bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/111527/potongan/s1-2017... · dalam bukunya...

13
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paham mengenai kesetaraan antar gender ( gender equality ) adalah sebuah pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memperoleh kesempatan serta hak yang sama dan tidak mengalami diskriminasi berbasis jenis kelamin. Kesetaraan relasi gender dapat dicapai ketika perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya yang sama dengan yang dimiliki laki-laki dalam kehidupan, misalnya memiliki kesempatan maupun akses tehadap edukasi, layanan kesehatan, kesempatan ekonomi serta proses pembuatan keputusan ( decision-making). Dinamika politik internasional di era modern tidak hanya di dominasi oleh isu high politic , namun juga persoalan-persoalan low politic yang berkaitan dengan kelompok marjinal, misalnya masalah ketimpangan relasi dan diskriminasi berbasis gender yang ada di masyarakat. Persoalan ini kemudian berkembang sebagai isu internasional bersamaan seiring waktu berjalan. Isu ketimpangan relasi gender berdampak negatif terhadap kaum perempuan di berbagai belahan dunia sebagai grup yang termarjinalkan dalam isu ini. Dalam menyelesaikan masalah tersebut, proses penyetaraan relasi gender sampai saat ini terus berjalan di berbagai negara dan tidak hanya berjalan di negara-negara berkembang tetapi proses ini terus berlanjut di negara-negara maju, tak terkecuali di Swedia. Swedia telah berhasil menjadi salah satu pemimpin dalam proses penyetaraan relasi gender di dunia. Global Gender Gap Report 2014, menyebutkan bahwa Swedia merupakan salah satu pemimpin dunia dalam isu kesetaraan gender. 1 Dalam Gender Equality Index yang dikeluarkan oleh European Institute for Gender Equality tahun 2015, Swedia menempati posisi pertama dari 28 negara Uni Eropa lainnya. 2 Pemerintah Swedia juga telah terang-terangan menyebut dirinya sebagai sebuah pemerintahan yang feminis. Pemerintah Swedia telah secara sadar mengambil langkah-langkah dalam 1 Sweden Institute, Gender Equality in Sweden (online) , < https://sweden.se/society/gender-equality-in- sweden/>, diakses 30 April 2015. 2 European Institute for Gender Equality, Gender Equality Index Report 2015, Itali, 2015, hal.108

Upload: phamphuc

Post on 24-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Paham mengenai kesetaraan antar gender (gender equality) adalah sebuah

pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memperoleh kesempatan serta

hak yang sama dan tidak mengalami diskriminasi berbasis jenis kelamin. Kesetaraan

relasi gender dapat dicapai ketika perem puan memiliki akses dan kontrol terhadap

sumber daya yang sama dengan yang dimiliki laki-laki dalam kehidupan, misalnya

memiliki kesempatan maupun akses tehadap edukasi, layanan kesehatan, kesempatan

ekonomi serta proses pembuatan keputusan ( decision-making). Dinamika politik

internasional di era modern tidak hanya di dominasi oleh isu high politic, namun juga

persoalan-persoalan low politic yang berkaitan dengan kelompok marjinal, misalnya

masalah ketimpangan relasi dan diskriminasi berbasis gender yang ada di masyarakat.

Persoalan ini kemudian berkembang sebagai isu internasional bersamaan seiring waktu

berjalan. Isu ketimpangan relasi gender berdampak negatif terhadap kaum perempuan di

berbagai belahan dunia sebagai grup yang termarjinalkan dalam isu ini. Dalam

menyelesaikan masalah tersebut, proses penyetaraan relasi gender sampai saat ini terus

berjalan di berbagai negara dan tidak hanya berjalan di negara-negara berkembang tetapi

proses ini terus berlanjut di negara-negara maju, tak terkecuali di Swedia.

