fae27-1b

15
13 PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Roles of National Banking in Agricultural Finance in Indonesia Ashari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161 ABSTRACT Agricultural sector has a very strategic role in the national development. Nevertheless, the agricultural sector still deals with some problems, e.g. lack of capital for farmers and agricultural business. National banks, theoretically, have a significant potential for agricultural financing because of their core business as the financial intermediary institution. However, the facts show that national banking credit to the agricultural sector is still limited, that is less than 6 percent. This paper aims to review potential, role and the constraint of national banks in financing the agricultural sector. The study shows that the lack of financing in the agricultural sector by national banks caused by high risk in the agricultural sector, complicated term in credit proposal, poor management of agricultural businesses due to its micro-small scale, and limited competence of bank in the field of agricultural finance. The government tries to increase agricultural finance through increasing budget allocation to this sector, improving effectiveness of state budget funds, or formulating an alternative financing scheme in accordance with the characteristics of agriculture. Key words : agricultural sector, agricultural finance, farmers, intermediary institution, national banking ABSTRAK Sektor pertanian memainkan peran sangat strategis dalam pembangunan nasional. Walaupun demikian, sektor pertanian masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, diantaranya kurangnya permodalan petani dan pelaku usaha pertanian. Perbankan nasional, secara teori memiliki potensi besar sebagai pendukung pembiayaan pertanian karena secara legal formal merupakan lembaga intermediasi keuangan. Namun, fakta menunjukkan penyaluran kredit perbankan nasional ke sektor pertanian masih sangat kecil yaitu di bawah 6 persen. Tulisan ini bertujuan melakukan review terhadap potensi dan peran serta berbagai permasalahan yang dihadapi perbankan nasional dalam pembiayaan di sektor pertanian. Hasil studi menunjukkan bahwa minimnya pembiayaan di sektor pertanian oleh perbankan disebabkan beberapa hal, diantaranya: risiko pembiayaan yang tinggi, persyaratan yang ketat dalam pengajuan kredit, kelemahan manajemen usaha pertanian yang umumnya berskala mikro-kecil, serta keterbatasan kompetensi perbankan di bidang pertanian. Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan pembiayaan ke sektor pertanian, diantaranya dengan memperbesar alokasi anggaran ke sektor pertanian, peningkatan efektivitas dana APBN, mendorong perbankan lebih ekpansif dalam pembiayaan pertanian, maupun merumuskan skim pembiayaan alternatif yang sesuai dengan karakteristik pertanian. Kata kunci : sektor pertanian, pembiayaan pertanian, petani, lembaga intermediasi, perbankan nasional PENDAHULUAN Sektor pertanian memiliki peran sangat strategis dalam pembangunan nasional di antaranya: sebagai penyerap tenaga kerja, kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto, sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi riil lainnya. Pengalaman pembangunan di akhir tahun 1990-an juga menunjukkan bahwa sektor pertanian terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi. Dari pengalaman tersebut memberi- kan pelajaran berharga bahwa menggantung- kan perekonomian pada kegiatan ekonomi yang tidak berbasis sumber daya (resouce

Upload: femy-dwi-andini-panggabean

Post on 31-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Upload biar gratis donlot

TRANSCRIPT

Page 1: FAE27-1b

13

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIANDI INDONESIA

Roles of National Banking in Agricultural Finance in Indonesia

Ashari

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJl. A. Yani 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Agricultural sector has a very strategic role in the national development. Nevertheless, the agriculturalsector still deals with some problems, e.g. lack of capital for farmers and agricultural business. National banks,theoretically, have a significant potential for agricultural financing because of their core business as the financialintermediary institution. However, the facts show that national banking credit to the agricultural sector is stilllimited, that is less than 6 percent. This paper aims to review potential, role and the constraint of national banksin financing the agricultural sector. The study shows that the lack of financing in the agricultural sector by nationalbanks caused by high risk in the agricultural sector, complicated term in credit proposal, poor management ofagricultural businesses due to its micro-small scale, and limited competence of bank in the field of agriculturalfinance. The government tries to increase agricultural finance through increasing budget allocation to this sector,improving effectiveness of state budget funds, or formulating an alternative financing scheme in accordance withthe characteristics of agriculture.

Key words : agricultural sector, agricultural finance, farmers, intermediary institution, national banking

ABSTRAK

Sektor pertanian memainkan peran sangat strategis dalam pembangunan nasional. Walaupun demikian,sektor pertanian masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, diantaranya kurangnya permodalan petanidan pelaku usaha pertanian. Perbankan nasional, secara teori memiliki potensi besar sebagai pendukungpembiayaan pertanian karena secara legal formal merupakan lembaga intermediasi keuangan. Namun, faktamenunjukkan penyaluran kredit perbankan nasional ke sektor pertanian masih sangat kecil yaitu di bawah 6persen. Tulisan ini bertujuan melakukan review terhadap potensi dan peran serta berbagai permasalahan yangdihadapi perbankan nasional dalam pembiayaan di sektor pertanian. Hasil studi menunjukkan bahwa minimnyapembiayaan di sektor pertanian oleh perbankan disebabkan beberapa hal, diantaranya: risiko pembiayaan yangtinggi, persyaratan yang ketat dalam pengajuan kredit, kelemahan manajemen usaha pertanian yang umumnyaberskala mikro-kecil, serta keterbatasan kompetensi perbankan di bidang pertanian. Pemerintah telah berupayauntuk meningkatkan pembiayaan ke sektor pertanian, diantaranya dengan memperbesar alokasi anggaran kesektor pertanian, peningkatan efektivitas dana APBN, mendorong perbankan lebih ekpansif dalam pembiayaanpertanian, maupun merumuskan skim pembiayaan alternatif yang sesuai dengan karakteristik pertanian.

Kata kunci : sektor pertanian, pembiayaan pertanian, petani, lembaga intermediasi, perbankan nasional

PENDAHULUAN

Sektor pertanian memiliki peran sangatstrategis dalam pembangunan nasional diantaranya: sebagai penyerap tenaga kerja,kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto,sumber devisa, bahan baku industri, sumberbahan pangan dan gizi, serta pendorong

bergeraknya sektor-sektor ekonomi riil lainnya.Pengalaman pembangunan di akhir tahun1990-an juga menunjukkan bahwa sektorpertanian terbukti mampu menjadi penyanggaperekonomian nasional saat terjadi krisisekonomi. Dari pengalaman tersebut memberi-kan pelajaran berharga bahwa menggantung-kan perekonomian pada kegiatan ekonomiyang tidak berbasis sumber daya (resouce

Page 2: FAE27-1b

14

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 1, Juli 2009 : 13 - 27

based) ternyata sangat rentan terhadap gun-cangan dan dinamika lingkungan eksternal.Dengan demikian diperlukan dukungan darisemua pihak, baik pemerintah, swasta, sertamasyarakat untuk mengembangkan sektorekonomi yang berbasis sumber daya, terma-suk sektor pertanian.

Walaupun perannya sangat strategis,sektor pertanian masih menghadapi banyakpermasalahan, diantaranya keterbatasan per-modalan petani dan pelaku usaha pertanianlain. Kebutuhan modal diperkirakan akansemakin meningkat di masa mendatangseiring dengan semakin melonjaknya hargainput pertanian, baik pupuk, obat-obatan,maupun upah tenaga kerja. Dengan kecende-rungan seperti ini, maka peran lembagakeuangan swasta seharusnya akan semakinsignifikan. Terlalu mengandalkan pembiayaansektor pertanian dari anggaran pemerintah,sangatlah tidak memadai serta bukan pilihanyang bijaksana mengingat semakin besarbeban anggaran yang harus ditanggungpemerintah untuk membiayai pembangunankeseluruhan sektor.

Menurut Ratnawati (2009), keterbatasanataupun kendala dalam pembiayaan pertaniandi Indonesia secara umum berasal dari duasisi. Pertama, adanya keterbatasan danaAPBN (contoh: total anggaran untuk sektorpertanian hanya + 3,9% dari APBN 2009).Kedua, hambatan petani dalam mengaksesperbankan yang diakibatkan oleh tidak adanyajaminan (collateral), kurang pemahaman atasadministrasi perbankan, tingginya cost oftransaction dan cara pembayaran bulanantidak sesuai dengan pendapatan petani yangbersifat musiman.

Perbankan nasional, secara teori memi-liki potensi sangat besar sebagai salah satusumber pembiayaan sektor pertanian. Lemba-ga ini memiliki core bussiness menghimpundana dari masyarakat dan menyalurkannya kepelaku usaha dalam bentuk kredit/pem-biayaan. Namun, fakta menunjukkan bahwasecara umum ada kecenderungan perbankannasional kurang antusias untuk menyalurkankredit ke sektor pertanian. Sebagai gambaran,selama tahun 2002-2006, pangsa kreditperbankan untuk sektor pertanian rata-ratahanya 5,72 persen (BI, 2006). Hasil studiGamal (2006) juga mengungkapkan bahwameskipun sektor pertanian menjadi sektor

unggulan PDRB di 13 provinsi di Indonesia,namun hanya 3 provinsi yang mempunyaikomposisi kredit relatif lebih besar (di atas10%).

