f09lat

90
PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR (FRESH-CUT APPLE) Oleh: LATIFAH F24103095 2009 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Upload: mario-vensfisecrew

Post on 29-Jan-2016

237 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

sambal

TRANSCRIPT

Page 1: F09lat

PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea

batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR

(FRESH-CUT APPLE)

Oleh:

LATIFAH

F24103095

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Page 2: F09lat

SKRIPSI

PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea

batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR

(FRESH-CUT APPLE)

Oleh:

LATIFAH

F24103095

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Page 3: F09lat

Latifah. F24103095. Pengaruh Edible Coating Pati Ubi Jalar Putih (Ipomoea

batatas L.) Terhadap Perubahan Warna Apel Potong Segar (Fresh-Cut

Apple). Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS.

ABSTRAK

Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan istilah produk potong segar (fresh-cut product) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang melibatkan pencucian, pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan menggunakan suhu rendah untuk penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi yang dikandungnya (Perera, 2007). Perlakuan proses pengolahan menyebabkan produk terolah minimal mudah mengalami penurunan mutu. Salah satu contoh penurunan mutunya adalah akibat terjadinya pencoklatan enzimatis (enzymatic browning). Pelapisan buah menggunakan edible coating merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk meminimalisir penurunan mutu buah terolah minimal. Edible coating merupakan lapisan terbuat dari bahan yang dapat dimakan dan berfungsi menahan laju perpindahan gas dan uap air (Baldwin, 1994). Komponen penyusun edible coating terdiri atas hidrokoloid, lemak, atau campurannya (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994). Untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan sebaiknya dipilih edible coating yang memiliki daya penahan gas yang baik, misalnya pati. Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan edible coating dari pati ubi jalar dengan mengkombinasikannya dengan tapioka dan diaplikasikan pada apel potong segar. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah (1) mengetahui pengaruh edible coating yang terbuat dari pati ubi jalar dikombinasikan dengan tapioka terhadap tingkat pencoklatan apel potong segar, (2) menentukan formulasi terbaik edible coating yang memiliki kemampuan penghambatan pencoklatan apel potong segar paling signifikan. Parameter yang diamati terutama nilai Browning Index (BI) dan laju respirasi. Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yakni penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan pati ubi jalar sebagai bahan pembuat edible coating serta penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer melalui pengamatan secara visual (subjektif). Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang dicobakan, yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan (4) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume larutan pati setelah ditambahkan dengan CMC. Analisis yang dilakukan pada tahap penelitian pendahuluan adalah analisis rendemen pati, derajat putih, dan densitas kamba. Penelitian utama meliputi pengukuran laju respirasi, susut bobot, warna, dan organoleptik. Faktor yang diteliti adalah suhu penyimpanan (5°C dan suhu ruang) serta perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan. Penelitian pendahuluan menghasilkan pati ubi jalar dengan rendemen 16.1% dari bobot segar umbi, derajat putih 86.4%, dan densitas kamba 0.5 ± 0.09

Page 4: F09lat

g/ml. Sementara itu, formula untuk pembuatan edible coating terdiri atas pati 1% b/v larutan pati dan CMC, CMC 0.5% b/v larutan pati dan CMC, air destilata, dan gliserol 15% (v/b pati). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai laju respirasi apel potong segar. Nilai laju respirasi apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C lebih rendah dibanding apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai laju respirasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan edible coating yang digunakan tidak dapat berperan sebagai penahan laju respirasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap susut bobot apel potong segar. Susut bobot apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C lebih rendah dibanding apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuatan edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai susut bobot. Hasil uji-t menunjukkan bahwa lama penyimpanan juga berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai susut bobot yang diperoleh. Nilai susut bobot semakin meningkat dengan meningkatnya lama penyimpanan.

Pengamatan terhadap nilai BI dan L menunjukkan bahwa suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai Browning Index (BI) dan L (kecerahan) apel potong segar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai BI dan L. Nilai BI dan L tetap tinggi meskipun produk apel potong segar sudah dilapisi edible coating.

Hasil uji organoleptik apel potong segar terhadap parameter rasa menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penilaian panelis. Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna menunjukkan bahwa penambahan edible coating pada apel potong segar dengan berbagai konsentrasi berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap tingkat kesukaan panelis. Dibanding kontrol, apel yang terlapis edible coating lebih tidak disukai panelis.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah coating yang melekat per-satuan permukaan produk untuk mengetahui keefektifan dari suatu larutan edible coating. Selain itu, pembuatan edible coating sebaiknya ditambahkan lipid untuk menurunkan susut bobot produk terlapis. Penambahan asam sitrat dan asam askorbat sebagai antioksidan sebaiknya dilakukan dalam larutan edible coating itu sendiri dan konsentrasi pemlastis (plasticizer) sebaiknya diturunkan sehingga edible coating lebih cepat kering.

Page 5: F09lat

PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR

(FRESH-CUT APPLE)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

LATIFAH

F24103095

2009

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Page 6: F09lat

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea

batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR

(FRESH-CUT APPLE)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

LATIFAH

F24103095

Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 November 1984

di Jakarta

Tanggal lulus :

Bogor, Februari 2009

Menyetujui,

Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Page 7: F09lat

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 November 1984 di Jakarta. Penulis

merupakan anak dari pasangan bernama Syafi’i dan Mulia. Penulis menyelesaikan

pendidikan dasar di MI Ash-Sholihin pada tahun 1997, MTs Negeri 12 Jakarta

Barat pada tahun 2000, SMU Negeri 78 Jakarta Barat tahun 2003, dan pada tahun

yang sama diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian

Bogor melalui SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

Penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi

Pertanian (BEM-F) sebagai Staf Administrasi dan Keuangan (tahun 2004) dan

Ketua Departemen Kesekretariatan (tahun 2005). Sementara itu, pada tahun 2006

penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM-KM)

IPB sebagai Sekretaris Departemen Pertanian. Penulis juga aktif di berbagai

kepanitiaan kampus.

Penulis menyelesaikan skripsi pada tahun 2008 dengan judul “Pengaruh

Edible Coating Pati Ubi Jalar Putih (Ipomoea batatas L.) terhadap Perubahan

Warna Apel Potong Segar (Fresh-Cut Apple)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Adil

Basuki Ahza, MS.

Page 8: F09lat

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Pengaruh Edible Coating Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Terhadap

Perubahan Warna Apel Potong Segar (Fresh-Cut Apple)”.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS selaku dosen pembimbing akademik atas

bimbingan, arahan, dan bantuannya selama ini.

2. Dr. Ir. Sukarno, M. Sc dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku dosen

penguji.

3. Mama, Umi, Abi, K Fia, K Faris, Cing Mameh, Riva, Cing Cecet, serta

seluruh keluarga yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas kasih sayang,

motivasi, dan bantuannya selama ini.

4. Ibu Rub, Pak Sidik, Pak Sob, Pak Wahid, Mas Eddy, Mas Doddy, Pak Yahya,

atas bantuan selama penelitian.

5. Pak Sulyaden, Pak Tjahja Muhandri, Bu Waysima, atas kebaikan dan

bantuannya.

6. Diah Rochana, Dyah Setyorini, Septina, Mb Dhenok, Niken yang telah

bertugas dengan baik sebagai sie transportasi.

7. Ventri, Mely, Lia, Rina, Riwil, Ririn, Eti, Nona, Sohib, Erma, Risma, Mita,

Okta, Andri, Kani, Dyah, Chie2, Henry, Dwi, Eli, Ery, Ika, Tika, Risma, Ida,

Andri, Cucu, Fitri yang telah banyak membantu selama penelitian.

8. Syifa, Yeyen, Rosyi, Rifa, Asih, Astri, atas kebersamaannya.

9. Novi yang sangat setia menemani dikala sulit, Noor, Intan, Mona, Santo,

Riska, I2n, Wati, Lina, Angga, dan teman-teman ITP 40 yang tidak dapat

disebutkan namanya satu per satu, atas kebaikan dan keceriaan yang telah

diberikan.

10. Rien, Aliy, Maryono, Ani, Adam, Aji, Ferdy, Laela, Fitri, Diah, Putra, Zulvan,

Dani, Eko, Nur, Erick, Pi2t, Redy, Linda, Eva, Ramlah, Kristanto, Eka, dan

seluruh teman-teman di BEM-KM atas kebersamaannya.

Page 9: F09lat

ii

11. Lia, Shaqira, Fadli, Tyan, teman-teman SMU yang setia menemani dan

membantu.

12. Mb Siti, Mb Ari, Mb Leni, Erven, Uyuy, Anis, Ayu, Ramadhan’ers yang

selalu ceria.

13. Ami dan Rina yang selalu membantu untuk persoalan-persoalan statistik.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat

kekurangan, untuk itu saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan

sebagai perbaikan di masa mendatang.

Bogor, Februari 2009

Penulis

Page 10: F09lat

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. viii

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Tujuan Penelitian ................................................................................. 2

C. Manfaat Penelitian ............................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4

A. Edible Coating .................................................................................... 4

B. Pati ...................................................................................................... 6

C. Ubi Jalar ............................................................................................. 7

D. Pencoklatan (Browning) ....................................................................... 9

E. Apel ................................................................................................... 11

F. Pengolahan Minimal (Minimal Processing) ........................................ 12

G. Respirasi ............................................................................................. 14

III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 17

A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 17

B. Bahan dan Alat .................................................................................... 17

C. Prosedur Penelitian .............................................................................. 17

1. Penelitian Pendahuluan .................................................................. 19

2. Penelitian Utama ........................................................................... 24

D. Pengamatan .......................................................................................... 26

1. Rendemen ....................................................................................... 27

2. Derajat Putih ................................................................................. 27

3. Densitas Kamba ........................................................................... 27

4. Laju Respirasi ................................................................................. 28

5. Susut Bobot .................................................................................... 29

6. Warna ............................................................................................. 29

Page 11: F09lat

iv

7. Organoleptik ................................................................................. 30

E. Rancangan Percobaan ........................................................................... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 33

A. Penelitian Pendahuluan ........................................................................ 33

1. Rendemen ....................................................................................... 34

2. Derajat Putih ................................................................................. 34

3. Densitas Kamba ............................................................................. 34

B. Penelitian Utama .................................................................................. 35

1. Laju Respirasi ................................................................................ 35

2. Susut Bobot ................................................................................... 39

3. Warna ............................................................................................. 42

4. Organoleptik .................................................................................. 45

V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 47

A. Kesimpulan .......................................................................................... 47

B. Saran ..................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 50

LAMPIRAN ..................................................................................................... 54

Page 12: F09lat

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kemungkinan penggunaan edible film dan coating ……………….. 5

Page 13: F09lat

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur amilosa ........................................................................... 6

Gambar 2. Struktur amilopektin .................................................................... 7

Gambar 3. Ubi jalar putih ............................................................................. 8

Gambar 4. Apel Manalagi sebelum mengalami browning (kiri) dan

setelah mengalami browning (kanan) .......................................... 10

Gambar 5. Apel Manalagi ............................................................................. 12

Gambar 6. Contoh produk terolah minimal .................................................... 13

Gambar 7. Kurva laju respirasi antara klimakterik dan non-klimakterik ....... 16

Gambar 8. Diagram alir penelitian ................................................................ 19

Gambar 9. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar (Shinta, 2007) ................. 20

Gambar 10. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar modifikasi ....................... 21

Gambar 11. Oven yang digunakan untuk pengeringan pada pembuatan

pati ............................................................................................... 21

Gambar 12. Blender kering yang digunakan untuk pengeringan pada

pembuatan pati ............................................................................. 22

Gambar 13. Diagram alir pembuatan edible coating (Santoso et al., 2004) .... 23

Gambar 14. Diagram alir pembuatan edible coating modifikasi .................... 23

Gambar 15. Pemanasan dan pengadukan pati menggunakan magnetic stirrer.. 24

Gambar 16. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel potong segar

(Layuk et al., 2002) ...................................................................... 25

Gambar 17. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel fresh-cut

modifikasi ................................................................................... 26

Gambar 18. Chromameter Minolta CR-200 ................................................... 29

Gambar 19. Pati ubi jalar yang telah diayak ................................................... 33

Gambar 20. Produk yang telah mengalami kerusakan pada penyimpanan

suhu ruang (kiri) dan 5°C (kanan) ................................................. 35

Gambar 21. Grafik laju produksi CO2 tiap konsentrasi pati ubi jalar-tapioka pada

suhu 5°C ...................................................................................... 38

Gambar 22. Grafik laju produksi CO2 tiap konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

pada suhu ruang.............................................................................. 39

Page 14: F09lat

vii

Gambar 23. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu ruang ....... 41

Gambar 24. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu 5°C ........... 41

Gambar 25. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu ruang ............... 42

Gambar 26. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu 5°C.................. 43

Gambar 27. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap nilai L selama penyimpanan pada suhu ruang ............... 43

Gambar 28. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap nilai L selama penyimpanan pada 5°C ............................ 44

Page 15: F09lat

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data perhitungan analisis pendahuluan ................................... 54

Lampiran 2. Proses pengukuran laju respirasi ............................................. 55

Lampiran 3a. Data laju respirasi apel potong segar (fresh-cut apple) pada

suhu ruang ............................................................................... 56

Lampiran 3b. Data laju respirasi apel potong segar (fresh-cut apple) pada

suhu 5°C ................................................................................. 56

Lampiran 4. Hasil ANOVA untuk laju respirasi ........................................ 57

Lampiran 5a. Data analisis susut bobot pada suhu ruang …......................... 58

Lampiran 5b. Data analisis susut bobot pada suhu 5°C ............................... 58

Lampiran 6. Hasil ANOVA untuk susut bobot .......................................... 59

Lampiran 7a. Rumus konversi nilai L dan BI ………………...................... 61

Lampiran 7b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar

(fresh-cut apple) hari ke-0 ..................................................... 61

Lampiran 8a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar

(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu ruang

hari ke-1 ................................................................................. 62

Lampiran 8b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar

(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu ruang hari

ke-2 ........................................................................................ 62

Lampiran 9a. Data Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar

(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari

ke-1 ......................................................................................... 63

Lampiran 9b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar

(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari

ke-2 ........................................................................................ 63

Lampiran 10a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar

(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari

ke-3 ......................................................................................... 64

Lampiran 10b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar

(fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari

Page 16: F09lat

ix

ke-4 ........................................................................................ 64

Lampiran 11. Hasil ANOVA untuk nilai BI ............................................... 65

Lampiran 12. Hasil ANOVA untuk nilai L ................................................. 66

Lampiran 13. Penampakan warna apel pada hari ke-0 ................................. 67

Lampiran 14a. Penampakan warna apel pada hari ke-1 penyimpanan

suhu ruang ............................................................................. 68

Lampiran 14b. Penampakan warna apel pada hari ke-2 penyimpanan

suhu ruang .............................................................................. 68

Lampiran 15a. Penampakan warna apel pada hari ke-1 penyimpanan

suhu 5°C .................................................................................. 69

Lampiran 15b. Penampakan warna apel pada hari ke-2 penyimpanan

suhu 5°C .................................................................................. 69

Lampiran 16a. Penampakan warna apel pada hari ke-3 penyimpanan

suhu 5°C ................................................................................. 70

Lampiran 16b. Penampakan warna apel pada hari ke-4 penyimpanan

suhu 5°C .................................................................................. 70

Lampiran 17. Form penilaian uji organoleptik .............................................. 71

Lampiran 18. Skor uji organoleptik .............................................................. 72

Lampiran 19. Hasil ANOVA organoleptik parameter rasa .......................... 73

Lampiran 20. Hasil ANOVA organoleptik parameter warna.......................... 74

Page 17: F09lat

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan

istilah potong segar (fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang

melibatkan pencucian, pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan

menggunakan suhu rendah untuk penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi

tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi yang dikandungnya (Perera,

2007).