Swedia telah berhasil menjadi salah satu pemimpin dalam proses penyetaraan relasi

gender di dunia. Global Gender Gap Report 2014, menyebutkan bahwa Swedia

merupakan salah satu pemimpin dunia dalam isu kesetaraan gender. 1 Dalam Gender

Equality Index yang dikeluarkan oleh European Institute for Gender Equality tahun 2015,

Swedia menempati posisi pertama dari 28 negara Uni Eropa lainnya. 2 Pemerintah

Swedia juga telah terang-terangan menyebut dirinya sebagai sebuah pemerintahan yang

feminis. Pemerintah Swedia telah secara sadar mengambil langkah-langkah dalam

1 Sweden Institute, Gender Equality in Sweden (online), < https://sweden.se/society/gender-equality-in-

sweden/>, diakses 30 April 2015.

2 European Institute for Gender Equality, Gender Equality Index Report 2015, Itali, 2015, hal.108

2

menanggulangi marginalisasi kelompok perempuan dengan menggunakan kebijakan

publik. Beberapa kebijakan telah menjadi ciri khas Swedia dalam usaha mematahkan

sistem masyarakat patriarki yang tadinya mengakar di masyarakat Swedia. Kebijakan-

kebijakan yang menjadi telah menjadi ciri khas dalam aksi Swedia untuk menempatkan

kaum wanita di ranah publik misalnya, kebijakan parental leave dan kebijakan perawatan

anak (childcare). Dalam bukunya Equity in The Workplace, Heidi Gottfried

mendefinisikan kebijakan parental leave sebagai kebijakan ketenagakerjaan yang berupa

hak cuti yang diperuntukkan bagi kedua orang tua yang bekerja, dengan tujuan

menfasilitasi proses perawatan anak di rumah dalam masa -masa krusial. Sedangkan

kebijakan perawatan anak didefinisikan sebagai sebuah kebijakan publik yang

menjembatani negara dengan kewajiban proses perawatan anak warga negara mereka.

Dua kebijakan ini dianggap penting untuk mendorong proses penyetaraan gender dengan

cara mengintervensi kehidupan ruang privat masyarakatnya. Intervensi ini bertujuan

untuk merekonsiliasikan peran relasi gender pria dan wanita, baik di ruang publik

maupun privat. Swedia telah memiliki salah satu sistem kebijakan parental leave dan

perawatan anak yang paling komprehensif di dunia. Kebijakan-kebijakan publik tersebut

menjadi strategi khusus Pemerintah dalam usahanya mencapai keseteraan relasi gender.

Kebijakan parental leave pertama kali diformulasikan serta diimplementasikan oleh

Swedia pada tahun 1974, kemudian disusul oleh reformasi kebijakan perawatan anak

pada tahun 1975. Swedia merupakan negara pertama yang menciptakan kebijakan

parental leave. Skema kebijakan parental leave sendiri menjadi kerangka yang ditiru

oleh negara lainya, terutama oleh negara-negara Skandinavia lainnya. Kebijakan parental

leave dan kebijakan perawatan anak yang komprehesif menjadi populer di berbagai

negara Skandinavia, tetapi kombinasi kebijakan ini jarang ditemukan di belahan dunia

lainnya. Jika ada yang berhasil mengimplementasikan kebijakan parental leave dan

skema kebijakan perawatan anak di tempat lain, misalnya Jepang, tingkat efektivitas

kebijakan-kebijakan ini jauh lebih rendah dibandingkan di negeri asalnya . Hampir semua

negara-negara dunia lebih mengena l dan mengimplementasikan kebijakan maternal leave

(cuti hamil dan melahirkan yang diperuntukkan kepada wanita) dibandingkan kombinasi

kebijakan parental leave dan perawatan anak. Maka dari itu bisa dilihat bahwa skema

3

kebijakan parental leave dan kebijakan perawatan anak Swedia merupakan kebijakan

unik dan jarang ditemukan di negara lain.

Jika dilihat dari berbagai sumber, kebijakan parental leave dan perawatan anak

dielu-elukan sebagai salah satu pionir utama keberhasilan Swedia proses penyetaraan

relasi gender. Tetapi apakah hal itu benar? Kenapa kebijakan-kebijakan ini jarang

ditemukan dan diimplementasikan di belahan dunia lain? Penulis melihat adanya

penyebab khusus kebijakan ini berhasil diformulasikan dan diimplemetasikan di Swedia .

