etika penelitian dalam komunitas bahasa isyarat file · web viewraychelle harris, heidi m holmes,...

38
Henny Sanulita/108651519100 Etika Penelitian dalam Komunitas Bahasa Isyarat Raychelle Harris , Heidi M Holmes , Donna M Mertens . Sign Language Studies . Washington: Winter 2009 . Vol. 9, Iss. 2; pg. 104, 29 pgs Abstrak (Rangkuman) Kode etik ada bagi kebanyakan asosiasi profesional yang anggotanya melakukan penelitian pada, untuk atau dengan komunitas bahasa isyarat. Bagaimanapun, kode etik ini bisu sehubungan dengan kebutuhan untuk membentuk etika penelitian dari sisi budaya, sebuah permasalahan dari kepentingan khusus komunitas bahasa isyarat. Para ilmuwan yang menulis dari perspektif feminis, pengguna asli, dan para pembela hak asasi manusia telah sama-sama menunjukkan ketidak puasan yang serupa terhadap kekurangan mereka akan representasi dalam perbincangan tentang etika penelitian. Para anggota dari komunitas bahasa isyarat dan pembela mereka dapat mempelajari dari pihak-pihak lain yang juga turut andil dalam perjuangan ini dan memberi kontribusi cukup banyak untuk topik ini. Kami mengajukan perkembangan bagi ketentuan komunitas bahasa isyarat (SLCTR) sebagai media untuk melakukan penelitian oleh, untuk, dan dengan komunitas bahasa isyarat. (ABSTRAK PUBLIKASI) Teks Penuh Hak cipta American Annals of Deaf Winter 2009 Orang-orang tuna rungu mencerminkan perbedaan dalam keberagaman yang ditemui dalam populasi pada umumnya, dengan lapisan tambahan berupa kompleksitas yang berhubungan dengan level dan tipe ketulian, keadaan pendengaran orang tua, akses dan kemampuan untuk menggunakan alat bantu, penggunaan bahasa berdasarkan isyarat/ atau suara, dan penggunaan bahasa isyarat yang bisa dipahami secara visual. Kompleksias tersebut menyebabkab tantangan yang cukup sulit untuk menjalakan etika penelitian karena permasalahan tentang kekuatan yang 1

Upload: dinhkhanh

Post on 22-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Henny Sanulita/108651519100

Etika Penelitian dalam Komunitas Bahasa Isyarat

Raychelle Harris, Heidi M Holmes, Donna M Mertens. Sign Language Studies. Washington: Winter 2009. Vol. 9, Iss. 2; pg. 104, 29 pgs

Abstrak (Rangkuman)

Kode etik ada bagi kebanyakan asosiasi profesional yang anggotanya melakukan penelitian pada, untuk atau dengan komunitas bahasa isyarat. Bagaimanapun, kode etik ini bisu sehubungan dengan kebutuhan untuk membentuk etika penelitian dari sisi budaya, sebuah permasalahan dari kepentingan khusus komunitas bahasa isyarat. Para ilmuwan yang menulis dari perspektif feminis, pengguna asli, dan para pembela hak asasi manusia telah sama-sama menunjukkan ketidak puasan yang serupa terhadap kekurangan mereka akan representasi dalam perbincangan tentang etika penelitian. Para anggota dari komunitas bahasa isyarat dan pembela mereka dapat mempelajari dari pihak-pihak lain yang juga turut andil dalam perjuangan ini dan memberi kontribusi cukup banyak untuk topik ini. Kami mengajukan perkembangan bagi ketentuan komunitas bahasa isyarat (SLCTR) sebagai media untuk melakukan penelitian oleh, untuk, dan dengan komunitas bahasa isyarat. (ABSTRAK PUBLIKASI)

Teks Penuh

Hak cipta American Annals of Deaf Winter 2009

Orang-orang tuna rungu mencerminkan perbedaan dalam keberagaman yang ditemui dalam

populasi pada umumnya, dengan lapisan tambahan berupa kompleksitas yang berhubungan

dengan level dan tipe ketulian, keadaan pendengaran orang tua, akses dan kemampuan untuk

menggunakan alat bantu, penggunaan bahasa berdasarkan isyarat/ atau suara, dan

penggunaan bahasa isyarat yang bisa dipahami secara visual. Kompleksias tersebut

menyebabkab tantangan yang cukup sulit untuk menjalakan etika penelitian karena

permasalahan tentang kekuatan yang melingkupi warisan budaya dan linguisik pada

komunitas tuna rungu. Ladd (2003, melalui media cetak) mengajukan penerapan model teori

poskolonial dan linguistik budaya sebagai cara untuk memahami dan menunjukkan aspek

yang rumit dari komunitas tuna rungu (D/ deaf) ini dalam penelitian yang bertanggung jawab

secara etis. 1 Lebih jauh lagi, dia berspekulasi bahwa model etika penelitian dalam komunitas

Tuna Rungu diuamakan kepada komunitas Bahasa Isyarat karena hal tersebut

merepresentasikan sebuah “ Budaya Kohektifis dimana para partisipan terikat satu sama lain

melalui tradisi budaya, keyakinan, aksi dan tanggung jawab yang serupa, - baik secara

perseorangan maupun berkelompok. “ 2 Tujuan dari artikel ini sdalah untuk mengeksplorasi

makna dari etika penelitian dibawah payung budaya Komunitas Bahasa Isyarat melalui

pemeriksaan secara kritis dari sisi ilmu pengetahuan berhubungan dengan refesensi istilah

1

Henny Sanulita/108651519100

dari transformasi sosial, keadilan dan pengguna asli untuk penelitian dalam komunitas

mereka.

Pentingnya dari etika penelitian didukung oleh baik oleh perintah yang resmi atau secara

moral. Pertimbangan eis merupakan bagian integral dari perencanaan penelitian, penerapan

dan penggunaan. Di Amerika Serikat, petunjuk etika untuk penelitian berdasarkan kepada

pinsip-prinsip dari Komisi Nasional untuk Perlindungan Manusia sebagai Subyek dalam

Penelitian Biomedis dan Perilaku (1978), yang diletakkan dalam proses penelaahan kembali

dari Institutional Review Boards dan lebih jauh dilambangkan dalam Amandemen Buckley

(yang juga dikenal sebagai Aksi Hak Edukasi dan Privasi Keluarga pada 1974), Aksi Hatch,

dan Aksi Penelitian Nasional (Mertens 2005)

Di Amerika Serikat, etika penelitian yang mengikut sertakan partisipan manusia didasarkan

pada prinsip-prinsip yang diberlakukan sebagai pembenaran terhadap banyak instruksi dan

evaluasi etis dari tindakan manusia: rasa hormat, kemurahan hati, dan keadilan. Laporan

Belmont (1979) memberikan definisi atas konsep tersebut sebagai berikut: Rasa hormat

mengacu pada memperlakukan orang sebagai pribadi yang mandiri dan memberikan

perlindungan bagi mereka yang memiliki kekurangan dalam kemandiriannya. (Kitchener and

Kitchener, 2009). Termasuk mengamankan keadaan partisipan dengan tidak membahayakan

mereka, dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin terjadi, dan meminimalkan kerugian

yang mungkin terjadi. Keadilan tidak berfokus kepada hubungan indvidual antara peneliti dan

partisipan namun pada distribusi media dan pelayanan dalam seting penelitian. Dengan kata

lain, sebuah kelompok tidak boleh disendirikan untuk partisipasi berlebihan dalam penelitian,

begitu pula kelompok lain tidak boleh dijadikan pengecualian dalam peluang tersebut.

Diskusi lebih lanjut dalam komunitas penelitian sosial elah menuai beberapa argumen yang

melebarkan makna dari ketentuan ini (Mertens dan Ginsberg,2009), seperti yang sudah

diperlihatkan dalam kode etik yang didiskusikan pada bagian selanjutnya.

Kebanyakan asosiasi profesional seperti Asosiasi Psikologis Amerika (APA) dan Lembaga

Anak Luar Biasa (CEC) memiliki kode etik yang memusatkan masalah kultural kepada istilah

yang luas tetapi tidak menitik beratkan kepada masalah kultural yang spesifik dalam

penelitian komunitas Bahasa Isyarat. Pemberian kode tersebut dimaksudkan untuk sebuah

kemampuan penerapan yang luas, penekanan diciptakan ketika hal tersebut diaplikasikan

dalam konteks kultural yang spesifik. Contohnya, kode etik CEC menyebutkan bahwa para

ahli pendidikan luar biasa diperlukan untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan para

2

Henny Sanulita/108651519100

partisipan, menterjemahkan dan menerbitkan hasil penelitian dengan ketepatan dan

pengetahuan tingkat tinggi, mendukung adanya pembatalan dari penggunaan sebuah prosedur

penelitian yang mungkin akan berujung pada konsekuensi yang tidak diinginkan untuk

partisipan, dan melatih kewaspadaan untuk mencegah penerapan yang salah maupun

penyalah gunaan usaha penelitian. (Mertens dan McLaughlin, 2004). Bagaimanapun juga,

kode etik CEC tidak disuarakan sehubungan dengan kebutuhan untuk membentuk etika

penelitian dari sisi kultural, yang merupakan sebuah masalah tentang kepentingan khusus

dari komunitas Bahasa Isyarat.