Buah potong segar (fresh-cut fruit) lebih tidak tahan lama

dibandingkan buah segar. Berbagai perlakuan yang dialami buah potong segar

seperti pengupasan, pemotongan, pengirisan dapat mengganggu integritas

jaringan dan sel yang dimilikinya. Akibatnya terjadi peningkatan produksi

etilen, peningkatan laju respirasi, degradasi membran, kehilangan air, dan

kerusakan akibat mikroorganisme. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya

perubahan enzimatis dan penurunan umur simpan serta mutu (Baeza-Rita,

2007). Kerusakan mekanis pada produk potong segar misalnya akibat

pemotongan dapat mengaktifkan enzim polifenol oksidase membentuk

senyawa melanin menimbulkan warna coklat pada buah atau sayuran (Wong

et al., 1994). Padahal warna menjadi atribut mutu yang sangat penting pada

produk buah-buahan atau sayuran terolah minimal (Lin dan Zhao, 2007). Jenis

buah-buahan yang sering mengalami reaksi pencoklatan adalah pisang, pir,

salak, pala, dan apel.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah reaksi

pencoklatan adalah penggunaan edible coating. Yakni lapisan terbuat dari

bahan yang dapat dimakan dan berfungsi menahan laju perpindahan gas dan

uap air (Baldwin, 1994). Komponen penyusun edible coating terdiri atas

hidrokoloid, lemak, atau campuran (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan sebaiknya dipilih edible

coating yang memiliki daya penahan gas yang baik, misalnya pati. Warna

coklat ini meskipun tidak berbahaya tetapi tetap saja mengurangi mutu produk

karena konsumen tidak menyukainya. Dibutuhkan edible coating dengan

Page 18: F09lat

2

karakteristik penahan gas yang baik karena dalam reaksi pencoklatan

enzimatis juga melibatkan oksigen sebagai substrat pembantu (co-substrate).

Semakin sedikit oksigen yang tersedia dalam jaringan buah maka reaksi

pencoklatan dapat diminimalisir (Marshall et al., 2000).

Selain sebagai penahan gas yang baik untuk diterapkan sebagai bahan

edible coating, pati juga memiliki kelebihan lain, yaitu harganya yang murah,

ketersediaan yang melimpah, serta penanganan yang relatif mudah (Gontard

dan Guilbert, 1994). Salah satu tanaman penghasil pati yang sangat potensial

adalah ubi jalar. Belum berkembangnya usaha pati ubi jalar ini karena

pemanfaatannya dalam industri yang masih sangat terbatas dibanding tapioka.

Mempertimbangkan faktor tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk

mempelajari pengaruh penggunaan pati ubi jalar yang dikombinasikan dengan

tapioka sebagai bahan edible coating terhadap perubahan warna coklat yang

menjadi masalah besar pada produk apel potong segar. Apel dipilih sebagai

produk potong segar karena apel termasuk jenis buah yang tidak tergantung

musim sehingga menguntungkan untuk dikembangkan secara berkelanjutan.

Banyaknya apel impor membuat posisi apel lokal seperti varietas Manalagi

semakin terpinggirkan. Dengan mengolahnya menjadi produk potong segar,

diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah apel lokal.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh edible coating yang terbuat dari pati ubi jalar

dikombinasikan dengan tapioka terhadap tingkat pencoklatan apel potong

segar.

2. Mempelajari laju respirasi apel potong segar melalui pengukuran jumlah

CO2 yang diproduksi.

3. Menentukan formulasi terbaik edible coating yang memiliki kemampuan

penghambatan pencoklatan apel potong segar (fresh-cut apple) paling

signifikan.

Page 19: F09lat

3

C. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Formulasi edible coating yang terbaik nantinya dapat diterapkan untuk

mengatasi permasalahan pencoklatan pada produk potong segar (fresh-cut

product), misalnya apel.

2. Dapat diketahui kondisi-kondisi yang diperlukan dalam pembuatan edible

coating serta aplikasinya pada produk apel potong segar.

Page 20: F09lat

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Edible Coating

Edible coating adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang

dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan (coating) yang berfungsi sebagai

penghalang terhadap perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, cahaya,

lipid, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan

penanganan suatu makanan (Baldwin, 1994). Saat ini, coating digunakan

untuk buah-buahan dan sayuran segar yang bertujuan menghambat susut

bobot, memperbaiki penampilan dengan meningkatkan kilap pada produk, dan

menahan pertukaran gas antara produk dengan lingkungan (Grant dan Burns,

1994).

Terdapat tiga kelompok penyusun edible coating, yakni : hidrokoloid,

lipid, dan campurannya (komposit). Yang termasuk hidrokoloid adalah protein,

turunan selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida lain. Lipid dapat

diperoleh dari lilin, asilgliserol, dan asam lemak. Sementara itu, komposit

merupakan campuran antara lipid dan hidrokoloid (Donhowe-Irene dan

Fennema, 1994).

Hidrokoloid yang digunakan untuk coating dapat dibagi berdasarkan

komposisi, muatan molekul, dan kelarutan airnya. Berdasarkan komposisinya,

hidrokoloid terdiri atas karbohidrat dan protein. Jenis karbohidrat yang dapat

digunakan meliputi pati, alginat, pektin, gum arabik, dan pati termodifikasi.

Sementara itu, dari jenis protein adalah gelatin, kasein, protein kedelai, whey,

gluten gandum, dan zein jagung. Berdasarkan muatan molekulnya,

hidrokoloid baik untuk pembentuk film. Sedangkan alginat dan pektin

membutuhkan ion polivalen, biasanya kalsium untuk membentuk film.

Menurut kelarutan terhadap air, hidrokoloid lebih rendah daya tahannya

terhadap uap air dibanding protein karena sifat hidrokoloid yang hidrofilik

(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Lipid sering digunakan sebagai penahan uap air atau sebagai pelapis

untuk meningkatkan kilap pada produk-produk konfeksionari. Lipid jarang

digunakan secara tunggal karena integritas struktur serta daya tahannya yang

Page 21: F09lat

5

rendah. Dari golongan lipid yang paling sering digunakan adalah lilin yang

berfungsi menghambat respirasi dan susut bobot pada buah dan sayuran

(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Film (lapisan) dari bahan komposit dapat digunakan untuk mengatasi

kekurangan-kekurangan lipid dan hidrokoloid jika digunakan secara tunggal.

Jika sifat penahan uap air yang diinginkan, dapat digunakan lipid sebagai

bahan edible coating. Sementara itu, sifat daya tahan lipid yang rendah dapat

ditutupi dengan penggunaan hidrokoloid (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Pemilihan jenis edible coating dapat disesuaikan dengan fungsi dan

kegunaan yang diinginkan, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kemungkinan penggunaan edible film dan coating

Kegunaan Jenis Film yang Sesuai

Memperlambat migrasi kelembaban

Memperlambat migrasi gas

Memperlambat migrasi minyak dan lemak

Memperlambat migrasi bahan terlarut

Memperbaiki integritas struktur atau sifat-sifat

penanganan

Mempertahankan senyawa flavor yang volatil

Pembawa bahan tambahan pangan

Lipid, komposit

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Hidrokoloid

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Hidrokoloid, lipid, atau komposit

Sumber : Donhowe-Irene dan Fennema (1994)

Bahan yang sering ditambahkan pada edible coating antara lain

antimikroba, antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer. Bahan antimikroba

yang umumnya sering digunakaan adalah asam benzoat, asam sorbat, kalium

sorbat, dan asam propionat. Antioksidan diperlukan untuk melindungi dari

reaksi oksidasi, degradasi, dan pemudaran. Antioksidan yang sering

digunakan berupa senyawa asam dan senyawa fenolik. Senyawa asam yang

digunakan antara lain asam sitrat, asam sorbat, dan ester-esternya. Senyawa

fenolik yang digunakan adalah BHA, BHT, propil galat, dan tokoferol. Jenis

plasticizer yang umum digunakan adalah gliserol (Anonim, 2006). Gliserol

ditambahkan untuk memperbaiki karakteristik mekanis dari film yang

terbentuk (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).

Page 22: F09lat

6

Gliserol dibuat dengan menguraikan fruktosa difosfat dengan enzim

aldosa menjadi dihidroksi aseton fosfat, kemudian direduksi menjadi α-

gliserofosfat. Setelah itu, gugus fosfat dihilangkan dengan proses fosforilasi

(Winarno, 1997).

Selain plasticizer, bahan lain yang sering ditambahkan dalam

formulasi coating adalah CMC. CMC (carboxymethylcellulose) atau gum

selulosa merupakan eter selulosa anionik yang diperoleh dengan mereaksikan

selulosa alkali dengan natrium monokloroasetat. Fungsinya antara lain

menjaga tekstur alami, kerenyahan dan kekerasan produk, menghambat

pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, dan mengurangi penyerapan

oksigen tanpa menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida pada jaringan

buah-buahan (Nisperos-Carriedo, 1994).

CMC jarang digunakan sebagai bahan tunggal dalam pembuatan edible

coating atau film. Tetapi kemampuannya membentuk film yang kuat dan tahan

minyak sangat baik untuk diaplikasikan (Nisperos-Carriedo, 1994).

B. Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.

Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-

nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua

fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa

dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus

dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa seperti terlihat pada Gambar 1, sedang

amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-

5 % dari berat total (Winarno, 1997), seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Struktur amilosa (Cornell, 2004)

Page 23: F09lat

7

Gambar 2. Struktur amilopektin (Cornell, 2004)

Menurut Blennow (2004), pati merupakan cadangan energi utama

dalam tumbuhan dan salah satu jenis karbohidrat yang ketersediaannya

melimpah. Pati yang tersimpan dalam organ tumbuhan, seperti pada jagung,

kentang, gandum, dan lain-lain berperan sebagai sumber energi manusia.

Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin,

dalam komposisi yang berbeda-beda. Dibandingkan amilopektin, amilosa

lebih berperan dalam pembentukan edible coating. Amilosa diperlukan untuk

pembentukan film dan pembentukan gel yang kuat (Nisperros-Carriedo, 1994).

Beberapa sifat pati adalah mempunyai rasa yang tidak manis, tidak

larut dalam air dingin tetapi di dalam air panas dapat membentuk sol atau gel

yang bersifat kental. Sifat kekentalannya ini dapat digunakan untuk mengatur

tekstur makanan, dan sifat gelnya dapat diubah oleh gula atau asam. Pati di

dalam tanaman dapat merupakan energi cadangan. Di dalam biji-bijian, pati

terdapat dalam bentuk granula. Penguraian tidak sempurna dari pati dapat

menghasilkan dekstrin, yaitu suatu bentuk oligosakarida (Winarno et al.,

1980).

C. Ubi Jalar

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) berasal dari daerah tropik dan sub

tropik Amerika, yang menyebar ke daerah tropik dan sub tropik lainnya,

termasuk Indonesia. Tanaman ini termasuk famili Convolvulaceae

(kekangkungan). Ubi jalar adalah tanaman merambat dengan batang yang

bervariasi dalam ketebalan, panjang, dan kebiasaan pertumbuhan. Umbi

Page 24: F09lat

8

tanaman ubi jalar adalah akar yang membesar dan sebagai makanan cadangan

bagi tanaman, dengan bentuk antara lonjong sampai agak bulat seperti terlihat

pada Gambar 3. Warna kulit umbi bervariasi, dari putih kotor, kuning, merah

muda, jingga, sampai ungu tua. Warna daging putih, krem, merah muda,

kekuning-kuningan, dan jingga tergantung jenis dan banyaknya pigmen yang

terdapat dalam kulit. Pigmen yang terdapat di dalam umbi ubi jalar adalah

karotenoid dan antosianin (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan

Hortikultura dan IPB, 1999).

Gambar 3. Ubi jalar putih

Berdasarkan kekerasannya, umbi ubi jalar digolongkan atas dua

kelompok, yakni yang berumbi keras dan ubi yang berumbi lunak. Ubi yang

berumbi keras banyak mengandung pati, sedang ubi berumbi lunak banyak

mengandung air dan gula (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan

Hortikultura dan IPB, 1999).

Ubi jalar merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang

mempunyai daya adaptasi luas sehingga dapat tumbuh dan berkembang

dengan baik di seluruh Nusantara. Komoditas ini merupakan tanaman umbi-

umbian penting kedua setelah ubi kayu yang mempunyai manfaat beragam.

Tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai pakan ternak,

bahan baku industri maupun komoditas ekpor (Hafsah, 2004).

Tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan agribisnis ubi jalar

adalah masih lambatnya kemajuan industri pengolahan produk-produk

berbahan baku ubi jalar. Karena umbi ubi jalar merupakan gudang dari pati,

Page 25: F09lat

9

maka salah satu industri pengolahan yang dapat dikembangkna adalah tepung

dan pati (Hafsah, 2004).

Menurut Jamrianti (2007), produksi ubi jalar cukup tinggi

dibandingkan dengan beras maupun ubi kayu. Ubi jalar dengan masa panen 4

bulan dapat berproduksi lebih dari 30 ton/ha, tergantung dari bibit, sifat tanah

dan pemeliharaannya. Walaupun rata-rata produksi ubi jalar nasional baru

mencapai 12 ton/ha. Tetapi masih lebih besar, jika dibandingkan dengan

produksi gabah (± 4.5 ton/ha) atau ubi kayu (± 8 ton/ha), padahal masa panen

lebih lama dari masa panen ubi jalar.

