etiopathogenesis bipolar.docx

Upload: anastasia-pratiwi

Post on 08-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bipolar disorder

TRANSCRIPT

A. EtiopathogenesisSampai sekarang masih belum ada teori yang dapat membuktikan secara jelas bagaimana terjadinya gangguan bipolar 3,4, namun ada beberapa factor yang berkontribusi, antara lain factor biologis (neurotransmitter, second messenger system, neuroendokrin, dan neuroanatomy), factor genetic, dan factor psikososial 21. Faktor biologisTeori neurotransmitter yang terkenal dalam gangguan mood adalah hipotesis monoamine yang terdiri dari 3 neurotransmitter yang berpengaruh, antara lain serotonin (5-HT), norepineprin, dan dopamine. Namun, teori tersebut mayoritas hanya menjelaskan salah satu sisi dari gangguan mood yakni gangguan depresi. Penjelasan mengenai patofisiologi bipolar melalui hipotesis neurotransmitter jauh lebih sedikit dibandingkan dengan gangguan depresi. Secara prinsip, hipotesis monoamine dalam depresi diakibatkan penurunan jumlah atau fungsi dari ketiga neurotrasnmiter yang telah disebutkan.5Studi biokimia dan farmakologi telah mencapai hipotesis bahwa gangguan bipolar, terutama mania, terjadi diakibatkan kelebihan katekolamin, sedangkan depresi akibat kekurangan norepineprin18. Beberapa penelitian menyatakan adanya penurunan jumlah atau sensitifitas dari reseptor -2 adrnergik pre-sinaps pada asien depresi2. Adanya efektifitas klinis obat-obat antidepresan dengan efek norepineprin (contohnya venlavaxine) pada pasien gangguan depresi semakin mendukung hipotesis tersebut. Dopamine juga dipostulasikan berpengaruh karena precursor dopamine (L-dopa), amfetamin, dan TCAs (Tri-cyclic Antidepressant) sering menyebabkan hipomania pada pasien bipolar4. Obat antipsikotik yang bekerja secara antagonis selektif terhadap dopamine (contoh pimozide) efektif terhadap mania yang berat.Hipotesis mengenai serotonin sudah banyak dikemukakan, baik dengan atau tanpa hubungan dengan sistem neurotransmitter lainnya.4 Permissive hypothesis dari serotonin menyatakan bahwa fungsi serotonergic yang rendah menyebabkan kondisi mania dan depresi lewat penurunan fungsi peredamnya terhadap kadar neurotransmitter lainnya (terutama norepineprin dan dopamine). Terkadang penjelasan ini digunakan untuk menjelaskan mengapa beberapa pasien bipolar dapat mengalami perbaikan dengan obat antidepresan4. Penurunan kadar serotonin dapat memperparah kondisi depresi dan pada beberapa pasien dengan impuls tindak bunuh diri terbukti memiliki kadar metabolit serotonin (5- hydroxyindoleacetic acid) LCS (liquor cerebro-spinalis) yang rendah.2,5Pengikatan neurotransmitter dengan reseptor pasca-sinaps mencetuskan kaskade dan proses interselular yang dimediasi oleh second messenger system. Sistem ini meregulasi fungsi dari membrane neuron dan bukti-bukti teralhir mengarahkan para peneliti bahwa obat mood-stabilizer bekerja pada protein-G atau protein lainnya dalam sistm tersebut.2Peningkatan aktivitas axis HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) akibat stress dan axis tiroid yang terganggu merupakan dua unsur neuro-endokrinologi yang berhubungan pada gangguan bipolar2. Hiperkolestrolemia akibat peningkatan axis HPA (pada depresi) dapat menyebabkan gangguan sentral, meliputi penurunan fungsi inhibisi serotonin, peningkatan norepineprin, asetilkolin, atau CRH (corticotropin releasing hormone), atau penurunan umpan balik negative dari hippocampus. Beberapa bukti menunjukkan pemberian hormone tiroid (T4-tiroksin) dapat memperingan gejala gangguan mood dan penemuan bahwa secara fungsional otak mengalami keadaan hipotiroid yang diduga akibat kelainan pada sintesis, transport, atau metabolism hormone tersebut.3Studi neurotransmitter dan pencitraan otak marak dilakukan untuk mempelajari gangguan bipolar dewasa ini. Lesi pada lobus frontalis dan temporalis merupakan daerah yang sering terasosiasi dengan gangguan bipolar. Lesi di sebelah kiri cenderung terasosiasi dengan depresi dan di sebelah kanan dengan mania, walaupun pada region posterior otak terjadi sebaliknya. Pada pencitraan CT-scan hanya ditemukan adanya pembesaran ventrikel. Siknifikansi dari ditemukannya hiperintensitas pada white matter pada pasien gangguan bipolar dalam MRI masih tidak diketahui. Secara keseluruhan, mayoritas pencitraan fungsional, seperti SPECT dan PET ( single- photon emission computed tomography dan positron emission tomography) menemukan adanya penurunan aktivitas pada bagian prefrontal dan paralimbik anterior pada episode depresi bipolar, sedangkan pada episode manik tidak ditemukan penemuan yang konsisten.4