Sebagai tambahan, prinsip-prinsip umum, petunjuk, dan kode-kode ini tidak menitik beratkan

secara terang-terangan kebutuhan bagi para peneliti untuk membangun kepercayaan dengan

para partisipan dalam komunitas dan untuk meyakinkan bahwa partisipan memandang

penelitian sebagai suatu hal yang bernilai kolaboratif dan kultural. Secara historis, kurangnya

kesadaran dari berbagai aspek kultural dari komunitas Tuna Rungu menggiring kepada

sebuah penelitian yang pada saat ini bisa dianggap pelecehan secara etika. Sebagai

contohnya, Psikologi Tuna Rungu (Myklebust 1964) menegaskan bahwa, ketika

dibandingkan dengan orang-orang yang dapat mendengar , para Tuna Rungu lebih tidak

dewasa; telah meningkatkan masalah emosional; lebih tidak sempurna, lebih naif, dan lebih

primitif; memiliki koordinasi fisik yang rendah; menunjukkan tanda-tanda keterbelakangan

dalam bahasa; hanya mampu menyelesaikan sebuah tugas yang jelas; dan skizofrenik, tidak

stabil, suka berkelahi, ingin dikagumi, kurang manusiawi, menarik diri, terkucil, paranoid,

menderita gangguan perasaan, curiga, gila, tidak mandiri, autis, dan tertekan. Ia juga

menegaskan bahwa pria tuna rungu cenderung feminin dan perempuan tuna rungu cenderung

masculine (ibid.). Buku Myklebust, yang digunakan sebagai bacaan standard pelatihan bagi

para guru murid tuna rungu sejak pertengahan 1960an hingga 1980an (Maher 1996), lebih

banyak ditulis bagi murid-murid patologi ilmu bahasa pendengaran, dan psikologi; buku

tersebut juga disediakan sebagai bacaan referensi bagi orang-orang yang “memiliki perhatian

terhadap berbagai pengaruh dari kehilangan panca indera” (Review of Publications 1965).

Peneliti Tuna Rungu Humphries dan Padden (dalam Maher 1996) mengomentari, “wewenang

Myklebust cukup untuk membangun maksud dari pemikiran yang resmi Untuk generasi

selanjutnya sebuah pengaruh kuat dalam memutuskan bagaimana anak-anak Tuna Rungu

Amerika akan diajar, Psikologi Tuna Rungu Helmer Myklebust meletakkan standard.” (23).

Ini merupakan contoh tentang bagaimana wacana hegemoni pada ranah akademis bisa

menjadi kuat dan berbahaya bagi mereka yang secara tradisional tidak diwakili.

3

Henny Sanulita/108651519100

Karya tulis para ilmuwan dari sudut pandang feminis, penutur asli, dan pembela hak asasi

manusia telah seringkali menunjukkan ketidak puasan akan kode etik yang berdasarkan pada

bidang tersebut dikarenakan oleh kurangnya “suara.”3 yakni, kurangnya perwakilan atau

perantara, dalam pembicaraan pada etika penelitian (Cram, Ormond, dan Carter 2004; Chilisa

2005; Osborne dan Mc Phee 2000). Sebuah bentuk literatur yang menjanjikan itu

menyediakan asupan bagi pemikiran tentang bagaimana menunjukkan aspek ketidak adilan

sosial ini. Para anggota dari Komunitas Bahasa Isyarat dan pembela mereka dapat belajar

dari lainnya yang telah turut berjuang, dan juga memberikan kontribusi untuk topik ini.

Pollard (1992, 1994,1996, 2002) telah mengemukakan banyak masalah etika yang

berhubungan dengan seluk beluk penelitian dalam komunitas Bahasa Isyarat. Karyanya

menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana penelitian dapat mewakili

komunitas ini sehubungan dengan ketertarikan, nilai-nilai dan prioritas mereka. Pada

umumnya, kesamaan diantara, begiu pula pengertian dari, pendekatan metodologis yang

berbeda, sbuah populasi yang beragam, mencuatkan trend sosial, dan perkembangan baru

pada berbagai bidang (Ginsber dan Mertens, 2009). Pollar (2002) menegaskan bahwa

komunitas Bahasa Isyarat belum membangun organisasi apapun untuk menelaah penelitian

secara spesifik tentang diri mereka sendiri. Terlebih lagi, kebutuhan untuk mengembangkan

petunjuk etika bagi penelitian ilmu sosial dalam komunitas Bahasa Isyarat didukung oleh

banyak perubahan terkini dari komunitas ilmu sosial secara lebih luas.

Untuk meraih tujuan kami dalam mengeksplorasi kerangka etika bagi para peneliti pada

komunitas Bahasa Isyarat, kami memberikan konteks filosofis sebagai pertimbangan kode

etis macam apa yang akan terlihat, memeriksa secara paralel dengan pergerakan transformasi

lainnya, dan menawarkan sebuah proses dan beberapa prinsip untuk menuntun komunitas

Bahasa Isyarat dalam perkembangan petunjuk penelitian mereka sendiri.

Kerangka Pemikiran Filosofis

Sebuah paradigma menyediakan perangkat untuk mengidentifikasi asumsi filosofis yang

spesifik yang menjabarkan pandangan umumnya. Taksonomi elemen Guba dan Lincoln

(2005) terhadap paradigma penelitian dimodifikasi oleh Mertens (2005; 2009) untuk

memperoleh keyakinan dasar sepadan dengan oenelitian yang dilaksanan dengan tujuan

berupa transformasi sosial. Guba dan Lincoln menjelaskan empat sistem keyakinan dasar

yang menjelaskan sebuah pendirian paradigmatis: ontologi yang merupakan asumsi yang

berhubungan dengan sifat dasar kenyataan; epistemologi yang merupakan asumsi tentang

4

Henny Sanulita/108651519100

sifat dasar pengetahuan dan hubungan antara yang tahu dan yang akan diketahui; asumsi

metodologis yang menyediakan sebuah landasan bagi pilihan-pilihan metodologi; dan asumsi

aksiologis yang ditandai dengan keyakinan tentang apa yang etis.

Paradigma transformatif, dengan asumsi filosofisnya yang mengiringi, memberikan sebuah

cara untuk memeriksa keyakinan terselubung yang menjelaskan peran dari peneliti sebagai

seseorang yang bekerja dalam kerjasama dengan orang lain atau perubahan sosial dan dengan

itulah menantang status quo. Paradigma transformatif (Mertens2005,2007,2009; Mertens,

Harris dan Holmes, 2009) adalah sebuah kerangka pemikiran dari sistem keyakinan yang

secara langsung mengaitkan anggota-anggota dari kelompok sosial yang beragam secara

kultural sementara memusatkan pada meningkatnya keadilan sosial. Karena mereka

mengakar dalam kepentingan hak asasi manusia, implikasi etis bagi penelitian dihasilkan dari

pengikut sertaan secara sadar tentang jangkauan luas dari orang-orang yang secara umum

tidak diikutsertakan dalam masyarakat pada umumnya. Implikasi etis tersebut berjuang

mengembangkan makna dari konsep etika tradisional sehingga mereka merefleksikan lebih

langsung lagi pertimbangan etis dalam komunitas yang kompleks secara kultural. Dalam

artikel ini kami juga memeriksa masalah kekuatan dalam penyimpulan fokus penelitian,

perencanaan, implementasi, dan kegunaan dari pendirian transformasi yang berdasar pada

asumsi aksiologis yang berhubungan dengan penghormatan terhadap komunitas yang

dipojokkan maupun kesadaran dari ketertarikan anggota-anggota komunitas.

Seperti yang ditunjukkan tabel I, empat keyakinan dasar melandasi asusmsi filosofis yang

mengkaraktersisasi paradigma transformasi. Asumsi aksiologis mempertanyakan apa yang

dianggap perilaku etis atau bermoral? Seperti yang telah diindikasikan oleh pengantar dari

artikel ini, tiga prinsip-prinsip dasar, melandasi etika-etika yang berhubungan dengan

pengaturan dalam penelitian: penghormatan, kemurahan hati dan keadilan. Asumsi aksiologis

transformatif menantang definisi tradisional dari konsep-konsep berikut dengan dasar bahwa

mereka gagal menjadi responsif terhadap mereka yang bukan bagian dari pembentukan

definisi ketika Belmont Report dipublikasikan. Sebagai contoh, dalam koneks penerapan

yang spesifik dalam penelitian dengan Tuna Rungu, penghormatan didefinisikan

berhubungan dengan norma kultural dari interaksi dalam komunitas Bahasa Isyarat dan di

seluruh dunia Tuna Rungu. Kemurahan hati didefinisikan berhubungan dengan promosi hak

asasi manusia dan keadilan sosial yang meningkat. Sebuah hubungan eksplisit dibuat diantara

proses dan hasil dari penelitian dan kelanjutan dari kepentingan keadilan sosial.

