f06ism.pdf
DESCRIPTION
okeeTRANSCRIPT
SKRIPSI
PENGEMBANGAN DATABASE KONTAMINAN PANGAN
DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK
KAJIAN RISIKO
Oleh
INNIKE SINTAWATIE M F24101036
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGEMBANGAN DATABASE KONTAMINAN PANGAN
DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK
KAJIAN RISIKO
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
INNIKE SINTAWATIE M
F24101036
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGEMBANGAN DATABASE KONTAMINAN PANGAN
DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK
KAJIAN RISIKO
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
INNIKE SINTAWATIE M
F24101036
Dilahirkan pada tanggal 28 Desember 1982
Di Ngawi, Jawa Timur
Tanggal lulus : 14 Februari 2006
Menyetujui
Bogor, Februari 2006
Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, MSc. Dr. Ir. Roy A Sparringa, M. App.Sc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP
Innike Sintawatie M. F24101036. Pengembangan Database Kontaminan Pangan Dan Bahan Tambahan Pangan Untuk Kajian Risiko. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, MSc. dan Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc.2006.
ABSTRAK
Masalah keamanan pangan berkaitan dengan kontaminan dan penggunaan BTP merupakan suatu masalah yang sangat kompleks sehingga memerlukan kegiatan monitoring untuk menjamin bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang aman. Badan POM RI telah melakukan monitoring keamanan pangan, akan tetapi data-data hasil monitoring yang ada selama ini umumnya masih digunakan dalam rangka identifikasi bahaya dan belum dihimpun secara sistematis yang mudah diakses. Penelitian ini bertujuan untuk (1) membuat database kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun 1999-2004 dan database BTP tahun 2004 yang telah dilakukan oleh Badan POM RI, (2) mengidentifikasi dan memetakan jenis BTP yang telah dikumpulkan menurut kategori pangan GSFA (General Standard for Food Additives), (3) mengidentifikasi dan memetakan data kontaminan dalam pangan yang telah dikumpulkan menurut pedoman GEMS/FOOD (The Global Environment Monitoring System/Food Contamination Monitoring and Assessment Programme), dan (4) pengembangan database kontaminan pangan dan BTP di Indonesia untuk kajian risiko. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mempelajari elemen data yang diperlukan dalam kajian paparan dengan pedoman GEMS/FOOD, pengumpulan data konsentrasi kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun 1999-2004 dan BTP tahun 2004 yang telah dilakukan oleh Badan POM RI, klasifikasi data BTP dan kontaminan, penggunaan software OPAL I untuk kontaminan pangan, identifikasi masalah, dan rekomendasi. Hasil monitoring terhadap BTP selama tahun 2004 oleh 21 Balai/Balai Besar POM di Indonesia menunjukkan bahwa dari 11 BTP yang diijinkan untuk pangan, sebanyak tiga jenis BTP yang baru dimonitor, yakni pengawet, pemanis buatan, dan pewarna. Pada sejumlah pangan olahan masih ditemukan adanya penggunaan BTP yang melebihi batas konsentrasi yang diijinkan yakni benzoat, sorbat, sakarin dan siklamat. Bahkan masih ditemukan aditif ilegal yang sangat berbahaya bagi tubuh karena sifatnya yang karsinogenik, yakni boraks, formalin, rhodamin B dan metanil yellow. Sedangkan kontaminan yang dianalisis oleh PPOMN dari tahun 1999-2004 meliputi logam berat, residu pestisida, aflatoksin, nitrit, dan dioksin (2,3,7,8 TCDD). Pada sejumlah pangan segar dan semi olahan juga masih ditemukan adanya kontaminan yang melebihi batas konsentrasi yang diijinkan, yang paling menonjol adalah aflatoksin pada kacang tanah dan produk olahannya.
Data konsentrasi BTP dan kontaminan pangan yang telah disusun dalam database belum dapat dimanfaatkan untuk kajian risiko dengan berbagai keterbatasan. Data-data yang ada hanya bisa diolah pada tahap identifikasi bahaya yang umumnya terbatas pada bahan tambahan ilegal, beberapa bahan pengawet, pemanis buatan serta pewarna dan masih perlu ditindaklanjuti dengan kajian paparan untuk mengetahui karakterisasi risikonya. Keterbatasan data hasil monitoring tersebut antara lain: data umumnya masih bersifat kualitatif; nilai
LOD dan LOQ tidak dicantumkan dalam laporan pengujian sehingga sulit menentukan parameter statistiknya seperti mean, median, standar deviasi, dan percentile; sampling yang belum seragam; jumlah sampel belum cukup untuk menjamin validitas data; serta penentuan obyek yang akan disurvei belum mempertimbangkan kerangka sampel. Oleh karena itu diperlukan protokol survei. Untuk database kontaminan diperlukan pengolahan dan analisis data dari stakeholder yang berwenang secara terpadu sehingga akan diperoleh database kontaminan secara nasional, serta diperlukan kesesuaian dengan prioritas utama pangan dan kontaminan menurut GEMS/FOOD.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 28
Desember 1982. Penulis adalah anak pertama dari tiga
bersaudara pasangan Purjanto Heri Wibowo dan Farida
Setyorini. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari TK
Nawa Kartika Dawu pada tahun 1988 sampai tahun 1989.
Pendidikan SD ditempuh dari tahun 1989-1995 di
Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Dawu. Penulis melanjutkan
sekolah di SLTP Negeri 2 Ngawi dan lulus pada tahun 1998. Kemudian pada
tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMU Negeri 2 Ngawi dan lulus
pada tahun 2001. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada Departemen Ilmu
dan Teknologi pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
pada tahun 2001 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama menjadi mahasiswa IPB penulis pernah menjadi asisten pada mata
kuliah Kimia Dasar I dan Kimia Dasar II. Dalam bidang organisasi penulis
pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan
(HIMITEPA) dan aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan HIMITEPA.
Akhirnya sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi
Pertanian, penulis melaksanakan magang di Direktorat Surveilan dan Penyuluhan
Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM RI)
Jakarta. Hasil kegiatan magang telah dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul
”Pengembangan Database Kontaminan Pangan dan Bahan Tambahan Pangan
untuk Kajian Risiko” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz MSc. dan
Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App.Sc.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
hanya kepada Allah SWT, pemilik ilmu, pemberi rahmat, hidayah dan kasih
sayang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
”Pengembangan Database Kontaminan Pangan dan Bahan Tambahan
Pangan untuk Kajian Risiko”.
Allah SWT memberikan kemudahan bagi penulis melalui bantuan,
kesabaran, dukungan dan doa dari berbagai pihak yang selama ini selalu
menyertai penulis dari awal sampai akhir penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ibunda dan Ayahanda tercinta atas segala dukungan, doa, kasih sayang serta
keikhlasan yang senantiasa mengalir sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, karya kecil ini kupersembahkan
untuk Kalian,
2. Prof. Dr. Ir. H. Dedi Fardiaz, MSc. selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan saran yang mendukung dalam
penyelesaian skripsi ini,
3. Dr. Ir. Roy A. Sparringa, M.App. Sc. selaku dosen pembimbing lapang di
Badan POM RI yang telah bekerja keras membimbing, mengarahkan,
memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini,
Saya tidak akan melupakan jasa Bapak,
4. Prof. Dr. Ir. Winiati P. Rahayu, MS, selaku Direktur Surveilan dan
Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan magang di Badan POM RI serta
selaku dosen penguji,
5. Drs. Siam Subagyo, Msi, selaku Kepala Bidang Pangan PPOMN yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di
PPOMN,
6. Dosen-dosen Ilmu dan Teknologi pangan yang telah memberikan ilmunya
selama kuliah di IPB,
7. Adik-adikku tersayang (Ani dan Angga) serta keluarga besar di Ngawi yang
telah memberikan kasih sayang dan doanya sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Ilmu dan Teknologi Pangan IPB,
8. Sahabatku (Dessy, Putri, Wulan, Ana, Meli, Eny, Armi, Manong, Yaya’,
Ambang) you are my best friend that i never had before, terima kasih untuk
segalanya dan semoga ukhuwah kita akan tetap terjaga selamanya,
9. Teman-teman seperjuangan magang (Nur, Rini, Tami dan Ari) terima kasih
atas bantuan, dukungan dan kebersamaan kita selama 4 bulan magang di
Badan POM RI,
10. Mas Fahmi Fasah Angkotasan, terima kasih atas bantuan softwarenya,
11. Staf Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (Mas Nugi, Bu
Murni, Pak Nyoman, Pak Dedi, Mbak Ruki, Mbak Pipit, Mbak Vian, Mbak
Yanti, Teteh Yanti dll), terima kasih atas segala bantuan dan nasihatnya,
12. Arofah’s crew (Deti, Asti, Eno, Mada, Yuni, Elis, Santo’, Mia, Titin, Wira,
Asri, Ai, Wiwin dan Delvia) atas kebersamaan dan kenangan indah kita,
semoga ukhuwah kita akan tetap terjaga selamanya,
13. Teman-teman satu bimbingan (Christian dan Mbak Yani) terima kasih atas
dorongan semangatnya,
14. Teman-teman satu kelompok praktikum (Hans, Tantri, Armi, Dhani) dan
teman-teman ITP 38, terima kasih atas kebersamaan dan suka duka kita
selama ini yang tidak akan terlupakan selamanya,
15. Abi dan Mbak Ana, terima kasih telah menjadi tempat curhatku selama ini,
16. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan dukungan sampai terselesainya skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi masyarakat,
bangsa dan negara. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangannya,
oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini.
Bogor, Februari 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vii
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................... viii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xiii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG.......................................................................... 1
B. TUJUAN .............................................................................................. 3
C. MANFAAT .......................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 4
A. KONSEP ANALISIS RISIKO............................................................. 4
B. SISTEM KEAMANAN PANGAN TERPADU .................................. 12
C. DATABASE PENYEDIA INFORMASI............................................. 16
D. KAJIAN PAPARAN BAHAN KIMIA ............................................... 17
E. PROGRAM GEMS/FOOD ................................................................. 25
F. GSFA (GENERAL STANDARD FOR FOOD ADDITIVE) ................ 30
III. METODOLOGI
A. WAKTU DAN TEMPAT .................................................................... 32
B. METODE PENELITIAN ..................................................................... 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 36
A. DATABASE KONSENTRASI BTP HASIL MONITORING
BADAN POM RI................................................................................. 36
B. DATABASE KONSENTRASI KONTAMINAN PANGAN
HASIL MONITORING BADAN POM RI ......................................... 58
C. DATABASE KONTAMINAN PANGAN DENGAN GUIDELINE
PRIORITAS UTAMA PANGAN DAN KONTAMINAN
MENURUT GEMS/FOOD.................................................................. 64
D. METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN OLEH PPOMN
DALAM MENDETEKSI ADANYA KONTAMINAN
DALAM PANGAN ............................................................................. 72
E. PEMANFAATAN DATABASE KONSENTRASI
BTP DAN KONTAMINAN HASIL MONITORING
BADAN POM RI................................................................................. 73
V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 74
A. KESIMPULAN .................................................................................... 74
B. SARAN ................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 77
LAMPIRAN..................................................................................................... 83
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Nilai ADI beberapa BTP yang dimonitor di Indonesia.................. 7 Tabel 2. Nilai PTWI beberapa logam berat yang umumnya dianalisis
oleh Badan POM RI ....................................................................... 8
Tabel 3. Peta pelaksanaan kajian paparan di Indonesia ............................... 26 Tabel 4. Kategori pangan untuk pangan segar dan semi olahan menurut GEMS/FOOD Regional Diets........................................................ 29 Tabel 5. Kategori pangan untuk pangan olahan menurut GSFA yang telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia .............................. 31 Tabel 6. BTP yang diijinkan dan program monitoring di Indonesia............ 40 Tabel 7. Penggunaan pengawet dan pemanis dari data kuantitatif yang
melebihi batas konsentrasi yang diijinkan ..................................... 44 Tabel 8. Penggunaan boraks pada sejumlah produk pangan hasil
monitoring selama tahun 2004....................................................... 48
Tabel 9. Penggunaan formalin pada sejumlah produk pangan hasil monitoring selama tahun 2004....................................................... 50
Tabel 10. Penggunaan rhodamin B pada sejumlah produk pangan hasil monitoring selama tahun 2004....................................................... 52
Tabel 11. Penggunaan metanil yellow pada sejumlah produk pangan hasil monitoring selama tahun 2004....................................................... 54
Tabel 12. Jumlah kontaminan pada kelompok pangan yang dianalisis
Badan POM.................................................................................... 59
Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan menurut prioritas GEMS/FOOD.................................................... 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka analisis risiko .............................................................. 5 Gambar 2. Kerangka kerja kajian risiko ....................................................... 5 Gambar 3. Komponen-komponen yang diperlukan dalam kajian paparan... 18 Gambar 4. Diagram alir metode penelitian................................................... 33 Gambar 5. Profil jumlah sampel mengandung BTP yang diuji pada masing-masing Balai/Balai Besar POM...................................... 37 Gambar 6. Profil jumlah parameter BTP yang diuji pada masing-masing
Balai/Balai Besar POM............................................................... 38 Gambar 7. Profil persentase aditif legal yang dimonitor di Indonesia.......... 43 Gambar 8. Profil persentase aditif ilegal yang dimonitor di Indonesia ........ 46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kategori Pangan GSFA .............................................................. 83
Lampiran 2. Database beberapa BTP pada sejumlah pangan yang dimonitor
di Indonesia ................................................................................ 106
Lampiran 3. Prosedur pengolah database BTP dan kontaminan dalam pangan olahan............................................................................. 142
Lampiran 4. Pedoman penggunaan software OPAL I .................................... 147 Lampiran 5. Prioritas utama pangan dan kontaminan GEMS/FOOD............. 165
DAFTAR ISTILAH
ADI (Acceptable Daily Intake) adalah suatu perkiraan tentang jumlah suatu
bahan kimia yang dinyatakan dalam mg bahan per kg berat badan, yang
meskipun dicerna/dimakan setiap hari bahkan selama hidup bersifat aman,
tidak menimbulkan gangguan terhadap kesehatan, efek keracunan ataupun
risiko.
Analisis risiko (Risk Analysis) adalah suatu proses ilmiah yang terdiri dari tiga
komponen yakni kajian risiko (risk assessment), manajemen risiko (risk
management), dan komunikasi risiko (risk communication).
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang biasanya tidak digunakan
sebagai pangan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas pangan,
mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan kedalam pangan untuk maksud teknologi pada pembuatan,
pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,
penyimpanan, atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan suatu
komponen atau mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.
Bahaya (hazard) adalah agen-agen biologis, kimia, maupun fisika yang terdapat
dalam pangan dan berpotensi untuk menyebabkan efek buruk bagi
kesehatan.
Evidence base adalah informasi yang diperoleh secara ilmiah melalui kegiatan
studi, survei, atau surveilan berkaitan dengan keamanan pangan yang
dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar dalam menetapkan suatu
kebijakan.
Identifikasi bahaya adalah identifikasi terhadap bahaya kimiawi serta evaluasi
terhadap bahaya tersebut jika terdapat dalam pangan tertentu atau suatu
kelompok pangan.
Kajian paparan adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai
kemungkinan terjadinya paparan dan tingkat paparan melalui pangan atau
sumber lain yang relevan.
Kajian risiko adalah kajian ilmiah terhadap kemungkinan risiko yang mungkin
terjadi, terdiri dari empat tahapan: i)identifikasi bahaya; ii) karakterisasi
bahaya; iii) kajian paparan; dan iv) karakterisasi risiko.
Karakterisasi bahaya adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai
pengaruh bahaya yang mungkin terdapat dalam pangan terhadap
kesehatan.
Karakterisasi risiko adalah perkiraan secara kualitatif maupun kuantitatif dari
kemungkinan bahaya yang berdampak kepada kesehatan yang terjadi pada
populasi tertentu berdasarkan kegiatan identifikasi bahaya, karakterisasi
bahaya, dan kajian paparan yang telah dilakukan.
Kerangka sampel adalah daftar obyek/individu/unit/elemen dalam suatu populasi
yang akan disurvei.
Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam
pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko, faktor yang berkaitan
dengan risiko, dan persepsi risiko antara pengkaji risiko, manajer risiko
dan pihak terkait lainnya seperti konsumen, industri, akademisi dan lain-
lain.
Kontaminan pangan adalah suatu bahan yang secara tidak sengaja terdapat
dalam pangan sebagai hasil dari proses produksi (termasuk didalamnya
proses pembudidayaan tanaman dan pembudidayaan hewan ternak),
pengolahan, penyiapan, penyimpanan, transportasi atau sebagai hasil
kontaminasi oleh lingkungan. Definisi ini tidak termasuk potongan tubuh
serangga, bulu tikus dan bahan asing lainnya.
LOD (Limit of Detection) adalah konsentrasi terkecil dari kontaminan yang
masih dapat dideteksi oleh alat. Nilai ini diperoleh pada saat melakukan
verifikasi metode yang akan digunakan dalam pengujian.
LOQ (Limit of Quantification) adalah konsentrasi terkecil dari kontaminan yang
masih dapat dikuantifikasi. Nilai ini diperoleh pada saat melakukan
verifikasi metode yang akan digunakan dalam pengujian.
Manajemen risiko adalah proses kajian berbagai alternatif kebijakan dalam
bidang pangan sebagai hasil dari proses kajian risiko guna melindungi
kesehatan konsumen dan menerapkan praktek perdagangan yang aman,
dan jika diperlukan, melakukan seleksi dan implementasi pengendalian
risiko yang sesuai.
Maximum Level Permitted adalah batas maksimum konsentrasi yang diijinkan
untuk ditambahkan dalam pangan.
Mean (nilai rata-rata) adalah suatu ukuran pusat data bila data tersebut diurutkan
dari yang terkecil sampai terbesar atau sebaliknya dari yang terbesar
sampai terkecil.
Median adalah pengamatan yang tepat di tengah-tengah bila banyaknya
pengamatan adalah ganjil, atau rata-rata kedua pengamatan yang di tengah
bila banyaknya pengamatan genap.
NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) adalah konsentrasi tertinggi dimana
pengaruh buruk tidak terdeteksi pada morfologi, kapasitas fungsional,
pertumbuhan, perkembangan, dan umur hidup target atau hewan
percobaan.
Percentile adalah nilai-nilai yang membagi sugugus pengamatan menjadi 100
bagian yang sama.
Pestisida adalah suatu bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk
mencegah, membunuh, menolak atau mengendalikan berbagai hama
termasuk spesies tumbuhan atau hewan yang tidak diinginkan selama
produksi, penyimpanan, transportasi, distribusi dan selama proses
pengolahan pangan, komoditi pertanian, atau pakan ternak.
Protokol survei adalah dokumen penting sebagai pedoman bagi pelaksana survei
yang berisi tentang latar belakang survei; penetapan tujuan; keluaran dan
manfaat; penetapan populasi survei; identifikasi kerangka sampel;
alat/tools, metode pengambilan sampel dan penentuan besarnya sampel;
penanganan sampel; preparasi sampel; analisis sampel; dan manajemen
survei.
PTDI (Provisional Tolerable Daily Intake) adalah suatu perkiraan tentang
jumlah kontaminan yang ditolerir untuk dikonsumsi tiap hari tanpa
menimbulkan efek terhadap kesehatan. Biasanya digunakan untuk
kontaminan yang tidak bersifat kumulatif, seperti arsen.
PTWI (Provisional Tolerable Weekly Intake) adalah suatu perkiraan tentang
jumlah kontaminan yang ditolerir untuk dikonsumsi tiap minggu tanpa
menimbulkan efek terhadap kesehatan. Biasanya digunakan untuk
kontaminan yang bersifat kumulatif, seperti kadmium, merkuri, timbal dll.
Residu pestisida adalah suatu bahan spesifik yang terdapat dalam pangan,
komoditas pertanian atau pakan ternak yang dihasilkan dari penggunaan
pestisida meliputi produk turunan pestisida seperti produk hasil konversi,
metabolit, produk hasil reaksi dan segala sesuatu yang dipertimbangkan
sebagai bahan yang bersifat toksik.
Risiko adalah kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan dan tingkat gangguan
kesehatan sebagai akibat adanya bahaya (hazard) dalam pangan.
Sistem Keamanan Pangan Terpadu adalah pendekatan dalam pelaksanaan
program keamanan pangan nasional meliputi kegiatan monitoring,
surveilan dan promosi keamanan pangan yang dilakukan oleh instansi-
instansi terkait yang bekerja bersama-sama sebagai mitra sejajar untuk
meningkatkan kualitas keamanan pangan nasional.
Standar deviasi adalah akar dari ragam contoh (ukuran keragaman yang terbaik).
Surveilan keamanan pangan adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis
dan interpretasi data yang berhubungan dengan keamanan pangan secara
sistematis dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada pihak
pengguna/terkait yang membutuhkan untuk ditindaklanjuti.
Theoritical Maximum Level adalah suatu estimasi konsentrasi tertinggi yang
aman untuk suatu bahan tambahan pangan dalam pangan padat atau cair,
dinyatakan dalam mg/kg pangan, dihitung menggunakan metode budget
yang paling konservatif.
Total Diet Study (TDS) adalah studi yang memprediksi paparan bahan kimia
melalui analisis kontaminan, BTP, bahan berbahaya dan atau zat gizi
dalam sampel pangan yang didasarkan pada data konsumsi pangan pada
suatu populasi (market basket study).
DAFTAR SINGKATAN
ADI Acceptable Daily Intake
Badan POM RI Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
BTP Bahan Tambahan Pangan
FAO Food and Agriculture Organization of United Nations
GEMS/FOOD Global Environment Monitoring System/Food Contamination
Monitoring and Assessment Programme
GSFA General Standard for Food Additives
JECFA Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives
LOD Limit of Detection
LOQ Limit of Quantification
NOAEL No-Observed-Adverse-Effect Level
OPAL Operational Programs for Analytical Laboratories
PTDI Provisional Tolerable Daily Intake
PTWI Provisional Tolerable Weekly Intake
UNEP United Nations Environment Programme
WHO World Health Organization
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terpenting dalam
peningkatan kualitas fisik, mental, dan kecerdasan. Oleh karena itu, pangan
yang dikonsumsi harus dapat memenuhi kebutuhan manusia baik dari segi
jumlah maupun dari segi kualitas agar tidak menimbulkan gangguan pada
kesehatan.
Keamanan pangan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks
mencakup mata rantai pangan dari hulu hingga hilir, dari ternak mulai
dikembangbiakkan atau tanaman pangan mulai dibudidayakan hingga pangan
dikonsumsi (from farm to table). Pangan merupakan sumber energi yang
dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya.
Namun, pangan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria
sebagai pangan yang layak dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari
bahan pangan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kontaminan tersebut
diantaranya mikotoksin, logam berat, pestisida, dioksin, residu hormon, residu
antibiotik serta bahan berbahaya lainnya.
Di samping itu dalam bahan pangan sering ditambahkan bahan
tambahan pangan (BTP) yang merupakan bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai pangan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas
pangan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam pangan untuk maksud teknologi pada pembuatan,
pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan
atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau
mempengaruhi sifat khas pangan tersebut (Peraturan Menteri Kesehatan RI.
No. 722/Menkes/Per/IX/1988). Masalah utama dalam penggunaan BTP adalah
masih banyaknya produsen pangan yang menggunakan BTP melebihi batas
konsentrasi yang diijinkan atau bahkan menggunakan aditif ilegal yang
dilarang penggunaannya seperti boraks, formalin yang sangat berbahaya bagi
kesehatan manusia. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidaktahuan atau
bahkan ketidakpedulian produsen pangan, baik mengenai sifat-sifat maupun
keamanan BTP. Karena pengaruh BTP terhadap kesehatan umumnya tidak
langsung dapat dirasakan atau dilihat, maka produsen seringkali tidak
menyadari bahaya penggunaan BTP yang tidak sesuai dengan peraturan.
Beberapa penyakit yang telah diketahui dirangsang oleh adanya
kontaminan atau penggunaan BTP berlebih diantaranya kanker kolon, kanker
hati, kanker kandung kemih, dan sebagainya (Nurrohmah et al.,1995). Oleh
karena itu adanya kontaminan atau penggunaan BTP dalam pangan harus
diawasi secara ketat. Pemerintah telah menetapkan peraturan tentang batas
residu kontaminan maupun penggunaan BTP, seperti Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988. Badan POM RI bertanggung
jawab untuk mengawasi dan mengendalikan pencemaran kontaminan atau
penggunaan BTP dalam produk sesuai peraturan tersebut.
Badan POM RI secara berkala melakukan monitoring keamanan
pangan berkaitan dengan kontaminan pangan dan BTP di Indonesia. Akan
tetapi belum tersedia database yang sistematis dan mudah diakses untuk
keperluan kajian risiko. Database ini akan sangat berguna untuk melakukan
suatu kajian paparan (exposure assessment) yang merupakan bagian dari
kajian risiko. Selama ini kajian risiko yang telah dilakukan di Indonesia
umumnya sebatas pada identifikasi bahaya (hazard identification). Untuk
mengetahui karakterisasi risiko (risk characterization) diperlukan kajian
paparan (exposure assessment) disamping identifikasi bahaya (hazard
identification) dan karakterisasi bahaya (hazard characterization). Dalam
kajian paparan bahan kimia diperlukan data konsumsi dan data konsentrasi
bahan kimia dalam pangan. Fokus penelitian ini adalah pengembangan
database konsentrasi kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun 1999-
2004 dan database konsentrasi BTP tahun 2004 yang diperoleh dari Pusat
Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) untuk kajian risiko.
Pada kajian paparan kontaminan pangan dan BTP, tingkat risiko
terhadap bahaya kontaminan pangan dan BTP dilihat dari nilai paparannya
yaitu tingkat konsumsi setiap hari dikalikan konsentrasi kontaminan atau BTP
per kilogram berat badan, yang dibandingkan dengan tingkat asupan yang
aman setiap harinya (Health Reference) seperti ADI untuk BTP dan pestisida
dan PTWI/PTDI untuk kontaminan pangan. Semakin besar paparan maka
semakin besar pula risiko terkena bahaya kesehatan akibat konsumsi
kontaminan pangan dan BTP.
Hasil kajian diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah sebagai
landasan ilmiah mengenai tingkat risiko kontaminan pangan dan BTP di
Indonesia guna menentukan kebijakan yang dapat melindungi masyarakat dari
pangan yang tidak aman.
B. TUJUAN
Tujuan dari kegiatan magang ini adalah:
membuat database kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun
1999-2004 dan database BTP tahun 2004 yang telah dilakukan oleh Badan
POM RI,
mengidentifikasi dan memetakan jenis BTP yang telah dikumpulkan
menurut kategori pangan GSFA,
mengidentifikasi dan memetakan data kontaminan dalam pangan yang
telah dikumpulkan menurut pedoman GEMS/FOOD,
pengembangan database kontaminan pangan dan BTP di Indonesia untuk
kajian risiko.
C. MANFAAT
Manfaat dari kegiatan magang di Badan POM RI ini adalah untuk
memberikan basis data konsentrasi kontaminan pangan dan BTP yang
diperlukan dalam kajian risiko. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan oleh
pemerintah untuk membuat suatu kebijakan yang dapat melindungi konsumen
dari pangan yang tidak aman.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP ANALISIS RISIKO
Penyakit yang disebabkan oleh makanan atau keracunan makanan
mempunyai konsekuensi yang luas baik terhadap kesehatan maupun terhadap
kehidupan sosial dan industri pangan. Oleh karena itu perlu ditetapkan sistem
jaminan keamanan pangan pada rantai pangan mulai dari bahan baku sampai
produk yang siap dimakan, atau dari produsen sampai ke konsumen sehingga
risiko akibat terpapar bahaya dapat dikurangi pada level yang aman. Bahaya
tersebut meliputi bahaya biologi, bahaya kimia dan bahaya fisik. Salah satu
sistem yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut adalah analisis risiko
(Badan POM, 2001b).
Analisis risiko merupakan ‘generasi ketiga’ dari sistem keamanan
pangan setelah Good Hygienic Practices dan HACCP. Analisis risiko (Risk
Analysis) adalah penetapan tatacara memperkirakan risiko yang berhubungan
dengan masalah kesehatan yang terjadi saat itu dan mengendalikan risiko
tersebut seefektif mungkin. Melalui analisis risiko diharapkan dapat diperoleh
suatu proses yang secara sistematis dan transparan dapat mengumpulkan,
menganalisis dan mengevaluasi informasi ilmiah maupun non ilmiah yang
relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis maupun fisik yang mungkin
terdapat dalam pangan, sebagai landasan pengambilan keputusan dalam
memilih opsi terbaik untuk menangani risiko tersebut berdasarkan berbagai
alternatif yang diidentifikasi (Rahayu et al., 2004).
