faktor penghambat produksi kapas

14
FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS Masalah utama yang timbul pada sektor pertanian adalah luasan penguasaan lahan petani dan selain itu, keterbatasan modal maupun pemilikan aset yang dimiliki petani berlahan terbatas sangat berarti bagi kegiatan usahataninya. Modal, baik dana maupun sarana untuk berproduksi sangat mempengaruhi produktivitas pertanian terutama bagi petani yang tidak memiliki modal. Banyaknya lahan-lahan produktif yang tidak diusahakan dan dibiarkan tanpa diolah disebabkan karena tidak adanya sarana untuk menggarap usahataninya. Terutama pada lahan-lahan perkebunan yang rata-rata di luar Jawa kepemilikannya bisa lebih dari satu hektar, kebanyakan tidak diusahakan. Hal ini disebabkan terutama karena tidak adanya dana dan adanya liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan semakin terpuruknya ekspor komoditi perkebunan. Selain faktor modal, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan komoditi perkebunan tidak diusahakan oleh petani. Seperti pada pengembangan transgenik. Program pengembangan kapas dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk industri tekstil sudah dilakukan sejak tahun 1960, namun dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada berbagai kendala baik yang menyangkut faktor teknis maupun non-teknis, seperti: kurang didukung pengkajian agroklimat, kurang tersedianya benih bermutu, penyediaan agro input yang tidak tepat, tingginya intensitas serangan hama serta kurang lancarnya penyediaan dana untuk membiayai usahatani kapas dan di tingkat petani modal yang tersedia terbatas. Di lain pihak, pada umumnya kegiatan pengembangan komoditas kapas diusahakan pada lahan-lahan marjinal, karena lahan subur diprioritaskan untuk tanaman pangan. Sehingga dengan kondisi yang demikian, kontribusi kapas dalam negeri terhadap kebutuhan serat kapas bagi industri tekstil nasional masih relatif kecil yaitu hanya sekitar satu persen. Sedangkan impor serat kapas kecenderungannya meningkat setiap tahunnya sejalan

Upload: nitta-hita-pawitra

Post on 01-Jul-2015

637 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

Masalah utama yang timbul pada sektor pertanian adalah luasan penguasaan lahanpetani dan selain itu, keterbatasan modal maupun pemilikan aset yang dimiliki petani berlahan terbatas sangat berarti bagi kegiatan usahataninya. Modal, baik dana maupun sarana untuk berproduksi sangat mempengaruhi produktivitas pertanian terutama bagi petani yang tidak memiliki modal. Banyaknya lahan-lahan produktif yang tidak diusahakan dan dibiarkan tanpa diolah disebabkan karena tidak adanya sarana untuk menggarap usahataninya. Terutama padalahan-lahan perkebunan yang rata-rata di luar Jawa kepemilikannya bisa lebih dari satuhektar, kebanyakan tidak diusahakan. Hal ini disebabkan terutama karena tidak adanya danadan adanya liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan semakin terpuruknya eksporkomoditi perkebunan. Selain faktor modal, ada beberapa faktor lain yang menyebabkankomoditi perkebunan tidak diusahakan oleh petani. Seperti pada pengembangan transgenik. Program pengembangan kapas dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri untukindustri tekstil sudah dilakukan sejak tahun 1960, namun dalam pelaksanaannya selaludihadapkan pada berbagai kendala baik yang menyangkut faktor teknis maupun non-teknis,seperti: kurang didukung pengkajian agroklimat, kurang tersedianya benih bermutu,penyediaan agro input yang tidak tepat, tingginya intensitas serangan hama serta kuranglancarnya penyediaan dana untuk membiayai usahatani kapas dan di tingkat petani modalyang tersedia terbatas. Di lain pihak, pada umumnya kegiatan pengembangan komoditaskapas diusahakan pada lahan-lahan marjinal, karena lahan subur diprioritaskan untuk tanamanpangan. Sehingga dengan kondisi yang demikian, kontribusi kapas dalam negeri terhadapkebutuhan serat kapas bagi industri tekstil nasional masih relatif kecil yaitu hanya sekitar satupersen. Sedangkan impor serat kapas kecenderungannya meningkat setiap tahunnya sejalandengan bertambah-nya jumlah perusahaan industri tekstil.Selain faktor fisik (seperti sarana produksi) yang mempengaruhi fungsi produksikapas, masih ada faktor lain yang eksternal (yang tidak dapat dikendalikan petani), yangmempengaruhi produksi tanaman kapas. Faktor-faktor itu dapat berupa iklim dan harga.Tetapi hal ini masih perlu diteliti atau dikonfirmasi dengan hasil penelitian lainnya. Mutu benih merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil kapas. Pertumbuhan tanaman yang tidak seragam berpengaruh pada populasi dan derajat serangan hama dan penyakit (Soebandrijo et al., 1994). Benih yang digunakan untuk IKR adalah benih kabu-kabu. Penggunaan benih delinted mudah disortasi, sehingga bebas dari hama/penyakit benih, dan menghasilkan tanaman yang seragam. Sampai saat ini belum ada industri benih yang mendukung pengembangan kapas di Indonesia. Pada tahun 2003, Balittas bekerja samadengan petani penangkar benih telah berhasil merintis usaha pengadaan benih Kanesia 7 melalui model waralaba seluas 54 ha di NTB. Rintisan ini telah ditindaklanjuti dengan usaha pemberdayaan penangkar benih di Sulawesi Selatan untuk varietas yang sama untuk tahun 2004. Dalam upaya mengurangi kehilangan dan meningkatkan hasil kapas maka teknik budi daya perlu diperbaiki, meliputi waktu tanam, pemupukan maupun tata tanam tumpang sari dengan palawija. Waktu tanam yang tepat berhubungan erat dengan tersedianya air di suatu wilayah. Hal ini karena ketersediaan air akan erat dengan periode hujan. Banyaknya air yang dibutuhkan untuk mengganti yang hilang melalui evapotranspirasi agar tanaman berada dalam keadaan optimal (Riajaya, 2002). Mengingat areal pengembangan kapas yang tersebar pada wilayah beriklim kering yang eratik, maka penetapan waktu tanam yang tepat akan sangat