5

Henny Sanulita/108651519100

Konsep validitas dalam penelitian sosial menyatakan bahwa seseorang dapat membuat

penegasan yang mendapatkan dukungan dalam studi penelitian dan oleh sebab itu memasuki

arena aksiologis sebagai dimensi kritis dalam pencapaian praktek etis penelitian. Untuk

membangun validitas dari penelitian ilmu pengetahuan sosial melalui lensa budaya, peneliti

harus menunjukkan keberagaman kultural dengan mengembangkan sebuah pemahaman

akurat tentang komunitas melalui interaksi yang bermakna dan penuh penghargaan dengan

anggota komunitas tersebut. Para peneliti menanamkan bias terhadap validitas yang terancam

pada grup yang beragam secara kultural, yang di sisi lain kesadaran budayanya tinggi.

(Kirkhart 2005). Sebuah dimensi penting dari validitas penelitian mengikutsertakan apresiasi

dan pemahaman peneliti akan budaya. Pada 1995, Kirkhart(ibid.) memperkenalkan istilah

validitas multikultural untuk merujuk kepada “otentisitas akan pemahaman melalui konteks

kultural yang berjumlah banyak dan saling memotong.” (22).

Asumsi ontologis mepertanyakan, apakah sifat dasar kenyataan? Dalam konteks penelitian,

peneliti mengidentifikasi variabel tertentu dan mengukur aspek mereka dengan maksud

mencari kebenaran atau apa yang disadari sebagai kenyataan dalam beberapa level

kemungkinan yang sudah ditentukan. Sebuah lensa transformatif mengubah fokus dari

relativisme kultural dan menjawab persepsi tentang apa yang nyata dipengaruhi oleh struktur

kekuatan masyarakat yang memberi hak versi tertentu lebih dari yang lain. Ketika mendengar

bahwa para peneliti yang tidak kenal dengan budaya Tuna Rungu memiliki kekuatan untuk

menentukan kenyataan bagi Tuna Rungu, beberapa bentuk “kenyataan” lazim yang muncul

termasuk berikut:

Tes yang dikembangkan untuk populasi pada umumnya dapat digunakan pada Tuna

Rungu

Hasil penelitian berdasarkan pada sample dari Tuna Rungu diberlakukan untuk

keseluruhan komunitas Tuna Rungu

Penerjemah yang dipakai dalam pertemuan tim penelitian atau pengumpulan data

berkemampuan seimbang dalam perencanaan budaya dan bahasa

Mendengarkan tingkat lanjut peneliti dan tahun pengalaman penelitian cukup untuk

melaksanakan penelitian yang valid pada komunitas Bahasa Isyarat.

Ketika Tuna Rungu berada dalam posisi mengekspresikan kenyataan seperti yang mereka

terima, asumsi dan keyakinan yang keliru tersebut ditantang.

6

Henny Sanulita/108651519100

Epistemologi dari paradigma penelitian transformatif menjelaskan sifat dasar dari ilmu

pengetahuan dan menggiring untuk mempertanyakan tentang hubungan anara para peneliti

denga partisipan yang pengalamannya dipelajari oleh para peneliti. Epistemologi

transformatif dikarakterisasi melalui kolaborasi jarak dekat antara peneliti dengan anggota

komunitas, entah yang disebut terakhir adalah partisipan atau wakil peneliti. 4 Tujuan,

rancangan, implementasi, dan penggunaan penelitian dikembangkan dan diikutsertakan

dengan sensitivitas dan kesadaran kultural yang layak. Para peneliti membutuhkan kolaborasi

dengan tuan rumah dari komunitas (tidak perlu pemimpinnya, namun orang-orang biasa saja).

Hubungan ini interaktif dan menguatkan. Keikut sertaan dari anggota komunitas Bahasa

Isyarat menggiring pada perubahan yang dikesampingkan secara spesifik pada masalah

tentang kepentingannya bagi mereka. Sebagai contoh, penelitian pada akses pengadilan atas

klien yang Tuna Rungu dan memiliki kesulitan dalam hal pendengaran telah diangkat sesuai

permintaan dari pengacara Tuna Rungu yang melayani klien Tuna Rungu yang telah

mengalami diskriminasi pada sisem peradilan (Mertens 2000). Yayasan W.K. Kellog

mendanai sebuah studi yang mengikutsertakan dewan penasiha dari pengacara Tuna rungu

dan Hakin, begitu pula dengan penerjemah sidang dengar dan pendidik hukum. Sebagai

hasilnya, Tuna Rungu diundang untuk berbagi pengalaman mereka dalam persidangan

melalui grup fokus dan partisipasi dalam pelatihan hakim pada keseluruh lima puluh negara

bagian,juga dalam tim perencanaan untuk peningkatan akses terhadap sistem persidangan.

Asumsi metodologis merujuk kepada basis filosofis dari pemilihan metode mana yang layak

untuk penyelidikan sistematis. Penelitian pada paradigma transformatif merupakan sebuah

tempat praktik untuk bermacam pemaknaan. Asumsi ini tidak memiliki tatanan metode atau

praktik spesifiknya sendiri. Tipe penelitian ini menarik beberapa teori, pendekatan, metode

dan teknik. Metode-metode kuantitatif, kualitatif, ataupun campuran dapat digunakan;

bagaimanapun, Keikut sertaan dimensi metode kualitatif penting untuk membangun sebuah

dialog antara peneliti dan anggota komunias. Tatanan metode campuran dapat

dipertimbangkan untuk menunjukkan kebutuhan informasi komunitas. Bagaimanapun,

keputusan metodologis dibuat dengan penuh kesadaran akan faktor kontekstual dan historis,

khususnya ketika berhubungan dengan diskriminasi atau penindasan. Dengan itu, bentukan

kerjasama dengan peneliti dan komunitas Bahasa Isyarat merupakan sebuah langkah penting

dalam mengajukan pertanyaan –pertanyaan metodologis dalam penelitian.

Asumsi metodologis atas paradigma transformasi menyediakan petunjuk dalam pemilihan

pendekatan penelitian. Metodologi-metodologi yang sejalan dengan asumsi paradigma

7

Henny Sanulita/108651519100

transformatif ditunjukkan dengan kelanjutan dalam aksi partisipasi penelitian (PAR)(Brydon-

Miller 1997; Reason dan Bradbury 2001), juga dengan perubahan pada Institut Kesehatan

Nasional (2007) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (2006) yang

mempromosikan penelitian partispasi berdasar komunitas (CBPR). Para peneliti lintas budaya

seperti Trimble (seperti dikutip dari Pollard 1992) dan Matsumoto (1996) mendahului

oerubahan-perubahan dalam metodologi ini dan sehingga menyediakan kontribusi yang

bernilai pada pertumbuhan kesadaran akan kebutuhan untuk secara sadar mempertimbangkan

keikutsertaan budaya dan komunitas dalam metode penelitian.

Petunjuk Penelitian yang Layak Secara Kultural

Para ilmuwan dalam komunitas ilmu pengetahuan yang lebih luas telah mulai mengeksplorasi

praktek etika yang seiring dengan paradigma transformatif. Munculnya penelitian yang “peka

secara budaya” mendekati “etnisitas yang dikenali maupun posisi budaya sebagai sentral

proses penelitian” (Tillman 2002, 1123). Banyak argumen pada etika penelitian yang peka

secara kultural untuk komunitas-komunitas khusus telah dibuat, contohnya, untuk Maori

(Cram, Ormond, dan Carter2004), komunitas African Botswana Community(Chilisa 2005),

penduduk asli Kanada (Mi’kmaq College Institute 2006), Australasians(Astralasian

Evaluation Society, Inc. 2006), komunitas-komunitas pengguna asli (Osborne dan McPhee

20000), dan orang-orang Navajo(brugge dan Missaghian 2003). Suara-suara yang

bermunculan ini menyediakan justifikasi paralel maupun sebuah model untuk para peneliti

dalam komunitas Bahasa Isyarat untuk bergabung dalam pemeriksaan ulang atas prinsip-

prinsip dan praktik etika dalam penelitian.

Jika para peneliti dalam komunitas Bahasa Isyarat meminjam dari diskusi tersebut, banyak

pertanyaan seperti yang berikut ini bermunculan: Apa petunjuk penelitian yang secara

kultural paling layak untuk kelompok-kelompok ini? Apa yang kita masukkan dalam

petunjuk untuk mengindikasikan penghormatan dan menunjukkan kepekaan terhadap budaya

mereka? Bagaimana kita menekankan pentingnya petunjuk penelitian yang layak secara

kultural dalam populasi ini? Bagaimana bisa para peneliti yang menjalankan studi pada

komunitas yang kompleks secara kultural menyatukan suara angota mereka ketika

menghadapi masalah etis dan metodologis?

