan salah satu tumor intrakranial yang paling sering

didiagnosis yaitu 53,4% dari semua tumor intrakranial dan sistem saraf pusat yang

bersifat non-maligna. Prevalensi meningioma secara umum berkisar 0.7% dengan

insidens tertinggi yaitu 7,86 per 100.000 populasi. Insidens tertinggi terjadi pada

dekade 5 sampai 6 dengan rasio wanita dibanding pria adalah 2-3 : 1. Meningioma

sebagian besar adalah tumor jinak, hanya 10% yang mengalami transformasi

maligna.1-4

Meningioma orbitokranial adalah salah satu jenis dari meningioma yang terdiri

dari meningioma orbital dan meningioma intrakranial. Meningioma orbital

diklasifikasikan menjadi meningioma orbital primer yaitu meningioma selubung

nervus optikus dan meningioma sekunder dengan lokasi yang tersering adalah

sphenoid wing meningioma. Berdasarkan klasifikasi World Health Organization

(WHO), meningioma dilkasifikasikan menjadi 3 subtipe. Sembilan puluh persen

kasus meningioma adalah derajat 1 klasifikasi WHO yaitu jinak, dan kurang dari

10% adalah derajat 2 atau atipikal dan derajat 3 atau maligna. Walaupun merupakan

tumor jinak, meningioma dapat menyebabkan kematian karena letaknya di

intrakranial. Meningioma orbita paling sering mengakibatkan kebutaan karena

menekan langsung nervus optikus dan jaringan intraorbita. Kehilangan lapang

2

pandang yang berat dilaporkan ditemukan pada meningioma di tuberkulum sella

dan yang menekan kiasma. Selain itu, meningioma orbitokranial dapat mengganggu

kualitas hidup karena dapat menimbulkan proptosis.5-8

Data epidemiologi dari berbagai negara hingga saat ini menunjukkan berbagai

faktor risiko meningioma, di antaranya yang paling menonjol adalah terkait dengan

faktor reproduksi yaitu usia menarche, siklus menstruasi, dan pemakaian

kontrasepsi hormonal baik secara oral maupun injeksi. Berdasarkan penelitian,

pertumbuhan dan perkembangan meningioma menjadi lebih cepat selama

kehamilan dan fase lutheal selama menstruasi. Fenomena ini dikaitkan dengan jalur

hormonal (endogen dan eksogen) yang masih merupakan hipotesis, yaitu pengaruh

hormon seks wanita pada pertumbuhan dan perkembangan meningioma. Salah satu

contoh dari hormon eksogen adalah kontrasepsi.7-9

Berdasarkan studi-studi yang dilakukan oleh Supartoto dkk dan Wahyuhadi dkk,

faktor yang mendasari hubungan antara hormon eksogen dan kejadian meningioma

adalah kontrasepsi hormonal yang digunakan oleh pasien karena meningioma

memiliki reseptor progesteron dan estrogen, yang apabila teraktivasi dengan

hormon yang sesuai akan memicu proliferasi sel meningioma. Pada studi yang

dilakukan Supartoto dkk dikatakan bahwa pasien yang menggunakan kontrasepsi

hormonal memiliki risiko terkena meningioma sebesar 12,31 kali dibandingkan

yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal. Jenis kontrasepsi hormonal juga

berpengaruh pada risiko meningioma. Dalam studi ini, kontrasepsi hormonal suntik

1 bulan dan pil memiliki tingkat risiko meningioma yang lebih rendah daripada

penggunaan kontrasepsi hormonal suntik 3 bulan dengan nilai risiko masing-

3

masing 0,042, 0,032, dan 0,071 (p <0,05). Ini menunjukkan bahwa kontrasepsi

hormonal suntik 3 bulan memiliki tingkat risiko tertinggi dibandingkan dengan

jenis lain. Patofisiologi meningioma orbitokranial juga dikaitkan dengan durasi

penggunaan kontrasepsi hormonal, dengan hasil bahwa penggunaan kontrasepsi

hormonal lebih dari sepuluh tahun meningkatkan risiko terjadinya meningioma

sebanyak 18,22 kali sedangkan untuk penggunaan kontrasepsi hormonal kurang

dari sepuluh tahun meningkatkan risiko meningioma sebanyak 5,86 kali.10,11

Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar ke-5 yang menerapkan

Keluarga Berencana. Di Indonesia, sesuai data dari Survei Kesehatan Nasional

tahun 2013 menunjukkan bahwa ada sekitar 27 juta pengguna kontrasepsi dan 16

juta di antaranya menggunakan kontrasepsi hormonal secara injeksi (Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, data tidak dipublikasikan). Saat

ini, metode kontrasepsi farmakologis yang digunakan adalah hormon steroid

reversibel yang diformulasikan dalam pil, patch, cincin intravaginal, implan

subdermal dan injeksi. Terlepas dari profil keamanan kontrasepsi hormonal,

kekhawatiran efek metabolik dan vaskular yang merugikan dan kemungkinan efek

neoplastik tetap ada. Penilaian risiko-manfaat diperlukan untuk setiap wanita yang

menggunakan kontrasepsi hormonal. Sementara itu, terdapat kebutuhan untuk

mengembangkan metode kontrasepsi nonsteroid dan nonhormonal, untuk

mengantisipasi efek samping dari kontrasepsi hormonal steroid. Juga perlu

dilakukan pemantauan dan penapisan pada wanita yang menggunakan kontrasepsi

hormonal, terkait dengan efek samping yang mungkin timbul. Hal ini yang

mendorong dilakukannya penelitian untuk menentukan faktor risiko meningioma

4

pada wanita terkait penggunaan kontrasepsi hormonal.

Berdasarkan uraian di atas, disusunlah tema sentral penelitian ini sebagai

berikut:

Meningioma orbitokranial yang terjadi pada wanita akan mengganggu kualitas

hidup yaitu kehilangan penglihatan yang progresif, menimbulkan proptosis, dan

bahkan dapat mengancam nyawa. Di Indonesia, penggunaan kontrasepsi hormonal

lazim digunakan sebagai salah satu cara untuk mengontrol kehamilan. Penggunaan

kontrasepsi hormonal yang tidak sesuai dengan protokol keamanan dapat berperan

dalam meningkatkan risiko kejadian meningioma orbitokranial. Data epidemiologi

menunjukkan berbagai faktor risiko meningioma yang paling menonjol adalah

terkait dengan faktor reproduksi yaitu usia menarche, siklus menstruasi, dan

pemakaian kontrasepsi hormonal. Sifat meningioma orbitokranial yang aktif secara

hormonal dalam kaitannya dengan ekspresi reseptor hormon progesteron dan

estrogen dalam tumor, telah mendorong penelitian untuk meneliti risiko

meningioma orbitokranial pada pasien yang menggunakan kontrasepsi hormonal.

Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui faktor risiko meningioma

orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal. Dengan mengetahui

faktor risiko ini dapat digunakan untuk mengambil langkah evaluasi serta edukasi

dalam penggunaan kontrasepsi hormonal di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah durasi penggunaan kontrasepsi hormonal yang lama merupakan faktor

risiko terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi

hormonal di Rumah Sakit Mata Cicendo?

2. Apakah usia menarche yang lebih dini merupakan faktor risiko terjadinya

meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di

Rumah Sakit Mata Cicendo?

3. Apakah jenis kontrasepsi hormonal progestogen tunggal merupakan faktor risiko

5

terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi

hormonal di Rumah Sakit Mata Cicendo?

4. Apakah siklus menstruasi tidak teratur merupakan faktor risiko terjadinya

meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di

Rumah Sakit Mata Cicendo?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis kontrasepsi hormonal,

durasi penggunaan kontrasepsi hormonal, usia menarche, dan siklus menstruasi

sebagai faktor risiko terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna

kontrasepsi hormonal di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Hasil penelitian dapat menambah bukti ilmiah mengenai faktor yang dapat

meningkatkan risiko terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna

kontrasepsi hormonal di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi dan advokasi yang dapat

dimanfaatkan oleh klinisi dalam evaluasi faktor-faktor risiko meningioma

orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di Pusat Mata Nasional

Rumah Sakit Mata Cicendo.

6

BAB II�

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka�

2.1.1 Definisi Meningioma

Meningioma adalah tumor intrakranial jinak yang paling umum. Meningioma

berasal dari sel-sel arachnoid cap, yaitu sel-sel pembentuk selaput tipis seperti

jaring laba-laba, yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang. Arachnoid

adalah salah satu dari tiga lapisan pelindung otak dan sumsum tulang belakang,

yang dikenal sebagai meningen. Dua lapisan meningen lainnya adalah dura mater

dan pia mater. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan

yang lambat. Meskipun mayoritas meningioma bersifat jinak, tumor ini dapat

tumbuh perlahan sampai sangat besar, dan jika dibiarkan tanpa disadari akan sangat

mengancam jiwa terutama jika terdapat pada beberapa lokasi tertentu.12,13

2.1.2 Klasifikasi Meningioma

Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola

pertumbuhan, dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor adalah meningioma

konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks, sphenoid ridge, cerebellopontine

angle, frontal base, petroclival, fosa posterior, tentorium, middle fossa,

intraventricular dan foramen magnum. Meningioma juga dapat timbul

ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis, orbita, cavum

7

nasi, kelenjar parotis, mediastinum, dan paru-paru. Gambar 2.1 menunjukkan

variasi lokasi meningioma.12-14

Gambar 2.1 Variasi lokasi meningioma Sumber: Al-Mefty13

Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en masse) dan

pertumbuhan memanjang (en plaque). Bentuk en masse adalah meningioma

globular klasik sedangkan bentuk en plaque adalah tumor dengan abnormalitas

tulang dan perlekatan dura yang luas. World Health Organization (WHO)

mengklasifikasikan tumor meningioma berdasarkan tipe sel dan kelas dengan

melihat sel-sel yang diambil selama biopsi di bawah mikroskop.12,14

Meningioma derajat I adalah low-grade tumor, bentuk paling umum dari

meningioma dengan sel-sel tumor yang pertumbuhannya lambat. Yang termasuk

dalam WHO derajat I antara lain meningotelial, psammomatosa, sekretorik,

fibroblastik, angiomatosa, limfoplasmasit, transisional, mikrokistik, dan

metaplastik. Meningioma atipikal derajat II (18% kasus meningioma) adalah mid-

grade tumor, yang menunjukkan peningkatan abnormalitas jaringan dan sel. Tumor

ini tumbuh lebih cepat daripada meningioma low-grade dan sering ditandai dengan

invasi ke otak. Meningioma atipikal memiliki kemungkinan rekurensi yang lebih

tinggi daripada meningioma jinak (WHO derajat I), terutama bila tindakan reseksi

8

tidak berhasil mengangkat tumor secara total. Yang termasuk WHO derajat II

antara lain clear-cell, koroid, atipikal. Tipe koroid biasanya disertai dengan

penyakit Castleman (kelainan proliferasi limfoid). Meningioma anaplastik derajat

III bersifat maligna (kanker), menunjukkan abnormalitas selular dan tumbuh sangat

cepat. Meningioma maligna adalah subtipe yang paling sering invasi ke otak dan

kemungkinan rekurensinya lebih besar dibandingkan dua subtipe lainnya. Yang

termasuk WHO derajat III adalah papiler (jarang dan tersering pada anak-anak),

rhabdoid dan anaplastik.12,15,16

2.1.3 Epidemiologi Meningioma

Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering ditemui.

Meningioma diperkirakan sekitar 13-26% dari seluruh tumor primer intrakaranial

pada orang dewasa. Menurut data yang diperoleh dari Central Brain Tumor

Registry of the United States (CBTRUS), meningioma menyumbang 33.8% dari

seluruh kasus tumor otak primer dan sistem saraf pusat di Amerika Serikat antara

tahun 2006-2008, sehingga menempatkan meningioma sebagai tumor otak primer

yang paling sering terdiagnosis pada orang dewasa. Prevalensi meningioma yang

dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi diperkirakan sebesar 97.5 per

100.000 jiwa di Amerika Serikat. Namun jumlah ini diperkirakan lebih rendah dari

yang sebenarnya karena ada sebagian meningioma yang tidak ditangani dengan

pembedahan. Sedangkan di Inggris, insidens meningioma diperkirakan sebesar 6

per 100.000 jiwa dan tetap stabil selama 12 tahun terakhir.1,17-19

9

Insidens meningioma dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin,

dan ras. Insidens meningioma meningkat seiring pertambahan usia dan mencapai

puncaknya pada dekade kelima hingga keenam, kecuali pada pasien dengan

neurofibromatosis (NF2) yang umumnya terjadi pada usia lebih muda. Sedangkan

pada anak-anak hanya sekitar 2% dari seluruh kejadian meningioma. Jenis kelamin

juga memengaruhi prevalensi meningioma. Rasio meningioma dua-tiga kali lipat

lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Meskipun meningioma secara

keseluruhan lebih umum pada pasien wanita, namun cenderung bersifat lebih

agresif dengan prognosis yang lebih buruk pada pria maupun pada anak-anak,

karena meningioma maligna dan sarkoma meningeal menyumbang 28% dari semua

tumor meningeal primer pada anak-anak. Jumlah kasus meningioma juga

ditemukan sedikit lebih tinggi pada ras kulit hitam non hispanik atau ras Afrika-

Amerika. 13,18,20,21

Gambar 2.2 Insiden meningioma pada wanita dan pria sesuai usia Sumber: Wiemels18

2.1.4 Etiologi Meningioma

Penyebab pasti meningioma belum diketahui, namun dari beberapa penelitian

didapatkan teori bahwa kelainan kromosom berperan menyebabkan timbulnya

10

meningioma. Delesi dan inaktivasi lokus gen neurofibromatosis-2 (NF2) pada

kromosom 22q12 menjadi faktor predominan pada meningioma sporadik. NF2

bertugas mengkode gen supresor tumor yang dikenal sebagai merlin (atau

schwannomin), ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Lokus

meningioma berbeda namun dekat dari gen yang bertanggung jawab untuk NF2.

