evolusi budaya

8
1 Evolusi Budaya(?) 1 Deni Khanafiah Dept. computational Sociology Bandung Fe Institute Berbicara mengenai cultural evolution atau evolusi budaya, kita akan berhadapan dengan dua istilah yaitu evolusi dan budaya. Dua istilah yang menjadi pokok bahasan di banyak cabang ilmu, termasuk diantaranya: biologi, sosiologi, antropologi, dan psikologi hingga ekonomi. Evolusi sendiri merupakan terminologi yang berasal dari biologi, yang menggambarkan fenomena asal usul adanya variasi spesies dan bagaimana manusia kemudian menjadi makhluk yang paling dominan di dunia saat ini. 1. Evolusi Biologis Evolusi merupakan suatu fenomena yang telah lama dikenal dalam bidang biologi. Fenomena yang berupaya dijawabnya tentunya adalah variasi dalam spesies dan juga dinamika variasi tersebut dari waktu ke waktu yang didapatinya melalui berbagai penemuan fosil. Ada 2 hal yang menentukan dinamilka yang terjadi dalam evolusi, yaitu variasi melalui mutasi yang bersifat random dan kekuatan seleksi. Dengan hanya menganggap bahwa evolusi berjalan secara acak, maka kita tidak mungkin mendapati adanya akumulasi dari sifatsifat tertentu yang bisa beradaptasi dengan lingkungan. Namun dengan adanya proses seleksi, kita akan mendapati adanya kekuatan yang menghempang atau menghilangkan hasil mutasi yang tidak coccok dengan lingkungan dan memungkinkan perubahan yang memiliki tingkat kecocokan yang tinggi akan bertahan dan bahkan terakumulasi. Sifatsifat dan karakteristik yang menguntungkan tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya, yang juga akan mempunyai peluang untuk berubah membentuk variasi baru yang juga ikut terseleksi. Begitu seterusnya sehingga apa yang bisa kita lihat dari variasi yang ada sekarang merupakan hasil dari perubahan gradual dan akumulatif dari generasi yang simple hingga yang kompleks. Teori evolusi sendiri pada dasarnya sudah lahir sejak lama, beberapa ilmuwan sebelumnya yang juga ikut berkontribusi pada teori ini diantaranya adalah Lamarck (1974) dan Geoffroy St. Hilaire (1830). Lamarck mengusulkan mekanisme “penurunan karakteristik yang diperoleh oleh suatu makhluk hidup, untuk menjelaskan adanya proses evolusi organisme dari sederhana menuju yang lebih kompleks. Spesies cenderung beradaptasi dengan lingkungannya dan berkembang melalui penggunaan atau tidak digunakannya organ tertentu dari spesies tersebut. Contoh sederhananya kijang, awalnya tidak bertanduk, namun menumbuhkan tanduknya untuk bertahan dari serangan pemangsanya. Sementara Hilaire menyatakan bahwa proses tersebut tidaklah kontinu, dimana variasi terjadi karena adanya karakteristik yang didapat dari induk sebelumnya. Ia sendiri tidak memperkuat teori ini dengan beberapa contoh mekanismenya. Berbeda dengan Lamarck, Darwin melihat bahwa variasi bukanlah hasil dari proses adaptasi, melainkan karena adanya perbedaan kapasitas dari spesies untuk beradaptasi. Spesies yang mempunyai kapasitas untuk beradaptasi dengan lingkungannyalah yang akan bertahan dan kemudian mempunyai 1 Disampaikan dalam diskusi di IACI, Bandung 19 April 2008

