evaluasi sistem pengendalian intern pemerintah

Upload: rias-tanti

Post on 01-Mar-2016

38 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Evaluasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

Dalam Rangka Mewujudkan Zona Integritas

Pada Kementerian Hukum dan HAM RI

Rias Tanti

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Jalan Raya Gandul Cinere, Depok

[email protected]: Abstrak

Korupsi merupakan masalah besar dalam penyelenggaraan pemerintah dan berpengaruh terhadap merosotnya kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya pencegahan korupsi yang efektif adalah penguatan penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Tulisan ini akan menguaraikan bagaimana kondisi pelaksanaan SPIP pada Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkumham) dan bagaimana kesiapan kantor wilayah dan unit-unit kerja pusat pada Kemenkumham untuk ditetapkan sebagai Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK).Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dibiayai dengan DIPA Pusjianbang Tahun 2012, merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan mix method. Penelitiandilakukan pada 21 unit kerja (18 Kanwil dan 3 Unit Eselon I) dengan responden sebanyak 661 orang pegawai. Pengambilan data dilakukan Juli Agustus 2012 dengan instrumen check list yang disusun berdasarkan indikator penilaian yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan WBK Kemenkumham.

Ditemukan bahwa tidak ada perbedaan skor WBK yang signifikan antara Kanwil yang telah ditetapkan sebagai Zona Integritas dengan yang Kanwil yang belum ditetapkan sebagai Zona Integritas. Dari segi kesiapan untuk ditetapkan sebagai WBK, hanya ada empat Kanwil yang masuk sebagai WBK I dan II (Status WBK) dan empat belas Kanwil dengan kategori WBK III (Status Belum WBK) dan satu Kanwil sebagai WBK III (Status Tidak WBK). Dengan kondisi tersebut Kemenkumham perlu melakukan upaya yang sistematis dalam tahapan penyelenggaraan SPIP dengan menyusun pedoman pelaksanaan dan pedoman teknis untuk menghindari kesalahan dalam interpretasi konsep SPIP. Juga perlu dilakukan pendampingan terhadap satuan kerja yang telah ditetapkan sebagai Zona Integritas untuk meningkatkan statusnya menjadi Satuan Kerja WBK.Kata Kunci: Pengawasan, Integritas, KorupsiPENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah korupsi makin hangat dibicarakan publik, terutama di media massa baik lokal maupun nasional. Masyarakat umumnya memandang korupsi sebagai penyebab utama rusaknya semua aspek dalam kehidupan bernegara, merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan memberantas tindak korupsi, namun sejauh ini upaya tersebut masih dianggap belum berhasil secara maksimal. Transparency International telah meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) tahun 2011. Dalam survei yang dilakukan terhadap 183 negara di dunia tersebut, Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Hasil survei tersebut berdasarkan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011. Rentang indeks berdasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar.Dalam indeks tersebut Indonesia berada di peringkat ke-100 bersama 11 negara lainnya yakni Argentina, Benin, Burkina Faso, Djobouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4). (http://nasional.kompas.com /read/2011/12/01/17515759).Kemudian Organisasi Fund for Peace juga merilis indeks terbaru mereka mengenai Failed State Index 2012 di mana berdasarkan survey mereka, Indonesia berada di posisi 63. Dalam membuat indeks tersebut, Fund for Peace menggunakan indikator dan subindikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Indeks yang dikeluarkan organisasi Fund for Peace itu menilai peringkat ini turun dibandingkan dari tahun 2011 di mana Indonesia berada di peringkat 64 dengan skor 81.

Tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan melihat hasil tersebut, pemerintah harus melakukan beberapa langkah untuk menaikkan skor dalam indeks tersebut. Upaya pemerintah dalam bentuk penerbitan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi telah dilakukan, yaitu dengan diundangkannya:

1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851),

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874);

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250);