Mutasi genetik paling umum berikutnya yang terlihat pada meningioma setelah

delesi 22q adalah delesi 1p, 3p, 6q, 9p, 10q, 14q, dan 18q. Delesi kromosom 10

berhubungan dengan peningkatan derajat tumor, mempersingkat waktu untuk

rekurensi dan mempersingkat kelangsungan hidup. Progresi ke bentuk anaplastik

dikaitkan dengan keterlibatan situs kromosom 17q. Peristiwa-peristiwa berikut ini

ditemukan terkait dengan derajat meningioma yang lebih tinggi, yaitu delesi

Supresor Tumor pada gen Kanker Paru-1 (TSLC-1), delesi reseptor progesteron,

peningkatan ekspresi siklo-oksigenase 2 dan ornithin dekarboksilase. Kelainan

kromosom yang paling konsisten diisolasi adalah pada lengan panjang kromosom

22.18,21,22

2.1.5 Imunohistokimia

Imunohistokimia dapat membantu mendiagnosis meningioma, dengan hasil

positif untuk Antigen Membran Epitel (EMA) pada 80% kasus. Sedangkan hasil

negatif untuk antibodi anti-Leu 7 (positif dalam schwannoma) dan untuk Glial

Fibrillary Acidic Protein (GFAP). Reseptor progesteron ditemukan pada sitosol

meningioma, sedangkan kemunculan reseptor hormon seks lainnya kurang

11

konsisten. Reseptor somatostatin juga telah ditunjukkan secara konsisten pada

meningioma.23

2.1.6 Aktivitas Biologis

Pada aktivitas biologis, ekspresi penanda proliferasi seperti MIB-1 dan Ki67

secara umum menunjukkan peningkatan progresif dalam indeks pelabelan dengan

nilai WHO dari 1.00-1.35% untuk kelas I, menjadi 1.90-9.30% untuk kelas II atau

atipikal, dan 5.60–19.5% untuk kelas III atau meningioma anaplastik. Tumor

rekuren cenderung memiliki indeks pelabelan yang lebih tinggi dibanding yang

tidak rekuren (2.30-10.9% vs 0.39-3.80%). Ekspresi penanda terkait proliferasi lain,

seperti mitosin dan topoisomerase IIα, berhubungan dengan indeks pelabelan MIB-

1. Sebaliknya, penelitian lain tidak menemukan hubungan dengan stadium tumor

atau tidak menemukan indeks pelabelan untuk itu dan menjadi penanda prognostik

independen.23-25

Faktor biologis lainnya, seperti protein yang berhubungan dengan apoptosis (p53,

p21WAF1, dan p27Kip1) atau faktor pertumbuhan (mengubah faktor pertumbuhan

α dan β, dan faktor pertumbuhan turunan trombosit), penting dalam perkembangan

atau rekurensi meningioma. Beberapa tumor (57-67%) mengekspresikan reseptor

progesteron (PR). Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara ekspresi PR

yang tinggi dan tingkat histologis yang baik, frekuensi rekurensi yang lebih rendah,

dan prognosis yang baik. Reseptor somatostatin juga diekspresikan oleh beberapa

tumor (70-100%). Fungsi biologis dari reseptor-reseptor ini, terutama reseptor tipe

2a (hsst2a) masih belum diketahui.23,26-31

12

2.1.7 Faktor risiko meningioma

Beberapa faktor risiko meningioma yang telah teridentifikasi dan diteliti di

berbagai studi, di antaranya usia, radiasi ionisasi, trauma kepala, riwayat keluarga

dengan meningioma, dan hormon. Meningioma merupakan kasus yang

penyebabnya multifaktorial. Semakin banyak faktor risiko dimiliki oleh seseorang,

maka akan semakin besar risiko terjadinya meningima.18

2.1.7.1 Radiasi

Saat ini faktor risiko lingkungan utama yang diidentifikasi berhubungan dengan

meningioma adalah paparan radiasi ionisasi (IR) dengan risiko 6 - 10 kali lipat.

Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh

perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum

replikasi DNA. Pada penelitian yang dilakukan kepada korban selamat dari bom

atom di Hiroshima dan Nagasaki ditemukan bahwa terjadi peningkatan insiden

meningioma yang cukup signifikan. Beberapa ciri khas untuk membedakan

meningioma spontan dengan akibat paparan radiasi adalah usia muda saat

didiagnosis, periode latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi,

dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik. Dalam salah satu

studi besar mengenai hubungan radiasi pengion dan risiko meningioma, anak-anak

yang diberi terapi radiasi untuk tinea kapitis di Israel antara 1948 dan 1960 (Tinea

Capitis Cohort), diamati memiliki risiko relatif 10 untuk meningioma. Beberapa

studi tentang terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik menunjukkan adanya

peningkatan risiko terjadinya meningioma terutama pada dosis radiasi melebihi 30

Gy. Radiasi ionik pada populasi yang mendapat radioterapi, meningkatkan aktivitas

13

regulasi protein p53 sehingga menginduksi protein Fas yang menyebabkan

pertumbuhan jaringan tumor meningens.32,33

Selain radiasi pengion, juga terdapat radiasi yang dihasilkan oleh telepon

genggam yaitu energi radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi

molekul dan atom. Energi RF berpotensi menimbulkan panas serta menyebabkan

kerusakan jaringan. Sebuah penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et

al pada tahun 2005 tidak menemukan adanya hubungan antara penggunaan telepon

genggam dengan angka kejadian meningioma. Penelitian metaanalisis lain yang

lebih besar dilakukan oleh INTERPHONE pada 13 negara, dengan hasil bahwa

tidak didapatkan hubungan antara penggunaan telepon genggam dengan insiden

meningioma.18,34

2.1.7.2 Trauma Kepala

Trauma kepala merupakan salah satu faktor risiko terjadinya meningioma yang

telah ada sejak masa Harvey Cushing, meskipun tidak didapatkan hasil yang

konsisten pada studi yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam sebuah studi kohort

pada 228.055 warga Denmark yang menderita trauma kepala dengan fraktur tulang

kepala antara 1977 dan 1992 dan diikuti selama rata-rata delapan tahun,

menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian meningioma dengan hasil yang

cukup signifikan, dengan rasio insiden terstandarisasi (SIR) untuk meningioma

setelah tahun pertama adalah 1.2 (95 % CI 0.8-1.7). Penelitian oleh Phillips et al

pada tahun 2002 menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara cedera kepala

dengan risiko terjadinya meningioma, terutama cedera kepala yang terjadi pada usia

14

10-19 tahun. Risiko meningioma didasarkan pada jumlah kejadian cedera kepala,

bukan dari tingkat keparahan cedera kepala.18,35

2.1.7.3 Riwayat keluarga dengan meningioma

Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul

pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor otak

jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang memicu perkembangan meningioma

jarang ditemukan. Beberapa penelitian dilakukan untuk membuktikan hubungan

antara risiko meningioma dan riwayat keluarga dengan meningioma. Malmer et al.

meneliti risiko kanker pada pasangan dan kerabat tingkat pertama pasien tumor otak

di Swedia dan melaporkan bahwa diagnosis meningioma memberikan risiko

meningioma dua kali lipat pada kerabat tingkat pertama (SIR 2.2, 95% CI 1.4-3.1),

tetapi tidak untuk pasangan dari individu yang terkena. Hubungan terbalik antara

risiko dan usia saat onset diamati dengan SIR 2.5 (95% CI 1.5-4.0) untuk probandus

yang berusia kurang dari 50 tahun berbanding SIR 1.3 (95% CI 0.6-2.6) untuk

probandus dengan usia lebih dari 50 tahun. Analisis serupa oleh Hemminki et al.

menggunakan data dari Swedia dan Norweigian Registry Database, masing-masing

mengungkapkan peningkatan risiko dengan meningkatnya jumlah kerabat tingkat

pertama yang terkena dampak dengan orang yang memiliki satu atau dua anggota

keluarga tingkat pertama dengan meningioma (SIR 1.6, 95% CI 1.3–42.0, dan SIR

5.0, 95% CI 0.9-14.8). Terlepas dari kenyataan bahwa satu hingga tiga persen dari

populasi orang dewasa dapat memiliki meningioma, jumlah total keluarga dengan

banyak anggota yang didiagnosis meningioma relatif jarang menunjukkan

spektrum ekspresi fenotipik yang luas, sehubungan dengan klinis dan skrining yang

15

dilakukan, dan sebagian besar keluarga tersebut dikaitkan dengan mutasi NF2 yang

diwariskan.36-38

2.1.7.4 Hormon

Hubungan antara hormon dan risiko meningioma telah dibuktikan oleh beberapa

penelitian, termasuk data meningkatnya penderita tumor ini pada wanita

dibandingkan pada pria dengan rasio 2-3:1. Didapatkan adanya reseptor

progesteron, estrogen, dan androgen pada beberapa meningioma, adanya hubungan

antara kanker payudara dengan risiko meningioma, pertambahan ukuran

meningioma pada fase luteal siklus menstruasi dan siklus kehamilan, adanya

proliferasi in vitro pada sel meningioma yang di kultur setelah terpapar dengan

progesteron, dan regresi meningioma pada pasien dengan penghentian terapi agonis

estrogen merupakan bukti bahwa meningioma dipengaruhi oleh hormon.

Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa risiko

meningioma berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat

menstruasi. Beberapa penelitian juga menghubungkan meningioma dengan kanker

payudara. Keduanya memiliki faktor risiko yang sama, seperti jenis kelamin, umur,

induksi hormon dan variabel lain. Selain itu adanya faktor risiko seperti hormon

eksogen dan endogen, predisposisi genetik dan variasi perbaikan DNA diduga

menjadi dasar hubungan antara kanker payudara dan meningioma. Namun

hubungan langsung kedua tumor belum dapat dipastikan.39-42

Para peneliti mulai melakukan studi mengenai penggunaan hormon eksogen

seperti kontrasepsi oral (OC) dan terapi penggantian hormon (HRT) dikaitkan

dengan peningkatan risiko meningioma. Dalam studi case-control yang dilakukan

16

Nurse's Health Study (NHS) pada 125 kasus meningioma, risiko relatif meningioma

terkait dengan penggunaan hormon untuk wanita pra-menopause adalah 2.48 (95%

CI 1.29, 4.77) jika dibandingkan dengan wanita post-menopause yang tidak pernah

menggunakan hormon. Wanita post-menopause pengguna hormon memiliki risiko

relatif 1.86 (95% CI 1.07, 3.24). Sebuah data dari studi kohort terhadap 1.3 juta

wanita dengan usia rata-rata 55.9 tahun yang diteliti dari tahun 1996 hingga 2001

oleh The Million Women Study tidak menemukan hubungan antara penggunaan

kontrasepsi oral yang digunakan dalam lima tahun terakhir (OR 1.06, 95% CI 0.81-

1.38) dengan risiko meningioma (n = 390) tetapi penelitian itu tidak melaporkan

hasil untuk penggunaan HRT. Dalam sebuah studi case-control besar dan terkini,

Interphone Group melaporkan peningkatan risiko relatif meningioma (n = 178) di

antara wanita post-menopause yang menggunakan HRT (OR 1.7, 95% CI 1.0-2.8).

Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral jangka panjang juga memiliki

peningkatan risiko meningioma dengan odds ratio penggunaan minimal 10 tahun

adalah 2.7 (95% CI 0.9-7.5).43-45

The Million Women Cohort melaporkan peningkatan risiko meningioma dengan

meningkatnya indeks massa tubuh (OR 1.46, 95% CI 1.11-1.91). Indeks massa

tubuh, atau lebih khusus lemak tubuh, secara positif terkait dengan aktivitas

aromatase yang menghasilkan paparan estrogen endogen yang lebih tinggi. Sebuah

studi preliminary oleh Claus et al dari 31 sampel meningioma melaporkan bahwa

pola ekspresi gen spesifik muncul lebih kuat terkait dengan status reseptor

progesteron (PR) daripada dengan status reseptor estrogen (ER). Gen pada lengan

panjang kromosom 22 dan dekat gen NF2 (22q12) paling sering memiliki variasi

17

ekspresi, dengan regulasi signifikan pada lesi PR positif versus PR negatif yang

menunjukkan delesi 22q lebih tinggi pada lesi PR negatif. Analisis jalur

menunjukkan bahwa gen dalam jalur kolagen dan matriks ekstraseluler paling

sering diekspresikan secara berbeda oleh status PR. Inkorporasi ekspresi reseptor

di masa depan ke dalam studi epidemiologi dapat merevolusi berbagai penanda

molekular yang dilakukan untuk kanker, misalnya reseptor hormon pada kanker

payudara.45,46

2.1.7.5 Hormon-hormon Pertumbuhan

Mitosis pada meningioma distimulus oleh beberapa jenis protein hormon

pertumbuhan. Beberapa jenis hormon pertumbuhan yang berpengaruh antara lain

reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived Growth

Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Insulin Growth

Factor (IGF). Hormon EGF adalah hormon polipeptida yang bekerja melalui

aktivasi reseptor EGF dan stimulus proliferasi yang bervariasi baik secara in vivo

dan in vitro. Reseptor EGF merupakan glikoprotein yang terletak ekstraselular.

Reseptor ini diperkirakan memiliki peranan dalam regulasi pembelahan sel dan

pertumbuhan tumor. Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah terbukti

menstimulasi angiogenesis, proliferasi metastase, dan kelangsungan hidup sel.

Peptida lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan dan

tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida dari leukosit

yang berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian sel epitel dan

mesenkim. Pada penelitian oleh Choong ditemukan bahwa kadar granulin

berhubungan dengan ukuran tumor dan perkembangan edema peritumoral dari

18

meningioma intrakranial. Penemuan ini menunjukkan bahwa adanya kemungkinan

granulin mempengaruhi pertumbuhan meningioma seperti pada glioma.47,48

Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel adalah Fibroblast Groeth

Factors (FGF) yaitu berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis.

Mekanisme pemicu mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa kaskade

cytoplasmic serine/threonine kinase termasuk kaskade p44/42 MAPK/ERK dan

jaras PI3K-Akt-PRAS40-mTOR dan STAT3. Mekanisme ini mempengaruhi

proliferasi sel dan apoptosis dari banyak tumor ganas solid termasuk meningioma.

Namun ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan

kemoterapi terhadap reseptor ini dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma.

Protein dan mRNA dari PDGF-B diekspresikan secara luas oleh jaringan

meningioma secara luas, namun peran fungsionalnya belum dapat dijelaskan secara

mendetail. VEGF berfungsi memediasi angiogenesis pada tumor otak. Penelitian

menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara ekspresi VEGF dan

neovaskularisasi pada meningioma. Pada prinsipnya VEGF diatur oleh faktor

transkripsi hypoxia inducible factor-1 (HIF-1). Tampak bahwa HIF-1 dan VEGF

meningkat pada emboli meningioma. Data memberi kesan bahwa VEGF memiliki

fungsi lain selain angiogenesis pada meningioma, seperti merangsang pertumbuhan

tumor. PDGF-B dihipotesakan memicu produksi VEGF dalam meningkatkan

proliferasi pembuluh darah dan pertumbuhan tumor.49,50

2.1.8 Manifestasi Klinis Meningioma

Sebagian besar meningioma adalah lesi jinak yang berkembang lambat sehingga

19

gejala klinisnya secara khas dihubungkan dengan gejala peningkatan tekanan

intrakranial yang bertahap. Meningioma orbita primer ditemukan 0,4-2% dari

seluruh kasus meningioma intrakranial. Meningioma orbita sekunder diyakini lebih

banyak ditemukan dibanding primer. Meningioma sphenoid ditemukan sebesar 16-

20% dari keseluruhan meningioma, dan meningioma dari area suprasellar

ditemukan sebesar 7-30% dari seluruh meningioma intrakranial. Sakit kepala dan

kejang adalah gejala umum yang terjadi, namun terdapat pula gejala lain yang

tergantung pada ukuran dan lokasi dari tumor. Manifestasi klinis yang dapat

ditemukan pada meningioma orbitokranial adalah kehilangan penglihatan

ipsilateral, proptosis, defek pupil aferen, gangguan penglihatan warna, defek lapang

pandang, edema diskus optik, dan gangguan gerak bola mata. Pemeriksaan

oftalmoskopik dapat menunjukkan edema papil, edema makula, papil nervus

optikus yang pucat dan atau disertai lipatan koroidal.51

2.1.9 Gambaran Radiologi pada Meningioma

Pemeriksaan penunjang radiologi pada meningioma dapat berupa foto x-ray,

CT-scan kepala baik dengan maupun tanpa kontras dan MRI. Pada foto x-ray dapat

ditemukan gambaran hiperostosis atau destruksi tulang dan sinus sphenoid,

peningkatan vaskularisasi akibat pembesaran arteri meningeal yang mensuplai

darah ke tumor, serta kalsifikasi yang dapat bersifat fokal maupun difus. Modalitas

CT-scan tanpa maupun dengan kontras digunakan untuk menunjukkan ukuran

meningioma. Pada CT-scan tanpa kontras, meningioma memberikan gambaran

isodens hingga sedikit hiperdens dan kalsifikasi. Sedangkan CT-scan dengan

20

kontras akan memberikan gambaran peningkatan densitas yang homogen.

Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan nekrosis sentral dapat dijumpai

pada CT-scan kepala. Gambaran khas pada CT-scan kepala adalah adanya dural

tail yaitu duramater yang melekat pada tulang. MRI merupakan pencitraan yang

sangat baik untuk mengevaluasi meningioma. MRI dengan T1W1 memberikan

gambaran isointens sedangkan beberapa lainnya memberikan gambaran hipointens

dibandingkan dengan gray matter. Pada T2W1, meningioma juga menunjukkan

gambaran isointens dengan beberapa yang hiperintens karena kandungan airnya

yang tinggi pada jenis meningothelial, yang hipervaskular, dan agresif. Pada

angiografi meningioma menunjukkan gambaran “spoke wheel appearance”. Arteri

dan kapiler memperlihatkan gambaran vaskular yang homogen dan prominen yang

disebut dengan mother and law phenomenon.51,52

2.1.10 Penatalaksanaan Meningioma

Penatalaksanaan meningioma tergantung dari lokasi dan ukuran tumor.

Penatalaksanaannya dapat berupa pembedahan, radiosurgery, radiasi dan

embolisasi. Pembedahan merupakan terapi utama pada penatalaksanaan semua

jenis meningioma. Tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor.

Tujuan reseksi meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi

efek massa, dan meringankan gejala. Reseksi harus dilakukan tanpa meninggalkan

jaringan sisa agar dapat menurunkan kejadian rekurensi. Reseksi yang dilakukan

tidak hanya mengangkat seluruh tumor tetapi juga meliputi jaringan lunak, batas

duramater sekitar tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada

21

skull base sering kali subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan pembuluh

darah.51,53

Klasifikasi Simpson dari ukuran reseksi pada meningioma intrakranial:

5. Grade I Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal �

6. Grade II Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura �

7. Grade III Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari perlekatan dura,

atau perluasan ekstradural (sinus yang terserang atau tulang yang hiperostotik)

8. Grade IV Reseksi parsial tumor �

9. Grade V Dekompresi sederhana (biopsi) �

Radioterapi bermanfaat secara klinis untuk regresi ataupun berhentinya

pertumbuhan tumor, sehingga disarankan sebagai terapi adjuvan pada reseksi

inkomplit, tumor rekuren dan atau grade tinggi, serta sebagai terapi utama pada

kasus meningioma saraf optik dan beberapa tumor yang tidak dapat direseksi.

External beam irradiation dengan 4500-6000 cGy dilaporkan efektif untuk

melanjutkan terapi operasi meningioma reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik

yang didahului dengan operasi sebelumnya ataupun tidak. Namun radioterapi harus

digunakan secara hati-hati dengan dosis yang tepat mengingat pertimbangan

komplikasi yang ditimbulkan terutama pada meningioma. Komplikasi yang dapat

timbul berupa insufisiensi pituitari ataupun nekrosis akibat radioterapi. Angiografi

preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh darah terhadap tumor serta

memfasilitasi embolisasi preoperatif. Beberapa jenis meningioma terutama

malignan memiliki vaskularisasi yang tinggi, sehingga embolisasi preoperatif

mempermudah tindakan reseksi tumor. Embolisasi preoperatif dilakukan pada

22

tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dengan mempertimbangkan keuntungan

dibandingkan dengan risiko dari embolisasi. Modalitas kemoterapi dengan regimen

antineoplasma masih belum banyak diketahui efikasinya untuk terapi meningioma

jinak maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan untuk meningioma

atipikal atau jinak rekuren baru sedikit sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi

terapi menggunakan regimen kemoterapi, baik intravena atau intraarterial cis-

platinum, decarbazine (DTIC) dan adriamycin, menunjukkan hasil yang kurang

memuaskan.54-56

2.1.11 Prognosis Meningioma

Pada umumnya prognosa meningioma adalah baik, karena sebagian besar

bersifat jinak, tumbuh lambat dan berbatas tegas sehingga pengangkatan tumor

yang sempurna akan memberikan penyembuhan yang permanen. Namun pada 10-

15% kasus, resiko kekambuhan tumor ini tinggi bahkan setelah dilakukan reseksi

komplit. Kasus kekambuhan tersebut umumnya membutuhkan reseksi ulang

sehingga menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas. Survival rate

pada dewasa relatif lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak, yaitu 75% pada

survival rate lima tahun. Meningioma pada anak-anak lebih agresif, perubahan

menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat besar. Mortalitas

meningioma pascaoperasi semakin kecil seiring dengan kemajuan teknik dan

pengalaman operasi para ahli bedah. Diperkirakan angka kematian pascaoperasi

selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan (1957– 1966) adalah 8,5%. Sebab-

sebab kematian menurut laporan terdahulu yaitu perdarahan dan edema otak.51

23

2.1.12 Kontrasepsi

Keluarga berencana (KB) adalah salah satu investasi paling efektif yang dapat

dilakukan suatu negara. KB memiliki berbagai manfaat potensial yang mencakup

pembangunan ekonomi, kesehatan ibu dan anak, pendidikan, dan pemberdayaan

wanita. Promosi KB dan akses yang baik terhadap metode kontrasepsi pilihan

sangat penting untuk kesejahteraan dan otonomi wanita, serta mendukung

kesehatan dan pengembangan masyarakat. Di hampir semua wilayah di dunia,

kontrasepsi digunakan oleh sebagian besar wanita dalam rentang usia reproduksi

(15-49 tahun) yang menikah. Pada tahun 2017, 63% dari wanita di seluruh dunia

menggunakan beberapa bentuk kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi lebih dari

70% terdapat di Eropa, Amerika Latin dan Karibia, dan Amerika Utara, sementara

di bawah 25% terdapat di Afrika Tengah dan Barat.57,58

2.1.12.1 Definisi Kontrasepsi

Kontrasepsi adalah suatu metode yang digunakan untuk mencegah kehamilan

sebagai konsekuensi dari hubungan seksual. Kontrasepsi mencegah kehamilan

dengan cara mengganggu proses normal ovulasi, pembuahan, dan implantasi.

Terdapat berbagai jenis kontrasepsi dengan mekanisme tertentu yang

mempengaruhi masing-masing proses tersebut.61

2.1.12.2 Klasifikasi Kontrasepsi

Kontrasepsi dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan cara kerjanya.

Kelompok pertama yaitu metode hormonal untuk mencegah ovulasi. Metode

hormonal meliputi pil KB (kontrasepsi oral), suntikan Depo Provera, dan Norplant.

Selanjutnya adalah kelompok metode barrier, yang bekerja dengan mencegah

24

sperma mencapai dan membuahi sel telur. Metode ini termasuk kondom pria dan

wanita, diafragma, dan cervical cap. Kondom adalah kontrasepsi yang juga

melindungi terhadap penyakit menular seksual, termasuk Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Metode selanjutnya adalah spermisida, yaitu obat-

obat yang membunuh sperma saat kontak. Sebagian besar spermisida mengandung

nonoxynyl-9. Spermisida ditempatkan di dalam vagina dan bekerja paling baik bila

digunakan bersamaan dengan metode barrier. Kemudian ada Perangkat intrauterin

(IUD) atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), yaitu perangkat yang

dimasukkan ke dalam rahim. AKDR mencegah telur yang telah dibuahi untuk

ditanam di lapisan rahim. Metode ligasi tuba adalah suatu prosedur kontrasepsi

permanen untuk wanita dengan cara mengikat atau membakar saluran tuba

sehingga sperma tidak dapat mencapai sel telur, dan sel telur tidak dapat melakukan

perjalanan ke rahim. Metode yang terakhir adalah vasektomi, yaitu prosedur medis

sterilisasi permanen pada pria dengan cara memotong dan mengikat vas deferens

yang membawa sperma ke dalam sement. Namun tidak ada satu metode kontrasepsi

yang sempurna mencegah kehamilan sebesar 100%, kecuali tidak melakukan

hubungan seksual. Tingkat kegagalan, atau tingkat di mana kehamilan terjadi, untuk

sebagian besar metode kontrasepsi cukup rendah. Namun, beberapa metode

kontrasepsi lebih sulit atau tidak nyaman untuk digunakan daripada yang lain, yang

dalam praktik sehari-hari memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi karena tidak

digunakan secara optimal.59,60

2.1.12.3 Kontrasepsi Hormonal

25

Kontrasepsi hormonal yaitu metode kontrasepsi yang bekerja pada sistem

endokrin, yang mengandung hormon steroid dan tersedia dalam berbagai bentuk,

termasuk pil, implan di bawah kulit, injeksi, patch, IUD dan cincin vagina. Delapan

belas persen pengguna kontrasepsi di dunia bergantung pada metode hormonal. Ada

dua jenis utama formula kontrasepsi hormonal, yaitu metode kombinasi yang

mengandung estrogen (etinilestradiol) dan progestin, dan metode progestogen

tunggal yang hanya mengandung progesteron atau analog sintetiknya (progestin).

Efek agen hormon pada sistem reproduksi sangat kompleks. Kontrasepsi hormonal

juga memiliki fungsi non-kontrasepsi, termasuk pengendalian kelainan menstruasi,

mengurangi dismenore, dan menurunkan kejadian kanker endometrium dan

ovarium. Metode kombinasi bekerja dengan mencegah ovulasi dan penebalan

mukus serviks. Umpan balik negatif progestogen menurunkan frekuensi pulsasi

pelepasan gonadotropin-releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus, yang

menurunkan pelepasan Follicle-stimulating hormone (FSH) dan Luteinizing

hormone (LH) oleh hipofisis anterior. Penurunan kadar FSH menghambat

perkembangan folikel, dan mencegah peningkatan kadar estradiol. Umpan balik

negatif progestogen dan kurangnya umpan balik positif estrogen pada pelepasan

LH mencegah lonjakan LH siklus menengah. Perkembangan folikel yang terhambat

dan tidak adanya lonjakan LH mencegah terjadinya ovulasi. Pada mulanya estrogen

merupakan kontrasepsi oral yang berfungsi menstabilkan endometrium sehingga

mengurangi kejadian perdarahan. Namun ditemukan juga bahwa umpan balik

negatif estrogen pada hipofisis anterior mengurangi pelepasan FSH, sehingga dapat

menghambat perkembangan folikel dan mencegah ovulasi. Mekanisme kerja utama

26

lain dari kontrasepsi yang mengandung progestogen adalah penghambatan

penetrasi sperma melalui serviks ke dalam saluran genital bagian atas (uterus dan

saluran tuba) dengan mengurangi jumlah dan meningkatkan viskositas lendir

serviks.62-64

Mekanisme kerja kontrasepsi progestogen tunggal bergantung pada aktivitas

dan dosis progestogen. Kontrasepsi progestogen tunggal dosis rendah meliputi pil

progestogen tunggal, implan subdermal Jadelle, dan sistem intrauterin Mirena.

Kontrasepsi ini menghambat ovulasi secara tidak konsisten pada ~50% siklus dan

bergantung pada efek progestogenik penebalan lendir serviks, dengan demikian

mengurangi viabilitas dan penetrasi sperma. Kontrasepsi progestogen tunggal dosis

menengah, seperti pil Cerazette atau implan subdermal Implanon, memungkinkan

beberapa perkembangan folikel namun lebih konsisten menghambat ovulasi pada

97-99% siklus. Perubahan lendir serviks yang sama dengan pada progestogen dosis

rendah. Kontrasepsi progestogen tunggal dosis tinggi, seperti injeksi Depo-Provera

dan Noristerat, sepenuhnya menghambat perkembangan folikel dan ovulasi.

Perubahan lendir serviks yang sama seperti pada progestogen dosis rendah dan

sedang.63,64

Depo-Provera Kontrasepsi Injeksi (CI) berisi medroksiprogesteron asetat 150

mg, diberikan setiap 13 minggu secara intramuskular pada muskulus gluteus atau

deltoid. Jika interval waktu penyuntikan lebih dari 13 minggu, harus dilakukan tes

kehamilan terlebih dahulu sebelum penyuntikan selanjutnya. Metode ini efektif

dalam mencegah kehamilan dan mengatasi nyeri akibat endometriosis. Depo-

Provera CI dikontraindikasikan pada keadaan diketahui atau diduga hamil,

27

tromboflebitis aktif atau riwayat tromboemboli, penyakit serebrovaskular,

keganasan payudara, hipersensitif terhadap Depo-Provera CI, gangguan hepar, dan

perdarahan vagina yang tidak diketahui penyebabnya. Depo-Provera CI tidak

digunakan sebagai metode kontrasepsi jangka panjang lebih dari 2 tahun, kecuali

tidak tersedia metode kontrasepsi lain. Penundaan kesuburan dapat terjadi hingga

10-18 bulan setelah penghentian suntikan. Efek samping dari metode kontrasepsi

ini antara lain perdarahan iregular dan menyebabkan hilangnya kepadatan mineral

tulang jangka pendek akibat penekanan estrogen. Depo-Provera CI tidak dapat

diberikan pada pasien yang mengalami kehilangan penglihatan mendadak sebagian

atau seluruhnya atau jika ada proptosis, diplopia, atau migrain yang muncul secara

tiba-tiba. Wanita yang sedang atau pernah menderita kanker payudara sebaiknya

tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, termasuk Depo-Provera CI, karena

kanker payudara sensitif secara hormonal.65,66

2.1.13 Hormon Progesteron

Progesteron adalah hormon steroid turunan dari kolestrol yang disintesis oleh

ovarium, kelenjar adrenal dan plasenta. Kadar progesteron lebih tinggi pada wanita

dibandingkan pria. Kadar hormon progesteron berubah berdasarkan siklus hidup

terutama perkembangan embrionik, siklus reproduksi (siklus menstruasi dan

estrous), kehamilan dan menopause. Hormon progesteron memainkan peran

penting dalam regulasi sejumlah fungsi seperti ovulasi, implantasi,

mempertahankan kehamilan, regulasi siklus sel, respon imunitas, ventilasi, perilaku

seksual, tidur, belajar dan memori pada beberapa jaringan seperti uterus, ovarium,

28

kelenjar mamae, pankreas, tulang, paru dan otak. Hormon progesteron bekerja

melalui mediasi oleh reseptor intraselular spesifik yang terdiri dari dua isoform

yaitu PR-A dan PR-B dengan fungsi yang berbeda. Pola ekspresi isoform PR sangat

kritis untuk regulasi kerja progesteron pada sel-sel.67

Hormon progesteron memiliki kerja yang beragam pada jaringan yang baik

berhubungan maupun tidak berhubungan dengan reproduksi. Hormon progesteron

diproduksi dan bertahan dengan periode waktu yang berbeda-beda (menit, jam, hari

dan bulan). Selain itu, progesteron dapat juga memiliki lebih dari satu efek pada sel

yang sama oleh karena beberapa mekanisme yang melibatkan molekul berbeda

pada kompartemen sel yang berbeda. Progesteron bekerja dengan melalui dua

mekanisme utama, yaitu genomik (klasik) dan non-genomik (non-klasik).

Mekanisme kerja melalui jalur genomik yaitu dengan mengubah ekspresi dari gen

target yang dimediasi oleh reseptor progesteron dan memiliki efek jangka panjang.