Upload: aldiansyahhakim

Post on 22-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

eqeq aedad

TRANSCRIPT

Page 1: evolusi budaya

1  

Evolusi Budaya(?)1 Deni Khanafiah 

Dept. computational Sociology Bandung Fe Institute 

  Berbicara mengenai cultural evolution atau evolusi budaya, kita akan berhadapan dengan dua 

istilah  yaitu  evolusi  dan  budaya.  Dua  istilah  yang  menjadi  pokok  bahasan  di  banyak  cabang  ilmu, termasuk  diantaranya:  biologi,  sosiologi,  antropologi,  dan  psikologi  hingga  ekonomi.  Evolusi  sendiri merupakan  terminologi  yang  berasal  dari  biologi,  yang menggambarkan  fenomena  asal  usul  adanya variasi spesies dan bagaimana manusia kemudian menjadi makhluk yang paling dominan di dunia saat ini.    1. Evolusi Biologis 

Evolusi merupakan  suatu  fenomena yang  telah  lama dikenal dalam bidang biologi. Fenomena yang berupaya dijawabnya tentunya adalah variasi dalam spesies dan juga dinamika variasi tersebut dari waktu ke waktu yang didapatinya melalui berbagai penemuan fosil.  

Ada 2 hal yang menentukan dinamilka yang  terjadi dalam evolusi, yaitu variasi melalui mutasi yang bersifat random dan kekuatan seleksi. Dengan hanya menganggap bahwa evolusi berjalan secara acak,  maka  kita  tidak  mungkin  mendapati  adanya  akumulasi  dari  sifat‐sifat  tertentu  yang  bisa beradaptasi  dengan  lingkungan.  Namun  dengan  adanya  proses  seleksi,  kita  akan mendapati  adanya kekuatan yang menghempang atau menghilangkan hasil mutasi yang  tidak  coccok dengan  lingkungan dan memungkinkan perubahan yang memiliki tingkat kecocokan yang tinggi akan bertahan dan bahkan terakumulasi. Sifat‐sifat dan karakteristik yang menguntungkan tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya, yang juga akan mempunyai peluang untuk berubah membentuk variasi baru yang juga ikut terseleksi. Begitu seterusnya sehingga apa yang bisa kita lihat dari variasi yang ada sekarang merupakan hasil dari perubahan gradual dan akumulatif dari generasi yang simple hingga yang kompleks. 

Teori evolusi sendiri pada dasarnya sudah lahir sejak lama, beberapa ilmuwan sebelumnya yang juga ikut berkontribusi pada teori ini diantaranya adalah Lamarck (1974) dan Geoffroy St. Hilaire (1830). Lamarck mengusulkan mekanisme “penurunan karakteristik yang diperoleh oleh suatu makhluk hidup, untuk  menjelaskan  adanya  proses  evolusi  organisme  dari  sederhana  menuju  yang  lebih  kompleks. Spesies cenderung beradaptasi dengan lingkungannya dan berkembang melalui penggunaan  atau tidak digunakannya  organ  tertentu  dari  spesies  tersebut.  Contoh  sederhananya  kijang,  awalnya  tidak bertanduk, namun menumbuhkan  tanduknya untuk bertahan dari serangan pemangsanya. Sementara Hilaire  menyatakan  bahwa  proses  tersebut  tidaklah  kontinu,  dimana  variasi  terjadi  karena  adanya karakteristik  yang  didapat  dari  induk  sebelumnya.  Ia  sendiri  tidak  memperkuat  teori  ini  dengan beberapa contoh mekanismenya.  

Berbeda  dengan  Lamarck, Darwin melihat  bahwa  variasi  bukanlah  hasil  dari  proses  adaptasi, melainkan karena adanya perbedaan kapasitas dari spesies untuk beradaptasi. Spesies yang mempunyai kapasitas untuk beradaptasi dengan  lingkungannyalah yang akan bertahan dan kemudian mempunyai 

                                                            1 Disampaikan dalam diskusi di IACI, Bandung 19 April 2008 

Page 2: evolusi budaya

2  

banyak keturunan. Variasi terjadi karena adanya suatu perubahan yang bersifat random dan juga seleksi alam.  

Beberapa fakta dan temuan selanjutnya, menunjukkan bahwa Teori evolusi melalui seleksi alam lebih diterima dibandingkan  teori  Lamarck. Walaupun demikian, baik Darwin maupun Wallace  sendiri masih menyisakan pertanyaan, terutama tentang bagaimana mekanisme penurunan sifat atau karakter dari satu generasi ke generasi selanjutnya.   