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

Kemudian untuk mempercepat usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi, pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan hari tersebut sebagai hari anti korupsi nasional dan sekaligus mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2004 yang terdiri dari 10 Instruksi Umum dan 11 Instruksi Khusus yang ditujukan kepada beberapa instansi pemerintahan. Instruksi Umum tersebut ditujukan kepada hampir 500 Intansi Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Sedangkan Instruksi Khususnya ditujukan kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Bappenas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Pemerintah, Menteri Hukum dan HAM, Kementerian BUMN, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Gubernur, Bupati/Walikota.Salah satu upaya pencegahan korupsi yang paling efektif selain penindakan adalah penguatan penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).Untuk melaksanakan hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang SistemPengendalian Internal Pemerintah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 4890);Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.SPI yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebut SPI Pemerintah (SPIP). SPIP wajib dilaksanakan oleh menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Jika dilaksanakan dengan baik dan benar, SPIP akan memberi jaminan di mana seluruh penyelenggara negara mulai dari pimpinan hingga pegawai di instansi pemerintah akan melaksanakan tugasnya dengan jujur dan taat pada peraturan. Dengan demikian, tidak akan terjadi penyelewengan yang dapat menimbulkan kerugian negara.

Salah satu indikator keberhasilan penerapan SPIP adalah keandalan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL), dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Dengan penerapan SPIP diharaapkan akan dapat diwujudkan pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

Opini atas hasil pemeriksaan LKPP, LKKL, dan LKPD yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengindikasikan tingkat penerapan SPIP. Dari tahun ke tahun opini atas laporan keuangan kementerian negara/lembaga (LKKL) dan bagian anggaran bendahara umum negara (BA BUN) banyak mengalami peningkatan, di mana opini atas LKKL dan LK BA BUN yang merupakan elemen utama LKPP menunjukkan kemajuan yang signifikan. Jumlah KL/BA BUN yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 terdapat 45 KL/BA BUN yang memperoleh opini WTP, kemudian meningkat menjadi 53 KL/BA BUN pada tahun 2010 dan 67 KL/BA BUN pada tahun 2011 (http://www.bpk.go.id/web/?p=12977)

Namun meningkatnya keandalan laporan keuangan dianggap belum cukup. Upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi terus dilakukan. Keprihatinan atas tingginya korupsi yang merugikan keuangan negara menyebabkan Presiden kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana AksiPencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan danPercepatan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Dari Instruksi Presiden Nomer 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi sendiri terdapat beberapa instruksi yang dipandang belum dilaksanakan secara optimal. Salah satu instruksi yang minim sekali implementasinya adalah instruksi kelima kepada seluruh pimpinan instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk melaksanakan program Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Hasil evaluasi oleh Kemenpan memperlihatkan bahwa WBK hanya dapat terwujud apabila didahului dengan komitmen pemberantasan korupsi oleh seluruh unsur dalam instansi pemerintah atau kementerian/lembaga/pemerintah daerah (K/L/Pemda). Komitmen pemberantasan korupsi sebagaimana disebutkan di atas, diwujudkan dalam bentuk Zona Integritas (ZI) dalam lingkup K/L/Pemda, yang dicirikan dengan adanya program pencegahan korupsi yang konkrit sebagai bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik, disertai dengan sosialisasi dan upaya penerapan program tersebut secara konsisten.

Untuk mendukung tercapainya instruksi tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 49 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pakta Integritas di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dan Permenpan Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi.Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) merupakan Kementerian kelima yang mencanangkan sebagai Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi. Kemenkumham mencanangkan pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK) pada tanggal 21 Juni 2012. Pencanangan tersebut ditandai dengan penandatanganan piagam pencanangan ZI oleh Menkumham disaksikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Ketua KPK, dan Ketua Ombudsman. Pencanangan tersebut sebelumnya telah didahului dengan penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh pegawai, pejabat di lingkungan Kemenkumham. Kemenkumham menyatakan telah siap/sanggup menjadi kementerian dengan predikat Zona Integritas bahkan Inspektur Jenderal, Sam L Tobing, menyatakan bahwa Kementerian Hukum dan HAM siap mewujudkan pakta integritas di Kemenkumham secara 100%. Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, ditetapkan tujuh belas Kanwil sebagai Kanwil Zona Integritas (http://www.kemenkumham.go.id/berita-utama/923-17-kanwil-kemenkumham-zona-integritas-menuju-wilayah-bebas-dari-korupsi)Pencanangan ZI bukanlah titik akhir upaya pencehagan dan pemberantasan korupsi. Setelah proses pembangunan ZI berlangsung dalam waktu yang dinilai memadai, pimpinan K/L/Pemda yang sudah memperoleh opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan sekurang-kurangnya Wajar Dengan Pengecualian (WDP) melakukan identifikasi unit kerja yang dianggap berkinerja baik dan dapat diusulkan menjadi unit kerja yang berpredikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK).