Adanya latar belakang sejarah, budaya, ekonomi serta politik yang dimiliki Swedia yang

bermuara terhadap formulasi kebijakan parental leave dan perawatan anak. Latar

belakang yang spesifik ini berhasil membentuk rezim pola relasi gender masyarakat yang

lebih adil, serta terus menjaga kesinambungan kebijakan-kebijakan tersebut dan

prosesnya dalam menghapus konstruksi hierarkis gender tradisional. Skripsi ini hendak

melihat konsekuensi proses penyetaraan relasi gender yang terjadi di Swedia yang

berpengaruh terhadap proses decision making dan formulasi kebijakan publik. Penulis

akan melihat alasan serta penyebab di balik implementasi kebijakan parental leave dan

perawatan anak di Swedia. Adanya latar belakang politik dan ekonomi yang mendukung

keberhasilan Swedia dalam menerapkan dua kebijakan yang berkaitan ini. Proses

penyetaraan gender yang telah berjalan sebelum kedua kebijakan ini, jauh lebih awal dari

negara-negara lain. Perempuan di Swedia telah masuk ke ruang publik jauh lebih awal

dibandingkan perempuan di negara-negara lain. Kekuatan serta posisi wanita di ranah

publik menjadi kekuatan signifikan yang dapat mendorong pemerintah Swedia untuk

meninjau kebijakan publik yang diimplementasikan, dalam mendukung proses

penyetaraan relasi gender yang berlangsung.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, penulis

berharap dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut;

“Bagaimana proses penyetaraan gender yang terjadi berpengaruh terhadap formulasi

kebijakan publik di Swedia, khususnya dalam hal ini kebijakan parental leave dan

perawatan anak? Mengapa Swedia bisa mengimplementasikan kebijakan parental leave

dan perawatan anak?”

4

C. LANDASAN KONSEPTUAL

Untuk memahami konsekuensi proses penyetaraan relasi gender terhadap formulasi

kebijakan publik, penulis akan menggunakan teori women-friendly state sebagai alat

bantu dalam menganalisa temuan-temuan yang ada dalam penelitian ini. Teori women-

friendly states pertama kali diutarakan oleh Helga Hernes dalam tulisannya “Welfare

States and Women Power”. Dalam tulisannya, Hernes mendefinisikan women- friendly

states sebagai berikut:

“A woman-friendly state would enable women to have a natural relationship to

their children, their work and public life. A woman-friendly state would not force

harder choices on women than on men, or permit unjust treatment on the basis of

sex. In a woman-friendly state women will continue to have children, yet there will

also be other roads to self-realization open to them. In such a state women will not

have to choose futures that demand greater sacrifices from them than are expected

of men.”3

Kaum perempuan seringkali menjadi korban peristiwa marginalisasi yang

menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi di ruang publik secara penuh jika

dibandingkan dengan kaum laki-laki. Ada diskriminasi terhadap para perempuan terjadi

karena pengaruh nilai-nilai yang berkaitan dengan norma gender tradisional yang

seringkali membatasi perempuan dalam sistem sosial masyarakat. Peran gender

tradisional yang membatasi peremouan dalam berpartisipasi penuh dalam ruang publik

umumnya berkaitan dengan keyakinan bahwa pria dan wanita memiliki kodrat dasar yang

tidak bisa diubah, hal ini mempengaruhi perlakuan yang laki-laki dan perempuan

dapatkan dari masyarakat. Perbedaan perlakuan seringkali telah mengakar dalam

masyarakat dan mempengaruhi ekspektasi sosial dan peran yang dimiliki oleh masing-

masing gender. Muncul stereotip yang bisa merugikan, baik bagi laki-laki dan

perempuan, tetapi seringkali kaum perempuan terkena imbasnya sebagai kaum marginal.