Pati ubi jalar belum banyak dimanfaatkan di Indonesia seperti pati ubi

kayu, jagung, dan garut. Sifat-sifat fisik dan kimia pati berbeda-beda,

bergantung pada bahan dasarnya. Perbedaan tersebut menentukan kesesuaian

penggunaannya untuk bahan olahan pangan dan nonpangan (Ginting et al.,

2005).

Ubi jalar juga sangat potensial sebagai bahan baku industri. Komoditas

ini dapat digunakan dalam pembuatan pati termodifikasi, yang banyak

diperlukan industri makanan beku, pengalengan makanan, dan campuran

makanan bayi. Berbagai produk seperti roti dan mie juga dapat diolah dari ubi

jalar sebagai pensubtitusi terigu. Di Jepang, ubi jalar digunakan sebagai bahan

baku dalam industri alkohol, aseton, asam laktat, dan asam cuka (Kantor

Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dan IPB, 1999).

D. Pencoklatan (Browning)

Proses pencoklatan (Browning) sering terjadi pada buah-buahan yang

rusak, memar, pecah, atau terpotong seperti pada pisang, peach, pir, salak,

pala, dan apel. Proses pencoklatan dapat dibagi menjadi dua jenis, proses

pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan non-enzimatis

belum diketahui atau dimengerti penuh. Tetapi pada umumnya ada tiga

macam reaksi pencoklatan non-enzimatis yaitu karamelisasi, reaksi Maillard,

dan pencoklatan akibat vitamin C (Winarno, 1997).

Pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan yang banyak

mengandung senyawa fenol (Winarno, 1997). Berdasarkan pada derajat

Page 26: F09lat

10

kekompleksannya, senyawa fenol pada tanaman dapat dibagi menjadi dua

bagian, yaitu : (1) senyawa fenol sederhana dan (2) senyawa fenol kompleks

(Muchtadi, 1992).

Kelompok senyawa fenol yang sederhana terdiri dari asam amino

tirosin, dihidroksifenilalanin (DOPA), katekol, dan asam kafeat. Asam kafeat

bila bereaksi dengan asam kuinat akan membentuk asam klorogenat. Asam

klorogenat banyak terdapat pada apel, kentang, arbei, dan pir (Muchtadi,

1992).

Golongan senyawa fenol yang kompleks terdiri sari antosianin, lignin,

dan tanin. Berdasarkan dapat tidaknya dihidrolisis, maka tanin dapat dibagi

menjadi dua golongan, yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin. Yang

pertama adalah tanin yang dapat dihidrolisis baik dengan asam, basa, atau

enzim yang akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti sakarida, asam galat,

asam elagat atau asam yang lain. Yang kedua adalah tanin yang mempunyai

struktur yang kompleks dan tidak dapat dihidrolisis. Yang termasuk ke dalam

grup ini adalah katekin dan leukoantosianin, di mana molekulnya dapat

terpolimerisasi (Muchtadi, 1992).

Menurut Marshall et al. (2000), pencoklatan enzimatis terjadi setelah

senyawa fenolik yang bertindak sebagai substrat dan terdapat di vakuola

bertemu dengan enzim polifenol oksidase yang terdapat di sitoplasma dan

dibantu oleh oksigen yang bertindak sebagai substrat pembantu (co-substrate).

Mekanisme pencoklatannya adalah enzim polifenol oksidase mengkatalisis

oksidasi fenol menjadi o-quinon. Kemudian o-quinon secara spontan

melangsungkan reaksi polimerisasi menjadi pigmen berwarna coklat yang

disebut juga dengan melanin seperti yang terjadi pada apel pada Gambar 4.

Gambar 4. Apel Manalagi sebelum mengalami browning (kiri) dan setelah mengalami browning (kanan)

Page 27: F09lat

11

Enzim-enzim yang dapat mengkatalisis oksidasi dalam proses

pencoklatan dikenal dengan berbagai nama, yaitu fenol oksidase, polifenol

oksidase, fenolase, atau polifenolase; masing-masing bekerja spesifik untuk

substrat tertentu (Winarno, 1997). Enzim merupakan protein yang dihasilkan

oleh sel hidup yang bertindak sebagai katalis dalam reaksi kimia organik, yang

dapat mengubah bahan sedangkan dia sendiri tidak mengalami perubahan

(Sucipto, 2008).

Untuk mencegah terbentuknya warna coklat pada buah atau sayuran

dapat dilakukan dengan : (1) menghilangkan oksigen pada permukaan buah

atau sayuran yang terpotong, misalnya dengan merendam dalam air; (2)

menghilangkan tembaga yang terdapat pada gugus prostetik enzim polifenol

oksidase dengan menggunakan pengkelat seperti EDTA, asam-asam organik,

dan fosfor sehingga enzim polifenol oksidase tidak dapat melangsungkan

reaksi pencoklatan enzimatis; (3) inaktivasi enzim polifenol oksidase dengan

melakukan blansir pada buah atau sayuran; (4) penyimpanan dingin; (5)

menggunakan senyawa antioksidan; dan (6) menggunakan edible coating

(Marshall et al., 2000).

E. Apel

Menurut Sunarjono (2005), tanaman apel (Malus domesticus Borkh)

diduga berasal dari sekitar Israel-Palestina, kemudian menyebar ke seluruh

dunia, termasuk Indonesia. Eropa dan Australia merupakan negara yang paling

dulu mengembangkan tanaman apel secara agribisnis. Di Indonesia, tanaman

apel banyak terdapat di Batu (Malang) dan Soe (Timor Timur Selatan).

Buah apel berbentuk bulat hingga bulat telur, keras tetapi renyah, dan

airnya sedikit. Bila buah sudah tua, warnanya ada yang merah, kuning, atau

hijau (Sunarjono, 2005).

Salah satu varietas unggul yang telah dilepas adalah Manalagi, seperti

terlihat pada Gambar 5. Asalnya dari Desa Gandon, Batu. Warna buahnya

hijau muda kekuningan, pori kulit buahnya putih, jarang, aromanya sedap.

Daging buahnya agak liat, kurang berair, warnanya putih (Kusumo, 1986).

Page 28: F09lat

12

Gambar 5. Apel Manalagi

Menurut Sunarjono (2005), selain sebagai buah segar untuk buah meja

(cuci mulut), buah apel mempunyai nilai tinggi sebagai minuman (jus). Nilai

gizi yang terkandung di dalamnya cukup tinggi karena selain mengandung

vitamin A, B, dan C juga banyak mengandung mineral yang penting untuk

menjaga kesehatan manusia.

Apel termasuk buah yang dapat mengalami reaksi pencoklatan

enzimatis apabila mengalami kerusakan berupa memar ataupun pengirisan dan

pemotongan (Winarno, 1997). Hal ini disebabkan di dalam apel terkandung

senyawa fenol yang apabila berinteraksi dengan enzim polifenol oksidase

dengan bantuan oksigen akan mengalami pencoklatan (browning). Senyawa

fenol yang terkandung pada apel meliputi asam klorogenat, katekol, katekin,

asam kafeat, 3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA), p-kresol, 4-metil katekol,

leukosianidin, dan flavonol glikosida (Marshall et al., 2000).

F. Pengolahan Minimal (Minimal Processing)

Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan

istilah potong segar (fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang

melibatkan pencucian, pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan

menggunakan suhu rendah untuk penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi

tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi yang dikandungnya (Perera,

2007). Akan tetapi, proses pemotongan produk-produk tersebut dapat

Page 29: F09lat

13

mengakibatkan kerusakan sel dan mempercepat kerusakan mutu (Baldwin dan

Nisperros-Carriedo, 1993).

Kelebihan dari buah-buahan dan sayuran yang terolah minimal, seperti

terlihat pada Gambar 6, selain kemudahan dalam penyajian adalah

memungkinkan konsumen melihat secara langsung kondisi bagian dalam

produk sehingga menawarkan mutu yang lebih terjamin dibandingkan buah

utuh. Apalagi buah-buahan umumnya tidak terlepas dari serangan hama lalat

buah (fruit fly), sehingga meskipun nampak mulus di bagian luar, akan tetapi

di dalamnya bisa saja terinfestasi telur atau ulat dari lalat buah. Untuk buah

berukuran besar, konsumen tidak harus mengeluarkan uang ekstra hanya

untuk membeli satu buah yang beratnya kiloan. Bahkan konsumen dapat

membeli beberapa jenis buah dalam satu kemasan dalam ukuran berat yang

relatif kecil, sehingga bisa memenuhi selera sekaligus menghemat pengeluaran

(Hasbullah, 2006).

Gambar 6. Contoh produk terolah minimal

Perlakuan-perlakuan pada produk potong segar seperti pengupasan dan

pemotongan dapat menyebabkan perubahan kimia dan biokimia yang

selanjutnya menyebabkan kerusakan mutu. Perubahan tersebut meliputi

peningkatan respirasi, produksi etilen, perubahan warna, flavor, pembentukan

metabolit sekunder, dan peningkatan pertumbuhan mikroba (Baldwin, 2007).

Perlakuan tambahan dapat diberikan untuk mengatasi masalah yang

timbul akibat pengolahan minimal yang bertujuan mempertahankan kualitas

dan memperpanjang masa simpan, di antaranya adalah (i) penggunaan bahan

Page 30: F09lat

14

tambahan pangan (BTP), dan (ii) penggunaan pelapis edibel. Penggunaan BTP

seperti asam askorbat untuk buah mangga dan rambutan, tri sodium phosphate

atau Na-alginat untuk melon terbukti dapat memperpanjang masa simpan.

Pelapis edibel dapat digunakan sebagai pengemas primer yang dapat dimakan

dan berfungsi untuk mengawetkan dan mempertahankan kesegaran serta

kualitas produk (Hasbullah, 2006).

G. Respirasi

Setelah dipanen, buah dan sayur masih melangsungkan metabolisme

hidup. Pada saat itu terjadi degradasi komponen di dalam buah dan sayur

menjadi komponen yang lebih sederhana. Proses tersebut berlangsung hingga

akhirnya buah atau sayur menjadi layu dan busuk (Wulandari, 2006).

Aktivitas metabolisme itu adalah respirasi atau pernapasan, di mana

terjadi penyerapan oksigen (O2) dan pelepasan karbondioksida (CO2) melalui

pemecahan komponen-komponen yang terkandung di dalam buah dan sayur

tersebut. Selain itu, terjadi juga transpirasi (pelepasan uap air) melalui pori-

pori permukaan buah dan sayur. Transpirasi yang terus-menerus terjadi, pada

akhirnya akan menyebabkan buah dan sayur menjadi layu (Wulandari, 2006).

Apabila persediaan oksigen berkurang maka buah-buahan cenderung

untuk melakukan fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Senyawa

organik yang biasa digunakan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah

glukosa yang akan menghasilkan beberapa bahan lain seperti aldehida, alkohol,

atau asam. Bila buah-buahan melakukan fermentasi, maka energi yang

diperoleh lebih sedikit per satuan substrat dibandingkan dengan cara

pernapasan (respirasi). Oleh karena itu, bila buah-buahan melakukan proses

fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energi, diperlukan substrat (glukosa)

dalam jumlah yang banyak sehingga dalam waktu yang singkat persediaan

substrat akan habis dan akhirnya buah tersebut akan mati dan busuk (Muchtadi

dan Sugiyono, 1989).

Luka atau memar yang terjadi pada buah-buahan akan meningkatkan

sintesa etilen. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan

kecepatan respirasi karena diketahui bahwa etilen dapat menstimulir reaksi

Page 31: F09lat

15

enzimatis dalam buah-buahan (Muchtadi, 1992). Perubahan-perubahan

fisiologis yang disebabkan peningkatan etilen meliputi : (1) peningkatan

permeabilitas sel, (2) hilangnya sekat-sekat (decompartmentation), (3)

peningkatan pelayuan dan aktivitas respirasi, dan (4) peningkatan aktivitas

enzim (Wong et al., 1994).

Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi dapat dibedakan atas dua,

yaitu faktor internal (dari dalam bahan sendiri) seperti tingkat perkembangan

organ, komposisi kimia jaringan, ukuran produk, adanya pelapisan alami pada

permukaan kulitnya, dan jenis jaringan. Faktor eksternal (dari luar atau

lingkungan di sekeliling bahan) seperti suhu, penggunaan etilen, ketersediaan

oksigen, karbondioksida, terdapatnya senyawa pengatur pertumbuhan, dan

adanya luka pada buah (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).

Menurut Muchtadi (1992), terdapat tiga fase dalam respirasi, yaitu :

1. Perombakan polisakarida menjadi gula-gula sederhana,

2. Oksidasi gula-gula sederhana tersebut masih menjadi asam piruvat, dan

3. Perubahan (transformasi) aerobik dari piruvat dan asam-asam organik lain

menjadi karbondioksida, air, dan energi.

Beberapa senyawa penting yang dapat digunakan untuk mengukur

proses respirasi adalah glukosa, ATP, CO2, dan O2. Oleh karena itu, beberapa

cara telah dicoba digunakan untuk mengukur perubahan kandungan gula,

jumlah ATP, jumlah CO2 yang dihasilkan, dan jumlah O2 yang digunakan.

Dari keempat cara tersebut, pengukuran yang mungkin dilaksanakan dengan

menggunakan cara yang sederhana dan praktis adalah dengan menghitung

produksi CO2. Cara ini mudah dilakukan karena selama respirasi jumlah CO2

yang keluar relatif cukup banyak (Winarno dan Wirakartakusumah, 1979).

Terdapat dua jenis respirasi yang terjadi pada buah-buahan, yaitu

klimakterik dan non-klimakterik. Menurut Muchtadi (1992), buah-buahan

yang termasuk golongan klimakterik misalnya pisang, mangga, pepaya, sawo,

apel, advokat, dan sebagainya. Sedangkan buah-buahan yang termasuk

golongan non-klimakterik misalnya semangka, jeruk, nenas, mentimun,

anggur, limau, dan sejenis arbei.