Konsep analisis risiko merupakan interaksi dari tiga hal yaitu kajian
risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (WHO, 1997b; Rahayu et al.,
2004; WHO, 2005a). Kaitan antara ketiga langkah tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1.
1. Kajian risiko (risk assessment)
Kajian risiko merupakan kajian ilmiah yang berhubungan dengan
risiko-risiko keamanan pangan sehingga pengambil keputusan (manajer
risiko) dapat mengerti faktor-faktor yang mendorong risiko (WHO, 1997b;
Parker dan Tompkin, 2000).
Gambar 1. Kerangka analisis risiko (Badan POM, 2001a)
Gambar 2. Kerangka kerja kajian risiko (Rahayu et al., 2004)
Kajian risiko Manajemen risiko
• Identifikasi bahaya • Karakterisasi bahaya• Kajian paparan • Karakterisasi risiko
• Evaluasi risiko • Kajian opsi • Implementasi keputusan • Monitoring dan Review
Komunikasi risiko
Pertukaran informasi dan opini secara interaktif dan
terus menerus
Identifikasi Bahaya Identifikasi bahaya mikrobiologis,fisik atau kimia yang dapat membahayakan
kesehatan
Kajian Paparan Evaluasi kemungkinan tingkat
paparan
Karakterisasi Bahaya Evaluasi pengaruh bahaya yang
mungkin terdapat dalam pangan terhadap kesehatan
Kajian dosis respon
Karakterisasi Risiko Integrasi kajian paparan dan karakterisasi bahaya Perkiraan risiko terhadap kesehatan termasuk
keragaman dan ketidakpastian
Penetapan Tujuan
Penulisan laporan resmi
Kajian risiko berdasarkan bahaya yang dikaji dibagi menjadi dua yaitu
kajian risiko kimia dan kajian risiko mikrobiologi. Kajian risiko kimia
menitikberatkan pada keberadaan bahan kimia, seperti bahan tambahan
pangan (aditif), cemaran kimiawi maupun residu obat-obatan ternak.
Sedangkan kajian risiko mikrobiologi menitikberatkan pada evaluasi
kemungkinan munculnya efek terhadap kesehatan setelah terpapar dengan
mikroba patogen atau dengan media yang mengandung mikroba patogen
(Rahayu et al., 2004).
Kajian risiko kimia merupakan tahapan dari analisis risiko yang
bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan: (1) bahaya kimia apa
saja yang mungkin terjadi, (2) bagaimana peluang terjadinya bahaya kimia
tersebut, dan (3) jika bahaya terjadi, apa konsekuensi yang harus dihadapi.
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melakukan empat langkah yaitu
identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan, dan karakterisasi
risiko (WHO, 1997b; WHO, 2000a; Badan POM, 2001b; Rahayu et al.,
2004). Bagan alir proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
a. Identifikasi bahaya (hazard identification)
Identifikasi bahaya adalah identifikasi terhadap bahaya kimiawi
yang dapat menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan serta
evaluasi terhadap bahaya tersebut jika terdapat dalam pangan tertentu
atau suatu kelompok pangan. Bahaya (hazard) dapat diartikan sebagai
agen-agen biologis, kimia, maupun fisika yang terdapat di dalam
pangan dan berpotensi untuk menyebabkan efek buruk bagi kesehatan
(WHO, 1997b; Rahayu et al., 2004; WHO, 2005a). Identifikasi bahaya
pada bahan kimia difokuskan pada kemungkinan bahan tambahan
pangan, pestisida atau kontaminan menyebabkan pengaruh buruk
terhadap kesehatan. Beberapa hal yang menentukan kegiatan
identifikasi bahaya ini diantaranya adalah ketersediaan biaya, metode,
pustaka, serta sumber informasi dalam melaksanakan
studi/survei/surveilan.
b. Karakterisasi bahaya (hazard characterization)
Karakterisasi bahaya adalah evaluasi kualitatif dan atau
kuantitatif mengenai pengaruh bahaya yang mungkin terdapat dalam
pangan terhadap kesehatan. Untuk bahaya kimia umumnya diperlukan
kajian dosis respon (Rahayu et al., 2004; WHO, 2005a). Dari kajian
tersebut akan diperoleh nilai NOAEL yang merupakan dosis tertinggi
dimana pengaruh buruk tidak terlihat pada hewan percobaan. Dengan
mempertimbangkan faktor keamanan (safety factor) dan faktor
ketidakpastian (uncertainty factor) untuk mengekstrapolasikan hasil
studi dari hewan ke manusia, maka diperoleh nilai standar asupan
bahan kimia yang aman dalam tubuh, seperti ADI sebagai standar
asupan yang aman untuk BTP dan pestisida. Nilai ADI diperoleh
dengan membagi NOAEL dengan safety factor yang umumnya
mempunyai nilai 100 (EU Scientific Co-operation, 1998). Nilai ADI
beberapa BTP yang dimonitor di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai ADI beberapa BTP yang dimonitor di Indonesia
No. BTP Nilai ADI (mg/kgbb)
1. Benzoat* 5
2. SorbatΦ 25
3. Sakarin* 5
4. Siklamat* 11
5. Aspartam¶ 40
Sumber: * JECFA (2001) Φ WHO (1974) ¶ WHO (2000b) Hal yang sama pada PTWI/PTDI sebagai standar asupan yang
aman untuk kontaminan pangan. Konsep PTDI ini hampir sama
dengan ADI yakni dosis tanpa efek (NOAEL) dibagi 100, sehingga
nilai PTWI merupakan nilai PTDI x 7. Nilai PTWI beberapa logam
berat dipaparkan pada Tabel 2. Nilai standar ini bukan merupakan hal
yang mutlak, sehingga nilainya bisa diubah atau diperbaiki apabila
terdapat informasi yang baru mengenai toksisitasnya.
Tabel 2. Nilai PTWI beberapa logam berat yang umumnya dianalisis oleh Badan POM RI
No. Kontaminan Nilai PTWI (µg/kgbb)
1. Cadmium (Cd)Ψ 7
2. Merkuri (Hg)Ψ 1.6
3. Arsen(As)§ 15
4. Timbal (Pb)Ψ 25
5. Timah (Sn)§ 14000
Sumber: Ψ JECFA (2004) § WHO (1996)
c. Kajian paparan (exposure assessment)
Kajian paparan adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif
mengenai kemungkinan terjadinya paparan dan tingkat paparan
melalui pangan atau sumber lain yang relevan (WHO, 1997b; Rahayu
et al., 2004; WHO, 2005a). Dalam kajian paparan harus dikaji
kelompok sasaran konsumen, pola konsumsi dan estimasi asupan.
Kajian paparan dilakukan dengan mengkombinasikan data konsumsi
dengan data konsentrasi untuk menentukan tingkat asupan bahan kimia
dalam tubuh. Kajian paparan ini akan menyediakan pandangan ilmiah
terhadap keberadaan bahaya dalam produk yang dikonsumsi untuk
menentukan karakterisasi risikonya.
d. Karakterisasi risiko (risk characterization)
Karakterisasi risiko merupakan output dari kajian risiko.
Karakterisasi risiko merupakan perkiraan kualitatif dan atau kuantitatif
dari kemungkinan bahaya yang berdampak kepada kesehatan yang
terjadi pada populasi tertentu berdasarkan kegiatan identifikasi bahaya,
karakterisasi bahaya, dan kajian paparan yang telah dilakukan (WHO,
1997b; WHO, 2005a)
Untuk menentukan apakah konsumen pangan berada pada
risiko bahaya kontaminan pangan dan BTP, maka diperlukan suatu
perkiraan konsumsi yang kemudian dibandingkan dengan Health
Reference seperti ADI untuk BTP dan pestisida dan PTWI/PTDI untuk
kontaminan pangan. Informasi dari kajian risiko ini akan sangat
berguna bagi para profesional di bidang keamanan pangan sebagai
landasan ilmiah (evidence base) untuk penentuan strategi dalam
mencegah atau mengurangi risiko yang ada pada kegiatan manajemen
risiko.
2. Manajemen risiko (risk management)
Manajemen risiko adalah penentuan kebijakan-kebijakan yang
bertujuan untuk mengurangi risiko dengan mempertimbangkan berbagai
dampak yang mungkin ditimbulkan. Wilson dan Droby (2001)
menyebutkan langkah-langkah manajemen risiko terdiri dari: (1)
mengidentifikasi masalah-masalah keamanan pangan beserta faktor
risikonya, (2) menyusun profil risiko, (3) menetapkan tujuan manajemen
risiko dan tim manajer risiko untuk mengendalikan risiko tersebut, (4)
membuat prioritas risiko yang ingin dikendalikan, (5) menerbitkan
kebijakan-kebijakan pengendalian risiko dengan mempertimbangkan
informasi yang diperoleh dari kegiatan kajian risiko, (6) monitoring
pelaksanaan kebijakan yang telah disusun, dalam hal ini dilimpahkan
kepada kegiatan kajian risiko, dan (7) melakukan evaluasi berdasarkan
informasi dari kegiatan kajian risiko yang dilakukan pada tahap 6. Parker
dan Tompkin (2000) meringkas langkah-langkah tersebut menjadi 4
tahapan yakni: (1) evaluasi risiko, (2) kajian alternatif-alternatif
manajemen risiko, (3) implementasi keputusan manajemen risiko, serta (4)
monitoring dan evaluasi.
Pada tahap evaluasi risiko, manajer risiko akan membahas risiko-
risiko yang telah ditentukan melalui kegiatan kajian risiko. Pembahasan
tersebut diharapkan menghasilkan profil masing-masing risiko. Profil
tersebut berisi lokasi dan distribusi risiko tersebut, keuntungan dan
kerugian pengendalian risiko, serta informasi lain yang diperlukan.
Profil risiko diperlukan untuk menentukan instansi-instansi terkait
yang akan dilibatkan dalam tim manajer risiko. Instansi-instansi yang
dipilih sebaiknya terdiri dari berbagai multidisiplin ilmu sehingga dapat
memberikan pertimbangan kepada manajer risiko dalam berbagai sudut
pandang. Selanjutnya pembahasan tersebut diharapkan mampu
memformulasikan tujuan manajemen risiko, mengembangkan kerangka
acuan, dan memberikan alternatif-alternatif untuk mengendalikan risiko
yang terjadi.
Langkah kedua adalah kajian alternatif pengendalian risiko. Kajian
tersebut berupa diskusi dengan instansi-instansi terkait untuk menentukan
alternatif pemecahan masalah yang tepat. Beberapa informasi yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan alternatif yang tepat adalah
ketidakpastian yang ada pada masing-masing alternatif, besarnya risiko
yang ada setelah dilakukan alternatif, biaya yang diperlukan untuk
melaksanakan alternatif tersebut, dan adanya sumber daya manusia yang
memadai untuk melakukan alternatif tersebut. Intinya, keuntungan dan
kerugian dari masing-masing alternatif perlu dikaji sebelum memilih.
Biasanya kriteria yang mudah diukur dan diamati juga disusun untuk
mempermudah kajian alternatif ini. Alternatif yang memenuhi kriteria
akan dipilih dan diimplementasikan untuk mengendalikan risiko.
Langkah ketiga adalah implementasi keputusan manajemen risiko.
Implementasi keputusan tersebut dapat dilakukan oleh berbagai pihak,
termasuk pejabat pemerintah, industri pangan dan konsumen.
Implementasi ini salah satunya bisa dilakukan dengan kegiatan inspeksi
rutin atau kegiatan lain disesuaikan dengan pihak terkait yang
melaksanakannya. Implementasi keputusan ini memerlukan kekompakan
tim manajer risiko dan perencanaan yang matang termasuk petunjuk
pelaksanaan teknis, jadwal pelaksanaan dan sasaran pengendalian risiko.
Langkah terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Langkah ini
sangat penting untuk memberikan umpan balik yang diperlukan demi
memperbaiki pelaksanaan manajemen risiko. Oleh karena itu keputusan
yang diambil dalam manajemen risiko harus selalu dipantau secara
periodik melalui kegiatan monitoring untuk mengetahui seberapa besar
pengaruhnya dalam mengurangi risiko yang ada. Jika selama monitoring
tersebut terdapat informasi ilmiah yang baru, maka sangat dimungkinkan
untuk dilakukan revisi dan pengulangan kajian risiko, pengambilan
keputusan baru dan implementasi keputusan sehingga proses manajemen
risiko merupakan suatu proses yang berulang (iteratif) (Rahayu et al.,
2004).
Keputusan manajemen risiko perlu dikomunikasikan kepada pihak-
pihak yang terkait. Oleh karena itu diperlukan strategi komunikasi yang
terdapat dalam konsep komunikasi risiko (risk communication).
3. Komunikasi risiko (risk communication)
Komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan opini
secara interaktif dan terus menerus mengenai bahaya dan risiko, faktor
yang berkaitan dengan risiko dan persepsi risiko yang diperoleh selama
proses analisis risiko antara pengkaji risiko, manajer risiko dan pihak
terkait lainnya seperti pihak pemerintah, konsumen, industri dan
akademisi. Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-
temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko
(WHO, 1997b; Rahayu et al., 2004; WHO, 2005a).
Tujuan dari kegiatan komunikasi risiko adalah: (1) memfasilitasi
pertukaran informasi tentang pengetahuan, sikap, dan persepsi berkaitan
dengan topik-topik risiko antar semua pihak yang terlibat dalam proses
analisis risiko, (2) meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses analisis
risiko, (3) meningkatkan konsistensi dan transparansi dalam pengambilan
dan penerapan keputusan yang diambil oleh manajer risiko, dan (4)
memberikan kesempatan bagi semua pihak terkait untuk melakukan
review serta memberikan pendapat terhadap kebijakan analisis risiko yang
diambil, termasuk metode kajian risiko dan standar risiko yang digunakan
serta tentang kebijakan atau program manajemen risiko (FAO, 2000;
Rahayu et al., 2004).
Dalam melaksanakan komunikasi risiko diperlukan beberapa
strategi, diantaranya: (1) mengkoleksi dan menganalis latar belakang
informasi tentang risiko keamanan pangan, persepsi pihak-pihak terkait,
konteks risiko dan sebagainya, (2) mengembangkan dan diseminasi pesan-
pesan utama yang ditargetkan pada kelompok-kelompok tertentu, (3)
mendorong dan mengajak pihak terkait untuk berdialog mengenai risiko,
serta (4) memonitor dan mengevaluasi hasil dari komunikasi risiko
(Rahayu et al., 2004).
Dalam menunjang suksesnya pelaksanaan proses komunikasi
risiko, diperlukan komunikasi yang efektif diantara semua pihak yang
berpatisipasi. Prinsip komunikasi yang efektif antara lain adalah adanya
saling percaya, terbuka dalam arti tidak menutupi hasil kajian risiko atau
manajemen risiko yang buruk, bersifat interaktif dengan memberdayakan
dan melibatkan semua pihak. Selain itu konsultasi juga merupakan salah
satu pendekatan yang sering dilakukan dalam komunikasi risiko, untuk
mendapatkan masukan atau komentar dari pihak-pihak tertentu.
Pelaksanaan analisis risiko, yang meliputi kajian risiko, manajemen
risiko dan komunikasi risiko melibatkan instansi-instansi yang terkait di
sepanjang rantai pangan. Oleh karena itu pelaksanaan analisis risiko perlu
direalisasikan dalam satu jaringan informasi yang memungkinkan terciptanya
kerjasama dalam bentuk saling berbagi informasi dan bekerja sebagai mitra
sejajar dalam rangka pelaksanaan program keamanan pangan nasional dengan
pendekatan sistem keamanan pangan terpadu.
B. SISTEM KEAMANAN PANGAN TERPADU (INTEGRATED FOOD
SAFETY SYSTEM)
SKPT (Sistem Keamanan Pangan Terpadu) merupakan sistem
komunikasi yang dirancang untuk para profesional keamanan pangan untuk
berbagi pengetahuan dan pengalaman di bidang keamanan pangan. SKPT ini
dicanangkan pada tanggal 13 Mei 2004 oleh Prof. A. Malik Fadjar, MSc.
”Bersama-sama kita meningkatkan keamanan pangan di Indonesia” adalah
lebih dari sekedar semboyan untuk SKPT nasional di Indonesia. Semboyan ini
merupakan terobosan cara baru untuk bekerja secara bersama-sama. SKPT
adalah program nasional yang terdiri dari semua stakeholder kunci yang
terlibat dalam keamanan pangan dari lahan pertanian sampai siap dikonsumsi.
SKPT merupakan sistem yang mengkombinasikan keahlian dan pengalaman
dari pemerintah, industri, akademisi dan konsumen secara sinergis dalam
menghadapi tantangan-tantangan baru yang mempengaruhi keamanan pangan
(Badan POM, 2004a; Badan POM, 2005b).
Badan POM bersama lembaga terkait menggalang terwujudnya sistem
keamanan pangan terpadu melalui beberapa jejaring. Anggota-anggota
jejaring ini bekerja sebagai mitra sejajar (equal partnership) dengan cara
saling membagi informasi, mendiskusikan permasalahan yang ada, dan
memutuskan cara terbaik untuk meningkatkan kinerja masing-masing lembaga
dalam rangka peningkatan mutu dan keamanan pangan nasional (Fardiaz,
2001).
SKPT terdiri dari tiga jejaring yakni jejaring intelijen pangan, jejaring
pengawasan pangan dan jejaring promosi keamanan pangan dengan tiga
program unggulan yang saling mengkait antar tiga jejaring yang ada yakni
sistem klasifikasi award keamanan pangan (star awards), sistem monitoring
keamanan pangan terpadu (food watch), serta tim respon cepat (rapid
reponse). Ketiga jejaring tersebut merupakan penerapan dari konsep analisis
risiko. Jejaring intelijen pangan merupakan penerapan kajian risiko, jejaring
pengawasan pangan merupakan pelaksanaan manajemen risiko, sedangkan
komunikasi risiko diterapkan melalui jejaring promosi keamanan pangan.
Selain itu terdapat tim teknis keamanan pangan yang merupakan gabungan
dari instansi kunci untuk berkomunikasi dengan tiga jejaring untuk
melaksanakan program rapid response, food star dan food watch (Sparringa,
2002).
1. Jejaring Intelijen Pangan
Jejaring intelijen pangan memiliki tugas dan fungsi yang
berhubungan dengan kajian risiko. Jejaring ini mengkoordinasikan
kegiatan pengumpulan data-data mengenai keamanan pangan termasuk
empat tahapan dalam kajian risiko (AGAL-BADAN POM, 2001).
Surveilan merupakan kegiatan penting dalam jejaring ini. Lembaga-
lembaga yang diharapkan terlibat dalam jejaring ini adalah lembaga yang
melakukan penelitian, survei dan surveilan keamanan pangan. Lembaga-
lembaga tersebut antara lain Badan POM, Departemen Pertanian,
Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Perguruan Tinggi, Asosiasi
Perdagangan, Pengawas Pangan, Lembaga Penelitian dan Industri
(Sparringa, 2002).
Hasil temuan dari surveilan tersebut berupa informasi yang akan
segera ditindaklanjuti dengan cepat (rapid response) oleh lembaga pada
jejaring pengawasan pangan. Informasi yang perlu diketahui oleh
produsen, konsumen, maupun aparat terkait bisa ditindaklanjuti pada
jejaring promosi keamanan pangan (Sparringa, 2002).
2. Jejaring Pengawasan Pangan
Jejaring pengawasan pangan merupakan kerjasama antar lembaga-
lembaga terkait untuk mengembangkan kebijakan pangan dan
memantapkan sistem pengawasan keamanan pangan berdasarkan konsep
manajemen risiko. Jejaring pengawasan pangan bertujuan memberikan
perlindungan kepada konsumen dengan memastikan pangan yang
dikonsumsi aman (AGAL-BADAN POM, 2001). Kegiatan yang
dilaksanakan dalam jejaring pengawasan pangan ini antara lain kajian
legislasi keamanan pangan, mengkoordinasikan upaya pengembangan
profesi lembaga pengawas pangan, serta mengembangkan metode analisis
untuk mendukung kegiatan kajian pangan (Sparringa, 2002). Lembaga
yang terlibat dalam jejaring ini antara lain Badan POM, Departemen
Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi, Asosiasi Perdagangan, Pengawas Pangan, dan LSM
(AGAL-BADAN POM, 2001).
3. Jejaring Promosi Keamanan Pangan
Jejaring promosi keamanan pangan mengkoordinasikan program
keamanan pangan nasional meliputi pengembangan bahan-bahan promosi
dan pendidikan keamanan pangan nasional. Kegiatan tersebut diantaranya
pemberian pelatihan bagi industri pangan, pelatihan untuk food inspectors,
desain leaflet untuk konsumen dan leaflet untuk industri. Lembaga-
lembaga yang diharapkan dalam jejaring ini antara lain Badan POM,
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kesehatan,
Departemen Pendidikan, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Asosiasi
Perdagangan, dan perwakilan dari konsumen (AGAL-BADAN POM,
2001).
4. Tim Teknis Keamanan Pangan Nasional
Tim teknis keamanan pangan jejaring keamanan pangan nasional
mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh
lembaga yang tergabung dalam jejaring intelijen pangan, jejaring
pengawasan pangan dan jejaring promosi keamanan pangan. Program
yang dilaksanakan oleh tim ini diantaranya rapid respone, food stars dan
food watch. Rapid response merupakan penanganan masalah keamanan
pangan yang diidentifikasi oleh jejaring intelijen pangan kepada jejaring
pengawasan pangan, sehingga masalah tersebut bisa cepat diatasi. Food
stars merupakan pemberian penghargaan untuk industri yang telah
memenuhi standar keamanan pangan, antara lain higiene dan sanitasi
pangan, cara produksi pangan yang baik dan HACCP. Food stars ini
bertujuan mengklasifikasikan industri pangan berdasarkan risiko
keamanannya. Sedangkan food watch merupakan program tindak lanjut
hasil monitoring kondisi keamanan pangan. Lembaga-lembaga yang
diharapkan dalam tim ini antara lain Badan POM, Departemen Kesehatan,
Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Pemerintah Daerah, Badan Standarisasi Nasional, dan Perguruan Tinggi
(AGAL-BADAN POM, 2001).
Jika masing-masing pihak menemukan masalah yang berhubungan
dengan keamanan pangan di sepanjang rantai pangan, maka pihak tersebut
menginformasikan dan mendiskusikan dengan anggota yang lain untuk
bersama-sama mencari jalan keluar pemecahan masalah tersebut. Selama ini
data hasil surveilan yang ada kebanyakan masih berasal dari Badan POM RI
dan belum terintegrasi dengan stakeholder lain artinya surveilan masih
dilakukan sendiri-sendiri. Dukungan dan kerjasama antar stakeholder sangat
diperlukan untuk memantapkan peran serta Badan POM RI sebagai leading
sector dalam program keamanan pangan. Untuk itu perlu dikembangkan
surveilan keamanan pangan pada rantai pangan secara optimal melalui
PKPKPN (Pusat Kewaspadaan dan Pengendalian Keamanan Pangan
Nasional) untuk menangani masalah-masalah keamanan pangan secara lebih
sistematis dan terstruktur sehingga di masa mendatang jika terdapat
permasalahan di sepanjang rantai pangan dapat segera ditindaklanjuti.
Salah satu sumber informasi surveilan yang aktif dilakukan adalah
kegiatan monitoring keamanan pangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
terkait seperti Badan POM, Departemen Kesehatan dan Departemen
Pertanian. Data-data hasil monitoring tersebut akan berguna jika diorganisasi
dengan baik (Awad dan Gotterer, 1992). Pengorganisasian tersebut
membutuhkan database yang menyimpan data-data hasil monitoring sekaligus
mengolahnya menjadi informasi yang berguna.
C. DATABASE PENYEDIA INFORMASI
Data merupakan fakta atau kejadian yang sesungguhnya. Data suatu
penelitian merupakan hasil pengamatan atau survei terhadap sampel.
Sedangkan informasi merupakan produk yang dihasilkan dari analisis atau
sintesis data (Awad dan Gotterer, 1992).
Informasi dan pengetahuan merupakan jantung dari masyarakat
(Rowley dan Farrow, 2000). Informasi memegang peranan penting dalam
pengambilan suatu keputusan oleh pihak yang berwenang karena informasi
mengurangi ketidakpastian sehingga menghasilkan keputusan yang lebih baik
(Awad dan Gotterer, 1992). Surveilan keamanan pangan merupakan salah
satu sumber informasi yang menjadi pertimbangan manajer risiko untuk
menerbitkan kebijakan pangan (Bordgroff, 1997; Sparringa, 2002).
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan para manajer risiko diharapkan dapat
melindungi masyarakat dari risiko penyakit akibat pangan.
Untuk mempermudah pengkoleksian data sekaligus mengolahnya
menjadi informasi yang berguna diperlukan suatu alat (tools) yang disebut
database. Keuntungan penggunaan database tersebut adalah penyimpanan
data dalam jumlah yang besar dan penggunaannya yang mudah sehingga
pengguna memperoleh keuntungan (Awad dan Gotterer, 1992). Database
dalam penelitian ini adalah database kontaminan pangan dan BTP. Hasil
olahan dari database ini dapat dimanfaatkan sebagai penyedia data konsentrasi
yang diperlukan dalam kajian paparan.
D. KAJIAN PAPARAN BAHAN KIMIA
Paparan bahan kimia melalui pangan dapat didefinisikan sebagai total
bahan kimia yang dikonsumsi oleh manusia. Sedangkan kajian paparan bahan
kimia merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif mengenai paparan dan
tingkat paparan bahan kimia melalui pangan (WHO, 1997b; WHO, 2000a).
Beberapa komponen yang diperlukan untuk mendapatkan ketelitian dan
ketepatan dalam kajian paparan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3
menunjukkan betapa kompleksnya masalah yang berkaitan dengan kajian
paparan sehingga masing-masing komponen yang akan digunakan dalam
kajian paparan harus didefinisikan secara jelas agar interpretasi hasil kajian
paparan dapat sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan (Badan POM,
2004b).
Pelaksanaan kajian paparan harus mempunyai skala prioritas. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan biaya, waktu dan tenaga sehingga hanya bahan
kimia yang memerlukan informasi lebih lanjut mengenai tingkat asupan yang
sebenarnya saja yang akan dikaji. Untuk kontaminan, penentuan prioritas
didasarkan pada ada tidaknya informasi mengenai toksisitas, health reference
seperti PTWI/PTDI serta data konsentrasi kontaminan yang akan menjadi
fokus dalam kajian paparan (WHO, 2003c; Sparringa, personal
communication. 2006). Sedangkan untuk BTP, penentuan prioritas dilakukan
dengan menggunakan metode budget. Metode budget ini akan memperkirakan
level maksimum BTP secara teoritis pada proporsi suplai pangan dan atau
minuman yang mungkin mengandung BTP sehingga nilai ADI tidak dapat
dilampaui oleh populasi. Beberapa informasi yang diperlukan dalam metode
budget ini antara lain: (1) informasi mengenai batas maksimum BTP yang
diijinkan untuk ditambahkan dalam pangan, (2) distribusi penggunaan BTP
dalam suplai pangan padat dan atau minuman, serta (3) persentase pangan
padat dan atau minuman yang mengandung BTP (WHO, 2001; Sparringa et
al., 2004).
Gambar 3. Komponen-komponen yang diperlukan dalam kajian paparan (Badan
POM, 2004b)
Data konsentrasi bahan kimia (BTP, kontaminan) : - Tingkat maksimum yang
diijinkan - Konsentrasi tertinggi yang
dilaporkan - Nilai rata-rata atau median - Data konsentrasi BTP produk
yang diuji - Faktor koreksi
Target studi kajian paparan : - Fetus - Bayi - Anak-anak - Dewasa
Karakterisasi risiko : - Dosis respon akut - ADI - PTWI/PTDI - RDI
KAJIAN PAPARAN
Data konsumsi pangan (termasuk air minum) - konsumsi tertinggi - rata-rata
(pengkonsumsi) - rata-rata (seluruh
populasi)
Faktor lain: - status gizi - pekerjaan - status kesehatan - umur - jenis kelamin - sarana pendukung lain
Waktu paparan : - seumur hidup - tahunan - bulanan - mingguan - harian - satu kali konsumsi
Level maksimum BTP secara teoritis dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut ini:
Untuk pangan padat
Proprorsi BTP dalam pangan padat X 40X ADI Level maksimum teoritis = Proporsi pangan padat yang mengandung BTP
Untuk minuman
Persamaan tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan fisiologis
terhadap energi dan cairan. Diasumsikan bahwa asupan harian untuk pangan
padat dan cairan setiap individu tidak melebihi 25g/kg bb dan 100ml/kgbb.