Sedangkan pada jalur non-genomik melibatkan modifikasi pada tingkat membran

sel dan memiliki efek yang cepat. Hubungan silang antara mekanisme genomik dan

non-genomik dapat timbul, dan pada kondisi ini hormon progesteron mampu

bekerja dengan regulasi yang baik untuk fungsi yang bervariasi.67,68

Gambar 2.3 Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik dan non-genomik

Sumber: Camacho-Arroyo64

29

Secara umum, efek non-genomik dari progesteron berlangsung cepat. Hormon

ini bekerja pada tingkat membran dan sitoplasma dan tidak masuk ke dalam sel.

Pada kondisi ini, progesteron tidak sensitif terhadap inhibitor transkripsi dan

sintesis protein. Variasi mekanisme non-genomik dari interaksi progesteron telah

diketahui dengan baik, yaitu reseptor-reseptor progesteron yang terletak pada

membran sel memiliki profil struktur dan farmakologis yang berbeda-beda; kanal

ion Ca2+ dan K+; lokasi modulator yang terletak pada reseptor neurotransmiter

seperti reseptor GABA; serta reseptor neurotransmiter dan faktor-faktor

pertumbuhan yang berpasangan dengan protein G. Interaksi ini menghasilkan

perubahan pada konduksi ionik, kaskade second messenger, produksi cAMP,

perubahan phosphoionisitide, dan protein kinase C dan aktivasi MAP kinase.67,68

2.1.14 Reseptor Progesteron

Reseptor progesteron merupakan keluarga dari ligand-activated zinc-finger

transcription factors. Keluarga dari protein nuklear termasuk reseptor dari steroid

dan hormon tiroid, asam retinoid, vitamin D, ecdysone ̧ dan lainnya dengan ikatan

endogen yang belum teridentifikasi. N-terminal A/B domain memiliki sekuensi dan

panjang yang sangat bervariasi pada semua anggota dari keluarga reseptor ini. Hal

ini termasuk aktivasi fungsi yang meregulasi transkripsi gen. Domain yang paling

dikonservasi adalah C yang mengandung regio ikatan DNA dan memiliki dua Zinc

finger tipe II yang berhubungan dengan pengenalan DNA. Domain D adalah regio

yang mengandung nuklear penentu lokasi sinyal dan sisi ikatan untuk protein

chaperone yang mempertahankan reseptor dalam keadaan inaktif. Domain E

30

bersifat multifungsi dan mengandung regio ikatan dengan AF yaitu nuklear penentu

lokasi lainnya yang berfungsi sebagai protein heat-shock dan asosiasi kofaktor. Dan

terakhir adalah domain F yang terletak di C-terminal dan memiliki ligant-depent

AF.69-71

Gambar 2.4. Struktur domain reseptor progesteron

Sumber: Camacho-Arroyo64

Regulasi transkripsi yang dimediasi oleh reseptor progesteron didahului dengan

interaksi hormon progesteron dengan reseptor progesteron. Setelah berikatan,

reseptor progesteron berdisosiasi dari protein chaperone dan dimerisasi dengan

molekul reseptor progesteron lainnya. Selanjutnya, reseptor progesteron

mengalami fosforilasi dalam bentuk ikatan dan merekrut kofaktor remodelling

chromation seperti koaktivator SRC-1 atau corepressor SMRT yang acetylate atau

deacetylate histone. Reseptor progesteron berinteraksi dengan sekuens DNA

spesifik yang pendek dan dikenal sebagai hormone responsive elements (HRE).

Interaksi ini juga menginduksi fosforilasi reseptor progesteron dan reseptor

progesteron berinteraksi dengan basal machinery of transcription yang terlibat

dalam ekspresi gen. Setelah pemisahan fosforilasi reseptor progesteron dari

kompleks transkripsi, reseptor progesteron ini akan menjadi sasaran degradasi

melalui jalur ubiquitin-proteasome.64,69

2.1.15 Hubungan Reseptor Progesteron dengan Meningioma

31

Meningen orang dewasa normal mengekspresikan reseptor progesteron dalam

kadar rendah, dan mayoritas meningioma mengekspresikan reseptor progesteron.

Penurunan ekspresi reseptor progesteron dari grade rendah hingga grade tinggi

telah dilaporkan dan meningioma dengan ekspresi reseptor progesteron yang

negatif lebih agresif dibandingkan yang positif. Meningioma yang mengalami

transformasi dari jinak ke atipikal menunjukkan penurunan ekspresi reseptor

progesteron dibandingkan meningioma atipikal yang de novo. Meningioma subtipe

meningothelial memiliki ekspresi reseptor progesteron yang lebih banyak

dibandingkan subtipe transisional dan fibrous. Beberapa penelitian melaporkan

ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.

Penelitian terbaru mengenai pemeriksaan ekspresi gen untuk meningioma

menemukan bukti bahwa terdapat ekspresi berlebihan sejumlah gen yang terletak

pada lengan panjang kromosom 22 untuk kasus reseptor progesteron positif

dibandingkan dengan kasus reseptor progesteron yang negatif. Hubungan antara

status reseptor progesteron dan regulasi kromosom 22q memperlihatkan adanya

peran hormon dalam tumorigenesis meningioma.72,73

Ekspresi reseptor progesteron terlihat lebih tinggi pada meningioma jinak

dibandingkan yang atipikal dan malignan walaupun tidak dijumpai perbedaan yang

signifikan. Penelitian Omulecka pada tahun 2006 mengenai hubungan ekspresi

reseptor progesteron dengan beberapa tipe meningioma menunjukkan bahwa

reseptor progesteron ditemukan 100% pada meningothelial, 95.2% pada

transisional, 77.8% pada atipikal dan 42.2% pada fibrous. Jika meningioma

kehilangan ekspresi reseptor progesteron selama transformasi menjadi derajat yang

32

lebih tinggi, maka hal ini menyebabkan kurang bergunanya pemakaian

antiprogesteron sebagai pengobatan meningioma atipikal dan malignan.70-72

Dalam sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Supartoto dkk pada tahun

2018 mengenai “Hubungan Antara Neurofibromatosis-2, Ekspresi Reseptor

Progesteron, Penggunaan Progesteron Eksogen, dan Risiko Meningioma

Orbitokranial pada Wanita”, menunjukkan bahwa semakin lama paparan injeksi

progesteron eksogen, maka akan semakin rendah ekspresi mRNA PR dan NF2

dalam serum, sehingga terjadi peningkatan risiko untuk menderita meningioma

orbitokranial pada wanita. Ekspresi PR yang rendah meningkatkan produksi sitokin

proinflamasi, seperti IL-1β. Peningkatan kadar IL-1β selanjutnya dapat memicu

inaktivasi NF2 diikuti oleh aktivitas merlin yang rendah, sehingga menghasilkan

percepatan dalam pertumbuhan sel dan perkembangan meningioma. Ini

menunjukkan bahwa ekspresi PR dalam serum yang rendah dan inaktivasi NF2

memiliki peran penting dalam tumorigenesis meningioma terkait progesteron dan

oleh karena itu dapat menjadi penanda klinis potensial untuk wanita yang berisiko

lebih tinggi mengalami meningioma.73-75

2.2 Kerangka Pemikiran

Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering didagnosis.

Pertumbuhan meningioma diakibatkan oleh mutasi genetik yang juga dipengaruhi

oleh faktor-faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, radiasi ionisasi, trauma kepala,

stimulasi oleh faktor pertumbuhan, riwayat keluarga, dan kontrasepsi hormonal.

Meningioma paling banyak terjadi pada wanita usia 30-60 tahun dengan riwayat

33

menggunakan kontrasepsi hormonal.17-19,44,45

Peranan hormon dalam peningkatan risiko meningioma dibuktikan dengan

meningkatnya penderita tumor ini pada wanita dibandingkan pria dengan rasio 2-

3:1. Peningkatan laju pertumbuhan ukuran meningioma pada fase luteal siklus

menstruasi dan siklus kehamilan pada sistem reproduksi menunjukkan peran

penting hormon seks wanita dalam etiologi meningioma. Adanya proliferasi in vitro

pada sel meningioma yang dikultur setelah terpapar dengan progesteron, dan regresi

meningioma pada pasien dengan penghentian terapi agonis estrogen juga

merupakan bukti bahwa meningioma dipengaruhi oleh hormon seks. Penelitian-

penelitian pada paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa risiko

meningioma berhubungan dengan status menopause, paritas, siklus menstruasi dan

usia pertama saat menstruasi.29,39-42

Hubungan antara status reseptor progesteron dan regulasi kromosom 22q

memperlihatkan adanya peran homon dalam tumorigenesis meningioma. Fakta

bahwa meningioma mengekspresikan reseptor hormon seks dibuktikan dengan

ditemukannya reseptor progesteron pada 90% sitosol granulasi sel arachnoid,

sedangkan reseptor estrogen dan androgen ditemukan pada sekitar 40% sitosol

granulasi sel arachnoid. Reseptor progesteron pada sitosol sel arachnoid yang

berinteraksi dengan hormon progesteron eksogen, membentuk mediator untuk

mengaktivasi regulasi transkripsi gen. Peningkatan regulasi transkripsi gen

mengakibatkan terjadinya peningkatan variasi ekspresi gen-gen yang terletak pada

atau berdekatan dengan lengan panjang kromosom 22q. Hal ini menyebabkan

mutasi gen NF-2, sehingga terjadi inaktivasi pengkodean protein penekan tumor

34

merlin. Akibatnya, terjadi delesi produk gen NF2 (merlin) yang merupakan

peristiwa awal dalam tumorigenesis meningioma sporadis. Inaktivasi gen penekan

tumor memerlukan inaktivasi NF2 bi-allelic yaitu mutasi intrinsik NF2 dan

kejadian eksogen seperti paparan kronis progesteron eksogen.10,21,22

Semakin lama paparan injeksi progesteron eksogen, maka akan semakin rendah

ekspresi mRNA PR dan NF2 dalam serum, sehingga terjadi peningkatan risiko

untuk menderita meningioma orbitokranial pada wanita. Ekspresi PR dalam serum

yang rendah meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, seperti IL-1β.

Peningkatan kadar IL-1β selanjutnya dapat memicu inaktivasi NF2 diikuti oleh

aktivitas merlin yang rendah, sehingga menghasilkan percepatan dalam

pertumbuhan sel dan perkembangan meningioma.10,11,22

Namun, hal-hal di atas perlu diinterpretasikan dengan cermat mengenai hal apa

saja yang mungkin dapat mempengaruhi perkembangan meningioma pada wanita

pengguna kontrasepsi hormonal. Sehingga pada penelitian ini, peneliti ingin

mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya meningioma

orbitokranial pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal di Poli

Rekonstruksi, Onkologi, dan Okuloplasti (ROO) PMN Rumah Sakit Mata Cicendo.

35

Gambar 2.5 Bagan kerangka pemikiran

HORMONAL

Hormon endogen dan eksogen • Progesteron • Estrogen

Aktivasi regulasi transkripsi gen ­

Reseptor Hormon Seks pada sel arachnoid: • Progesteron (90%) • Estrogen (40%) •Androgen (40%)

Variasi ekspresi gen pada kromosom 22q ­ Mutasi gen NF2

INTERAKSI

TUMORIGENESIS Delesi protein penekan tumor (Merlin)

Proliferasi sel ­ Apoptosis ¯

Radiasi •

Stimulasi faktor

pertumbuhan

Trauma kepala

Riwayat keluarga

Faktor risiko

Reproduksi Kontrasepsi

36

2.3 Premis dan Hipotesis

2.3.1 Premis

Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan kerangka pemikiran di atas dapat ditarik

premis sebagai berikut:

Premis 1 : Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang disebabkan oleh

mutasi genetika, dan dipengaruhi oleh faktor risiko seperti jenis kelamin, usia,

radiasi, trauma kepala, stimulasi faktor pertumbuhan, riwayat keluarga, dan

hormonal.16-18

Premis 2 : Meningioma paling banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria

dengan rasio 2-3 : 1, yang ditandai dengan bertambahnya ukuran meningioma pada

fase luteal siklus menstruasi dan siklus kehamilan pada sistem reproduksi,

menunjukkan peran penting hormon seks wanita dalam meningioma..16,22,47-49

Premis 3 : Terdapat reseptor hormon seks pada sitosol sel arachnoid meningioma,

dengan tingkat konsistensi terbesar yaitu reseptor progesteron (90%), reseptor

estrogen (40%), dan reseptor androgen (40%).10,11,47-49

Premis 4 : Interaksi antara hormon dengan reseptor hormon terutama progesteron

mengakibatkan inaktivasi gen penekan tumor (Merlin), yang memerlukan

inaktivasi NF2 bi-allelic yaitu mutasi intrinsik NF2 dan kejadian eksogen seperti

paparan kronis progesteron eksogen..10,11,22,32

Premis 5 : Semakin lama paparan progesteron maka semakin rendah ekspresi

mRNA PR dan NF2 dalam serum, sehingga meningkatkan produksi sitokin

proinflamasi yang memicu inaktivasi dan delesi NF2, sehingga menghasilkan

percepatan pertumbuhan sel dan perkembangan meningioma.10,111,22

37

2.3.2 Hipotesis

Dari premis-premis di atas dapat dideduksi hipotesis sebagai berikut:

1. Durasi penggunaan kontrasepsi hormonal yang lama merupakan faktor risiko

terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi

hormonal di Rumah Sakit Mata Cicendo.

2. Usia menarche yang lebih dini merupakan faktor risiko terjadinya meningioma

orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di Rumah Sakit Mata

Cicendo.

3. Jenis kontrasepsi hormonal progestogen tunggal merupakan faktor risiko

terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi

hormonal di Rumah Sakit Mata Cicendo.

4. Siklus menstruasi tidak teratur merupakan faktor risiko terjadinya meningioma

orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di Rumah Sakit Mata

Cicendo.

38

BAB III�

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan

cross-sectional (potong lintang).

3.2 Subjek Penelitian

Populasi target dalam penelitian ini adalah wanita usia 30-60 tahun yang telah

menikah. Populasi berisiko pada penelitian ini adalah pasien wanita yang

menggunakan kontrasepsi hormonal. Subjek penelitian adalah pasien wanita usia

30-60 tahun dengan riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal dan melakukan CT

scan orbita kepala pada poli ROO Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo

Bandung.

3.2.1 Sampel Penelitian

3.2.1.1 Cara Pemilihan Sampel

Pemilihan sampel dilakukan secara purposive sampling pada rekam medis di

PMN RS Mata Cicendo pada Januari 2018-Desember 2019 yang memenuhi kriteria

inklusi. Data karakteristik subjek penelitian diperoleh dari pencatatan rekam medis

secara retrospektif, serta hasil wawancara melalui telepon. Peserta penelitian

merupakan pasien pada poli ROO PMN RS Mata Cicendo yang melakukan

39

pemeriksaan radiologi CT scan orbita kepala. Jumlah sampel diambil hingga

memenuhi besar sampel minimal.

3.2.1.2 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah wanita usia 30-60 tahun, dengan

riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal, melakukan CT scan orbita kepala, dapat

dihubungi untuk dilakukan wawancara, serta bersedia mengikuti penelitian.

3.2.1.3 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dari sampel penelitian ini adalah pasien dengan gambaran non-

tumor pada CT scan orbita kepala, data rekam medis yang tidak lengkap, dan pasien

tidak dapat dihubungi atau tidak bersedia untuk dilakukan wawancara.