Page 32: F09lat

16

Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1979), klimakterik adalah

suatu periode mendadak yang unik bagi buah-buahan tertentu, di mana selama

proses ini terjadi serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses

pembuatan etilen. Menurut Winarno dan Jenie (1973), respirasi klimakterik

ditandai dengan laju produksi CO2 yang terus menurun sampai mendekati

senescene. Pada saat senescene produksi CO2 meningkat kemudian turun lagi

seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kurva laju respirasi antara klimakterik dan non-klimakterik

Pada tahap klimakterik, kloroplas pecah terfragmentasi, endoplasmik

retikula terdegradasi, dan sitoplasma penuh dengan produk-produk hasil

degradasi, tetapi mitokondria masih tetap utuh. Pada saat lepas klimakterik,

kloroplas akan menghilang, demikian juga endoplasmik retikula, sedangkan

mitokondria akan mengadakan degradasi. Kerusakan yang terjadi pada

mitokondria menyebabkan suplai energi untuk keperluan metabolisme

berkurang dan akhirnya berhenti, sehingga menyebabkan terjadinya pelayuan

(Muchtadi, 1992).

Page 33: F09lat

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai September 2008.

Bertempat di Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Fateta IPB dan Laboratorium Teknologi Pengolahan

Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB.

B. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi jalar putih

yang diperoleh dari Pasar Anyar Bogor dan apel Manalagi yang diperoleh dari

Pasar Induk Kramat Jati. Apel Manalagi yang digunakan memiliki tingkat

kematangan sedang yang dicirikan dengan warna kuning muda. Bahan-bahan

lain yang digunakan adalah tapioka yang diperoleh dari pasar, air destilata,

CMC, gliserol, asam askorbat, dan asam sitrat.

Alat-alat yang digunakan meliputi pisau, pemarut, timbangan, blender

kering, kain saring, oven, ayakan 100 mesh, alat-alat gelas, Whitenessmeter,

magnetic stirer, pompa vakum, baskom, penggaris, Chromameter Minolta

CR-200, neraca analitik, Gas Analyzer Shimadzu, lemari pendingin,

termometer, pipet volumetrik, gelas pengaduk, gelas ukur, wrapping film (dari

jenis PVC) merk WITA, dan styrofoam.

C. Prosedur Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tahapan, yakni penelitian pendahuluan dan

penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan memperoleh pati ubi jalar

sebagai bahan pembuat edible coating dan menentukan konsentrasi pati dan

CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer

dengan pengamatan secara visual (subjektif). Sementara itu, penelitian utama

meliputi pembuatan edible coating yang selanjutnya diaplikasikan pada apel

potong segar untuk diamati. Tahapan penelitian secara lengkap dapat dilihat

pada Gambar 8.

Page 34: F09lat

18

*

Pembuatan pati untuk bahan dasar edible coating (Gambar 10)

Pengamatan

Densitas kamba

Penentuan konsentrasi pati dan CMC untuk edible coating

Penilaian subjektif (secara visual) berdasarkan viskositas, yakni tidak terlalu encer dan tidak terlalu kental

Konsentrasi pati dan CMC yang

diinginkan

Penelitian utama

Pembuatan edible coating (Gambar 14)

Pati 1% (b/v) CMC

0.5%(b/v)

Perbandingan pati ubi

jalar:tapioka 4:0 (A1)

Rendemen

Derajat putih

Pati 1% (b/v) CMC

1%(b/v)

Pati 2% (b/v) CMC

0.5%(b/v)

Pati 2% (b/v) CMC

1%(b/v)

Penelitian pendahuluan

Perbandingan pati ubi

jalar:tapioka 3:1 (A2)

Perbandingan pati ubi

jalar:tapioka 2:2 (A3)

Perbandingan pati ubi

jalar:tapioka 1:3 (A4)

Perbandingan pati ubi

jalar:tapioka 0:4 (A5)

Kontrol (A6)

Aplikasi pada apel potong segar (Gambar 17)

Page 35: F09lat

19

*

Gambar 8. Diagram alir penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Ubi jalar putih (Ipomoea batatas L.) yang digunakan sebagai bahan

penghasil pati diperoleh dari Pasar Anyar Bogor dan hanya dari satu

pedagang untuk menjaga keseragaman. Pembuatan pati mengacu pada

Shinta (2007) dengan modifikasi yang dapat dilihat pada Gambar 9 dan

10.

*

Pengamatan

Ubi jalar segar bersih (10 kg)

Disortasi

Dibersihkan (abrassive peeler)

Kotoran

Dirajang (slicer)

Diblender Air

Diperas

Disaring (kain batis)

Ampas

Suhu ruang (B1)

Suhu 5°C (B2)

Organoleptik

Warna

Susut bobot

Laju respirasi

Page 36: F09lat

20

*

Gambar 9. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar (Shinta, 2007)

*

Diendapkan selama 5 jam

Pati ubi jalar basah

Dikeringkan dengan oven 40°C

Pati ubi jalar kering

Air Diperas

Disaring dengan kain saring

Ampas

Ubi jalar segar (5 kg)

Disortasi

Dicuci dan dikupas

Ubi jalar bersih (3.1 kg)

Diparut dengan mesin pemarut kelapa

Digiling

Disaring dengan pengayak 100 mesh

Pati ubi jalar (5.1 kg)

Page 37: F09lat

21

*

Gambar 10. Diagram alir pembuatan pati ubi jalar modifikasi

Modifikasi pembuatan pati ubi jalar dilakukan pada tahapan

pembersihan, pemarutan, dan pengeringan. Pengupasan kulit pada

penelitian ini tidak menggunakan abrassive peeler melainkan dilakukan

secara manual agar tidak banyak bagian yang terbuang sehingga dapat

mengurangi rendemen. Pemarutan juga dilakukan dengan mesin pemarut

kelapa agar lebih efisien. Pengeringan menggunakan oven (Gambar 11)

pada proses pembuatan pati dilakukan dua kali, yakni sebelum dan

sesudah pengecilan ukuran menggunakan blender kering yang terdapat

pada Gambar 12.

Gambar 11. Oven yang digunakan untuk pengeringan pada pembuatan pati

Diendapkan selama 5 jam pada suhu ruang

Pati ubi jalar basah

Dikeringkan dengan oven 40°C selama 4 jam

Disaring dengan pengayak 100 mesh

Pati ubi jalar (5.1 kg)

Filtrat

Dihaluskan (blender kering) skala 1

Dikeringkan dengan oven 40°C selama 18 jam

Page 38: F09lat

22

Gambar 12. Blender kering yang digunakan untuk pengeringan pada

pembuatan pati

Selain pembuatan pati, pada penelitian pendahuluan juga dilakukan

penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak

terlalu kental juga tidak terlalu encer yang dinilai secara visual (subjektif).

Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang dicobakan,

yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati ubi jalar 1% b/v;

CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan (4) pati ubi

jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume larutan

pati setelah ditambahkan dengan CMC. CMC digunakan sebagi campuran

pati karena kemampuannya menyerap oksigen tanpa meningkatkan

kandungan karbondioksida.

Larutan edible coating yang terlalu encer akan mengurangi efek

penghambatan reaksi pencoklatan produk, dalam hal ini apel potong segar.

Sementara itu, larutan edible coating yang terlalu kental selain

mengakibatkan lapisan yang terbentuk tidak merata, juga akan

memperlama waktu pengeringan produk serta dapat mengakibatkan

fermentasi anaerobik.

Setelah diperoleh kombinasi pati dan CMC yang tepat, penelitian

dilanjutkan dengan pembuatan larutan edible coating yang selanjutnya

digunakan untuk melapisi apel potong segar. Mekanisme pembuatan

edible coating mengacu pada Santoso et al. (2004) dengan modifikasi

yang dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

Page 39: F09lat

23

Gambar 13. Diagram alir pembuatan edible coating (Santoso et al., 2004)

Gambar 14. Diagram alir pembuatan edible coating modifikasi

Pati

Air

Diaduk dengan mixer selama 15 menit

Disaring Gliserol 15% (v/b

tapioka), asam stearat, CMC

Dipanaskan pada suhu 70°C sambil terus diaduk

Degassing selama 20 menit

Larutan edible coating

Didinginkan sampai suhu kamar

Pati (2 gram)

CMC (1 gram) Air destilata (197 ml)

Diaduk manual menggunakan gelas pengaduk

Diaduk dengan magnetic stirer skala 8 selama 15 menit

Dipanaskan sampai suhu 85°C, sambil diaduk dengan magnetic stirer

Gliserol 15% (v/b pati)

Degassing dengan pompa vakum sampai tidak ada gelembung lagi

Larutan edible coating

Page 40: F09lat

24

Tahapan yang dimodifikasi pada pembuatan edible coating adalah

penambahan CMC dan penggunaan magnetic stirrer. Penambahan CMC

pada penelitian ini dilakukan bersamaan dengan pencampuran pati dan air

destilata untuk kemudian diaduk dengan gelas pengaduk. Tujuan

pengadukan dengan gelas pengaduk adalah untuk mengurangi gumpalan

yang diakibatkan adanya CMC sehingga larutan lebih homogen. Pada

penelitian ini digunakan magnetic stirrer (Gambar 15) sebagai pengganti

mixer. Penggunan magnetic stirrer menyebabkan proses pembuatan edible

coating lebih mudah karena pengadukan berlangsung otomatis. Pembuatan

edible coating juga tidak ditambahi asam stearat dan degassing dilakukan

sampai tidak terlihat gelembung lagi.

Gambar 15. Pemanasan dan pengadukan pati menggunakan magnetic stirrer

2. Penelitian Utama

Setelah diperoleh kombinasi pati dan CMC yang sesuai pada

penelitian pendahuluan yaitu konsentrasi pati 1% b/v dan CMC 0.5% b/v,

penelitian dilanjutkan dengan aplikasi larutan edible coating tersebut pada

apel potong segar. Pati yang digunakan tidak hanya dari pati ubi jalar tapi

juga tapioka. Tapioka ini kemudian dicampurkan pati ubi jalar menjadi

lima kombinasi perlakuan. Yaitu (1) perbandingan pati ubi jalar:tapioka

4:0, (2) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 3:1, (3) perbandingan pati ubi

jalar:tapioka 2:2, (4) perbandingan pati ubi jalar:tapioka 1:3, dan (5)

perbandingan pati ubi jalar:tapioka 0:4. Penggunaan tapioka sebagai

Page 41: F09lat

25

campuran pati disebabkan kemudahan mendapatkannya di pasaran dan

sering digunakan sebagai bahan baku industri. Pencampurannya dengan

pati ubi jalar untuk mengetahui efektivitas kedua pati tersebut ketika

dijadikan bahan baku edible coating.

Apel yang telah dilapisi edible coating dengan berbagai kombinasi

perlakuan kemudian diamati laju respirasi, warna, susut bobot, dan

organoleptik. Cara aplikasi edible coating terhadap apel potong segar

mengacu pada Layuk et al. (2002) dengan beberapa modifikasi. Secara

lengkap dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.

Gambar 16. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel potong segar (Layuk et al., 2002)

Apel

Dikupas

Dipotong dengan ukuran 3 x 1.5 x 1.5 cm

Dicelupkan larutan asam askorbat dan asam sitrat 1:1 (5 menit)

Dicelupkan dalam larutan edible coating (5 menit)

Dikeringkan pada suhu 50°C selama 20 menit

Diletakkan dalam cawan petri

Dimasukkan dalam stoples tertutup

Diamati

Silica gel

Page 42: F09lat

26

Gambar 17. Diagram alir aplikasi edible coating pada apel potong segar

modifikasi

Modifikasi proses yang dilakukan berupa pengecilan ukuran apel

potong segar menjadi 2 x 1.5 x 1cm dari semula 3 x 1.5 x 1.5 cm. Hal ini

dilakukan dengan pertimbangan keterbatasan biaya. Selanjutnya

pengeringan tidak dilakukan menggunakan oven tapi dengan kipas angin.

Wadah yang digunakan adalah styrofoam dan ditutup dengan wrapping

film. Hal ini dilakukan karena styrofoam merupakan jenis pengemas yang

mudah ditemui. Setiap wadah styrofoam berisi empat buah potongan apel.

Dan setiap kombinasi perlakuan terdiri atas dua wadah sebagai ulangan.

D. Pengamatan

Pengamatan dibagi menjadi dua, yakni pengamatan untuk penelitian

pendahuluan dan pengamatan untuk penelitian utama. Pengamatan yang

Apel

Dicuci

Dipotong dengan ukuran 2 x 1.5 x 1cm

Dicelupkan larutan asam askorbat dan asam sitrat 1:1 (5 menit)

Dicelupkan dalam larutan edible coating (5 menit)

Ditiriskan

Dikeringkan dengan kipas angin hingga kering

Diletakkan dalam styrofoam

Ditutup dengan wrapping film

Diamati

Page 43: F09lat

27

dilakukan pada penelitian pendahuluan meliputi pengamatan rendemen pati,

derajat putih, dan densitas kamba. Sedangkan pengamatan yang dilakukan

pada penelitian utama meliputi laju respirasi, susut bobot, warna, dan

organoleptik.

1. Rendemen

Rendemen pati ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan bobot

kering pati yang diperoleh terhadap bobot umbi segar tanpa kulit

(bobot bersih). Perhitungan rendemen menggunakan rumus :

100%x b

a patiRendemen =

Keterangan :

a = Bobot kering pati ubi jalar

b = Bobot umbi ubi jalar bersih

2. Derajat Putih

Derajat putih diukur menggunakan alat Whitenessmeter. Pada alat

ini dibandingkan derajat putih contoh dengan derajat putih standar (MgO)

yang bernilai 100%. Skala terkecil dari Whitenessmeter adalah 0 % (sama

dengan warna hitam) dan skala terbesar adalah 100 % (sama dengan warna

putih standar MgO). Pembacaan derajat putih contoh dapat dilihat

langsung pada skala yang terdapat pada Whitenessmeter. Derajat putih dari

contoh yang diukur mempunyai nilai 0-100 %.

3. Densitas Kamba (Afdi, 1989)

Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan

yang berupa tepung atau biji-bijian yang dinyatakan dalam g/ml. Sampel

dituang ke dalam gelas ukur 100 ml. Penuangan dilakukan dari ketinggian

10 cm. Kemudian diratakan dengan penggaris. Selanjutnya gelas ukur

yang berisi pati ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi

sampel dengan volume ruang yang ditempati seperti yang terdapat pada

rumus di bawah ini.

Page 44: F09lat

28

Densitas kamba = ukur gelas volume

ukur) gelas(berat - pati) ukur gelas(berat +

Nilai densitas kamba penting dalam hal konsumsi suatu produk

pangan. Densitas kamba suatu bahan mempengaruhi jumlah bahan yang

bisa dikonsumsi dan biaya produksinya (Peleg, 1983). Nilai densitas

kamba berbanding terbalik dengan kekambaan. Semakin kecil nilai

densitas kamba maka kekambaan produk tersebut semakin besar (bulky).

Artinya untuk satuan berat yang sama, produk yang memiliki densitas

kamba lebih kecil akan memerlukan tempat yang lebih besar.