Minimnya pembiayaan di sektor perta-nian oleh perbankan semakin nampak jelasjika melihat kinerja bank tertentu yang terkenalconcern dalam pembiayaan sektor pertanian,misalnya BRI. Realisasi penyaluran kreditpada bank yang memiliki lebih dari 4000 buahBRI Unit Desa ini ke sektor pertanian jugamasih jauh dari harapan. Aviliani (2009)menyebutkan bahwa target portfolio pinjamandi BRI untuk sektor agribisnis sebesar 40persen dan non agribisnis 60 persen. Namundalam realisasinya, pencapaian portfolio kreditagribisnis hingga Februari 2009 hanya men-capai 22,44 persen dan 77,56 persen untuknon agribisnis.

Menurut Indiastuti (2005), kondisi mi-nimnya pembiayaan perbankan untuk sektorpertanian disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1)pengalaman dan trauma beberapa bankmenghadapi kenyataan kredit bermasalahsewaktu pengucuran KUT, (2) aturan BI yangcukup ketat agar bank prudent dalam penya-luran dana, serta (3) banyak bank (khususnyabank besar) yang tidak memiliki pengalamanmenyalurkan kredit mikro.

Para banker masih terlihat sangat hati-hati untuk menyalurkan dana ke sektorpertanian karena menyangkut pertimbangankepentingan bisnis. Seringkali argumen yangmengemuka adalah sebagai sebuah korporasibisnis, perbankan yang merupakan lembagaintemediasi keuangan harus mampu menge-lola dana nasabah agar memberikan keun-tungan yang optimal. Konsekuensinya adalahsektor usaha yang memiliki ekspektasi keun-tungan yang besar akan mendapat prioritaspembiayaan, sehingga perbankan dapat terusdipercaya masyarakat dan tetap eksis dalamberusaha.

Terkait dengan pembiayaan sektor per-tanian oleh perbankan, memang untuk sub-sistem agribisnis hulu (down stream) dan hilir(upstream) serta subsektor tertentu (misalnyaperkebunan, peternakan) telah mampu mena-rik beberapa bank untuk mengucurkan kredit-nya. Namun demikian, jika dibandingkandengan total kebutuhan pembiayaan sertapotensi yang sangat besar di sektor pertaniannilai kredit tersebut masih jauh dari memadai.

Page 3: FAE27-1b

15

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari

Kebutuhan pembiayaan di sektor perta-nian, tidak hanya sebatas untuk keperluaninvestasi atau modal kerja, tetapi juga meng-hadapi tantangan lain berupa permasalahaninfrastruktur pertanian yang memerlukan biayasangat besar. Menurut Krishnamurthi(Kompas, 6 Agustus 2008), untuk mengem-balikan daya dukung pantai utara Jawa(pantura) sebagai infrastruktur dasar pertanianseperti kondisi pada awal 1990-an dibutuhkanreinvestasi jangka panjang sekitar Rp 100triliun untuk 5-10 tahun ke depan. Besaraninvestasi yang sama juga diperlukan untukpembukaan wilayah-wilayah pertanian di luarJawa. Kenyataan ini menunjukkan bahwauntuk membangun sektor pertanian diperlukandukungan dana yang sangat besar dari pihakperbankan yang mungkin saja harus dipenuhidengan membentuk konsorsium antarbank.

Tulisan review ini bertujuan untukmelihat sejauhmana peran perbankan nasionaldan kendala/permasalahan yang dihadapi da-lam pembiayaan sektor pertanian di Indonesia.Dengan mengkaji berbagai permasalahantersebut diharapkan dapat diperoleh alternatifsolusi agar di masa-masa mendatang,perbankan nasional dapat berkontribusi lebihbesar sekaligus mitra usaha yang salingmenguntungkan dengan para pelaku usaha disektor pertanian.

PROFIL SINGKAT PERBANKAN NASIONALDAN KINERJANYA DALAM PEMBIAYAAN

SEKTOR PERTANIAN

Fungsi dan Peran PerbankanBank merupakan lembaga keuangan

yang sangat penting dalam perekonomian,terutama dalam sistem pembayaran moneter.Secara umum, bank didefinisikan sebagailembaga keuangan yang usaha pokoknyaadalah menghimpun dana dan menyalur-kannya kepada masyarakat dalam bentukkredit serta memberikan jasa dalam lalu lintaspembayaran dan peredaran uang. Menurutundang-undang No 10 tahun 1998 tentangPerbankan, bank didefinisikan sebagai badanusaha yang menghimpun dana dari masyara-kat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan-nya kembali dalam bentuk pinjaman (kredit)dan atau bentuk lainnya dengan tujuan untukmeningkatkan taraf hidup orang banyak.

Stuart dalam Anonim (2009) mendefi-nisikan bank sebagai badan usaha yangbertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit,baik dengan alat pembayarannya sendiri atauuang yang diperolehnya dari pihak lainmaupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral. Dengandemikian bank merupakan perantara keuang-an (financial intermediaries), sehingga menim-bulkan interaksi antara kreditor dan debitur.

Menurut George dalam Anonim (2008),bank memiliki tiga karakteristik khusus yangberbeda dalam fungsinya jika dibandingkandengan lembaga keuangan lainnya. Pertama,terkait dengan fungsi bank sebagai lembagakepercayaan untuk menyimpan dana masyara-kat, baik dalam penciptaan uang dan mekanis-me sistem pembayaran dalam perekonomian.Keberadaan perbankan memungkinkan ber-bagai transaksi keuangan dan ekonomi dapatberlangsung lebih cepat, aman dan efisien.Kedua, sebagai lembaga intermediasikeuangan, perbankan berperan khusus dalammemobilisasi simpanan masyarakat untukdisalurkan dalam bentuk kredit dan pem-biayaan lain kepada dunia usaha. Ketiga,sebagai lembaga penanaman asset finansial,bank memiliki peran penting dalam mengem-bangkan pasar keuangan, terutama pasaruang domestik dan valuta asing. Bank ber-peran dalam mentransformasikan assetfinansial seperti simpanan masyarakat kedalam bentuk finansial aset lain yaitu kreditdan surat-surat berharga yang dikeluarkanpemerintah dan Bank Sentral.

Bank Indonesia (2006) mengategorikanfungsi bank sebagai financial intermediaries inike dalam tiga hal: (1) sebagai lembaga yangmenghimpun dana dari masyarakat dalambentuk simpanan, (2) sebagai lembaga yangmenyalurkan dana ke masyarakat dalambentuk kredit, dan (3) melancarkan transaksiperdagangan dan peredaran uang. Fungsi per-bankan Indonesia adalah sebagai penghim-pun, penyalur dan pelayan jasa dalam lalulintas pembayaran dan peredaran uang dimasyarakat yang bertujuan menunjang pelak-sanaan pembangunan nasional, dalam rangkameningkatkan pemerataan, pertumbuhan eko-nomi dan stabilitas nasional ke arah pening-katan kesejahteraan rakyat banyak.

Berdasarkan undang-undang, strukturperbankan di Indonesia terdiri atas bank umum

Page 4: FAE27-1b

16

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 1, Juli 2009 : 13 - 27

dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Per-bedaan utama bank umum dan BPR adalahdalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidakdapat menciptakan uang giral dan memilikijaringan dan kegiatan operasional yang ter-batas. Selanjutnya dalam kegiatan usahanyadianut dual banking system, yaitu bank umumdapat melaksanakan kegiatan bank konven-sional dan atau berdasarkan prinsip syariah.Sementara prinsip kegiatan BPR dibatasi padahanya dapat melakukan kegiatan usaha bankkonvensional atau berdasarkan prinsipsyariah.

Jumlah dan Indikator Perbankan NasionalPerkembangan jumlah bank dan jari-

ngan kantor perbankan nasional baik bankumum, bank umum syariah dan BPR ditampil-kan pada Tabel 1. Secara umum terlihatbahwa jumlah kantor perbankan selalu menga-lami peningkatan dari tahun ke tahun. Pening-katan jumlah kantor tersebut menunjukkanadanya upaya dari pihak perbankan untuksemakin meningkatkan aksesibilitas masyara-kat terhadap layanan perbankan. Namun

demikian, jika dilihat dari perkembanganjumlah bank ada kecenderungan mengalamipenurunan, kecuali untuk kelompok bankumum syariah (BUS). Penurunan jumlah bankdisebabkan adanya likuidasi serta adanyaupaya efisiensi beberapa bank melalui prosesmerger atau rasionalisasi dalam meningkatkansinergi dan skala ekonomi.