Martens (2005) mencatat bahwa kompetensi kultural merupakan konsep integral bagi mereka

yang bekerja dalam asumsi filosofis atas paradigma transformatif. Kompetensi secara kultural

merupatan disposisi kultural yang berhubungan dengan kemampuan para peneliti untuk

8

Henny Sanulita/108651519100

mewakili secara akurat kenyataan dalam komunitas yang kompleks secara kultural.

Symonette (2004) membuat implikasi eksplisit bahwa para peneliti yang kompeten secara

kultural harus memahami diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan komunitas yang

dipertanyakan. Kompetensi kultural bukan merupakan keadaan yang statis. Justru, merupakan

sebuah perjalanan di mana sang peneliti mengembangkan pemahaman yang meningkat dari

akses diferensial untuk membangkikan dan memberikah hak melalui refleksi diri dan

interaksi dengan anggota-anggota komunitas (ibid.; Sue dan Sue 2003). Kompetensi kultural

dalam penelitian dapat didefinisikan secara luas sebagai mode penyidikan sistematis,

responsif yang sadar, paham dan apresiatif secara aktif dari konteks kultural di mana

penelitian diselenggarakan; hal ini merangkai dan mengartikulaasi epistemologi dari usaha

penelitian, memanfaatkan metodologi yang layak secara kultural dan kontekstual, dan

menggunakan cara yang dapat mengangkat komunitas dan mudah dipahami untuk sampai

pada hasilnya dan penggunaan lebih lanjut dari temuan-temuan (SenGupta, Hopson, dan

Thompson-Robinso 2004). Keuntungan dari kompetensi kultural dan pendekatan penelitian

yang responsif secara kultural mengikutsertakan (namun tidak terbatas pada) kemampuan

untuk mentransformasi intervensi sehingga komunitas menganggapnya sah (Guzman 2003).

Asosiasi Psikologi Amerika (2002) menyarankan bahwa peneliti menempatkan disi sebagai

perantara dai perubahan yang pro-sosial untuk melawan rasisme, prasangka, bias, dan

penekanan dalam bentuk apapun. Dan pada akhisnya, para peneliti yang kompeten secara

kultural berusaha membangun hubungan meskipun ada perbedaan, meraih kepercayaan dari

anggota komunitas, dan berefleksi dan menyadari bias mereka sendiri (Edno, Joh, dan Yu

2003).

Paradigma transformasi penyediakan sebuah kerangka pemikiran yang berguna untuk

menekankan peranan yang dimainkan para peneliti ketika berhubungan dengan masalah-

masalah yang berhubungan dengan penindasan, diskriminasi, dan perbedaan kekuatan.

Paradigma transformasi meletakkan kepentingan utama pada dinamika ketidak setaraan

kekuatan yang telah menjadi warisan bagi banyak anggota komunias Bahasa Isyarat

bergantung pada versi kenyataan siapa yang diberi hak. Asumsi epistemologis transformatif

membangkikan pertanyaan tentang sifat dasar hubungan antara para peneliti yakni dalam

hubungannya dengan siapa yang mengendalika investigasi, khususnya ketika ia dijalankan

oleh tim yang terdiri dari anggota dan bukan anggota dari komunitas Bahasa Isyarat. Asumsi

metodologis transformatif mendorong para peneliti yang tertarik dengan penelitian sebuah

topik dalam komunitas Bahasa Isyarat untuk mengikuti petunjuk yang dikembangkan oleh

9

Henny Sanulita/108651519100

komunitas itu sendiri. Asumsi aksiologis transformatif meleakkan masalah keadilan sosial

dan hak asasi manusia pada garda depan pengambilan keputusan sehubungan dengan

penelitian pada komunitas Bahasa Isyarat.

Ketentuan dijelaskan sebagai prinsip-prinsip dan prosedur yang perlu dipertimbangkan ketika

para peneliti memutuskan untuk mempelajari komunitas Bahasa Isyarat. Ketentuan sebagai

berikut diajukan untuk kegunaan dalah kelompok ini. Ketentuan tersebut tidak mendalam dan

mewakili hanya permulaan dari kode etis penelitian untuk komunitas seperti itu. Kami

menerima ide-ide anda dan saran-saran untuk perubahan.

Penciptaan Ketentuan-Ketentuan untuk Penelitian Akademis dan Publikasi pada

Komunitas Bahasa Isyarat

Apa yang penyidik perlu ketahui untukmembuat keputusan pada situasi khusus? Kami

melandaskan petunjuk ini pada Ketentuan Asli (ITR) (Osborne dan McPhee 20000). ITR

memperlihatkan fakta bahwa konsep dari komunitas dan budaya adalah hal yang dinamis dan

menjawab perubahan yang mungkin muncul dalam sebuah budaya setiap waktu. Penerapan

dari ITR untuk masalah bagi bukan pengguna asli (contohnya komunitas Bahasa Isyarat) juga

dianjurkan. (ibid.)

Ketentuan Komunitas Bahasa Isyarat (SLCTR) harus terikut sertakan dalam perspektif

komunitas. Petunjuk ini juga harus mengikutkan sebuah protokol untuk penanganan

masalah yang bermunculan. Proses pengikut sertaan ini mendorong para anggota komunitas

untuk membuat pendirian tentang bagaimana para peneliti boleh menginvesigasi mereka.

Pertanyaan pertama untuk diungkapkan saat mengembangkan perspektif Bahasa Isyarat

untuk SLCTR adalah, mengapa kita berusaha untuk mendapatkan sudut pandang komunitas

Bahasa Isyarat pada penelitian yang melibatkan mereka? Kita telah mengadaptasi sebuah

tatanan nilai dan prinsip utama yang telah dikembangkan oleh para pengguna asli dan

mendiskusikannnya di sini. Sangat penting bahwa para peneliti berusaha untuk menentukan

cara dimana komunitas Bahasa Isyarat merasakan dan memikirkan tentang dunia dan

memberikan pengakuan yang layak mereka dapatkan. Orang-orang yang menggunakan

bahasa isyarat merupakan populasi yang beragam, dan satu atau dua peneliti Tuna Rungu

tidak dapat secara efektif mewakili sudut pandang bahasa isyatat untuk kelompok ini; dengan

demikian, adalah penting untuk memiliki tatanan nilai-nilai dan prinsip dasar yang

dikuasakan komunitas.

10

Henny Sanulita/108651519100

Nilai- nilai dasar SLCTR (diadaptasi dari ITR) termasuk sebagai berikut: kelayakan dan

validitas dari kultur budaya tuna rungu kontemporer; realitas hak berekspresi dari komunitas

Bahasa Isyarat; penentuan nasib sendiri dan penganganan diri; hak dari kelompok bahasa

isyarat untuk bekerja dan membua keputusan dalam ketentuan kulturalnya sendiri;

pengawasan komunitas Bahasa Isyarat; Pengakuan dan penerimaan akan keragaman dalam

komunitas bahasa isyarat; rekonsiliasi dari ketertarikan untuk bersaing di anara orang-orang

yang menggunakan bahasa isyarat; dan kelayakan dari kelompok (lihat tabel 2). Kita

selanjutnya akan mendiksusikan setiap prinsip-prinsip ini dan memberika contoh-contoh

yang jelas.

Prinsip 1. Otoritas dari konstruksi pengetahuan bahasa isyarat bersandar pada anggota

komunitas Bahasa Isyarat.

Asumsi ontologis dari paradigma transformatif meletakkan secara ekspilisit otoritas kontruksi

akan makna dan pengetahuan dalam komunitas Bahasa Isyarat di tangan para anggota

komunitas. Komentar Ladd (2003) memberikan penglihatan mendalam pada hubungan antara

sistem wacana dan penciptaan pengetahuan. Ia menulis bahwa sebuah sistem wacana terdiri

atas sebagai berikut:

Peraturan yang tak terungkapkan akan apa atau bagaimana, kapan dan dimana sesuatu bisa

atau tidak bisa di katakan. Setiap hal tersebut, karenanya, mengkonstruksi kanon “kenyataan”

bahwa apapun yang diputuskan oleh partisipan merupakan “bukti yang dapat diterima,”

sebuah proses bahwa dalam kasus dari wacana bergengsi tertentu, hal seperti itu ditemukan

dalam universitas, pembentukan medis dan media komunikasi, dapat dipandang

membahayakan ketika tidak diperiksa, untuk hal ini kemudian hadir untuk menentukan apa

yang dianggap sebagai pengetahuan itu sendiri. (76)

Kehadiran dari sisem wacana yang tidak diperiksa mengindikasikan pentingnya mengakui

otoritas Bahasa Isyarat untuk menentukan makna dan pengetahuan dalam populasi tersebut.