Mekanisme  penurunan  sifat  dan  faktor  apa  yang  menentukan  sifat  suatu  organisme  mulai menemukan  jawabannya dengan penemuan Mendell. Percobaan yang dilakukannya cukup sederhana, ia  hanya  mengawin  silangkan  2  jenis  tanaman  yang  berbeda  sifatnya  terus  menerus.  Ilustrasi sederhananya: bayangkan kita mempunyai 2  tanaman anggrek – bunga nasional  Indonesia, yang  satu berwarna  merah  sedangkan  satunya  lagi  berwarna  putih.  Ketika  dikawinkan  ia  akan  menghasilkan anggrek  berwarna  merah  dan  tidak  ada  yang  berwarna  putih.  Hasil  perkawinan  kedua,  adalah mengawinkan sesama anggrek hasil perkawinan pertama. Yang menarik dari hasil perkawinan  ini, rata‐rata  dari  empat  hasil  perkawinan  didapati  satu  buah  anggrek  berwarna  putih.    Dari  percobaan  ini Mendell merumuskan  beberapa  konsep  yang  nantinya menjadi  dasar  dari  konsep  genetika modern, yaitu konsep gen dominan dan resesif. Dalam kasus bunga anggrek di atas, bisa dikatakan bahwa dalam setiap anggrek akan memiliki dua jenis gen, ketika salah satunya dominan maka sifat dari gen dominan itulah yang muncul. Untuk kasus anggrek tersebut, gen warna merah merupakan gen yang dominan dan gen putih adalah gen resesif. Katakanlah gen merah tersebut kita simbolkan dengan M, dan gen putih disimnolkan dengan m. Pada generasi pertama aggrek merah mempunyai gen MM dan anggrek putih adalah mm,  bisa  dikatakan  bahwa  generasi  kedua  akan mempunyai  gen Mm,  yang  tentunya  akan berwarna merah, karena sifat gen M (warna merah) mendominasi sifat m (warna putih).  

Mendell  juga  menjadi  peletak  konsep  gen  sebagai  faktor  yang  menentukan  sifat  suatu organisme,  dan  yang  perlu  dicatat Mendell  sendiri menjadi  orang  pertama  yang mendemontrasikan perbedaan  antara  genotip  sebagai  faktor  penentu  sifat,  dan  fenotipnya  atau  sifat  yang muncul  dari suatu  genotif tertentu. 

Namun pertanyaan mengenai bagaimana mekanisme gen bisa dan bagaimana variasi  tertentu bisa muncul dan membrojol dari hasil  seleksi  alam, belum  terjawab hingga  akhirnya ditemukan DNA sebagai unit informasi terkecil yang menyusun gen dan menjadi faktor penentu sifat dari organisme dan keturunannya.  

Penemuan DNA memberikan  titik  terang mengenai bagaimana mekanisme  evolusi dari  suatu organisme.  Penemuan  DNA  yang  berkembang  di  biomolekular  dan  biokimia  menjadi  semacam pengembangan  secara mikroskpis dari pengamatan makroskopis Darwin dan  juga Mendell. Gen pada dasarnya  merupakan  untai  DNA  sebagai  unit  informasi  terkecil    yang  bisa  terekspresikan  menjadi fenotipnya, yaitu enzim, protein RNA dan  lain  sebagainya. Gen  tersusun atas alel, atau alternatif gen tertentu, yang akan menentukan adanya variasi dalam spesies. Mutasi dari gen  terjadi karena adanya perubahan  dari  untai  DNA  yang  pada  akhirnya  akan  merubah  sifat  dari  fenotipnya.  Spesies  yang mempunyai  sifat  atau  karakteristik  yang  cocok  dengan  lingkungannya  akan  bertahan, memproduksi banyak keturunan dan menurunkan (mentransmisikan) sifatnya tersebut ke generasi selanjutnya melalui proses pengkopian gen (replikasi).  2. Evolusi Budaya(?) 