3H. Hernes, Welfare State and Woman Power. Essays in State Feminism , Norwegian University Press,

Vojens, 1987, hal. 15

5

Posisi kaum perempuan sebagai kelompok yang termarginalkan merupakan konsekuensi

hiearkis yang dibentuk oleh peran gender, yang mana ekspetasi peran gender laki -laki

dominan di ruang publik dan ekspetasi peran gender wanita dominan di ruang privat.

Dalam sebuah women-friendly state, Hernes menganalisis negara akan menolak dan

berusaha berusaha mengubah ekspetasi peran gender tradisional wanita. Sebaliknya,

adanya usaha yang untuk menginklusikan wanita ke dalam ruang publik sebagai usaha

pemberdayaan diri tiap wanita. Upaya inklusi ini akan mencoba merekonsialisasi peran

wanita sebagai pengurus keluarga dan peran wanita di ranah publik, misalnya sebagai

pekerja. Layaknya kaum laki-laki, perempuan sebagai kelompok akan mendapatkan

akses yang sama dalam merealisasikan diri mereka di ranah publik. D alam women-

friendly state, wanita bisa menikah, berkeluarga, dan melahirkan, namun ja lan dalam

merealisasi diri di ruang publik akan tetap terbuka untuk mereka. Para wanita tidak perlu

untuk memilih jalan dan masa depan yang meminta pengorbanan yang lebih besar dari

yang diharapkan dari para pria. Dalam kesehariannya, women-friendly states

mengeliminasi ketidakadilan sosial yang berdasarkan gender individu.4

4 H. Hernes, hal. 15

6

Gambar 1

Ilustrasi Mengenai Konsep Women’s Friendly States Menurut Helga Hernes.

Hernes menekankan signifikansi proses reproduksi yang dialami wanita serta opsi

peran wanita di ruang privat (motherhood) dan ruang publik (self realized worker). Ia

berpendapat bahwa kesetaraan gender dapat dicapai dengan dua cara yaitu integrasi

perempuan dalam dunia politik dan partisipasi wanita turut menjadi breadwinner.

Integrasi kaum perempuan dalam ruang publik akan memberikan kekuasaan kepada

perempuan sebagai sebuah kelompok sosial untuk mempengaruhi nasibnya dalam

kepentingan negara. Hernes mengatakan dalam sebuah women-friendly states, adanya

signifikansi interaksi antara masyarakat sipil (bawah/women mobilizations) dan respons

pemerintah (atas/state feminism) yang menghasilkan sebuah women-friendly society dan

Wom e n- F rie nd ly Societie s

State Feminis m

W omen's Mobiliza tion

(Econo m y and Politic s )

7

state. Mobilisasi wanita di ruang publik, khususnya dalam ranah politik dan ekonom i,

akan memberikan kaum perempuan kekuatan yang lebih besar dalam menegosiasikan

kepentingannya di ruang publik, maupun privat. M obilisasi wanita yang terjadi di tingkat

‘bawah’ khususnya di sektor politik dan ekonomi menjadi kekuatan dalam proses tawar-

menawar yang pada akhirnya akan memancing respons dari pemeritah (‘tingkat atas’)

yang berupa pembentukan institusi dan kebijakan dalam proses penyetaraan relasi

gender. Setelah dua proses tersebut telah berjalan dan berkombinasi maka peristiwa

tersebut akan menghasilkan sebuah masyarakat sipi yang adil, tanpa memperhatikan

gender individu. Mobilisasi wanita dalam women-friendly states di bidang politik dan

ekonomi merupakan sebuah kekuatan serta kunci penting bagi proses yang memupuk

perubahan dalam kehidupan perempuan. Implikasi dari proses mobilisasi berarti kaum

perempuan mempunyai andil dalam pelaksanaan pembangunan di dalam negeri. Proses

mobilisasi kelompok perempuan dianggap krusial untuk memancing respons dari

pemerintah dalam perjalanan sebuah women-friendly state.