4. Laju Respirasi

Laju respirasi diukur dengan menggunakan sistem tertutup, dengan

menempatkan buah apel potong segar (fresh-cut apple) ± 250 gram ke

dalam toples dan ditutup rapat supaya tidak ada udara yang masuk ke

dalam sistem.

Pada saat pengukuran, dua buah selang yang terhubung dengan

Gas Analyzer dimasukkan ke dalam toples yang akan diukur laju

respirasinya. Pengukuran gas CO2 dilakukan secara bertahap, mulai dari 4,

8, 12, sampai 24 jam sekali setiap harinya hingga tujuh hari atau hingga

produk rusak.

Menurut Saltveit (_______), persamaan laju respirasi gas CO2 dan

O2 adalah sebagai berikut :

dt

dxx

W

VR =

Keterangan :

R = Laju respirasi (ml/kg jam)

V = Volume bebas dalam respiration chamber (liter)

W = berat bahan (kg)

dt

dx = perubahan konsentrasi gas CO2 terhadap waktu (%/jam)

Page 45: F09lat

29

5. Susut Bobot

Penentuan susut bobot dilakukan dengan mengukur bobot apel

potong segar yang telah dikemas setiap hari. Pengukuran dihentikan

hingga umur simpan yang diketahui melalui pengukuran laju respirasi

pada tahapan sebelumnya. Bobot apel potong segar pada H-0 ditentukan

sebagai bobot awal. Susut bobot merupakan selisih dari bobot pada

sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Persamaan yang digunakan

untuk mengukur susut bobot adalah sebagai berikut :

Susut bobot = %100_ ×

o

to

W

WW

Keterangan :

oW = Bobot sampel pada hari ke-0 (gram)

tW = Bobot sampel pada hari ke-n (gram)

6. Warna

Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter

Minolta CR-200 seperti terlihat pada Gambar 18. Pada Chromameter

Minolta CR-200 digunakan sistem Y, x, dan y. Nilai ini kemudian

dikonversi ke dalam nilai L untuk menunjukkan kecerahan (Lightness).

Rumus konversi yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 7a. Sebelum

pengukuran dilakukan, Chromameter dikalibrasi dahulu dengan

calibration plate yang berwarna putih.

Gambar 18. Chromameter Minolta CR-200

Page 46: F09lat

30

Nilai x yang diperoleh dari pengukuran Chromameter digunakan

untuk mengetahui nilai Browning Index (BI). Browning Index (BI)

biasanya digunakan sebagai indikator tingkat pencoklatan pada produk-

produk mengandung gula. Semakin tinggi nilai BI menunjukkan semakin

tinggi intensitas warna coklat pada produk. Berdasarkan Perez-Gago et al.

(2003), nilai BI diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut :

100x 0.172

0.31)-(x BI =

x adalah cromaticity coordinate yang diperoleh dari pembacaan

Chromameter.

7. Organoleptik

Salah satu syarat edible coating adalah tidak berasa dan jernih

(Gontard dan Guilbert, 1994). Dengan alasan itulah dilakukan pengujian

organoleptik terhadap produk apel potong segar yang telah dilapisi edible

coating dengan berbagai konsentrasi pati ubi jalar-tapioka. Untuk

mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap apel yang telah dilapisi.

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik parameter

warna dan rasa pada skala 1-5. Masing-masing kriteria penilaian tersebut

adalah (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) netral/biasa, (4) suka, dan

(5) sangat suka. Jumlah panelis yang digunakan adalah 31 orang panelis.

Data yang diperoleh diolah secara statistika menggunakan ANOVA

melalui program SPSS 15.

Pada uji penerimaan tidak ada contoh pembanding atau contoh

baku dan panelis dilarang mengingat atau membandingkan dengan contoh

yang diuji sebelumnya. Tanggapan harus diberikan secara cepat dan

spontan. Bahkan tanggapan yang sudah diberikan tidak boleh ditarik

kembali meskipun kemudian timbul keragu-raguan. Uji penerimaan lebih

subjektif daripada uji pembedaan. Karena itu beberapa panelis yang

ekstrim senang atau benci terhadap suatu komoditi atau bahan tidak dapat

lagi digunakan untuk melakukan uji penerimaan (Soekarto,1981).

Page 47: F09lat

31

E. Rancangan Percobaan

Faktor yang dicobakan dalam penelitian ini meliputi perbandingan

konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka (A) dan suhu penyimpanan (B) yang

dilakukan dengan dua kali ulangan. Faktor perbandingan konsentrasi pati ubi

jalar dan tapioka terdiri atas enam taraf atau perlakuan, yakni A1

(perbandingan pati ubi jalar:tapioka 4:0), A2 (perbandingan pati ubi

jalar:tapioka 3:1), A3 (perbandingan pati ubi jalar:tapioka 2:2), A4

(perbandingan pati ubi jalar:tapioka 1:3), dan A5 (perbandingan pati ubi

jalar:tapioka 0:4), serta kontrol (A6) yaitu apel yang tidak dilapisi edible

coating. Suhu penyimpanan terdiri atas dua taraf, yakni B1 (suhu ruang) dan

B2 (suhu 5°C). Masing-masing faktor menggunakan Rancangan Acak

Lengkap sebagai rancangan percobaannya.

Model linier yang digunakan untuk faktor perbandingan konsentrasi

pati ubi jalar dan tapioka adalah sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya,

2002) :

Y ij = µ + τi + εij

Keterangan :

i = 1,2,3,4,5,6 dan j = 1,2

Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

βj = Pengaruh faktor suhu penyimpanan pada taraf ke-j

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Untuk faktor suhu penyimpanan model linier yang digunakan adalah

sebagai berikut (Matjik dan Sumertajaya, 2002) :

Y ij = µ + τi + εij

Keterangan :

i = 1,2 dan j = 1,2

Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

Page 48: F09lat

32

βj = Pengaruh faktor suhu penyimpanan pada taraf ke-j

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Data yang diperoleh diolah secara statistika menggunakan instrumen

ANOVA melalui program SPSS 15. Bila terjadi perbedaan nyata antar

perlakuan, akan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan

99% (α = 0.01).

Page 49: F09lat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan

Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan

agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan

dihaluskan menggunakan blender kering, selanjutnya pati disaring

menggunakan ayakan 100 mesh. Pengayakan ini menghasilkan pati yang halus

seperti terlihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Pati ubi jalar yang telah diayak

Tahapan selanjutnya yang dilakukan setelah pembuatan pati adalah

penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu

kental juga tidak terlalu encer. Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan

CMC yang dicobakan, yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati

ubi jalar 1% b/v; CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan

(4) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume

larutan pati setelah ditambahkan dengan CMC. Berdasarkan pengamatan

subjektif secara visual terhadap viskositas yang dihasilkan keempat kombinasi

konsentrasi pati dan CMC, diperoleh kombinasi konsentrasi pati dan CMC

yang menghasilkan edible coating tidak terlalu encer dan juga tidak terlalu

kental, yakni kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang pertama dengan

konsentrasi pati 1% b/v dan CMC 0.5% b/v.

Page 50: F09lat

34

1. Rendemen

Rendemen yang dihasilkan dari proses pembuatan pati sebesar

16.1%. Jika dibandingkan kadar pati rata-rata yang terdapat pada ubi jalar,

yakni 22.4% (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dan

IPB, 1999), maka efisiensi pembuatan pati ubi jalar adalah 71.9%.

Efisiensi tidak mencapai 100% kemungkinan disebabkan pemerasan yang

kurang sempurna sehingga masih banyak pati yang tertinggal pada ampas.

2. Derajat Putih

Derajat putih rata-rata yang dimiliki pati ubi jalar adalah 86.4%.

Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan standar derajat putih tapioka mutu

I dan II berdasarkan SNI 01-3451-1994, yakni 94.5% dan 92.0%.

Perbedaan derajat putih ini terutama dipengaruhi oleh faktor

genetik. Faktor genetik mempengaruhi pati dalam dua hal, yaitu secara

tidak langsung dan secara langsung. Secara tidak langsung mempengaruhi

melalui kandungan berbagai komponen lain yang terdapat pada bahan

yang mengandung pati dan secara langsung mempengaruhi melalui tingkat

keputihan pati. Bahan hasil tanaman yang mengandung pati biasanya juga

mengandung komponen lain seperti pigmen dan berbagai mineral (Ega,

2002).

3. Densitas Kamba

Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik bahan yang

dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan

itu sendiri dalam satuan gram/mililiter.

Nilai densitas kamba yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.5

± 0.09 g/ml. Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa densitas

kamba yang dihasilkan pada penelitian ini mendekati nilai densitas kamba

yang sebenarnya. Dibanding densitas kamba pati jagung yang berkisar

antara 0.575 – 0.687 g/ml (Ikhlas, 1992), nilai densitas kamba pati ubi

jalar yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil. Hal ini menunjukkan

Page 51: F09lat

35

bahwa untuk satuan berat yang sama, pati ubi jalar akan menempati ruang

yang lebih besar dibanding pati jagung.

B. Penelitian Utama

1. Laju Respirasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur simpan produk apel

potong segar untuk suhu ruang hanya 40 jam atau ± 2 hari karena lewat

jam tersebut produk sudah mengalami kerusakan, yakni ditumbuhi kapang

dan berlendir. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Produk yang telah mengalami kerusakan pada penyimpanan suhu ruang (kiri) dan 5°C (kanan)

Gambar yang dilingkari menunjukkan kapang yang tumbuh pada

apel potong segar. Sementara itu, untuk suhu penyimpanan 5°C produk

dapat bertahan hingga jam ke-168 atau ± 4 hari. Informasi mengenai lama

penyimpanan ini perlu untuk menentukan berapa lama analisis-analisis

berikutnya, seperti analisis susut bobot dan warna.

Umur simpan yang relatif singkat disebabkan kerusakan oleh

mikroorganisme. Hal ini ditandai dengan munculnya lendir serta

tumbuhnya kapang pada produk serta bau alkohol yang sangat menyengat.

Dibandingkan buah utuh, buah potong segar (fresh-cut fruit) lebih rentan

terhadap kerusakan akibat mikroorganisme. Hal tersebut terjadi akibat

jaringan dan sel yang rusak pada buah potong segar (fresh-cut fruit) akibat

pemotongan mampu menyediakan nutrisi yang dibutuhkan bagi

tumbuhnya mikroorganisme (Toivonen dan DeEll-Jennifer, 2002).

Kandungan air dan gula yang tinggi pada buah apel menciptakan kondisi

Page 52: F09lat

36

yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pelapisan apel potong segar dengan edible coating

tidak mampu menahan laju pertumbuhan mikroorganisme karena larutan

edible coating yang digunakan tidak ditambahkan senyawa antimikroba

seperti asam sorbat, kalium sorbat, atau asam propionat.

Selain disebabkan karakteristik buah potong segar (fresh-cut fruit)

yang rentan dan larutan edible coating yang tidak dapat lagi berfungsi

sebagai penahan laju pertumbuhan mikroorganisme, kerusakan akibat

mikroorganisme pada apel potong segar juga dapat disebabkan pengolahan

yang kurang higienis. Misalnya di dalam penelitian ini tidak dilakukan

pencucian buah apel dengan air berklorinasi, baik sebelum maupun

sesudah pemotongan. Pencucian hanya dilakukan saat sebelum

pemotongan menggunakan air biasa. Pencucian menggunakan air

berklorinasi saat sebelum pemotongan dapat menurunkan jumlah mikroba

awal sehingga nantinya kandungan mikroba pada produk juga berkurang.

Selain itu, peneliti juga tidak menggunakan masker pada saat pengolahan.

Kerusakan akibat mikroorganisme juga diakibatkan kondensasi

yang terjadi saat produk dikeluarkan dari ruang penyimpanan dingin untuk

diukur laju respirasinya. Kondensasi ini akan merangsang terjadinya

pembusukan (Perera, 2007).

Bau alkohol yang menyengat yang merupakan hasil dari fermentasi

anaerobik juga tercium pada produk apel potong segar saat akhir

penyimpanan. Fermentasi anaerobik dilakukan oleh jenis mikroorganisme

yang umum terdapat pada produk apel potong segar, yakni khamir dan

bakteri asam laktat (BAL). Khamir dan BAL menggunakan gula sederhana

yang terdapat pada apel potong segar untuk melakukan fermentasi dan

menghasilkan alkohol, asam organik, serta CO2 (Chen, 2002). Pengukuran

laju respirasi dalam toples yang tertutup menyebabkan persediaan oksigen

lama kelamaan akan berkurang. Sehingga untuk merombak gula yang

terdapat pada apel potong segar dilakukan dengan fermentasi yang

merupakan proses respirasi anaerobik.

Page 53: F09lat

37

Data yang digunakan untuk pengukuran laju respirasi hanya

berdasarkan kadar CO2 yang dihasilkan. Hal ini disebabkan selama

respirasi jumlah CO2 yang keluar relatif cukup banyak sehingga

mempermudah pengukuran. Selain itu pembacaan alat sudah dilakukan

secara digital sehingga keakuratan data dapat lebih terjamin dibanding

pengukuran O2. Jenis alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Hasil penelitian yang terdapat pada Lampiran 4 memperlihatkan

bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai laju respirasi

apel potong segar. Nilai rata-rata laju respirasi apel potong segar yang

disimpan pada suhu ruang lebih besar (54.21 ml/kg jam) dibanding apel

potong segar yang disimpan pada suhu 5°C (10.56 ml/kg jam).

Nilai laju respirasi yang rendah pada suhu penyimpanan 5°C

disebabkan pada suhu rendah umumnya kecepatan reaksi kimia

mengalami penurunan. Seperti yang dikemukakan oleh Muchtadi (1992)

bahwa untuk tiap kenaikan suhu 10°C, respirasi akan berlangsung dua atau

tiga kali lipat lebih besar. Hal yang sama berlaku juga untuk kebalikannya.

Untuk setiap penurunan suhu sebesar 10°C, respirasi akan berlangsung dua

atau tiga kali lebih lambat.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan

konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan

pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai

laju respirasi. Nilai laju respirasi apel kontrol tidak berbeda nyata dengan

apel yang terlapis edible coating. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

larutan edible coating yang digunakan untuk melapisi apel potong segar

tidak efektif dalam menahan laju respirasi.

Hal ini kemungkinan disebabkan proporsi gilerol yang terlalu besar

sehingga mempengaruhi lapisan edible coating yang terbentuk. Gliserol

merupakan pemlastis yang mampu menjadikan matriks lapisan edible

coating lebih renggang sehingga meningkatkan permeabilitas. Peningkatan

permeabilitas menyebabkan oksigen dan karbondioksida dapat berpindah

dengan mudah dari produk ke lingkungan atau sebaliknya sehingga laju

respirasi meningkat.