Page 2: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

membantu keberhasilan produksi. Berdasarkan analisis curah hujan tahunan selama periodelebih dari 20 tahun, telah ditetapkan waktu tanam kapas paling lambat untuk sebagian besar areal pengembangan kapas di Indonesia. Secara umum dosis pupuk yang sekarang dianjurkanbelum bersifat spesifik lokasi, yaitu:1). Untuk Jawa Timur, pada pemupukan I 35 40 kgUrea/ha, ditambah 40 kg ZA/ha, 100 kg SP-36/ha dan 0 100 kg KCl/ha. Pemupukan II 65 80 kg Urea; 2). Di Jawa Tengah yaitu pemupukan I 40 60 kg Urea, ditambah 100 kg SP-36/ha, sedangkan pemupukan II 60 120 kg Urea; 3). Di NTB pemupukan I 15 30 kg Urea, ditambah 40 kg ZA dan 100 kg SP-36/ha; 4) Di Sulawesi Selatan pemupukan I 15 35 kg Urea, ditambah 50 100 kg ZA, 100 kg SP-36, dan pemupukan II 35 65 kg Urea/ha (Sahid, 2002). Penetapan dosis pupuk di masa datang akan berdasarkan pada hasil análisis tanah dan tanaman. Dalam upaya meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus mengurangi risiko kegagalan panenan kapas, dilakukan sistem tumpang sari kapas dengan palawija. Tanaman palawija yang dianjurkan yaitu kacang hijau, kedelai, atau jagung dan disesuaikan dengan daerah pengembangan. CONTOHNYA Tata tanam yang dipakai dalam sistem tumpang sari kapas bisa 1 baris kapas (2 tanaman/lubang) dan 3 baris palawija (kedelai) dengan populasi kapas 44.000 tan./ha dan palawija 198.000 tan./ha. Hasil kapas 1.348 kg/ha dan kedelai 500 kg/ha. Dapat pula dengan mengurangi jumlah tanaman kapas per lubang menjadi satu tanaman/lubang pada tata tanam 1 baris kapas dan 3 baris palawija (populasi kapas 33.000 tan./ha), dengan hasil kapas 1.577 kg/ha dan kedelai 545 kg/ha). Dengan 2 baris kapasdan 4 baris palawija (populasi kapas 31.302 tan/ha) produksi kapas meningkat, dengan hasil kapas mencapai 1.677 kg/ha dan kedelai 456 kg/ha (Kadarwati et al., 2001). Teknik pengendalian serangga hama utama kapas yang dikembangkan melalui pendekatan pengendalian hama terpadu (PHT) yang menekankan metode pengendalian non-kimiawi, peningkatan peran pengendali alami yaitu pelestarian dan pemanfaatan agens hayati, dan penggunaan varietas berbulu lebat untuk menghindari serangan A. Biguttula yang biasanya menyerang pada awal pertumbuhan. Hama utama lainnya yang penting adalah hama penggerek buah Helicoverpa armigera dan Pectinophora gossypiella. Pengendalian keduahama ini dilakukan dengan pengelolaan habitat antara lain dengan memanfaatkan serasah atau mulsa guna mendukung perkembangan musuh alami berupa parasitoid dan predator, sehingga populasi hama tersebut selalu di bawah ambang kendali (Nurindah et al., 2001). Beberapa musuh alami penting di antaranya parasitoid telur (Trichogramma sp.) dan parasitoid ulat yakni Apanteles sp. Dan Brachymeria sp. Teknologi PHT terdiri dari komponen-komponen (1) penggunaan varietas yang toleran/tahan terhadap A. biguttula, (2) penanaman jagung sebagai tanaman perangkap, (3) penggunaanserasah tanaman atau mulsa, (4) panduan populasi hama, dan (5) penggunaan insektisida nabati. Pengendalian menggunakan insektisida kimia