Ini didasarkan pada publikasi Hansen (1979) yang menyatakan asumsi
maksimum asupan energi sebesar 50kkal/kg bb atau setara dengan 25g/kgbb
untuk dewasa (nilai kalori rata-rata diasumsikan sebesar 2kkal/g untuk semua
pangan padat) dan 100kkal/kgbb untuk anak-anak. Untuk yang berbentuk
cairan, maksimum asupan harian adalah 100ml/kgbb. Ketika BTP digunakan
baik pada pangan padat maupun minuman, tetapi proporsi masing-masing
kategori tidak diketahui maka diasumsikan 50% BTP digunakan dalam
pangan padat dan 50% BTP digunakan dalam minuman. Jika level maksimum
BTP secara teoritis lebih rendah dari level maksimum yang diijinkan maka
diperlukan penjelasan lebih lanjut mengenai BTP tersebut melalui proses
kajian paparan.
Pada dasarnya dua jenis informasi yang diperlukan dalam kajian
paparan adalah data konsumsi dan data konsentrasi bahan kimia (kontaminan
dan BTP) dalam pangan. Tingkat asupan bahan kimia dihitung dengan cara
mengalikan jumlah konsumsi dan tingkat bahan kimia dalam pangan tersebut
(Leparulo-Loftus et al., 1992; WHO, 2000a; Badan POM, 2004b; Sparringa et
Proporsi BTP dalam minuman X 10 X ADI Level maksimum teoritis = Proporsi minuman yang mengandung BTP
Konsumsi x Konsentrasi Paparan = Berat Badan
al., 2004). Persamaan yang digunakan dalam kajian paparan adalah sebagai
berikut:
Untuk menentukan keakuratan hasil kajian paparan, data konsumsi dan data
konsentrasi harus bersifat kuantitatif. Data yang bersifat kualitatif tidak dapat
digunakan untuk kajian paparan (Sparringa, personal communication. 2005).
1. Data konsumsi pangan
Data konsumsi yang ada selama ini biasanya digunakan untuk
program gizi dan belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan kajian
paparan (Sparringa, personal communication. 2006). Informasi tentang
konsumsi pangan biasanya diperoleh dari kegiatan survei terhadap jenis
serta kuantitas pangan dan minuman yang dikonsumsi selama periode
tertentu. Kegiatan survei secara luas dikelompokkan ke dalam tiga
kategori yakni survei konsumsi secara nasional, rumah tangga dan berbasis
individu (WHO, 1997a; Sparringa et al., 2004).
a. Berbasis nasional
Data survei konsumsi pangan berskala nasional biasanya ada
dalam bentuk Food Balance Sheet (FBS) yang menyediakan informasi
ketersediaan komoditi per kapita suatu negara. FBS ini disiapkan oleh
FAO setiap tahun dan memuat daftar produksi domestik, impor, ekspor
dan penggunaan produk non pangan untuk komoditi pangan mentah
setiap negara. Jumlah komoditi mentah yang tersedia untuk konsumsi
dihitung dengan cara menjumlahkan produksi domestik dengan jumlah
impor kemudian dikurangi dengan penjumlahan nilai ekspor dan nilai
penggunaan produk non pangan. Sumber data ini biasanya digunakan
dalam kajian paparan pestisida dan kontaminan yang memang pada
umumnya mengevaluasi komoditi mentah dan terbatas untuk kajian
asupan diet bahan tambahan pangan. Untuk banyak negara, data
terbaik untuk kajian paparan bahan tambahan pangan adalah hasil
survei food expenditure dengan skala rumah tangga misalnya
SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) (WHO, 1997a; WHO,
2001; Sparringa et al., 2004).
b. Berbasis rumah tangga
Survei konsumsi di tingkat rumah tangga akan memberikan
informasi mengenai ketersediaan pangan olahan untuk dikonsumsi di
tingkat rumah tangga. Beberapa metode yang digunakan diantaranya
adalah metode pembelanjaan pangan berskala rumah tangga (food
expenditure) dan metode penggunaan pangan. Hasil survei akan
memberikan informasi secara rinci mengenai konsumsi pangan yang
sesungguhnya, walaupun informasi mengenai usia yang
spesifik/variasi inter-individu tidak dideskripsikan secara jelas. Untuk
memperkirakan jumlah konsumsi, maka data konsumsi yang dihitung
secara tidak langsung dari studi food expenditure di tingkat rumah
tangga dihubungkan dengan harga-harga produk yang bersangkutan
(WHO, 2000a; Sparringa et al., 2004).
c. Berbasis individu
Berbagai pendekatan telah dilakukan oleh negara yang berbeda
untuk melakukan survei konsumsi pangan individu. Metode yang
digunakan antara lain metode prospektif (buku harian konsumsi
pangan (food diary method), metode porsi pangan duplikat (duplicate
portion method)), metode retrospektif (metode mengingat-ingat
konsumsi pangan (dietary recall method), metode perulangan
konsumsi pangan (food frequency method)) atau kombinasi prospektif
dan retrospektif. Pemilihan metode survei konsumsi pangan harus
mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya usia, tingkat
pendidikan dan motivasi dari populasi target, serta biaya dan sumber
daya manusia yang diperlukan (WHO,1985; WHO, 1997a; WHO,
1999; Sparringa et al, 2004).
Data hasil survei biasanya bervariasi sesuai dengan tingkat detil
pangan yang dikonsumsi, jumlah dan usia responden, jumlah hari
dimana data tersedia dan sejumlah faktor lainnya. Kriteria seperti jenis
kelamin, usia, lokasi, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan besar
keluarga biasanya digunakan untuk membedakan pola konsumsi.
Keuntungan utama pendekatan yang berbasis individu adalah
kemampuan untuk membedakan antara total populasi dan konsumen
(Sparringa et al., 2004).
2. Data konsentrasi pangan
Dalam kajian paparan sangat penting untuk memperoleh informasi
konsentrasi bahan kimia dalam pangan. Pemilihan metode sampling,
analisis dan prosedur pelaporan menjadi titik kritis untuk memperoleh data
yang konsisten dan dapat dibandingkan (comparable) (WHO, 1985;
Petersen et al.,1994). Penggunaan prosedur yang konsisten menjadi bagian
yang penting pada skala internasional dimana data dari berbagai negara
mungkin dibandingkan atau dikombinasikan. Beberapa prinsip umum
dalam pemilihan data konsentrasi bahan kimia dalam pangan menurut
WHO (2000a) adalah sebagai berikut:
a). Kualitas data konsentrasi bahan kimia
Salah satu kriteria penting untuk menentukan kualitas data
adalah akreditas laboratorium yang melakukan analisis terhadap bahan
kimia dalam pangan. Jika kriteria tersebut telah terpenuhi, kemudian
diperlukan kriteria tambahan lain yakni:
data harus terbaru (up to date),
metode analisis harus divalidasi dan berada dalam level yang
cukup untuk dikuantifikasi,
data yang dihasilkan berasal dari analisis sampel individu (sampel
tunggal),
sampel dikumpulkan berdasarkan metode sampling secara statistik,
data harus bersifat representatif, artinya mewakili suluruh wilayah,
atau jika tidak memungkinkan, hanya mewakili sebagian wilayah,
dan
jumlah sampel yang dianalisis harus cukup untuk menjamin
validitas data terutama jika akan digunakan untuk menentukan nilai
percentile.
Jika semua kriteria telah terpenuhi, maka akan mudah mencari nilai
median yang nantinya digunakan untuk memperkirakan total asupan
bahan kimia dalam tubuh. Penggunaan nilai median ini mempunyai
keuntungan jika dibandingkan dengan penggunaan nilai mean yakni
tidak dipengaruhi oleh data dari sampel yang nilai konsentrasinya di
bawah LOQ (Limit of Quantification).
b). Nilai di bawah LOQ
Jika proporsi data yang di bawah LOQ tinggi, terdapat
beberapa cara untuk mengasumsikan nilai di bawah LOQ tersebut
yakni diasumsikan sebesar LOQ, nol atau ½ LOQ.
c). Target data
Data yang dikumpulkan berdasarkan metode sampling bukan
acak tidak dapat digunakan untuk memperkirakan rata-rata paparan
bahan kimia dalam pangan. Bagaimanapun, data ini masih bisa
digunakan jika tidak ada data lain yang tersedia. Namun harus
dipahami bahwa penggunaan data tersebut akan menghasilkan
perkiraan paparan yang berlebih.
d). Nilai mean dan median
Nilai median hanya digunakan jika tersedia data dari hasil
pengujian sampel pangan tunggal. Jika data diperoleh dari pengujian
sampel pangan campuran (aggregated) maka dianjurkan menggunakan
nilai mean. Keterbatasan penggunaan nilai mean dibandingkan nilai
median adalah sangat dipengaruhi proporsi hasil pengujian yang
dibawah LOQ. Ketika proporsi hasil pengujian di bawah LOQ kecil,
nilai mean dapat digunakan dengan tingkat kepercayaan yang lebih
tinggi, begitupun sebaliknya.
Terdapat beberapa sumber untuk memperoleh data konsentrasi
bahan kimia dalam pangan, diantaranya adalah penggunaan asumsi
maksimum level yang diijinkan, penggunaan data hasil monitoring
keamanan pangan dan studi diet total (WHO, 1997a; Sparringa et al.,
2004).
a. Asumsi maksimum level yang diijinkan
Penggunaan asumsi maksimum level yang diijinkan boleh
diaplikasikan dalam kajian paparan apabila data penggunaan bahan
kimia yang sesungguhnya tidak tersedia, namun harus dipahami bahwa
tidak semua orang mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan
kimia dengan konsentrasi tertinggi. Data tersebut kemudian
digabungkan dengan data konsumsi untuk memperkirakan asupan
bahan kimia dalam tubuh. Pada pendekatan ini biasanya menghasilkan
perkiraan yang lebih tinggi karena diasumsikan bahwa semua pangan
mengandung bahan kimia dalam jumlah maksimum (WHO, 1997a;
Sparringa et al., 2004).
b. Data hasil monitoring keamanan pangan
Banyak tipe data monitoring yang dikumpulkan untuk berbagai
tujuan. Program monitoring tersebut meliputi kegiatan monitoring
yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk menetapkan suatu
peraturan, monitoring oleh industri swasta dalam rangka pengawasan
mutu, monitoring oleh suatu kelompok yang mempunyai kepentingan
tertentu dan survei pangan yang bersifat representatif. Monitoring
tersebut biasanya dilakukan pada area pertanian, pabrik pengolahan
pangan, pedagang perantara (wholesaler), pelabuhan dan supermarket.
Monitoring oleh industri swasta biasanya hanya dilakukan untuk
kepentingan pengawasan mutu produk yang dihasilkan oleh industri
yang bersangkutan. Begitu juga monitoring oleh kelompok yang
mempunyai kepentingan tertentu sehingga data yang diperoleh belum
representatif dan belum cukup akurat untuk digunakan dalam kajian
paparan. Data hasil monitoring yang paling lazim digunakan adalah
data hasil survei pangan secara nasional. Walaupun sulit dan
membutuhkan biaya yang sangat mahal, dengan penerapan metode
survei yang benar maka akan dihasilkan data yang valid dan
representatif untuk menggambarkan tingkat atau level bahan kimia
yang dikonsumsi oleh masyarakat suatu negara (Leparulo-Loftus et al.,
1992).
c. Studi diet total
Studi diet total melibatkan analisis campuran pangan atau jenis
pangan tunggal yang merepresentasikan diet harian yang spesifik
untuk populasi umum atau kelompok populasi terpilih. Total asupan
per hari bahan kimia diperkirakan dengan mengalikan tingkat bahan
kimia yang ditetapkan pada setiap kelompok pangan dengan rerata
konsumsi grup tersebut dan kemudian dengan menjumlahkan asupan
yang dihitung untuk semua grup.
Pelaksanaan kajian paparan secara faktual di Indonesia saat ini, untuk
setiap komponen dan sumber data disajikan pada Tabel 3.
E. PROGRAM GEMS/FOOD
The Global Environment Monitoring System/Food Contamination
Monitoring and Assessment Programme, atau lebih dikenal dengan
GEMS/FOOD dibentuk pada tahun 1976. GEMS/FOOD memulai proyek
kerjasama dengan FAO, UNEP dan WHO dengan WHO sebagai agen
pelaksananya. Sampai akhir tahun 1994, WHO telah melaksanakan program
GEMS/FOOD di lebih dari 70 negara di dunia. GEMS/FOOD memberikan
informasi yang telah dikumpulkan kepada pemerintah, lembaga internasional
dan lembaga antar pemerintahan seperti Codex Alimentarius Commission
tentang tingkat dan kecenderungan kontaminan dalam pangan, kontribusinya
terhadap paparan pada manusia serta signifikansinya terhadap kesehatan
publik dan perdagangan (WHO, 1999; WHO, 2002; WHO, 2003a).
Beberapa tujuan utama GEMS/FOOD antara lain :
• mengumpulkan data kontaminan dalam pangan dan mengevaluasinya serta
meninjau kembali kecenderungan kontaminan dalam pangan dan
memberikan ulasannya,
• menghasilkan suatu perkiraan asupan bahan kimia dengan
mengkombinasikan data konsumsi pangan dengan tingkat kontaminan
pada kelompok pangan tertentu,
• membuka kerjasama dengan negara-negara yang ingin memprakarsai
program monitoring kontaminan pangan,
•
Tabel 3. Peta pelaksanaan kajian paparan di Indonesia
Komponen Sumber Data Kondisi di Indonesia
Data konsumsi Data survei konsumsi pangan berskala nasional
Data tersedia dalam bentuk Food Balance Sheet. Data ini digunakan untuk menghitung rata-rata ketersediaan energi per kapita, makronutrien dan paparan bahan kimia dalam komoditi segar dan pangan semi olahan sehingga hanya bisa diaplikasikan untuk kontaminan pangan. Data yang ada belum diaplikasikan untuk kajian paparan di Indonesia *
Data survei konsumsi pangan berbasis rumah tangga
Data telah tersedia di Indonesia dan digunakan untuk memperkirakan rata-rata paparan kontaminan dalam pangan. Sumber informasi diperoleh dari data hasil survei oleh HKI (Hellen Keller Indonesia), Perguruan Tinggi, Puslitbang Gizi dan Makanan, serta data hasil survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Akan tetapi untuk BTP belum tersedia, salah satu peluangnya adalah melakukan analisis dari data SUSENASΨ
Data survei konsumsi pangan berbasis individu
Masih dalam skala pilot project yakni survei konsumsi pangan individu terpadu untuk kajian paparan dan gizi yang dilaksanakan di 10 kecamatan di kota Bogor. Survei dilaksanakan selama 3 hari berturut-turut dengan menggunakan metode mengingat-ingat konsumsi pangan (24 h food dietary recall) dan buku harian konsumsi pangan (food diary methods). Hasil survei menunjukkan bahwa pengkonsumsi tinggi benzoat (95th) berdasarkan GSFA: 13.48mg/kgbb (270% JECFA ADI) dan kelompok pasta dan mie, roti dan minuman tidak beralkohol memberikan kontribusi besar terhadap paparan. Pengkonsumsi tinggi siklamat (95th) berdasarkan standar nasional max: 33 mg/kgbb (304% JECFA ADI) dan kelompok minuman tidak beralkohol memberikan kontribusi besar terhadap paparan¶
Tabel 3. Peta pelaksanaan kajian paparan di Indonesia (lanjutan)
Komponen Sumber Data Kondisi di Indonesia
Data konsentrasi Asumsi maksimum level yang diijinkan
Telah dilakukan pengembangan metode kajian paparan berdasarkan batas maksimum yang diijinkan. Proyek ini telah dilaksanakan pada Oktober-Desember 2002 dengan menggunakan 192 responden di 15 propinsi di Indonesia. Hasil kajian paparan menunjukkan asupan benzoat rata-rata 0.96mg/kgbb (19.2% JECFA ADI) dengan pengkonsumsi tinggi 95th: 3.08 mg/kg bb (61.6% JECFA ADI). Rata-rata asupan pengkonsumsi tinggi benzoat untuk anak-anak (2-12) hampir melebihi JECFA ADI (5mg/kgbb)§
Data hasil monitoring keamanan pangan
Database belum tersedia di Indonesia, akan dibahas dalam skripsi ini Ψ
Studi diet total Pilot project kajian paparan BTP pada murid SD dengan metode TDS (Desember 2002-Desember 2003). Jumlah responden yang terlibat sebanyak 72 orang usia 6-12 tahun dan dipilih secara random dari 3 SD di kota Malang. Hasil kajian menunjukkan bahwa pangan siap saji mempunyai kontribusi tertinggi terhadap pangan yang dikonsumsi murid SD (70% dari berat total). Paparan siklamat rerata tertinggi berasal dari minuman dan kudapan terutama dari serealia dan kelompok lain-lain (total paparan 240% ADI), sedangkan paparan rerata benzoat dan sakarin total masih dibawah nilai ADIΦ
Sumber: * Sparringa et al. (2004) Ψ Sparringa, personal communication. (2005)
¶ Syarifudin (2004) Φ Slamet (2004) § BADAN POM (2005b)
• mempersiapkan perkiraan pola konsumsi pangan regional, dan
• mendukung dan memfasilitasi penyusunan Standar Internasional untuk
pangan yang dilakukan oleh Codex Alimentarius Commission dengan
memberikan informasi tingkat kontaminan dalam pangan.
Salah satu aktivitas GEMS/FOOD adalah melakukan monitoring
keamanan pangan dengan cara mengumpulkan, menganalisis dan
menyebarluaskan data kontaminan dalam pangan dan total diet. Untuk
membantu kegiatan monitoring tersebut, maka dikembangkan daftar prioritas
pangan dan kontaminan. Daftar GEMS/FOOD tersebut digunakan dalam
rangka harmonisasi untuk mendukung pelaksanaan program Total Diet Study
(TDS). Terdapat tiga daftar prioritas pangan dan kontaminan menurut
GEMS/FOOD yakni core list, intermediate list dan comprehensive list. Core
list direkomendasikan untuk digunakan di negara berkembang seperti
Indonesia, intermediate list digunakan di negara yang industrinya sedang
berkembang dan untuk negara maju atau negara yang telah berkembang
direkomendasikan untuk menggunakan comprehensive list (WHO, 1999).
Selain itu untuk memudahkan dalam proses pengklasifikasian data maka
dikembangkan sistem kategori pangan (GEMS/FOOD Regional diets) (WHO,
2003b). Terdapat 15 kategori pangan segar dan semi olahan berdasarkan
GEMS/FOOD Regional Diets. Kategori pangan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4.
Sistem dan prosedur juga telah dikembangkan untuk memungkinkan
pengumpulan data elektronik dari berbagai negara yang terlibat. Bagi negara-
negara yang memiliki sistem monitoring yang canggih, data-data akan
ditransfer ke WHO/HQ sebagai sentral database secara otomatis (electronic
reporting). Sedangkan bagi negara yang belum memiliki sistem monitoring
yang canggih, untuk membantu pengumpulan data kontaminan dalam pangan
ini maka dikembangkan OPAL (Operational Programs for Analytical
Laboratories). OPAL adalah suatu sistem informasi berbasis komputer yang
dikembangkan oleh WHO untuk membantu program GEMS/FOOD. Terdapat
dua komponen OPAL yakni OPAL I yang digunakan untuk data kontaminan
Tabel 4. Kategori pangan untuk pangan segar dan semi olahan menurut GEMS/FOOD Regional Diets
No. Komoditi
1. Serealia 2. Akar-akaran dan Umbi-umbian 3. Kacang-kacangan/Pulses 4. Gula dan Madu 5. Kacang-kacangan dan Minyak Biji-bijian 6. Minyak dan Lemak Nabati 7. Stimulan 8. Spices/Rempah-rempah 9. Sayur-sayuran 10. Ikan dan Seafood 11. Telur 12. Buah-buahan 13. Susu dan Produk Susu 14. Daging dan Jerohan 15. Minyak dan Lemak Hewani
Sumber: Diadaptasi dari WHO (2003b)
dalam pangan dan OPAL II yang digunakan untuk hasil TDS (Total Diet
Study) (WHO, 1999).
Data dalam bentuk database hasil olahan software OPAL tersebut akan
sangat berguna untuk mengkaji risiko kontaminan pangan bagi kesehatan
manusia. Database kontaminan GEMS/FOOD ini dapat diakses secara mudah
melalui internet yakni di Website WHO SIGHT (http://sight.who.int). Akan
tetapi untuk data yang bersifat rahasia tidak dipublikasikan tanpa seijin
submitter. Untuk kasus ini WHO SIGHT hanya akan menampilkan nama
negara, nama kontaminan dan jumlah data yang dimasukkan (WHO, 2003a).
F. GSFA (GENERAL STANDARD FOR FOOD ADDITIVES)
GSFA merupakan standar internasional untuk BTP. Ruang lingkup
GSFA meliputi kelompok BTP yang telah dievaluasi oleh JECFA,
penggunaan BTP yang diijinkan dalam setiap kategori pangan serta batas
maksimum penggunaan BTP dalam setiap kategori pangan. Untuk
mempermudah pengalokasian BTP ke dalam kategori pangan tertentu maka
dikembangkan sistem kategori pangan. Terdapat 16 kategori pangan yang ada
di GSFA. Di Indonesia kategori pangan yang digunakan mengacu pada
kategori pangan yang ada di GSFA, akan tetapi telah disesuaikan dengan
kondisi di Indonesia. Terdapat 16 kategori pangan di Indonesia yang belum
semuanya selesai dibahas (Tabel 5).
Uraian dalam tinjauan pustaka ini sangat penting terutama karena
database konsentrasi BTP dan kontaminan hasil monitoring sebagai penyedia
data dalam kajian risiko belum tersedia di Indonesia. Yang menjadi bahasan
utama adalah kelemahan database kontaminan dan BTP khususnya yang
berkaitan dengan kualitas data, sehingga kedepannya diharapkan kelemahan-
kelemahan tersebut bisa lebih diantisipasi. Kelemahan tersebut akan
diidentifikasi dalam penelitian ini, untuk selanjutnya dijadikan sebagai dasar
untuk membuat suatu rekomendasi. Dengan pendekatan serupa bisa dilakukan
pertukaran informasi dalam forum Jejaring Intelijen Pangan untuk berbagi
pengalaman antar stakeholder.
Tabel 5. Kategori pangan untuk pangan olahan menurut GSFA yang telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia
Kode Kategori Pangan
01.0 Produk-Produk Susu, Kecuali yang Termasuk Kategori 02.0 02.0 Lemak, Minyak, dan Emulsi Minyak (tipe emulsi air dalam minyak) 03.0 Edible Ices (Es yang dapat dimakan) 04.0 Buah-Buahan dan Sayuran (Termasuk Jamur, Umbi, Kacang-Kacangan Termasuk Kacang Kedelai, dan Lidah
Buaya), Rumput Laut, Biji-Bijian 05.0 Confectionery 06.0 Serealia dan Produk-Produk Serealia yang Merupakan Produk Turunan Dari Biji Serealia, Akar-Akaran dan
Umbi-Umbian, Kacang-Kacangan, Polong-Polongan dan Empulur (Bagian dalam Batang Tanaman), Selain Produk-Produk Bakeri Pada Kategori Pangan 07.0
07.0 Produk Bakeri 08.0 Daging dan olahan daging, termasuk daging unggas dan daging hewan buruan 09.0 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, (Kerang, Bekicot atau Siput Laut), Crustacea (Kepiting dan
Udang) dan Echinoderma (Teripang) 10.0 Telur dan Produk-produk Telur 11.0 Pemanis, Termasuk Madu 12.0 Garam, Rempah-Rempah, Sup, Saus, Salad, Produk-Produk Protein 13.0 Produk Pangan Untuk Keperluan Gizi Khusus 14.0 Minuman, Tidak Termasuk Produk Susu 15.0 Makanan Ringan Siap - Santap 16.0 Pangan komposit (pangan yang tidak termasuk kategori 1-15)
Sumber: Badan POM (2005d)
III. METODOLOGI A. WAKTU DAN TEMPAT
Penelitian ini merupakan tugas khusus yang diberikan dalam kegiatan
magang di Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan,
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Badan POM-RI) Jakarta. Kegiatan magang ini dimulai
pada bulan Februari sampai Juni 2005. Kegiatan pengumpulan data
kontaminan pangan dan BTP dilakukan di PPOMN (Pusat Pengujian Obat dan
Makanan Nasional) Badan POM RI.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai beberapa tahapan utama yaitu mempelajari elemen
data yang diperlukan dalam kajian paparan dengan pedoman GEMS/FOOD,
pengumpulan data konsentrasi kontaminan pangan dari data hasil pengujian tahun
1999-2004 dan BTP tahun 2004 yang telah dilakukan oleh Badan POM RI,
klasifikasi data berdasarkan kategori pangan tertentu dan jenis kontaminan serta
BTP tertentu menurut GEMS/FOOD untuk kontaminan pangan serta GSFA untuk
BTP dan pestisida, penggunaan software OPAL I untuk kontaminan pangan,
identifikasi masalah, dan rekomendasi (Gambar 4).
1. Mempelajari elemen data yang diperlukan dalam kajian paparan
dengan pedoman GEMS/FOOD
Pada tahap ini dilakukan studi pustaka mengenai elemen-elemen
yang diperlukan dalam kajian paparan dengan pedoman GEMS/FOOD.
2. Pengumpulan data konsentrasi kontaminan pangan dan BTP
Tahap awal yang dilakukan adalah komunikasi dengan pihak
PPOMN sebagai penyedia data kontaminan pangan dan BTP di Indonesia.
PPOMN merupakan laboratorium rujukan bagi 26 laboratorium
pengawasan obat dan makanan di seluruh Indonesia, telah diakreditasi
Gambar 4. Diagram alir metode penelitian
Penggunaan software OPAL I
Analisis keluaran software OPAL I
Mulai
Pengumpulan data kontaminan pangan
Pengumpulan data BTP
Klasifikasi data menurut GEMS/FOOD
Klasifikasi data menurut
GSFA
Dibandingkan dengan prioritas utama pangan dan kontaminan menurut GEMS/FOOD
Analisis kesenjangan
Rekomendasi
Selesai
Analisis data
Mempelajari elemen data yang diperlukan dalam kajian paparan dengan pedoman GEMS/FOOD
oleh Komite Akreditasi Nasional, Badan Standarisasi Nasional tahun 1999
serta merupakan WHO Collaborating Center sejak 1986 dan anggota
International Certification Scheme. Selanjutnya dokumen-dokumen hasil
pengujian setiap sampel dikumpulkan dalam bentuk database yang
sistematis. Data-data yang dimasukkan antara lain:
nama pangan,
jenis BTP dan kontaminan,
konsentrasi BTP dan kontaminan,
tempat dan tanggal sampling (jika ada),
LOD (Limit of Detection) jika ada,
LOQ (Limit of Quantification) jika ada,
tanggal pada saat dilakukan pengujian (jika ada),
negara asal sampel, jika produk yang diuji merupakan produk
impor, dan
negara dimana produk yang diuji tersebut dipasarkan.
3. Klasifikasi data Kontaminan dan BTP
Data yang telah terkumpul dalam bentuk database tersebut
kemudian diklasifikasikan berdasarkan kategori pangan tertentu serta jenis
kontaminan dan BTP tertentu. Jenis kontaminan dan residu pada pangan
segar mengikuti klasifikasi GEMS/FOOD, sedangkan jenis BTP dan
kontaminan pada pangan olahan mengikuti klasifikasi GSFA.
4. Pengolahan data BTP
Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel. Adapun langkah-
langkah pengolahan data sebagai berikut:
data dipisahkan untuk tiap kategori pangan dan BTP tertentu,
data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif dipisahkan, khusus data
kuantitatif dihitung nilai rata-rata (mean) dan nilai mediannya,
sedangkan data kualitatif, hasil pengujian yang ”positif” dan ”negatif”
dipisahkan serta dihitung jumlah total pengujiannya.
Untuk memudahkan dalam proses pengolahan data bagi analisis
selanjutnya, maka dikembangkan program access yang dilakukan oleh
Sub Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan,
Badan POM RI. Beberapa informasi yang diharapkan dapat diketahui
melalui program access ini antara lain jenis BTP yang telah dimonitor
di Indonesia, jumlah BTP yang dimonitor di tiap-tiap Balai/Balai Besar
POM, Jenis BTP pada tiap-tiap kelompok pangan yang telah dimonitor
di Indonesia, serta parameter statistik seperti mean, median, standar
deviasi dan percentile. Prosedur penggunaan program access ini dapat
dilihat pada Lampiran 3.