Page 3: evolusi budaya

3  

Berbicara  tentang evolusi manusia,  kita  tidak  cukup berbicara mengenai evolusi biologis  saja. Manusia bukan hanya makhluk biologis, tetapi  juga sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia mengalami evolusi  lain,  yaitu  evolusi  kultur  atau  budaya. Manusia mempunyai  tata  cara  hidup,  kebiasaan  dan norma dan aspek‐aspek kultural  lainnya yang senantiasa berubah dan menjadi kompleks dari waktu ke waktu. Suatu bentuk evolusi lain yang menjadikannya sebagai makhluk hidup yang paling dominan dan adaptif terhadap lingkungannya saat ini. 

Evolusi budaya merupakan suatu proses evolusi yang terjadi hingga saat ini. Kita bisa mengamati bagaimana  fakta akan evolusi tersebut dalam banyak hal, seperti dalam bahasa, gaya hidup hingga ke dinamika  dalam  sistem  ekonomi.  Pertanyaannya  apakah  prinsip‐prinsip  dalam  evolusi  hayati  juga berlaku  dalam  evolusi  kultur  atau  sosial?  Untuk menjawab  itu,  seorang  biolog  Robert  Boyd  (2005), mengajukan beberapa proposisi terkait dengan evolusi budaya diantaranya: 1. Budaya  merupakan  informasi  yang  didapatkan  oleh  suatu  individu  dari  orang  lain  melalui 

pengajaran, imitasi atau bentuk pembelajaran sosial lainnya.  2. Perubahan budaya haruslah dimodelkan sebagai suatu proses Evolusi Darwinian. 3. Budaya merupakan sebahagian dari evolusi biologis. 4. Evolusi budaya membuat evolusi manusia menjadi berbeda dengan evolusi makhluk hidup lainnya. 5. Gen dan budaya berkoevolusi. 

Namun,  harus  disadari  bahwa  sistem  sosial  sendiri  merupakan  sistem  yang  tersusun  atas ibanyak individu yang secara aktif berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, saling bertukar informasi  dan  kemudian  mentransmisikannya  satu  sama  lain  baik  intra  maupun  inter‐generasi.  Ia merupakan  sistem  yang  terbuka,  yang  beradaptasi  dengan  kondisi  lingkungannya  dan  kemudian berubah  secara  dinamik  dan  beradaptasi  dengan  perubahan  lingkungan  tersebut. Dalam  persepektif hubungan  mikro‐makro,  budaya  merupakan  suatu  keadaan  makro  yang  membrojol  dari  interaksi individu‐individu  di  tingkatan  mikro.    Komunikasi  antar  individu  dan  pertukaran  informasi  dan  ide diantara mereka, muncul  sebagai  sebuah kepercayaaan, norma, kebiasaan dan budaya  secara umum. Jelasnya, budaya merupakan fenomena makro yang membrojol akibat hubungan  interaksi, komunikasi dan saling pengaruh mempengaruhi   diantara  individunya  (gambar 1).   Propoposi yang diajukan Boyd, pada dasarnya lebih di dasarkan pada fakta‐fakta yang didapatinya dari kajian antropologi dan linguistik. Sebagai  seorang  biolog,  ia  mendapati  bagaimana  spesies  yang  secara  genetik  berkorelasi  akan mempunyai  budaya    dan bahasa  yang mirip  satu  sama  lain.   Namun  dalam memodelkan bagaimana proses  ini  terjadi  secara  Darwinian,  belum  ada  yang  cukup  baku  yang  diterima  oleh  para  ilmuwan. Jawaban yang cukup menjanjikan dating dari konsep memetika, yang secara umum memandang bahwa sistem sosial dan budaya, tersusun atas unit hereditas yang dinamakan meme.   3. Evolusi memetik sebagai alat analisis dalam memodelkan evolusi masyarakat dan budaya 