Gambaran tentang kinerja perbankannasional (dalam hal ini bank umum) dapatdilihat dari beberapa indikator baik yangmenyangkut penghimpunan dana, penyalurandana, aset, permodalan, dan lainnya (Tabel 2).Dari tabel tersebut terlihat bahwa secaraumum perbankan nasional selalu mengalamipeningkatan kinerja. Pada tahun 2008, misal-nya jumlah dana yang dapat dihimpun olehperbankan mencapai lebih dari Rp 1.900triliyun dengan aset lebih dari Rp 2.300 triliun.Pada tiga tahun terakhir perbankan nasionaljuga mampu membukukan laba lebih dari Rp40 triliun. Dari indikator perbankan tersebuttergambar secara jelas bahwa perbankanmemiliki potensi yang sangat besar sebagaisumber pembiayaan kegiatan perekonomian,termasuk untuk sektor pertanian.

Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Kantor Bank-bank Umum, Perbankan Syariah dan BPR 2004-2008

PosisiKelompok Bank 2004 2005 2006 2007 2008Bank Umum

Jumlah bank Jumlah kantor

1337.939

1318.236

1309.110

1309.680

12410.868

Bank Umum SyariahJumlah bankJumlah kantor

3263

3301

3346

3398

5576

BPRJumlah bankJumlah kantor

2.1583.507

2.0093.110

1.8803.173

1.8173.250

1.7723.367

Sumber: BI (2009)Keterangan : tidak termasuk BRI Unit Desa

Tabel 2. Indikator Perbankan Nasional (Bank Umum) 2004-2008 (triliun rupiah)

TahunIndikator 2004 2005 2006 2007 2008Penghimpunan dana 1.078,50 1.252,20 1.434,20 1.680,20 1.939,20Penyaluran dana 889,50 1.010,50 1.273,70 1.480,10 1.824,30Asset 1.272,30 1.469,80 1.693,50 1.986,50 2.310,60Permodalan 118,60 115,90 134,50 193,70 219,20Kinerja :- Non Performing Loan (NPL) (%)- Laba/rugi- Net Interest Margin

5,755,096,32

8,303,206,20

7,0040,50

7,70

4,6049,86

8,90

3,8048,1010,80

Sumber: www.bi.go.id (beberapa tahun), diolah

Page 5: FAE27-1b

17

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari

Kinerja Perbankan dalam PembiayaanSektor Pertanian

Perbankan nasional yang secara teorimemiliki kemampuan menghimpun danamasyarakat dalam jumlah sangat besar, ter-nyata belum maksimal dalam mendanai sektorpertanian. Setidaknya hal ini dapat diketahuidari proporsi kredit perbankan nasional untuksektor pertanian yang masih sangat rendah.Sebagai gambaran, selama kurun waktu 2004-2008, pangsa kredit perbankan untuk sektorpertanian berkisar antara 5,14-5,92 persenatau rata-rata 5,56 persen (Tabel 3). Besaranpangsa sektor pertanian masih selalu di bawahsektor perindustrian, perdagangan, dan jasadunia usaha. Rendahnya alokasi kredit untuksektor pertanian diduga terkait dengan strategipenyaluran kredit perbankan yang lebih

diarahkan pada kredit berisiko rendah. Apalagidengan perkembangan perekonomian yangbelum sepenuhnya pulih telah mendorongperbankan untuk menyesuaikan strategidengan lebih memfokuskan penyaluran kredityang memiliki risiko terkendali (manageablerisks), yaitu yang bersifat jangka pendek danplafon yang tidak terlalu besar. Sektor yangmemiliki kriteria demikian terutama terdapatdalam sektor perdagangan.

Sementara itu, jika dipilah berdasarkanjenis perbankan, sebagaimana ditunjukkanpada Tabel 4 terlihat bahwa persentase kreditBank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk sektorpertanian ternyata lebih besar (6,85%) diban-dingkan bank umum (5,14%) dan bank syariah(3,08%). Hal ini tidak terlepas dari ”nature”BPR yang umumnya berlokasi di kota keca-

Tabel 3. Alokasi Penyaluran Kredit Perbankan Nasional 2004-2008 (%)

TahunSektor Ekonomi 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jan 09Pertanian 5,55 5,92 5,34 5,70 5,68 5,14 5,21Pertambangan 1,16 1,40 1,17 1,78 2,62 2,46 2,46Perindustrian 28,11 25,90 24,62 23,23 20,52 20,74 20,87Perdagangan 19,24 20,21 19,53 20,63 21,64 19,85 19,51Jasa listrik, konstruksi, pengangkutan 20,35 7,80 7,50 8,51 26,10 10,69 10,64Jasa lain 25,59 38,77 41,83 40,16 40,68 41,11 41,32Total 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Bank Indonesia dalam Aviliani (2009)

Tabel 4. Alokasi Kredit Bank Umum, Bank Syariah dan BPR Berdasarkan Sektor Ekonomi Tahun 2008 (RpMilyar)

Jenis BankSektor Ekonomi Bank Umum Bank Syariah BPRPertanianPertambanganPerindustrianListrik, gas dan airKonstruksiPerdagangan, restoran dan hotelPengangkutan, pergudangan dan komunikasiJasa dunia usahaJasa sosial/masyarakatLain-lain

67.202 (5,14)32.215 (2,46)

271.187 (20,87)18.475 (1,41)58.753 (4,50)

259.632 (19,85)62.579 (4,79)

152.302 (11,65)15.747 (1,20)

369.596 (28,26)

1.177 (3,08)965 (2,53)

1.340 (3,51)248 (0,65)

3.368 (8,82)4.426 (11,59)2.759 (7,22)

11.757 (30,78)2.463 (6,45)

9.693 (25,38)

1.745 (6,85)-

427 (1,68)-

9.238 (36,27)--

2.676 (10,51)11.296 (44,35)

Total 1.307.688 38.195 25.472Sumber: BI (2009), diolahKeterangan: angka dalam kurung merupakan persentase

Page 6: FAE27-1b

18

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 1, Juli 2009 : 13 - 27

matan dengan segmen dan target debitur darikalangan usaha mikro-kecil-menengah, yangdi dalamnya banyak pelaku usaha pertanian.Masih sangat minimnya kontribusi banksyariah dalam pembiayaan ke sektor pertani-an, disebabkan oleh keberadaan kantorlayanan yang umumnya masih berada di kotakabupaten sehingga relatif sulit diakses pelakuusaha pertanian yang mayoritas berada diperdesaan. Selain itu, asset perbankan nasio-nal juga relatif kecil, sekitar 3 persen dari totalaset perbankan nasional.

POTENSI DAN KENDALA PEMBIAYAANPERTANIAN OLEH PERBANKAN

NASIONAL

Perbankan nasional memiliki posisi danperanan sangat penting dalam menggerakkanperekonomian Indonesia, karena perbankanmenjadi sumber utama pembiayaan berbagaisektor usaha. Dalam konteks pembangunanpertanian, peran tersebut semestinya masihdapat ditingkatkan di masa-masa mendatang.Apalagi dengan adanya program RevitalisasiPertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK)dipastikan akan membutuhkan dana pendu-kung yang sangat besar. Namun demikian,masih diperlukan upaya lebih serius untukmenarik minat perbankan agar berkontribusilebih besar dalam pembiayaan sektor pertani-an. Hal ini ternyata tidak mudah, faktanyamenurut Arifin (2007), walaupun pemerintahtelah berupaya untuk mencoba mengembang-kan pembiayaan pertanian ini secara serius,akan tetapi permasalahan klasik yang mem-belit skema pembiayaan pertanian belumdapat diurai secara baik, sehingga perludirumuskan jalan keluarnya yang efektif.

PotensiSecara konseptual, prospek perbankan

nasional untuk mendukung pembiayaan sektorpertanian masih sangat terbuka. Hal ini dapatdilihat dua sisi pandang, yaitu dari potensijumlah dana dan aset yang dimiliki perbankannasional serta dari sisi melimpahnya potensisektor pertanian di Indonesia. BerdasarkanSensus Pertanian (2003), tercatat jumlahRumah Tangga Pertanian sebanyak 25,6 juta.Selain itu menurut Ashari dan Friyatno (2006),usaha agribisnis memiliki cakupan usaha yang

sangat luas mulai dari subsistem pengadaansaprodi, budidaya, panen, pasca panen, pe-ngolahan hingga pemasaran hasil. Keselu-ruhan subsistem ini dalam operasionalisasinyamemerlukan dukungan pembiayaan yang tidakkecil. Dilihat dari aspek subsektor, komoditaspertanian sangat beragam meliputi tanamanpangan, hortikultura, perkebunan dan peter-nakan yang masing-masing subsektor initerbangun subsistem tersendiri.