5. Penggunaan software OPAL I untuk kontaminan pangan
Data kontaminan yang telah terkumpul dimasukkan dalam
software OPAL I khususnya pada bagian individual measurement. Setelah
seluruh data dimasukkan dalam individual measurement, langkah
selanjutnya adalah ditransfer ke bagian aggregated data untuk mengetahui
beberapa parameter statistik diantaranya mean, median, standar deviasi
dan percentile. Langkah-langkah penggunaan software OPAL I dapat
dilihat pada Lampiran 4.
6. Identifikasi masalah dan rekomendasi
Masalah utama adalah kualitas data, baik data BTP maupun data
kontaminan pangan yang sebagian besar masih belum sesuai untuk
keperluan kajian risiko. Untuk kontaminan pangan dalam pangan segar,
keluaran dari software OPAL I dianalisis. Adanya gap antara data yang
ada dan elemen database penting yang digunakan dalam kajian paparan
dianalisis untuk dijadikan sebagai rekomendasi bagi sistem pengujian yang
selanjutnya. Hasil keluaran software OPAL I juga dibandingkan dengan
prioritas utama pangan dan kontaminan menurut GEMS/FOOD (Lampiran
5) sehingga gap yang ada juga dapat dijadikan sebagai rekomendasi bagi
sistem pengujian selanjutnya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DATABASE KONSENTRASI BTP HASIL MONITORING BADAN
POM RI
1. Database BTP
Database konsentrasi BTP telah disusun dari hasil monitoring
keamanan pangan yang dilakukan oleh Balai/Balai Besar POM di seluruh
Indonesia, serta terlaporkan pada Pusat Pengujian Obat dan Makanan
Nasional (PPOMN), Badan POM RI. Berdasarkan hasil monitoring BTP
selama tahun 2004 oleh 21 Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia,
terdapat 17,065 data dengan rincian sebanyak 14,010 data merupakan data
aditif yang dilegalkan untuk pangan (BTP) dan sebanyak 3,055 data
merupakan data aditif ilegal. Sebagian besar data masih berupa data
kualitatif sehingga tidak dapat digunakan untuk menyediakan data
konsentrasi yang penting dalam kajian paparan. Profil jumlah sampel
yang diuji untuk tiap-tiap Balai/Balai Besar POM dapat dilihat pada
Gambar 5, sedangkan profil jumlah parameternya disajikan pada Gambar
6.
Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah sampel yang diambil oleh
setiap Balai/Balai Besar POM bervariasi, dengan kisaran jumlah terbesar
483 sampel berasal dari Banjarmasin dan jumlah terkecil 45 sampel
berasal dari Padang. Sedangkan Gambar 6 menunjukkan bervariasinya
jumlah parameter yang diuji di setiap Balai/Balai Besar POM, jumlah
parameter terbesar berasal dari Yogyakarta (2012 parameter) dan jumlah
parameter terkecil berasal dari Padang (94 parameter). Dari 26 Balai/Balai
Besar POM yang ada di Indonesia, hanya 21 Balai/Balai Besar POM yang
datanya tersedia. Hal ini kemungkinan disebabkan pada saat penelitian ini
dilakukan (Februari-Juni 2005), laporan dari 5 Balai/Balai Besar POM
belum dikirimkan ke PPOMN.
0
100
200
300
400
500
600
Yogyak
arta
Semara
ngMed
anPeka
nbaru
Jambi
Surabay
aSam
arind
aPada
ngPon
tianak
Ambon
Kupang
Denpasa
rMata
ramBan
jarmasi
n
Palang
karaya
Jayapu
raMak
assar
Kendari
Palemban
gDKI
Lampu
ng
Balai/Balai Besar POM
Jum
lah
Sam
pel
Sumber: Data diolah dari PPOMN tahun 2004
Gambar 5. Profil jumlah sampel mengandung BTP yang diuji pada masing-masing Balai/Balai Besar POM
0
500
1000
1500
2000
2500
Yogyak
arta
Semara
ngMeda
nPeka
nbaru
Jambi
Surabay
aSam
arind
aPada
ngPon
tianak
Ambon
Kupang
Denpasa
rMata
ramBanj
armasi
nPala
ngkar
ayaJay
apura
Makassa
rKend
ariPale
mbang
DKILam
pung
Balai/Balai Besar POM
Jum
lah
Para
met
er
Sumber: Data diolah dari PPOMN tahun 2004
Gambar 6. Profil jumlah parameter BTP yang diuji pada masing-masing Balai/Balai Besar POM
a. Jenis BTP yang dimonitor di Indonesia
Dari 14,010 data hasil monitoring terhadap BTP, sebanyak
6,372 data merupakan hasil pengujian terhadap parameter pemanis
buatan (45.48%), 3,442 data merupakan hasil pengujian terhadap
parameter pengawet (24.57%), dan 4,196 data merupakan hasil
pengujian terhadap parameter pewarna (29.95%). Masing-masing jenis
parameter (pemanis buatan, pengawet, dan pewarna) yang dimonitor di
Indonesia serta jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6, dari 26 jenis pengawet yang diijinkan
berdasarkan Permenkes RI No 722/Menkes/Per/IX/1988, yang
dimonitor baru jenis benzoat dan sorbat. Bahan pangan yang paling
sering dimonitor adalah kecap manis kedelai, saus cabai dan saus
tomat (kelompok pangan kategori 12.0) dan sirup berperisa (kelompok
pangan kategori 14.0). Jumlah parameter yang diuji untuk tiap-tiap
kategori pangan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2.
Hal yang sama pada pemanis buatan. Peraturan yang masih
berlaku tentang penggunaan pemanis buatan pada saat kegiatan
monitoring selama tahun 2004 adalah Permenkes RI No
722/Menkes/Per/IX/1988. Dalam peraturan tersebut terdapat empat
jenis pemanis buatan yang diijinkan dalam pangan yakni sakarin,
siklamat, aspartam, dan sorbitol. Sedangkan yang dimonitor di
Indonesia adalah sakarin, siklamat dan aspartam. Batas maksimum
penggunaan aspartam dalam Permenkes RI No
722/Menkes/Per/IX/1988 tersebut adalah hanya dalam bentuk sediaan.
Pada akhir tahun 2004, peraturan tersebut diperbaharui dengan
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor: HK. 00.05.5.1.4547 tentang persyaratan
penggunaan BTP pemanis buatan dalam produk pangan. Dalam
peraturan ini terdapat 13 jenis pemanis buatan yang diijinkan untuk
ditambahkan dalam produk pangan dengan batas maksimum
penggunaan untuk tiap-tiap jenis pemanis buatan nilainya
terkuantifikasi. Hal ini menjadi tantangan bagi kegiatan monitoring
Tabel 6. BTP yang diijinkan dan program monitoring di Indonesia No. Jenis BTP* Parameter yang diuji Jumlah parameter
yang diuji 1. Antioksidan 12 jenis antioksidan x - 2. Antikempal 11 jenis antikempal x - 3. Pengatur Keasaman 53 jenis pengatur keasaman x -
a. Alitam x - b. Asesulfam-K x - c. Aspartam √ 29 d. Isomalt x - e. Laktitol x - f. Maltitol x - g. Manitol x - h. Neotam x - i. Sakarin √ 2,672 j. Siklamat √ 3,671 k. Silitol x - l. Sorbitol x -
4. Pemanis Buatan
m. Sukralosa x - 5. Pemutih dan Pematang Tepung 8 jenis pemutih dan pematang tepung x - 6. Pengemulsi, Pemantap, Pengental 88 jenis pengemulsi, pemantap, pengental x -
a. Benzoat§ √ 2,258 b. SorbatΦ √ 1,184 c. Asam propionat x - d. Belerang dioksida x - e. Etil p- hidroksi benzoat x - f. Kalium bisulfit x - g. Kalium metabisulfit x -
7. Pengawet
h. Kalium nitrat x -
Tabel 6. BTP yang diijinkan dan program monitoring di Indonesia (lanjutan) No. Jenis BTP* Parameter yang diuji Jumlah parameter
yang diuji 7. Pengawet i. Kalium nitrit x - j. Kalium propionat x - k. Kalium sulfit x - l. Kalsium benzoat x - m. Kalsium propionat x - n. Kalsium sorbat x - o. Metil p- hidroksi benzoat x - p. Natrium bisulfit x - q. Natrium metabisulfit x - r. Natrium nitrat x - s. Natrium nitrit x - t. Natrium propionat x - u. Natrium sulfit x - v. Nisin x - w. Propil p-hidroksi benzoat x - 8. Pengeras 11 jenis pengeras x -
Pewarna alami a. Annato √ 1 b. Beta-Apo-8’-karotenat x - c. Etil Beta-Apo-8’-karotenoat x - d. Kantasantin x - e. Karamel,amonia sulfit x - f. Karamel x - g. Karmin x -
9. Pewarna
h. Beta karoten x -
Tabel 6. BTP yang diijinkan dan program monitoring di Indonesia (lanjutan) No. Jenis BTP* Parameter yang
diuji Jumlah parameter
yang diuji i. Klorofil x - j. Klorofil tembaga kompleks x - k. Kurkumin x - l. Riboflavin x - m. Titanium dioksida x -
Pewarna sintetik a. Brilliant Blue √ 540 b. Brown HT √ 25 c. Erytrosin √ 91 d. Hijau FCF x - e. Hijau S x - f. Indigo carmin √ 3 g. Carmoisin √ 483 h. Sunset Yellow √ 823 i. Quinolin Yellow √ 4 j. Allura Red √ 133 k. Ponceau 4R √ 591
9. Pewarna
l. Tartrazin √ 1,502 10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa 79 jenis penyedap rasa dan aroma, penguat rasa x - 11. Sekuestran 23 jenis sekuestran x -
JUMLAH TOTAL 14,010 Sumber: Diolah dan diadaptasi dari PPOMN.
* Jenis BTP berdasarkan Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988, kecuali pemanis buatan yang didasarkan pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK. 00.05.5.1.4547.
Keterangan: √ dimonitor, x tidak dimonitor § kalium benzoat, natrium benzoat, dan asam benzoat; Φ asam sorbat dan kalium sorbat
selanjutnya yakni bagaimana bisa melakukan monitoring secara lebih
ketat lagi dan data-data yang dibutuhkan harus bersifat kuantitatif
sehingga data-data yang ada nantinya bisa digunakan untuk kajian
risiko. Sedangkan untuk pewarna, hampir semua pewarna yang
diijinkan berdasarkan Permenkes RI No 722/Menkes/Per/IX/1988
telah dimonitor di Indonesia, akan tetapi data yang ada kebanyakan
masih bersifat kualitatif. Jumlah parameter yang diuji untuk tiap-tiap
kategori pangan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Berdasarkan hasil monitoring terhadap BTP, terdapat 184 hasil
pengujian terhadap parameter BTP yang dinyatakan melebihi batas
konsentrasi yang diijinkan. BTP tersebut antara lain benzoat, sorbat,
sakarin dan siklamat. Profil hasil monitoring dapat dilihat pada
Gambar 7, sedangkan kelompok pangan yang mengandung BTP
melebihi batas konsentrasi yang diijinkan dapat dilihat pada Tabel 7.
Sumber: Data diolah dari PPOMN tahun 2004
Gambar 7. Profil persentase aditif legal yang dimonitor di Indonesia
Berdasarkan Tabel 7, penggunaan benzoat yang melebihi batas
konsentrasi yang diijinkan (>1000mg/kg) banyak ditemukan pada
data kuantitatif 13,03%
data kualitatif 86,97%
mengandung BTP melebihi batas yang diijinkan
1,32%
mengandung BTP dalam batas yang diijinkan
11,71%
N = 14010
Tabel 7. Penggunaan pengawet dan pemanis dari data kuantitatif yang melebihi batas konsentrasi yang diijinkan Kuantitatif (mg/kg) Jenis BTP Kelompok Pangan Nama Pangan
Σ Mean Median* Buah Kering 3 1,054.31 (350.69-2448.22) Jem atau Selai 78 1,855.30 727.10 Geplak 2 1,297.30 (1,272.02-1,322.57)
Kategori 04.0
Manisan buah 9 1,435.39 1,273.76 Kategori 06.0 Kue Berbahan Dasar Beras Lainnya 7 3,065.04 2,438.31
Benzoat
Kategori 14.0 Sari buah markisa 8 1,499.23 1,279.40 Kategori 06.0 Kue Berbahan Dasar Beras Lainnya 4 1,140.79 1,469.61 Sorbat Kategori 07.0 Keik 5 1,552.23 1,537.00
Kecap manis kedelai 8 653.93 184.54 Kategori 12.0 Saus Tomat 17 621.86 544.14 Sari buah markisa 2 397.49 (351.35-443.63)
Sakarin
Kategori 14.0 Minuman squash 14 334.18 290.01 Sirup Berperisa 19 3,430.10 3,167.28 Siklamat Kategori 14.0 Serbuk minuman berperisa 8 4,836.66 1,275.90
Sumber: Diolah dari PPOMN tahun 2004 Keterangan: * Median adalah nilai tengah data, kecuali angka dalam kurung menunjukkan kisaran data terendah dan tertinggi Kategori 04.0 : buah-buahan dan sayuran (termasuk jamur, umbi, kacang-kacangan termasuk kacang kedelai dan lidah
buaya), rumput laut, biji-bijian Kategori 06.0 : serealia dan produk-produk serealia yang merupakan produk turunan dari biji serealia, akar-akaran dan umbi-
umbian, kacang-kacangan, polong-polongan dan empulur (bagian dalam batang tanaman), selain produk-produk bakeri pada kategori 07.0
Kategori 07.0 : produk bakeri Kategori 12.0 : garam, rempah-rempah, sup, saus, salad, produk-produk protein Kategori 14.0 : minuman, tidak termasuk produk susu
bahan pangan buah kering, jem atau selai, geplak, dan manisan buah
(kelompok pangan kategori 04.0); kue berbahan dasar beras lainnya
(kelompok pangan kategori 06.0); dan sari buah markisa (kelompok
pangan kategori 04.0). Sedangkan penggunaan sorbat yang melebihi
batas konsentrasi yang diijinkan (>1000mg/kg) banyak ditemukan
pada bahan pangan kue berbahan dasar beras lainnya (kelompok
pangan kategori 06.0); dan keik (kelompok pangan kategori 07.0).
Hal yang sama terjadi pada penggunaan sakarin dalam produk
kecap manis kedelai, saus tomat (kelompok pangan kategori 12.0); dan
sari buah markisa, minuman squash (kelompok pangan kategori 14.0)
yang melebihi batas konsentrasi yang diijinkan (>300mg/kg). Dan
terakhir adalah penggunaan siklamat pada produk sirup berperisa dan
serbuk minuman berperisa (kelompok pangan kategori 14.0) yang juga
melebihi batas konsentrasi yang diijinkan (>3000mg/kg).
Perlu penelitian lebih lanjut apakah penyimpangan atau
penyalahgunaan BTP ini disebabkan oleh ketidaktahuan atau
ketidakpedulian produsen pangan mengenai keamanan BTP. Menurut
Rahayu et al. (2003), penyebab utama penyimpangan dalam hal
penggunaan BTP tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan produsen
pangan, baik mengenai sifat-sifat maupun keamanan BTP. Karena
pengaruh BTP terhadap kesehatan umumnya tidak langsung dapat
dirasakan atau dilihat, maka produsen seringkali tidak menyadari
bahaya penggunaan BTP yang tidak sesuai dengan peraturan.
Keterlibatan pemerintah dalam mengawasi penggunaan BTP
dicerminkan dalam peraturan pemerintah. Akan tetapi peraturan
tersebut belum didasarkan pada prinsip kajian risiko karena penetapan
batas maksimum yang diijinkan belum berdasarkan data konsumsi
masyarakat Indonesia. Selama ini peraturan-peraturan tersebut masih
mengadopsi standar yang ada di luar negeri. Padahal konsumsi
masyarakat Indonesia dengan masyarakat negara lain jelas berbeda
(Sparringa, personal communication. 2005).
b. Jenis aditif ilegal yang dimonitor di Indonesia
Aditif ilegal masih banyak digunakan pada sejumlah pangan di
Indonesia. Berdasarkan hasil monitoring, terdapat 3055 data parameter
uji yang diduga mengandung aditif ilegal dan sebanyak 508 data
parameter uji dinyatakan positif mengandung aditif ilegal (Gambar 8).
Aditif ilegal tersebut diantaranya boraks (189 sampel), formalin (88
sampel), rhodamin B (209 sampel) dan metanil yellow (22 sampel).
Data-data tersebut umumnya bersifat kualitatif.
Boraks
N = 17065
Sumber: Data diolah dari PPOMN tahun 2004
Gambar 8. Profil persentase aditif ilegal yang dimonitor di Indonesia
Boraks
Hasil analisis terhadap parameter boraks menunjukkan
bahwa dari 1771 sampel yang diduga mengandung boraks,
sebanyak 189 sampel positif mengandung boraks. Bahan pangan
yang positif mengandung boraks tersebut antara lain mie basah
mentah, mie kering gandum, sohun, tepung bumbu, tahu
(kelompok pangan kategori 06.0); dendeng, bakso sapi, bakso
ayam (kelompok pangan kategori 08.0); bakso ikan dan empek-
Aditif legal 82,10%
mengandung aditif ilegal 2,98%
diduga mengandung aditif Ilegal
17,90%
Tidak mengandung aditif ilegal
14,92%
empek (kelompok pangan kategori 09.0); serta keripik kentang,
kerupuk tempe goreng, kerupuk beras, kerupuk puli, kerupuk
kerak, kerupuk intip, kerupuk ikan dan kerupuk udang (kelompok
pangan kategori 15.0). Jumlah sampel yang diuji untuk tiap-tiap
bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 8.
Boraks paling banyak digunakan pada makanan ringan siap
santap seperti kerupuk. Hal ini berhubungan dengan fungsi boraks
untuk memperbaiki tekstur dan kerenyahan produk tersebut.
Produk kedua yang paling banyak menggunakan boraks adalah
serealia dan produk-produk serealia sebagai contoh mie basah.
Sedangkan daging dan produk olahannya, khususnya bakso
merupakan produk ketiga yang paling banyak menggunakan
boraks. Tujuan penggunaan boraks pada kedua jenis produk
tersebut adalah untuk mengawetkan serta membentuk tekstur yang
bagus dan kenyal. Hal ini sangat tidak dibenarkan karena boraks
merupakan bahan kimia bersifat karsinogenik yang efeknya
terhadap kesehatan tidak langsung dapat dirasakan setelah
mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan kimia tersebut,
sehingga produsen seringkali tidak menyadari bahkan tidak peduli
akan bahaya penggunaan boraks (Rahayu et al., 2003; Malik, 2004;
Anonimb, 2006). Produsen di Indonesia terutama produsen
golongan menengah ke bawah masih banyak yang menggunakan
boraks ini mengingat harganya yang relatif murah dan sangat
mudah untuk mendapatkannya. Di samping itu karena pengetahuan
mereka yang masih terbatas mengenai sifat-sifat dan keamanan
BTP.
Formalin
Formalin masih sering ditemukan pada sejumlah produk
pangan di Indonesia. Dari hasil analisis terhadap 500 sampel yang
diduga mengandung formalin, 88 sampel diantaranya dinyatakan
positif mengandung bahan kimia ini. Bahan pangan yang
memberikan kontribusi besar terhadap keberadaan formalin
Tabel 8. Penggunaan boraks pada sejumlah produk pangan hasil monitoring selama tahun 2004
Kualitatif Kuantitatif (mg/kg) Jenis Aditif Ilegal
Kelompok Pangan
Nama Pangan Σ Negatif Positif Σ Mean Median
Mi basah mentah 128 78 50 7 1,140.31 1,239.99 Mi kering gandum 86 85 1 Sohun 12 11 1 Tepung Bumbu 34 32 2
Kategori 06.0
Tahu 35 32 3 Dendeng 2 1 1 1 59.51 Bakso sapi 202 185 17
Kategori 08.0
Bakso ayam 13 12 1 Bakso Ikan 27 23 4 Kategori 09.0 Empek-Empek 70 69 1 Keripik kentang 6 5 1 Keripik tempe goreng 11 9 2 Kerupuk beras 187 154 33 1 255.61 Kerupuk puli 27 16 11 Kerupuk kerak 2 0 2 Kerupuk intip 3 1 2 1 357.61 Kerupuk Ikan 173 140 33
Boraks
Kategori 15.0
Kerupuk Udang 168 155 13 Sumber: Diolah dari PPOMN Keterangan: Data kualitatif dan kuantitatif diolah dari data pengujian yang berbeda Kategori 06.0 : serealia dan produk-produk serealia yang merupakan produk turunan dari biji serealia, akar-akaran dan umbi- umbian, kacang-kacangan, polong-polongan dan empulur (bagian dalam batang tanaman), selain produk-produk bakeri pada kategori 07.0 Kategori 08.0 : daging dan olahan daging, termasuk daging unggas dan daging hewan buruan Kategori 09.0 : ikan dan produk perikanan termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma Kategori 15.0 : makanan ringan siap santap
diantaranya adalah mie basah mentah, kuetiaw kering, mi kering
gandum dan tahu (kelompok pangan kategori 06.0); serta bakso
ikan, ikan asap, dan ikan asin kering (kelompok pangan kategori
09.0). Jumlah sampel yang diuji untuk tiap-tiap bahan pangan
dapat dilihat pada Tabel 9.
Produk serealia seperti mie basah, merupakan produk
pangan yang paling banyak menggunakan formalin. Ini didasarkan
pada tujuan penggunaannya yaitu untuk mengawetkan mie basah
dan mempertahankan kadar air mie sehingga mie tidak mudah
kering. Hal tersebut dapat menguntungkan produsen dan pedagang
karena rendemen (berat) mie tetap tinggi. Formalin juga masih
banyak digunakan dalam produk ikan seperti ikan asin kering.
Formalin ini digunakan karena dapat mempercepat proses
pengeringan dengan rendemen ikan kering yang lebih besar.
Semula para pengolah hanya memakai garam sebagai pengawet
yang kemudian dijemur. Dengan proses penggaraman dan
penjemuran, rendemen yang tersisa kurang dari separuh. Bila
bahan bakunya seratus kilogram saat masih basah, setelah menjadi
ikan asin tinggal 40 persen atau 40 kg. Kehilangan 60 kg itu sangat
merugikan karena harga jual menggunakan satuan kilogram. Jika
memakai formalin, rendemen bisa mencapai 75 persen. Selisih 35
persen itu yang diharapkan para pengolah (Anonima, 2005). Akan
tetapi hal tersebut tidak dibenarkan (dilarang keras) karena
formalin merupakan bahan karsinogenik yang dapat
membahayakan kesehatan manusia. Efek dari penggunaan bahan
kimia ini bersifat kronis (menahun) sehingga tidak serta merta
menyebabkan konsumen sakit (Rahayu et al., 2003; WHO, 2005b;
Maulany, 2005).
Rhodamin B dan Metanil Yellow
Hasil monitoring terhadap sejumlah produk pangan yang
diduga mengandung rhodamin B menunjukkan bahwa dari 433
sampel yang diuji, sebanyak 209 sampel dinyatakan positif
Tabel 9. Penggunaan formalin pada sejumlah produk pangan hasil monitoring selama tahun 2004
Kualitatif Kuantitatif (mg/kg) Jenis Aditif Ilegal
Kelompok Pangan
Nama Pangan Σ Negatif Positif Σ Mean Median
Mi basah mentah 122 64 58 1 1,742.28 Kuetiaw kering 5 4 1 Mi kering gandum 16 11 5
Kategori 06.0
Tahu 105 92 13 Bakso ikan 12 7 5 Ikan asap 2 1 1
Formalin
Kategori 09.0
Ikan asin kering 11 6 5 Sumber: Diolah dari PPOMN Keterangan: Data kualitatif dan kuantitatif diolah dari data pengujian yang berbeda Kategori 06.0 : serealia dan produk-produk serealia yang merupakan produk turunan dari biji serealia, akar-akaran dan umbi- umbian, kacang-kacangan, polong-polongan dan empulur (bagian dalam batang tanaman), selain produk-produk bakeri pada kategori 07.0 Kategori 09.0 : ikan dan produk perikanan termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma
mengandung rhodamin B. Pangan yang umumnya memberikan
kontribusi terbesar adalah terasi udang (kelompok pangan kategori
09.0). Bahan pangan lain yang diketahui mengandung rhodamin B
antara lain es mambo (kelompok pangan kategori 03.0);
dodol/lempok buah, geplak, dan manisan buah (kelompok pangan
kategori 04.0); kembang gula keras dan gulali (kelompok pangan
kategori 05.0); tepung hunkwe, mie basah mentah, dodol, wajik
(kelompok pangan kategori 06.0); roti dan bun kukus, bakpao,
apem, bolu kukus, kue lapis, dan roti manis (kelompok pangan
kategori 07.0); minuman berperisa dan sirup berperisa (kelompok
pangan kategori 14.0); simping, kerupuk beras, rengginang, snack,
kelanting, jipang kacang tanah, kerupuk ikan, dan kerupuk udang
(kelompok pangan kategori 15.0); serta es siap saji dan cendol
(kelompok pangan kategori 16.0). Jumlah sampel yang diuji untuk
tiap-tiap bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 10.
Seperti halnya rhodamin B, metanil yellow juga masih
sering diaplikasikan pada sejumlah produk pangan di Indonesia.
Hasil analisis terhadap parameter metanil yellow menunjukkan
bahwa dari 115 sampel yang diduga mengandung metanil yellow,
sebanyak 22 sampel positif mengandung metanil yellow. Bahan
pangan yang terbukti mengandung metanil yellow diantaranya
adalah keripik pisang (kelompok pangan kategori 04.0); kerupuk
beras, rengginang, snack, kerupuk ikan, dan kerupuk udang
(kelompok pangan kategori 15.0), serta pisang goreng (kelompok
pangan kategori 16.0). Jumlah sampel yang diuji untuk tiap-tiap
bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 11.
Rhodamin B paling banyak ditemukan pada produk ikan
dan olahannya khususnya pada produk terasi udang. Sedangkan
metanil yellow banyak diaplikasikan pada produk makanan ringan
siap santap. Alasan utama produsen menggunakan kedua pewarna
ini adalah karena menghasilkan warna yang lebih cerah dan tidak
mudah pudar sehingga bisa menarik minat konsumen. Hal ini
Tabel 10. Penggunaan Rhodamin B pada sejumlah produk pangan hasil monitoring selama tahun 2004
Kualitatif Jenis Aditif Ilegal
Kelompok Pangan Nama Pangan Σ Negatif Positif
Kategori 03.0 Es mambo* 1 0 1 Dodol atau Lempok Buah 3 0 3 Geplak 7 0 7 Manisan Buah 4 0 4
Kategori 04.0
Kembang gula keras* 4 2 2 Gulali* 5 3 2 Kategori 05.0 Tepung hunkwee 2 1 1 Mi basah mentah 2 0 2 Dodol 1 0 1
Kategori 06.0
Wajik 9 0 9 Roti dan Bun Kukus 7 0 7 Bakpao 2 1 1 Apem 5 0 5 Bolu Kukus 1 0 1 Kue lapis 7 0 7
Kategori 07.0
Roti Manis 10 1 9 Kategori 09.0 Terasi Udang 108 45 63 Kategori 14.0 Sirup Berperisa 7 1 6
Simping* 1 0 1 Kerupuk beras* 52 17 35 Rengginang/ekivalen* 5 0 5 Snack* 2 1 1
Rhodamin B
Kategori 15.0
Kelanting* 6 0 6
Tabel 10. Penggunaan Rhodamin B pada sejumlah produk pangan hasil monitoring selama tahun 2004 (lanjutan)
Kualitatif Jenis Aditif Ilegal
Kelompok Pangan Nama Pangan Σ Negatif Positif
Jipang kacang tanah* 1 0 1 Kerupuk Ikan* 29 24 5
Kategori 15.0
Kerupuk Udang* 9 6 3 Es siap saji* 18 0 18
Rhodamin B
Kategori 16.0 Cendol* 3 0 3
Sumber: Diolah dari PPOMN Keterangan: * Kelompok pangan belum dibahas oleh Direktorat Standarisasi Produk Pangan (masih dalam bentuk draft) Kategori 03.0 : es yang dapat dimakan Kategori 04.0 : buah-buahan dan sayuran (termasuk jamur, umbi, kacang-kacangan termasuk kacang kedelai dan lidah buaya), rumput laut, biji-bijian Kategori 05.0 : confectionery Kategori 06.0 : serealia dan produk-produk serealia yang merupakan produk turunan dari biji serealia, akar-akaran dan umbi-umbian,
kacang-kacangan, polong-polongan dan empulur (bagian dalam batang tanaman), selain produk-produk bakeri pada kategori 07.0
Kategori 07.0 : produk bakeri Kategori 09.0 : ikan dan produk perikanan termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma Kategori 14.0 : minuman, tidak termasuk produk susu Kategori 15.0 : makanan ringan siap santap Kategori 16.0 : pangan komposit dan pangan yang tidak termasuk kategori 01-15
Tabel 11. Penggunaan metanil yellow pada sejumlah produk pangan hasil monitoring selama tahun 2004
Kualitatif Jenis Aditif ilegal Kelompok Pangan Nama Pangan Σ negatif positif
Kategori 04.0 Keripik pisang 1 0 1 Kerupuk beras* 19 6 13 Rengginang/ekivalen* 2 0 2
Kategori 15.0
Kerupuk Ikan* 5 0 5
Metanil Yellow
Kategori 16.0 Pisang goreng 1 0 1 Sumber: Diolah dari PPOMN Keterangan: * Kelompok pangan belum dibahas oleh Direktorat Standarisasi Produk Pangan (masih dalam bentuk draft) Kategori 04.0 : buah-buahan dan sayuran (termasuk jamur, umbi, kacang-kacangan termasuk kacang kedelai dan lidah buaya), rumput laut, biji-bijian Kategori 15.0 : makanan ringan siap santap Kategori 16.0 : pangan komposit dan pangan yang tidak termasuk kategori 01-15
mengingat warna sangat besar pengaruhnya terhadap persepsi
konsumen. Terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa warna
menentukan kualitas suatu produk pangan dan hal ini dimanfaatkan
para produsen pangan tanpa mempedulikan efeknya terhadap
kesehatan (Tjahjadi, 1986). Kedua pewarna ini telah dibuktikan
dapat menyebabkan kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat
langsung setelah mengkonsumsi, oleh karena itu dilarang
digunakan dalam pangan walaupun dalam jumlah sedikit (Rahayu
et al., 2003). Harga yang relatif murah dan kemudahan untuk
memperolehnya juga menjadi pertimbangan produsen untuk
menggunakan pewarna ini.