Validitas yang dialogis juga merupakan cara yang efektif untuk mendesentralisasi

“kemampuan mendengarkan” dalam penelitian pada orang-orang Tuna Rungu. Konsep dari

“desentralisasi” datang dari Cram, Ormond dan Carter (2004) dalam karya tulis mereka

tentang penelitian pada dan dengan suku Maori. Orang-orang yang dipinggirkan, seperti

orang-orang Maori dan Tuna Rungu, dengan kata lain, adalah “di desentralisasi” Suku Maori

telah kehilangan tanah dan struktur keluarga mereka, hubungan mereka terganggu, dan

bahasa mereka dibatasi, hal tersebut meminggirkan suku Maori dari pusatnya. Cram, Ormond

11

Henny Sanulita/108651519100

dan Carter (ibid., 167) berargumen bahwa “para peneliti Suku Maori mencari dalam upaya

untuk mendesentralisasikan “keberadaan sebagai kulit putih sebagai kepemilikan dari dunia

selama-lamanya” (seperti yang didiskusikan oleh aktivis kulit hitam DuBois [1920], dikutip

dalam Myers, 2004,8). Penelitian dengan komunitas Tuna Rungu membutuhkan

desentralisasi “kemampuan mendengar”, sehingga kultur Bahasa Isyarat dan Tuna Rungu

Amerika dikembalikan pada orang-orang tuna rungu. Untuk meyakinkan bahwa penelitian

secara akurat mewakili orang-orang dapat diusahakan dengan mempelajari validitasnya yang

meningkat; karenanya, penelitian dalam komunitas Tuna Rungu harus dilakukan oleh orang

Tuna Rungu, untuk orang Tuna Rungu dan dengan orang Tuna Rungu, seperti yang

diargumentasikan oleh Cram, Ormond dan Carter bahwa penelitian terhadap suku Maori

harus dilakukan “oleh orang Maori, untuk orang Maori dan dengan orang Maori”. “Oleh

orang Tuna Rungu, untuk orang Tuna Rungu dan dengan orang Tuna Rungu,” tidak perlu

menyisihkan peneliti yang memiliki pendengaran baik, tidak pula menepiskan model

kolaborasi; pada kenyataannya bagian terakhir dari fase tersebut, “dengan orang Tuna

Rungu,” menekankan peran bersama bagi baik peneliti yang memiliki pendengaran baik

maupun Tuna Rungu sementara juga keunggulan dari apa yang disebut sebelumnya dan peran

esensial dalam proyek penelitan yang melibatkan Tuna Rungu.

Prinsip 2. Investigator harus mengakui bahwa anggota komunitas Bahasa Isyarat memiliki

hak akan hal-hal yang mereka nilai benar-benar dipertimbangkan dalam semua interaksi.

Paradigma transformatif menekankan pemeriksaan kritis akan hubungan kekuasaan. Dalam

penelitian akademis, pengembangan dimana ASL digunakan merupakan satu indikasi dari

penggabungan nilai-nila komunitas Bahasa Isyarat dalam etika penelitian. Secara historis,

ASL telah ditekan oleh orang –orang yang membela bahwa ujaran menggantikan Bahasa

Isyarat (Lane, Hoflmeister, dan Bahan 1996; Lane 1999). Ladd (2003) menegaskan bahwa

pada abad kedua pulh wacana penelitian yang berlaku pro-oralisme dan anti- Bahasa Isyarat.

Untuk sampel mereka, para peneliti sering memilih anak-anak yang telah menjadi tuli setelah

menerima bahasa Inggris dalam bentuk ujaran atau tuli sebagian yang sukses secara oral

(ibid.). Studi dijalankan menurut kebijakan edukatif yang berlaku (Lane 1999). Ladd (2003)

menunjukkan bahwa ada “ketidak hadiran yang hampir total dari penelitian akademis

apappun dalam kehidupan kolektif Tuna Rungu atas ketemtuannya sendiri” (171; ditekankan

pada versi asli). Tujuan dari SLCTR adalah memeriksa heubungan kekuasaan,

mendekonstruksi penelitian hegemonis, dan membangun ulang penelitian dimana kehidupan

kolektif Tuna Rungu diwakili.

12

Henny Sanulita/108651519100

Para peneliti yang berasal dari luar komunitas Bahasa Isyarat telah mencatat bahwa jurnal-

jurnal sudah mulai menerima “teks yang lebih eksperimental, yang ‘kacau’ dengan bagian

puitis” (Lincoln dan Denzin 2005, 1121). Sekarang lebih banyak peneliti menyiapkan secara

meningkat berkas penelitian dan disertasi yang pada tingkat minimum, tulisan – bilingual

yang menunjukkan kebutuhan yang lebih akan autensi berganda daripada tunggal. Sekarang

tidak lagi tak terdengar, ataupun aneh, bagi para pelajar untuk menghasilkan disertasi

doktoral yang mengikutkan porsi yang beberapa anggota komisi disertasinya tidak dapat

menerjemahkan” (ibid.). Perubahan menuju penggabungan dari nilai komunitas Bahasa

Isyarat ini didiskusikan dalam bagian ke 5 dari disertasi Bienvenu, yang ia terbitkan

sepenuhnya dalam ASL; terlebih lagi, beberapa anggota dari komite disertasinya tidak

mengenal ASL (Bienvenu 2003).

Disisi lain, Gilmore dan Smith (2005) menyatakan bahwa “penelitian yang tidak

menyesuaikan diri dengan genre akadimis yang berlaku masih beresiko baik itu direndahkan

atau dicemarkan sebagai ‘tidak benar-benar terpelajar’ ” (78). Bagaimanapun, dengan

mengambil resiko, para peneliti mengindikasikan solidaritas komunitas dengan membaurkan

genre akademis dengan konvensi dari budaya yang ditargetkan. Mereka yang mengambil

kesempatan seperti itu dalam penelitian yang berangkat dari standard yang sesuai dijatuhkan

oleh mereka yang memiliki kekuasaan akademis pada kenyataannya mengajarkan yang lain

beberapa hal. (Lincoln dan Denzin 2005). Pada kenyataannya, para peneliti memiliki banyak

hal untuk dipelajari dari budaya yang diinginkan. Kerja yang bagus sudah erlihat didepan,

karena kita harus “menulis ulang dan membenarkan dan seringkali merusak penelitian

akademis yang sudah ada” (Gilmore dan Smith 2005, 71; penekanan pada asli). Karena itu,

peran yang diemban di sini oleh SLCTR dan paradigma transformatif adalah untuk

mendukung dan menganjurkan para peneliti dalam komunias Bahasa Isyarat untuk

mengambil resiko, dengan itu akan membebaskan mereka dari penyesuain diri terhadap

praktek hegemonis dan menciptakan penelitian yang bebas.

Prinsip 3. Investigator harus mencatat pandangan terhadap dunia dari komunitas Bahasa

Isyarat pada setiap negosiasi atau ketika berhadapan dengan pengaruh pada anggota

komunitas Bahasa Isyarat.

Rekanan dalam situasi penelitian juga membutuhkan pemeriksaan kritis dari hubungan

kekuasaan. Ilmuwan dalam peneliian Tuna Rungu elah mendiskusikan masalah kekuasaan

pada tim penelitian Tuna Rungu dan menimbulkan pertanyaan akan penghormatan dan hak

13

Henny Sanulita/108651519100

isimewa (Stinson 1994; Foster 1994). Akhir-akhir ini, ilmuwan sudah mengangkat

permasalahan diskriminasi yang terkadang timbul dalam sebuah rekanan. Bauman (2004)

memberikan contoh dari audisme institusional dalam dinamika komunikasi baik interaksi

pada ahli yang Tuna Rungu maupun yang memiliki pendengaran yang baik. Keputusan

tentang pengumpulan data dan penggunaan bahasa diantara tim penelitian mewakili sebuah

teka-teki kata yang khas dalam penelitian pada komunitas Bahasa Isyarat. Ketika tim

penelitian terdiri dari orang Tuna Rungu yang menguasai bahasa isyarat dan orang-orang

yang memiliki pendengaran yang baik yang baru saja menguasai bahasa isyarat, seorang

penerjemah biasanya diminta untuk menengahi antara dua bahasa. Dengan seorang

penterjemah, anggota penelitian secara otomatis menderita kerugian karena informasi

disaring oleh penterjemah (yang seringkali tidak mengenal ketentuan penelitian dan proyek

penelitian itu sendiri), dan jeda waktu antara informasi yang diujarkan dengan informasi yang

diisyaratkan dan penterjemahan menghalangi partisipasi seimbang dari para anggota tim.

Penggunaan penterjemah berpengaruh secara negatif bagi proyek, yang hanya menekankan

kebutuhan untuk segera menguasai bahasa isyarat yang digunakan.

Daripada memiliki tim penelitian yang hirarkis dengan investigator utama pada bagian

teratas, asisten di bagian tengah dan partisipan pada bagian bawah, proyek penelitian

harusnya merupakan dialog horizontal antara tim peneliti dan partisipan. Pembentuk tim

harus mengikutkan baik anggota dan bukan anggota dari budaya yang ditargetkan. Dialog

antara partisipan dan mereka yang ada dalam tim membantu untuk lebih jauh

mengembangkan dan memurnikan pemahaman setiap orang akan apa yang sedang erjadi.

Apa yang mereka temukan selalu parsial dan sedang berlangsung; karena itulah penelitian

sendiri harus merupakan dialog diantara semua yang terlibat (Cummins 2000).