Ketika kelompok perempuan telah memiliki kekuatan dan agensi di ranah publik,

maka tahap selanjutnya dalam perjalanan women-friendly state ialah pengakuan dari

pemerintah atas pengaruh dan kekuatan kelompok perempuan. Ketika kelom pok

perempuan secara kolektif telah menjadi demografi yang tidak dapat dipandang sebelah

mata maka mau-tidak mau pemerintah harus bisa memberikan tanggapan terhadap

keadaan agensi kepentingan wanita. Responsi pemerintah dalam upaya penyetaraan relasi

gender dalam hal ini disebut oleh Hernes sebagai state feminism. Hernes mengartikan

state feminism sebagai bentuk feminisme yang berasal dari pemerintah (tingkat atas) yang

berupa upaya penyetaraan gender serta kebijakan publik yang relevan. 5 Ia juga

mengatakan bahwa state feminism dapat diraih dengan feminisasi profesi yang berkaitan. 6

Feminisasi profesi yang berkaitan berarti adanya keterlibatan kaum perempuan dalam

berbagai agensi sosial dan pemerintah, yang kemudian bisa mempengaruhi pembuatan

kebijakan. Hal ini dapat diraih dengan mobilisasi kaum di ruang publik, sehingga kaum

perempuan ada di berbagai sektor publik dan menjadi bagian dari faktor penentu

5 A. Borchosrst dan B. Siim, ‘Women-friendly polic ies and state feminism: Theorizing Scandinavian

gender equality’. Feminist Theory , Vol. 9, No 2, 2008, hal. 210. 6 A. Borchosrst dan B. Siim, hal 210

8

kebijakan. Garis besar argumen Hernes menyatakan bahwa mobilisasi wanita akan

memancing perubahan yang terinstitusionalisasi dalam proses penyetaraan relasi gender

oleh pemerintah, hal inilah yang dirujuk sebagai salah satu bentuk state feminism .

Dalam women-friendly state, Hernes memberikan syarat yang spesifik untuk

bentuk responsi yang dikeluarkan pemerintah. Kesetaraan antara relasi gender dapat

dicapai ketika integrasi kaum perempuan di ranah publik sudah tercapai, terutama dalam

bidang ekonomi dan politik. Untuk mencapai hal tersebut, harus disadari bahwa kaum

perempuan seringkali tidak memiliki akses yang sama terhadap ruang publik dibandingan

kaum laki-laki. Hal ini berasal dari iklim patriarki dan peran gender tradisional yang telah

mengakar sebagai budaya. Subordinasi perempuan tidak hanya terjadi di lingkup publik,

tetapi juda di dalam lingkup privat. Dalam dua lingkup ini, kaum laki-laki dengan

ekspektasi utama peran gendernya sebagai pencari nafkah memiliki posisi ekonomi

dibandingkan perempuan. Dominasi kekuatan ekonom i ini dapat diartikan sebagai

dominasi relasi kekuasaan dalam hubungan relasi gender yang merugikan perempuan

sebagai kaum yang termarjinalkan. Seringkali dalam lingkup publik dan privat, adanya

batasan dan halangan yang telah mengakar dalam budaya patriarki atas pemberdayaan

wanita. Misal, dalam ruang privat, laki-laki berposisi sebagai suami atau ayah yang

menjadi satu-satunya pencari nafkah dan membatasi istrinya untu terlibat dalam ranah

publik yang dianggap sebagai ranah maskulin, seperti bekerja secara formal. Dalam

ruang publik, subordinasi perempuan terjadi secara kolektif oleh kelembagaan patriarki

yang telah mengakar pada sistem sosial dan masyarakat. Adanya asumsi peran utama

wanita, sebagai pengasuh utama dan memberikan kesan bahwa peran tersebut menjadi

penghalang kaum perempuan untuk berada di ruang publik, karena perempuan akan

disibukkan di ruang privat dan tidak memiliki waktu untuk pemberdayaan diri di ruang

publik. Maka dari itu dibutukan sebuah sebuah bentuk state feminism yang bisa mengikis

nilai tersebut tanpa harus mendorong kaum wanita untuk merelakan salah satu peran,

baik di ranah privat dan publik.

Dalam sebuah women-friendly state, penting bagi kaum perempuan untuk dapat

mengombinasikan peran mereka di ranah publik dan privat sebagai seorang individu.