Badan POM RI sebagai leading sector dalam keamanan pangan
bersama dengan stakeholder lainnya bertanggung jawab untuk terus
meningkatkan pengawasan terhadap kelompok pangan yang telah
terbukti mengandung aditif ilegal. Beberapa strategi yang sedang
dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan
Bahan Berbahaya, Badan POM adalah peningkatan kerjasama dengan
instansi terkait lainnya untuk melaksanakan pengawasan keamanan
pangan, peningkatan pengawasan keamanan pangan dengan tindakan
preventif, peningkatan kesadaran akan pentingnya keamanan pangan
terhadap masyarakat, dan peningkatan tindakan hukum bagi mereka
yang melanggar peraturan perundang-undangan terutama mengenai
keamanan pangan.
2. Kualitas Data BTP
Masalah utama berkaitan dengan data BTP ini adalah kualitas data
yang tersedia masih sulit untuk dianalisis dengan pendekatan kajian risiko
yang diawali dengan identifikasi bahaya hingga karakterisasi risiko.
Beberapa kelemahan yang teridentifikasi diantaranya adalah data-data
yang ada umumnya masih bersifat kualitatif. Data yang bersifat kualitatif
hanya bisa digunakan untuk pendekatan identifikasi bahaya dalam rangka
pengawasan pangan untuk penegakan hukum (law enforcement),
sedangkan untuk pendekatan kajian paparan dibutuhkan data yang bersifat
kuantitatif (Sparringa, personal communication. 2006). Kelemahan kedua
adalah parameter analisis yang penting seperti nilai LOD dan LOQ tidak
dicantumkan dalam laporan pengujian. Kedua nilai ini sangat penting
untuk membuat asumsi hasil analisis yang kualitatif, misalnya hasil
pengujian yang menunjukkan nilai ”tidak terdeteksi”. Hasil analisis ”tidak
terdeteksi” bukan berarti dalam sampel benar-benar tidak terdapat BTP,
bisa saja karena nilainya yang terlalu kecil sehingga tidak dapat dideteksi
oleh alat yang digunakan dalam pengujian. Tanpa kedua nilai ini akan sulit
memperkirakan rata-rata konsentrasi BTP dalam suatu produk pangan.
Masalah lain berkaitan dengan kualitas data BTP yang telah
terkumpul adalah masalah sampling yang masih belum seragam antar
Balai/Balai Besar POM yang ada di Indonesia. Hal ini salah satunya
ditunjukkan dengan tidak tercantumnya tempat dan tanggal sampling pada
hasil pengujian di sebagian Balai/Balai Besar POM. Jumlah sampel yang
dianalisis pada setiap bahan pangan sebagian besar masih belum cukup
untuk menjamin validitas data, bahkan ada yang hanya menggunakan satu
sampel saja sehingga menyulitkan dalam penentuan parameter statistik
khususnya nilai percentile (WHO, 2000a). Dan yang terakhir adalah
pelaksanaan survei dalam rangka monitoring terhadap BTP belum
mempertimbangkan kerangka sampel. Hal ini ditunjukkan dengan masih
belum seragamnya obyek yang disurvei di setiap Balai/Balai Besar POM.
Tindak lanjut monitoring dapat diarahkan pada program surveilan
yang akan dilakukan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan Badan POM RI yang bekerjasama dengan unit terkait untuk
mengetahui karakteristik risiko secara lebih komprehensif serta sebagai
bahan pengambilan kebijakan selanjutnya dengan pendekatan analisis
risiko. Badan POM saat ini mempunyai mekanisme surveilan dan tindak
lanjutnya, namun belum diujicobakan. Salah satu elemen penting adalah
perlu protokol survei yang memuat panduan berisi latar belakang survei;
tujuan survei; keluaran dan manfaat; penetapan populasi survei;
identifikasi kerangka sampel; alat/tools, metode pengambilan sampel dan
penentuan besarnya sampel; penanganan sampel; preparasi sampel;
analisis sampel; serta manajemen survei, sehingga kedepannya data yang
terkumpul dari seluruh Balai/Balai Besar POM dapat diintegrasikan untuk
selanjutnya dianalisis. Hasil analisis akan sangat berguna untuk
menentukan tindak lanjut dari permasalahan yang ada. Kegiatan tindak
lanjut tersebut dapat berupa kegiatan inspeksi, public warning atau law
enforcement (tindakan pengawasan dalam rangka penegakan hukum) dan
kegiatan ini biasanya dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi
Pangan, sedangkan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan sendiri akan melakukan promosi keamanan pangan sebagai tidak
lanjut hasil kajian risiko, sehingga program ini akan terus berkelanjutan
dan ada interaksi antar kegiatan kajian risiko, manajemen risiko dan
komunikasi risiko dalam proses analisis risiko yang utuh (Badan POM,
2005c).
Di Indonesia juga belum ada prioritas pangan dan BTP untuk
monitoring keamanan pangan sehingga hasil pengujian selama ini masih
bersifat acak dan masih terfokus pada pangan dan BTP yang sama dari
tahun ke tahun tanpa diikuti intervensi yang sistematis. Padahal jika dilihat
di GSFA yang telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, masih
banyak pangan mengandung BTP yang belum dilakukan monitoring.
Pelaksanaan kegiatan monitoring harus mempunyai prioritas. Hal ini
didasarkan atas pertimbangan biaya, waktu dan tenaga (Sparringa, 2002).
Untuk menentukan prioritas tersebut maka terlebih dahulu dilakukan
penyaringan atau seleksi asupan diet melalui metode budget. Dengan
seleksi menggunakan metode budget ini, BTP yang dimonitor nantinya
adalah BTP yang memang memerlukan informasi lebih rinci melalui
kajian paparan (WHO, 2001; Sparringa, et al., 2004).
B. DATABASE KONSENTRASI KONTAMINAN PANGAN HASIL
MONITORING BADAN POM RI
1. Database Kontaminan Pangan
Data konsentrasi kontaminan pangan telah dihimpun dalam bentuk
database. Database tersebut belum bersifat komprehensif karena hasil
pengujian dalam rangka monitoring kontaminan pangan yang ada selama
ini umumnya dikumpulkan dari pihak yang ingin menguji produknya ke
Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN). Idealnya data
hasil monitoring dikumpulkan berdasarkan kegiatan sampling dan
pemilihan metode sampling akan memegang peranan penting dalam hal
menentukan representasi data. Pemilihan metode sampling tentunya harus
didasarkan pada tujuan monitoring yang akan dilakukan. Jika kegiatan
monitoring dilakukan dalam rangka penegakan hukum (law enforcement)
maka tidak perlu menggunakan metode sampling secara acak. Akan tetapi
jika kegiatan monitoring tersebut ditujukan untuk keperluan kajian
paparan maka data harus bersifat representatif yang artinya mewakili
karakteristik populasi, dan hal ini bisa diperoleh dengan menerapkan
metode sampling secara acak. Selain itu jumlah sampel yang diambil harus
cukup untuk menjamin validitas data, serta parameter-parameter analisis
penting seperti nilai LOD dan LOQ harus dicantumkan secara jelas dalam
laporan pengujian (WHO, 2000a; Badan POM, 2005b; Badan POM,
2005c).
Nampaknya Badan POM RI hanya melakukan monitoring terhadap
aflatoksin, sedangkan monitoring terhadap kontaminan lainnya masih
melibatkan pihak ketiga yakni perusahaan yang ingin mengujikan
produknya ke PPOMN. Berdasarkan hasil analisis terhadap parameter
kontaminan pangan dari tahun 1999-2004, terdapat 927 data parameter
kontaminan pada pangan segar dan pangan semi olahan dengan jenis
kontaminan yang dianalisis meliputi logam berat, residu pestisida,
aflatoksin, nitrit, dan dioksin (2,3,7,8 TCDD). Jenis dan jumlah
kontaminan pada kelompok pangan yang dianalisis di Indonesia secara
rinci disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah kontaminan pada kelompok pangan yang dianalisis Badan POM Jumlah Parameter No. Kelompok Pangan Jenis Kontaminan Kondisi di
Indonesia Tidak Terdeteksi Terdeteksi Logam berat √ 46 79
Residu Pestisida √ 70 10 Aflatoksin √ 54 6
Nitrit x - -
1. Serealia
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) √ 5 - Logam berat √ 2 -
Residu Pestisida √ 2 - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
2. Akar-akaran dan Umbi-umbian
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat x - -
Residu Pestisida x - - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
3. Kacang-kacangan/Pulses
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat x - -
Residu Pestisida x - - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
4. Gula dan Madu
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat x - -
Residu Pestisida x - - Aflatoksin √ 45 39
Nitrit x - -
5. Kacang-kacangan dan Minyak Biji-bijian
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - -
Tabel 12. Jumlah kontaminan pada kelompok pangan yang dianalisis Badan POM (lanjutan) Jumlah Parameter No. Kelompok Pangan Jenis Kontaminan Kondisi di
Indonesia Tidak Terdeteksi Terdeteksi Logam berat √ 7 -
Residu Pestisida √ - 2 Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
6. Minyak dan Lemak Nabati
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat √ 22 20
Residu Pestisida √ 23 - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
7. Stimulan
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat x - -
Residu Pestisida x - - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
8. Spices/Rempah-rempah
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat √ 4 1
Residu Pestisida √ 66 - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
9. Sayur-sayuran
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat √ 56 16
Residu Pestisida x - - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
10. Ikan dan Seafood
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - -
Tabel 12. Jumlah kontaminan pada kelompok pangan yang dianalisis Badan POM (lanjutan) Jumlah Parameter No. Kelompok Pangan Jenis Kontaminan Kondisi di
Indonesia Tidak Terdeteksi Terdeteksi Logam berat x - -
Residu Pestisida x - - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
11. Telur
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat √ 43 3
Residu Pestisida √ 52 - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
12. Buah-buahan
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - Logam berat √ 122 29
Residu Pestisida √ 3 10 Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
13. Susu dan Produk Susu
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) √ 3 - Logam berat √ 49 21
Residu Pestisida √ 2 1 Aflatoksin x - -
Nitrit √ 6 6
14. Daging dan Jerohan
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) √ 2 - Logam berat x - -
Residu Pestisida x - - Aflatoksin x - -
Nitrit x - -
15. Minyak dan Lemak Hewani
Dioksin (2,3,7,8 TCDD) x - - JUMLAH TOTAL 684 243
Sumber: Diolah dan diadaptasi dari PPOMN dan GEMS/FOOD Regional Diets (WHO, 2003b) Keterangan: √ Dianalisis, X Tidak dianalisis
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa dari 15 kelompok pangan
menurut GEMS/FOOD Regional Diets, hanya 10 kelompok pangan yang
telah dianalisis terhadap parameter kontaminan. Kelompok pangan
tersebut antara lain serealia, akar-akaran dan umbi-umbian, kacang-
kacangan dan minyak biji-bijian, minyak dan lemak nabati, stimulan,
sayur-sayuran, ikan dan seafood, buah-buahan, susu dan produk susu serta
daging dan jerohan. Sedangkan lima kelompok pangan yang belum
dianalisis adalah kacang- kacangan/Pulses, gula dan madu, spices/rempah-
rempah, minyak dan lemak hewani, dan telur.
Kelompok pangan yang paling banyak dianalisis adalah kelompok
serealia. Hal ini mengingat konsumsi serealia masyarakat Indonesia sangat
tinggi. Berdasarkan data dari Food Balance Sheet, konsumsi serealia
penduduk Indonesia yang pada periode April 1999-Maret 2000 berjumlah
206.55 juta jiwa adalah 38 juta ton (FAO, 1999). Jumlah ini sangat tinggi
sehingga perlu dilakukan pengawasan secara ketat untuk menjamin
keamanannya. Pengawasan utama misalnya ditujukan terhadap
kontaminan kadmium. Hal ini didasarkan pada fakta di lapangan bahwa
kadmium biasanya banyak ditemukan pada serealia terutama pada
komoditi beras. Di Jepang, penyakit “itai-itai” disebabkan oleh konsumsi
beras berkadar kadmium lebih dari 0.4ppm. Di Indonesia terdapat kajian
dosis kadmium dalam beras coklat (beras pecah kulit) 0.04-0.39ppm pada
tahun 1993 (Reilly, 1980; Badan POM 2005a).
Kontaminan yang paling menonjol adalah aflatoksin pada produk
kacang tanah dan produk olahannya yang melebihi batas konsentrasi yang
diijinkan sesuai Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor:
HK.00.05.1.4057 tanggal 9 September 2004, yakni sebesar 20ppb untuk
aflatoksin B1 dan 35ppb untuk aflatoksin total. Hal ini bisa disebabkan
oleh penanganan pasca panen yang tidak memenuhi syarat misalnya
penyimpanan pada kondisi dimana Aspergillus flavus dapat tumbuh secara
optimum yakni pada suhu 320-330C dan pH 6 (Syarief et al., 2003). Selain
itu aflatoksin memang sangat sulit dihindari mengingat kondisi iklim
tropis Indonesia yang sangat sesuai untuk pertumbuhan kapang khususnya
Aspergillus flavus yaitu jenis kapang yang dapat memproduksi berbagai
jenis aflatoksin. Yang menjadi perhatian utama berkaitan dengan
aflatoksin adalah penyakit kanker hati, terutama bagi penderita yang telah
terinfeksi penyakit hepatitis B dan hepatitis C. Untuk itu diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai kajian paparan aflatoksin pada kelompok
berisiko tinggi yang dihubungkan dengan konsumsi kacang tanah dan
produk olahannya untuk mengetahui karakteristik risikonya. Elemen
penting yang diperlukan untuk kajian paparan aflatoksin ini adalah data
prevalensi penyakit hepatitis B dan hepatitis C serta data konsumsinya di
daerah yang prevalensi penyakit hepatitis B dan hepatitis C tinggi
(Sparringa, personal communication. 2006).
2. Kualitas Data Kontaminan Pangan
Masalah utama dalam database konsentrasi kontaminan dalam
pangan di Indonesia adalah kualitas data yang masih kurang memenuhi
kebutuhan software OPAL I. Data-data yang ada sebagian besar masih
belum mencantumkan nilai LOD, bahkan nilai LOQ tidak dicantumkan
sama sekali. Kedua nilai ini menurut WHO (2004) sangat diperlukan
dalam software OPAL I untuk membuat asumsi-asumsi hasil pengujian
yang “tidak terdeteksi”. Dengan tidak tersedianya kedua nilai tersebut
akan sangat sulit menentukan beberapa parameter statistik seperti mean,
median, standar deviasi dan 90th percentile jika terdapat data yang “tidak
terdeteksi”. Parameter statistik tersebut sangat diperlukan dalam proses
analisis data dengan pendekatan kajian risiko. Jumlah sampel yang diuji
belum cukup untuk menjamin validitas data, bahkan ada yang hanya terdiri
dari satu sampel. Hal ini juga menyulitkan dalam hal penentuan parameter
statistiknya.
Masalah lain berkaitan dengan kualitas data kontaminan adalah
data yang diperoleh bukan didasarkan atas kegiatan sampling tetapi
kebanyakan menggunakan data pihak yang ingin mengujikan produknya,
sehingga pada saat entry data yang dimasukkan dalam periode sampling
adalah waktu pada saat sampel diterima karena diasumsikan dekat dengan
waktu sampling. Data hasil monitoring ini belum bersifat representatif
karena monitoring yang melibatkan perusahaan biasanya hanya bertujuan
untuk pengawasan mutu produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang
bersangkutan dan hal ini belum cukup akurat untuk digunakan sebagai
penyedia data dalam kajian paparan (Leparulo-Loftus, 1992). Oleh karena
itu diperlukan kajian lebih lanjut mengenai hasil monitoring kontaminan
pangan baik pada pangan segar maupun semi olahan yang melibatkan
stakeholder terkait secara terpadu sehingga dapat dihasilkan database
kontaminan pangan secara nasional. Seperti halnya pada data BTP,
keterpaduan tersebut perlu didukung dengan adanya protokol survei
sehingga hasil monitoring dari masing-masing stakeholder nantinya dapat
diintegrasikan untuk selanjutnya dianalisis dan dihasilkan informasi yang
berguna untuk kajian risiko.
C. DATABASE KONTAMINAN DENGAN GUIDELINE PRIORITAS
UTAMA PANGAN DAN KONTAMINAN MENURUT GEMS/FOOD
Keluaran software OPAL I juga dibandingkan dengan prioritas utama
pangan dan kontaminan menurut GEMS/FOOD (Lampiran 5). Daftar
GEMS/FOOD prioritas utama pangan dan kontaminan ini telah digunakan
sebagai referensi bagi sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia dalam
rangka harmonisasi untuk program TDS (Total Diet Study). Tetapi dalam
prakteknya masih harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara
karena tidak semua kontaminan relevan bagi negara tertentu. Misalnya
kontaminan patulin pada jus apel yang tidak menjadi prioritas bagi Indonesia
karena masyarakat Indonesia tidak mengkonsumsi jus apel dalam jumlah yang
cukup besar. Oleh karena itu ketika akan merintis program TDS, penggunaan
parameter uji harus dilakukan pengkajian ulang (Badan POM, 2004b).
Tabel 13 menggambarkan kesesuaian pengujian yang ada di Indonesia
selama ini dengan prioritas utama pangan dan kontaminan menurut
GEMS/FOOD. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil
data hasil pengujian yang sesuai dengan prioritas GEMS/FOOD. Penentuan
prioritas ini didasarkan atas ada tidaknya informasi mengenai toksisitas, nilai
Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan menurut prioritas GEMS/FOOD
No. Jenis Kontaminan
No. Bahan Pangan Metode Pengujian/Pustaka Data Badan POM
1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
1. Aldrin
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
2. Dieldrin
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
3. DDT (p,p’- dan o,p’- )
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 5. Serealia KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X
4. TDE (p,p’-)
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X
Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan menurut prioritas GEMS/FOOD (lanjutan)
No. Jenis Kontaminan
No. Bahan Pangan Metode Pengujian/Pustaka Data Badan POM
1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
5. DDE (p,p’- dan p,o’-)
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √ 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
6. Endosulfan (α, β dan sulfat)
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
7. Endrin
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan* KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) √ 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
8. Heksakloro sikloheksan (α, β dan γ )
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X
Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan menurut prioritas GEMS/FOOD (lanjutan)
No. Jenis Kontaminan
No. Bahan Pangan Metode Pengujian/Pustaka Data Badan POM
1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
9. Heksakloro benzen
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
10. Heptaklor
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 4. Ikan KG / KOMPES 1997, Metode 6-9 (modifikasi) X 5. Serealia* KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) √
11. Heptaklor epoksida
6. Air Susu Ibu (ASI) KG / KOMPES 1997, Metode 6-6 (modifikasi) X 1. Susu AOAC Official Method 983.21 (modifikasi) X 2. Butter (mentega susu) AOAC Official Method 983.21 (modifikasi) X 3. Minyak dan lemak hewan AOAC Official Method 983.21 (modifikasi) X 4. Ikan* AOAC Official Method 983.21 (modifikasi) √
12. PCB
5. Serealia* AOAC Official Method 983.21 (modifikasi) √
Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan menurut prioritas GEMS/FOOD (lanjutan)
No. Jenis Kontaminan
No. Bahan Pangan Metode Pengujian/Pustaka Data Badan POM
1. Susu* AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 √ 2. Daging segar/ kalengan* AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 √ 3. Ginjal AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 X 4. Serealia* AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 √ 5. Buah segar /kalengan* AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 √ 6. Jus buah* AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 √ 7. Bumbu-bumbuan AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 X 8. Makanan bayi AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 X
13. Timbal
9. Air minum* AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 √ 1 Ginjal AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 X 2 Moluska (hewan lunak) AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 X 3 Crustacea (udang-udangan) AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 X
14. Kadmium
4 Serealia AAS/ICPS / SNI – 19-2896-1998 X 15. Merkuri / Hg Ikan* (AAS/ICPS) – HVG / SNI – 19-2896-1998 (modifikasi) √ 16. Aflatoksin 1. Susu KCKT/ MA PPOMN X 2. Pati jagung KCKT/ MA PPOMN No. 06/MA/01, MA PPOMN th 2004 X 3. Kacang tanah* KCKT/ MA PPOMN No. 06/MA/01, MA PPOMN th 2004 √ 4. Kacang-kacangan lainnya KCKT/ MA PPOMN No. 06/MA/01, MA PPOMN th 2004 X 5. Manisan buah kering KCKT / MA PPOMN No. 06/MA/01 X
Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan menurut prioritas GEMS/FOOD (lanjutan)
No. Jenis No. Bahan Pangan Metode Pengujian / Pustaka Data Badan
Kontaminan POM
1 Serealia* KG / General Inspectorate for Health Protection, Ministry of Public Health, Warefare Sport, The Netherlands.
√
2 Buah* KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997
√
3 Sayur-sayuran KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997
X
17. Diazinon
4 Air minum KG / USAID-EPA-FDA (Pesticides Laboratory Training Manual), Chapter 3 (modifikasi).
X
1 Serealia* KG / General Inspectorate for Health Protection, Ministry of Public Health, Warefare Sport, The Netherlands.
√
2 Buah* KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997
√
3 Sayur-sayuran KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997
X
18. Fenitrotion
4 Air minum KG / USAID-EPA-FDA (Pesticides Laboratory Training Manual), Chapter 3 (modifikasi)
X
1 Serealia* KG / General Inspectorate for Health Protection, Ministry of Public Health, Warefare Sport, The Netherlands.
√
2 Buah KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997
X
3 Sayur-sayuran KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997
X
19. Malation
4 Air minum KG / USAID-EPA-FDA (Pesticides Laboratory Training Manual), Chapter 3 (modifikasi)
X
Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan menurut prioritas GEMS/FOOD (lanjutan)
No. Jenis No. Bahan Pangan Metode Pengujian / Pustaka Data Badan
Kontaminan POM
1 Serealia KG / General Inspectorate for Health Protection, Ministry of Public Health, Warefare Sport, The Netherlands.
X
2 Buah KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997 X 3 Sayur-sayuran KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997 X
20. Paration
4 Air minum KG / USAID-EPA-FDA (Pesticides Laboratory Training Manual), Chapter 3 (modifikasi)
X
1 Serealia KG / General Inspectorate for Health Protection, Ministry of Public Health, Warefare Sport, The Netherlands.
X
2 Buah KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997 X 3 Sayur-sayuran KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997 X
21. Metil paration
4 Air minum KG / USAID-EPA-FDA (Pesticides Laboratory Training Manual), Chapter 3
X
1 Serealia KG / General Inspectorate for Health Protection, Ministry of Public Health, Warefare Sport, The Netherlands.
X
2 Buah KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997 X 3 Sayur-sayuran KG / Metode Analisis PPOMN No. 14/MA/01 ; Kompes 1997 X
22. Metil pirimiphos
4 Air minum KG / USAID-EPA-FDA (Pesticides Laboratory Training Manual), Chapter 3
X
Tabel 13. Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam pangan menurut prioritas GEMS/FOOD (lanjutan)
No. Jenis Kontaminan
No. Bahan Pangan Metode Pengujian/Pustaka Data Badan POM
1 Serealia* Spektrofotometri / MA PPOM No 46/MA/90; MA Analisa Racun
dalam Makanan 1989. √
2 Buah Spektrofotometri / MA PPOM No 46/MA/90; MA Analisa Racun dalam Makanan 1989.
X
3 Sayur-sayuran* Spektrofotometri / MA PPOM No 46/MA/90; MA Analisa Racun dalam Makanan 1989.
√
23. Arsen anorganik
4 Air minum* Spektrofotometri / MA PPOM No 46/MA/90; MA Analisa Racun dalam Makanan 1989.
√
Sumber: Data diolah dan diadaptasi dari PPOMN dan Badan POM (2004) Keterangan: √ Data tersedia di Badan POM X Data tidak tersedia di Badan POM * Data sesuai dengan prioritas utama pangan dan kontaminan menurut GEMS/FOOD
health reference seperti PTWI/PTDI, serta data konsentrasi kontaminan yang
akan menjadi fokus kajian (WHO, 2003c; Sparringa, personal communication.
2006).
D. METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN OLEH PPOMN DALAM
MENDETEKSI ADANYA KONTAMINAN DALAM PANGAN
Beberapa metode analisis yang digunakan oleh PPOMN untuk menguji
adanya kontaminan dalam pangan adalah kromatografi gas, kromatografi
cairan kinerja tinggi (HPLC), dan spektrofotometri. Kromatografi gas
digunakan untuk memisahkan komponen-komponen organik yang bersifat
volatil, dalam hal ini adalah residu pestisida termasuk PCB, dan HPLC
digunakan untuk mendeteksi aflatoksin pada susu dan kacang-kacangan. Hal
ini sesuai dengan kemampuan kromatografi dalam memisahkan suatu
campuran kemudian mengidentifikasi sekaligus menentukan jumlahnya dalam
satu operasi, dengan sedikit bahan analisa (1 mikroliter), dan dalam waktu
yang tidak terlalu lama (Harjadi, 1986; Kegley dan Laura, 1998; Syarief et al.,
2003). Sedangkan spektrofotometri digunakan untuk mendeteksi adanya Pb,
Cd, Hg, dan As pada sejumlah pangan yang diuji dan hal ini sesuai dengan
peranan spektrofotometri yang sangat penting dalam analisa unsur, terutama
unsur logam (Harjadi, 1986).
Beberapa parameter uji dalam prioritas utama pangan dan kontaminan
GEMS/FOOD telah dilakukan oleh PPOMN, tetapi beberapa metode masih
belum diverifikasi (Badan POM, 2004b). Contoh metode yang belum
diverifikasi tersebut adalah metode analisis kromatogarafi gas untuk
pengukuran kontaminan aldrin, dieldrin, DDT (p,p’-dan o,p’-), DDE (p,p’ dan
p,o’), endrin, heksaklorobenzen, heptaklor, dan heptaklor epoksida pada susu,
butter (mentega susu), minyak dan lemak hewan, ikan dan air susu ibu.
Kemampuan PPOMN dalam analisis kontaminan dalam bahan pangan secara
lebih rinci disajikan pada Tabel 13 di atas.