3.2.1.4 Penentuan Besar Sampel

Penentuan besar sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian analisis

multivarite yaitu untuk membuktikan apakah jenis kontrasepsi hormonal, durasi

penggunaan kontrasepsi hormonal, usia menarche dan siklus menstruasi merupakan

faktor risiko terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna

kontrasepsi hormonal. Untuk mengetahui bahwa dari 4 variabel yang diteliti,

variabel apa yang berperan dalam menentukan terjadinya meningioma orbitokranial

pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal, yaitu dengan menggunakan rumus

penentuan besar sampel untuk penelitian regresi logistik, maka digunakan ukuran

besar sampel sebagai berikut:

n = (jumlah variabel bebas x 10)/0,5

Dengan demikian n = (4 x 10)/0,5 = 80. Sehingga diperoleh jumlah sampel minimal

yang dibutuhkan adalah total sebesar 80 sampel.

40

3.3 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

3.3.1 Variabel Penelitian�

Variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel bebas dan variabel tergantung.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis kontrasepsi hormonal, durasi

penggunaan kontrasepsi hormonal, usia menarche dan siklus menstruasi. Variabel

tergantung pada penelitian ini adalah meningioma orbitokranial.

3.3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Definisi Operasional Alat ukur Hasil ukur Skala Usia Jumlah tahun hidup pasien yang

diperoleh berdasarkan keterangan usia pasien yang tercatat dalam rekam medis. Data usia dikaji dan dikelompokkan menurut dekade (30 - 39 tahun, 40 - 49 tahun, 50 - 59 tahun

Rekam medis

Tahun Numerik

Meningioma orbitokranial

Tumor meningens dengan lokasi tumor terletak di orbitokranial, merupakan keterangan hasil diagnosis oleh dokter konsultan ROO yang tercatat dalam rekam medis berdasarkan hasil CT scan kepala sentrasi orbita dengan ekspertise hiperostosis akibat perlekatan duramater pada tulang.

Rekam medis

Meningioma, non meningioma

Kategorik

Non-meningioma

Hasil ekspertise CT scan orbita kepala adalah tumor non meningioma.

Rekam medis

Durasi kontrasepsi hormonal

Waktu sejak menggunakan kontrasepsi hormonal pertama kali sampai berhenti, dikategorikan dalam tahun yaitu < 5 tahun, 5-10 tahun, > 10 tahun.

Rekam medis

< 5 tahun, 5-10 tahun, > 10 tahun

Kategorik

Jenis kontrasepsi hormonal

Kandungan kontrasepsi hormonal yang digunakan, dibagi atas progestogen tunggal dan kombinasi (estrogen dan progesteron)

Wawancara progestogen tunggal atau kombinasi

Kategorik

41

Usia menarche

Usia pertama kali mendapatkan menstruasi, dibagi atas <12 tahun, 12-15 tahun, >15 tahun. Cut off usia menarche dini adalah < 15 tahun, usia menarche lanjut adalah > 15 tahun

Wawancara < 12 tahun, 12-15 tahun, > 15 tahun.

Kategorik

Siklus menstruasi

Siklus hormonal bulanan tubuh wanita untuk mempersiapkan kehamilan, dikategorikan menjadi teratur/28 hari (ya) dan tidak teratur/tidak 28 hari (tidak)

Wawancara Ya, tidak Kategorik

Progestogen Jenis medikasi (kontrasepsi) yang memiliki efek seperti hormon progesteron wanita.

Wawancara

3.4 Bahan dan Alat Penelitian

Seluruh rekam medis termasuk hasil pemeriksaan CT scan orbita kepala subjek

penelitian diteliti, kemudian subjek penelitian menjalani wawancara tatap muka

atau telepon dengan menggunakan kuesioner standar yang disusun dan ditanyakan

oleh peneliti. Kuesioner akan dilampirkan pada bagian lampiran.

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari – Maret 2021 di PMN RS Mata Cicendo

Bandung, setelah mendapat persetujuan dari bagian Ilmu Kesehatan Mata FK

Universitas Padjadjaran dan Komite Etik Penelitian Kesehatan Rumah Sakit Mata

Cicendo.

3.6 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data

Tahapan penelitian ini di antaranya:

1. Usulan penelitian diajukan ke Komite Etik Penelitian Kesehatan (ethical

clearence).

42

2. Penelitian ini menggunakan dua sumber data yaitu data primer dan data sekunder.

Data sekunder diperoleh dari pencatatan rekam medis subjek penelitian yang

diambil secara retrospektif. Sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara

tatap muka langsung maupun melalui telepon terhadap subjek penelitian oleh

peneliti. Wawancara dilakukan menggunakan kuesioner standar yang disusun oleh

peneliti.

3. Pada saat pengambilan data sekunder, dilakukan pencatatan data umum pasien

meliputi nomor rekam medis, nama, usia, alamat, dan nomor telepon. Selanjutnya

dilakukan pencatatan mengenai hasil anamnesis pasien meliputi keluhan utama dan

keluhan tambahan, dan riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal. Pencatatan hasil

pemeriksaan oftalmologis mencakup tajam penglihatan, gangguan penglihatan

warna, pemeriksaan proptosis menggunakan exophthalmometer, pemeriksaan

segmen anterior menggunakan lampu celah biomikroskop, dan pemeriksaan

segmen posterior menggunakan funduskopi indirek. Kemudian dilakukan

pendokumentasian hasil pemeriksaan penunjang berupa CT scan orbita kepala

dengan kontras.

4. Pasien yang dapat dihubungi dan bersedia melakukan wawancara serta

berpartisipasi dalam penelitian akan diberikan penjelasan lisan secara langsung

melalui telepon. Penjelasan berisi maksud, tujuan penelitian, dan inform consent

secara verbal. Partisipasi bersifat sukarela dan subjek penelitian dapat menarik diri

dari penelitian tanpa konsekuensi.

5. Dilakukan wawancara terhadap subjek penelitian berupa pengisian kuesioner

yang meliputi identitas dan data sosiodemografis subjek penelitian termasuk tingkat

43

pendidikan, status sosial ekonomi, pekerjaan, faktor reproduksi (usia menarche dan

siklus menstruasi), dan riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal. Informasi

mengenai jenis kontrasepsi hormonal diperoleh dari pertanyaan langsung kepada

seluruh subjek penelitian, termasuk informasi tentang nama dagang atau kandungan

dari kontrasepsi hormonal tersebut. Wawancara dilakukan dengan menggunakan

suatu peristiwa kehidupan utama sebagai pedoman untuk eksplorasi durasi paparan

kontrasepsi hormonal. Pertanyaan representatif yang digunakan dalam penelitian

dijelaskan sebagai berikut, "kapan anak pertama Anda lahir?", "berapa

minggu/bulan setelah melahirkan anak pertama Anda mulai menggunakan

kontrasepsi hormonal?". Informasi mengenai paparan kontrasepsi hormonal

ditanyakan berulang kali, untuk memastikan bahwa informasi yang diperoleh

konsisten.

3.7 Pengolahan dan Analisa Data

Data yang sudah terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah data

menjadi informasi. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari:

1) Editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan

2) Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka

atau bilangan.

3) Data entry yaitu memasukkan data, yakni hasil pemeriksaan dan pengukuran

subjek penelitian yang telah di-coding, dimasukan ke dalam program

komputer.

44

4) Cleaning, yaitu apabila semua data dari responden telah selesai dimasukkan,

maka perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya

kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian

dilakukan koreksi.

Analisis yang dilakukan selanjutnya bertujuan untuk mendeskripsikan variabel-

variabel dependen dan independen sehingga dapat membantu analisis selanjutnya

secara lebih mendalam. Selain itu, analisis secara deskriptif ini juga digunakan

untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian yang menjadi sampel penelitian.

Analisis data untuk melihat gambaran proporsi masing-masing variabel yang akan

disajikan secara deskriptif dapat diuraikan menjadi analisis deskriptif dan uji

hipotesis. Data yang berskala numerik seperti usia pasien dipresentasikan dengan

rerata, standar deviasi, median dan range. Kemudian untuk data karakteristik

sampel berupa data kategorik maka diberikan koding dan dipresentasikan sebagai

distribusi frekuensi dan persentase.

Analisis yang dilakukan harus sesuai dengan jenis masalah penelitian dan data

yang digunakan. Kemudian untuk data numerik, sebelum dilakukan uji statistika

data numerik tersebut dinilai dengan uji normalitas dengan menggunakan Shapiro-

Wilk test apabila data kurang dari 50, alternatifnya adalah Kolmogorov Smirnov

apabila data lebih dari 50, dimana uji ini digunakan untuk menguji apakah data

berdistribusi normal atau berdistribusi tidak normal. Selanjutnya analisis statistik

sesuai tujuan penelitian dan hipotesis. Uji kemaknaan untuk membandingkan

karakteristik dua kelompok penelitian digunakan uji t tidak berpasangan jika data

berdistribusi normal dan uji Mann Whitney sebagai alternatifnya jika data tidak

45

berdistribusi normal. Sedangkan analisis statistik untuk data kategorik diuji dengan

uji chi-square apabila syarat Chi-Square terpenuhi apabila tidak terpenuhi maka

digunakan uji Exact Fisher untuk tabel 2 x 2 dan Kolmogorov Smirnov untuk tabel

selain 2 x 2. Syarat Chi Square adalah tidak ada nilai expected value yang kurang

dari 5 sebanyak 20% dari tabel.

Adapun kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p, apabila p≤0,05

signifikan atau bermakna secara statistika, dan p>0,05 tidak signifikan atau tidak

bermakna secara statistik. Data yang diperoleh dicatat dalam formulir khusus

kemudian diolah melalui program SPSS versi 24.0 for Windows. Setelah analisis

bivariat maka dilanjutkan dengan analisis untuk mengetahui pengaruh atau

hubungan antara beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat maka analisis

dilakukan untuk mencari faktor risiko (analisis multivariat) yang paling

berpengaruh. Analisis data multivariat untuk menentukan hubungan antara variabel

independen yaitu analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan variabel

dependen dengan menggunakan analisis regresi logistik biner karena variabel

terikatnya nominal biner. Variabel bebas yang dimasukkan dalam model regresi

logistik adalah variabel bebas yang pada analisis bivariat memiliki nilai p value

kurang dari 0,25. Adapun kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p,

apabila p≤0,05 signifikan atau bermakna secara statistika, dan p>0,05 tidak

signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Data yang diperoleh dicatat dalam

formulir khusus kemudian diolah melalui program SPSS versi 24.0 for Windows.

46

3.8 Implikasi / Aspek penelitian

Subjek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan

penjelasan mengenai prosedur penelitian, risiko, dan manfaat penelitian. Subjek

penelitian kemudian menandatangani persetujuan setelah penjelasan untuk ikut

serta dalam penelitian. Peneliti kemudian melakukan wawancara tatap muka atau

telepon untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik pasien termasuk

tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, pekerjaan, faktor reproduksi (usia

menarche, siklus menstruasi), dan riwayat kontrasepsi hormonal diperoleh dengan

menggunakan kuesioner standar.

Penelitian ini berpedoman pada tiga prinsip dasar dengan memperhatikan hal-hal

sebagai berikut :

1. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person) �

a. Pasien mempunyai hak untuk bertanya dan berkonsultasi mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan penelitian secara jelas. �

b. Keikutsertaan di dalam penelitian dilakukan secara sukarela dan sadar.

Pasien dapat mempergunakan haknya untuk menghentikan keikutsertaan di

dalam penelitian tanpa paksaan. �

2. Prinsip bermanfaat dan tidak merugikan (beneficience and non maleficience)

Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

faktor risiko penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap kejadian meningioma

pada wanita, sehingga dapat dilakukan evaluasi dan edukasi terhadap penggunaan

kontrasepsi hormonal pada wanita.

3. Prinsip Keadilan (Justice) �

47

Penelitian ini dilakukan pada pasien wanita yang menggunakan kontrasepsi

hormonal dan menderita meningioma. Subjek penelitian akan diperlakukan sama

dengan pasien lainnya. Pemeriksaan pasien pada penelitian ini merupakan tanggung

jawab peneliti dengan supervisi pembimbing. Pencatatan hasil penelitian ini akan

dijaga kerahasiaannya.

3.9 Alur Penelitian

Menelaah data rekam medis pasien PMN RS Mata Cicendo yang memenuhi kriteria inklusi

Data pasien dimasukkan ke dalam tabel data

Dilakukan wawancara melalui telepon dengan menggunakan kuesioner standar untuk menilai faktor risiko

MENINGIOMA

Pengolahan dan analisis data

Penyajian hasil penelitian

BUKAN MENINGIOMA

48

BAB IV�

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian mengenai faktor risiko meningioma pada wanita pengguna

kontrasepsi hormonal di Rumah Sakit Mata Cicendo ini dilakukan selama 3 bulan,

yaitu dari Januari – Maret 2021. Data rekam medis yang diambil adalah data rekam

medis bulan Januari 2018 – Desember 2019. Dari total 336 wanita usia 30-60 tahun

yang terdata menggunakan kontrasepsi hormonal pada rekam medis, terdapat 138

pasien yang dilakukan CT scan orbita kepala, 29 pasien dieksklusi karena

didapatkan hasil non tumor. Dari 109 pasien, 9 pasien tidak bersedia untuk

berpartisipasi dalam penelitian, 2 pasien meninggal dan 17 pasien tidak dapat

dihubungi untuk dilakukan wawancara, maka didapatkan sampel penelitian

sebanyak 81 pasien.

4.1.1 Karakteristik Demografi

Dari total 81 pasien, kami melakukan pencatatan data karakteristik yang

meliputi usia dan kategori usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan pendapatan

keluarga per bulan.

Tabel 4.1 menjelaskan gambaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan

usia dan kategori usia, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga per bulan.

Untuk rata-rata usia didapatkan 45.51±5.134 tahun dengan kelompok usia paling

banyak adalah 40-49 tahun, yaitu sebanyak 57 (70.4%). Tingkat pendidikan terakhir

49

pasien terbanyak adalah SD yaitu sebanyak 51 (63.0%). Mayoritas pekerjaan

partisipan adalah IRT, yaitu sebanyak 57 (70.4%). Pendapatan keluarga per bulan

mayoritas <1.800.000, yaitu sebanyak 58 (71.6%).

Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Demografi Subjek Penelitian

Variabel Jumlah (persen)

N=81

Usia Mean±Std 45.51±5.134 Median 45.00 Range (min-max) 31.00-57.00

Kategori Usia 30-39 tahun 10(12.3%) 40-49 tahun 57(70.4%) 50-59 tahun 14(17.3%)

Pendidikan SD 51(63.0%) SMP 21(25.9%) SMA 8(9.9%) D3/S1 1(1.2%)

Pekerjaan IRT 57(70.4%) Wirausaha 21(25.9%) Pegawai 3(3.7%)

Pendapatan keluarga perbulan <1.800.000 58(71.6%) >1.800.000 23(28.4%)

Keterangan : Untuk data kategorik disajikan dengan jumlah/frekuensi dan persentase sedangkan data numerik disajikan dengan rerata, median, standar deviasi dan range.

4.1.2 Analisis Bivariat

Tabel 4.2 menjelaskan perbandingan karakteristik subjek penelitian berdasarkan

hasil CT Scan orbita kepala. Pada kelompok pasien meningioma, rata-rata usia

pasien adalah 45.50±4.621 tahun dengan rentang usia terbanyak adalah 40-49 tahun

sebanyak 52 (74.3%). Untuk pendidikan terakhir pasien yang paling banyak adalah

SD yaitu sebanyak 45 (64.3%). IRT merupakan pekerjaan mayoritas partisipan

yaitu sebanyak 51 (72.9%). Untuk pendapatan keluarga per bulan yang paling

50

banyak adalah <1.800.000 sebanyak 52 (74.3%).