Lebih banyak peneliti sekarang menyadari pentingnya suara partisipan dalam keseluruhan

proyek penelitian. Pusat Penelitian Nasional terhadap Kesehatan Tuna Rungu (NCHDR)

memanfaatkan pendekatan “penelitian partisipasi-komunitas” dengan bekerja sama dengan

Komite Komunitas Kesehatan Tuna Rungu (DHCC), yang 51 persen dari anggotanya Tuna

Rungu, untuk memberi tanggapan terhadap atanan penelitian dan proses pengumpulan data

(National Center of Deaf Health Research 2006)

Silka (2005) dan rekan-rekannya telah mengembangkan sebuah model siklus penelitian yang

sesuai dengan pendekatan transformatif untuk meneliti komunitas immigran yang kompleks

sebagai cara untuk menunjukkan rekanan penelitian yang kompeten dan kuat secara kultural.

14

Henny Sanulita/108651519100

Ketika sebuah proyek dimulai, sebuah tatanan baru dari penerapan timbul dari studi yang

lebih awal hadir. Karena itu proyek yang baru bukan hanya studi sekali coba tetapi sebuah

siklus dari studi berganda yang berdasar pada sebuah rekanan penelitian dengan komunitas

yang dituju. Model mengindikasikan area –are dimana rekanan penelitian bisa menemui

kesulitan selama siklus berlangsung (contohnya di permulaan, pertengahan, ataupun akhir).

Hal tersebut juga mengilistrasikan cara dimana rekan penelitian bisa memusatkan usaha

mereka, menemukan cara untuk berpindah dari satu studi ke studi selanjutnya, dan

mengembangkan cara yang lebih baik.

Model penelitian kemampuan berbahasa isyarat memberikan contoh dari sebuah pendekatan

yang bersifat siklus yang menyeimbangkan kontribusi dari anggota yang memiliki

pendengaran baik dan Tuna Rungu, begitu pula para peneliti dan partisipan. Erting(2003)

menyesali bahwa “penelitian antar bidang yang kolaboratif yang melibatkan pendidik Tuna

Rungu dan memiliki pendengaran baik jarang ditemui” (456); bagaimanapun, ia

mendokumentasikan pengalaman dari tim penelitian kemampuan berbahasa isyarat dan cara

dimana mereka mengangkat permasalahan bahasa, kolaborasi Tuna Rungu dan orang yang

memiliki pendengaran baik, dan kolaborasi peneliti dan partisipan. Semua yang terlibat

didalam proyek diharapkan untuk belajar melihat dunia melalui mata orang Tuna Rungu”

(460) dengan mencoba untuk menalar suasana kultural yang tidak mereka mengerti dan

pertanyakan. Proyek ini sudah menghasilkan banyak publikasi dari para peneliti Tuna Rungu

dan peneliti yang memiliki pendengaran baik, contohnya bab bilingualisme dalam keluarga

Tuna Rungu oleh Erting, Thumann- Prezioso, dan Benedict (2000).

Prinsip 4. Investigator harus mengakui pengalaman, pemahaman dan cara hidup yang

beragam (dalam masyarakat pengguna bahasa isyarat) yang mencerminkan budaya

kontemporer pengguna bahasa isyarat dalam penerapan ketentuan komunitas Bahasa Isyarat.

Penghornaan dan pengakuan akan keberagaman adalah prinsip kunci untuk penelitian

transformatif. Dalam komunitas Bahasa Isyarat, hal ini merupakan pengakuan atas keeratan

yang merupakan sifat dasar komunitas ini dan implikasi atas kerahasiaan dan anonimitas

dalam penelitian. Pollard (2002) berargumentasi bahwa anonimitas merupakan satu dari tiga

puncak permasalahan pada penelitian terhadap komunitas Bahasa Isyarat. Pencegahan

tambahan diperlukan untuk menjaga anonimitas dari partisipan penelitian Tuna Rungu.

Seumpamanya, semua partisipan harus diberitahu nama-nama peneliti, asisten peneliti dan

penerjemah yang mungkin mengakses data. Dokumentasi video atas partisipan bahasa isyarat

15

Henny Sanulita/108651519100

masih membuat resiko yang lebih besar karena wajah-wajah mereka terekam dalam film.

Pollard menegaskan bahwa “bahkan teknik untuk menyamarkan fitur wajah tidak akan bisa

menyembunyikan gaya isyarat yang dengan kurang hati-hati akan menggiring pada

identifikasi partisipan” (165). Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa ASL menyampaikan

informasi linguistik pada wajah yang dirasa perlu untuk mengoreksi pemahaman akan pesan

tersebut. Permasalahan rpivasi seperti ini dinyatakan dalam bentuk ijin yang disampaikan

yang menggambarkan bagaimana data penelitian, termasuk rekaman video, kemungkinan

akan disebarkan dan siapa yang mungkin mendapatkan akses terhadap video-video tersebut.

Terserah kepada peneliti atau tim penelitian untuk menyampaikan secara jelas rencana-

rencana tersebut pada para partisipan, yang kemudian memutuskan untuk membolehkan atau

tidak akses terhadap informasi ini. Dewan Review Institusional (IRBS) dan khususnya IRB

Gallaudent University waspada ajab data video, khususnya untuk komunitas pengguna

Bahasa Isyarat.

Prinsip 5. Investigator harus meyakinkan bahwa pandangan dan persepsi dari kelompok yang

merupakan referensi penting (kelompok bahasa isyarat yang anda ajak bekerja sama)

tercermin dalam setiap proses validasi dan evaluasi pada tingkat dimana ketentuan-ketentuan

komunitas Bahasa Isyarat sudah diikut sertakan.

Asumsi aksiologis dari paradigma transformatif menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang

memiliki otorias untuk menentukan apakah petunjuk etika diikuti selama proses penelitian.

Pollard (2002) menyatakan bahwa kecurangan yang tidak disengaja seringkali timbul dalam

penelitian dengan populasi bahasa isyarat dalam bentuk kurangnya akses yang seimbang

terhadap informasi, komunikasi dan pengetahuan. Seumpamanya, jika informasi penelitian

lebih tidak bisa diakses oleh para partisipan Tuna Rungu dibanding dengan para partisipan

yang memiliki pendengaran baik, ketidak seimbangan ini dianggap sebagai sebuah bentuk

kecurangan dari para peneliti. Jika metode komunikasi para peneliti dengan orang Tuna

Rungu dan orang yang memiliki pendengaran yang kurang baik tidak mencukupi, ini

merupakan bentuk lain dari kecurangan. Orang yang memiliki pendengaran baik dan Tuna

Rungu memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda dikarenakan oleh perbedaan dalam akses

informasi, dan para peneliti yang tidak menmpertimbangkan ini dalam pengumpulan berarti

turut sera dalam bentuk kecurangan lagi (ibid.)

Tim peneliti Kemampuan berbahasa Isyarat yang telag disebut sebelumnya menjelaskan

secara gamblang dari permulaan proyek penelitian setiap hari, wacana tatap muka dan

16

Henny Sanulita/108651519100

pertemuan tim dilakukan secara eksklusif dalam ASL dan yang tertulis dalam bahasa Inggris

adalah e-mail, dokumen, jurnal, analisis data dan tulisan dan bacaan akademis. Peneliti dan

guru-guru yang memiliki pendengaran baik berusaha untuk menunjukkan ide-ide kompleks

dengan menggunakan ASL, sementara peneliti dan guru yang Tuna Rungu berusaha untuk

mengerti isyarat dari orang-orang yang bukan merupakan pengguna asli; bagaimanapun juga

komitmen yang cepat namun terjaga untuk menggunakan ASL membantu untuk menjaga

“pengalaman Tuna Rungu sebagai pusat dari penyidikan” (Erting 2003, 464). Pengalaman

dari seluruh partisipas dalam proyek ini merupakan hal besar dan memperkaya dibandingkan

dengan proyek penelitian sebelumnya, mengindikasikan pentingnya akses bahasa bagi semua

yang terlibat.

Bahkan pada penelitian kolaboratif di antara peneliti Tuna Rungu dan peneliti yang memiliki

pendengaran baik, yang disebut terakhir seringkali disebut “pemimpin tim,”, “peneliti

utama”, atau “koordinator penelitian”. Ketika membandingkan posisi yang dimiliki peneliti

dunia pertama dan ketiga, Chilisa (2005) menemukan bahwa yang pertama seringkali berada

pada posisi bergengsi dalam studi penelitian. Smith (1999) menyebutkan bahwa, dalam

sebuah dokumen yang dikenal sebagai Piagam Hutan Tropis, orang-orang suku pribumi

Filipina menyatakan bahwa “seluruh investigasi dalam wilayah kami… [akan] dilaksanakan

dengan persetujuan kami dan dibawah kendali dan petunjuk bersama” (dikutip di Lincoln dan

Denzin 2005, 1120). Terlebih lagi, Bangsa pertama dari Nova Scotia telah mendirikan

Komite Etika Mi’kmaq, yang menyortir proyek penelitian untuk memastikan bahwa

integritas dan pengetahuan budaya bangsa Mi’kmaq terjaga, sejalan dengan “garansi bahwa

hak kepemilikan diberikan pada beragam komunitas Mi’kmaq” (Mi’kmaq College Institute

2006).