E. PEMANFAATAN DATABASE KONSENTRASI BTP DAN
KONTAMINAN HASIL MONITORING BADAN POM RI
Database konsentrasi BTP dan kontaminan belum dapat diaplikasikan
untuk kajian risiko khususnya dalam menyediakan data konsentrasi untuk
kajian paparan. Data-data hasil monitoring tersebut umumnya hanya bisa
diolah pada tahap identifikasi bahaya saja sehingga belum bisa digunakan oleh
Tim Teknis Keamanan Pangan Nasional dalam mendukung program
keamanan pangan nasional. Data-data tersebut masih perlu ditindaklanjuti
dengan kajian paparan untuk menentukan karakterisasi risiko jika karakterisasi
bahayanya ada. Rekomendasi lebih lanjut dibutuhkan untuk memperbaiki
sistem monitoring yang ada di Indonesia. Rekomendasi tersebut antara lain
perlu adanya protokol survei yang merupakan pedoman untuk melakukan
survei yang benar berikut parameter-parameter analisis yang penting dalam
kajian paparan sehingga data-data di masa mendatang lebih bisa diaplikasikan
untuk kajian risiko. Dukungan dan kerjasama dari stakeholder lain juga sangat
diperlukan untuk memantapkan peran serta Badan POM RI sebagai leading
sector dalam bidang keamanan pangan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Database konsentrasi BTP disusun dari hasil monitoring yang telah
dilakukan oleh 21 Balai/Balai Besar POM di Indonesia dan terlaporkan pada
PPOMN. Sedangkan untuk database kontaminan pangan, data-data yang ada
umumnya masih melibatkan pihak yang ingin mengujikan produknya di
PPOMN.
Berdasarkan hasil monitoring terhadap BTP selama tahun 2004 oleh 21
Balai/Balai Besar POM di seluruh Indonesia, terdapat 17,065 data dengan
rincian sebanyak 14,010 data merupakan data aditif yang dilegalkan untuk
pangan (BTP) dan sebanyak 3,055 data merupakan data aditif ilegal. Jenis
BTP yang dimonitor masih terbatas pada pemanis buatan (sakarin, siklamat
dan aspartam), pengawet (sorbat dan benzoat), dan pewarna (Brilliant Blue,
Brown HT, Erytrosin, Indigo carmine, Carmoisin, Sunset Yellow, Quinolin
Yellow, Allura Red, Ponceau 4R, Tartrazin dan Annato). Pada sejumlah
pangan olahan masih ditemukan adanya penggunaan BTP yang melebihi batas
konsentrasi yang diijinkan, BTP tersebut antara lain benzoat, sorbat, sakarin
dan siklamat. Bahkan ditemukan adanya penggunaan aditif ilegal yang sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia yakni boraks, formalin, rhodamin B dan
metanil yellow.
Berdasarkan hasil analisis terhadap parameter kontaminan oleh Badan
POM RI dari tahun 1999-2004, terdapat 927 data parameter kontaminan.
Kontaminan yang dianalisis meliputi logam berat, residu pestisida, aflatoksin,
nitrit, dan dioksin (2,3,7,8 TCDD). Pada sejumlah pangan segar dan semi
olahan masih ditemukan adanya kontaminan yang melebihi batas konsentrasi
yang diijinkan, kontaminan yang paling menonjol adalah aflatoksin pada
kacang tanah dan produk olahannya. Oleh karena itu Badan POM RI sebagai
institusi yang bertanggung jawab dalam monitoring keamanan pangan dengan
didukung oleh stakeholder lain perlu meningkatkan pengawasan terhadap
pangan yang beredar dan jika diperlukan menindak tegas pihak yang terbukti
melakukan pelanggaran. Untuk pemanis buatan, dengan adanya peraturan
baru tentang persyaratan penggunaannya dalam produk pangan yakni
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor: HK. 00.05.5.1.4547 akan menjadi tantangan tersendiri bagi Badan
POM RI untuk lebih memperketat pengawasan terhadap pemanis buatan dan
data-data yang dibutuhkan selanjutnya harus bersifat kuantitatif.
Database konsentrasi BTP dan kontaminan pangan yang telah diolah
ternyata belum bisa dimanfaatkan untuk kajian risiko. Data-data tersebut
umumnya hanya bisa diolah pada tahap identifikasi bahaya yang umumnya
terbatas pada bahan tambahan ilegal, beberapa pengawet, pemanis buatan
serta pewarna dan belum bisa dianalisis sampai tahap karakterisasi risiko. Hal
tersebut disebabkan oleh kualitas data hasil monitoring yang belum sesuai
untuk keperluan kajian risiko. Data-data yang ada umumnya bersifat
kualitatif; parameter penting dalam analisis seperti nilai LOD dan LOQ tidak
dicantumkan dalam laporan pengujian sehingga sulit untuk menentukan
parameter statistiknya seperti mean, median, standar deviasi, dan percentile;
sistem sampling yang masih belum seragam; jumlah sampel yang dianalisis
belum cukup untuk menjamin validitas data; serta penentuan obyek yang akan
disurvei belum mempertimbangkan kerangka sampel. Hal ini dimaklumi
karena tujuan monitoring ditujukan untuk pengawasan pangan dalam rangka
penindakan hukum (law enforcement) dan belum terintegrasinya program
monitoring dan surveilan. Diperlukan data konsumsi individu secara nasional
agar dapat digunakan untuk memperkirakan paparan kontaminan dan BTP
dalam pangan.
Diharapkan dengan penelitian ini, data-data hasil monitoring pada masa
mendatang dapat diolah dan dianalisis sehingga interpretasi yang dihasilkan
dapat diimplementasikan untuk kajian risiko. Hasil kajian risiko nantinya
akan dapat digunakan sebagai landasan ilmiah (evidence base) bagi manajer
risiko untuk menetapkan kebijakan khususnya yang berhubungan dengan
masalah keamanan pangan.
B. SARAN
1. Untuk kegiatan monitoring selanjutnya, diperlukan adanya protokol survei
sehingga data-data yang ada nantinya dapat diintegrasikan dan dianalisis
dengan pendekatan kajian risiko.
2. Diperlukan adanya prioritas pangan dan BTP untuk monitoring di
Indonesia sehingga hasil pengujian akan lebih terfokuskan.
3. Untuk monitoring kontaminan pangan diperlukan pengolahan dan analisis
data dari stakeholder lain yang berwenang secara terpadu sehingga data-
data antar stakeholder dapat diintegrasikan untuk selanjutnya dianalisis
dengan pendekatan kajian risiko.
4. Diharapkan monitoring terhadap kontaminan disesuaikan dengan prioritas
utama pangan dan kontaminan pangan menurut GEMS/FOOD.
5. Agar database kontaminan dan BTP yang nantinya akan disempurnakan
lebih bermanfaat, harus diiringi dengan program survei konsumsi individu
secara nasional sehingga dapat dimanfaatkan untuk kajian paparan
kontaminan dan BTP.
DAFTAR PUSTAKA
AGAL-BADAN POM. 2001. An Integrated Food Safety System-A Model for Indonesia. AGAL in Cooperation with National Agency of Drug and Food Control (Badan POM). Jakarta.
Anonima. 2005. Bahaya di Balik Gurihnya Ikan Asin. http://www.kompas.com/kompascetak/0511/08/humaniora/2185594.htm (28 Desember 2005).
Anonimb. 2006. Waspadai Pemicu Kanker di Makanan. http://cybermed.cbn.net.id/detil.asp?kategori=health&newsno=3453 (8 Februari 2006).
Awad, E. M. dan M. H. Gotterer. 1992. Database Management. Boyd & Fraser Publishing Company. Massachussetts.
Badan POM. 2001a. Prinsip-prinsip Analisis Risiko. Deputi Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Badan POM. 2001b. Analisis Risiko Keamanan Mikrobiologis: Kajian Risiko
Mikrobiologis. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Badan POM. 2004a. Sistem Keamanan Pangan Terpadu.
http://www.pom.go.id/surv/index.asp (20 Desember 2005). Badan POM. 2004b. Final Report Review of Food Safety Risk Assessment
Capacity. WHO Project INO FOS 001:EC-3/P-1. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Badan POM. 2005a. Cemaran Logam dalam Produk Pangan, Seri Monografi:
Kajian Keamanan (05). Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Badan POM. 2005b. Modul Pelatihan Surveilan Keamanan Pangan. Deputi
Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Badan POM. 2005c. Manual Pelaksanaan Surveilan Keamanan Pangan dan
Tindak Lanjut di Badan POM RI. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Badan POM. 2005d. Kategori Pangan Indonesia. Direktorat Standarisasi Produk Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Bordgroff, M. W. 1997. Surveillance of Foodborne Disease: What Are The
Options?. Food Safety Issues. Food Safety Unit, World Health Organization.
EU Scientific Co-operation, 1998. Report from the Commision on Dietary Food
Additive Intake in the European Union. FAO. 1999. Special Report FAO/WFP Crop and Food Supply Assessment
Mission to Indonesia. Global Information and Early Warning System on Food Agriculture. World Food Programme.
http://www.fao.org/giews/english/alertes/1999/srins994.htm (30 Desember 2005). FAO. 2000. The Application of Risk Communication to Food Standards and
Safety Matters. Economic and Social Department Food Agriculture Organization.
http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/docrep/005/x1271e/x1271e00.htm (20 Desember 2005).
Fardiaz, D. 2001. Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya secara
Total. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Hansen, S. C. 1979. Conditions for Use of Food Additives based on Budget
Method for an Accepatable Daily Intake. Journal of Food Protection, 42, 429-434.
Harjadi. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia. Jakarta. JECFA. 2001. Guidelines for the Preparation of Working Papers on Intake of
Food Additives for the Joint FAO/WHO Expert Committe on Food Additives. Geneva. Switzerland.
JECFA. 2004. Evaluation of Certain Food Additives and Contaminants: Sixty-
First Meeting of the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, Geneva, WHO Technical Report series No.922. http://www.who.int/water_sanitation_health/dwq/chemicals/mercury final.pdf (20 Juli 2005).
Kegley, S. E. dan Laura J. Wise. 1998. Pesticides in Fruits and Vegetables.
University Science Books. Sausalito, California.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. No. HK. 00.05.5.1.4057 Tentang Batas Maksimum Aflatoksin dalam Produk Pangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. No. HK.
00.05.5.1.4547 Tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Leparulo-Loftus, M., Barbara, J.P. Christine, F.C., dan J.R. Tomerlin. 1992.
Dietary Exposure Assessment in the Analysis of Risk from Pesticides in Foods di dalam Finley, et al., Food Safety Assessment. American Chemical Society. Washington DC.
Malik, D. 2004. Zat Kimia Berbahaya dan Efeknya.
http://www.dayakology.com/kr/ind/2004/107/utama.htm (9 Januari 2006). Maulany, R. 2005. Bahaya Formalin dalam Makanan. www.pom.go.id (16
Januari 2006). Nurrohmah, Adriani dan B. Setiawati. 1995. Penggunaan “Food Additive”,
Seruling Pagi vol (4)2 desember. Jurusan GMSK, IPB. Bogor. Parker, T.C.B. dan R.B. Tompkin. 2000. Risk and Microbiological Criteria di
dalam Lund, Barbara M. et al (eds) The Microbiological Safety and Quality of Food: Volume II. Aspen Publisher, Inc. Maryland.
Peraturan Menteri Kesehatan RI. Nomor: 722/MenKes/Per/IX/1988 Tentang
Bahan Tambahan Makanan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Petersen, B.J., Chaisson C.F., dan Douglass J.S. 1994. Use of Food Intake
Surveys to Estimate Exposure to Nonnutrient, Am J Clin Nutr; 59 (suppl): 240S-244S.
Rahayu, W.P., Halim, N., Slamet, B., dan Dahrul, S. 2003. Bahan Tambahan
Pangan. Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Rahayu, W. P., Harsi, D. K., dan Roy A. S. 2004. Prinsip-Prinsip Analisis Risiko.
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta. ISBN 979-3446-34-X.
Reilly, C. 1980. Metal Contamination of Food. Applied Science Publishers Ltd.
London. Rowley, J. Dan J. Farrow. 2000. Organizing Knowledge: An Introduction to
Managing Access to Information. Gower.
Slamet, R. 2004. Kajian Paparan Bahan Tambahan Pangan dan Bahan Berbahaya
pada Murid SD dengan Metode TDS. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sparringa, R. A. 2002. Pengantar Surveilan Keamanan Pangan Pangan di dalam
Rahayu, et al. Surveilan Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta.
Sparringa, R. A., Harsi, D. K., dan Winiati, P.R. 2004. Aplikasi Kajian Risiko
Bahan Tambahan Pangan: Studi Kasus Penggunaan Pemanis Aspartam. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta. ISBN 979-3446-39-O.
Sparringa, R. A. 2005. Personal Communication. Badan POM RI. Jakarta. Sparringa, R. A. 2006. Personal Communication. Badan POM RI. Jakarta. Syarief, R., La Ega, dan CC. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan.
Diterbitkan atas kerjasama IPB Press dengan Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Syarifudin, A. 2004. Kajian Paparan Bahan Tambahan Pangan Berdasarkan Data
Konsumsi Pangan Individu di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tjahjadi, C. 1986. Pewarna Makanan. Dalam Risalah Seminar Bahan Tambahan
Kimiawi (Food Additives). PAU Pangan dan Gizi IPB-PATPI-GAPMMI. Jakarta, 3-4 Oktober 1986.
WHO. 1974. Sobic Acid and It’s Calcium, Potassium and Sodium Salts,
Seventeenth Report of the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, WHO Technical Report Series No.539. WHO. Geneva.
WHO. 1985. Guidelines for the Study of Dietary Intakes of Chemical
Contaminants, WHO Offset Publication No 87, WHO, Geneva. WHO. 1996. Drinking Water Guidelines and Standards. World Health
Organiztion. Geneva, Switzerland. www.who.int/entity/water_sanitation_health/dwq/arsenicun5.pdf (15 Februari 2006). WHO. 1997a. Food Consumption and Exposure Assesment of Chemicals. Report
of a FAO/WHO Consultations. Geneva. Switzerland.
WHO. 1997b. Guidelines for Predicting Dietary Intake of Pesticide Residues (Revised). Prepared by the Global Environment Monitoring System/Food Contamination Monitoring and Assessment Programme (GEMS/FOOD) in Collaboration with the Codex Committee on Pesticide Residues. Programme of Food Safety and Food Aid, WHO. Geneva. http://www.who.int/foodsafety/publications/chem/pesticides/en/
(5 Desember 2005). WHO. 1999. GEMS/FOOD Total Diet Studies. Report of A Joint USFDA/WHO
International Workshop on Total Diet Studies in Cooperation With the Pan American Health Organization. Food Safety Programme, Department of Protection of the Human Environment, WHO. Kansas City, Missouri, USA. http://www.who.int/foodsafety/publications/chem/en/tds_aug1999.pdf
(28 Desember 2005). WHO. 2000a. Methodology for Exposure Assessment of Contaminants and
Toxins in food. World Health Organization. Geneva. http://www.who.int/foodsafety/publications/chem/en/exposure_june2000 .pdf (2 Desember 2005).
WHO. 2000b. Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives Fifty-fifth
Meeting 5-15 June 2000, Summary and Conclusions. World Health Organization. Geneva.
www.who.int/entity/ipcs/food/jecfa/summaries/en/summary_55.pdf (15 Februari 2006). WHO. 2001. Guidelines for the Preparation of Working Papers on Intake of
Foods Additives for the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. WHO. Geneva. http://www.who.int/ipcs/food/jecfa/en/intake_guidelines.pdf (16 Januari 2006).
WHO. 2002. GEMS/FOOD Total Diet Studies. Report of 2nd International Workshop on Total Diet Studies. Food Safety Programme, Department of Protection of the Human Environment, World Health Organization. Brisbane, Australia.
http://www.euro.who.int/Document/fos/GEMS_SCrpt.pdf (3 Desember 2005).
WHO. 2003a. Global Environment Monitoring System, Food Contamination
Monitoring and Assessment Programme (GEMS/FOOD) “Instruction for Electronic Submission of Data on Chemical Contaminants in Food and the Diet”. Food Safety Department. World Health Organization. Geneva. http://www.who.int/foodsafety/publications/chem/en/gemsmanual.pdf (4 Juli 2005).
WHO. 2003b. GEMS/FOOD Regional Diets, Regional per Capita Consumption of Raw and Semi-processed Agricultural Commodities, Prepared by the Global Environment Monitoring System/Food Contamination Monitoring and Assessment Programme. Food Safety Department. WHO. Geneva. http://www.who.int/foodsafety/chem/gems/en/index2.html (9 Desember 2005).
WHO. 2003c. Methods Used for Health Risk Assessment. World Health
Organization. Geneva. http://www.who.int/water_sanitation_health/wastewater/wsh0308chap4.pd
f (26 Januari 2006). WHO. 2004. Operating Program for Analytical Laboratories for Contaminants in
Food Commodities (OPAL I). Food Safety Programme, World Health Organization. Geneva.
WHO. 2005a. Definition of risk analysis terms related to food safety. WHO.
Geneva. http://www.who.int/foodsafety/publications/micro/riskanalysis_definitions/en/ (20 Desember 2005).
WHO. 2005b. Formaldehyde in Drinking Water. World Health Organization
Geneva. www.who.int/entity/water_sanitation_health/dwq/chemicals/formaldehyde130605.pdf (1 Januari 2006).
Wilson, C. L. dan S. Droby. 2001. Microbial Food Contamination. CRC Press.
New York.
Lampiran 1. Kategori pangan GSFA
KATEGORI PANGAN INDONESIA
01.0 Produk-Produk Susu, Kecuali yang Termasuk Kategori 02.0 01.1 Susu dan Minuman Berbasis Susu 01.1.1 Susu dan Buttermilk 01.1.1.1 Susu Susu Segar Susu Pasteurisasi Susu UHT Susu Steril
Susu Skim Susu Rendah Lemak Susu Rekonstitusi Susu Rekombinasi Filled Milk (Susu Isi)
01.1.1.2 Buttermilk Buttermilk (Tawar) Dadih
01.1.2 Minuman Berbasis Susu Beraroma dan atau Difermentasi termasuk semua minuman siap minum berbasis susu dengan penambahan perisa (Contohnya Susu Coklat, Kakao, Eggnog, Minuman Yogurt, Minuman Berbasis Whey). Minuman Susu Beraroma Minuman Yogurt Berperisa Minuman Susu Fermentasi Berperisa
01.2 Susu Fermentasi dan Produk Susu Hasil Hidrolisa Enzim Renin (Tawar) 01.2.1 Susu Fermentasi (Tawar) termasuk semua produk susu fermentasi tawar,
susu diasamkan (acidified milk), susu berkultur (cultured milk), yogurt yang tidak mengandung perisa atau pewarna Susu Diasamkan Susu Fermentasi Atau Susu Berkultur (Cultured Milk) Yogurt Yogurt Rendah Lemak Yogurt Tanpa Lemak
01.2.1.1 Produk Susu Fermentasi (Tawar) yang Tidak Diberi Perlakuan Panas Setelah Proses Fermentasi Susu Fermentasi Tawar Tanpa Pemanasan
01.2.1.2 Produk Susu Fermentasi (Tawar) yang Diberi Perlakuan Panas Setelah Proses Fermentasi Susu Fermentasi yang Dipanaskan
01.2.2 Susu yang Digumpalkan dengan Enzim Renin (Tawar) 01.3 Susu Kental dan Tiruannya 01.3.1 Susu Kental (Tawar)
Susu Evaporasi Susu Skim Evaporasi Susu Isi Evaporasi
01.3.2 Krimer Minuman (Bukan Susu) Krimer Minuman (Bukan Susu)
01.3.3 Susu Kental Manis (Tawar, Beraroma) dan Tiruannya Susu Kental Manis Susu Kental Manis dengan Lemak Nabati Susu Skim Kental Manis Susu Isi Kental Manis Krim Kental Manis
01.4 Krim (Tawar) dan Sejenisnya, Termasuk Semua Krim Atau Krim Tiruan Berbentuk Cair, Semicair, atau Semipadat. Krim
01.4.1 Krim Pasteurisasi 01.4.2 Krim “Whipping” atau “Whipped” atau Krim Rendah Lemak yang
Disterilkan atau secara UHT Whipped Cream Krim Rendah Lemak Half and Half Krim “Whipping” (Whipping Cream ) Rendah Lemak
01.4.3 Krim yang Digumpalkan Krim Asam Krim Asam yang Diasamkan
01.4.4 Krim Tiruan Krim Tiruan
01.5 Susu Bubuk dan Krim Bubuk dan Bubuk Tiruan (Tawar) 01.5.1 Susu Bubuk dan Krim Bubuk (Tawar)
Susu Bubuk Berlemak (Full Cream) Susu Bubuk Rendah Lemak dan Susu Bubuk Kurang Lemak Susu Bubuk Bebas Lemak atau Susu Skim Bubuk Krim Bubuk
01.5.2 Susu dan Krim Bubuk Tiruan 01.5.3 Campuran Susu dan Krim Bubuk Tawar dan Berperisa
Campuran Susu dan Krim Bubuk Berperisa Susu Isi Bubuk
01.6 Keju dan Keju Tiruan Keju Keju Tiruan
01.6.1 Keju Tanpa Pemeraman (Keju Mentah) Keju Cottage (Cottage Cheese) : Keju Krim (Cream Cheese) Keju Mozzarella
01.6.2 Keju Peram Keju Cheddar Keju Cheddar Rendah Sodium Keju Edam Keju Camembert:
01.6.2.1 Keju Peram Total Keju Biru (Blue cheese) Keju Bata (Brick Cheese) Keju Gouda Keju Havarti Keju Brie Keju Parmesan Keju Swiss
01.6.2.2 Kulit Keju Peram 01.6.2.3 Bubuk Keju (Untuk Rekonstitusi Dalam Pembuatan Saus Keju)
Bubuk Keju 01.6.3 Keju Whey 01.6.4 Keju Olahan
Keju Olahan Keju Chedar Olahan
01.6.4.1 Keju Olahan Tawar Keju Club Luncheon Keju Amerika (American Cheese) Keju Cold Pack
01.6.4.2 Keju Olahan Berperisa Keju Neufchatel dan Sayuran Untuk Olesan
Keju Pepper Jack (Keju Monterey Jack dan Potongan Lada) 01.6.5 Keju Tiruan 01.6.6 Keju Protein Whey
01.7 Makanan Pencuci Mulut Berbahan Dasar Susu (Misalnya Es Susu, Puding, Buah atau Yogurt Berperisa) Es Krim Yogurt Berperisa Es Susu
01.8 Whey dan Produk Whey, Selain Keju Whey Whey Asam Bubuk Whey
02.0 Lemak, Minyak, dan Emulsi Minyak (Tipe Emulsi Air Dalam Minyak) 02.1 Lemak dan Minyak yang Tidak Mengandung Air 02.1.1 Lemak Susu Anhidrat, Minyak Mentega Anhidrat, Minyak Mentega, Ghee
Lemak Susu Anhidrat (AMF), Minyak Mentega Anhidrat dan Minyak Mentega Ghee
02.1.2 Lemak dan Minyak Nabati Lemak dan Minyak Nabati Minyak Goreng (Frying oil atau frying fat) Minyak Masak atau Minyak Sayur (Cooking oil) Minyak Salad Vanaspati atau Minyak Samin (Vegetable Ghee) Minyak Inti Kelapa Sawit Mentah (CPKO) Minyak Inti Kelapa Sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil / RBDPKO) Minyak Sawit Mentah (Crude Palm Oil / CPO) atau Pretreated Palm Oil Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) Olein Sawit Mentah (Crude Palm Olein) Stearin Sawit Mentah (Crude Palm Stearin) Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Olein Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Stearin Minyak Kelapa Mentah atau Unrefined Coconut Oil Minyak Kelapa Jernih atau Refined Coconut Oil Minyak Kacang Tanah Minyak Jagung Minyak Kemiri Minyak Kedelai Minyak Wijen Minyak zaitun Minyak Safflower Minyak Biji Bunga Matahari Minyak Dedak atau Minyak Bekatul atau Minyak Katul Minyak Biji Kapas Minyak Kanola atau Rapeseed oil Mustardseed oil
02.1.3 Lemak Babi, Lemak Sapi, Lemak Domba, Minyak Ikan Dan Lemak Hewani Lain Lemak Hewani Lemak Babi atau Lard Rendered Pork Fat Lemak Sapi Utama atau (Prime Beef Fat (Premier Jus atau Oleo Stock) Lemak Sapi Makan (Edible Beef Fat) Dripping atau Edible Tallow Secunda Beef Fat Suet Minyak Ikan Minyak Hati Ikan Cucut Boto
02.2 Emulsi Lemak Terutama Tipe Emulsi Air Dalam Minyak 02.2.1 Emulsi Yang Mengandung Lemak Sedikitnya 80% 02.2.1.1 Mentega dan Konsentrat Mentega
Mentega
Mentega Rekombinasi 02.2.1.2 Margarin dan Produk Sejenis (Misalnya Campuran Mentega-Margarin)
Margarin Campuran Margarin dan Mentega
02.2.2 Emulsi yang Mengandung Lemak Kurang Dari 80% (Misalnya Minarin) Minarin (Minarine) Lemak Oles (Fat Spread)
02.3 Emulsi Lemak Selain Kategori 02.2 Non-Dairy Toppings, Fillings, Frostings Non-Dairy Whipped Cream
02.4 Makanan Penutup Atau Pencuci Mulut Berbasis Lemak Melorin atau Non-Dairy Ice Cream Non-Dairy Mousse
03.0 Edible Ices (Es yang dapat dimakan) 04.0 Buah-Buahan dan Sayuran (Termasuk Jamur, Umbi, Kacang-Kacangan
Termasuk Kacang Kedelai, dan Lidah Buaya), Rumput Laut, Biji-Bijian 04.1 Buah-Buahan 04.1.1 Buah-Buahan Segar 04.1.1.1 Buah Segar Tanpa Perlakuan Disajikan Setelah Dipanen
Buah-Buahan Utuh Segar 04.1.1.2 Buah Segar Dengan Permukaan Diberi Perlakuan 04.1.1.3 Buah Segar Kupas atau Potong 04.1.2 Buah Olahan 04.1.2.1 Buah Beku
Buah Beku 04.1.2.2 Buah Kering
Buah Kering Buah Kering Campur Buah Kering Asin Kopra Kelapa Parut Kering
04.1.2.3 Buah Dalam Cuka, Minyak dan Larutan Garam Buah Asin Asinan Buah
04.1.2.4 Buah Dalam Kemasan (Pasteurisasi) Buah Dalam Kemasan
Kolang Kaling Dalam Kemasan Koktil Buah Dalam Kemasan (Pasteurisasi)
04.1.2.5 Jem, Jeli dan Marmalad Jem atau Selai Jeli Buah Marmalad Sitrus
04.1.2.6.1 Produk Oles Berbasis Buah (Misalnya Chutney) Tidak Termasuk Produk Pada Kategori 04.1.2.5 Mango Chutney Sambal Buah-Buahan
04.1.2.7.1 Buah Bergula Buah Bergula atau Buah Bersalut Gula atau Buah Berkristal Buah Berkristal Kulit Buah Bergula
04.1.2.8.1 Bahan Baku Berbasis Buah-Buahan, Meliputi Bubur Buah, Puree, Topping Buah dan Santan Kelapa Bubur Buah (Fruit Pulp) Pasta Buah Saus Buah Saus Apel (Applesauce) Sirup Buah Santan
Pasta Kelapa Nata De Coco Utuh, Tidak Siap Konsumsi
04.1.2.9 Makanan Penutup atau Pencuci Mulut (Dessert) Berbasis Buah Termasuk Makanan Pencuci Mulut Berbasis Air Berflavor Buah Dodol atau Lempok Buah Wajit Buah Geplak Manisan Buah Nata De Coco Dalam Kemasan Jeli Agar Sale Pisang Cincau Hijau Cincau Hitam Siwalan
04.1.2.10 Produk Buah Fermentasi Pikel Plum Pikel Pear Pikel Plum dan Pear Tempoyak
04.1.2.11 Produk Buah Untuk Isi Pastri 04.1.2.12 Buah Yang Dimasak
Keripik Pisang Keripik Sukun Keripik Nenas Keripik Nangka Keripik Salak Keripik Apel
04.2 Sayuran (Termasuk Jamur, Akar, Umbi, dan Aloe Vera) Rumput Laut, Kacang-Kacangan dan Polong-Polongan Serta Biji-Bijian
04.2.1 Sayuran, Kacang-Kacangan dan Biji-Bijian Segar Umumnya Bebas Dari Bahan Tambahan Pangan
04.2.1.1 Sayuran (Termasuk Jamur, Akar Dan Umbi, Dan Aloe Vera) Rumput Laut, Kacang-Kacangan Dan Polong-Polongan Serta Biji-Bijian Segar yang Tidak Mengalami Pengolahan dan Didistribusikan Setelah Dipanen Sayuran Kacang - Kacangan Biji - Bijian Jamur Segar Baby Corn Singkong Umbi - Umbian Sagu
04.2.1.2 Sayuran, Kacang-Kacangan dan Biji - Bijian Segar yang Permukaannya Dilapisi Glasir atau Lilin atau Diberi Perlakuan Dengan Bahan Tambahan Pangan Lain yang Dapat Berfungsi Sebagai Pelindung dan Membantu Mengawetkan Kesegaran dan Kualitas Sayuran
04.2.1.3 Sayuran, Kacang-Kacangan dan Biji-Bijian Segar Yang Dikupas, Dipotong atau Dirajang (Sayuran, Kacang-Kacangan, Biji-Bijian Olah Minimal)
04.2.2 Sayuran, Rumput Laut, Kacang-Kacangan dan Biji-Bijian Olahan 04.2.2.1 Sayuran, Kacang-Kacangan dan Biji-Bijian Beku
Sayuran Beku Buncis Beku Kacang Polong Beku Brokoli Beku Brussel Sprout Beku Bayam Beku Wortel Beku Jamur Beku
Biji Jagung Beku Jagung Bertongkol Beku Kentang Goreng Perancis Beku atau Frozen French Fries Terong Beku Ubi Beku
04.2.2.2 Sayuran, Rumput Laut, Kacang-Kacangan, dan Biji-Bijian Kering Sayuran Kering Jamur Kering Sayuran Asin Kering Rumput Laut Kering Nori Kacang-Kacangan dan Polong-Polongan Kering Biji Bunga Matahari Emping Melinjo Mete Gelondong Biji Saga Biji Wijen Kentang Kering Serpih (Flakes) Tepung Tomat Tepung Bit Kuaci