Pada kelompok pasien bukan meningioma, didapatkan rata-rata usia pasien

adalah 45.55±7.967 tahun dengan rentang usia terbanyak adalah 40-49 tahun

sebanyak 5 (45.5%). Untuk pendidikan terakhir pasien yang terbanyak adalah SD

sebanyak 6 (54.5%). Untuk pekerjaan didapatkan yang terbanyak adalah IRT

sebanyak 6 (54.5%). Untuk pendapatan keluarga per bulan yang terbanyak adalah

<1.800.000 sebanyak 6 (54.5%).

Untuk analisis data numerik ini diuji dengan menggunakan uji T tidak

berpasangan apabila data berdistribusi normal yaitu usia. Hasil uji statistika pada

kelompok penelitian di atas diperoleh informasi nilai P pada variabel usia lebih

besar dari 0.05 (nilai P>0.05) yang berarti tidak bermakna secara statistik. Dengan

demikian dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan

secara statistik antara variabel usia pada kelompok meningioma dan bukan

meningioma.

Untuk analisis pada data kategorik pada tabel di atas diuji dengan menggunakan

uji Exact Fisher apabila asumsi Chi Square tidak terpenuhi yaitu pendapatan

keluarga perbulan dan Uji Kolmogorov smirnov yaitu pada variabel kategori usia,

pendidikan dan pekerjaan. Hasil uji statistika pada kelompok penelitian di atas

diperoleh informasi nilai P pada variabel kategori usia, pendidikan, pekerjaan dan

pendapatan keluarga per bulan lebih besar dari 0.05 (nilai P>0.05) yang berarti tidak

bermakna secara statistik. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat

perbedaan proporsi yang signifikan secara statistik antara variabel kategori usia,

pendidikan, pekerjaan dan pendapatan keluarga per bulan pada kelompok

51

meningioma dan bukan meningioma. Dari hasil analisis perbandingan karakteristik

kedua kelompok di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok tidak

memiliki perbedaan karakteristik pada saat awal pemeriksaan. Hal ini menunjukkan

kedua kelompok sama atau homogen.

Tabel 4.2 Perbandingan antara karakteristik subjek penelitian berdasarkan Hasil CT

Scan Orbita Kepala

Variabel N=81

Hasil CT Scan Orbita Kepala Nilai p Meningioma Bukan Meningioma

N=70 N=11 Usia 0.986 Mean±Std 45.50±4.621 45.55±7.967 Median 45.00 46.00 Range (min-max) 36.00-57.00 31.00-57.00 Kategori Usia 0.743 30-39 tahun 8(11.4%) 2(18.2%) 40-49 tahun 52(74.3%) 5(45.5%) 50-59 tahun 10(14.3%) 4(36.4%) Pendidikan 0.894 SD 45(64.3%) 6(54.5%) SMP 19(27.1%) 2(18.2%) SMA 6(8.6%) 2(18.2%) D3/S1 0(0.0%) 1(9.1%) Pekerjaan 0.907 IRT 51(72.9%) 6(54.5%) Wirausaha 17(24.3%) 4(36.4%) Pegawai 2(2.9%) 1(9.1%) Pendapatan keluarga perbulan

0.278

<1.800.000 52(74.3%) 6(54.5%) >1.800.000 18(25.7%) 5(45.5%)

Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data berdsitribusi normal dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternative uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik. *Signifikansi <0.05, **signifikansi <0.0001

Tabel 4.3 menjelaskan perbandingan antara riwayat kontrasepsi hormonal dan

menstruasi berdasarkan Hasil CT Scan orbita kepala. Pada kelompok meningioma,

didapatkan durasi penggunaan kontrasepsi hormonal yang terbanyak adalah >10

tahun sebanyak 57 (81.4%). Untuk jenis kontrasepsi hormonal yang terbanyak

52

digunakan adalah progestogen tunggal yaitu sebanyak 60 (85.7%). Untuk usia

menarche terbanyak didapatkan pada kategori 12-15 tahun sebanyak 44 (62.9%).

Pada variabel siklus menstruasi didapatkan siklus menstruasi teratur sebanyak 55

(78.6%) dan tidak teratur sebanyak 15 (21.4%).

Pada kelompok pasien bukan meningioma, didapatkan durasi penggunaan

kontrasepsi hormonal terbanyak adalah <5 tahun sebanyak 6 (54.5%). Untuk jenis

kontrasepsi hormonal yang paling banyak digunakan adalah kombinasi yaitu

sebanyak 10 (90.9%). Untuk usia menarche terbanyak didapatkan pada kategori

>15 tahun sebanyak 8 (72.7%). Pada variabel siklus menstruasi didapatkan siklus

menstruasi teratur sebanyak 8 (72.7%) dan tidak teratur sebanyak 3 (27.3%).

Untuk analisis pada data kategorik pada tabel di atas diuji dengan menggunakan

uji statistika Exact Fisher karena asumsi Chi Square tidak terpenuhi yaitu siklus

menstruasi, uji alternative uji Exact Fisher yaitu variabel jenis kontrasepsi

hormonal dan uji Kolmogorov smirnov yaitu pada variabel durasi kontrasepsi

hormonal dan usia menarche. Hasil uji statistik pada kelompok penelitian di atas

diperoleh informasi nilai p pada variabel durasi kontrasepsi hormonal, jenis

kontrasepsi hormonal dan usia menarche lebih kecil dari 0.05 (nilai p<0.05) yang

berarti bermakna secara statistik. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terdapat

perbedaan proporsi yang signifikan secara statistik antara variabel durasi

kontrasepsi hormonal, jenis kontrasepsi hormonal dan usia menarche pada

kelompok meningioma dan bukan meningioma. Sedangkan nilai p pada variabel

siklus menstruasi lebih besar dari 0.05 (nilai p>0.05) yang berarti tidak bermakna

secara statistik, dengan demikian dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan

53

proporsi yang signifikan secara statistik antara variabel siklus menstruasi pada

kelompok meningioma dan bukan meningioma.

Tabel 4.3 Perbandingan antara riwayat kontrasepsi hormonal dan menstruasi

berdasarkan hasil CT Scan orbita kepala

Variabel Hasil CT Scan Orbita Kepala

Nilai p Meningioma Bukan Meningioma N=70 N=11

Durasi Kontrasepsi Hormonal 0.0001** <5 tahun 3(4.3%) 6(54.5%) 5-10 tahun 10(14.3%) 4(36.4%) >10 tahun 57(81.4%) 1(9.1%) Jenis Kontrasepsi Hormonal 0.0001** Kombinasi 10(14.3%) 10(90.9%) Progestogen Tunggal 60(85.7%) 1(9.1%) Menarche 0.001* <12 tahun 19(27.1%) 0(0.0%) 12-15 tahun 44(62.9%) 3(27.3%) >15 tahun 7(10.0%) 8(72.7%) Siklus Menstruasi 0.701 Teratur 55(78.6%) 8(72.7%) Tidak Teratur 15(21.4%) 3(27.3%)

Keterangan : Untuk Data kategorik nilai p dihitung berdasarkan uji Chi-Square dengan alternative uji Kolmogorov Smirnov dan Exact Fisher apabila syarat dari Chi-Square tidak terpenuhi Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05 .Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik. * Signifikansi <0.05, ** signifikansi <0.0001

4.1.3 Analisis Multivariat

Setelah melakukan analisis bivariat kemudian dilanjutkan dengan analisis

multivariat untuk menguji variabel faktor risiko dengan nilai p≤0,25, yaitu durasi

kontrasepsi hormonal, jenis kontrasepsi hormonal dan usia menarche. Dari ketiga

variabel bebas tersebut, apa yang paling dominan mempengaruhi kejadian

meningioma. Dari analisis model awal yang memiliki nilai p ≤0.25 akan dilanjutkan

ke analisis model akhir. Berdasarkan model akhir di mana dapat dilihat dari 3

variabel model awal setelah melalui 2 tahap maka model terbaik ada pada model

54

akhir, sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik hanya variabel durasi

kontrasepsi hormonal dan usia menarche yang berhubungan kuat dalam

meningkatkan risiko kejadian meningioma.

Tabel 4.4 Analisis Multivariat

B df Nilai p OR CI 95% Lower Upper

MODEL AWAL Durasi kontrasepsi hormonal

-3.867

1

0.016*

0.02

0.001

0.48

Jenis kontrasepsi hormonal 1.332 1 0.104 3.78 0.762 1.88 Usia Menarche 5.102 1 0.046* 1.64 1.102 2.45

MODEL AKHIR Durasi kontrasepsi hormonal

-3.622

1

0.006*

0.03

0.002

0.35

Usia Menarche 5.329 1 0.015* 2.06 2.844 1.49 Keterangan: Analisis Multivariate dengan regresi logistik Biner. Variabel bebas yang dimasukkan dalam model regresi logistik adalah variabel bebas yang pada analisis bivariate memiliki nilai p <0.25. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda * menunjukan nilai p<0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik.

4.2 Uji Hipotesis�

Hipotesis pada penelitian ini adalah jenis kontrasepsi hormonal progestogen

tunggal, durasi penggunaan kontrasepsi hormonal yang lama, usia menarche dini

dan siklus menstruasi tidak teratur merupakan faktor risiko terjadinya meningioma

orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal. Setelah dilakukan uji

dengan regresi logistik didapatkan bahwa:

1. Hipotesis durasi kontrasepsi hormonal yang lama merupakan faktor risiko

kejadian meningioma orbitokranial diterima.

2. Hipotesis usia menarche yang lebih dini merupakan faktor risiko kejadian

meningioma orbitokranial diterima.

3. Hipotesis jenis kontrasepsi hormonal progestogen tunggal merupakan faktor

55

risiko kejadian meningioma orbitokranial diterima.

4. Hipotesis siklus menstruasi tidak teratur merupakan faktor risiko meningioma

orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal ditolak.

4.3 Pembahasan

Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering ditemui.

Prevalensi meningioma diperkirakan sekitar 13-26% dari seluruh tumor primer

intrakaranial pada orang dewasa. Menurut data yang diperoleh dari Central Brain

Tumor Registry of the United States (CBTRUS), meningioma menyumbang 33.8%

dari seluruh kasus tumor otak primer dan sistem saraf pusat di Amerika Serikat

antara tahun 2006-2008, sehingga menempatkan meningioma sebagai tumor otak

primer yang paling sering terdiagnosis pada orang dewasa. Insidens meningioma

dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya usia. Insidens meningioma meningkat

seiring pertambahan usia dan mencapai puncaknya pada dekade kelima hingga

keenam.1,17-19

Pada penelitian ini, didapatkan bahwa meningioma terjadi pada rentang usia 36-

57 tahun dengan rerata±Std adalah 45.50±4.621 tahun, dengan kelompok usia

paling banyak adalah usia 40-49 tahun (70.4%) diikuti kelompok usia 50-59 tahun

(17.3%). Hal ini hampir serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Supartoto dkk di Yogyakarta pada tahun 2010-2014, dengan hasil rata-rata usia

kasus meningioma adalah 46.6±6.2 tahun. Perbedaan hasil rerata usia kasus

meningioma di negara maju dengan di Indonesia mungkin diakibatkan oleh usia

pernikahan di Indonesia yang lebih awal sehingga usia penggunaan kontrasepsi

56

hormonal dan kejadian meningioma juga terjadi lebih awal dibandingkan dengan di

negara maju. Namun lebih lanjut, didapatkan bahwa tingkat pendidikan, pekerjaan,

dan pendapatan bukan merupakan faktor risiko terjadinya meningioma, karena

tidak memiliki p-value < 0.001 yang artinya tidak signifikan secara statistik.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Supartoto dkk yang melakukan

penelitian case control pada 115 pasien, dengan hasil sebagian besar kasus

memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah (sekolah tingkat primer) dengan p-

value <0.001. Sedangkan pada variabel pekerjaan dan pendapatan memiliki hasil

yang serupa yaitu tidak bermakna secara statistik dengan nilai p > 0.001.10

Pada penelitian ini didapatkan bahwa durasi penggunaan kontrasepsi hormonal

yang lebih lama dapat meningkatkan risiko kejadian meningioma pada wanita,

serupa dengan penelitian Michaud et al. yang manyatakan bahwa wanita dengan

riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal lebih dari 15 tahun secara signifikan

meningkatkan risiko meningioma orbitokranial. Selain itu, studi terbaru oleh Claus

dan rekan menyatakan bahwa penggunaan terapi hormonal eksogen secara positif

terkait dengan meningioma intrakranial di antara wanita. Terdapat beberapa

penelitian dengan hasil yang berbeda dengan penelitian kami. Sebagai contoh, studi

yang dilakukan oleh Custer et al. tidak menunjukkan hubungan yang signifikan

antara penggunaan kontrasepsi hormonal dan meningioma.44-46

Mekanisme yang mendasari hubungan antara paparan jangka panjang hormon

eksogen dan perkembangan meningioma pada wanita dapat dijelaskan melalui

adanya bukti bahwa semakin lama paparan progesteron maka semakin rendah

ekspresi mRNA PR dan NF2 dalam serum dan dapat mengubah tingkat progesteron

57

in-vivo serta ekspresi reseptor progesteron, sehingga terjadi peningkatan produksi

sitokin proinflamasi yang akan memicu delesi dan inaktivasi lokus gen NF2, dan

berpengaruh lebih luas pada tingkat genetik Merlin (protein spesifik dalam gen NF2

yang mengatur pertumbuhan jaringan meningeal). Akibatnya akan terjadi inaktivasi

Merlin sebagai gen penekan tumor dalam jaringan meningeal sehingga

menghasilkan proliferasi sel meningioma atau tumorigenesis.10,11,22

Lebih lanjut, penelitian kami juga menemukan bahwa usia menarche dini secara

independen dikaitkan dengan risiko meningioma yang lebih tinggi. Berbeda dengan

beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa usia menarche tidak

berhubungan dengan risiko berkembangnya meningioma. Berdasarkan penelitian,

pertumbuhan dan perkembangan meningioma menjadi lebih cepat selama fase

lutheal pada menstruasi. Fenomena ini dikaitkan dengan jalur hormonal (endogen

dan eksogen) yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan meningioma.

Hal ini dikaitkan dengan usia menarche lebih awal yang memiliki risiko

meningioma lebih besar. Penjelasan potensial adalah bahwa risiko perkembangan

meningioma terkait dengan perubahan kadar hormon seks wanita.7-9

Namun hasil penelitian yang dilakukan oleh Jhawar et al pada tahun 2003

menyatakan hal lain, yaitu usia menarche yang lebih lanjut berpotensi

meningkatkan risiko meningioma hampir dua kali lipat. Meskipun temuan ini masih

belum dapat dijelaskan, onset menarche diketahui sebagai proses yang ditentukan

oleh sistem saraf pusat. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, kemungkinan

pertumbuhan meningioma dini di sekitar hipotalamus atau hipofisis berpotensi

menunda permulaan pubertas, yang salah satunya ditandai oleh menarche. Namun

58

demikian, penjelasan lain mungkin diperlukan terkait dengan minimnya data

meningioma dan tumor intrakranial yang terdiagnosis pada usia remaja. Penemuan

Jhawar et al tentang hubungan terbalik antara risiko meningioma dan peningkatan

usia saat menarche, meskipun tidak terduga, masih mungkin terkait dengan hormon.