Memodelkan evolusi kultural dari sudut pandang memetika, kita tentu harus menyadari bahwa pada  dasarnya  kultur  merupakan  suatu  sistem  bertingkat  yang  didalamnya  mengandung  berbagai elemen‐elemen kultur tertentu yang senantiasa berubah secara dinamik, dimana perubahan  ini terjadi karena  adanya  dinamika  dalam  masyarakat  itu  sendiri  –  baik  melalui  proses  asimilasi,  akulturasi, komunikasi maupun  interaksi  antar  individu.  Fenomena  evolusi  kultural  bisa  kita  lihat  sebagai  pola dinamik, dimana elemen  kultur  terbut bukan hanya menyebar dan bertransmisi dari  satu  individu  ke individu lainnya, melainkan juga bagaimana elemen‐elemen tadi secara dinamik berubah selama proses 

Page 4: evolusi budaya

4  

transmisi tersebut. Meme bisa dipandang sebagai sebuah unit yang paling kecil dari kultur, seperti not musik atau cara menggunakan sepatu, hingga bagian yang lebih besar seperti nasionalisme atau agama, sehingga memetika pada hakikatnya merupakan suatu alat analisis yang dapat menjelaskan  fenomena dalam  sistem  kultur  atau  aspek‐aspek  kultural,  diseminasi  dan  propagasinya,  hingga    evolusinya. Memetika  juga  bisa  kita  lihat  sebagai  sebuah  cara  bagaimana  suatu  objek  kultur    atau  sistem bertransmisi dari satu orang ke yang lainnya dalam prespektif virus akal budi (Brodie, 1996). 

  

             

Gambar 1 Budaya sebagai fenomena yang membrojol dari interaksi individu di level mikro  

dan hubungan timbal baliknya  

Dawkin menyebutkan bahwa meme merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di otak dan menjadi unit replikator dalam evolusi kultur manusia. Meme tersebut bisa berupa ide, gaya berpakaian, tata cara ibadah, norma dan aspek kultur lainnya.  Meme dalam sistem kultural manusia berperilaku dan mempunyai  karakteristik  selayaknya  gen  dalam  sistem  biologis,  yang  bisa  bereplikasi  sendiri  dan bermutasi.  Konsep  meme  yang  dilontarkannya  ini  kemudian  mengundang  banyak    perdebatan dikalangan  biolog  dan  sosiolog,  terlebih  karena  ia  sendiri  tidak memberikan  penjelasan  yang  cukup gamblang mengenai bagaimana unit  informasi dalam otak  tersebut mengontrol perilaku manusia, dan pada  akhirnya  kultur manusia,  serta  bagaimana mekanisme  replikasi  serta  transmisi  dari meme  itu sendiri. Hal ini juga yang menjadikan definisi meme pada perkembangannya menjadi begitu banyak dan seakan tidak menemukan titik temu satu sama lainnya.   Perdebatan  ini  menjadi  terkadang  cukup  kontraproduktif  tatkala  melupakan  esensi  dari memetik sendiri sebagai sebuah alat analisis yang berupaya menganalisis dinamika perubahan budaya dalam  persepektif  evolusi. Memetika  harus  dipandang  sebagai  alat  analisis  alternatif  baru  yang  bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena evolusi kultural, sehingga kita tidak bisa mengasumsikan meme sebagai unit informasi terkecil dari evolusi kultural atau sosial secara umum, layaknya gen dalam evolusi biologi, melainkan sebagai unit informasi terkecil yang dapat kita gunakan untuk menjelaskan fenemona 

sosial tertentu di masyarakat (Situngkir, 2004).  