Kemenkumham sendiri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Pedoman Penetapan Wilayah Bebas Korupsi Kementerian Hukum dan HAM. Sejauhmana kesiapan unit-unit kerja pada Kemenkumham untuk mendapatkan predikat sebagai Wilayah Bebas Korupsi setelah pencanangan Zona Integritas menjadi penting untuk diketahui.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penting untuk melakukan penelitianEvaluasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Dalam Rangka Mewujudkan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi di Kementerian Hukum dan HAM RI. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mengangkat permasalahan (1) Bagaimana pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada Kementerian Hukum dan HAM RI, dan (2) Bagaimana kesiapan kantor wilayah dan unit-unit kerja pusat pada Kemenkumham untuk ditetapkan sebagai Wilayah Bebas dari KorupsiTujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui bagaimana pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada Kementerian Hukum dan HAM RI dan (2) mengetahui bagaimana kesiapan kantor wilayah dan unit-unit kerja pusat pada Kemenkumham untuk ditetapkan sebagai Wilayah Bebas dari KorupsiMetodologi PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta fakta yang nampak. Penelitian ini tidak terbatas sampai pada pengumpulan dan menyusunan data, tetapi juga meliputi analisa dan interpretasi atas data. Pendekatan yang digunakan adalah gabungan (mixed methods) antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penggunaan metode gabungan ini dilakukan untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih mendalam mengenai fenomena yang diteliti yang pada akhirnya akan memperkuat analisis penelitian.Penelitian ini berbentuk penelitian evaluasi. Penelitian Evaluasi dimaksudkan untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program, atau proyek dengan cara membandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan.Populasi dan Sampling

Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai pada Kemenkumham. Responden penelitian ini adalah pejabat struktural, pejabat fungsional tertentu, dan pejabat fungsional umum pada kantor wilayah dan unit pelaksana teknis baik di pusat maupu di daerah.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu memilih anggota populasi berdasar karakteristik yang relevan dengan tujuan penelitian, yaitu pejabat struktural, pejabat fungsional khusus dan umum yang dinilai mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai pelaksanaan reformasi birokrasi di Kemenkumham, meliputi pada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Divisi dan Pejabat Struktural, Pejabat Fungsional Khusus (JFK) dan Pejabat Fungsional Umum (JFU) pada Kanwil, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Keimigrasian dan Pemasyarakatan beserta Pejabat Struktural, JFK dan JFU di bawahnya, dan Pejabat Struktural, JFK dan JFU pada Unit Eselon I Pusat (Setjen, Itjen, Ditjen) di Kemenkumham. Alat pengumpulan data yang digunakan berupa (1) Daftar Cek (Check List) : digunakan untuk mengetahui pendapat atau penilaian responden terhadap indikator penelitian ini. Dalam penelitian ini check list disusun untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan SPIP dan mengukur indeks WBK berdasarkan indikator penilaian yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan WBK Kementerian Hukum dan HAM dan (2) Studi dokumentasi dengan menelaah bahan bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian. Penelaahan dilakukan untuk melengkapi teori, data awal, dan data pendukung penelitian ini.

Penelitian dilakukan di delapan belas Kanwil Kemenkumham dan UPT di bawahnya, yaitu Kanwil Kemenkumham Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Lampung, Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Jambi, D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Papua, Jawa Barat, Bali, dan Unit Eselon I (Inspektorat Jenderal, Balitbang HAM, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan).PEMBAHASANTinjauan PustakaPerkembangan Sistem Pengendalian Intern (SPI) di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat, Keputusan Menteri PAN No. 30 Tahun 1994 tentang petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri PAN No. KEP/46/M.PAN/2004. Namun sesungguhnya praktek pengendalian dalam pemerintahan telah ada sejak awal Indonesia merdeka.

Pada era di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk sebuah sistem yang fungsinya dapat disamakan dengan sistem pengendalian, yaitu dengan dibentuknya Badan Pemberantasan Korupsi yaitu Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi walaupun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya.