hanya dilakukan jika populasi hama mencapai ambang kendali (Soebandrijo et al., 2000). Pemanfaatan pestisida botani ekstrak biji mimba telah terbukti mampu mengendalikan hama penggerek buah kapas dan tidak mematikan musuh alaminya. Pada kegiatan on-farm di Lamongan diperoleh hasil bahwa perlakuan tanpa penyemprotan dengan insektisida (unspray) dan pengendalian hama menggunakan pestisida nabati memberikan tingkat produktivitas kapas yang tidak berbeda dengan perlakuan pengendalian hama menggunakan insektisida kimia yang dikehendaki petani, akan tetapi pendapatan petani pada perlakuan unspray danspray dengan ekstrak biji mimba adalah lebih tinggi. Hal ini karena biaya produksi untuk pembelian insektisida dan upah penyemprotan dapat ditekan dan sekaligus menjadi tambahan pendapatan petani Ulat penggerek buah kapas, Helicoverpa armigera Hubner merupakan salah satu hama utama tanaman kapas yang hingga saat ini masih menjadi faktor pembatas produktivitas. Stadia paling efektif merusak adalah stadia ulat. Hama ini biasanya menyerangtanaman kapas mulai umur 35 hari yaitu saat dimulainya pembentukan kuncup bunga, bunga,dan buah muda sampai menjelang panen (100 120 hari). Satu ekor ulat H. armigera selamastadia ulat mampu merusak 2 12 kuncup bunga dan buah kapas, sehingga pengendalian dengan cara yang kurang tepat dapat mengakibatkan kehilangan hasil kapas hingga >50% (Soebandrijo et al., 1994). Sekitar tiga dasa warsa lalu penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan satu-satunya cara pengendalian H. armigera pada kapas. Tetapi meningkatnya kasus resistensi pada H. Armigera terhadap insektisida kimia menyebabkan penggunaannya

Page 3: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

mulai dikurangi. Di samping itu, penggunaan insektisida kimia sintetis secara terus menerusmenyebabkan faktor mortalitas biotik seperti musuh alami (parasitoid dan predator) serangga hama mengalami kemusnahan lebih cepat, sehingga tidak dapat berperan sebagai faktor pengendali hama secara alami. Meskipun saat ini peran musuh alami sudah mulai dimanfaatkan dalam pengendalian H.armigera melalui upaya konservasi untuk meningkatkanpopulasinya, tetapi belum semua petani kapas menerapkannya. Berdasarkan hasil penelitian,anjuran untuk tidak melakukan penyemprotan (unsprayed) dalam pengendalian H. armigera pada kapas di Lamongan, Jawa Timur, sehubungan dengan terjadinya peningkatan peran musuh alami belum sepenuhnya dilakukan karena sebagian petani setempat masih memilih cara pengendalian dengan insektisida kimia sintetis. Pemanfaatan patogen serangga adalah salah satu alternatif pengendalian hama secara nonkimiawi. Selain terbukti efektif terhadap hama sasaran, juga tidak mengakibatkan resistensi hama, dan aman bagi organisme bukan sasaran, termasuk mamalia (Mandal et al., 2003). Dari sisi efektivitas dan dampaknya terhadap lingkungan, prospek patogen serangga sebagai substitusi insektisida kimia sintetik cukup baik. Selain itu, pengendalian hama dengan patogen serangga cenderung lebih efisiendibanding pengendalian dengan insektisida kimia sintetik.