Dalam pengamatannya, Jhawar et al memberikan gambaran koheren yang

menunjukkan bahwa paparan hormon seks mungkin memainkan peran penting

dalam terjadinya gejala meningioma.41,48

Pada analisis bivariat, didapatkan juga nilai p < 0.0001 yang bermakna secara

statistik pada variabel jenis kontrasepsi hormonal yang digunakan. Namun setelah

dilakukan analisis multivariat, maka pada model akhir tidak didapatkan hasil yang

signifikan secara statistik untuk variabel ini. Supartoto dkk dalam kesimpulan

penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal yang

mengandung progesteron dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko meningioma

orbitokranial pada wanita. Namun hal ini perlu disesuaikan dengan tingkat

pendidikan, usia menarche, lama siklus menstruasi dan jumlah paritas, yang jika

berinteraksi secara simultan dapat meningkatkan risiko meningioma orbitokranial.

Suatu studi preliminary yang dilakukan oleh Claus et al tahun 2008 pada 31 sampel

meningioma melaporkan bahwa pola ekspresi gen spesifik muncul lebih kuat terkait

dengan status reseptor progesteron (PR) daripada dengan status reseptor estrogen

(ER). Gen pada lengan panjang kromosom 22 dan dekat gen NF2 (22q12) paling

sering memiliki variasi ekspresi dan mutasi, menunjukkan bahwa gen dalam jalur

kolagen dan matriks ekstraseluler paling sering diekspresikan secara berbeda oleh

status PR.10,46

59

Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah penelitian ini merupakan

penelitian dengan rancangan cross sectional dengan cara pengambilan data

retrospektif, sehingga kemungkinan terjadinya bias seleksi besar salah satunya

yaitu terdapatnya perbedaan jumlah sampel pada kedua kelompok penelitian.

Kemudian pengambilan sampel penelitian dilakukan di rumah sakit dengan jumlah

sampel yang relatif kecil karena peneliti mengharapkan sampel yang homogen,

sehingga tidak dapat menggambarkan faktor risiko meningioma pada wanita

pengguna kontrasepsi hormonal di masyarakat luas. Selain itu, data primer yang

didapatkan dengan teknik wawancara langsung terhadap pasien, dapat

menyebabkan terjadinya bias informasi (recalling) yang cukup besar, walaupun

peneliti berusaha meminimalisasinya dengan cara memberikan pertanyaan yang

lebih terarah saat wawancara.

60

BAB V�

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Penelitian kami menunjukkan bahwa:

1. Durasi penggunaan kontrasepsi hormonal yang lama merupakan faktor risiko

terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi

hormonal di Rumah Sakit Mata Cicendo.

2. Usia menarche yang lebih dini merupakan faktor risiko terjadinya meningioma

orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di Rumah Sakit Mata

Cicendo.

3. Jenis kontrasepsi hormonal progestogen tunggal merupakan faktor risiko

terjadinya meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi

hormonal di Rumah Sakit Mata Cicendo.

4. Siklus menstruasi tidak teratur bukan merupakan faktor risiko terjadinya

meningioma orbitokranial pada wanita pengguna kontrasepsi hormonal di

Rumah Sakit Mata Cicendo.

5.2 Saran

1. Untuk mendapatkan berapa besar faktor risiko durasi penggunaan kontrasepsi

hormonal dan usia menarche terhadap kejadian meningioma orbitokranial

dengan evidence based yang lebih kuat dapat dilakukan penelitian lanjutan

dengan desain case control atau cohort.

61

2. Penelitian lebih lanjut untuk mempelajari peran reseptor hormonal dan penanda

biologis lainnya pada tingkat molekuler atau genetik sangat diperlukan untuk

menentukan mekanisme yang terjadi.

3. Evaluasi lebih lanjut dari penggunaan hormon eksogen pada wanita dengan

meningioma dalam studi yang lebih besar diperlukan dengan perhatian khusus

pada komposisi hormon (estrogen dan/atau progesteron), durasi dan usia saat

menggunakan kontrasepsi hormonal serta subkelompok meningioma yang

ditentukan oleh ekspresi reseptor tumor.

62

DAFTAR PUSTAKA

1. Ostrom QT, Gittleman H, Fulop J, Liu M, Blanda R, et al. CBTRUS statistical report:

Primary brain and central nervous system tumors diagnosed in the United States in 2008-2012. Neuro Oncol 2015;17: 1-62. �

2. Westphal M, et al. Neuro-Oncology of CNS Tumors. Berlin, Heidelberg, New York: Springer; 2006. �

3. Ramamurthi and Tandon’s. Manual of Neurosurgery. First edition. New Delhi: Jaypee Brother’s Medical Publishers; 2014. �

4. Pamir MN, Black P, Fahlbush RF. Meningiomas. A Comprehensive Text. Saunders Elsevier; 2010. �

5. Almefty R., Haddad G. F., Al-Mefty O. Meningiomas (7th ed.). Youmans and Winn Neurological Surgery, Elsevier Inc., USA. 2017; 1107–1132

6. Doyle MD, L. A., and Hornick MD, J. L.: Epithelioid and epithelial-like Tumors (2nd ed.), in Practical soft tissue pathology: a diagnostic approach, Elsevier Inc., USA. 2019;165–208

7. Holleczek B, Zampella D, Urbschat S, Sahm F, Deimling A. Incidence, mortality and outcome of meningiomas: A population-based study from Germany. Cancer Epidemiology. 2019;62.p1-8.

8. McKee, S. P., Yang, A., Gray, M., Zeiger, J., Bederson, J. B., Govindaraj, S., Iloreta, A. M. C., and Shrivastaca, R. K.: Intracranial meningioma surgery: value-based care determinants in New York State, 1995-2015, World Neurosurgery 2018;118, 731–744.

9. Benson VS, Pirie K, Green J, Casabonne D, Beral V. Lifestyle factors and primary glioma and meningioma tumours in the Million Women Study cohort. Br J Cancer 2008;99:185–190.

10. Supartoto, A., Mahayana, I. T., and Christine, R. N.: Exposure to Exogenous Female Sex Hormones is Associated with Increased Risk of Orbito-Cranial Meningioma in Females: A Case-Control Study, International Journal of Ophthalmic Pathology, 2016;5(3). https://doi.org/10.4172/2324-8599.1000183

11. Wahyuhadi, J., Heryani, D., and Basuki, H.: Risk of meningioma associated with exposure of hormonal contraception . A case control study 2018;26(1), 36–41.

12. Traylor JI, Kuo JS. Meningiomas: Neurosurgical Conditions and Treatments. American Association of Neurological Surgeons. Vancouver; 2020.

13. Almefty R, Haddad GF, Al-Mefty O. Meningiomas: An overview (7th ed.). Youmans and Winn Neurological Surgery, Elsevier Inc., USA. 2011; 1107–1132.

14. Cancer, I. A. WHO Classification of Tumours of the Central Nervous System (4th ed.), WHO Press, France. 2007; 163-184.

15. Bowling, B., and Franzco. Orbit (8th ed.). Kanski’s clinical ophthalmology, Elsevier Inc., USA. 2016: 77–117.

16. Louis D, Ohgaki H, Wiestler O, et al. The 2007 WHO classification of tumours of the central nervous system. Acta Neuropathol 2007; 114: 97–109.

17. Aman RA, Soenarya MF, Andriani R, Anindhita T, Munandar A, dkk. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tumor Otak. Kemenkes RI. 2017;19-23.

18. Wiemels J, Wrensch M, Claus E. Epidemiology and etiology of meningioma. J Neurooncol. 2010; 99(3):301-314.

19. Cea-Soriano L, Wallander MA, Rodriguez G. Epidemiology of Meningioma in the United Kingdom. Neuroepidemiology. 2012;39(1); 27-3.

63

20. Rogers L, Barani I, Chamberlain M, Kaley TJ, McDermott M, et al. Meningiomas: knowledge base, treatment outcomes, and uncertainties. A RANO review. J Neurosurg October 24, 2014.

21. Al-Hadidy AM, Maani WS, Mahafza WS, Al-Najar MS, Al-Nadii MM. Intracranial meningioma. J Med J 2007; Vol. 41 (1): 37- 51.

22. Petrilli AM, Fernandez-Valle C (2016) Role of Merlin/NF2 inactivation in tumor biology. Oncogene 35: 537-554.

23. Amatya VJ, Takeshima Y, Sugiyama K, et al.: �Immunohistochemical Study of Ki-67 (MIB-1), p53 protein, p21W AF1 and p27KIP1 Expression in Benign, Atypical and Anaplastic Meningiomas. Hum Pathol 2001; 32: 970–975.

24. Roessler K, Gattenbauer B, Kitz K: Topoisomerase II Alpha as a Reliable Proliferation Marker in Meningiomas. Neurol Res 2002; 24: 241–244. �

25. Konstantinidou AE, Korkolopoulou P , Kavantzas N, et al.: Mitosin, a Novel Marker of Cell Proliferation and Early Recurrence in Intracranial Meningiomas. Histol Histopathol 2003;18: 67–74. �

26. Strik HM, Strobelt I, Pietsch-Brietfeld B,et al.: The Impact of Progesterone Receptor Expression on Relapse in the Long-term Clinical Course of 93 Benign Meningiomas. In Vivo 2002; 16: 265– 270. �

27. Nagashima G, Asai J, Suzuki R, et al.: Different Distribution of c-myc and MIB-1 Positive Cells in Malignant Meningiomas with Reference to TGFs, PDGF and PgR Expression. Brain Tumor Pathol 2001; 18:1–5.

28. Blankenstein MA, Verheijen FM, Jacobs JM, et al.: Occurrence, Regulation and Significance of Progesterone Receptors in Human Meningioma. Steroids 2002; 65: 795–800.

29. Hsu DW, Efird JT, Hedley-Whyte ET. Progesterone and Estrogen Receptors in Meningiomas: Prognostic considerations. J Neurosurg 1997; 86: 113–120.

30. Meewes C, Bohuslavizki KH, Krisch B, Held-Feindt J, Henze E, Clausen M. Molecular Biologic and Scintigraphic Analyses of Somatostatin Receptor-negative Meningiomas. J. Nucl. Med. 2001; 42(9):1338-45.

31. Schulz S, Pauli SU, Schulz S, et al.: Immunohistochemical Determination of Five Somatostatin Receptors in Meningioma Reveals Frequent Overexpression of Somatostatin Receptor Subtype sst2A. Clin Cancer Res 2000; 6:1865–1874.

32. Preston DL, Ron E, Yonehara S, Kobuke T, Fujii H, Kishikawa M, et al. Tumors of the nervous system and pituitary gland associated with atomic bomb radiation exposure. J Natl Cancer Inst. 2002;94:1555–1563.

33. Hijiya N, Hudson MM, Lensing S, Zacher M, Onciu M, Behm FG, et al. Cumulative incidence of secondary neoplasms as a first event after childhood acute lymphoblastic leukemia. JAMA. 2007;297:1207–1215.

34. Lahkola A, Tokola K, Auvinen A. Meta-analysis of mobile phone use and intracranial tumors. Scand J Work Environ Health 2006;32(3):171–177.

35. Phillips LE, Koepsell TD, van Belle G, Kukull WA, Gehrels JA, Longstreth WT Jr. History of head trauma and risk of intracranial meningioma: population-based case–control study. Neurology. 2002;58:1849–1852.

36. Claus EB, Calvocoressi L, Bondy ML, Schildkraut JM, Wiemels JL, Wrensch M. Family and Personal Medical History and Risk of Meningioma. J Neurosurg. 2011 Dec;115(6):1072-7.

37. Malmer B, Henriksson R, Gronberg H. Familial brain tumours-genetics or environment? A nationwide cohort study of cancer risk in spouses and first-degree relatives of brain tumour patients. Int J Cancer 2003;106:260–263.

38. Hemminki K, Tretli S, Sundquist J, Johannesen TB, Granstrom C. Familial risks in

64

nervous-system tumours: a histology-specific analysis from Sweden and Norway. Lancet Oncol 2009;10: 481–488.

39. Taghipour M, Rakei SM, Monabati A, Nahavandi-Nejad M. The role of estrogen and progesterone receptors in grading of the malignancy of meningioma. IRCMJ 2007; 9(1):17-21.

40. Claus EB, Calvocoressi L, Bondy ML, Wrensch M, Wiemels JL, et al. Exogenous hormone use, reproductive factors, and risk of intracranial meningioma in females. J Neurosurg 2013;118: 649-656.

41. Jhawar BS, Fuchs CS, Colditz GA, Stampfer MJ (2003) Sex steroid hormone exposures and risk for meningioma. J Neurosurg 99: 848-853.

42. Vadivelu S, Sharer L, Schulder M. Regression of multiple intracranial meningiomas after cessation of long-term progesterone agonist therapy. J Neurosurg 2010;112:920–924.

43. Blitshteyn S, Crook JE, Jaeckle KA. Is there an association between meningioma and hormone replacement therapy? J Clin Oncol 2008;26:279–282.

44. Custer B, Longstreth WT, Phillips LE, Koepsell TD, Van Belle G. Hormonal exposures and the risk of intracranial meningioma in women: a population-based case-control study. BMC Cancer 2006;6: 152.

45. Michaud DS, Gallo V, Schlehofer B, Tjønneland A, Olsen A, et al. Reproductive factors and exogenous hormone use in relation to risk of glioma and meningioma in a large European cohort study. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2010;19: 2562-2569.

46. Claus EB, Park PJ, Carroll R, Chan J, Black PM. Specific genes expressed in association with progesterone receptors in meningioma. Cancer Res 2008;68:314–322.

47. Wernicke AG, Dicker AP, Whiton A, Ivanidze J, Hyslop T, et al. Assessment of Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) expression in human meningioma. Radiation Oncology 2010, 5:46.

48. Choong KH, Jin CH, Jae KM. Correlation of granulin expression in intracranial meningiomas to clinical parameters. Experimental and Therapeutic Medicine. 2010;1:493-496.

49. Johnson MD, O’Conell MJ, Pilcher W, Reeder JE. Fibroblast growth factor receptor-3 expression in meningiomas with stimulation of proliferation by the phosphoinositide 3 kinase-Akt pathway. J Neurosurg. 2010 May;112(5):934-9.

50. Pfister C, Pfrommer H, Tatagiba MS, Roser F. Vascular endothelial growth factor signals through platelet-derived growth factor receptor β in meningiomas in vitro. Br J Cancer. 2012 Nov 6; 107(10): 1702–1713.

51. Lee JH. Meningioma: Diagnosis, Treatment, and Outcome. Springer. Cleveland. 2009;101-131.

52. Osborn AJ, et al. Diagnostic Imaging. Brain. Amirsys, 1st Ed. 2004:II-4. 53. Modha A, Gutin PH. Diagnosis and treatment of atypical and anaplastic meningiomas:

A review. Neurosurgery 2005;57:538-50. 54. Ferraro DJ. A retrospective analysis of survival and prognostic factors after

stereotactic radiosurgery for aggressive meningiomas. Radiat Oncol. 2014 Jan 27;9:38.

55. Moazzam AA, Wagle N, Zada G. Recent developments in chemotherapy for meningiomas: a review. Neurosurg Focus. 2013 Dec;35(6):E18.

56. Riemenschneider MJ, Perry A, Reifenberger G. Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet Neurol 2006; 5: 1045–54.