Setelah era Presiden Sukarno berakhir (Orde Lama), upaya-upaya yang serupa dengan sistem pengendalian juga diterapkan pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), kemudian Komite Empat dan Operasi Tertib (Opstib). Kemudian di era 1980-an lahirlah apa yang disebut sebagai Pengawasan Melekat (waskat). Karena Pengawasan Melekat masih merupakan alat atau Tools dan bersifat statis serta tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, terutama perkembangan teknologi dan informasi, maka diperlukan suatu Sistem Pengendalian Intern yang diberlakukan di Pemerintahan atau Sektor Publik, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang merupakan adopsi dari COSO InternalControl Frameworkdengan dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pemerintahan di Indonesia. SPIP ini bersifat integrated dan merupakan suatu proses yang terus menerus dilakukan oleh Instansi Pemerintah serta bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan jaman.

Definisi sistem pengendalian intern menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 pasal 1 disebutkan bahwa Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sistem pengendalian intern pemerintah didefinisikan Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Unsur Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008mengacu pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkunganpemerintahan di berbagai negara, yang meliputi:a. Lingkungan pengendalian

Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.

b. Penilaian risiko

Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.

c. Kegiatan pengendalian

Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakand. Informasi dan komunikasiInformasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.e. Pemantauan

Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas KorupsiDalam perkembangannya kemudian, penerapan SPIP diperkuat dengan makin menguatnya komitmen pemberantasan korupsi yang diwujudkan dalam bentuk Zona Integritas dalam lingkup Kementerian/Lembaga/dan Pemerintah Daerah (K/L/Pemda) yang dicirikan denganadanya program pencegahan korupsi yang konkrit sebagai bagian dari upaya percepatanreformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik, disertai dengan sosialisasi danupaya penerapan program tersebut secara konsisten.

Sehubungan dengan itu, Kementerian Pendayagunaan AparaturNegara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) menyusun Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dengan melibatkan pihak terkait yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

Berdasarkan pedoman yang telah dibahas bersama oleh ketiga pihak tersebut, pimpinan instansi pemerintah (K/L/Pemda) melakukan pencanangan bahwa instansi yang dipimpinnya telah siap untuk menjadi ZI sebagai persiapan menuju WBK.Kementerian Hukum dan HAM(Kemenkumham) merupakan kementerian kelima yang telah mencanangkan Zona Integritas.Pencanangan tersebut dilaksanakan pada Kamis, 21 Juni 2012 di Auditorium Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia Jakarta. Pencanangan sebagai Zona Integritas diawali dengan penandatanganan Dokumen Pakta Integritas oleh pimpinan dan seluruh pegawainya, dan ditandai dengan penandatanganan deklarasi/pernyataan komitmen oleh pimpinan K/L/Pemda, dan dipublikasikan secara luas, dengan maksud agar semua pihak dapat memantau, mengawal, dan mengawasi, serta berperan serta dalam pelaksanaan program kegiatan pencegahan korupsi, reformasi birokrasi, dan peningkatan kualitas pelayanan publik yang telah ditetapkan, dengan harapan terwujudnya K/L/Pemda yang sungguh-sungguh berintegritas dan bebas dari korupsi.

Zona Integritas (ZI)adalah sebutan atau predikat yang diberikan kepada K/L/Pemda yang pimpinan dan jajarannya mempunyai niat (komitmen) untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan melayani. Zona Integritas bukan merupakan tujuan akhir, tetapi setelah adanya komitmen, maka wilayah yang telah ditetapkan sebagai Zona Integritas diarahkan agar dapat menjadi Wilayah Bebas dari Korupsi (selanjutnya disebut WBK). WBK adalah wilayah yang di dalamnya terselenggara pelaksanaan tugas dan fungsi baik yang memberikan pelayanan langsung maupun tidak langsung kepada publik dengan dilandasi oleh nilai-nilai Kepentingan Masyarakat, Integritas, Responsif, Akuntabilitas, dan Profesional (KIRAP) dan melaksanakan kriteria penilaian penetapan WBK. Area WBK ditetapkan sesuai dengan kesiapan setiap unit kerja di lingkungan Kementerian dan terus berkembang dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan prima dan peningkatan kinerja dalam pelaksanaan tugas dan fungsi.Penilaian WBK dilakukan dengan menggabungkan unsur unsur SPIP ditambah dengan Inisiatif Anti Korupsi, Penetapan dan Pengukuran Kinerja dan Pelayanan Publik. Penilaian WBK di lingkungan Kemenkumham dilakukan berdasar Permenkumham Nomor M.HH-01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan WBK Kemenkumham RI. Temuan PenelitianPenelitian ini dilakukan di delapan belas Kantor Wilayah (Kanwil) dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawahnya dan Unit Eselon I Pusat (Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia/Balitbangham, dan Inspektorat Jenderal). Pengambilan data dilakukan pada Bulan Juli Agustus dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Responden penelitian berjumlah 661, terdiri dari para pejabat struktural, pejabat fungsional umum dan pejabat fungsional khusus. Sebaran responden penelitian disajikan pada Tabel 1: Lokasi dan Responden PenelitianTabel 1: Lokasi dan Responden Penelitian