04.2.2.3 Sayuran dan Rumput Laut Dalam Cuka, Minyak, Larutan Garam atau Kecap Kedelai Jamur Dalam Minyak Zaitun atau Minyak Nabati Lain Sayuran Asin Jamur Asin Acar Jamur Acar Timun Mentah Acar Bawang Putih Acar Jahe Acar Cabai Acar Lobak
04.2.2.4 Sayuran Dalam Kemasan, Botol atau Dalam Retort Pouch Sayuran Dalam Kemasan Tomat Dalam Kemasan Jagung Manis Dalam Kemasan Jamur Dalam Kaleng Asparagus Dalam Kaleng Wortel Dalam Kaleng Rebung Bambu Dalam Kaleng Kacang Polong (Green Peas) Dalam Kaleng Buncis Dalam Kaleng Manisan Rumput Laut Dalam Kemasan Lidah Buaya Dalam Kemasan
04.2.2.5 Puree dan Produk Oles Sayuran, Kacang-Kacangan dan Biji-Bijian (Misalnya Mentega Kacang) Mentega Kacang (Peanut Butter)
04.2.2.6 Bahan Baku dan Bubur (Pulp) Sayuran, Kacang-Kacangan Dan Biji-Bijian (Misalnya Makanan Penutup dan Saus Sayuran, Sayuran Bergula) Selain Produk Kategori 04.2.2.5 Pasta Tomat Bubur Tomat Puree Tomat Saus Tomat Saus Cabai Tahu Kembang Tahu
04.2.2.7 Produk Fermentasi Sayuran (Termasuk Jamur, Akar dan Umbi, Kacang-Kacangan Dan Aloe Vera) dan Rumput Laut Pikel Sawi Asin Sauerkraut Jamur Fermentasi Pikel Mentimun Pikel Jahe Pikel Zaitun (Olives) Tauco
04.2.2.8 Sayuran dan rumput laut yang dimasak Keripik Bayam Keripik Jamur Kancing Keripik Talas, Keripik Gadung, Keripik Singkong Keripik Ubi Jalar Keripik Kentang Emping Melinjo Goreng Keripik Tahu Rempeyek (Kacang Tanah, Kacang Hijau, Kedelai atau bahan lain) Sukro Kacang Atom Getuk Singkong
05.0 Confectionery 05.1 Produk Kakao dan Coklat Termasuk Coklat Imitasi dan Pengganti Chocolate 05.1.1 Kakao Bubuk dan Kakao Massa/Ampas (Cake) Kakao
Kakao bubuk Kakao bubuk untuk sarapan (Breakfast cocoa) Bubuk kakao dengan lemak sedang (Medium fat cocoa) Bubuk kakao rendah lemak(Lowfat cocoa) Kakao serpih (cocoa dust) Kakao bubuk super (cocoa fineness) Nib kakao Massa kakao/kakao dan cairan kental (liquor) coklat Kakao ampas (cake) Minuman kakao (drinking cocoa) Minuman coklat (drinking chocolate) Coklat instan
05.1.2 Campuran Kakao (Sirup) 05.1.3 Olesan Berbasis Kakao, Termasuk Isian (Filling)
Lemak kakao (cocoa butter) Coklat pasta Olesan berbasis kacang-coklat (nut-chocolate based spread) Olesan coklat berbasis air (chocolate water-based spread) Lemak kakao untuk confectionery
05.1.4 Produk Kakao dan Coklat Coklat Bonbon Truffles Coklat putih Coklat drop atau chip (Permen) coklat susu (Permen) coklat krim (Permen) coklat manis Bahan pelapis dari kakao manis dan lemak tanaman Coklat semi-manis atau coklat pahit-manis atau coklat hitam Coklat yang diisi (Filled chocolate) Coklat tawar (unsweetened chocolate)
Coklat pelapis (couverture chocolate) Coklat butir atau coklat vermicelli atau streusel Coklat serpih (flakes) Coklat susu flakes Coklat berflavor Coklat aerasi Coklat laminasi Coklat komposit
05.1.5 Produk Coklat Imitasi, Pengganti Coklat Cocoa butter equivalent Pengganti lemak kakao laurat (lauric cocoa butter replacer/ substitute=cbs lauric) Pengganti lemak kakao non-laurat (nonlauric cocoa butter replacer/ substitute = cbs non-lauric) Carob coatings Coating dari lembaga gandum bebas lemak (deffated wheat germ coating)
05.2 Confectionery Meliputi Permen Keras Dan Lunak, Nougats, Dll, Diluar Produk Pangan Kategori 05.1. Dan 05.4
Licorice Kembang gula keras / hard candy / boiled sweet Gulali Kembang gula lunak Permen Karamel Fudge Toffee Krokant / nugat (praline)/ brittles Butterscoth Nut Brittles atau permen enting-enting Marshmallow Nougat Enting-enting kacang gepuk Jelly pati (Starch jelly) Jelly Agar dan Gelatin Raw marzipan, Base Almond Paste Marzipan, Almond Paste Lozenges Hard gums Pastiles Gula kapas (cotton candy)/arumanis
05.3 Permen Karet Kembang gula karet
05.4 Dekorasi (Misalnya Untuk Bakery), Topping (Non-Buah) Dan Saus Manis
Icing Frosting Saus Butterscoth Saus Coklat
06.0 Serealia dan Produk-Produk Serealia yang Merupakan Produk Turunan Dari Biji Serealia, Akar-Akaran dan Umbi-Umbian, Kacang-Kacangan, Polong-Polongan dan Empulur (Bagian dalam Batang Tanaman), Selain Produk-Produk Bakeri Pada Kategori Pangan 07.0
06.1 Biji-Bijian Utuh, Patahan, atau Serpihan Biji-Bijian dan Kacang-Kacangan Utuh
Gabah Beras Pecah Kulit
Beras Giling (Beras Sosoh) Beras Ketan Giling Beras Diperkaya Beras Pecah Kulit Pratanak
Beras Pratanak Emping Beras
Serpihan Beras Pratanak Gandum Patah Gandum Hancur Jagung Pipil Oats Pearl Millet (Jewawut) Sorgum Kacang-Kacangan dan Polong-Polongan Kering Gaplek
06.2 Tepung-Tepungan dan Pati-Patian 06.2.1 Tepung
Tepung Beras Tepung Beras Ketan Tepung Jagung Tepung Kacang Hijau Tanpa Kulit Tepung Kacang Hijau Utuh Tepung Kacang Merah Tepung Kedelai Tepung dan Semolina Gandum Durum Tepung dan Semolina Gandum Durum Utuh Tepung Pearl Millet (Jewawut) Tepung Sorgum Tepung Terigu Tepung Terigu Self-Raising Tepung Terigu Terklorinasi Tepung Gluten Terigu Tepung Terigu Tinggi Protein Tepung Terigu Utuh (Wholemeal Wheat Flour) Tepung Kulit Ari (Fine Bran) Tepung Singkong Tepung Umbi Lainnya (Tepung Kentang, Tepung Ubi Jalar, Tepung Garut, Tepung Ganyong dll.) Tepung Aren
06.2.2 Pati-Patian Pati Garut Pati Jagung atau Maizena Pati Sagu Tepung Hunkwee Tapioka Dekstrin Pati Pragelatinisasi Pati Termodifikasi
06.3 Serealia Untuk Sarapan, Termasuk Rolled Oats Bulgur Emping Jagung (Corn Flake) Meal Meal Lembaga Gandum (Wheat Germ Meal) Nasi Jagung Oatmeal Sereal Siap Saji Termasuk Sereal Sarapan Tiwul Whole Maize (Corn) Meal Degermed Maize (Corn) Meal Degermed Maize (Corn) Grits Gari
06.4 Pasta dan Mi Serta Produk Sejenisnya (Misalnya Rice Paper, Vermiseli Beras/Bihun) Pasta Produk Sejenis Pasta
06.4.1 Pasta dan Mi Mentah Serta Produk Sejenisnya Mi Basah Mentah Kulit Pangsit
06.4.2 Pasta dan Mie Kering Serta Produk Sejenis Bihun Kuetiaw Kering Makaroni Mi Kering Gandum Mi Kering Lainnya Produk Makaroni Diperkaya Produk Makaroni Diperkaya dengan Fortifikasi Protein Produk Makaroni Gandum Utuh Produk Makaroni Gandum dan Kedelai Produk Makaroni Susu Produk Makaroni Sayuran Produk Makaroni Sayuran yang Diperkaya Produk Makaroni Susu Tanpa Lemak Produk Makaroni Susu Tanpa Lemak Yang Diperkaya Produk Mi yang Diperkaya Produk Mi Gandum dan Kedelai Produk Mi Sayuran Produk Mi Sayuran yang Diperkaya Sohun
06.4.3 Pasta dan Mie Pra-Masak Serta Produk Sejenis Bihun Instan Kuetiaw Instan Makaroni Instan Mi Basah Matang Mi Instan Gandum Mi Instan Lainnya
06.5 Makanan Penutup Berbasis Serealia dan Pati (Misalnya Puding Nasi, Puding Tapioka) Tepung Custard
06.6 Tepung Panir (Misalnya Untuk Melapisi Permukaan Ikan atau Daging Ayam) Tepung Bumbu
06.7 Kue Beras (Jenis Oriental) Dodol Wajik Kue Berbahan Dasar Beras Lainnya
06.8 Produk-Produk Kedelai Kecap Manis Kedelai Kecap Asin Kedelai Keju Kedelai Kembang Tahu Miso Nata De Soya Nato Tahu Tahu fermentasi Soygurt Susu Kedelai Tauco Tempe Kedelai
07.0 Produk Bakeri 07.1 Roti dan Produk Bakeri Tawar dan Premix 07.1.1 Roti dan Roti Kadet (Roll)
Roti Roti Tawar Roti Putih Roti Susu, Roll Susu, Bun Susu Roti Meal Roti Rye Roti Pumpernickel Roti Wheat-Germ Roti Meal Utuh (whole meal) Roti Gandum Utuh (Whole Wheat) Roti Buah/Roti Kismis Roti Diperkaya Roti Kadet (Roll) Roti Soda
07.1.2 Krekers , Tidak Temasuk Krekers Manis Krekers Krekers Soda
07.1.3 Produk Bakeri Tawar Lainnya (Misalnya Bagel, Pita, Muffin Inggris) Biskuit1 Bagel Roti Pita Muffin Inggris (English Muffin)
07.1.4 Produk Serupa Roti Termasuk Roti Untuk Isi (Stuffing) dan Tepung/Panir Roti Crouton Tepung Panir Tepung Roti (Bread Crumb) Roti Untuk Stuffing Premix Untuk Stuffing Adonan Biskuit1
07.1.5 Roti dan Bun Kukus Roti dan Bun Kukus Mantao Bakpao Apem Kue Mangkok Bolu Kukus
07.1.6 Premix Untuk Roti Dan Produk Bakeri Tawar 07.2 Produk bakeri istimewa (manis, asin, gurih) 07.2.1 Keik, Kukis dan Pai (Isi Buah atau Custard/Vla)
Keik (cake), Kukis (cookies) dan Pai (pie) Keik (cake) Keik Mentega (Butter Cake) Keik Keju (Cheese Cake) Keik Pound (Pound Cake Atau Quatre Quarts) Pai Apel Biskuit (Manis)2 Atau Kukis Atau Sweet Crackers
1 biskuit yang dimaksud disini adalah roti shortening yang dibuat dengan baking powder atau baking soda, bukan biskuit2 seperti dalam pengertian di Indonesia atau Inggris yang dalam kategori Codex dikelompokkan ke dalam kukis (cookies) atau krekers manis yang masuk kategori 07.2.1.
Biskuit Marie Roti Bagelen Wafer Kukis Kukis Gula Kukis Oatmeal Bika Ambon Serabi Pukis Kue Cucur Carabikang Cakue Odading/Kue Bantal Kue Ape
07.2.2 Produk Bakeri Istimewa Lainnya (Misal Donat, Roll Manis, Scones, Dan Muffin) Donut Pastry Roti Manis Scone Muffin Amerika (American Muffin)
07.2.3 Premiks Untuk Produk Bakeri Istimewa (Misalnya Keik, Panekuk) Premix Untuk Produk Bakeri Istimewa
08.0 Daging dan olahan daging, termasuk daging unggas dan daging hewan buruan
09.0 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, (Kerang, Bekicot atau Siput Laut), Crustacea (Kepiting dan Udang) dan Echinoderma (Teripang)
09.1 Ikan dan Produk Perikanan Segar, Termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma
09.1.1 Ikan Segar Sashimi Ikan Tuna Segar Untuk Sashimi Ikan Salmon Segar Untuk Sashimi Ikan Bawal Segar Ikan Kerapu Hidup untuk Konsumsi
09.1.2 Moluska (Kerang, Bekicot), Crustacea (Kepiting Dan Udang), dan Echinoderma (Teripang) Segar Udang Segar Kepiting Hidup Tiram Lobster Hidup Untuk Konsumsi
09.2 Ikan dan Produk Perikanan Lainnya Termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma yang Sudah Mengalami Pengolahan
09.2.1 Ikan, Filet Ikan dan Produk Perikanan Meliputi Moluska, Crustacea dan Echinoderma yang Dibekukan Filet Ikan Ikan Beku Ikan Tuna Beku Cakalang Beku Ikan Layang Beku Ikan Layur Beku Stik Ikan Beku Stik Tuna Beku
2 biskuit disini adalah biskuit seperti dalam pengertian di Indonesia atau Inggris yang dalam kategori Codex dikelompokkan ke dalam kukis (cookies) atau krekers manis dan bukan biskuit yang dimasukkan pada kategori 7.1.3
Stik Meka Fillet Ikan Beku Filet Kakap Beku Filet Nila Merah Beku Filet Ikan Ekor Kuning Beku Tuna Loin Mentah Beku Blok Filet Ikan Beku Udang Beku Udang Kupas Mentah Beku Udang Kupas Rebus Beku untuk Sushi Ebi Lobster Beku Lobster Rebus Beku Cumi-Cumi Beku Daging Kerang Beku Daging Kepiting Rebus Beku Sotong Beku Gurita (Octopus sp) Utuh Beku Bekicot Beku Sirip Cucut Segar Beku Skalop Segar Beku
09.2.2 Ikan, Filet Ikan dan Hasil Perikanan Termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma Berlumur Tepung yang Dibekukan Stik Ikan, Bagian Ikan dan Fillet Ikan Berlapis Tepung (Breaded atau in Batter) yang Dibekukan Stik Ikan (Fish Finger) Udang Breaded Beku Nugget Ikan Nugget Udang Tempura Beku
09.2.3 Hancuran dan Cairan atau Sari Ikan Termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma yang Dibekukan Blok Hancuran Daging Ikan Beku Surimi Beku
09.2.4 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma yang Dikukus atau Rebus dan atau Goreng
09.2.4.1 Ikan dan Produk Perikanan Kukus atau Rebus Ikan dan Produk Perikanan Kukus atau Rebus Ikan Pindang Ikan Pindang Air Garam Ikan Pindang Garam Ikan Bandeng Presto Kamaboko Bakso Ikan Otak-Otak Fish Cake atau Kue Ikan Siomay Empek-Empek Pepes Ikan
09.2.4.2 Moluska, Crustacea dan Echinoderma Rebus/Kukus Daging Rajungan Rebus Dingin Daging Kepiting Rebus Beku Lobster Rebus Beku Udang Kupas Rebus Beku untuk Sushi Ebi
09.2.4.3 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, Crustacea, Echinoderma Goreng atau Panggang (Oven Atau Bara) Sambal Goreng Udang Keripik Kulit Ikan Abon Ikan
09.2.5 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, Crustacea dan Echinoderma yang Diasap, Dikeringkan, Difermentasi dengan atau Tanpa Garam Ikan Asap Ikan Kayu Ikan Asin Kering Ikan Teri Asin Kering Ikan Teri Nasi Setengah Kering Kerupuk Ikan Udang Kering Cumi-Cumi Kering Kerupuk Udang Ubur-Ubur Asin Teripang Kering Daging Kerang Abalon Kering Sirip Cucut Kering Sirip Ikan Hiu Kering Telur Ikan Terbang Kering Terasi Udang Pasta Ikan Petis Udang Bekasam Bekasang Masin Kecap Ikan Tepung Ikan Pasta Gonad Bulu Babi
09.3 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, Crustaceans dan Echinoderma yang Semi Awet
09.3.1 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, Crustaceans dan Echinoderma yang Direndam Dalam Bumbu (Marinated) dan atau Di Dalam Jelly
09.3.2 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, Crustaceans dan Echinoderma yang Diolah Menjadi Pikel dan atau Direndam Dalam Larutan Garam Saus Tiram
09.3.3 Pengganti Salmon, Caviar dan Produk Telur Ikan Lainnya Telur Ikan Caviar Red Caviar Golden Caviar Pengganti Caviar
09.3.4 Ikan dan Produk Perikanan Termasuk Moluska, Crustacean dan Echinoderma Semi Awet (Contohnya Adalah Pasta Ikan)
09.4 Ikan dan Produk Perikanan Awet, Meliputi Ikan dan Produk Perikanan yang Dikalengkan atau Difermentasi Ikan Kalengan Ikan Tuna Dalam Kaleng Udang Dalam Kaleng Kerang Dalam Kaleng Daging Rajungan Dalam Kaleng Tiram Dalam Kaleng Salmon Dalam Kaleng Sarden Dalam Kaleng Sarden Media Saus Tomat Bekicot Dalam Kaleng
10.0 Telur dan Produk-produk Telur 10.1 Telur Segar
Telur Segar
Telur Ayam Segar Untuk Konsumsi Telur Ayam Rendah Kolesterol Telur Ayam Mengandung Omega Tiga
10.2 Produk telur 10.2.1 Produk Telur Cair
Telur Cair Utuh Putih Telur Cair Kuning Telur Cair
10.2.2 Produk Telur Beku Telur beku utuh Putih telur beku Kuning telur beku
10.2.3 Produk-Produk Telur yang Dikeringkan dan atau Dipanaskan Hingga Terkoagulasi Tepung Telur Utuh Tepung Putih Telur Tepung Kuning Telur
10.3 Telur yang Diawetkan Telur Asin Mentah Telur Asin Matang Telur Pindang Pidan atau telur hitam Halidan Dsaudan Telur Fermentasi
10.4 Makanan Penutup Berbahan Dasar Telur (Misalnya Custard) Sarikaya Custard Custard Beku Tepung Custard Martabak Telur
11.0 Pemanis, Termasuk Madu 11.1 Gula Mentah Dan Gula Dimurnikan (Rafinasi) 11.1.1 Gula Putih, Dekstrosa Anhidrat, Dekstrosa Monohidrat, Fruktosa
Gula putih atau gula pasir (white sugar) Dekstrosa anhidrat (dextrose anhydrous) Dekstrosa monohidrat (dextrose monohydrates) Fruktosa
11.1.2 Tepung Gula, Tepung Dekstrosa Tepung gula atau Gula Halus (icing sugar) Tepung dekstrosa atau Powdered dextrose (icing dextrose)
11.1.3 Gula Putih Lunak (Soft White Sugar), Gula Merah Lunak (Soft Brown Sugar), Sirup Glukosa, Sirup Glukosa Kering (Dried Glucose Syrup), Gula Pasir Mentah Gula putih lunak atau Soft White Sugar Gula merah lunak atau Soft brown Sugar Sirup glukosa Glukosa Gula kristal mentah (raw sugar) Gula kristal rafinasi
11.1.3.1 Sirup Glukosa Kering (Dried Glucose Syrup) Sirup Glukosa Kering (Dried glucose syrup)
11.1.3.2 Sirup Glukosa Sirup Glukosa
11.1.4 Laktosa Laktosa
11.1.5 Gula Kristal Putih (Plantation Or Mill White Sugar) Gula kristal putih (GKP/ plantation white sugar)
11.2 Gula Merah, Tidak Termasuk Dalam Katagori Pangan Gula aren Gula palma Gula merah tebu Gula kelapa Gula semut
11.3 Larutan Gula dan Sirup, Juga Gula Invert (Sebagian), Termasuk Treacle Dan Molases (Tetes Tebu) Sirup fruktosa (HFS) atau High Fructose Corn Syrup atau High Fructose Inulin Syrup Tetes tebu atau molases Gula invert Sirup fruktosa-glukosa atau High fructose glucose syrup Gula jagung atau corn sugar
11.4 Gula dan Sirup Lainnya (Misal Xilosa, Sirup Maple, Gula Hias) Sirup tebu atau cane syrup Maple syrup Sirup shorgum atau Sorghum syrup Sirup meja atau table syrup Sirup
11.5 Madu Madu
11.6 Pemanis buatan Alitam Asesulfam-K Aspartam Neotam Natrium Sakarin Siklamat Sukralosa
12.0 Garam, Rempah-Rempah, Sup, Saus, Salad, Produk-Produk Protein 12.1 Garam
Garam Garam Meja Garam Beryodium Garam Rendah Natrium Garam Diet
12.2 Herba, Rempah-Rempah, Bumbu (Termasuk Pengganti Garam) dan Kondimen (Misalnya Bumbu Mi Instan) Adas Manis Adas Pedas Biji Adas Pedas Bubuk Asam jawa Allspice Asinan Jahe Basil Kering Basilla Bay Leaves Bawang Putih Bawang Merah (Shallot) Bawang Daun Serpihan Bawang Daun Biji Seledri Biji Wijen Biji Sawi/Biji Mustard Biji Sawi atau Biji Mustard Bubuk
Cabai Merah Segar Bubur Cabai Cabai Bubuk Caraway Chives Cengkeh Cengkeh Bubuk Cumin Biji Dill (Dill Seed) Dill Weed Fennel Fenugreek Fenugreek Bubuk Fuli Kering Fuli Bubuk Jahe Segar Jahe Kering Jahe Bubuk Jintan Jintan Manis Jintan Hitam Jintan Putih Jintan Bubuk Jintan Putih Bubuk Jintan Hitam Bubuk Kapulaga Biji Kapulaga Kapulaga Lokal Kapulaga (Cardamom) Amomum Biji Kapulaga (Cardamom) Amomum Kapulaga Bubuk Kapulaga (Cardamom) Amomum Bubuk Kayu Manis Kayu Manis Bubuk Kemiri Kencur Kencur Bubuk Ketumbar Daun Ketumbar Ketumbar Bubuk Kluwek Kunyit Kunyit Bubuk Lada Hitam Lada Hitam Bubuk Lada Putih Lada Putih Bubuk Lada Bubuk Campuran Lengkuas Lengkuas Bubuk Marjoram Mint Onion Oregano
Pala Pala Untuk Destilasi Pala Bubuk Parsley Paprika bubuk Rosemari Saga Saffron Star Anise Serpihan Seledri (Celery Flake) Temu Kunci Tarragon Thyme Rempah-rempah Bubuk Bubuk Kari Bumbu Siap Pakai
12.3 Vinegar Cuka Fermentasi Cuka Makan Arak Masak (Angciu)
12.4 Mustard 12.5 Sup dan kaldu 12.5.1 Sup Siap Saji dan Kaldu, Termasuk Kalengan, Botol dan Beku
Sari Pati Ayam Kaldu dan Konsome
12.5.2 Bubuk atau Campuran Untuk Sup dan Kaldu Sup Instan Sup Krim Instan Bumbu Rasa Sapi Bumbu Rasa Ayam
12.6 Saus dan Produk Sejenis 12.6.1 Saus Teremulsi (Misalnya Mayonnaise, Salad Dressing)
Mayonnaise Salad Dressing French Dressing Burger Dressing
12.6.2 Saus Non-Emulsi (Misalnya Kecap, Saus Tomat, Saus Keju, Saus Krim, Gravi Coklat) Kecap Manis Kedelai Saus Tomat Saus Cabai Saus Inggris Saus Keju (Cheese Sauce) Saus Tar Tar (Tar Tar Sauce) Saus Panggang (BBQ Sauce) Saus Worchester Saus Pizza Saus Spaghetti, Tomat Garlic Saus Lobak Saus Sate Saus Gado-gado Saus Tiram Saus Protein Nabati Terhidrolisis Saus Campuran Protein Nabati Terhidrolisis
12.6.3 Bubuk Untuk Saus dan Gravies
12.6.4 Saus Bening (Misalnya Kecap Asin, Kecap Ikan)
Kecap Kedelai Asin Kecap Ikan Minyak Wijen
12.7 Produk Oles Untuk Salad (Misalnya Salad Makaroni, Salad Kentang) dan Sandwich, Tidak Mencakup Produk Oles Berbasis Coklat dan Kacang yang Termasuk Kategori Pangan 04.2.2.5 Dan 05.1.3
12.8 Kamir Dan Produk Sejenis. Ragi Roti Kering Ragi Tape
12.9 Produk Protein Protein Nabati Produk Protein Kedelai Produk Protein Gandum Protein Nabati Terhidrolisis Hydrolised Vegetable Protein (HVP) Bubuk Kecap Susu Kedelai Tahu Kembang Tahu
13.0 Produk Pangan Untuk Keperluan Gizi Khusus 13.1 Formula untuk bayi dan formula lanjutan 13.1.1 Formula Bayi Formula Bayi Formula standar berbasis susu sapi (standard milk-based formulas) 13.1.2 Formula Lanjutan Formula Lanjutan 13.2 Makanan Bayi Dan Anak Dalam Masa Pertumbuhan
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI): Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Bubuk Instan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Siap Santap Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Siap Masak Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Biskuit Produk lain yang ada di pasar (junior food): mie, toddler Biskuit
13.3 Makanan Diet Khusus Untuk Keperluan Kesehatan, Termasuk Untuk Bayi Dan Anak-Anak
13.3.1 Makanan Diet Untuk Tujuan Medis Tertentu Bagi Orang Dewasa Makanan hipoalergenik Makanan Diet Bebas Gluten; Gluten Free Foods Makanan Diet Kurang Laktosa: Makanan Diet Rendah Laktosa Biskuit diet diabetes Makanan Diet Rendah Sodium Garam rendah sodium Makanan Diet sangat Rendah Sodium Susu bubuk diet diabetes Limun diet diabetes Sirup diet diabetes
13.3.2 Makanan Diet Untuk Tujuan Medis Tertentu Bagi Bayi Dan Anak-Anak Formula khusus Formula kedelai (soy protein formulas Formula untuk bayi prematur Formula rendah laktosa MP-ASI bebas gluten
13.4 Formula Diet Untuk Pelangsing Dan Penurun Berat Badan Makanan formula sebagai makanan diet kontrol berat badan makanan kurang kalori Makanan rendah kalori Makanan tanpa kalori Makanan rendah lemak Makanan kurang gula Makanan bebas gula Teh pelangsing (teh diet)
13.5 Makanan Diet (Suplemen Pangan Untuk Diet) Yang Tidak Termasuk Produk Kategori Pangan 13.1-13.4 Pangan untuk ibu hamil dan atau ibu menyusui Minuman ibu hamil dan atau ibu menyusui: Fromula Makanan Pengganti (Formulated Meal Replacements): Formula Makanan Pelengkap (Formulated Supplementary Foods Pangan Tambahan Untuk Olahraga (Formulated Supplementary Sports Foods):
13.5 Suplemen Pangan Suplemen pangan (food supplement, dietary supplement): Suplemen herbal (herbal supplement):
14.0 Minuman, Tidak Termasuk Produk Susu 14.1 Minuman Ringan Tidak Beralkohol 14.1.1 Air Minum 14.1.1.1 Air Mineral Alami dan Air Sumber
Air Mineral Alami Terkarbonasi Secara Alami (Naturally Carbonated Natural Mineral Water) Air Mineral Alami Terkarbonasi (Carbonated Natural Mineral Water) Air Mineral Alami yang Diperkaya Air Mineral Alami yang Didekarbonasi Penuh atau Sebagian Air Demineral
14.1.1.2 Air Minum Dalam Kemasan Baik Yang Tidak Berkarbonat Maupun Berkarbonat Air Minum Dalam Botol Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Air Reverse Osmosis atau RO water atau NEWater Air Soda Air Berperisa atau Near Water
14.1.2 Sari Buah dan Sari Sayuran Sari Buah Sari Buah Campuran Sari Sayuran
14.1.2.1 Sari Buah yang Dikalengkan atau Dibotolkan (Pasteurisasi) Sari Jeruk Nipis (Lime Juice) Sari Buah Apel Sari Buah Jeruk Besar (Grapefruit Juice) Sari Buah Jeruk Sari Buah Nenas Sari Buah Lemon Sari Buah Markisa Sari Buah Anggur Sari Buah Prune yang Dikalengkan (Canned Prune Juice) Sari Buah Blackcurrant
14.1.2.2 Sari Sayuran Kaleng atau Dibotolkan (Pasteurisasi) Sari Tomat
14.1.2.3 Konsentrat Sari Buah Konsentrat Sari Buah Konsentrat Sari Buah Jeruk Konsentrat Sari Buah Apel Konsentrat Sari Buah Anggur
Konsentrat Sari Buah Anggur Manis Konsentrat Sari Buah Blackcurrant Konsentrat Sari Buah Nanas Konsentrat Sari Buah Nanas dengan Pengawet untuk Keperluan Industri Pangan
14.1.2.4 Konsentrat Sari Sayuran Konsentrat Tomat
14.1.3 Nektar Buah dan Nektar Sayuran Nektar Buah
14.1.3.1 Nektar Buah yang Dikalengkan atau Dibotolkan (Pasteurisasi) Nektar Buah Kecil Nektar Buah Campuran Nektar Aprikot-Peach-Pear Nektar Blackcurrant Nektar Buah Citrus Nektar Jambu Biji
14.1.3.2 Nektar Sayuran Dikalengkan atau Dibotolkan (Pasteurisasi) Nektar Sayuran
14.1.3.3 Konsentrat Nektar Buah 14.1.3.4 Konsentrat Nektar Sayuran 14.1.4 Minuman Berbasis Air Berperisa, Termasuk Minuman Olahraga atau
Elektrolit dan Minuman Berpartikel Minuman Ringan Squash Crush Minuman Citrus Comminutes Lemonade dan ‘Fruit-Ades’ Lainnya Cordials
14.1.4.1 Minuman Berkarbonat Minuman Elektrolit Minuman Isotonik Minuman Berkafein Formulasi (Formulated caffeinated Beverages) Minuman Berperisa Ginger Ale Sarsaparilla Root Beer Birch Beer Soda Krim (Cream soda) Minuman Citrus Minuman Kola Limun
14.1.4.2 Minuman Tidak Berkarbonat, Termasuk Punches dan Ades Minuman Botanikal Iced Tea Minuman atau Sari Nira
14.1.4.3 Minuman Konsentrat (Cair atau Padat) Minuman Squash Sirup Berperisa Iced Tea Instan Serbuk Minuman Berperisa Serbuk Minuman Rasa Jeruk Serbuk Minuman Tradisional Serbuk Jahe Serbuk Sekoteng Serbuk Bandrek Sirup Sirup Buah Minuman Dasar Elektrolit (Electrolyte Drinks Base) Konsentrat Lemonade Beku
14.1.5 Kopi, Kopi Substitusi, Teh, Seduhan Herbal, dan Minuman Biji-Bijian dan Sereal Panas, kecuali Cokelat Teh Hitam Teh Hijau Teh Wangi Teh Hijau Bubuk Teh Kering Dalam Kemasan Teh Hitam Celup Teh Wangi Celup Teh Hijau Celup Minuman Teh Dalam Kemasan Teh Instan Biji Kopi Kopi Bubuk Kopi Instan Kopi Campur Minuman Kopi Dalam Kemasan
14.2 Minuman Beralkohol, Termasuk Minuman Serupa yang Bebas Alkohol atau Rendah Alkohol
14.2.1 Bir dan Minuman Malt Bir Bir Hitam (Stout) Ale Malt Liqueur
14.2.2 Cider dan Perry Cider atau Anggur Apel Perry
14.2.3 Anggur 14.2.3.1 Stillwine 14.2.3.2 Anggur Sparkling dan Semi Sparkling
Anggur Sparkling dan Semi Sparkling 14.2.3.3 Anggur Fortifikasi dan Anggur Liqueur
Anggur Fortifikasi 14.2.4 Anggur Buah
Anggur buah Anggur Beras Anggur Beras Ketan Anggur Brem Bali Anggur Sayuran (Vegetable Wine) Tuak Anggur Tonikum Kinina
14.2.5 Mead, Anggur Madu 14.2.6 Minuman Spirit yang Mengandung Etanol Lebih Dari 15%
Minuman Spirit Brandy Brandy Buah Cognac Rum Whisky Gin Vodka Tequila Arak Genever Liqueur
14.2.7 Minuman Beralkohol yang Diberi Aroma (Misalnya Minuman Bir, Anggur Buah, Minuman Cooler-Spirit, Penyegar Rendah Alkohol) Minuman Ringan Beralkohol
Anggur Rendah Alkohol Koktail Anggur (Wine Cocktail) Shandy Meat Wine Anggur Mengandung Temulawak Arak Anggur Mengandung Ginseng
15.0 Makanan Ringan Siap- Santap 15.1 Makanan Ringan – Berbahan Dasar Kentang, Serealia, Tepung Atau Pati
(Dari Umbi-Umbian Dan Kacang-Kacangan) Keripik kentang Keripik Gadung Keripik singkong Keripik Ubi jalar Keripik tempe goreng Keripik tahu Keripik tales Keripik simulasi Opak Simping Slondok Pilus: Jagung berondong Jagung marning Jipang jagung
Jipang ketan Kerupuk beras Kerupuk puli Kerupuk kerak Kerupuk intip Rengginang/ekivalen: Rempeyek
15.2 Olahan Kacang-Kacangan, Termasuk Kacang Terlapisi Dan Campuran Kacang (Contoh: Dengan Buah Kering)
Kacang garing Biji mete kupas Kacang Atom/sukro Kacang goyang Enting-enting kacang gepuk Jipang kacang tanah
15.3 Makanan Ringan Berbasis Ikan Kerupuk Ikan Kerupuk Udang
16.0 Pangan komposit (pangan yang tidak termasuk kategori 1-15)
Lampiran 3. Prosedur pengolah database BTP dan kontaminan dalam pangan olahan
PROSEDUR PENGOLAH DATABASE BTP DAN KONTAMINAN DALAM PANGAN
OLAHAN
A. Langkah-langkah penggunaan program access untuk pengolahan database
BTP:
Untuk membuka program access, pilih menu Start pada taskbar desktop
Windows, klik Programs khususnya bagian Microsoft Access.