Selain potensi sumber daya pertanianyang besar, Anonim (2006) mengemukakanbahwa perbankan menilai karakteristik pelakuusaha pertanian masih relatif baik, apalagipetani-petani tradisional. Memang diakui padaperbankan tertentu yang pernah berpenga-laman berpartisipasi menjadi channeling kreditprogram (KUT) agak trauma dengan tungga-kan kredit dengan jumlah cukup besar. Akantetapi, hal tersebut tidak dapat digeneralisiruntuk menghakimi bahwa pelaku sektor per-tanian tidak dapat dipercaya. Jika dirunut se-cara seksama sebenarnya kemacetan tidaklahbanyak di tingkat petani, tetapi pada pengurusKUD, ketua kelompok, maupun di LSM.

Lebih jauh hasil studi Anonim (2006)mengungkapkan bahwa dalam implementasi-nya, bagi bank yang cukup lama menggelutisektor pertanian, seperti BRI yang memilikijaringan hingga pelosok kecamatan (Bank UnitDesa), pengetahuan pengelola terhadapsektor pertanian cukup baik. Faktor inilah yangmenyebabkan BRI masih menjadi leaderdalam penyaluran kredit di sektor pertaniandan pedesaan. Sementara bagi bank yangberoperasi di wilayah perkotaan, pengetahuantentang sektor pertanian relatif kurang sehing-ga dukungan kredit untuk sektor pertanian jugarelatif kecil.

Nurmanaf et al. (2006) menyatakan bah-wa selain memiliki dana yang sangat besarperbankan juga memiliki kelebihan dibandinglembaga pembiayaan lainnya, diantaranya: (1)plafond pinjaman lebih besar dibanding lemba-ga pembiayaan lain, (2) memiliki kekuatanhukum yang jelas, (3) dapat melayani kebu-tuhan modal untuk segala jenis usaha danlapisan masyarakat (perorangan maupunkelompok) asalkan dipandang feasibel, (4)pada perbankan tertentu (BRI) sistem pembia-yaan telah disesuaikan dengan karakteristikusaha pertanian (misalnya skim 3, 6 atau 12bulanan), serta (5) memiliki sistem reward dan

Page 7: FAE27-1b

19

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari

pusnishment yang tegas sehingga dapat men-dorong masyarakat lebih bertindak profesionaldalam berusaha.

Kendala dan PermasalahanWalaupun memiliki banyak kelebihan,

lembaga pembiayaan formal (perbankan),menurut Nurmanaf et al. (2006) juga memilikisejumlah kekurangan, diantaranya: (1) Jang-kauan pelayanan kredit/pembiayaan masihsangat terbatas. Bahkan untuk bank tertentumasih ada yang hanya melayani masyarakatsekitar kota kabupaten/kota kecamatan. (2)Persyaratan aplikasi/pengajuan kredit masihsangat rigid sehingga tidak semua masyarakatdapat mengakses pinjaman yang disalurkan.Terlebih lagi untuk sektor pertanian yangdipandang sangat risky pihak perbankancenderung lebih berhati-hati lagi. (3) Jangkawaktu proses pencairan kredit relatif lamakarena harus ada screening dan cheking. (4)Biaya transaksi dianggap masih terlalu besar.(5) Persyaratan agunan dengan menetapkanbarang yang telah memiliki kekuatan hukumformal (sertifikat/BPKB) dirasa masih cukupmemberatkan. (6) Penilaian terhadap nilaiagunan cenderung sangat underestimatesehingga sangat berpengaruh terhadap nilaipinjaman yang diberikan.

Hasil kajian Syukur et al. (2002), mene-mukan bahwa jika dilihat dari aspek kualitaspersyaratan, maka penyediaan agunan meru-pakan persyaratan paling sulit dipenuhi olehpelaku usaha pertanian. Apalagi jika agunanyang dipersyaratkan harus berupa sertifikattanah atau tanah dan bangunan. Padakenyataannya masih sangat terbatas pelakuusaha pertanian yang memiliki bukti kepemi-likan tanah/bangunan berupa sertifikat. De-ngan demikian akan sangat sulit bagi pelakuusaha pertanian untuk akses terhadap sumberkredit formal.

Selain hambatan berupa penerapanpersyaratan yang ketat, hasil kajian Anonim(2006) mengungkapkan bahwa secara umumkendala penyaluran kredit ke sektor pertanianadalah kurang matching-nya karakteristikusaha di sektor ini dengan nature usaha diperbankan. Usaha di sektor pertanian bersifatmusiman (pendapatan petani juga musiman)sementara karakteristik usaha perbankan tidakterkait dengan musim. Transaksi di perbankan

dilakukan secara reguler, misalnya untukpengembalian kredit dilakukan per bulan.Dengan karakteristik bisnis perbankan sepertiini, maka semua biaya, baik untuk operasional,gaji karyawan dan pemeliharaan juga harusdikeluarkan secara reguler (bulanan) sehinggauntuk menjaga keseimbangan cash flow harusada pendapatan yang diperoleh secarareguler. Kondisi ini mengakibatkan sektorpertanian cenderung tidak dijadikan prioritasdalam penyaluran kredit oleh perbankan.

Secara lebih rinci, Arifin (2007),mengemukakan bahwa ada tiga persoalanpenting terkait dengan masih relatif rendahnyapembiayaan sektor pertanian oleh pihakperbankan. Pertama, minimnya informasi danburuknya komunikasi antara sektor pertaniandan lembaga keuangan perbankan dannonperbankan. Para pelaku bisnis sektorpertanian umumnya kurang aktif untukmenyampaikan peluang bisnis dan prospektifusaha pertanian kepada pelaku usaha disektor lain, terutama kepada lembaga pem-biayaan. Akibatnya, sektor pertanian menjadikurang atraktif bagi lembaga pembiayaan,terutama sektor perbankan. Di samping itu,sektor perbankan juga memiliki pemahamanyang tidak lengkap tentang prospek sektorpertanian. Mereka hanya mengetahui daripersepsi atau literatur ekonomi pembangunanbahwa pertanian merupakan suatu sektorusaha sangat berisiko (high risk), tergantungmusim, jaminan harga yang tidak pasti dansebagainya.

Kedua, perhatian sektor perbankan ma-sih terfokus pada agribisnis modern danperkebunan besar dan belum menyentuh parapetani menengah dan kecil. Para bankir masihunder estimate terhadap pelaku usaha per-tanian lainnya dan menganggap kelompok initidak dapat menawarkan margin keuntunganyang memadai bagi lembaga keuangan.Karakter perbankan sebagai entitas bisnis cen-derung 'mengikuti' dunia usaha. Maksudnya,jika dunia usaha pertanian tidak menarik bagiperbankan, cukup sulit bagi sektor perbankanuntuk datang dan memberikan perhatian bagisektor pertanian. Akan tetapi di lain pihak,tidak sedikit usaha agribisnis atau sektorpertanian dan perkebunan skala besar menjadimagnit tersendiri bagi sektor perbankan,karena prospek keuntungan yang besar

Page 8: FAE27-1b

20

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 1, Juli 2009 : 13 - 27

Ketiga, pragmatisme keputusan mikrobisnis perbankan dan skeptisme dukungankebijakan ekonomi makro. Sektor perbankanmengambil keputusan bisnisnya sesuai de-ngan ketentuan bank umum, yang tentu harusmengikuti prinsip prudential banking, atauyang terbaru tentang Arsitektur PerbankanIndonesia (API). Pertimbangan mikro bisnislain juga harus dipenuhi untuk mencapaikriteria kesehatan perbankan, seperti rasiokecukupan modal (CAR), rasio pinjamanterhadap deposito (LDR) dan sebagainya yangharus dipenuhi untuk mencapai kriteriakesehatan perbankan.

Sementara itu, menurut Aviliani(2009), beberapa kendala yang dihadapidalam pendanaan sektor pertanian dapat dili-hat dari berbagai segi: (1) Risiko on Farm,yaitu yang terjadi dalam budidaya tanamanseperti ketersediaan pupuk, bibit, pestisida danteknik budidaya, (2) Risiko Pemasaran, yaiturisiko yang terjadi karena kesulitan pemasaranproduk pertanian sehingga menimbulkan risikopenurunan harga atau tidak terserapnyaproduk hasil pertanian, (3) Masalah Sosial,masalah penjarahan atau ketimpangan sosialantara petani dengan perusahaan, (4) Risikostatus lahan, status tanah menyulitkan sebagaiagunan kredit, masalah sertifikasi tanahprosesnya lama dengan timing pemberiankredit menjadi berkepanjangan, (5) Dominasiusaha mikro kecil yang memiliki kelemahandalam manajemen, pembukuan, distribusipemasaran, permodalan dan agunan, (6)Ketergantungan kepada industri hilir sangattinggi yang mengakibatkan bargaining powerpetani rendah, serta (7) Keterbatasankompetensi bank di bidang pertanian. Jumlahbank yang mempunyai kompetensi di sektorpertanian masih terbatas, sehingga belumsemua bank mempunyai keberanian mem-biayai sektor pertanian.