Page 54: F09lat

38

Ukuran apel yang kecil menjadikan produk apel potong segar

memiliki luas permukaan lebih besar. Permukaan yang luas dapat

menyebabkan larutan edible coating tidak cukup untuk melapisi seluruh

permukaan apel potong segar sehingga laju respirasi tetap tinggi.

Laju respirasi yang tinggi pada apel potong segar disebabkan

peningkatan aktivitas sel karena pemotongan buah. Peningkatan aktivitas

sel tersebut meliputi : (1) peningkatan degradasi karbohidrat, (2)

peningkatan aktivitas glikolisis dan jalur pentosa fosfat, (3) peningkatan

aktivitas mitokondria, dan (4) peningkatan aktivitas enzim. Aktivitas sel

yang meningkat ini ditujukan untuk menyediakan energi dan prekursor

yang dibutuhkan untuk sintesis metabolit sekunder yang penting untuk

penyembuhan luka pada sel (Wong et al., 1994).

Grafik laju respirasi apel potong segar pada Gambar 21 secara

umum memperlihatkan peningkatan laju respirasi hingga jam ke-24

kemudian dilanjutkan dengan penurunan nilai laju respirasi pada jam ke-

32. Grafik laju respirasi yang demikian menunjukkan bahwa pada jam ke-

24 apel potong segar mengalami puncak klimakterik respirasi.

Gambar 21. Grafik laju produksi CO2 tiap konsentrasi pati ubi jalar-tapioka pada suhu 5°C

Pola respirasi yang sama juga terjadi pada apel potong segar yang

disimpan pada suhu 5°C seperti terlihat pada Gambar 22. Nilai laju

respirasi mengalami peningkatan hingga jam ke-24, kemudian turun secara

0.002.00

4.006.00

8.0010.00

12.0014.00

16.0018.00

4 8 12 16 20 24 32 40 48 60 72 96 120 144 168

Lama penyimpanan (jam)

Laj

u pr

oduk

si C

O2

(ml/

kg ja

m)

konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 4:0 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 3:1konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 2:2 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 1:3konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 0:4 kontrol

Page 55: F09lat

39

drastis pada jam ke-32. Fase klimakterik biasanya diikuti dengan

penurunan mutu. Hal ini terjadi disebabkan setelah klimakterik,

mitokondria mulai terdegradasi. Degradasi pada mitokondria

menyebabkan persediaan energi untuk metabolisme sel-sel menurun.

Akibatnya, sel-sel mengalami pelayuan dan akhirnya mati. Hal ini jelas

terlihat pada apel potong segar yang disimpan di suhu ruang. Setelah

mengalami puncak klimakterik pada jam ke-24, produk sudah tidak dapat

dikonsumsi lagi setelah jam ke-40

Gambar 22. Grafik laju produksi CO2 tiap konsentrasi pati ubi jalar-

tapioka pada suhu ruang

Dengan membandingkan Gambar 21 dan 22 juga dapat diketahui

bahwa laju respirasi apel potong segar pada suhu 5°C lebih rendah

daripada penyimpanan pada suhu ruang. Nilai laju respirasi suhu 5°C

berkisar antara 2.68 ml/kg jam hingga 15.78 ml/kg jam. Sedangkan laju

respirasi suhu ruang berkisar antara 19.41 ml/kg jam hingga 101.83 ml/kg

jam.

2. Susut Bobot

Hasil penelitian seperti terlihat pada Lampiran 6 menunjukkan

bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap susut bobot apel

potong segar. Nilai rata-rata susut bobot apel potong segar yang disimpan

0

20

40

60

80

100

120

4 8 12 16 20 24 32 40

Lama penyimpanan (jam)

Laj

u P

rodu

ksi C

O2

(ml/k

g ja

m)

konsentrasi pati ubi jalar: tapioka 4:0 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 3:1konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 2:2 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 1:3konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 0:4 kontrol

Page 56: F09lat

40

pada suhu ruang (20.92 %) lebih besar dibanding apel potong segar yang

disimpan pada suhu 5°C (1.26 %).

Susut bobot terjadi terutama disebabkan penguapan air yang

terkandung dalam buah. Pemotongan yang dilakukan pada potong segar

menyebabkan jaringan dalam buah terpapar dengan lingkungan sehingga

berdampak pada peningkatan kecepatan penguapan air (Perera, 2007).

Suhu rendah dapat memperlambat susut bobot karena pada suhu rendah

kecepatan uap air berkurang.

Besarnya susut bobot yang disimpan pada suhu ruang secara tidak

langsung juga berkaitan dengan peningkatan laju respirasi akibat suhu

tinggi. Laju respirasi yang meningkat menyebabkan suhu internal buah

juga meningkat disebabkan panas (energi) yang dihasilkan dari respirasi.

Suhu internal buah yang tinggi menyebabkan selisih antara tekanan uap

lingkungan dan buah menjadi besar. Semakin besar selisih yang terjadi

maka kecepatan laju perpindahan uap air akan semakin tinggi (Ben-

Yehoshua, 1987). Sehingga berpengaruh terhadap nilai susut bobot yang

besar.

Hasil penelitian dalam Lampiran 6 juga menunjukkan bahwa

perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan

sebagai bahan pembuatan edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05)

terhadap nilai susut bobot. Nilai laju respirasi apel potong segar yang tidak

terlapis edible coating tidak berbeda nyata dengan nilai susut bobot apel

potong segar terlapis edible coating.

Hal ini dapat disebabkan karakteristik pati yang digunakan sebagai

bahan pembuat edible coating bersifat hidrofilik. Sifat hidrofilik pati

menyebabkan pati merupakan penghalang yang buruk terhadap uap air.

Air yang terdapat pada lingkungan dapat terserap dan merusak rantai

intermolekuler edible coating sehingga meningkatkan permeabilitas secara

umum. Agar edible coating yang terbuat dari pati mampu menahan susut

bobot sebaiknya ditambahkan lipid yang memiliki daya tahan bagus

terhadap uap air karena sifatnya yang hidrofobik.

Page 57: F09lat

41

Pengecilan ukuran pati menggunakan blender kering juga dapat

mempengaruhi. Pati menjadi rusak akibat perlakuan mekanis. Pati ini

menjadi lebih banyak mengikat air dibanding pati normal. Lebih lanjut

mengakibatkan edible coating yang dihasilkan tidak mampu menahan

susut bobot yang terjadi.

Hasil uji-t seperti terlihat pada Lampiran 6 dan Gambar 23 serta 24

menunjukkan bahwa lama penyimpanan juga berpengaruh sangat nyata

(p<0.01) terhadap nilai susut bobot yang diperoleh. Nilai susut bobot

semakin meningkat dengan meningkatnya lama penyimpanan.

Gambar 23. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 24. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu 5°C

Page 58: F09lat

42

Gambar 23 dan 24 juga memperlihatkan pengaruh suhu

penyimpanan terhadap susut bobot. Nilai rata-rata susut bobot pada hari

pertama (6.56 %) lebih kecil dibanding susut bobot pada hari kedua (15.61

%).

3. Warna

Hasil penelitian yang terdapat pada Lampiran 11 menunjukkan

bahwa suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai

Browning Index (BI) apel potong segar. Nilai BI tetap tinggi meskipun

apel potong segar disimpan pada suhu 5°C. Hasil penelitian terhadap nilai

L (kecerahan) seperti terlihat pada Lampiran 12 juga menunjukkan bahwa

suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai

kecerahan (L) apel potong segar.

Nilai BI apel potong segar seperti terlihat pada Gambar 25 dan 26

menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata BI apel potong

segar yang disimpan pada suhu ruang adalah 37.97 tidak berbeda nyata

dengan nilai rata-rata BI apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C

(31.70).

Gambar 25. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu ruang

Page 59: F09lat

43

Gambar 26. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu 5°C

Nilai kecerahan (L) apel potong segar seperti terlihat pada Gambar

27 dan 28 menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata BI

apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang adalah 60.11 tidak

berbeda nyata dengan nilai rata-rata BI apel potong segar yang disimpan

pada suhu 5°C (63.17).

Gambar 27. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka

terhadap nilai L selama penyimpanan pada suhu ruang

Page 60: F09lat

44

Gambar 28. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka terhadap nilai L selama penyimpanan pada 5°C

Hasil penelitian seperti terlihat pada Lampiran 11 menunjukkan

bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan

sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05)

terhadap nilai BI. Hasil penelitian terhadap nilai kecerahan (L) apel potong

segar seperti terlihat pada Lampiran 12 juga menunjukkan bahwa

perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan

sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05).

Nilai BI dan L tetap tinggi meskipun produk apel potong segar

sudah dilapisi edible coating. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lapisan

edible coating yang dibuat pada penelitian ini tidak dapat berfungsi

sebagai penahan interaksi antara jaringan buah dengan oksigen. Oksigen

berperan penting dalam reaksi pencoklatan, yakni sebagai substrat

pembantu (co-substrate). Jika interaksi antara oksigen dengan jaringan

buah dapat ditekan, maka pencoklatan dapat diminimalisir. Dapat

disimpulkan, bahwa tidak ada formulasi konsentrasi untuk bahan edible

coating yang terbaik yang dapat dijadikan sebagai penghambat

pencoklatan enzimatis yang terjadi. Kondisi pencoklatan yang terjadi

selama penyimpanan dapat lebih jelas terlihat pada Lampiran 13-16.

Page 61: F09lat

45

Ketidakmampuan lapisan edible coating untuk menghambat

pencoklatan apel potong segar dapat disebabkan lapisan yang terbentuk

pada permukaan apel potong segar tidak merata karena ukurannya yang

kecil. Ukuran yang kecil menyebabkan permukaan menjadi luas.

Kurangnya kandungan pati juga dapat menyebabkan lapisan edible

coating yang terbentuk tidak dapat berfungsi sebagai penghambat reaksi

pencoklatan yang terjadi. Selain itu, pemakaian gliserol sebagai pemlastis

juga menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap oksigen.

Permeabilitas yang tinggi terhadap oksigen menyebabkan jaringan buah

dapat dengan mudah terpapar oksigen sehingga memicu terjadinya

pencoklatan.

4. Organoleptik

Hasil uji organoleptik apel potong segar terhadap parameter rasa

seperti terlihat pada Lampiran 19 menunjukkan bahwa perlakuan

konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan

pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap

penilaian panelis. Rasa apel potong segar yang terlapis edible coating tidak

berbeda nyata dengan rasa apel potong segar yang tidak terlapis (kontrol).

Salah satu syarat edible coating adalah tidak berasa sehingga tidak

mengganggu rasa produk terlapis itu sendiri. Berdasarkan hasil uji

organoleptik dapat disimpulkan bahwa edible coating yang digunakan

untuk melapisi apel potong segar tidak berpengaruh terhadap penilaian

panelis sehingga syarat tersebut terpenuhi.

Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna seperti terdapat

pada Lampiran 20 menunjukkan bahwa penambahan edible coating pada

apel potong segar dengan berbagai konsentrasi berpengaruh sangat nyata

(p<0.01) terhadap tingkat kesukaan panelis. Dibanding kontrol, apel yang

terlapis edible coating lebih tidak disukai panelis. Hal ini dapat disebabkan

warna apel terlapis lebih coklat dibandingkan kontrol. Seperti sudah

diketahui pada pengujian menggunakan Chromameter, edible coating

Page 62: F09lat

46

tidak dapat berfungsi sebagai penahan jaringan buah dari terpapar dengan

oksigen.

Page 63: F09lat

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Laju respirasi apel potong segar terlapis edible coating hanya mampu

bertahan selama ± 2 hari jika disimpan pada suhu ruang dan ± 4 hari jika

disimpan pada suhu 5°C. Lewat dari waktu dan kondisi tersebut produk sudah

rusak dan tidak layak untuk dimakan lagi karena sudah ditumbuhi kapang dan

berlendir serta tercium bau alkohol yang sangat menyengat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata

(p<0.01) terhadap nilai laju respirasi apel potong segar. Nilai laju respirasi

apel potong segar yang disimpan pada suhu 5°C lebih rendah dibanding apel

potong segar yang disimpan pada suhu ruang.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi

pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible

coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai laju respirasi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan edible coating yang digunakan

tidak dapat berperan sebagai penahan laju respirasi.

Pola respirasi yang terlihat jelas dalam grafik menunjukkan apel

potong segar termasuk dalam golongan respirasi klimakterik. Ditandai dengan

peningkatan laju respirasi pada jam ke-24 dan penurunan pada jam ke-32.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata

(p<0.01) terhadap susut bobot apel potong segar. Susut bobot apel potong

segar yang disimpan pada suhu 5°C lebih rendah dibanding apel potong segar

yang disimpan pada suhu ruang.

Perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan

sebagai bahan pembuatan edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05)

terhadap nilai susut bobot. Hal ini dapat disebabkan karakteristik pati yang

digunakan sebagai bahan pembuat edible coating bersifat hidrofilik. Agar

edible coating yang terbuat dari pati mampu menahan susut bobot sebaiknya

ditambahkan lipid yang memiliki daya tahan bagus terhadap uap air karena

sifatnya yang hidrofobik.

Page 64: F09lat

48

Hasil uji-t menunjukkan bahwa lama penyimpanan juga berpengaruh

sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai susut bobot yang diperoleh. Nilai susut

bobot semakin meningkat dengan meningkatnya lama penyimpanan.

Pengamatan terhadap nilai BI menunjukkan bahwa suhu penyimpanan

tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai Browning Index (BI) apel

potong segar. Hasil penelitian terhadap nilai L (kecerahan) juga menunjukkan

bahwa suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai

kecerahan (L) apel potong segar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati

ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating

tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai BI. Perbandingan konsentrasi

pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible

coating juga tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai kecerahan (L)

apel potong segar. Nilai BI dan L tetap tinggi meskipun produk apel potong

segar sudah dilapisi edible coating.

Hasil uji organoleptik apel potong segar terhadap parameter rasa

menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang

digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata

(p>0.05) terhadap penilaian panelis. Rasa apel potong segar yang terlapis

edible coating tidak berbeda nyata dengan rasa apel potong segar yang tidak

terlapis (kontrol). Dapat disimpulkan, edible coating yang digunakan untuk

melapisi apel potong segar tidak berpengaruh terhadap penilaian panelis

sehingga syarat edible coating tidak berasa terpenuhi.

Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna menunjukkan bahwa

penambahan edible coating pada apel potong segar dengan berbagai

konsentrasi berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap tingkat kesukaan

panelis. Dibanding kontrol, apel yang terlapis edible coating lebih tidak

disukai panelis.

Page 65: F09lat

49

B. Saran

1. Perlunya penambahan lipid pada formulasi edible coating untuk

menurunkan susut bobot produk terlapis.

2. Penambahan asam sitrat dan asam askorbat sebagai antioksidan sebaiknya

dilakukan dalam larutan edible coating itu sendiri.

3. Penurunan konsentrasi pemlastis (plasticizer) sehingga edible coating

lebih cepat kering.

4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah coating yang

melekat per-satuan permukaan produk untuk mengetahui keefektifan dari

suatu larutan edible coating.

Page 66: F09lat

DAFTAR PUSTAKA

Afdi, E. 1989. Modifikasi Pati Jagung (Zea Mays L.). Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.

[Anonim]. 2006. Pelapis yang Dapat Dimakan. www.halalguide.info [23 Maret

2008]. Baeza-Rita. 2007. Comparison of Technologies to Control the Physiological,

Biochemical and Nutritional Changes of Fresh-cut Fruit. http://krex.k-state.edu [1 Juni 2008].

Baldwin, E.A dan Nisperros-Carriedo, M.O. 1993. Edible Coatings for Lightly

Processed Fruits and Vegetables. www.hortsci.ashspublications.org [24 Maret 2008].

Baldwin, E.A. 1994. Edible Coatings for Fresh Fruits and Vegetables : Past,

Present, and Future. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 25-64.

Baldwin, E.A. 2007. Surface Treatments and Edible Coatings in Food

Preservation. Di dalam : Rahman, M. S. (Ed), Handbook of Food Preservation, 2nd Ed. CRC Press, New York, p. 477-507.

Ben-Yehoshua, S. 1987. Transpiration, Water Stress, and Gas Exchange. Di

dalam : Weichmann, J. (Ed), Postharvest Physiology of Vegetables. Marcell Dekker, Inc., New York, p. 113-170.

Blennow, A. 2004. Starch Bioengineering. Di dalam : Eliasson, A-C. (Ed), Starch

in Food. CRC Press, USA, p.97-127. Chen, J. 2002. Microbial Enzymes Associated with Fresh-cut Produce. Di dalam :

Lamikanra, O. (Ed), Fresh-cut Fruits and Vegetables. CRC Press, New York, p. 249-266.

Cornell, H. 2004. The Functionality of Wheat Starch. Di dalam : Eliasson, A-C.

(Ed), Starch in Food. CRC Press, USA, p.211-240. Donhowe-Irene, G. dan Fennema, O. 1994. Edible Films and Coatings :

Characteristics, Formation, Definitions, and Testing Methods. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 1-24.

Page 67: F09lat

51

Ega, La. 2002. Kajian Sifat Fisik dan Kimia serta Pola Hidrolisis Pati Ubi Jalar Jenis Unggul secara Enzimatis dan Asam. Disertasi. Program Pascasarjana IPB.

Ginting, E., Widodo, Y., Rahayuningsih, S.A., dan Jusuf, M. 2005. Karakteristik

Pati Beberapa Varietas Ubi Jalar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 24 (1) www.puslittan.bogor.net [16 Maret 2008].

Gontard, N. dan Guilbert, S. 1994. Bio-packaging: Technology and Properties of

Edible and/or Biodegradable Material of Agricultural Origin. Di dalam : Mathlouthi, M. (Ed), Food Packaging and Preservation. Chapman and Hill Inc., New York.

Grant, L.A. dan Burns, J. 1994. Application of Coatings. Di dalam : Krochta, J.M.,

Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 189-200.

Hafsah, M.J. 2004. Prospek Bisnis Ubi Jalar. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hasbullah, R. 2006. Teknologi Pengolahan Minimal. Food Review 1 (10) : 40-45. Ikhlas, V. 1992. Metode Ekstraksi dan Isolasi Serta Karakteristik Fisika-Kimia

dan Fungsional Pati Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Jamrianti, R. 2007. Ubi Jalar, Saatnya Menjadi Pilihan. www.beritaiptek.com [16

Maret 2008]. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dan IPB. 1999.

Pengkajian Bahan Baku Potensial. Laporan Akhir. IPB, Bogor. Kusumo, S. 1986. Apel (Malus sylvestris Mill). CV. Yasaguna, Jakarta. Layuk, P., Djagal, W.M., dan Haryadi. 2002. Karakterisasi komposit Film Edible

Pektin Daging Buah Pala (Myristica fragrans Houtt) dan Tapioka. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan XIII (2) : 178-183.

Lin, D. dan Zhao, Y. 2007. Innovations in the Development and Application of

Edible Coatings for Fresh and Minimally Processed Fruits and Vegetables. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 6 : 60-75.

Marshall, M.R., Kim, J., dan Wei, C-I. 2000. Enzymatic Browning in Fruits,

Vegetables, and Seafoods. www.fao.org [1 Mei 2008]. Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi

SAS dan Minitab. Percetakan Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.

Page 68: F09lat

52

Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Petunjuk Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Muchtadi, D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Petunjuk

Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Nisperos-Carriedo, M.O. 1994. Edible Coatings and Films Based on

Polysaccharides. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 305-335.

Peleg, M. 1983. Physical Characteristics of Food Powders. Di dalam : Peleg, M

dan Bagley, E.B. (Eds), Physical Properties of Foods. AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut, p. 293-323.

Perera, C.O. 2007. Minimal Processing of Fruits and Vegetables. Di dalam :

Rahman, M. S. (Ed), Handbook of Food Preservation, 2nd Ed. CRC Press, New York, p. 137-150.

Perez-Gago, M.B., Serra, M., Alonso, M., Mateos, M., dan Del-Rio, M.A. 2003.

Effect of Solid Content and Lipid Content of Whey Protein Isolate-Beeswax Edible Coatings on Color Change of Fresh-cut Apples. J Food Sci 68 : 1286-2191.

Saltveit, M. E. _______. Measuring Respiration. http://postharvest.ucdavis.edu

[12 Desember 2008]. Santoso, B., Saputra, D., dan Pambayun, R. 2004. Kajian Teknologi Edible

Coating dari Pati dan Aplikasinya untuk Pengemas Primer Lempok Durian. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan XV (3) : 239-244.

Shinta. 2007. Pengembangan Produk Bubur Gel Instan Berbasis Pati Ubi Jalar

Putih (Ipomoea batatas L.) Termodifikasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Soekarto, S.T. 1981. Penilaian Organoleptik. PUSBANGTEPA IPB, Bogor. Sucipto, A. 2008. Phenol dan Aktifitas Enzim. naksara.blogspot.com [25 Maret

2008]. Sunarjono, H. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya, Jakarta. Toivonen, P.M.A. dan DeEll-Jennifer R. 2002. Physiology of Fresh-cut

Fruits and Vegetables. Di dalam : Lamikanra, O. (Ed), Fresh-cut Fruit and

Page 69: F09lat

53

Vegetables: Science, Technology, and Market. CRC Press, New York, p. 91-123.

Winarno, F.G. dan Jenie, B.S.L. 1973. Fisiologi Lepas Panen.

Departemen Teknologi Hasil Pertanian FATEMETA-IPB. Winarno, F.G. dan Wirakartakusumah, M.A. 1979. Fisiologi Lepas Panen. Sastra

Hudaya, Jakarta. Winarno, F.G., Fardiaz, D., dan Fardiaz, S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.

PT. Gramedia, Jakarta. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta. Wong, D.W.S., Camirand, W.M., dan Pavlath, A.E. 1994. Development of Edible

Coatings for Minimally Processed Fruits and Vegetables. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 65-88.

Wulandari, N. Teknologi Praktis MAS untuk Buah dan Sayur. Food Review 1

(10) : 30-35. Zuraida, N dan Supriati, Y. 2001. Usahatani Ubi Jalar sebagai Bahan Pangan

Alternatif dan Diversifikasi Sumber Karbohidrat. Buletin AgroBio 4 (1) : 13-23. www.biogen.litbang.deptan.go.id [16 Maret 2008].

Page 70: F09lat

Lampiran 1. Data perhitungan analisis pendahuluan

Rendemen

Bobot kering pati ubi jalar = 0.5 kg (a)

Bobot umbi ubi jalar bersih = 3.1 kg (b)

100%x b

a patiRendemen =

Rendemen pati = 16.1%

Densitas Kamba

Berat gelas ukur 100 ml = 126.4 gram

Berat gelas ukur + pati = 181.3 gram (ulangan 1)

= 180.4 gram (ulangan 2)

Densitas kamba = ukur gelas volume

ukur) gelas(berat - pati) ukur gelas(berat +

Densitas kamba (1) = ml 100

gram) 126.4 - gram (181.3

= 0.55 g/ml (X1)

Densitas kamba (2) =ml 100

gram) 126.4 - gram (180.4

= 0.54 g/ml (X2)

Densitas kamba rata-rata = 0.5 g/ml ( )X

Standar deviasi = 1

)(( 2

−−∑

n

XXi

Standar deviasi =)12(

))5.054.0()5.055.0(( 2

−−+−

standar deviasi = 0.09

Page 71: F09lat

55

Lampiran 2. Proses pengukuran laju respirasi

Gas Analyzer yang terdiri atas alat pengukur CO2 (kiri) dan O2 (kanan)

Apel potong segar (fresh-cut apple) yang telah siap diukur laju respirasinya

Saat pengukuran laju respirasi Konsentrasi CO2 yang terbaca

Page 72: F09lat

56

Lampiran 3a. Data laju respirasi apel potong segar (fresh-cut apple) pada suhu ruang

Waktu (jam)

Laju respirasi (ml/kg jam) A1 A2 A3 A4 A5 A6

4 29.43 25.46 23.66 25.47 19.41 23.03 8 43.08 40.61 38.22 38.50 31.24 42.13 12 55.22 53.64 50.05 50.02 49.44 57.59 16 67.96 69.10 60.36 62.76 62.48 72.44 20 81.01 83.95 74.62 73.37 74.92 83.35 24 67.05 101.83 90.39 87.92 91.29 96.69 32 25.49 28.94 28.97 28.95 29.88 29.85 40 48.39 61.07 54.14 58.06 55.20 55.47

Lampiran 3b. Data laju respirasi apel potong segar (fresh-cut apple) pada suhu 5°C

Waktu (jam)

Laju respirasi (ml/kg jam) A1 A2 A3 A4 A5 A6

4 5.76 12.43 11.83 12.13 9.10 7.89 8 5.46 12.13 12.74 13.04 10.61 11.52 12 9.40 12.43 13.65 15.78 14.25 14.25 16 11.22 12.43 13.04 15.17 14.55 15.47 20 9.70 11.52 13.04 14.86 12.43 13.34 24 11.22 12.28 14.25 15.78 13.34 14.86 32 4.09 4.25 4.25 4.10 4.25 4.40 40 6.97 5.00 5.91 6.37 6.97 7.28 48 7.28 6.22 6.52 6.98 8.34 8.04 60 4.14 3.13 3.84 3.24 3.94 4.04 72 6.67 5.56 6.57 6.17 7.28 7.08 96 3.28 2.88 4.04 2.93 3.84 3.54 120 3.08 2.68 3.39 2.78 3.49 3.54 144 3.39 2.68 3.34 2.68 3.64 3.69 168 3.84 3.18 3.49 3.24 3.89 3.69

Page 73: F09lat

57

Lampiran 4. Hasil ANOVA untuk laju respirasi

Univariate Analysis of Variance Warnings

Post hoc tests are not performed for Suhu because there are fewer than three groups.

Between-Subjects Factors

N Suhu S5 96

SR 96

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Laju_resp

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 91467.957 1 91467.957 354.407 .000 Intercept 201352.646 1 201352.646 780.173 .000 Suhu 91467.957 1 91467.957 354.407 .000 Error 49036.540 190 258.087 Total 341857.144 192 Corrected Total 140504.498 191

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors

N Konsentrasi A1 32

A2 32 A3 32 A4 32 A5 32 A6 32

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Laju_resp

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 452.958 5 90.592 .120 .988 Intercept 201352.646 1 201352.646 267.413 .000 Konsentrasi 452.958 5 90.592 .120 .988 Error 140051.539 186 752.965 Total 341857.144 192 Corrected Total 140504.498 191

Page 74: F09lat

58

Lampiran 5a. Data analisis susut bobot pada suhu ruang

Hari A1 A2 A3 A4 A5 A6 1 10.43 11.97 14.29 12.12 14.15 12.71 11.01 11.93 12.40 11.11 14.42 11.61 2 27.00 28.43 32.04 26.50 32.97 30.39 28.72 29.79 29.52 28.71 32.22 27.55

Lampiran 5b. Data analisis susut bobot pada suhu 5°C

Hari Ulangan A1 A2 A3 A4 A5 A6 1 1 0.00 0.74 0.72 0.00 1.59 0.79 2 0.79 0.74 0.85 1.52 0.87 0.76 2 1 1.71 1.49 1.45 1.72 2.40 1.60 2 1.60 1.49 1.72 2.29 1.75 1.54 3 1 1.71 2.26 2.19 2.61 3.23 2.42 2 2.42 2.26 2.61 3.08 2.65 2.33 4 1 2.59 3.03 2.19 2.61 4.07 3.25 2 2.42 3.03 3.51 3.08 3.57 3.12

Page 75: F09lat

59

Lampiran 6. Hasil ANOVA untuk susut bobot

Univariate Analysis of Variance Warnings

Post hoc tests are not performed for Suhu because there are fewer than three groups.