Lokasi PenelitianUnit KerjaJum

DivminDivpasDivyankumDivimLapas/

RutanBapasRupbasanKanim

Bangka Belitung4545555437

Bali3525555535

Banten4364555537

DI Yogyakarta3454555536

Jawa Barat6244755336

Jambi6544455538

Kalimantan Tengah5354553535

Kalimantan Timur4555455538

Kepulauan Riau4554551534

Nusa Tenggara Timur5555555540

Lampung5555555540

Papua5554554538

Sulawesi Tengah4555555539

Sulawesi Tenggara5555554539

Sumatera Barat0111233112

Sumatera Selatan55551005540

Sumatera Utara5455340531

Jawa Tengah5555555540

Ditjen PP--------4

Balitbang HAM--------5

Inspektorat Jenderal--------7

Total7372767485777078661

Sumber Data: Hasil pengolahan kuesioner penelitian dengan menggunakan SPSSPelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

Penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan SPIP, namun secara lebih luas juga mengukur bagaimana kesiapan Kanwil dalam menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK). Unsur-unsur penilaian WBK terdiri dari unsur-unsur SPIP dan ditambah dengan unsur inisiatif anti korupsi, penetapan dan pengukuran kinerja, dan pelayanan publik. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) terdiri dari lima unsur, yaitu (1) Lingkungan Pengendalian, (2) Penilaian Resiko, (3) Kegiatan Pengendalian, (4) Informasi dan Komunikasi, (5) Pemantauan. Skor capaian dari kelima unsur SPIP tersebut secara berurutan (ranking skor rata-rata dari yang tertinggi terendah) disajikan pada Tabel 2: Skor Pelaksanaan SPIP.Tabel 2: Skor Pelaksanaan SPIP

N = 661No.Lokasi/KanwilSkor Unsur 1Skor Unsur 2Skor Unsur 3Skor Unsur 4Skor Unsur 5Skor Rata2

1.Sulawesi Tenggara89,4273,6679,5480,3183,2381,23

6.Sulawesi Tengah85,6864,8677,8683,0682,1678,72

3.Nusa Tenggara Timur86,5265,5181,2079,4680,3378,60

7.Banten84,7571,5676,0979,6380,0778,42

13.Bali82,3170,7875,2780,0076,0776,89

2.Lampung87,5865,1775,9679,6475,8376,84

4.D.I. Yogyakarata86,1868,3777,0877,1871,5376,07

14.Sumatera Barat81,2566,8674,8380,3673,9675,45

5.Jawa Tengah85,8369,5569,5576,9671,5374,68

8.Jawa Barat83,8762,2572,8677,5876,7474,66

16.Kalimantan Timur80,5368,1867,8679,2374,6774,09

9.Kepulauan Riau83,3362,8372,0074,5670,5972,66

11.Sumatera Utara82,6665,5469,5471,4372,1872,27

12.Kalimantan Tengah82,3658,3869,1274,9074,2971,81

19.Jambi78,6456,8871,6675,5675,3371,61

18Bangka Belitung79,0156,7679,3856,7679,3870,26

20.Ditjen PP74,3869,3269,3270,5466,6770,05

10.Inspektorat Jenderal 83,1053,5753,5759,6996,4369,27

15.Sumatera Selatan81,2158,9258,9271,8870,3168,25

17.Balitbang HAM79,3360,0060,0064,2970,8366,89

21.Papua73,7950,6061,5963,3567,6563,40

Skor rata-rata82,4663,7971,1074,1176,1073,51

Sumber Data: Hasil pengolahan kuesioner penelitian dengan menggunakan SPSSKeterangan:

Unsur 1: Lingkungan PengendalianUnsur 4: Komunikasi dan Informasi

Unsur 2: Penilaian Resiko

Unsur 5: Pemantauan

Unsur 3: Kegiatan Pengendalian

Perolehan skor pada Unsur 1 SPPI (Lingkungan Pengendalian) pada semua Kanwil dan Unit Kerja di Kemenkumham berada pada rentang nilai memuaskan sampai sangat memuaskan. Dengan skor capaian tersebut berarti bahwa pada aspek ini, jajaranpimpinan Kemenkumham dan seluruh pegawai telah dapat menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.Pada unsur 2 (Penilaian Resiko), skor semua unit kerja pada Kemenkumham berada pada rentang kategori memuaskan (14 unit kerja) dan cukup memuaskan (7 unit kerja). Skor capaian tersebut mengindikasikan bahwa unit-unit kerja pada Kemenkumham belum sepenuhnya dapat mengenali apa saja faktor resiko (bagi terjadinya penyimpangan) yang diperkirakan akan terjadi dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian pada unsur penilaian resiko ini masih diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan dan memperbaikinya.

Penelitian menemukan bahwa pada unsur 3 (Kegiatan Pengendalian) dalam pelaksanaan SPIP di Kemenkumham secara umum masuk kategori memuaskan (rata-rata capaian 71,10). Bahkan terdapat satu unit kerja yang skor capaiannya sangat memuaskan, sementara sejumlah 17 unit kerja memuaskan dan 3 unit kerja cukup memuaskan. Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar arahan pimpinan telah dijalankan atau dipatuhi oleh pada pelaksana kegiatan. Dalam praktek penerapan SPIP yang baik, informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.Dalam penerapan unsur Informasi dan Komunikasi seperti tersebut di atas, perolehan skor unit-unit kerja secara umum masuk pada kategori memuaskan (74,11). Namun demikian masih terdapat 2 unit kerja yang skor capainnya berada pada kategori cukup memuaskan. Walaupun secara umum sudah memuaskan, tetapi untuk mencapai kategori yang ideal (semua kegiatan dicatat, disajikan, dan dilaporkan dengan baik), perlu terus dilakukan upaya pendampingan dan asistensi dari pihak yang berkompeten berkaitan dengan hal tersebut.

Kegiatan Pemantauan dalam SPIP harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti. Dalam unsur ini, Inspektorat Jenderal sebagai instansi APIP pada Kemenkumham memperoleh skor tertinggi. Hanya ada 3 (tiga) unit kerja yang masuk pada kategori sangat memuaskan (Itjen, Kanwil Sulawesi Tenggara, dan Kanwil Sulawesi Tengah) sedangkan lainnya (16 unit kerja) masuk pada kategori memuaskan. Rata-rata capaian sebesar 67,10% menggambarkan bahwa dalam kegiatan pemantauan, secara umum Kemenkumham masuk pada kategori memuaskan walaupun tetap memerlukan perbaikan dan penyempurnaan untuk mencapai praktek pemantauan yang ideal.

Unsur Lain Dalam Penilaian Wilayah Bebas KorupsiUntuk menetapkan apakah sebuah unit kerja layak menyandang predikat sebagai Unit Kerja Wilayah Bebas dari Korupsi, maka dilakukan penilaian yang meliputi unsur-unsur SPIP ditambah dengan unsur Inisiatif Anti Korupsi, Penetapan dan Pengukuran Kinerja dan Pelayanan Publik. Skor capaian ketiga unsur lain dalam penilaian WBK disajikan pada Tabel 3: Skor Unsur Lain Penilaian Wilayah Bebas Korupsi.Tabel 3: Skor Unsur Lain Penilaian Wilayah Bebas Korupsi