PERAN PEMERINTAH DAN OTORITASPERBANKAN DALAM MENDORONG

PEMBIAYAAN DI SEKTOR PERTANIAN

Kebijakan PemerintahPemerintah memiliki komitmen yang

kuat dalam mendukung upaya menempatkansektor pertanian sebagai andalan dalam pe-nanggulangan kemiskinan dan pengangguran

melalui program Revitalisasi Pertanian, Per-ikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dica-nangkan pada Juni 2005. RPPK merupakansalah satu dari “triple track strategy” dalamrangka pengurangan kemiskinan dan pe-ngangguran, serta peningkatan daya saingekonomi nasional. Salah satu instrumenkebijakan dalam mendukung suksesnya RPPKadalah dalam aspek investasi dan pem-biayaan. Prioritas-prioritas kegiatan yangdilakukan untuk mendukung kebijakan iniadalah: (i) fasilitasi pembiayaan investasi danmodal kerja dengan mendorong business planperbankan, bagi sektor PPK, (ii) mengem-bangkan dan memfasilitasi sistem pembiayaandan penjaminan kredit bagi petani/nelayan/petani hutan, (iii) mengembangkan sistempembiayaan jangka panjang dan pembiayaanyang lebih sesuai dengan karakter PPK, serta(iv) mengembangkan pembiayaan non-bankberikut keterakaitannya dengan perbankan,bagi petani, nelayan dan petani-hutan.

Kebutuhan investasi sektor pertanianuntuk mencapai sasaran revitalisasi untukperiode 2005-2010 diperkirakan sebesar Rp183,1 trilyun atau rata-rata Rp 30,5 trilyun pertahun yang diharapkan dapat dipenuhi peme-rintah, swasta, maupun masyarakat. Kebu-tuhan investasi menurut subsektor selamaperiode tersebut adalah untuk tanamanpangan dan hortikultura Rp 33,5 trilyun,perkebunan Rp 87,4 trilyun dan peternakan Rp62,3 trilyun (Departemen Pertanian, 2007).

Upaya pemerintah dalam mengatasipermasalahan pembiayaan sektor pertanian(Ratnawati, 2009) diantaranya adalah melaluiAPBN dan non APBN. Dengan instrumenAPBN dilakukan dengan cara (a) peningkatanakses permodalan melalui kredit (KKP, KUR),(b) memberikan bantuan penguatan modalkepada petani/klomtan melalui ProgramPengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan(PUAP), (c) fasilitasi bagi peningkatan usaha/produksi pertanian (subsidi). Sementara mela-lui non APBN adalah memberlakukan ke-wajiban pembiayaan bagi perbankan danpenerapan coorporate social responsiblity bagiBUMN.

Menurut Syukur (2009) pemerintah telahberupaya menyediakan permodalan bagipetani disesuaikan dengan tingkatan usahapetani, yaitu: (a) bagi petani miskin denganpenguatan permodalan (APBN) melalui kelom-

Page 9: FAE27-1b

21

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari

pok dengan Bantuan Langsung Masyarakat,(b) bagi petani yang tidak mampu denganbunga komersial melalui skim Kredit Keta-hanan Pangan-Energi (KKP-E) dan ProgramKemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dari penyi-sihan laba BUMN, (c) bagi petani/peternakyang feasible tapi belum bankable difasilitasimelalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) denganPola Penjaminan untuk UMKM yang merupa-kan inspirasi dari Skim Pelayanan PembiayaanPertanian (SP3) yang dikembangkan Deptan,(d) bagi petani yang sudah bankable melaluiskim kredit komersial.

Pemerintah selama lebih dari empatdekade, telah meluncurkan beberapa kreditprogram/bantuan modal bagi petani danpelaku usaha pertanian melalui beberapabentuk skim seperti dana bergulir, penguatanmodal, subsidi bunga, maupun yang mengarahkomersial (Ashari, 2009). Dari perkembanganskim-skim yang dijalankan ada kecenderunganbahwa pemerintah lebih mengarah kepadakegiatan kredit yang memiliki link denganperbankan dan sifatnya eksekuting. Beberapacontoh skim kredit yang mengarah kepadamodel tersebut di antaranya KKP-E dan KURyang diinisiasi dari model SP3 Deptan.

KUR merupakan program kredit untuksektor usaha mikro kecil menengah dankoperasi diberikan dengan pola penjaminanpemerintah. Selaku penjamin kredit adalahPerum Sarana Pengembangan Usaha (SPU)dan Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo).Pada tahap awal, program KUR melibatkanenam bank, yaitu PT Bank Mandiri Tbk, PTBank Negara Indonesia Tbk, PT Bank BukopinTbk, PT Bank Tabungan Negara Tbk, dan PTBank Syariah Mandiri. Penyaluran kredit difo-kuskan pada 5 sektor usaha yakni pertanian,perikanan, kelautan, koperasi, kehutanan, per-industrian, dan perdagangan (Tempointeraktif,2007).

Strategi yang ditempuh pemerintah da-lam kebijakan perkreditan untuk sektor per-tanian dengan mengarahkan pada katerlibatanperbankan formal sebagai pelaksana(executing agency), menurut Pasaribu et al.(2007) merupakan langkah tepat. Namunkebijakan tersebut perlu diimbangi denganupaya yang lebih sungguh-sungguh dalammembantu petani/pelaku usaha pertanianuntuk meningkatkan skala usaha, kemampuan

manajerial maupun aksesibilitas terhadap per-bankan formal.

Kebijakan BISejak berlakunya UU No 23/1999

tentang Bank Indonesia (sebagaimanadiamandemen dengan UU No. 3/2004), makakebijakan Bank Indonesia dalam mendukungpeningkatan iklim usaha atau sektor riil telahmengalami perubahan mendasar. Perubahantersebut adalah bahwa Bank Indonesia tidakdapat lagi memberikan KLBI dan pemberianbersifat tidak langsung antara lain melaluiregulasi dan fasilitasi dalam peran-peranstrategis. Dengan kata lain, Bank Indonesiatidak secara khusus mendesain suatu kebija-kan dalam bidang perkreditan secara sektoral.Kebijakan Bank Indonesia lebih diarahkanuntuk mendukung pengembangan UKM, ter-utama yang berbasis komoditas unggulan.

Kebijakan tersebut dituangkan dalambentuk pengaturan (ketentuan) dan pemberianbantuan teknis (khususnya melalui perbankan)serta kerjasama dengan pemangku kepen-tingan (departemen, lembaga donor dan lem-baga terkait pemberdayaan UMKM). Di dalamkebijakan yang bersifat lintas sektoral tersebut,terdapat kegiatan-kegiatan yang berupayamendukung pengembangan sektor agribisnis.Secara umum, BI akan memberikan sejumlahfasilitasi, diantaranya:

Data dan Informasi Bisnis Indonesia (DIBI)DIBI menyajikan data dan informasi

berbasis website dan dapat diakses melauiwebsite Bank Indonesia (www.bi.go.id). Infor-masi yang disajikan dalam DIBI didasarkanatas penelitian yang dilakukan Bank Indonesia,antara lain data dan informasi mengenaipotensi ekonomi daerah, komoditas eksporpotensial, serta pola pembiayaan (lendingmodel) untuk komoditas agribisnis.

Pola Pembiayaan UMKMBank Indonesia melaksanakan penelitian

mengenai pola pembiayaan/lending modelberbagai komoditas yang potensial untukdibiayai oleh bank. Saat ini telah terdapat 88pola pembiayaan konvensional dan 21 polapembiayaan syariah, dimana sebagian besardari pola pembiayaan tersebut ada-lah untukkomoditas agribisnis.

Page 10: FAE27-1b

22

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 1, Juli 2009 : 13 - 27

Pengembangan UMKM melaluiPengembangan Klaster

Program ini didesain untuk mengem-bangkan UMKM melalui model kluster yangterintegrasi dari hulu ke hilir. UMKM akanmemperoleh manfaat dari kerjasama denganusaha menengah maupun besar yang ber-peran sebagai local champion dalam suatukomunitas usaha sejenis. Pada tahun 2007telah dilaksanakan pengembangan klasterkomoditas unggulan di 6 wilayah kantor BIantara lain untuk komoditas rumput laut,emping melinjo, paprika dan opak. Program inidilaksanakan bekerja sama dengan berbagaipemangku kepentingan di daerah baik pemda,perbankan dan instansi terkait.

Penelitian tentang Pola KemitraanPenelitian ini bertujuan melihat berbagai

pola kemitraan antara usaha menengah/besardengan UMKM dalam rangka potensipeningkatan akses kredit ke perbankan. Dalamkemitraan tersebut, usaha menengah/besardapat berperan sebagai pemberi rekomendasi,avalis, dan juga memberikan cash collateralbagi UMKM yang menjadi mitra dalamhubungan usaha kemitraan. Sektor agribisnismerupakan salah satu sektor yang banyakterlibat dalam hubungan kemitraan denganusaha menengah dan besar.