Secara historis, orang Tuna Rungu secara umum tidak memiliki kendali atas proyek

penelitian disebabkan oleh perbedaan akses-bahasa antara peneliti dan komunitas Bahasa

Isyarat yang diteliti. Lincoln dan Denzin (2005) menekankan bahwa para peneliti saat ini

tidak bisa begitu saja memasukkan mereka kedalam kultur target kapanpun mereka mau.

Sebaiknya mereka “harus bernegosiasi untuk pengetahuan tersebut dan menghargai bentuk

dimana pemiliki mungkin ingin mewakili dirinya atau diwakili” (ibid., 1120). Duchesneau

and McCullough, keduanya merupakan ahli kesehatan mental Tuna Rungu mengatakan,

“Tidak diragukan, salah satu dari permasalahan yang sensitif dalam komunitas Tuna Rungu

saa ini adalah peran dari ahli yang memiliki pendengaran baik yang bekerja dekat dengan

orang Tuna Rungu.” (2006). Peran dari peneliti yang memiliki pendengaran baik dan Tuna

17

Henny Sanulita/108651519100

Rungu untuk bekerja sama dalam sebuah kolaborasi akan lebih setara melalui sebuah rekanan

dimana peneliti yang memiliki pendengaran baik berbagi pengetahuan khusus tentang bidang

tersebut dengan peneliti Tuna Rungu; sebaliknya, peneliti Tuna Rungu akan memberikan

pengetahuan linguistik yang spesifik maupun pengetahuan kultural tentang orang Tuna

Rungu kepada peneliti yang memiliki pendengaran baik (ibid.). Tanggung jawab bagi para

peneliti yang memiliki pendengaran baik dan peneliti Tuna Rungu sama secara relatif karena

peneliti Tuna Rungu mungkin tidak dapat mengakses pengeahuan khusus dikarenakan oleh

akses terbatas pada pelatihan untuk bidang khusus. Demikian juga, ahli Tuna Rungu

“mungkin tidak semudah itu berspesialisasi dalam area tersebut sederhananya karena tidak

banyak peluang pekerjaan tersedia untuk bidang tersebut” (ibid. 1). Bagaimanapun, peneliti

yang memiliki pendengaran baik tidak akan dapat melakukan penelitian secara efektif pada

komunitas Bahasa Isyarat tanpa kemampuan dari peneliti Tuna Rungu. McCullough (2007)

menyaakan, “untuk meyakinkan bahwa penelitian pada orang Tuna Rungu dilakukan dengan

cara yang terbaik, peneliti yang memiliki pendengaran baik harus membuat praktek

konsensus untuk berkolaborasi secara seimbang dengan peneliti Tuna Rungu dalam setiap

fase dari studi mereka, dengan poin yang diberikan secara seimbang pada peneliti Tuna

Rungu maupun peneliti yang memiliki pendengaran baik” (1).

Ide bahwa para peneliti etnografis memiliki “pengetahuan” dan bahwa “pengetahuan” adalah

milik mereka menggiring orang untuk percaya bahwa para peneliti – bukan partisipan dari

protek – mempunyai hak milik atas kepemilikan intelektual. Permasalahan ini bukan hal baru

bagi para peneliti ilmu pengetahuan sosial, dan hal ini mengenai semua yang berencana

mempublikasikan hasil dari penelitian mereka (Greenwood 2006). Orang pribumi mulai

menegaskan kembali hak milik dari penelitian yang dilakukan dalam komunitas mereka.

Mereka juga mengendalikan cara informasi tersebut disebar luaskan. Wacana penelitian

hegemonis mengikutkan secara khas syarat seperti “semua properti intelektual manapun

termasuk hak cipta dalam laporan akhir dan lain-lain yang lahir dari karya ini dengan

persetujuan akan menjadi milik Universitas X” (Chilisa 2005, 676). Orang pribumi dan

komunitas Tuna Rungu perlu menantang hegemoni dari penerjemahan atas hak milik data

penelitian. Kebudayaan yang dijadikan target pertama-tama tidak boleh dieksploitasi untuk

data, dan peneliti selanjutnya tidak mengakui hak milik dari informasi yang mereka sudah

dapatkan. Secara etis, hak milik tetap ada di tangan kebudayaan yang dijadikan target (ibid.).

Pembagian otoritas dengan rekan komunitas ditanggapi secara serius bukan untuk

pengetahuan itu sendiri melainkan untuk penyebarannya.

18

Henny Sanulita/108651519100

Ada beberapa pilihan untuk publikasi pembagian otoritas dalam penelitian tersebut, seperti

mendaftar nama dari seluruh partisipan sebagai wakil penulis entah mereka membantu

penulisan manuskrip aau tidak; pilihan lain adalah dengan menyebut diri mereka sebagai tim

kolaborasi penulisan (Greenwood 2006). Metode yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan

ini bisa beragan dari stiap universitas ke universitas lain, atau hal ini berarti memindahkan

penelitian diluar akademi ke dalam arena komunitas. Membuat penelitian untuk dapat diakses

bagi siapa saja yang berpartisipasi dalam penciptaannya merupakan prinsip dasar yang

berhubungan dengan paradigma transformatif dan juga merupakan satu hal yang harus

ditekankan dalam petunjuk penelitian pada komunitas Bahasa Isyarat. Berfikir ulang tentang

hak milik penelitian dari perspektif mereka yang secara orisinil “memiliki” pengetahuan

tersebut merupakan hal yang esensial.

Prinsip 6. Investigator harus bernegosiasi dalam dan diantara kelompok bahasa isyarat

dengan tujuan untuk membangun proses yang layak dan menentukan kriteria untuk

mendapatkan ketentuan kultural, kebutuhan sosial dan prioritas.

Sudah pernah ada perdebatan yang sangat keras tentang siapa yang akan menjalankan

penelitian dalam kelompok budaya yang beragam. Apa yang akan menjadi pengaruh dari

penelitian jika para peneliti dari target budaya tersebut yang memimpin proses? Bekerja

dengan komunitas yang memiliki kekurangan, Oliver dan Barnes (1997) dan Shakespeare

(1996) menyadari bahwa “tanpa para penderita cacat yang memimpin dan melakukan

penelitian, diperdebatkan bahwa penelitian ersebut memiliki relevansi yang kecil pada

kehidupan penderita cacat” (Young and Ackerman 2001, 179). Hasil kerja mereka dapat

diaplikasikan pada para peneliti Tuna Rungu yang memimpin proyek penelitian dengan

komunitas Bahasa Isyarat sebagai sebuah kelompok budaya karena mereka memiliki

pemahaman kultural yang diperlukan dan pengetahuan tentang anggota komunitas mereka.

Jika para peneliti Tuna Rungu melakukan penelitian dalam komunitas budaya mereka sendiri,

hasil karya mereka memiliki pengaruh besar bagi kehidupan anggotanya. 6 Komunitas Bahasa

Isyarat mendapat keuntungan dengan membangun karya dari anggota komunitas asli karena

mereka berbagi kepedulian yang berhubungan dengan bahasa, budaya dan posisi yang

berbeda secara historis dalam hirarki sosial. Sehingga, proses yang direkomendasikan oleh

pengguna asli bisa diadaptasi untuk perkembangan SLCTR (Osborne dan Mc Phee 2000).

Ketika anggota komunitas dan/atau peneliti mengidentifikasi permasalahan dimana sudut

pandang pengguna bahasa isyarat diperlukan, maka perwakilan khusus dari komunitas

19

Henny Sanulita/108651519100

Bahasa Isyarat perlu disebutkan dan dilibatkan. Individu yang layak dapat diputuskan dengan

menanyakan, siapa yang terpengaruh dengan permasalahan ini? Siapa bertanggung jawab?

Bagaimana ini mempengaruhi kelompok lain? Siapa yang harus dilibatkan dalam proses ini?

Tim peneliti dapat membawa para anggota dari komunitas Bahasa Isyarat secara bersamaan

untuk menjelaskan alasan untuk keterlibatan mereka dan untuk memutuskan bersama

bagaimana melanjutkannya. Anggota komunitas Bahasa Isyarat harus memegang kendali

untuk menentukan permasalahan dan proses tersebut. Dengan pemanfaatan inovasi teknologi,

blog, vlog,7 telepon video, dan penyeranta dapat digunakan untuk menghubungi banyak

orang Tuna Rungu di seluruh penjuru Amerika Serikat dan penjuru dunia.