2. Factor geneticBukti-bukti yang ditemukan dalam studi gentik mengindikasikan factor keluarga dangat berpengaruh terhadap gangguan mood3. Data menunjukkan apabila salah satu orang tua memiliki gangguan mood, maka ada resiko sebesar 10-25% bagi anaknya untuk mengidap pula gangguan tersebut2. Di sisi lain apabila keduanya memiliki gangguan, maka resiko meningkat hingga dua kali lipatnya. Penelitian lain yang juga mendapatkan hasil yang serupa menyatakan bahwa kemungkinan populasi umum untuk memiliki gangguan manik-depresif adalah 0,5%-1,5%, sedangkan pada orang dengan riwayat keluarga positif gangguan mood (first degree relative seperti saudara kandung, orang tua, atau anak) maka resiko akan meningkat 5-10 kali lipat yaitu 5-15%17. Pada penelitian anak kembar (penelitian ini merupakan penelitian yang paling bermakna untuk memisahkan factor genetic dan lingkungan) ditemukan kemungkinan anak kembar lainnya untuk menderita gangguan mood (bipolar atau unipolar) 70-90% untuk kembar monozigot dan 16-35% untuk kembar dizigot3.

3. Factor psikosisialPeristiwa kehidupan yang memberatkan atau stress umumnya lebih dulu terjadi kemudian baru diikuti dengan episode-episode dari gangguan mood1,2. Asosiasi ini telah dilaporkan baik untuk pasien dengan gangguan depresi maupun gangguan bipolar. Sebuah teori telah diajukan untuk menjelaskan keadaan tersebut yakni peristiwa stress menyebabkan perubahan janga panjang pada biologi otak2. Perubahan ini menyebabkan gangguan fungsional dari neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuron, serta juga dapat menyebabkan kerusakan neuron dan reduksi dari kontak sinaps.Pada akhirnya perubahan ini menyebabkan orang tersebut beresiko tinggi mengalami episode gangguan mood, walaupun tanpa stressor eksternal. Beberapa klinisi percaya bahwa peristiwa-peristiwa hidup memiliki peran sentral dalam depresi, walaupun terdapat klinisi lain yang berpendapat peristiwa tersebut hanya memiliki peran yang terbatas. Peristiwa yang umumnya bermakna adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun (peristiwa awal pencetus perubahan) dan kehilangan istri atau suami (pencetus episode depresi). Pengangguran juga merupakan factor resiko yang penting; hasil penelitian menyatakan pengangguaran 3 kali lipat lebih mungkin mendapat episode depresi daripada yang bekerja.

Dapus

1. Pric AL, Marzani-Nissen GR. Bipolar Disorders: A Review. Am Fam Physician 20012; 85 (5): 483-932. Sadock BJ, Sadock VA. Chapter 15. Mood Disorder. In: Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatric 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2007.p. 527-783. Kay J, Tasman A. Chapter 47. Mood Disorders: Bipolar (Manic-Depressive) Disorders. In: Kay J, Tasman A. Essentials of Psychiatry. John Wiley & Sons Ltd, 2006.p. 556-724. Hilty DM, Leamon MH, Lim RF, Kelly RH, Hales RE. A Review of Bipolar Disorders in Adults. Psychiatry (Edgmont) 2006; 3 (9): 43-555. DeBattista C. Chaptr 30. Antidepressant Agent. In: Kaztzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology. 11th edition. McGraw-Hill Companies, Inc.2009.p.509-30