Program Pengembangan Inti-PlasmaMeskipun sudah tidak ada pembiayaan

KLBI, BI masih memberikan perhatian padaproses kesinambungan hubungan inti-plasma,terutama berbagai masalah pasca reformasi.Bank Indonesia berperan sebagai mediatordari adanya konflik kepentingan pihak-pihakyang terlibat dalam program inti-plasmatersebut. Disamping itu, dalam rangka men-dorong pemberian kredit perkebunan pola inti-plasma ini, BI telah melakukan relaksasiketentuan tentang Batas Maksimun PemberianKredit, yakni pemberian kredit dengan polakemitraan inti-plasma, dimana perusahaan intiyang menjamin kredit kepada plasma dike-cualikan dari pengertian kelompok pinjaman,sebagaimana tertuang dalam PBI No 7/3/2005tentang Batas Pemberian Kredit Bank Umum.

Fasilitasi Percepatan dan PemberdayaanEkonomi Daerah

Program ini dilakukan dalam upayauntuk mengembangkan ekonomi daerah ter-

utama sektor riil yang masih dirasakan ter-hambat perkembangannya. BI melalui jaringanKantor BI bergerak mendukung berbagaiprogram dari dinas/instansi yang dirasakanmasih terhambat pembiayaannya oleh per-bankan di daerah. Beberapa kegiatan yangtelah dilaksanakan antara lain mendukungrevitalisasi perkebunan/pertanian seperti kela-pa sawit dan karet, serta pembiayaan untukkomoditas vanili, jagung, padi, rumput laut,jeruk, gula dan lainnya.

Selain itu, atas inisiatif BI, juga telahterbentuk lembaga mediator yang menjem-batani kepentingan UMKM dan perbankanyaitu Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB).Salah satu tugas KKMB adalah mempersiap-kan UMKM agar menjadi lebih feasible danbankable. Berdasarkan pengalaman diYogyakarta (umkm-yogja.com, 2007), banyakusaha mikro dan kecil yang sudah dikelolabertahun-tahun tetapi belum memiliki adminis-trasi pembukuan yang baik. Padahal salahsatu syarat dalam pengajuan kredit ke bankadalah adanya laporan kinerja usaha dalambentuk laporan keuangan. Hal ini yang menye-babkan pelaku UMKM sering terhambat ketikaingin melakukan penambahan modal denganmengajukan kredit ke perbankan. Dengandemikian, peranan KKMB menjadi sangatpenting untuk membina UMKM sehingga lebihfeasible dan bankable.

Terkait dengan peran yang dapatdimainkan BI dalam pembiayaan sektorpertanian, Makatutu (2009) mengusulkan agarBI memberikan insentif kepada bank yangmenyalurkan kreditnya lebih banyak ke sektorpertanian. Insentif dapat diwujudkan denganmemberikan dana jangka panjang denganbunga murah serta memberikan kelonggaranpada Giro Wajib Minimum. Pihak pemerintahjuga dapat melakukan banyak hal, misalnyadengan memberikan subsidi bunga ataumemberikan jaminan kredit kepada bank untukmembiayai kredit pertanian.

SOLUSI ALTERNATIF DALAMPENINGKATAN PEMBIAYAAN SEKTOR

PERTANIAN

Dengan melihat potensi perbankan yangcukup besar dalam pembiayaan sektor per-tanian serta berbagai kendala yang masih

Page 11: FAE27-1b

23

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari

menghambat, diperlukan solusi alternatif agarsektor pertanian mendapatkan alokasi pem-biayaan yang memadai. Arifin (2007) telahmencoba menawarkan solusi terhadap perma-salahan minimnya pembiayaan pertanian.Pertama, Sektor pertanian, terutama yangberada dalam skala ekonomi dan agribisnis,disarankan untuk mampu mengemas dirinyasendiri agar lebih menarik bagi perbankan.Pemerintah dapat merangsang berdirinyalembaga khusus yang mampu menjadi'jembatan' antara sektor pertanian danperbankan, menjalankan fungsi penjaminankredit pertanian, peningkatan kepastian usaha,perbaikan property rights dari hal paling kecilketerjaminan hasil produksi sampai padasertifikat kepemilikan lahan.

Kedua, pengembangan skema pembia-yaan ke depan (forward financing), dengantingkat bunga komersial biasa. Perbankandapat juga memanfaatkan ketentuan per-undangan baru tentang sistem resi gudang(warehouse receipt system) dan mulai berbi-cara serius dengan Badan Pengawas Per-dagangan Berjangka Komoditi (Bappebti),sebagai titik fokal UU resi gudang yang baru.

Ketiga, perlu suatu keberanian danterobosan pemihakan kebijakan perbankanyang lebih propertanian dan usaha mikro dankecil. Otoritas perbankan di dalam negeri perlumengembangkan gagasan baru untuk 'men-didik kembali' para bankir agar mampu lebihmengerti dan memahami sektor pertanian.Lebih lanjut, menurut Arifin (2007) tidak terlalusulit untuk membuat kebijakan tersebut, misal-nya melalui peraturan BI yang memberikaninsentif bagi perbankan yang mampu mem-bentuk unit khusus atau penelitian danpengembangan (R&D) yang fokus padapembangunan pertanian. Kisah sukses sebuahbank asing (PT Rabo Bank Indonesia) yangmemiliki 71 orang peneliti pembangunanpertanian patut untuk ditiru.

Terkait dengan lembaga yang dapatmenjembatani pelaku usaha pertanian danperbankan, hasil studi Nurmanaf et al. (2007)di Sulsel menunjukkan bahwa sudah adamodel yang cukup sukses sebagai mediatorpetani dan perbankan sebagaimana telahdilakukan oleh IFC Pensa. Sebagai lembagamediator, IFC-Pensa telah berhasil menghu-bungkan dan merealisasikan pembiayaanBank Syariah Mandiri/BSM-Makassar kepada

petani jagung di Kabupaten Bantaeng. IFCPensa tidak hanya berfungsi sebagai lembagamediator penyaluran kredit dari perbankansaja, tetapi juga sebagai technical assistanceyang membantu petani dalam pengembanganSDM dan kelembagaannya.

Dalam konteks yang lebih agregat,menurut Ratnawati (2009) ada beberapaalternatif solusi yang dapat dilakukan untukmeningkatkan pembiayaan sektor pertanian kedepan yaitu: (1) meningkatkan alokasianggaran sektor pertanian, yang tentu sajadalam prakteknya sangat tergantung padakondisi perekonomian nasional, prioritasnasional dan kesepakatan dengan DPR, (2)meningkatkan produktivitas dan efektivitaspemanfaatan dana APBN (baik dalam desainprogram/kegiatan, infrastruktur, riset, bantuanmodal, maupun subsidi input), (3) mencariskim pembiayaan/kredit yang sesuai dengankarakteristik sektor pertanian (misalnya danabergulir, kredit mikro, partnership) dan (4)menarik investor swasta untuk berinvestasi disektor pertanian (program food estate, dere-gulasi investasi, insentif).

Hasil studi Pasaribu et al. (2007) meng-ungkapkan bahwa ternyata hanya sebagiankecil anggaran pembiayaan pertanian nasionalyang dikelola Departemen Pertanian. Seba-gian besar anggaran pembiayaan pertanianjustru dikelola dan tersebar di beberapadepartemen/instansi lain. Oleh karena itu,diusulkan agar alokasi anggaran pembiayaanpertanian sebaiknya dipusatkan atau minimaldikoordinasikan oleh Departemen Pertanian,misalnya dalam bentuk kerjasama program/kegiatan.

Syukur (2009) memberikan alternatifsolusi untuk mengatasi permasalahan permo-dalan petani malalui 2 jalan yaitu denganmengembangkan Lembaga Keuangan Mikro(LKM) Agribisnis atau dengan MendirikanBank Pertanian. Alternatif LKM-A dipilih karenamemiliki keunggulan diantaranya: (a) kemu-dahan akses, (b) proses yang cepat, (c)prosedur relatif sederhana, (d) berdasarbudaya setempat dan dekat lokasi usaha dan(e) pengelola LKM lebih paham mengenaikarakter petani.

Sementara itu, alternatif solusi berupapendirian Bank Pertanian didasarkan padabeberapa pertimbangan: (a) skala bisnispertanian sangat besar dari tingkat mikro

Page 12: FAE27-1b

24

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 1, Juli 2009 : 13 - 27

sampai perusahaan besar, serta luasnya ca-kupan subsektor pertanian (tanaman pangan,hortikultura, perkebunan, peternakan). Bisnispertanian juga meliputi hulu hingga hilir, (b)bank fokus ke pembiayaan pertanian belumada dan efektivitas pembiayaan pertanian darilembaga pembiayaan formal lainya sangatterbatas, (c) skim kredit/pembiayaan daripemerintah seringkali menimbulkan moralhazard karena dianggap sebagai bantuan danbukan pembiayaan komersial, (d) memung-kinkan rancangan skim kredit dan SDMdibangun secara fokus sesuai karakteristikpertanian dan (e) mengakselerasi pemerataanpendapatan, memperbaiki struktur ekonomi,memperkuat ketahanan pangan secaraberkelanjutan dan meningkatkan daya saingproduk pertanian.