Metode komunikasi yang beragam tersebut dapat digunakan untuk merancang konteks dari

permasalahan sesuai dengan pengaruhnya terhadap komunitas atau sesuai dengan faktor

sosial politik yang penting. Informasi dapat dikumpulkan melalui berbagai dimensi berikut:

Elemen kultural: baik itu pengaruh dari investigasi terhadap budaya, dan sebaliknya,

pengaruh dari budaya terhadap investigasi harus dipertimbangkan

Pengalaman: Identifikasi pengalaman masa lampau dan masa kini dari komunitas

sehubungan dengan permasalahan yang sedang dipelajari. Latar belakang historis

sangat penting untuk memahami bagaimana komunitas telah terbentuk.

Pemahaman: Pendapat, pengetahuan, dan pemahamam komunitas terhadap

permasalahan harus diikut sertakan.

Aspirasi: Tujuan dan hasil yang diinginkan oleh komunitas atas permasalahan yang

sedang didiskusikan dan dianalisis harus di buat ekspilisit. “Hal tersebut memberikan

komunitas untuk dapat mengidentifikasi secara jelas visi mereka tentang ‘apa yang

mereka inginkan’ di masa depan dengan permasalahan ini” (Osborene dan McPhee

2000, 10-11) [Penekanan dari yang asli]

Perbedaan opini diangkat kepermukaan dan hal ini harus dinegosiasikan untuk menemukan

kesepakatan pemahaman yang mencerminkan mayoritas; sebagai alternatif, sudut pandang

yang berbeda dalam versi akhir laporan investigasi harus dihadirkan kembali. Para peneliti

yang bejerja dengan anggota komunitas Bahasa Isyarat dapat mengkonstruksi sebuah

gambaran yang sudah disetujui atas semua informasi untuk mewakili pandangan Tuna Rungu

terhadap permasalahan yang didiskusikan. Pada tingkat ini, penting untuk lagi-lagi

berkonsultasi dengan komunitas untuk meyakinkan ketepatan kesimpulan yang ditunjukkan.

20

Henny Sanulita/108651519100

Tujuan dari diskusi ini adalah untuk menentukan bentuk tindakan seperti apa yang disarankan

oleh hasil penelitian dan apa hal itu akan membantu kelompok tersebut mencapai tujuannya.

Kesimpulan

Kami yakin bahwa nilai-nilai inti, prinsip-prinsip, kerangka pemikiran, dan proses ITR dapat

diadaptasi dan konsisten dengan komunitas Bahasa Isyarat. Bagaimanapun, seperti yang

ditegaskan oleh ITR, sedikit orang Tuna Rungu tidak dapat berbicara untuk mewakili seluruh

komunitas Bahasa Isyara. Dengan menghadirkan konsep ini disini, kami berharap untuk

menerima tanggapan dai konsituen yang lebih luas. Di situs kami, pembaca dapat berbagi ide

dan komentar pada SLCTR : www.slcethics.org.

Kami mengundang pemikiran anda sehubungan dengan perubahan atau ambahan dari versi

adaptasi dari ITR untuk Tuna Rungu dan permasalahan lain sehubungan dengan etika riset

dalam komunitas Bahasa Isyarat. Opini anda penting karena ini merupakan usaha yang

ditunjukkan oleh anggota dari kelompok ini.

Diskusi bisa dilaksanakan berkenaan dengan sifat dasar dari kewajiban peneliti untuk

mengikuti petunjuk etika dari komunitas dimana mereka melakukan penelitiannya dan dalam

pengembangannya dimana mereka harus diberi tahu tentang permasalahan etika oleh

komunitas itu sendiri; di sisi lain, para peneliti tidak boleh berpendapat bahwa semua

petunjuk etika dapat secara langsung diterapkan pada setiap individu dari komunitas.

Bagaimanapun juga ini bukan hal yang sederhana, dan mereka layak untuk terus

diperdebatkan.

Kapan harusnya sebuah komunitas memiliki petunjuk etikanya sendiri, dan siapa yang

membuatkannya untuk kelompok tertentu? Bagaimana para peneliti melindungi komunitas

tersebut saat melakukan penelitian? Pertanyaan-pertanyaan ini dimunculkan oleh Wallwork

(2002) menunjukkan cara-cara dimana para peneliti dapat tetap tidak bias dan profesional,

namun juga memperlakukan anggota komunitas dengan rasa hormat sambil menerjemahkan

prinsip-prinsip etika. Wallwork menyimpulkan bahwa “ide rekanan dengan sukses

menyarankan bahwa penelitian itu sendiri perlu dinegosiasikan dan dikonstruksi bersama-

sama di antara partisipan yang saling menghargai, mempunyai kemauan untuk dirubah

melalui dialog tentang bagaimana bekerja sama dalam usaha bersama” (21). Para peneliti dan

anggota komunitas bekerja sama melalui kolaborasi dan dialog untuk membuat studi

penelitian menjadi etis.

21

Henny Sanulita/108651519100

[Catatan pinggir ]

Kode etik hadir bagi kebanyakan asosiasi profesional yang anggoanya melakukan penelitian

pada, untuk, aau dengan komunias bahasa isyarat. Bagaimanapun, kode etik ini tak

disuarakan sehubungan dengan perlunya membuat kerangka etika penelitian dari sisi

kultural, sebuah permasalahan dari kepentingan khusus komunitas bahasa isyarat. Para

ilmuwan yang menulis dari perspektif feminis, pengguna asli, dan para pembela hak asasi

manusia telah sama-sama menunjukkan ketidak puasan yang serupa terhadap kekurangan

mereka akan representasi dalam perbincangan tentang etika penelitian. Para anggota dari

komunitas bahasa isyarat dan pembela mereka dapat mempelajari dari pihak-pihak lain yang

juga turut andil dalam perjuangan ini dan memberi kontribusi cukup banyak untuk topik ini.

Kami mengajukan perkembangan bagi ketentuan komunitas bahasa isyarat (SLCTR) sebagai

media untuk melakukan penelitian oleh, untuk, dan dengan komunitas bahasa isyarat.

[Catatan Kaki]

1. The American Heritage Dictionary of The English Language, edisi ke 3 (1992),

menjelaskan “Tuna Rungu” sebagai “berhubungan dengan Tuna Rungu atau budaya

mereka” dan “tuli” sebagai “kekurangan dalam pendengaran.” Ladd (2003)

mengembangkan pada terminologi Tuna Rungu, yang merujuk kepada orang yang

berharap untuk tetap berpegang kepada keanggotaan dan pengalaman mereka dengan

mayoritas budaya. Penulis mencoba yang terbaik untuk tetap membedakannya dengan

jelas di seluruh tulisan.

2. Komunitas Bahasa Isyarat merujuk kepada orang-orang yang memiliki pengalaman

dasar dan kesetiaan terhadap bahasa isyarat, begitu pula dengan komunitas dan

budaya Tuna Rungu. Bagaimanapun, semua peneliti yang tertarik untuk mempelajari

komunita Bahasa Isyarat harus selalu sadar akan kompleksitas dari Tuna Rungu dan

komunitas Bahasa Isyarat. Penggunaan huruf besar pada istilah Bahasa Isyarat

mendandakan sebuah kelompok yang serupa dengan Amerika Afrika dan komunitas

Yahudi.

3. Ironi dari penggunaan istilah suara dalam sebuah artikel dalam penelitian pada

komunitas Tuna Rungu tidak dihilangkan oleh penulis, tidak pula kami berharap itu

akan diacuhkan oleh pembaca. Pembaca yang kenal dengan feminis, pribumi/asli,

cacat, atau hak-hak minoritas akan mengenali metafora ini dan tidak melihat adanya

22

Henny Sanulita/108651519100

ironi dari penggunaan istilah “suara”. Bagaimanapun, berkenaan dengan istilah yang

lebih baik saat ini dan penggunaan yang lebih umum dari istilah suara dalam literatur

ilmuwan, kami akan menggunakan “suara” untuk mewakili perspektif, nilai dan

pengalaman dari komunitas Tuna Rungu dan Bahasa Isyarat.

4. Peneliti boleh merupakan atau boleh tidak merupakan anggota dari komunitas. Dalam

paradigma transformatif, anggota dari komunitas Bahasa Isyarat memegang

kekuasaan untuk membuat keputusan tentang jalannya sebuah penelitian. Jika seorang

peneliti memiliki pendengaran yang baik, maka sebuah hubungan perlu

dikembangkan dimana anggota tim penelitian yang Tuna Rungu dan anggota yang

memiliki pendengaran yang baik dapat berkolaborasi dengan sangat baik.

5. Matsumoto menerbitkan edisi pertama Culture and Psychology pada 1996. Ia dan L.

Juang sekarang sudah menulis edisi ke-empat. (2008)

6. Sementara sebagian orang memandang orang Tuna Rungu memiliki kecacatan,

banyak anggota dari komunitas Tuna Rungu dan Bahasa Isyarat menolak label

“cacat” dan lebih memilih dipandang sebagai berbeda secara kultural.

7. Istilah aslinya adalah “video blogs”, vlogs merupakan blog dengan tambahan video.

Komunitas Bahasa Isyarat telah menerima teknologi ini karena para anggotanya dapat

merekam diri mereka sendiri mengisyaratkan bahasa mereka.

23