Pilih file open, cari file database BTP kemudian klik 2 kali sampai
muncul tampilan menu utama seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Menu utama
Menu utama terdiri dari 4 bagian yakni :
- Menu “tambah data” fungsinya untuk menambah data
- Menu “edit data” fungsinya untuk mengubah data yang telah
dimasukkan
- Menu “report” fungsinya untuk melihat report secara keseluruhan
- Menu “keluar” fungsinya untuk keluar dari program access
Untuk menambah data, pilih menu tambah data dan akan muncul
tampilan seperti pada Gambar 2.
Masukkan data pada masing-masing text box dan jika terdapat informasi
yang tidak tersedia maka dikosongkan. Untuk memasukkan data baru, klik
pada bagian add record dan secara otomatis data yang sebelumnya
dimasukkan akan tersimpan.
Gambar 2. Tampilan Form “tambah data”
Untuk mengubah data yang telah dimasukkan, pilih menu edit data dan
akan muncul tampilan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Tampilan Form “Edit Data”
Untuk mencari data berdasarkan kategori yang diinginkan misalnya
berdasarkan tempat sampling, klik pada box tempat sampling, kemudian
pilih bagian find record, dan akan muncul tampilan seperti pada Gambar
4.
Gambar 4. Tampilan menu “find record”
Ketik keyword pada bagian text box find what, kemudian tekan tombol
find next dan akan muncul data sesuai dengan yang diinginkan.
Menggunakan Query Pada Access
Untuk mencari data berdasarkan kategori yang diinginkan, pilih queries
pada tampilan Gambar 5, jika ingin melihat berdasarkan BTP, maka pilih
queries “Berdasar BTP”, ketik BTP yang diinginkan kemudian klik OK
dan akan muncul tampilan seperti pada Gambar 6.
Gambar 5. Tampilan “queries”
Gambar 6. Database pengujian BTP [Berdasar BTP: select query]
B. Langkah-langkah penggunaan program access untuk database kontaminan
pada pangan olahan sama dengan database BTP, hanya saja setelah Microsoft
Access terbuka, pilih file open, dan cari file database kontaminan. Langkah
selanjutnya sama dengan langkah-langkah penggunaan program access untuk
database BTP.
Lampiran 4. Pedoman penggunaan software OPAL I
PEDOMAN PENGGUNAAN SOFTWARE OPAL I
(OPERATIONAL PROGRAMS FOR ANALYTICAL LABORATORIES)
1. Pendahuluan
OPAL (Operational Programs for Analytical Laboratories) adalah
nama perangkat lunak (software) yang merupakan suatu sistem informasi
berbasis komputer yang dikembangkan oleh WHO untuk membantu
program GEMS/FOOD. Terdapat dua komponen OPAL yakni OPAL I
yang digunakan untuk data kontaminan dalam pangan dan OPAL II yang
digunakan untuk hasil TDS (Total Diet Study). Panduan ini hanya akan
membahas petunjuk penggunaan software OPAL I.
Informasi yang ditampilkan dalam OPAL tersusun secara teratur,
dapat dipercaya dan relevan sehingga dapat menunjang pengambilan
keputusan bagi para pengguna informasi tersebut.
2. Tujuan
Buku Pedoman Penggunaan software OPAL I ini disusun dengan
tujuan untuk memberi petunjuk tentang tata cara penggunaan software
OPAL yang mencakup instalasi OPAL, pengentrian data, dan
menampilkan laporan hasil pengolahan.
3. Rekomendasi sistem
Spesifikasi minimal perangkat keras (hardware) yang
direkomendasikan menjalankan program OPAL sebagai berikut:
a. PC 486 atau 586, RAM 8 MB
b. Harddisk 20 MB free disk space
c. Mouse
Perangkat lunak (software) yang dibutuhkan dalam untuk menjalankan
program OPAL I adalah:
a. Windows NT , Windows 95/98, Windows 2000
4. Instalasi OPAL I
Untuk instalasi system ke dalam PC, langkah-langkahnya sebagai
berikut:
a. Masukkan CD OPAL ke CD ROM, buka Windows Explorer dan cari
file Setup.exe pada path CD ROM. Klik file Setup.exe dua kali
selanjutnya akan muncul Gambar OPAL English Setup (Gambar 1).
Gambar 1. Jendela utama OPAL Setup
b. Tekan tombol continue pada jendela tersebut, kemudian akan muncul
kotak dialog OPAL ENGLISH Setup (Gambar 2).
Gambar 2. Kotak dialog OPAL Setup
c. Tekan tombol OK, kemudian akan muncul tampilan kotak dialog
OPAL ENGLISH Setup seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Kotak dialog OPAL Setup
d. Klik pada bagian Typical dan tunggu beberapa saat selama proses
instalasi berlangsung sampai muncul kotak pesan bahwa instalasi
OPAL telah berhasil (Gambar 4).
Gambar 4. Kotak pesan OPAL Setup
e. Tekan tombol OK dan software OPAL telah terinstal pada komputer
anda.
5. Memulai dan menggunakan program OPAL
Untuk memulai OPAL ikuti langkah-langkah berikut:
a. Sebelum software dapat dipakai, akan muncul kotak pesan seperti pada
Gambar 5.
Gambar 5. Kotak pesan OPAL-Locate OPAL1VxD.MDB
b. Tekan tombol OK dan akan muncul tampilan seperti pada Gambar 6.
Pilih Opal1vxd lalu tekan tombol Open. Software siap digunakan.
Gambar 6. Kotak dialog OPAL-Where is OPAL0VxE.MDB
c. Untuk memulai OPAL tekan tombol Start pada taskbar desktop
Windows, sorot pilihan Programs, kemudian sorot OPAL ENGLISH
SOFTWARE khususnya pada bagian OPAL I.
d. Bagian-bagian dari jendela utama OPAL dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Tampilan awal software OPAL I
e. Menu utama yang terdapat dalam OPAL I sebagai berikut:
i. Contaminants/Food List
Menu Contaminants/Food List terdiri atas dua pilihan yaitu:
- Contaminant List yang berisi daftar kontaminan beserta
kodenya yang telah didesain oleh WHO.
- Food List yang berisi daftar kelompok pangan beserta kodenya
yang telah disesain oleh WHO. Daftar kelompok pangan ini
selalu diupdates, sehingga jika ada informasi terbaru pengguna
harus menghubungi GEMS/FOOD.
ii. Data Management
Menu data management terdiri dari dua tipe data kontaminan :
- Aggregated data
Data yang dimasukkan menggambarkan satu kontaminan
tertentu dalam satu food item di suatu negara dalam satu
periode sampling. Cara menggunakan form ini adalah sebagai
berikut:
Klik tombol “aggregated” dan akan muncul tampilan
seperti pada Gambar 8.
Gambar 8. Tampilan untuk “Aggregated data”
Klik bagian “data entry” untuk memasukkan data dan
akan muncul tampilan seperti pada Gambar 9.
Gambar 9. Tampilan elemen data entry untuk agregated data
Komponen-komponen yang ada dalam tampilan data entry
untuk aggregated data antara lain:
a) serial number of the record yang merupakan kode yang telah
didesain oleh GEMS/FOOD untuk monitoring kontaminan
pangan di suatu negara tertentu (WHO Collaborating Centre
for Food Contamination Monitoring),
b) date of record creation yang merupakan waktu pada saat entry
data, meliputi tanggal, bulan dan tahun,
c) country providing the record yang menunjukkan negara
dimana produk yang diuji tersebut dipasarkan,
d) food identifier yang merupakan kode untuk pangan tertentu
yang telah didesain oleh CAC (Codex Alimentarius
Commission),
e) food origin yang merupakan negara asal produk jika produk
yang diuji merupakan produk impor,
f) time period of food sampling yang merupakan periode
sampling, terdiri dari tanggal, bulan dan tahun sampling,
g) representativeness of the samples yang menunjukkan kualitas
data yang dikumpulkan, ditulis dengan kode sebagai berikut:
SW untuk data yang bersifat statistik dan mewakili
seluruh wilayah negara
SP untuk data yang bersifat statistik dan mewakili
sebagian wilayah negara
NW untuk data yang bersifat non statistik dan sampel
diambil dari seluruh wilayah negara
NP untuk data yang bersifat non statistik dan sampel
diambil dari sebagian wilayah negara
h) number of laboratories participating samples analysis yang
menunjukkan jumlah laboratorium yang terlibat dalam
pengujian,
i) indicator of analytical quality assurance yang menunjukkan
akreditas laboratorium yang terlibat dalam analisis,
j) contaminant identifier yang menunjukkan jenis kontaminan
yang ada dalam suatu kelompok pangan tertentu,
k) unit of reporting for contaminant levels yang menunjukkan
unit atau satuan konsentrasi kontaminan, ditulis dengan kode
sebagai berikut:
1 mg/kg (miligram per kilogram)
2 µg/kg (mikrogram per kilogram)
3 ng/kg (nanogram per kilogram)
4 pg/kg (pikogram per kilogram)
R Bq/kg (becquerel per kilogram)
l) LOD (Limit of Detection) yang menunjukkan konsentrasi
terkecil dari kontaminan yang masih dapat dideteksi oleh alat,
terdiri dari dua nilai LOD yakni LOD min dan LOD max.
Keduanya digunakan jika jumlah laboratorium yang terlibat
dalam pengujian lebih dari satu. Jika hanya satu laboratorium
maka nilai keduanya sama,
m) LOQ (Limit of Quantification) yang menunjukkan
konsentrasi terkecil dari kontaminan yang masih dapat
dihitung, terdiri dari dua nilai LOQ yakni LOQ min dan LOQ
max. Keduanya digunakan jika jumlah laboratorium yang
terlibat dalam pengujian lebih dari satu. Jika hanya satu
laboratorium maka nilai keduanya sama,
n) basis for the analytical values yang menunjukkan basis data,
ditulis dengan kode sebagai berikut :
F fat content
D dry weight
A as is (raw, fresh)
C as consumed
o) number of samples analyzed yang menunjukkan jumlah
sampel yang dianalisis,
p) number of samples with concentration below limit of
quantification yang menunjukkan jumlah sampel yang
konsentrasinya dibawah LOQ,
q) Range of quantified analytical concentrations yang
menunjukkan selang nilai konsentrasi yang terkuantifikasi,
terdiri dari minimum concentration dan maximum
concentration,
r) mean concentration yang menunjukkan nilai rata-rata
konsentrasi kontaminan dari sejumlah sampel yang diuji,
terdiri dari mean lower bound, mean upper bound, dan mean
best estimated,
s) median concentration yang menunjukkan nilai median
konsentrasi kontaminan dari sejumlah sampel yang diuji.
Form ini hanya akan diisi jika nilai konsentrasi yang
terkuantifikasi jumlahnya lebih dari 50% dari jumlah sampel
yang diuji,
t) 90th percentile concentration, form ini dikosongi jika lebih
dari 90% sampel yang diuji mempunyai nilai konsentrasi yang
tidak terkuantifikasi,
u) standard deviation, form ini dikosongi jika lebih dari 50%
sampel yang diuji mempunyai nilai konsentrasi yang tidak
terkuantifikasi,
v) confidentially data yang menunjukkan sifat kerahasiaan data,
w) remarks/reference yang merupakan catatan yang berhubungan
dengan data.
Seluruh data dimasukkan satu per satu dan jika
terdapat informasi yang tidak tersedia maka
dikosongkan. Untuk memasukkan data baru maka
dipilih “new record” dan secara otomatis data yang
sebelumnya dimasukkan akan tersimpan.
- Individual measurement
Data yang dimasukkan menggambarkan adanya kontaminan
dalam satu sampel pangan. Cara menggunakan form ini adalah
sebagai berikut:
Klik tombol “individual measurements” dan akan
muncul tampilan seperti pada Gambar 10
Gambar 10. Tampilan untuk “Individual measurements”
Klik bagian “data entry” untuk memasukkan data dan
akan muncul tampilan seperti pada Gambar 11.
Gambar 11. Tampilan elemen data entry untuk individual measurement
Komponen-komponen yang ada dalam tampilan data entry
untuk individual measurements antara lain :
a) serial number of the record yang merupakan kode yang telah
didesain oleh GEMS/FOOD untuk monitoring kontaminan
pangan di suatu negara tertentu (WHO Collaborating Centre
for Food Contamination Monitoring),
b) date of record creation meliputi tanggal, bulan dan tahun,
c) country providing the record yang menunjukkan negara
dimana produk yang diuji tersebut dipasarkan,
d) food identifier yang merupakan kode untuk pangan tertentu
yang telah didesain oleh CAC (Codex Alimentarius
Commission),
e) food origin yang merupakan negara asal produk jika produk
yang diuji merupakan produk impor,
f) date of food sampling yang merupakan waktu pada saat
dilakukan sampling, terdiri dari tanggal, bulan dan tahun
sampling,
g) representativeness of the samples yang menunjukkan kualitas
data yang dikumpulkan, ditulis dengan kode sebagai berikut:
SW untuk data yang bersifat statistik dan mewakili
seluruh wilayah negara
SP untuk data yang bersifat statistik dan mewakili
sebagian wilayah negara
NW untuk data yang bersifat non statistik dan sampel
diambil dari seluruh wilayah negara
NP untuk data yang bersifat non statistik dan sampel
diambil dari sebagian wilayah negara
h) identification number of laboratory performing samples
analysis yang menunjukkan jumlah laboratorium yang terlibat
dalam pengujian,
i) indicator of analytical quality assurance yang menunjukkan
akreditas laboratorium yang terlibat dalam analisis,
j) confidentially data yang menunjukkan sifat kerahasiaan data,
k) remarks/reference yang merupakan catatan yang berhubungan
dengan data,
l) contaminant identifier yang menunjukkan jenis kontaminan
yang ada dalam suatu kelompok pangan tertentu,
m) unit of reporting for contaminant levels yang menunjukkan
unit atau satuan konsentrasi kontaminan, ditulis dengan kode
sebagai berikut:
1 mg/kg (miligram per kilogram)
2 µg/kg (mikrogram per kilogram)
3 ng/kg (nanogram per kilogram)
4 pg/kg (pikogram per kilogram)
R Bq/kg (becquerel per kilogram)
n) LOD (Limit of Detection) yang menunjukkan konsentrasi
terkecil dari kontaminan yang masih dapat dideteksi oleh alat,
o) LOQ (Limit of Quantification) yang menunjukkan
konsentrasi terkecil dari kontaminan yang masih dapat
dihitung,
p) basis for the analytical values yang menunjukkan basis data,
ditulis dengan kode sebagai berikut:
F fat content
D dry weight
A as is (raw, fresh)
C as consumed
q) result yang menunjukkan konsentrasi kontaminan yang ada
dalam pangan tertentu yang diukur secara individual.
Seluruh data dimasukkan satu per satu dan jika
terdapat informasi yang tidak tersedia maka
dikosongkan. Untuk memasukkan data baru maka
dipilih “new record” dan secara otomatis data yang
sebelumnya dimasukkan akan tersimpan.
Data-data yang dimasukkan dalam individual
measurements secara otomatis bisa ditransfer ke dalam agregated
data. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
Tekan tombol contaminants/food data khususnya
bagian agregate (Gambar 10). Setelah itu akan muncul
tampilan seperti pada Gambar 12.
Nomor seri pertama dari data yang telah dimasukkan
dalam individual measurements, basis data dan periode
sampling dimasukkan ke dalam kolom masing-masing,
begitu juga dengan country dan origin yang
dikehendaki.
Tekan tombol agregation dan secara otomatis data
akan ditransfer kedalam agregated data.
Gambar 12. Tampilan agregate screen
Agregate screen ini fungsinya mengkalkulasi parameter
statistik seperti mean, median, standar deviasi dan percentile
(WHO, 2004). Prosedur kerjanya akan sangat tergantung pada
tersedianya informasi tentang nilai LOD dan LOQ. Kedua nilai
ini sangat diperlukan untuk memperkirakan beberapa parameter
statistik seperti mean, median, standar deviasi dan percentile
dengan membuat asumsi-asumsi ketika hasil analisa menunjukkan
nilai ”tidak terdeteksi”.
Terdapat empat asumsi menurut WHO, 2004 yakni:
(i) jika data yang nilainya kurang dari LOQ sebanyak ≤ 50 %
dari data yang tersedia, maka hasil yang kurang dari LOQ
tersebut nilainya dianggap sebesar LOQ/2 (jika LOQ yang
dilaporkan >0) atau sebesar LOD/2 (jika LOQ=0 tetapi
LOD>0), dalam kasus ini nilai rata-rata (best estimated)
langsung dapat dikalkulasi sesuai dengan modifikasi
tersebut, akan tetapi untuk mencari nilai median dan 90th
percentile, nilai yang kurang dari LOQ dianggap 0, dan
parameter standar deviasi dikalkulasi dari nilai yang
terkuantifaksi saja tanpa memperhitungkan nilai yang kurang
dari LOQ,
(ii) jika data yang nilainya kurang dari LOQ sebanyak > 50%
dan <=60% dari data yang tersedia, maka asumsi sama
dengan asumsi (i) hanya saja untuk parameter median dan
standar deviasi tidak dikalkulasi (dikosongi),
(iii) jika data yang nilainya kurang dari LOQ sebanyak > 60%
dan < 90% dari data yang tersedia, maka terdapat dua nilai
rata-rata yakni mean lower bound (mean lb) dan mean upper
bound (mean ub). Mean lower bound adalah nilai mean
yang dikalkulasi setelah semua hasil yang kurang dari LOQ
diasumsikan 0, sedangkan mean upper bound adalah nilai
mean yang dikalkulasi setelah semua hasil yang kurang dari
LOQ diasumsikan sebesar nilai LOQ atau sebesar LOD jika
LOQ = 0, tetapi LOQ>0, dalam kasus ini nilai mean lower
bound dan mean upper bound dikalkulasi berdasarkan
modifikasi tersebut, untuk mencari nilai 90th percentile nilai
yang kurang dari LOQ dianggap 0, sedangkan parameter
median dan standar deviasi tidak dapat dikalkulasi, dan
(iv) jika data yang nilainya kurang dari LOQ sebanyak ≥ 90%
dari data yang tersedia, asumsi sama dengan asumsi (iii),
hanya saja untuk kasus ini parameter mean (best estimated),
median, 90th percentile dan standar deviasi tidak dapat
dikalkulasi (data dikosongi).
Untuk melihat output (hasil olahan software) secara
keseluruhan, dipilih view dan akan muncul hasilnya
untuk kontaminan tertentu pada kategori pangan
tertentu.
Untuk melihat outputnya, maka langkah-langkahnya
sebagai berikut:
Pilih view pada Gambar 9 khususnya pada bagian
current record dan akan muncul tampilan seperti pada
Gambar 13.
Gambar 13. Tampilan-Enter Parameter Value
Ketik serial number pada kolom yang kosong,
kemudian klik OK.
Contoh form keluaran software dapat dilihat sebagai
berikut:
Contoh form keluaran software OPAL I
List of Food-Contaminants 19-Nov-05 _1-00-1001 Food-Id JF203 Food name Grapefruit juice Serial-Nr 1001001 Creation date 04.12.20 Country Greece Food Grapefruit juice Origin GRE Sampling period 01/1999-12/2000 Represent. Nostat. - Part Number of Labs 2 Analytical Quality Assurance majority of labs used internal quality assurance and reference standards Contaminants Malathion Dimension pg/kg LOD min 0.1 LOD max 0.1 LOQ min 0.27 LOQ max 0.3 Basis C No of samples 29 No of samples below LOQ 2 range min 0.3 range max 0.56 Mean (lower bound) 0.39 Mean (upper bound) 0.39 Mean (best est.) 0.39 Median 0.39 Standard Deviation 0.23 90th Perc. 0.39 Confidentiality Yes Remarks
6. Penutup
Program ini merupakan perangkat yang digunakan untuk mengolah data
kontaminan dalam pangan menjadi informasi yang berguna sehingga dapat
digunakan sebagai landasan ilmiah bagi manajer risiko dalam membuat
suatu kebijakan yang berkaitan dengan masalah keamanan pangan.
Lampiran 5. Prioritas utama pangan dan kontaminan menurut GEMS/FOOD
PRIORITAS UTAMA PANGAN DAN KONTAMINAN MENURUT GEMS/FOOD YANG DIREVISI AGUSTUS 2001
Contaminants Foods
Aldrin, dieldrin, DDT (p,p’- dan o,p’-), TDE (p,p’-), DDE (p,p’- dan p,o’), endosulfan (α, β dan sulfat), endrin, heksaklorosikloheksan (α, β dan γ ), heksaklorobenzen, heptaklor, heptaklor epoksida, dan PCB
Susu, mentega susu, minyak dan lemak hewani, serealia*, ASI
Timbal (Pb) Susu, daging segar/kalengan, ginjal, serealia*, buah-buahan segar/kalengan, jus buah, bumbu-bumbuan, makanan bayi, dan air minum
Kadmium (Cd) Ginjal, moluska (hewan lunak), udang-udangan, serealia* Merkuri (Hg) Ikan Aflatoksin Susu, pati jagung, kacang tanah, kacang-kacangan lainnya,
buah ara kering Diazinon, fenitrotion, malation, paration, metil paration, metil pirimiphos Serealia*, buah-buahan, sayur-sayuran Arsen anorganik Air minum
* atau bahan pangan pokok lainnya Sumber: WHO (2002)