Menurut Krishnamurthi (2009), untukpembentukan Bank Pertanian, perlu didefi-nisikan secara jelas, apa yang dimaksud bankpertanian? Apakah bank milik petani, bankyang layanannya dirancang sesuai dengankarakteristik petani? Bagaimana dengan faktabahwa karakteristik petani berbeda antarakomoditas, skala dan daerah. Selain itu bagai-mana mengatasi masalah cost of money,darimana sumber dana bank tersebut (masya-rakat, pemerintah), dan bagaimana kaitannyadengan tingkat bunga umum. Disamping itubagaimana mengatasi masalah infrastrukturdan coverage yang luas. Mengapa bank yangada tidak mau menjadi Bank Pertanian, danberbagai pertanyaan yang harus dijawabdengan jelas.

Mayrowani et al. (2000), dalam studinyamerekomendasikan bahwa jika ada wacanamembentuk Bank Pertanian/agribisnis seyog-yanya tidak menggunakan pendekatan sistembank cabang (branch banking system), tetapilebih baik dengan sistem bank unit (unitbanking system). Dengan sistem bank unit,dana yang dapat dikumpulkan oleh pelakuagribisnis di wilayah tertentu memiliki peluanglebih besar untuk dikembalikan lagi dandigunakan bagi pengembangan agribisnis.

Syukur et al. (2003) juga menawarkanalternatif solusi lain, yaitu dalam pengem-bangan kelembagaan pembiayaan sektor per-tanian secara umum dapat ditempuh melaluiintegrasi sektor pembiayaan perbankandengan kelembagaan non-perbankan skalamikro. Caranya adalah melalui aliansi strategi

dengan membuat pooling fund bagi lembagapembiayaan non-perbankan tersebut, misalnyakoperasi dan LKM lainnya. Aliansi ini ditempuhuntuk mensinergikan kekuatan dan sekaliguskekurangan dari kedua bentuk lembagatersebut

Menurut Karim (2009), pola pembiayaansyariah bisa dijadikan sebagai dasar untukoperasionalisasi perbankan pertanian. Per-bankan syariah dilihat dari beberapa sisimemiliki keunggulan dibandingkan denganbank konvensional (berbasis bunga) dan lebihtepat untuk sektor pertanian. Hal ini didasar-kan pada karakteristik yang melekat padaperbankan syariah yang lebih variatif, lebihtahan krisis dan lebih barokah. Lebih variatifdalam arti produk pembiayaan (mudhorobah,musyarokah, muzaro’ah, dll), lebih tahan krisiskarena terpenuhi rukun dan transaksi, sertalebih barokah karena meninggalkan pem-biayaan yang haram.

Untuk mendukung pembiayaan per-tanian oleh perbankan, perlu juga untuk mulaimemikirkan lembaga asuransi tanaman (cropinsurance), misalnya untuk mengatasi risikogangguan cuaca, kegagalan panen dan lain-lain. Jika asuransi akan diterapkan, menurutHadi et al. (2000) ada 3 prinsip yang harusdipertimbangkan, yaitu pertama, risk spreadingdan risk pooling. Risk spreading berarti bahwaindividu petani berbagi risiko yang sama de-ngan lembaga penyedia asuransi. Sementararisk pooling berarti individu-individu petaniyang mempunyai risiko berbeda menggabung-kan risikonya ke dalam satu wadah bersama(common pool); kedua, insurable risk; artinyarisiko harus layak secara ekonomi untukdiasuransikan; dan ketiga, rational for buyinginsurance, artinya membeli asuransi harusrasional secara ekonomi.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KesimpulanPerbankan nasional memiliki potensi

yang sangat besar untuk mendukung pem-biayaan di sektor pertanian. Setidaknya hal inidapat dilihat dari jumlah dana yang dihimpun,penyaluran dana yang besar, banyaknyajumlah kantor layanan, aset, dan tingkat labayang berhasil dibukukan juga cukup besar.Namun, proporsi kredit perbankan untuk sektor

Page 13: FAE27-1b

25

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari

pertanian hingga saat ini masih sangat kecil,yaitu di bawah 6 persen yang masih jauh lebihkecil dibandingkan kredit untuk sektor per-dagangan dan perindustrian.

Dari sisi perbankan, rendahnya alokasikredit disebabkan oleh beberapa hal, diantara-nya (1) perbankan memandang sektor pertani-an sangat risky sehingga sangat hati-hatidalam pemberian kredit, (2) pihak perbankanada yang trauma dengan pengalaman KUTyang kurang baik, (3) banyak perbankan yangtidak mempunyai cukup pengalaman menya-lurkan kredit di sektor pertanian, (4) dominasiusaha mikro-kecil memiliki kelemahan dalammanajemen dan pembukuan (nonbankable),serta (5) adanya risiko sosial dan status lahanyang kurang kondusif bagi perbankan.

Sementara di sisi lain, pelaku usahapertanian (petani, pedagang saprodi/outputpertanian) memiliki image bahwa meminjammodal di perbankan sangat komplek prose-durnya, sehingga kurang terdorong untukmengajukan kredit. Penyediaan agunan meru-pakan persyaratan yang paling sulit untukdipenuhi oleh pelaku usaha pertanian. Per-bedaan nature usaha, minimnya informasiserta belum optimalnya komunikasi antarasektor pertanian dengan perbankan jugamenjadi kendala yang tidak kalah pentinguntuk dicarikan solusinya yang tentu sajaharus menguntungkan kedua pihak.

Pemerintah telah berupaya untuk me-ningkatkan pembiayaan di sektor pertanianbaik melalui jalur APBN maupun non APBN.Melalui APBN pemerintah menargetkan untukselalu menambah alokasi dana untuk sektorpertanian, walaupun dalam implementasinyasangat tergantung dari kesepakatan-kesepa-katan politis dengan DPR. Dana APBNumumnya dimanfaatkan untuk keperluan kreditprogram seperti penguatan modal kelompok,subsidi bunga, subsidi pupuk maupun BantuanLangsung Masyarakat. Pihak otoritas moneter(BI) juga memilki beberapa kegiatan untukmendorong meningkatnya kredit untuk UMKM,termasuk sektor pertanian, diantaranya: (1)penyediaan DIBI, (2) pengembangan polapembiayaan UMKM, (3) pengembanganUMKM dengan kluster, (4) penelitian polakemitraan, (5) program pengembangan inti-plasma, serta (6) fasilitasi percepatan danpemberdayaan ekonomi daerah. Untuk men-jembatani kepentingan pelaku usaha dan

perbankan, BI juga telah menginisiasi pem-bentukan KKMB.

Untuk mendukung peningkatan pem-biayaan ke sektor pertanian (terutama per-bankan) ada beberapa pilihan solusi alternatifyang ditawarkan, diantaranya: (a) pengemba-ngan skema pembiayaan, misalnya denganforward financing atau resi gudang, (b)mencari skim kredit yang sesuai dengankarakteristik sektor pertanian (misalnya:partnership), (3) membentuk bank khususpertanian (agribisnis), (4) mendorong pertum-buhan LKMA, serta (5) menarik investorswasta untuk berinvestasi di sektor pertanian,terutama untuk mega proyek. Terkait denganpembentukan Bank Pertanian, pola pembiaya-an syariah dapat dijadikan sebagai dasaroperasionalisasi bank tersebut. Perbankansyariah memiliki keunggulan diantaranya padaproduk pembiayaan yang variatif serta tahanterhadap gejolak krisis moneter karena tidakberbasis bunga.

Implikasi KebijakanBelum optimalnya dukungan perbankan

dalam alokasi kredit ke sektor pertanianmerupakan tantangan bagi pemerintah, pelakuusaha pertanian dan pihak perbankan untukdicari solusinya. Pemerintah sebagai pihakyang memiliki kewenangan dalam regulasiseyogyanya memiliki keberanian untuk mem-buat terobosan kebijakan di sektor perbankanyang lebih pro-pertanian dan usaha mikro kecildi perdesaan. Terkait dengan masih sulitnyapelaku usaha pertanian (terutama petani) aki-bat kendala persyaratan collateral, pemerintahdapat membantu dengan fasilitasi programsertifikasi lahan secara berkelanjutan. Peme-rintah perlu juga menyusun buku pintarkomoditas yang membahas secara lengkapdan proporsional “a to z” terkait dengankomoditas pertanian. Hal ini dimaksudkan agardengan buku tersebut dapat dijadikan panduandalam pengembangan bisnis bank, misalnyabagi account officer (AO) dan pengambilkeputusan di perbankan ketika melakukanpersetujuan kredit/pembiayaan.