Adanya penekanan tentang kepentingan proses reproduksi yang dialami oleh kaum

9

wanita serta opsi pilihan peran sebagai ibu di ruang privat ( motherhood) dan pekerja di

ruang publik (self realized worker). Ketika kaum perempuan dapat memiliki posisi di

ruang publik yang kuat, melalui sistem politik dan partisipasi sebagai breadwinner, maka

kesetaraan relasi gender dapat dicapai. Seringkali dikotom i peran sosial dan gender

menjadi masalah bagi wanita di masyarakat patriarkis. Maka dari itu, dibutuhkan

kebijakan publik yang dapat menangani hal tersebut, Hernes mengatakan proses ini

disebut sebagai proses reproduksi menjadi isu di ranah publik ( reproduction had gone

public), dan peran pemerintah di dikotomi ruang publik dan pr ivat masyarakatnya perlu

dikaji ulang. Pengkajian ulang peran pemerintah dalam pemisahan ranah publik dan

privat di women-friendly state pada akhirnya akan bermuara terhadap keterlibatan

pemerintah dalan ranah privat masyarakat demi memberikan perubahan no rma dan nilai

yang dianggap penting. Salah satunya dengan mengimplementasikan kebijakan yang

mendykyng penghapusan peran dan identitasi gender tradisional bagi perempuan dan

laki-laki, misalnya dengan memfasilitasi keinginan kaum wanita untuk berada di rua ng

publik, seperti partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja. Serta memberikan

kesempatan bagi kaum laki-laki yang seringkali diberikan ekspetasi yang besar dalam

peran publiknya untuk berpartisipasi di ranag privat, misalnya dalam isu perawatan anak

dan keluarga.

Gøsta Esping-Andersen dalam bukunya ‘Why We Need A New Welfare State’

mengatakan bahwa mempromosikan akses serta peluang ekonom i dan politik yang lebih

baik bagi para wanita bukan sebuah isu yang kontroversial. Esping-Andersen berargumen

bahwa partisipasi wanita di bidang politik dan ekonomi merupakan salah satu cara paling

efektif dalam mengurangi pengucilan wanita secara sosial, kemiskinan serta

ketidaksetaraan gender. 7 Mendorong keterlibatan perempuan di ruang publik, khususnya

dalam bidang ekonomi, Perempuan memiliki peranan penting dalam proses

pembangunan ekonom i jangka panjang. Di berbagai negara, seringkali kaum wanita

merupakan cadangan tenaga kerja besar yang tidak dimanfaatkan secara optimal, padahal

dengan inklusi perempuan dalam pasar tenaga kerja, dapat membantu tingkat

ketergantungan usia tenaga kerja serta mengurangi tekanan pembangunan ekonomi

7 G. Esping-Andersen, Why we need a new welfare state , Oxford University Press, Oxford, 2001, hal. 94.

10

terkait di masa depan. Esping-Andersen mengimplikasikan bahwa konsep women-

friendly policies berarti family, society, serta gender friendly. Asumsinya ketika ini

menguntungkan secara pribadi bagi kaum perempuan, maka hal tersebut akan

menguntungkan secara kolektif bagi masyarakat luas, dan merupakan sebuah investasi

sosial yang berharga bagi negara.8 Konsep women-friendly state menekankan perlunya

kebijakan publik yang adil bagi para kaum perempuan dan laki-laki. Kebijakan tersebut

harus bersifat menyilang dengan berbagai kebijakan publik di berbagai bidang, seperti

kebijakan sipil, kebijakan pajak serta kebijakan ketenagakerjaan. Kebijakan yang

dikeluarkan perlu mendukung penghapusan peran dan identitas gender tradisional pria

dan wanita, misalnya mendorong partisipasi wanita di pasar tenaga kerja dan partisipasi

pria untuk lebih aktif dalam mengurus keluarga. Tidak hanya itu, kebijakan dalam

women-friendly states juga tidak boleh mendiskriminasi para orangtua tunggal maupun

pasangan sesama jenis. Kebijakan ini juga diharapkan tidak hanya mempengaruhi situasi

material dan finansial keluarga dengan anak-anak tetapi juga menpengaruhi keputusan

pria dan wanita dalam isu mencari pekerjaan maupun isu perawatan rumah tangga.