Page 5: evolusi budaya

5  

 

4. Inovasi sebagai proses evolusi: model dinamika ekonomi kreatif  Sistem  ekonomi merupakan  sistem  dinamik  yang  berkembang  terus menerus.  Suatu  perusahaan 

bisa muncul, berkembang dan kemudian hilang atau bertahan. Dinamika tersebut memunculkan suatu distribusi  tertentu  dari  besarnya  perusahaan  atau  firma  sebagai  fenomena makronya.  Axtell  (2001) dalam  penelitiannya  di  perusahaan‐perusahaan  Amerika  mendapati  bahwa  besarnya  firma  sebagai distribusi  hukum  pangkat.  Dinamika muncul  dan  hilangnya  perusahaan  sebagai  sebuah  konsekuensi akan  proses  seleksi  pasar  telah  memunculkan  suatu  pola  makro  tertentu  dalam  ekonomi  berupa distribusi perusahaan dan siklus hidupnya.  

Schumpeter (1883‐1950) merupakan ekonom yang pertama kali mengamati fenomena tersebut.  Ia mengemukan teori siklus bisnis dan perkembangan. Dalam teorinya dia melihat bahwa sistem ekonomi tidaklah statik, suatu  inovasi akan berkembang ke arah keadaan stasioner atau kesetimbangan, namun kesetimbangan  ini akan  senantiasa diganggu oleh munculnya entrepreneur dan aktivitas  inovasi yang dilakukannya.  Sebuah  proses  kreasi  tertentu  akan  dihancurkan  oleh  sebuah  proses  kreasi  inovatif lainnya.  Hal  inilah  yang memunculkan  dinamika  siklus  bisnis  dalam  ekonomi.    Ekonomi merupakan sistem yang tidak hanya dinamik namun evolutif.  

                          (a)                                      (b)  

Page 6: evolusi budaya

6  

Gambar 2 (a). Distribusi perusahaan (b). Distribusi kepunahan spesies 

  Inovasi merupakan suatu proses kreasi yang memunculkan variasi baru dalam sistem ekonomi.  Bukan  hanya  itu,  inovasi  juga merupkan  proses  akumulatif,  dimana  karakter  atau  sifat  inovatif  yang bertahan  akan  terakumulasi  dan memungkinkan memunculkan  kreasi  lain  yang  lebih  cocok  dengan sistem ekonomi, dalam hal  ini pasar. Fernomena  ini memberikan suatu gambaran bagaimana ekonomi sendiri  tidak  hanya  berbicara  tentang  dinamika  secara  kuantitas  (kreasi  yang  banyak  diadopsi), melainkan juga kualitas. (kreasi yang lebih baik). Dari sini proses inovasi dan perkembangan bisnis pada dasarnya bisa kita lihat dari kaca mata evolusi.  

Inovasi merupakan  salah  satu  proses  yang memungkinkan munculnya  artefak  baru.  Sebagai sebuah  sistem  (kompleks),  inovasi dalam artefak  teknologi bisa diartikan  sebagai perubahan  keadaan dari elemen‐elemen penyusun sistem tersebut, sehingga memunculkan sebuah sistem yang mempunyai karakteristik  atau  perilaku  yang  berbeda  dengan  sebelumnya  (Frenken,  2001.      Proses  inovasi  bisa dipandang  sebagai proses  yang  relatif  random  (Mokyr,  1997;  Frenken,  2001  Kauffman,  1995), dalam artian  suatu  teknologi  yang  dihasilkan  tidaklah  diketahui  secara  tepat  apakah  ia  akan  cocok  dengan lingkungannya ataukah  tidak. Proses evolusi dari artefak  teknologi dapat kita amati sebagai  fenomena munculnya jenis baru dari artefak teknologi akibat adanya inovasi, yang kemudian menggantikan artefak yang lama. 

Secara  historis,  inovasi mungkin  telah  ada  dari mulai munculnya  Homo  sapiens.  Hal  ini  bisa teramati dari penemuan berbagai artefak yang dihasilkan manusia. Inovasilah yang kemudian membuat manusia menjadi  begitu  adaptif  dan  terus‐menerus menemukan  cara  hidup  yang  lebih  baik  di muka bumi  ini. Dengan kata  lain,  inovasilah yang membantu manusia menjadi khalifah di muka bumi, suatu situasi yang digambarkan filsuf kenamaan Friedrich Nietzsche sebagai proses untuk menjadi Superman. Saat  ini  inovasi  tidak  lagi  dipandang  sebagai  suatu  upaya manusia  untuk menemukan  artefak  yang membantu  kehidupannya.  Produk  atau  proses  inovatif  merupakan  suatu  komoditas  yang  bernilai ekonomis  dan menjadi  faktor  utama  dalam  bisnis.  Lebih  jauh  inovasi  telah  dipandang  sebagai  aspek yang cukup vital bagi perkembangan ekonomi suatu perusahaan atau negara.  

Di sisi lain, artefak merupakan objek budaya, dalam hal ini model memetika, sebagai alat analisis yang mencoba menerangkan dinamika perubahan budaya dan objek budaya,   merupakan model yang bisa  digunakan  untuk  menganalisis  proses  inovasi.  .  Artefak  budaya  merupakan  suatu  sistem  yang tersusun unit‐unit  informasi  kultural  sebagai unit heriditas  yang diturunkan dari  generasi‐ke  generasi dalam proses evolusinya.  sifat dan karakteristik artefak    secara keseluruhan ditentukan oleh unit‐unit informasi tersebut yang terekspresi dengan cara tertentu (Stankiewicz, 2000). Dengan kata lain, artefak merupakan suatu fenotipik meme atau femotip yang membrojol dari genotipnya yaitu meme. 

Memandang  inovasi dengan cara pandang evolusi memungkinkan kita untuk menggambarkan urutan atau estimasi historis  suatu  inovasi produk. Hal  ini dilakukan dengan menyusun  suatu   pohon evolusi dengan kedekatan  susunan biner memepleks produk‐produk  tersebut. Dalam  suatu penelitian yang  dilakukan  Khanafiah&Situngkir  (2004),  untuk  kasus  inovasi  handphone,  di  dapati  suatu  pohon inovasi yang disebut  sebagai pohon  filomemetika.Pohon  tersebut memberikan bagaimana variasi dari inovasi artefak dan  bagaimana proses atau urutan kejadian dari inovasi suatu produk teknologi.  Pohon tersebut juga memberikan gambaran mengenai produk mana yang berinovasi dan diinovasi dari mana.  

Page 7: evolusi budaya

7  

Model  ini  kemudian  dikembangkan  lebih  lanjut  guna mengamati  dinamika  evolusioner  dari artefak budaya. Dengan menggunakan suatu pemahaman bahwa keberhasilan suatu produk teknologi di pasaran, bisa kita pandang sebagai cocok atau tidaknya produk dengan penggunanya. Tentu hal ini bisa kita  lihat  sebagai  sebuah  proses  seleksi  dari  produk  hasil  inovasi  oleh  lingkungannya,  dalam  hal  ini pengguna atau pasar. Proses seleksi oleh pengguna inilah muncul dan hilangnya suatu produk inovasi di pasaran. Setiap pengguna akan mempunyai keinginan atau preferensi tertentu terhadap suatu produk, yang tentunya didasarkan pada banyak hal, seperti level ekonomi, level teknologi yang diinginkan, serta pengaruh dari  individu  lain dalam  jaring  sosialnya. Hasil  simulasi  yang  cukup menarik bisa  kita  amati pada gambar 3(b),   yang menggambarkan bagaimana dinamika  tingkat kecocokkan suatu produk hasil inovasi. Secara  tidak  langsung,  tingkat kecocokan  ini akan memberikan gambaran  tentang bagaimana dominasi  suatau produk dan bagaimana  karakteristik produk  yang dominan  tersebut. Kita mendapati bahwa  superioritas  suatu produk  – ditandai dengan  kelengkapan dalam  fitur dan  teknologi,  ternyata tidak serta merta membuat produk tersebut menjadi dominan di pasar. Dominasi suatu produk tidaklah berlangsung lama dengan hadirnya inovasi (ketidaktentuan inovasi), namun senantiasa mengikuti suatu siklus hidup tertentu. Suatu fenomena yang dikenal sebagai siklus hidup produk (product lifecycle), suatu fenomena yang disebutkan oleh Schumpeter dalam teori Siklus Bisnisnya.  