57. Starbird E, Norton M, Marcus R. Investing in family planning: key to achieving the sustainable development goals. Glob Health Sci Pract. 2016;4(2):191-210.

65

58. United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division. World Family Planning 2017 - Highlights (ST/ESA/SER.A/414). �

59. Leon S, Philip D. "Oral contraception". A clinical guide for contraception. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2011;19–152.

60. Nelson AL, Willard Jr. C, Deborah K, Michael S. Contraceptive technology (20th revised ed.). New York: Ardent Media. 2012;249–341.

61. Anna G. "Contraception". In Jameson, J. Larry; De Groot, Leslie J. (eds.). Endocrinology (6th ed.). Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010;2417–2427.

62. Nelson, Anita L.; Cwiak, Carrie (2011). "Combined oral contraceptives (COCs)". In Hatcher, Robert A.; Trussell, James;

63. Levin, Ellis R.; Hammes, Stephen R. (2011). "Estrogens and progestins". In Brunton, Laurence L.; Chabner, Bruce A.; Knollmann, Björn C. (eds.). Goodman & Gilman's pharmacological basis of therapeutics (12th ed.). New York: McGraw-Hill Medical. pp. 1163–1194.

64. Camacho-Arroyo I, Hansberg-Pastor V, Vázquez-Martínez ER, Cerbón M. Mechanism of Progesterone Action in the Brain. Hormones, Brain and Behavior. 2017;181–214.

65. Cromer BA, Scholes D, Berenson A, et al. Depot medroxy-progesterone acetate and bone mineral density in adolescents—the black box warning: a position paper of the Society for Adolescent Medicine. J Adolesc Health 2006; 39:296–301. �

66. Scholes D, LaCroix AZ, Ichikawa LE, Barlow WE, Ott SM. Injectable hormone contraception and bone density: results from a prospective study. Epidemiology 2002; 13:581–587. �

67. Bernauer S, Wehling M, Gerdes D, Falkenstein E. The human membrane progesterone receptor gene: genomic structure and promoter analysis DNA Sequence. 2001;(12):13–25.

68. Scarpin KM, Graham JD, Mote PA, Clarke CL. Progesterone action in human tissues: regulation by progesterone receptor (PR) isoform expression, nuclear positioning and coregulator expression. Nucl Recept Signal. 2009; 7: e009.

69. Leonhardt SA, Edwards DP. Progesterone receptor transcription and non-transcription signaling mechanisms. Steroids. 2003 Nov;68(10-13):761-70.

70. Fakhrjou A, Meshkini A, Shadrvan S. Status of Ki-67, estrogen and progesterone receptors in various subtypes of intracranial meningiomas. Pak J Biol Sci. 2012 Jun 1;15(11):530-5.

71. Shayanfar N, Mashayekh M, Mohammadpour M. Expression of Progestrone Receptor and Proliferative Marker ki 67 in Various Grades of Meningioma. Acta Medica Iranica, Vol. 48, No. 3:2010;142-147.

72. Omulecka, et al. Immunohistochemical expression of progesterone and estrogen receptors in meningiomas. Folia Neuropathol 2006;44(2): 111-115.

73. Supartoto et al. Relationships Between Neurofibromatosis-2, Progesterone Receptor Expression, the Use of Exogenous Progesterone, and Risk of Orbitocranial Meningioma in Females. Front. Oncol.2019; 8:651.

74. Butts CL, Shukair SA, Duncan KM, Bowers E, Horn C, Belyavskaya E, et al. Progesterone inhibits mature rat dendritic cells in a receptor-mediated fashion. Int Immunol. 2007;19:287–96.

75. Garcia-Ruíz G, Flores-Espinosa P, Preciado-Martínez E, Bermejo-Martínez L, Espejel-Nuñez A, Estrada-Gutierrez G, et al. In vitro progesterone modulation on bacterial endotoxin-induced production of IL-1β, TNFα, IL-6, IL-8, IL-10, MIP-1α, and MMP-9 in pre-labor human term placenta. Rep Biol Endocrinol. 2015;13:115.

66

LAMPIRAN 1. KUESIONER WAWANCARA Nama :

Alamat :

Tanggal lahir/Usia :

Pendidikan terakhir :

Pekerjaan :

Penghasilan/bulan :

Usia menstruasi pertama kali :

a. < 12 tahun

b. 12-15 tahun

c. > 15 tahun

Siklus menstruasi :

a. Teratur/28 hari

b. Tidak teratur/tidak 28 hari

Jenis kontrasepsi hormonal :

a. Progestogen tunggal

b. Kombinasi (estrogen + progesteron)

Durasi paparan kontrasepsi hormonal :

a. < 5 tahun

b. 5-10 tahun

c. > 10 tahun

67

LAMPIRAN 2. LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) UNTUK IKUT SERTA DALAM

PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Saya telah membaca atau memperoleh penjelasan, sepenuhnya menyadari, mengerti, dan memahami tentang tujuan, manfaat, dan risiko yang mungkin timbul dalam penelitian, serta telah diberi kesempatan untuk bertanya dan telah dijawab dengan memuaskan, juga sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dari keikut sertaannya, maka saya setuju/tidak setuju*) ikut dalam penelitian ini, yang berjudul:

” FAKTOR RISIKO MENINGIOMA ORBITOKRANIAL

PADA WANITA PENGGUNA KONTRASEPSI HORMONAL DI PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO

BANDUNG”

Saya dengan sukarela memilih untuk ikut serta dalam penelitian ini tanpa tekanan/paksaan siapapun. Saya akan diberikan salinan lembar penjelasan dan formulir persetujuan yang telah saya tandatangani untuk arsip saya.� Saya setuju: Ya/Tidak*)

*) coret yang tidak perlu

Tgl.:

Tanda tangan (bila tidak bisa dapat digunakan cap jempol)

Nama Peserta: Usia:� Alamat:

Nama Peneliti:� dr. Vina Karina Apriyani

Nama Saksi:

68

LAMPIRAN 3. LEMBAR PERSETUJUAN ETIK

69

LAMPIRAN 4. TABEL DATA PASIEN

No. No. RM Nama

Usia Pendidikan terakhir Pekerjaan Pendapatan Keluarga per bulan

Anamnesis CT-scan orbita kepala Riwayat KB hormonal Status Reproduksi

30-39

40-49

50-60 SD SMP SMA D3/S1 IRT Wirausaha Pegawai <1.800.000 >1.800.000 Sejak Kombinasi Progestogen

tunggal Menarche Siklus haid Hasil

1 797245 Narsadem binti Bonin

40 � � � � 5-10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

2 797511 Chistini binti Sastro

49 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

3 798117 Saroh binti Eri

47 � � � � > 10thn

� > 15thn tidak MENINGIOMA

4 798946 Tri Purwandari

44 � � � � 5-10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

5 799948 Awang binti Acep

52 � � � � < 5thn

� > 15thn teratur BUKAN

6 800977 Nyai Juriah 49 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

7 801026 Lomrah binti Pardi

44 � � � � 5-10thn

� > 15thn teratur BUKAN

8 803975 Anisah binti Somantri

54 � � � � < 5thn

� > 15thn teratur BUKAN

9 804819 Sunarti binti Rusmin

48 � � � � > 10thn

� 12-15thn tidak MENINGIOMA

10 805800 Neng Unayah

51 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

11 806619 Rupini binti Suari

57 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

12 806850 Kanem binti Kamblan

47 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

13 807026 Tumijah binti Sandirja

43 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

70

14 807076 Eti binti Amsin

36 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

15 807558 Karwati binti Encang

45 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

16 807919 Emay binti Tasum

40 � � � � 5-10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

17 808539 Emih binti Nerin

45 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

18 808758 Rojiah binti Sarhindi

48 � � � � < 5thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

19 809658 Yati Ayati 44 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

20 811301 Yuyu Yuliasari

45 � � � � < 5thn

� > 15thn tidak BUKAN

21 812131 Ketut Suplin

42 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

22 813831 Yulia binti Iwan

37 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

23 814626 Iim binti Mahmudin

47 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

24 815832 Idah Wahidah

41 � � � � 5-10thn

� > 15thn tidak BUKAN

25 817041 Lilis Gustinah

48 � � � � 5-10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

26 818291 Tarsih binti Martadikra

53 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

27 574286 Sukarti binti Uba

45 � � � � 5-10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

28 601480 Eti Hayati 52 � � � � > 10thn

� 12-15thn tidak MENINGIOMA

29 822110 Neneng Supriati

57 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

30 822438 Sunarmi binti Jokasmo

51 � � � � < 5thn

� 12-15thn tidak MENINGIOMA

71

31 823466 Neulis Siti Holipah

49 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

32 823488 Tuti Sulastri

46 � � � � 5-10thn

� 12-15thn tidak MENINGIOMA

33 823681 Ai Resmiati

45 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

34 823685 Suherti binti Dasmin

45 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

35 820521 Reni Heryantini

45 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

36 826539 Eros Rostiana

34 � � � � 5-10thn

� > 15thn tidak BUKAN

37 826681 Siti Rohati 45 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

38 827898 Siti Julaeha 47 � � � � < 5thn

� 12-15thn teratur BUKAN

39 829020 Sudarmi binti Saidi

41 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

40 830303 Ela binti Ana

36 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

41 832832 Enung Ilyas

47 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

42 837281 Kartini binti Obon

39 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

43 839730 Rusinah binti Kamar

52 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

44 838901 Euis Nurhayati

57 � � � � < 5thn

� 12-15thn teratur BUKAN

45 839555 Poniyah binti Nasri

45 � � � � > 10thn

� > 15thn tidak MENINGIOMA

46 840509 Tarsinah binti Sokim

45 � � � � > 10thn

� > 15thn tidak MENINGIOMA

47 840811 Enceu Hamidah

50 � � � � < 5thn

� 12-15thn teratur BUKAN

72

48 841789 Yani Suryani

45 � � � � > 10thn

� > 15thn tidak MENINGIOMA

49 841871 Amsinah binti Aswi

38 � � � � 5-10thn

� > 15thn tidak MENINGIOMA

50 842012 Yeni Suryani

45 � � � � > 10thn

� > 15thn teratur MENINGIOMA

51 842109 Yayu Susilawati

31 �

� � � 5-10thn

� > 15thn teratur BUKAN

52 843429 Winda Wiandini

47 � � � � > 10thn

� > 15thn tidak MENINGIOMA

53 843359 Saripah binti Kasan

48 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

54 847266 Tri Indah P 47 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

55 848675 Een binti Aleh

49 � � � � > 10thn

� 12-15thn tidak MENINGIOMA

56 850314 Rostini binti Yaya

47 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

57 850775 Sarsiah binti Maman

49 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

58 851596 Iis Sapitri 47 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

59 851730 Yuyun binti Ita

38 � � � � > 10thn

� 12-15 thn teratur MENINGIOMA

60 852903 Teti Sumiati

52 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

61 852993 Oting Setiawati

46 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

62 854016 Juju Juariyah

51 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

63 854679 Nenih binti Ujang

41 � � � � < 5thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

64 854649 Titih Khotimah

45 � � � � > 10thn

� 12-15 thn teratur MENINGIOMA

73

65 856069 Saminah binti Kasno

44 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

66 856699 Jinar Nuryuninda

49 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

67 861420 Narni binti Salim

42 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

68 863776 Ina Marlina 41 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

69 864449 Titing binti H. Zakaria

47 � � � � 5-10thn

� < 12thn tidak MENINGIOMA

70 865855 Nialawati binti Ahmid

48 � � � � > 10thn

� < 12thn tidak MENINGIOMA

71 866819 Marlina binti Acun

42 � � � � > 10thn

� < 12thn tidak MENINGIOMA

72 868186 Yeti Karwati

54 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

73 866350 Cucu binti Ujang

42 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

74 869802 Yati binti Oman

42 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

75 870580 Neneng Rohanah

46 � � � � > 10thn

� > 15thn teratur BUKAN

76 871799 Sarmi binti Imun

37 � � � � 5-10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

77 874549 Eros binti Dori

47 � � � � > 10thn

� < 12thn teratur MENINGIOMA

78 875009 Ai Kartika 45 � � � � > 10thn

� < 12thn tidak MENINGIOMA

79 875699 Rodiah binti Sadria

42 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

80 886976 Solihah binti Iwa

44 � � � � > 10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

81 888259 Susilawati binti Ma'mun

39 � � � � 5-10thn

� 12-15thn teratur MENINGIOMA

74

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Vina Karina Apriyani

NPM : 131221170001

Tempat & Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 23 April 1984

Alamat : Jl. Pondok Jaya IV no. 4B Mampang Jakarta Selatan

Nama Orang tua : Yan Martham, SE (alm.), Nining K. Rachman, SE

Nama Suami : Rhino Prayudhi, SE

Nama Anak : Ghazi Zabran Nabhani, Gibran Zavier Nadhifa

Riwayat Pendidikan Formal:

1. SDN Tugu X Depok (1990-1996)

2. SMPN 102 Cijantung (1996-1999)

3. SMAN 14 Cawang (1999-2002)

4. Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Pelita

Harapan (2002-2006)

5. Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

(2006-2008)

6. Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas

Kedokteran Universitas Padjajaran – Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata

Cicendo, Bandung (2017-2021).

75

Pengalaman Kerja:

1. Dokter Umum Klinik CBC, Jakarta (2008-2009)

2. Staf Direktorat Jenderal P2PL Kementerian Kesehatan RI (2009-2013)

3. Dokter Umum RS Pusat Otak Nasional, Kemenkes RI, Jakarta (2013-2017)

Pengalaman Organisasi:

1. Anggota Community Outreach Team for Asian Medical Students Association

(AMSA) Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitan Pelita Harapan (2004-

2006).

2. Panitia the 1st Scientific Meeting Updates in Neurology, Jakarta tahun 2014

divisi Registration and Acomodation.

3. Panitia the 2nd Scientific Meeting Updates in Neurology, Bandung tahun 2015

divisi Registration and Acomodation.

4. Panitia the 3rd Scientific Meeting Updates in Neurology, Jakarta tahun 2016

divisi Social Program.

5. Panitia the 1st Cicendo International Meeting (CIOM), Bandung tahun 2019

divisi Publikasi dan Dokumentasi dan Liaison Officer (LO).

Penelitian/Penulisan Karya Ilmiah:

1. Hubungan antara Densitas Mineral Tulang dengan Kadar Estradiol dalam

Darah pada Wanita Usia Menopause di Kecamatan Balaraja, Banten (2006).

2. Immediate versus Delayed Vitrectomy for the Management of Vitreous

Hemorrhage due to Proliferative Diabetic Retinopathy (2019).

76

3. Gambaran Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus terhadap Retinopati Diabetik

di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat,

Indonesia (2019).

4. Faktor Risiko Meningioma Orbitokranial pada Wanita pengguna Kontrasepsi

Hormonal di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung

(2021).

Seminar/Pertemuan Ilmiah:

2016 Peserta Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-41 PERDAMI, Jakarta

2016 Peserta Malang Ophthalmology Integrated Meeting II

2019 Peserta dan Panitia 1st Cicendo International Meeting (CIOM), Bandung

2019 Peserta Regional II Ophthalmology Meeting (RIIOM), Jakarta

2019 Peserta dan Presenter (free paper contest) Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-44

PERDAMI, Makassar

2020 JEC International Meeting, Jakarta

2020 Peserta dan Presenter PERDAMI Virtual Scientific Meeting (PVSM)

2021 Peserta Virtual Cicendo International Meeting (CIOM), Bandung