Kebijakan dalam women-friendly states diharapkan dapat membentuk hubungan antar

gender, membantu menata struktur konflik dan partisipasi politik serta berkontribusi

terhadap pembentukan dan mobilisasi gender dan identitas tertentu di ruang publik. 9

Dalam mendiskusikan women-friendly state, Gesta Esping-Andersen memberikan contoh

kebijakan yang mendukung proses perjalanan sebuah women-friendly state misalnya

seperti kebijakan parental leave dan kebijakan perawatan anak yang terjangkau bagi

seluruh lapisan masyarakat. Dua kebijakan ini dianggap memiliki kekuatan signifikan

dalam mendorong tingkat partisipasi tenaga kerja wanita di sektor formal, terutama bagi

kaum perempuan yang telah menikah dan memiliki keluarga untuk turut kembali terjun

ke dalam pasa tenaga kerja sebagai angkatan kerja aktif. Ketika kaum perempuan telah

memiliki kekuasaan yang signifikan dalam ranah publik maka sulit bagi pengucilan sosial

kolektif bagi wanita untuk terus berlaku. Kebijakan publik yang membongkar asumsi

peran gender tradisional dianggap sebagai sebuah solusi palung tepat dalam memelihara

keterlibatan sosial bagi kaum laiki-laki dan perempuan dalam berkeluarga dan

8 Esping-Andersen, hal 94

9 K. Sörensen dan C. Bergqvist, ‘Gender and the Social Democratic Welfare Regime’, National Institute for

Working Life, Stockholm, 2002, hal. 1

11

bermasyarakat, penyetaraan relasi gender serta meningkatkan daya saing ekonomi dalam

saat yang bersamaan.10

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah women-

friendly state adanya benang merah yang dapat ditarik antara proses penyetaraan relasi

gender dan konsekuensinya terhadap kebijakan publik. Ketika wanita telah memiliki

posisi signifikan di ranah publik dan menjadi demografi yang memiliki kekuatan, maka

pemerintah akan memberikan responsi yang berupa institusionalisasi proses ekualisasi

gender. Responsi ini memiliki syarat spesifik, yaitu berkaitan dengan ekspektasi peran

ganda yang dimiliki oleh wanita. Ketika pola telah muncul di tingkat ‘bawah’ yaitu

masyarakat sipil dan di tingkat ‘atas’ yaitu pemerintah maka baru akan tercipta

masyarakat yang adil dalam melihat relasi gender. Responsi kebijakan publik yang

dikeluarkan women-friendly state juga harus bisa membantu wanita untuk

mengombinasikan ekspetasi peran ganda wanita sebagai ibu dan pekerja, tanpa harus

menghalangi maupun merelakan salah satunya.

D. HIPOTESIS SEMENTARA

Dari uraian diatas, diajukan hipotesis bahwa kebijakan parental leave dan

kebijakan perawatan anak merupakan sebuah bentuk dari state feminism . Kebijakan

parental leave dan dan perawatan anak merupakan sebuah konsekuensi langsung dari

proses penyetaraan relasi gender yang telah terjadi di Swedia, yang aktif terjadi

dibandingkan negara-negara lain pada saat itu. Adanya anggapan awam bahwa

kesuksesan Swedia dalam proses penyetaraan gender yang disebabkan oleh dua kebijakan

tersebut tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, kebijakan ini lahir dari proses yang telah

terjadi dalam kemajuan hak politik dan ekonomi wanita di Swedia. Adanya faktor

historis, ekonomi, politik dan budaya yang spesifik terhadapa negara Swedia memberikan

kekuatan bagi pemerintah Swedia untuk menciptakan kebijakan parental leave pertama

di dunia dan mengimplempentasikannya kombinasi dengan kebijakan perawatan anak.