Catatan Simpul Berbicara evolusi budaya kita tidak hanya berbicara tentang dinamika dan penyebaran budaya dan 

elemen‐elemen  budaya  dari  suatu  masyarakat  dari  waktu  ke  waktu  melainkan  juga  bagaimana perubahan  secara  kualitas  dari  budaya  tersebut  selama  proses  perkembangannya  tersebut.  Teori memetika  tidak  sekadar menginkorporasi  teori  Evolusi  Darwin  ke  dalam  analisis  perubahan  budaya, melainkan  suatu  alat  analisis  yang  berupaya  menganalisis  proses  tersebut  dari  sudut  pandang Darwinian, yaitu evolusi melalui mutasi random dan seleksi alam.  

Evolusi tidak hanya sebuah teori, melainkan sebuah fenomena yang ada. Evolusi budaya merupakan evolusi yang terjadi dan bisa kita amati hingga saat  ini. Dinamika yang terjadi dalam evolusi sosial dan budaya ini merupakan fenomena yang membrojol dari interaksi yang kompleks di level mikronya, yaitu individu. Memetika yang merupakan alat analisis yang mencoba mengkaji dinamika budaya dari sudut pandang evolusi Darwinian, menjanjikan hasil analisis baru yang bisa memperkaya analisis  sosial kita, termasuk analisis evolusi dalam sistem ekonomi.           

(a)                                                                     (b)  

Gambar 3 (a) Pohon Filomemetika artefak. (b) Dinamika nilai kecocokkannya dan siklus hidup artefak 

Page 8: evolusi budaya

8  

   Daftar pustaka  1. Axtell, R (2001)Zipf Distribution of U.S. Firm Sizes.Science, 293 :1818‐1820 2. Blackmore,  S.  (1998).  Imitation  and  Definition  of  a Meme.  Journal  of Memetics  ‐  Evolutionary 

Models of Information Transmission, 2.                 URL: http://jomemit. cfpm.org/1998/vol2/balckmore_s.html 

3. Boyd, R and  Richerson, P (2005).The Origin and Evolution of Cultures. Oxford University Press. 4. Dawkins R. (1976, 1982). The selfish gene. Oxford University Press. 5. Frenken,  Koen.  (2001a).  Modelling  the  organisation  of  innovative  activity  using  the  NK‐model. 

Makalah prepared for the Nelson‐and‐Winter Conference, Aalborg, 12‐16 June 2001. URL: http://www.druid.dk/conferences/nw/makalah1/frenken.pdf 

6. Kauffman, Stuart A. (1995). At Home  in The Universe: The Search for Laws of Self‐Organization and Complexity. Oxford University Press. New York.  

7. Khanafiah, Deni and Situngkir, Hokky.  (2004).  Innovation as Evolution: Phylomemetic of Cellphone Designs. Working Paper Series WPV2004. BFI 

8. Khanafiah, Deni  and  Situngkir, Hokky.  (2005).  Innovation  as  Evolutionary  Process. Working  Paper Series WPB2005. BFI. 

9. Mokyr,  Joel.  (1997).  Innovation  and  Selection  in  Evolutionary  Models  of  Technology:  Some Definitional Issues. Makalah prepared for the Conference on Evolutionary Models in Economics, Jan. 9‐12, 1997, Oxford, England. 

10. Schmidt,Heiko A.(2003). Phylogenetic Trees from Large Datasets. Inaugural‐Dissertation. Dusseldorf University. Dusseldorf.  URL:http://www.bi.uni‐duesseldorf.de/~hschmidt/publ/schmidt2003.phdthesis.pdf 

11. Situngkir, Hokky.  (2004). On Selfish Memes‐culture as complex adaptive system. Working Makalah Series WPG2004. Bandung Fe Institute.  

12. Stankiewicz,Rikard.(2000).  The    Concept  of  “Design  space".Makalah  of  Research  Policy  Institute. University of Lund. Sweden