Serat di IPB pernah menyatakan bahwa permasalahan kapas di Indonesia terutama bukan terletak pada daya hasil (yield) melainkan pada kualitas serat kapas yang dihasilkan. Daya hasil kapas, dapat dikoreksi dengan daya hasil tahunan dari potensi iklim tropika yang memungkinkan musim produksi tanaman sepanjang tahun. Namun masalah kualitas kapas tidak mudah diatasi, karena juga terkait dalam faktor iklim itu sendiri. Indonesia rata-rata beriklim tropika basah. Tingkat kelembaban udara yang cukup tinggi inilah yang menjadi penyebab mutu serat kapas menjadi masalah. Serat kapas Indonesia tidak seputih kapas dari negara-negara lain yang beriklim lebih kering. Terutama pada waktu pemasakan buah. Serat kapas produksi Indonesia cenderung berwarna kekuningan. Apakah varietas Kanesia 7 dan Bt yang dipertandingkan sudah mampu mengatasi masalah konsekuensi iklim tropika basah ini.

ARTI PENTING DAN MANFAAT KOMODITAS

Kapas (Gossypium hersutum) merupakan salah satu komoditi perkebunan penghasilserat alam untuk bahan baku industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Kebutuhan bahan baku industri TPT terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, dan saat ini kebutuhan tersebut telah mencapai sekitar 500 ribu ton serat kapas yang setara dengan 1,5 juta ton kapas berbiji pertahun. Namun perkembangan industri TPT tersebut belum didukung oleh kemampuan penyediaan bahan baku berupa serat kapas dalam negeri, sehingga sekitar 99,5% kebutuhan bahan baku tersebut masih dipenuhi dari impor. Menyadari hal tersebut pemerintah sejak tahun 1978 telah berupaya terus meningkatkan produksi kapas mulai dari pelaksanaan program IKR, P2WK, proyek OECF, swadaya petani hingga Program Percepatan (akselerasi kapas) yang dimulai tahun 2007 sampai saat ini. Keseluruhan program tersebut diatas dilaksanakan secara bermitra antara petani dengan perusahaan pengelola kapas. Sedangkan, pemerintah berperan sebagai fasilitator.

Page 4: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

Pada awalnya areal pengembangan kapas terbatas hanya di beberapa Provinsi yaitu : Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulsel. Mulai tahun 2007 telah dikembangkan pertanaman kapas di Bali. Berdasarkan pengalaman pengembangankapas selama ini ternyata keberhasilan usaha tani kapas sangat ditentukan oleh beberapa faktor terutama : (i) penggunaan benih unggul dan sarana produksi secara 5 tepat (mutu, jenis, waktu, jumlah dan tempat) (ii) penerapan standar teknis anjurantermasuk ketepatan waktu tanam dan pemeliharaan tanaman dimulai sejak tanam hingga masa panen.

Kapas (gossypium sp) termasuk famili Malvaceae bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman ini mulai dibudidayakan di Indonesia diperkirakan sejak zaman VOC (tahun 1670).kebutuhan serat kapas dalam negeri semakin meningkat setiap tahunnya, maka kapas merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai prospek cukup baik untuk dibudidayakan serta diusahakan lebih lanjut menjadi komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Akan tetapi, permasalahan kapas dalam negeri adalah produktivitasnya yang rendah sehingga diperlukan suatu lembaga kemitraan. IKR PR. Sukun Kudus sebagai perusahaan mitra untuk komoditas kapas bermitra dengan petani kapas didesa Sukosari sejak MT 2001. dalam melakukan aktivitasnya dari hulu sampai hilir dari penentuan areal, pembinaan petani, pengadaan agroinput, pendanaan kredit, pembelian kapas berbiji, gining sampai dengan memasarkan produknya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri textil PT. SUKUNTEX. Rumusan masalah: Bagaimana biaya,produksi dan pendapatan usaha tani kapas dengan kemitraan yang dilakukan IKR PR.SUKUN?, Bagaimana pola kemitraan antara petani dengan IKR PR. SUKUN ?. Tujuan penelitian: Untuk mengetahui biaya, produksi, dan pendapatan usahatani kapas secara kemitraan yang dilakukan IKR PR.SUKUN, Untuk mengetahui pola kemitraan antara petani dengan IKR PR. SUKUN. Tempat penelitian dilakukan secara sengaja di Desa Sukosari Kecamatan Mantup Kabupaten Lamongan, dengan pertimbangan di daerah tersebut terdapat petani yang telah melakukan usahatani kapas secara kemitraan yang sudah berlangsung sejak musim tanam tahun 2001 hingga sekarang.