Between-Subjects Factors

N Suhu S5 24

SR 24

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Susut_Bobot

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 4638.120 1 4638.120 115.987 .000 Intercept 5899.505 1 5899.505 147.531 .000 Suhu 4638.120 1 4638.120 115.987 .000 Error 1839.460 46 39.988 Total 12377.084 48 Corrected Total 6477.580 47

Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Susut_Bobot

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 29.979 5 5.996 .039 .999 Intercept 5899.505 1 5899.505 38.430 .000 Konsentrasi 29.979 5 5.996 .039 .999 Error 6447.601 42 153.514 Total 12377.084 48 Corrected Total 6477.580 47

Page 76: F09lat

60

T-Test Group Statistics

hari N Mean Std. Deviation Std. Error

Mean Susut_Bobot 1.00 24 6.5634 5.98590 1.22187

2.00 24 15.6092 14.25171 2.90912

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Lower Upper Lower Upper Lower Susut_Bobot Equal variances

assumed 509.591 .000 -2.867 46 .006

Equal variances not assumed -2.867 30.870 .007

Page 77: F09lat

61

Lampiran 7a. Rumus konversi nilai L dan BI

X = Y (y

x )

Z = Y ([1 - (x + y)] / y)

L = 10 Y1/2

100x 0.172

0.31)-(x BI =

Lampiran 7b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) hari ke-0

Nilai

Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y

60.19 39.21 38.1 54.09 60 53.79 54.3 58.03 32.06 36.63 53.56 61.49

x 0.35 0.36 0.35 0.35 0.33 0.34 0.34 0.33 0.39 0.36 0.34 0.34

y 0.36 0.37 0.36 0.37 0.34 0.36 0.36 0.35 0.39 0.37 0.35 0.35

X 57.52 37.92 36.79 51.56 57.67 51.29 51.65 55.53 32.13 36.20 51.35 58.85

Z 48.24 28.36 30.19 42.34 57.06 45.34 45.52 52.29 18.80 27.42 46.69 54.50

L 77.58 62.62 61.76 73.55 77.45 73.34 73.69 76.18 56.62 60.52 73.18 78.42

BI 21.28 28.78 23.26 22.33 11.69 18.02 18.02 14.42 44.88 29.71 16.69 15.47

Rata-

rata 25.03 22.79 14.85 16.22 37.30 16.08

Page 78: F09lat

62

Lampiran 8a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu ruang hari ke-1

Nilai

Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y

33.92 31.29 32.02 32.88 38.17 40.97 46.15 22.42 42.38 30.09 37.94 35.71

x 0.38 0.37 0.39 0.38 0.37 0.37 0.37 0.38 0.36 0.39 0.40 0.36

y 0.38 0.38 0.38 0.38 0.37 0.38 0.37 0.38 0.36 0.39 0.39 0.37

X 33.91 31.12 32.34 32.76 37.83 40.57 45.62 22.51 41.61 29.94 38.78 35.25

Z 21.53 20.84 18.90 19.92 27.16 27.05 32.09 13.66 32.70 17.09 20.54 25.94

L 58.24 55.94 56.59 57.34 61.78 64.01 67.93 47.35 65.10 54.85 61.60 59.76

BI 40.41 37.09 45.58 42.38 32.97 36.98 33.90 43.14 27.09 45.47 51.57 31.28

Rata-

rata 38.75 43.98 34.97 38.52 36.28 41.42

Lampiran 8b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu ruang hari ke-2

Nilai

Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y

49.05 43.06 36.41 43.27 38.06 30.29 37.41 28.19 31.28 37.22 35.32 39.67

x 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.38 0.38 0.38 0.39 0.37 0.36 0.37

y 0.38 0.37 0.37 0.38 0.37 0.38 0.38 0.39 0.39 0.38 0.37 0.37

X 48.29 42.60 36.18 42.81 37.57 29.85 37.39 27.87 31.64 36.56 34.81 39.43

Z 32.22 29.94 24.64 29.09 26.93 19.15 24.48 16.88 18.33 24.02 25.51 27.79

L 70.04 65.62 60.34 65.78 61.69 55.04 61.16 53.09 55.93 61.01 59.43 62.98

BI 36.45 34.01 36.10 35.87 32.73 38.66 38.72 41.92 46.16 37.09 31.40 34.24

Rata-

rata 35.23 35.99 35.70 40.32 41.63 32.82

Page 79: F09lat

63

Lampiran 9a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari ke-1

Nilai

Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y

45.78 37.54 38.11 49.74 36.87 41.37 32.13 44.03 33.8 40.39 52.29 37.82

x 0.35 0.35 0.36 0.35 0.38 0.36 0.37 0.35 0.40 0.40 0.35 0.34

y 0.36 0.35 0.37 0.37 0.38 0.37 0.38 0.37 0.39 0.39 0.36 0.36

X 44.13 36.60 37.27 47.31 36.68 40.61 31.98 42.15 34.27 40.69 49.63 36.03

Z 36.94 31.76 28.15 38.59 24.19 29.32 21.23 33.30 18.00 21.88 41.69 32.03

L 67.66 61.27 61.73 70.53 60.72 64.32 56.68 66.36 58.14 63.55 72.31 61.50

BI 22.03 20.70 29.07 22.56 37.97 31.92 37.62 24.88 51.28 49.53 20.70 17.62

Rata-

rata 21.37 25.81 34.94 31.25 50.41 19.16

Lampiran 9b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari ke-2

Nilai

Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y

39.68 43.81 27.76 34.43 32.42 31.72 51.87 36.27 47.52 46.79 37.56 44.26

x 0.38 0.35 0.38 0.38 0.36 0.37 0.36 0.37 0.37 0.37 0.36 0.34

y 0.39 0.36 0.38 0.38 0.37 0.37 0.37 0.38 0.37 0.39 0.37 0.35

X 38.77 42.58 27.77 34.04 31.77 31.25 50.48 35.77 46.93 45.26 36.97 42.51

Z 24.45 34.33 17.28 21.09 23.45 21.85 36.90 23.53 32.74 29.45 27.20 39.87

L 62.99 66.19 52.69 58.68 56.94 56.32 72.02 60.22 68.93 68.40 61.29 66.53

BI 38.84 24.83 41.51 40.76 30.52 33.95 30.52 37.38 34.30 36.34 31.05 14.94

Rata-

rata 31.83 41.13 32.24 33.95 35.32 22.99

Page 80: F09lat

64

Lampiran 10a. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari ke-3

Nilai

Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y

42.38 42.37 41.26 29.82 28.01 54.17 27.35 46.73 47.01 35.91 48.87 57.54

x 0.38 0.37 0.38 0.37 0.41 0.36 0.39 0.36 0.36 0.39 0.37 0.33

y 0.38 0.38 0.38 0.38 0.40 0.37 0.39 0.37 0.36 0.39 0.37 0.35

X 41.99 41.36 40.77 29.19 29.02 52.46 27.36 46.05 45.84 35.81 47.82 55.29

Z 26.60 28.27 25.34 19.71 12.94 40.89 15.37 34.00 36.20 20.81 34.33 53.61

L 65.10 65.09 64.23 54.61 52.92 73.60 52.30 68.36 68.56 59.92 69.91 75.86

BI 39.77 34.48 40.52 35.35 60.87 26.51 46.74 30.93 26.28 44.77 31.98 12.91

Rata-

rata 37.12 37.94 43.69 38.84 35.52 22.44

Lampiran 10b. Data hasil pengukuran warna pada apel potong segar (fresh-cut apple) yang disimpan pada suhu 5°C hari ke-4

Nilai Perlakuan

A1 A2 A3 A4 A5 A6

1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 Y

35.39 36.49 15.8 14.96 17.36 8.91 28.79 43.49 15.62 13.17 27.8 28.45

x 0.38 0.36 0.47 0.49 0.49 0.50 0.39 0.38 0.49 0.50 0.39 0.39

y 0.39 0.37 0.39 0.40 0.40 0.40 0.39 0.38 0.39 0.40 0.39 0.39

X 35.05 35.75 18.94 18.29 21.25 11.21 28.69 42.94 19.30 16.43 28.07 28.41

Z 20.96 26.09 5.51 4.47 4.93 2.40 16.79 27.18 4.66 3.55 15.89 16.25

L 59.49 60.41 39.75 38.68 41.67 29.85 53.66 65.95 39.52 36.29 52.73 53.34

BI 42.73 31.16 93.31 101.74 103.49 109.19 44.36 39.53 103.26 107.91 47.21 45.70

Rata-

rata 36.95 97.53 106.34 41.95 105.58 46.45

Page 81: F09lat

65

Lampiran 11. Hasil ANOVA untuk nilai BI

Univariate Analysis of Variance Warnings

Post hoc tests are not performed for Suhu because there are fewer than three groups.

Between-Subjects Factors

N Suhu S5 36

SR 36

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Warna

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 314.198 1 314.198 2.974 .089 Intercept 67289.746 1 67289.746 636.966 .000 Suhu 314.198 1 314.198 2.974 .089 Error 7394.870 70 105.641 Total 74998.814 72 Corrected Total 7709.068 71

Univariate Analysis of Variance

N Konsentrasi A1 12

A2 12 A3 12 A4 12 A5 12 A6 12

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Warna

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 1546.775 5 309.355 3.313 .010 Intercept 67289.746 1 67289.746 720.693 .000 Konsentrasi 1546.775 5 309.355 3.313 .010 Error 6162.293 66 93.368 Total 74998.814 72 Corrected Total 7709.068 71

Page 82: F09lat

66

Lampiran 12. Hasil ANOVA untuk nilai L

Univariate Analysis of Variance Warnings

Post hoc tests are not performed for Suhu because there are fewer than three groups.

Between-Subjects Factors

N Suhu S5 36

SR 36

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: L

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 74.769 1 74.769 1.367 .246 Intercept 300103.212 1 300103.212 5486.320 .000 Suhu 74.769 1 74.769 1.367 .246 Error 3829.019 70 54.700 Total 304007.000 72 Corrected Total 3903.788 71

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors

N Konsentrasi A1 12

A2 12 A3 12 A4 12 A5 12 A6 12

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: L

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 323.984 5 64.797 1.195 .321 Intercept 300103.212 1 300103.212 5532.932 .000 Konsentrasi 323.984 5 64.797 1.195 .321 Error 3579.804 66 54.239 Total 304007.000 72 Corrected Total 3903.788 71

Page 83: F09lat

67

Lampiran 13. Penampakan warna apel pada hari ke-0

A1 A2 A3

A4 A5 A6

Page 84: F09lat

68

Lampiran 14a. Penampakan warna apel pada hari ke-1 penyimpanan suhu ruang

A1 A2 A3

A4 A5 A6

Lampiran 14b. Penampakan warna apel pada hari ke-2 penyimpanan suhu ruang

A1 A2 A3

A4 A5 A6

Page 85: F09lat

69

Lampiran 15a. Penampakan warna apel pada hari ke-1 penyimpanan suhu 5°C

A1 A2 A3

A4 A5 A6

Lampiran 15b. Penampakan warna apel pada hari ke-2 penyimpanan suhu 5°C

A1 A2 A3

A4 A5 A6

Page 86: F09lat

70

Lampiran 16a. Penampakan warna apel pada hari ke-3 penyimpanan suhu 5°C

A1 A2 A3

A4 A5 A6

Lampiran 16b. Penampakan warna apel pada hari ke-4 penyimpanan suhu 5°C

A1 A2 A3

A4 A5 A6

Page 87: F09lat

71

Lampiran 17. Form penilaian uji organoleptik

Form Penilaian Uji OrganoleptForm Penilaian Uji OrganoleptForm Penilaian Uji OrganoleptForm Penilaian Uji Organoleptikikikik Tanggal : Nama : No Telp/HP :

Instruksi : 1. Cicipi sampel secara berurutan (dari kiri ke kanan) sesuai kode. 2. Sampel dicicipi satu per satu. Setiap selesai mencicipi satu sampel netralkan

dengan meminum air yang telah disediakan. 3. Berikan skor penilaian kesukaan dengan nilai sbb :

1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = netral/biasa 4 = suka 5 = sangat suka

Jangan membandingkan antar sampel karena penilaian bersifat bebas sesuai skor kesukaan.

Atribut/ kode sampel 694 216 514 398 272 193

Rasa

Warna

**Terima Kasih**

Page 88: F09lat

72

Lampiran 18. Skor uji organoleptik

Rasa Warna Rasa Warna Rasa Warna Rasa Warna Rasa Warna Rasa Warna1 4 1 4 3 4 2 4 4 5 2 4 52 5 2 4 2 3 2 3 3 2 3 1 43 3 2 2 3 4 1 4 3 2 4 3 34 4 1 2 4 3 3 3 4 3 3 2 55 3 2 3 2 2 1 3 3 2 3 3 46 4 1 4 2 3 1 2 4 2 2 2 57 3 3 3 3 4 2 5 3 4 4 5 48 3 1 4 3 4 2 3 5 5 4 4 59 4 3 3 4 3 3 3 2 3 2 2 210 4 2 4 4 2 2 2 3 4 4 5 511 3 2 4 4 4 2 4 3 2 4 2 412 4 2 3 4 4 1 3 5 3 5 5 513 4 1 4 2 2 3 5 3 4 5 5 514 5 1 3 2 2 3 3 4 2 5 2 515 4 2 5 3 3 2 3 4 5 3 2 416 4 1 3 3 3 3 2 4 2 5 1 517 2 1 4 3 3 2 4 3 3 4 4 418 3 3 3 4 1 2 3 3 3 2 2 419 4 2 3 3 2 2 4 5 3 3 2 320 4 2 3 2 4 2 3 2 4 4 4 521 3 1 2 2 1 1 4 3 5 2 5 522 1 4 4 2 2 2 4 3 2 3 3 523 4 2 3 3 3 2 3 3 2 3 2 324 4 1 3 2 5 1 3 3 3 2 2 525 2 1 3 4 1 3 3 4 3 3 5 526 4 3 3 3 4 2 2 4 3 4 4 527 3 2 4 3 3 2 4 3 4 4 3 428 3 2 4 4 2 2 3 3 3 3 3 429 4 4 3 3 3 3 2 3 2 3 1 230 4 2 4 3 2 2 3 3 5 4 2 431 3 3 2 4 2 3 3 4 4 4 4 4

A4Skor

A5Skor

A6Skor Panelis

A1Skor

A2Skor

A3Skor

Page 89: F09lat

73

Lampiran 19. Hasil ANOVA organoleptik parameter rasa

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors

Value Label N sampel 1 A 31

2 B 31 3 C 31 4 D 31 5 E 31 6 F 31

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 8.478 5 1.696 1.715 .133 Intercept 1890.586 1 1890.586 1912.522 .000 sampel 8.478 5 1.696 1.715 .133 Error 177.935 180 .989 Total 2077.000 186 Corrected Total 186.414 185

Page 90: F09lat

74

Lampiran 20. Hasil ANOVA organoleptik parameter warna

Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors

Value Label N sampel 1 A 31

2 B 31 3 C 31 4 D 31 5 E 31 6 F 31

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 120.301 5 24.060 34.478 .000 Intercept 1698.086 1 1698.086 2433.313 .000 sampel 120.301 5 24.060 34.478 .000 Error 125.613 180 .698 Total 1944.000 186 Corrected Total 245.914 185

Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan

sampel

N Subset

1 2 3 1 A 31 1.94 C 31 2.10 B 31 3.00 E 31 3.42 D 31 3.42 F 31 4.26 Sig. .448 .062 1.000