No.Lokasi/KanwilSkor Unsur 1Skor Unsur 2Skor Unsur 3Skor

Unsur 4Skor Rata2

1. Sulawesi Tenggara80,2877,1677,7283,8179,74

2. Lampung75,2974,8968,3890,2277,20

3. Ditjen PP79,0469,3269,2489,3876,75

4. Bali75,0073,3170,5088,0776,72

5. Jawa Tengah78,3868,8665,1394,1676,63

6. Sumatera Barat68,6378,6078,9679,1176,33

7. Banten76,3574,5768,0185,4476,09

8. Sulawesi Tengah71,6475,0671,6384,1375,62

9. D.I. Yogyakarata70,1073,2371,0487,2675,41

10. Kepulauan Riau73,8374,2665,8587,1575,27

11. Nusa Tenggara Timur72,5473,9868,3186,2375,27

12. Bangka Belitung74,8074,1873,6377,9575,14

13. Kalimantan Timur72,1072,4369,9385,7775,06

14. Jawa Barat71,5371,9769,2487,5075,06

15. Kalimantan Tengah73,6165,1967,2992,3874,62

16. Sumatera Utara68,4168,5566,4587,4072,70

17. Jambi62,5070,5765,3383,8570,56

18. Sumatera Selatan66,4065,5165,9483,1670,25

19. Papua61,1561,8469,0575,8466,97

20. Inspektorat Jenderal66,8154,1759,2983,8466,03

21. Balitbang HAM52,3559,0968,2548,5057,05

Skor rata-rata70,4269,0168,2584,3473,01

Sumber Data: Hasil pengolahan kuesioner penelitian dengan menggunakan SPSSKeterangan:

Unsur 1:Inisiatif Anti Korupsi

Unsur 3: Pemenuhan PengukuranUnsur 2: Penetapan Kinerja

Unsur 4: Pelayanan PublikUnsur 1 (Penilaian Inisiatif Anti Korupsi/PIAK) adalah alat ukur dalam menilai kemajuan unit kerja dalam mengembangkan upaya pemberantasan korupsi. Skor rata capaian pada unsur ini adalah 70,42, masuk pada kategori memuaskan. Dengan capaian PIAK tersebut maka dapat dikatakan bahwa unit-unit kerja pada Kemenkumham secara umum telah menerapkan sistem dan mekanisme untuk mencegah dan mengurangi korupsi di lingkungannya. Namun demikian tetap perlu dilakukan upaya pembinaan dari Unit Kerja Pembina SPIP (APIP) yaitu Inspektorat Jenderal untuk terus meningkatkan capaian pada unsur ini karena masih ada beberapa unit kerja yang skor capaiannya masih rendah.

Pada unsur 2 (Penetapan Kinerja), skor capaian rata-ratanya adalah sebesar 69,01 atau masuk pada kategori memuaskan. Penetapan Kinerja merupakan suatu janji kinerja yang akan diwujudkan oleh seorang Pejabat Penerima Amanah kepada atasan langsungnya. Dengan angka capaian tersebut maka dapat dikatakan bahwa pada Pejabat Penerima Amanah secara umum telah dapat menggambarkan pencapaian kinerja yang akan diwujudkan oleh unit kerjanya dalam tahun tertentu dengan baik dengan mempertimbangkan sumber daya yang dikelolanya.

Pada unsur 3 (Pemenuhan Pengukuran) skor capaian rata-ratanya adalah sebesar 68,25 atau masuk pada kategori memuaskan. Dengan skor capaian rata-rata tersebut secara umum pimpinan pada unit-unit kerja di Kemenkumham telah dapat mencapai target kinerja sesuai dengan yang telah ditetapkan. Walaupun angka capaian tersebut telah masuk pada kategori memuaskan, namun masih harus terus dilakukan upaya-upaya perbaikan dalam hal bagaimana menetapkan target, mengelola sumber daya dan membuat strategi untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Unsur pelayanan publik dalam penetapan Unit Kerja WBK merupakan unsur yang sangat penting karena dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik adalah unsur yang paling menyentuh kepentingan masyarakat. skor capaian pada unsur ini adalah sebesar 84,34 atau masuk pada kategori memuaskan. Dengan capaian tersebut dapat dikatakan secara umum, unit-unit kerja pada Kemenkumham telah dapat memberikan pelayanan secara prima kepada masyarakat.Terdapat 17 Kanwil dan Unit Kerja yang skor capaiannya berada pada kategori sangat memuaskan, tiga Kanwil dan Unit Kerja berada pada kategori memuaskan dan hanya satu unit kerja (Balitbangham) yang skor capaiannya kurang memuaskan. Kesiapan Kanwil dalam Mewujudkan Wilayah Bebas dari KorupsiPenghitungan dan pemberian bobot (skoring) untuk menetapkan apakah sebuah unit kerja masuk dalam kategori WBK atau tidak dilakukan dengan berpedoman pada Permenkumham Nomor M.HH-01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan WBK Kemenkumham RI. Setelah dilakukan penghitungan dan skoring dengan berpedoman pada Permenkumham tersebut, diperoleh hasil seperti pada tabel 4.Tabel 4: Skor dan Kategori Wilayah Bebas KorupsiNO.Urutan Kanwil Berdasarkan Tingkat Serapan AnggaranKategori Zona IntegritasHasil Penelitian Pusjianbang