Serat kapas merupakan bahan baku utama untuk industri tekstil. Pada tahun 2003 luas areal kapas di Indonesia 7.850 ha dengan produksi 4.263 ton. Sedangkan impor kapas mencapai 600.000 ton per tahun. Berarti produksi kapas dalam negri hanya mencukupi 0,7 % dari kebutuhan. Potensi produksi varietas kapas yang digunakan selama ini ternyata masih sangat rendah yaitu rata-rata kurang dari 1 ton/ha. Oleh karena itu perlu dihasilkan varietas-varietas unggul dengan produksi diatas 2 ton/ha. Varietas unggul yang ada selama ini adalah Kanesia 8 dan 9. Produksi kedua varietas tersebut adalah sebagai berikut, Kanesia  8, 2,1 ton/ha, dan Kanesia 9,  1,9 ton/ha. Kedua varietas ini sangat rentan terhadap serangga. Untuk pengendalian serangga pada kedua varietas ini digunakan insektisida.

Hal ini merupakan kendala bagi petani, sehingga produksi serat kapas di petani sangat rendah. Penggunaan tanaman kapas yang mempunyai toleransi tinggi terhadap serangga dan tidak digunakannya insektisida akan lebih menguntungkan untuk mengurangi kesenjangan produksi kapas di lapangan.

Usahatani kapas masih memberikan keuntungan bagi petani yang mengusahakan. Hal ini terlihat pada nilai gross benefit yang lebih besar dari nilai korbanan (cost) yang dikeluarkan. Komoditas kapas, terobosan teknologi transgenik

Page 5: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

dan pola kemitraan dengan perusahaan pengelola, dapat memberikan alternatif cerah ke depan.

Kapas di Indonesia pada umumnya dikembangkan di daerah beriklim kering dengan waktu curah hujan yang terbatas (3 4 bulan) dan ditanam di lahan-lahan tadah hujan. Berdasarkan analisa peluang hujan dan waktu musim kering serta kebutuhanair untuk tanaman kapas agar dapat berproduksi optimal, di daerah-daerah pengembangan kapas telah dapat ditentukan waktu tanam yang tepat untuk kapas, yang dikenal dengan istilah minggu paling lambat (MPL) (Riajaya 2002). Daerahdaerah pengembangan kapas tersebut meliputi Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Sejak tahun 2005 telah dikembangkan kapas di Pulau Nusa Penida, Bali. Di daerah-daerah ini, kapas ditanam setelah tanaman utama (biasanya tanaman pangan) dipanen. Selain di lahan kering, kapas juga ditanam di lahan sawah tadah hujan (misalnya Lamongan, Jawa Timur) dan sawah berpengairan terbatas (misalnya di Lombok Barat, NTB). Di lahan ini, kapas ditanam sesudah padi dipanen (MK 1). Pada umumnya daerah-daerah pengembangantersebut, kapas ditanam di lahan marginal dengan ciri kesuburan tanahnya rendah dan ketersediaan air terbatas. Kondisi kesuburan tanah yang rendah semakin memburuk dengan eksploitasi lahan yang intensif tanpa ada usaha perbaikan atau reklamasi lahan. Dalam berbudi daya tanaman, terutama kapas, pupuk anorganik merupakan input yang selalu digunakan oleh petani.

Petani kapas pada umumnya merupakan petani miskin, dengan pendapatan rendah, berlahan sangat sempit, modal terbatas, dan takut terhadap risiko kegagalan. Oleh karena itu, pada umumnya kapas ditumpangsarikan dengan tanaman palawijaseperti jagung, kacang tanah, kedelai, atau kacang hijau (Sahid, 2002; Machfud, 2002). Usaha tani kapas tumpang sari dengan palawija merupakan usaha tani yang menguntungkan dan meningkatkan pendapatan petani 15 59% jika diterapkan rekomendasi budi daya kapas dengan benar (Wahyuni et al., 1993; Sahid et al., 1999). Dengan demikian, komoditas kapas merupakan komoditas yang mempunyai daya saing tinggi terhadap komoditas lainnya. Walaupun demikian pada kenyataannya, kapas sulit berkembang, yang diindikasikan dengan luas areal yang terus menurun (Anonim, 2005). Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan modal petani untuk mengadakan saprodi, terutama benih, pupuk, dan pestisida sehingga petani bergantung pada adanya kredit untuk saprodi tersebut. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah membahas teknik-teknik budi daya terpadu yang memungkinkan petani untuk tidak terlalu tergantung pada kredit saprodi, yaitu benih, pupuk, dan pestisida. Pengembangan teknik budi daya terpadu ini diharapkan petani dapat melakukan budi daya kapas dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Dalam pengembangan budi daya terpadu ini, aspek model pengembangan kapas juga dibahas.

MODEL PENGEMBANGAN KAPASKomoditas kapas dikembangkan dengan model kemitraan antara petani,

pengelola kapas dan Dinas Perkebunan (Sahid dan Wahyuni, 2001). Petani sebagai pelaku utama merupakan kelompok- kelompok tani, diketuai oleh seorang ketua kelompok yang bertugas dalam koordinasi kegiatan budi daya on farm maupun off farm, di antaranya adalah penentuan calon petani/lahan (CP/CL), distribusi saprodi, pengaturan pembelian hasil, dan pengembalian kredit. Pengelola merupakan suatu

Page 6: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

badan usaha yang melakukan kegiatan hulu sampai hilir, yaitu penentuan CP/CL, pengadaan saprodi, pengurusan kredit, pembinaan pada petani, pembelian kapas, melakukan prosesing, dan pemasaran hasilnya. Dinas Perkebunan atau dinas-dinas didaerah yang bertugas menangani komoditas kapas, merupakan koordinator dalam pengembangan komoditas di wilayahnya. Dalam model kemitraan ini, petani mendapatkan fasilitas kredit saprodi dari pengelola yang berupa benih, pupuk, dan pestisida. Pembayaran kredit dilakukan setelah pembelian kapas petani oleh pengelola. Penyaluran saprodi oleh pengelola kepada petani seringkali mengalami keterlambatan, yang salah satu penyebabnya adalah karena keterbatasan sumber daya manusia dari pengelola (Sahid dan Wahyuni, 2001). Keterlambatan penyaluran saprodi berakibat pada rendahnya produksi kapas yang dihasilkan karena adanya rangkaian akibat. Keterlambatan penyaluran benih berakibat pada keterlambatan waktu tanam hingga melampaui MPL, sehingga tanaman terancam kekeringan. Keterlambatan penyaluran pupuk berakibat pada keterlambatan pemupukan dasar yang sangat dibutuhkan tanaman pada awal pertumbuhan, sehingga menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Sedangkan keterlambatan penyaluran pestisida tidak banyak berpengaruh terhadap produksi kapas, bahkan berakibat positif, karena menyebabkan penundaan penyemprotan pertama selama mungkin, sehingga membantu musuh alami membangun populasinya dan prinsip utama PHT dapat diterapkan (Nurindah et al., 2004). Masalah keterlambatan penyaluran saprodi yang berakibat pada penurunan produksi hendaknya dicarikan pemecahannya. Salah satu pemecahan yang dapat dipertimbangkan adalah melalui pengembangan system budi daya terpadu.