Dua kebijakan ini merupakan sebuah proses penyetaran relasi gender yang berhasil

10 Lebih jelasnya dapat dilihat di A. Borchorst, Scandinavian Welfare Policies, Gender Equality and

Globalization. Paper presented at Gender at the Interface of the Global and the Local - Perspectives from

China and the Nordic Countries, The Third Sino-Nordic Women and Gender Studies Conference,

Kunming, China, 2008

12

diinstitusionalisasi dan perlahan mengubah persepsi mengenai peran gender di

masyarakat. Desakan mobilisisasi wanita, khususnya di bidang ekonomi, menjadi motor

utama dalam penyusunan legislasi. Dengan melihat Swedia sebagai sebuah women-

friendly state, kita bisa melihat keberhasilan formulasi dan kebijakan-kebijakan ini dapat

diatribusikan kepada proses penyetaan relasi gender yang telah terjadi di tingkat ‘bawah’

dalam perjalanan Swedia membangun skema regulasi yang progresif yang bersifat positif

tehadap kelompok yang termarjinalkan, yaitu kaum perempuan.

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini berkaitan dengan sifat data

yang sekunder yaitu metode kualitatif yaitu sebuah metode analisa data-data yang

sifatnya non-angka, data-data ini berupa pernyataan, berita, laporan. Jika terdapat tabel,

skema dan diagram yang sifatnya kuantitatif, hal ini hanya untuk memperkuat deskripsi

analisa saja, dan bukan merupakan hasil akhir. 11 Sementara teknik pengumpulan data

yang dipergunakan adalah studi kepustakaan ( library research). Menurut Sutrisno Hadi,

studi kepustakaan adalah sumber kepustakaan yang penting karena didalamnya terdapat

kondensasi (kumpulan) dari sebagian terbesar penyelidikan yang pernah dilakukan

orang. 12 Data yang diperoleh bersumber dari buku-buku terkait topik yang diangkat,

beberapa artikel berita dari berbagai media internasional, serta jurnal akademik. Selain

dari berbagai sumber tersebut, Peneliti juga menggunakan pernyataan serta kebijakan

pemerintah yang telah resmi dikeluarkan dan didokumentasikan

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini akan membahas mengenai pengaruh proses penyetaraan gender dalam

formulasi kebijakan parental leave dan perawatan anak di Swedia. Fokus dalam

penelitian ini adalah Swedia serta proses penyetaraan gender yang terjadi dari masa -masa

krusial hingga masa formulasi dua kebijakan tersebut yaitu dari awal abad ke -20 hingga

dekade 1970-an. Pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan dalam 5 bab, diawali

dengan bab pendahuluan yang menerangkan mengenai elemen-elemen utama dalam

11 Catherine Cassel and Gillian Symon (editor), 1994, Qualitative Methods in Organizational Research ,

Sage Publications, London, hal.3-4.

12 Sutrisno Hadi, 1984, Metodologi Research 1, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta, hal. 57.

13

penulisan skripsi ini, antara lain latar belakang, rumusan masalah, kerangka berpikir,

hipotesis, dan sistematika penulisan. Sementara pada bab II penulisan sudah memasuki

tahap pembahasan, yakni mengenai isu dan proses penyetaraan gender di Swedia,

khususnya di masa sebelum formulasi kebijakan parental leave dan perawatan anak yaitu

dimulai pada awal abad ke-20 sampai tahun 1970-an dari sisi ekonomi maupun politik.

Selanjutnya pada bab III, penulis akan proses kemunculan serta isi dari kebijakan

parental leave dan perawatan anak yang ada di Swedia. Selanjutnya, temuan - temuan di

bab II dan III akan dianalisa pada bab ke IV dengan yang terdiri dengan menjela skan

pengaruh mobilisasi-mobilisasi yang terjadi dan alasan Swedia bisa

mengimplementasikan kebijakan parental leave dan perawatan anak dengan

menggunakan kerangka konseptual yang ditetapkan. Pembahasan kemudian diakhiri pada

bab V yang akan merangkum inti dari keseluruhan skripsi ini.