Pelaku usaha di sektor pertanian jugaharus membuat terobosan dan langkah-langkah kongkret agar sektor pertanian “lakujual” dan memang layak diberikan dukungandana yang memadai. Profesionalitas dan

Page 14: FAE27-1b

26

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 27 No. 1, Juli 2009 : 13 - 27

integritas moral pelaku usaha pertanian harusmenjadi prioritas untuk segera dibenahi.Ibaratnya uang akan mengalir ke tempat yangpaling menguntungkan masih menjadi pakempraktisi perbankan. Artinya perbankan akansecara otomatis mengalokasikan dana padausaha-usaha yang memiliki ekspektasi palingmenguntungkan.

Pelaku perbankan diharapkan juga lebihproporsional dan tidak apriori terhadap pem-biayaan di sektor pertanian. Dengan luasnyacakupan usaha, komoditas, skala usaha, mau-pun karakteristik pelaku di sektor pertaniandiharapkan memunculkan upaya-upaya tero-bosan dalam penyusunan skim kredit sesuaidengan pelaku usaha pertanian yang beragamtersebut. Untuk itu, perlu upaya yang teren-cana dan sistematis untuk meningkatkanpemahaman terhadap sektor pertanian yanglebih baik bagi petugas analisis kredit/accountofficer di setiap perbankan. Pemerintah dapatmemfasilitasi dengan mengadakan seminar/workshop/training bagi banker tentang segalaaspek terkait dengan sektor pertanian besertaprospek pembiayaan di sektor tersebut.

Sementara itu, alternatif pendirian BankPertanian walaupun dipandang ideal tetapicukup kompleks dalam implementasinya danmemerlukan proses yang panjang. Hal praktisyang dapat dilakukan pemerintah adalahmemanfaatkan semaksimal mungkin lembagapembiayaan yang telah eksis untuk didorongagar memiliki kepedulian yang lebih besarterhadap sektor pertanian. Untuk memper-lancar penyaluran kredit perbankan ke pelakuusaha pertanian yang mayoritas di pedesaan,perlu diintensifkan kegiatan lingkage programantara perbankan dengan BPR maupun LKMyang telah banyak tumbuh dan berkembang diwilayah perdesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Pemetaan Komoditas PertanianUnggulan Jawa Barat serta Potensi Pem-biayaan Perbankan Syariah untuk Pengem-bangannya. Kerjasama Kantor Bank Indo-nesia Bandung dengan Pusat Analisis SosialEkonomi dan Kebijakan Pertanian.

Anonim. 2008. Karakteristik Perbankan (Pengertian,Fungsi, dan Ruang Lingkup UsahaBank).http://blognyamyun.blogspot.com/2008

/08/karakteristik-perbankan-pengertian.html[14/12/08]

Anonim. 2009. Pengertian dan Fungsi Bank.http://www.edukasi.net/mol/mofull.php?moid=7&fname=eko203_18.htm [7/1/09]

Arifin, B. 2007. Mengatasi Kesulitan PembiayaanSektor Pertanian. http://barifin.-multiply.com/journal/item/17 [23/10/2007]

Ashari dan S. Friyatno. 2006. Perspektif PendirianBank Pertanian di Indonesia. Forum AgroEkonomi, 24 (2): 107-155. Pusat AnalisisSosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Badan Penelitian dan PengembanganPertanian.

Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan KreditProgram Sektor Pertanian di Indonesia.Analisis Kebijakan Pertanian (AKP), Vol 7(1): 21-42. Pusat Analisis Sosial Ekonomidan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian.

Aviliani. 2009. Kebijakan Perbankan dalam SektorAgribisnis. Makalah disampaikan padaRound Table Discussion: Mencari AlternatifPembiayaan Pertanian. Kerjasama Kemen-terian Koordinator Bidang Perekonomian danDepartemen Agribisnis, FEM-IPB. Jakarta,16 April 2009.

Bank Indonesia. 2006. Laporan PerekonomianIndonesia 2006. Bank Indonesia, Jakarta.

Bank Indonesia. 2009. Statistik PerbankanIndonesia, Vol 7, No 2, Januari 2009.

Departemen Pertanian. 2007. Revitalisasi Pertanian(Agriculture Revitalization). DepartemenPertanian. Jakarta.

Deputi Gubernur Senior BI. 2008. Kebijakan BankIndonesia dalam Mendorong KreditAgrobisnis. Keynote Speech pada The 3rd

MRC Doctoral Journey in Management inConjuction With The 1 st Master Journey inManagement, dengan Tema “OptimizingLocal Resources for Competitiveness.Kerjasama FEUI dan Harian BisnisIndonesia. 7 Agustus 2008, Jakarta.

Gamal, M. 2006. Share Pembiayaan Perbankanpada PDB Indonesia. http://www.mail-archieve.com/[email protected]/msg06156.html [29/05/09]

Hadi, P.U., C. Shaleh, Al S. Bagyo, R. Hendayana,Y. Marisa, dan I. Sadikin. 2000. Studi Kebu-tuhan Asuransi Pertanian pada PertanianRakyat. Pusat Penelitian dan Pengemba-ngan Sosial Ekonomi Pertanian. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian.

Page 15: FAE27-1b

27

PERAN PERBANKAN NASIONAL DALAM PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Ashari

Indiastuti, R. 2005. Arti Tahun Keuangan Mikro bagiIndonesia.http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/08/0608.htm [12/07/06]

Kompas, 6 Agustus 2008. Butuh Rp 100 Triliununtuk Pertanian di Pantura Jawa.http:www.kemitraan.or.id/newsroom/media-news/butuh-rp-100-triliun-untuk-pertanian-di-pantura-jawa/lang-pref/id [25/3/09]

Krisnamurthi, B. Peta Pembiayaan Pertanian.Makalah disampaikan pada Round TableDiscussion: Mencari Alternatif PembiayaanPertanian. Kerjasama Kementrian Koordina-tor Bidang Perekonomian dan DepartemenAgribisnis, FEM-IPB. Jakarta, 16 April 2009.

Mayrowani, H., M. Syukur, Sunarsih, Y. Marisa, danM. F. Sutopo. 2000. Peningkatan PerananKredit dalam Menunjang AgribisnisPedesaan. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Sosial Ekonomi Pertanian. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian.

Makatulu, A. A. 2009. Saatnya Perbankan PerbesarKredit Pertanian. http://kendariekspress.com.[29/05/2009]

Nurmanaf, R., E.L. Hastuti, Ashari, S. Friyatno, danB. Wiryono. 2006. Analisis Sistem Pem-biayaan Mikro dalam Mendukung UsahaPertanian di Pedesaan. Pusat Analisis SosialEkonomi dan Kebijakan Pertanian. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian.

Pasaribu, S.M., B. Sayaka, W.K. Sejati, A. Setyanto,J. Hestina, dan J. Situmorang. 2007. AnalisisKebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian.Pusat Analisis Sosial Ekonomi danKebijakan Pertanian. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian.

Ratnawati, A. 2009. Mencari Alternatif PembiayaanPertanian. Makalah disampaikan padaRound Table Discussion: Mencari AlternatifPembiayaan Pertanian. Kerjasama Kemen-

trian Koordinator Bidang Perekonomian danDepartemen Agribisnis, FEM-IPB. Jakarta,16 April 2009.

Syukur, M. 2009. Mencari Alternatif PembiayaanPertanian. Makalah disampaikan padaRound Table Discussion: Mencari AlternatifPembiayaan Pertanian. Kerjasama Kemen-trian Koordinator Bidang Perekonomian danDepartemen Agribisnis, FEM-IPB. Jakarta,16 April 2009.

Syukur, M., E.L. Hastuti, Soentoro, A. Supriatna,Supadi, Sumedi, dan B.W.D. Wicaksono.2002. Kajian Pembiayaan Pertanian Men-dukung Pengembangan Agribisnis danAgroindustri di Perdesaan. Pusat Penelitiandan Pengembangan Sosial Ekonomi Per-tanian. Badan Penelitian dan Pengemba-ngan Pertanian.

Syukur, M., Sugiarto, Hendiarto dan B. Wiryono.2003. Analisis Rekayasa KelembagaanPembiayaan Usaha Pertanian. Proyek/Bagian Proyek Pengkajian TeknologiPertanian Partisipatif (PAATP). PusatPenelitian dan Pengembangan SosialEkonomi Pertanian. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian.

Tempo interaktif. 2007. Kredit Usaha Rakyat (KUR)diluncurkan. http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/11/05/brk,20071105110810,id.html [21/02/09]

Umkm-yogya. 2007. Peran Asosiasi KonsultanKeuangan Mitra Bank (KKMB).http://www.umkmogya.com/index.php?option=com_content&task=view&id=51&itemid=1 [27/05/09]

www.bi.go.id 2009. Indikator Perbankan Nasional-Bank Sentral Republik Indonesia.http.www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Indikator+Perbankan/?display=print [24/3/09]