Page 7: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

PRODUKSI NASIONAL DIBANDING DGN KEBUTUHAN PRODUKSI NEGARA LAIN

Kebijakan pembangunan perkebunan saat ini pada dasarnya diarahkan untukmeningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti: peremajaan, rehabilitasi, perbaikan mutu tanaman, penganekaragaman jenis dan pemanfaatan lahan transmigrasi perkebunan, lahan kering dan rawa yang ditangani secara intensif. Tujuannya adalah meningkatkan pendapatan taraf hidup petani. Selama dasawarsa terakhir ini, walaupun di beberapa komoditas perkebunan telah terjadi peningkatan produksi yang berarti; namun pada umumnya di barisan perkebunan rakyat, peningkatan produksi tersebut belum dirasakan. Kalau peningkatan produksi (baik kuantitas maupun kualitas) belum dapat terlaksana sepenuhnya, maka petani pekebun sebagai pengelola, belum merasakan adanya peningkatan pendapatan dan taraf hidup yang berarti.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian secara umum dan pekebun secara khusus adalah melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi. Terdapat tiga issues mendasar yang akan sangat berpengaruh pada perkembangan sektor pertanian di Indonesia dalam era globalisasi, yaitu: (1) Liberalisasi perdagangan dan investasi; (2) Revolusi/terobosan di bidang transportasi, telekomunikasi dan turisme; dan (3) Orientasi pasar ke selera konsumen (Deptan, 2001). Komoditas perkebunan di Indonesia tentunya juga akan mengalami perubahan-perubahan mengikuti perubahan dunia tersebut. Komitmen Indonesia pada perjanjian Putaran Uruguay dan ratifikasi dari perjanjian GATT/WTO, menyebabkan perlu adanya perubahan cara melihat, cara berpikir, dan cara menganalisa suatu sistem komoditas perkebunan. Sebelum sampai pada kajian atau melihat sub-sistem pemasaran dan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan menyeluruh dari beberapa komoditas perkebunan, diperlukan untuk mengkaji sub-sistem produksi dan melihat efisiensi produksi komoditas perkebunan yang bersangkutan. Komoditas perkebunan yang ditelaah adalah kepas. Selama ini sering dikatakan bahwa komoditas perkebunan kita kalah bersaing atau masih menempati posisi raw material saja dalam pasar ekspor. Untuk meningkatkan daya saing dan mengalami proses “olahan”, diperlukan pengetahuan dasar tentang produksi dari komoditas perkebunan yang bersangkutan. Justifikasi memilih komoditas kapas adalah karena hampir seluruhnya perkebunan ini dikelola dan dikuasai oleh rakyat (perkebunan rakyat). Selama ini produksi perkebunan rakyat tersebut dapat dikatakan rendah dan stagnant. Indonesia saat ini sedang menghadapi proses perubahan lingkungan strategis, baik yang datangnya dari dalam negeri maupun yang datangnya dari luar negeri.

Dari dalam negeri, tantangan atau perubahan yang dihadapi adalah: (i) Jumlah dan komposisi penduduk yang semakin bertambah dan berubah; (ii) Situasi politik dan ekonomi yang berubah-ubah dan ketidakjelasan arah; dan (iii) pelaksanaan otonomi daerah. Dari luar negeri, tantangan atau perubahan yang dihadapi adalah: (i) Liberalisasi perdagangan dan investasi; (ii) revolusi di sektor transportasi, telekomunikasi dan turisme; dan (iii) Orientasi pasar ke selera konsumen (Deptan, 2001). Perubahan-perubahan tersebut dipastikan akan memberikan pengaruh positif pada pembangunan sektor pertanian selama kebijaksana-an dan program pertanian mampu mengantisipasi dan memanfaatkan perubahan dan tantangan tersebut. Salah satu simpul keberhasilan perumusan kebijaksanaan dan program pertanian yang efektif dan terintegrasi memerlukan kesamaan cara pandang dan berpikir dalam melihat efisiensi suatu sistem komoditas. Dari kesamaan cara pandang dan berpikir dalam melihat efisiensi inilah dapat ditelusuri dan diformulasikan lebih lanjut faktor-

Page 8: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

faktor apa saja yang dominan mempengaruhi subsistem produksi suatu komoditas perkebunan dan efisiensi produksinya. Pada akhirnya apabila telah terlihat seluruh gambaran menyeluruh dari suatu sistem komoditas perkebunan, maka dapatlah dikatakan bahwa efisiensi berkaitan erat dengan peningkatan daya saing, produksi, dan pendapatan petani. Indonesia, tidak seperti negara berkembang lainnya (Thailand, Vietnam, Brazil, India, Uruguay) masih memiliki kelemahan dalam produksi dan ekspor produk pertanian. Karena itu sulit untuk dapat bersaing dengan negara-negara maju atau negara-negara berkembang yang sudah efisien. Indonesia, dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti Thailand, Malaysia, Vienam, India, Brazil, dan Uruguay, masih jauh tertinggal tingkat efisiensinya baik pada sub sistem produksi maupun pada sub sistem pemasaran. Dengan melakukan analisis efisiensi produksi komoditas kapas dapat diketahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi produksi sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya ditujukan agar dapat meningkatkan daya saing komoditas tersebut. Program pengembangan kapas dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk industri tekstil sudah dilakukan sejak tahun 1960, namun dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada berbagai kendala baik yang menyangkut faktor teknis maupun non-teknis, seperti: kurang didukung pengkajian agroklimat, kurang tersedianya benih bermutu, penyediaan agro input yang tidak tepat, tingginya intensitas serangan hama serta kurang lancarnya penyediaan dana untuk membiayai usahatani kapas dan di tingkat petani modal yang tersedia terbatas. Di lain pihak, pada umumnya kegiatan pengembangan komoditas kapas diusahakan pada lahan-lahan marjinal, karena lahan subur diprioritaskan untuk tanaman pangan. Sehingga dengan kondisi yang demikian, kontribusi kapas dalam negeri terhadap kebutuhan serat kapas bagi industri tekstil nasional masih relatif kecil yaitu hanya sekitar satu persen. Sedangkan impor serat kapas kecenderungannya meningkat setiap tahunnya sejalan dengan bertambah-nya jumlah perusahaan industri tekstil. Dengan relatif kecilnya kontribusi kapas dalam negeri tersebut, maka program peningkatan produksi kapas nasional telah dipacu melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan areal pertanaman dengan penerapan teknologi tepat guna serta dukungan dana yang memadai. Dalam pelaksanaannya dibarengi pola kemitraan usaha antara petani dan perusahaan pengelola.

Hingga saat ini, perdagangan kapas dunia masih sangat terdistorsi yang ditandai oleh rendahnya harga dunia. Distorsi tersebut disebabkan oleh masih adanya kebijakan subsidi ekspor kapas oleh NM, terutama Amerika Serikat. Subsidi ekspor tersebut bukan menurun tetapi malahan meningkat. Rendahnya harga dunia tersebut lebih lanjut menyebabkan daya saing kapas di NB, termasuk Indonesia, tetap atau semakin rendah sehingga laju peningkatan produksi kapas di negara-negara ini terhambat.

Dampak kenaikan harga kapas dunia sebagai akibat dihapusnya subsidi ekspor di negara maju terhadap ekonomi kapas agregat Indonesia dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan model keseimbangan parsial (partial equilibrium model) sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1. Karena Indonesia sebagai negara importir neto, maka harga barang-barang normal di pasar dunia lebih murah daripada di pasar dalam negeri. Namun harga yang berlaku di pasar dalam negeri menjadi sama dengan harga yang berlaku di pasar internasional apabila ada impor yang dapat menutup defisit produksi (yaitu selisih antara produksi dan konsumsi).Perkembangan produksi kapas di Indonesia selama 1961 2004 dapat dibagi menjadi empat segmen waktu, yaitu: 1961 1973 pertumbuhan stagnasi, 1974 1986 pertumbuhan sangat cepat, 1986 1987 produksi merosot drastis, dan selama 1987

Page 9: FAKTOR PENGHAMBAT PRODUKSI KAPAS

2004 meningkat secara mantap dengan rata-rata 2,11% per tahun. Pada tahun 2004, jumlah produksi mencapai 10.323 ton. Konsumsi kapas nasional meningkat sangat cepat selama 1961 1996, kemudian sedikit menurun selama 1997 1998 (karena krisis ekonomi), lalu meningkat cepat selama 1999 2001, tetapi kemudian menurun lagi selama 2002 2004. Penurunan konsumsi selama tiga tahun terakhir mungkin terkait dengan makin mahalnya harga impor (lihat uraian sebelumnya), dimana pasokan kapas Indonesia sangat tergantung pada impor. Secara rata-rata, konsumsi kapas nasional selama 1961 2004 meningkat 11,09% per tahun.

Produksi, konsumsi, ekspor, dan impor dunia cenderung meningkat, tetapi ada perbedaan antara NM dan NB. Laju peningkatan produksi, impor, dan konsumsi NB lebih cepat dibanding NM dan peranan NB makin besar, baik sebagai produsen, konsumen, maupun importir. Sebaliknya, laju kenaikan ekspor NM lebih cepat disbanding NB, sehingga pangsa NM lebih besar disbanding NB. AS masih tetap eksportir terbesar dunia, Cina merupakan produsen sekaligus importir dan konsumen terbesar di dunia, sedangkan Indonesia merupakan Negara importir terbesar kedua dan konsumen terbesar ketujuh.