Score WBK(%)Kategori

1.Sulawesi Tenggara79,70WBK II

2.Bangka Belitung-70,13WBK III

3.Sulawesi Tengah74,15WBK III

4.Lampung-75,17WBK II

5.Banten-74,50WBK III

6.Kalimantan Tengah-72,96WBK III

7.Jambi-69,26WBK III

8.Yogyakarta73,66WBK III

9.Jawa Tengah94,16WBK I

10.Nusa Tenggara Timur74,28WBK III

11.Sumatera Selatan-83,16WBK II

12.Sumatera Barat-72,46WBK III

13.Sumatera Utara71,22WBK III

14.Papua-63,92WBK IV

15.Jawa Barat73,09WBK III

16.Kalimantan Timur-72,62

17.Kepulauan Riau72,32WBK III

18.Bali74,74WBK III

19.Ditjen Peraturan Perundang-undangan89,38WBK II

20.Badan Penelitian dan Pengembangan HAM48,5WBK V

21.Inspektorat Jenderal83,84WBK II

Sumber Data: Hasil pengolahan kuesioner penelitian dengan menggunakan SPSSDari tabel 4 terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam hal perolehan skor Wilayah Bebas Korupsi antara Unit Kerja (Kanwil) yang masuk kategori ZI () dan yang Non ZI (-). Terdapat Kanwil ZI yang masuk kategori sebagai WBK (WBK I dan II), yaitu Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah) dan juga terdapat Kanwil Non ZI yang masuk kategori WBK yaitu Sumatera Selatan dan Lampung. Dari 3 (tiga) Unit Utama Eselon I yang menjadi lokasi penelitian, 2 Unit masuk kategori WBK (Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Inspektorat Jenderal) sedangkan Balitbangham bahkan masuk kategori sebagai Tidak WBK. Dengan demikian dapat pula dikatakan tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam hal kesiapan menuju WBK antara Unit Kerja Kanwil dan Unit Utama Eselon I. Bahkan terdapat Unit Utama Eselon I yang skor dan kategori WBK dibawah Kanwil dengan skor WBK terendah, yaitu Papua. PENUTUP

KesimpulanPengukuran Indeks Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dengan sistem self assessment dengan mengacu pada Permenkumham Nomor M.HH-01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan WBK Kemenkumham RI terhadap 18 Kanwil Kemenkumham (N = 645) menghasilkan temuan bahwa tidak ada perbedaan skor WBK yang signifikan antara Kantor Wilayah yang telah ditetapkan sebagai Zona Integritas dengan yang Kantor Wilayah yang belum ditetapkan sebagai Zona Integritas

Dari pengukuran Indeks WBK terhadap 18 Kanwil tersebut diketahui hanya ada 4 (empat) Kanwil yang masuk sebagai WBK I dan II (Status WBK), yaitu Kanwil Kemenkemkumham Sulawesi Tenggara, Lampung, Sumatera Selatan, dan Jawa Tengah. Terdapat 14 (empat belas) Kanwil WBK III (Status Belum WBK), yaitu Kanwil Kemenkumham Bali, Bangka Belitung, Banten, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan 1 (satu) Kanwil sebagai WBK III (Status Tidak WBK) yaitu Kanwil Kemenkumham Papua.

Rekomendasi

Perlu ada upaya yang sistematis dalam tahapan penyelenggaraan SPIP. Penyelenggaraannya perlu didahului dengan tahap pemahaman untuk menyamakan persepsi setiap pegawai Kemenkumham terkait dengan SPIP.

Dalam tahap pelaksanaannya, perlu disusun pedoman pelaksanaan dan pedoman teknis untuk menghindari kesalahan dalam interpretasi konsep SPIP sehingga dapat dioperasionalkan.

Perlu dilakukan pendampingan terhadap satuan kerja yang telah ditetapkan sebagai Zona Integritas untuk meningkatkan statusnya menjadi Satker Wilayah Bebas dari KorupsiDAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno, 2012, Korupsi dan Permasalahannya, Diadit Media, JakartaKlitgard, Robert, 1998, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Mulyadi, Lilik, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, Alumni, JakartaSoedarso, Boesono, 2007, Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, UI Press, JakartaUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Megara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-01.PW.02.03 Tahun 2011 tentang Pedoman Penetapan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia1